modul perencanaan p-dta 17 04 2012beta.new.pamsimas.org/data/phocadownload/modul... · gambar 14....

45
Page | 1 MODUL PERENCANAAN PDTA PARTISIPATIF

Upload: hacong

Post on 07-Mar-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

P a g e  | 1 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

P a g e  | 2 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

DAFTAR ISI HalamanPanduan Proses Modul 1 1. PENYADARAN FASILITATOR SEBAGAI AGEN PELESTARI

LINGKUNGAN

Bahan Bacaan Modul 1 1.1 Nasionalisme Lingkungan 1.2 Kemurahan Alam dan Ketamakan Manusia

Panduan Proses Modul 2 2. PERENCANAAN PERLINDUNGAN DTA PARTISIPATIF Bahan Bacaan Modul 2

2.1 DAS dan DTA: Unit Perencanaan Pembangunan Berwawasan Lingkungan 2.2 Pemetaan Batas DTA 2.3 Kriteria Lahan Kritis dan Pemetaannya 2.4 Pengumpulan Informasi P-DTA Dalam IMAS 2.5 Sasaran P-DTA dan Status Lahan 2.6 Perlindungan Lahan 2.7 Menyusun RAB Perlindungan DTA

DAFTAR PUSTAKA POWERPOINT PRESENTATION

4

5

89

12

1415

1920293236383942

6061

DAFTAR TABEL HalamanTabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.

Jenis-Jenis Penutupan/Pengunaan Lahan Kriteria Penilaian Lahan Kritis Data dan Informasi P-DTA Dalam Proses Identifikasi Masalah dan Analisis Situasi Pertanyaan Kunci untuk Menggali Informasi. Perhitungan Kebutuhan Bibit Komponen Pembiayaan Pembangunan Persemaian

33 34

36 36 42 43

P a g e  | 3 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

DAFTAR GAMBAR HalamanGambar 2.1. Gambar 2.3. Gambar 2.2. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 3.0. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14.

Cekungan DAS sebagai unit hidrologi. Perbandingan luas DAS (ribu km2) beberapa sungai besar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Cekungan permukaan bumi diibaratkan sebagai mangkuk air. DAS membatasi aliran permukaan, aliran bawah permukaan dikontrol oleh struktur dan formasi geologi. Batas DAS dan Cekungan Air Tanah. DAS sebagai unit ekosistem, kualitas pengelolaan SDA dalam sebuah DAS menentukan kelestarian SDA baik didarat maupun dilaut (from ridge to reef). DAS Hulu sebagai daerah resapan dan DAS Hilir sebagai daerah pengaliran. Konsep ordo sungai sesuai Strahler. Satu DAS terbagi kedalam banyak Sub-DAS. Hasil pembatasan DTA secara visual/sketsa DTA. Hasil delineasi DTA menggunakan peta topografi. Hasil delineasi DTA dengan menggunakan SIG. Perbedaan relatif kedalaman tanah sesuai dengan bentuk kelerengannya. Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari. Pola tanam tumpangsari (kiri) dan pola campuran (kanan) Pola tanam monokultur Sistem tugal Pembuatan cemplongan Pemasangan ajir pada lahan datar Pemasangan ajir pada lahan miring Model pengkayaan tanaman sisipan Model pengkayaan pada batas pemilikan lahan Pembuatan lubang tanam Cara mengangkut bibit benar (kiri) dan cara salah (kanan)

21

21 22

23 23

25

26 27 28 30 30 31

35 43 44 45 46 46 47 48 48 49 49 51

P a g e  | 4 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Panduan Proses

Modul 1

PENYADARAN FASILITATOR SEBAGAI AGEN PELESTARI

LINGKUNGAN

P a g e  | 5 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

PENYADARAN FASILITATOR SEBAGAI AGEN PELESTARI

LINGKUNGAN

Tujuan: Fasilitator mampu: 1. Menyadari berbagai kerusakan alam buatan manusia 2. Menyadari tugas mereka sebagai manusia dalam pelestarian lingkungan 3. Terbangkitkan semangatnya untuk memberikan sumbangsih dalam pelestarian lingkungan

dalam pelaksanaan tugasnya sebagai fasilitator Waktu : 2 JPL (@ 45’, 90’)

Perlengkapan : In-focus, flip chart

Media/Alat Bantu : Film

Panduan Proses Pembelajaran/Lesson Plan:

No Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu 1. Pembukaan dan mencairkan suasana

a. Awali sessi ini dengan ‘salam pembuka’. b. Lanjutkan dengan memberikan pengantar

singkat ‘proses’ yang akan dilalui pada sesi ini:

Menyaksikan tayangan Film (Jangan di-

informasikan judul film yang akan diputar). Beri penjelasan singkat untuk menarik minat dan sikap positif peserta. Misalnya: Film ini dibuat khusus untuk Anda. Penting bagi hidup dan kehidupan kita sekarang dan seterusnya!

Tercipta suasana riang dan peserta mengetahui tahapan dan kegiatan yang akan dilakukan pada sesi ini. Peserta penasaran terhadap film yang akan diputar.

3’

2 Penayangan Film : Pastikan perangkat untuk penayangan film

dalam kondisi siap. Ciptakan suasana yang kondusif agar peserta

dapat menyaksikan dengan seksama tayangan film “ Bencana Buatan Manusia”

Peserta menyaksikan tayangan berbagai kondisi kerusakan alam dan akibat-akibatnya.

7’

 

PANDUAN

P a g e  | 6 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

3 Pencarian makna (Debriefing) Minta beberapa peserta secara bergantian mengungkapkan ‘satu kalimat pendek’ yang mewakili atau merefleksikan ‘apa yang Ia rasakan atau pikirkan’ setelah menyaksikan film tadi. Catat setiap ungkapan dimaksud pada kertas flipchart.

Fungsi Peran, kita Sebagai Tanggung Jawab Kita Sebagai

Manusia

Realitas Yang Ada

Mengapa Hal itu Terjadi

Terekam beberapa ungkapan pendek dari peserta yang merefleksikan perasaan atau emosionalitas peserta: keprihatinan, kegeraman, dll, setelah menyaksikan film dimaksud. Misalnya: ‘Kiamat sudah di depan mata’ ‘Manusia memang ganas’ ‘Alam telah dihancurkan’, dll.

5’

4 Kelompok Dengung (Buzz Group) Bagi peserta menjadi kelompok-kelompok

dengung (Maksimal 5 orang per kelompok). Minta setiap kelompok dengung melakukan

‘curah rasa’ tentang Fungsi, Peran dan Tanggung-jawab kita sebagai manusia terhadap alam dan realitas yang ada

Minta setiap kelompok menuliskan hasil ‘curah rasa’ itu sesuai tabel:

Terekam pokok-pokok pikiran dan aspirasi peserta terkait topik perbincangan.

20’

5 Membangun komitmen: Jelaskan bahwa pada tahap ini, kegiatan

yang akan dilakukan bersifat individual Bagikan flip-chart Lembar Perenungan ke-

pada setiap peserta Lembar Perenungan Nama : Lokasi Tugas :

Kondisi Alam di sekitar aku hidup

Tindakan yang menyebabkan kerusakan tersebut

Apa yang harus aku lakukan

Bagai-mana aku harus melakukan

Diperoleh informasi tentang: Kondisi kerusakan alam

yang terjadi di lokasi tugas setiap Fasilitator

Kegiatan, tindakan serta pelaku yang menyebabkan kerusakan alam dimaksud

Rencana yang dipikirkan oleh setiap Fasilitator untuk memberikan sumbangsih guna mencegah atau memulihkan kondisi alam dimaksud

Langkah dan tindakan yang akan dilakukan oleh setiap Fasilitator terkait rencananya

20’

P a g e  | 7 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Tegaskan kepada peserta bahwa apa yang dituliskan harus berdasar pada kondisi yang senyatanya, bukan yang Ia pikirkan/bayang-kan.

Minta setiap peserta mengerjakan tugas dimaksud, beri keleluasaan kepada peserta untuk mengerjakan tugas itu di luar kelas (out door)

6 Lanjutan membangun komitmen Fasilitasi: Setiap peserta duduk berdampingan sehing-

ga membentuk formasi lingkaran. Minta setiap peserta menukarkan hasil

perenungannya dengan teman disebelah kanannya.

Beri waktu secukupnya untuk membaca hasil perenungan temannya dimaksud.

Ulangi langkah di atas, kepada teman duduk di sebelah kanannya.

Terungkap komitmen setiap peserta untuk betindak mencegah kerusakan dan atau melestarikan alam

20’

7 Closing Statement Tanyakan kepada peserta ‘Apa ungkapan

yang tepat sebagai judul Lembar Perenun-gan itu?

Fasilitasi agar peserta menyepakati satu ungkapan judul

Minta peserta menuliskan ungkapan judul yang telah disepakati pada flip-chart lembar perenungan masing-masing

Minta peserta menempelkan flip-chart lem-bar perenungannya di dinding kelas atau di suatu tempat yang dirasa tepat.

Disepakati ungkapan judul perenungan sebagai ekspresi komitmen peserta paska pelatihan. Misalnya: ‘Inilah sumbangsihku.. ‘Tekadku.. Tindakkanku’ Dll

10’

8 Tutup sesi ini dengan Mengingatkan bahwa ungkapan itu adalah

komitmen peserta untuk bertindak mencegah kerusakan dan atau melestarikan alam dalam pelaksanaan tugas mereka sebagai fasilitator.

Berikan ungkapan apresiatif kepada peserta. Misalnya: - ‘Kalau bukan Anda, siapa lagi yang

akan melestarikan alam?’ - ‘Tindakan Anda akan menghindarkan

manusia dari bencana’ - Dll

Sarikan prinsif hasil perenungan peserta menjadi sebuah semboyan bersama.

Akhiri sesi ini dengan bersama-sama mene-riakkan semboyan tersebut.

5’

P a g e  | 8 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Bahan Bacaan

Modul 1.

PENYADARAN FASILITATOR SEBAGAI AGEN PELESTARI

LINGKUNGAN

P a g e  | 9 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Nasionalisme Lingkungan Ramayana sebuah epos (kisah kepahlawanan) dari India yang begitu populer di Indonesia, mengisahkan perang besar antara Rama (pewaris tahta kerajaan Ayodya) dengan Rahwana, maha raja Alengka. Rama yang dibantu oleh ribuan pasukan monyet (kera) pimpinan Hanoman menyerbu Alengka untuk mengambil kembali Sinta (istri Rama) yang diculik oleh Rahwana. Dalam perang ini Rama mewakili pihak kebenaran, sedangkan Rahwana adalah simbol keangkaramurkaan. Pada awalnya perang ini berjalan berimbang, namun setelah Prahasta (panglima perang Alengka) gugur, prajurit Alengka mulai terdesak. Saat itu, Rahwana yang sebelumnya sangat tegar dan begitu yakin akan menuai kemenangan mulai kalut. Dia kemudian membujuk adiknya Kumbakarna, yang sedang bertapa, agar bersedia menjadi panglima perang menggantikan Prahasta. Menyadari bahwa Rahwana di pihak yang salah, Kumbakarna menolak permintaan kakaknya. Berbeda dengan Rahwana yang keras kepala, kejam dan selalu mengumbar nafsu angkara, Kumbakarna adalah raksasa berhati brahmana, berjiwa anoraga (rendah-hati), berbudi halus dan welas asih. Alkisah, perang terus berkecamuk, kekuatan pasukan Alengka terus melemah, dan pasukan monyet-pun mulai sorak-sorai kegirangan. Tempik sorak pasukan monyet tak urung membangunkan Kumbakarna dari pertapaannya. Dan .. alangkah terkejut hati Kumbakarna menyaksikan negerinya yang berantakan oleh perang yang tidak seimbang. Perasaan Kumbakarna luluh-lantak, hatinya geram, darahnya mendidih melihat negerinya menjadi puing-puing. Benteng Alengka roboh, hutan dan seluruh negeri hangus terbakar, bendungan Alengka bobol. Negeri Alengka-pun menjadi gelap gulita, berselimut asap dan hancur diterpa bencana air bah. Melihat kehancuran lingkungan yang begitu mengerikan, Kumbakarna kemudian menghadap Rahwana dan menyatakan sanggup menjadi panglima perang Alengka dan siap mengusir pasukan monyet perusak negeri. Rahwana begitu suka cita melihat perubahan sikap adiknya, dan Kumbakarna-pun segera berujar ihwal perubahan sikapnya. “Wahai kanda Prabu, ketahuilah kepergianku ke medan laga ini bukan sebuah dukungan terhadap keangkara-murkaanmu. Melainkan karena kecintaanku pada negeri Alengka yang saat ini sedang dijarah oleh musuh. Sebagai putra Alengka, aku berkewajiban melindungi kelestarian lingkungan negeriku. Aku sungguh tidak rela bumi Alengka hancur oleh siapapun dan oleh alasan apapun’. Kumbakarna akhirnya gugur di medan perang, jasatnya diusung oleh para bidadari, dan arwahnya memasuki nirwana keabadian. Kumbakarna telah mati syahid”.

*** Epos lain dari India yang juga telah mengakar di Indonesia, yaitu Mahabarata, diantaranya mengisahkan keluhuran budi Bisma dan kecintaanya terhadap negeri Hastina.

BAHAN BACAAN

P a g e  | 10 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Bisma adalah anak tunggal Prabu Sentanu (Raja Hastina) dengan Dewi Gangga. Setelah Gangga meninggal, Prabu Sentanu berniat menikahi Durgandini (seorang janda dari Negeri Wirata). Durgandini menerima lamaran Sentanu, apabila anak hasil perkawinannya kelak akan menjadi raja Hastina. Karena kecintaan Bisma kepada ayahnya, Bisma dengan tulus melepaskan haknya sebagai putra mahkota Hastina, dan ia-pun bersumpah selama hidupnya tidak akan menyentuh tahta Hastina. Tragisnya kedua anak hasil perkawinan Sentanu dengan Durgandini mati muda, tahta Hastina kemudian kosong, sedangkan Bisma-pun tidak bersedia mencabut sumpahnya. Memperhatikan keteguhan hati Bisam, Durgandini kemudian memutuskan memanggil Abiyasa, anaknya dari suami terdahulu (Begawan Palasara), untuk menduduki tahta Hastina. Abiyasa inilah yang kemudian menurunkan Pandawa (ksatria berjumlah 5 orang) dan Kurawa (ksatria berjumlah 100 orang ). Waktu terus berlalu, kekuasaan negeri Hastina setelah surutnya Abiyasa dan anaknya (Prabu Pandu) jatuh ke tangan Kurawa, yaitu Duryudana dan adik-adiknya. Berbeda dengan Pandawa yang berbudi luhur, Kurawa sangat licik dan serakah. Duryudana begitu gila kekuasaan dan tidak ingin menyerahkan sebagian wilayah Hastina yang merupakan hak waris Pandawa. Perebutan kekuasaan inilah yang menimbulkan perang Baratayuda. Untuk menjaga kelestarian lingkungan negeri Hastina, lokus perang saudara (Pandawa-Kurawa) disepakati berada di Padang Kurusetra, sebuah padang luas di wilayah perbatasan Hastina. Bisma yang saat itu sudah uzur memilih bertapa dan tidak ingin ikut campur dalam perang Baratayuda. Alkisah, begitu genderang perang bertalu, tiga ksatria pembela Pandawa dari Wirata, yaitu Seta, Utara dan Wratsangka bersama bala tentaranya langsung menginvasi negeri Hastina. Tindakan ini jelas menyalahi aturan perang. Amukan prajurit Wirata yang membabi-buta tak urung menimbulkan kerusakan lingkungan negeri Hastina. Menyimak kerusakan yang terjadi, Bisma yang sudah gaek langsung memegang senjata untuk menahan amukan Seta. Alhasil, Bisma berhasil menghalau Seta dan wadya-balanya keluar dari negeri Hastina. Kerusakan lingkungan negeri Hastina dapat dicegah dan ketiga ksatria Wirata tersebut gugur di tangan Bisma. Kematian putra Wirata tersebut akhirnya menjadi martir kemarahan sekutu Pandawa, dan akhirnya Bisma-pun gugur oleh terjangan panah prajurit wanita bernama Srikandi. Sesaat sebelum Bisma mangkat, di tengah Padang Kurusetra, Bisma yang sudah renta dan bermandikan darah itu dikerumuni oleh seluruh Pandawa dan Kurawa. Bisma-pun berujar bahwa dia telah mencapai jalan kematian yang paling sempurna, yaitu mati demi mempertahankan kelestarian alam negeri yang dicintai. Bisma-pun mati syahid.

*** Kelestarian alam sebuah negeri merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Sejarah mencatat, punahnya negara Mesopotamia, Maya dan Astek oleh bencana lingkungan buatan manusia. Negara akan rapuh dan masa depannya suram bila alam dan lingkungannya menuju kehancuran. Ketahanan nasional sebuah negeri melemah seiring dengan kehancuran sumberdayanya. Mindset ini begitu terpatri di dada Kumbakarna dan Bisma, sehingga mereka rela mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya, bahkan pada saat negerinya berada dalam posisi yang salah dan tidak patut dibela. Bagi Kumbakarna dan Bisma, keselamatan lingkungan negerinya adalah berada di atas segala kepentingan, baginya right or wrong is my country! Alam Indonesia kini sedang menuju kehancuran, bencana demi bencana secara menerus mendera, bahkan ketika di berbagai wilayah masih dilanda banjir dan tanah longsor, bencana lain, yaitu kebakaran hutan dan lahan sudah menyusul. Sungguh ironis, negara pemilik kekayaan alam luar biasa yang seharusnya dapat mensejahterakan rakyatnya, justru seakan menjadi kutukan yang menyengsarakan. Rakyat Indonesia tidak menjadi kaya dengan menebang hutan, mengeksploitasi bahan tambang, melainkan justru miskin dan semakin tergantung terhadap eksploitasi sumberdaya alam.

P a g e  | 11 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Di lain pihak mega-degradasi lingkungan tidak terbendung yang membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Walau hutan tropis Indonesia kini sudah hampir habis, alih-alih laju dehutanisasi (deforestation) terkendali, justru malah meroket hingga 3,6 juta ha per tahun. Majalah New York Times (26 Desember 2005) menyebut operasi tambang PT Freeport di Papua sejak tahun 1967 telah memproduksi limbah sebesar 6 miliar ton, yang notabene lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan seluruh hasil galian dalam pembangunan Terusan Panama. Perusakan lingkungan negeri bukan hanya mengeroposkan ketahanan nasional tetapi juga telah merusak citra dan identitas bangsa. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa berwibawa, kini banyak diremehkan bangsa lain karena ketidakmampuannya mengelola lingkungan. Perilaku penuh percaya diri Malaysia dalam kasus Ambalat, Sipadan dan Ligitan merefleksikan penilaian negara itu terhadap Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Australia akhir-akhir ini. Ironisnya, sebagai bangsa yang lahir dari proses perjuangan yang merebut kemerdekaanya dari cengkeraman penjajah, secara rasional, kultural, dan emosional belum muncul sikap, semangat dan etos kerja untuk bangkit memperbaiki keadaan. Para ksatria bangsa justru masih terus asyik berbeda pendapat, tidak saling percaya dan saling menyalahkan. Lalu sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Mengapa kita tidak segera bangkit bersama menghadapi keterpurukan ini? Dimanakah Kumbakarna dan Bisma negeri ini? Sungguh kontras dengan karakter Kumbakarna dan Bisma yang tidak merelakan tanah airnya dirusak barang secuilpun oleh siapapun dan oleh alasan apapun. Manusia Indonesia kini justru asyik menghancurkan lingkungan negerinya, seakan sumberdaya alam yang ada hanya diciptakan untuk dirinya dan hanya untuk saat ini saja. Berbagai kegiatan illegal terjadi dimana-mana, tetapi tidak ada satupun kekuatan di negeri ini yang bisa menghentikannya. Bahkan semakin banyak oknum pejabat, politisi, penegak hukum yang seharusnya menjadi panglima perang keselamatan lingkungan, justru berbalik mendukung aksi penjarahan. Kita juga termasuk bangsa yang masih sulit belajar. Di tengah rusaknya alam Kalimantan, pemerintah masih saja berkeinginan membuat mega-proyek dengan risiko kerusakan lingkungan skala luas. Rencana pembukaan kebun kelapa sawit seluas 2 juta ha di wilayah perbatasan Kalimantan, jelas akan berdampak terhadap hancurnya hutan alam yang menjadi benteng terakhir flora-fauna Kalimantan.

P a g e  | 12 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Kemurahan Alam dan Ketamakan Manusia

Hiduplah seorang anak laki – laki dan pohon kesayangannya Setiap hari dia selalu bermain dengan pohonnya Memanjat Berayun Berteduh dibawahnya Mengambil buah-buahan dan memakannya Antara anak laki2 dan pohonnya saling menyayangi dan mereka bahagia Suatu saat anak tersebut semakin dewasa dan menjadi pemuda Dia bertemu dengan pasangannya Sampai lah suatu saat sang pohon dalam waktu lama tidak pernah bertemu pemuda tersebut,

tapi sang pohon tersebut tetap berbahagia dan merindukan anak laki-laki itu. Suatu ketika datanglah pemuda tersebut untuk bertemu sang pohon yang sedang berbuah Pemuda itu berkata : “ wahai pohon aku sekarang telah berkeluarga, aku mempunyai istri dan

anak, dan aku membutuhkan biaya untuk kehidupanku, maka ijinkanlah aku mengambil buah-buahmu untuk memenuhi keperluanku”. Jawab pohon.” ambillah sepuasmu, dan penuhilah segala kebutuhan keluargamu”.

Maka bergegaslah sang pemuda untuk mengambil semua buah yang dihasilkan pohon tersebut tanpa tersisa.

Tak lama kemudian habislah semua buah milik sang pohon, dan bergegaslah sang pemuda meninggalkan sang pohon dengan membawa buah-buahan demi memenuhi kebutuhan keluarganya, dan sang pohon tetap berbahagia dan menyayangi pemuda tersebut.

Demikian sampai sekian lama sang pohon dengan kesendiriannya, namun dia tetap men-yayangi pemuda tersebut dan sang pohon selalu berbahagia.

Sampai suatu saat pemuda tadi datang (dalam kondisi yang sudah menjadi bapak-bapak), dan berkata kepada pohon tersebut” wahai pohon aku memerlukan rumah untuk berteduh keluargaku, maka ijinkan aku untuk mengambil dahan dan cabangmu untuk kujadikan sebuah rumah. Jawab pohon ‘ambilah semua dahan dan cabangku sampai engkau bisa membuat sebuah rumah’

Maka bergegaslah bapak tersebut menebas dahan dan cabang, dan setelah itu dia pergi meninggalkan pohon sambil membawa semua dahan dan cabang yang telah dipotongnya.

Dan tinggallah pohon itu dengan kesendiriannya dia tetap berbahagia dan menyanyangi laki-laki tersebut walaupun dirinya sudah tinggal batang saja.

Demikian sampai waktu yang lama pohon tersebut tidak pernah bertemu laki-laki tersebut, namun dia tetap berbahagia dan menyayanginya.

Sampai suatu ketika datanglah anak laki-laki tersebut yang sudah hampir menjadi kakek-kakek kepada sang pohon dan berkata “ wahai pohon aku sudah mulai tua, banyak hal yang sudah aku lakukan dan sekarang aku ingin berkeliling untuk melihat negeri-negeri lain, tetapi aku memerlukan perahu untuk itu, bolehkah aku ambil batangmu untuk kujadikan perahu”. Jawab sang pohon’, ambilah batangku, sehingga kamu bisa mendapatkan perahu darinya’

BAHAN BACAAN

P a g e  | 13 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Maka segeralah sang laki-laki tadi menebang batang sang pohon , dan secepatnya pergi meninggalkan sang pohon yang sekarang hanya tersisa tunggulnya saja.

Waktupun berlalu, dan pohon sudah lama tidak pernah bertemu dengan lai-laki tadi, namun pohon tersebut tetap berbahagia dan menyayanginya.

Sampai suatu ketika datanglah seorang kakek yang tua renta dan berjalan sambil terbungkuk-bungkuk menghampiri sang pohon, dia berkata,”Aku sudah tua, sudah berke-liling kemana-mana, dan sekarang aku ingin istirahat. Jawab sang pohon,” Duduklah di tunggulku dan beristirahatlah”. Maka duduklah sang kakek tua itu di pohon yang saat ini tinggal tunggulnya, dan pohon tetap berbahagia dan menyayanginya.

(Sumber: The Giving Tree, By Shel Silverstein) \ Hikmah cerita: Bahwa alam selalu dengan ihlas dan tulus memberikan apa yang dimilikinya kepada manusia yang membutuhkannya. Alam bisa disedot dikuras habis sumberdayanya sampai pada batas maksimal. Dan sudah seharusnya manusia memberikan imbal balik kepada alam agar sesuatu yang dimilikinya tidak musnah, agar kita suatu saat bisa memberikan warisan kepada generasi mendatang berupa alam yang masih bisa dimanfaatkan keberadaannya.

P a g e  | 14 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Panduan Proses

Modul 2.

PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAERAH TANGKAPAN AIR

(P-DTA)

P a g e  | 15 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

PERENCANAAN PERLINDUNGAN DTA

PARTISIPATIF Tujuan : Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu:1. Menjelaskan pengertian DAS dan DTA 2. Menjelaskan prosedur pemetaan DTA dan lahan kritis 3. Mengumpulkan informasi sebagai dasar perencanaan P-DTA dalam IMAS 4. Memahami prosedur integrasi perencanaan P-DTA dalam PJM-ProAksi 5. Melakukan perencanaan P-DTA

Materi : Modul Perencanaan Perlindungan DTA Partisipatif Waktu : 3 JPL )@ 45’, 135’) Perlengkapan : In-focus, pidol, GPS, white board Media/Alat Bantu : Presentasi Power Point Skenario Pembelajaran/Lesson Plan:

Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu (menit)

1. Pembukaan: • Menjelaskan tujuan dan urutan materi

yang akan didiskusikan

• Peserta dan pelatih saling

mengenal sehingga kedepan dapat melakukan konsultasi hal-hal terkait perencanaan P-DTA jika masih memerlukan penjelasan lebih lanjut

• Peserta memahami alur materi pelatihan

5’

2. Alur Perencanaan P-DTA: • Menjelaskan alur perencanaan P-DTA

dalam Pamsimas

• Peserta memahami alur

perencanaan P-DTA

2’

3 Penayangan Film DAS: ‘Satu DAS Satu Pengelolaan’: • Memberikan pengantar pentingnya film

ini untuk membantu pemahaman tentang pengertian DAS.

• Penayangan Film

• Peserta dapat memahami

pengertian DAS

15’

 

PANDUAN

P a g e  | 16 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

4. Pengertian DAS dan DTA: • Menjelaskan bahwa air hujan yang

jatuh di permukaan bumi, peresapan dan pengalirannya dikontrol oleh cekungan-cekungan permukaan bumi yang dikenal dengan istilah DAS (catchment area)

• DAS dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu DAS hulu dan DAS hilir, masing-masing memiliki ciri fisik yang berbeda. DAS hulu merupakan daerah resapan air.

• Memperhatikan pengambilan air dalam Pamsimas dilakukan dalam skala kecil dan setempat, maka focus perhatian kita bukanlah DAS, melainkan unit-unit cekungan kecil dalam suatu DAS yang disebut sebagai Daerah Tangkapan Air atau DTA.

• Pentingnya kegiatan Perlindungan DTA (P-DTA) untuk perlindungan sumber air

• Peserta mampu men-

jelaskan pengertian DAS sebagai cekungan peresapan dan pengaliran air

• Peserta mampu menje-laskan ciri-ciri DAS hulu dan hilir

• Peserta mampu menje-laskan pengertian DTA dan pentingnya batas DTA sebagai unit terkecil perlindungan sumber air.

15’

5. Pemetaan Batas DTA: • Menjelaskan tahapan pembuatan batas

sketsa DTA secara visual dan penempelan sketsa tersebut dalam peta desa.

• Mendiskusikan pentingnya pemahaman batas DTA terhadap batas desa. Kepentingannya: (a) Untuk mengetahui batas administratif desa terhadap DTA sebagai dasar untuk memahami asal sumber air yang mengalir di desanya; (b) Mengetahui bencana banjir yang mungkin terjadi akibat kerusakan DTA di wilayah hulu; (c) Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan alam di desa mereka terhadap desa di wilayah hilir.

• Menjelaskan metode pembatasan dengan peta topografi dan GIS.

• Peserta mampu menje-

laskan cara melakukan pembatasan sketsa DTA dan manfaat pembatasan DTA tersebut

• Peserta memahami metode pembatasan DTA dengan menggunakan peta topografi dan GIS

15’

6. Pemetaan lahan kritis sasaran P-DTA: • Menjelaskan indikator lahan kritis • Metode pengukuran parameter biofisik

lahan kritis, yaitu penutupan vegetasi, kerapatan erosi jurang,kelerengan dan kedalaman tanah.

• Pelatih menjelaskan cara pemetaan lahan kritis dengan GPS.

• Peserta mampu men-

jelaskan metode pemetaan lahan kritis

15’

P a g e  | 17 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

7. Pengumpulan data dan Informasi dasar perencanaan P-DTA dalam IMAS: • Menjelaskan data dan informasi yang

dikumpulkan dalam proses IMAS dan relevansinya bagi perencanaan P-DTA.

• Menjelaskan daftar pertanyaan kunci dalam proses pengumpulan data dan informasi IMAS.

• Peserta mampu men-

gumpulkan data dan informasi Perencanaan P-DTA yang perlu di-kumpulkan dalam IMAS

10’

8. Mengapa perlu melakukan Perencanaan P-DTA: Pelatih menyebutkan 3 kunci penting yang menjamin keberhasilan P-DTA: (a) Kualitas bibit yang baik; (b) Penanaman yang tepat waktu; (c) Pemeliharaan yang intensif. Untuk itu diperlukan perencanaan Pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.

• Peserta memahami perlunya

perencanaan partisipatid P-DTA.

2’

9. Sasaran Perlindungan P-DTA: • Menjelaskan lokasi dan status kepe-

milikan /penguasaan lahan sasaran Perlindungan P-DTA

• Menjelaskan upaya yang perlu di-

lakukan untuk melestarikan kondisi lingkungan DTA apabila DTA di wilayah tersebut masih baik (tidak ditemukan lahan kritis) .

• Peserta memahami lokasi

sasaran P-DTA dan apabila tidak ditemukan lahan kritis, masih diperlukan upaya untuk mempertahankan kondisi saat ini melalui pembuatan Perdes Perlindungan SDA.

5’

10. Perencanaan Pembibitan: • Pelatih menjelaskan jenis kegiatan

dalam rangka perencanaan pembibitan, meliputi : (a) penentuan lokasi pembibitan; (b) jenis bibit; (c) jumlah bibit, penyusunan RAB pembibitan

• Pelatih memberikan contoh perhitungan kebutuhan bibit berdasarkan: (a) kondisi penutupan lahan sasaran Perlindungan; (b) jarak tanam yang disepekati; (c) kondisi dan luas lahan.

• Pelatih memberi contoh penyusunan RAB pembibitan

• Peserta memahami cara

menentukan jenis, me-rencanakan kebutuhan bibit dan penyusunan anggaran pembibitan

15’

P a g e  | 18 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

11. Perencanaan Penanaman: • Pelatih menjelaskan komponen

perencanaan penanaman, meliputi : (a) komponen pekerjaan penanaman; (b) cara penanaman, dan (c) kebutuhan biaya dan bahan/alat

• Pelatih memberi contoh penyusunan RAB penanaman

• Peserta memahami kom-

ponen pekerjaan pena-naman dan penyusunan RAB penanaman

30’

12. Perencanaan Pemeliharaan: • Pelatih menjelaskan tahap kegiatan

pemeliharaan : (a) Pemeliharaan tahun berjalan; (b) pemeliaharaan tahun I; (c) pemeliharaan tahun II

• Pelatih menjelaskan komponen kegiatan pemeliharaan : penyulaman, pemupukan, penyiangan, pendangiran, dan penanggulangan hama dan penyakit

• Pelatih memberi contoh penyusunan RAB pemeliharaan

• Peserta memahami kom-

ponen pekerjaan pena-naman dan penyusunan RAB penanaman

15’

13. Penutup: Pelatih menggaris bawahi pemahaman penting yang perlu dicamkan dalam modul ini: (a) membuat sketsa DTA; (b) memetaan lahan kritis dan (c) perencanaan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.

• Peserta memahami tahapan

penting dalam perencanaan P-DTA

5’

Total Waktu 135’

P a g e  | 19 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Bahan Bacaan

Modul 2.

PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAERAH TANGKAPAN AIR

(P-DTA)

P a g e  | 20 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

DAS dan DTA: Unit Perencanaan Pembangunan Berwawasan Lingkungan

A. Pendahuluan Terminologi (istilah) Daerah Aliran Sungai (DAS) mulai populer di Indonesia sejak tahun 70-an, khususnya setelah Lokakarya Nasional Pengelolaan DAS pertama yang berlangsung di Bogor pada tahun 1978. Walaupun istilah ini telah begitu populer dan banyak dipakai oleh media, namun hingga kini, pengertian DAS secara tepat masih belum banyak difahami oleh masyarakat, khususnya mereka yang tidak bekerja atau pernah bersinggungan dalam kegiatan Perlindungan DAS. Dalam keseharian, awam menggunakan istilah DAS sebagai pengganti kata sungai atau sempadan sungai (kiri kanan sungai). Kesalah-fahaman ini telah menjadi salah-kaprah (common mistake) yang mengaburkan prinsip penting dari konsep DAS. Kesalah-fahaman ini nampaknya disebabkan oleh ketidak tepatan penterjemahan terminologi DAS yang diambil dari pustaka berbahasa Inggris. DAS sering disebut dengan menggunakan empat terminologi: catchment area (daerah tangkapan air), watershed area (gudang air), drainage basin (cekungan pengaliran) dan river basin (lembah sungai). Keempat terminologi tersebut kemudian diterjemahkan menjadi ‘daerah aliran sungai’ yang disingkat dengan ‘DAS’, Mungkin padanan istilah yang lebih mudah difahami adalah daerah tangkapan air atau cekungan tangkapan air. Pemilihan padanan istilah yang tepat akan membantu pemahaman konsep secara lebih baik. Istilah DAS, bagaimanapun, telah lama digunakan masyarakat luas bahkan telah diadopsi kedalam Undang-Undang Sumberdaya Air (UU No 7//2004, sebagai pengganti UU No. 11/1974), sehingga yang mendesak untuk dilakukan bukanlah mengganti istilah namun lebih kepada pelurusan makna istilah. B. DAS: Cekungan Peresapan dan Pengaliran Air Dilihat dari udara, permukaan bumi terdiri atas cekungan-cekungan (basin) yang mengatur (mengontrol) arah aliran curah hujan yang jatuh ke tanah sesuai dengan gaya gravitasi bumi. Aliran curah hujan yang jatuh di permukaan bumi yang tidak sempat meresap ke dalam tanah dan mengalir menuju saluran drainase (baik alami maupun buatan) disebut sebagai aliran permukaan (surface run-off/overland flow). Aliran permukaan mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah mengikuti bentuk cekungan permukaan bumi. Sebagian aliran permukaan, dalam perjalanannya, akan meresap ke dalam tanah pada saat sifat fisik tanah, kelerengan dan kondisi penutupannya kondusif untuk terjadinya peresapan air (infiltration). Sebagian akan terus mengalir menuju kaki-kaki bukit, lembah-lembah cekungan, mengumpul membentuk alur-alur pengaliran yang kemudian berkembang menjadi sungai-sungai kecil. Kumpulan aliran air yang berasal dari alur dan sungai-sungai kecil berkembang menjadi sungai yang lebih besar dan seterusnya, hingga akhirnya bermuara ke laut, danau atau penampungan alami/buatan lainnya.

BAHAN BACAAN

P a g e  | 21 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

DAS dapat diibaratkan seperti mangkuk/piring yang dimiringkan. Kecepatan aliran air di permukaan piring ditentukan oleh kondisi permukaan piring. Kalau permukaan piring diberi sepon/busa (sponge), maka aliran air akan banyak meresap ke busa, sehingga tidak cepat mengalir ke luar piring, sebaliknya apabila permukaan piring halus, air akan cepat mengalir dan tidak sempat meresap.

Gambar 2.1. Cekungan DAS sebagai unit hidrologi

Sifat cekungan adalah menangkap, meresapkan dan mengalirkan curah hujan (catchment area). Kondisi dan karakteristik cekungan mempengaruhi besarnya proporsi curah hujan yang mampu meresap maupun yang mengalir sebagai aliran permukaan menuju ke laut. Cekungan yang memiliki penutupan vegetasi yang baik dan memiliki kondisi tanah dan batuan yang kondusif terjadinya peresapan air akan mampu berperan sebagai gudang air (watershed area) yang mampu menangkap curah hujan dalam jumlah besar. Sebaliknya cekungan yang telah rusak, penutupan lahannya didominasi oleh pemukiman dan perkotaan (built-up area) atau didominasi oleh kelerengan terjal dan batuan kedap air lebih berperan sebagai wilayah pengaliran (drainage area) daripada peresapan air (recharge area).

Gambar 2.2. Cekungan permukaan bumi diibaratkan sebagai mangkuk air

P a g e  | 22 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Konsep cekungan sebagaimana diuraikan di atas, sebagaimana telah disampaikan, disebut sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS), yang sering didefinisikan: ‘Daerah yang dibatasi oleh batas topografi (punggung-punggung bukit) dimana air hujan yang jatuh di permukaan bumi mengalir ke sungai-sungai kecil, kemudian ke sungai utama menuju ke laut’ Undang-Undang Sumberdaya Air (No. 7/2004) mendefinisikan sebagai berikut: ’Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan’.

Gambar 2.3. Perbandingan luas DAS (ribu km2) beberapa sungai besar di Sumatera,

Kalimantan dan Jawa. Luas DAS bervariasi, sesuai dengan panjang sungai utama, semakin panjang sungai semakin luas DAS. Semakin besar ukuran pulau, semakin luas ukuran DAS. Gambar 2.3. menunjukkan bahwa DAS di Pulau Jawa, karena luas daratan, memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan Sumatera dan Kalimantan. Semakin panjang dan luas DAS, semakin besar peluang pemanfaatan sumberdaya airnya. Jarak yang relatif pendek antara hulu dan hilir pada sungai-sungai di Pulau Jawa dan pulau kecil lainnya, membuat kesempatan pemanfaatannya lebih kecil, di lain pihak semakin sulit upaya pengendalian banjir yang ditimbulkan. DAS biasa dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Karakteristik biogeofisik, daerah DAS hulu: (a) topografi terjal, berbukit dan bergunung; (b) memiliki kerapatan drainase tinggi; (c) bukan merupakan daerah banjir; (d) sungai lurus dan kecepatan alirannya tinggi; (e) biasanya didominasi oleh penutupan vegetasi alami (hutan). Karakteristik biogeofisik DAS Hilir: (a) topografi landai; (b) kerapatan drainase rendah; (c) merupakan daerah banjir; (d) sungai berkelok-kelok (meandering); (e) pengaturan air diatur oleh saluran irigasi; (f) biasanya didominasi oleh sawah dan perkotaan.

P a g e  | 23 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Gambar 2.4. DAS membatasi aliran permukaan, aliran bawah permukaan dikontrol oleh struktur dan formasi geologi.

Karakteristik DAS bagian tengah merupakan wilayah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik tersebut. Duantara ketiga pewilayahan DAS, DAS hulu merupakan bagian terpenting dari sisi konservasi sumberdaya alam, karena mempunyai fungsi perlindungan, baik dari segi tata air maupun tata tanah terhadap keseluruhan bagian DAS. DAS hulu seringkali menjadi fokus peren-canaan konservasi dan Perlindungan DAS. DAS hanya mengontrol aliran permukaan (surface run-off), DAS tidak mengontrol aliran di bawah permukaan (sub-surfasce flow/inter-flow), maupun aliran air tanah (groundwater flow). Kedua aliran tersebut dikontrol oleh struktur dan formasi geologi (Gambar 2.4). Undang-Undang Sumberdaya Air menyebutkan dua komponen utama sumberdaya air, pertama adalah air permukaan (surface water) dan kedua adalah air tanah (groundwater). Pengelolaan air permukaan dilakukan berdasarkan konsep Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang didefinisikan sebagai: Kesatuan sumberdaya air yang dapat merupakan satu atau lebih daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2000 km2. Air permukaan adalah semua air yang terdapat di atas permukaan tanah, yaitu air yang berada pada sistem irigasi, dalam sistem drainase, air waduk, danau, kolam, rawa termasuk air hujan dan air laut yang berada di darat.

Gambar 2.5. Batas DAS dan Cekungan Air Tanah

P a g e  | 24 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Pengelolaan air tanah dilakukan berdasarkan Cekungan Air Tanah (CAT) yang didefinisikan sebagai: ’Wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan (recharge), pengaliran dan pelepasan (discharge) air tanah berlangsung’. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah (UU No. 7/2004), merupakan sumberdaya yang terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta sulit dipulihkan. C. DAS: Sebagai Ekosistem dan Unit Pengelolaan Sumberdaya Alam Curah hujan di Indonesia didominasi oleh tipe curah hujan konvektif yang memiliki dua sifat utama, yaitu: memiliki intensitas tinggi dan terjadi dalam waktu yang pendek. Curah hujan diukur dengan satuan mm, yaitu akumulasi ketebalan air yang tertampung pada alat penakar hujan. Intensitas hujan didefiniskan sebagai akumulasi ketebalan hujan (mm) per satuan waktu (menit, jam, hari, bulan). Rata-rata curah hujan di Indonesia berkisar antara 2,500 – 3,000 mm per tahun. Hujan bulanan di musim hujan berkisar antara 300 – 400 mm. Sedangkan hujan harian bisa mencapai 100 mm, artinya sepertiga atau seperempat hujan bulanan bisa turun hanya dalam tempo satu hari, bahkan mungkin hanya terjadi selama beberapa jam. Hal ini menunjukan betapa tingginya intensitas hujan di Indonesia. Tingginya intensitas hujan memberikan implikasi penting terhadap rendahnya kapasitas cekungan (DAS) dalam meresapkan air, karena hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi secara cepat (sekitar 30 menit) menurunkan kapasitas peresapan tanah. Struktur dan pori-pori tanah yang siap untuk meresapkan air, setelah lama tidak turun hujan, segera tertutup oleh tingginya energi kinetik tetesan hujan (rain-drop) dan tertutup (cloging) oleh butiran-butiran tanah yang mengalir cepat begitu hujan turun. Lapisan keras di permukaan tanah yang terbentuk oleh tetesan dan aliran permukaan (sealing) mengurangi kapasitas peresapan tanah, sehingga aliran permukaan segera akan timbul setelah turunnya hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi. Rendahnya kapasitas peresapan cekungan, membuat hanya sekitar 10-15% dari curah hujan yang jatuh dapat diresapkan. Artinya, walau negeri ini dikarunia oleh curah hujan yang besar tetapi hanya sekikit yang mampu diresapkan oleh DAS-DAS di Indonesia. Jumlah efektif air yang bisa diresapkan, dalam kondisi DAS yang masih baik, adalah bersesuaian dengan wilayah temperate (beriklim sedang) yang memiliki curah hujan tahunan seperempat (sekitar 700 – 800 mm per tahun) dari curah hujan Indonesia. Tetesan hujan dan aliran permukaan bersifat merusak (erosive), menghancurkan (mendispersi) butir-butir tanah dan mengalirkannya menuju kaki bukit dan lembah dan saluran-saluran air. Pengikisan tanah yang terjadi secara merata setealah turunnya hujan disebut sebagai erosi permukaan (surface erosion), hal ini yang membuat aliran sungai di Indonesia, walau berada di hulu sungai menjadi cepat keruh segera setelah hujan turun. Kondisi ini berbeda dengan kondisi sungai-sungai di wilayah temperate yang tetap jernih pada saat hujan. Rendahnya intensitas hujan, membuat proses erosi terkendali.

P a g e  | 25 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Gambar 2.6. DAS sebagai unit ekosistem, kualitas pengelolaan SDA dalam sebuah DAS menentukan kelestarian SDA baik didarat maupun dilaut (from ridge to reef).

Erosi permukaan terdiri atas erosi lembar (sheet erosion) dan alur (riil-erosion). Alur-alur yang terbentuk memotong garis kontur, pada tanah yang peka terhadap erosi seperti tanah alluvial, lithosol, regosol, andosol, podsol, hidromorphik kelabu, bisa berkembang menjadi erosi jurang (gully-erosion). Sebagian tanah yang tidak stabil, khususnya pada lereng terjal, guyuran curah hujan yang terjadi secara terus menerus sering menimbulkan tanah longsor (land-slide) dan berbagai bentuk aliran masa tanah lainnya (mass-wasting). Erosi jurang dan erosi masa sering diklasifikasikan sebagai erosi bentuk (morpho-erosion). Kontribusi erosi bentuk terbesar adalah berasal dari erupsi gunung api. Di wilayah volkanik aktif, sebagaimana di Pulau Jawa, kontribusi erosi bentuk terhadap total hasil sedimen sungai bisa lebih dominan daripada erosi permukaan. Proses erosi mengikis lapisan tanah permukaan (top-soil) yang merupakan lapisan penentu kesuburan tanah. Sehingga aliran permukaan yang tidak terkontrol akan menurunkan produktifitas tanah-tanah pertanian di bagian hulu DAS, hasil erosi menjadi sedimen terlarut (sediment load) yang dialirkan oleh sungai dan menjadi endapan (sediment) yang mendangkalkan sungai dan saluran irigasi, kondisi ini membuat wilayah hilir menjadi begitu rentan terhadap bencana banjir. Proses erosi tidak bisa dihentikan, hanya dapat dikendalikan, proses erosi merupakan proses pembentukan bentang lahan (landscape building), dalam kondisi normal, besarnya erosi sebanding dengan proses pembentukan tanah. Dengan adanya erosi, terbentuk dataran aluvial di sekitar sungai yang memiliki kesuburan tinggi dan menjadi lumbung pangan selama ribuan tahun. Sayangnya, lahan-lahan produktif yang memiliki kesuburan tinggi oleh ‘berkah’ erosi dari hulu ini di Pulau Jawa telah banyak dikonversi menjadi lahan pemukiman. Di lain fihak wilayah hulu yang dulunya berselimut kehijauan (hutan) kini banyak dibuka untuk dikonversi menjadi daerah pertanian intensif dan perkotaan. Kondisi ini memacu timbulnya erosi dipercepat (accelerated erosion)i, dampaknya terjadi percepatan peoses pendangkalan saluran-saluran irigasi dan sungai di wilayah hilir yang membuat wilayah hilir menjadi begitu rentan terhadap bahaya banjir.

P a g e  | 26 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Dalam konteks ini peranan DAS, sebagai batas alam, merupakan unit terbaik untuk melihat keterkaitan antara hulu dan hilir. Dengan menggunakan batas DAS maka dengan mudah dapat dianalisa keterkaitan (interrelationship) dan ketergantungan (interdependencies) antara wilayah hulu dan hilir, dampak yang terjadi di tempat (on-site) dan di wilayah hilir (off-site).. Karena itu DAS merupakan unit terbaik dalam pengelolaan sumberdaya alam. DAS juga dapat dipandang sebagai ekosistem, dimana didalamnya terdiri atas berbagai komponen ekosistem, yang memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Komponen utama ekosistem DAS adalah vegetasi, tanah dan air dan seluruh makluk hidup yang ada di dalamnya, termasuk satwa dan manusia. Manusia bisa menjadi perusak maupun pelestari sumberdaya alam di dalam ekosistem DAS yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik sebuah DAS. Karena DAS merupakan suatu ekosistem, maka setiap masukan ke dalam ekosistem dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang terjadi dengan melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Dalam ekosistem DAS, komponen tanah, air (input curah hujan) hampir tidak bisa dirubah oleh manusia, namun vegetasi (penutupan lahan) sepenuhnya dapat dikontrol oleh manusia, karena itu vegetasi memiliki arti penting dalam pengelolaan DAS.

Gambar 2.7. DAS Hulu sebagai daerah resapan dan DAS Hilir sebagai daerah pengaliran

D. DAS Hulu sebagai Daerah Resapan Air Keberadaan air tanah ditentukan oleh proses peresapan air yang terjadi di daerah resapan (recharge area). Daerah resapan adalah wilayah yang mampu menambah air tanah secara alamiah. Tidak semua permukaan bumi berfungsi efektif sebagai resapan air. Sebagai contoh, di DAS hilir dan tengah yang memiliki air tanah dangkal, peresapan air hujan tidak menimbulkan tekanan hidrolik yang kuat kebawah. Dalam kondisi ini air hujan yang jatuh di permukaan bumi tidak mampu meresap., melainkan menjadi genangan atau banjir. Daerah resapan memiliki muka air tanah (water-table) yang dalam. Peresapan air hujan membentuk kolom air cukup tebal dan menimbulkan tekanan hidrolik yang kuat ke bawah, sehingga air hujan yang meresap mampu menambah (mengimbuh) cadangan air tanah. Letak daerah resapan biasanya berada di DAS hulu yang merupakan daerah perbukitan dan pegunungan (Gambar 2.6). Air yang meresap di daerah resapan tersimpan dan mengalir di lapisan akifer (aquifer), yang

P a g e  | 27 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

dapat berupa formasi batuan tersepih (fractured rock), batuan porus (permeable) dan batuan yang tidak terkonsolidasi (unconsolidated rocks), sehingga selain bisa menyimpan akuifer juga dapat mengalirkan air. Formasi batuan terserpih terdiri dari batuan metamorfik, vulkanik, serta batuan sedimen (terutama batuan kapur/limestone). Batuan porus terdiri dari batuan berstruktur pasir (sandstone) serta beberapa jenis granit, sedangkan batuan tidak terkonsolidasi adalah kerikil (gravel), pasir dan debu. Disamping menambah jumlah air yang masuk kedalam tanah, daerah resapan juga berperan sebagai penyaring air tanah. Ketika aliran permukaan yang berasal dari hujan masuk ke daerah resapan terjadi proses pemisahan partikel-partikel (sedimen, bakteri dan organisme lainnya) yang terlarut didalamnya. Lapisan akifer berfungsi sebagai saringan air tanah, perjalanan air tanah yang begitu lambat memungkinkan terjadinya proses biokimia, penyerapan dan penyaringan air yang membuat air tanah selain mengandung mineral juga jernih dan (di beberapa tempat) bisa langsung diminum. Permasalahannya, sebagian besar bentang lahan (landscape) daerah resapan kini telah mengalami kerusakan. Wilayah yang dulu berpenutupan hutan alam kini telah banyak yang berubah menjadi perkotaan, pertanian lahan kering, perladangan berpindah maupun pertambangan. Memperhatikan kondisi tersebut kegiatan Perlindungan DAS hulu menjadi kunci pemulihan sumberdaya air di wilayah hulu dan hilir.

Gambar. 2.8. Konsep ordo sungai sesuai Strahler

E. Konsep Daerah Tangkapan Air (DTA)

DAS biasa diberi nama sesuai dengan nama sungai utamanya, satu sungai utama biasanya memiliki puluhan anak sungai, satu anak sungai memiliki puluhan anak-anak sungai. Setiap anak-anak sungai memiliki anak-anak sungai lagi di wilayah hulunya. Mengacu kepada orde (urutan) sungai yang ditetapkan oleh Strahler, sungai pertama yang muncul di wilayah hulu, disebut sebagai sungai orde pertama, apabila sungai ini nanti bertemu dengan sungai orde pertama juga dan mengalir menjadi satu sungai yang lebih besar, maka sungai yang lebih besar yang dihasilkan dari pertemuan kedua sungai ordo pertama tersebut disebut sungai ordo kedua. Apabila dua sungai ordo kedua bertemu dan membentuk satu sungai yang lebih besar disebut sungai orde ketiga, demikian seterusnya, semakin bsesar angka orde sungai, menunjukkan bahwa sungai tersebut semakin besar dan posisinya semakin ke hilir. Sungai dengan ordo tertentu

P a g e  | 28 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

(misal ordo 4) apabila dialiri oleh ordo yang lebih kecil (misal ordo 3), maka tidak merubah angka ordo sungainya (tetap ordo 4).

Gambar 2.9. Satu DAS terbagi kedalam banyak Sub-DAS F. Pengelolaan DAS/DTA Manusia tidak mampu mengontrol besarnya curah hujan, namun manusia memiliki kemampuan untuk memelihara dan memperbaiki karakteristik cekungan agar mampu berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan penyimpan air (watershed area), bukan semata-mata daerah pengaliran air (drainage area). Pengelolaan DAS didefinisikan sebagai berikut: Suatu proses perumusan dan implementasi kegiatan yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa dengan meminimasi dampak kerusakan sumberdaya air dan tanah. Termasuk di dalamya adalah alokasi sumberdaya alam secara bijaksana di daerah aliran sungai termasuk pengendalian erosi dan banjir serta mempertahankan keindahan sumberdaya alam. Cakupan pengeloaan DAS adalah dari hulu sungai hingga ke lautan yang masih dipengaruhi oleh dampak pengelolaan eksostimtem daratan (from ridge to reef). Memperhatikan setiap DAS memiliki karakter yang unik, maka pengelolaan DAS menuntut strategi yang bersifat tailor-made dan local specific. Berbagai upaya pengelolaan DAS, memperhatikan tingginya keterkaitan dan ketergantungan antara komponen ekosistem, harus dilakukan secara terintegrasi. Kendala utama pelaksanaan pengelolaan DAS/DTA: (a) Ketidak-sinkronan antara batas politis/administratif pembangunan dengan batas DAS. Perencanaan pembangunan desa, kabupaten dan provinsi sepenuhnya menggunakan batas administratif yang tidak mereferensi ke batas DAS; (b) Lemahnya koordinasi pembangunan antar sektor pembangunan: Kegiatan pengelolaan DAS terfragmentasi kedalam urusan berbagai kementerian yang menyulitkan upaya perencanaan dan pelaksanannnya secara terpadu; (c) Lemahnya penegakan hukum yang membuat tidak terkendalinya kerusakan seumberdaya alam.

P a g e  | 29 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Pemetaan Batas Dta A. Tujuan Pemetaan DTA Pemetaan batas DTA dilakukan untuk mengetahui batas DTA sebagai unit perencanaan Perlindungan lahan untuk perlindungan sumber air di wilayah hulu DAS; selain untuk memahami posisi batas DTA terhadap batas administratif, baik batas desa, kecamatan dan kabupaten. Pemetaan DTA dapat dilakukan dengan mudah di wilayah hulu DAS yang memiliki kerapatan drainase (sungai) yang tinggi serta kondisi topografinya berbukit dan bergunung, sehingga selain mudah dilakukan dileniasi (penggarisan) batas punggung-punggung bukit yang membatasi aliran permukaan, ukuran DTA juga tidak terlalu luas, biasanya dari ratusan sampai ribuan ha. Sebaliknya pemetaan DTA sulit dilakukan diwilayah DAS hilir, dimana kerapatan drainasenya rendah, sungai berkelok-kelok dan bertopografi landai sampai datar. Dalam kondisi demikian biasanya DTA-nya berukuran luas (puluhan ribu ha) dan tidak mudah dikenali batasnya, karena daerah hilir bertopografi datar. Dalam kondisi demikian P-DTA tidak perlu menggunakan batas DTA, melainkan cukup mendasarkan pada luasan lahan kritis saja. B. Memahami Karakter Pengaliran Sungai Dalam DTA

Pengaliran sungai/anak-anak sungai dibagi menjadi tiga: (a) sungai yang memiliki aliran menerus sepanjang tahun (perennial flow); (b) sungai yang hanya mengalir pada waktu musim hujan (seasonal flow); (c) sungai yang hanya mengalir sesaat setelah hujan (ephemeral flow). Dileniasi karakter pengaliran sungai penting dilakukan untuk mengenali kontinuitas aliran air dan kondisi kekritisan lahan, kususnya kerapatan sungai sesaat yang bisa menggambarkan kekritisan lahan (periksa Bahan Bacaan 2.3: Pemetaan Kekritisan Lahan). Berbagai bentuk pengaliran sungai dapat ditandai dengan garis yang berbeda, yaitu: (a) sungai menerus dengan garis tidak terputus; (b) sungai musiman dengan garis putus-putus, dan (c) sungai sesaat dengan titik-titik yang membentuk garis. C. Cara Melakukan Pemetaan DTA

Pemetaan batas DTA dilakukan berdasarkan kapasitas masyarakat tempatan yang prinsipnya bisa dibedakan menjadi tiga cara: Pembatasan DTA secara visual/sketsa Sketsa DTA merupakan gambaran kasar batas DTA yang diperoleh dari pengamatan visual (tanpa mengunakan peta dan alat bantu) yang dipadukan/digambarkan (overlay-kan) dengan mengunakan kertas transparan dengan Peta Desa. Prosedur penggambaran petanya adalah sebagai berikiut: Pertama; menempelkan kertas transparan pada Peta Desa; Kedua: dengan bantuan titik-titik pasti yang mudah dikenali di peta

BAHAN BACAAN

P a g e  | 30 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

desa, digambarkan jaringan sungai alami (tidak termasuk saluran irigasi) yang ada di desa; Ketiga: menandai punggung-punggung bukit yang mengelilingi anak-anak sungai tersebut dengan bantuan titik-titik penting di alam yang dapat dikenali dengan mudah pada peta desa; Keempat; Menghubungan titik–titik tertinggi dan punggung-punggung bukit yang menggambarkan cekungan DTA. Hasil pengamatan visual tersebut kemudian digambarkan dalam peta desa, sehingga masyarakat akan mengatahui posisi DTA terhadap batas desa. Dengan melakukan pembatasan DTA, masyarakat akan mengetahui apakah di wilayah desa mereka memiliki beberapa DTA atau desa mereka merupakan bagian dari suatu DTA yang berhubungan dengan desa lain disekitarnya. Informasi seperti ini penting sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengan Desa (RPJM-Desa) dan pembuatan kerjasama antar desa untuk melindungi sumber-sumber air.

Gambar 3.0. Hasil pembatasan DTA secara visual/sketsa DTA

Untuk mengenali batas DAS dan DTA dengan mudah maka batas DTA perlu diberi warna yang kontras dengan batas desa. Titik-titik tertinggi dari punggung-punggung bukit yang merupakan batas alam DTA diberi tanda atau simbol tertentu yang disepakati.

Gambar 3.1. Hasil delineasi DTA menggunakan peta topografi

P a g e  | 31 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Pembatasan DTA Menggunakan Peta Topografi Cara pemetaan ini pada prinsipnya sama pemetaan DTA secara visual, namun dineliasi batasnya menggunakan peta topografi. Peta Topografi adalah peta yang menggambarkan relief (perbedaan tinggi) suatu wilayah, terdiri atas gari-garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki ketinggian yang sama. Tahapan pembatasan DTA adalah sebagai berikut: Sediakan peta topografi

Peta topografi yang digunakan untuk menentukan batas DTA adalah peta topografi dengan skala 1:50.000. Peta ini dapat diperoleh dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) atau dapat juga diperoleh dari instansi terkait (BPDAS, Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, dll.).

Penyiapan kertas transparan

Peta topografi selanjutnya dilapisi kertas transparan sebagai media untuk mengambarkan garis kontur dan jaringan sungai. Pertama: Pelajari bentuk landscape (bentang lahan) desa dari peta topografi, misalnya apakah desa yang diamati terletak di lembah, lereng bukit, atau terletak di sekitar pungung bukit. Kedua: dileniasi jaringan sungai dan anak-anak sungai; Ketiga: perhatikan titik-titik tertinggi bukit-bukit disekitar anak-anak sungai yang menjadi batas aliran permukaan. Dileniasi batas DTA dilakukan dengan cara menghubungkan puncak-puncak bukit.

Pembatasan DTA menggunakan Program SIG Selain dapat dilakukan interpretasi batas DTA secara visual dan Peta Topografi, saat ini juga sudah berkembang cara cepat untuk membatasi DTA secara otomatis dengan menggunakan perangkat Lunak Sistem Informasi Geografis (SIG/Geo-Information System): Arcview, ArcGIS, dan Global Mapper. Penentuan batas DTA diproses berdasarkan hasil tumpang tindih (overlay) antara soft copy data Digital Elevation Model (DEM) dan peta RBI pada skala 1: 25,000 untuk pulau Jawa dan skala 1:50,000 untuk di luar Jawa. Metode yang digunakan ada dua macam, yaitu: (a) melakukan digitasi mengikuti kontur dan aliran sungai dan (b) menggunakan automatic system tool hidrology dalam software yang dipilih (menentukan arah aliran, jaringan aliran sungai dan kemudian deliniasi batas DTA).

Gambar 3.2. Hasil delineasi DTA dengan menggunakan SIG

P a g e  | 32 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Kriteria Lahan Kritis dan Pemetaan A. KRITERIA KEKRITISAN LAHAN

Ada banyak definisi dan kriteria lahan kritis, namun pada prinsipnya ada empat hal penting yang perlu diamati dalam menentukan tingkat kekritisan lahan yaitu: (a) kerapatan penutupan vegetasi; (b) kerapatan erosi jurang; (c) kedalaman tanah; (d) jenis pengunaan lahan. a. Kerapatan penutupan vegetasi

Menghitung kerapatan populasi jenis pohon dalam berbagai tingkatan pertumbuhan dari semai, pancang, tiang hingga pohon dalam setiap ha-nya. Semai adalah anakan pohon hingga setinggi 1.5 m dengan diameter sampai 5 cm; pancang adalah anakan pohon setingi 1.5. m dengan diameter antara 5-10 cm; pancang adalah pohon dengan diameter 10 – 20 cm, sedangkan pohon adalah apabila telah berdiameter diatas 20 cm. Kerapatan populasi disebut rapat (jika ∑ pohon > 500 individu/ha atau >5 individu dalam setiap plot ukuran 10 m x 10 m), sedang (2-5 individu setiap plot ukuran 10 m x 10 m) dan terbuka (< 2 individu setiap plot ukuran 10 m x 10 m). b. Kerapatan Erosi Jurang

Erosi jurang (gully-erosion) sering ditemukan pada lahan berlereng yang gundul (tidak bervegetasi), pada saat hujan alur-alur jurang ini menjadi sungai-sungai dengan aliran sesaat (emphemeral flow). Ada tiga bentuk erosi (proses pengikisan tanah karena air dan angin); Pertama adalah erosi lembar (sheet-erosion) yaitu pengikisan tanah dengan ketebalan kurang dari 1 cm yang terjadi secara merata pada sebidang lahan, erosi semacam ini sering tidak mudah dikenali secara visual. Kedua adalah erosi parit (rill-erosion) yang merupakan bentuk lanjut dari erosi lembar yang terjadi pada gundukan-gundukan tanah atau lahan berlereng yang tanahnya gembur, tebal dan tidak stabil. Alur-alur yang timbul dapat diamati secara visual dan bisa dihilangkan dengan pencangkulan. Pada lahan berlereng yang gundul, erosi alur ini sering kemudian berkembang menjadi erosi jurang. Erosi lembar dan alur ini karena tidak merubah bentuk lahan, melainkan hanya terjadi di permukaan lahan, maka dikelompokan menjadi erosi permukaan (surface erosion). Sedangkan erosi jurang masuk dalam kelompok erosi bentuk (morpho-erosion) atau erosi masa (mass-wasting). Erosi jurang memiliki lebar dan dalam lebih dari 1 m, sehingga memerlukan upaya besar untuk meratakannya kembali melalui pencangkulan. Erosi jurang biasa terjadi karena terbentuknya alur yang merupakan batas pemilikan lahan atau jalan setapak yang sering dilalui sehingga tanahnya mengeras, vegetasi tidak tumbuh, sehinga menjadi saluran air saat hujan besar,

BAHAN BACAAN

P a g e  | 33 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Kerapatan erosi jurang dalam sebidang lahan menentukan tingkat kekritisan lahan dan dapat dibedakan menjadi agak rapat, cukup rapat dan sangat rapat. Disebut agak rapat, apabila terdapat 1 erosi jurang per ha, cukup rapat apabila ditemukan 2 – 3 erosi jurang per ha dan sangat rapat apabila ditemukan lebih dari 3 erosi jurang per ha c. Kedalaman Tanah

Kedalaman tanah dapat diukur dengan cara menggali tanah hingga ditemukan bahan dasar (batuan) atau dari singkapan tanah. Memperhatikan bahwa kedalaman tanah ditentukan oleh proses erosi dan pengendapan tanah (deposisi), sedang proses tersebut ditentukan oleh bentuk kelerengan lahan, yaitu pada lereng cembung (convex) memiliki kerentanan erosi yang tinggi, kemudian lereng yang lurus (strainght) memiliki kerentanan erosi yang tinggi pula, sedangkan lereng yang berbentuk cekung (concave), merupakan daerah pengendapan hasil erosi dari bagian atasnya. Dengan demikian kedalaman tanah relative tipis pada lereng cembung dan lurus dan relative dalam pada lereng cekung. Memperhatikan hal demikian maka pengukuran kedalaman tanah sebaiknya dilakukan secara toposequence, artinya kedalaman tanah dari sebidang lahan ditentukan berdasarkan hasil rata-rata pengukuran kedalaman tanah dari tiga titik yaitu pada lereng cembung dibagian atas, kemudian lereng lurus dibagian tengah dan lereng cekung di bagian bawah. Apabila kondisi lahan datar, maka pengukuran kelerengan lahan cukup dilakukan pada satu titik yang mewakili. Kedalaman tanah disebut dalam apabila memiliki kedalaman > 100 cm), sedang (60 – 100 cm), dangkal (30 – 60 cm), dan sangat dangkal (< 30 cm). d. Jenis Penggunaan lahan Penggunaan lahan secara visual dapat diamati di lapangan yang pada dasarnya bisa dibedakan menjadi hutan, kebun campuran, sawah, perkebunan, lahan kering, semak belukar dan alang-alang. Tabel 1. Jenis-Jenis Penutupan/Pengunaan Lahan

No. Jenis Penutupan

lahan Uraian

1. Hutan Penutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi berkayu, yang tumbuh baik secara alami dalam bentuk hutan alam maupun hutan tanaman.

2. Kebun Campuran Kebun yang dikelola masyarakat yang terdiri dari perpaduan pohon dan tanaman semusim (agroforestry).

3. Sawah Pertanian lahan basah beririgasi dengan komoditas padi. 4. Lahan Kering Pertanian tadah hujan (tegalan) dengan komoditas tanaman semusim,

seperti jagung, padi gogo, singkong dsb.

5. Perkebunan Penggunaan lahan yang didominasi oleh jenis-jenis tanaman perdagangan, monokultur dan dikelola secara intensif (teh, karet, sawit dsb.)

6. Semak Belukar Lahan yang tidak terurus (lahan tidur) dimana kondisi lahannya masih relatif subur.

7. Alang-alang Lahan yang tidak terurus (lahan tidur) dimana kondisi lahannya relatif kurang subur.

P a g e  | 34 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lahan Kritis*

Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat KritisPenutupan vegetasi

>75% (rapat)

50-75% (jarang/sedang)

25-50% (terbuka)

<25% (sangat ter-buka)

Kerapatan erosi jurang

Agak rapat: ditemukan erosi jurang, 1 erosi jurang per ha)

Cukup rapat: (ditemukan erosi jurang. 2 – 3 erosi jurang per ha)

Sangat rapat: (ditemukan > 3 erosi jurang per ha)

Sangat rapat: (ditemukan > 3 erosi jurang per ha)

Kedalaman tanah

Dalam (>100 cm)

Sedang (60-100 cm)

Dangkal (30-60 cm)

Sangat dangkal (<30 cm)

Penggunaan lahan/vegetasi

Hutan, Sawah, Kebun campuran, Perkebunan, Lahan kering, Semak belukar.

Lahan kering, Semak belukar.

Lahan kering, semak belukar.

Lahan kering, Gundul, semak belukar, alang-alang.

*Dimodifikasi dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)

B. PEMETAAN LAHAN KRITIS DENGAN GPS Tahapan pemetaan lahan lahan kritis dengan menggunakan GPS (Geo-Potitioning System) adalah sebagai berikut: Untuk memulai pemetaan lahan kritis, perlu menentukan titik awal yanf yang mudah dikenali

di lapangan dan mudah dicari dalam peta topografi, sebagai titik ikat dari penempelan hasil pemetaan GPS. Pasang patok pertama sebagai awal pemetaan pada lokasi lahan kritis atau lahan sasaran Perlindungan lainnya, kemudian diambil datanya menggunakan GPS.

Dengan mengaktifkan “track” pada GPS, dari patok I kemudian bergerak mengelilingi lahan kritis yang menjadi sasaran hingga kembali ke patok pertama. Gunakan tanda-tanda patok lain sepanjang perjalanan dalam melakukan pemetaan lahan kritis untuk memberikan infor-masi penting yang dijumpai seperti batas kepemilikan lahan.

Jika lahan kritis terpencar, maka proses pemetaan tetap berjalan seperti cara di atas dengan memberi tanda patok yang lain.

Patok-patok yang telah dipasang akan diikuti dengan entry data pada GPS dengan kode sesuai nomor patok sehingga informasi rute pemetaan akan tergambarkan dalam GPS.

Sambil melakukan pemetaan lahan dapat diamati dan dicatat kondisi lahannya, baik kerapatan vegetasi, kerapatan jurang, kedalaman tanah, pengggunaan lahan dan status pemilikan la-hannya.

P a g e  | 35 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Gambar 3.3. Perbedaan relatif kedalaman tanah sesuai dengan bentuk kelerengannya

P a g e  | 36 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Pengumpulan Informasi P-DTA Dalam IMAS Dalam memfasilitasi masyarakat untuk melakukan P-DTA diperlukan data dan informasi sebagai dasar untuk menentukan butir-butir penting sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan P-DTA. Tabel 3. Data dan Informasi P-DTA Dalam Proses Identifikasi Masalah dan Analisis Situasi No Data dan informasi Relevansinya dalam P-DTA 1. Kalender musim Sebagai dasar perencanaan tata waktu

pelaksanaan P-DTA 2. Daftar jenis-jenis pohon yang tumbuh

dengan baik di desa Sebagai dasar perencanaan pemilihan jenis pohon

3. Sejarah perubahan penggunaan/ penutupan lahan dan hubungannya terhadap kelimpahan sumber air di desa

Sebagai bahan refleksi/pembelajaran/ penyadaran/pemicuan masyarakat

4. Sebaran dan luasan lahan kritis (lahan rusak/tidak produktif) di desa

Sebagai dasar untuk mengidentifikasi sasaran P-DTA

No Data dan informasi Relevansinya dalam P-DTA 5. Kearifan lokal Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung

P-DTA 6. Tokoh-tokoh masyarakat

Untuk mengetahui motivator/pemicu lokal kegiatan P-DTA

7. Sebaran lahan kritis yang perlu diPerlindungan.

Lahan dibawah pemilikan desa dan masyarakat desa tempatan yang perlu diPerlindungan. .

Tabel 4. Pertanyaan kunci untuk menggali informasi. No Data dan informasi Bentuk Pertanyaan 1. Kalender musim • Pada bulan apa musim kemarau

berlangsung? • Pada bulan apa musim hujan biasa terjadi? • Pada bulan apa petani mempersiapkan la-

hannya? • Pada bulan apa petani terjadi musim tanam? • Pada bulan apa petani memanen hasil?

BAHAN BACAAN

P a g e  | 37 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

2. Daftar jenis-jenis pohon yang tumbuh dengan baik di desa

• Jenis pohon apa yang paling banyak tumbuh?

• Jenis pohon apa yang tumbuh dengan baik? • Jenis pohon lokal (asli) yang tumbuh dengan

baik? • Jenis pohon eksotik (bukan asli) yang tum-

buh baik? • Sebutkan bulan-bulan dimana terjadi musim

buah baik untuk jenis pohon asli maupun jenis pohon eksotik?

3. Sejarah perubahan penggunaan/ penutupan lahan dan hubungannya terhadap kelimpahan sumber air di desa

• Bagaimana sumber air saat hutan masih utuh di desa ini?

• Kapan mulai terjadi penebangan hutan di desa ini?

• Apa yang dirasakan masyarakat dengan se-makin berkurangnya luas hutan?

4. Sebaran dan luasan lahan kritis (lahan rusak/tidak produktif) di desa

• Di kampung/dusun mana ditemukan banyak lahan kritis di desa ini?

• Apa penyebab terjadinya kekritisan lahan? • Mengapa masyarakat tidak melakukan

Perlindungan lahan kritis? 5. Kearifan lokal • Adakah hutan adat yang masih

dipertahankan di desa? • Adakah hukum adat atau Perdes yang

melarang penebangan hutan?. • Adakah hukum adat atau Perdes untuk per-

lindungan mata air? • Adakah hukum adat atau Perdes yang me-

wajibkan untuk menanam? • Adakah kerjasama antar desa dalam

pelestarian hutan dan atau pelestarian sumbe air?

6. Tokoh-tokoh masyarakat Sebutkan tokoh-tokoh adat, agama, atau petani pelestari lingkungan?

7. Sebaran lahan kritis yang perlu diPerlindungan

Sebutkan lahan-lahan terlantar milik masyarakat (desa) yang perlu diPerlindungan?

8. Kelembagaan masyarakat desa Sebutkan lembaga desa, kelompok tani dan kelompok pengguna air yang layak sebagi perencana, pelaksana dan pemelihara P-DTA

P a g e  | 38 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Sasaran P-DTA dan Status Lahan

Dimana P-DTA dilakukan?

Pada lahan kritis yang dimiliki oleh masyarakat atau desa. Apakah bisa dilakukan pada kawasan hutan? Tidak bisa kecuali hutan tersebut telah menjadi Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan. Apakah yang dimaksud dengan Hutan Desa? Hutan negara yang dikelola desa dan untuk kesejahteraan desa. (Peraturan Menhut No.49 Tahun 2008) Sesuai dengan statusnya kawasan hutan apa yang bisa dirubah menjadi Hutan Desa? Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung. Apakah yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan? Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk pemberdayakan masyarakat. (Peraturan Menhut No.6 Tahun 2007). Status kawasan hutan apakah yang bisa dirubah statusnya menjadi Hutan Kemasyarakatan?

Kawasan hutan produksi, Kawasan hutan lindung, Kawasan hutan konservasi, kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional

***

BAHAN BACAAN

P a g e  | 39 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Perlindungan Lahan Perlindungan lahan merupakan upaya untuk merestorasi kerusakan lahan. Kegiatan ini biasa dilakukan dengan penghijauan (penanaman pohon di luar kawasan hutan) dan konservasi tanah dalam bentuk penterasan lahan kering (tegalan), pengendalian erosi jurang, pembuatan dam penahan dan pengendali. Kegiatan ini menjadi program pemerintah sejak akhir tahun enam-puluhan, dipicu oleh banjir Bengawan Solo yang disebabkan oleh kerusakan lahan diwilayah hulu DAS. Pada awal tahun tujuh-puluh diluncurkan ‘Inpres Penghijauan dan Reboisasi’, program ini berlangsung hingga akhir tahun 1990-an, kemudian disusul dengan Gerakan Perlindungan Hutan dan Lahan (Gerhan) hingga tahun 2007. Kegiatan Perlindungan lahan juga dilakukan dalam Green-PNPM di Sulawesi dan Sumatera, dimana sebagian besar pilihan masyarakat, dari sekian banyak Green-menu, adalah penanaman pohon. Berikut disampaikan refleksi efektifitas kegiatan Perlindungan lahan sipil teknis, khususnya penterasan lahan dan bangunan pengendali jurang dalam perbaikan lingkungan, kemudian fenomena disintensifikasi lahan kering yang menjadi momentum penting keberhasilan Perlindungan lahan vegetatif. Mitos Penterasan Lahan Kegiatan penterasan lahan telah menjadi maskot Perlindungan lahan selama beberapa abad. Pada tahun 1874, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordinance of Alienation of Domain Forest Land, yaitu ijin pembukaan hutan pada lahan berlereng diberikan dengan syarat petani bersedia melakukan penterasan lahan. Pada tahun 1930, Belanda melakukan penterasan lahan skala besar di Keresidenan Priangan dan Cheribon (Cirebon). Sejak masa itu teras bangku telah menjadi mitos kegiatan Perlindungan lahan. Teras bangku yang dibangun pada lokasi yang tepat, terpenuhi persyaratan teknisnya dan terpelihara dengan baik memang mampu meningkatkan produktifitas lahan sekaligus mengendalikan laju erosi pada pertanian lahan kering. Permasalahannya, berbeda dengan teras bangku pada lahan sawah. penterasan lahan kering, karena tidak ditujukan untuk menampung air irigasi, kualitas teras biasanya asal-asalan, sekedar dibuat untuk menciptakan budidaya tanaman semusim pada lahan berlereng yang jauh dari tujuan pengendalian erosi. Karena itu, banyak teras bangku lahan kering yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya, memperhatikan mahalnya biaya pembangunan dan pemeliharaan teras serta rendahnya nilai ekonomi yang dihasilkan.

BAHAN BACAAN

P a g e  | 40 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Pengukuran erosi yang dilakukan oleh penulis menggunakan plot erosi batas alam (natural boundary erosion plot) pada tanah Latosol dengan bidang olah miring ke dalam (goler kampak), tampingan teras (terrace riser) tidak diproteksi di Malangbong, Garut, Jawa Barat menunjukan bahwa laju erosi selama musim hujan pada lahan dengan kemiringan landai berkisar antara 95-135 ton/ha, sedangkan pada lahan terjal mencapai 240 ton/ha. Laju erosi ini cukup besar dan beberapa kali lipat melampaui tolerable erosion. Sumber erosi utama berasal dari tampingan teras yang tidak diproteksi, karena miskinnya pemeliharaan teras. Kesimpulannya teras bangku yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya dan tidak dipelihara dengan baik justru berpeluang sebagai sumber degradasi lahan daripada upaya Perlindungan lahan, Cure is worse than the desease! Mitos Pengendali Jurang Masih langkanya penelitian efektifitas teknologi Perlindungan lahan menyebabkan kegiatan ini masih banyak mengadopsi high cost technologies yang dikembangkan oleh Proyek Solo pada tahun 70-an. Di masa lalu banyak proyek Perlindungan lahan untuk mengendalikan erosi jurang dengan membangun gully plug, gully structure. Berhasilkah? sebagian memang cukup berhasil, namun tidak sedikit gabion yang hancur atau menggantung di tengah jurang pada musim kemarau. Stocking (1996) menjelaskan bahwa erosi jurang sering merupakan symtom dari unstable landscape sehingga tidak bernilai ekonomi untuk diPerlindungan. Sama halnya dengan pembangunan dam pengendali, beberapa memang memiliki multi-guna, namun banyak yang waste of precious resources, mengingat bangunan bernilai puluhan juta rupiah tersebut banyak yang penuh lumpur kurang dari tiga tahun, bahkan dalam satu tahun. Tidakkah lebih efisien bila dana tersebut digunakan untuk mePerlindungan daerah tangkapan air-nya? Konservasi tanah berarti mengendalikan kehilangan tanah secara on-site dan bukan penampungan sedimen ! Hasil analisa ekonomi yang dilakukan oleh Proyek Kali Konto membuktikan bahwa bangunan pengendali sedimen memiliki Internal Rate Return (IRR) yang rendah yaitu hanya sebesar 9 – 11 %, jauh dibawah konservasi tanah vegetatif (16 – 18 %). Semakin menipisnya ketersediaan dana pemerintah dan pentingnya upaya konservasi secara mandiri membuat teknik konservasi harus bergeser dari high cost ke low cost dan dari teknik sipil ke vegetatif. Mitos Keproyekan Hingga kini kegiatan Perlindungan lahan sebagian besar dipicu dengan pendekatan keproyekan. ‘Proyek’ sebagaimana na manya, dilaksanakan pada suatu wi layah dan jangka waktu tertentu, dengan penekanan pada aktifitas tertentu, semuanya dilakukan dengan extra input dan personnel. Karena bersifat keproyekan maka teknologi Perlindungan lahan yang dikembangkan biasanya padat modal agar bersifat monomental dan cepat terlihat hasilnya. Hal ini berlawanan dengan proses adopsi dan dampak Perlindungan lahan yang lebih bersifat proses sosial sehingga memakan waktu yang lama. Di lain pihak subsidi langsung yang diberikan untuk `mernompa’ kerja petani sering menjadi faktor penghambat penerapan Perlindungan lahan berbiaya murah yang perlu dilakukan petani dengan kekuatan dan kesadarannya sendiri. Bahkan subsidi langsung sering justru merusak kelembagaan lokal yang pada gilirannya mengurangi semangat petani untuk mengelola lahannya dengan kekuatannya sendiri. Melihat kenyataan ini bisa dipahami, begitu proyek selesai, semua kegiatan selama proyek selesai pula. Diperlukan kiat rehabiliasi lahan yang lebih inovatif untuk membuat kegiatan ini benar-benar melembaga, bukan sekedar menghabiskan dana besar untuk sesuatu yang bersifat sesaat.

P a g e  | 41 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Disintensifikasi dan Perlindungan Lahan Vegetatif Dalam kondisi keterbatasan sumberdaya dan pilihan teknologi, cara termudah untuk mengelola kesuburan tanah pada awal perkembangan lahan kering adalah melalui peladangan berpindah. Meningkatnya kepadatan penduduk berpengaruh terhadap semakin pendeknya masa bera, kondisi ini kemudian me rangsang upaya pengelolaan lahan secara lebih intensif. Pada titik inilah kegiatan intensifikasi mulai berperan, dimulai dengan penterasan lahan secara sederhana yaitu dengan pembuatan parit mengelilingi bukit (teras gunung), kemudian berkembang menjadi teras gulud, teras kredit hingga menjadi teras bangku sebagaimana banyak dikenal kini. Tanpa pemupukan, produktifitas la han kering secara cepat merosot, se hingga kemudian pupuk kandang mulai memegang peranan dalarn proses intensifikasi. Puncak intensi fikasi lahan kering terjadi pada akhir tahun 70-an. Waktu itu pupuk mineral, pestisida, insektisida, herbisida dan varietas unggul mulai banyak tersedia di pasaran. Sayangnya, pertanian semusim berproduktifitas tinggi di wilayah tro pis yang mampu dipertahankan dalam jangka panjang hanyalah pertanian lahan basah (sawah). Intensifikasi lahan kering merupakan upaya pengendalian dan peningkatan produktifitas, sebagai kompensasi terhadap degradasi yang disebabkan oleh pemanfaatan lahan secara intensif. Proses pergulatan antara intensifikasi dan degradasi terus berlangsung hingga mencapai suatu titik, dimana intensifikasi secara ekonomis menjadi tidak menarik. Setiap bentuk intensifikasi selalu diikuti dengan lost of efficiency, degradasi (eksploitasi) lahan yang berlangsung, amat inten sif dalam setiap tahap intensifikasi. berdampak pada ke’aus’an kesubur an tanah, sehingga dicapailah kon disi law of diminishing returns, ya itu penambahan input biaya (incremental cost) menjadi semakin tidak seimbang dengan tambahan perolehan hasil (incremental benefit). Kondisi tersebut di berbagai wilayah telah lama disadari, namun keterbatasan pilihan, keterdesakan ke butuhan dan kentalnya daerah ag raris membuat petani masih menco ba berlahan, walaupun dengan cara mengeksploitasi diri. Sebagian petani yang tidak tahan mulai berkelit dari himpitan tersebut dengan cara banting setir ke off farm. Kegiatan terakhir ini bisa masih berkaitan de ngan pertanian, misalnya menjadi buruh tani di lahan sawah atau se penuhnya di luar pertanian. Desa-desa lahan kering yang didominasi oleh petani tipe ini memiliki karakteristik sebagai berikut: tingginya la ju urbanisasi baik musiman maupun permanen, semakin rendahnya mi nat pemuda memegang cangkul dan semakin menipisnya kontribusi lahan kering dalam struktur pendapatan perdesaan. Dampaknya terhadap lahan ke ring sangat ditentukan oleh status la hannya, apabila lahan di wilayah tersebut merupakan lahan guntai (absentee land, lahan yang dimiliki oleh orang luar desa, petani tempatan hanya sebagai penggarap), biasanya hanya ditanami singkong. Apabila status lahannya adalah lahan milik, biasanya terjadi perubahan kualitas lahan secara signifikan dengan beralihnya petani pada hutan rakyat berdaur pendek, kondisi ini didukung oleh meningkatnya harga kayu dan melonjaknya harga pupuk. Fenomena ini menjelaskan berkembang pesatnya hutan rakyat di Jawa saat ini. Kesimpulannya di tengah kemerosotan produktifitas lahan kering, gerakan penanaman pohon, pembangunan hutan rakyat dan agroforestry, berkepentingan memanfaatkan momentum disintensifikasi untuk tujuan Perlindungan lahan secara vegetatif, yaitu kembali ke penutupan lahan `tradisional’ yang bersifat self sustaining yang notabene selama beberapa dasawarsa yang lalu telah tergeser oleh laju intensifikasi lahan!

P a g e  | 42 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

Menyusun RAB Perlindungan DTA A. Perencanaan Pembibitan Perencanaan pembibitan meliputi : (a) rencana lokasi pembibitan; (b) jenis bibit; (c) metode pembibitan yang akan diterapkan; (d) target jumlah bibit. Untuk target jumlah bibit dihitung berdasarkan kebutuhan bibit untuk penanaman tahun berjalan, penyulaman tahun berjalan, dan penyulaman tahun pemeliharaan I. Contoh perhitungan disajikan sebagai berikut: Tabel 5. Perhitungan Kebutuhan Bibit

No Jenis

Perlindungan Luas (ha)

Kebutuhan Bibit Penanaman (btg)

Bibit Penyulaman Pemeliharaan Tahun Berjalan = 10 % (btg)

Bibit Penyulaman Pemeliharaan

Tahun I = 20% (btg)

Total (btg)

1 Penuh 40 16.000 1.600 3.200 20.800 2 Pengkayaan 20 4.000 400 800 5.200

Total 26.000

Keterangan : Kebutuhan bibit untuk Perlindungan penuh disepekati 400 batang/ha (5x5 m), dan pengkayaan 200 (5 x 10 m2) batang/ha. Cara menghitung jumlah bibit sesuai dengan jarak tanam yang direncanakan: Apabila jarak tanam yang diinginkan adalah 5x 5 m2, berapa batang bibit yang diperlukan? 1 ha = 10,000 m2, Jarak tanm 5x5 m2 = 25 m2, jadi bibit yang dibutuhkan per ha: 10,000 m2/25 m2 = 400 batang/ha; B. Perencanaan Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : Pemeliharaan Tahun Berjalan, Pemeliharaan Tahun I, dan Pemeliharaan Tahun II. Jenis kegiatan pada masing-masing tahap pemeliharaan disajikan sebagai berikut:

No Tahap Pemeliharaan Jenis Kegiatan 1 Pemeliharaan Tahun Berjalan Penyulaman 10%, penyiangan, pendangiran, pemupukan,

pencegahan hama penyakit

2 Pemeliharaan Tahun I Penyulaman 20%, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pencegahan hama penyakit

3 Pemeliharaan Tahun II Penyiangan, pendangiran, pemupukan, pencegahan hama penyakit. Pada tahap ini tidak dilakukan penyulaman

BAHAN BACAAN

P a g e  | 43 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

C. Perencanaan Anggaran Biaya (RAB)

1) RAB Pembibitan Kebutuhan biaya dihitung berdasarkan target jumlah bibit yang akan dikembangkan, selanjutnya dapat dibuat persemaian dalam bentuk persemaian sementara atau permanen. Kebutuhan bahan, alat, dan tenaga kerja yang akan menjadi komponen biaya pembangunan persemaian disajikan pada Tabel 3 berikut:

Tabel 6. Komponen Pembiayaan Pembangunan Persemaian

No Komponen Biaya 1 Pengadaan bambu untuk tiang dan rangka atap persemaian (tiang bedeng sapih dan bedeng tabur)2 Pengadaan bambu untuk pembuatan bedeng sapih (ukuran 1 m x 5 m ). Kapasitas bedeng sapih

tergantung dari ukuran diameter polybag,

3 Pengadaan alang-alang/nipah untuk atap persemaian, jika dana cukup tersedia maka atap persemaian lebih baik menggunakan paranet dengan intensitas penutupan 65%.

4 Pengadaan papan untuk pembuatan bedeng tabur ukuran 1 m x 4 m. 6 Pengadaan media tumbuh di polybag : tanah, pupuk kandang, arang sekam padi 7 Pengadaan peralatan pembuatan persemaian (cangkul, gergaji, ember, selang air, penampung air,

handsprayer, sekop, dll.) dan bahan pembibitan (fungisida, pestisida, dll.) 8 Pengadaan polybag (standar ukuran 12 cm x 15 cm) 9 Tenaga kerja pembangunan atap peersemaian, bedeng sapih, dan bedeng tabur 10 Borongan pengisian media ke polybag 11 Borongan penyapihan bibit 12 Pemeliharaan bibit di persemaian selama 5-6 bulan 13 Pengadaan benih dan transportasi pengiriman 14 Bahan-bahan pembangunan persemaian (paku, kawat, dll.)

Berdasarkan hasil musyawarah dengan masyarakat, maka dari daftar tabel kebutuhan bahan, alat, dan tenaga di atas, akan diperolehh kesepakatan komponen-komponen mana yang bisa diswadayakan/digotongroyongkan dan komponen-komponen mana yang harus dibiayai.

2) RAB Penanaman Perencanaan pembiayaan penanaman disajikan pada tabel berikut :

No. Komponen Biaya Jumlah

1 Pengadaan ajir Borongan sesuai jumlah target tanaman 2 Pengadaan patok batas Sesuai kondisi di lapangan 3 Pembersihan lapangan dan jalur tanam 6 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 4 Penentuan arah larikan dan jarak tanam 3 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 5 Pemasangan ajir 2 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 6 Pembuatan lubang tanam dan piringan 11 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 7 Distribusi bibit ke lubang tanam 2 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 8 Pengangkutan kompos/pupuk kandang ke lubang

tanam 3 HOK/ha x Rp 35.000/HOK x luas

9 Penanaman 6 HOK/ha x Rp 35.000/HOK x luas

P a g e  | 44 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

D. RAB Pemeliharaan Tanaman Perencanaan pembiayaan pemeliharaan tanaman meliputi tahap pemeliharaan tahun berjalan, tahun I, dan Tahun II sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Komponen Biaya Pemeliharaan Tahun Berjalan No. Komponen Biaya Jumlah 1 Pemupukan 2 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 2 Penyulaman 2 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 3 Penyiangan dan Pendangiran (2x) 15 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 4 Pengadaan pupuk 100 kg/ha x luas x Rp harga/kg

Komponen Biaya Pemeliharaan Tahun I No. Komponen Biaya Jumlah 1 Distribusi bibit ke lubang tanam 0,5 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 2 Penyulaman 4 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 3 Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan (2x) 10 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 4 Pengadaan pupuk 100 kg/ha x luas x Rp harga/kg

Komponen Biaya Pemeliharaan Tahun II No. Komponen Biaya Jumlah 1 Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan (2x) 9 HOK/ha x Rp upah/HOK x luas 2 Pengadaan pupuk 100 kg/ha x luas x Rp harga/kg

P a g e  | 45 

 

MODUL PERENCANAAN P‐DTA PARTISIPATIF 

 

DAFTAR PUSTAKA Anwar.C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Balai Litbang Teknologi Perbenihan. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Du-Hyun Kim. 2009. Forest Seed Storage Technology. Paper of Training on Forest Tree Seed Management and Development. Korea Forest Research Institute

Kusmana.C., Sri.W., Iwan.H., Prijanto.P., Cahya.P.,Tatang.T., Adi.T., Yunasfi dan Hamzah., 2003. Teknik Perlindungan Mangrove. Fakultas Kehutanan . Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Primavera, J.H. et al., 2004. Handbook of Mangroves in Philippines-Panay. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department UNESCO Man and the Biosphere.

Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari pohon uang: CDM kehutanan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi.

Permenhut No. P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Perlindungan Hutan dan Lahan. Direktorat jendral Perlindungan Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.

Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Danida Forest Seed Center. Direktorat Jenderal Perlindungan Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.

Sub Teknik Konservasi Tanah. Direktorat Perlindungan dan Konservasi Tanah. 1999. Informasi Teknik Perlindungan dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Supriyanto. 1996. Penggunaan Inokulum Kelereng Alginat dalam Uji Efektifitas pada Semai Beberapa Jenis Dipterocarpaceae. Laporan DIP 1995/ 1996. SEAMEO-BIOTROP. Bogor.

Supriyanto. 1997. Pengenalan Silvikultur Tanaman Hutan dan Teknik Pembibitan Tanaman Hutan. Makalah Pelatihan Manajemen Perbenihan dan Persemaian Tahun 1997 Tingkat Asper/ KBKPH dan Sederajat. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Cianjur.

Supriyanto and Ujang S. Irawan. 1997. Inoculation Techniques of Ectomycorrhizae. Seminar of Mycorrhizae, Ministry of Forestry – Overseas Development Administration/ United Kingdom, 28 – 29 February 1997, Balikpapan, East Kalimantan.