multi trauma
DESCRIPTION
mengunduh fileTRANSCRIPT
PENILAIAN PASIEN TRAUMA
Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari
lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama kecacatan di
Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian tiap tahunnya. Trauma
dapat dikategorikan sebagai kejadian yang disengaja dan tidak disengaja. Di
Amerika Serikat, trauma yang tidak disengaja menjadi penyebab utama nomor
lima timbulnya kematian di semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor
satu di kategori usia 1-34 tahun.
Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan energi
berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita trauma. Energi merupakan
agen penyebab timbulnya cedera fisik, sedangkan tipe energi yang dapat
menimbulkan trauma adalah energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi.
Berdasarkan jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling
sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa melalui
kejadian seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul, penikaman, dan luka
tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan mekanik dapat dibedakan
menjaadi cedera tumpul dan penetratif. Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh
dapat dikategorikan sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk
merupakan contoh dari cedera penetratif. Tabel 4.1 menjelaskan pola cedera yang
umumnya terjadi pada pengemudi yang mengalami kecelakaan tanpa memakai
alat pengaman.
Tabel 4.1 Mekanisme dan Pola Cedera
Mekanisme Cedera Kemungkinan Pola Cedera
Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola bull’s
eye pada kaca depan.
Patah tulang belakang daerah serviks,
trauma wajah.
Setir mobil tertekuk. Anterior flail chest, cidera kardiak
tumpul, pneumothoraks, cidera hati
atau limpa, gangguan aortik.
Bekas lutut pada dasboard. Patah / dislokasi lutut, femur dan
panggul.
Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela samping. Patah tulang belakang daerah serviks,
cedera kepala.
Pintu terdorong ke ruang penumpang. Lateral flail chest.
Cedera hati atau limpa (tergantung sisi
yang terkena tumbukan).
PENANGANAN PADA PASIEN DENGAN MULTIPLE TRAUMA
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan
mengontrol pendarahan.
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar,
otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien
yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam
hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini
terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak
terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada solid organ (organ padat)
atau beberapa luka. Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama (golden
period) sesudah cedera sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien. The
Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life Support
(ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini
berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah
terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu
sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan
beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain.
Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan evaluasi
dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel trauma
memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi untuk menyelamatkan pasien.
Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha penyelamatan pasien. Komposisi
tim berbeda-beda dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya terdiri atas
paling tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat tambahan.
Survei Primer (Primary Survey)
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei
sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyediakan
metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten dan
menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-masalah yang
mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran
pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit
sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi mengancam nyawa
seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi
melalui survei primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui,
maka dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi
pasien.
Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan)
A : Airway (Jalan Napas)
Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien
trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher.
Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher
dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long spine
board.
Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita
suara. Jika tidak ada suara, buka jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau
manuver modified jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang
sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan) atau serpihan
kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan
(suctioning, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan napas.
Alat-alat untuk mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring,
LMA, pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin dibutuhkan untuk
membuat dan mempertahankan kepatenan jalan napas.
B : Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering terjadi
kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius pada
status neurologis pasien. Untuk menilai pernapasan, perhatikan proses respirasi
spontan dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada
untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan naik turunnya
dinding dada secara simetris saat respirasi.
Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu misalnya luka
terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auskultasi suara
pernapasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan
bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam
kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya.
Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal
yang cukup, gunakan non-rebreather mask dengan reservoir 10-12 l/menit.
2. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag-
valve-mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat
kondisi respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan napas efektif dengan
intubasi trakea jika diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
3. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi
pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris
naik turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru
dan perhatikan saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
4. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang serius. Tutup
luka dada selama proses pengisapan, turunkan tekanan pneumotoraks,
stabilisasi bagian-bagian yang flail, dan masukkan pipa dada.
5. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien yang meliputi
pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood gase).
C : Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi.
1. Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan tekan
langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang
mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian jantung. Kehilangan
darah dalam jumlah besar dapat terjadi di dalam tubuh.
2. Denyut nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas, laju, dan
ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung sesudah
trauma, hipotermia, hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang
disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens. Raba denyut
nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi dievaluasi melalui auskultasi
apikal. Cari suara degupan jantung yang menandakan adanya
penyumbatan perikardial. Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai
dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang
mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang jelek,
terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi pasien trauma,
selalu pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada
jantung sebagai penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat
kembali normal apabila dilakukan needle thoracentesis dan
pericardiocentesis.
3. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat,
sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok
hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat, dan capillary refill.
Waktu capillary refill adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak,
tapi kegunaanya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya
kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok tersebut
belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit, tanda-
tanda hipoperfusi juga tampak pada orang lain, misalnya oliguria,
perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu, perlu
diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh
darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah
merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang
IV line dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set dan
bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter yang lebih lebar
dari infuse set sehingga memungkinkan tetesannya lebih cepat dan apabila
ingin memberikan transfusi darah, maka bisa langsung digunakan tanpa
harus diganti.
Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal saline atau
Ringer’s lactate). Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan
yaitu 20 ml/kgBB. Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan respons
pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan
crystalloids.
Pada kondisi multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan
akut volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7% dari
berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak berkisar antara 8-9%
BBI. Jadi orang dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan memiliki volume
darah sekitar 5 l. Klasifikasi perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Pada penderita yang
sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan transfusi. Pengisian kapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
2. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan nadi.
Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan
komponen distolik karena pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat
inotropik yang menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh
darah perifer. Tekanan sistolik hanya sedikit berubah sehingga lebih tepat
mendeteksi perubahan tekanan nadi. Perubahan sistem saraf sentral berupa
cemas, ketakutan, dan sikap bermusuhan. Produksi urine sedikit
terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam pada orang dewasa. Ada penderita
yang terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi kebanyakan masih bisa
distabilkan dengan larutan kristaloid.
3. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu ada yaitu
takikardi, takipnea, penurunan status mental dan penurunan tekanan darah
sistolik. Penderita ini sebagian besar memerlukan transfusi darah.
4. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)
Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah sistolik yang
besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan distolik tidak teraba),
produksi urin hampir tidak ada, kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan
pucat. Transfusi sering kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan
darah lebih dari 50% volume darah, maka akan menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.
Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah cairan
kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for 1 rule artinya jika
terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan cairan kristaloid 3 x
1.000 ml yaitu 3.000 ml cairan kristaloid.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan IV secara
agresif pada pasien trauma dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini
karena dapat menurunkan hemostatic plugs yang terbentuk untuk menghentikan
pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada beberapa kelompok pasien saja.
Secara umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak
stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l, sebaiknya
pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan
dengan jenis dan golongan darah pasien.
D : Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonic
AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi
terhadap cahaya. Pada saat survei primer, penilaian neurologis hanya dilakukan
secara singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes)
harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi
berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan
dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung
segera setelah pemeriksaan survei sekunder.
Mnemonic AVPU meliputi: awake (sadar); verbal (berespons terhadap
suara/ verbal); pain (berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak
berespons).