multi trauma

13
PENILAIAN PASIEN TRAUMA Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian tiap tahunnya. Trauma dapat dikategorikan sebagai kejadian yang disengaja dan tidak disengaja. Di Amerika Serikat, trauma yang tidak disengaja menjadi penyebab utama nomor lima timbulnya kematian di semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor satu di kategori usia 1-34 tahun. Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan energi berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita trauma. Energi merupakan agen penyebab timbulnya cedera fisik, sedangkan tipe energi yang dapat menimbulkan trauma adalah energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi. Berdasarkan jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa melalui kejadian seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul, penikaman, dan luka tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan mekanik dapat dibedakan menjaadi cedera tumpul dan penetratif. Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dapat dikategorikan sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk merupakan contoh dari cedera

Upload: timothy-elliott

Post on 19-Jul-2016

30 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mengunduh file

TRANSCRIPT

PENILAIAN PASIEN TRAUMA

Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari

lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama kecacatan di

Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian tiap tahunnya. Trauma

dapat dikategorikan sebagai kejadian yang disengaja dan tidak disengaja. Di

Amerika Serikat, trauma yang tidak disengaja menjadi penyebab utama nomor

lima timbulnya kematian di semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor

satu di kategori usia 1-34 tahun.

Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan energi

berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita trauma. Energi merupakan

agen penyebab timbulnya cedera fisik, sedangkan tipe energi yang dapat

menimbulkan trauma adalah energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi.

Berdasarkan jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling

sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa melalui

kejadian seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul, penikaman, dan luka

tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan mekanik dapat dibedakan

menjaadi cedera tumpul dan penetratif. Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh

dapat dikategorikan sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk

merupakan contoh dari cedera penetratif. Tabel 4.1 menjelaskan pola cedera yang

umumnya terjadi pada pengemudi yang mengalami kecelakaan tanpa memakai

alat pengaman.

Tabel 4.1 Mekanisme dan Pola Cedera

Mekanisme Cedera Kemungkinan Pola Cedera

Tabrakan depan

Pola jaring laba-laba atau pola bull’s

eye pada kaca depan.

Patah tulang belakang daerah serviks,

trauma wajah.

Setir mobil tertekuk. Anterior flail chest, cidera kardiak

tumpul, pneumothoraks, cidera hati

atau limpa, gangguan aortik.

Bekas lutut pada dasboard. Patah / dislokasi lutut, femur dan

panggul.

Tabrakan samping

Kontak kepala dengan jendela samping. Patah tulang belakang daerah serviks,

cedera kepala.

Pintu terdorong ke ruang penumpang. Lateral flail chest.

Cedera hati atau limpa (tergantung sisi

yang terkena tumbukan).

PENANGANAN PADA PASIEN DENGAN MULTIPLE TRAUMA

Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan

pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah

mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan

mengontrol pendarahan.

Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak

morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.

Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar,

otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien

yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam

hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini

terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak

terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada solid organ (organ padat)

atau beberapa luka. Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama (golden

period) sesudah cedera sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien. The

Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life Support

(ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini

berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah

terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu

sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan

beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain.

Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan evaluasi

dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel trauma

memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi untuk menyelamatkan pasien.

Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha penyelamatan pasien. Komposisi

tim berbeda-beda dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya terdiri atas

paling tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat tambahan.

Survei Primer (Primary Survey)

Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei

sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyediakan

metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten dan

menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-masalah yang

mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran

pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit

sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi mengancam nyawa

seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi

melalui survei primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui,

maka dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi

pasien.

Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang

bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :

A : Airway (jalan napas)

B : Breathing (pernapasan)

C : Circulation (sirkulasi)

D : Disability (defisit neurologis)

E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan)

A : Airway (Jalan Napas)

Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien

trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher.

Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher

dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long spine

board.

Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita

suara. Jika tidak ada suara, buka jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau

manuver modified jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang

sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan) atau serpihan

kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan

(suctioning, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan napas.

Alat-alat untuk mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring,

LMA, pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin dibutuhkan untuk

membuat dan mempertahankan kepatenan jalan napas.

B : Breathing (Pernapasan)

Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering terjadi

kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius pada

status neurologis pasien. Untuk menilai pernapasan, perhatikan proses respirasi

spontan dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada

untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan naik turunnya

dinding dada secara simetris saat respirasi.

Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu misalnya luka

terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auskultasi suara

pernapasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan

bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam

kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya.

Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal

yang cukup, gunakan non-rebreather mask dengan reservoir 10-12 l/menit.

2. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag-

valve-mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat

kondisi respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan napas efektif dengan

intubasi trakea jika diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.

3. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi

pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris

naik turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru

dan perhatikan saturasi oksigen melalui pulseoximeter.

4. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang serius. Tutup

luka dada selama proses pengisapan, turunkan tekanan pneumotoraks,

stabilisasi bagian-bagian yang flail, dan masukkan pipa dada.

5. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien yang meliputi

pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood gase).

C : Circulation (Sirkulasi)

Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup

evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi.

1. Pendarahan

Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan tekan

langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang

mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian jantung. Kehilangan

darah dalam jumlah besar dapat terjadi di dalam tubuh.

2. Denyut nadi

Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas, laju, dan

ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung sesudah

trauma, hipotermia, hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang

disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens. Raba denyut

nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi dievaluasi melalui auskultasi

apikal. Cari suara degupan jantung yang menandakan adanya

penyumbatan perikardial. Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai

dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang

mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang jelek,

terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi pasien trauma,

selalu pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada

jantung sebagai penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat

kembali normal apabila dilakukan needle thoracentesis dan

pericardiocentesis.

3. Perfusi kulit

Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat,

sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok

hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat, dan capillary refill.

Waktu capillary refill adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak,

tapi kegunaanya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya

kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok tersebut

belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit, tanda-

tanda hipoperfusi juga tampak pada orang lain, misalnya oliguria,

perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu, perlu

diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh

darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah

merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang

IV line dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set dan

bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter yang lebih lebar

dari infuse set sehingga memungkinkan tetesannya lebih cepat dan apabila

ingin memberikan transfusi darah, maka bisa langsung digunakan tanpa

harus diganti.

Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal saline atau

Ringer’s lactate). Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan

yaitu 20 ml/kgBB. Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan respons

pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan

crystalloids.

Pada kondisi multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan

akut volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7% dari

berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak berkisar antara 8-9%

BBI. Jadi orang dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan memiliki volume

darah sekitar 5 l. Klasifikasi perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)

Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang berarti dari

tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Pada penderita yang

sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan transfusi. Pengisian kapiler dan

mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24

jam.

2. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)

Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan nadi.

Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan

komponen distolik karena pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat

inotropik yang menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh

darah perifer. Tekanan sistolik hanya sedikit berubah sehingga lebih tepat

mendeteksi perubahan tekanan nadi. Perubahan sistem saraf sentral berupa

cemas, ketakutan, dan sikap bermusuhan. Produksi urine sedikit

terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam pada orang dewasa. Ada penderita

yang terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi kebanyakan masih bisa

distabilkan dengan larutan kristaloid.

3. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)

Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu ada yaitu

takikardi, takipnea, penurunan status mental dan penurunan tekanan darah

sistolik. Penderita ini sebagian besar memerlukan transfusi darah.

4. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)

Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah sistolik yang

besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan distolik tidak teraba),

produksi urin hampir tidak ada, kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan

pucat. Transfusi sering kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan

darah lebih dari 50% volume darah, maka akan menyebabkan penurunan

tingkat kesadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.

Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah cairan

kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for 1 rule artinya jika

terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan cairan kristaloid 3 x

1.000 ml yaitu 3.000 ml cairan kristaloid.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan IV secara

agresif pada pasien trauma dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini

karena dapat menurunkan hemostatic plugs yang terbentuk untuk menghentikan

pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada beberapa kelompok pasien saja.

Secara umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak

stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l, sebaiknya

pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan

dengan jenis dan golongan darah pasien.

D : Disability (Status Kesadaran)

Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonic

AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi

terhadap cahaya. Pada saat survei primer, penilaian neurologis hanya dilakukan

secara singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes)

harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi

berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan

dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung

segera setelah pemeriksaan survei sekunder.

Mnemonic AVPU meliputi: awake (sadar); verbal (berespons terhadap

suara/ verbal); pain (berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak

berespons).