linguistik kebudayaan pdf
TRANSCRIPT
-
BAB II
LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG
RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Pengertian Sosiolinguistik Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio yang berarti sosial, yaitu
yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-
fungsi kemasyarakatan; dan linguistik, yaitu yang mempelajari/ membicarakan
tentang bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah studi/ pembahasan dari bahasa
sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1984:
2). Apel (dalam Suwito, 1985: 4) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi tentang
bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan
kebudayaan.
Mansoer Pateda (1992: 3) memberi definisi sosiolinguistik sebagai cabang
linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan
budaya. Jadi, orang berbahasa harus memperhatikan konteks budaya tempat ia
bertutur. Pendapat lain mendefinisikan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang
ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi, dan pemakai bahasa karena ketiga
unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu
masyarakat tutur (Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 5).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang pemakaian bahasa yang
digunakan di dalam masyarakat tutur. Dapat dianggap bahwa kajian sosiolinguistik
ialah "penggunaan bahasa" oleh penutur-penutur tertentu dalam keadaan-keadaan
yang sewajarnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Nababan (1984: 3), masalah-
masalah utama yang dibahas oleh, atau dikaji dalam sosiolinguistik adalah:
6
-
1. Mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan;
2. Menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam
bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya;
3. Mengkaji fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam
masyarakat.
Suatu interaksi selalu terdapat faktor yang mengambil peranan dalam
peristiwa itu. Faktor-faktor tersebut antara lain: penutur (sneaker), lawan bicara
(hearer receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara
(situation scene), dan sebagaianya. Dalam berbahasa, penutur akan memperhitungkan
kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa dan dalam situasi
bagaimana. Dengan demikian, tempat bicara akan menentukan cara pemakaian
bahasa penutur. Pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna
terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Faktor-faktor dalam peristiwa
pembicaraan tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (speech event) (Suwito,
1985: 30).
Suatu ketentuan dasar dari masyarakat tutur ialah bahwa masyarakat tutur itu
bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan
suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi (Gamperz dalam Suwito,
1985: 22). Menurut Gamperz, masyarakat tutur ialah masyarakat yang timbul karena
rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap menghormati
(mengakui) kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa dan
atau variasi bahasa yang dipergunakannya. Sedangkan menurut Fishman (dalam
Suwito, 1985: 20) memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat
yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-
norma yang sesuai dengan pemakaiannya.
Berdasar dua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat atau sekelompok orang-orang yang menggunakan bahasa
yang sama sesuai dengan pemakaiannya.
Peristiwa tutur dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang menandai. Dell
-
Hymes (dalam Abdul Chaer, 1998: 64) menandai faktor-faktor tersebut dengan
singkatan SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari
faktor-faktor yang dimaksudkan, ialah:
S: Setting dan scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara.
P: Partisipant, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
E: End, yaitu maksud dan hasil percakapan.
A: Act, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan hasil percakapan.
K: Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan
percakapan.
I: Instrumen, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan, apakah secara lisan atau
bukan.
N: Norma, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
G: Genre, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan unsur yang oleh Dell Hymes diakronimkan menjadi SPEAKING
itu, dapat dikatakan dalam berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-
faktor siapa lawan atau mitra bicara kita, tentang atau topiknya apa, situasinya
bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa (lisan atau tulisan), dan ragam bahasa yang
digunakan yang mana.
Pemakaian bahasa ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi, antara
lain adalah faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang mempengaruhi
pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi,
jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan faktor situasionalnya yaitu siapa berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa, seperti
dirumuskan oleh Fishman (dalam Suwito, 1985: 3) "Who speaks what language to
whom and when ".
2. Pengertian Kedwibahasaan Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut
-
juga kedwibahasaan. Kedwibahasaan diartikan sebagai penguasaan yang sama
baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan oleh penutur asli (Bloomfield
dalam Yus Rusyana, 1988: 1). Menurut Weinreich (dalam Yus Rusyana, 1989: 1)
menerangkan kedwibahasaan sebagai praktek penggunaan dua bahasa secara
berganti-ganti, disebutkannya sebagai coordinate bilingual, orang yang mempelajari
lebih dari satu bahasa, baik selama kanak-kanak memperoleh dua atau lebih bahasa
asli, maupun pada masa kemudian berupa penguasaan bahasa yang bukan asli dengan
"sempurna".
Pendapat Weinreich tidak jauh berbeda dengan pendapat Mackey dan
Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 84), yakni kedwibahasaan
adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Untuk menggunakan dua bahasa seseorang harus
menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya
(B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).
Kunjana Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan adalah
penguasaan atas paling tidak dua bahasa, yakni bahasa pertama dan bahasa kedua.
Ahli lain, Nababan berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua
bahasa dalam interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam
Kunjana Rahardi, 2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai
gejala pertuturan. Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian
bahasa, yakni praktek pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh
penutur. Pergantian dalam pemakaian bahasa tersebut dilatarbelakangi dan ditentukan
oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kedwibahasaan adalah dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan
situasi dan kondisi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua
bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi dimana seseorang tersebut
berada.
Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh penutur
-
yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan
saling kontak ( Weinreich dalam Suwito, 1985: 39). Kontak bahasa terjadi dalam
situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang belajar bahasa kedua di dalam
masyarakatnya. Terjadinya kontak bahasa mengakibatkan adanya interferensi dan
integrasi. Kedua peristiwa itu pada hakekatnya adalah peristiwa pemakaian unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi dalam diri penutur (Suwito,
1985: 53).
Nababan (1984: 23) berpendapat bahwa interferensi merupakan
pengacauan. Jadi, pada orang yang berdwibahasa ada kemungkinan terdapat
pengacauan. Menurut Suwito (1985: 53), interferensi pada umumnya dianggap
sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi dalam setiap anggota masyarakat
dan peristiwanya tidak lagi sebagai penyimpangan, karena unsur-unsur serapan itu
telah memasyarakat dan diperlakukan menurut system bahasa penyerapannya.
Interferensi menurut Abdul Chaer (1998: 66) adalah terbawa masuknya unsur bahasa
lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan
kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua
tataran bahasa, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai tataran
leksikon. Tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-
kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, /g/, maka konsonan tersebut
didahului dengan bunyi nasal. Misal kata Bogor diucapkan mBogor, kata Depok
diucapkan nDepok, dan kata Jambi menjadi nJambi. Interferensi pada tataran
gramatikal, missal penggunaan prefiks ke- seperti pada kata kepukul, ketabrak, dan
kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca. Contoh interferensi pada
tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif Makanan itu telah dimakan oleh saya
dari penutur berbahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah Makanan teh
atos dituang kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah
Makanan itu telah saya makan. Interferensi dalam bidang leksikon berupa
digunakannya kata-kata dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan.
Misalnya sewaktu berbahasa Indonesia terbawa masuk kata-kata dari bahasa Jawa,
-
bahasa Sunda, atau bahasa lainnya.
Interferensi biasa dibedakan dari integrasi. Integrasi menurut Suwito (1985:
59) terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri
dengan sistem bahasa penyerapannya, sehingga pamakaiannya telah menjadi umum
karena tidak lagi terasa keasingannya. Haugen (dalam Suwito, 1985: 59) menafsirkan
integrasi sebagai kebiasaan memakai materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang
lain. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi dalam segala komponen
kebahasaan (fonetik, fonemik, morfofonemik, atau semantik). Hadirnya kata-kata
seperti: pikir, kabar, kursi, bendera menunjukkan adanya integrasi unsur-unsur
bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata-kata seperti: dandan,
cengeng, cewek, umum digunakan dalam bahasa Indonesia, menunjukkan adanya
integrasi dari bahasa-bahasa daerah/ dialek. Gejala integrasi dalam bidang morfologi
nampak dengan munculnya kata-kata seperti: nongkrong, mangkal, nonton, ngobrol,
dan sebagainya. Dalam bidang sintaksis sering terdengar struktur seperti: saya sudah
katakan, rumahnya Aan, dibawa oleh saya, dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang
semantik dipergunakan kata-kata serapan seperti: wanita, pria, hamil, nara pidana,
dan lain-lain, sebagai substitusi makna terhadap kata-kata: perempuan, laki-laki,
mengandung, dan orang hukuman.
Menurut Abdul Chaer (1998: 64) dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain
yang terbawa masuk, sudah dianggap diperlakukan dan dipakai sebagai bagian dari
bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya. Dalam proses integrasi, unsur
yang berintegrasi telah disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya.
Kata dalam bahasa Indonesia yang dieja menjadi montir, riset, sopir, dongkrak
merupakan contoh yang sudah berintegrasi.
3. Pengertian Kode Dalam bertindak tutur itulah terjadi pemindahan pesan yang berupa kode. Hal
ini sesuai dengan pendapat Mansoer pateda (1997: 83) bahwa seseorang yang
-
melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan
bicaranya. Pengkodean ini melalui proses yang terjadi baik pada pembicara, hampa
suara, dan pada lawan bicara. Kode-kode itu harus dimengerti oleh kedua belah
pihak. Apabila yang sepihak memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya,
maka pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai apa yang seharusnya
dilakukan. Tindakan itu misalnya memutuskan pembicaraan atau mengulangi lagi
pernyataan.
Menurut Sri Utari Subyakto dan Nababan (1993: 151), kode adalah
seperangkat tanda-tanda yang diatur sebelumnya tanpa paksaan alamiah dan secara
"sewenang-wenang" (arbitrary). Jadi, dalam berbahasa, yang dimaksud "kode"
adalah bahasa apa yang digunakan. Poedjosoedarmo (dalam Kunjana Rahardi, 2001:
21-22) menjelaskan bahwa kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata
dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Suwito memberikan
definisi tentang kode adalah untuk menyebutkan salah satu varian di dalam hierarki
kebahasaan. Selanjutnya juga dikatakan bahwa alat komunikasi yang merupakan
varian dalam bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, maka dalam
bahasa terkandung beberapa macam kode (1985: 67).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kode
mengacu pada bahasa dan setiap variasi bahasa. Kode merupakan varian yang nyata
dipakai. Dengan kata lain, kode adalah bagian dari sebuah tuturan bahasa.
4. Pengertian Alih Kode Keadaan kedwibahasaan akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau
ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu.
Misalnya, ketika kita sedang berbincang-bincang dengan sesorang dengan
menggunakan bahasa Jawa, kemudian datang orang ketiga yang tidak dapat
berbahasa Jawa ingin ikut berbincang-bincang dengan kita. Maka, karena kita ingin
menerima orang ketiga tersebut, kita beralih memakai bahasa Indonesia yang
-
dimengerti oleh orang ketiga tersebut. Jadi, alih kode menurut Nababan adalah
pergantian bahasa atau ragam bahasa yang dilakukan pada keadaan atau keperluan
berbahasa (1984: 31).
Menurut Abdul Chaer (1998: 67) alih kode adalah beralihnya penggunaan
suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain
(bahasa atau ragam bahasa lain). Alih kode dibedakan dari campur kode. Jika alih
kode terjadi karena bersebab, campur kode terjadi tanpa sebab. Dalam campur kode,
dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam
situasi santai. Jika dalam situasi formal terjadi campur kode, maka biasanya terjadi
karena ketiadaan ungkapan yang harus digunakan dalam bahasa yang sedang dipakai.
Biasanya dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan unsur-
unsur bahasa daerah.
Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 107) mendefinisikan
alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.
Misalnya seseorang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda kemudian
datang seorang yang ingin ikut bercakap-cakap tidak mengerti bahasa Sunda, maka
berubah menjadi situasi berbahasa Indonesia yang dimengerti oleh ketiganya.
Menurut Suwito (1985: 68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode
yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila seorang penutur mula-mula menggunakan
kode A (misal bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misal
bahasa Jawa), maka peristiwa itu disebut alih kode. Poedjosoedarmo (dalam Kunjana
Rahardi, 2001: 21) menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching),
yakni pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur yang berlangsung
sebentar atau sementara saja. Menurut Hymes (dalam Suwito, 1985: 69) mengatakan
bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan)
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan
beberapa gaya dari satu ragam.
Alih kode menurut Bambang Kaswanti Purwo adalah pemilihan bahasa atau
ragam bahasa yang sesuai dengan tuntutan faktor-faktor sosiolinguistik dalam
-
keadaan berbahasa tertentu (1989: 194). Jadi, jika kita mengganti bahasa atau ragam
bahasa karena berubah pendengar atau topik atau tempat berbicara, dan sebagainya,
pergantian bahasa atau ragam bahasa itu adalah alih kode.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alih
kode adalah proses pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang digunakan dari
bahasa satu ke bahasa lain, atau dari ragam satu kedalam ragam yang lain, atau dari
satu kode ke kode yang lain karena berubahnya situasi.
Suwito (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114) membedakan
adanya dua macam alih kode, yaitu:
1. Alih kode intern, adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.
2. Alih kode ekstern, terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam
yang ada dalam verbal reportoire masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
Diberbagai kepustakaan linguistik secara umum, Fishman (dalam Abdul
Chaer dan Leonie Agustuna, 2004: 108) menyebutkan penyebab alih kode antara lain:
1. Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk
mendapatkan "keuntungan" atau "manfaat" dari tindakannya itu. Misalnya di
sebuah kantor banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa
daerah dengan pejabat yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya
rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah, rasa keakraban
lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih kode untuk
memperoleh keuntungan ini dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu
mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
2. Pendengar atau lawan tutur
Lawan bicara bisa menyebabkan alih kode, karena penutur ingin
mengimbangi kemampuan lawan tuturnya sehingga melakukan alih kode. Alih
kode ini terjadi jika lawan tutur memiliki latar belakang kebahasaan berlainan
dengan penutur. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan
-
berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si
lawan tutur kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya.
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa
yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur
dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya jika dua orang berasal dari
daerah yang sama sedang berbincang-bincang menggunakan bahasa daerahnya
kemudian datang orang lain yang ingin ikut berbincang-bincang dan berasal dari
daerah yang berbeda. Karena orang ketiga tersebut tidak menguasai bahasa yang
digunakan oleh orang pertama dan orang kedua, maka orang pertama dan orang
kedua beralih menggunakan bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya
pada saat rapat, peserta menggunakan bahasa Indonesia, tetapi setelah rapat selesai
mereka kembali menggunakan bahasa Jawa.
5. Perubahan topik pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya terjadi antara kepala sekolah dan guru. Pada saat mereka membicarakan
pekerjaan, mereka menggunakan bahasa yang resmi, tetapi ketika mereka
membicarakan pribadi masing-masing mereka menggunakan bahasa sehari-hari.
Menurut Suwito (1985: 69), dalam alih kode penggunaan dua bahasa (atau
lebih) ditandai dengan adanya: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-
fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa
disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Kachru (dalam
Suwito, 1985: 69) mengatakan bahwa tanda-tanda tersebut merupakan ciri-ciri unit
kontekstual (contextual units). Ciri- ciri tersebut menunjukkan bahwa di dalam alih
kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif, dan
peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan
peralihan kodenya.
-
5. Pengertian Campur Kode Suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa
atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam
keadaan demikian, hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya saja yang dituruti.
Tindak bahasa demikian yang disebut campur kode (Nababan, 1994: 32).
Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat Bambang Kaswanti
Purwo yang menyebutkan campur kode sebagai pemilihan atau penggunaan bahasa
dan ragam bahasa yang hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau
mudahnya pengungkapan seseorang pengguna bahasa itu (1989: 194). Jika seseorang
memakai kata atau kalimat dari bahasa atau ragam bahasa lain di dalam
kerangka penggunaan sesuatu bahasa atau ragam bahasa tertentu, itu merupakan
campur kode. Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina, campur kode adalah
penggunaan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa
lain. Misalnya seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan
dicampuri serpihan-serpihan bahasa lain, misalnya bahasa Jawa (1995: 154).
Sumarsono dan Paina Partana (2002: 202) memberi batasan campur kode
adalah penyisipan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu.
Dalam hal ini penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai
bahasa tertentu. Misalnya si A berbahasa Bali, dia memasukkan unsur-unsur dari
bahasa Indonesia; ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, dia dengan sengaja
memasukkan unsur-unsur bahasa Bali. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu
seringkali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata.
Kachru (dalam Suwito, 1985: 76) memberi batasan campur kode sebagai pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas pada dasarnya menyatakan bahwa
campur kode adalah suatu keadaan menggunakan satu bahasa atau lebih dengan
-
memasukkan serpihan-serpihan atau unsur bahasa lain tanpa ada sesuatu yang
menuntut pencampuran bahasa itu dan dilakukan dalam keadaan santai.
Persamaan antara alih kode dan camper kode menurut Abdul Chaer dan
Leonie Agustina (2004: 114) adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua
varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode setiap bahasa
atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam
campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa
tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Menurut Adhani
(www.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik), persamaan alih kode dan campur
kode adalah kedua peristiwa tersebut lazim terjadi dalam masyarakat multilingual
dalam menggunakan dua bahasa atau lebih.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan
alih kode dan campur kode adalah sama-sama digunakannya dua bahasa atau lebih
dalam masyarakat tutur yang dilakukan dengan sadar dan sengaja karena oleh sebab-
sebab tertentu.
Menurut Sumarlam (2003: 159-160), meskipun alih kode dan campur kode
berkenaan dengan pemakaian dua bahasa atau lebih dalam pembicaraan, terdapat juga
perbedannya, di antaranya:
1. Dalam alih kode, dua (atau lebih) bahasa atau variasi bahasa yang dipakai masing-
masing mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks, sedangkan
dalam campur kode unsur bahasa atau variasi bahasa yang menyisip di dalam
bahasa yang lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri tetapi telah menyatu
dengan bahasa yang menyisipinya.
2. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa disesuaikan dengan
situasi yang relevan dengan perubahan konteks, sedangkan dalam campur kode
dua bahasa atau variasi digunakan tanpa adanya faktor-faktor sosiolinguistik
-
dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu.
3. Batas terjadinya campur kode terletak pada tataran klausa, sedangkan alih kode
terjadi mulai pada tataran kalimat.
Menurut Suwito (1985: 78-79) berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang
terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara
lain:
1. Penyisipan unsur yang berwujud kata
Menurut I. G. N. Oka dan Suparno (1994: 25), kata merupakan satuan bahasa yang
terbentuk dari satu morfem atau lebih.
Contoh: Seorang pemimpin harus dapat ngayomi rakyat lahir dan batin.
"Seorang pemimpin harus dapat melindungi rakyat lahir batin."
2. Penyisipan unsur yang berwujud frasa
Abdul Chaer (1998: 301) berpendapat bahwa frasa merupakan gabungan dua buah
kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau
fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, dan keterangan).
Contoh: Sebagian telah dikenal masyarakat melalui apa yang disebut sustainable
development.
"Sebagian telah dikenal masyarakat melalui apa yang disebut
pembangunan berkelanjutan."
3. Penyisipan unsur yang berwujud baster
Menurut Thelander (dalam Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa
yang berisi campuran dari beberapa variasi yang berbeda.
Contoh: Mahasiswa diberi penataran agar menjadi manusia pancasialis.
"Mahasiswa diberi penataran agar menjadi manusia yang berjiwa
pancasila."
4. Penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata
Contoh: Muda mudi sedang ngomong-ngomong tentang pentas seni.
Muda mudi sedang berbincang-bincang tentang pentas seni.
5. Penyisipan unsur yang berwujud ungkapan/ idiom
-
Ungkapan atau Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya (Harimurti Kridalaksana, 1985: 80).
Contoh: Bapak Bupati tidak segan-segan ikut cancut tali wanda memperbaiki
irigasi yang rusak itu.
"Bapak Bupati tidak segan-segan ikut bekerja keras memperbaiki irigasi
yang rusak itu."
6. Penyisipan unsur yang berwujud klausa
Klausa merupakan satuan gramatikal unsur pembentuk kalimat yang berstruktur
predikatif (I. G. N. Oka dan Suparno, 1994: 26).
Contoh: Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tulodho,
ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
"Pemimpin bijaksana akan selalu bertindak di depan memberi teladan, di
tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi."
Suwito (1985: 77) mengidentifikasikan alasan-alasan yang mendorong
terjadinya campur kode antara lain:
1) Identifikasi peranan (ukurannya: sosial, registeral, dan edukasional).
2) Identifikasi ragam (yang ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur
melakukan campur kode yang akan menempatkan dia dalam hierarki status
sosialnya).
3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan yang tampak karena campur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap serta
hubungan orang lain terhadapnya.
Ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih.
Dengan demikian maka campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik
antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang
mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode
tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode
demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadi di
dalam masyarakat.
-
Ciri-ciri campur kode menurut Suwito (1985: 75) adalah sebagai berikut:
1. Adanya saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik
antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksud adalah siapa yang
menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak
dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Sifat-sifat khusus penutur misalnya latar
belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya akan
mewarnai campur kodenya. Di lain pihak, fungsi kebahasaan menentukan sejauh
mana bahasa yang dipakai oleh penutur memberi kesempatan untuk bercampur
kode.
2. Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain
tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan
bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.
Unsur-unsur tersebut dibedakan menjadi dua golongan yang bersumber dari
bahasa asli dengan variasi-variasinya (inner code mixing) dan yang bersumber dari
bahasa asing (outer code mixing). Seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa
Indonesianya banyak tersisip unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya, maka
penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Peristiwa semacam itu disebut "bahasa
Indonesia kedaerah-daerahan". Di pihak lain akan menimbulkan yang disebut
"bahasa daerah yang ke Indonesia-indonesiaan" (misalnya bahasa Jawa yang ke
Indonesia-indonesiaan yang dapat disebut bahasa "Jawanesia").
6. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Pengertian pembelajaran dapat ditarik dari pengertian belajar dan tidak lain
sama dengan pengertian pengajaran, yaitu usaha sadar dari guru untuk membuat
siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar,
dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam
waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha (Gino, dkk., 2000: 4). Menurut
Djago Tarigan, dkk. (2005: 4.19), pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan
-
belajar yang dialami siswa dalam proses menguasai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran bersinonim dengan pengalaman belajar, aktivitas belajar, proses
belajar, dan kegiatan belajar.
Pengertian pembelajaran dapat disimpulkan sebagai kegiatan belajar yang
dilakukan secara sadar oleh siswa untuk mendapatkan kernampuan baru. Sebagian
besar isi GBPP Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, Kurikulum 1994
adalah pembelajaran. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menurut Dendy
Sugiono (1995: 3) merupakan pengajaran keterampilan berbahasa Indonesia, bukan
pengajaran tentang bahasa atau struktur bahasa. Pengetahuan bahasa dan sastra
berkedudukan sebagai penunjang atau penjelas dalarn pengajaran keterampilan
berbahasa dan apresiasi karya sastra. Pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi
akan menarik minat siswa karena siswa didesak oleh kebutuhannya untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Setiap pembelajaran pada tingkat usia SD haruslah berpusat pada kebutuhan
perkembangan anak sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai
calon manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat UUD 1945 (Djeniah Alim,1996:
1). Pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi
dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat
sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan
ditandai dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum
mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yaitu pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional dan pasal 35
tentang standar nasional pendidikan. Selain itu juga adanya tuntutan globalisasi dalam
bidang pendidikan yang memacu agar hasil pendidikan nasional dapat bersaing
dengan hasil pendidikan negara-negara maju.
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari
semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik
-
mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan
perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam
dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar,
baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan manusia Indonesia.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan
merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, diharapkan:
1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil
karya kesastraan dan hasil karya sastra dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa
peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber
belajar;
3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya;
4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;
6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
-
kepentingan nasional.
Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD (2007: 6),
dijelaskan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik
secara lisan maupun tulis.
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dan bahasa Negara.
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
berbagai tujuan.
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial.
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa.
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup komponen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Mendengarkan
2. Berbicara
3. Membaca
4. Menulis
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk
mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian
perlu memperhatikan standar proses dan standar penilaian.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralisasi ke
-
desentralisasi mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan pada beberapa aspek
pendidikan, termasuk kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan
nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan
pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu
dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran.
Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran adalah kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. Sesuai dengan
amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) pada Jenjang Pendidikan Dasar
Menengah mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta
berpedoman pada panduan dari Badan Standar Nasional Pendidikan.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar (2007: 6),
pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta
didik untuk:
1. Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Belajar untuk memahami dan menghayati;
3. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif;
4. Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain; dan
5. Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Kewenangan menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan
demikian, daerah dan atau sekolah memiliki cukup kesempatan untuk merancang dan
menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara
mengajar, dan menilai keberhasilan proses belajar mengajar.
-
Sesuai dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
bahasa Negara, pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia menurut Djeniah
Alim (1981: 2) berfungsi sebagai sarana untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Membina persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam
rangka pelestarian dan pengembangan budaya.
3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk
meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4. Menyebarluaskan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk
berbagai keperluan dan berbagai masalah.
5. Mengembangkan penalaran.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian ini didasari oleh penelitian yang telah ada, antara lain:
1. Penelitian Listyaningsih Yuliatin Lukitasari yang berjudul "Campur Kode dan Alih
Kode dalam Pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten, Karanganyar (Kajian bentuk
dan faktor penyebab-penyebabnya)", berkesimpulan
a. Bentuk campur kode yang terjadi dalam pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten,
Karanganyar berupa: campur kode kata, campur kode frase, campur kode
perulangan kata, dan campur kode klausa.
b. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten,
Karanganyar, berupa: alih kode intern dan alih kode ekstern.
2. Penelitian Jumadi yang berjudul "Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan
Belajar Mengajar di SD Negeri 01 Waru, Baki, Sukoharjo TH Ajaran 2004/ 2005
(dalam Mata Pelajaran Matematika, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia)",
berkesimpulan:
a. Terjadi alih kode alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah atau
sebaliknya peralihan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, dan terjadi
-
alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing atau dari bahasa asing ke
dalam bahasa Indonesia.
b. Campur kode yang dimaksud adalah unsur-unsur dari bahasa satu yang masuk
atau menyisip kedalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut data yang
dianalisis adalah unsur bahasa lain yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.
Terjadi campur kode berwujud kata, campur kode berwujud frase, campur kode
berwujud reduplikasi/ perulangan kata, campur kode berwujud baster, dan
campur kode berwujud klausa.
3. Penelitian Suhartini yang berjudul "Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan
Belajar Mengajar di Taman Kanak-kanak", berkesimpulan:
a. Dalam kegiatan belajar mengajar di TK Widya Putra dan TK Pertiwi banyak
terdapat wujud alih kode dan campur kode, baik itu disadari maupun tidak
disadari oleh penutur. Wujud campur kode yang terjadi ada enam macam, yaitu
campur kode kata, campur kode frasa, campur kode baster, campur kode
perulangan kata, campur kode idiom, dan campur kode klausa.
b. 1). Alih kode yang terjadi dalam penggunaan bahasa di TK Widya Putra banyak
mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, selain juga bahasa Inggris.
2). Peristiwa campur kode di TK Widya Putra muncul sebagian besar dari bahasa
Jawa, selain terdapat juga pengaruh bahasa dialek dari Jakarta dan bahasa
Inggris.
C. Kerangka Berpikir Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan (berkomunikasi),
saling belajar dari orang lain, dan saling memahami orang lain. Bahasa sangat
berperan dalam dunia pendidikan. Tanpa bahasa, seseorang tidak akan dapat saling
berkomunikasi. Dalam pembelajaran, guru dan siswa tidak akan terlepas dari bahasa.
Guru dan siswa adalah dwibahasawan yang tidak mungkin hanya
menggunakan satu bahasa saja dalam proses belajar mengajar. Siswa tidak akan
-
selalu paham dengan bahasa yang digunakan oleh guru. Untuk memperlancar proses
belajar mengajar, maka guru menggunakan lebih dari satu bahasa.
Guru sering menggunakan bahasa Jawa dalam menyampaikan materi. Hal
tersebut dilakukan oleh guru karena tidak semua siswanya mampu menguasai
kosakata bahasa Indonesia yang digunakan oleh guru. Maka, untuk memperlancar
proses belajar mengajar, guru menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk
berkomunikasi.
Rendahnya taraf penguasaan kosakata bahasa Indonesia oleh siswa itulah
yang menjadi faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode. Dengan
dilakukannya alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh guru, maka akibatnya
siswa akan lebih mudah menerima materi yang disampaikan oleh guru, karena siswa
mampu memahami bahasa yang digunakan oleh guru tersebut.
Alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh guru dan siswa terjadi oleh
sebab-sebab tertentu yang sengaja dilakukan oleh keduanya. Hal itu dapat dilihat dari
pemahaman siswa terhadap kosakata bahasa Indonesia yang masih rendah, misalnya
banyak kosakata yang digunakan oleh guru dan tidak dimengerti oleh siswa, sehingga
guru dengan sengaja melakukan alih kode dan campur kode. Selain itu, guru juga
kurang konsekuen dalam menerapkan bahasa Indonesia pada siswa saat pelaksanaan
pembelajaran yang terjadi secara formal, misalnya kebiasaan guru menggunakan
bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Jawa, atau dalam
menggunakan bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa Jawa. Kebiasaan
guru yang kurang konsekuen dalam menerapkan bahasa Indonesia pada siswa
tersebut manjadikan pelaksanaan pembelajaran menjadi tidak formal.
Wujud alih kode yang dilakukan oleh guru berupa alih kode intern. Sedangkan
wujud campur kode yang dilakukan berupa campur kode kata, frase, perulangan kata,
dan klausa. Hal inilah yang diamati dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas II
SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.
Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
-
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir