modul implementasi perlindungan daerah tangkapan...
TRANSCRIPT
P a g e | 1
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
P a g e | 2
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
DAFTAR ISI
HalamanPanduan Proses Bagian 1 PEMILIHAN JENIS TANAMAN Bahan Bacaan Bagian 1 PEMILIHAN JENIS TANAMAN UNTUK REHABILITASI DAERAH TANGKAPAN AIR DAFTAR PUSTAKA Panduan Proses Bagian 2 PEMBUATAN PERSEMAIAN DAN TEKNIK PEMBIBITAN
Bahan Bacaan Bagian 2 PEMBUATAN PERSEMAIAN DAN TEKNIK PEMBIBITAN DAFTAR PUSTAKA Panduan Proses Bagian 3 TEKNIK PENANAMAN,PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN Bahan Bacaan Bagian 3 TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN DAFTAR PUSTAKA POWERPOINT PRESENTATION
45
78
14
1617
222334
3536
394054
55
DAFTAR TABEL HalamanTabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Tujuan Pemanfaatan Tingkat Kedalaman Perakaran dan Sebaran Tajuk Beberapa Jenis Tanaman Tingkat Kedalaman Tanah untuk Beberapa Jenis Tanaman Pembagian Wilayah Berdasarkan Letak Geografis dan Suhu Udara Daftar Lokasi untuk Pengumpulan Benih
10
11121229
P a g e | 3
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
DAFTAR GAMBAR HalamanGambar 1. Kondisi lahan datar untuk pembangunan persemaian 23Gambar 2. Benih besar langsung disemai di polybag 24Gambar 3. Model bedeng tabur (kiri) dan semai mahoni siap sapih (kanan) 25Gambar 4. Penyemaian benih Shorea selanica (kiri) dan semai siap sapih
(kanan) 25
Gambar 5. Bak kecambah papan kayu (kiri) dan semai sengon siap sapih (kanan)
25
Gambar 6. Benih besar langsung disemai di polybag 26Gambar 7. Naungan persemaian menggunakan paranet 26Gambar 8. Contoh Rumah Bokashi 27Gambar 9. Model Alat Pembuat Arang Sekam 27Gambar 10. Pohon induk 28Gambar 11. Memecah kulit benih sirsak untuk percepatan perkecambahan 29Gambar 12. Proses penyemaian benih 30Gambar 13. Kondisi semai siap sapih 32Gambar 14. Cara penyapihan semai 32Gambar 15. Proses Seleksi Bibit 33Gambar 16 Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari 41Gambar 17. Pola tanam tumpangsari (kiri) dan pola campuran (kanan) 41Gambar 18. Pola tanam monokultur 43Gambar 19. Pembuatan cemplongan 43Gambar 20. Sistem tugal 44Gambar 21. Kondisi lahan terbuka dan miring 44Gambar 22. Pemasangan ajir pada lahan datar 45Gambar 23. Pemasangan ajir pada lahan miring 46Gambar 24. Model pengkayaan tanaman sisipan 46Gambar 25. Model pengkayaan pada batas pemilikan lahan 47Gambar 26. Pembuatan lubang tanam 47Gambar 27. Pembuatan lubang tanam 48Gambar 28. Cara mengangkut bibit benar (kiri) dan cara salah (kanan) 49Gambar 29. Penanaman bibit 50Gambar 30. Gambar 31.
Pendangiran Contoh lay out plot evaluasi tanaman
5156
P a g e | 4
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Panduan Proses
Bagian 1
PEMILIHAN JENIS TANAMAN UNTUK
REHABILITASI DTA
P a g e | 5
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
PEMILIHAN JENIS TANAMAN UNTUK REHABILITASI DTA
Tujuan:
Peserta mampu:
1. Menjelaskan tujuan pemilihan jenis tanaman
2. Menjelaskan faktor‐faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman
3. Menjelaskan strategi pemilihan jenis untuk penanaman
Materi : Modul Pemilihan Jenis TanamanWaktu : a. Teori 1 JPL (@ 45 menit) = 45 menit Perlengkapan : In‐focus, speaker, spidol, white board/kertas manila, kertas HVS,
LCD Projector Media/Alat Bantu : Presentasi Power PointSkenario Pembelajaran :
Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu (menit)
1 Pelatih menjelaskan isi materi yang akan disampaikan, yaitu :
Tujuan pemilihan jenis
Faktor pertumbuhan tanaman
Strategi pemilihan jenis
Peserta memahami isi materi yang akan disampaikan
2’
2 Tujuan pemilihan jenis Pelatih melontarkan pertanyaan untuk didiskusikan :
“mengapa tanaman yang kita tanam mati atau tumbuh merana”
“mengapa bibit yang tersedia, tidak ditanam oleh masyarakat”
Pelatih merangkum hasil jawaban‐jawaban peserta, yang intinya perlu dipilih jenis yang tepat agar tanaman yang dipilih dapat tumbuh baik dan memberi manfaat langsung maupun tidak langsung
Minimal 5 orang peserta menyampaikan jawaban‐jawaban atas pertanyaan
Peserta memahami pentingnya pemilihan jenis yang sesuai untuk penanaman
7’
PANDUAN PROSES
P a g e | 6
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
kepada masyarakat. Pelatih juga menyampaikan beberapa tujuan pemilihan jenis tanaman.
3 Faktor Pertumbuhan Tanaman
Pelatih melontarkan pertanyaan : “mengapa tanaman bisa tumbuh?”
Pelatih merangkum hasil jawaban peserta dan secara rigkas menjelaskan faktor‐faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan lingkungan
Minimal 5 orang peserta menjawab pertanyaan
Peserta pelatihan memahami faktor‐faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman
8’
4 Persyaratan Tempat Tumbuh Tanaman
Pelatih menjelaskan tiga faktor utama persyaratan tempat tumbuh tanaman, yaitu : iklim, ketinggian tempat, dan media tumbuh (tanah).
Pelatih memaparkan contoh persyaratan tumbuh dua jenis tanaman, yaitu cengkeh dan durian.
Peserta pelatihan mengetahui tiga faktor utama persyaratan tempat tumbuh tanaman
Peserta pelatihan mengetahui contoh persyaratan tumbuh tanaman
7’
5 Kelompok Tanaman
Pelatih melontarkan pertanyaan “Jenis‐jenis tanaman dikelompokkan berdasarkan apa?”
Pelatih merangkum jawaban peserta dan menjelaskan pengelompokan tanaman dan contohnya berdasarkan :
Kebutuhan cahaya
Produk yang Dihasilkan
Tujuan pemanfaatan
Persyaratan kedalaman tanah
Pelatih juga menyampaikan contoh jenis Tanaman Unggulan Lokal (TUL) daerah
Minimal 3 orang peserta menyampaikan jawaban pengelompokan tanaman
Peserta pelatihan mengetahui pengelompokan tanaman sebagai salah satu informasi dalam menentukan jenis tanaman untuk penanaman
10’
6 Strategi Pemilihan Jenis Tanaman
Pelatih melemparkan pertanyaan ke peserta, setelah
Peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan
8’
P a g e | 7
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
pemaparan materi di atas “bagaimana sebaiknya langkah yang harus dilakukan untuk menetapkan/memilih jenis tanaman untuk penanaman
Pelatih merangkum jawaban para peserta dan secara ringkas menjelaskan langkah‐langkah dalam memilih jenis tanaman, yaitu :
- Menetapkan tujuan penanaman
- Mendata daftar jenis yang memiliki kesesuaian tempat tumbuh bersangkutan
- Mendata ketersediaan bibit atau penguasaan budidayanya
- Mendata jenis yang memiliki peluang pasar dan atau jenis yang diminati
- Menetapkan jenis
pendapatnya tentang strategi/langkah‐langkah dalam menetapkan jenis yang dipilih.
Peserta pelatihan memahami strategi dalam menetapkan suatu jenis untuk kegiatan penanaman
7 Penutup Pelatih menyimpulkan prinsip‐prinsip terkait dengan pemilihan jenis tanaman terutama mengenai : kelompok tanaman, persyaratan tempat tumbuh, dan strategi pemilihan jenis tanaman
Peserta memahami garis besar pemilihan jenis tanaman
3’
Total 45’
P a g e | 8
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Bahan Bacaan
Bagian 1
PEMILIHAN JENIS TANAMAN UNTUK
REHABILITASI DTA
P a g e | 9
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pemilihan Jenis Tanaman untuk Rehabilitasi DTA
A. Latar belakang
Salah satu indikator keberhasilan rehabilitasi DTA adalah berhasil tumbuhnya tanaman. Beberapa kemungkinan yang terjadi terkait dengan penanaman adalah : (1) tanaman ditanam pada lokasi yang sesuai dan dipelihara dengan baik, (2) tanaman ditanam pada lahan yang sesuai, tetapi tidak dipelihara dengan baik, (3) tanaman ditanam pada lahan yang tidak sesuai, namun tetap dipelihara dengan baik, (4) tanaman ditanam pada lahan yang tidak sesuai dan tidak dipelihara. Kemungkinan 1 terjadi karena jenis memenuhi persyaratan tempat tumbuh dan diminati masyarakat karena adanya manfaat atau pasar yang jelas. Kemungkinan 2 terjadi karena jenis memenuhi persyaratan tempat tumbuh tetapi tidak diminati oleh masyarakat karena manfaat atau pasar tidak jelas. Kemungkinan 3 terjadi karena manfaat atau pasar hasil produksi ada, namun jenis tidak memenuhi persyaratan tempat tumbuh akibatnya produksi yang dihasilkan tidak optimal, misalnya kasus penanaman karet pada dataran tinggi yang menyebabkan produksi getah minim atau tanaman tumbuh kerdil. Kemungkinan 4 terjadi karena tanaman yang ditanaman tidak memenuhi persyaratan tempat tumbuh dan tidak diminati oleh masyarakat. Terkait dengan beberapa kemungkinan di atas, maka sangat penting memilih jenis tanaman yang tepat untuk rehabilitasi DTA khususnya pada lahan milik masyarakat, hal ini bertujuan : Agar tanaman yang dipilih dapat tumbuh baik sesuai dengan kondisi lingkungan sehingga
menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi
Jenis tanaman yang dipilih sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Jenis tanaman yang dipilih mudah untuk dibudidayakan
Jenis tanaman yang dipilih dapat memberi manfaat sesuai dengan tujuan penanaman
(untuk menghasilkan buah, kayu bakar, kayu pertukangan, pencegah longsor, mengatasi
penggenangan, menyimpan air, dll.)
Jenis yang dipilih memiliki pasar atau manfaat yang jelas
B. Faktor Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu faktor internal (genetik) dan faktor eksternal (lingkungan/environment) atau secara sederhana dapat diformulasikan sebagai : P = G + E, di mana P adalah Phenotype (penampakan tanaman yang dapat dilihat), G adalah Genotype (faktor keturunan), dan E adalah Environment (pengaruh lingkungan). Faktor Internal (G) antara lain terdiri dari sifat menurun yang diturunkan dari induk, hormon, dan enzim, adapun Faktor Eksternal (E) terdiri dari : (1) Lingkungan Abiotik, yaitu faktor edafis seperti tanah, faktor klimatis seperti cahaya matahari, temperatur, kelembaban, dan air, dan faktor fisografis seperti kelerengan, ketinggian tempat, dan konfigurasi bumi dan (2) Lingkungan Biotik, yaitu hewan, manusia dan mikroorganisme (cendawan, bakteri).
P a g e | 10
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
1) Pengaruh Lingkungan Abiotik
Faktor klimatis Faktor klimatis adalah faktor‐faktor yang berhubungan dengan keadaan atmosfer yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan tanaman. Yang termasuk faktor klimatis adalah radiasi cahaya matahari, temperatur udara, kelembaban udara, dan presipitasi/air hujan. Faktor edafis Faktor edafis adalah faktor‐faktor yang berhubungan dengan keadaan tanah. Secara sederhana faktor tanah yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sifat fisik tanah (tekstur atau susunan partikel tanah, air tanah, temperatur tanah) dan sifat kimia (unsur‐unsur hara yang terkandung di dalam tanah, pH, KTK, dll.). Faktor fisiografis Faktor ini merupakan keadaan‐keadaan yang berpengaruh tidak langsung terhadap pertumbuhan tanaman melalui efeknya terhadap faktor‐faktor yang berpengaruh langsung. Faktor‐faktor fisiografis ini antara lain konfigurasi bumi, ketinggian tempat, dan faktor kelerengan. 2) Pengaruh Lingkungan Biotik
Meskipun faktor klimatis dan edafis suatu tempat tumbuh mempunyai pengaruh yang dominan terhadap bentuk dan pertumbuhan tanaman, namun pertumbuhan vegetasi dapat dihalangi, dirubah, dan diganggu oleh adanya interaksi kehidupan tanaman, hewan, manusia, dan mikroorganisme. C. Persyaratan Tempat Tumbuh Beberapa Jenis Tanaman
Setelah diketahui berbagai pengelompokkan tanaman, muara dari semua itu adalah bagaimana agar tanaman tersebut dapat ditumbuhkan dengan baik. Terkait dengan usaha menumbuhkan tanaman, maka harus dipenuhi persyaratan tempat tumbuh. Pada dasarnya syarat tumbuh suatu tanaman secara garis besar ditentukan oleh 3 faktor utama yang merupakan bagian dari faktor eksternal (Faktor Lingkungan Abiotik), yakni iklim, jenis media tanam dan ketinggian tempat. Iklim merupakan faktor klimatis, jenis media tanam merupakan faktor edafis, dan ketinggian tempat merupakan faktor fisiografis. Ketiga faktor lingkungan ini menjadi pembatas penting dalam menetapkan suatu jenis yang akan dikembangkan. Berdasarkan letak geografis dan suhu udara, maka pembagian wilayah dapat dikelompokkan sebagai berikut: Tabel 1. Pembagian Wilayah Berdasarkan Letak Geografis dan Suhu Udara
Jenis Daerah Ketinggian Tempat
(m dpl) Suhu Udara
(oC) Keadaan Udara
Dataran Rendah 0 ‐ 200 25 – 27 Panas
Dataran Sedang 200 ‐ 1000 19 – 24 Hangat
Pegunungan 1000 ‐ 2000 13 – 18 Sejuk
Dataran Tinggi 2000 ‐ 2500 0 ‐ 12 Dingin
P a g e | 11
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Adapun contoh persyaratan tumbuh beberapa jenis tanaman disajikan sebagai berikut :
Tabel 2. Contoh Persyaratan Tumbuh Beberapa Jenis Tanaman
No. Jenis Persyaratan Tempat Tumbuh Iklim Media Tumbuh Ketinggian Tempat
1 Cengkeh (Syzygium aromaticum)
Suhu 22°-30°C, curah hujan yang dikehendaki 1500-4500 mm/tahun
Tanah gembur dengan dalam solum minimum 2 m, tidak berpadas
pH optimal 5,5 - 6,5. Tanah jenis latosol,
andosol dan podsolik merah baik untuk dijadikan perkebunan cengkih
Asli Maluku
Tanaman tumbuh optimal pada 300 - 600 dpal
Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah tropis di ketinggian 600-1100 m dpl, di tanah yang berdrainase baik
2 Durian (Durio zibethinus)
Curah hujan maksimum 3000-3500 mm/tahun dan minimal 1500-3000 mm/tahun.
Curah hujan merata sepanjang tahun dengan kemarau 1-2 bulan sebelum berbunga
Intensitas cahaya matahari 60-80%.
Sewaktu masih kecil bibit harus dilindungi/dinaungi.
Suhu rata-rata 20-30 0 C,
Tanah yang subur Jenis tanah
grumosol dan andosol.
Tanah memiliki ciri-ciri warna hitam keabu-abuan kelam, struktur tanah lapisan atas berbutir-butir, sedangkan bagian bawah bergumpal dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat air.
pH 5-7, dengan pH optimum 6-6,5
Kandungan air tanah dengan kedalam cukup yaitu 50-150 cm dan 150-200 cm
Datar hingga < 800 m dpl
3 Manggis (Garcinia mangostana L.)
Curah hujan tahunan 1.500–2.500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.
Temperatur udara yang ideal berada pada kisaran 22-32 derajat C.
Tanah subur, gembur, dan mengandung bahan organik.
pH ideal adalah 5–7.
drainase baik dan tidak tergenang serta air tanah berada pada kedalaman 50–200 m.
Pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian optimal < 500-600 m dpl.
P a g e | 12
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
D. Pengelompokan Tanaman
Berjuta tanaman tumbuh di atas bumi dengan berbagai pengelompokannya, antarai lain dikelompokkan sebagai tumbuhan pohon dan non pohon, golongan berkayu dan tak berkayu, berbiji keping maupun berbiji tunggal, mulai dari tanaman semusim maupun tanaman tahunan, mulai dari berakar serabut maupun berakar tunggang, mulai yang berdaun jarum hingga berdaun lebar, mulai dari yang hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi, mulai dari yang membutuhkan naungan dalam pertumbuhannya hingga yang membutuhkan cahaya penuh, mulai dari yang hanya diproduksi kayunya hingga yang diproduksi selain kayu, dan masih banyak lagi kelompok tanaman lainnya yang dapat kita jumpai di atas bumi ini. Semua itu tentunya akan berujung pada pengambilan manfaat bagi kehidupan di dunia. Dari sekian banyak pengelompokan tanaman tersebut, terdapat dua kelompok penting yang menarik untuk dibahas, yaitu :
Bagaimana tumbuhan itu tumbuh ?, ini antara lain terkait dengan kebutuhan tumbuhan terhadap cahaya
Bagaimana tumbuhan tersebut dimanfaatkan?, ini terkait dengan pemanfaatannya oleh manusia atau hewan
Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Kebutuhan Cahaya Respon tanaman terhadap cahaya berbeda‐beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada
tanaman yang tahan/mampu tumbuh dalam kondisi cahaya yang terbatas (di bawah naungan)
atau sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang membutuhkan cahaya penuh atau
intoleran. Pemahaman terhadap kebutuhan cahaya bagi tanaman sangat penting untuk
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal. Contoh jenis‐jenis tanaman yang termasuk
kelompok toleran dan intoleran disajikan sebagai berikut :
1. Jenis tanaman toleran (butuh naungan) : mangga, tanjung, manggis, meranti, gaharu, bayur, dukuh, durian, sawo, agathis, bitti, sonokeling. jambe, sirsak, bambu, kayu manis, langsat, pala, aren
2. Jenis tanaman intoleran (memerlukan cahaya penuh) : jati, jati putih, sengon, jabon, sengon laut, karet, akasia, mahoni, suren, trembesi, sukun, kelapa, jambu, alpukat, pohon penghasil kayu bakar (gamal).
Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Tujuan Pemanfaatan Tabel 3. Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Tujuan Pemanfaatan
No Tujuan Pemanfaatan Jenis
1 Kayu Bakar Lamtoro gung (Leucaena leucephala), Akasia (Acacia auiculiformis), Kaliandra (Caliandra calothyrsus), Gamal (Glirisidae maculata), dll.
2 Kayu Pertukangan Mahoni (Swetinia macrophylla), Suren (Toona sureni), Sengon (Paraserienthes falcataria), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Jati (Tectona grandisi), Kayu kuku (Pericopsis mooniana), dll.
3 Bahan Baku Industri Eucalyptus (Eucalyptus deglupta), Sengon (Paraserienthes falcataria), Kayu Afrika (Maesopsis
P a g e | 13
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
emenii), Kayu Manis (Cinnamomum burmanii), Damar (Agathis laranthifolia), dll.
4 Diambil Buahnya/non kayu lainnya
Duwet (Eugenia cuminia), Durian (Durio zibethinus), Nangka (Arthocarpus integra), Kemiri (Aleurites moluccana), Jambu Air (Eugenia aquatica), Kapuk Randu (Ceiba pentandra), dll.
5 Perbaikan Lingkungan
a Perbaikan Hidroorologi Trembesi (Samanea saman), Akasia (Acacia auiculiformis), Puspa (Schima walichii), Asam (Tamarindhus indica), Turi (Sasbania grandiflora), Kaliandra (Caliandra calothyrsus), dll.
b Reklamasi/Pionir Acacia sp, jambu monyet (Anacardium accidentale), jabon (Anthocephalus cadambai), sukun (Arthocarpus communisi), nangka (Arthocarpus heterophyllus), bambu, secang (Caesalpinia sappan (L.) , Calliandra confusa Sprague & Riley (1923), Casuarina equisetifolia, Centrosema pubescens, Dalbergia latifolia, Eucalyptus deglupta, Garcinia mangostana, Ficus sp, Gliricida sepium, melinjo (Gnetum gnemon), petai china (Leucaena leucocephala), mangga (Mangifera indica), sawo kecik (Manilkara kauki), Mindi (Melia azedarach), Rambutan (Nephelium lappaceum), sengon (Paraserianthes falcataria), petai (Parkio speciosa), Rumput gajah (Pennisetum purpureum), Alpukat (Persea americana), Pinus merkusii, Sesbania grandiflora, Swietenia marcophylla, Tectona grandis.
c Penyerap Partikel Limbah
Agathis alba (damar, Swietenia macrophylla (mahoni daun lebar), Podocarpus imbricatus (jamuju), Myristica fragrans (pala), Pithecelebium dulce (asam landi), Cassia siamea (johar), Polyathea longifolia (glodogan), Baringtonia asiatica (keben), Mimosops elengi (tanjung)
d Penyerap CO2 dan Penghasil O2
Samanea saman (trembesi), Agathis alba (damar), Bauhinea purpurea (kupu‐kupu), Leucaena leucocephala (lamtoro gung), Acacia auriculiformis (akasia), Ficus benyamina (beringin)
e Penyerap/penepis bau Michelia champaka (cempaka), Pandanus sp (pandan), Murraya paniculata (kemuning), Mimosops elengi (tanjung)
f Mengatasi Penggenangan
Artocarpus integra (nangka), Paraserianthes falcataria (albizia), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp, Swietenia mahagoni (mahoni), Tectona grandis (jati) Samanea saman (kihujan), Leucaena glauca (lamtoro)
g Pelestarian Air Tanah Casuarina equisetifolia (cemara laut), Ficus elastica (fikus), Hevea brasiliensis (karet), Garcinia mangostana (manggis), Lagerstroemia speciosa (bungur), Fragraea fragrans, Cocos nucifera (kelapa)
h Pengamanan pantai dari abrasi
Avicinnea sp (bakau), Bruguirea sp (Tancang), Nypa frutican (Nipah), Rhizophora spp
P a g e | 14
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Tingkat Kedalaman Perkaran dan Sebaran Tajuk Tabel 4. Tingkat Kedalaman Perakaran dan Sebaran Tajuk Beberapa Jenis Tanaman
No Jenis Kedalaman Perakaran
Sebaran Tajuk
1 Lamtoro Dangkal Menyebar, perlu 3‐5 pangkasan per tahun
2 Gamal Dangkal Menyebar, perlu 3‐5 pangkasan per tahun
3 Petai Dangkal Menyebar
4 Sungkai Dangkal Sempit
5 Jengkol Dangkal Sedang
6 Lamtoro Dangkal Menyebar, perlu 3‐5 pangkasan per tahun
7 Sengon Dangkal Menyebar
8 Melinjo Dangkal Sedang
9 Jambu Air Dangkal Sedang
10 Kaliandra Sedang Menyebar, perlu 3‐5 pangkasan per tahun
11 Kapuk Dalam Menyebar
12 Jambu Mete Dalam Sedang
13 Nangka Sangat Dalam Sedang
14 Mangga Sangat Dalam Sedang
15 Durian Sangat Dalam Sedang
Pengelompokan Tanaman Berdasarkan Kebutuhan Kedalaman Tanah Tabel 5. Tingkat Kedalaman Tanah untuk Beberapa Jenis Tanaman
No Jenis Kedalaman Tanah
1 Mindi (Melia azedarach) Dangkal – dalam
2 Jati (Tectona grandis) Dangkal – dalam
3 Sengon (Paraserianthes falcatariai) Dangkal – dalam
4 Mahoni (Swietenia macrophylla) Dangkal – dalam
5 Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Dangkal – dalam
6 Akasia (Acacia mangium) Dangkal – dalam
7 Kemiri (Aleurites moluccana) Dangkal – dalam
8 Ekaliptus (Eucalyptus spp) Dangkal – dalam
9 Manggis (Garcinia mangostana) Sedang – dalam
10 Durian (Durio zibethinus) Sedang – dalam
11 Jabon (Anthocephalus cadamba) Dalam
13 Agathis (Agathis spp) Dalam
15 Karet (Hevea brasiliensis) Dalam
17 Lengkeng Dalam
18 Jati putih (Gmelina arboreai) Dalam
19 Suren (Toona sureni) Dalam
Keterangan :
Dangkal : kedalaman tanah < 60 cm
Sedang : kedalaman tanah antara 60 – 100 cm
Dalam : kedalaman tanah > 100 cm
P a g e | 15
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
E. Penetapan Jenis Tanaman
Dalam memilih jenis tanaman, khususnya tanaman yang akan ditanam di lahan masyarakat harus dipenuhi beberapa aspek penting agar jenis yang diusahakan dan dikembangkan dapat memberikan hasil optimal, yaitu : Aspek lingkungan, yaitu jenis yang dipilih harus sesuai denagan iklim, jenis tanah dan
kesuburan serta keadaan fisik wilayah Aspek sosial, yaitu jenis yang dipilih harus jenis yang cepat menghasilkan setiap saat,
dikenal dan disukai masyarakat serta mudah dibudidayakan. Aspek ekonomi, yaitu dapat memberikan penghasilan dan mudah dipasarkan serta
memenuhi standar bahan baku industri. Untuk itu perlu langkah‐langkah dalam menetapkan jenis suatu tanaman, sebagai berikut :
Tetapkanlah tujuan penanaman, antara lain : (1) mendapatkan hasil kayu, (2) mendapatkan hasil non‐kayu, (3) konservasi tanah dan air, (4) penyerapan polutan, dll.
Dapatkan informasi iklim, ketinggian tempat, dan jenis tanah (khususnya tingkat kedalaman tanah) dari rencana lokasi yang akan ditanam. Ketinggian tempat dapat diperoleh dengan alat GPS, sedangkan kedalaman tanah terdiri dari kriteria : (1) tanah dangkal (< 60 cm), sedang (60‐100 cm), dalam (> 100 cm). Adapun data iklim dapat diperoleh dari monografi desa atau badan klimatologi setempat.
Berdasarkan data iklim, ketinggian tempat, dan tanah, selanjutnya buatkan daftar jenis‐jenis yang sesuai pada kondisi lingkungan tersebut dengan mengacu pada tujuan penanaman yang telah ditetapkan.
Lakukan pengamatan dan dapatkan informasi dari masyarakat jenis‐jenis tanaman kayu dan non kayu/MPTS yang tumbuh baik di lokasi bersangkutan baik jenis lokal maupun non‐lokal.
Dapatkan informasi ketersediaan jenis (ketersediaan benih, bibit, dan penguasaan budidayanya)
Dapatkan jenis‐jenis tanaman usulan masyarakat
Dapatkan informasi jenis‐jenis yang memiliki peluang pasar
Tetapkan jenis tanaman dengan mempertimbangkan usulan masyarakat, peluang pasar, ketersediaan benih/bibit, yang semuanya harus memenuhi persyaratan tempat tumbuh
Pengadaan bibit dengan cara membeli atau membuat sendiri
Penanaman dan pemeliharaan
P a g e | 16
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
DAFTAR PUSTAKA
Balai Litbang Teknologi Perbenihan. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Du‐Hyun Kim. 2009. Forest Seed Storage Technology. Paper of Training on Forest Tree Seed Management and Development. Korea Forest Research Institute
Heyne 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia: Jilid II. Badan Litbang Kehutanan Jakarta.
IFSP (Indonesia Forest Seed Project). 2000. Seed Zone of Kalimantan. Indonesia Forest Seed Project, Bandung.
Mayhew, J.E. and A.C. Newton. 1998. The Silviculture of Mahagony. CABI Publishing.
Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari pohon uang: CDM kehutanan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi.
Prosea. 1994. Plant Resources of South‐East Asia No. 2: Edible Fruits and Nuts. Bogor, Indonesia.
Prosea. 1994. Plant Resources of South‐East Asia No. 5 (1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor, Indonesia.
Prosea. 1994. Plant resources of South‐East Asia No. 5 (2). Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Bogor, Indonesia.
Prosea. 1994. Plant Resources of South‐East Asia No. 5 (3): Lesser Known Timbers. Bogor, Indonesia.
Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Danida Forest Seed Center. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.
Kijkar, Somyos and B. Boontawee. 1995. Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs: a lesser known species. Reviev Paper No. 3. ASEAN Forest Tree Seed Centre Project.
P a g e | 17
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Panduan Proses
Bagian 2
PEMBUATAN PERSEMAIAN DAN
TEKNIK PEMBIBITAN
P a g e | 18
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
PEMBUATAN PERSEMAIAN DAN TEKNIK PEMBIBITAN
Tujuan:
Peserta mampu:
1. Membuat persemaian
2. Mempraktekkan membuat bibit
3. Menseleksi bibit layak tanam
Materi : Modul Pembuatan Persemaian dan Teknik Pembibitan Waktu : a. Teori 1 JPL (@ 45 menit) = 45 menit
b. Praktek 1 JPL (@ 45 menit) = 45 menit Perlengkapan : In‐focus, speaker, spidol, white board/kertas manila, kertas HVS,
LCD Projector, sampel benih ortodok/semiortodok (sengon, sirsak, jati putih, mahoni, dll.) dan benih rekalsitrant (nangka, durian, suren, gaharu, karet, dll.), sampel bibit (mahoni, suren, sengon, durian, dll.), gembor, polybag (ukuran 12 x 15), bokashi/pupuk kandang (1 karung), arang sekam (1 karung), tanah top soil (1 karung), cangkul, sekop, bak kecambah plastik, sampel semai siap sapih.
Media/Alat Bantu : Presentasi Power Point, Film Tutorial Pembibitan Skenario Pembelajaran : A. Penyampaian Materi Sesi I
Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu (menit)
1 Pembukaan Pelatih menjelaskan isi materi yang akan disampaikan, yaitu :
Cara membuat persemaian
Cara membuat bibit
Cara menseleksi bibit layak tanam
Peserta dan pelatih saling mengenal sehingga kedepan dapat melakukan konsultasi hal‐hal terkait teknik pembibitan dan persemaian jika masih memerlukan penjelasan lebih lanjut
Peserta memahami alur materi pelatihan
3’
2 Penayangan Film “Tutorial Pembibitan”
Peserta mendapatkan gambaran umum tentang
10’
PANDUAN PROSES
P a g e | 19
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pelatih memberikan pengantar film yang akan ditayangkan yaitu tentang cara membuat persemaian dan bibit
langkah‐langkah pembuatan persemaian dan teknik pembibitan
3 Diskusi
Pelatih meminta pendapat minimal lima peserta pelatihan untuk menyampaikan “Apa masing‐masing keuntungan dan kerugian metode pengadaan bibit dengan cara membuat bibit sendiri dan membeli bibit”
Pelatih merangkum pendapat para peserta
Selain pendapat‐pendapat yang disampaikan para peserta, pelatih juga memberikan kriteria‐kriteria lain yang mungkin belum masuk dalam pendapat peserta, yaitu :
- Tingkat kerusakan bibit - Kualitas bibit - Kuantitas bibit yang
dihasilkan - Biaya yang dibutuhkan - Dampak peningkatan
SDM masyarakat - Kesesuaian jenis yang
direkomendasikan - Rasa memiliki - Dampak pemberdayaan - Keberlanjutan kegiatan
pembibitan
Lima orang peserta masing‐masing menyampaikan pendapatnya mengenai keuntungan dan kerugian membuat bibit sendiri dan membeli bibit
Para peserta memahami keuntungan dan kerugian masing‐masing metode pengadaan bibit sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan metode pengadaan bibit yang akan dipilih
12’
3 Pembuatan persemaian
Pelatih menjelaskan secara singkat definisi persemaian
Pelatih menjelaskan persyaratan lokasi persemaian, hal ini jika metode pengadaan bibit yang dipilih adalah dengan membuat bibit sendiri (lihat bahan bacaan)
Pelatih menjelaskan secara ringkas dan jelas sarana dan prasarana utama yang dibutuhkan
Peserta memahami persyaratan lokasi persemaian
Peserta memahami kebutuhan utama sarana dan prasarana untuk membangun persemaian
10’
P a g e | 20
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
untuk membangun persemaian: - Pengadaan bahan dan perlatan pembibitan (lihat bahan bacaan)
- Pembuatan bedeng tabur - Pembuatan bedeng sapih - Pembuatan atap persemaian
sederhana
4 Pengadaan bibit dengan membeli bibit
Pelatih menyampaikan alasan pengadaan bibit dengan cara membeli dilakukan jika : - Teknik pembibitan belum
banyak dikuasai - Tidak terjadi musim buah
untuk jenis yang direkomendasikan
- Terdapat masyarakat yang telah membuat bibit sendiri
- Tidak cukup waktu, sehingga jika bibit dibuat sendiri musim hujan akan segera berakhir
Pelatih menyampaikan hal‐hal penting yang harus diperhatikan jika pengadaan bibit dengan cara membeli bibit, hal ini dimaksudkan agar bibit tetap sehat, yaitu : - Bibit yang dibeli sesuai
rekomendasi dan memenuhi persyaratan bibit layak tanam
- Disiapkan areal penampungan bibit sementara yang memiliki atap alang‐alang atau paranet, atau bisa di bawah tegakan pohon
- Bibit tidak langsung ditanam, tetapi dipelihara dahulu sekitar satu bulan
Peserta memahami kapan keputusan pengadaan bibit dengan cara membeli akan dilakukan Peserta memahami langkah‐langkah penanganan bibit jika dengan cara membeli
10’
Total 45’
P a g e | 21
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
B. Penyampaian Materi Sesi II
Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu(menit)
1 Pelatih meminta pendapat minimal
lima orang peserta tentang :
Teknik pembibitan yang
diketahui
Keunggulan dan kerugian
masing‐masing teknik
pembibitan
Pelatih merangkum pendapat
peserta dan menambahkan
beberapa kriteria lain yang
mungkin belum dibahas
untuk didiskusikan dengan
peserta, antara lain :
- Ketergantungan pada
musim buah
- Jumlah produksi bibit
yang dihasilkan
- Minat masyarakat
- Dampak terhadap aspek
konservasi tanah dan air
- Kecepatan produksi
- Tingkat keberhasilan
membibitkan
- Kemampuan penguasaan
teknik budidaya
Peserta pelatihan memahami keunggulan dan kerugian masing‐masing teknik pembibitan
10’
2 Pelatih menjelaskan secara singkat inti‐inti teknik pembibitan generatif a. Pelatih memperlihatkan contoh
benih : (mahoni, sengon, sirsak, nangka, durian) dan daya simpan masing‐masing benih
b. Pelatih menjelaskan jenis media untuk pengecambahan benih
c. Pelatih menjelaskan hal‐hal yang harus diperhatikan selama proses perkecambahan benih
d. Pelatih menjelaskan syarat media tumbuh yang bagus untuk pertumbuhan bibit
10’
P a g e | 22
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
e. Pelatih menjelaskan cara menyapih/memindahkan semai ke dalam polybag
f. Pelatih menjelaskan cara memelihara bibit
g. Pelatih menjelaskan kriteria bibit layak tanam
3 Pelatih menjelaskan secara ringkas jenis‐jenis pembibitan vegetatif, yaitu :
a. Okulasi b. Grafting c. Cangkok d. Stek
Peserta memahami secara umum tentang inti pembibitan secara vegetatif
5’
4 Simulasi atau Praktek Pembibitan Generatif (dalam hal ini peserta dibagi menjadi 5 regu). Pada tahap awal pelatih mencontohkan proses pembibitan kepada seluruh peserta yang kemudian setelah contoh telah disampaikan semua, para peserta dapat mempraktekkannya sesuai dengan regunya masing‐masing. Contoh‐contoh kegiatan pembibitan adalah :
Pelatih memberi contoh praktek meyiapkan media kecambah dalam bak plastik (campuran arang sekam : tanah = 2 : 1)
Pelatih memberi contoh praktek mengecambahkan benih mahoni, sengon, sirsak, dan nangka
Pelatih memberi contoh meyiapkan media tumbuh dan memasukkannya ke dalam polybag
Pelatih memberi contoh cara penyapihan semai ke dalam polybag
Setelah semua contoh dipraktekkan oleh pelatih, maka para peserta sesuai regunya masing‐masing dapat mempraktekkan kegiatan berikut :
Peserta dapat mempraktekkan penyiapan media kecambah
Peserta dapat mempraktekkan pengecambahan benih
Peserta dapat mempraktekkan penyiapan media tumbuh
Peserta dapat mempraktekkan penyapihan semai
20’
Total 45’
P a g e | 23
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Bahan Bacaan
Bagian 2
PEMBUATAN PERSEMAIAN DAN
TEKNIK PEMBIBITAN
P a g e | 24
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pembuatan Persemaian dan Teknik Pembibitan
Persemaian (Nursery) adalah tempat atau areal untuk kegiatan memproses benih (atau bahan lain dari tanaman) menjadi bibit/semai yang siap ditanam di lapangan. Pembangunan persemaian merupakan bagian penting dalam upaya rehabilitasi Daerah Tangkapan Air (DTA), karena melalui persemaian akan diproduksi bibit yang kelak akan digunakan dalam kegiatan penanaman pada areal DTA bersangkutan.
Tujuan dibangunnya persemaian antara lain : (a) meminimalkan kerusakan bibit akibat pengangkutan, (b) mendekatkan bibit dengan lokasi penanaman, (c) memberi percontohan teknik persemaian kepada masyarakat ketika akan mengembangkan jenis‐jenis bermanfaat ke depan, (d) peningkatan SDM masyarakat dalam bidang pembibitan, (e) meningkatkan kesadaran masyarakat. A. Penyiapan Sarana dan Prasarana Persemaian
1. Penetapan Lokasi Pembibitan Berdasar sifat lokasinya, maka persemaian dan TPS dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu persemaian lahan kering dan mangrove. Masing‐masing tipe persemaian memiliki persyaratan sebagai berikut :
Persemaian lahan kering : dekat dengan lokasi penanaman, dekat sumber air, bebas banjir dan angin keras, memiliki areal terbuka dan areal naungan, memiliki sarana penyiraman, memiliki peralatan penanganan benih, dengan dengan tenaga kerja.
Persemaian mangrove : dekat dengan lokasi penanaman, terkena pasang surut air laut, bebas banjir, angin keras dan ombak besar, memiliki areal terbuka dan naungan, dekat dengan tenaga kerja.
Agar diperoleh bibit dan hasil penanaman yang baik, maka lokasi pembibitan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
Diutamakan lahan datar‐landai
Lokasi pembibitan dekat dengan lokasi penanaman, untuk mengurangi resiko kerusakan bibit saat pengangkutan dari lokasi pembibitan ke lokasi penanaman.
Lokasi pembibitan bebas dari konflik kepemilikan lahan.
Lokasi pembibitan aman dari gangguan.
Lokasi pembibitan dekat dengan sumber air.
Lokasi pembibitan memiliki akses jalan yang baik
Lokasi pembibitan dekat dengan tenaga kerja
Gambar 1. Kondisi lahan datar untuk pembangunan persemaian
P a g e | 25
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
2. Kebutuhan Bahan dan Peralatan
a. Bahan Bahan‐bahan yang perlu disiapkan dalam melakukan pembibitan antara lain : benih beberapa jenis tanaman yang akan dikembangkan, pestisida (khususnya fungisida dan insektisida), pasir halus, topsoil (lapisan tanah atas), pupuk kandang, sekam padi (dibuat arang sekam), plastik bening, paranet (naungan 65%), polybag (standar ukuran diameter 12 cm, untuk benih besar maka dapat digunakan polybag ukuran lebih besar misalnya diameter 15 cm).
b. Peralatan Peralatan yang diperlukan antara lain : cangkul, sekop, ember plastik, gembor, sarung tangan, masker, timbangan, gelas ukur, handsprayer, selang air, gerobak dorong, karung, peralatan pengairan, tangki air, ayakan pasir, terpal, golok, gunting stek,
3. Fasilitas Persemaian a. Tempat Penyemaian
Pada dasarnya tempat penyemaian benih dapat dilakukan berdasarkan pada kelompok ukuran benih, yaitu : (1) Penyemaian benih ukuran besar (ukuran > 2 cm, seperti : nangka, durian, alpukat,
mangga) dengan cara disemai langsung pada media di polybag.
Gambar 2. Benih besar langsung disemai di polybag
(2) Penyemaian benih ukuran sedang (1‐2 cm, seperti : mahoni, khaya, kayu afrika, mindi,)
kecil (0,5 – 1 cm, seperti : sengon, surren, akasia, gaharu), dan halus (< 0,5 cm, seperti : jabon, ekaliptus, duabanga) dengan cara disemai dahulu pada media semai/perkecambahan. Tempat untuk mengecambahkan benih dapat dibuat dalam beberapa bentuk, yaitu : - Bedeng tabur, dibuat dalam bentuk bedengan dengan ukuran 1 m x 4 m, bedeng
dibatasi oleh bambu atau papan kayu setebal 20 cm. Media semai diletakkan pada bedengan untuk menyemai/menabur benih. Atap bedeng tabur dapat dibuat dari rumbia agar tidak terkena hujan langsung, sedangkan tiangnya dibuat dari bambu dengan ketinggian sekitar 100 cm. Media penyemaian dimasukkan ke dalam bedeng tabur hingga kedalaman sekitar 10‐15 cm.
P a g e | 26
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Gambar 3. Model bedeng tabur (kiri) dan semai mahoni siap sapih (kanan)
- Bak kecambah plastik
Bak kecambah plastik juga dapat digunakan untuk mengecambahkan benih, khususnya benih‐benih berukuran kecil (sengon, suren, meranti, mindi, jati, gaharu, dll.) dan benih halus (jabon, ekaliptus, akasia, dll.). Bak kecambah perlu dilubangi bagian bawahnya agar tidak terjadi penggenangan air saat disiram.
Gambar 4. Penyemaian benih Shorea selanica (kiri) dan semai siap sapih (kanan)
- Bak kecambah papan kayu Selain menggunakan bahan dari plastik, bak kecambah juga dapat dibuat dari
papan kayu. Bak ini dibuat dari papan kayu ukuran : panjang 4 m, lebar 0,8 m, dan tinggi 0,6 m. Pada bagian dasar diisi batu koral/batubatu kecil setebal 5 cm dan bagian atasnya kemudian diisi media kecambah setebal 15 cm. Media kecambah dapat dibuat dari pasir halus atau campuran pasir halus dan arang sekam = 1 : 1. Bak ditutup dengan penutup dimana rangkanya dilapisi plastik buram.
Gambar 5. Bak kecambah papan kayu (kiri) dan semai sengon siap sapih (kanan)
P a g e | 27
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
b. Bedeng Sapih Bedeng sapih merupakan tempat untuk menyusun polybag berisi media tumbuh
yang selanjutnya digunakan untuk penyapihan semai dan dipelihara hingga menjadi bibit siap tanam. Bedeng sapih dibuat dengan ukuran 1 m x 5 m, batas bedeng menggunakan bambu , jarak antar bedeng 1 m. Bedeng sapih sebaiknya dibuat memanjang menurut arah Utara‐Selatan dengan tujuan agar memperoleh cahaya secara merata
Gambar 6. Benih besar langsung disemai di polybag
c. Naungan Persemaian Pertumbuhan bibit saat masih kecil tidak tahan terhadap penyinaran cahaya
matahari secara langsung, oleh karenanya perlu diberikan naungan. Untuk membuat naungan maka perlu tiang dan atap. Tiang dapat dibuat dari bambu yang tahan lama (misalnya bambu betung), kemudian bagian atapnya diberi naungan. Tinggi tiang disesuaikan agar tidak mengganggu saat orang berdiri (± 2 – 3 m). Naungan dapat dibuat dari alang‐alang, namun umumnya kondisi ini menghasilkan naungan yang tidak seragam terhadap semua bibit di bedeng sapih. Agar diperoleh naungan dengan pencahayaan yang seragam, maka sebaiknya digunakan paranet. Terdapat beberapa tingkat penutupan naungan paranet (75%, 65%, 50%, dll.).
Gambar 7. Naungan persemaian menggunakan paranet
d. Sarana Perairan Air merupakan persyaratan penting dalam sebuah persemaian/kebun bibit. Oleh
sebab itu persemaian harus dibuat tidak jauh dari sumber air, misalnya sungai dan sumber mata air. Jika sumber air berada di bagian atas persemaian, maka untuk mengalirkan air menuju penampung air/tangki air di persemaian tidak memerlukan alat
P a g e | 28
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
jenset, namun sebaliknya akan menggunakan jenset jika sumber air berada di bawah areal persemaian.
e. Gubuk Kerja
Pembuatannya tergantung dari ketersediaan dana. Gubuk kerja merupakan bangunan sederhana dapat berukuran 3 m x 4 m, beratap rumbia, dan bagian alas cukup tetap tanah. Gubuk kerja digunakan untuk melakukan beberapa pekerjaan persemaian antara lain : pengayakan media, pengantongan media ke polybag, pencampuran pestisida, perlakuan benih, penyiapan bak kecambah plastik, penyiapan media kecambah, dll.
f. Rumah Produksi Pupuk Organik
Digunakan untuk memproduksi pupuk organik seperti bokashi, kascing, dll. Pupuk organik selanjutnya akan digunakan sebagai campuran dalam media tumbuh bibit.
Gambar 8. Contoh Rumah Bokashi
g. Alat Pembuat Arang Sekam Pemanfaatan arang sekam sebagai media tumbuh tanaman memiliki manfaat
antara lain: (1) meningkatkan sirkulasi udara (aerasi) dan air (drainase), (2) menetralkan pH, (3) hara tidak mudah tercuci sehingga siap digunakan untuk tanaman, dan (4) arang sekam mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Arang sekam dapat dimanfaatkan sebagai sebagai media campuran dengan komposisi, antara lain : (1) Media perkecambah benih (campuran arang sekam dan pasir = 1 : 1), (2) Media sapih (campuran arang sekam : kompos : tanah = 1 : 1 : 2), (3) Media tanam di lapangan (tambahkan 1 liter arang sekam/lubang tanam).
Gambar 9. Model Alat Pembuat Arang Sekam
P a g e | 29
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
B. Teknik Pembibitan
Pembibitan dapat dilakukan menurut dua cara, yaitu secara generatif (dari benih) dan vegetatif (bagian tanaman selain biji) seperti dengan cara stek, cangkok, okulasi, atau sambung. Untuk melakukan pembibitan secara vegetatif diperlukan keterampilan khusus, sehingga pada tahap awal perlu dikuasai teknik pembibitan secara generatif terlebih dahulu.
Sebelum malekukan kegiatan pembibitan, maka perlu ditetapkan jenis yang akan dikembangkan. Penetepan jenis disesuaikan berdasarkan kesesuaian tempat tumbuh dan merupakan jenis yang diminati oleh masyarakat. Jenis tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu : (1) Kelompok tanaman kayu‐kayuan (sengion, suren, mahoni, uru, jati, dll.) dan (2) Kelompok tanaman Multi Purpose Tree Species (MPTS)/tanaman selain penghasil kayu (manggis, durian, karet, nangka, dll.). Tahap pembibitan secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Pengadaan Benih
Untuk melalkukan pengadaan benih, hal terpenting yang harus diketahui antara lain : (1) Mengetahui musim benih, misalnya benih mahoni dan suren dapat dikumpulkan pada bulan Mei‐Juni, benih nangka dan alpukat bisa dikumpul setiap saat, benih durian bisa dikumpulkan pada bulan Juni‐Juli, dan manggis (Juli‐Agustus), (2) Mengetahui sifat benih, terdapat dua sifat penting, yaitu : (a) Ortodok (benih dapat disimpan lama, misalnya : sengon, jabon, jati, dll.) dan (b) Rekalsitran (benih tidak dapat disimpan lama, misalnya : suren, nangka, manggis, durian, karet, dll.).
Benih sebaiknya diperoleh dari pohon berkualitas baik dan diutamakan dari jenis‐jenis lokal, oleh sebab itu jika dijumpai jenis pohon lokal berkualitas disarankan untuk dijadikan sebagai pohon induk desa sehingga sifat unggul diharapkan akan menurun pada bibit yang kita produksi. Untuk memastikan mutu genetik, perlu ditetapkan lebih dari satu pohon induk dari jenis yang sama.
Gambar 10. Pohon induk
Namun demikian tidak menutup kemungkinan pengadaan benih diperoleh dari pohon dari luar daerah. Beberapa lokasi tempat pengumpulan benih dari beberapa lokasi sumber benih di Jawa disajikan sebagai berikut :
P a g e | 30
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Tabel 5. Daftar Lokasi untuk Pengumpulan Benih
No Jenis Lokasi Lembaga/Institusi
1 Swietenia macrophylla Carita (Banten Province) and Cianjur (West Java Province)
FORDA and Perhutani KPH Cianjur
2 Intsia bijuga Carita (Banten Province) FORDA
3 Alstonia scholaris Carita (Banten Province) FORDA
4 Gmelina arborea Dramaga‐Bogor FORDA
5 Paraserianthes falcataria Dramaga‐Bogor and Kediri (East Java)
FORDA and Perhutani KPH Kediri
6 Entrolobium cyclocarpum
Dramaga‐Bogor FORDA
7 Maesopsis eminii Cisarua‐Bogor PTPN VIII
8 Aquilaria crassna * Tajur‐Bogor SEAMEO‐BIOTROP
2. Penyemaian Benih
a. Perlakuan Benih sebelum Penyemaian Agar benih dapat segera berkecambah, maka perlu diberi perlakuan awal, hal ini
dimaksudkan agar benih sehat yang awalnya sulit berkecambah menjadi cepat berkecambah setelah diberi perlakuan pendahuluan sebelum pengecambahan. Perlakuan pendahuluan dilakukan pada kelompok benih ortodok, adapun benih rekalsitran umumnya tidak perlu diberi perlakuan pendahuluan karena benih kelompok ini akan lebih mudah dan cepat berkecambah.
Setiap jenis memiliki cara khusus untuk mempercepat proses perkecambahan, antara lain dengan cara : (1) melakukan perendaman di dalam air panas dan dingin (misalnya sengon, akasia, ekaliptus), (2) direndam dan dijemur (jati), (3) disangrai (jati), dengan bantuan jamur dekomposer (panggal buaya), (4) memecahkan kulit benih (sirsak).
Gambar 11. Memecah kulit benih sirsak untuk percepatan perkecambahan
b. Penyiapan Media Kecambah Media kecambah merupakan media yang digunakan untuk melakukan proses
perkecambahan benih yang ditandai oleh keluarca akar. Prinsip media kecambah adalah dapat memberikan lingkungan yang sesuai untuk terjadinya perkecambahan benih, untuk itu media kecambah harus : (1) porous (mudah meresapkan air dan
P a g e | 31
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
sirkulasi udara), sehingga memudahkan semai untuk disapih dan meminimalkan kerusakan akar saat penyapihan, (2) selalu lembab, (3) tidak tergenang air,(4) tidak kering, dan (5) steril dari kemungkinan penyakit. Media kecambah dapat dibuat dengan beberapa komposisi, antara lain : (1) pasir murni, (2) campuran pasir sungai : tanah = 2 : 1, (3) campuran arang sekam : tanah = 2 : 1, (4) campuran arang sekam : pasir sungai = 1 : 1, dll.
c. Teknik Penyemaian Benih
Tahapan penyemaian benih antara lain dilakukan sebagai berikut : - Siapkan media semai kemudian masukkan ke dalam bak tabur, bak kecambah
plastik, atau bak kecambah papan kayu - Basahkan media dengan air, tetapi tidak sampai becek - Untuk benih kecil dan halus, penyemaian dilakukan dengan cara menabur benih
secara merata pada media kecambah, kemudian benih yang telah ditabur ditutup media secara tipis.
- Untuk benih ukuran sedang, maka penyemaian dilakukan dengan cara menanam benih hingga kedalaman ½ ‐ ¾ bagian benih. Bagian yang dipendam adalah bagian tempat keluarnya akar. Jika posisi ini terbalik, maka saat akar keluar tidak mengenai media kecambah sehingga bisa menyebabkan semai mati akibat akar tidak menyerap air dari media.
- Media semai harus dijaga kelembabannya agar proses perkecambahan tetap dapat berjalan dengan baik. Penyiraman tidak sampai menyebabkan media becek,
Gambar 12. Proses penyemaian benih 3. Penyapihan
a. Penyiapan Media Sapih Media sapih digunakan sebagai media pertumbuhan semai hingga menjadi bibit siap tanam. Komposisi media sapih akan menentukan kualitas pertumbuhan bibit. Media sapih dibuat dari beberapa komposisi media, seperti tanah, kompos, arang sekam, pasir, serbuk gergaji, kokopit, dll. Namun apapun komposisinya, media sapih
P a g e | 32
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
sebaiknya dapat menghasilkan pertumbuhan bibit yang optimal dan menghasilkan media perkaran yang kompak. Media sapih dapat dibuat dari komposisi antara tanah : arang sekam : pupuk kandang = 2 : 1 : 1. Namun demikian terdapat beberapa contoh komposisi media sapih yang dapat digunakan pada beberapa jenis tanaman, antara lain
Campuran tanah : pupuk kandang kotoran sapi = 3 : 1, misal untuk ekaliptus dan meranti
Tanah liat, misalnya untuk Rhizopora sp, khususnya untuk angkutan jarak jauh sehingga kekompakan media tetap terjaga. Jika persemaian dekat, maka dapat digunakan media campuran lumpur : pasir = 2 : 1
Campuran pasir : tanah : kompos daun = 7 : 2 : 1, misalnya untuk cempaka, kayu afrika, kepuh, suren, balsa, sungkai, tanjung, jati, gmelina, kemlandingan, kesambi, mindi, sengon
Campuran tanah : kompos = 3 : 1 dan penanaman tanaman inang misalnya untuk tanaman cendana
Campuran tanah : pupuk kandang atau kompos = 1 : 1, misalnya nyatoh. durian
Campuran tanah : sekam padi atau tanah : kompos = 3 : 1, misalnya untuk sentang
Campuran tanah : pasir : kompos = 1 : 1 : 1, misalnya untuk duabanga
Campuran tanah : pupuk kandang = 2 : 1, misalnya pala
Campuran tanah : pasir = 1 : 1, misalnya rotan manau
Campuran tanah : pasir = 3 : 1, misalnya kemenyan
Campuran tanah : pasir = 2 : 1, misalnya kemiri b. Teknik Penyapihan
Penyapihan adalah proses memindahkan semai dari bak tabur/kecambah ke dalam media sapih di dalam polybag. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penyapihan semai adalah meminimalkan tingkat kerusakan akibat proses penyapihan. Kerusakan antara lain dapat disebabkan oleh : kerusakan akar atau kerusakan batang. Secara sederhana teknik penyapihan semai disajikan sebagai berikut : - Siapkan media tumbuh bibit dalam polybag ukuran dengan komposisi media
tertentu untuk penyapihan semai. - Basahi media tumbuh bibit dengan air hingga jenuh. - Siapkan semai dalam bak kecambah/media perkecambahan lain yang akan disapih
ke media tumbuh bibit. - Pilih semai yang siap sapih, antara lain telah memiliki sepasang daun. - Basahi media kecambah hingga jenuh hingga memudahkan dalam mencabut semai
sehingga kerusakan akar dapat dikurangi. - Siapkan wadah berisi air untuk menampung cabutan semai dari media kecambah. - Secara perlahan cabut semai dari media kecambah dan masukkan ke dalam wadah
berisi air sehingga mengurangi penguapan semai. - Buat lubang pada media tumbuh bibit dalam polybag lalu pindahkan secara perlahan
semai ke media tumbuh bibit yang telah disiapkan. - Tutup kembali atau tekan media secara perlahan sehingga semai dapat berdiri
dengan kokoh. - Tempatkan hasil semai yang telah disapih di bawah naungan paranet hingga siap
dipindahkann untuk adaptasi di tempat terbuka (khususnya untuk jenis yang tidak perlu naungan).
P a g e | 33
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Gambar 13. Kondisi semai siap sapih
Gambar 14. Cara penyapihan semai
4. Pemeliharaan Bibit Beberapa kegiatan utama dalam pemeliharaan bibit di persemaian adalah sebagai berikut : - Lakukan penyiraman secara rutin pagi (jam 8) dan sore hari (jam 4), khususnya jika
tidak hujan - Bibit dipelihara hingga siap tanam - Setiap 2 – 3 minggu lakukan penggeseran posisi bibit di bedeng sapih agar akar
tidak terlalu dalam menembus tanah karena dapat menyebabkan kelayuan hingga kematian bibit saat diangkut dari persemaian ke lokasi penanaman
- Lakukan pencegahan jika terjadi tanda‐tanda penyakit atau hama tanaman dengan menggunakan pestisida organik.
5. Seleksi Bibit Sebelum Penanaman Untuk meningkatkan keberhasilan tanaman, maka sebelum penanaman perlu dilakukan seleksi bibit. Bibit yang layak ditanam harus memenuhi kriteria sebagai berikut : - Pangkal batang telah berkayu dan memenuhi tinggi minimal 30 cm - Bibit sehat dan seragam - Bibit tidak sedang memiliki daun muda - Media perakaran kompak, artinya jika polybag dilepas maka media tanaman tidak
hancur/lepas tetapi tetap kompak. Media yang hancur akan menyebabkan banyak akar putus sehingga dapat menyebabkan kematian saat ditanam di lapangan
P a g e | 34
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
- Batang bibit lurus dan tidak bercabang - Bagian pucuk bibit tidak patah atau mati, karena akan menyebabkan banyak tumbuh
trubusan
Gambar 15. Proses Seleksi Bibit
P a g e | 35
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
DAFTAR PUSTAKA Anwar.C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Balai Litbang Teknologi Perbenihan. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Du‐Hyun Kim. 2009. Forest Seed Storage Technology. Paper of Training on Forest Tree Seed Management and Development. Korea Forest Research Institute
Kusmana.C., Sri.W., Iwan.H., Prijanto.P., Cahya.P.,Tatang.T., Adi.T., Yunasfi dan Hamzah., 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan . Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Primavera, J.H. et al., 2004. Handbook of Mangroves in Philippines‐Panay. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department UNESCO Man and the Biosphere.
Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari pohon uang: CDM kehutanan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi.
Permenhut No. P.70/Menhut‐II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Direktorat jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.
Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Danida Forest Seed Center. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.
Sub Teknik Konservasi Tanah. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Supriyanto. 1996. Penggunaan Inokulum Kelereng Alginat dalam Uji Efektifitas pada Semai Beberapa Jenis Dipterocarpaceae. Laporan DIP 1995/ 1996. SEAMEO‐BIOTROP. Bogor.
Supriyanto. 1997. Pengenalan Silvikultur Tanaman Hutan dan Teknik Pembibitan Tanaman Hutan. Makalah Pelatihan Manajemen Perbenihan dan Persemaian Tahun 1997 Tingkat Asper/ KBKPH dan Sederajat. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Cianjur.
Supriyanto and Ujang S. Irawan. 1997. Inoculation Techniques of Ectomycorrhizae. Seminar of Mycorrhizae, Ministry of Forestry – Overseas Development Administration/ United Kingdom, 28 – 29 February 1997, Balikpapan, East Kalimantan.
P a g e | 36
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Panduan Proses
Bagian 3
TEKNIK PENANAMAN,
PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN
P a g e | 37
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN
Tujuan: Peserta mampu:
1. Melakukan teknik penanaman secara benar
2. Melakukan cara pemeliharaan tanaman
3. Melakukan evaluasi hasil penanaman
Materi : Modul Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Waktu : c. Teori 2 JPL (@ 45 menit) = 90 menitPerlengkapan : In‐focus, speaker, spidol, white board/kertas manila, kertas HVS,
LCD Projector Media/Alat Bantu : Presentasi Power Point, Film Penanaman (“Kabupaten Agam
Menanam”)Skenario Pembelajaran :
Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi Waktu(menit)
1. Penayangan Film “Kabupaten Agam Menanam”
Pelatih memberikan pengantar film yang akan ditayangkan.
Peserta mendapatkan gambaran umum tentang penanaman
10’
2 Pelatih meminta pendapat kepada para peserta pelatihan, faktor‐faktor apa saja yang menentukan keberhasilan penanaman?
Pelatih merangkum jawaban peserta kemudian menjelaskan faktor‐faktor yang menentukan keberhasilan penanaman
Beberapa peserta pelatihan menyampaikan pendapatkanya tentang faktor keberhasilan penanaman
10’
PANDUAN PROSES
P a g e | 38
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
2 Teknik Penanaman
Pelatih menanyakan kepada para peserta tentang pengalaman menanam
Pelatih menjelaskan secara ringkas tentang teknik penanaman, yang meliputi : cara, sistem, dan pola penanaman
Pelatih meminta pendapat para peserta apa saja yang harus dilakukan sebelum penanaman
Pelatih merangkum jawaban peserta kemudian menjelaskan menjelaskan tahap persiapan penanaman yang harus dilakukan, yaitu : - Kebutuhan alat dan bahan - Cara pembersihan lahan - Cara pembuatan jalur tanam
(lahan datar atau miring) - Penentuan jarak tanam dan
pemasangan ajir - Cara pembuatan lubang tanam
dan penambahan pupuk organik
- Seleksi bibit sebelum penanaman
- Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman
Para peserta menyampaikan pengalaman tentang penanaman jenis apapun yang pernah mereka lakukan
Para peserta mengetahui teknik penanaman
Peserta pelatihan menyampaikan pendapatnya tentang persiapan penanaman
Peserta memahami kegiatan persiapan penanaman
20’
3 Pelaksanaan Penanaman
Pelatih meminta pendapat peserta tentang bagaimana cara menanam yang baik
Pelatih merangkum jawaban para peerta tentang cara menanam kemudian secara ringkas menjelaskan tahap pelaksanaan penanaman, yaitu : - Distribusi bibit ke lubang
tanam - Proses menanam (melepas
polybag, mengurug kembali tanah galian, menekan tanah pada bibit penanaman, menggundukkan tanah sekitar tanaman)
Para peserta menyampaikan pendapatnya tentang cara menanam yang baik
Peserta memahami kegiatan pelaksanaan penanaman
15’
P a g e | 39
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
4 Pemeliharaan Tanaman
Pelatih meminta pendapat para peserta tentang jenis pemeliharaan yang perlu diberikan pada hasil penanaman
Pelatih merangkum pendapat peserta kemudian secara ringkas dan jelas menyampaikan tahapan dan jenis kegiatan pemeliharaan - Pemeliharaan Tahun Berjalan - Pemeliharaan Tahun I - Pemeliharaan Tahun II
Para peserta menyampaikan pendapat tentang jenis pemeliharaan tanaman
Peserta memahami tahapan dan jenis kegiatan pemeliharaan tanaman
10’
5 Evaluasi penanaman
Pelatih menjelaskan prinsip evaluasi penanaman dalam rangka kegiatan pemeliharaan, yaitu : menghitung jumlah tanaman yang mati, menghitung jumlah tanaman yang merana (tidak normal), dan mengamati tingkat gangguan tanaman (hama, penyakit, gulma, binatang, dll.)
Pelatih menyampaikan contoh kasus kondisi tanaman dan meminta peserta mendisuksikannya untuk melakukan evaluasi tanaman berdasarkan kelompok
Peserta memahami cara dan tujuan kegiatan evaluasi tanaman
Peserta mendiskusikan contoh kasus kondisi tanaman yang akan dievaluasi dan menyampaikan hasil evaluasinya serta strategi yang perlu diterapkan
25’
Total 90’
P a g e | 40
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Bahan Bacaan
Modul 2
TEKNIK PENANAMAN,
PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN
P a g e | 41
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Teknik Penanaman, Pemeliharaan, dan Evaluasi Tanaman
1. Persyaratan Penanaman Kegagalan penanaman sebagian besar disebabkan oleh kurang terpenuhinya persyaratan penanaman, karena penanaman masih lebih mementingkan asal bibit sudah tertanam, tanpa memperdulikan apakah bibit yang ditanam akan dapat tumbuh baik atau tidak. Beberapa persyaratan penanaman adalah sebagai berikut: Kesesuaian Tempat Tumbuh/Jenis Tanaman akan tumbuh dengan baik jika memenuhi kesesuaian tempat tumbuh. Kesesuaian tempat tumbuh dapat meliputi : kesesuaian tanaman terhadap : jenis tanah, iklim (curah hujan, suhu), kondisi air, ketinggian tempat, dll. Cara paling sederhana untuk mngetahui kesesuaian tempat tumbuh suatu jenis adalah dengan melihat apakah terdapat jenis dimaksud telah tumbuh dengan baik di lokasi tersebut. Kesesuaian Musim Tanam Penanaman harus dilakukan pada musim hujan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kematian tanaman sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pasokan air akibat penanaman dilakukan pada akhir musim hujan atau bukan pada musim hujan. Kondisi terbaik penanaman adalah pada awal musim hujan sampai minimal satu bulan sebelum akhir musim hujan. Kesesuaian Teknik Menanam Salah satu penyebab lain kegagalan menanam adalah kesalahan dalam teknik pelaksanaannya di lapangan, antara lain : (1) cara mengangkut bibit yang salah (kumpulan banyak bibit diangkut dengan memegang bagian batangnya tanpa menggunakan alat angkut) yang menyebabkan bibit patah batang, (2) cara melepas polybag yang tidak hati‐hati sehingga merusak akar, (3) Ukuran lubang tanam terlalu sempit/dangkal, (4) jarak tanam yang terlalu rapat. Kualitas Bibit Bibit yang akan ditanam harus memenuhi kriteria bibit siap tanam yang berkualitas. Bibit siap tanam antara lain dicirikan oleh : pangkal batang telah berkayu, bibit sehat, media di polybag kompak, kecukupan tinggi/diameter tanaman, batang kokoh/tegar, dan memiliki batang tunggal, tidak bercabang, kekokohan bibit, dan secara genetik diperoleh dar induk yang unggul.
2. Teknik Penanaman Keberagaman kondisi lahan yang antara lain meliputi : tingkat kelerengan, tingkat penutupan vegetasi, pola penggunaan lahan yang bervariasi, kepekaan erosi, dan tujuan penanaman, akan memerlukan Cara, Sistem, dan Pola Tanam yang berbeda.
P a g e | 42
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
a. Cara penanaman
1) Cara penanaman pada lahan terbuka
Baris dan larikan tanaman lurus Cara tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat kelerengan datar, tetapi tanah peka terhadap erosi. Baris dan larikan tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur. Pada lahan hutan negara jumlah tanaman adalah 1100 btg/ha (jarak tanam 3m x 3m) sedangkan pada lahan Hutan Rakyat jumlah tanaman 400 btg/Ha (jarak tanam 5m x 5m). Penanaman dilakukan dengan sistem jalur dan pola tanam monokultur atau campuran.
Gambar16. Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari
Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari Pola tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat kelerengan datar hingga landai dan tanah tidak peka terhadap erosi. Baris dan larikan tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur. Pada Hutan Rakyat jumlah tanaman 400 btg/Ha (jarak tanam 5m x 5m). Penanaman dilakukan dengan sistem jalur dan pola tumpangsari, di mana di antara tanaman pokok akan dilakukan penanaman tanaman semusim.
Gambar 17. Pola tanam tumpangsari (kiri) dan pola campuran (kanan)
P a g e | 43
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Penanaman searah garis kontur
Pola tanam ini sesuai untuk lahan dengan kelerengan agak curam hingga sangat curam dan peka erosi. Pada Hutan Rakyat jumlah tanaman 400 btg/ha. Penanaman dilakukan dengan sistim cemplongan dan pola tanam monokultur atau campuran.
2) Cara penanaman di lahan tegalan/pekarangan.
Pada umumnya di lahan tegalan sudah terdapat tanaman kayu kayuan maupun tanaman MPTS. Dalam rangka pengembangan hutan rakyat, pada lahan tegalan yang jumlah pohon dan anakannya kurang dari 200 batang/Ha dapat dilakukan pengkayaan tanaman. Pola penanaman di lahan tegalan meliputi :
Penanaman pengkayaan pada batas pemilikan lahan Pada umumnya pada lahan tegalan sudah terdapat tanaman kayu kayuan/MPTS, maka tanaman baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 Batang/ha.
Pengkayaan penanaman/sisipan Pada umumnya pada lahan tegalan sudah terdapat tanaman kayu kayuan dan MPTS, maka tanaman baru sebagai tanaman pengkayaan sisipan sejumlah 200 btg/ha.
b. Sistem penanaman
• Sistem Cemplongan: teknik penanaman yang dilaksanakan dengan pembuatan lobang
tanam dan piringan tanaman. Pengolahan tanah hanya dilaksanakan pada piringan disekitar lobang tanaman. Sistem cemplongan dilaksanakan pada lahan‐lahan yang miring dan peka terhadap erosi,
• Sistem jalur: teknik ini dilaksanakan dengan pembuatan lobang tanam dalam jalur larikan, dengan pembersihan lapangan sepanjang jalur tanaman. Teknik ini dapat dipergunakan di lereng bukit dengan tanaman sabuk gunung,
• Sistem tugal/zero tillage: teknik ini dilaksanakan dengan tanpa olah tanah (zero till‐age). Lubang tanaman dibuat dengan tugal (batang kayu yang diruncingi ujungnya). Teknik ini cocok untuk pembuatan tanaman dengan benih langsung terutama pada areal dengan kemiringan lereng yang cukup tinggi, namun tanahnya subur dan peka erosi.
c. Pola Penanaman
• Pola Tumpangsari/Campuran: merupakan pola penanaman antara tanaman tahunan
dan tanaman semusim atau penanaman beberapa jenis tanaman tahunan pada satu lahan yang sama. Pola ini dapat dilakukan dengan cara agroforestry sederhana maupun agroforestry kompleks.
• Pola Monokultur: merupakan pola penanaman yang menerapkan hanya satu jenis tanaman tahunan pada suatu lahan.
P a g e | 44
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Gambar 18. Pola tanam monokultur
3. Persiapan dan Pelaksanaan Penanaman
a. Persiapan Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang perlu disiapkan dalam kekgiatan sebelum, sesaat, dan setelah penanaman antara lain : cangkul, linggis, golok, ajir (dibuat dari bambu lebar 3 cm, tinggi 120 cm, pangkal dicat merah 10 cm dan ujung runcing), kompas, GPS, meteran rol 50 m, tali plastik 100 m, keranjang/alat angkut bibit, alat ondol‐ondol untuk penjaluran pada lahan miring.
b. Pembersihan Lapangan dan Jalur Tanam
Pembersihan lapangan akan sangat terkait dengan lokasi dan kondisi vegetasi yang ada. Pada prinsipnya pembersihan lapangan akan menghindari teknik pembersihan total dengan cara membakar lahan, karena cara ini akan banyak menghilangkan vegetasi tumbuhan bawah yang dapat berakibat pada peningkatan aliran permukaan. Pembersihan lapangan akan mengutamakan pembersihan secara mekanik atau dengan menggunakan gabungan antara mekanik dan mesin rumput. Pembersihan lapang dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung pada kondisi penutupan lahan, kemiringan lahan, dan tingkat kerawanan erosi sebagai berikut:
Gambar 19. Pembuatan cemplongan
P a g e | 45
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
1) Kondisi lahan terbuka dan datar
Pada kondisi ini gulma, rumput atau alang‐alang dibersihkan sepanjang jalur tanam dengan lebar 1 m. Pembersihan dapat dilakukan menurut larikan dan baris tanaman. Pembersihan jalur tanam dapat dilakukan dengan menggunakan parang untuk memotong gulma‐gulma berkayu kemudian dilanjutkan dengan mesin rumput untuk membersihkan gulma‐gulma tidak berkayu. Namun jika mesin rumput tidak tersedia dapat dilakukan secara manual dengan parang. Selanutnya di sekitar lubang tanam dilakukan pembersihan gulma dan penggemburan tanah selebar 1 m mengelilingi lubang tanam.
Gambar 20. Sistem tugal
2) Kondisi lahan terbuka, miring, tidak rawan erosi
Pembersihan lahan pada jalur tanam menurut kontur. Pada kondisi seperti ini maka lahan akan dibersihkan selebar 1 m pada jalur tanam sesuai kontur. Pada lahan yang bukan merupakan jalur tanam tidak dilakukan pembersihan lahan, vegetasi yang tumbuh dibiarkan hidup, dengan demikian pembersihan lahan tidak menyebabkan peningkatan erosi tanah karena pada bukan jalur tanam tidak dilakukan pembabatan dan pembersihan gulma.
Gambar 21. Kondisi lahan terbuka dan miring
P a g e | 46
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
3) Kondisi lahan terbuka, miring, dan rawan erosi
Pada kondisi ini pembersihan lahan dilakukan secara cemplongan, yaitu lahan dibersihkan hanya pada radius 1 m sekitar lubang tanam dan pada radius 1 m tersebut jika tanah agak padat dilakukan penggemburan tanah, sedangkan pada jalur tanam atupun antar jalur tanam tidak dilakukan pembersihan lahan.
4) Kondisi lahan terbuka, sangat curam, tanah subur, dan rawan erosi
Pada kondisi seperti ini tidak dilakukan pembersihan lahan, namun penanaman akan dilakukan dengan sistem tugal, yaitu memasukkan benih pada lubang‐lubang yang dibuat dengan cara tugal, yaitu batang kayu berdiameter ± 5 cm bagian ujungnya dibuat runcing dan digunakan untuk membuat lubang tanam.
5) Kondisi lahan tegalan/vegetasi jarang dan datar
Pada kondisi ini vegetasi pohon sudah ada, namun perlu dilakukan pengakayaan tanaman dengan cara melakukan penanaman sisipan atau pengkayaan pada batas pemilikan lahan. Pembersihan pada kondisi ini akan lebih menerapkan sistem cemplongan, yaitu lahan dibersihkan hanya sekitar lubang tanam dengan radius 1 m.
Gambar 22. Pemasangan ajir pada lahan datar
c. Penentuan Arah Larikan, Jarak Tanam, dan Pemasangan Ajir
1) Lahan terbuka, datar/landai
Penentuan arah larikan, jarak tanam, dan pemasangan ajir ditentukan sebagai berikut : • Larikan ditetapkan menurut arah Utara‐Selatan, sehingga baris menurut Barat‐Timur • Pada lahan hutan negara, jarak tanam ditetapkan 3 m x 3 m sedangkan pada Hutan
Rakyat jarak tanam bisa 5m x 5m.
P a g e | 47
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Gambar 23. Pemasangan ajir pada lahan miring 2) Lahan terbuka dan miring
Pada kondisi lahan terbuka dan miring, maka arah larikan dan baris tanaman akan dibuat menurut garis kontur.
3) Lahan tegalan/pekarangan
Pada lahan tegalan/pekarangan penanaman akan menerapkan pengkayaan tanaman dalam secara sisipan dan penanaman pada batas pemilikan lahan. • Penanaman pengkayaan sisipan
Keterangan :
: Tanaman pengkayaan/baru
: Tanaman kayu yang sudah ada
Gambar 24. Model pengkayaan tanaman sisipan
Pada kondisi ini maka tanaman akan disisipkan pada tegakan pohon yang telah ada. Asumsinya tegakan pohon sebelumnya telah ditanam dengan jarak tanam yang teratur sehingga arah larikan mengikuti arah yang telah terbentuk sebelumnya, di mana ajir‐ajir untuk penanaman sisipan ditempatkan pada tempat kosong dengan patokan jarak tanam tertentu, misalnya 5m x 5m. Sedangkan jika tegakan yang akan dilakukan pengkayaan ditanam dengan jarak tanam yang tidak teratur, maka ajir dipasang pda tempat‐tempat kosong dengan tetap memperhatikan jarak tanam. Untuk jelasnya lihat gambar berikut:
P a g e | 48
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Keterangan :
: Tanaman pengkayaan/baru
: Tanaman kayu yang sudah ada
Gambar 25. Model pengkayaan pada batas pemilikan lahan
• Penanaman pengkayaan pada batas pemilikan lahan Pada kondisi ini maka ajir akan di pasang di bagian luar dari tanaman kayu yang sudah ada sebelumnya sebagai batas pemilikan lahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 26. Pembuatan lubang tanam
b. Pembuatan Lubang Tanam
Lubang tanam dapat dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm atau umumnya menggunakan ukuran lebar cangkul. Adapun pada kondisi tanah padat, lubang tanam dapat dibuat lebih lebar, misalnya dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 30 cm (sekitar dua kali ukuran lebar cangkul). Selanjutnya di sekitar lubang tanam dilakukan pembuatan piringan radius 1 m dengan cara membersihkan tanah dari gulma dan tumbuhan bawah lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk
P a g e | 49
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
mengurangi persaingan dengan gulma sehingga tanaman pokok dapat tumbuh secara optimal dalam mendapatkan unsur hara maupun cahaya. Untuk membantu pasokan unsur hara dan perbaikan sifat fisik tanah, maka pada setiap lubang tanam disarankan ditambahkan pupuk organik baik dalam bentuk kompos daun‐daunan, bokashi, pupuk kandang, atau pupuk kascing. Pupuk organik ditambahkan sekitar 1/3 volume lubang tanam, atau dapat juga ditambahkan sekitar 2‐3 liter/lubang tanam. Jika di atas lubang tanam terdapat serasah‐serasah yang telah menjadi kompos, juga dapat dimasukkan ke dalam lubang tanam sebagai kompos alami. Untuk kompos buatan yang sudah jadi, penambahan ke lubang tanam dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penanaman atau 1 hari sebelum penanaman. Sedangkan untuk kompos dari serasah di lantai‐lantai hutan dimasukkan ke dalam lubang tanam sekitar 7 hari sebelum pelaksanaan penanaman, hal ini dimaksudkan agar proses pengomposan telah terbentuk sempurna sebelum penanaman. Pada waktu menggali tanah simpanlah tanah bagian atas sebelah kiri, bagian bawah sebelah kanan (lihat gambar).
Gambar 27. Pembuatan lubang tanam c. Pengangkutan Bibit
Bibit yang diangkut adalah bibit yang telah diseleksi di persemaian dan memenuhi persyaratan untuk ditanam. Bibit yang layak ditanam harus memenuhi kriteria sebagai berikut: • Pangkal batang telah berkayu dan memenuhi tinggi minimal 30 cm • Bibit sehat dan seragam • Media perakaran kompak, artinya jika polybag dilepas maka media tanaman tidak
hancur/lepas tetapi tetap kompak. Media yang hancur akan menyebabkan banyak akar putus sehingga dapat menyebabkan kematian saat ditanam di lapangan
• Batang bibit lurus dan tidak bercabang • Bagian pucuk bibit tidak patah atau mati, karena akan menyebabkan banyak tumbuh
trubusan Pengangkutan bibit dilakukan melalui dua tahap, yaitu pengangkutan dari persemaian ke penampungan bibit di lokasi penanaman, dan distribusi bibit ke lubang tanam. Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman dapat dilakukan dengan cara dipikul, menggunakan motor, gerobak, atau jika akses memungkinkan menggunakan mobil. Tempat penampungan bibit di lokasi penanaman harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan agar bibit tidak layu, antara lain bibit harus ditempatkan pada tempat yang ternaung. Tahap selanjutnya adalah mendistribusikan bibit ke lubang‐lubang tanam. Pada tahap ini harus memperhatikan cara mengangkut bibit agar dapat meminimalkan kerusakan. Kerusakan biasanya disebabkan oleh cara membawa bibit dengan memegang batang bibit, sehingga bibit dapat lepas dari polybag
P a g e | 50
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
atau patah batang. Sebaiknya distribusi bibit ke lubang tanam tetap menggunakan alat angkut bibit seperti dengan cara dipikul. Oleh sebab itu terdapat hal‐hal penting yang harus diperhatikan dalam pengangkutan bibit, yaitu: • Bibit diangkut dengan cara dipikul, bukan dipegang bagian batangnya karena akan patah, • Jarak jangkau untuk memikul maksium 2 km, agar bibit tidak terlalu lama dalam proses dis‐
tribusi yang dapat menyebabkan bibit layu. • Jumlah bibit yang diangkut ke lubang tanam disesuaikan dengan jadwal penanaman dan
kemampuan regu menanam, jumlah bibit yang terlalu banyak dan tertinggal di lapangan karrena belum sempat ditanam dapat layu sehingga bibit bisa mati setelah ditanam.
Cara Mengangkut Benar Cara Mengangkut Salah
Gambar 28. Cara mengangkut bibit benar (kiri) dan cara salah (kanan)
d. Pelaksanaan Penanaman
Teknik penanaman dilakukan dengan cara sebagai berikut: • Pastikan bahwa penanaman dilaksanakan pada musim hujan • Bibit dari persemaian yang jauh tidak langsung ditanam, tetapi diadaptasikan dahulu agar
tidak layu. • Polybag sebaiknya dilepas dari media, bukan dengan cara disobek. • Untuk melepas polybag dari media dapat dilakukan dengan menekan media dalam polybag
sehingga polybag mudah untuk dilepas. • Lepas polybag secara perlahan untuk menghindari kerusakan bibit khususnya jika media
bibit kurang kompak. • Kumpulkan polybag yang telah dilepas karena dapat digunakan kembali untuk pembibitan,
polybag jangan di buang di lokasi penanaman karena akan menjadi sumber pencemaran lingkungan.
• Letakkan bibit yang telah dilepas polybagnya ke dalam lubang tanam, jika lubang tanam sudah berisi kompos maka bibit diletakkan dan ditimbun di antara kompos.
• Masukkan tanah ke dalam lubang tanam, masukkan terlabih dahulu tanah lapisan atas ke‐mudian diikuti tanah lapisan bawah. Selanjutnya tekan tanah yang telah ditimbun hingga kondisi bibit tegak/kokoh
• Agar tidak tergenang air saat turun hujan, maka tanah di sekitar bibit dibuat agak lebih tinggi dengan cara digundukkan
• Untuk areal yang banyak angin kencang, ikat batang bibit dengan tali rafia ke ajir
P a g e | 51
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Gambar 29. Penanaman bibit
4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan perlu dilakukan secara baik, benar, dan periodik agar proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat berjalan secara optimal. Kegiatan pemeliharaan meliputi: penyulaman, pemupukan, penyiangan dan pendangiran, serta pengendalian hama dan penyakit. a. Penyulaman
Maksud kegiatan penyulaman adalah untuk meningkatkan persentase jadi tanaman dalam satu kesatuan luas tertentu. Kegiatan penyulaman tersebut bertujuan untuk memenuhi jumlah tanaman per hektar sesuai dengan jarak tanamnya. Penyulaman sebaiknya dilakukan pada sore hari dan atau pada pagi hari sebelum terik matahari. Frekuensi dan intensitas penyulaman adalah sebagai berikut: • Penyulaman tanaman pokok dilakukan maksimal 2 kali selama daur, yaitu 1‐2 bulan setelah
penanaman (Pemeliharaan Tahun Berjalan) dan akhir kegiatan Tahun II (Pemeliharaan Ta‐hun I) yang dilaksanakan selama hujan masih turun/terdapat ketersediaan air.
• Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati. Cara penyulaman dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Menginventarisasi seluruh tanaman yang mati pada setiap jalur tanaman, kegiatan ini
dilakukan pada tahun pertama (1‐2 bulan setelah penanaman) dan tahun kedua. 2. Tanaman yang disulam adalah tanaman yang mati, tanaman tidak sehat/merana, tanaman
yang rusak (patah, bengkok, daun gandul), dan tempat lubang tanaman yang tidak ada tana‐mannya.
3. Penyulaman dapat dilakukan pada saat monitoring jalur tanaman 4. Penyulaman tahun berjalan menggunakan bibit dari persemaian yang seumur dan sehat. b. Penyiangan Penyiangan tanaman bertujuan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman pokok yang lebih baik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan presentase hidup tanaman. Jika pertumbuhan gulma atau rumput di sekitar tanaman sudah pada tahap mengganggu pertumbuhan tanaman (sudah masuk di sekitar proyeksi tajuk), maka perlu segera disiangi. Kegiatan penyiangan dilakukan sebanyak dua kali pada kegiatan Pemeliharaan Tahun Berjalan,
P a g e | 52
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
yaitu pada umur 3 dan 6 bulan setelah penanaman. Penyiangan dilaksanakan pada waktu musim kemarau atau musim penghujan. Tanaman perlu disiangi pada saat 40‐50% dari tanaman pokok tertutup oleh gulma (rumput, alang‐alang, dan tanaman liar lainnya). Frekuensi dan intensitas penyiangan dilaksanakan minimal 3‐4 bulan sekali dalam setahun sampai dengan umur 2 tahun. Kegiatan penyiangan diakhiri ketika tanaman pokok mampu bersaing dengan tanaman liar terutama dalam memperoleh kebutuhan cahaya matahari. Untuk jenis yang cepat tumbuh, kemampuan bersaing dengan gulma dalam mendapatkan kebutuhan cahaya matahari biasanya dicapai pada saat tanaman berumur 2‐3 tahun, sedangkan untuk jenis yang lambat tumbuh dicapai pada umur 3‐4 tahun. Tahap penyiangan dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut: • Tanaman yang disiangi terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tepi • Penyiangan dilakukan dengan cara manual dapat berupa piringan berdiameter 1 m atau
dengan sistem jalur dengan lebar 1meter, dengan tanaman pokok sebagai porosnya, semua tanaman gulma yang ada dalam piringan atau jalur dibersihkan dengan alat sederhana seperti koret, cangkul, atau sabit. Cara pembersihannya dapat dilakukan dengan pembabatan atau pengolahan tanah. Hasil babatan disingkirkan dibagian luar jalur/piringan. Diharapkan hasil pembabatan tersebut dpat menutupi gulma. Untuk gulma yang merambat penyiangannya dengan memotong gulma (± 10 cm diatas permukaan tanah).
c. Pendangiran
Pendangiran bertujuan untuk memacu pertumbuhan tanaman dengan cara menggemburkan tanah di sekitar tanaman. Pendangiran dilaksanakan pada waktu musim kemarau menjelang musim hutan tiba. Pendangiran dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 1‐4 tahun dan diutamakan apabila terjadi stagnasi pertumbuhan atau tanah bertekstur berat/mengandung liat tinggi serta persiapan lahan tidak melalui pengolahan tanah. Frekuensi dan intensitas pendangiran adalah : (1) pendangiran tanaman dilakukan 1‐2 kali dalam satu tahun tergantung pada tingkat tekstur tanahnya. Makin berat tanahnya makin sering dilakukan pendangiran. Dalam hal ini pendangiran dilakukan saat tanaman berumur 3 dan 6 bulan. Intensitasnya pendangiran tergantung pada jarak tanam dan kisarannya 50 cm sekeliling tanaman. Cara pendangiran adalah sebagai berikut : • Pendangiran dilakukan secara manual di sekitar tanaman dengan radius 50 cm tergantung
pada jarak tanamnya. • Cara mendangir dengan menggunakan cangkul, pencangkulan tanah jangan terlalu dalam
untuk menghindari terjadinya pemotongan akar tanaman pokok.
Gambar 30. Pendangiran
P a g e | 53
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
d. Pemberian pupuk
Pemupukan tanaman hutan bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah agar tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup untuk meningkatkan kuantiítas dan kualitas tanaman. Pemupukan dilakukan jika tanah miskin hara, tanaman pertumbuhannya terlambat walaupun sudah dilakukan penyiangan dan dijumpai gejala kekurangan unsur hara. Jenis pupuk yang digunakan umumnya mengandung unsur N,P,K. Namun demikian tidak menutup kemungkinan tanaman kekurangan unsur lain. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan diagnosa kebutuhan hara tanaman dengan menggunakan data hasil analisa jaringan tanaman/daun dan analisa tanah. Sebelum pemupukan seyogyanya pH tanaman diketahui dan tanah yang pH‐nya asam (pH rendah) perlu diberi kapur dolomit (CaMgO
3) agar pH tanah naik
sehingga pemupukan memberikan respon dan dapat berjalan efektif. Waktu pemupukan tergantung pada kondisi iklim dan dilakukan menjelang atau awal musim hujan, kalau diperlukan tambahan pada pupuk yang sama, maka dilakukan menjelang akhir musim hujan. Pemupukan dilakukan umumya pada saat tanaman berumur 1‐3 bulan, semakin jelek tingkatan kesuburan tanah dan lahan yang diolah maka pemupukan harus dilakukan lebih awal, kemudian diulangi 6‐24 bulan sampai tinggi tanaman melampaui tinggi gulma. Tanaman yang tumbuh kerdil membutuhkan pupuk yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal. Pada tanah yang jelek dosis pemupukan lebih tinggi dibandingkan tanah yang relatif subur, untuk menentukan dosis pemupukan dilakukan dengan memperbandingkan data hasil analisa jaringan tanaman dan tanah. Pupuk yang akan digunakan sebaiknya sudah memenuhi standar mutu SNI (standar mutu yang telah diakui). Pupuk diberikan terutama pada lahan yang kadar pasirnya tidak terlalu tinggi karena pada lahan yang memiliki kandungan pasir tinggi maka pemeberian pupuk anorganik akan mudah tercuci saat turun hujan. Jika lahan mengandung tanah (kandungan liat tinggi), maka pupuk NPK dapat diberikan pada umur 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah tanam. Dosisnya untuk setiap tanaman pada masing‐masing umur tanaman adalah = 50 gram/ tanaman. Pupuk ditabur di sekeliling proyeksi tajuk, di mana lahan telah dibuat jalur melingkar (piringan) dengan kedalaman ± 5 cm. Setelah pupuk ditabur lalu ditutup kembali dengan tanah agar tidak tercuci. Secara sederhana pemupukan dapat dilakukan sebagai berikut: • Siapkan jenis pupuk yang diperlukan dan dosis yang dianjurkan (misalnya pupuk NPK den‐
gan dosis 100 gram/tanaman • Sebelum dipupuk tanah sekeliling tanaman disiangi dan dibuat lubang melingkar di sekelil‐
ing batas tajuk tanaman sedalam 5‐10 cm • Taburkan pupuk secara merata sepanjang lingkaran proyeksi tajuk tersebut • Tutup kembali pupuk yang telah ditabur ke dalam lubang dengan tanah untuk menghindari
adanya fiksasi untuk fosfat dan kalium. Namun dalam realisainya di lapangan, pemupukan lebih diutamakan menggunakan pupuk organik hasil produksi masyarakat baik dalam bentuk pupuk organik cair maupun pupuk organik padat sehingga lebih ramah lingkungan. Termasuk untuk pemenuhan kebutuhan hara nitrogen, fosfor, dan kalium sangat disarankan dilakukan pembuatan dari bahan‐bahan alami.
P a g e | 54
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
e. Pencegahan Hama dan Penyakit Tanaman
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara dini agar tidak menimbulkan kerugian yang besar terhadap tanaman. Jika terdapat tanda‐tanda serangan hama atau penyakit maka perlu pengendalian. Untuk pengendalian patogen yang disebabkan oleh cendawan, maka dapat digunakan fungisida, antara lain Mancozeb 80% dengan dosis 1800‐2000 ppm (1,8‐2 gram/liter). Adapun untuk penanggulangan insekta dapat digunakan insektisida dengan kandungan bahan aktif tertentu. Tujuan kegiatan adalah melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit, serta mencegah timbulnya serangan hama dan penykait secara ekplosif. Pencegahan hama dan penyakit yang sifatnya pencegahan dilakukan sejak pembuatan tanaman, antara lain dengan cara: pengawasan yang intensif, pemupukan, pengaturan drainase, penanaman jenis yang resisten hama dan penyakit. Jika terjadi serangan hama dan penyakit, maka teknik penanggulangannya dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: • Cara mekanis/fisik, yaitu: dengan merusak benalu, menghilangkan tanaman yang sakit
(misalnya dipotong atau ditimbun dalam tanah). • Cara kimiawi, yaitu menggunakan pestisida baik fungisida maupun insektisida atau bahan
kimia lain sesuai dengan jenis penyebabnya. Dosis dan tata cara penggunaan disesuaikan dengan jenis pestisida yang digunakan.
• Cara silvikultur, mengatur kerapatan tegakan, komposisi jenis, dan mengatur drainase. • Cara biologi, yaitu menggunakan predator/musuh alami. Untuk serangan cendawan akar
putih pada cempaka maka dapat dikendalikan dengan menggunakan cendawan Trichoderma sp sebagai musuh alami yang dapat menekan kolonisasi cendawan patogen.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara dini agar tidak menimbulkan kerugian yang besar terhadap tanaman. Jika terdapat tanda‐tanda serangan hama atau penyakit maka perlu pengendalian. Untuk pengendalian patogen yang disebabkan oleh cendawan, maka dapat digunakan fungisida,sedangkan serangan serangga dapat dikendalikan dengan insektisida. Dalam pelaksanaannya di lapangan, penanggulangan hama dan penyakit akan lebih disarankan menggunakan pestisida organik yang telah diproduksi oleh masyarakat.
5. Evaluasi Tanaman Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembuatan tanaman sesuai dengan kriteria dan standar keberhasilan yang telah ditetapkan. Evaluasi tanaman meliputi : pengukuran luas tanaman; jumlah dan jenis tanaman (kayu-kayuan, MPTS), penghitungan persentase tumbuh tanaman pokok, perhitungan tanaman merana, perhitungan tanaman mati, jenis gangguan. Evaluasi tanaman dilakukan di setiap lokasi penanaman.
Metode pembuatan plot pengukuran menerapkan metode Systematic Sampling with Random Start dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan kemampuan. Dalam hal ini ditetapkan setiap 1 ha areal penanaman perlu dibuat 1 plot pengamatan/pengukuran. Langkah pembuatan plot adalah sebagai berikut :
Buat plot ukuran 25 m x 40 m atau setara 0,1 ha untuk setiap 1 ha areal penanaman
Plot pertama diletakkan secara acak, plot berikutnya diletakkan secara berurutan di mana jarak antar pusat plot arah Utara-Selatan adalah 100 m, dan arah Barat-Timur adalah 200 m
P a g e | 55
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pada setiap plot lakukan pengamatan : (a) Jumlah tanaman hidup, (b) Jumlah tanaman mati, (c) Jumlah tanaman merana (kecil kemungkinan tumbuh normal), (d) Jenis gangguan tanaman (hama, penyakit, ternak, dll.)
Data hasil evaluasi sangat berguna untuk melakukan startegi pemeliharaan tanaman
Gambar 31. Contoh lay out plot evaluasi tanaman
Pada lokasi tanaman pengkayaan, maka pembuatan plot dilakukan melalui metode purposive sampling (penarikan contoh disengaja) yaitu dengan memilih petak contoh yang memiliki ciri tertentu yakni petak contoh tanaman yang dianggap mewakili seluruh populasi (petak tanaman pengkayaan), penyedia juga diminta mengajukan usulan untuk aplikasinya di lapangan.
Berdasarkan hasil evaluasi tanaman maka akan diperoleh informasi keberhasilan penanaman. Kriteria keberhasilan penanaman di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dilaksanakan dalam hamparan lahan dengan satuan luas (Ha) dinilai keberhasilannya sebagai berikut : a. Di Dalam Kawasan Hutan
- Tanaman Tahun Berjalan (Evaluasi 1 bulan/tahun yang sama setelah penanaman) : Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 70 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 70 %
- Tanaman Setelah Pemeliharaan I (Evaluasi 1 tahun setelah penanaman) :
Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 90 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 90 %
- Tanaman Setelah Pemeliharaan II (Evaluasi 2 tahun setalah penanaman) :
Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 90 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 90 %
P a g e | 56
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
b. Di Luar Kawasan Hutan
- Tanaman Tahun Berjalan (Evaluasi 1 bulan/tahun yang sama setelah penanaman) : Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 60 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 60 %
- Tanaman Setelah Pemeliharaan I (Evaluasi 1 tahun setelah penanaman) :
Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 80 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 80 %
- Tanaman Setelah Pemeliharaan II (Evaluasi 2 tahun setelah penanaman) : Berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan ≥ 80 % Kurang berhasil = Persentase tumbuh tanaman dinyatakan < 80 %
P a g e | 57
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)
DAFTAR PUSTAKA Anwar.C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Balai Litbang Teknologi Perbenihan. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Du‐Hyun Kim. 2009. Forest Seed Storage Technology. Paper of Training on Forest Tree Seed Management and Development. Korea Forest Research Institute
Kusmana.C., Sri.W., Iwan.H., Prijanto.P., Cahya.P.,Tatang.T., Adi.T., Yunasfi dan Hamzah., 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan . Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Primavera, J.H. et al., 2004. Handbook of Mangroves in Philippines‐Panay. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department UNESCO Man and the Biosphere.
Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari pohon uang: CDM kehutanan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi.
Permenhut No. P.70/Menhut‐II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Direktorat jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.
Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Danida Forest Seed Center. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.
Sub Teknik Konservasi Tanah. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Supriyanto. 1996. Penggunaan Inokulum Kelereng Alginat dalam Uji Efektifitas pada Semai Beberapa Jenis Dipterocarpaceae. Laporan DIP 1995/ 1996. SEAMEO‐BIOTROP. Bogor.
Supriyanto. 1997. Pengenalan Silvikultur Tanaman Hutan dan Teknik Pembibitan Tanaman Hutan. Makalah Pelatihan Manajemen Perbenihan dan Persemaian Tahun 1997 Tingkat Asper/ KBKPH dan Sederajat. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Cianjur.
Supriyanto and Ujang S. Irawan. 1997. Inoculation Techniques of Ectomycorrhizae. Seminar of Mycorrhizae, Ministry of Forestry – Overseas Development Administration/ United Kingdom, 28 – 29 February 1997, Balikpapan, East Kalimantan.
P a g e | 58
Modul Implementasi Perlindungan Daerah Tangkapan Air (DTA)