model terapi linguistik kinect-based dyslexia

434
ii MODEL TERAPI LINGUISTIK "KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY” TERHADAP ANAK PENYANDANG DISLEKSIA DI SULAWESI SELATAN: (Kajian Neuropsikolinguistik) MODEL OF LINGUISTIC THERAPY ”KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY” FOR DYSLEXIC CHILDREN IN SOUTH SULAWESI: (Neuropsycholinguistic Studies) TAMMASSE P0300314002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

ii

MODEL TERAPI LINGUISTIK "KINECT-BASED DYSLEXIA

THERAPY” TERHADAP ANAK PENYANDANG DISLEKSIA

DI SULAWESI SELATAN:

(Kajian Neuropsikolinguistik)

MODEL OF LINGUISTIC THERAPY ”KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY” FOR DYSLEXIC CHILDREN IN SOUTH SULAWESI:

(Neuropsycholinguistic Studies)

TAMMASSE

P0300314002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

iii

MOTTO DAN PENDEDIKASIAN

"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan

apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah:11)

Disertasi ini kudedikasikan kepada:

pohon rinduku, jumraini tammasse (ibu anak-anakku), buah cintaku, iin fadhilah utami tammasse, dan gita fitri aidini

tammasse, generasi “pattola-palallo”ku, pelanjut segala cita-cita luhurku, ……… serta kepada seluruh generasi muda

bangsaku agar merdeka dari ketidakmampuan membaca dan menulis (disleksia) ……

Makassar, 20 Februari 2018

H. Tammasse Balla

Page 3: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

iv

PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI

MODEL TERAPI LINGUISTIK "KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY”

TERHADAP ANAK PENYANDANG DISLEKSIA DI SULAWESI SELATAN:

Kajian Neuropsikolinguistik

Tammasse

NIM P0300314002

Makassar, 20 Februari 2018

Menyetujui:

Promotor,

Prof. Dr. Abdul Hakim Yassi, Dipl. TESL., M.A.

Kopromotor I, Kopromotor II, Dr. dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S. Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.

Mengetahui:

Ketua Program Studi S3 Ilmu Linguistik,

Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.

Page 4: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

v

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Tammasse

Nomor Induk Mahasiswa : P0300314002

Program Studi : Ilmu Linguistik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 20 Februari 2018

Yang menyatakan,

Tammasse

Page 5: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

vi

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang paling tepat saya ucapkan kecuali rasa syukur

saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat kesehatan dan

kesempatan sehingga disertasi ini dapat saya rampungkan.

Disertasi ini merupakan karya yang dilakukan dengan proses panjang,

butuh pengorbanan, keuletan, dan kesabaran tinggi. Tanpa bantuan,

petunjuk, bimbingan, dan arahan berharga dari Tim Pembimbing, masing-

masing Prof. Dr. Abdul Hakim Yassi, Dipl., TESL., M.A. (Promotor),

Dr.dr.Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S. (Kompromotor I) dan kepada

Dr. Ikhwan M. Said., M.Hum., tanpa bimbingan mereka, disertasi ini belum

tentu dapat terwujud seperti sekarang ini.

Segala kritikan membangun, perbaikan, dan saran yang sangat

berguna dari tim penguji: Prof. Dr. H. A. Jufri, M.Pd. (penguji eksternal dari

Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. H. Hamzah A. Machmoed,

M.A., Dr. Hj. Nurhayati Syairuddin, M.Hum., Dr. H. Basrah Gising, M.Si.

(penguji internal) yang telah memperkaya kedalaman pemahaman saya

terhadap objek dan pembahasan penelitian ini.

Ucapan terima kasih saya tujukan kepada Rektor Universitas

Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A., Prof Dr. Junaidi

Muhidong, M.A. dan Wakil Rektor lainnya atas segala pelayanan

administrasi yang prima selama saya menempuh pendidikan S3 di Prodi S3

Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Page 6: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

vii

Kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin,

Prof. Dr. Akin Duli, M.A., Wakil Dekan I, Dr. H. Fathu Rahman, M.Hum.,

Wakil Dekan II, Prof. Dr. Abdul Rasyid Asba, M.A. dan Wakil Dekan III.,

Dr. A. Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum. atas bantuan dan dorongan

hingga saya tiba pada penghujung penyelesaian studi. Jasa baik yang tidak

bisa saya lupakan dari Dekan FIB Universitas Hasanuddin (periode 2009-

2017), Prof. Drs. H. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D. yang selalu

memberikan motivasi kepada saya agar secepatnya menyelesaikan studi.

Demikian pula dorongan semangat dari Prof. Dr. Hj. Nurhayati Rahman,

M.Hum., yang hampir tiap bertemu selalu “menagih” saya “Kapan Doktor?”

Ucapan terima saya tujukan kepada Dr. Ikhwan M.Said, M.Hum

selaku Ketua Program Studi S3 yang tak henti-hentinya mendorong saya

untuk melangkah selangkah demi selangkah dalam proses penyelesaian

studi. Demikian pula kepada mendiang Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A.

Ph.D., semasa hidupnya beliau pada setiap kesempatan menuntun saya

dalam memahami cakrawala ilmu pengetahuan linguistik yang amat luas itu.

Kepada seluruh guru saya mulai dari SD, SMP, SMA, S1, S2, sampai

S3 yang tidak sempat disebutkan satu per satu di sini, dengan penuh

kerendahan hati, saya menyampaikan terima kasih tak terhingga. Semoga

segala ilmu yang telah dititiskan kepada saya dapat menjadi amal jariah.

Tiga orang yang amat berjasa dalam proses penyelesaian studi saya,

masing-masing Dr.dr.Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked.,Sp.S., Iin Fadhilah

Utami Tammasse, S.Ked., dan Gita Fitri Aidini Tammasse, istri dan kedua

Page 7: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

viii

putriku. Mereka tak henti-hentinya memberikan dorongan semangat disertai

doa sehingga tahap demi tahap penulisan disertasi dapat terlewati tanpa

hambatan yang berarti. Dengan penuh pengertian, kepentingan ketiga orang

ini seringkali saya kesampingkan demi kepentingan studi saya.

Secara khusus saya ingin mengungkapkan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. H. Fathu Rahman, M.Hum. atas

kritik dan catatan-catatan pertimbangan yang diberikan saat berdiskusi. Pada

satu kesempatan, saya sempat bekerja satu tim dengan beliau untuk

kegiatan pengabdian masyarakat yang saya ketuai. Saya tahu beliau amat

sibuk dengan kesibukannya sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik dan

Pengembangan FIB Unhas, namun beliau selalu saja menyisihkan waktu

untuk bertukar pikiran disertai dengan canda khasnya. Saya tidak akan

pernah melupakan itu, walaupun dalam diskusi tersebut tidak selalu pikiran

kami sejalan.

Ayah saya H. Balla (almarhum) dan ibu saya Hj. Asia Balla

(almarhumah), orang yang mendambakan saya mengenyam pendidikan

tertinggi. Doa mereka Insya Allah dikabulkan oleh Allah meskipun beliau

tidak sempat menyaksikan saya berdiri di podium terhormat untuk

mempertahankan disertasi saya sebagai bagian yang harus saya jalani untuk

memperoleh gelar akademik maha terpelajar. Disertasi ini saya dedikasikan

kepada mereka.

Page 8: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

ix

Saya tidak boleh melupakan jasa baik orangtua para subjek penelitian

saya, yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Juga kepada

Drs. Achmad, M.M., Kepala SLB Negeri 2 Makassar dan seluruh staf, tanpa

bantuan dan persetujuan mereka, penelitian ini bisa terhambat. Demikian

halnya kepada Tim Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas

penerbitan keterangan etik untuk pelaksanaan penelitian saya.

Kepada rekan seperjuangan, M. Dahlan Abubakar, Ahmad, Rita

Tanduk, Fitri Arniati, Nirwanto Ma'ruf, Supriadi, Lewi, Antonius Wotun,

Umar, Lalu Santana adalah teman seperjuangan di Prodi S3 Ilmu Linguistik

FIB Unhas. Semboyan kami, “mari kita kukuh dalam cita-cita mulia ini,

semoga perjuangan ini membuahkan hasil yang diidamkan”.

Kepada adik-adikku, Hj. Nurbah Balla, S.Pd., dan keluarga, Nur

Asibah Balla, S.Pd., M.Pd., dan keluarga, yang selalu memberikan motivasi

sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan tertinggi ini. Demikian pula

kepada adik ipar saya, dr. Sabriani M. Said, S.Ked. dan keluarga yang

selalu mengingatkan saya agar tetap menjaga kesehatan, sehingga

alhamdulillah, saya bisa menempuh pendididkan ini dengan sukses. Tak lupa

pula saya menyampaikan terima kasih kepada adik Dya Puspitasari H. La

Tuwo (Lidya) yang menemani saya sewaktu pengambilan data di SLB

Negeri 2 Makassar.

Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan satu

per satu, yang telah membantu saya, baik langsung maupun tidak langsung,

Page 9: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

x

saya sampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini memberi manfaat. Amin

YRA.

Makassar, 20 Februari 2018

Tammasse

Page 10: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xi

Abstrak

TAMMASSE. Model Terapi Lingusitik “Kinect-Based Dyslexia Therapy” terhadap Anak Penyandang Disleksia di Sulawesi Selatan: Kajian Neuropsikolinguistik (dibimbing oleh Abdul Hakim Yassi, Jumraini Tammasse, dan Ikhwan M. Said).

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan masalah kebahasaan penyandang disleksia dari sisi neuropsikolinguistik, 2) menjelaskan kegagalan berbahasa bagi anak penyandang disleksia dari aspek fonologis, leksikal, dan sintaksis, dan 3) menjelaskan efektivitas terapi (media “kinect-based dyslexia therapy”) untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan kajian eksperimental melalui pendekatan longitudinal eksperimental. Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi Selatan, sebagai sampel, selama satu tahun. Secara purposif, sampel ditetapkan sebanyak 10 orang murid, 5 orang untuk kelompok perlakuan dan 5 orang lainnya kelompok kontrol. Baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol memiliki derajat disleksia yang sama berdasarkan hasil uji linguistis dan uji klinis. Persamaan derajat kedua kelompok ini telah memenuhi prinsip dasar metode analisis eksperimental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan acquired dyslexia (diperoleh karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental dyslexia disandang sepanjang hidup dan umumnya genetik. Jenis disleksia ini dapat memicu lahirnya acquired dyslexia. Acquired dyslexia ini dapat diperbaiki melalui terapi, dan aspek inilah yang menjadi sumbangan penelitian ini. Berdasarkan hasil terapi dengan menggunakan ‘Kinect-Based Dyslexia Therapy”, terlihat perbaikan dari aspek fonologis, leksikal, dan sintaksis dengan pencapaian rata-rata 0.90 (4.51/5=0.90) dari 5 sampel anak suspek disleksia yang mengikuti terapi selama delapan kali sesi terapi. Dengan kata lain, telah terjadi perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,023 pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah terapi (uji T tidak berpasangan), yakni nilai p=0.043. Temuan tersebut menujukkan bahwa penggunaan media “Kinect-Based Dyslexia Therapy” (sesuai prosedur yang tepat) menjadi salah satu rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu anak penyandang disleksia. Kata Kunci: disleksia, neuropsikolinguistik, uji linguistik, uji klinis, Kinect-Based Dyslexia Therapy, terapi

Page 11: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xii

Abstract

TAMMASSE. Model of Linguistic Therapy “Kinect-Based Dyslexia Therapy” for Dyslexic Children in South Sulawesi: Neuropsycholinguistic Studies (supervised by Abdul Hakim Yassi, Jumraini Tammasse, and Ikhwan M. Said).

This study aims to: 1) describe the language problem of dyslexic people from the neuropsycholinguistic side, 2) to explain the language failure for dyslexic children from phonological, lexical and syntactic aspects, and 3) to explain the effectiveness of therapy (media kinect-based dyslexia therapy) to improve reading skill in dyslexic children in comparison with the control group.

The type of this research is an analytic descriptive one with experimental method through experimental longitudinal approach. This research was conducted at one of SLB (Sekolah Luar Biasa) in South Sulawesi, as sample, for one year. By purposive sample were determined by 10 children, 5 children as for treatment group and 5 other as control group one. Both the treatment group and the control group one had the same degree of dyslexia based on linguistics test result and clinical trials record. The equations of these two groups have met the basic principles of the experimental analysis method.

The results shows that there are two types of dyslexia, developmental dyslexia (congenital) and acquire dyslexia (obtained due to disorder or changes in the way the left brain reads). Developmental dyslexia affects throughout the life of the patient and is generally genetic. This type of dyslexia can trigger the birth of acquire dyslexia. The acquire dyslexia can be improved through therapy process, and this aspect to be beneficial contribution of this study.

Based on the results of therapy using “Kinect-Based Dyslexia Therapy” seen improvement of phonological, lexical and syntactic aspects with an average achievement of 0.90 (4.51 / 5 = 0.90) of 5 samples of suspect dyslexic children who followed therapy for eight treatment sessions of therapy. In other words there has been a significant difference with the p-value <0.023 in the treatment group before and after therapy (unpaired T-test) that is p-value = 0.043. From these findings, the therapy using “KInect-Based Dyslexia Therapy” (appropriate procedure) became one of the recommendations that can be used to help children with dyslexia. Keywords: dyslexia, neuropsycholingustics, linguistic test, clinical trials, Kinect-Based Dyslexia Therapy, terapi

Page 12: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xiii

DAFTAR ISI

Halaman:

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...

HALAMAN MOTTO DAN PENDEDIKASIAN …………………………

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………....

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI .……………………………....

KATA PENGANTAR .....…………………………………………………..

ABSTRAK …………………………………………………………………..

ABSTRACT …………………………………………………………………

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...

DAFTAR ISTILAH …………………………………………………………

DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………

DAFTAR ARTI LAMBANG ……………………………………………….

DAFTAR BAGAN ………………………………………………………….

DAFTAR DIAGRAM ……………………………………………………….

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..

DAFTAR TABEL …………………………………………………………...

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………...

i

ii

iii

iv

v

x

xi

xii

xviii

xix

xx

xxi

xx

xxi

xxiv

xxv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….

B. Rumusan Masalah ……………………………………………………...

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….

1

11

12

Page 13: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xiv

1. Tujuan Umum ………………………………………………………...

2. Tujuan Khusus ……………………………………………………….

D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………..

1. Manfaat Teoretis ……………………………………………………..

2. Manfaat Pragmatis …………………………………………………..

12

13

13

13

14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Studi Terdahulu ………………………………………………

B. Landasan Teori ………………………………………………………….

1. Neurolinguistik ………………………………………………………..

1.1 Afasia ……………………………………………………………..

1.2 Disleksia ………………………………………………………….

1.2.1 Epidemiologi ………………………………………………

1.2.2 Klasifikasi Disleksia ………………………………………

1.2.3 Proses Belajar Membaca ………………………………..

1.2.4 Kajian Neuropsikolinguistik Disleksia …………………..

2. Psikolinguistik ………………………………………………………...

2.1 Cabang-cabang Psikolinguistik ………………………………..

2.2 Area Studi ………………………………………………………...

3. Mekanisme dan Teori Pemerolehan Bahasa …………………….

3.1 Pemerolehan Bahasa …………………………………………...

3.2 Mekanisme Pemerolehan Bahasa …………………………….

4. Membaca dan Pemahaman Membaca …………………………….

16

28

28

28

31

34

35

37

38

39

41

44

45

45

47

50

Page 14: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xv

5. Teori Skemata dan Proses Membaca …….……………………...

6. Otak dan Perkembangan Bahasa …………………………………

6.1 Struktur dan Fungsi Otak ……………………………………….

6.2 Bagian-bagian Otak ……………………………………………..

6.3 Gangguan Bicara dan Bahasa …………………………………

6.4 Instrumen Pemeriksaan Otak ………………………………….

7. Faktor Penyebab Disleksia …………………………………………

7.1 Mekanisme Kerusakan Otak pada Disleksia …………………

7.2 Tanda-tanda dan Gejala Disleksia …………………………….

7.3 Diagnosis …………………………………………………………

7.4 Identifikasi Dini Disleksia ……………………………………….

7.5 Alur Skrining Disleksia …………………………………………..

7.6 Penatalaksanaan Disleksia …………………………………….

7.7 Penanganan Disleksia dengan Terapi Video Game ………...

7.8 Media Belajar LexiPal …………………………………………..

7.8.1 Konten LexiPal ……………………………………………

7.8.2 Keunggulan dari Aplikasi LexiPal ……………………….

7.8.3 SOP Pelaksanaan Terapi dengan Aplikasi LexiPal …

7.9 Beberapa Kasus Disleksia ……………………………………..

C. Kerangka Teori ………………………………………………………….

D. Kerangka Konsep …..………………………………………………….

E. Definisi Operasional …………………………………………………….

F. Hipotesis …………………………………………………………………

54

57

59

62

65

67

72

71

80

81

83

86

86

90

96

97

110

112

114

124

125

128

132

Page 15: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xvi

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian …………………………………………...

B. Prosedur Pengumpulan Data ………………………………………….

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………….

D. Sumber Data Penelitian ………………………………………………..

1. Data Primer …………………………………………………………...

2. Data Pendukung ……………………………………………………..

E. Populasi dan Sampel …………………………………………………..

1. Populasi ……………………………………………………………….

2. Sampel ………………………………………………………………...

F. Teknik Analisis Data …………………………………………………….

133

135

128

138

138

138

139

139

139

141

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ………………………………………………………….

1. Hasil Pengamatan terhadap Subjek Penelitian …………………...

a. Bentuk Pengujian ………………………………………………….

1) Uji Linguistis …………………………………………………….

2) Uji Klinis …………………………………………………………

b. Karakteristik Anak Disleksia …………………………………….

c. Faktor Penyebab/Etiologi ………………………………………

2. Penerapan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia Therapy” …....

3. Efektivitas Penggunaan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia

Therapy ……………………………………………………………......

143

143

145

145

172

178

181

184

189

Page 16: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xvii

B. Pembahasan …………………………………………………………….

1. Deskripsi Masalah Kebahasaan Penyandang Disleksia dari

Sisi Neuropsikolinguistik …………………………………………....

a. Perilaku Saat Membaca ………………………………………….

b. Analisis Capaian Subjek …………………………………………..

i) Capaian Melalui Uji Linguistis …………………………………..

ii) Capaian Melalui Uji Klinis ……………………………………….

2. Aspek Etiologi dan Lingkungan Keluarga ………………………...

3. Aspek Perbaikan dan Kerusakan Permanen …………………….

4. Strategi Perbaikan Kesalahan Membaca bagi Penyandang

Disleksia ……………………………………………………………...

6. Efektivitas Hasil Terapi LexiPal ……………………………………

195

195

195

197

197

199

202

207

207

216

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan …………………………………………………………………

B. Rekomendasi ……………………………………………………………

1. Rekomendasi untuk Guru …………………………………………..

2. Rekomendasi untuk Orangtua ……………………………………...

3. Rekomendasi untuk Guru dan Orangtua ………………………….

4. Rekomendasi untuk Pemerintah …………………………………...

223

225

226

226

227

229

Page 17: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xviii

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………..

230

247

RIWAYAT HIDUP PENELITI ………………………………...…………... 402

Page 18: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xix

DAFTAR ISTILAH

AFASIA BROCA (Lesion), terjadi di sekitar Broca

AFASIA WERNICKE, terjadi di sekitar Wernicke

AFASIA ANOMIK, terjadi di bagian depan dari Lobe Parietal (Antara Lobe Parietal – Lobe temporal)

AFASIA GLOBAL, terjadi tidak di satu atau dua tempat saja, tetapi di beberapa daerah lain (Komplikasi)

AFASIA KONDUKSI, terjadi pada fiber-fiber yang ada pada fsaikulus arkuat yang menghubung Lobe Frontal dengan Lobe Temporal.

DISARTRIA adalah Lafal yang tidak jelas tetapi ujarannya utuh.

AGNOSIA / DIMENSIA adalah gangguan pada pengembangan/ pembuatan ide.

ALEKSIA adalah hilangnya kemampuan untuk membaca.

AGRAFIA adalah hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf normal.

VOKAL, biasa disebut juga huruf hidup (dalam fonetik) adalah suara di dalam bahasa lisan yang dicirikhaskan dengan pita suara yang terbuka sehingga tidak ada tekanan udaya yang terkumpul di atas glotis.

KONSONAN, biasa disebut juga huruf mati adalah fonem yang bukan vokal dan dengan kata lain direalisasikan dengan obstruksi. Jadi aliran udara yang meliwati mulut dihambat pada tempat-tempat artikulasi.

DIFTONG (vokal rangkap), adalah vokal yang berubah kualitasnya. Dalam sistem tulisan, diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ padfa kata “harimau” adalah diftong, swehingga <au> pada suku kata “mau” tidak dapat dipisahkan menjadi “ma-u” seperti pada kata “mau”.

KUARTIL adalah data yang membagi posisi sekumpulan data yang telah diurutkan menjadi empat bagian. Dalam satu urutan data terdapat 3 kuartil, yaitu kuaertil bawah, kuartuil tengah, dan kuartil atas.

TMS, Transcranial Magnetic Stimulation

CT Scan, Computer Tomography Scan

Page 19: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xx

DAFTAR SINGKATAN

ket : keterangan

hal : halaman

dkk : dan kawan-kawan

dll : dan lain-lain

mis : misalnya

uji T : istilah statistik untuk menghitung selisih perbandingan

SPO : subjek predikat objek

SLB : Sekolah Luar Biasa

PSD : Penyandang Suspek Disleksia

SOP : Standard Operating Procedure

K-BDT : Kinect-Based Dyslexia Therapy

Page 20: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxi

DAFTAR ARTI LAMBANG

[...] : kurung siku, pengapit unsur fonetis

/.../ : kurung miring, pengapit unsur fonemis

‘...’ : tanda petik tunggal, pengapit makna istilah/kata

(...) : kurung biasa, penjelas dari istilah/kata yang

mendahuluinya

(X) : kelompok perlakuan

(Y) : kelompok kontrol

(+) : menyatakan positif

(-) : menyatakan negatif

√ : menyatakan ya

x : menyatakan tidak

≠ : menyatakan tidak sama

→ : mengacu atau merujuk ke

± : kurang lebih

∑ : jumlah

Page 21: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxii

DAFTAR BAGAN

Halaman:

Bagan 1 : Wilayah Kajian Neurolinguistik 31

Bagan 2 : Wilayah Kajian Psikolinguistik 48

Bagan 3 : Wilayah Pertemuan Kajian Neurolinguistik

dan Psikolinguistik

49

Bagan 4 :

Bagan 5 :

Kerangka Teori Kajian Neuropsikolinguistik

Kerangka Teori

50

124

Bagan 6 :

Bagan 7 :

Kerangka Konsep

Tahapan Pelaksanaan Penelitian

127

137

Page 22: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxiii

DAFTAR DIAGRAM

Halaman:

Diagram 1 : Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y) 154

Diagram 2 : Nilai Suspek Kelompok Kontrol (X) 155

Diagram 3 : Penyebutan Huruf (I) –N (C/26) 159

Diagram 4 : Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong / Vokal Rangkap (II) – N (C/30)

161

Diagram 5 : Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – N(C/18)

163

Diagram 6 : Penyebutan Gabungan Vokal/Konsonan/Diftong (IV) – N (C/12)

165

Diagram 7 : Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga Bersuku Banyak (V) _ N (C/22)

167

Diagram 8 : Penyebutan Membedakan Pasangan Minimal (VI) – N (C/10)

169

Diagram 9 : Penyebutan dalam Membaca Kalimat / Paragraf (VII) – N (C/18)

171

Diagram 10: Posisi Uji Linguistis dan Uji Klinis 173

Diagram 11: Capaian Intervensi Subjek 193

Diagram 12: Aspek Tindakan Penanganan Disleksia 221

Page 23: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 1 : Letak Lesi pada Disleksia 19 Gambar 2 : SIstem Membaca dalam Otak 19 Gambar 3 : Disfungsi Hemisfer Kiri Jalur

Membaca pada Developmental Dyslexia

20

Gambar 4 : Struktur dan Fungsi Otak 60 Gambar 5 : Belahan Otak Kiri dan Kanan 61 Gambar 6 : Area Broca dan Area Wernicke 62 Gambar 7 : Paul Broca 63 Gambar 8 : Carl Wernicke 64 Gambar 9 : CT atau CTA 69 Gambar 10 : PET 70 Gambar 11 : MRI 71 Gambar 12 : ERPs 72 Gambar 13 : Letak Lesi Disleksia pada Parieto-

Temporo-Occipital

74 Gambar 14 : Letak Lesi Disleksia 75 Gambar 15 : Perbedaan antara Otak Normal dan

Penyandang Disleksia

78 Gambar 16 : Bentuk dan Pola 99 Gambar 17 : Persamaan, Perbedaan dan

Perbandingan Bentuk dan Pola

100 Gambar 18 : Ingatan Jangka Pendek 101 Gambar 19 : Asosiasi Objek 102 Gambar 20 : Persepsi Arah 103 Gambar 21 : Urutan Aktivitas 104 Gambar 22 : Pemahaman Tempat 105 Gambar 23 : Konsep Waktu 106 Gambar 24 : Keterampilan Sosial 107 Gambar 25 : Huruf 108 Gambar 26 : Suku Kata dan Kata 109 Gambar 27 : Leonardo da Vinci 116 Gambar 28 : Agatha Christy 117 Gambar 29 : Muhammad Ali 118 Gambar 30 : John Lennon 119 Gambar 31 : Steven Sfielberg 120 Gambar 32 : Albert Einstein 121 Gambar 33 : Henry Ford 122

Gambar 34a: Deteksi Otak dengan TMS 144 Gambar 34b: Deteksi Otak dengan TMS 145 Gambar 35 : Perbedaan Otak Anak Normal dan Disleksia 202

Page 24: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxv

DAFTAR TABEL

Halaman:

Tabel 1 : Data Peserta dengan Hasil Uji Linguistis 136 Tabel 2 : Pengelompokan Uji Linguistis dan Butir Soal 137 Tabel 3 : Data Peserta Hasil Uji Linguistis Berdasarkan

Suspek Disleksia

139 Tabel 4 : Kategori Disleksia Berdasarkan Pembagian Kuartil 141 Tabel 5 : Pembagian Data Peserta untuk Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol Berdasarkan Hasil Uji Linguistis

142 Tabel 6 : Identifikasi Kelompok Perlakuan dan Kelompok

Kontrol

145 Tabel 7 : Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26) 147 Tabel 8 : Penyebutan vokal/konsonan/diftong/vokal rangkap

(II) – Ñ (C/30)

149 Tabel 9 : Penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (III) – Ñ

(C/18)

151 Tabel 10 : Penyebutan gabungan vokal/konsonan/diftong (IV)

– Ñ (C/12)

153 Tabel 11 : Penyebutan Kata Bersuku dua hingga bersuku

banyak (V) – Ñ (C/22)

155 Tabel 12 : Penyebutan membedakan pasangan minimal (VI) –

Ñ (C/10)

157 Tabel 13 : Penyebutan dalam membaca kalimat/paragraf (VII)

– Ñ (C/18)

159 Tabel 14 : Hasil Uji Klinis Responden 163 Tabel 15 : Hasil Pemeriksaan Otak Responden dengan

menggunakan TMS baik Kelompok Perlakuan dan maupun Kelompok Kontrol

171 Tabel 16 : Model dan Keterampilan yang Dilatih 181 Tabel 17 : Perkembangan Capaian melalui Terapi dari Tahap

ke Tahap

181 Tabel 18 : Nilai Uji dan Nilai Saspek Responden Anak PSD 186 Tabel 19 : Paparan Responden Berdasarkan Uji Klinis 189 Tabel 20 : Perbandingan Nilai Saspek Sebelum dan Sesudah

Intervensi

189 Tabel 21 : Tabel 22 : Tabel 23 :

Hasil yang dicapai Kelompok Perlakuan (Y) Setelah Pemberian Intervensi Hasil Uji T-Test Berpasangan pada Kelompok Perlakuan Hasil Uji T-Test Tidak Berpasangan Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

206

207

208

Page 25: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman:

Lampiran 1 : Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi

Selatan

248

Lampiran 2 : Lembar Uji Linguistis 250

Lampiran 3 : Format Rangkuman Hasil Uji Linguistis 259

Lampiran 4 : Lembar Uji Klinis 261

Lampiran 5 : Format Rangkuman Hasil Uji Klinis 266

Lampiran 6 : Daftar Nama Informan/Guru Pembina Murid

Disleksia

267

Lampiran 7 : Daftar Nama Siswa/Murid Suspek Disleksia 271

Lampiran 8 : Tabel Perhitungan Uji Linguistis 273

Lampiran 9 : Permohonan Izin dan Persetujuan Orang

Tua/Wali Murid

275

Lampiran 10 : Surat Tanda Persetujuan Orangtua/Wali

Murid

276

Lampiran 11 : Surat Pernyataan Kesediaan 277

Lampiran 12 : Surat Keterangan Penggunaan Uji Linguistis 278

Lampiran 13 : Surat Keterangan Validasi Penggunaan Alat

Terapi LexiPal

279

Lampiran 14 : Materi Terapi 280

Lampiran 15

Lampiran 16 :

Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian

Surat Keterangan Etik Penelitian

362

393

Lampiran 17 : Surat Izin Penelitian 394

Lampiran 18 :

Lampiran 19 :

Lampiran 20 :

Inisialisasi Nama Responden

Sistem Identifikasi Dini Disleksia (Skrining

Awal Disleksia )

Riwayat Hidup Peneliti

395

396

402

Page 26: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada

seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam

melakukan aktivitas membaca dan menulis. Disleksia terbagi dua macam,

yaitu: developmental dyslexia, merupakan disleksia yang bersifat genetik

(bawaan sejak lahir), dan acquired dyslexia, ditimbulkan karena gangguan

atau perubahan pada otak kiri (Nation K., 2010; Robin L., et al., 2012).

Istilah ''disleksia'' muncul tahun 1887, 131 tahun lalu yang

diperkenalkan oleh Rudolf Berlin di Jerman Timur. Disleksia terjadi pada 10%

sampai 15% dari populasi anak-anak pada usia sekolah. Ini artinya, 1 dari 10

anak, menyandang disleksia (Nation, K., 2010; Robin, L. et al, 2012). Namun,

prevalensi ini bervariasi di berbagai negara di seluruh dunia. Di Malaysia,

terdapat sekitar 7% dari seluruh populasi anak-anak menyandang disleksia.

Di Amerika Serikat, berdasarkan penelitian NINDS (National Institute of

Neurological Disorders and Stroke) menunjukkan bahwa hingga 17% anak-

anak menyandang disleksia. Di Cina, 8% anak-anak sekolah menyandang

disleksia. Adapun di Australia, 16% dari anak-anak sekolah menyandang

disleksia (Smythe, E. dan Salter, 2004). Menurut Biro Pusat Statistik

Page 27: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

2

Indonesia (BPSI, 2014), terdapat sekitar 50 juta anak-anak Indonesia pada

usia 5-7 tahun. Usia antara 5 - 7 tahun ini menjadi perhatian tersendiri karena

pada usia inilah anak-anak pertama kali diperkenalkan dengan membaca

permulaan (alfabet dan kata-kata). Jika 10% atau 1 dari 10 anak tersebut

menyandang disleksia, setidaknya ada 5 juta anak-anak di Indonesia

menyandang disleksia. Kenyataan itu diperkuat oleh Ketua Asosiasi Disleksia

Indonesia, Riyani T. Bondan, bahwa anak penyandang disleksia di Indonesia

semakin meningkat. Dari jumlah anak usia sekolah tersebut mengalami

gangguan membaca dan menulis (disleksia).

Menurut Child Development Institue, (2008:1) (Martini Jamaris,

2014:139) kasus disleksia ditemukan antara 3-6% dari jumlah penduduk.

Namun, kasus yang berkaitan dengan kesulitan membaca yang tidak

digolongkan ke dalam disleksia ditemukan lebih dari 50% dari jumlah

penduduk (Rutter M., Caspi A., Fergusson D., 2004). Menurut Dyslexia

Association International (DAI), diperkirakan terdapat 13-14% dari populasi

usia sekolah menyandang disleksia. Uniknya, angka kasus disleksia lebih

tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Willcutt E.G.,

Pennington B.F., 2000). Perbandingannya berkisar 2:1 sampai 5:1. Hal ini

sering berkaitan dengan gangguan komorbid seperti Attention Deficit /

Disorder (ADHD), (Peterson, R.L., dan Pennington, B.F, 2012).

Indonesia termasuk negara urutan menengah yang memiliki tingkat

penyandang disleksia bagi anak-anak. Sulawesi Selatan berkontribusi di

Page 28: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

3

dalamnya. Menurut penelitian, diperkirakan 1 dari 10 orang anak di Indonesia

adalah penyandang disleksia (merdeka.com, 2011). Jika angka perkiraan itu

diterapkan di Sulawesi Selatan, dengan jumlah anak usia sekolah berkisar

65.534 jiwa (data BPS Sulawesi Selatan, 2017) maka penyandang disleksia

di Sulawesi Selatan pada akhir 2017 mencapai angka +6.500 orang. Tentu ini

bukan angka kecil.

Berdasarkan data lapangan, penanganan disleksia di Sulawesi

Selaran dimulai sekitar tahun 70-an dan masih ditangani di sekolah anak

cacat. Pada tahun 80-an, Sulawesi Selatan memperoleh bantuan

pembangunan Sekolah Luar Biasa (SLB). Adapun SLB pertama dibangun di

Sulawesi Selatan adalah SLB yang terletak di Jalan Cendrawasih Makassar.

Sejak saat itu, perhatian nyata pemerintah terhadap penanganan masalah

ketunaan ini (termasuk di antaranya adalah disleksia) semakin baik.

Memasuki tahun 90-an, pemerintah telah membangun beberapa SLB di

beberapa daerah di Sulawesi sejalan dengan penerimaan guru yang

menangani disleksia.

Bagi kebanyakan ahli, termasuk di Indonesia, disleksia adalah kondisi

yang menetap seumur hidup dan hanya terjadi pada anak yang minimal

memiliki IQ normal. Disleksia bukanlah sebuah penyakit yang dapat

disembuhkan melainkan suatu kondisi yang diwariskan (T. Wood, 2006).

Namun, dengan terapi yang tepat, misalnya melalui terapi remedial, anak

disleksia dapat mengatasi masalahnya dan berhasil menyelesaikan

Page 29: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

4

sekolahnya (S.E. Shaywitz dan B. A. Shaywitz, 2003). Karena pemahaman

orang yang sedikit tentang disleksia, orang akan menilai anak disleksia

seperti anak keterbelakangan mental. Padahal, sebenarnya justru mereka

anak cerdas pada kemampuan lainnya. Misalnya, kemampuan bersosialisasi

dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

Disleksia tidak disebabkan oleh tingkat kecerdasan anak yang rendah.

Dalam kehidupan sehari-hari, penyandang disleksia tampak seperti orang

kebanyakan karena gangguan disleksia tidak terlihat secara fisik. Namun

penyandang disleksia akan mengalami kesulitan ketika mereka harus

membaca, menulis, mengurutkan angka, atau menerima perintah, khususnya

perintah tertulis (Abdurrahman, Mulyono, 2003).

Dampak dari disleksia bila tidak ditangani dengan baik, dapat memiliki

efek yang berlangsung pada masa depan generasi bangsa. Majalah Pusat

Nasional untuk Learning Disabilities edisi ke-3 (2014) melaporkan bahwa

orang-orang dengan gangguan belajar, termasuk disleksia memiliki tingkat

kelulusan lebih rendah di perguruan tinggi. Kondisi seperti itu memiliki tingkat

pengangguran lebih tinggi dibandingkan populasi umum yang normal serta

memengaruhi tingkat rasa kepercayaan diri penyandangnya.

Finn, E.S., et al (2013), menyebutkan bahwa penyebab disleksia

hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Para peneliti sudah berusaha

dengan berbagai cara untuk menemukan penyebab dasar biologis disleksia.

Upaya itu dilakukan sejak pertama kali teridentifikasi oleh Oswald Berkhan

Page 30: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

5

pada tahun 1881. Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis,

disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan (Fisher S.E., de Fries J.C.,

2002). Penelitian yang dilakukan oleh Grigorenko menghasilkan 20-65%

anak disleksia juga memiliki orangtua mengalami kesulitan membaca (Wenar

dan Kerig, 2006). Masalah dalam migrasi neuron/saraf, penelitian oleh Simos

(McGrath L.M., Smith S.D., Pennington B.F., 2006) menunjukkan bahwa anak

disleksia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak normal. Anak

normal menggunakan hemisfer kiri, sedangkan anak disleksia hemisfer

kanan (Wenar dan Kerig, 2006). Ada juga kerusakan akibat hipoksi-iskemik

saat prenatal di daerah parieto-temporo-oksipital, yakni lobus-lobus dalam

otak, pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (Byrne Brian, Cara

Delaland, Ruth Fielding‐Barnsley, Peter Quain, et al., 2002).

Para ilmuwan saat ini menggunakan teknologi seperti Magnetic

Resonance Imaging Functional (fMRI) untuk lebih memahami gangguan di

otak penyandang disleksia (Eicher, J.D., dan Gruen, J.R., 2013). Paula Tallal,

Ph.D., seorang peneliti psikologi dan cognitif neuroscientist, di Rutgers

University dengan menggunakan fMRI, menemukan bahwa pada

penyandang disleksia mengalami penurunan aktivitas dalam area bahasa di

daerah temporo parietal kiri otak selama pemrosesan fonologi. Penelitian

lebih lanjut menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia tidak

menunjukkan aktivasi di korteks prefrontal kiri ketika membedakan antara

Page 31: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

6

rangsangan akustik yang cepat dan lambat. Disfungsi tersebut berhubungan

dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca) (Emily B. Myers,

2005).

Pembelajaran berbasis linguistik dan ilmu saraf, dikombinasikan

dengan teknologi baru yang mengarah ke aplikasi dapat meningkatkan

kualitas hidup anak-anak dengan gangguan bahasa dan membaca seperti

disleksia. Selain itu, tersimpan potensi yang luar biasa ketika seorang anak

mampu menjadi mahir dalam berbahasa Inggris atau bahasa sesuai bahasa

pada video game dan membaca pada tingkat kelas yang sesuai (Solek dan

K. Dewi, 2013).

Program remedial tersebut meliputi semua aspek membaca dan

semua kegiatan atau mata pelajaran yang mendukung membaca. Biasanya,

program tersebut dilakukan menggunakan pena, kertas, papan tulis, atau

mainan-mainan edukasi. Dengan perkembangan teknologi pada era digital

ini, aplikasi-aplikasi alternatif berbasis teknologi informasi dapat

dikembangkan (Solek dan K. Dewi, 2013).

Aplikasi-aplikasi ini dapat membantu anak-anak disleksia belajar

dengan mudah atau dapat digunakan sebagai media belajar pelengkap untuk

membantu terapi disleksia melakukan program terapi remedial. Aplikasi

software untuk anak-anak disleksia sudah banyak dikembangkan di banyak

negara dan dalam bahasa yang berbeda-beda. Ketersediaan jenis aplikasi

dan penelitian yang berhubungan dengan ini masih langka di beberapa

Page 32: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

7

negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalahnya, aplikasi dalam

bahasa lain tidak bisa serta-merta dibuat dalam bahasa ibu lainnya karena

setiap bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dan langkah-langkah yang

berbeda untuk mempelajarinya (Solek dan K. Dewi, 2013).

Jadi, pengembangan aplikasi software harus dilakukan dengan hati-

hati dengan pengawasan dari para pakar disleksia. Pengembangan tersebut

harus memenuhi kebutuhan anak-anak disleksia dan harus sesuai dengan

langkah-langkah belajar membaca bahasa tertentu. Selain itu, sebagian dari

aplikasi yang dikembangkan hanya fokus pada masalah spesifik anak

disleksia, misalnya masalah bunyi huruf atau ejaan kata, sementara aplikasi

dengan konten yang lebih lengkap sangat diperlukan agar anak bisa belajar

secara komprehensif dan lebih cepat (Solek dan K. Dewi, 2013).

Tallal, P., dan Benasich, A.A. (1999) bekerja sama dengan Ahli Saraf,

Michael Merzenich, Ph.D. dari University of San Fransisco California,

mengembangkan alat komputerisasi (video game) yang berbasis

neuroplastisitas. Alat ini dapat me“rewire” otak anak-anak dengan disleksia

dan mengaktifkan daerah-daerah otak yang penting untuk meningkatkan

kemampuan membaca.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Elise Temple, Ph.D. dari Darmouth

University pada tahun 2003 dengan menggunakan fungsional Magnetic

Resonance Imaging (fMR) menunjukkan perubahan fungsi otak pada anak-

anak dengan disleksia setelah menggunakan program komputer. Studi ini

Page 33: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

8

menemukan peningkatan aktivasi di beberapa daerah otak selama

pemrosesan fonologi, serta secara signifikan meningkatkan kemampuan

bahasa dan membaca.

Miller, S.L., et al., (1999) mengembangkan program pelatihan video

game, disebut “fast forward”, memberikan pelatihan individual yang intensif

dalam pengolahan secara luas area kognitif, bahasa, dan membaca yang

semuanya penting untuk keberhasilan akademis. Misalnya, pada salah satu

permainan anak mendapatkan poin dengan suara “ba” dari “pa” hasil

keterampilan pemusatan perhatian, yang berbasis neuroplastisitas. Ketika

seorang anak melakukan permainan yang sesuai dengan “master tugas”,

permainan disesuaikan dengan tingkat kemampuan si anak sehingga anak

ditantang pada tingkat yang lebih tinggi pada hari berikutnya, sambil

didampingi oleh seorang profesional.

Sulastri (2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor penentu

keberhasilan pembelajaran membaca awal adalah dengan menggunakan

media yang sesuai. Media pembelajaran setiap tahun mengalami

perkembangan. Masing-masing media memiliki kelemahan sehingga perlu

diperbaharui setiap waktu agar dapat memberikan manfaat yang lebih baik.

Wilkinson dalam (Hadi, 2000), (Gori, et al., 2013) mengemukakan bahwa

proses pembelajaran berbantuan komputer sangat menarik dibandingkan

dengan proses pembelajaran yang menggunakan media lain. Letak

menariknya pada nada suara, gambar, huruf, animasi, warna, dan gerak.

Page 34: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

9

Pada terapi disleksia secara tradisional, anak-anak cenderung berhenti,

karena membosankan.

Media video game merupakan salah satu media pendidikan yang

digunakan dalam kegiatan pembelajaran pada anak berkesulitan belajar.

Pengobatan untuk kegagalan gangguan berbahasa dan membaca oleh

speech therapy dan reading specialist sering lambat, lama, mahal,

menimbulkan frustrasi, dan kebosanan. Hal ini merupakan pengalaman bagi

para profesional, orangtua, dan anak-anak.

Peneliti di Italia (2013) melaporkan bahwa pelatihan video game aksi

cepat dapat meningkatkan kemampuan perhatian pada orang disleksia yang

diterjemahkan dengan kemampuan membaca yang lebih baik. Demikian juga

penelitian oleh Harrar, V. (2014) mengeksplorasi penggunaan video game full

action untuk mengobati gangguan disleksia. Penggunaan media video game

(media kinect-based dyslexia therapy) pada anak dengan disleksia

diharapkan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi saat proses

pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan pada tahap awal

membaca.

Pelatihan atau terapi dengan video game (mediakinect-based dyslexia

therapy) ini diharapkan mengasah kemampuan perhatian visual dan

membaca, bahkan dapat melebihi yang diperoleh pada anak-anak setelah

Page 35: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

10

terapi tradisional untuk disleksia, yang berfokus pada kemampuan struktur

bahasa.

Penelitian ini berfokus di SLB Negeri 2 Makassar. Berdasarkan hasil

pemantauan awal, sekolah ini banyak menyerap anak penyandang disleksia.

Penyandang disleksia diberikan berbagai media pembelajaran yang

diharapkan dapat mengatasi gangguan mereka. Namun kenyataannya, para

pendidik masih menggunakan media konvensional. Belum tersentuh dengan

berbagai peralatan yang bersifat teknologi terkini seperti yang disebutkan di

atas.

Dari kenyatan tersebut, peneliti ingin memberikan solusi perbaikan

gangguan disleksia dengan penerapan video game. Dengan media “kinect-

based dyslexia therapy” diharapkan akan banyak membantu penyandang

disleksia di sekolah tersebut. Sambil bermain, mereka akan mendapat terapi

perbaikan gangguan bahasa. Di samping itu, dengan media ini, anak

penyandang disleksia tidak pernah merasa bosan bermain.

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkaji lebih

dalam mengenai penggunaan media video game (media kinect-based

dyslexia therapy) guna mengatasi gangguan-gangguan kesulitan belajar yang

diakibatkan adanya ketidakmampuan belajar (learning disability) pada anak-

anak yang mengalami gangguan disleksia di sekolah dasar.

Page 36: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

11

B. Rumusan Masalah

Menurut S. Devaraj, S. Roslan (2006) setiap pertumbuhan dan

perkembangan anak merupakan saat menggembirakan dan menjadi

perhatian orangtua. Hal yang dicapai dalam setiap pertumbuhan anak

dipandang sebagai suatu anugrah. Orangtua selalu memaknai setiap

kemampuan baru yang dicapai si anak.

Pada usia tertentu setelah si anak pandai berbicara yang pada

gilirannya akan mencapai usia sekolah. Pada usia sekolah, selain berhitung,

diharapakan bisa membaca dan menulis. Suatu kebanggaan tersendiri yang

dicapai si anak jika ia mulai pintar membaca dan menulis. Sebaliknya,

orangtua akan merasa gelisah jika si anak belum bisa membaca dan menulis

dibanding anak seusianya. Bagi seorang guru yang berpengalaman akan

mencoba memberi perlakuan khusus kepada anak seperti ini. Dalam ilmu

linguistik, keadaan ini disebut dengan disleksia (J.H. Menkes, et al, 2005).

Bagi kebanyakan ahli, antara lain Wenar dan Kerig (2006),

menyimpulkan bahwa disleksia bukan merupakan suatu penyakit, melainkan

sebuah kelainan yang disandang oleh seseorang. Namun demikian, para

neurolog menyebut bahwa disleksia adalah sebuah penyakit. Peterson, R.L.,

dan Pennington, B.F. (2012), misalnya, menyebutkan bahwa disleksia

termasuk kategori penyakit karena telah terjadi gangguan pada wilayah

Broca dan Wernicke, yaitu daerah occipito-parieto-temporal sehingga fungsi

Page 37: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

12

otak yang terkait dengan bahasa menjadi terganggu. Berdasarkan berbagai

sumber dalam studi literatur, paling tidak disleksia disebabkan oleh empat

faktor utama, yaitu: a) genetika, b) psikologis, c) lingkungan sosial, dan d)

akibat kecelakaan (Crystal, D., 2015).

Disleksia atau biasa juga disebut sebagai gangguan membaca dan

menulis spesifik pada anak yang merupakan sebuah fenomena kebahasaan.

Sebagai sebuah fenomena kebahasaan, muncul beberapa pertanyaan

mendasar, antara lain:

1. Bagaimana mengenal masalah kebahasaan disleksia lebih dini

pada anak?

2. Bagaimana penerapan model terapi linguistik “Kinect-Based

Dyslexia Therapy” terhadap anak penyandang disleksia?

3. Bagaimana efektivitas penggunaan media video game (media

Kinect-Based Dyslexia Therapy) dalam meningkatkan kemampuan

membaca pada anak dengan disleksia?

Sejumlah pertanyaan di atas akan dijawab dalam penelitian ini.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menjelaskan efektivitas penggunaan media video game (media

kinect-based dyslexia therapy) dalam meningkatkan kemampuan membaca

pada anak disleksia.

Page 38: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

13

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, tujuan khusus

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan masalah kebahasaan penyandang disleksia dari sisi

neuropsikolinguistik;

2. Menjelaskan kegagalan berbahasa bagi anak penyandang disleksia

dari aspek fonologi, leksikal, dan sintaksis;

3. Menjelaskan efektivitas terapi (media kinect-based dyslexia therapy)

untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia

dibandingkan dengan kelompok kontrol;

4. Mengukur efektivitas perbaikan leksikal, morfologi, dan sintaksis untuk

meningkatkan kemampuan membaca anak disleksia yang diterapi

dengan media kinect-based dyslexia therapy.

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan akan menghasilkan dua kemanfaatan,

yakni secara teoretis dan pragmatis.

1. Manfaat Teoretis:

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan untuk memperkaya

khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan kajian ilmiah dari sudut

neurolinguistik dan psikolinguistik perkembangan kemampuan membaca

Page 39: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

14

anak disleksia. Perpaduan keduanya akan mewujudkan kajian

neuropsikolinguistik.

2. Manfaat Pragmatis:

a. Bagi Perpustakaan

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah literatur

(bahan referensi) di bidang neuropsikolinguistik terutama yang

berkaitan dengan peningkatan kemampuan membaca anak

disleksia melalui media terapi video game.

b. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu melaksanakan

pembelajaran yang menyenangkan (tidak membosankan) dalam

meningkatkan kemampuan membaca anak disleksia.

c. Bagi Praktisi Pendidikan/Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,

wawasan, dan pengalaman sehingga pihak sekolah dan guru

dapat mengembangkan pembelajaran dan melengkapi perangkat

pembelajaran pada anak disleksia.

d. Bagi Orangtua Anak Penyandang Disleksia

Hasil penelitian ini diharapkan para orangtua siswa memberi

motivasi kepada putra-putrinya agar semangat belajar dan

Page 40: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

15

menumbuhkan kepercayaan dirinya. Anak disleksia diharapkan

mampu bersosialisasi di tengah keberagaman masyarakat di

lingkungan sekitarnya.

e. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

tentang hal yang diteliti dan senantiasa mengembangkan dan

menyempurnakan penelitian yang sudah ada.

Page 41: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Disleksia berasal dari bahasa Yunani “dyslexia”, /dys/ artinya tanpa,

tidak adekuat atau kesulitan dan /lexis/lexia/ artinya kata atau bahasa.

Disleksia adalah salah satu karakteristik kesulitan belajar pada anak yang

memiliki masalah dalam bahasa tertulis, oral, ekspresif atau reseptif (Lerner,

2003). Masalah yang muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam

membaca, mengeja, menulis, berbicara, dan mendengar. Disleksia adalah

salah satu kelompok dalam kesulitan belajar spesifik. Disleksia bukanlah

penyakit, disleksia tidak memiliki obat. Disleksia merupakan kesulitan belajar

yang paling sering ditemukan dalam penelitian (Wenar dan Kerig, 2006).

Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain

sebagai berikut:

a. Disleksia merujuk pada kesulitan membaca, baik itu penglihatan atau

pendengaran. Inteligensinya normal, dan usia keterampilan bahasanya

sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan bukan

disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan atau sebab-sebab

sosial (Corsini dalam Imandala, 2009).

Page 42: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

17

b. Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang memiliki

kecerdasan normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang

memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak

bermasalah emosional (Guszak dalam Imandala, 2009).

c. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-

komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukkan

perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam

menulis dan mengeja serta kesulitan dalam mempelajari sistem

representasional, misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.

(Bryan dan Bryan; Mercer dalam Imandala, 2009).

d. Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis. Dalam

hal ini belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara

tertulis. Demikian pula memanfaatkan kesempatan bersekolah dengan

normal, serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran

lainnya (Hornsby; Sodiq dalam Imandala , 2009).

Di antara sekian banyak definisi para ahli di atas, ada kesepakatan

secara umum mengenai definisi dan penjelasannya yang dirumuskan ke

dalam empat bagian (Hynd dalam Lerner, 2000), yaitu:

a) Disleksia memiliki dasar biologis dan dikarenakan kondisi neurologis

bawaan.

Page 43: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

18

b) Masalah disleksia bertahan sampai remaja dan dewasa.

c) Disleksia memiliki dimensi perseptual, kognitif, dan bahasa.

d) Disleksia mengarah pada kesulitan pada banyak area kehidupan sebagai

individu dewasa.

Beberapa penelitian mengenai disleksia telah dilakukan peneliti

terdahulu, antara lain oleh Anjarningsih (2006), Hidayah (2007), Yulianti

(2011), Mustafa, dkk. (2013), Aini (2013), Qadariah (2014), dan beberapa

peneliti lainnya.

Pada tahun 1930-an, sebuah hasil penelitian menjelaskan gangguan

membaca dengan model hemisferik serebral. Hasil penelitian tersebut

menyatakan adanya korelasi positif gangguan membaca dengan tangan kiri,

mata kiri atau lateralisasi campuran (Kaplan, Benyamin J., Sadock dan Jack

A. Greb, 1997: 698).

Penelitian K.U. Leuven di Belgia (Dewi, 2010) juga mengemukan

bahwa disleksia disebabkan oleh masalah konektivitas yang terkait dengan

bidang pengolahan bahasa di otak. Para peneliti melakukan CT-Scan otak

dari 23 orang dewasa dengan disleksia dan 22 orang dewasa normal melalui

respons berbagai rangsangan pidato. Para ilmuwan melihat akurasi otak

peserta sebagai representasi fonetik yang dipetakan dari suara mereka.

Page 44: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

19

Perbandingan otak normal dan yang terkena disleksia dapat dilihat di bawah

ini:

(Sumber: Shaywitz, S., 2003; Red 2004)

Gambar 1: Letak Lesi pada Disleksia

Gambar 2: Sistem Membaca dalam Otak

Page 45: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

20

Para peneliti kemudian meneliti konektivitas otak. Terdapat perbedaan

antara peserta disleksia dan normal. Secara khusus, mereka meneliti

seberapa baik daerah otak yang terlibat dalam 13 pengolahan bahasa yang

terhubung ke representasi fonetik.

Para peserta dengan disleksia memiliki konektivitas buruk terutama

antara daerah Broca, sebuah daerah di lobus frontal otak yang terkait dengan

produksi ujaran, dan cortex pendengaran kiri dan kanan. Selain itu, orang-

orang dengan koneksi terlemah dan terburuk dilakukan pada saat membaca

dan mengeja tes (dikutip dari The Boston Globe Abnormal Brain Patterns

Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff).

(Sumber: Richlan, F., Kronbichler, M., dan Wimmer, H. 2013)

Gambar 3: Disfungsi Hemisfer Kiri Jalur Membaca

pada Developmental Dyslexia

Page 46: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

21

Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan anatomi

antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian parietal-

temporo-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian belakang).

Pemeriksaan functional Magnetic Resonancy Imaging yang dilakukan untuk

memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca ternyata menunjukkan

bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa

terutama dalam hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu“

diterjemahkan” menjadi suatu makna. (Dewi, 2010). Bukti di atas sejalan

dengan beberapa penelitian dengan menggunakan Tomografi Computer (CT,

Computed Tomography), pencitraan resonansi magnetik, telah menunjukkan

bahwa ada asimetris abnormal pada lobus temporalis dan parietalis orang

dengan gangguan membaca. Merujuk kajian yang dilakukan oleh Dr.

Galaburda Abdurrahman, M. 2003. Susunan sel-sel otak orang disleksia

ternyata berbeda dibandingkan dengan otak orang biasa (normal).

Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2 terdahulu.

Kajian gangguan berbahasa dewasa ini paling tidak mengalami

perkembangan pesat sejalan dengan fenomena gangguan berbahasa

(gangguan membaca khususnya). Hal ini terlihat dari berbagai penelitian

terkait yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Paling tidak, tulisan ini akan

menunjukkan sedikitnya empat penelitian dengan orientasi, metode, dan

tujuan berbeda.

Page 47: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

22

Oleh karena penelitian ini termasuk bidang kajian interdisipliner, maka

kritikan terbesar berada pada sejauhmana kesiapan peneliti dalam

menunjukkan data penelitian yang memadai dan komprehensif. Seorang

peneliti disleksia paling tidak harus ditunjang dua bidang yang seimbang

yakni neurologi dan ilmu linguistik.

Meski demikian, bidang ini tidak vakum. Kajian Disleksi telah diteliti

oleh beberapa penelitian terdahulu antara lain oleh Mustafa, dkk. (2013)

dengan judul Learning Model Development for Dislexia Students of Initial

Inclusive Elementary Schools at Makassar. Laporan Penelitian Lembaga

Penelitian UNM oleh Mustafa, Syamsuddin, dan Dwiyatmi Sulasminah

(2013).

Penelitian tersebut di atas adalah penelitian yang berbasis

kependidikan. Tidak menelusuri aspek penyebab dan langkah terapi

berkelanjutan, melainkan hanya berkisar pada penanganan anak

penyandang disleksia dalam belajar. Penelitian ini mengklaim bahwa

pembelajaran pada anak disleksia di sekolah inklusif rintisan Kota Makassar

cenderung menggunakan pembelajaran klasikal yang menyebabkan anak

disleksia tertinggal dari rekan-rekannya (anak normal). Berdasarkan hal

tersebut dipandang perlu tersedianya suatu model pembelajaran yang cocok

untuk anak disleksia sehingga potensi anak disleksia dapat berkembang

sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk

Page 48: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

23

merancang model pembelajaran yang efektif untuk anak disleksia. Demikian

penelitian itu menyimpulkan (Jensen, Eric, 2008).

Pada tahun yang sama, Fitri, N.A. (2013) melakukan penelitian

disleksia dengan judul Implementasi Terapi Gestalt dalam Menangani Siswa

Disleksia. Pada hasil dan simpulan, peneliti ini mengklaim bahwa

penggunaan Terapi Gestalt dipandang berhasil. Hal itu terlihat dari

perubahan dan perkembangan membaca dan menulis yang ditunjukkan oleh

siswa X setelah pemberian terapi. Penelitian ini secara tidak langsung

menjawab pertanyaan apakah gangguan disleksia dapat direhabilitasi

melalaui terapi?

Penelitian lain dilakukan oleh Anjarningsih (2006), seorang peneliti dari

Universitas Indonesia, dengan judul Developmental Dyslexia in Bahasa

Indonesia: Developing a Screening Test. Tujuan utama penelitian yang

dilakukan oleh Anjarningsih ini untuk melihat hubungan ketidakmampuan

membaca dengan produksi fonologis bagi penyandang disleksia. Meski

penelitian ini dilakukan di Belanda oleh seorang Indonesia, penelitian ini

mencerminkan anak disleksia di Indonesia.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran fonologis

pada level suku kata ditemukan adanya korelasi baik dengan keberhasilan

membaca yang diikuti oleh kesadaran fonologis pada tataran fonem.

Page 49: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

24

Membaca dalam Bahasa Indonesia tampaknya ditandai dengan pemanfaatan

jalur sub-leksikal dan membaca terampil oleh rute leksikal. Pengembangan

rute leksikal bergantung pada pengembangan rute sub-leksikal yang

dipengaruhi oleh kompleksitas dari grafem fonem yang berkorespondensi

(Anjarningsih, 2006).

Selanjutnya, Yulianti (2011) menguraikan efektivitas penggunaan

media audiovisual dalam meningkatkan kemampuan membaca awal pada

anak dengan berkesulitan belajar membaca (disleksia). Hasilnya

menyimpulkan bahwa penggunaan media audiovisual efektif dalam

meningkatkan kemampuan membaca awal anak dengan disleksia. Ada satu

kelemahan yang dikemukakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah

keterlibatan langsung peneliti dalam penelitian menyebabkan kecenderungan

terjadinya bias pada subjek penelitian. Subjek tidak memunculkan perilaku

yang alamiah.

Salah satu penelitian yang agak khas adalah penelitian yang dilakukan

oleh Siti Qadariah, dkk. (2014). Penelitian ini mempertegas bahwa disleksia

merupakan jenis gangguan belajar spesifik yang paling banyak muncul. Oleh

karena itu, diperlukan suatu penanganan untuk mengatasi permasalahan

tersebut mengingat setiap anak memiliki potensi yang sama untuk belajar.

Terlebih lagi gangguan disleksia tidak ada hubungannya dengan kapasitas

intelegensi anak. Brain Gym ini sudah marak dilakukan, namun belum

Page 50: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

25

memiliki bukti penelitian empiris dalam mengatasi disleksia. Brain Gym ini

bekerja dalam mengoptimalisasi otak anak disleksia secara menyeluruh

(whole brain) melalui tiga dimensi, yaitu dimensi pemokusan, dimensi

pemusatan, dan dimensi laterisasi. Rancangan penelitian menggunakan

Time Series Design. Penelitian ini adalah penelitian populasi. Subjek

penelitian tiga orang anak disleksia kelas VI SD dengan kategori berat

(diagnosis psikolog). Data kesulitan membaca diperoleh dari hasil observasi

dengan teknik behavior tallying saat anak diberikan bahan bacaan.

Pengukuran dilakukan tiga kali sebelum perlakuan dan tiga kali setelah

perlakuan.

Brain Gym ini dilakukan secara berulang-ulang setiap hari kecuali hari

Sabtu dan Minggu selama kurun waktu 15 hari. Teknik analisis yang

digunakan adalah T-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi

penurunan rata-rata frekuensi perilaku kesulitan membaca dari 343 kali

frekuensi menjadi 83 kali frekuensi perilaku kesulitan membaca, yaitu

sebanyak 75,71%. Hal ini membuktikan bahwa Brain Gym memberikan

pengaruh signifikan terhadap penurunan frekuensi kesulitan membaca pada

anak disleksia.

Penelitian lain dilakukan oleh Rifa Hidayah (2007) peneliti dari

Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN)

Malang berjudul “Kemampuan Baca-Tulis Siswa Disleksia”. Tujuan penelitian

Page 51: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

26

ini adalah untuk (1) memahami kemampuan membaca dan menulis anak

disleksia, (2) mengukur faktor ketahanan membaca dan menulis bagi anak

disleksi, dan (3) mendesain model pembelajaran bagi anak disleksia. Hasil

penelitian menunjukkan; (1) Kemampuan membaca dan menulis kemampuan

disleksia rendah, (2) Faktor yang memengaruhi ketahanan membaca adalah

(a) terjadinya disfungsi sistem saraf, (b) terjadi pertumbuhan lambat karena

faktor kurang gizi, (c) memiliki memori pendek, (d) kurangnya dukungan

keluarga dan dukungan fasilitas untuk studi, (e) kurang kematangan fisik,

emosional dan sosial. (3) Model pembelajaran yang bersifat umum.

Proses pembelajaran bagi anak disleksia di kelas seyogyanya tidak

sama dengan anak-anak lain, tetapi harus ada perlakuan khusus, misalnya

guru khusus, metode dan ruang pribadi dan waktu khusus. Dengan kata lain,

diperlukan adanya perlakuan khusus bagi anak penyandang disleksia demi

perbaikan kemampuan membaca dan menulis mereka (Arifuddin, 2013).

Kelima penelitian yang disebutkan di atas mengesankan bahwa

penelitian-penelitian tersebut hanya berkisar pada:

1. data penelitian tidak berbasis data neurologis dari sebuah diagnosis

yang cermat dan akurat;

Page 52: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

27

2. disleksia lebih diarahkan sebagai bidang psikolinguistik, misalnya

melalui diagnosis psikologi, padahal sejatinya, dalam bidang

neuropsikolingistik;

3. uraian unsur linguistis tidak terungkap secara jelas, padahal gangguan

membaca sebagai akibat dari gangguan otak seyogyanya terpetakan

dengan baik.

Merujuk pada sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, dalam

penelitian ini peneliti dengan berbagai pertimbangan melakukan sebuah

terobosan dengan mengisi ketimpangan:

a) penelitian disleksia yang selama ini berbasis kajian neurologi dengan

mengabaikan uji linguistis;

b) penelitian disleksia yang bertumpu pada kajian psikolinguistik yang

melepaskan dari uji klinis, dan

c) menggabungkan kedua simpangan penelitian dengan

mempertimbangkan baik dari psikolinguistik (disertai uji klinis) maupun

dari aspek neurologi (ditunjang dengan uji linguistis). Penggabungan

ini telah menjadi alasan kuat sehingga penelitian ini seyogyanya

dilakukan secara komprehensif di bawah payung ilmu

neuropsikolinguistik.

Page 53: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

28

B. Landasan Teori

Kajian neuropsikolinguistik merupakan gabungan dari berbagai bidang

secara interdisipliner yang mengkaji masalah kebahasaan dan lingkungan

bahasa sebagai akibat terjadinya gangguan area kendali bahasa pada otak

manusia. Disleksia merupakan objek kajian yang diklaim sebagai objek

material neurolinguistik dan psikolinguistik. Klaim ini, baik dari segi

neurolingustik maupun psikolingustik dapat dijelaskan berikut ini (Heru,

Nanang S., 2012).

1. Neurolinguistik

Neurolinguistik adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam

ilmu linguistik dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak

manusia dengan bahasa. Gangguan pada kemampuan berbahasa karena

kerusakan otak manusia disebut afasia, yaitu (gangguan bicara karena

mengalami geger atau trauma otak). Orang yang mengalami gangguan

bahasa ini dapat diamati berdasarkan ketidakmampuannya berbahasa

secara normal (David, Kemmerer, 2014).

1.1 Afasia

a. Afasia Broca

Afasia Broca berarti kerusakan daerah bahasa atau pusat bahasa

yang mengendalikan baik artikulasi maupun peran yang unik dalam

Page 54: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

29

pembentukan kata dan kalimat, karena daerah Broca berhubungan dengan

unsur struktur dan organisasi bahasa (Anna, 2003). Oleh karena itu, area

Broca pada otak bertanggung jawab untuk kaidah artikulasi yang

menciptakan pola bunyi, untuk kaidah morfologi dan sintaksis, antara lain

dalam membentuk kata dan frasa (Basir, H., 2012; Gupta A., Singhal G.,

2011).

b. Afasia Wernicke

Afasia Wernicke berhubungan dengan kerusakan area Wernicke pada

otak. Area Wernicke adalah pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk

memproduksi makna, seperti interpretasi kata selama pemahaman makna

dan pemilihan kata selama menghasilkan produksi ujaran (Gupta A., Singhal

G., 2011).

c. Afasia Konduksi

Afasia konduksi merupakan kerusakan pada arcuate fasciculus.

Kondisi ini berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke

daerah Broca. Gejala kerusakan ini adalah informasi leksikal dari daerah

Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca, sehingga ujarannya

secara semantis tidak padu (tidak koheren). Demikian pula, karena informasi

kategori morfem terikat (afiks) dan kategori leksikal tidak dapat dipindahkan

Page 55: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

30

ke daerah Wernicke, pemahaman bahasa menjadi rusak (Gupta A., Singhal

G., 2011).

d. Alexia dan Agrafia

Aleksia (alexia) dan agrafia adalah kerusakan pada angular gyrus

mengganggu asosiasi pencitraan pola visual dengan bentuk pendengaran,

karena itu mengganggu kemampuan baca dan tulis. Kerusakan baca disebut

alexia, sedangkan kehilangan kemampuan tulis disebut agrafia. Kedua

kerusakan bahasa tersebut biasanya saling melengkapi (Gupta A., Singhal

G.,2011).

Alexia terjadi dengan sendirinya. Penyandang alexia mungkin bisa

menulis, tapi tidak bisa membaca yang dia tulis. Kerusakan pada angular

gyrus tidak memengaruhi pandangan. Penyandang alexia dan agrafia masih

dapat melihat dengan normal. (https://id.wikipedia.org/wiki/Neurolinguistik).

Selanjutnya, baik afasia maupun disleksia (dalam neurologi juga

diistilahkan alexia) memiliki posisi yang berbeda dalam neurolinguistik. Posisi

tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Page 56: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

31

Bagan 1: Wilayah Kajian Neurolinguistik

1.2 Disleksia

Gangguan disleksia adalah salah satu jenis Kesulitan Belajar Spesifik

(KBS). Kata /spesifik/ menunjukkan disleksia yang secara khusus

memengaruhi aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Dalam kasus

disleksia, kesulitannya terletak pada area membaca (T. Wood, 2006).

Page 57: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

32

Menurut National Institute of Neurological Disorders dan Stroke (NINDS,

2011), disleksia adalah kesulitan belajar spesifik berbasis neurologi.

Kesulitan belajar itu secara khusus mengganggu kemampuan seseorang

untuk berbahasa dan membaca. Individu-individu ini biasanya memiliki

kemampuan membaca lebih rendah dari yang diharapkan meskipun memiliki

kecerdasan normal. Walaupun kesulitan belajar ini bervariasi dari satu orang

ke orang lain, namun karakteristik umum orang-orang dengan disleksia

adalah kesulitan dalam memproses fonologi (manipulasi suara), ejaan, dan

kecepatan merespon visual-auditori.

Ada beberapa variabilitas definisi disleksia. Beberapa sumber, seperti

(National Institute of Neurological Disorders and Stroke, National Institutes of

Health, 2015), mendefinisikan secara khusus sebagai gangguan belajar.

Dyslexia berasal dari kata Yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis”

berarti kata-kata. Abigail (Sidiarto, 2007) menjelaskan bahwa disleksia

merupakan kesulitan belajar primer berkaitan dengan masalah bahasa tulisan

seperti membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan

dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks, kelainan

struktur dan fungsi otak. Dapat pula merupakan kelainan bawaan

(constitutional in origin), keturunan (genetik). Bila salah satu dari kembar

identik mengalami disleksia, maka 85% hingga 100% kemungkinan anak

kembar yang lain mengalami disleksia pula. Bila salah satu orangtua

mengalami disleksia, sekitar 25-50% dari anaknya mengalami disleksia pula.

Page 58: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

33

Bryan dan Bryan (dalam Abdurrahman, 1999:95), menyebut disleksia

sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen

kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat

dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan

masa.

Disleksia adalah gangguan berbahasa yang bermanifestasi

ketidakmampuan membaca, yaitu ketidakmampuan membaca anak berada di

bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat

inteligensi, usia, dan pendidikannya. Gangguan ini bukan bentuk dari

ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada

bagaimana otak mengolah dan memproses data. Hal itu terjadi setelah anak

memasuki usia sekolah untuk beberapa waktu (Endang, Widyorini, 2014).

Adapun Jensen, Eric, (2008:25); Hornsby (1984:9) mengartikan

disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama

belajar mengeja (mengujar) secara betul dan mengungkapkan pikiran secara

tertulis dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak

memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran lainnya.

Menurut T.L. Harris dan R.E Hodges (Corsini, 1987: 44) disleksia

mengarah pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan,

pendengaran intelegensinya normal, dan keterampilan usia bahasanya

sesuai. Pendapat lain bahwa disleksia ditandai dengan adanya kesulitan

membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan

Page 59: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

34

kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat (Ferrer E.,

2010).

Berdasarkan penjelasan tersebut, diperoleh gambaran bahwa

disleksia adalah suatu kondisi pemrosesan informasi yang berbeda dari anak

normal yang sering ditandai dengan kesulitan dalam membaca. Hal dapat

memengaruhi area kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input,

kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak.

Hal tersebut termasuk kesulitan dalam penerapan disiplin ilmu

fonologi, kemampuan bahasa/pemahaman verbal (Morais J.,Cognition,1979)

Diseleksia adalah kesulitan belajar yang paling umum dan gangguan

membaca yang paling mengganggu. Ada kesulitan-kesulitan lain dalam

membaca, namun tidak berhubungan dengan disleksia.

1.2.1 Epidemiologi

Persentase penyandang disleksia belum diketahui secara pasti. Hal itu

diperkirakan angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah.

Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar.

Kurang lebih 80% penyandang gangguan belajar mengalami disleksia. Angka

kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan

perempuan, yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1 (Castles A., 2011, Roongpraiwan

R., 2012).

Page 60: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

35

Kesulitan utama dalam disleksia adalah defisit kesadaran fonologi. Di

Indonesia, disleksia disebut juga dengan gangguan membaca khas dan

masuk ke dalam salah satu gangguan perkembangan belajar khas. Pada

penyandang disleksia, tidak terjadi gangguan untuk tingkat kepandaian.

Disleksia juga dapat ditemukan bersamaan dengan gangguan lainnya, yaitu

Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif (GPPH) atau dikenal juga dengan

Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan berbahasa,

gangguan mengucapkan kata dengar benar (Yoshimasu K., 2010).

1.2.2 Klasifikasi Disleksia

Sidiarto (2007) dalam bukunya Perkembangan Otak dan Kesulitan

Belajar pada Anak, menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut:

a. Disleksia dan Gangguan Visual

Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual

(Helmer, Myklebust, 1962; Hani'ah, Munnal, 2015). Kelainan ini jarang terjadi,

hanya didapat pada 5% kasus disleksia (Gobin, 1980, dikutip Njikoktjien,

1986). Gangguan fungsi otak bagian belakang dapat menimbulkan gangguan

dalam persepsi visual (pengenalan visual tidak optimal, membuat kesalahan

dalam membaca dan mengeja visual), dan defisit dalam memori visual.

Adanya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip

Page 61: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

36

bentuknya, bayangan cermin (b-q, 5-2, 3-E,) atau huruf, angka terbalik

(inversion) seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya.

b. Disleksia dan Gangguan Bahasa

Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik. Beberapa penulis

menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Lima puluh persen

dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia perkembangan)

pada masa balita atau prasekolah (Njikoktjien,1986). Legien dan Bouma

(1987) menyebutkan kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua

anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam

diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemis) seperti p-t, b-g, t-d,

t-k; kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut atau menemukan

kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau (sekolah sekolhah). Hal ini

berdampak pada imla atau membuat karangan (Lyytinen, Paula, 2005).

c. Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris

Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (myklebust). Ada

gangguan pada kondisi visual-auditoris (grafem-fonem), anak membaca

lambat. Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visualnya baik. Hal yang

dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa. Terdapat gangguan dalam

“cross-modal (visual-auditory) memory retrieval”. Bakker, et al., (1987)

membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu:

Page 62: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

37

i) L-Type dyslexia (linguistic)

Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan

seperti penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian

huruf (substitution), dan kesalahan multikata lainnya.

ii) P-Type Dyslexia (perspective)

Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti

fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ulang (repetisi).

Dari dua tripologi di atas dapat disimpulkan bahwa jarang terdapat

hanya satu jenis disleksia murni. Pada umumnya gabungan dari berbagai

jenis disleksia, yaitu terdapat gangguan dalam masalah wicara bahasa,

membaca, dan bahasa tulis.

1.2.3 Proses Belajar Membaca

Membaca merupakan proses kompleks yang melibatkan kedua

belahan otak (hemisfer). Adapun persyaratan khusus untuk dapat membaca

adalah: (1) Tidak ada gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat,

(2) Pemahaman bahasa tutur / verbal cukup, (3) Pergerakan bola mata untuk

mengikuti barisan huruf tulisan (scanning letters in the correct order) cukup

baik, (4) Tidak ada gangguan motorik atau koordinasi motorik untuk berbicara

(kelumpuhan atau praksis mulut) (Partiwisastro, 1984).

Page 63: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

38

1.2.4 Kajian Neuropsikolinguistik Disleksia

Kajian neuropsikolinguistik merupakan gabungan dari berbagai bidang

secara interdisipliner yang mengkaji masalah kebahasaan dan lingkungan

bahasa sebagai akibat terjadinya gangguan area kendali bahasa pada otak

manusia. Disleksia merupakan objek kajian yang diklaim sebagai objek

material neurolinguistik dan psikolinguistik. Klaim ini, baik dari segi

neurolingustik maupun psikolingustik dapat dijelaskan berikuit ini.

Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata /psikologi/ dan

/linguistik/. Menurut Dardjowidjojo (2005:7) bahwa psikolinguistik adalah studi

tentang bahasa dan otak atau pengetahuan interdisipliner.

Sebelum menggunakan bahasa, seorang pengguna bahasa terlebih

dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini, Levelt (Marat, 1083:1)

mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai

penggunaan dan pemerolehan bahasa oleh manusia.

Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis

yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami

bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis, karena masih

sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh

karena itu, psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif.

Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu kognitif dan teori

informasi untuk mempelajari cara otak memproses bahasa (Sternberg, R.J.

Page 64: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

39

(2006). Pada hakikatnya, dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses

memproduksi dan memahami ujaran. Dengan demikian, psikolinguistik

merupakan studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang

menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran

(Chaer, 2003).

Simpulannya, psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku

berbahasa, baik yang tampak maupun yang tidak tampak berupa persepsi,

pemproduksian bahasa, dan pemerolehan bahasa.

2. Psikolinguistik

Sebagai alat interaksi verbal, bahasa dapat dikaji secara internal

maupun secara eksternal. Secara internal kajian dilakukan terhadap struktur

internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis sampai

struktur wacana. Kajian secara eksternal berkaitan dengan hubungan bahasa

itu dengan faktor-faktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti faktor

sosial, psikologi, etnis, dan sebagainya (Chaer, 2015:1).

Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks

manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan

masalah kegiatan berbahasa. Adapun kegiatan berbahasa itu bukan hanya

berlangsung secara mekanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik.

Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan

Page 65: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

40

mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran

bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara

linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Untuk memahami

psikolinguistik itu dengan baik, terlebih dahulu perlu dibicarakan ranah studi

psikologi dan ranah studi linguistik, meskipun secara singkat.

a. Psikologi

Psikologi (psychology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche (jiwa),

dan logos (ilmu). Secara etimologi, psikologi merupakan ilmu jiwa.

Psikolinguistik sendiri merupakan gabungan dari psikologi–linguistik. Menurut

Harley (Dardjowidjojo, 2003:7), psikolinguistik merupakan studi tentang

proses mental dalam penggunaan bahasa. Slobin (Chaer, 2003:5)

mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses

psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat

yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan

bahasa diperoleh manusia (Darmojuwono, Seliawati, dan Kushartanti, 2000).

Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata 'psikologi’ dan

'linguistik'. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan

neurobiologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan,

dan memahami bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis,

karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia

berfungsi. Oleh karena itu, psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan

Page 66: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

41

psikologi kognitif. Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu

kognitif dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memproses bahasa

(Slobin dalam Chaer, 2003:5).

Psikolinguistik meliputi proses kognitif yang bisa menghasilkan

kalimat yang mempunyai arti dan benar secara tata bahasa dari

perbendaharaan kata dan struktur tata bahasa, termasuk juga proses yang

membuat bisa dipahaminya ungkapan, kata, tulisan, dsb. Psikolinguistik

perkembangan mempelajari kemampuan bayi dan anak-anak dalam

mempelajari bahasa, biasanya dengan metode eksperimental dan kuantitatif

(berbeda dengan pengamatan naturalistik seperti yang dilakukan Jean Piaget

dalam penelitiannya tentang perkembangan anak (Wikipedia, 2014).

2.1 Cabang-cabang Psikolinguistik

Psikolinguistik berkembang sehingga melahirkan subdisiplin baru

untuk lebih fokus dipelajari. Cabang-cabang psikolinguistik antara lain:

(Dardjowidjojo, 2005:7).

1. Psikolinguistik Teoretis: mengkaji hal-hal yang terkait dengan teori

bahasa, misalnya mengenai hakikat bahasa, ciri bahasa manusia, teori

kompetensi dan performansi, atau teori langue dan parole, dan

sebagainya.

2. Psikolinguistik Perkembangan: mengkaji tentang pemerolehan bahasa,

misalnya tentang teori pemerolehan bahasa, baik bahasa pertama

Page 67: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

42

maupun kedua, piranti pemerolehan bahasa, periode kritis

pemerolehan bahasa, dan sebagainya.

3. Psikolinguistik Sosial: mengkaji tentang aspek-aspek sosial bahasa,

misalnya sikap bahasa, akulturasi budaya, kejut budaya, jarak sosial,

periode kritis budaya, pendidikan, lama pendidikan, dan sebagainya.

4. Psikolinguistik Pendidikan: mengkaji tentang aspek-aspek pendidikan

secara umum di sekolah, khususnya tentang peranan bahasa dalam

pengajaran bahasa pada umumnya.

5. Neuropsikolinguistik: mengkaji tentang hubungan bahasa dengan otak

manusia, misalnya tentang bagian otak mana yang berkaitan dengan

kemampuan berbahasa.

6. Psikolinguistik Eksperimental: mengkaji tentang eksperimen-

eksperimen dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan

perilaku berbahasa.

7. Psikolinguistik Terapan: mengkaji tentang penerapan temuan-temuan

keenam subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang

tertentu, seperti psikologi, linguistik, pendidikan, pengajaran, neurologi,

psikiatri, komunikasi, kesusastraan, dan lain-lain.

b. Linguistik

Secara umum linguistik lazim diuraikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu

yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Adapun bahasa itu

Page 68: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

43

sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas

kehidupan manusia, maka linguistik itu pun menjadi sangat luas

bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa melihat adanya berbagai

cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau

pandangan. Secara umum pembidang linguistik itu adalah sebagai

berikut (Chaer, 2010:4-5).

Pertama, meniuirut objek kajiannya, linguistic dibagi atas dua

cabang besar, yaitu linguistik mikro dan linguistic makro. Objek kajian

linguistik mikro adalah struktur internal bhadsda itu sendiri, mencakup

struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Adapun objek

kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan

factor-faktor di luar bahasa, seperti sosiologis, psikologis, antropologi,

dan neurologi.

Kedua, menurut tujuan kajiannya, linguistic dapat dibedakan

atas dua bidang besar, yaitu linguistic teoretis dan linguistic terapan.

Kajian teoretis hanya ditujukan untuk mencari atau menemukan teori-

teori linguistik belaka. Adapun kajian terapan dituujukan untuk

menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti

dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus, dsb.

Ketiga, adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah

linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan

suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan

Page 69: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

44

maupun tidak. Sejarah linguistik, mengkaji perkembangan ilmu

linguistik, baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya,

maupun masil-hasil kerjanya.

Simpulannya bahwa dalam kaitannya dengan psikologi,

linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang mencoba mempelajari

hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaiimana bahasa itu diperoleh,

bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu

berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya

psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan

linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.

2.2 Area Studi

Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dipelajari oleh ahli dalam

berbagai bidang, seperti psikologi, ilmu kognitif, dan linguistik. Psikolinguistik

adalah perilaku berbahasa yang disebabkan oleh interaksinya dengan cara

berpikir manusia. Ilmu ini meneliti tentang perolehan, produksi, dan

pemahaman terhadap bahasa. Ada beberapa subdivisi dalam psikolinguistik

yang didasarkan pada komponen-komponen yang membentuk bahasa pada

manusia.

Page 70: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

45

a. Fonetik dan fonologi mempelajari bunyi ucapan. Di dalam psikolinguistik,

penelitian ini berfokus pada bagaimana otak memproses dan memahami

bunyi-bunyi ini.

b. Morfologi mempelajari struktur kalimat, terutama hubungan antara kata

yang berhubungan dan pembentukan kata-kata berdasarkan pada aturan-

aturan.

c. Sintaksis mempelajari pola-pola yang menentukan bagaimana kata-kata

dikombinasikan bersama membentuk kalimat.

d. Bila sintaksis berhubungan dengan struktur formal dari kalimat, semantik

berhubungan dengan makna aktual dari kalimat.

e. Pragmatik berhubungan dengan peran konteks dalam penginterpretasian

makna.

f. Studi tentang cara mengenali dan membaca kata meneliti proses yang

tercakup dalam perolehan informasi ortografik, morfologis, fonologis, dan

semantik dari pola-pola dalam tulisan.

3. Mekanisme dan Teori Pemerolehan Bahasa

3.1 Pemerolehan Bahasa

Terdapat beberapa teori mengenai perolehan bahasa pada bayi dan

balita yang bersumber pada perkembangan psikologi yang bersifat natur dan

nurtur. Natur adalah aliran yang meyakini bahwa kemampuan manusia

Page 71: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

46

adalah bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, manusia telah dilengkapi secara

biologis oleh alam (natur) untuk memproduksi bahasa. Sejak lahir, manusia

sudah mempunyai alat-alat bicara (lidah, bibir, gigi, rongga tenggorokan,

dibantu oleh alat pendengaran) maupun untuk memahami arti dari bahasa

tersebut (melalui skema pada kognisi) (Dardjowidjojo, 2005).

Chomsky adalah tokoh yang mempercayai peran natur secara

radikal dalam perolehan bahasa. Pihak yang memp\rcayai kekuatan nurtur

dalam perolehan bahasa berargumen bahwa bayi dan balita memperoleh

bahasa karena terbiasa pada bahasa ibu. Hal ini terbukti pada pembentukan

kemampuan fonem yang bergantung pada bahasa ibu. Misalkan pada bayi

Jepang pada usia di bawah 6 bulan masih dapat membedakan fonem /ra/

dan /la/ dengan jelas. Namun, pada usia satu tahun mereka kesulitan

membedakan fonem /ra/ dan /la/. Michael Tomasello mengkritik Chomsky

bahwa bahasa tidak akan muncul begitu saja. Ia meyakini bahwa bahasa

diperoleh karena bayi belajar menggunakan bahasa sebagai simbol terlebih

dahulu dengan kemampuan bayi untuk melakukan atensi bersama (Join

attention) pada saat sebelum bayi mampu memproduksi bahasa. Pada

dasarnya natur dan nurtur memiliki kontribusi terhadap perolehan bahasa

pada bayi (Dardjowidjojo, 2005).

Page 72: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

47

3.2 Mekanisme Pemerolehan Bahasa

a) Imitasi

Imitasi dalam perolehan bahasa terjadi ketika anak menirukan pola

bahasa maupun kosakata dari orang-orang yang signifikan bagi mereka,

biasanya orangtua atau pengasuh. Imitasi yang dilakukan anak, tidak hanya

menirukan secara persis (mimikri) hal yang dilakukan orang lain. Namun,

anak memilih hal-hal yang dianggap oleh anak menarik untuk ditirukan

(Anna. 2003).

b) Pengondisian

Mekanisme perolehan bahasa melalui pengondisian diajukan oleh B.F.

Skinner. Mekanisme pengondisian atau pembiasaan terhadap ucapan yang

didengar anak dan diasosiasikan dengan objek atau peristiwa yang terjadi.

Oleh karena itu, kosakata awal yang dimiliki oleh anak adalah kata benda.

c) Kognisi sosial

Anak memperoleh pemahaman terhadap kata (semantik) karena

secara kognisi ia memahami tujuan seseorang memproduksi suatu fonem

melalui mekanisme atensi bersama. Adapun produksi bahasa diperolehnya

melalui mekanisme imitasi (https://id.wikipedia.org/wiki/Psikolinguistik).

(Perhatikan bagan berikut:)

Page 73: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

48

Bagan 2: Wilayah Kajian Psikolinguistik

Untuk membangun kerangka teori dalam penelitian ini, peneliti

memadukan dua teori utama, yakni neurolinguistik yang terkait dengan afasia

dan psikolinguistik yang terkait dengan disleksia. Gabungan kedua teori ini

mendasari penelitian berada dalam lingkup penelitian neuropsikolinguistik.

Secara fundamental, gabungan kedua teori telihat dalam gambar di bawah

ini: (Andika Dutha Bachari, 2009).

Page 74: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

49

Bagan 3: Wilayah Pertemuan Kajian Neurolinguistik dan Psikolinguistik

Dengan demikian, bangunan kedua bidang kajian ini dapat

disederhanakan seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini:

Page 75: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

50

Bagan 4: Kerangka Teori Kajian Neuropsikolinguistik

4. Membaca dan Pemahaman Membaca

Seorang ahli membaca, Steve Stahl (Santrock, 2008) mengemukakan

ada tiga tujuan utama dalam instruksi membaca, yakni (1) membantu anak

mengenali kata-kata secara otomatis (2) memahami teks bacaan, dan (3)

menjadi termotivasi untuk membaca dan menghargai bacaan. Ketiga tujuan

ini saling terkait satu sama lain. Jika anak tidak dapat mengenal kata-kata

Page 76: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

51

secara otomatis, maka anak tersebut tidak dapat mengerti hal yang

dibacanya. Jika anak tidak mengerti bacaan, maka anak tidak mungkin akan

termotivasi untuk membaca, demikian seterusnya.

Analisis terkini dari Rich Mayer (dalam Santrock, 2008) bahwa ada

proses kognitif yang harus dilalui oleh seorang anak untuk dapat membaca

kata-kata yang tertulis / tercetak. Proses kognitif dimaksud adalah:

a. Sadar akan unit suara dalam kata dalam bentuk ‘mengenal,

menghasilkan, dan memanipulasi fonem’

b. Decoding word, artinya mengubah kata-kata yang tercetak dalam

suara.

c. Dapat mengakses arti kata, artinya dapat menemukan representasi

mental arti kata dalam memori.

Membaca, dalam pengertian lain, adalah suatu proses yang

berkembang sejak manusia lahir, dari tidak menguasai sampai menguasai

dan memahami. Sebelum menguasai dan memahami, ada tahap-tahap awal

yang dilalui anak sepanjang mereka belajar membaca (Moats dalam Lerner,

2000) yakni sebagai berikut:

Page 77: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

52

a. Logographic Reading

Untuk tahap ini, anak mulai mengenali kosakata yang terbatas dari

seluruh kata melalui isyarat yang tidak disengaja, misalnya sebuah logo,

gambar, simbol, warna, atau bentuk tertentu. Contoh, orangtua yang memiliki

anak pada tahap ini mungkin menemukan bahwa mereka tidak dapat

menggantikan sebuah merek sereal yang umum / biasa dilihatnya jika anak

mereka ingin sebuah merek yang mereka kenal dari logo di iklan televisi.

Pada awal tahap ini, anak tidak dapat mengasosiasikan suara dengan simbol

atau menyadari bahwa kata dibentuk oleh fonem lalu disuarakan.

b. Early Alphabetic Reading

Untuk dapat berkembang dalam membaca, anak perlu memahami

wawasan dari tulisan alfabet yang merepresentasikan fonem (Moats dalam

Lerner, 2000). Pada tahap ini, anak menggunakan tulisan alfabet untuk

menulis kata-kata. Sebagai contoh, anak mungkin menulis PTIZU untuk pizza

atau ES CERM untuk es cream.

c. Mature Alphabetic Reading

Pada tahap ini, seorang anak mengetahui asosiasi pengejaan dengan

suara keras, anak juga dapat menggunakannya untuk menguraikannya pada

kata-kata yang sederhana

Page 78: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

53

d. Orthographic Stages: Recognizing Syllables and Morphemes

Pada tahap ini, seorang anak menggunakan analogi kata yang

diketahui sebelumnya untuk mengenal dan membaca kata-kata yang baru

(misalnya kata “perang”, “serang” dan ‘berang”), dengan mengingat kata

“parang”. (silam, malam, salam) dengan mengingat kata “dalam”, dan

seterusnya.

e. Gaining Fluency

Fluency terjadi ketika anak mulai membaca dengan mudahnya dalam

bekerja membaca materi. Pada tahap ini seorang anak akan membaca apa

saja yang dilihatnya, misalnya nama toko, merek barang, atau tulisan-tulisan

pada sampul plastik yang ia temui. Namun, anak seperti ini masih kesulitan

membaca teks berjalan (running text) pada layar televisi.

Kelima tahap awal belajar membaca di atas kemudian akan berlanjut

pada tahap penguasaan dalam membaca komprehensi. Komprehensi yang

dimaksudkan di sini adalah pemahaman teks secara lengkap. Kegagalan

pada tahap ini menjadi suatu petanda bahwa si penyandang akan mengalami

kegagalan kemampuan membaca sempurna pada umur remaja dan

dipastikan hingga tahap ini, anak yang mengalami gangguan disleksia

semakin merasakan kegelisahan.

Page 79: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

54

5. Teori Skemata dan Proses Membaca

Skemata merupakan suatu peta kognitif yang terdiri atas sejumlah ide

yang tersusun rapi. Kerangka kognitif tersebut atau sistem konseptual itu

dapat merekam dan memahami berbagai peristiwa atau data. Respon

terhadap sesuatu yang diberikan akan menjadi acuan untuk respon

berikutnya. Di samping itu, juga dapat dinyatakan bahwa skema merupakan

pengetahuan yang pernah diperoleh untuk disimpan dalam otak dalam

bentuk kerangka kognitif (Jufri, 2002:147).

Representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide, dan aksi yang

diasosiasikan, dan merupakan dasar pengembangan pembangunan

pemikiran. Skemata seseorang senantiasa berkembang sejalan dengan

kapasitas pengalaman dirinya. Dalam perkembangannya skemata

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skemata seseorang terhadap

sesuatu merupakan bagian dari pengalamannya.

Pengertian skemata ketika dihubungkan dengan teori membaca,

menggambarkan proses dimana pembaca mengombinasikan pengetahuan

awal dengan informasi baru dalam teks bacaan yang dihadapinya. Skemata

merupakan bagian dari pengetahuan awal yang menyediakan interpretasi

bermakna tentang sesuatu konten yang baru. Anak PSD pada umumnya

Page 80: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

55

kehilangan orientasi skemata sesuai dengan tingkat atau derjat disleksia

yang dideritanya.

Skemata berawal dari teori skema, yang menggambarkan proses

dimana pembelajar membandingkan latar belakang pengetahuan yang

mereka miliki dengan informasi yang baru akan didapatkannya. Teori skema

ini didasarkan pada kepercayaan bahwa setiap kegiatan pemahaman

dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang yang luas. Inilah salah satu

hambatan bagi seorang penyandang disleksia. Menurut teori ini terdapat dua

proses yang saling mengisi yang menyebabkan skemata seseorang

senantiasa berkembang, yaitu: proses asimilasi dan proses akomodasi.

Proses asimilasi adalah proses penyerapan konsep baru ke dalam

struktur kognitif yang telah ada, pada proses asimilasi seseorang yang

menggunakan struktur atau kemampuan yang ada untuk menanggapi

masalah yang datang dari lingkungannya.

Selanjutnya, akomodasi adalah proses pembentukan skemata baru

atau memodifikasi struktur kognitif yang telah ada agar konsep-konsep baru

dapat diserap. Dengan demikian, proses akomodasi seseorang memerlukan

modifikasi struktur kognitif yang sudah ada dalam mengadakan respon

terhadap tantangan lingkungannya. Bagi penyandang disleksia misalnya,

merekonstruksi kembali susunan huruf dalam kata merupakan skema

Page 81: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

56

akomodasi yang perlu memperoleh bantuan pihak ketiga; guru, orangtua,

lingkungan bermain dan untuk mendorong lebih cepat diperlukan alat terapi

yang akomodatif dengan kebutuhannya.

Keserasian antara asimilasi dengan akomodasi, kemudian disebut

‘ekuilibrasi’. Ekuilibrasi adalah proses terjadinya perubahan dari suatu

keadaan ke keadaan yang lain yang mengahasilkan suatu keseimbangan

baru. Keseimbangan baru bagi PSD adalah membaca kata dari salah

menjadi benar yang disebabkan karena adanya perbaikan. Perbaikan hanya

dapat dicapai melalui terapi.

Menurut Rumerhart dalam Jufri (2002), bahwa dalam teori skema ada

tiga alasan mengapa pembelajar gagal memahami suatu bahasa. Ketiga

alasan itu meliputi (1) pembelajar mungkin tidak memahami skema yanfg

tepat, sehingga seseorang tidak dapat memahami suatu konsep yang ada

dalam bahasa, (2) pembelajar memiliki skemata, akan tetapi petunjuk yang

disediakan penulis tidak cukup untuk dapat memahami suatu bahasa, dan (3)

pembelajar mungkin dapat menafsirkan suatu bahasa,akan tetapi tidak

sesuai dengan pesan yang disampaikan penulis.

Dalam kaitan dengan penanganan anak PSD, seorang terapi perlu

mengenali bahwa anak PSD berhadapan dengan suatu masalah, maka

struktur kognitifnya akan mengalami ketidakseimbangan sehingga secara

Page 82: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

57

spontan struktur kognitif tersebut mengadakan kegiatan pengaturan diri (self-

regulation) sebagai upaya untuk memperoleh suatu keseimbangan baru lagi.

Tercapainya keseimbangan baru menunjukkan bahwa ada sesuatu yang

telah dicapai sebagai umpan balik dan disimpan dalam struktur yang

permanen.

6. Otak dan Perkembangan Bahasa

Hubungan bahasa dan otak merupakan kajian yang amat kompleks.

Otak manusia merupakan salah satu organ tubuh manusia yang di dalamnya

terdapat bagian yang berfungsi mengendalikan semua gerak dan fungsi

tubuh, termasuk berbahasa. Pertanyannya kemudian, pada bagian

manakah secara tepat letak bahasa tersebut di dalam otak manusia? Bagian

ini akan membahas hubungan keduanya dari sudut neurolinguistik (Kerig,

P.K., dan Wenar, C., 2006).

Neurolinguistik adalah satu sains baru sebagai fusi antara neurologi,

ilmu kedokteran (medis) yang mengkaji sistem saraf dan penyakit-

penyakitnya, dengan linguistik, ilmu yang mengkaji bahasa secara alamiah.

Kerjasama ini muncul karena ternyata penyakit bertutur adalah termasuk

bidang kajian neurologi dan juga linguistik.Jadi, neurolinguistik sebagai sains

baru, mengkaji struktur dalam bahasa dan ucapan dan mekanisme

sereberum (struktur otak) yang mendasarinya (Simanjuntak, 2008: 21).

Page 83: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

58

Bahasa adalah satu sistem kognitif manusia (diatur oleh fungsi-fungsi

alamiah yang sangat unik. Hal itu dapat dimanipulasi oleh manusia untuk

menghasilkan (mengujarkan) sejumlah kalimat yang tidak terbatas jumlahnya

berdasarkan unsur-unsur yang terbatas untuk dipakai oleh manusia sebagai

alat berkomunikasi dan mengakumulasi ilmu pengetahuan (Simanjuntak,

2008:17). Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi.

(Chaer, 2002: 30).

Soetjiningsih, dkk. (2016:11); Dardjowidjojo (2005:16), mengatakan

bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol lisan arbitrer. Bahasa dipakai oleh

anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi

antarsesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Berdasarkan ketiga pendapat di atas, dapat dikaitkan dengan

Hipotesis Kenuranian Chomsky dalam (Simanjuntak, 2008:24). Hipotesis

Kenuranian (The Innateness Hypothesis) satu hipotesis internal yang dibawa

lahir, yang diwariskan secara alamiah, mengatakan bahwa manusia telah

diperlengkapi secara alamiah dengan suatu area yang khusus yang nurani

(”innate”), memungkinkan manusia melahirkan dan memperoleh bahasa.

Hipotesis ini menekankan bahwa setiap manusia melahirkan bahasa dari

otaknya. Lieberman, dalam (Simanjuntak, 2008:25) menyatakan setiap

masyarakat manusia mempunyai bahasa yang mereka lahirkan sendiri

secara evolusi. Bahasa yang dilahirkan secara evolusi ini ialah bahasa

Page 84: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

59

linguistik, yaitu bahasa luaran. Bahasa luaran tersebut (linguistik) berasal dari

bahasa nurani (bahasa dalaman) yang telah dimiliki manusia secara alami.

Hal ini juga sejalan dengan teori Competence dan Performance, Chomsky,

dalam (Mar’at Samsunuwiyati, 2005: 18).

Kompetensi (competence) adalah kapasitas kreatif dari pengguna

bahasa. Adapun performance adalah penggunaan bahasa secara aktual

yang meliputi mendengarkan, berbicara, berpikir, dan menulis. Chomsky

beranggapan bahwa pengguna bahasa mengerti struktur dari bahasanya

yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak

terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi,

kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dimiliki oleh setiap individu

mengenai bahasa ibunya (native language). Intuisi linguistik ini tidak begitu

saja ada melainkan dikembangkan pada anak sejalan dengan

pertumbuhannya. Adapun performance adalah sesuatu yang dihasilkan oleh

competence, selain itu juga oleh faktor-faktor lainnya seperti motivasi untuk

berbicara, ingatan dan faktor-faktor psikologi lainnya ikut terlihat (Rydz D.,

Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., 2006).

6.1 Struktur dan Fungsi Otak

Otak adalah organ vital yang terdiri atas 100-200 milyar sel aktif yang

saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan

Page 85: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

60

intelektual kita. Otak terdiri atas sel-sel otak yang disebut neuron (Leonard

C,1998).

Sumber :Neuroanatomical Basis of Clinical Neurology Orhan Arslan 422 pp Carnforth: Parthenon, 2001

Gambar 4: Struktur dan Fungsi Otak

Keterangan:

1. Left Hemisphere (Otak Kiri).

2. Right Hemisphere (Otak Kanan)

3. Cerebral Cortex

4. Skull (Tengkorak)

5. Midbrain (Limbic System)

6. Pons (Batas Otak)

7. Cerebellum (Hind Brain)

8. Medulla (Batang Otak)

Page 86: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

61

Otak manusia dewasa beratnya rata-rata sekitar 1,5 kg dengan ukuran

sekitar 1.130 cm3 pada wanita, dan 1.260 cm3 pada pria, meskipun ada

variasi individu substansial. Otak manusia bertanggung jawab terhadap

pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, terdapat

kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya

dipercayai dapat memengaruhi kognisi manusia. Secara neurobiologis, otak

manusia terdiri atas miliaran sel saraf atau neuron yang menyebar di

keseluruhan otak manusia. Setiap saraf otak itu saling berhubungan dan

berkomunikasi melalui satu hubungan atau lebih. Setiap belahan otak, baik

otak kiri maupun otak kanan pada hakikatnya mempunyai tanggung jawab

dan fungsi masing-masing.

Gambar 5: Belahan Otak Kiri dan Otak Kanan

Page 87: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

62

Otak kiri berkaitan dengan akademik, seperti perbedaan, angka,

urutan, tulisan, bahasa, hitungan, dan logika. Adapun otak kanan berfungsi

dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi,

music, dan warna. Namun, aktivitas kerja kedua otak tersebut tidak terpisah.

Aktivitas kedua otak itu saling menyatu dan juga saling membangun (Leonard

C., 1998).

6.2 Bagian-bagian Otak

Secara umum, otak dibagi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan.

Namun, jika kita telaah lagi, pada sisi kiri otak kita akan menemukan tiga

bagian otak yang memiliki tanggung jawab dalam kemampuan bahasa kita,

yakni: area Broca (Broca’s area), area Wernicke (Wernicke’s area), dan area

motor tambahan (upplementary motor area).

(Sumber: Neuroanatomical Basis of Clinical Neurology Orhan Arslan 422 pp Carnforth: Parthenon, 2001)

Gambar 6: Area Broca dan Area Wernicke

Page 88: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

63

6.2.1 Area Broca

Area Broca atau yang disebut sebagai anterior korteks bahasa. Paul

Broca, seorang ahli bedah melaporkan pada tahun 1860 bahwa kerusakan

pada area ini dapat menyebabkan kesulitan yang sangat besar pada produksi

berbahasa. Ini menunjukkan bahwa kerusakan pada otak sebelah kanan

tidak akan berpengaruh pada kemampuan bahasa seseorang, dan

membuktikan bahwa kemampuan bahasa terletak di otak kiri, bukan di otak

kanan. Sejak saat itu, area Broca diilustrasikan sebagai tempat yang sangat

penting dalam kemampuan berbahasa (Basir, H., 2005).

Gambar 7: Paul Broca

Page 89: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

64

6.2.2 Area Wernicke

Ini adalah area korteks posterior bahasa. Carl Wernicke, seorang

Dokter Jerman melaporkan pada tahun 1870 bahwa kerusakan pada area ini

akan mengakibatkan kesulitan memahami bahasa. Penemuan ini

membuktikan bahwa kemampuan berbahasa terletak pada otak kiri dan area

Wernicke adalah bagian otak yang paling penting terlibat dalam pemahaman

bahasa (Basir, H., 2005).

Gambar 8: Carl Wernicke

6.2.3 Area Motor Tambahan

Ini adalah area korteks superior bahasa. Area ini berpengaruh pada

gerakan aktual fisik saat artikulasi berbicara. Pada tahun 1950, Penfield dan

Page 90: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

65

Robert, dua ahli bedah saraf menemukan di area inilah yang mengatur

pergerakan sense juga produksi artikulasi dalam berbicara (Basir, H., 2005).

6.3 Gangguan Bicara dan Bahasa

Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas.

Semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak,

otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan

atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ

bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism

selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan.

Deprivasi lingkungan terdiri atas lingkungan sepi, status sosial ekonomi,

teknik pengajaran salah, sikap orangtua, bicara pada anak dapat disebabkan

karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti

otak, pendengaran, dan fungsi motorik lainnya (Parker S., Zuckerman B.,

Augustyn M., 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan penyebab gangguan bicara adalah

adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke

otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan,

korpus kalosum, dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal

lain dapat juga disebabkan karena di luar organ tubuh seperti lingkungan

yang kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau penggunaan dua

Page 91: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

66

bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan, biasanya keterlambatan yang

terjadi tidak terlalu berat (Owens, R.E., 2001).

Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya

adalah retardasi mental, gangguan pendengaran, dan keterlambatan

maturasi.Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan bicara

fungsional.

Smith C., Hill J., (1999) mengemukakan bahwa keterlambatan bicara

fungsional merupakan penyebab yang cukup sering dialami oleh sebagian

anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan

maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara

golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari

proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara

pada anak.

Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat riwayat

keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan

keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya

kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun.

Terdapat penelitian yang melaporkan penyandang dengan keterlambatan ini,

kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak

lainnya. Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan

kemampuan pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal.

Anak hanya mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi

Page 92: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

67

ekspresif. Ciri khas lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis,

gangguan pendengaran, gangguan kecerdasan, dan gangguan psikologis

lainnya (Rydz D., Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., 2006).

6.4 Instrumen Pemeriksaan Otak

Dalam hal ini banyak sekali peneliti yang kemudian menyelidiki

peranan otak dalam memproduksi ujaran atau juga bagian-bagian yang

menghasilkan ujaran secara verbal kemudian bahasa sinyal, dan juga hal-hal

yang lainnya. Disebutkan bahwa otak manusia itu bila diberi tekanan pada

bagian-bagian tertentu dapat memengaruhi ujaran seseorang. Di sini juga

dapat kita ketahui bahwa bila inputnya adalah visual, prosesnya akan

berbeda dengan inputnya bunyi (suara) sebelum akhirnya outputnya secara

verbal diujarkan. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, manusia dapat

meneliti otak manusia untuk mengetahui khususnya dalam hal ini faktor-

faktor yang berperan dan memengaruhi seseorang dalam berbahasa.

Kemajuan teknologi telah membuat penelitian mengenai otak lebih

maju. Kini telah terdapat CT atau CTA (Computerized Axial Tomography),

PET (Positron Emission Tomography), MRI (Magnetic Resonance Imaging),

dan ERPs (Event Related Potentials). Berikut ini spesifikasi dari alat-alat yang

digunakan untuk meneliti otak tersebut: (Miller-Shaul, Shelley, Zvia Breznitz,

2004).

Page 93: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

68

6.4.1 CT atau CTA (Computerized Axial Tomography)

Page 94: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

69

Gambar 9: CT atau CTA (Computerized Axial Tomography)

Sumber: Google Picture.Com

CT atau CTA Scan memanfaatkan sumber Sinar-X (X-Ray) untuk

merekam berbagai imaji (image) dan komputer kemudian membentuk imaji

tiga dimensi dari seluruh atau sebagian otak. Menarik untuk diketahui bahwa

alat ini telah dipakai untuk meneliti otak Mr.Tan (pasien Broca) yang otaknya

disimpan di museum kedokteran Paris selama lebih dari 100 tahun dan

terbukti bahwa Broca itu benar.

Page 95: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

70

6.4.2 PET (Positron Emission Tomography)

Berbeda dengan CT / CTA, Positron Emission Tomography (PET)

dapat mempertunjukkan kegiatan otak secara langsung. Pada PET, bahan

yang berisi radioaktif ringan ini disuntikkan ke pembuluh darah dan kemudian

pola aliran darah pada otak ditelusuri dengan alat detektor khusus yang

diletakkan pada kepala si pasien. Detektor ini memberikan imaji yang

berwarna-warna. Pada waktu pasien melakukan kegiatan verbal sesuai

dengan instruksi dari penelitii, gambar di atas menunjukkan bagian-bagian

otak yang melakukan kegiatan ini akan mendapat aliran darah yang lebih

banyak dan menyebabkan daerah itu “menyala”. Dengan cara ini, orang lebih

pasti tahu untuk menentukan bagian-bagian otak yang terlibat dalam

kegiatan-kegiatan verbal tertentu.

Sumber: Barthel H, Luthardt J, Becker G, 2011

Gambar 10: PET (Positron Emission Tomography)

Page 96: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

71

6.4.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI (Magnetic Resonance Imaging) berfungsi mengukur fungsi otak

dengan memanfaatkan jumlah aliran darah pada daerah-daerah otak yang

sedang aktif. Aktivitas selular diukur melalui medan magnetik yang

menelusuri proton-proton pada aliran darah. Pada saat suatu daerah di otak

melakukan suatu tugas kognitif, ada tambahan aliran darah dan aktivitas

selular yang berkaitan dengan tugas tersebut pada daerah itu (Stark, David

D., 1988).

(Sumber: Kieran Maher using Graphic Converter from Applied Imaging Technology by Heggie, Liddell, and Maher)

Gambar 11: MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Page 97: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

72

6.4.4 ERPs (Event Related Potentials)

ERPs (Event Related Potentials) berfungsi mengukur perubahan-

perubahan voltase pada otak yang berkaitan dengan hal-hal seperti sensori,

motorik, atau kognitiif. Pengukuran perubahan voltase ini mempunyai resolusi

waktu yang ukurannya milidetik. Rekaman dari ERPs menunjukkan sederetan

puncak voltase yang positif dan negatif yang muncul dengan jeda waktu

tertentu sejak stimulus diberikan.

(Sumber: Steven, L. Bressler, 2002)

Gambar 12: ERPs

7. Faktor Penyebab Disleksia

Sidiarto (2007) menunjukkan bahwa penyebab anak mengalami

keterlambatan atau kesulitan perkembangan membaca adalah:

Page 98: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

73

1. Anak yang lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

dapat mengalami kerusakan otak sehingga mengalami kesulitan

belajar atau gangguan pemusatan perhatian.

2. Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan, gangguan

pendengaran atau anak dengan cerebral palsy (c.p.) akan mengalami

kesulitan belajar membaca.

3. Anak kurang memahami perintah karena lingkungan yang

menggunakan beberapa bahasa (biloingual atau multilingual).

4. Anak yang sering pindah-pindah sekolah.

5. Anak yang sering absen karena sakit atau ada masalah dalam

keluarga.

6. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan

pembelajaran bahasa, sehingga kurang konsentrasi dan banyak

membuat kesalahan.

7.1 Mekanisme Kerusakan Otak pada Disleksia

Mekanisme terjadinya disleksia berkembang sedikit demi sedikit.

Bagian-bagian tertentu dalam otak tidak mengalami proses kematangan.

Dengan kata lain, pertumbuhannya tidak seimbang sehingga menyebabkan

bahagian otak yang mengontrol bacaan dan ejaan tidak dapat berfungsi

dengan optimal. (Gambar 10) memperlihatkan perbedaan aktivasi otak anak

disleksia dengan anak normal. Pada anak normal, sistem saraf paling aktif

Page 99: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

74

pada bagian kiri posterior. Adapun pada disleksia, tidak tampak aktivitas

sistem saraf pada bagian belakang, bahkan cenderung area depan overaktif.

(Sumber: Shaywitz, S. 2003)

Gambar 13: Letak Lesi Disleksia pada Parieto-Temporo-Occipital

Page 100: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

75

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chiara Spironelli, et al., 2010,

menemukan terjadinya kerancuan pada kedua hemisfer cerebral untuk

menguasai kemahiran membaca dan mengeja. Pada keadaan ini hemisfer

kiri lemah, sehingga terjadilah keterbalikan huruf dan perkataan yang dialami

oleh anak-anak disleksia.

(Sumber: Shaywitz,S.2003)

Gambar 14: Letak lesi Disleksia pada Parieto-Temporo-Occipital

Page 101: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

76

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan mekanisme

terjadinya disleksia, a.l. Chiara Spironelli, et al., 2010 meneliti plastisitas otak

14 anak-anak Italia yang mengalami developmental dyslexia setelah 6 bulan

mengikuti pelatihan fonologi. Cara yang digunakan untuk mengukur

reorganisasi bahasa adalah perekaman potensi gelombang awal disebut

N150, yang ditimbulkan oleh pengenalan kata otomatis. Komponen puncak

korteks temporo-oksipital kiri dan amplitudo bergantung pada keahlian

linguistik. N150 ditimbulkan oleh kata-kata yang tertulis dan diukur baik pada

anak-anak disleksia sebelum dan sesudah pelatihan, pada kontrol (bukan

disleksia), yang match selama pelatihan fonologi, semantik dan ortografi.

Setelah pelatihan, anak disleksia mengalami peningkatan kecepatan

membaca secara signifikan. Pada kontrol, menunjukkan gambaran khas

N150 posterior kiri. Pada anak-anak disleksia itu merata di seluruh hemisfer

sebelum pelatihan dan bergeser ke situs posterior kiri setelah pelatihan.

Selain itu, penyandang disleksia N150 posterior kiri asimetri pada fungsi

fonologis. Setelah pelatihan secara signifikan berkorelasi dengan

peningkatan kecepatan membaca, ditunjukkan pergeseranke kiri fonologi

N150, serta peningkatan kecepatan membaca yang sangat signifikan. Lokasi

sumber N150 berasal dari software Low Resolution Electromagnetic

Tomography dan dianalisis dengan metode Brain Electrical Source Analysis.

Generator terletak pada occipito-temporal korteks kiri (daerah Brodmann 39,

37, dan 19) pada kontrol, dan di daerah homolog pada anak disleksia

Page 102: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

77

sebelum pelatihan. Setelah pengobatan, generator N150 penyandang

disleksia bergeser ke occipito-parieto-temporal korteks kiri (yaitu daerah

Brodmann 37 dan 19). Hasil studi ini menambah literatur saat ini pada

hipotesis fonologis disleksia dengan menunjukkan reorganisasi hemisfer

jaringan linguistik pada potensi pengenalan kata awal. Selanjutnya, penelitian

ini adalah yang pertama untuk menyelidiki reorganisasi otak pada bahasa

biasa / transparan seperti di Italia.

Beberapa penelitian mengenai disleksia telah dilakukan peneliti

terdahulu, antara lain oleh Anjarningsih (2006), Hidayah (2007), Mustafa, dkk.

(2013), Aini (2013), dan Qadariah (2014). Jauh sebelum penelitian tersebut,

tahun 1930-an, sebuah hasil penelitian menjelaskan gangguan membaca

dengan model hemisferik serebral. Hasil penelitian tersebut menyatakan

adanya korelasi positif gangguan membaca dengan tangan kiri, mata kiri atau

lateralisasi campuran (Kaplan, Benyamin J., Sadock dan Jack A. Greb, 1997:

698).

Penelitian K.U. Leuven di Belgia (Dewi, 2010) juga menemukan bahwa

disleksia disebabkan oleh masalah konektivitas yang terkait dengan bidang

pengolahan bahasa di otak, "Para peneliti melakukan CT Scan otak dari 23

orang dewasa dengan disleksia, dan 22 orang dewasa normal melalui

respons berbagai rangsangan pidato. Para ilmuwan melihat akurasi otak

peserta sebagai representasi fonetik yang dipetakan dari suara mereka.

Page 103: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

78

Perbandingan otak normal dan yang terkena disleksia dapat dilihat pada

gambar berikut.

(Sumber: Richard Saltus, Globe Staff, 2003)

Gambar 15: Perbedaan antara Otak Normal dan Penyandang Disleksia

Penelitian selanjutnya mengenai konektivitas otak berbeda antara

anak disleksia dan anak normal. Secara khusus, para peneliti ingin melihat

Page 104: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

79

seberapa baik daerah otak yang terlibat dalam 13 pengolahan bahasa yang

terhubung ke representasi fonetik.

Para peserta yang terpapar memiliki konektivitas buruk terutama

antara daerah Broca, sebuah daerah di lobus frontal otak yang terkait dengan

produksi ujaran, dan korteks pendengaran kiri dan kanan. Selain itu, orang-

orang dengan koneksi terlemah dan terburuk dilakukan pada saat membaca

dan mengeja teks (dikutip dari The Boston Globe Abnormal Brain Patterns

Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff,

2003)

Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan anatomi

antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian temporo-

parietal-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian belakang).

Pemeriksaan functional Magnetic Resonancy Imaging (fMRI) dilakukan untuk

memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca. Hal itu menunjukkan

bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa,

terutama dalam hal pemprosesan input huruf / kata yang dibaca lalu

“diterjemahkan” menjadi suatu makna (Dewi, 2010). Bukti di atas sejalan

dengan beberapa penelitian dengan menggunakan Tomografi Computer (CT,

Computed Tompgraphy), pencitraan resonansi magnetik. Penelitian itu telah

menunjukkan bahwa ada asimetris abnormal pada lobus temporalis dan

parietalis orang dengan gangguan membaca.

Page 105: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

80

Merujuk kajian yang dilakukan oleh Dr. Galaburda (Abdurrahman,

1999), susunan sel-sel otak orang disleksia ternyata berbeda dibandingkan

dengan otak orang biasa (normal). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada

gambar 10 terdahulu. Untuk lengkapnya, penelitian seperti ini seyogyanya

dilakukan secara komprehensif di bawah payung ilmu neuropsikolinguistik.

7.2 Tanda-tanda dan Gejala Disleksia

Berikut ini adalah tanda-tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali

oleh orangtua atau guru: (Dewi, K., 2012).

Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya;

Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur, misalnya

essay;

Huruf tertukar-tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar

’w’, ’s’ tertukar ’z’;

Membaca lambat-lambat dan terputus-putus dan tidak tepat, misalnya:

o menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”,

“pada”);

o mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis”

dibaca sebagai ”tulis”);

o tidak dapat membaca atau pun membunyikan perkataan yang

tidak pernah dijumpai;

Page 106: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

81

o tertukar-tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula,

batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama).

Daya ingat jangka pendek yang buruk;

Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau pun yang didengar;

Tulisan tangan yang buruk;

Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung;

Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek;

Kesulitan mengingat kata-kata;

Kesulitan dalam diskriminasi visual;

Kesulitan dalam persepsi spatial.

Kesulitan mengingat nama-nama;

Kesulitan / lambat mengerjakan PR;

Kesulitan memahami konsep waktu;

Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan;

Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol;

Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari hari;

Kesulitan membedakan kanan dan kiri.

7.3 Diagnosis

Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk

menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis

Page 107: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

82

berdasarkan cerita dari orangtua, observasi dan tes-tes psikometrik yang

dilakukan oleh dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog,

profesi lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak

disleksia, yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya

gangguan neurologis), audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya

gangguan pendengaran), oftalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan

adanya gangguan penglihatan), dan tentunya guru sekolah (Shaywitz S.,

2003).

Untuk menentukan anak disleksia atau tidak, harus dilakukan dengan

diagnosis oleh pakar yang ahli dalam bidang ini, misalnya dokter saraf anak

atau psikolog. Diagnosis disleksia dilakukan secara klinis berdasarkan cerita

dari orangtua, observasi, dan tes-tes psikometrik. Jika orangtua meyakini

bahwa tanda-tanda disleksia ada pada anaknya, segera konsultasikan

dengan pakar terkait. Anak disleksia pada usia prasekolah, menunjukkan

adanya keterlambatan berbahasa (delay speech) atau mengalami gangguan

dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam pelafalan

kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali huruf-huruf dalam

alfabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam keluarga (Bailhaqi, M.I.F.dan

Sugiarmin, M., 2014).

Keluhan utama pada anak disleksia pada usia sekolah biasanya

berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya orangtua ”tidak terima”

jika guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah

Page 108: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

83

kesulitan membaca. Kesulitan yang dikeluhkan meliputi kesulitan dalam

berbicara dan kesulitan dalam membaca.

Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar

belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia. Riwayat

keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-65%

orangtua dileksia mempunyai anak disleksia juga. Pada awalnya, anak lelaki

dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian-penelitian

terkini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki-laki

dan perempuan yang mengalami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-

laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, sepertinya

kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada

perempuan (Bailhaqi, M.I.F.dan Sugiarmin, M., 2014).

7.4 Identifikasi Dini Disleksia

Menurut Asosiasi Disleksia Internasional (Hawelka S., Huber C.,

Wimmer H., et al, 2006) disleksia merupakan salah satu jenis kesulitan

belajar spesifik yang berasal dari kelainan neurobiologis. Hal ini ditandai

dengan kesulitan pada pengenalan, mengeja dan mengode kata. Kesulitan-

kesulitan ini biasanya disebabkan oleh adanya kekurangan dalam komponen

fonologis. Penyandang disleksia sulit dikenali karena dari segi penampilan

seperti anak normal pada umumnya serta dengan nilai IQ normal (rata-rata

Page 109: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

84

atau di atas rata-rata). Pada umumnya, terlihat dari kurang prestasinya,

membaca tidak fasih, huruf sering dibolak-balik, dll. Tidak banyak guru yang

menyadari bahwa masalah yang melatarbelakangi kesulitannya tersebut

adalah suatu kesulitan belajar spesifik. Oleh karena itu, deteksi disleksia

sejak dini serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik

pula.

Disleksia tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa membaik.

Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa deteksi disleksia sejak dini

serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik juga.

Sebaliknya, seperti penjelasan di atas, jika tidak cepat dideteksi, akan

berakibat pada gangguan sosial dan emosional. Gangguan sosial dan

emosional ini dapat menumbuhkan sikapnya yang kurang percaya diri, labil,

mudah tersinggung, merasa dirinya bodoh, dan menjadi korban bullying

teman-temannya (Bailhaqi, M.I.F. dan Sugiarmin, M., 2014).

Diagnosis disleksia dapat ditegakkan pada usia anak 7 tahun dan

proses diagnosisnya memerlukan seorang psikolog atau dokter ahli saraf.

Namun, kita sudah bisa mengidentifikasi sejak anak masih berusia 5-7 tahun

atau usia prasekolah. Identifikasi awal akan memberikan manfaat yang besar

antara lain: biaya terapi yang jauh lebih murah, anak belum terganggu self

esteem-nya dan lebih fleksibel dalam menerima metode pembelajaran

(Aaron, P. G., dan Phillips, S.,1986).

Page 110: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

85

Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua daerah,

khususnya di daerah-daerah terpencil memiliki SDM seperti dokter spesialis

saraf anak yang mampu mengidentifikasi dan mendiagnosis disleksia.

Dengan demikian, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi awal

kemungkinan atau potensi seorang anak menyandang disleksia yang dapat

dengan mudah diakses di mana saja dan kapan saja, sehingga baik orangtua

maupun guru dapat lebih waspada terhadap hal ini (Bailhaqi, M.I.F. dan

Sugiarmin, M., 2014).

Sistem ini merupakan sistem identifikasi disleksia dini dengan

ketentuan sebagai berikut:

1. Sistem ini digunakan untuk identifikasi dini disleksia pada anak dengan

rentang usia 5 - 7 tahun;

2. Sistem ini mengeluarkan output berupa kemungkinan seorang anak

menyandang disleksia, bukan diagnosis;

3. Diagnosis hanya ditegakkan oleh tenaga profesional yang

berkompeten;

4. Parameter yang diukur antara lain: bahasa lisan, bahasa tulisan,

bahasa sosial, matematika, organisasi, sekuensi, working memory,

arah dan koordinasi motorik halus.

Page 111: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

86

7.5 Alur Skrining Disleksia (Catts, H.W., 2012)

1. Skrining Awal

Skrining awal adalah identifikasi dini disleksia yang dilakukan

oleh orangtua. Orangtua mengisi 21 pertanyaan kuesioner tentang

anak dan hasil dari proses ini adalah kemungkikan seorang anak

menyandang disleksia atau tidak.

2. Skrining Lanjut

Skrining lanjut adalah identifikasi yang dilakukan oleh

seseorang yang sudah disertifikasi oleh Asosiasi Disleksia Indonesia

(ADI) sebagai lanjutan dari proses skrining awal. Hasil dari proses ini

adalah kemungkikan seorang anak menyandang disleksia berat,

sedang, atau ringan.

7.6 Penatalaksanaan Disleksia

Disleksia dapat diatasi dengan terapi yang benar dan tepat sesuai

metode yang teruji secara ilmiah. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan

untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia.

Berikut beberapa cara yang bisa dijadikan referensi untuk mengatasi

kesulitan belajar pada anak disleksia.

Page 112: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

87

1) Gunakan Media Belajar

Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia adalah dengan

menggunakan media belajar. Seperti yang telah disebutkan di atas, anak

disleksia cenderung lebih mudah memahami sesuatu dengan gambar. Untuk

itu, bisa digunakan media belajar berupa gambar untuk membantu

memudahkan dalam mengenalkan huruf, membedakan huruf hingga akhirnya

anak disleksia mampu membaca dan menulis dengan lancer (Beacham,

Nigel A. dan James L. Alty, 2006).

2) Tingkatkan Motivasi Belajar pada Anak

Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia yang kedua

adalah dengan meningkatkan motivasi belajar pada anak. Upaya

meningkatkan motivasi belajar bisa dilakukan dengan membacakan sebuah

cerita atau dongeng, kemudian memberitahukan segala manfaat dan

keuntungan yang bisa diperoleh dengan membaca dan menulis. Dengan

demikian, anak akan termotivasi dan terdorong untuk bisa membaca dan

menulis sendiri.

3) Tingkatkan Rasa Percaya Diri Anak

Kondisi anak disleksia mengakibatkan kesulitan menulis dan

membaca. Hal itu membuat sebagian anak disleksia mengalami depresi dan

kehilangan rasa percaya diri karena kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah

Page 113: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

88

dan sering juga dikucilkan oleh teman-temannya. Dengan meningkatkan rasa

percaya diri pada anak disleksia, merupakan salah satu cara mengatasi

kesulitan belajar pada anak disleksia. Dengan mengembalikan dan

meningkatkan rasa percaya dirinya, sehingga memiliki semangat belajar yang

lebih tinggi untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialaminya. Beberapa hal

berikut perlu pula diperhatikan:

a. Jangan pernah menyalahkan anak atas kondisi yang dialaminya.

Beberapa orangtua yang tidak siap memiliki anak dengan disleksia

cenderung menyalahkan anak karena kondisi yang dideritanya.

Padahal kondisi disleksia yang menyebabkan anak mengalami

kesulitan belajar bukan merupakan kesalahan yang dilakukan oleh

anak, namun karena adanya kelainan dalam otak anak. Dengan

menyalahkan anak atas kondisi yang dialaminya, justru akan membuat

anak semakin depresi.

b. Selalu dampingi anak dalam belajar

Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia

berikutnya adalah dengan selalu mendampingi anak dalam belajar.

Dengan selalu melakukan pendampingan dalam belajar, anak akan

lebih mengingat hal yang dipelajarinya. Selain itu, pendampingan

belajar secara rutin juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan

meningkatkan motivasi anak untuk selalu belajar.

Page 114: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

89

Beberapa cara di atas bisa digunakan sebagai referensi dalam

mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia. Namun, gejala disleksia

berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lain. Selain menggunakan

beberapa cara di atas, juga bisa mengatasi kesulitan belajar pada anak

disleksia sesuai dengan gejala yang ditunjukkan.

Sampai saat ini belum ditemukan obat yang bisa mengatasi disleksia.

Untuk itu, terapi merupakan bentuk penanganan yang paling tepat untuk

mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia. Terapi yang bisa digunakan

untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia adalah Terapi

Gelombang Otak. Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment adalah

sebuah terapi yang dirancang khusus oleh para ahli untuk membantu

mengatasi kesulitan membaca dan menulis pada penyandang disleksia.

Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment bekerja dengan

memberikan stimulus pada gelombang otak yang telah disesuaikan, sehingga

sangat efektif untuk mengatasi masalah kesulitan belajar pada anak

disleksia. Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment berbentuk CD musik

terapi sehingga sangat mudah dan praktis digunakan. Penggunaan terapi ini

secara teratur mampu memudahkan anak disleksia untuk mempercepat

proses belajarnya.

Page 115: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

90

4) Pendekatan Multisensori

Pada awalnya, pendekatan multisensory diusulkan secara kolektif oleh

ahli dalam bidang kesulitan belajar, guru, dan peneliti pada akhir tahun 1920-

an dan secara signifikan dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Gillingham

dan Stillman. Pada dasarnya, pendekatan tersebut terdiri atas sederatan

strategi pembelajaran multisensori yang menghubungkan mata, telinga,

suara, dan gerakan tangan karena anak-anak disleksia memiliki kreativitas

ekstra dan reseptor sensorik yang lebih kuat (J.Ohene-Djan dan R. Begum,

2008).

Studi dari National Institute of Child Health and Human Development

menunjukkan bahwa dengan menggunakan pendekatan multisensori, anak-

anak dengan kesulitan belajar dapat belajar membaca dengan lebih baik (S.

Purkayastha, dkk., 2012). Selanjutnya, dengan menggunakan berbagai jenis

alat pembelajaran yang memanfaatkan kekuatan sensori anak disleksia, tidak

hanya membuat proses pembelajaran lebih produktif dan efektif, tetapi juga

membuat anak-anak tetap fokus untuk jangka waktu lama.

7.7 Penanganan Anak Disleksia dengan Terapi Video Game

Bagi anak-anak dengan disleksia, bermain video game aksi dapat

membantu mereka mengalihkan perhatian antara suara dan isyarat visual

dengan lebih baik. Disleksia memengaruhi 5-10% populasi dan merupakan

ketidakmampuan belajar karena kesulitan membaca, menulis, dan mengeja.

Page 116: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

91

Salah satu efek samping yang terdokumentasi dengan baik adalah kesulitan

memproses dan mengalihkan antara isyarat sensorik visual dan audio,

contohnya, melihat gambar dan kemudian mengalihkan perhatian untuk

suara yang datang tiba-tiba (Gabrieli, J., 2009).

Dalam studi baru yang dirilis dalam Cell Biology, para peneliti menguji

waktu reaksi dari 34 partisipan yang diminta memencet tombol setiap kali

mereka mendengarkan suara, melihat cuplikan gambar redup, dan

mendengar suara sekaligus melihat gambar yang muncul di layar. Separuh

partisipan memiliki disleksia dan grup satunya normal. Secara keseluruhan,

para peneliti menemukan bahwa anak-anak dengan disleksia memiliki reaksi

yang lebih lambat ketika mendengar isyarat suara yang diikutii isyarat

gambar, dibandingkan dengan kelompok pembanding (Vidyasagar, T.R., and

Pammer, K., 2010).

Para peneliti mencatat kelompok disleksia mengalami tingkat respons

yang sama dengan kelompok pembanding dalam hal bereaksi terhadap

isyarat visual yang diikuti isyarat suara-asimetri yang sebelumnya tidak

pernah diamati di antara penyandang disleksia. Temuan ini mengarahkan

peneliti untuk berhipotesis bahwa video game mungkin bermanfaat besar

bagi orang-orang dengan disleksia, membantu mereka lebih mudah melatih

mengalihkan rangsangan suara dan visual (Green, C.S., Pouget, A., dan

Bavelier, D., 2010).

Page 117: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

92

Satu lagi manfaat dari bermain video game ditemukan oleh

sekelompok peneliti dari University of Padua, Italia. Menurut penelitian

tersebut, bermain video game ternyata bisa membantu anak penyandang

disleksia untuk membaca lebih cepat. Penelitian tersebut melibatkan

beberapa anak yang berusia antara 7 hingga 13 tahun, yang memainkan

beberapa mini game bertempo cepat dalam Rayman Raving Rabbids, salah

satu game Wii selama 12 jam. Hasilnya, memainkan game bertipe action

tersebut dapat meningkatkan kecepatan membaca anak-anak tanpa harus

kehilangan ketepatan membacanya, lebih cepat dibandingkan mengajari

mereka membaca secara konvensional selama satu tahun. Lebih lanjut, hasil

yang didapat dari bermain game tersebut setara dengan mengajari anak-

anak membaca dengan metode terbaik sekalipun, bahkan sedikit lebih baik

dan lebih efektif (Dye, M.W.G., Green, C.S., dan Bavelier, D., 2009).

Andrea Facoetti, salah satu asisten yang ikut berkontribusi dalam

penelitian tersebut mengungkapkan, bahwa bermain video game bisa

meningkatkan perhatian mereka secara visual, yang juga akhirnya sangat

membantu mengembangkan kemampuan membacanya. Video game dengan

banyak aksi bisa meningkatkan banyak aspek dari perhatian visual, yang

utamanya berakibat meningkatkan penggalian informasi dari lingkungan

(Facoetti, 2013:18). Anak dengan disleksia dapat belajar untuk lebih fokus

terhadap lingkungan tersebut dengan lebih efisien, yang diharapkan

berakibat bisa menggali informasi yang relevan dari tulisan lebih cepat.

Page 118: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

93

Sebuah penemuan yang menarik dan kembali membuktikan bahwa bermain

video game tidak sepenuhnya merugikan untuk perkembangan anak.

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam tim

LexiPal berhasil membuat aplikasi untuk siswa penyandang disleksia. Liwat

aplikasi Kinect-Based Dyslexia Therapy, mereka membantu para siswa

disleksia untuk memahami huruf dan melatih penggunaan otak kiri dan kanan

dengan baik (Mega Saputra, 2015). Aplikasi inilah yang diadaptasi dan

selanjutnya dijadikan alat itervensi untuk memperbaiki kesulitan belajar anak

penyandang disleksia.

Penelitian lain tentang video game oleh Jurnal Current Biology minggu

ini menerbitkan tulisan tentang penelitian terhadap 12 anak disleksia agar

bisa membaca dengan permainan Wii Game berjudul Rayman Raving

Rabbids selama 12 jam dalam 9 hari. Game ini terdiri atas beberapa seri

mini game, setengah dari anak-anak disleksia tersebut ditugaskan untuk

memainkan permainan yang disebut oleh peneliti sebagai game mini "aktif"

atau 'action', sementara separuh anak lainnya ditugaskan memainkan game

mini "non-aktif" atau 'non-action'. Bedanya adalah bahwa game aktif lebih

cepat dibandingkan dengan game mini yang tidak aktif, termasuk di

dalamnya membutuhkan lebih banyak sensori stimuli dan membutuhkan lebih

banyak masukan dinamis dari pemainnya. Intinya, “game mini aktif”

Page 119: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

94

memerlukan fokus, perhatian dan respon yang lebih cepat dari anak

penyandang disleksia agar bisa menjalankan permainan dengan baik.

Setelah berjalan selama 9 hari memainkan game tersebut, peneliti

menguji anak-anak disleksia tersebut dengan berbagai tugas yang berbeda

seperti tes kecepatan dan keakuratan membaca, pengenalan kata, dan

kemampuan anak untuk memberikan perhatian pada beberapa jenis input

seperti penglihatan dan suara sekaligus (Nini, Subini, 2012; Saputra, 2015).

Sebelum mendapatkan treatment dengan permainan game ini, dua

kelompok tersebut memiliki kemampuan yang sama pada tugas-tugas yang

diberikan. Namun, setelah 12 jam bermain game, anak-anak disleksia yang

memainkan 'game mini aktif' memperlihatkan peningkatan yang signifikan

dalam kemampuan membacanya. Mereka dapat membaca lebih cepat dan

lebih akurat, serta lebih banyak mengenali kata-kata dibandingkan dengan

sebelum di-treatment. Sebaliknya, anak-anak disleksia yang mendapatkan

tugas memainkan 'mini game tidak aktif' tidak mendapatkan hasil yang lebih

baik dibandingkan dengan tes sebelum mereka mendapatkan treatment

(Saputra, 2015).

Peningkatan kemampuan membaca pada anak-anak disleksia ini pada

tes setelah treatment adalah hasil yang sangat substansial. Seperti bahwa

anak mendapatkan progres kemajuan kemampuan membaca setelah

sembilan hari memainkan 'game mini aktif' dibandingkan dengan anak-anak

disleksia yang mendapatkan bertahun-tahun edukasi terapi secara

Page 120: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

95

tradisional. Ajaibnya, kemampuan membaca secara lebih akurat dan bagus

tersebut tidak berubah setelah dua bulan. Anak-anak disleksia tersebut masih

baik dalam tes pengenalan kata sebagaimana ketika baru saja mendapatkan

treatment 9 hari bermain game (Saputra, 2015).

Sebagaimana halnya kemampuan membaca, 'aktif game' membimbing

anak untuk menyeimbangkan berbagai jenis input yang berbeda saat

memainkan tujuan-tujuan misi dalam game tersebut. Para peneliti yakin

bahwa memainkan 'game aktif' kemungkinan juga akan membantu

peningkatan kinerja otak, seperti mengintegrasikan kemampuan menangkap

informasi visual dengan respon motorik (Saputra, 2015).

Namun demikian, peneliti masih menghadapi jalan panjang sebelum

video game mendapatkan penerimaan baik dalam treatment akademik untuk

anak disleksia, dan tidak ada seorang pun yang merekomendasikan seorang

anak, baik disleksia atau pun tidak, untuk menghabiskan beberapa jam

bermain Wii Game. Namun bagaimanapun juga penelitian ini menunjukkan

adanya bukti bahwa untuk meningkatkan perhatian visual pada anak dengan

cara non-tradisional dapat menurunkan gangguan disleksia dan gejala

gangguan kemampuan membaca lainnya. Bagi jutaan anak yang mengalami

hambatan kemampuan membaca, cara seperti ini adalah kabar baik

(Saputra, 2015).

Bagi anak disleksia, belajar membaca adalah sesuatu yang sangat

mengerikan bagi mereka menghadapi kata-kata, huruf-huruf yang dibaurkan

Page 121: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

96

dan dicampur aduk, dan juga suara-suara yang tidak dapat masuk ke akal

mereka. Penelitian juga menyebutkan bahwa disleksia adalah gangguan otak

(bukan hanya gangguan sistem visual). Namun, pada dasarnya para ilmuwan

belum tahu hal yang menjadi akar sebab-musababnya. Belum ditemukan

cara sederhana untuk memerangi gangguan ini (R. Frank, 2002).

Dari beberapa kenyataan, betapa mahal, dan lamanya treatment baik

secara pendidikan di sekolahan atau pun melalui menyewa terapi secara

tradisional saat ini bagi anak penyandang disleksia. Namun, hasilnya sama

sekali tidak menunjukkan hasil dan peningkatan yang menggembirakan. Jadi,

metode dengan memainkan video game ini adalah cara yang lebih murah,

dapat dijangkau dan tentunya menyenangkan bagi anak-anak (Solso, Robert

L, et.al., 2016).

7.8 Media Belajar LexiPal

Aplikasi LexiPal dikembangkan berdasarkan pendekatan multisensori

sehingga melibatkan sebanyak mungkin indera anak seperti visual, auditori,

taktil, dan kinestetik. LexiPal juga menyediakan aplikasi yang lebih

komprehensif dengan memasukkan konten pra-membaca dan kemampuan

spesifik untuk membantu mereka dalam kegiatan sehari-hari, di samping

kemampuan membaca. Dengan konten yang menarik dan menyenangkan,

Page 122: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

97

diharapkan aplikasi ini dapat memotivasi anak disleksia untuk terus belajar.

Aplikasi ini sudah divalidasi oleh Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI).

LexiPal adalah media belajar membaca untuk anak dengan kesulitan

membaca dan menulis. Bersama LexiPal, orangtua dapat mengasah

kemampuan pra-sekolah anak dan memandu anak belajar membaca

permulaan. Dengan tampilan yang menarik dan memotivasi, proses belajar

membaca akan menjadi lebih menyenangkan (Mega, Saputra, 2015).

Dikembangkan bersama Asosiasi Disleksia Indonesia, LexiPal juga

tersedia untuk dokter anak, psikolog, guru, dan terapi dengan nama LexiPal

Professional Version. Guru dan terapi dapat menggunakan LexiPal

Professional Version sebagai salah satu alat bantu dalam mengajarkan

membaca atau terapi remedial bagi penyandang disleksia. Selain itu, para

profesional juga dapat membuat jadwal belajar anak serta melihat

perkembangan belajar anak (Mega, Saputra, 2015).

7.8.1 Konten LexiPal

Konten aplikasi ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak

disleksia dan terapi. Berbeda dari penelitian sebelumnya yang hanya fokus

pada masalah spesifik anak-anak disleksia. Penelitian ini menyediakan

konten yang lebih komprehensif dengan memasukkan tidak hanya

keterampilan belajar membaca, tetapi juga materi yang mungkin bisa

membantu anak-anak disleksia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara

Page 123: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

98

lebih rinci, konten media pembelajaran dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

pra-membaca, keterampilan khusus, dan membaca.

a. Pra-Membaca

Kelompok ini terdiri atas materi yang mendukung kemampuan anak

dalam belajar membaca. Jika anak-anak disleksia bisa menguasainya, ini

akan membantu mereka belajar membaca dengan lebih lebih baik. Sebagai

contoh, jika disleksia memahami perbandingan istilah seperti "lebih tinggi

dari", itu bisa membantu mereka untuk mengenali perbedaan antara bentuk

"h" dan"n".

b. Keterampilan Khusus

Keterampilan khusus berhubungan dengan masalah tertentu yang

dimiliki oleh anak-anak disleksia atau pun kemampuan untuk membantu dia

menjalankan kegiatan sehari-hari dengan baik seperti masalah memori

jangka pendek, arah, atau berpikir secara runtut.

c. Membaca

Aplikasi ini berisi kemampuan membaca permulaan, misalnya belajar

huruf, suku kata, kata-kata, dan kalimat sederhana. Langkah-langkah belajar

membaca pada aplikasi ini berdasarkan pada fase belajar bahasa Indonesia.

Setiap kelompok berisi beberapa kategori yang mewakili keterampilan yang

dipelajari di kelompok itu. LexiPal terdiri atas berbagai media belajar yang

Page 124: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

99

dikelompokkan dalam 12 kategori berbeda. Media belajar ini dirancang agar

mampu disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak-anak.

Dua belas Kategori tersebut masing-masing dijabarkan di bawah ini (Mega,

Saputra, 2015).

i) Bentuk dan Pola

Gambar 16: Bentuk dan Pola

Page 125: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

100

Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang

harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf. Sesungguhnya

bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai bentuk dan pola yang

berbeda.

ii) Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan

Gambar 17: Persamaan, Perbedaan, Perbandingan Bentuk

dan Pola

Page 126: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

101

Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan pada

gambar akan sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan

perbedaan antara satu huruf dengan huruf ainnya. Begitu pula dengan

kemampuan membandingkan objek, seperti: mana yang lebih tinggi dan

mana yang lebih pendek, akan diperlukan oleh anak untuk mengidentifikasi

perbedaan bentuk huruf.

iii) Ingatan Jangka Pendek

Gambar 18: Ingatan Jangka Pendek

Page 127: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

102

Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan

Belajar Spesifik adalah lemah dalam hal ingatan jangka pendek. Media-

media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih kemampuan

tersebut.

iv) Asosiasi Objek

Gambar 19: Asosiasi objek

Page 128: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

103

sosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek

dengan objek tertentu atau dengan suatu kategori tertentu. Kemampuan

pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-huruf.

v) Persepsi Arah

Gambar 20: Persepsi Arah

Page 129: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

104

Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan

yang hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Namun, pada anak

yang memiliki kesulitan belajar spesifik, persepsi arah merupakan salah satu

kesulitan tersendiri. Pada kategori ini, anak akan belajar mengenai berbagai

persepsi arah, seperti kanan, kiri, atas, bawah, depan, belakang, dan di

antara.

vi) Urutan Aktivitas

Gambar 21: Urutan Aktivitas

Page 130: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

105

Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan

tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain sangat bermanfaat dalam

kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir sekuensial

yang sering kali anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik mengalami

kesulitan.

vii) Pemahaman Tempat

Gambar 22: Pemahaman Tempat

Page 131: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

106

Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam

mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi tertentu.

viii) Konsep Waktu

Gambar 23: Konsep Waktu

Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar

Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori Konsep

Page 132: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

107

Waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan

dengan waktu.

ix) Keterampilan Sosial

Gambar 24: Keterampilan Sosial

Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu

kelemahan anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik. Kategori

Page 133: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

108

Keterampilan Sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan

dalam aktivitas sosial.

x) Huruf

Gambar 25: Huruf

Kategori Huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad

dalam Bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,

Page 134: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

109

bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta bentuk

dan cara penulisannya.

xi) Suku Kata dan Kata

Gambar 26: Suku Kata dan Kata

Kategori Suku Kata dan Kata mengajarkan berbagai pola gabungan

kata yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi

Page 135: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

110

pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola Konsonan-

Vokal (KV), hingga pola kata berimbuhan /me- /,/me-i/, dan /me-kan/.

xii) Kalimat Sederhana

Kategori kalimat sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk

membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-O).

7.8.2 Keunggulan Aplikasi LexiPal

Keunggulan dari aplikasi LexiPal adalah sebagai berikut:

a. Menarik dan Menyenangkan

Aplikasi LexiPal didesain dekat dengan dunia anak-anak yang penuh

permainan dan warna, sehingga diharapkan lebih menarik dan

menyenangkan.

b. Memotivasi

Dengan adanya score, hadiah, dan sertifikat, LexiPal dapat

memotivasianak untuk belajar lebih banyak lagi.

c. Sesuai dengan Kemampuan Anak

Setiap anak adalah unik dan berbeda. Hampir semua media belajar

pada LexiPal menyediakan menu pengaturan, termasuk di dalamnya

tingkat kesulitan, sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan

kemampuan anak.

Page 136: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

111

d. Pendekatan Multisensori

LexiPal mengadopsi pendekatan multisensori dengan melibatkan

sebanyak mungkin indera anak dalam belajar, meliputi visual,

auditori, taktil, dan kinestetik. Dengan bantuan alat sensor gerak

kinect, aplikasi LexiPal menyediakan beberapa media belajar yang

mendukung interaksi natural dengan isyarat dan anak dapat belajar

seperti di dunia nyata tanpa harus bersentuhan dengan keyboard dan

mouse.

e. Jadwal

Pengguna, terutama terapi, dapat membuat jadwal sebagai pengingat

waktu belajar.

f. Data Historis

Dengan data historis, guru, dan orangtua dapat melihat dan memonitor

perkembangan belajar anak.

Penelitian ini mengembangkan aplikasi belajar membaca untuk

membantu terapi atau guru dalam melakukan program remedial untuk

anak disleksia usia 5-7 tahun. Dengan menggunakan pendekatan

multisensori, aplikasi ini dirancang agar anak-anak disleksia dapat

menggunakan semua reseptor sensorik dengan mengimplementasi-

kan umpan balik visual audio dan mendukung taktil-kinestetik.

Page 137: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

112

7.8.3 SOP Peaksanaan Terapi dengan Media “Kinect-Based

Dyslexia Therapy”

SOP (Standard Operating Procedures) atau Prosedur Operasi Standar

terapi dengan menggunakan LexiPal sebagai berikut:

a. Untuk Penyandang Suspek Disleksia

1. Anak suspek disleksia dikontrol untuk duduk tenang (diciptakan

suasana agar mereka tidak dalam keadaan takut dan tertekan).

2. Diberi gambaran tentang hal yang akan dilakukan, diberikan motivasi,

dan tidak diberikan target.

3. Duduk di depan layar monitor dengan tenang.

4. Selama terapi berlangsung, anak disleksia sebaiknya tidak diinterupsi

dengan kegiatan lain.

5. Setelah terapi selesai, anak disleksia dipersilakan meninggalkan

ruangan disertai pemberian semangat dan pujian.

b. Untuk Tenaga Terapi (terapis)

1. Menciptakan suasana santai.

2. Mencatat perilaku setiap anak saat pelaksanaan terapi berlang-sung,

jika ada yang tidak normal, seyogyanya tidak ditegur secara spontan.

3. Memastikan bahwa setiap peralatan berfungsi dengan baik.

4. Mempersiapkan catatan (record) capaian sebelumnya.

5. Menjelaskan hal yang akan dilakukan disertai contoh.

Page 138: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

113

6. Saat melakukan terapi, seyogyanya tidak memegang mainan yang

dapat mengalihkan perhatian anak, demikian halnya tidak menerima

telepon di depan anak-anak (HP silent).

7. Jika keadaan si anak sudah letih, harus jeda istirahat.

8. Setiap sesi terapi, tidak melebihi 40 menit (untuk menghindari rasa

bosan anak-anak yang diterapi). Jika harus dilaksanakan selama 1

jam, maka seharusnya ada jeda.

c. Untuk Klinik Terapi

1. Setiap Klinik Terapi Disleksia harus ditangani oleh tenaga terampil dan

memiliki pengetahuan terlatih mengenai penanganan anak Suspek

Disleksia.

2. Setiap klinik terapi disleksia harus mampu mendiagnosis pasien

melalui Uji Linguistis dan Uji Klinis.

3. Setiap klinik terapi harus menjaga kerahasiaan pasien.

4. Peralatan terapi (LexiPal) disiapkan dalam ruangan tersendiri.

5. Ruangan harus senantiasa bersih, udara bebas dan penerangan cukup

serta tidak sumpek.

6. Menyiapkan ruang tunggu bagi pengantar si anak, jika ruang klinik ini

di SLB, sebaiknya disiapkan ruangan tersendiri, dan

7. Memberi keterangan atau penjelasan kepada keluarga si penyandang

atas capaian pada setiap tahap terapi.

Page 139: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

114

7.9 Beberapa Kasus Disleksia

Sekitar tahun 1878, seorang ahli fisika ternama berbangsa Jerman, Dr.

Kussmaul tercatat sebagai seorang lelaki yang mempunyai kecerdasan

normal, tetapi tidak dapat membaca dengan sempurna. Ia sendiri menyebut

keadaan ini sebagai 'buta membaca' (reading blindness) (Selikowitz, 1993).

Menyusul sembilan tahun kemudian, tahun 1887, tokoh yang pertama

kali menggunakan istilah disleksia kepada pasiennya ialah seorang

ophthalmologist yang bekerja di Stuttgart. Inilah cikal-bakal mengenai

ditemukannya disleksia yang kemudian tercatat dan berterima dalam British

Medical Journal yang terbit pada tahun 1896, atas jasa Dr. Pringle Morgan,

seorang doktor di Sussex. Ahli ini menulis artikel mengenai seorang anak

lelaki berusia 14 tahun bernama Percy yang bijak dan cerdas. Si anak

menguasai berbagai permainan dengan cepat dan tidak terlihat kekurangan

sedikit pun dibanding dengan teman sebayanya. Namun, anak ini tidak dapat

mengeja namanya dengan lancar. Secara terbata-bata ia mengeja namanya

sendiri dengan 'Precy' (Pumprey dan Reason, 1991).

Seorang ahli neurologi, Samuel T. Orton (dalam Ott, 1997), merawat

dan membuat kajian khusus terhadap sejumlah anak yang mengalami

kesulitan dalam belajar. Kegiatan itu dilakukan sejak tahun 1925. Beliau juga

mengkaji post mortem otak manusia. Orton memperkenalkan istilah

'ketidakupayaan membaca yang spesifik'. Dalam kajiannya ditemukan bahwa

Page 140: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

115

kesukaran itu adalah proses lateralization yang tidak sempurna dalam

hemisfer-hemisfer otak. Menurut beliau, pemulihan keadaan ini memerlukan

cara pengajaran yang khusus (Ott, 1997).

Orton merupakan orang pertama yang mengaitkan pendidikan dengan

neurologi pediatrik. Dalam tahun 1930-an, Anna Gillingham, asisten peneliti

Orton menciptakan satu bentuk pengajaran untuk anak-anak penyandang

disleksia. Gillingham dan seorang guru bernama Bessie Stillman

menciptakan teknik-teknik pengajaran bagi membantu kanak-kanak disleksia

yang dikenal pasti oleh Orton. Sistem ini sudah digunakan secara meluas

dan menjadi asas kepada banyak program pengajaran seterusnya (Ott, 1997;

Hornsby dan Shear, 1983; Gearheart, 2014).

Ada sejumlah tokoh terkenal/pesohor dunia yang ternyata penyandang

disleksia. Sejumkah tokoh besar berikut adalah pada awal kehidupannya

menyandang disleksia. Namun, dengan usaha kerasnya, mereka mampu

melawan gangguan belajar (disleksia) itu. Pada akhirnya, mereka mampu

menunjukkan kepada dunia hasil kerja kerasnya. Pesohor dunia tersebut

menjadi suatu cambuk para penyandang disleksia untuk lebih memacu diri

belajar dan berlatih keras.

Para pesohor dunia tersebut, dapat dilihat beberapa orang yang

ditampilkan, antara lain sebagai berikut:

Page 141: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

116

1. Leonardo da Vinci

Gambar 27: Leonardo da Vinci

Siapa yang tak kenal dengan Leonardo da Vinci, sang pencipta

Monalisa dan pelukis The Last Supper. Hingga saat ini nama da Vinci masih

sangat melegenda dan diperbincangkan oleh banyak orang. Pelukis terkenal

ini ditengarai seorang penyandang disleksia. Hal ini diindikasikan oleh tulisan

tangan da Vinci. Ia seringkali menuliskan ide-ide penemuannya dengan

tulisan tangan dengan kalimat secara terbalik-balik sehingga hanya bisa

dibaca lewat cermin. Ini adalah hal biasa bagi penyandang disleksia yang

kidal. Penulis disleksia seringkali tak sadar bahwa cara mereka menulis tak

Page 142: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

117

sama dengan orang kebanyakan. Meski begitu, desain yang dibuat Leonardo

da Vinci sangat mendetail dan

2. Agatha Christie

Gambar 28: Agatha Christy

Bagi penggemar cerita-cerita detektif Hercule Poirot dan Miss Marple,

nama ini sudah tak asing dengan sang pencerita ulung Agatha Christie.

Hingga kini, cerita-cerita misteri Agatha Christie telah terjual miliaran kopi.

Agatha Christie juga diketahui menyandang disleksia. Namun hal ini tak

menghentikannya menjadi orang kreatif. Agatha pun tak lelah belajar untuk

Page 143: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

118

menulis dan membuat novel-novel misterinya yang hebat dan selalu bisa

menyergap pembacanya. Hingga saat ini, novel-novelnya telah menginspirasi

banyak novelis dan pembuat film.

3. Muhammad Ali

Gambar 29: Muhammad Ali

Muhammad Ali, seorang petinju yang telah melegenda, ternyata adalah

penyandang disleksia. Muhammad Ali sendiri mengaku bahwa ketika ia

masih sekolah, guru-guru selalu mengatainya bodoh. Hal ini karena

Muhammad Ali kecil tidak bisa membaca buku pelajarannya. Selain itu,

Page 144: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

119

Muhammad Ali juga tak diterima bergabung dengan militer karena

kemampuan bahasanya yang buruk. Meski begitu, tidak membuat

Muhammad Ali menyerah dengan dirinya. Terbukti kemudian dia menjadi

salah satu petinju terhebat dan terpopuler di dunia. Muhammad Ali juga

terkenal dengan frase legendarisnya: "Float like a butterfly and sting like a

bee" (Mengapung / melayang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti

lebah).

4. John Lennon

Gambar 30: John Lennon

"You may say I'm a dreamer ..., but I'm not the only one." (Anda

mungkin mengatakan saya seorang pemimpi ..., tapi aku bukan satu-

Page 145: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

120

satunya). "Hampir setiap orang mengetahui pelantun syair lagu tersebut. Dia

adalah John Lennon, salah seorang personil Band The Beatles yang

melegenda. Dengan bakatnya yang hebat dalam menulis lirik dan lagu, tak

banyak yang mengira bahwa Lennon adalah penyandang disleksia.

Justru karena disleksia yang dideritanya, Lennon berhasil menggubah

lirik dan lagu miliknya sendiri. Disleksia membuatnya sulit mengingat lirik lagu

favoritnya, sehingga Lennon kemudian membuat lirik dan menggubah

lagunya sendiri. Dari sanalah Lennon kemudian menekuni bidang musik

hingga dia menjadi legendaris.

5. Steven Spielberg

Gambar 31: Steven Spielberg

Page 146: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

121

Steven Spielberg, seorang sutradara dan pembuat film yang paling

fenomenal pada masanya melalui Jurassic Park. Di balik kehebatannya

membuat film, Spielberg ternyata juga seorang penyandang disleksia.

Spielberg kemudian 'melarikan' diri dari penyakitnya dan berfokus pada

pembuatan film.

Spielberg menjelaskan mengenai perjuangannya melawan disleksia

dan bagaimana masalah tersebut telah membuatnya semakin kuat dan

bertekad menjadi besar melalui karier perfilman. Spielberg juga tidak

membiarkan kekurangan tersebut mengganggu kehidupan profesionalnya.

6. Albert Einstein

Gambar 32: Albert Eisntein

Page 147: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

122

Nama Albert Einstein saat ini seolah telah identik dengan kata 'jenius'.

Namun siapa sangka, penemu teori relativitas ini ternyata juga seorang

penyandang disleksia. Meski begitu, faktanya menyandang disleksia tak

membuat Einstein menyerah dan pasrah pada nasib.

Einstein diketahui menyandang disleksia ketika dia sering gagal

mengingat hal-hal sederhana. Einstein tak bisa mengingat jumlah bulan

dalam setahun, namun dia bisa berhasil menyelesaikan formula matematika

tersulit. Einstein juga diketahui tak bisa mengikat tali sepatunya dengan

benar, namun kejeniusannya terbukti membuatnya bisa sukses dan

melegenda hingga saat ini.

7. Henry Ford

Gambar 33:

Page 148: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

123

Henry Ford adalah seorang enterpreneur yang menjadi penemu Ford

Motor Company. Beliau familiar dengan nama belakangnya yang kini

digunakan sebagai merek mobil. Semasa kecilnya, Ford harus berjuang

keras bisa membaca dan menulis. Meski begitu, dia juga dikenal memiliki

kemampuan memperbaiki barang.

Meski Ford kecil susah membaca, namun dia menjadi yang tercepat

ketika harus memperbaiki jam. Meski memiliki disleksia, Ford tak berhenti

belajar dan berusaha. Salah satu rahasia suksesnya adalah tak pernah

berhenti belajar dan tak pernah menyerah. Filosofi Ford bahwa kegagalan

adalah sebuah kesempatan untuk memulai lagi, kali ini lebih rajin dan lebih

baik. Tak heran, dengan semangatnya itu, Ford menjadi seorang pengusaha

sukses.

Itulah beberapa tokoh terkenal yang diketahui menyandang disleksia.

Selain tujuh tokoh di atas, masih banyak lagi tokoh yang diketahui memiliki

disleksia seperti Alexander Graham Bell, Pablo Picasso, Robin William, aktor

Orlando Bloom dan aktris Kiera Knightley, seniman Andy Warhol, Presiden

Amerika Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan

New, dan lain-lain.

Orang-orang yang berhasil dan sukses bukan berarti orang yang

sempurna dan memiliki segala kemampuan yang diinginkannya. Mereka

adalah orang-orang yang berhasil mengalahkan kekurangan mereka dan

Page 149: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

124

berjuang dengan kekuatan yang mereka miliki. Mereka semua adalah orang

yang mengetahui kelebihannya dan berjuang untuk sukses dengan kekuatan

mereka.

C. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian ini dilaksanakan

dengan kerangka teori yang terbangun di bawah ini:

Bagan 5. Kerangka Teori

Genetik/

Developmental Lingkungan/

Acquired

Lesi Parieto-Temporo-

Oksipital

Disleksia + Gangguan Visiual

Disleksia + Gangguan Bahasa

Disleksia + Diskoneksi Visual-

Auditoris

Interdisiplin

Neurologi dan

Linguistik

Neurolinguistik

Broca

Afasia

Interdisplin Psikologi

dan Linguistik

Psikolinguistik

Fonetik

Morfologi

Sintaksis

Semantik

Pragmatik

1. Imitasi

2. Pengondisian

3. Kognisi Sosial

Mekanisme Perolehan

Bahasa Proses Kognitif

Disleksia

a Alexia

Agrafia

Wernicke

Konduksi

Page 150: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

125

C. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep berikut menjelaskan bahwa masalah disleksia

merupakan sesuatu yang diakibatkan adanya lesi pada daerah parieto-

temporo-oksipital. Hal itu ditentukan oleh dua hal, yakni yang bersifat genetik

(developmental) dan lingkungan (acquired). Suspek disleksia ini disebut

sebagai variabel independen. Adapun variabel dependennya adalah

gangguan bahasa pada anak suspek disleksia yang akan diterapi media

video game (dalam hal ini media terapi LexiPal). Untuk tiba pada upaya

perbaikan gangguan berbahasa pada anak PSD (gangguan berbahasa)

menjadi variabel antara untuk memastikan apakah anak penyandang suspek

disleksia mengalami gangguan visual atau diskoneksi visual-audiotoris. Inilah

yang menjadi alasan mengapa dalam penelitian juga diakukan uji klinis.

Tanpa uji klinis, sulit memastikan penyebab lain dari suspek disleksia selain

karena memang terjadi gangguan pada otak.

Pembelajaran membaca berbasis linguistik dan ilmu saraf,

dikombinasikan dengan teknologi baru yang mengarah ke aplikasi dapat

meningkatkan kualitas hidup anak-anak dengan gangguan membaca dan

menulis (disleksia). Selain itu, tersimpan potensi yang luar biasa ketika

seorang anak mampu menjadi mahir dalam berbahasa Inggris atau bahasa

sesuai bahasa pada video game dan membaca pada tingkat kelas yang

sesuai.

Page 151: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

126

Kajian gangguan berbahasa dewasa ini paling tidak mengalami

perkembangan pesat sejalan dengan fenomena gangguan berbahasa

(gangguan membaca khususnya). Hal ini terlihat dari berbagai penelitian

terkait yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini

termasuk bidang kajian interdisipliner. Kritikan terbesar berada pada

kesiapan peneliti menunjukkan data penelitian yang memadai dan

komprehensif. Penelitian disleksia paling tidak harus ditunjang dua bidang

yang seimbang, yakni neurologi dan ilmu linguistik. Disleksia dapat diatasi

dengan terapi yang benar dan tepat sesuai metode yang teruji secara ilmiah.

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar pada

anak disleksia, antara lain dengan menggunakan media video game.

Pelatihan atau terapi dengan video game (mediakinect-based dyslexia

therapy) ini diharapkan mengasah kemampuan perhatian visual dan

membaca, bahkan dapat melebihi yang diperoleh pada anak-anak setelah

terapi tradisional untuk disleksia, yang berfokus pada kemampuan struktur

bahasa.

Berdasarkan hal atau kerangka konsep tersebut, maka untuk

pelaksanaan penelitian yang terarah dan sistematis, kerangka konsep yang

diterapkan dikonstruksi sebagai berikut:

Page 152: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

127

D. KERANGKA KONSEP

Bagan 6: Kerangka Konsep

DISLEKSIA + GANGGUAN+ BAHASA

DISLEKSIA + GANGGUAN +VISUAL

DISLEKSIA + DISKONEKSI VISUAL

AUDIORIK

DISLEKSIA + GANGGUAN BAHASA

DISLEKSIA + GANGGUAN VISUAL

PERBAIKAN FONOLOGIS

TERAPI VIDEO GAME

LEXIPAL

TERAPI

METODA

LAINNYA

GENETIK

METABOLISME GLUKOSA OTAK

MEMPERBAIKI SINAPS OTAK

LINGKUNGAN

DISLEKSIA

LESI TEMPORO

PARIETO OKSIPITAL

PERBAIKAN LEKSIKAL

PERBAIKAN FONOLOGIS

PERBAIKAN FONOLOGIS

TERAPI VIDEO GAME

LEXIPAL

TERAPI

METODE

LAINNYA

METABOLISME GLUKOSA OTAK

MEMPERBAIKI SINAPS OTAK

PERBAIKAN LEKSIKAL

PERBAIKAN KALIMAT

Page 153: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

128

Keterangan:

Variabel Bebas : Disleksia

Variabel Antara : Disleksia + gangguan neurologi, visual, pendengaran

Variable bergantung : Perbaikan gangguan berbahasa anak disleksia

E. Definisi Operasional

1. Terapi linguistik adalah sejumah daftar latihan penyebutan huruf (vokal

dan konsonan), penyebutan vokal rangkap dan kata mirip, penyebutan

gabungan vokal/konsonan/diftong, penyebutan kata bersuku dua hingga

bersuku banyak, penyebutan membedakan pasangan minimal, dan

penyebutan dalam membaca kalimat/paragraf.

2. Media Video Game (Kinect-Based Dyslexia Therapy)

Aplikasi yang digunakan dalam pengajaran membaca disajikan dalam

bentuk media game yang berisi pengenalan huruf, suku kata, dan kata.

Gambar yang ditampilkan melalui komputer sangat menarik disertai

suara, sehingga anak-anak dapat melihat dan mendengar bunyi dari

kata yang ditampilkan.

3. Kemampuan membaca:

Kemampuan anak dalam mengenali huruf, menggabungkan huruf dalam

bentuk suku kata, dan membaca kata. Adapun huruf yang diajarkan

Page 154: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

129

terdiri atas konsonan yaitu, b, c, d, f, g, l, k, m, p, s, t, dan huruf vokal

yang sederhana terdiri atas a, i, u, e, o.

4. Umur:

Umur yang berdasarkan tanggal lahir (sesuai kriteria inklusi)

5. Bentuk dan Pola:

Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang

harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf karena

sesungguhnya bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai

bentuk dan pola yang berbeda.

6. Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan:

Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan pada

gambar akan sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan

perbedaan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Begitu pula dengan

kemampuan membandingkan objek, seperti “mana yang lebih tinggi”

dan “mana yang lebih pendek”, akan diperlukan oleh anak untuk

mengidentifikasi perbedaan bentuk huruf.

7. Ingatan Jangka Pendek:

Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan

Belajar Spesifik adalah lemah dalam hal ingatan jangka pendek. Media-

media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih

kemampuan tersebut.

Page 155: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

130

8. Asosiasi Objek:

Asosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek

dengan objek tertentu atau dengan suatu kategori tertentu. Kemampuan

pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-

huruf.

9. Persepsi Arah:

Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan yang

hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Namun, pada anak

yang memiliki Kesulitan Belajar Spesifik, persepsi arah merupakan

salah satu kesulitan tersendiri. Pada kategori ini, anak akan belajar

mengenai berbagai persepsi arah, seperti kanan, kiri, atas, bawah,

depan, belakang, dan di antara.

10. Urutan Aktivitas:

Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan

tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain sangat bermanfaat

dalam kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir

sekuensial yang sering kali anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik

mengalami kesulitan.

11. Pemahaman Tempat:

Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam

mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi

tertentu.

Page 156: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

131

12. Konsep Waktu:

Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar

Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori

Konsep Waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang

berkaitan dengan waktu.

13. Keterampilan Sosial:

Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu

kelemahan anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik. Kategori

keterampilan sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan

dalam aktivitas sosial.

14. Huruf:

Kategori Huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad

dalam bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,

bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta

bentuk, dan cara penulisannya.

15. Suku Kata dan Kata:

Kategori suku kata dan kata mengajarkan berbagai pola gabungan kata

yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi

pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola

Konsonan-Vokal (KV), hingga pola kata berimbuhan me-,me-i, dan me-

kan.

Page 157: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

132

16. Kalimat Sederhana:

Kategori kalimat sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk

membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-

O).

F. Hipotesis

Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penggunaan media video game (media kinect-based dyslexia

therapy) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pada

anak disleksia.

b. Ada perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan

membaca dan menulis pada anak disleksia yang menggunakan

media video game (media kinect-based dyslexia therapy)

dibandingkan dengan anak yang tidak menggunakan video game

(media kinect-based dyslexia therapy).

Page 158: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

133

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan rumusan masalah penelitian yang

dikemukakan di atas, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif

longitudinal eksperimental dengan menggunakan metode kohor. Penelitian ini

dilakukan dengan menerapkan suatu perlakuan dibandingkan kontrol dan

dianalisis berdasarkan data untuk mendapatkan hasil dan simpulan.

Studi kohor akan melihat berbagai hubungan antara faktor risiko dan

efek dengan memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko.

Kemudian mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat

seberapa banyak subjek dalam masing masing kelompok yang mengalami

efek.

Penelitian ini merupakan model penelitian dan pengembangan atau

Research and Development (R & D). Menurut Sugiyono (2012: 407)

penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan

untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk

tersebut. Nana Syaodih Sukmadinata (2006:169) mendefinisikan penelitian

dan pengembangan merupakan pendekatan penelitian untuk menghasilkan

produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada. Jadi, penelitian

Page 159: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

134

pengembangan merupakan metode untuk menghasilkan produk tertentu atau

menyempurnakan produk yang telah ada serta menguji keefektifan produk

tersebut. Metode pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

mengimplementasikan Kinect-Based Dyslexia Therapy yang dikembangkan

oleh Saputra (2015). Dalam pengembangan ini digunakan kriteria keefektifan

ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek penyandang disleksia dan guru, respon

siswa penyandang disleksia, dan hasil peningkatan kemampuan membaca

penyandang disleksia.

Penelitian eksperimen dilakukan menggunakan pretest-postest group

design. Rancangan eksperimen tersebut digunakan untuk mengukur

efektivitas waktu perlakuan dalam jangka waktu tertentu, baik sebelum

maupun sesudah perlakuan diberikan (Suryabrata, 2009). Subjek dalam

penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang

mendapatkan perlakuan berupa penggunaan lexiPal (video game). Kelompok

kontrol adalah kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan lexiPal (media

video game).

Tampilan desain penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 15.1 Pre-test-Post-test Control Group Design

Kelompok Pretest Perlakuan Postest

Perlakuan (Y) T1 (+) T1

Kontrol (X) T1 (-) T2

Page 160: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

135

Keterangan:

(Y) : Perlakuan

(-) : Tidak diberikan perlakuan

T1 : Pretest

T2 : Postest

Penelitian longitudinal dilakukan pada subjek perorangan dari waktu

ke waktu, menghasilkan data dalam jarak waktu tertentu, sehingga

mengurangi kemungkinan bias akibat kesalahan pengambilan sampel.

B. Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data lapangan. Objek penelitian adalah

penyandang disleksia yang tersebar dalam lingkup Sekolah Luar Biasa (SLB)

di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan, jumlah SLB sebanyak 78 buah tersebar di berbagai kabupaten dan

kota (lihat tabel 1 pada lampiran).

Dalam fakta lapangan bukan tidak mungkin penyandang disleksia juga

ditemukan pada sekolah umum. Hal ini terjadi karena para orangtua

penyandang disleksia kebanyakan tidak menyadari kondisi ini, bahkan ada

pula yang mencoba menyembunyikannya. Padahal fakta ini harus dihadapi

secara bijak dan ditangani dengan baik.

Page 161: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

136

Prosedur pengumpulan data mengikuti tahapan operasional yang telah

ditentukan dan dipedomani secara ketat dan terukur. Tahapan dimaksud

adalah sebagai berikut:

1. menginventarisasi Penyandang Suspek Disleksia (PSD) di berbagai SLB

(atau di masyarakat umum) di Sulawesi Selatan;

2. melakukan pemeriksaan neurologis terhadap penyandang suspek

disleksia;

3. menentukan penyandang disleksia, kemudian dilakukan pengujian

psikolinguistis untuk menentukan ciri dan bagian kegagalan berbahasa

responden;

4. menetapkan secara purposif 10 orang penyandang eksperimental (5

orang untuk uji perlakuan dan 5 lainnya untuk uji kontrol) untuk

pemantauan longitudinal;

5. melakukan rekapitulasi kejadian (dari 5 orang uji perlakuan) secara

periodik, berkelanjutan, dan tertib;

6. mendesain skema terapi sesuai peluang perbaikan kegagalan berbahasa

bagi penyandang disleksia;

7. menguji keabsahan dan akurasi data;

8. menganalisis data secara menyeluruh dengan menggunakan metode

kohor;

9. membuktikan (menerima atau menolak) hipotesis penelitian; dan

10. menetapkan simpulan

Page 162: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

137

Tahapan penelitian sebagaimana disebutkan di atas dapat dilihat pada

bagan di bawah ini:

Bagan 7: Tahapan Pelaksanaan Penelitian

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

observasi

populasi

suspek

penyandang

bahasa

sampel

uji Klinis uji linguistik

deteksi Awal

psikolinguistik neurolinguistik

pengolahan

penyajian

deskripsi

data

kategorisasi

pemantauan subjek

penelitian

analisis

kohor

uji

hipotesis

disleksia

dan jenis

gangguan

berbahasa

neurologis

linguistik psikologis

longitud. + eksp. X Y

desain terapi

verifikasi

skema

terapi

fakta/

temuan disleksia

penulisan

laporan

simpulan

sementara

Page 163: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

138

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLB Negeri 2 Makassar, Baddoka, Sudiang.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 9 bulan, yakni bulan Februari 2017 -

Oktober 2017.

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah suatu pengamatan yang intensif

(baik berupa perilaku maupun hasil tes). Sumber data ini dibagi ke dalam

data primer dan data pendukung.

1. Data Primer

Data perimer penelitian ini berupa keseluruhan data yang diambil dari

subjek (setelah mengeliminasi unsur yang tidak terkait dengan topik),

berupa catatan pemantauan berdasarkan desain yang telah

dipersiapkan (bentuk alat pengumpulan data dapat dilihat pada

lampiran 3, 4, 5).

2. Data Pendukung

Data pendukung penelitian ini berupa data historis subjek (dapat

diperoleh dari orangtua, pengasuh, atau guru). Data pendukung

historis tidak dapat diperoleh dari pengakuan yang bersangkutan. Data

Page 164: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

139

pendukung dapat pula berupa rekaman medik subjek jika ia pernah

ditangani secara medik.

E. Populasi dan Sampel

Baik populasi maupun sampel penelitian akan diuraikan sebagai

berikut:

1. Populasi

Rancangan penelitian ini termasuk dalam kategori interdisipliner

neurolinguistik dan psikolinguistik dengan menggunakan dua jenis populasi,

yakni populasi orang dan populasi bahasa. Populasi orang adalah

keseluruhan penyandang disleksia. Adapun populasi bahasa ialah

keseluruhan keadaan yang termasuk dalam fenomena neuropsikolinguistis

oleh orang-orang yang mengalami disleksia.

2. Sampel

Sampel penelitian ini ditentukan secara purposif, yaitu berupa

penentuan ‘emergen mencuat’ yaitu 10 orang anak yang disuspek

penyandang disleksia (berdasarkan pengujian). Sampel ini dibagi ke dalam

dua kelompok, masing-masing 5 orang untuk uji perlakuan dan 5 orang

lainnya untuk uji kontrol. Pembagian tidak didasarkan pada jenis kelamin,

umur, dan latar belakang keluarga. Pembagian lebih pada pertimbangan

kesederajatan sifat disleksia yang mereka alami.

Page 165: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

140

Untuk menjamin terlaksananya pengambilan data ini dengan baik,

sebelum penentuan pengambilan data, peneliti menerapkan prinsip dan

kriteria inklusi dan eksklusi. Penerapan ketentuan ini berlaku dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi:

a) positif penyandang disleksia (berat, ringan, dan sedang);

b) penyandang boleh laki-laki atau perempuan;

c) berusia antara 7 tahun sampai dengan 15 tahun;

d) bertempat tinggal di wilayah Sulawesi Selatan;

e) tidak dalam keadaan masa rehabilitasi narkoba;

f) dapat berbahasa Indonesia;

g) menyatakan tidak berkeberatan disertakan sebagai sampel

penelitian dengan mengisi surat pernyataan yang ditanda-

tangani oleh yang bersangkutan atau orangtua/wali yang

bersangkutan, dan

h) memperoleh izin pendampingan penelitian oleh guru bagi

penyandang yang tinggal di SLB berasrama.

b. Kriteria Eksklusi:

Untuk menjaga wibawa penelitian ini, sampel akan dikeluarkan

dari penelitian apabila:

Page 166: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

141

a) tidak memenuhi kriteria inklusi, baik dari aspek penyandang

maupun aspek administrasi;

b) keadaan kejiwaan si penyandang sehingga tidak

memungkinkan pengambilan data; dan

c) karena suatu alasan sehingga si penyandang menyatakan

mengundurkan dari dari sampel penelitian.

Sampel bahasa penelitian ini berupa produksi bahasa yang

dihasilkan oleh penyandang disleksia sesuai penentuan sampel yang telah

ditentukan.

F. Teknik Analisis Data

Setelah data dinyatakan valid, penelitian ini dilanjutkan pada tahap

analisis data dengan menggunakan metode kohor (cohort method), yakni

studi yang mempelajari (mengungkap) hubungan antara paparan dan

penyakit dengan cara membandingkan kelompok terpapar dan tidak terpapar

berdasarkan status penyakit. Ada beberapa alasan mengapa studi ini

dilakukan dengan analisis kohor antara lain:

Studi kohor merupakan desain yang terbaik dalam menentukan

insidens dan perjalanan penyakit atau efek yang diteliti.

Dapat menerangkan hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek

secara temporal.

Sesuai untuk paparan penyakit langka yang khas (misalnya disleksia).

Page 167: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

142

Pengamatan dilakukan secara kontinyu dan longitudinal, studi kohor

memiliki kekuatan yang handal untuk meneliti berbagai masalah

kesehatan atau gangguan dari kenormalan seharusnya.

Ciri penelitian kohor antara lain a) subjek penelitian dipilih berdasarkan status

paparan, b) dilakukan pengamatan dan pencacatan apakah subjek mengalami

penyakit atau tidak, c) dimungkinkan menghitung laju insidensi, d) pengamatan

bergerak maju dari sebab (paparan) ke akibat (penyakit), dan e) memiliki periode

waktu pengamatan tertentu.

Page 168: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

143

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Pengamatan terhadap Subjek Penelitian

Penelitian ini berupa pemantauan dan pengkajian mendalam terhadap

subjek penelitian, dengan melakukan perlakuan (berupa terapi lexiPal),

dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan. Pemantauan longitudinal terhitung

sejak penelitian ini direncanakan, yakni sejak bulan Februari 2017 sampai

dengan Oktober 2017. Penelitian pendahuluan (preliminary study) telah

dilakukan pada bulan Mei sampai dengan September 2016. Karakteristik

kelompok perlakuan (Y) dan kelompok kontrol (X) telah ditetapkan dengan

prinsip keseimbangan dan kesetaraan (homogeny) terutama atas

pertimbangan hasil uji linguistis dan uji klinis. Materi uji linguistis (lihat

lampiran 2) terdiri atas tujuh bagian yang meliputi 1) Penyebutan huruf, 2)

Penyebutan Vokal/Konsonan, 3) Penyebutan Diftong, 4) Penyebutan Kata

Bervokal Rangkap–Huruf Mirip, 5) Penyebutan Kata Bersuku Satu hingga

Bersuku Banyak, 6) Membedakan Pasangan Minimal Dua Kata–Tiga Kata,

dan 7) Membaca Kalimat/Paragraf.

Page 169: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

144

Materi uji klinis berupa serangkaian pemeriksaan kesehatan.

Pemeriksaan yang dimaksud adalah di Poliklinik THT (khusus pendengaran),

Poliklinik Mata (melihat) dan Poliklinik Saraf (gangguan saraf). Pemeriksaan

tersebut dikhususkan pada keterkaitan dengan fungsi-fungsinya yang

mendukung lingkungan produksi bahasa (khususnya membaca).

Rangkaian penting pengujian THT, Mata, dan Saraf, pengujian

selanjutnya adalah dengan TMS (Transcranial Magnetic Stimulation) dan CT

Scan untuk mendeteksi kemungkinan terdapat gangguan pada otak area

bicara anak PSD. Pengambilan uji klinis dilakukan secara gradual dan

bertahap, dengan menggunakan Compurized Tomography Scan untuk

memantau kondisi otak si anak.

Page 170: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

145

Gambar 34: Deteksi Gangguan Otak dengan dengan alat canggih TMS

a. Bentuk Pengujian

Untuk menjamin validitas data penelitian ini, peneliti melakukan dua

bentuk pengujian, yakni Uji Linguistis dan Uji Klinis.

1) Uji Linguistis

Uji Linguistis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperangkat

cara atau pengukuran untuk mengetahui bagian atau aspek yang gagal

Page 171: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

146

diucapkan, dibaca dan atau dikenal secara konstan oleh seseorang yang

diduga menyandang disleksia. Uji Linguistis mutlak dilakukan secara individu

dengan cara menyebut, mengeja, atau membaca secara terkontrol yang

dilakukan oleh penguji. Pengujian dilakukan untuk memastikan bagian yang

mengalami kegagalan. Berbeda dengan pengujian lain, Uji Linguistis justru

dihitung seberapa tingkat kegagalan seseorang untuk menentukan derajat

disleksia yang diderita seseorang. Uji linguistis harus dijalankan oleh tenaga

yang memahami aspek psikologis setiap peserta yang ditanganinya.

Pada Februari 2017 jumlah anak PSD (Penyandang Suspek Disleksia)

yang mengikuti Uji Linguistis sebanyak 19 (sembilan belas) orang. Satu

orang peserta mengundurkan diri dari yang seharusnya 20 (dua puluh) orang.

Alat Uji Linguistis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

lampiran 8. Hasil Uji Linguistis kemudian diurut berdasarkan nomor Seri

Peserta dengan Total Nilai Uji dan Nilai Suspek sebagai berikut:

Tabel 1. Data Peserta dengan Hasil Uji Linguistis

No

Seri

Nam

a

JK Usia/

thn

Nilai

Uji

Ta

b1

Ta

b2

Tab3 Tab4 Tab5 Tab

6

Tab

7

Nilai

suspe

k

I II II IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII

01 IK Pr 11 98,5 11,5/

0,44

22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,21

02 AN Lk 10 94 10/ 0,38

19,5/

0,6

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,05

Page 172: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

147

5

03 AD Lk 11 88,25

5/ 0,26

21/ 0,7

11,25/0,6

2

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,85

04 PR Pr 13 81,5 0,5/ 0,01

21/ 0,7

9/ 0,5

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,48

05 WY Lk 13 32 2,5/ 0,09

6,75/

0,22

4,5/ 0,25

2,25/0,18

5,25/ 0,23

3,75/

0,37

7/ 0,38

1,72

06 IJ Lk 14 100 13/

0,5 22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

07 MI Lk 17 100 13/

0,5 22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

08 SN Pr 14 100 13/

0,5 22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

09 NR Lk 14 100 13/

0,5 22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

10 EA Lk 14 69 1,5/ 0,05

15,75/ 0,52

6,75/0,37

9/ 0,75

16/ 0,72

6,25/

0,62

16/ 0,88

3,72

11 SR Pr 9 100 13/

0,5 22,5/

0,75

13,5/0,75

6,75/0,56

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

12 NA Pr 13 76 7/ 0,26

13,5/

0,45

8,25/0,45

6/ 0,5

16,75/

0,76

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,15

13 RF Lk 10 66 6/ 0,23

9/ 0,3

4,5/ 0,25

4,5/ 0,37

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

3,67

14 AH Lk 13 32,75

0/ 0

6/ 0,2

7,5/ 0,41

2,25 0,18

7/ 0,31

4,5/ 0,45

5,5/ 0,30

1,85

15 SI Lk 15 62,75

0,5/ 0,01

7,5/ 0,25

6,75/0,37

7,5/ 0,62

16/ 0,72

8,5/ 0,85

16/ 0,88

3,7

16 WA Lk 14 31,75

1/ 0,03

6/ 0,2

3,75/0,20

2,25/0,18

4,5/ 0,20

3,5/ 0,35

10,75/

0,59

1,75

Page 173: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

148

17 YK Pr 9 90 3/ 0,11

22,5/

0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,88

18 LK Pr 9 89,75

3,5/ 0,14

21,75/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,91

19 AR Lk 8 86 8/ 0,30

16,5/

0,55

11,25/0,6

2

8,25/0,68

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,67

20 HD Lk 0 0 dikeluarkan karena tidak ada izin dari orangtua

*) data anak (responden) yang diperoleh dari sekolah SLB **) nilai suspek disleksia

Berdasarkan data tabel 1 di atas, langkah berikut adalah mengurutkan

derajat nilai suspek dari nilai uji tertinggi ke nilai uji terendah. Dengan kata

lain, semakin tinggi nilai suspek disleksia seseorang, maka derajat disleksia

yang diderita semakin tinggi pula. Berdasarkan data dari tabel 1 di atas,

diketahui nilai Uji Linguistis tertinggi yakni 100 dan nilai terendah adalah 23.5.

Untuk menemukan nilai uji, perhitungan didapatkan melalui

penjumlahan total nilai per kelompok aspek (tab), sedangkan nilai suspek

diperoleh melalui penjumlahan dari total nilai per kelompok aspek dibagi

dengan jumlah nilai satuan aspek. Kelompok aspek dihitung dari kegagalan

penyandang suspek dalam menyebutkan objek. Uji linguistis dalam penelitian

ini dikelompokkan sebagai berikut:

Page 174: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

149

Tabel 2. Pengelompokan Uji Linguistis dan Butir Soal

No Kelompok Cakupan Keterangan

1 I. Penyebutan Huruf 1. penyebutan vokal 2. penyebutan

konsonan

26 butir soal

2 II. Penyebutan

Vokal/Konsonan/Diftong/Vo-

kal Rangkap

1. penyebutan huruf diftong (dua suku kata)

2. penyebutan konsonan – vokal

3. penyebutan vokal – konsonan

4. penyebutan vokal rangkap

5. penyebutan gabungan huruf konsonan – vokal – konsonan

30 butir soal

3 III. Penyebutan Vokal Rangkap

dan Huruf Mirip

1. penyebutan bervokal – konsonan – vokal

2. penyebutan kata bervokal rangkap

3. penyebutan huruf mirip

18 butir soal

4 IV. Penyebutan Gabungan

Vokal/Konsonan/Diftong

1. penyebutan

gabungan

konsonan/vokal –

vokal/konsonan

2. penyebutan

gabungan diftong-

vokal/vokal-

diiftong

12 butir soal

5 V. Penyebutan Kata Bersuku

Dua Hingga Bersuku

1. penyebutan kata

bersuku dua

22 butir soal

Page 175: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

150

Banyak 2. penyebutan kata

bersuku tiga

3. penyebutan kata

bersuku empat

4. penyebutan kata

bersuku banyak

6 VI. Penyebutan Membedakan

Pasangan Minimal

1. membedakan

pasangan minimal

dua kata

2. membedakan

pasangan minimal

tiga kata

22 butir soal

7 VII. Penyebutan dalam

Membaca Kalimat /

Paragraf

1. membaca kalimat

2. membaca

paragraf

18 butir soal

Di bawah ini, peneliti menyusun secara urut nilai suspek responden

dari yang tertinggi ke yang lebih rendah. Hasil pengurutan terlihat pada tabel

di bawah ini:

Tabel 3. Data Peserta Hasil Uji Linguistis Berdasarkan Suspek Disleksia

No Seri

Nama JK Usia /thn

Total Nilai Uji

Tab1 Tab2 Tab3 Tab4 Tab5 Tab6 Tab7 Nilai suspe

k

I II II IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII

06 IJ Lk 14 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

07 ML Lk 17 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

08 SN Pr 14 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

09 NR Lk 14 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

Page 176: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

151

11 SR Pr 9 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

01 IK Pr 11 98,5 11,5/ 0,44

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,21

02 AN Lk 10 94 10/ 0,38

19,5/ 0,65

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,05

18 LK Pr 9 89,75 3,5/ 0,14

21,75/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,91

17 YK Pr 9 90 3/ 0,11

22,5/ 0,75

13,5/0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,88

03 AR Lk 11 88,25 5/ 0,26

21/ 0,7

11,25/0,62

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,85

19 AR Lk 8 86 8/ 0,30

16,5/ 0,55

11,25/0,62

8,25/0,68

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,67

04 PR Pr 13 81,5 0,5/ 0,01

21/ 0,7

9/ 0,5

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,48

12 NA Pr 13 76 7/ 0,26

13,5/ 0,45

8,25/0,45

6/ 0,5

16,75/ 0,76

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,15

10 EA Lk 14 69 1,5/ 0,05

15,75/ 0,52

6,75/0,37

6,75/0,56

16/ 0,72

6,25/0,62

16/ 0,88

3,72

13 IJ Lk 10 66 6/ 0,23

9/ 0,3

4,5/ 0,25

4,5/ 0,37

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

3,67

15 SI Lk 15 62,75 0,5/ 0,01

7,5/ 0,25

6,75/0,37

7,5/ 0,62

16/ 0,72

8,5/ 0,85

16/ 0,88

3,7

14 AH Lk 13 32,75 0/ 0

6/ 0,2

7,5/ 0,41

2,25 0,18

7/ 0,31

4,5/ 0,45

5,5/ 0,30

1,85

05 WY Lk 13 32 2,5/ 0,09

6,75/ 0,22

4,5/ 0,25

2,25/0,18

5,25/ 0,23

3,75/ 0,37

7/ 0,38

1,72

16 WA Lk 14 31,75 1/ 0,03

6/ 0,2

3,75/0,20

2,25/0,18

4,5/ 0,20

3,5/ 0,35

10,75/ 0,59

1,75

20 HD Lk 0 0 dikeluarkan karena tidak ada izin dari orangtua

*) nilai suspek disleksia

Untuk diketahui bahwa penelitian ini secara purposif telah menetapkan

10 (sepuluh) anak suspek disleksia berdasarkan hasil uji linguistis dengan

mengacu pada nilai uji (lihat kolom 5 dalam tabel). Nilai uji ini, seperti

kenyataannya, tidak selamanya berbanding lurus dengan nilai suspek,

meskipun keduanya terkait sangat erat.

Selanjutnya, untuk menentukan besar sampel penelitian ini, peneliti

telah menetapkan sejumlah anak PSD secara purposif yang termasuk dalam

kategori ‘disleksia akut’. Kategori ini ditentukan dengan sistem quartile, yakni

Page 177: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

152

membagi kelompok responden ke dalam 4 (empat) kelompok quartile.

Berdasarkan hitungan quartile, pembagian dari angka terendah hingga angka

tertinggi, ditemukan pembagian sebagai berikut:

Tabel 4. Kategori Disleksia Berdasarkan Pembagian Kuartil

Rentang

Nilai

Kategori Keterangan

Quartile (Kuartil) = Q1 88 – 100 Disleksia

Akut

Disleksia

berdasarkan

Uji Linguistis

Quartile (Kuartil) = Q2 56 – 87

Disleksia

Ringan

Quartile (Kuartil) = Q3 36 – 55 Kecerdasan Kurang Tidak dapat

disebut

Disleksia Quartile (Kuartil) = Q4

23.5 – 35 Normal

Keterangan: Dengan sistem quartile tersebut dapat dipastikan bahwa subjek penelitian

ini adalah anak suspek disleksia yang termasuk kategori Disleksia Akut.

Kategori Q1 dengan rentang nilai antara 88–100 didapatkan sebanyak

10 (sepuluh) sampel anak Penyandang Suspek Disleksia (PSD). Untuk

memenuhi prinsip keseimbangan dan kesetaran antara Kelompok Perlakuan

(Y) dan Kelompok Kontrol (X), kesepuluh sampel PSD tersebut dibagi ke

Page 178: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

153

dalam dua kelompok secara berimbang. Pembagian ini dimaksudkan untuk

memastikan bahwa Kelompok Perlakuan (Y) dan Kelompok Kontrol (X)

berada pada posisi yang setara sebelum terapi dilakukan.

Hasil pengelompokan dalam penelitian ini terlihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Pembagian Data Peserta untuk Kelompok Perlakuan

dan Kelompok Kontrol Berdasarkan Hasil Uji Linguistis

Kelompok Perlakuan (Y) Kelompok Kontrol (X)

Nama Jenis

Kelami

n

Nilai

Suspe

k

Nama Jenis

Kelami

n

Nilai

Suspe

k

IJ Lk 5.27 MI Lk 5.27

NR Lk 5.27 SN Pr 5.27

SR Pr 5.27 IK Pr 5.21

AR Pr 4.85 AN Lk 4.99

LK Pr 4.91 YK Pr 4.92

Total 25.66 Total 25.66

Nilai suspek didapatkan dengan menghitung jumlah kegagalan anak

PSD dalam mengidentifikasi/mengenali dan mengeja atau menyebutkan

huruf vokal / konsonan, gabungan huruf, kata, suku kata (bersuku kata dua,

Page 179: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

154

tiga, empat, dan bersuku banyak), diftong, dan kalimat sederhana. Dengan

menggunakan sistem pengujian yang telah dirancang sedemikian rupa, hasil

pengujian dapat dijadikan standar yang setara dengan pre-test.

Perbandingan Tabel 5 di atas dapat disajikan dalam diagram batang

masing-masing sebagai berikut:

Diagram 1: Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y)

4.6

4.7

4.8

4.9

5

5.1

5.2

5.3

IA MI IA SH LK

5.27 5.27 5.27

4.85

4.91

Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y)

Page 180: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

155

Capaian setiap subjek seperti pada Diagram 1 (Kelompok Perlakuan)

dapat dibandingkan dengan capaian subjek pada kelompok kontrol seperti

yang tertera pada Diagram 2 di bawah ini:

Diagram 2: Nilai Suspek Kelompok Kontrol (X)

Perbandingan tersebut mempertegas bahwa Kelompok Perlakuan (Y)

dan Kelompok Kontrol (X) harus berada pada posisi yang setara sebelum

terapi dilakukan. Dalam penelitian ini, nilai kesetaraan ditemukan 25.66 (lihat

Tabel 5).

4.7

4.8

4.9

5

5.1

5.2

5.3

MISN

IKAN

YK

5.27 5.27

5.21

4.99

4.92

Page 181: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

156

Pembagian kelompok perlakuan (Y) dan kelompok perlakuan (X) pada

Tabel 5 di atas dilakukan secara purposif untuk memastikan bahwa antara Y

dan X terjadi kesetaraan dan keseimbangan. Salah satu acuan kuat

misalnya, total nilai suspek yang didapatkan dari keduanya adalah 25.66.

Penentuan ini amat penting dan dimaksudkan agar setelah terjadi

perlakuan, maka selisih nilai Y terhadap nilai X merupakan hasil pengaruh

terapi. Dengan kata lain, pembagian kelompok perlakuan (Y) dan kelompok

perlakuan (X) pada Tabel 5 diidentifikasi dengan menggunakan 10 (sepuluh)

kriteria (lihat Tabel 6 di bawah).

Untuk memastikan bahwa baik kelompok kontrol maupun kelompok

perlakuan adalah setara dan seimbang, maka dilakukan identifikasi secara

saksama sebelum dilakukan terapi. Identifikasi dengan menggunakan 10

(sepuluh) kriteria terlihat sebagai berikut:

Tabel 6. Identifikasi Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

No

Identifikasi

Kelompok Keterangan

perlakuan

(Y)

kontrol

(X)

masing-masing 5 (lima)

orang

1 terbukti disleksia

berdasarkan uji

linguistis

√ √ alat penelitian berupa

daftar uji linguistis

(terlampir).

2 terpantau suspek

disleksia melalui uji

klinis

√ √ pemeriksaan melalui alat

CT-San (salinan rekam

medik terlampir)

3 pernah mengalami X X berdasarkan keterangan

Page 182: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

157

kecelakaan cedera

otak

orangtua

4 yang bersangkutan

berbadan sehat

√ √ hasil keterangan dokter

klinik

5 memiliki catat tubuh X X -

6 umur antara 7 – 12

tahun

√ √ lihat riwayat hidup

(terlampir)

7 memiliki

kemampuan

berhitung dengan

baik

√ √ berdasarkan rapor

sekolah dan keterangan

guru

8 ceria dalam

kehidupan sehari-

hari

√ √ hanya sering terlihat

terisolir di sekolah

9 pernah ditangani

oleh psikiater

√ √ masing-masing satu

diantara kelompok

pernah ditangani oleh

psikiater

10 riwayat orangtua

disleksia

X

X

baik keturunan dari garis

ayah maupun dari

keturunan garis ibu

Tabel 6 di atas diisi dengan melakukan pengamatan dan

interview. Pengamatan dilakukan secara longitudinal, sedangkan

interview hanya terkhusus pada guru dan orangtua/wali yang

mengasuh si anak. Sebagaimana sifat penelitian metode

eksperimental, termasuk penelitian untuk mengukur hasil terapi untuk

mengukur perbaikan suspek disleksia, tabel di atas telah menempatkan

kelompok perlakuan (Y) dan kelompok kontrol (X) pada derajat yang

Page 183: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

158

sama (didasarkan baik dengan hasil uji linguistis maupun dengan uji

klinis). Dengan teknik seperti ini, maka prinsip dasar penelitian metode

eksperimental sudah terpenuhi.

Langkah berikut adalah perlakuan terapi yang diberikan kepada

subjek (responden) dengan menggunakan aplikasi LexiPal. Aspek

terapi linguistis yang diberikan dapat dilihat pada lampiran 2 dengan

capaian seperti tertuang dalam tabel 7 sampai 11 di bawah ini.

Di bawah ini hasil tabulasi capaian yang terkait dengan

penyebutan huruf (Klaster I) berdasarkan lingkungan linguistis produksi

bahasa (lihat lampiran 8).

Tabel 7. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26)

No Penyandang Capaian Ñ (C/26) Ket.

1 IJ (lk) 13 0,5 *)

2 MI (lk) 13 0,5

3 SN (pr) 13 0,5

4 NR (lk) 13 0,5

5 SR (pr) 13 0,5

6 IK (pr) 11,5 0,44

7 AN (lk) 10 0,38

8 YK (pr) 3 0,11

Page 184: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

159

9 LK (pr) 3,5 0,13

10 AD (lk) 5 0,19

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Tabel 7. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26) di atas dapat dinyatakan

dengan diagram batang sebagai berikut:

Penyebutan huruf (Klaster I) pada uji linguistis merupakan uji linguistik

yang paling mendasar. Jika bagian ini diterapi, maka akan berpengaruh

94%

95%

96%

97%

98%

99%

100%

IJ (1) MI(2)

SN(3)

NR(4)

SR(5)

IK(6)

AN(7)

YK(8)

LK(9)

AD(10)

13 13 13 13 13 11.5 10 3 3.5 5

0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.44 0.38 0.11 0.13 0.19

NilaiUji Linguistis Nilai Suspek

Diagram 3. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26)

Page 185: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

160

positif pada beberapa aspek lainnya. Dari capaian pengujian terlihat bahwa

terdapat 5 penyandang berada pada derajat yang sama, yakni nilai 13.

Terdapat 2 penyandang termasuk kategori menengah, yakni antara 10 – 11,5

dan 3 penyandang lainnya berada pada kategori rendah, yakni antara 3 – 5.

Pengujian lain adalah penyebutan vokal / konsonan / diftong / vokal

rangkap (Klaster II). Dari hasil uji linguistis, capaian masing-masing subjek

terlihat seperti berikut:

Tabel 8. Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /

Vokal Rangkap (II) – Ñ (C/30)

No. Penyandang Capaian Ñ (C/30) Ket.

1. IJ (lk) 22,5 0,75 *)

2. MI (lk) 22,5 0,75

3. SN (pr) 22,5 0,75

4. NR (lk) 22,5 0,75

5. SR (pr) 22,5 0,75

6. IK (pr) 22,5 0,75

7. AN (lk) 19,5 0,65

8. YK (pr) 22,5 0,75

9. LK (pr) 21,75 0,72

10. AD (lk) 21 0,7

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Page 186: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

161

Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong / Vokal Rangkap (II) – Ñ (C/30)

di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:

Diagram 4: Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /

Vokal Rangkap (II) – N (C/30)

Setelah subjek melakukan penyebutan huruf (Klaster I) dan vokal /

konsonan / diftong / vokal rangkap (Klaster II), dilanjutkan dengan memantau

17

18

19

20

21

22

23

24

IJ (1) MI(2)

SN(3)

NR(4)

SR (5) IK (6) AN(7)

YK (8) LK (9) AD(10)

Nilai Suspek 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.65 0.75 0.72 0.7

Nilai Uji Klinis 22.5 22.5 22.5 22.5 22.5 22.5 19.5 22.5 21.75 21

Cap

aian

PENYEBUTAN PENYEBUTAN VOKAL/KONSONAN/DIFTONG/

VOKAL RANGKAP (II) – Ñ (C/30)

Page 187: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

162

penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (Klaster III). Hasil pengujian cukup

mengejutkan dimana capaian dari masing-masing subjek adalah sama, yakni

13.5. Hanya terdapat 1 (satu) subjek yang memperoleh capaian 11,25.

Dengan kata lain, hanya 1 subjek yang relatif lebih baik dari 9 subjek lainnya,

meskipun perbedaan itu tidak signifikan sifatnya, tetapi telah memberi bukti

bahwa area kegagalan setiap anak disleksia dapat berbeda-beda. Perhatikan

hasil tabel 9 di bawah ini:

Tabel 9. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)

No. Penyandang Capaian Ñ (C/M18) Ket.

1. IJ (lk) 13,5 0,75 *)

2. MI (lk) 13,5 0,75

3. SN (pr) 13,5 0,75

4. NR (lk) 13,5 0,75

5. SR (pr) 13,5 0,75

6. IK (pr) 13,5 0,75

7. AN (lk) 13,5 0,75

8. YK (pr) 13,5 0,75

9. LK (pr) 13,5 0,75

10. AD (lk) 11,25 0,62

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Page 188: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

163

Tabel 9. Penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (III) – Ñ (C/18) di

atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:

Diagram 5. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)

Tabel 10 berikut adalah penyebutan gabungan vokal/konsonan/

diftong (Klaster IV). Untuk klaster ini, capaian masing-masing subjek berada

pada nilai yang sama, yaitu 9. Ini bukan sesuatu yang kebetulan. Seperti

terlihat perolehan sama, tetapi area kegagalan berbeda-beda berdasarkan

92%

93%

94%

95%

96%

97%

98%

99%

100%

IJ (1) MI(2)

SN(3)

NR(4)

SR(5)

IK (6) AN(7)

YK(8)

LK(9)

AD(10)

Cap

aian

IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)

Series 2 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.62

Series 1 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 11.26

Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)

Page 189: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

164

hasil uji linguistis yang dilakukan. Hal ini berarti tingkat kesalahan masing-

masing subjek adalah sama, meskipun kegagalan disleksia belum tentu

berada pada bagian yang sama. Capaian yang diperoleh responden dapat

dilihat pada tabel 10 di bawah ini:

Tabel 10. Penyebutan Gabungan Vokal / Konsonan / Diftong

(IV) – Ñ (C/12)

No Penyandang Capaian Ñ (C/26) Ket.

1. IJ (lk) 9 0,34 *)

2. MI (lk) 9 0,34

3. SN (pr) 9 0,34

4. NR (lk) 9 0,34

5. SR (pr) 9 0,34

6. IK (pr) 9 0,34

7. AN (lk) 9 0,34

8. YK (pr) 9 0,34

9. LK (pr) 9 0,34

10. AD (lk) 9 0,34

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Pada tabel 10, penyebutan gabungan vokal / konsonan / diftong (IV) –

Ñ(C/12) di atas dapat dilihat capaian setiap responden memperlihatkan nilai

Page 190: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

165

yang sama meskipun dengan bagian yang berbeda, hal ini dapat pula

dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:

Diagram 6. Penyebutan Gabungan Vokal /

Konsonan / Diftong (IV) - Ñ (C/12)

Hal yang sama juga terjadi pada penyebutan kata bersuku dua hingga

bersuku banyak (Klaster V) setiap peserta memperoleh yang sama dengan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

IJ (1) MI(2)

SN(3)

NR(4)

SR(5)

IK(6)

AN(7)

YK(8)

LK(9)

AD(10)

Cap

aian

IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9)AD(10)

Series 1 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9

Series 2 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34

Penyebutan Gabungan Vokal/Konsonan/Diftong (IV) – Ñ (C/12)

Page 191: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

166

bagian kesalahan tidak pada tempat yang sama. Dapat dipastikan bahwa

penyebutan kata bersuku nilai banyak misalnya ‘melipatgandakan’,

‘terkembangbiakkan’, ‘menumbuhkembangkan’, dan ‘pemutarbalikan’,

responden mengalami kesulitan yang berlipat ganda. Hal ini dapat dipastikan

dengan membandingkan kesalahan yang terjadi pada penyebutan kata

bersuku dua saja mengalami kesulitan, apalagi dengan penyebutan kata

bersuku banyak. Hasil capaian pada penyebutan kata bersuku dua hingga

bersuku banyak (Klaster V) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 11. Penyebutan Kata Bersuku dua hingga

bersuku banyak (V) – Ñ(C/22)

No Penyandang Capaian Ñ (C/22) Ket.

1 IJ (lk) 17,5 0,79 *)

2 MI (lk) 17,5 0,79

3 SN (pr) 17,5 0,79

4 NR (lk) 17,5 0,79

5 SR (pr) 17,5 0,79

6 IK (pr) 17,5 0,79

7 AN (lk) 17,5 0,79

8 YK (pr) 17,5 0,79

9 LK (pr) 17,5 0,79

10 AD (lk) 17,5 0,79

Page 192: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

167

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Tabel 11. Penyebutan Kata Bersuku dua hingga bersuku banyak (V) –

Ñ (C/22) di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:

Diagram 7. Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga

Bersuku Banyak (V) – Ñ (C/22)

Salah satu bagian Uji Linguistis yang cukup mendapat perhatian para

peneliti disleksia adalah kesalahan-kesalahan penyebutan membedakan

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)

17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5

0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79

Nilai Uji Klinis Nilai Suspek

Diagram 7. Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga Bersuku Banyak (V) – Ñ (C/22)

Page 193: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

168

pasangan minimal (Klaster VI). Ini terjadi misalnya pada kata ‘bunting’ dan

‘banting’, ‘gunting’, ‘bibi’, ‘gigi’ dan ‘pipi’, demikian seterusnya.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, telah terjadi kesalahan yang

cukup akut dan perlu segera ditangani. Meski dengan nilai capaian yang

sama, tidak berarti area kegagalan itu berada pada aspek yang sama. Hasil

nilai capaian dimaksud adalah sebagai berikut:

Tabel 12. Penyebutan Membedakan Pasangan

Minimal (VI) – Ñ (C/10)

No Penyandang Capaian Ñ (C/10) Ket.

1 IJ (lk) 8,5 0,85 *)

2 MI (lk) 8,5 0,85

3 SN (pr) 8,5 0,85

4 NR (lk) 8,5 0,85

5 SR (pr) 8,5 0,85

6 IK (pr) 8,5 0,85

7 AN (lk) 8,5 0,85

8 YK (pr) 8,5 0,85

9 LK (pr) 8,5 0,85

10 AD (lk) 8,5 0,85

Page 194: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

169

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Sebagaimana Tabel 12 di atas, penyebutan membedakan pasangan

minimal (VI) – Ñ (C/10) dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai

berikut:

Diagram 8. Penyebutan Membedakan Pasangan Minimal (VI) – Ñ (C/10)

Seperti pada penyebutan gabungan vokal / konsonan / diftong (Klaster

IV), penyebutan kata bersuku dua hingga bersuku banyak (klaster V),

penyebutan membedakan pasangan minimal (klaster VI), dan penyebutan

dalam membaca kalimat / paragraf (VII) masing-masing subjek memiliki nilai

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)

8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5

0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85

Nilai Uji Klinis Nilai Suspek

Page 195: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

170

yang sama, yakni klaster IV dalam capaian 9, klaster V dalam capaian 17.5,

klaster VI dalam capaian 8.5, dan klaster VII dalam capaian 16.

Untuk klaster VII misalnya, capaian 16 menunjukkan bahwa subjek

mengalami disleksia akut karena terjadi kekacauan dalam membaca kalimat.

Misalnya kalimat "Setiap hari saya bangun pagi” dibaca menjadi “Setia hari

siapa bangun lagi”. Ketika diminta mengulang kalimat, malah menjadi “Setiap

lari saya bangun bagi”, dst.

Tabel 13. Penyebutan dalam Membaca Kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)

No Penyandang Capaian Ñ (C/10) Ket.

1 IJ (lk) 16 1,6 *)

2 MI (lk) 16 1,6

3 SN (pr) 16 1,6

4 NR (lk) 16 1,6

5 SR (pr) 16 1,6

6 IK (pr) 16 1,6

7 AN (lk) 16 1,6

8 YK (pr) 16 1,6

9 LK (pr) 16 1,6

10 AD (lk) 16 1,6

Page 196: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

171

*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian

Data Tabel 13, berupa penyebutan dalam membaca kalimat / paragraf

(VII) – Ñ (C/18) di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai

berikut:

Diagram 9. Penyebutan dalam membaca kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)

Hal yang terlihat dari capaian pada Tabel 13 di atas menunjukkan

bahwa aspek membaca kalimat dan membaca paragraf penting diujikan pula

kepada subjek untuk mengukur apakah seorang anak PSD dapat membaca

sesuai struktur kalimat yang baik, misalnya tidak mempertukarkan posisi

subjek – predikat – objek, dst.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Chart Title

Nilai Uji Klinis Series 2

Diagram 9. Penyebutan dalam membaca kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)

Page 197: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

172

2). Uji Klinis

Uji Klinis dilakukan setelah seseorang dipastikan menyandang

disleksia berdasarkan Uji Linguistis. Demikian metode yang dilakukan dalam

penelitian ini. Uji Klinis dilakukan untuk memastikan apakah ketidakmampuan

seorang anak dalam membaca disebabkan atau dipicu oleh gangguan atau

pengaruh pendengaran, penglihatan, saraf, dan seterusnya. Uji Klinis

(pendengaran, penglihatan, saraf, dan seterusnya) tidak terkait langsung

dengan deteksi adanya disleksia. Terkecuali dengan CT-Scan otak,

gambaran keadaan Broca dan Wernicke seseorang akan terlihat jelas.

Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis dalam penelitian ini dapat

dilihat pada diagram berikut:

Page 198: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

173

Diagram 10: Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis

Diagram di atas menjelaskan bahwa porsi uji linguistis lebih besar

daripada uji klinis. Hal ini disebabkan objek utama penelitian ini bertumpu

pada kajian linguistik. Adapun aspek klinis bersifat melengkapi kajian yang

dilakukan dalam penelitian ini.

Posisi uji klinis yang dilaksanakan secara berjenjang terhadap anak

yang terjaring suspek disleksia. Uji klinis tidak dapat dilaksanakan

mendahului uji linguistis. Dengan demikian, uji klinis adalah metode ilmiah

85%

15%

Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis

Uji Linguistis

Uji Klinis

Page 199: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

174

untuk memastikan bahwa anak suspek disleksia telah menjalani tahapan uji

linguistis dan uji klinis. Kekeliruan yang banyak terjadi selama ini adalah

deteksi dini anak suspek disleksia hanya terbatas pada gejala linguistisnya

saja. Padahal, beberapa anak terkesan terkena disleksia karena

terkebelakang dalam berbahasa, tetapi sesungguhnya karena masalah lain,

idiot misalnya.

Uji Klinis yang dimaksudkan dalam penelitian ini berupa serangkaian

pemeriksaan kesehatan THT (pendengaran), mata, dan saraf khusus yang

terkait dengan fungsi-fungsinya yang mendukung lingkungan produksi

bahasa (khususnya membaca). Uji klinis amat penting dilakukan untuk

membuktikan bahwa seorang anak yang suspek disleksia disebabkan karena

pengaruh dari sesuatu yang tidak terkait dengan masalah linguistik. Dengan

kata lain, seseorang suspek disleksia disebabkan karena pengaruh di luar

masalah kebahasaan. Inilah yang menjadi alasan kuat untuk melihat

hubungan keduanya. Ketiga bagian dari uji klinis dimaksud meliputi:

1. Pemeriksaan pendengaran dilakukan di Poli THT: pemeriksaan secara

keseluruhan fungsi pendengaran dengan menggunakan alat

audiometri.

2. Pemeriksaan penglihatan dilakukan di Poli Mata: pemeriksaan meliputi

ketajaman penglihatan, lapangan pandang, dan gangguan saraf

penglihatan menggunakan Snellen test, oftalmoskop.

Page 200: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

175

3. Pemeriksaan saraf: dilakukan di Poli Saraf dengan memeriksa a)

fungsi kesadaran, b) fungsi kortikal luhur, c) fungsi saraf otak, d)

kekuatan e) rasa, dan f) fungsi keseimbangan.

Hasil pengujian seperti disebutkan di atas (aspek internal) juga

ditambah dengan data wawancara (aspek eksternal). Baik aspek internal

maupun eksternal disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 14. Hasil Uji Klinis Responden

No Uji Klinis

Responden

Internal Eksternal

Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8

1 IR - - + + - - - - Kelompok perlakuan

2 NR - - - + - + - - Sda

3 IA - - - - + + - - sda

4 SH - - + - - - + - sda

5 LK - - - + - - + +- sda

6 MI - - - - + - - - Kelompok kontrol

7 SN - - - + - + - - sda

8 IK - - - - - - + - sda

9 AN - - - + - - - sda

10 YK - - - + - - + + sda

Keterangan:

1 = Gangguan Penglihatan 2 = Gangguan Pendengaran 3 = Gangguan Saraf 4 = Riwayat Terlambat Bicara (delay speech) 5 = Perilaku Hiperaktif 6 = Riwayat Cedera Kecelakaan 7 = Riwayat Orangtua Disleksia 8 = Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua

Page 201: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

176

Riwayat cedera kecelakaan, orangtua penyandang disleksia dan

gangguan persalinan orangtua, serta riwayat kerterlambatan bicara setiap

responden diperoleh melalui wawancara dengan orangtua dan atau walinya

yang memelihara si anak sejak kecil. Khusus nomor 6 riwayat cedera

kecelakaan atau cedera penyebab lain dikategorikan aspek internal dalam

penelitian ini karena dalam beberapa kasus sejenis, tidak dapat dibuktikan

bahwa seseorang yang pernah mengalami cedera secara otomatis berakibat

pada disleksia.

Demikian pula dengan riwayat gangguan persalinan normal orangtua

si anak dipandang perlu menjadi bagian dari pengujian ini karena bukan tidak

mungkin seseorang mengalami disleksia karena merupakan bawaan sejak

lahir. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan orangtua atau walinya.

Data ini tidak mudah diperoleh karena tidak semua orang ingin terbuka dan

mengungkapkan masalah ini. Penting ditegaskan di sini bahwa seluruh

pemeriksaan (pendataan) ini dilakukan sebelum dilakukan terapi LexiPal.

Pengujian berikut adalah dengan TMS dan CT Scan untuk mengetahui

kemungkinan terdapat gangguan pada otak anak PSD. Pengambilan uji klinis

dilakukan secara gradual dan bertahap, dengan menggunakan Compurized

Tomography Scan akan terdeteksi mengenai kondisi otak si anak. Cara

pengujian dilakukan sesuai SOP Klinik Neurologi Inggit Medical Centre (IMC)

Makassar. Pihak petugas klinis mengetahui tujuan pemeriksaan ini. Hasil

rekaman medik dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 202: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

177

Tabel 15. Hasil Pemeriksaan Otak Responden dengan

menggunakan TMS dan CT-Scan baik Kelompok

Perlakuan maupun Kelompok Kontrol

Kelompok Perlakuan No

Kelompok Kontrol

Kondisi Nama

Responden

Nama

Responden Kondisi

Broca Wernicke Broca Wernicke

√ IR 1 MI

√ NR 2 SN

√ IA 3 IK

√ SH 4 AN

√ LK 5 YK

*)baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol keduanya menjalani TMS dan

CT-Scan

Tabel 15 menunjukkan bahwa anak PSD memiliki gangguan pada

area broca (Broca’s Area). Seperti dijelaskan oleh Wenar dan Kerig (2006)

bahwa anak normal dipastikan menggunakan hemisfer kiri, sedangkan anak

disleksia hemisfer kanan. Inilah aspek yang paling mendasar yang

membedakan anak PSD dan anak normal.

Page 203: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

178

Untuk membedakan gambaran otak anak yang menyandang disleksia

dan gambaran otak anak normal dapat dilakukan dengan hasil pemeriksaan

melalui CT-Scan.

b. Karakteristik Anak Disleksia

Karakteristik anak disleksia amat bervariasi, bergantung dari

masalahnya (Sodiq dalam Imandala, 2009). Subini (2011) telah memaparkan

ciri-ciri anak yang mengalami disleksia. Berbagai hal dijelaskan sama, tetapi

lebih dari itu, penelitian ini lebih rinci menemukan beberapa hal sebagai

berikut:

a. Terjadi inakurasi dalam membaca (seringkali membaca lambat,

mengeja kata demi kata, intonasi suara turun naik tidak teratur, dan

sesekali mengeluh).

b. Seringkali menyebutkan kata tidak menurut tekanan kata, tekanan

kata yang seharusnya jatuh pada suku kedua justru dibacanya pada

suku pertama. Hal yang paling sering adalah mengenal kata secara

terbalik, misalnya antara “kumbang" dengan "kambing”, “sapi”

dengan “sapu”.

c. Tidak atau kurang peduli dengan tanda baca apa saja. Sebagian

kalimat pertama disambung dengan sebagian lain dari kalimat

berikutnya.

Page 204: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

179

d. Dalam kondsi sulit, ia hanya mencoba menebak sejumlah kata atau

frasa.

e. Ketidakberaturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya

misalnya , “tari” dan “jari”, “buah” dan “bau”.

f. Akibat kesalahan dalam membaca kata mengakibatkan salah dalam

memahami isi tulisan yang dibacanya (memahami isi ceritera dalam

satu paragrap).

g. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya

ASYA PUYNA UAGN: saya punya uang, GURU MEMABCA: guru

membaca, dan DLEAPNA: delapan.

h. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya

menjadi sebuah kata, misalnya *rrrrrrrumah untuk /rumah/.

i. Sulit mengeja dengan benar. Ia bahkan mungkin akan mengeja satu

kata dengan bermacam-macam ucapan. Misalnya, kunci

kuncing, kucing kungci, dan sebagainya.

j. Membaca satu kata dengan benar di satu paragraf, tetapi salah

pada paragraf lainnya.

k. Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata.

Misalnya, “tikus lari di bawah meja” menjadi “meja lari di bawah

tikus”.

l. Rancu dengan kata-kata dalam penggunaan kata depan, misalnya

“ke”. “dari”,” dan”, “di depan, di samping dan di bawah”.

Page 205: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

180

m. Tidak menghiraukan penggunaan tanda baca, titik (.), koma (,),

tanda seru (!) dan tanda tanya (?).

Adapun bentuk-bentuk kesulitan membaca anak PSD seperti yang diklaim

oleh Subini (2011) adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penambahan dalam suku kata (addition), misalnya

“batu” menjadi “baltu”.

b. Menghilangkan huruf dalam suku kata (omission), misalnya “masak”

menjadi “masa”.

c. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan

(inversion / mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”.

d. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik

atas bawah (reversal) misalnya “papa” menjadi “qaqa”.

e. Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi

“luga”, “3” menjadi “8”.

Disleksia termasuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak

kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah prestasi akademis

(Hallahan dan Kaufman dalam Mangunsong, 2009). Masalahnya dibagi

dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding atau mengalami

kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi bahasa lisan, misalnya

kesulitan dalam menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata /topi/, yaitu

t,o,p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau reading

fluency), reading fluency adalah kemampuan untuk mengenali kata demi kata

Page 206: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

181

dengan cepat dan tepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang,

dan dapat dengan mudah menghubungkannya. Kemampuan ini

mengindikasikan bahwa anak mengerti materinya tetapi tidak dapat

mewujudkan dalam ‘membaca’. Aspek yang ketiga adalah memahami arti

bacaan (comprehension). Berapa pun paragraf itu hanya terdiri atas

beberapa kalimat. Misalnya: Ini bapak Randi. Ini ibu Randi. Bapak Randi

memakai baju putih. Baju putih mudah kotor. Jika baju kotor harus dicuci.

Dengan paragraf yang sederhana ini, seorang anak PSD sulit memahami

bacaan secara komprehensif. Mereka sulit merekam secara baik hal yang

dibacanya. Inilah yang sering disebut sebagai kesulitan belajar.

c. Faktor Penyebab/Etiologi

Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis, faktor-faktornya

disebutkan sebagai berikut:

i) Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh

Grigorenko menghasilkan 20-65% anak yang disleksia juga memiliki

ii) yang orangtua yang mengalami kesulitan membaca (Wenar dan

Kerig, 2006).

iii) Masalah dalam migrasi neuron / saraf, penelitian oleh Simos

menunjukkan bahwa anak disleksia memiliki pola aktivitas yang

berbeda dengan anak normal, anak normal menggunakan hemisfer

Page 207: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

182

kiri, sedangkan anak disleksia hemisfer kanan (Wenar dan Kerig,

2006). Ada juga kerusakan akibat hipoksi-iskemik saat prenatal di

daerah parieto-temporo-oksipital, yakni lobus-lobus dalam otak.

iv) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (faktor orangtua dari

ayah)

Disleksi juga dapat dipengaruhi oleh sebab-sebab lain, misalnya

kecelakaan / benturan pada kepala bayi (saat belum dapat memproduksi

ujaran bahasa). Dalam penelitian ini, ditemukan responden seperti ini.

Informasi ini diperoleh dari keterangan orangtua subjek penelitian melalui

wawancara. Meski demikian, derajat disleksia seseorang tetap mengacu

pada hasil uji linguistis dan uji klinis. Hasil wawancara hanya merupakan

pelengkap dan memperkuat hasil uji linguistis dan uji klinis yang menjadi

pusat perhatian penelitian ini.

Sementara itu, faktor-faktor penyebab disleksia (Zainal Kassan, 2010),

dipaparkan sebagai berikut:

a. Keturunan

Setiap anak PSD memiliki gen keluarga dan keturunan disleksia. Hal

ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Hallgren (1970)

yang membuat kajian terhadap 12 kasus pasangan kembar monozygote dan

mendapati ke-12 kasus tersebut menghadapi masalah dalam membaca dan

mengeja pada masa kanak-kanak. Hallgren juga mendapati bahwa disleksia

lebih banyak dihadapi oleh anak lelaki dibandingkan anak perempuan

Page 208: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

183

dengan perbandingan 3 : 1 atau 2 : 1. Penelitian ini mensinyalir bahwa ini

disebabkan karena lelaki lebih banyak memikul tanggungjawab dibanding

perempuan.

b. Asupan Makanan

Berdasarkan beberapa penyelidikan, kajian, dan penemuan, terdapat

beberapa unsur penyedap makanan, bahan awet dan pewarna tiruan yang

dipercayai menjadi penyebab terganggunya otak jika dikonsumsi secara

berlebihan dalam waktu lama. Gangguan terhadap otak ini terjadi bukan

melalui reaksi imunologi, tetapi akibat kandungan bahan atau racun yang

terkandung dalam bahan-bahan makanan tersebut. Di antara bahan tersebut

adalah salicylates, tartazine (zat pewarna makanan), nitrat, monosodium

glutamate (MSG) dan sejenisnya. Oleh karena itu, para peneliti ini

berpendapat bahwa bahan pencemar dalam makanan ini diyakini menjadi

penyebab disleksia.

c. Bawaan sejak Lahir

Masalah pendengaran dalam kalangan anak-anak amat mungkin

terjadi sejak dilahirkan. Dalam tempo lima tahun pertama selepas dilahirkan,

seseorang kanak-kanak yang sering mengalami salesma dan keterjangkitan

kuman pada bahagian tenggorokan, akan mempengaruhi pendengaran dan

perkembangannya dari waktu ke waktu hingga menyebabkan kecacatan.

Keadaan ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif yang

terperinci oleh seorang dokter. Masalah pendengaran yang dihadapi sejak

Page 209: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

184

dilahirkan akan menyebabkan otak yang dalam masa perkembangan akan

sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengar dengan huruf atau kata

yang dilihatnya. Padahal, perkembangan pendengaran terkait erat dengan

perkembangan kemampuan bahasa yang pada gilirannya akan menimbulkan

masalah jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak ditangani dengan

segera oleh ahlinya.

d. Perkembangan

Disleksia terjadi secara prestatif, yakni berkembang sedikit demi

sedikit. Hal ini terjadi pada bagian-bagian tertentu dalam otak.

Pertambahannya tidak seimbang lalu menyebabkan bagian otak yang terkait

bacaan dan ejaan tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Keterkaitan ini

berada dalam dua hemisfera cerebral untuk menguasai kemahiran membaca.

Seperti diketahui hemisfer kiri yang menguasai bacaan. Oleh sebab

hemisfera ini lemah, maka terjadilah keterbalikan huruf dan perkataan yang

dilakukan oleh anak-anak penyandang disleksia.

2. Penerapan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia Therapy”

LexiPal adalah salah satu media belajar membaca untuk anak umur 5

–12 tahun. Alat ini lebih dari sekadar alat terapi bagi anak yang mengalami

kesulitan membaca yang disebut disleksia. Sebagai sebuah alat (media

belajar) LexiPal memiliki banyak kegunaan, terutama untuk siswa, orangtua,

guru, dan terapi. Namun bagi seorang peneliti, alat ini lebih dari sekadar alat

Page 210: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

185

bantu untuk mendorong anak belajar membaca, melainkan sebuah alat yang

dapat digunakan untuk membantu para penyandang mengurangi kesulitan,

khususnya dalam kesulitan membaca (belajar).

Sebagai sebuah alat terapi, LexiPal tidak dapat bekerja dan

bermanfaat begitu saja tanpa didahului dengan penelusuran tingkat dan

bagian kesulitan membaca penyandang disleksia. Inilah yang menjadi tugas

penelitian ini, yakni menelusuri fakta linguistik kesulitan membaca seorang

anak sebelum diberikan terapi.

Terapi LexiPal dapat memperbaiki (1) reaksi (response) anak, (2)

persepsi, (3) pengenalan arah, (4) ingatan, (5) asosiasi objek, (6) perbaikan

pelafalan, dan (7) pemahaman kalimat. Dengan LexiPal, logika bahasa dan

respon si anak dapat berkembang dengan baik. Melalui terapi yang teratur

dan berkesinambungan, melalui penelitian terbukti berbagai kesulitan

membaca anak dapat ditingkatkan ke arah yang lebih baik, dengan tingkat

perbaikan 24,7%.

LexiPal merupakan alat terapi disleksia yang dirancang dalam bentuk

game (permainan) yang disukai oleh anak-anak. Alat ini terdiri atas 12 (dua

belas) kategori dengan manfaat yang berbeda-beda. Alat terapi LexiPal

meliputi: 1) bentuk dan pola, 2) persamaan, perbedaan, dan perbandingan, 3)

ingatan jangka pendek, 4) asosiasi objek, 5) persepsi arah, 6) urutan

aktivitas, 7) pemahaman tempat, 8) konsep waktu, 9) keterampilan sosial, 10)

Page 211: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

186

huruf, 11) suku kata dan kata, dan 12) kalimat sederhana. Uraian dari

masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

a. Bentuk dan Pola

Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang

harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf karena

sesungguhnya bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai bentuk

dan pola yang berbeda.

b. Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan

Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan gambar

sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan perbedaan

huruf-huruf. Begitu pula dengan kemampuan membandingkan ukuran

akan diperlakukan oleh anak untuk mengidentifikasi perbedaan bentuk

huruf.

c. Ingatan Jangka Pendek

Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan

Belajar Spesifik adalah lemah dalam ingatan jangka pendek. Media-

media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih kemampuan

tersebut.

d. Asosiasi Objek

Asosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek

dengan objek tertentu atau dengan kategori tertentu. Kemampuan

Page 212: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

187

pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-

huruf.

e. Persepsi Arah

Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan yang

hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Pada kategori ini,

anak akan belajar mengenai berbagai persepsi arah, seperti kanan, kiri,

atas, bawah, depan, belakang, dan di antara.

f. Urutan Aktivitas

Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan

tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain bermanfaat dalam

kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir

sekuensial yang sering kali anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik

mengalami kesulitan.

g. Pemahaman Tempat

Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam

mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi

tertentu.

h. Konsep Waktu

Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar

Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori konsep

waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan

dengan waktu.

Page 213: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

188

i. Keterampilan Sosial

Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu

kelemahan anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik. Kategori

Keterampilan Sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan

dalam aktivitas sosial.

j. Huruf

Kategori huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad

dalam Bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,

bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta

bentuk dan cara penulisannya.

k. Suku Kata dan Kata

Kategori Suku Kata dan Kata mengajarkan berbagai pola gabungan kata

yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi

pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola

Konsonan-Vokal (KV), hingga pola Kata Berimbuhan me-, me-i, dan me-

kan.

l. Kalimat Sederhana

Kategori Kalimat Sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk

membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-O).

Kedua belas butir kategori di atas telah didesain sedemikian rupa

untuk mengatasi serangkaian aspek yang dirancang sejalan dengan hal yang

tertuang pada materi Uji Linguistis. Uji Linguistis akan memetakan pada

Page 214: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

189

aspek mana seorang penyandang disleksia mengalami kegagalan membaca.

Setelah kegagalan seorang terpetakan, seorang tenaga terapi akan

mengarahkan bagian-bagian LexiPal untuk memperbaiki aspek kegagalan si

anak dalam membaca.

3. Efektivitas Penggunaan Model Terapi “Kinect-Base Dyslexia Therapy"

Penelitian ini berdasar pada sebuah asumsi bahwa disleksia dapat

diperbaiki. Perbaikan dimaksud adalah dengan pemberian terapi kepada

penyandang. Untuk mengukur terjadinya perbaikan, maka telah disiapkan

kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok perlakuan (lihat tabel 7).

Setelah masalah kebahasaan penyandang terpetakan, maka peneliti

memberi terapi kepada subjek selama beberapa kali pertemuan. Setiap

kejadian (baca perbaikan) dicatat dalam ‘katalog penelitian’ untuk kemudian

mengukur perbaikan yang terjadi.

Menurut sifat dan peruntukannya, alat terapi LexiPal seyogyanya

dimanfaatkan sesuai ‘model’ yang telah didesain secara khusus (baca

uraiannya) untuk suatu keterampilan yang dilatih.

Tabel 16. Model dan Keterampilan yang Dilatih

NO. MODEL URAIAN KETERAMPILAN

YANG DILATIH

1. Bentuk dan Pola Mengenal bentuk dan pola adalah

salah satu kemampuan dasar yang

harus dipelajari sebelum anak mulai

Mengkoordinasi mata dengan tangan

Motorik halus

Penelusuran dan

Page 215: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

190

belajar mengenal huruf.

Sesungguhnya bentuk-bentuk huruf

adalah susunan dari berbagai bentuk

dan pola yang berbeda.

pengenalan mata

2. Persamaan,

Perbedaan, dan

perbandingan

Kemampuan dalam menemukan

persamaan dan perbedaan gambar

sangat bermanfaat dalam

mengidentifikasi persamaan dan

perbedaan huruf-huruf. Begitu pula

dengan kemampuan

membandingkan ukuran akan

diperlakukan oleh anak untuk

mengidentifikasi perbedaan bentuk

huruf.

Identifikasi bentuk dan gambar

Membedakan posisi gambar (untuk gambar matriks).

Sense of number (untuk gambar dot screener)

3. Ingatan Jangka

Pendek

Salah satu kesulitan yang dihadapi

oleh anak-anak dengan Kesulitan

Belajar Spesifik adalah lemah dalam

ingatan jangka pendek. Media-media

pada kategori “Ingatan Jangka

Pendek” akan melatih kemampuan

tersebut.

Identifikasi gambar secara tepat

Visual memory

4. Asosiasi Objek Asosiasi objek adalah kemampuan

untuk mengasosiasikan suatu objek

dengan objek tertentu atau dengan

kategori tertentu. Kemampuan

pengategorian ini akan membantu

anak dalam mengategorikan huruf-

huruf.

Asosiasi atau hubungan antara dua gambar

Pengelompokan benda ke dalam dua kategori yang berbeda

5. Persepsi Arah Kemampuan memahami arah

merupakan satu kemampuan yang

hampir selalu digunakan pada

aktivitas sehari-hari. Pada kategori

ini, anak akan belajar mengenai

berbagai persepsi arah, seperti

kanan, kiri, atas, bawah, depan,

belakang, dan di antara.

Pemahaman terhadap posisi depan, belakang, kanan, dan kiri.

Motorik kasar

6. Urutan Aktivitas Kategori Urutan Aktivitas berkaitan

dengan kemampuan mengurutkan

tahap-tahap dalam sebuah aktivitas

tertentu. Selain bermanfaat dalam

Urutan kegiatan dalam aktivitas sehari-hari.

Berpikir secara runtut dan sekuensial

Page 216: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

191

kehidupan sehari-hari anak, ini juga

melatih kemampuan berpikir

sekuensial yang sering kali anak-

anak dengan Kesulitan Belajar

Spesifik mengalami kesulitan.

7. Pemahaman

Tempat

Kategori Pemahaman Tempat

berkaitan dengan kemampuan dalam

mengasosiasikan suatu benda atau

aktivitas dengan suatu lokasi

tertentu.

Kemampuan terhadap nama lokasi dan benda yang ada pada lokasi tersebut

Keterkaitan antara lokasi dengan benda dan aktivitas

8. Konsep Waktu Salah satu masalah yang dihadapi

anak dengan Kesulitan Belajar

Spesifik adalah mengenai

pemahaman terhadap waktu.

Kategori konsep waktu mengajarkan

pemahaman terhadap istilah-istilah

yang berkaitan dengan waktu.

Urutan nama hari

Asosiasi hari dengan aktivitas sehari-hari

9. Keterampilan

Sosial

Kesulitan dalam memahami Bahasa

Sosial juga menjadi salah satu

kelemahan anak-anak dengan

kesulitan Belajar Spesifik. Kategori

Keterampilan Sosial mengajarkan

anak segala sesuatu yang

dibutuhkan dalam aktivitas sosial.

Membaca kondisi suatu kejadian

Memahami ekspresi emosi (senang, sedih, takut, marah, terkejut) yang terjadi pada suatu kejadian

10. Huruf Kategori huruf mengajarkan dan

melatih anak mengenai huruf abjad

dalam Bahasa Indonesia, yang

mencakup huruf vokal, huruf

konsonan, bagaimana bunyi fonem

dan bunyi masing-masing nama

huruf, serta bentuk dan cara

penulisannya.

Diskriminasi bunyi fonem dan nama huruf vokal

Asosiasi bentuk huruf vokal dengan bentuk suatu benda dalam kehidupansehari-hari

11. Suku Kata dan

Kata

Kategori Suku Kata dan Kata

mengajarkan berbagai pola

gabungan kata yang membentuk

suku kata dan kata beserta

bagaimana bunyi pengucapannya,

mulai dari yang paling sederhana,

misalnya pola Konsonan-Vokal (KV),

Bunyi suku kata KV (Konsonan Vokal) atau penggabungan huruf konsonan dan vokal

Membaca kata dengan pola VKV, KVKV, dan KVKVKV

Page 217: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

192

hingga pola Kata Berimbuhan me-,

me-i, dan me-kan.

12. Kalimat

Sederhana

Kategori Kalimat Sederhana

mengajarkan dan melatih anak untuk

membentuk dan memahami pola

kalimat Subjek- Predikat- Objek (S-P-

O)

Pemahaman kalimat berpola S-P-O

Menyusun kalimat yang benar

Merujuk ke tahapan terapi seperti disebutkan terdahulu, prinsip dasar

terapi adalah pelatihan berulang (remedial). Setiap tahap, dilakukan 4

(empat) kali terapi. Terapi diadakan secara berulangkali dengan penuh

kesabaran. Selama 8 (delapan) kali tahap terapi, terlihat adanya perbaikan

dari setiap tahapan terapi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa terapi

linguistis dengan LexiPal amat membantu penyandang.

Perhatikan tiap-tiap PSD pada grafik 1 capaian terapi subjek di bawah

ini.

Page 218: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

193

Diagram 11: Capaian Terapi Subjek

Untuk lebih jelasnya, nilai capaian terapi subjek dapat dilihat pada

tabel di bawah ini:

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8

saspek 1 saspek 2 saspek 3 saspek 4 saspek 5

Page 219: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

194

Tabel 17. Perkembangan Capaian melalui Terapi dari tahap ke tahap

Suspek 1 Suspek 2 Suspek 3 Suspek 4 Suspek 5 Ket.

Tahap 1 1.7 2.4 2.2 2.1 2.1

Tahap 2 1.9 2.1 3.7 3.2 2.8

Tahap 3 2.5 2.7 3.9 3.7 3.4

Tahap 4 3.4 2.8 4.1 3.9 4.1

Tahap 5 3.7 3.6 4.4 4.4 4.9

Tahap 6 4.8 4.5 4.9 4.7 5.4

Tahap 7 5.2 5.3 5.3 5.8 5.9

Tahap 8 5.9 6.1 5.8 6.1 6.2

Hal yang ditunjukkan pada Tabel 17 di atas adalah perkembangan capaian

seorang PSD (responden) melalui terapi LexiPal dari tahap ke tahap.

Istilah suspek 1, 2, 3, dan seterusnya merupakan cara penyamaran

identitas anak PSD. Capaian tahap 1 misalnya terlihat adanya perbedaan

satu sama lain, yakni 1.7 s.d. 6.2. Angka ini menunjukkan bahwa capaian

setiap anak berbeda-beda, demikian pula capaian pada tahap-tahap

Page 220: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

195

berikutnya. Hal ini bergantung dari prestasi perbaikan yang dicapai

seseorang.

Berbeda pada Uji Linguistis, dimana besaran dihitung berdasarkan

tingkat kegagalan, sedangkan pada perlakuan terapi, besaran dihitung

berdasarkan tingkat keberhasilan.

B. Pembahasan

1. Deskripsi Masalah Kebahasaan Penyandang Disleksia

dari Sisi Neuropsikolinguistik

a. Perilaku Subjek Saat Membaca

Pada kenyataan merujuk hasil olah data lapangan bahwa terdapat

10 (sepuluh) macam kesulitan membaca, yakni 1) Addition (penambahan),

2) Omission (penghilangan), 3) Inversion (pembalikan), 4) Mirrowing,

(keterbalikan), 5) Reversal (pengejaan terbalik), 6) Substitution

(penggantian), 7) Reduplication (pengulangan), 8) Stressing (penekanan),

9) Uncaring (ketakpedulian), dan 10) Strengtening (penekanan yang belum

berterima).

Perilaku penyandang disleksia saat membaca menunjukkan

beberapa hal yang tidak lazim. Antara lain 1) menunjuk setiap kata yang

dibaca dengan menggunakan telunjuk, 2) kepala bergerak mengikuti arah

Page 221: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

196

kalimat, yang umum terjadi adalah menggerakkan mata dan bukan kepala,

3) subjek memiringkan posisi bacaan yakni menempatkan posisi bacaan

dengan cara yang tidak lazim, 4) sesekali terdiam pada kata yang pasti

dirasakannya sulit, atau sekalian membaca terlalu cepat seperti orang

berkumur, 5) sesekali terdengar mengeluh atau terdiam pikiran melayang,

6) menempatkan objek bacaan kurang dari 35cm sebagaimana umumnya

(terkadang objek bacaan didekatkan hanya sejengkal dari mata), 7)

kelihatan tertekan dimana seolah membaca itu adalah beban, dan 8)

dalam beberapa hal ia terkadang kelihatan gugup, dan hal ini terlihat dari

gerakan tangannya.

Seperti kebanyakan dugaan keliru yang terjadi selama ini diketahui

bahwa anak PSD 1) agak pelan membaca, 2) berupaya mengeja, dan atau

3) berupaya memperbaiki kesalahan membaca, ketiga hal ini tidak terbukti

selama pengamatan. Ia membaca tergesa-gesa karena ia seolah-olah

ingin segera merampungkan hal yang ia baca. Dengan karakter ini, ia tidak

berupaya mengeja, dan akibatnya ia seolah-olah tidak pernah sadar

memperbaiki hal yang ia baca.

Penelitian ini, seperti disebutkan terdahulu, bertujuan untuk

mengetahui efektivitas penggunaan media video game (media kinect-based

dyslexia therapy) dalam meningkatkan kemampuan membaca pada anak

disleksia. Selain tujuan umum tersebut, penelitian ini juga menetapkan tujuan

Page 222: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

197

khusus berupa upaya 1) mengungkap masalah kebahasaan penyandang

disleksia dari aspek neurolinguistik, 2) memetakan kegagalan berbahasa dari

aspek fonologis, leksikal dan sintaksis, 3) mengetahui efektivitas terapi media

game, perbaikan leksikal, moroflogis, dan sintaksis.

Arah penelitian ini mengacu pada tujuan penelitian seperti yang telah

dirumuskan. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, maka pembahasan

sejatinya mengarah pada tahapan-tahapan seperti di bawah ini:

b. Analisis Capaian Subjek

Setelah melakukan dua pengujian seperti diuraikan terdahulu (Uji

Linguistis dan Uji Klinis), pembahasan kedua pengujian dimaksud dapat

dijelaskan sebagai berikut:

i) Capaian melalui Uji Linguistis

Terdapat tujuh bagian yang diberikan kepada responden dalam Uji

Linguistis dengan 136 poin. Total quartile nilai dari ke 136 poin tersebut

adalah 100. Ini berarti bahwa responden yang memperoleh nilai 100 berarti

masuk kategori disleksia akut perhitungan dalam penelitian ini, lihat Tabel 4). Untuk diketahui nilai uji didapatkan melalui penjumlahan total nilai per

kelompok aspek (tab), sedangkan nilai suspek diperoleh melalui penjumlahan

dari total nilai per kelompok aspek dibagi dengan jumlah nilai satuan aspek.

Page 223: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

198

Kelompok aspek dihitung dari kegagalan penyandang suspek dalam

menyebutkan objek. Ini yang menjadi dasar pembagian sistem kuartil.

Quartile 1 (kategori disleksia akut) dalam penelitian ini terhitung dari 88

s.d. 100, sementara Quartile 2 terhitung antara 56 s.d. 87, namun quartile

(kuartil) 2 termasuk disleksia ringan. Disleksia dalam penelitian ini dikenal

dalam dua kategori; disleksia akut dan disleksia ringan. Sistem kuartil

ditemukan dari nilai tertinggi dari pengujian yakni 100 dan nilai terendah

adalah 23.5.

Memperhatikan hasil olah data penelitian ini, nilai uji dan nilai suspek

ditentukan dengan cara nilai uji dihitung dari tab 7 ke tab 1 (atas, kiri ke

kanan) dan nilai suspek dari tab 1 ke tab 7 (bawah, kanan ke kiri). Perhatikan

tabel di bawah ini:

Tabel 18. Nilai Uji dan Nilai Suspek Responden Anak PSD

No. Nama

JK Nilai Uji

Tab 1

Tab 2

Tab 3

Tab 4

Tab 5

Tab 6

Tab 7

Nilai Suspek

1. IJ

Lk 100 13/

0,5 22,5/ 0,75

13,5/ 0,75

9/ 0,75

17,5/ 0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

2. NR

Lk 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/ 0,75

9/ 0,75

17,5/0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

3. SR Pr 100 13/ 0,5

22,5/ 0,75

13,5/ 0,75

9/ 0,75

17,5/0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

5,27

4. AR Pr 88.25 5/ 0,26

21/ 0,7

11,25/0,62

9/ 0,75

17,5/0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,85

5. LK

Pr 89.75 3,5/ 0,14

21,75/0,7

5

13,5/ 0,75

9/ 0,75

17,5/0,79

8,5/ 0,85

16/ 0,88

4,91

*) istilah Tab = tabulasi merupakan klaster dalam Uji Linguistis

Page 224: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

199

Berdasarkan tabel 18 di atas dapat dipastikan bahwa semua anak

yang menjadi responden penelitian ini adalah penyandang disleksia akut dan

ini disebabkan karena tingginya tingkat kegagalan mereka dalam mengenali

huruf dan bacaan pada saat mengikuti Uji Linguistis.

ii) Capaian Melalui Uji Klinis

Penelitian ini telah berhasil melakukan uji inguistis berupa serangkaian

pemeriksaan kesehatan THT (pendengaran), Mata (penglihatan) dan Saraf

(otak) khusus yang terkait dengan fungsi-fungsinya yang mendukung

lingkungan produksi bahasa (khususnya membaca). Uji klinis sangat penting

dilakukan untuk membuktikan apakah seorang anak PSD disebabkan karena

pengaruh dari sesuatu yang tidak terkait dengan masalah linguistik. Dengan

kata lain, apakah seseorang PSD dapat disebabkan karena pengaruh di luar

masalah kebahasaan. Inilah yang menjadi alasan kuat untuk melihat

hubungan anatara Uji Linguistis dan Uji Klinis.Hasil Uji Klinis yang dicapai

dalam penelitian ini berupa:

1. Pemeriksaan pendengaran: dilakukan di poli THT dengan memeriksa

secara keseluruhan fungsi pendengaran dengan menggunakan alat

audiometri. Berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan (-)

responden yang mengalami gangguan pendengaran, meskipun 5

(lima) di ataranya memiliki riwayat keterlambatan bicara.

Page 225: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

200

2. Pemeriksaan penglihatan dilakukan di Poli Mata: pemeriksaan meliputi

ketajaman penglihatan, lapangan pandang dan gangguan saraf

penglihatan menggunakan Snellen Test, Oftalmoskop. Dari hasil

pemeriksaan sama sekali tidak ditemukan (-) yang mengalami

gangguan pada mata.

3. Pemeriksaan saraf: dilakukan di Poli Saraf dengan memeriksa a)

fungsi kesadaran, b) fungsi kortikal luhur, c) fungsi saraf otak, d)

kekuatan e) rasa, dan f) fungsi keseimbangan. Merujuk hasil

pemeriksaan 2 (dua) diantara 10 (sepuluh) responden atau 50%

terindikasi memiliki gangguan pada saraf.

Selain yang disebutkan di atas, ditemukan pula 3 (dua) di antara 10

(sepuluh) responden atau 33.3% yang pernah mengalami riwayat cedera

kecelakaan, namun tidak dapat dibuktikan bahwa seseorang yang pernah

mengalami cedera pada waktu tertentu secara otomatis akan menyandang

gangguan berbahasa (khususnya disleksia).

Semua kasus yang disebutkan di atas termasuk uji klinis (faktor

internal) namun ada pula sumber data di luar yang disebutkan (faktor

eksternal) yakni riwayat orangtuapenyandang disleksia dan riwayat gangguan

persalinan orangtua saat anak PSD dilahirkan.

Demikian pula dengan riwayat gangguan persalinan normal orangtua

si anak dalam kandungan, dipandang perlu menjadi bagian dari pengujian ini

karena bukan tidak mungkin seseorang mengalami disleksia karena

Page 226: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

201

merupakan bawaan sejak lahir. Dari data pengujian ditemukan 2 (dua) dari

10 (sepuluh) responden ditemukan memiliki riwayat gangguan persalinan

orangtua. Dalam hal yang sama juga ditemukan 2 (dua) dari 10 (sepuluh)

responden yang berprilaku hiperaktif.

Tabel 19. Paparan Responden Berdasarkan Uji Klinis

No Nama Paparan Ket

1 IJ Gangguan Saraf*) Riawayat Terlambat Bicara*)

Kelompok perlakuan

2 NR Riwayat Terlambat Bicara Riwayat Cedera Kecelakaan

Sda

3 SR Prilaku Hiperaktif*) Riwayat Cedera Kecelakaan*)

sda

4 AR Gangguan Saraf*) Riwayat Orangtua Disleksia**)

sda

5 LK Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Orangtua Disleksia**) Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua**)

sda

6 MI Prilaku Hiperaktif*) Kelompok control

7 SN Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Cedera Kecelakaan*)

sda

8 IK Riwayat Orangtua Disleksia**) sda

9 AN Riwayat Terlambat Bicara*) sda

10 YK Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Orangtua Disleksia**) Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua**)

sda

Keterangan:

*)aspek internal **)akspek eksternal

Untuk membedakan gambaran otak anak yang menyandang disleksia

dan gambaran otak anak normal dapat dilakukan dengan pemeriksaan TMS

dan CT-Scan. Adapun pengujian TMS dan CT-Scan untuk mengetahui

Page 227: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

202

kondisi otak responden, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol

bersifat sama dan setara yakni memiliki gangguan pada Parieto-Temporo

Occipital (lihat Tabel 15).

Di bawah ini gambaran/rekaman perbedaan anak Normal dengan

anak Disleksia berdasarkan hasil CT-Scan

Gambar 27: Perbedaan Anak Normal dan Anak Disleksia

Melalui gambar di atas terlihat jelas perbedaan antara gambaran otak

penyandang disleksia dan otak anak normal. Semakin kurang ‘sel’ aktif dalam

diri seseorang, maka semakin tinggi pula derajat disleksia yang diderita.

Untuk mendapatkan gambaran seperti ini hanya dapat dilakukan melalui alat

fMRI (fungsional MRI)

2. Aspek Etiologi dan Lingkungan Keluarga

Aspek etiologi merupakan salah satu aspek yang amat penting

dibicarakan dalam penelitian disleksia. Secara etiologis, disleksia dipandang

bukan sesuatu yang berdiri sendiri tanpa sebab-sebab yang mudah diamati.

Page 228: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

203

Penyebab disleksia, dari konteks biologis misalnya, beberapa faktor

dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Faktor genetik atau keturunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor genetik

atau keturunan amat berpengaruh. Namun perlu dicatat bahwa disleksia

tidak menular tetapi menurun. Disleksia yang menurun dari generasi

orangtua keanak disebut developmental disleksia. Penelitian ini mengklaim

bahwa disleksia seperti ini masih berpeluang untuk diterapi tetapi tidak

semudah acquired dysleksia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh

Grigorenko menunjukkan bahwa antara 20-65 % anak yang disleksia juga

memiliki yang orangtua yang mengalami kesulitan membaca (Wenar dan

Kerig, 2006).

b) Masalah dalam migrasi neuron/saraf, penelitian oleh Simos menunjukkan

bahwa anak disleksia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak

normal, anak normal menggunakan hemisfer kiri sedangkan anak disleksia

hemisfer kanan (Wenar dan Kerig, 2006). Ada juga kerusakan akibat

hipoksi-iskemik saat prenatal di daerah parieto-temporo-oksipital yakni

lobus-lobus dalam otak. Perilaku berbeda anak disleksia dengan anak

normal dapat dilihat pada uraian sebelumnya.

c) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (faktor orangtua dari

ayah). Untuk kasus ini, perlu dilakukan penelusuran untuk mengetahui

riwayat penyakit kedua orangtua anak disleksia.

Page 229: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

204

Disleksia juga dapat dipengaruhi oleh sebab-sebab lain misalnya

kecelakaan / benturan pada kepala saat bayi (saat belum dapat memproduksi

ujaran bahasa). Dalam penelitian ini, ditemukan responden yang mengalami

keadaan seperti ini. Informasi penting ini diperoleh dari keterangan orangtua

subjek penelitian melalui wawancara. Meski demikian, derajat disleksia

seseorang tetap mengacu pada hasil uji linguistis dan uji klinis. Hasil

wawancara hanya merupakan pelengkap dan memperkuat hasil uji linguistis

dan uji klinis yang menjadi pusat pian penelitian ini.

Faktor penyebab disleksia selalu menjadi pertanyaan besar. Disleksia

merupakan sebuah bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh seseorang

yang disebabkan karena untuk melakukan kegiatan dalam membaca,

sebagian saraf di dalam otak tidak dapat bekerja dengan optimal. Secara

pasti hal ini belum dapat diketahui apa faktor penyebab utama dari kondisi

disleksia, akan tetapi tetap saja terdapat berbagai kemungkinan faktor

penyebab yang dapat diketahuii supaya bisa mengatasi disleksia yang sesuai

dengan faktor penyebabnya, berikut di antaranya:

a. Faktor Keturunan atau Genetik

Dari sisi kondisi disleksia, ada yang dikarenakan faktor keturunan atau

genetik, dipandang sebagai faktor pemicu kondisi disleksia yang paling

umum dan juga utama. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa sebuah

keluarga yang memiliki riwayat buta huruf sehingga akan cenderung

Page 230: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

205

mempengaruhi kondisi kesehatan terhadap keturunannya dimana akan

berisiko mengalami buta huruf. Buta huruf yang dimaksud yakni kondisi

disleksia.

b. Neuroanatomi

Susunan unsur otak atau neuroanatomi juga diketahui sangat

mempengaruhiterhadap sebagian besar penyandang dengan kondisi

disleksia serta kasus-kasus yang sering terjadi yang masalah otak sebelah

kiri, tepatnya, biasanya akan sering timbul di Wernicke’s area serta Broca’s

area sebab dua bagian ini adalah bagian otak yang berperan vital terhadap

proses bahasa.

Ketidakseimbangan untuk ukuran otak serta bentuk otak dapat

menjadi faktor yang mengakibatkan kondisi disleksia. Apabila seseorang

mempunyai otak kanan yang memiliki ukuran lebih besar sehingga biasanya

dapat meningkatkan risiko kondisi disleksia. Kondisi neuroanatomi ini, bisa

terjadi saat bayi masih terdapat di dalam kandungan ataupun sudah dewasa

yang akan terjadi sebagai akibat benturan.

c. Cedera Otak

Disleksia justru sangat sering diakibatkan oleh cedera pada otak serta

tidak selalu disleksia terjadi pada saat bayi masih ada di dalam kandungan.

Sejumlah kondisi disleksia juga dijumpai terjadi setelah anak lahir serta

bukan karena faktor genetik. Kecelakaan, mengalami trauma, ataupun

Page 231: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

206

mengalami stroke bisa mencederai bagian otak yang akan berujung

mengalami disleksia.

d. Gangguan Pendengaran dan Penglihatan

Faktor penyebab kondisi disleksia bisa berupa adanya gangguan pada

pendengaran serta visual dimana terdapat sejumlah kasus, penyandang

dengan kondisi disleksia pada akhirnya mengalami terhambat untuk

membaca sebab fungsi visualnya mengalami masalah. Misalnya gangguan

visual yang terjadi yakni mata bergerak tidak fokus, masalah terhadap saraf

penghubung mata serta pada otak, masalah di bagian retina mata.

Karena hal-hal ini, pada akhirnya tulisan yang akan dilihat pada

penyandang juga menjadi tidak bisa diterjemahkan dengan benar oleh bagian

otak. Pada penyandang yang mempunyai hambatan untuk membaca dan

juga menulis biasanya mengalami masalah seperti ini. Terdapat juga yang

diakibatkan oleh adanya gangguan pendengaran dengan demikian setiap

huruf yang penyandang tangkap serta diterjemahkan bunyinya akan tidak

sama yang pada akhirnya mengakibatkan penyandang akan kesulitan untuk

mengeja.

e. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan misalnya bagaimana seorang orangtua mengajak

anak untuk berkomunikasi atau mengajarkan bahasa dan juga proses

pengajaran bahasa yang dilakukan di luar rumah misalnya di sekolah yang

Page 232: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

207

dapat membuat anak sulit serta menjadikannya terhambat untuk hal

membaca.

Kelima faktor tersebut menjadi faktor penting diketahui untuk

melakukan terapi kepada anak penyandang disleksia.

3. Aspek Perbaikan dan Kerusakan Permanen

Telah diuraikan sebelumnya, disleksia terbagi atas dua bagian yakni

developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexia (diperoleh

karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental

dyslexia diderita sepanjang hidup si anak dan biasanya bersifat genetik.

Acquired dyslexia amat berpotensi menjadi developmental dyslexia jika

dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya terapi. Intevensi di sini dapat diartikan

salah satu diantaranya adalah terapi. Jika posisinya sebagai aquired

dyslexia, maka ia dapat diperbaiki melalui terapi, dan ini hal yang akan

menjadi sumbangan dari penelitian ini.

4. Strategi Perbaikan Kesalahan Membaca bagi Penyandang Disleksia

Kesalahan atau juga disebut kesulitan membaca bagi penyandang

disleksia dapat diperbaiki. Demikian prinsip dasar dalam terapi. Penelitian ini

setelah mengeksplorasi seluruh aspek kesulitan membaca, maka kesalahan

membaca tersebut, berdasarkan rekaman orang perorang.

Penelitian ini menganut prinsip pengamatan. Metode ini dimaksudkan

sebagai proses sistematik dari pencatatan pola-pola perilaku manusia, objek,

Page 233: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

208

dan peristiwa tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan subjek yang

diamati. Pengamatan dimaksudkan untuk melihat sesuatu yang bersifat

berulang, terpola, dan terkelompok. Selama berlangsungnya penelitian ini

peneliti mencermati sejumlah kesulitan membaca yang dialami subjek yang

dikelompokkan berikut ini.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kategori 1 memiliki tingkat

kesalahan terendah dibanding kategori 2 dan 4. Sementara kategori 3 berada

di atas kategori 2 dan 4. Ini berarti bahwa penyebutan vokal rangkap dan

huruf mirip memiliki tingkat kesulitan tersendiri bagi penyandang disleksia.

Pada kasus huruf mirip misalnya, yang terjadi adalah inversion ataumirroring

yakni membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan,

misalnya “dadu” menjadi “babu”, karena si penyandang mengalami

kegagalan membedakan ‘d’ dengan ‘b’.

Adapun pada kategori V, VI dan VII, dapat dipastikan memiliki tingkat

kesulitan tersendiri tak terkecuali dengan penyebutan kata bersuku dua

hingga bersuku banyak, membedakan pasangan minimal, hingga pada

tingkat membaca paragraf. Ini adalah logis, jika pada kategori III saja si

penyandang mengalami proses inversion atau mirrowing bagaimana pula

dengan membedakan pasangan minimal, misalnya ‘kambing’, ‘kembang’,

‘kumbang’ dan ‘kembung’.

Beberapa anak memang dilahirkan berbeda, begitu juga dengan anak

disleksia yang kesulitan dalam belajar, terutama dalam membaca dan

Page 234: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

209

menulis. Kesulitan belajar pada anak disleksia bukan disebabkan karena

sistem pengajaran yang buruk, namun lebih disebabkan karena adanya

gangguan pada otak. Mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia

memang bukan perkara mudah. Walaupun demikian tidak berarti kesulitan

belajar pada anak disleksia tidak dapat diatasi. Beberapa anak dengan

disleksia mampu mengatasi kesulitan belajar justru berhasil menjadi orang

hebat, seperti Albert Einstein, Agatha Christy, Muhammad Ali, dll.

Disleksia adalah salah satu jenis gangguan atau kesulitan belajar yang

umumnya memengaruhi kemampuan membaca serta pengejaan seseorang.

Gejala-gejala dalam disleksia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama

untuk tiap penyandang sehingga sulit dikenali, terutama sebelum sang anak

memasuki usia sekolah. Ada beberapa gen keturunan yang dianggap dapat

memengaruhi perkembangan otak yang mengendalikan fonologi, yaitu

kemampuan dan ketelitian dalam memahami suara atau bahasa lisan.

Misalnya membedakan kata “paku” dengan kata “palu”. Selain masalah pada

kepekaan fonologi, gejala disleksia juga bisa berupa hal-hal berikut :

Kurang memori verbal untuk mengingat urutan informasi secara lisan

dalam jangka waktu singkat, semacam perintah singkat seperti

menaruh tas dan kemudian mencuci tangan.

Kesulitan dalam mengurutkan dan mengucapkan sesuatu dalam kata-

kata, misalnya urutan angka, menamai warna-warna, atau benda.

Page 235: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

210

Kesulitan memroses informasi lisan, misalnya saat mencatat nomor

telepon atau didikte.

Indikasi disleksia biasa akan lebih jelas ketika anak mulai belajar membaca

dan menulis di sekolah. Anak Anda akan mengalami beberapa kesulitan

seperti:

Sulit memproses dan memahami hal yang didengarnya.

Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad.

Sering salah atau terlalu pelan saat membaca.

Sulit mengingat urutan, misalnya urutan abjad atau nama hari.

Sulit mengeja, misalnya huruf “d” sering tertukar dengan huruf “b”.

Cara baca yang terbata-bata atau sering salah.

Kesulitan mengucapkan kata yang baru dikenal.

Lamban menulis, misalnya saat didikte atau menyalin tulisan.

Memiliki kepekaan fonologi yang rendah.

Cara Terbaik untuk mengatasi disleksia pada anak atau untuk

meningkatkan kemampuan anak, orangtua mempunyai peranan yang sangat

penting. Langkah sederhana yang dapat dilakukan orangtua adalah dengan

membacakan buku yang menarik minat anak. Kegiatan ini dapat dilakukan

lebih dari sekali agar anak dapat terbiasa dengan teks dalam buku.

Menyemangati dan membujuk anak untuk membaca buku, lalu

mendiskusikan isinya bersama-sama akan berguna.

Page 236: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

211

Orangtua juga dianjurkan untuk tidak mencela saat anak melakukan

kesalahan dalam membaca sehingga kepercayaan diri anak juga dapat

dibangun. Di samping itu, melibatkan bantuan teknologi seperti program

komputer dengan perangkat lunak pengenalan suara juga umumnya dapat

bermanfaat.

Penanganan disleksia membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak

sedikit. Karena itu, keluarga serta penyandang dianjurkan untuk bersabar

menjalaninya. Dukungan serta bantuan dari anggota keluarga serta teman

dekat akan sangat membantu. Melakukan latihan multisensorik untuk

membantu anak penyandang disleksia belajar baca tulis.

Latihan multisensorik adalah cara mengajar yang melibatkan lebih dari

satu indra dalam satu waktu. Bagi anak-anak yang memiliki kesulitan

membaca, mungkin akan terasa sulit untuk memperhatikan semua detail

dalam kosakata baru, terutama jika kata tersebut memiliki ejaan yang tidak

biasa. Dengan penggunaan penglihatan, pendengaran, gerakan dan

sentuhan, teknik ini dapat sangat membantu proses belajarnya. Berikut

adalah beberapa dari banyak contoh latihan multisensory yang bisa

digunakan untuk membantu anak yang kesulitan membaca:

a. Ajarkan Penyebutan Kata Mendetail

Pertama, ajarkan anak dengan menunjukkan satu kata, misalnya kata

‘kucing’ dan bacakan untuknya dengan suara yang jelas dan lantang.

Kemudian, minta ia untuk coba mengeja huruf pembentuk kata tersebut.

Page 237: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

212

Tanyakan huruf hidup apa saja yang ia lihat, huruf apa yang ia lihat di awal,

tengah, dan akhir kata. Hal ini akan membantunya untuk menganalisis

kosakata tersebut dan memprosesnya dengan terinci. (kata /kucing/ yang

dieja akan mengenalkan si anak sejumlah huruf yang tidak sama). Setelah

mengenal kata ini, sebaiknya diuji dengan kata /kunci/ atau /kencing/ untuk

memancing kemampuan membedakan satu kata dengan kata yang lain.

b. Gunakan Hamparan Pasir

Kegiatan ini melibatkan indra penglihatan, sentuh, gerakan, dan suara

untuk anak bisa menghubungkan huruf dan suara. Mulai dengan menebarkan

segenggam pasir atau sesendok besar krim cukur (atau whipping cream) di

atas kertas atau meja. Kemudian, minta si kecil untuk membuat kata /kucing/

dengan menggunakan jari mereka di atas pasir atau krim tersebut. Selagi

mereka menulis, minta ia untuk mengeja bunyi setiap huruf yang ia buat. Beri

aba-aba untuk membaca kata tersebut secara bersama-sama. Biarkan ia

melihat gerakan mulut untuk menyebutkan kata tersebut.

c. Menulis di Udara dengan Telunjuk

Menulis di udara akan memperkuat hubungan antarsuara dan setiap

huruf melalui “memori otot”. Hal ini juga dapat membantu memperkuat anak

untuk bisa membedakan bentuk huruf yang membingungkan, misalnya “b”

dan “d”. Ajarkan anak menggunakan dua jari — telunjuk dan jari tengah —

untuk membuat huruf imajinasi di udara, sambil menjaga siku dan

Page 238: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

213

pergelangan tangan tetap lurus. Setiap kali ia membuat satu huruf di udara,

minta ia untuk mengeja bunyi huruf tersebut dengan keras.

Aktivitas ini juga akan membantu mereka untuk membayangkan

bentuk huruf yang mereka tulis. Anda mungkin bisa melakukan improvisasi

dengan meminta si kecil mengasosiasikan penulisan huruf dengan warna

tertentu, misalnya merah untuk “b”, kuning untuk “d”.

d. Menggunakan Balok Huruf

Menyusun suatu kata dengan balok mainan warna-warni berbentuk

huruf dapat membantu anak untuk menghubungkan suara dengan huruf.

Lakukan ini secara berulang dengan situasi riang tanpa tekanan dan tekanan.

Pastikan si anak menikmati permainan ini. Untuk membuat si anak tertarik,

manfaatkan warna-warni balok huruf dengan mengelompokkan konsonan

dan vokal.

Perlu diperhatikan, saat si anak menyusun kata, minta ia mengeja

bunyi huruf-huruf tersebut, kemudian minta ia menyebutkan kata tersebut

dengan jelas. Untuk memastikan bahwa anak disleksia mulai mengenal kata

dengan baik, siapkan sejumlah huruf balok dan tanyakan kata apa saja yang

mungkin ia bisa susun.

e. Baca - Tulis

Susun dengan selembar kertas karton, buat tiga kolom: Baca, Susun,

dan Tulis. Kemudian, sediakan spidol dan balok huruf warna-warni. Tuliskan

kosakata yang ingin dilatih di kolom “baca” dan minta anak untuk melihat

Page 239: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

214

huruf-huruf pembentuk kata tersebut. Kemudian, si kecil akan menyusun kata

tersebut di kolom “susun” menggunakan balok huruf. Terakhir, minta ia

untuk coba menuliskan kata tersebut di kolom “tulis” sambil

membacakannya dengan lantang.

f. Membaca Merek Produk

Setiap produk memiliki nama dan merek. Gunakan merek produk

untuk melatih si anak membaca. Jangan pernah bosan membimbing mereka.

Alihkan hal demikian seolah-olah menjadi suatu permainan yang

menyenangkan. Pada saat yang sama, orangtua dan lingkungan harus

memberi dukungan. Hal yang sama juga dapat menggunakan nama toko,

tulisan iklan, atau spanduk yang ditemui setiap bepergian.

g. Ketukan Jari

Menggunakan ketukan jari saat mengeja huruf mengajarkan anak

untuk merasa, meraba, dan mendengar bagaimana huruf-huruf tertentu bisa

membentuk satu kata, beserta bunyi keseluruhannya. Misalnya, kata /budi/.

Minta anak untuk mengetukkan jari telunjuk ke ibu jarinya saat mereka

mengucapkan huruf “b”, ketukkan jari tengah dengan ibu jari saat

mengucapkan huruf “d”, jari manis dengan ibu jari saat mengucapkan “u”,

dan kelingking untuk huruf “i”.

h. Asosiasi Gambar

Untuk beberapa anak, mengingat kata akan lebih mudah jika mereka

menghubungkannya dengan suatu gambar. Berikut salah satu cara untuk

Page 240: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

215

menyiasatinya. Tuliskan kata yang ingin dilatih pada kedua sisi kertas,

misalnya kata /dua/. Pada satu sisi, orangtua bersama si kecil bisa

menggambar langsung pada kata tersebut (misalnya, menambahan dua

buah mata di atas huruf U untuk menggambar wajah tersenyum; atau

menggambar angsa yang melambangkan bentuk angka “2”). Menggunakan

kata berilustrasi ini, latih si kecil untuk mengasosiasikan kata tersebut dengan

gambar dan huruf-huruf pembentuknya — dua pasang mata untuk mewakili

kata “dua”. Ketika anak Anda mulai lancar untuk membaca dengan cepat dan

lebih mudah, alihkan latihan ke sisi lainnya dimana hanya ada teks kata

“dua”.

i. Dinding sebagai Media Belajar

Untuk kata-kata yang sering terlihat atau dipakai dalam sebuah kalimat

utuh, misalnya “saya”, “di”, “ke”, “dari”, dan cetaklah kata-kata ini dalam

ukuran besar dan berwarna-warni, kemudian tempelkan dalam urutan

alfabetik di dinding kamar anak. Secara otomatis bisa mengenali sejumlah

kosakata dapat membantu anak lebih cepat tanggap, menjadi pembaca yang

lebih lancar. Paparan yang berulang adalah kunci sukses untuk orangtua.

Dinding kosakata memberikan anak paparan ekstra untuk kosakata-

kosakata penting ini. Dinding khusus ini juga memberikan akses cepat

terhadap kosakata tertentu yang mungkin mereka butuhkan selama aktivitas

membaca atau menulis.

Page 241: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

216

j. Membaca dan Mendengarkan

Dalam kegiatan ini, orangtua dan anak akan terlibat bersama-sama

membaca. Anak lebih suka dibacakan cerita padanya sambil ia juga

memperhatikan kalimat-kalimat dalam buku tersebut. Mereka bisa

berinteraksi dengan teks, menggarisbawahi kosakata penting atau

membulatkan kosakata yang panjang atau pendek.

Selama membaca bersama, anak juga bisa menulis ulang atau

menggambar visualisasi yang bisa ia hubungkan dengan kata tersebut untuk

mencocokkan kalimat.

Ada banyak alat dan strategi lainnya yang sama baiknya dalam

membantu anak lebih lancar untuk menulis-membaca. Mungkin akan

membutuhkan beberapa percobaan kanan-kiribagi orangtua untuk mencari

tahu mana yang terbaik bagi anak. Yang paling penting adalah usaha dan

dukungan yang konsisten dari orang-orang di sekitarnya untuk meningkatkan

rasa percaya diri anak untuk terus belajar.

5. Efektivitas Hasil Terapi LexiPal

LexiPal seperti disebutkan terdahulu merupakan alat terapi yang

dirancang seperti game agar disenangi oleh anak-anak. Setelah dilakukan

terapi selama beberapa minggu, terlihat adanya perbaikan yang

menggembirakan. Dengan menggunakan uji linguistis, terbukti bahwa terapi

LexiPal memberi dampak perbaikan pada anak PSD. Nilai suspek (Kelompok

Page 242: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

217

Perlakuan) sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 20 di

bawah ini:

Tabel 20. Perbandingan Nilai Suspek Sebelum dan Sesudah Terapi

No Responden Jenis

Kelamin

Nilai Suspek (Terapi) Keterangan

Sebelum Sesudah

1 IJ Lk 5.27 4.97

2 NR Lk 5.27 4.92

3 SR Pr 5.27 4.04

4 AR Pr 4.85 3.87

5 LK Pr 4.91 3.35

Sumber: Data Primer

Nilai suspek seorang anak disleksia ditentukan oleh ketidakmampuan

yang bersangkutan menyebutkan secara benar instrument (uji linguistis) yang

diberikan. Semakin tinggi tiingkat kesalahan anak, maka tentu semakin tinggi

pula nilai suspek yang dimilikinya. Berbeda halnya dengan hasil terapi, justru

capaian si anak disleksia ditentukan berapa jumlah nilai benar yang dicapai.

Sementara itu, perbandingan hasil yang dicapai antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol terlihat sebagai berikut:

Page 243: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

218

Tabel 21. Hasil yang dicapai Kelompok Perlakuan (Y)

dan Kelompok Kontrol (X) Setelah Pemberian Terapi

Kelompok Perlakuan (Y) Kelompok Kontrol (X)

Nama Jenis

Kelam

in

Nilai

Suspe

k

Nama Jenis

Kelam

in

Nilai

Suspe

k

IJ Lk 4.97 MI Lk 5.27

NR Lk 4.92 SN Pr 5.27

SR Pr 4.04 IK Pr 5.21

AR Pr 3.87 AN Lk 4.99

LK Pr 3.35 YK Pr 4.92

Total 21.15 Total 25.66

Hal yang dapat dijelaskan melalui sajian dalam tabel di atas

menunjukkan capaian hasil terapi dengan selisih dari 25.66 ke 21.15. Untuk

menemukan hasil penelitian dengan menggunakan metode eksperimental,

dirumuskan sebagai berikut:

X – Y = efektivitas hasil terapi

Dimana:

X = menyatakan standing position responden (tanpa perlakuan)

Page 244: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

219

Y = menyatakan hasil capaian setelah terapi (perlakuan)

Dengan demikian, didapatkan hasil sebagai berikut:

25.66 – 21.15 = 4.51

Berdasarkan hitungan statistik sederhana, efektivitas hasil terapi

adalah 4.51 atau terjadi perbaikan rata-rata sebesar 0.90 (4.51/5 = 0.90).

Kemudian, analisis statistik menggunakan Uji T berpasangan didapatkan

hasil dengan p = 0,023 (Tabel 22).

Tabel 22: Hasil Uji T-test Berpasangan pada Kelompok Perlakuan

Nilai Suspek Rerata Selisih IK95% Nilai p

Sebelum 5.11

0.88 (0.55) 0.20 – 1.57 0.023 Sesudah 4.23

Uji T- berpasangan; p<0.05

Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan

dengan nila p<0,023 pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah

dilakukan terapi.

Page 245: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

220

Untuk membandingkan perbaikan yang didapatkan antara kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan, maka dilakukan Uji T tidak berpasangan.

Hasilnya ditemukan signifikan dengan nilai p= 0.043.

Tabel 23: Hasil Uji T-Test Tidak Berpasangan

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Nilai Suspek Rerata Nilai p Perbedaan rerata

(IK95%)

Perlakuan 4.23 0.043 -0.90 (-1.76 - -0.04)

Kontrol 5.13

Uji T- tidak berpasangan: p<0.05

Demikian pula hasil uji statistik pada kelompok kontrol dan perlakuan

didapatkan hasil yang signifikan dengan P=0,043.

Jika dibandingkan sebelum diterapi (rerata 5,11) dan sesudah

dilakukan terapi (rerata 4,23), maka didapatkan perbaikan. Hal ini diperjelas

dengan uji statistik dimana didapatkan nilai p <0.05, yang berarti ada

perbedaan yang bermakna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian Harrar, et al (2014), Fitri Nurul Aini

(2013), Green, C.S. (2010), semuanya mendapatkan peningkatan

kemampuan membaca pada penyandang disleksia.

Demikian pula halnya jika dibandingkan antara kelompok kontrol (5,13)

dan perlakuan (4,23) dan dari hasil uji statistik didapatkan hasil yang

Page 246: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

221

bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil

yang didapatkan Nation K., (2010), Castles A. (2010), Swanson (2003),

hasilnya didapatkan perbaikan yang signifikan.

Selanjutnya, tahapan-tahapan yang dilakukan dalam terapi LexiPal

dapat dilihat di bawah ini:

Diagram 12: Aspek Tindakan Penanganan Disleksia

Untuk melakukan terapi LexiPal, harus dilakukan secara berjenjang.

Kerusakan pada aspek III hanya dapat dilakukan setelah uji linguistis. Hasil

uji linguistis akan dirujuk pada aspek II (mana yang terkait). Namun demikian,

Page 247: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

222

sebuah tindakan yang tepat hanya dapat dilakukan melalui perlakuan secara

terapi dari aspek I. Hal ini dimaksudkan agar prinsip skema dari seorang PSD

dapat ditata dengan baik. Hal yang terjadi selama ini, seseorang yang akan

menangani PSD langsung pada aspek III tidak membuahkan hasil maksimal

karena sesungguhnya akar permasalahan ada pada aspek I dan II.

Dengan struktur tahapan seperti disebutkan pada Grafik/Bagan di atas

menunjukkan bahwa terapi LexiPal tidak dapat dilakukan secara simultan

setiap tahapan. Pada setiap tahapan pun harus dilakukan secara tertib.

Misalnya 1) bentuk dan pola harus mendahului 2) persamaan, perbedaan,

dan perbandingan, demikian seterusnya.

Selanjutnya, ketika tahapan II sudah selesai, maka untuk berpindah ke

tahap III, harus dilakukan pola gabungan antara aspek I dan II untuk

berpindah ke tahap III. Sistematika ini sudah dirancang sedemikian rupa

sebagai sebuah bentuk terapi yang dapat meringankan beban si

penyandang.

Page 248: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

223

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Penelitian disleksia umumnya dilakukan secara terpisah antara bidang

linguistik dan neurologi. Penelitian ini dilaksanakan di bawah payung

neuropsikolinguistik. Dengan uji linguistik dan uji klinis telah memetakan

tingkat kesulitan belajar bagi anak Penyandang Suspek Disleksia (PSD).

Selanjutnya, dilakukan terapi untuk mengurangi kesulitan membaca dan

menulis penyandang disleksia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan terapi “Kinect-Based

Dyslexia Therapy” (LexiPal), beban kesulitan membaca anak PSD dapat

ditekan semaksimal mungkin. Bukti kuat keberhasilan terapi LexiPal terlihat

melalui metode eksperimental (dihitung selisih dari posisi kelompok

perlakukan dan kelompok kontrol pada akhir eksperimen). Perhitungan

dilakukan melalui perhitungan statistik sederhana.

Secara neurolinguistis, kajian disleksia merupakan kajian interdisipliner

antara dua bidang ilmu, yakni neurologi dan linguistik yang bernaung di

bawah payung neurolinguistik. Neurologi tidak dapat mengkaji tuntas

masalah disleksia tanpa bantuan ilmu linguistik, demikian pula sebaliknya.

Page 249: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

224

Selanjutnya, kegagalan berbahasa yang ditemukan pada anak

penyandang disleksia antara lain adalah terjadinya inakurasi dalam

membaca, menyebutkan kata tidak menurut tekanan kata, mengenal kata

secara terbalik (/kumbang/ menjadi /kambing/), kesulitan dalam mengurutkan

huruf-huruf dalam kata, sulit mengeja dengan benar, dan tidak menghiraukan

penggunaan tanda-tanda baca. Selain itu, kegagalan berbahasa pada

mereka juga disebabkan kesalahan dalam memahami isi tulisan yang dibaca,

kesulitan menyuarakan fonem dan memadukannya menjadi sebuah kata.

Kemudian, dalam kondisi sulit, mereka hanya mencoba menebak sejumlah

kata atau frasa, rancu dalam penggunaan kata depan (/ke/, /dari/, /dan/, /di

depan/, /di samping/, dan /di bawah/), dan membaca satu kata dengan benar

di satu paragraf, tetapi salah pada paragraf lainnya.

Media Kinect-Based Dyslexia Therapy dirancang seperti game agar

disenangi oleh anak-anak. Setelah dilakukan terapi selama beberapa

minggu, terlihat adanya efektivitas terapi (media Kinect-Based Dyslexia

Therapy) yang menggembirakan untuk meningkatkan kemampuan membaca

pada anak disleksia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini terlihat

jelas pada uji linguistis yang menunjukkan capaian hasil terapi, dengan

selisih dari 25.66 ke 21.15. Hal ini membuktikan bahwa hasil terapi LexiPal

memberikan dampak perbaikan pada anak Penyandang Suspek Disleksia

(PSD) kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Page 250: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

225

Dengan demikian, efektivitas perbaikan fonologis, leksikal, dan

sintaksis pada anak disleksia dapat dilihat pada capaian perbaikan sebanyak

4.51 atau terjadi perbaikan rata-rata sebesar 0.90 (4.51/5 = 0.90)

sebagaimana diuraikan terdahulu. Tentu saja semakin banyak remedial

terhadap penyandang disleksia, kecendrungan prospek mencapai perbaikan

semakin positif.

Berdasarkan simpulan tersebut, dapat dipastikan bahwa terdapat dua

tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan aquired

dyslexia (diperoleh karena gangguan atau perubahan cara otak kiri

membaca). Developmental dyslexia diderita sepanjang hidup pasien dan

biasanya bersifat genetik (keturunan). Developmental dyslexia dapat

memancing lahirnya aquired dyslexia. Aquired dyslexia dapat diperbaiki

melalui terapi, dan ini menjadi sumbangan penelitian ini.

B. Rekomendasi

Hampir dipastikan disleksia tidak dapat disembuhkan secara total.

Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa disleksia dapat diterapi.

Salah satu terapi yang dianjurkan adalah dengan menggunakan LexiPal.

Selain dengan terapi, penelitian ini merumuskan rekomendasi sebagai

berikut:

Page 251: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

226

1. Rekomendasi untuk Guru

Anak PSD seyogyanya duduk di barisan paling depan di kelas. Cara

ini amat membantu untuk memusatkan perhatian.

Amat diharapkan guru senantiasa mengawasi/mendampingi anak

PSD saat pemberian tugas di sekolah, misalnya guru meminta

untuk membuka buku halaman 14, pastikan anak PSD tidak

membuka halaman lain, misalnya halaman 41.

Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat

menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu

lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan

soal dalam bentuk tertulis di kertas).

Guru harus membangun komunikasi dengan orangtua murid untuk

saling mengisi hal yang dilakukan oleh guru di sekolah dan hal yang

mungkin dilakukan oleh orangtua di rumah.

Pastikan bahwa anak PSD harus selalu diberi sanjungan dan

motivasi. Jangan pernah memberi beban pelajaran yang berat

karena dikhawatirkan justru berdampak sebaliknya, yakni si anak

akan merasa putus asa.

2. Rekomendasi untuk Orangtua

Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras untuk berlatih

dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dengan

usahanya. Dukungan orangtua dan lingkungan keluarga amat

Page 252: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

227

menentukan. Kemudian, setiap proses belajar yang dilakukan perlu

diselingi dengan waktu istirahat yang cukup, dan sesekali dibawa ke

tempat rekreasi.

Hindari disharmonisasi dalam keluarga yang diketahui oleh si anak.

Jauhkan mereka dari beban psikologis yang dapat mengganggu

ketenangan mereka. Orangtua harus selalu memotivasi dengan

tidak menetapkan target.

Jalin komunikasi dengan guru. Penanganan anak disleksia menjadi

tanggungjawab bersama. Orangtua tidak dapat lepas tangan dari

upaya guru di sekolah.

3. Rekomendasi untuk Guru dan Orangtua

Perlu ada komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak

disleksia antara orangtua dan guru

Melatih anak menulis sambung sambil memerhatikan cara anak

duduk dan memegang pinsilnya. Tulisan sambung memudahkan

murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’

dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis

huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh

begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan

murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang

kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”,

Page 253: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

228

bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:” j, t, l, u, y, j”, bentuk hampir

serupa:”r, n, m, h”

Guru dan orangtua perlu melakukan pendekatan yang berbeda

ketika belajar matematika dengan anak disleksia.Pada umumnya

mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.

Selain itu, kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai

cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika.

Oleh karena itu, tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara

penyelesaian yang klasik jika cara tersebut sukar diterima oleh sang

anak.

Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif,

terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding

teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari

gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi

demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut.

Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-

esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Jika hal ini tidak segera

diatasi, akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi

selanjutnya. Orangtua dan guru seyogyanya adalah orang-orang

terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan

motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan

Page 254: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

229

anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia

dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

4. Rekomendasi untuk Pemerintah

Seyogyanya pemerintah mendukung pendirian pusat-pusat terapi

disleksi yang berlisensi di bawah pengawasan ahli disleksia.

Menyediakan tempat bermain bagi anak penyandang disleksi di setiap

perpustakaan umum dengan menyediakan tenaga terlatih untuk

menangani anak PSD.

Mengangkat guru profesional tenaga disleksia pada sekolah-sekolah

luar biasa yang ada.

Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan disleksia ini, disarankan

bagi orangtua yang mempunyai anak yang menunjukkan tanda-tanda seperti

disebutkan di atas, agar segera berkonsultasi dengan tenaga medis

profesional yang terpercaya di bidang tersebut atau menuju ke pusat terapi

disleksia. Semakin dini kelainan ini dikenali, semakin ”mudah” pula terapi

yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang

lebih parah.

Page 255: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

230

DAFTAR PUSTAKA

Aaron, P. G., and Phillips, S. 1986. “A Decade of Research with Dyslexic College Students.” Annals of Dyslexia, 36:44–68.

__________. 1988. “Is There a Thing Called Dyslexia?” Annals of Dyslexia.

38:33–49. Jurnal Psikolinguistik, No. II, tahun ke-9. __________, dan Endang Widyorini. 2014. Deteksi dan Penanganan Anak

Cerdas Istimewa (Anak Gifted) Melalui Pola Alamiah Tumbuh Kembangnya. Jakarta: Prenada.

Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:

Rineka Cipta. Aini, Fitri Nurul. 2013. “Implementasi Terapi Gestalt dalam Menangani Siswa

Disleksia Studi Kasus Siswa X di SD Negeri Ponokawan Krian Sidoarjo”. Laporan Penelitian.

Ali, Muhammad dan Mohammad Asrori. 2015. Cetakan Kesepuluh. Psikologi

Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Andika, Dutha Bachari. 2009. “Dasar-dasar Psikolinguistik.” Universitas

Pendidikan Indonesia Press VI, 120 Hlm.: 17 X 25 cm: Gambar: Tabel. Cetakan-1, Februari 2009.

Anjarningsih, Harwintha Y. 2011. Jangan Kucilkan Aku Karena Aku Tidak

Mahir Membaca (Pentingnya Identifikasi Dini Disleksia untuk Masa Depan Anak). Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.

Anna. 2003. An fMRI Investigation Basso, Aphasia and It’s Therapy. New

York: Oxford University Press. Aram, D.M., Ekelman, B.L., and Nation, J.E. 1984. “Preschoolers with

Language Disorders”: 10 Years Later. Journal of Speech and Hearing Research, 27: 232–244.

Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguistik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Bailhaqi, M.I.F. dan Sugiarmin, M. 2014. Memahami dan Membantu Anak

ADHD. Bandung: Refika Aditama.

Page 256: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

231

Bakker, et al. 1987. “Individualized Quantification of Brain-Amyloid Burden: Results of a Proof of Mechanism Phase Florbetaben PET Trial in Patients with Alzheimer’s Disease and Healthy Controls.” Eur J. Nucl Med Mol Imaging; 38:1702–1714.

Basir, Hasmawaty. 2012. “Faktor Prognostik Afasia Berdasarkan Tadir pada

Penyandang Stroke Akut di Beberapa Rumah Sakit Pendidikan di Makassar”. (Tesis S2 Tidak Dipublikasikan) Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Beacham, Nigel A. dan James L. Alty. 2006. “An Investigation Into The

Effects That Digital Media Can Have on The Learning Outcomes of Individuals Who Have Dyslexia”. Computers dan Education, 47, 74–93.

Bender, W.N., Rosenkrans, C.B., dan Crane, M.K. 1999. “Stress, Depression,

and Suicide Among Students with Learning Disabilities: Assessing The Risk”. Learning Disability Quarterly, 22, 143–156.

Benson, D.F. 1979. Aphasia, Alexia, and Agraphia. New York: Churchill

Livingstone. Bird, Helen, Sue Franklin, and David Howard. 2002. “Litle Words–Not Really:

Function and Content Word in Normal and Aphatic Speech”. Dimuat dalam Journal of Neurolingistics Seri 14 pp. 209-237.

Bluemstein, Sheila E. 1994. “Neurolinguistic: An Overview of Language –

Brain” dalam Language: Psycological and Biological Aspects”, ed. F.J. Newmeyer, pp. 210-238. Cambridge University Press.

Bondan, Riyani T. 2014. “Mengenal Disleksia dan Mengatasinya”. Makalah

Seminar Disleksia, Jakarta. Bruce, F. Pennington. 2012. “Developmental Dyslexia”, Lancet, 05-26,

Volume 379, Issue 9830, Pages 1997-2007,

Byrne Brian, Cara Delaland, Ruth Fielding‐Barnsley, Peter Quain; et al. 2002. “Longitudinal Twin Study of Early Reading Development in Three Countries: Preliminary Result.” Annals of Dyslexia; 52, Pro Quest Medical Library.pg.49.

Page 257: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

232

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Carlson, Neil R. 2016. Fisiologi Perilaku. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa:

Fatmah Nurjanti. Jakarta: Erlangga. Carrol. M, Julia. 2013. The Development of Phonological Awareness in Pre

School Children. Developmental Psychology Vol. 39.no 5.913‐923. Catts, H.W. 2012. Varieties of Developmental Dyslexia. Cognition; 47:149–

80. Castles A, Bates T, Coltheart M. John Marshall. 2006. The Developmental

Dyslexia. Aphasiology 20:871–92.4. Castles A, Wilson K., Coltheart M. 2011. “Early Orthographic Influences on

Phonemic Awareness Tasks Evidence from a Preschool Training Study”. Journal of Experimental Child Psychology.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Charles Wenar, Patricia Kerig. 2006. “Developmental Psychopathology: from

Infancy Through Adolescence”. Front Cover. McGraw-Hill, Medical, 696 pages.

Child Develoment Institue. 2008. “The Effect of Morphology on Spelling and

Reading Accuracy: a Study on Italian Children”, Journal List Front Psychol, PMC4237035.

Colledge, Essi, et.al. 2002. “The Structure of Language Ability at 4 Years: A

Twin Study”. Development Psychology. Vol 38. no.5, 749- 757.

Components of Reading and Dyslexia. Annals of Dyslexia, 53.201‐217. Corsini. 1987. “Transposition Errors in Visual Matching of Orthographic

Stimuli: A Study of Normal Children with Aplications for Orton’s Theory

of Developmental Dyslexia”. Neurolinguistics, Vol. 9, No. 4, Pp. 289‐295.

Creswell, John W. 2014. Research Design–Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 258: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

233

Crystal, David. 2015. Ensiklopedi Bahasa. Alih Bahasa: Rahmani Astuti. Bandung: Nuansa Cendekia.

Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis–Kajian tentang Penggunaan dan

Gangguan Bahasa Secara Klinis (diterjemahkan oleh Adolina, dkk.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik–Pengatar Pemahaman

Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Darmojuwono, Seliawati dan Kushartanti. 2000. Pesona Bahasa. Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

___________. 2002. Afasia: Deskpripsi, Pemeriksaan, dan Penanganannya. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

David, Kemmerer. 2014. Neurolinguistics: Mind, Brain, and Language. Department of Speech, Language, and Hearing Sciences; Department of Psychological Sciences Purdue University, West Lafayette, IN 47906, USA [email protected].

Delphie, Bandi. 2012. Pembelajaran Anak Tunagraha–Suatu Pengantar

dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Rafika Aditama.

Derek, Wood, dkk. 2012. Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Yogyakarta: Katahati.

Devaraj, S. Roslan. 2006. An Effective Conceptual Multisensory Multimedia Model to Support Dyslexic Children in Learning. Canada: International Media Publisihing.

Dewi M., dan Wawan, A. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap

dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

Dharmaperwira-Prins, Reni I.I. 1996. Disatria–Apraksia Verbal dan TEDYVA (Tes untuk. Disatria–Apraksia Verbal). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dye, M.W.G., Green, C.S., and Bavelier, D. 2009. “Increasing Speed of Processing with Action Video Games”. Curr. Dir. Psychol. Sci. 18, 321–326.

Eicher, J.D. Gruen, J.R. 2013. Dyslexic Problem. Boston, USA: International Media Publishing.

Page 259: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

234

Emily, B. Myers. 2005. “Neural Correlates of Phonetic Category Structure”.

Dissertation. Brown University (expected): Cognitive Science.

Emily S. Finn1,*, Xilin Shen2, John M. Holahan3, Dustin Scheinost4, Cheryl Lacadie2, Xenophon Papademetris2,4, Sally E. Shaywitz3, Bennett A. Shaywitz3, and R. Todd Constable2. 2014. “Disruption of Functional Networks in Dyslexia: A Whole - Brain, Data - Driven Analysis of Connectivity.” Philadelphia: Biology Psychiatry.

Endang, W. 2014. “Siswa SD yang Berkesulitan Belajar Umum dan

Penanganan Kesulitan Membaca.” Kajian Dikbud No. 13, Tahun IV. Hal. 20-35.

Fisher, Simon E. and John C. de Fries. 2002. Group 767‐780.

“Developmental Dyslexia: Genetic Dissection of a Complex Cognitive

Trait.” Vol. 3. Nature Publishing.

Ferrer, E. 2010. The Secret Life of Dyslexic Child, a Practical Guide for Parents and Educators. The Philip Lief Group, Inc.

Frank R. Vellutino, Jack M. Fletcher, Margaret J. Snowling, and Donna M.

Scanlon1. 2004. “Specific Reading Disability (Dyslexia): What Have

We Learned in the Past Four Decades?” Journal of Child Psychology

and Psychiatry 45:1 2004, pp 2–40.

Gabriel, J. 2009. “Annals of Dyslexia: Phonology, Reading Development, and

Dyslexia: a Cross‐Linguistic Perspective”. 52, Pro-Quest Medical

Library. pg. 141.

Ghazali, Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Jakarta: Dikti Depdiknas.

Gobin, et al. 1980. “Sex Differences in Developmental Reading Disability: New Findings from 4 Epidemiological Studies.” JAMA: Journal of the American Medical Association, 291(16)–12.

Gori, et al. 2013. “Dyslexia: A Complete Guide for Parents. John Wiley and Sons, Ltd, England General Reading Backwardness or Specific Reading Retardation.” Journal of Child Psychology and Psychiatry. 1985;26 (3): 407–21.

Page 260: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

235

Green, et.al. 2010. “Adapting Music Instruction for Students with Dyslexia”. Music Educators Journal; May; 90, 5; Academic Research Library.pg. 27.

Gregory, Robert J. 2013. Tes Psikologi: Sejarah, Prinsip, dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Gupta A, Singhal G. 2011. “Understanding Aphasia in a Simplified Manner”, Journal Indian Academy of Clinical Medicine.

Hadi, et al. 2013. “Pattern Visual Evoked Potentials in Dyslexic Versus

Normal Children”, J. Ophthalmic Vis Res. 10 (3): 274-278. Hani'ah, Munnal. 2015. Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi. Jakarta:

Diva Press. Hargio, Santoso. 2012. Cara Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Rineka Cipta. Harrar, V., et al. 2014. “Improved Probabilistic Inference as a General

Learning Mechanism with Action Video Games.Curr”. Biol. 20, 1573 1579.

__________, V. Jonathan Tammam, Alexis Pérez-Bellido, Anna Pitt, John

Stein, and Charles Spence. 2014. Multisensory Integration and Attention in Developmental Dyslexia. Philadelphia: Grill Inc.

Harwintha Y. Anjarningsih. 2006. Dissertation “Cross Linguistic Study to

Aphasia Validating a Test on Temporal and Aspectual Adverbs of Time Denoting Past Tense to Non-Brain Damaged Speakers of Bahasa Indonesia”. Netherland: University of Groningen.

Gearheart. 2014. “Impaired Visual Processing of Letter and Digit Strings in

Adult Dyslexic Readers.” Vision Research, 46(5):718–23. Helmur Mycklebust, Doris Jhonson. 2011. “Dyslexia in Children”, First

Published. September 1.

Heru, Nanang S. 2012. “Kajian Teori Psikolinguistik”. Diakses dari: http://eprints.uny.ac.id/.

Hickok, Gregory. 2015. The Myth of Mirror Neurons: The Real Neuroscience of Communication and Cognition. New York: W.W. Norton and Company.

Page 261: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

236

Hjikoktijen. 1986. “Development of Auditory Saltation and its Relationship to Reading and Phonological Processing”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; 42, 2;352. Proquest Medical Library.Pg.925.

Hornsby and Shear. 1983. Learning Disabilities. In E.J. Mash dan R.A.

Barkey (Eds), Child Psychopathology.pp.390‐35. New York: The Guilford Press.

Imandala, Iim. 2009. “Remedial Membaca dengan Metode Fernald Bagi Anak Disleksia.” [Online]. Tersedia: http://iimimandala.blogspot.com. [12 Desember 2011]

Indrawati, Sri dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK:

Sebuah Kajian Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1). Interpretation. Exceptional Children. 2009; 76(1):31–51.

Jensen, Eric. 2008. Brain-Base Learning: Pembelajaran Berbasis

Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria. 2005. Learning Disabilities, dalam: J.H.

Menkes, H.B. Sarnat (penyunting). Child Neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.

J. Ohene, Djan and R. Begum. 2008. Imaging - Genetics in Dyslexia:

Connecting Risk Genetic Variants to Buroimaging and Ultimately to

Reading Impairments. New York: Medical Library Publishing.

John. W. Santrock. 1995. Live Span Development (terjemahan). Jakarfta: Erlangga.

Jufri. 2002. Prinsip-prinsip Strategi Pembelajaran Bahasa. Makassar: State University of Makassar Press.

Kame'enui, Edward J., Deborah C Simmons, Michael D. Coyne. 2000. “Schools as Hosts Environments: Toward a Schoolwide Reading Improvement Model”. Annals of Dyslexia; 50, ProQuest Medical Library pg. 33.

Kerig, P.K., dan Wenar, C. 2006. Developmental Psychopathology: from Infancy Through Adolescence (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Kieran, Maher. 2006. “Examples of T1 Weighted, T2 Weighted and PD

Weighted MRI scans. Adapted with Permission by Kieran Maher using

Page 262: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

237

Graphic Converter”, from [http:// homepage.mac.com/kieranmaher/ait/ Applied Imaging Technology] by Heggie, Liddell and Maher.

Kleeck, Anne van., Ronald B. Gillam; Teresa U. McFadden. 2014. “A Study of

Classroom‐Based Phonological Awareness Training for Preschoolers.” American Journal of Speech Language Pathology; 7, 3; ProQuest

Medical Library.p.65‐76.Lancet, 379(9830). Kridalaksana, Harimurti. 2010. Forum Linguistik Pascasarjana 2010. Depok:

Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Leonard Christiana, Mark Eckert, 2 Barbara Given, 3 Berninger Virginia, 4

Guinevere Eden. 2013. “Individual Differences in Anatomy Predict Reading and Oral Language Impairments in Children Brain Advance”, Access Published September 29.

Lerner, J. 2003. Learning Disabilities: Theories, Diagnosis and Teaching Strategies. Boston: Houghton Mifflin Company.

Ling, Jonathan, Jonathan Catling. 2012. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Lyon, G.R. Fletcher, J.M., Shaywitz, S.E., Shaywitz, B.A.,Torgesen, J.K., Wood, F.B., Schulte, A., Olson, R. 2001. “Rethinking Learning Disabilities. Thomas B. Fordham Foundation”. (Online). Sumber: http://www.edexcellence.net/library/special_ed/special_ed_ch,12. Pdf.

__________, G.R., Shaywitz S.E, Shaywitz B. A. 2003. “A Definition of Dyslexia”. Boston: Annals of Dyslexia, 53:1–9.

Lyytinen, Paula. 2015. “Language Development and Literacy Skills in Late Talking Toddlers with and without Familial Risk for Dyslexia”. Annuals

of Dyslexia. Vol.55.no.2.166‐192.

Marat, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik – Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama.

Marshall, Catherine, Margaret, Snowling, and Pater, Bailey. 2004. “Rapid Auditory Processing and Phonological Ability in Normal Readers and Readers with Dyslexia”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; Dec 2004; 47, 6; ProQuest Medical Library.pg.1301.

__________, Catherine M., Margaret J. Snowling, Peter J. Bailey. 2001. “Rapid Auditory Processing and Phonological Ability in Normal

Page 263: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

238

Readers and Reading”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; 44, 4; ProQuest Medical Library.pg.925.

Martini, Jamaris. 2014. Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan Penanggulangannya. Cetakan ke-1. Jakarta: Ghalia Indonesia.

McGrath, L.M., Smith S.D., Pennington B.F. 2006. “Breakthroughs in The Search for Dyslexia Candidate Genes. Trends in Molecular Medicine”, 12(7):333–41. PubMed: 16781891.

Miller‐Shaul,Shelley, Zvia Breznitz. 2012. “Electrocortical Measures During a Lexical Decision Task: A Comparison Between The Journal of Genetic Psychol”, PubMed: 16781891.

Morais, J., Cognition 1979. “Defining Dyslexia as a Developmental Language

Disorder”, Annals of Dyslexia 36:44–68.

Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan terhadap Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Nuha Litera.

Mustafa, dkk. 2013. “Learning Model Development for Dislexia Students of

Initial Inclusive Elementary Schools at Makassar”. Lembaga Penelitian

UNM Makassar.

Nation K., Cocksey J., Taylor J.S.H., Bishop D.V.M.A. 2010. “Longitudinal

Investigation of Early Reading and Language Skills in Children with

Poor Reading Comprehension”. Journal of Child Psychology and

Psychiatry, 51(9):1031–9. (PubMed: 20456536).

NINDS. 2011. “Impaired Phonological and Orthographic Word

Representations Among Adult Dyslexia”. The Journal of Genetic

Psychology; 166, 2; ProQuest Medical Library pg. 215.

Nini, Subini. 2012. Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak. Yogyakarta: Javalitera.

Nirmala, M.A, Saputra, M.U. 2015. LexiPal: Aplikasi Belajar Membaca

Permulaan untuk Anak-anak Disleksia. Yogyakarta: Nextin Indonesia. Nurhasanah dan Didin Tumianta. 2007. Kamus Besar Bergambar Bahasa

Indonesia untuk SD dan SMP. Jakarta: PT Bina Sarana Pustaka.

Page 264: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

239

Ott, Sclikowitz. 1997. “Reading Comprehension Skills of Young Adults with Childhood Diagnoses of Dyslexia.” Journal of Learning Disabilities; Nov/Dec; 36, 6; Roquest Medical Library. Pg.538.

Otto, Beverly. 2015. Perkembangan Bahasa pada Anak Usia Dini. Edisi

Ketiga. Jakarta: Prenadamedia Group. Owens, R.E. 2001. Language Development an Introduction, 5th edition. New

York: Allyn and Bacon. Parker, S., Zuckerman, B., Augustyn, M. 2013. Developmental and

Behavioral Pediatrics (2nd). New York: Allyn and Bacon. Partiwisastro. 1984. Diagnosing Learning Disorders: A Neuropsychological

Framework (2nd ed.). New York: The Guilford Press. Pennington, B. F. 2011. “Controversial Therapies for Dyslexia.1. Vol. 37.

Perspectives on Language and Literacy”, A Quarterly Publication of the International Dyslexia Association.

Peterson, R.L., Pennington B.F., Shriberg L.D., Boada R. 2017. “What

Influences Literacy Outcome in Children with Speech Sound Disorder?” Journal of Speech Language and Hearing Research. 2012; 52(5):1175–88

__________, R.L., dan Pennington, B.F. 2012. Developmental Dyslexia.

Boston: Lancet 379. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta:

Muhammadiyah University Press. Pringle, Morgan. 1987. “Dyslexia”, dalam: K.F. Swaiman, S. Ashwal, DM.

Ferreier (penyunting). “Pediatric Neurology Principles and Practice”, volume 1, edisi ke-4. Mosby, Philadelphia.

Prins, Reni Dharmaperwira dan Willemijn Maas. Afasia: Deskripsi,

Pemeriksaan, Penanganan. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Pumprey and Reason. 1991. The Secret life of Dyslexic Child, a Practical

Guide for Parents and Educators. New York: The Philip Lief Group, Inc.

Page 265: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

240

Qadariah, Siti, dkk. 2014. “Pengaruh Brain Gym Terhadap Penurunan Frekuensi Kesulitan Membaca pada Anak Disleksia”, Asosiasi Disleksia Indonesia.

Rahim, F. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Ramus, Franck. 2001. “Talk of Two Theories”, Macmillan Magazines Ltd. Nature. Vol 412, 26 July 2001.

Rate. 2011. “An Early Predictor of Reading Disability”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research;15:3.; ProQuest Medical Library.pg.289. Reading Difficulties as a Function of IQ: An Update. Behavior

Reid. 2004. “Dyslexia: A Complete Guide for Parents. John Wiley and Sons”, Ltd, England Related to Response to Reading Instruction: A Meta-Analytic.

Rifa, Hidayah. 2007. Kemampuan Baca-Tulis Siswa Disleksia. Jakarta:

Rineka Cipta.

Robin, et al. 2012. “Neural Systems for Compensation and Persistence:

Young Adultoutcome of Childhood Reading Disability”. Biological

Psychiatry, 54 (1):25–3.

Roongpraiwan. 2012. “Structural Abnormalities in The Dyslexic Brain: A Meta-

Analysis of Voxel-Based Morphometry Studies”. Human Brain Mapping, 34, 3055-3065. doi: 10.1002/hbm.22127.

Rydz D., Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., Majnemer A., et.al. 2006. “Screening for developmental delay in the setting of a community pediatr clinic: A Prospective Assessment of Parent-Report Questionnaires”. Pediatrics, 118;e1178-e1186.S. Devaraj, S. Roslan. 2006. Apa itu Disleksia, Panduan untuk Ibu Bapak, Guru dan Kaunselor, dalam: S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.

Said, Ikhwan M. 2009. “Perkembangan Kompetensi Berbahasa Penyandang Afasia Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Stroke Iskemik” (Disertasi Tidak Diterbitkan) Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Page 266: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

241

Sanapiah, Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA319.

Santrock, John W. 2015. Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Alih Bahasa: Tri

Wibowo. B.S. Jakarta: Kencana. Saputra, Mega. 2015. Aplikasi LexiPal. Yogyakarta: UGM Press. Sastra, Gusdi. 2010. Neurolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta. Sastry, Anjali dan Blaise Anguirre. 2012. Parenting Anak dengan Autisme:

Solusi, Stategi, dan Saran Praktis untuk Membantu Keluarga Anda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schneider, Wolfgang. 2016. “Training Phonological Skills. Dyslexia in

Chinese”, Clues from Cognitive Neuropsychology. Vol. 92. No. 2.284‐295.

Shaywitz, S. 2003. Overcoming Dyslexia: A new and Complete Science-

Brain. Mosby: Philadephia. ---------------, Bennett. 2006. “Dyslexia”, dalam: K.F. Swaiman, S. Ashwal,

D.M. Ferreier (penyunting). “Pediatric Neurology Principles and Practice”, volume 1, edisi ke-4. Mosby: Philadelphia.

Senechal, MoniQue,and Jo‐Anne LeFevre. 2012. “Parental Involvement in

The Development of Childre’s Reading Skiill: A Five‐Year Longitudinal Study”. Child Development, volume 73. No. 2. Pages: 445‐460.

Sidiarto, Lili dan Sidiarto Jokosetio. 2007. Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada Anak. Jakarta: UI Press. Simanjuntak, Mangantar. 1990. Teori Linguistik Chomsky dan Teori Linguistik

Wernicke - ke Arah Satu Teori Bahasa yang Lebih Sempurna. Jakarta:

Radar Jaya Offset.

Singer, Elly. 2005. “The Strategies Adopted by Dutch Children with Dyslexia

to Maintain Their Self”. Journal of Learning Disabilities; Sep/Oct 38, 5;

ProQuest Medical Library pg.411.

Page 267: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

242

S. Purkayastha. 2012. “Perceptual Discrimination of Speech Sounds in Developmental Dyslexia. Journal of Speech, Language, and Hearing Research”, Apr; 44, 2; ProQuest Medical Library/pg. 384.

Smith C., Hill J., “Language Development and Disorders of Communication

and Oral Motor Function”, in Molnar G.E., Alexander M.A., editors. “Pediatric Rehabilitation”. Philadelphia: Hanley and Belfus;1999.p. 57-79.

Smythe, E. and Salter. 2004. “A Comparison of Multiple Methods for The

Identification of Children with Reading,” Journal of Learning Disabilities; 35, 3; ProQuest Medical Library.pg.234.

Soetjiningsih, dkk. 2016. Tumbuh Kembang Anak. Edisi Kedua. Jakarta:

EGC. Solso, Robert L., et.al. 2016. Psikologi Kognitif. Alih Bahasa: Mikael

Rahardanto dan Kristianto Batuadji. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Solek and K. Dewi, 2013. Dyslexia Today, Genius Tomorrow. Bandung:

Dyslexia Association of Indonesia Production. Somantri, T. Sutjihati. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Cetakan Keempat.

Bandung: Refika Aditama. Sternberg, R.J. 2006. “Cognitive Psychology”. Belmont, C.A. Thomson

Wadsorth. Study. JAMA: Journal of the American Medical.

Stuebing, K.K., Barth, A.E., Molfese P.J., Weiss B, Fletcher J.M. 2014. Developmental Dyslexia. New York: Grill Publishing.

Subini, Nini. 2011. Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak. Yogyakarta:

Javalitera Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabet. Sulastri. 2008. “Peningkatan Kemampuan Membaca Melalui Penggunaan

Papan Flanel di Kelas Satu SD Negeri 17 Kampung Manggis Kota Padang Panjang”. Jurnal Guru .Vol. 5 (1): 49-63.

Stark, David D. 1988. Magnetic Resonance Imaging. Toronto: The CV Mosby

Company.

Page 268: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

243

Steven, L. Bressler In: M.A. Arbib (Ed.). 2012. “The Hand bookof Brain Theory and Neural Networks”, MIT Press, Cambridge M.A. pp.412-415. Event-Related Potentials StevenL. Bressler.

Tallal, P. 1984. “Temporal or Phonetic Processing Deficit in Dyslexia?” That is

The Question.” Applied Psycholinguistics, 5(2), 167-169. Tammasse dan Jumraini. “Gangguan Berbahasa Disleksia: Suatu Perkenalan

Awal”. 2015. (Prosiding) Seminar Antarbangsa IV Arkeologi, Sejarah, dan Budaya di Alam Melayu (ASBAM IV), Langkawi, Malaysia.

__________. 2016. “Dyslexia Speech Problem. A Neurolinguistics

Perspective”. (Prosiding) The 1st Annual Seminar on English Language Studies, “Bringing up an Issue of Shaping New Trend in English Language Studies, Linguistics, Literature, Education, and Culture”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.

__________. 2017. “Mengatasi Kesulitan Belajar Disleksia (Studi

Neuropsikolinguistik)”. (Prosiding) Seminar Antarbangsa VI Arkeologi, Sejarah, dan Budaya di Alam Melayu (ASBAM VI), JIlid 2, Johor Bahru, Malaysia.

__________. 2017. “Disleksia Bisa Diperbaiki”. Makalah Seminar Sehari

“Penanganan Anak Suspek Disleksia di SLB Negeri 2 Makassar”, LP2M Universitas Hasanuddin.

__________. 2017. “Brain and Relationship”. (Prosiding) The 2nd Annual

Seminar on English Language Studies, “The Role of Language and Culture, Literature, Education, and Culture in the Development of “Nation Character Building”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.

__________. 2017. “Relationship Between Language and Though”.

(Prosiding) The 2nd Annual Seminar on English Language Studies, “The Role of Language and Culture, Literature, Education, and Culture in the Development of “Nation Character Building”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.

__________. 2017. “LexiPal Therapy to Rehabilitate Learning Difficultly of

Dyslexic Children”. Imperial Journal of Interdiciplinary Research.

Page 269: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

244

Temple, E., Deutsch,G.K., Poldrack, R.A., Miller, S.L., Tallal, P., Merzenich, M.M., dan Gabrieli, J.D. 2003. “Neural Deficits in Children with Dyslexia Ameliorated by Behavioral Remediation: Evidence from functional MRI. Proceedings of the National Academy of Sciences”, 100(5), 2860-2865The Boston Globe Abnormal Brain Patterns Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff.

Thompson, Jenny. 2010. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Esensi.

Tiel, Julia Maria van. 2011. Anakku Terlambat Bicara. Jakarta: Prenada Media Group.

Titone, Renzo dan Marcel Danesi. 1985. Applied Psycho-Linguistics – An Introduction to the Psychology of Language Learning and Teaching. Canada: University of Toronto Press.

T.L. Harris dan R.E Hodges. 2007. “Dyslexia, in Kindergarten Children”,

Journal of Educational Psychology. 84. 364‐370. Tomasello, M. 1999. The Cultural Origins of Human Cognition. London:

Harvard University Press Torgessen, JK. Morgan, S.T., Davis, C. 1992. “Effect of Two Types of

Phonological Awareness Training on Word Learning in Kindergarten Children”. Journal of Educational Psychology. 84. 364‐370.

T. Wood Chloe Prado, Matthieu Dubois, et al. 2006. The Eye Movements of

Dyslexic Children During Reading and Visual Search. New York: Impact of the Visual Attention Span.

Vidyasagar, T.R., and Pammer, K. 2010. “Dyslexia: a Deficit in Visuo-Spatial

Attention, Not in Phonological Processing”, Journal Trends Cogn. Sci. 14, 57–63.

Wade, Carole dan Carol Tavris. 2007. Psikologi. Jilid 1. Edisi Kesembilan.

Jakarta: Erlangga. Wadlington, Elizabeth. 2014. “Effective Language Arts Instruction for

Students with Dyslexia”. Journal, Preventing School Failure; 44, 2; Academic Res

Page 270: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

245

Wahyudi. 2006. “Pelaksanaan Remedial Bagi Anak Kesulitan Belajar Membaca Permulaan di Kelas II SD Negeri 07 Silaing Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang”, Jurnal Guru. Vol. 3 (1) : 71-84.

Weggelaar, Cornelis. 2006. “Kinesthetic Feedback and Dyslexic Students

Learning to Read and Write”. Et Cetera; 63, 2; Academic Research Library.Pg. 144.

Widyastono. 1998. “Siswa SD yang Berkesulitan Belajar Umum dan

Penanganan Kesulitan Belajar Membaca”. Kajian Dikbud no.013

Tahun IV Juni 1998.,hal. 20‐27. Wikipedia 2014. “Kemampuan Kognisi”. Diakses: http: id.wikipedia.org/ wiki/Kognisi. Willcutt E. G., Pennington B.F. 2000. “Psychiatric Comorbidity in Children and

Adolescents with Reading Disability.” Journal of Child Psychology and Psychiatry”, 41(8):1039–48. [PubMed: 11099120].

Wing, Bonnie. 2015. “Phonological Processing Skills and Early Reading

Abilities in Hongkong Chinese Kindergarteners Learning to Read English as a Second Language”. Journal of Educational Psychology,

Vol. 97. No.1,81‐87. Wolf, Maryanne. 2009. “The Double Hipotesis for Developmental Dyslexia”.

Journal of Educational Psychology. Vol.91.No3.415438. Wolfgang Schneider. 2000. “Traning Phonological Skills. Dyslexia in

Chinese”, Clues from Cognitive Neuropsychology. Vol. 92. No. 2.284‐295. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Yoshimasu K., Barbaresi W.J., Colligan R.C., Killian J.M., Voigt R.G., Weaver

A.L., dan Katusic S.K. 2010. “Gender, Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder, and Reading Disability in a Population-Based Birth Cohort”. Pediatrics, 126 (4) PMID: 20876182.

Yulianti. 2011. “Efektivitas Penggunaan Audiovisual dalam Meningkatkan

Kemampuan Membaca Awal pada Anak Berkesulitan Belajar Membaca.” Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Page 271: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

246

SUMBER INTERNET:

1. http://forums.merdeka.com/threads/kesehatan/ 3028-7 – “tokoh-

terkenal-yang-ternyata-menyandang-disleksia.”html (diakses pada

tanggal 14 September 2015).

2. “https://id.wikipedia.org/wiki/ “Disleksia” (diakses pada tanggal 15

September 2015).

3. https://id.wikipedia.org/wiki/ “Neurolinguistik” (diakses pada tanggal 20

Sepetember 2015).

4. https://id.wikipedia.org/wiki/ “Psikolinguistik” (diakses pada tanggal 22

September 2016.

5. "NINDS Dyslexia Information Page. National Institute of Neurological

Disorders and Stroke.” National Institutes of Health. 11 September

2016.

Page 272: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

247

Lampiran-lampiran

Page 273: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

248

Lampiran 1

SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) DI SULAWESI SELATAN*)

No. Kota /Kabupaten Jumlah Siswa Rombel

1. Makassar 20 1102 270

2. Maros 2 110 30

3. Bone 8 227 74

4. Sinjai 1 59 15

5. Bulukumba 2 96 37

6. Selayar 1 49 20

7. Bantaeng 1 52 14

8. Jeneponto 4 130 35

9. Takalar 6 67 39

10 Gowa 5 222 80

11. Pangkep 1 54 18

12. Barru 1 13 9

13. Parepare 2 75 27

14. Pinrang 1 26 11

15. Sidrap 1 39 14

16. Soppeng 5 123 61

17. Wajo 1 44 17

Page 274: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

249

18. Enrekang 1 27 9

19. Toraja 3 35 19

20. Toraja Utara 1 32 9

21. Palopo 2 134 28

22. Luwu 3 212 54

23. Luwu Utara 3 98 32

24. Luwu Timur 2 44 18

Total 78 3.050 940

*) diolah pada bulan Januari 2017 dari data Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan (2016)

Page 275: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

250

Lampiran 2

LEMBAR UJI LINGUISTIS

Nama Siswa = …………….. (inisial)

Kelas = ……………..

Sekolah = ……………..

Tanggal Pengujian = ……………..

1. Penyebutan Vokal

A i U o E

2. Penyebutan Konsonan

B c d F g H j

K l m N p Q r

S t v W x Y z

Page 276: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

251

3. Penyebutan diftong (ai, au, oi)

surau kaloi limau

amboi landai pantai

4. Penyebutan Konsonan-Vokal

ka te si

ku to da

5. Penyebutan Vokal-Konsonan

uk ut om

il ik as

Page 277: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

252

6. Penyebutan Vokal Rangkap

ai ia oe

ei ua iu

7. Penyebutan Gabungan Huruf Konsonan-Vokal-Konsonan

lap bor min

bir bar pis

8. Penyebutan Gabungan Kata Bervokal-Konsonan-Vokal

oto apa itu

iga ini aku

Page 278: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

253

9. Penyebutan Kata Bervokal Rangkap

surau Balai pantau

lebai Pulau andai

10. Penyebutan Huruf Mirip

p – q m – n b – d

i – j u – w h – n

11. Penyebutan Gabungan Konsonan-Vokal / Vokal-Konsonan

malam rata bubuk

sayap susut tidur

Page 279: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

254

12. Penyebutan Vokal – Nasal (bunyi sengau)

eng ung ang

ong ing Eng

13. Penyebutan Kata Bersuku Dua

lampu tuba gula

tolak suruh malas

14. Penyebutkan kata bersuku tiga

pahlawan kelereng menulis

terlanjur kecubung belanja

Page 280: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

255

15. Penyebutan kata bersuku empat

kendaraan menantikan pedesaan

perhatian berkelana penulisan

16. Penyebutan Kata Bersuku Banyak

mempertanggungjawabkan berkesinambungan

diperjualbelikan mengatasnamakan

17. Membedakan Pasangan minimal 2 kata

malam malang makan makin

tahap tarap mencuci mencuri

Page 281: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

256

cari ciri bungkuk bengkak

18. Membedakan pasangan minimal 3 kata

gantung ganteng gandeng

umur ukur ulur

bingkai bangkai tangkai

panjat pantat pangkat

19. Membaca kalimat

Ayah pergi ke kebun Bibi menyapu lantai

Adik bermain bola Kakak membakar rumput

Page 282: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

257

Engkau boleh masuk Kita harus rajin

Aku sayang ibu dan ayah Saya pandai membaca

20. Membaca paragraf

1) Nama saya Wawan. 2) Setiap hari saya bangun pagi.

3) Sebelum ke sekolah saya mandi dan sarapan pagi.

4) Teman saya bernama Parman. 5) Setiap pagi dia mandi

sebelum ke sekolah. 6) Di sekolah saya belajar membaca

dan menulis. 7) Parman pintar membaca dan berhitung

8) Guru saya bernama Ibu Siti. 9) Dia sangat sayang kepada

saya, 10) karena saya pintar membaca

Deskripsi singkat keadaan subjek penelitian sebelum pengujian dimulai:

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

.............................................................................

Deskripsi keadaan subjek penelitian saat pengujian berlangsung:

Page 283: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

258

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

............................................................................................................................

.................................

Berdasarkan Uji Linguistis, suspek disleksia dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. …………………………………………………………………………………

1. ………………………………………………………………………………..

2. ………………………………………………………………………………..

3. ………………………………………………………………………………..

4. ………………………………………………………………………………..

5. ………………………………………………………………………………..

6. ………………………………………………………………………………..

Page 284: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

259

Lampiran 3

FORMAT RANGKUMAN HASIL UJI LINGUISTIS

No. Aspek yang Diamati / Diuji Terpantau

Keterangan

Sukses gagal

1. Penyebutan Vokal

2. Penyebutan Konsonan

3. Penyebutan diftong

4. Penyebutan gabungan

Konsonan-vokal

5. Penyebutan gabungan Vokal-

konsonan

6. Penyebutan gabungan vokal

rangkap

7. Penyebutan gabungan huruf

Konsonan-vokal-konsonan

8. Penyebutan gabungan kata

bervokal-konsonan-vokal

9. Penyebutan kata bervokal

rangkap

10. Penyebutan huruf mirip

11. Penyebutan gabungan

konsonan – vokal / vokal -

konsonan

Page 285: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

260

12. Penyebutan gabungan diftong

– vocal / vokal - diftong

13. Penyebutan kata bersuku dua

14. Penyebutan kata bersuku tiga

15. Penyebutan kata bersuku

empat

16. Penyebutan kata bersuku

banyak

17. Membedakan pasangan

minimal dua kata

18. Membedakan pasangan

minimal tiga kata

19. Membaca Kalimat

20. Membaca Paragraf

Page 286: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

261

Lampiran 4

LEMBAR UJI KLINIS

Nama Sisiwa = ................................ (disamarkan)

Kelas = …………………...…

Sekolah = ..................…………

Tempat pengujian = ………………………

A. Pemeriksaan THT (Pendengaran)

Tanggal Bagian yang

diperiksa

Hasil

Pemeriksaan

Keterangan

Simpulan pemeriksaan:

……………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………

………………………………………………………………

Dokter Pemeriksa,

-----------------------------

Page 287: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

262

B. Mata

Tanggal Bagian yang

diperiksa

Hasil

Pemeriksaan

Keterangan

Simpulan pemeriksaan:

……………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………

…………………………………………

Dokter yang memeriksa,

-----------------------------

Page 288: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

263

C. Saraf

I. Langkah dan Prosedur

1. Anak Suspek Disleksia (PSD) berada di klinik 20 menit sebelum

pemeriksaan klinis dimulai, dan diberitahu tindak klinik yang akan

dilakukan. Amat baik jika ia didampingi oleh orangtua.

2. PSD dalam kondisi sehat dan tidak dalam keadaan tegang, dan telah

dipastikan bahwa yang bersangkutan sudah makan.

3. PSD dan orangtua memperoleh penjelasan mengenai alat yang akan

digunakan dan alat tersebut aman bagi si PSD.

4. PSD dan orangtua memperoleh penjelasan bahwa pemeriksaan ini

berkaitan dengan penelitian.

5. Pemeriksaan kepada PSD dilakukan Dokter Neurologi dibantu oleh

Asisten Dokter Neurologi.

6. Semua biaya pemeriksaan ini ditanggung oleh peneliti.

II. Pelaksanaan Pemeriksaan

1. Dengan peralatan Computed Tomography Scan, PSD diminta berbaring /

duduk di tempat yang sudah disiapkan, asisten dokter memasang alat

dan memastikan peralatan siap beroperasi, dan pemeriksaan dimulai.

2. Pemeriksaan alat CT-Scan akan mendeteksi dan merekam aktivitas

(kondisi) otak PSD, mendeteksi bagian yang kemungkinan mengalami

gangguan yang mengakibatkan timbulnya disleksia.

3. Untuk kepentingan pemeriksaan, dokter memberi surat keterangan ke

sekolah / wali kelas masing-masing.

4. Pasien dan orangtuanya berhak mengetahui cara pemeriksaan, hasil

pemeriksaan dan hal-hal yang terkait dengan pemeriksaan ini.

Page 289: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

264

5. Setelah data medik yang berkaitan wilayah Broca dan Wernicke terekam,

pemeriksaan dianggap selesai.

III. Pemeriksaan

Dalam pemeriksaan ini, dengan alat CT-Scan, akan terpantau

beberapa hal antara lain;

- ...............................

- ...............................

- ...............................

- ...............................

- ………………………

Hasil pemeriksaan ini akan menentukan apakah seseorang PSD

mengalami kelainan pada otak yang terkait dengan gangguan berbahasa

(disleksia) atau tidak. Bilamana PSD dinyatakan negatif suspek disleksia,

maka dikeluarkan dari populasi penelitian

IV. Hasil Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan, sesuai prosedur, akan disampaikan setelah

divalidasi oleh Dokter Neurologi yang berkompeten. PSD (Pasien Suspek

Disleksia) dan keluarganya berhak mengetahui hasil pemeriksaan. Sebagai

contoh, perbandingan otak manusia yang menyandang disleksia dan otak

normal terlihat seperti di bawah ini:

Page 290: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

265

Hasil pemeriksaan setiap PSD yang diperiksa dirinci sebagaimana

ditunjukkan dalam tabel sebelumnya.

Simpulan: …………………………………………………………….

Makassar, ……………………………..

Dokter yang Memeriksa,

------------------------------------------

Page 291: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

266

Lampiran 5

FORMAT RANGKUMAN HASIL UJI KLINIS

No

.

Aspek yang Diamati Kondisi Klinis

Keterangan

1 2 3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Keterangan:

1 = normal

2 = terganggu

3 = tidak terbaca

Page 292: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

267

Lampiran 6

DAFTAR NAMA INFORMAN / GURU PEMBINA MURID DISLEKSIA

Informan 1

Nama Lengkap = Hj. Hasniar, S.Pd.

Umur = 53 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar.

Pengalaman Mengajar = 17 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 UNM tahun 2004

Alamat = BTN Graha Kalegowa No. 8 Kabupaten Gowa

Informan 2

Nama Lengkap = St. Sulaiha A., S.Sos.

Umur = 52 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 24 tahun

Pendidikan Terakhir = S1

Alamat = Perumahan Berdikari Asri, Gowa

Informan 3

Nama Lengkap = Agustina, S.Pd.

Umur = 24 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 2 tahun

Page 293: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

268

Pendidikan Terakhir = S1

Alamat = Jl. Prof. Dr. Ir. Sutami, Makassar

Informan 4

Nama Lengkap = Nurdaya, S.Pd.

Umur = 41 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 12 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 PLB

Alamat = Vila Mutiara H17/20 Makassar

Informan 5

Nama Lengkap = Nurhadi, S.Pd.

Umur = 51 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Makassar

Pengalaman Mengajar = 16 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 PLB UNM

Alamat = Jl. Salodong Makassar

Informan 6

Nama Lengkap = Sumarni, S.Pd.

Umur = 47 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 15 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = Jl. A.R. Dg. Ngunjung II No. 21 Makassar

Page 294: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

269

Informan 7

Nama Lengkap = Erni, S.Pd.

Umur = 46 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 17 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 IKIP Makassar 1990

Alamat = Jl. Datuk Patimang Lr. 2/7 Makassar

Informan 8

Nama Lengkap = Hajrah, S.Pd.

Umur = 47 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB (Tunagrahita) Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 11 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = Jl. Veteran Utara Lr. 41/8 Makassar

Informan 9

Nama Lengkap = Amrullah, S.Pd.

Umur = 46 tahun

Jenis Kelamin = Laki-laki

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 18 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = BTN Maccopa Indah 6/26 Maros

Page 295: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

270

Informan 10

Nama Lengkap = Dra. St. Fatimah

Umur = 47 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 10 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = Bumi Sudiang Permai Blok K/136 D Makassar

Informan 11

Nama Lengkap = Nurjannah, S.Pd.

Umur = 48 tahun

Jenis Kelamin = Perempuan

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 22 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = Jl. Prof. Dr. Ir. Sutami, Makassar

Informan 12

Nama Lengkap = Nalla, S.Pd.

Umur = 55 tahun

Jenis Kelamin = Laki-laki

Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar

Pengalaman Mengajar = 24 tahun

Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM

Alamat = Jl. Salodong, Makassar

Page 296: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

271

Lampiran 7

DAFTAR NAMA SISWA / MURID SUSPEK DISLEKSIA

No. Nama (disamarkan) Jenis Kelamin Umur Asal Sekolah

1. IK Pr 11

2. AN Lk 10

3. AD Lk 11

4. PR Pr 13

5. WY Lk 13

6. IJ Lk 14

7. MI Lk 17

8. SN Pr 14

9. NR Lk 14

10. EA Lk 14

11. SR Pr 9

12. NA Pr 13

13. RF Lk 10

14. AH Lk 13

15. SI Lk 15

16. WA Lk 14

17. YK Pr 9

Page 297: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

272

18. LK Pr 9

19. AR Lk 8

20. HD Lk 9 Dikeluarkan karena

tidak ada izin

orangtua/wali

Page 298: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

273

Lampiran 8

TABEL PENGHITUNGAN UJI LINGUISTIS

No. Aspek Uji Linguistis I II III

I. Penyebutan Huruf – Ñ (C/26)

1. Penyebutan Vokal 5 0,5 2,5

2. Penyebutan Konsonan 21 0,5 10.5

II. Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /

Vokal Rangkap – Ñ (C/30)

3. Penyebutan Huruf Diftong (dua suku kata) 6 0,75 4,5

4. Penyebutan Konsonan – Vokal 6 0,75 4,5

5. Penyebutan Vokal – Konsonan 6 0,75 4,5

6. Penyebutan Vokal Rangkap 6 0,75 4,5

7. Penyebutan Gabungan Huruf Konsonan – Vokal –

Konsonan 6 0,75 4,5

III. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip

– Ñ (C/18)

8. Penyebutan Bervokal – Konsonan – Vokal 6 0,75 4,5

9. Penyebutan Kata Bervokal Rangkap 6 0,75 4,5

10. penyebutan hurip mirip 6 0,75 4,5

IV. Penyebutan gabungan

vokal/konsonan/diftong – Ñ (C/12)

11. penyebutan gabungan konsonan/vokal –

vokal/konsonan 6 0,75 4,5

12. penyebutan gabungan diftong-vokal/vokal-diiftong 6 0,75 4,5

Page 299: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

274

V. Penyebutan kata bersuku dua hingga

bersuku banyak – Ñ (C/22)

13. penyebutan kata bersuku dua 6 0,75 4,5

14. penyebutan kata bersuku tiga 6 0,75 4,5

15. penyebutan kata bersuku empat 6 0,75 4,5

16. penyebutan kata bersuku banyak 4 1 4

VI. Penyebutan Membedakan Pasangan

Minimal – Ñ (C/22)

17. Membedakan Pasangan Minimal Dua Kata 6 0,75 4,5

18. Membedakan Pasangan Minimal Tiga Kata 4 1 4

VII. Penyebutan dalam Membaca Kalimat /

Paragraf – Ñ (C/18)

19. Membaca Kalimat 8 0,75 6

20. Membaca Paragraf 10 1 10

136 100

Keterangan:

I. jumlah pertanyaan

II. nilai setiap pertanyaan

III. nilai ideal setiap kelompok pertanyaan

Page 300: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

275

Lampiran 9

PERMOHONAN IZIN DAN PERSETUJUAN ORANGTUA / WALI MURID

Kepada yang terhormat,

Bapak / Ibu / Orangtua / Wali Murid

a.n. .................................................

di Tempat

Dengan hormat,

Bersama ini saya sampaikan bahwa saya sedang melaksanakan penelitian

tentang anak disleksia untuk penelitian disertasi. Penelitian ini dilaksanakan

setelah memperoleh izin dari pemerintah Sulawesi Selatan dan telah

mendapat persetuan dari pihak sekolah.

Perlu saya sampaikan bahwa murid atas nama ............................... telah

terpilih menjadi salah satu sampel pengambilan data saya. Pengambilan data

akan dilakukan melalui uji linguistis dan uji klinis. Semua biaya ditanggung

oleh peneliti.

Untuk itu, saya mohon perkenan Bapak / Ibu / Orangtua / Wali Murid untuk

menandatangani surat kesediaan terlampir sekaligus menjawab beberapa

pertanyaan terlampir.

Atas perhatian dan kesediaan Bapak / Ibu, saya sampaikan terima kasih.

Makassar, ...............................

Peneliti,

H. Tammasse Balla

Tembusan:

1. Kepala SLB Negeri / Swasta di .........

2. Guru Wali Kelas ................

3. Guru BP

Page 301: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

276

Lampiran 10

SURAT TANDA PERSETUJUAN ORANGTUA / WALI

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : .....................................................

Orangtua / Wali Murid : a.n. ...............................................

Alamat : .....................................................

Jawaban pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah Anda atau istri Anda adalah penyandang Disleksia? [ ] ya [ ] tidak

2. Apakah Anda pernah berkonsultasi dengan psikolog? [ ] ya [ ] tidak

3. Apakah menyekolahkan anak Anda di SLB atas inisiatif sendiri? Jika tidak,

atas inisiatif siapa (sebutkan!) ..................................................................

Dengan ini menyatakan bersedia / tidak bersedia*) menjadi salah seorang

sampel pengambilan data penelitian isleksia yang dilaksanakan oleh peneliti.

Demikian Surat Tanda Persetujuan ini untuk digunakan sebagaimana

mestinya.

Makassar, ...........................

.........................................

*)coret yang tidak perlu

Page 302: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

277

Lampiran 11

SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan

Nama : H. Tammasse Balla

Pekerjaan : Mahasiswa Program S3 Ilmu Linguistik,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

benar telah menyampaikan permohonan untuk melakukan Uji Klinis pada

Inggit Medical Center (IMC) Makassar untuk kepentingan penelitian. Sebelum

pengujian dilakukan, yang bersangkutan diwajibkan menunjukkan Surat Etik

dari yang berwewenang dan hasil pengujian ini semata-mata digunakan

untuk keperluan penelitian dimaksud.

Makassar, …………………

...................................

Page 303: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

278

Lampiran 12

SURAT KETERANGAN PENGGUNAAN UJI LINGUISTIS

SURAT KETERANGAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ……………………

Pekerjaan : ……………………

Keahlian : ……………………

Setelah membaca uji linguistik yang akan digunakan oleh Sdr.

Tammasse Balla dalam pengambilan data penelitian disleksia untuk

penelitian disertasi, menurut penilaian saya, materi uji linguistik tersebut

sudah memenuhi standar dan cukup layak untuk kepentingan dimaksud.

……………………………..

………………………………………..

Page 304: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

279

Lampiran 13

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

KAMPUS TAMALANREA

JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN KM 10 MAKASSAR 90245

TELEPON (0411) 686200 (6 SALURAN ) 584002 FAX 90411) 586188

SURAT KETERANGAN

Yang bertanda tangan di bawah menerangkan bahwa:

Nama : Tammasse Balla

Pekerjaan : Dosen FIB Univ. Hasanuddin yang sedang meneliti masalah disleksia sebagai bagian dari penelitian untuk disertasi pada Pascasarjana S3 Ilmu Linguistik FIB Universitas Hasanuddin

untuk melengkapi penelitiannya, berupa terapi disleksia, yang bersangkutan menggunakan alat terapi LexiPal. Menurut penilaian saya, alat tersebut layak digunakan untuk menstimulasi perbaikan disleksia berdasarkan hasil uji linguistik.

Demikian surat keterangan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk di-gunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 2 Mei 2017

Dr. H. Johan Aras, S.Fisio, M.Si.

Page 305: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

280

Lampiran 14

MATERI TERAPI

Tampilan Halaman Home Aplikasi LexiPal

Tampilan Menu Database Anak

Page 306: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

281

Menu Siswa Termasuk Foto Profil Siswa

Menu Edit Data Siswa

Page 307: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

282

Menu Hapus Data Siswa

Menu Jadwal Belajar Semua Anak

Page 308: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

283

Menu Informasi Aplikasi LexiPal

Menu Media Belajar

Page 309: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

284

1. Kategori Bentuk dan Pola

a. Menggambar Garis

Page 310: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

285

Belajar menelusuri garis titik-titik lurus, dimulai dari gambar monyet

sampai ke pisang.

Page 311: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

286

Page 312: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

287

b. Media belajar menelusuri jalan dari titik asal ke tempat tujuan

Page 313: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

288

Page 314: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

289

Page 315: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

290

c. Menelusuri Garis

Page 316: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

291

Page 317: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

292

d. Menggambar Bentuk

Page 318: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

293

Page 319: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

294

e. Mencocokkan bentuk

Page 320: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

295

f. Memahami Pola

Page 321: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

296

Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Warnanya

Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Bentuknya yang Berbeda

Page 322: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

297

Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Gambar yang Berbeda

Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Gambar yang Serupa

Page 323: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

298

g. Evaluasi Bentuk dan Pola

Pilih Persegi

Page 324: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

299

2. Kategori Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan

a. Visual Matching

Page 325: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

300

Memilih Bayangan Sama

b. Perbedaan Gambar

Tingkat Pemula

Page 326: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

301

Tingkat Mahir

Page 327: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

302

c. Media belajar mana yang lebih berat?

Pertanyaan: Mana hewan yang lebih berat?

Page 328: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

303

Jika jawaban salah

Jika jawaban benar, siswa mendapatkan bintang (*)

Page 329: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

304

Tingkat Mahir

Page 330: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

305

d. Membandingkan Benda

Jenis Perbandingan Komparatif atau Lebih

- Tinggi-Rendah

Page 331: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

306

- Panjang – Pendek

- Banyak - Sedikit

Page 332: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

307

- Berat - Ringan

- Cepat - Lambat

Page 333: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

308

- Tebal – Tipis

- Dalam – Dangkal

Page 334: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

309

- Besar – Kecil

Jenis Perbandingan Superlatif atau Paling

- Tinggi – Rendah

Page 335: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

310

- Panjang – Pendek

- Banyak – Sedikit

Page 336: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

311

- Berat – Ringan

- Cepat – Lambat

Page 337: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

312

- Tebal – Tipis

- Dalam – Dangkal

Page 338: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

313

- Besar – Kecil

e. Mengurutkan Ukuran Benda

- Tinggi – Rendah

Page 339: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

314

- Panjang – pendek

Page 340: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

315

- Banyak - Sedikit

- Berat – Ringan

Page 341: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

316

- Cepat - Lambat

- Tebal - Tipis

Page 342: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

317

- Dalam – Dangkal

- Besar – Kecil

Page 343: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

318

f. Evaluasi Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan

3. Media Belajar Kategori Ingatan Jangka Pendek

a. Tebak Gambar Hilang

Page 344: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

319

- Bentuk Dasar

Page 345: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

320

- Gambar Hewan

Page 346: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

321

Gambar Buah

Page 347: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

322

Alat Transportasi

Page 348: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

323

b. Bagian yang Hilang

Wajah

Page 349: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

324

Kasur

Page 350: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

325

Rumah

Page 351: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

326

Pesawat

Page 352: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

327

Lompat Katak

Page 353: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

328

Evaluasi Media Belajar Ingatan Jangka Pendek

Page 354: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

329

Page 355: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

330

4. Media Belajar Asosiasi Objek

Pasangan Benda / Sky Matching

Page 356: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

331

a. Kelompok Benda

- Pemula

Page 357: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

332

- Mahir: Alat-alat

Page 358: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

333

Mahir: Hewan

Mahir: Kendaraan

Page 359: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

334

b. Evaluasi Asosiasi Objek

Memasangkan Benda-benda

Page 360: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

335

5. Persepsi Arah

a. Mengejar Kucing

Page 361: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

336

(error)

a. Menepuk Nyamuk

(error)

b. Mobilku

(error)

Page 362: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

337

c. Bola Berwarna

(error)

d. Sebelum dan Sesudah

(error)

Page 363: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

338

e. Kucing Sembunyi

(error)

6. Urutan Aktivitas

a. Bagaimana Caranya

Page 364: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

339

Membersihkan Kamar tidur

Page 365: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

340

Page 366: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

341

Mencuci Muka

Page 367: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

342

Page 368: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

343

Mencuci Tangan

Page 369: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

344

Menyikat Gigi

Page 370: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

345

Page 371: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

346

Mandi

Page 372: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

347

Page 373: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

348

a. Mengurutkan Aktivitas

Menyapu Halaman Rumah

Page 374: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

349

b. Evaluasi Mengurutkan Aktivitas yang Hilang

Page 375: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

350

7. Pemahaman Tempat

a. Mengenal Lokasi

Dimana benda ini seharusnya ada?

Page 376: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

351

a. Lokasi, Benda, dan Aktivitas

Benda apa yang ada di ruang makan? Digunakan apa benda tersebut?

Page 377: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

352

a. Evaluasi Pemahaman Tempat

Di mana benda ini seharusnya ada?

8. Konsep waktu

Page 378: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

353

a. Hariku

Membuat Alur Kegiatan Sehari-hari

Page 379: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

354

Memasukkan Foto Lain dari Komputer Kita

b. Mengenal Waktu

Pilih Hari dan Waktu

Page 380: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

355

c. Mengenal Jam

Mengenal Bagian-bagian Jam

Page 381: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

356

d. Mengenal Nama-nama Bulan

- Belajar Nama-nama Bulan

- Latihan

Page 382: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

357

Menyusun nama-nama bulan sesuai urutannya

e. Evaluasi Konsep Waktu

Memilih nama hari yang hilang

Page 383: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

358

9. Keterampilan Sosial

Page 384: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

359

Page 385: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

360

Page 386: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

361

Page 387: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

362

Lampiran 15

Seminar Proposal Penelitian Disertasi, 20 Februari 2017

Page 388: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

363

Page 389: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

364

Page 390: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

365

Ujian Hasil Penelitian Disertasi, 29 Januari 2018

Page 391: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

366

Page 392: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

367

Page 393: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

368

Ujian Prapromosi (Tutup), 12 Februari 2018

Page 394: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

369

Page 395: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

370

Ujian Promosi Doktor, 20 Februari 2018, pk. 10.00-13.00 WITA di Aula

Mattulada FIB Unhas

Page 396: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

371

Page 397: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

372

Page 398: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

373

Page 399: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

374

Page 400: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

375

Studi Banding ke Dyslexia Corner Surabaya

Kunjungan ke Dyslexia Corner di Surabaya

Peninjauan Aplikasi LexiPal yang ada di Dyslexia Corner Surabaya

Page 401: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

376

Studi Banding ke Dyslexia Corner Surabaya

Penjelasan oleh Petugas Disleksia Corner Surabaya

Penjelasan oleh Petugas Disleksia Corner Surabaya

Page 402: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

377

Studi Banding I

@Pusat Dyslexia Malaysia, Jl. Ampang Raya, KL, Malalysia

Bersama dengan Presiden Direktur Pusat Disleksia Malaysia

Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia Malaysia

Page 403: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

378

Studi Banding I di Pusat Dyslexia Malaysia

Informasi Mengenai Disleksia yang ada di Pusat Disleksia Malaysia

Hasil Karya Anak Penyandang DDisleksia yang ada di

Pusat Disleksia Malaysia

Page 404: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

379

Pengarahan kepada Guru yang Menangani Disleksia

Pengarahan kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia

Pengarahan kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia

Page 405: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

380

Pengarahan Kepada Guru yang Menangani Disleksia

Pemberian Penjelasan Mengenai Disleksia

Pemberian Penjelasan Mengenai Disleksia

Page 406: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

381

Pelatihan LexiPal

Pelatihan LexiPal kepada Guru yang

Menangani Anak Penyandang Disleksia

Pelatihan LexiPal kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia

Page 407: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

382

Pelatihan LexiPal

Pelatihan LexiPal kepada Guru yang

Menangani Anak Penyandang Disleksia

Pelatihan LexiPal kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia

Page 408: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

383

Peneliti bersama Anak-anak Penyandang Disleksia

Anak-anak Suspek Penyandang Disleksia

Suasana Belajar Anak-anak Suspek Penyandang Disleksia di kelas

Page 409: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

384

Anak-anak Penyandang Disleksia

Pemantauan Kondisi Anak Penyandang Disleksia

Pemantauan Kondisi Anak Penyandang Disleksia

Page 410: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

385

Pelaksanaan Uji Klinis dengan CT Scan di IMC

Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia

Page 411: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

386

Pelaksanaan Uji Klinis

Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Uji Klinis didampingi oleh Guru

Page 412: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

387

Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia

Page 413: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

388

Terapi Tahap I

Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia

Page 414: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

389

Terapi Tahap II

Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia

Page 415: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

390

Terapi Tahap II

Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia

Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia

Page 416: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

391

Studi Banding II di Pusat Disleksia Malaysia

Kunjungan ke Pusat Disleksia di Malaysia (Kunjungan II)

Peninjauan Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia di Pusat Disleksia

Malaysia

Page 417: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

392

Studi Banding II di Pusat Disleksia Malaysia

Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia

Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia

Page 418: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

393

Lampiran 16

Keterangan Etik Penelitian

Page 419: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

394

Lampiran 17

Surat Izin Penelitian

Page 420: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

395

Lampiran 18

INISIALISASI NAMA RESPONDEN

No Nama Responden Diinisialkan Keterangan

1 I*a IK

2 Ar*y N AN

3 A*ria*i AD

4 P*t*i PR

5 W*h*u WY

6 In*ra Ja*a IJ

7 Mu*. Il*am MI

8 Sa*r*a*a SN

9 Na**ir NR

10 E*lang*a A*a*da EA

11 S*na* SR

12 N**la NA

13 R*f*y RF

14 Ab*ul*ah AH

15 Sul**kar Im*m M SI

16 Wa**u A**ad F WA

17 Ayl* K**ih YK

18 Aly* K**ih LK

19 A**ad R**ad*n AR

20 H*m*d HD

Page 421: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

396

Lampiran 19

SISTEM IDENTIFIKASI DINI DISLEKSIA

(SKRINING AWAL DISLEKSIA)

----------------------------------------------------------------------------------------------------

(SIDD/SAD ini telah diajukan menjadi paten

dengan nomor pendaftaran paten: P00201602435)

Perhatikan, apakah masalah di bawah ini terjadi pada ananda?

1. Ananda baru bisa bicara 2 (dua) kata pada usia 2 tahun.

O Ya

O Tidak

O Tidah Tahu

2. Kata-kata yang diucapkan dapat dipahami oleh orang yang baru dikenal.

O Tidak

O Ya

O Tidak Tahu

3. Sering salah artikulasi / pengucapan kata. Contoh: "Telor" jadi "Teror",

"Pesawat" jadi

Tesawap", "Kloset" jadi "Klesot".

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

Page 422: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

397

4. Tertukar dalam menyebutkan huruf yang bunyinya mirip.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

5. Kesulitan menceritakan kembali cerita yang didengar sebelumnya atau

tidak mampu

bercerita dengan runtut.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

6. Menggunakan istilah yang tidak tepat saat mengungkapkan sesuatu.

Contoh: "Jangan berenang di kolam yang tebal", maksudnya "Jangan

berenang di kolam yang dalam", "Guruku orangnya panjang", maksudnya:

"Guruku orangnya tinggi".

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

7. Tertukar dalam menuliskan huruf dan atau angka yang bentuknya mirip.

Misalkan /b/ dituliskan /d/, /p/ dituliskan /q/.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

8. Kesulitan membedakan bentuk huruf yang mirip. Misalnya: /b/ tertukar

dengan /d/, /p/ tertukar dengan /q/.

O Ya

Page 423: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

398

O Tidak

O Tidak Tahu

9. Kesulitan mengeja huruf dengan tepat.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

10. Kesulitan menyalin tulisan dari buku atau papan tulis.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

11. Mudah frustrasi jika mengalami kesulitan belajar, misalnya: menangis,

menarik diri, marah-marah, menyendiri.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

12. Takut ke sekolah.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

13. Kesulitan memahami konsep "lebih banyak" dan "lebih sedikit"

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

Page 424: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

399

14. Kesulitan menyebutkan huruf sesuai urutan alfabet a-z

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

15. Kesulitan menyebutkan urutan angka dari 1 sampai dengan 10.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

16. Tertukar dalam menunjukkan arah.

Misal: tertukar menunjukkan mana tangan kanan dan kiri, mana arah depan

dan belakang, mana atas dan bawah.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

17. Lupa nama orang-orang sekitar (misalnya: nama teman atau nama guru)

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

18. Kesulitan mengingat instruksi panjang (lebih dari 2 (dua) instruksi).

"Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki, dan tangan!"

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

Page 425: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

400

19. Tampil ceroboh dan grasa grusu. Contohnya sering menabrak, sering

terjatuh, dan menjatuhkan barang.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

20. Ibu memiliki ciri-ciri seperti pertanyaan yang disebutkan sebelumnya.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

21. Ayah memiliki ciri-ciri seperti pernyataan yang disebutkan sebelumnya.

O Ya

O Tidak

O Tidak Tahu

===========================================================

Hasil Main Screening

Skor Total : .........................

dari Skor Maksimal: 148

BIODATA

Nama Anak : .........................

Tgl. Skrining Awal : .........................

Jenis Kelamin : .........................

Tanggal Lahir : ..........................

Usia : ..........................

Page 426: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

401

Kelas : ..........................

Orangtua : ..........................

Kode Anak : ..........................

Page 427: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

402

LAMPIRAN 20

RIWAYAT HIDUP PENELITI

I. IDENTITAS DIRI :

a. Nama : Dr. H. Tammasse Balla, M.Hum.

b. NIP / NIDN : 19660825 199103 1 004 / 0025086601

c. Jenis Kelamin : Laki-laki

d. Tempat / Tgl. Lahir : Pacongkang, Soppeng, 25 Agustus 1966

e. Agama : Islam

f. Pekerjaan Dosen Departemen Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Budaya, UNHAS

Page 428: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

403

g. Jabatan Akademik : Lektor Kepala / Gol. IV

h. Bidang Kepakaran : Neuropsikolinguistik

i. Mata Kuliah

di FIB Unhas : - Bahasa Indonesia (MKDU)

(sedang dan pernah - Bahasa Indonesia 2*

diampu*) - Bahasa dan Media

- Retorika*

- Bahasa Indonesia Akademik

- Kemahiran Menyimak Bahasa Indonesia*

- Korespondensi Bahasa Indonesia*

- Morfologi Bahasa Indonesia*

- Sintaksis Bahasa Indonesia*

- Sosiolinguistik*

- Linguistik Bandingan Nusantara /

Linguistik Bandingan Historis

- Pengantar Metode Penelitian

- Metode Penelitian Linguistik

- Dialektologi

j. Alamat Rumah : Perumahan BTP Blok I No. 33,

Jl. Tamalanrea Raya – Makassar 90245

k. Telepon / HP : (0411) 584415 / 0821 888 333 66

l. E-Mail : [email protected]. / [email protected]

m. Whatsapp : 082188833366

n. Line : 082188833366

Page 429: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

404

o. FB : Haji Tammasse Balla

p. Jabatan :

2012 – 2014 : Sekretaris Departemen Sastra Indonesia

2010 – Sekarang : Sekretaris BIPA (Bahasa Indonesia bagi

Penutur Asing) FIB Universitas Hasanuddin

2016 – Sekarang : Kepala Penerbitan FIB Press Unhas

1999 – Sekarang : Direktur Inggit Medical Centre (IMC) BTP

2017 – Sekarang : Direktur IMD Photo Studio BTP

II. KELUARGA

Orangtua :

Ayah : H. Balla (almarhum)

Ibu : Hj. Asia Balla (almarhumah)

Saudara : I. Hj. Nurbah Balla, S.Pd. (adik)

(Guru SLTP Negeri 1 Soppeng)

II. Nur Asibah Balla, S.Pd., M.Pd. (adik) (Guru SLTA Negeri 2 Wajo / Wakasek)

Istri : Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S.

- Sekretaris Departemen Neurologi FKUH

- Sekretaris Penjaminan Mutu FKUH

- Ketua Umum PERDOSSI (Persatuan Dokter

Spesialis Saraf Indonesa), SULSEL

Anak : I. Iin Fadhilah Utami Tammasse, S.Ked.

(Dokter Muda di RSP Unhas / RSWS)

II. Gita Fitri Aidini Tammasse

(IGCSE 2, EF, Torquay UK (Inggris)

Page 430: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

405

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

1973-1979

1979-1983

1983-1985

1985-1989

1996-1998

2014-2018

:

:

:

::

:

:

SD Negeri 91 Pacongkang, Kabupaten Soppeng

SMP Negeri Pacongkang, Kabupaten Soppeng

SMA Negeri Cangadi (Jurusan IPA), Kabupaten Soppeng

S1: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

S2: Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung,

BKU (Bidang Kajian Utama) Linguistik Terapan

S3: Program Ilmu Linguistik FIB Universitas Hasanuddin

IV. ORGANISASI PROFESI / KEMASYARAKATAN

1. IKA Fakultas Sastra 2014 – 2019, Pembina

2. Forum Komunikasi BTP, 2014-2019, Pengurus

3. KKS, 2015-2019, Pengurus

4. Ketua PB (Persatuan Bulutangkis) Sastra Unhas, 1991-2015

5. International Herbalife Association, 1999 – 2015, Anggota

6. Komunitas Pemerhati Gangguan Berbahasa pada Anak (Makassar) 2014

– sekarang, Ketua

7. Komunitas “Inggit Brain Gym”, Makassar, 2015 – Sekarang, Ketua

V. KARYA ILMIAH / PENELITIAN / BUKU

1. “Konstruksi Aktif-Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Bugis:

Suatu Studi Komparatif”, 1989, Skripsi S1, Universitas Hasanuddin

(di bawah bimbingan: Drs. Arifin Usman dan Dra. Berhana Menggang

Lussa)

Page 431: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

406

2. “Interferensi Morfologis Bahasa Bugis terhadap Penggunaan

Bahasa Indonesia Tulis Murid-murid SD di Kabupaten Soppeng”,

2000, Tesis S2, Universitas Padjadjaran Bandung (di bawah

bimbingan: Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma, M.A., Prof. Dr.

Moch. Tajuddin, M.A., dan Dr. Cece Sobarna, M.Hum.)

3. “Model Terapi Linguistik “Kinect-Based Dyslexia Therapy”

terhadap Anak Penyandang Disleksia di Sulawesi Selatan: Kajian

Neuropsikolingustik”, 2018, Disertasi S3, Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin (di bawah bimbingan: Prof. Dr. Abdul Hakim

Yassi, Dipl. TESL, M.A., Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S.,

dan Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.)

4. “Gangguan Berbahasa Disleksia: Suatu Perkenalan Awal”

(Prosiding) Atma - UKM, Langkawi Malaysia, (Pemakalah bersama Dr.

dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S.), 2015

5. Epilepsi Klinis (Penulis Dr. dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S. / Editor),

Masagena Press, 2016

5. Buku Kumpulan Puisi Suara Kata (Penulis), Unhas Press, 2017

6. Merangkul Salju di Negeri Mimpi (Penulis Iin Tammasse / Editor

bersama M. Dahlan Abubakar), Identitas Unhas, 2017

8. Mahasiswa Tanpa Batas (Penulis Iin Tammasse, dkk. / Editor

bersama M. Dahlan Abubakar), FIB Press, 2017

9. “Dyslexia Speech Problems: A Neurolinguistic Perspective”, ELS

Annual Seminar, 2016, ELS FIB Unhas (Pemakalah)

10. “Relationship Between Language and Thought”, (Proceeding) ELS

Annual Seminar, 2017, ELS FIB Unhas (Pemakalah)

11. “Brain and Language Relationships”, (Proceeding) ELS Annual

Seminar, 2017, ELS FIB Unhas (Pemakalah bersama dr. Jumraini)

12. Anak Disleksia: Intan yang Belum Digosok (Penulis, buku ini

sedang dalam proses penyelesaian), 2017

Page 432: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

407

13. LexiPal Therapy in Rehabilitating Learning Difficultly of Dyslexic

Children, International Journal on Interdisciplinary Research, 2017

14. “Konstruksi Bahasa-bahasa di Pulau Rote”, 1998, Hasil Penelitian,

Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung

15. “Kehematan Penggunaan Kalimat”, Hasil Penelitian Mandiri,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2017

16. “Cintaku di Kampus Merah: Novel Otobiografi”, (Penulis, buku ini

sedang dalam proses penyuntingan), 2017

17. Buku Kumpulan Puisi “Catatan Hati” (Penulis), FIB Press Unhas,

(proses penyuntingan), 2018

VI. KEGIATAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

1. Sosialisasi Tanaman Obat di Pallawa Kec. TellulimpoE, Kabupaten

Bone, 2013.

2. Korespondensi Bahasa Indonesia pada Kelompok Guru Kecamatan

Leppangeng Kab. Bone, 2011.

3. Program Sosialisasi Fakultas Sastra Unhas, di Kabupaten Pangkep,

2013.

4. Kunjungan Panti Asuhan Al-Fitrah dalam Rangka Dies Natalis FIB

Unhas ke 54, Makassar, 2014.

5. Tutor Senam Otak Massal dalam rangka HUT RI ke 70, di BTP

Makassar, 2015.

6. Tim Bedah Buku dan Talkshow “Motivator Pengembangan Diri untuk

Siswa SMU bersama Iin Fadhilah Utami Tammasse, di SMU Negeri 1

Liliriaja Kabupaten Soppeng, 2016.

7. Pelatihan Penanganan Anak Suspek Disleksia di Kota Makassar, (Ketua

Tim Pengabdi). LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada

Masyarakat) Universitas Hasanuddin, 2017

Page 433: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

408

8. Pelatihan Penulisan Jurnal Ilmiah Terindeks Scopus bagi PTN-PTS di

Kota Watampone (Anggota Tim) LP2M (Lembaga Penelitian dan

Pengabdian pada Masyarakat) Universitas Hasanuddin, 2017

VII. KUNJUNGAN ILMIAH INTERNASIONAL

1. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Geneva, Switzerland,

2010.

2. Visiting Scholar, Roma, Italy, 2010

3. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Hongkong, 2010.

4. Library Research, Melbourne, 2011

5. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Sidney, 2011.

6. Library Research, Seoul, South Korea, 2011

7. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Macao, China, 2012

8. Library Research, Kualalumpur, Malaysia, 2014

9. Library Research, Hong Kong, 2014

10. Library Visit, Seameo – RELC Singapore, 2014.

11. Pertemuan Ilmiah Peneliti Disleksia, Thailand 2014

12. Anggota Delegasi FIB Unhas pada pertemuan kerjasama FIB-Unhas

dengan The School of Humanity, Nanchang University China, 2015

13. Library Research, Boston, USA, 2015

14. Library Research, Washington DC, 2015

15. Library Research, New York, 2015

16. Library Research, London, 2016

17. Library Research, Torquay, South England, 2016

18. Library Research, Amsterdam, Netherland, 2016

19. Library Research, Groningen, Netherland, 2016

20. Library Research, Ampang, Kualalumpur, 2017

Page 434: MODEL TERAPI LINGUISTIK KINECT-BASED DYSLEXIA

409