model penguatan kapasitas tanggap bencana pada komunitas
TRANSCRIPT
1
LAPORAN
PENELITIAN TERAPAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Model Penguatan Kapasitas Tanggap Bencana Pada Komunitas Masyarakat
Berbasis Crowdsource di Provinsi Lampung
TIM PENGUSUL
Simon Sumanjoyo Hutagalung, M.P.A
NIDN: 0028068102 Sinta ID: 38362
Himawan Indrajat, M.Si
NIDN: 0027078302 Sinta ID: 6154325
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
2
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN TERAPAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Mengetahui,
Dekan FISIP Unila,
KetuaPeneliti,
Tandatangan
Judul Penelitian
: Model Penguatan Kapasitas Bencana Pada Komunitas Berbasis Crowdsource di
Provinsi Lampung
Manfaat sosial ekonomi : Mendorong Kebijakan Publik yang tanggap bencana .
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Simon Sumanjoyo Hutagalung, M.P.A.
b. NIDN : 0028068102
c. SINTA ID : 38362
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Program Studi : Jurusan Administrasi Negara
f. Nomor HP : 082112928279
g. Alamat surel (e-mail) : [email protected]
Anggota Peneliti (1)
a. Nama Lengkap : Himawan Indrajat, S.IP., M.Si
b. NIDN : 0027078302
c. SINTA ID : 6081601
d. Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Jumlah mahasiswa yang terlibat : 3 orang
1816041056 DANIEL PRASETIYO
1816041071 RAMA ARDIANSYAH
1846041005 RIZKIKISPRIANJI
Jumlah staf yang terlibat : 1 orang
Lokasi kegiatan : Provinsi Lampung
Lama kegiatan : 8 Bulan
Biaya Penelitian : Rp. 35.000.000
Sumber dana : DIPA BLU Unila 2021
Bandar Lampung, 01-03-2019
Bandar Lampung, 20 September 2021
Mengetahui,
Dekan FISIP Unila Ketua Peneliti
(Dra. Ida Nurhaida, M.Si) (Simon S. Hutagalung, M.P.A)
NIP/NIK 196108071987032001 NIP/NIK 198106282005011003
Menyetujui,
Ketua LPPM Universitas Lampung
(Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A)
NIP/NIK 196505101993032008
i
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................... i
RINGKASAN ................................................................................................................................ ii
BAB I. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 5
Tinjauan Crowdsource dan potensinya ....................................................................................... 6
Penelitian Terdahulu ................................................................................................................... 7
Peta jalan (road map). ................................................................................................................. 8
BAB III. METODE ....................................................................................................................... 8
BAB IV. RENCANA ANGGARAN BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN .......................... 11
Rencana Anggaran Biaya ........................................................... Error! Bookmark not defined.
Jadwal Kegiatan ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11
ii
RINGKASAN
Bencana seringkali mengakibatkan dampak kerusakan yang besar dikarenakan masih minimnya
kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana. Guna mengurangi dampak bencana diperlukan
model yang mampu meningkatkan kapasitas komunitas dalam kesiapsiagaan bencana dan bersifat
praktis, efektif dan efisien. Konsep yang potensial untuk diadopsi adalah crowdsource, dimana
terdapat ciri khas terbuka bagi pelibatan komunitas dan efisien dalam penggunaan. Sehingga
penelitian ini dibuat dengan tujuan: (1). Menganalisis dan membangun model peningkatan
kapasitas kesiapsiagaan bencana bagi komunitas masyarakat berbasis crowdsource, dan (2).
Menguraikan serta mendesain sistem dan mekanisme implementasi model tersebut bagi komunitas
masyarakat terkait penanganan bencana di daerah. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk
penelitian R&D yang berusaha menganalisis secara fokus lalu kemudian membangun desain
gagasan baru. Sebagai lokasi analisis, akan dipilih daerah yang secara purposive memiliki latar
belakang penanganan bencana yang sudah bersifat regulative maupun yang baru berupa program
teknis. Pada tahap awal riset dilakukan untuk menganalisis dan membangun model kapasitas
kesiapsiagaan bencana pada komunitas dengan basis konsep crowdsource. Sejalan dengan
kegiatan itu dilakukan juga analisis dan penguraian sistem aplikatif supaya model tersebut
nantinya dapat diimplementasikan. Sebagai kajian riset R & D maka diperlukan metode gabungan
(mixed methode) yang mengkombinasi teknik pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif,
demikian juga dengan teknik analisis yang hendak digunakan. Pengumpulan data akan dilakukan
melalui tiga cara, yaitu studi pustaka yang meliputi bahan-bahan referensi kapasitas komunitas
dalam lingkup kesiagaan bencana pada daerah penelitian, wawancara dengan para informan secara
snowball dan observasi lapangan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Selain itu juga
dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data dan informasi yang relevan untuk digunakan
di dalam penelitian ini, diantaranya adalah melakukan identifikasi model peningkatan kapasitas
komunitas dalam kesiagaan bencana yang sesuai dengan kondisi existing, juga melalui analisis
terhadap beberapa model best practices model crowdsource yang sudah dirumuskan,
dikembangkan atau diterapkan pada organisasi, instansi atau pemerintah daerah lain di Indonesia.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan model analisis interaktif Miles dan
Huberman (1992) dengan prosedur kerja reduksi data, penyajian data, verifikasi data dan
penarikan simpulan, sementara untuk data kuantitatif akan digunakan bantuan software kuantitatif
seperti SPSS atau JASP. Kegiatan ini nantinya berujung kepada munculnya beberapa produk
keluaran hasil penelitian yang sejalan dengan spesifikasi skema riset. Sementara itu, keluaran dari
penelitian ini antara lain: a) Model, b) Artikel Internasional c).Prototype Sistem Aplikatif, d)
Makalah Seminar Nasional. Adapun TKT yang dicakup dari TKT 4 hingga TKT 5.
Kata Kunci: Kesiapsiagaan Bencana, Kapasitas Kesiapsiagaan, Kapasitas Komunitas,
Crowdsource.
3
BAB I. LATAR BELAKANG
Kepala BNPB mengatakan Indonesia termasuk daftar 35 negara berisiko bencana tertinggi di dunia
(Inews.id, 2020). Provinsi Lampung merupakan daerah risiko tinggi dan menempati posisi ke-16
dari 33 provinsi sebagai wilayah rawan bencana di Indonesia berdasarkan data Indeks Rawan
Bencana Indonesia dari BNPB. Bencana banjir porsinya mencakup 136 titik lokasi di 14
kabupaten/kota. Area yang berpotensi terjadi longsor tinggi hingga sedang mencapai 47,4%
tergolong luas dan patut menjadi perhatian (Lampost.co, 2020). Belum lagi gempa dan tsunami
yang mengancam daerah pesisir Lampung (Hutagalung et al., 2020), bahkan Kota Bandar
Lampung memiliki resiko tersebut (Adrian, 2016). Bencana alam menakutkan karena dampak
kerusakan. Tsunami selat sunda misalnya, 426 orang tewas dan 7,202 orang terluka serta 23 orang
hilang (Gustaman et al., 2020). Resiko bencana banjir dengan dampak kerusakan infrastruktur
publik dan rumah tangga yang dihadapi perkotaan (Kiranaratri et al., 2019) dan pedesaan dimana
banjir disertai dengan kejadian longsor yang mengakibatkan korban jiwa tak terduga (Anggraeni,
2020). Bencana tersebut mengakibatkan korban jiwa dikarenakan ketidaksiapan masyarakat
menghadapi bencana, padahal dapat meminimalkan kerusakan.
Pada riset sebelumnya diketahui tata kelola penanganan bencana bersifat (1). Cenderung minim
aktivitas dalam aspek pencegahan dan kesiapsiagaan, (2). Kesiapsiagaan dianggap hanya
berbentuk sosialisasi yang sifatnya insidentil, (3). Belum adanya sinergi menghimpun dan
menggerakkan komunitas masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana (Hutagalung et al., 2020).
Dalam aspek kesiapsiagaan ini pendekatan mitigasi berbasis komunitas mulai diidentifikasi,
seperti dalam program desa tangguh bencana (Qoidah & Widowati, 2020). Namun program ini
menghadapi persoalan, khususnya dalam aspek posisi sumber daya, desain kerja dan minimnya
partisipasi masyarakat (Akhirianto, 2019). Wujud lainnya berupa taruna siaga bencana, posisi
mereka juga mengalami persoalan sehingga konsistensi kinerja jangka panjangnya tidak jelas
(Yaneri, 2020). Bentuk pelibatan komunitas dalam kesiapsiagaan bencana masih menghadapi
kendala, khususnya pembentukan dan pengelolaan jejaring kesiapsiagaan bencana, diantaranya:
(a). Ketidakjelasan pihak penggerak aktif, (2). wilayah, jenis bencana dan sistem komunikasi, (3).
4
Komitmen dan konsistensi penggerak sistem (Gomes et al., 2016). Faktor jenis aktor, kepentingan
serta modal sosial di dalam komunitas merupakan elemen yang belum secara utuh disinergikan
(Blackman et al., 2017). Karenanya diperlukan model yang mampu meningkatkan kapasitas
komunitas dalam kesiapsiagaan bencana juga bersifat praktis. Konsep yang potensial diadopsi
adalah crowdsource, cirinya terbuka bagi pelibatan komunitas dan efisien dalam penggunaan
(Puspitasari, 2019), meskipun memerlukan adopsi kontekstual bagi penggunaan dalam aspek
manajemen bencana.
Permasalahan: (1). Bagaimanakah model peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana bagi
komunitas masyarakat berbasis crowdsource?, dan (2). Bagaimanakah sistem dan mekanisme
implementasi model tersebut bagi komunitas masyarakat terkait penanganan bencana di daerah?
Tujuan khusus: (1). Menganalisis dan membangun model peningkatan kapasitas kesiapsiagaan
bencana bagi komunitas masyarakat berbasis crowdsource, (2). Menguraikan serta mendesain
sistem dan mekanisme implementasi model tersebut bagi komunitas masyarakat terkait
penanganan bencana di daerah.
Urgensi penelitian: Manajemen bencana di daerah memerlukan intervensi pengkondisian
kapasitas masyarakat guna siap siaga menghadapi segala resiko bencana, diantaranya melalui
pembangunan model berbasis crowdsource dimana sifatnya terbuka, efektif dan efisien dalam
pengelolaan jejaring. Model ini dapat menjadi rekomendasi bagi penguatan kapasitas program
manajemen bencana.
Spesifikasi khusus: Riset yang hendak membangun model dengan hak cipta ini sinkron dengan
Renstra Penelitian Universitas Lampung, yaitu kepada Tema Manajemen Penanggulangan
Bencana khususnya Topik Riset Model kemasyarakatan yang tanggap bencana layanan terpadu.
Sinkron dengan PRN, pada Tema Mitigasi berkelanjutan terhadap bencana alam, khususnya Topik
Kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana alam.
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan manajemen bencana dan aspek kesiapsiagaan bencana
Guna mencermati kedekatan antara pemerintah serta warga yang terkena bencana, riset dari
(Chamlee-Wright, 2018) menarik buat dilihat. Riset ini menekankan tentang ekspektasi warga
terhadap kredibilitas serta keahlian pemerintah dalam membagikan donasi serta dorongan pasca
musibah. Mereka memandang kalau keberhasilan kebijakan dapat dilihat dari intensi pemerintah
serta kaitannya pada harapan warga (Lutz, 2019). Dalam permasalahan pasca musibah warga
terbagi jadi pihak yang optimis serta pesimis terhadap kemampuan pemerintah (Lichtveld et al.,
2020). Warga yang hidup dekat dengan musibah mempunyai mekanisme kultural buat menyikapi
musibah (Shoji et al., 2020). Perihal ini terpaut dengan keahlian serta kapasitas warga supaya
sanggup berdamai dengan bencana (Gajanayake et al., 2018).
Sebagian kajian menerangkan bahwa terdapat kedekatan antara warga, alam serta kebijakan
terpaut bencana (Chan et al., 2019). Dalam beberapa kajian ditekankan tentang warga yang jadi
korban musibah mempunyai harapan atas reaksi yang diintervensi oleh pemerintah (Peters et al.,
2019). Kajian kedua memandang bahwa kapasitas warga akan menyesuaikan diri terhadap
bencana yang rutin (Shah et al., 2020). Selain itu, kajian lain menggambarkan penganggulangan
bencana memerlukan inisiatif guna mencermati bermacam aktor yang berperan lebih maksimal,
diantaranya civil society (Lassa, 2018).
Kesiapsiagaan ialah salah satu proses manajemen bencana (Baker & Ludwig, 2018). Dalam
konsep pengelolaan musibah yang sedang berkembang, kesiapsiagaan berarti pengurangan resiko
musibah yang proaktif saat sebelum terjadinya musibah (Erbeyoğlu & Bilge, 2020). Sebagian
aspek yang membutuhkan atensi dalam pengembangan kesiapsiagaan antara lain: a) Perencanaan
serta organisasi: arahan serta kebijakan terpaut perencanaan penindakan keadaan darurat yang
tepat guna serta terus diperbaharui, dan struktur organisasi penanggulangan yang mencukupi
(Rodríguez-Espíndola et al., 2018). b) Sumberdaya: inventarisasi seluruh organisasi sumberdaya
secara jawab lengkap, pembagian tugas serta tanggungjawab (H. Kim & Zakour, 2017). c)
Koordinasi: penguatan koordinasi antar lembaga/organisasi dan menghilangkanfriksi serta
tingkatkan kerjasama antar lembaga/ organisasi terpaut (Escudero et al., 2018). d) Kesiapan: unit
6
organisasi penangulangan bencana wajib bertanggung jawab penuh memantau serta melindungi
standar kesiapan seluruh elemen (Repoussis et al., 2016). e) Pelatihan serta pemahaman warga:
butuh terdapatnya pelatihan yang memadai serta terdapatnya pemahaman warga dan ketersediaan
data yang akurat (M.-Y. Kim & Kim, 2017). Faktor- faktor yang bisa pengaruhi kesiapsiagaan
sesuatu komunitas terhadap musibah, ialah; 1) motivasi external meliputi kebijakan, pembelajaran
serta latihan, dana, 2) pengetahuan, 3) perilaku, serta 4) kemampuan (Baytiyeh, 2017).
Pengetahuan ialah aspek utama kunci buat kesiapsiagaan sesuatu komunitas (Jd & Zd, 2016).
Pengetahuan bencana yang dipunyai biasanya sangat pengaruhi perilaku serta kepedulian terhadap
kesiapsiagaan dalam mengestimasi musibah. Pembentukan sikap bisa berlangsung lewat proses
belajar, pengalaman individu serta orang lain, dan sosialisasi (Teo et al., 2018). Perilaku dalam
mengalami bencana ialah perwujudan dari pengetahuan yang diimplementasikan lewat suatu aksi
serta keahlian guna mempertahankan diri dikala berhadapan dengan bencana (Savage, 2019).
Pendekatan partisipasi komunitas bertujuan membangun keahlian masyarakat dalam
mengantisipasi musibah secara efektif dan tepat (Twigg & Mosel, 2017). Dengan demikian,
komunitas masyarakat layak tidak hanya menjadi kelompok sasaran, namun juga pelaku agar
sanggup berperan kala berhadapan dengan potensi bencana alam.
Tinjauan Crowdsource dan potensinya
Crowdsource terdiri atas 2 komponen, ialah: crowd, yang berarti kerumunan orang, serta source,
yang berarti sumber energi. Apabila digabungkan, hingga terjemahan bebasnya bisa dimaksud
bagaikan suatu sistem ataupun konsep sumber energi berbasis kerumunan (Bhatia et al., 2018).
Crowdsource dimengerti sebagai proses urun energi, merupakan proses guna mendapatkan
layanan, jasa, ataupun konten tertentu dengan metode membuka partisipasi dari orang lain secara
massal, secara spesial lewat komunitas (Kohler & Chesbrough, 2019). Metode kerjanya dengan
mengakomodasi usaha dari sebagian sukarelawan ataupun pekerja yang memiliki minat terhadap
hal tersebut, dimana tiap- tiap dari mereka mempunyai inisiatif tertentu guna menggapai hasil yang
optimal (Schenk et al., 2019).
Crowdsource merupakan suatu sebutan yang kerap digunakan buat menggambarkan sesuatu
proses dalam memperoleh pekerjaan maupun pendanaan dari sekelompok orang dalam jumlah
banyak lewat sarana online (Baruch et al., 2016). Secara lebih khusus, crowdsource didefinisikan
sebagai sesuatu kegiatan ataupun aksi yang dilakukan oleh suatu organisasi, komunitas ataupun
7
institusi dengan mengambil alih salah satu jenis pekerjaan ataupun tugas yang sepatutnya
dilaksanakan oleh karyawannya menjadi bersifat terbuka dan disebarluaskan secara leluasa bagi
orang banyak ataupun kerumunan yang terkoneksi dalam suatu jejaring (Cheng et al., 2019).
Konsep universal crowdsource merupakan terdapatnya pelibatan yang tidak terbatas serta tanpa
memandang latar orang yang mau membagikan kontribusinya ataupun solusinya atas sesuatu
problem (Poblet et al., 2018). Konsep spesial crowdsource adalah melaksanakan suatu pekerjaan
atau turut serta dalam pemecahan atas problem melalui urun kontribusi sedemikian rupa sampai
problem tersebut bisa ditangani secara efektif dan cepat, konsep ini hendak meningkatkan
kemampuan akseleratif suatu organisasi, komunitas maupun institusi(Lin et al., 2018). Secara
khusus, konsep crowdsource dalam bencana diinterpretasikan sebagai pelibatan sumber daya
manusia secara komunal serta berdasarkan spesifiksi kebutuhan penindakan permasalahan
bencana yang dibutuhkan, baik dalam wujud kerumunan langsung ataupun dalam wujud kelompok
kecil (Harrison & Johnson, 2016). Komunitas yang bergabung dalam crowdsource ini umumnya
mempunyai passion ataupun rasa tertarik pada produk atau aktivitas yang dihasilkan (Riccardi,
2016). Oleh sebab itu, crowdsource dilaksanakan secara sukarela (Kankanamge et al., 2019).
Penelitian Terdahulu
Pada riset sebelumnya diidentifikasi implementasi tata kelola bencana di daerah, dimana
pemerintah daerah harus senantiasa menciptakan kerjasama kolaboratif tidak hanya dengan
pemerintah pusat namun juga dengan kelompok swadaya masyarakat serta sektor privat
(Hutagalung et al., 2020). Pada riset lainya teridentifikasi peran penting komunitas masyarakat
guna menjaga konsistensi misi tanggap bencana dalam kegiatan pemerintahan, termasuk
pelayanan publik (Hutagalung, 2019). Pentingnya posisi komunitas dalam manajemen bencana ini
teridentifikasi lagi dalam riset yang dilakukan kepada kelompok masyarakat, khususnya berkaitan
dengan daya tahan menghadapi bencana. Dalam penelitian itu daya tahan personal akan memiliki
keterkaitan dengan daya tahan komunitas dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Komunitas semestinya memiliki kapasitas kesiapsiagaan yang lebih maksimal guna memberikan
efek secara personal maupun masyarakat luas (Hutagalung, 2018). Ketiga penelitian ini menjadi
dasar bagi riset ini guna menganalisis aspek kapasitas komunitas dalam kesiapsiagaan terhadap
bencana dengan menggunakan basis konsep crowdsource guna menghasilkan solusi yang dapat
mengatsai kelemahan partisipasi masyarakat dalam aspek manajemen bencana.
8
Peta jalan (road map).
Berikut adalah roadmap tema riset ini.
BAB III. METODE
9
Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian R&D yang berusaha menganalisis secara fokus
lalu kemudian membangun desain gagasan baru. Sebagai lokasi analisis, akan dipilih daerah yang
secara purposive memiliki latar belakang penanganan bencana yang sudah bersifat regulative
maupun yang baru berupa program teknis di Provinsi Lampung.
Riset pembangunan model akan dilakukan dengan mengidentifikasi dan menganalisis beberapa
hal: (1). Analisis kapasitas kesiapsiagaan yang sudah terbentuk, (2). Analisis faktor-faktor yang
berpotensi mendukung penguatan kapasitas kesiapsiagaan bencana pada komunitas, (3). Analisis
potensi adopsi konsep crowdsource dalam model penguatan kapasitas kesiapsiagaan bencana
pada komunitas. Selain itu dilakukan juga analisis terhadap sistem atau mekanisme penerapan
model tersebut sehingga dapat aplikatif bagi komunitas bencana yang akan menjadi kelompok
sasarannya. Pada bagian ini dilakukan analisis mencakup: (1). Analisis kebijakan atau regulasi
terkait sistem kesiapsiagaan bencana, dan (2). Analisis faktor-faktor yang berpotensi menjadi
penghambat atau tantangan bagi implementasi model tersebut. Keseluruhan kegiatan ini nantinya
akan dikerjakan secara sinergis oleh tim peneliti dengan porsi kerja yang sudah diatur.
Pengumpulan data akan dilakukan melalui tiga cara, yaitu studi pustaka yang meliputi bahan-
bahan referensi kapasitas komunitas dalam lingkup kesiagaan bencana pada daerah penelitian,
wawancara dengan para informan secara snowball. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data
sekunder berupa data dan informasi yang relevan untuk digunakan di dalam penelitian ini,
diantaranya adalah melakukan identifikasi model peningkatan kapasitas komunitas dalam
kesiagaan bencana yang sesuai dengan kondisi existing, juga melalui analisis terhadap beberapa
model best practices model crowdsource yang sudah dirumuskan, dikembangkan atau diterapkan
pada organisasi, instansi atau pemerintah daerah lain di Indonesia. Informan dalam penelitian ini
mencakup pimpinan pemerintah daerah, DPRD setempat, tokoh masyarakat/adat dan pimpinan
komunitas masyarakat yang relevan dengan tema penelitian ini. Selain itu akan dilakukan survey
terhadap stakeholder dan kelompok sasaran yang terkait dengan implementasi model tersebut.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan model analisis interaktif Miles dan
Huberman (1992) dengan prosedur kerja reduksi data, penyajian data, verifikasi data dan
penarikan simpulan, sementara untuk data kuantitatif akan digunakan bantuan software kuantitatif
10
seperti SPSS atau JASP. Dapat dijelaskan pada kegiatan tahap awal dilakukan untuk menganalisis
dan membangun model kapasitas kesiapsiagaan bencana pada komunitas dengan basis konsep
crowdsource. Sejalan dengan kegiatan itu dilakukan juga analisis dan penguraian sistem aplikatif
supaya model tersebut nantinya dapat diimplementasikan. Sebagai kajian riset R & D maka
diperlukan metode gabungan (mixed methode) yang mengkombinasi teknik pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif, demikian juga dengan teknik analisis yang hendak digunakan. Kegiatan
ini nantinya berujung kepada munculnya beberapa produk keluaran hasil penelitian yang sejalan
dengan spesifikasi skema riset.
Adapun luaran wajib yang hendak dicapai dalam penelitian terapan ini berupa:
1. Satu produk iptek-sosbud yang terdaftar di Sentra HaKI LPPM Unila berupa: system dan
model penguatan kapasitas tanggap bencana pada komunitas yang dilindungi oleh KI;
2. Satu artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal internasional terindeks SCOPUS, ditargetkan
jurnal sasaran adalah International Journal of Disaster Risk Reduction (Q2);
3. Satu artikel yang dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah yang diselenggarakan LPPM Unila.
Selain luaran wajib sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya. Tim peneliti PT dapat
mengadakan luaran tambahan PT berupa satu artikel ilmiah yang dimuat dalam prosiding seminar
nasional, dalam hal ini ditargetkan prosiding seminar KNIA STIA LAN di Bandung Tahun 2021;
11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum masuk ke dalam bahasan crowdsourcing , tentunya kata outsourcing cukup
terbiasa kita dengar. Outsourcing adalah konsep yang mengalihkan pekerjaan dari suatu
perusahaan, institusi atau organisasi ke perusahaan, institusi, organisasi atau individu
lainnya. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa pada tahun 2003-an, banyak vendor-vendor
besar, katakanlah Microsoft, SunMicrosystem, IBM, Hewlet-Packard dan vendor lainnya,
memberikan pekerjaan seperti menguji, mendeteksi celah suatu software pada perusahaan di
India ataupun Cina. Dengan demikian perusahaan di India atau Cina mendapatkan
keuntungan dan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya, dan vendor besar mendapatkan
kemudahan dan penilaian objektif dari software yang dibuatnya.
Pada awal tahun pelaksanaannya, outsourcing menjadi trend dan diharapkan dapat
menghemat jutaan dollar bagi para vendor besar, karena tenaga kerja dan pajak yang murah
dibandingkan apabila dilakukan (di negara ) sendiri. Namun sesuai dengan tatanan global
yang sedemikian terbuka dan kompetitif, tidak cukup jutaan dolar saja yang harus dihemat,
namun tingkat akseptabilitas, kompatibilitas, reliabilitas dan interoperabilitas harus
dikedepankan, dan berujung pada penghematan dan pendapatan perusahaan yang lebih besar
lagi hingga mencapai ratusan juta dollar, hingga milyaran dollar.
Untuk itu sekarang ini konsep yang selama beberapa tahun belakangan ini dipandang sebelah
mata mulai dilirik secara lebih serius, yakni open system, seperti open source, open standar
yang menjadi cikal bakal metode sourcing baru yakni Crowdsourcing. Crowdsourcing
diartikan secara kata perkata mempunyai terjemahan bebas yakni: Crowd: kerumunan
orang, Sourcing (kata kerja dari Source): sumberdaya.
Apabila digabungkan (masih dalam terjemahan bebas) akan berarti sebagai sesuatu sistem
atau konsep yang sumber daya berbasis kerumunan. Definisi sederhana crowdsourcing
menurut JeffPHowe[1] adalah suatu aktifitas atau tindakan yang dilakukan oleh suatu
perusahaan atau institusi yang mengambil salah satu fungsi pekerjaan/tugas yang seharusnya
dilakukan oleh karyawannya disebarluaskan secara terbuka dan bebas untuk orang
banyak/kerumunan yang terkoneksi dengan jaringan komputer, dalam hal ini Internet. Aksi
12
tersebut kan berubah menjadi bentuk produksi sekawan (peer production) manakala suatu
sudah terjadi kesepakatan kerja, namun. Secara sederhana digambarkan dalam gambar , 3, 4,
5 dan 6.
Konsep umum crowdsourcing dimaksudkan adanya pelibatan yang tidak terbatas dan
tanpa memandang latar belakang pendidikan, kewarganegaraan , agama, amatir atau
professional, bagi setiap orang yang ingin memberikan kontribusinya atau solusinya atas
suatu permasalahan yang dilemparkan oleh individu, perusahaan atau institusi, baik
dibayar/royalti atau secara cuma-cuma.
Konsep khusus crowdsourcing suatu perusahaan atau institusi ingin mendapatkan
solusi atas permasalahan yang mereduksi birokrasi dengan biaya yang rendah dibandingkan
dengan membayar tenaga kerja secara konvensional, sedemikian hingga permasalahan dapat
ditangani secara cepat, tepat dan hemat biaya, yang pada akhirnya baik secara langsung
maupun tidak langsung akan meningkatkan daya saing perusahaan atau institusi tersebut.
13
Grup Besar
Internet
: Individu berbagai latar belakang
? : Permasalahan
Gambar 1: Diagram Konsep & Definisi Crowdsourcing
Crowdsourcing diinterpretasikan bahwa suatu perusahaan dapat memperkerjakan
karyawan baru dari kerumunan tanpa dipusingkan dengan urusan-urusan tambahan, dan
memperkerjakan karyawan secara parsial dan temporal sesuai dengan kebutuhan penanganan
masalah yang diperlukan baik dalam bentuk kerumunan langsung atau disederhakan dalam
bentuk kelompok yang lebih kecil (peer).
Beberapa perusahaan atau institusi besar dan kelas dunia yang telah memanfaatkan
konsep crowdsourcing untuk kepentingan perusahaanya masing-masing, akan dibahas untuk
lebih memperluas pengetahuan tentang konsep crowdsourcing itu sendiri.
14
I. Bidang Hiburan
- Saluran televisi VH1 dan induknya Viacom menggunakan crowdsourcing untuk
improfisasi bisnisnya, dimulai dengan membeli iFilm, tempat penyimpanan video
clip popular senilai 49 juta USD dan mulai bermain dengan viral video, yakni video
internet yang selanjut mulai menggarap acara-acara yang melibatkan kerumunan
seperti Web Junk Contest, dimana pemirsanya mengirim 12000 video klip penuh. Dan
juga acara kontes gitar via internet yang juri dan pesertanya adalah peserta dan
pemirsa itu sendiri.
II. Bidang Riset & Pengembangan
1. InnoCentive didirikan oleh alih farmasi Eli Lily pada tahun 2001 dengan tujuan untuk
menghubungkan dengan sumberdaya akal diluar perusahaan, yang dapat membantu
untuk membuat obat dan menjualnya ke pasaran. Diluar bidang farmasi, InnoCentive
juga membuka pintu bagi perusahaan lainnya yang punya masalah untuk dipecahkan
dengan menaruhnya di situs web InnoCentive agar dicari solusinya oleh kerumunan.
Perusahaan seperti Boeing, DuPont, Procter & Gamble (P&G) turut serta
mengemukakan permasalahan penting perusahaan di situs InnoCentive untuk
dipecahkan oleh kerumunan. InnoCentive akan membayar pemecah masalah antara
10.000 sampai 100.000 USD per solusi, dan perusahaan yang menaruh
permasalahannya di InnoCentive juga membayar fee kepada situs tersebut.
Gambar 1: Myspace.com Gambar 2: Innocentive.com
2. Colgate-Palmolive, perusahaan yang di tanah air terkenal dengan pasta gigi dan sabun
mandinya, mempunyai masalah, bagaimana cara meninjeksi tepung fluoride ke dalam
tabung pasta gigi tanpa menyebar keluar. Dan akhirnya terpecahkan oleh seorang ahli
15
(melalui internet) bernama Melcarek, dengan menambahkan daya listrik pada saat
penginjeksian.
3. P&G, perusahaan yang terkenal dengan produk rumah tangganya, seperti, sabun,
shampoo, obat, dan lain lain, mempunyai kendala dalam anggaran risetnya. Pada
tahun 2000, biaya riset perusahaan meninggi sedangkan penjualan cenderung tetap.
Dengan harga pasaran yang jatuh, diperlukan improfisasi produk untuk menaikan
penjualan, crowdsourcing menjadi pilihan dan telah meningkatkan persentasi inovasi,
dari 15 persen menjadi 50 persen. Selain itu enam tahun setelah melibatkan
crowdsourcing 35 persen komponen kritis produk berasal dari inisiatif pihak luar
perusahaan serta meningkatkna produktifitas riset dan pengembangannya sebesar 60
persen.
III. Edukasi dan Industri Software
1. IlmuKomputer.com, suatu situs penampung berbagai artikel komputer dan teknologi
informasi asal tanah air, menjadi banyak rujukan bagi mahasiswa, dosen, akademisi,
pelajar Indonesia. Semua artikel dapat didownload dengan gratis dan disebarluarkan
ke banyak pihak.
2. SourceForge.net, situs penampung kode program dan program yang dapat
didownload gratis oleh setiap orang yang berminat.
3. Wikipedia, situs enklopedia yang terbuka untuk umum, mencakup jumlah yang besar
kata dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa dan istilah Indonesia. Sebagai
contoh, definisi crowdsourcing terdapat dalam situs ini.
Gambar 3: iStockPhoto.com Gambar 4: IlmuKomputer.com
16
Gambar 5: SourceForge.net Gambar 6: Crowdsourcing di Wikipedia.org
Selain bidang dan situs yang disebutkan di atas, masih banyak lagi yang bisa kita temukan
yang mengadopsi konsep crowdsourcing, di Internet.
3. Manfaat dan Kelemahannya
Seperti dijelaskan sebelumnya, jelas sekali manfaat yang dapat diperoleh dengan
konsep crowdsourcing ini diantaranya:
1. Ekonomi & Bisnis, manfaat ini yang magnet terbesar mengapa perusahaan
mengadopsi dan menerapkannya untuk perusahaan.
Perusahaan tidak memerlukan konsultan yang elite dan mahal, untuk mendapatkan
suatu masukan atau solusi bagi pemecahan suatu masalah.
Perusahaan dapat menambah karyawan (maya) dengan kualitas yang sama mungkin
lebih yang memberikan kontribusi positif, misal bagi divisi riset dan pengembangan,
denga biaya murah atau bahkan gratis.
Seseorang dapat memperoleh konten dengan kualitas yang sama dari seorang
professional dengan biaya amatiran.
Dari segi bisnis di era partisipasi ini, akan membentuk suatu komunitas, dan
komunitas itu akan membentuk suatu pasar baru bagi pihak yang mau dan jeli
melihatnya.
Dengan masukan informasi yang berlimpah dan terkadang revolusioner, akan
meningkatkan daya saing pihak-pihak yang memanfaatkannya dengan baik.
17
2. Penyebaran informasi, manfaat ini juga menjadi salah satu daya tarik yang besar,
dengan terbukanya suatu informasi, katakanlah tentang software, maka akan semakin
berkurang ketergantungan terhadap seuatu vendor tertentu dikarenakan banyaknya
alternatif yang tersedia. Contoh kasus, Open Software, Open Source.
3. Integrasi Dunia, manfaat ini yang menjadi perhatian terutam dalam Millenium
Development Goal (MDG), dimana dunia akan menjadi satu ikatan yang utuh, tidak
memandang sekat-sekat negara dan bangsa. Penyebaran informasi yang akan
membuat yang jauh menjadi dekat dan yang dekat akan semakin intim. Tidak ada lagi
dominasi satu pihak atas suatu informasi. Semuanya terbuka, tidak ada yang merasa
dikelabui atau diakali oleh pihak lain.
Selain manfaat, ada celah maupun kekurangan pada konsep crowdsourcing ini, beberapa
diantaranya:
1. Lisensi; hal ini yang menjadi perhatian situs atau pihak-pihak yang menampung hasil
kiriman produksi individu. Lisensi kadang bermasalah, dimana pengawasan menjadi
semakin terlalu luas lingkup dan daya jangkaunya.
2. Keamanan; dengan semakin terbuka dan cepatnya penyebaran informasi, segal
sesuatu yang terbuka akan lebih rawan untuk diasupi atau disisipi oleh seseorang atau
sesuatu yang melanggar batas-batas kewajaran, seperti privasi atau keamanan itu
sendiri.
3. Kehandalan; hal ini juga masih menjadi perdebatan, suatu contoh, dalam wikipedia,
definisi suatu kata tingkat keakurasian dan nilai ilmiahnya masih menjadi pertanyaan
dan perdebatan, karena siapapun dapat mengakses sistem tersebut, walaupun sudah
ada tim yang mencoba mengatasi masalah tersebtu, dan berujung pada level
kepercayaan dan keandalan akan suatu konsep dan sistem itu sendiri
1
4. Tren Dalam Manajemen Bencana
Crowdsourcing menjadi hal yang ditangani dan dimanfaatkan secara serius oleh
pihak baik individu, perusahaan dan institusi , yang terlibat di dalamnya. Permasalahan
ataupun kekurangan yang ada nampaknya akan semakin direduksi, seperti masalah
interoperlabilitas, reliabilitas, dan lain sebagainya. Crowdsourcing akan tetap menjadi tren
untuk beberapa tahun atau decade ke depan dengan penambahan fitu dan pengembangan baru
seperti masuknya konsep data mining, semantic web dan information integration, yang akan
saling mendukung konsep crowdsourcing itu sendiri.
Proses crowdsourcing secara umum dijabarkan dalam siklus yang terdiri dari 4
tahap sebagai berikut:
• Pre-selection of contributors phase: Organisasi crowdsourcing menentukan
kriteria spesifik untuk mengumpulkan kontributor spesifik berpotensi atau tetap
membuka proyek terhadap crowd secara umum.
J. Accessibility of peer contributions phase: Organisasi crowdsourcing perlu
menentukan apakah kontributor dari crowd diijinkan untuk melihat, melakukan
review, melakukan update, atau delete terhadap kontribusi lain.
K. Aggregation phase: Organisasi crowdsourcing mengumpulkan sekumpulan
kontribusi untuk menghasilkan solusi terbaik sesuai kebutuhan.
L. Remuneration phase: Bila dapat diaplikasikan, organisasi crowdsourcing
memberi kompensasi pada kontributor (crowd) terhadap partisipasi mereka
sesuai dengan aturan yang berlaku dari kesepakatan crowdsourcing yang harus
dirumuskan di fase awal sebelum pengerjaan tugas (Kamoun, 2015, p.42-43).
Selain siklus secara umum tersebut, proses crowdsourcing dijabarkan ke dalam
5 tahapan yang berbeda berdasarkan aktivitas sebelum proses crowdsourcing, proses
crowdsourcing itu sendiri, dan pasca proses crowdsourcing:
- Initiation Phase: Organisasi perlu merumuskan prinsip crowdsourcing dan
memastikan hal itu sesuai dengan strategi dan objektif bisnis.
2
- Preparation phase: terdiri dari proses menciptakan crowdsourcing task dan
proses menentukan bagaimana proses pengkontrakan pada crowdsourcing.
- Engagement phase: Organisasi meminta kontribusi melalui media sosial atau
platform berbasis website sesuai persetujuan pada fase inisiasi.
- Evaluation phase: Organisasi crowdsourcing mengumpulkan, menyaring dan
mengevaluasi kontribusi yang terkumpul.
- Commitment phase: Melibatkan evaluasi terhadap kontributor,
mengidentifikasi nilai-nilai dan keuntungan yang didapat, menutup proyek dan
menentukan apakah diperlukan proses lain untuk memenuhi proyek
crowdsourcing mula-mula (Kamoun, 2015, p.43-45).
Menurut Khalid (2015, p.39-43) dan Cullina (2015, p.3), ada 4 pilar dasar dari
proses crowdsourcing yang menunjukkan karakteristik dan unsur-unsur penyusun dari
crowdsourcing yakni pilar crowd, pilar crowdsourcer, pilar crowdsourcing task, dan
pilar crowdsourcing platform:
2. Crowd:
Definisi crowd adalah sekumpulan besar orang melakukan kontribusi terhadap
sebuah tindakan secara online untuk memecahkan masalah terdistribusi atau mencari
ide inovatif atau dalam konteks crowdsourcing, adalah pihak yang melakukan tugas
crowdsourcing. Sebuah crowd dapat terbentuk sebelum terjadinya open call atau
proses crowdsourcing dalam bentuk sebuah kelompok sosial atau komunitas. Namun,
crowd hanya akan aktif saat terjadi penawaran atau open call.
Terdapat lima aspek yang umumnya terdapat pada crowd berdasarkan sifat-sifat
dari crowd itu sendiri sebagai berikut:
4. Diversity yaitu kondisi crowd yang berbeda-beda.
3
5. Unknown-ness yaitu kondisi terjaganya privasi dan informasi pribadi
crowd dari diketahui oleh pihak lain.
JJJ. Largeness berarti dalam jumlah banyak.
KKK. Undefined-ness berarti crowd dibentuk tanpa batasan yang tetap
LLL. Suitability yaitu kecocokan terhadap alasan dan tujuan mula-mula dari
diadakannya proses crowdsourcing (Khalid, 2015, p.41).
Selain lima aspek tersebut, terdapat tiga aspek lain yang menjadi kriteria dari
sebuah crowd berdasarkan peranan dari crowd dalam proses crowdsourcing:
Who forms the crowd: Crowd merujuk kepada kelompok individu dengan
karakter, keberagaman, dan pengetahuan yang ditentukan oleh kebutuhan
dari proses crowdsourcing.
What the crowd has to do: Crowd harus memberikan solusi terhadap sebuah
permasalahan dengan mengerjakan tugas dari berbagai macam
kompleksitas yang menunjukan partisipasi sukarela mereka dalam
crowdsourcing.
What does the crowd get in return: Crowd akan mendapat kepuasan dari
aktivitas yang dilakukan, baik itu secara ekonomis, sosial, kepercayaan diri,
maupun pengembangan kemampuan individu (Estellés-Arolas & González-
Ladrón-de-Guevara, 2012, p.6).
4. Crowdsourcer:
Crowdsourcer adalah lembaga yang mendapat keuntungan dari crowdsourcing
task. Crowdsourcer disebut juga process requester, initiator, focal agent, atau crowd
user. Terdapat dua aspek dari crowdsourcer berdasarkan karakteristik dari
crowdsourcer yaitu:
4
4. Who is the initiator: crowdsourcer adalah entitas yang bertugas
menyampaikan inisiatif diberlakukannya tugas baik itu perusahaan, institusi, atau
individu.
5. What the initiator gets in return: crowdsourcer akan mendapatkan solusi
dari permasalahan dengan pemenuhan tugas yang dilakukan oleh crowd.
Selain berdasarkan karakteristriknya, dapat dirusumuskan aspek-aspek dari
crowdsourcer berdasarkan peranannya dalam crowdsourcing sebagai berikut:
Incentive provision adalah alasan yang mendukung seseorang untuk
melakukan tugas atau untuk meningkatkan usaha. Crowdsourcer bisa
memberikan alasan tersebut untuk mendorong kinerja crowd. Dalam
crowdsourcing, alasan keuangan cukup banyak digunakan.
Open call artinya tiap orang yang ingin melakukan tugas tersebut dapat
mencobanya. Dalam crowdsourcing berarti sebuah tugas yang terbuka bagi
semua orang tanpa peduli latar belakang mereka.
Ethicality provision berarti untuk melakukan sesuatu berdasarkan moral dan
etika (Estellés-Arolas dan González-Ladrón-de-Guevara, 2012, p.7).
4. Crowdsourcing Task:
Dengan crowdsourcing task, crowd memberikan kontribusi melalui
berbagai cara. Dari crowdsourcing task ini, akan muncul hasil yang menjadi solusi
dari permasalahan yang diajukan. Hasil dari crowdsourcing task ini dapat
ditentukan salah satunya dengan menentukan satu pemenang dari hasil kontribusi-
kontribusi crowd. Cari lain untuk menemukan hasil dari sebuah crowdsourcing task
adalah dengan kumpulan ahli memilih ide terbaik atau solusi potensial terhadap
sebuah permasalahan.
Terdapat empat aspek penting dari sebuah crowdsourcing task berdasarkan
peranannya dalam proses crowdsourcing. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai
berikut:
5
o Traditional operation: Kemungkinan alternatif yang tersedia bagi
crowdsourcer untuk melakukan sebuah crowdsourcing task bila tidak
dikerjakan oleh crowd.
o Outsourcing task: Kegiatan mengurangi biaya yang dibutuhkan dengan
memindahkan beberapa proses bisnis ke pihak luar perusahaan.
o Modularity: Berarti sampai batasan manakah sebuah tugas dapat dipecah
ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil untuk dikerjakan.
o Complexity: Suatu keadaan yang rumit atau susah dimengerti, dalam hal ini
adalah tugas kebutuhan jasa yang harus diselesaikan oleh manusia atau user
lain.
o Automation characteristics: proses atau fasilitas manufaktur secara
otomatis, tanpa peran manusia dan dikendalikan oleh alat itu sendiri
(operating device).
o User-driven: Aktivitas yang diatur oleh user dan bukan oleh sistem disebut
user-driver (Khalid, 2015, p.42).
• Crowdsourcing Platform:
Crowdsourcing Platform didefinisikan sebagai tempat dimana tugas
crowdsourcing task terjadi. Umumnya crowd menggunakan IT berbasis website
atau mobile platform, atau kombinasi keduanya sebagai crowdsourcing platform.
Ada beberapa aspek dari crowdsourcing platform berdasarkan perananannya dalam
proses crowdsourcing:
o Crowd-related interaction: Interaksi antara crowd dengan platform
dimana crowdsourcing activity dilakukan.
o Crowdsourcer related interactions: Interaksi antara crowdsourcer dengan
crowdsourcing platform yang bisa dalam berbagai bentuk.
o Task related facilities: Beberapa fasilitas yang disediakan crowdsourcing
platform untuk mendukung tugas yang dilakukan.
6
o Platform-related facilities: Fasilitas yang disediakan untuk mendukung
pengerjaan task secara sehat dan lancar pada platform.
Berdasarkan pilar-pilar dan aspek-aspek tersebut, dapat dirumuskan metriks
atau syarat-syarat terbentuknya crowdsourcing sebagai berikut:
• Terdapat crowd yang sudah didefinisikan dengan jelas.
• Terdapat task dengan target yang jelas.
• Kompensasi yang akan didapat crowd dari partisipasinya sudah jelas.
• Crowdsourcer diidentifikasikan dengan jelas.
• Kompensasi yang akan diterima crowdsourcer sudah didefinisikan sudah
jelas.
• Adalah sebuah proses partisipasi terhadap tugas secara online.
• Menggunakan open call (panggilan atau tawaran terbuka) dengan syarat
yang beragam.
• Menggunakan media internet. (Estellés-Arolas & González-Ladrón-de-
Guevara, 2012, p.10)
Dalam pengaplikasian crowdsourcing, dapat muncul beberapa resiko yang
perlu ditangani dan dipahami sebelum dilaksanakan. Resiko pertama menurut dapat
muncul jika tugas atau masalah yang dikirimkan ke crowd (open call) tidak
didefinisikan secara jelas atau feedback partisipasi yang diberikan crowd tidak sesuai
dengan kebutuhan. Karenanya, proses crowdsourcing bisa saja bukan aksi 1 kali
proses, melainkan bisa dilakukan terus menerus demi mencapai tujuan yang diinginkan
secara maksimal (Seltzer & Mahmoudi, 2012). Resiko lain yang dapat muncul adalah
implementasi crowdsource dengan task yang tidak jelas menghasilkan kontribusi yang
tidak maksimal juga sehingga crowdsource menjadi sia-sia dan tidak efektif
(Allahbakhsh, 2013, p.76).
7
Berbagai peristiwa bencana di tanah air belakangan terakhir telah memberi catatan historis
bagaimana peran media sosial di setiap tahapan manajemen bencana, baik di stase mitigasi,
respon, maupun pemulihan. Pola-pola komunikasi pada bidang manajemen bencana di media
sosial lebih kompleks dan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan media tradisional,
terutama dalam penyebaran informasi. Tak hanya itu, media sosial juga menjadi jembatan
dalam membangun kesadaran, memberikan pengetahuan, dan meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap peristiwa bencana yang terjadi di suatu negara (Nazer et al., 2017).
Nazer et al memberikan gambaran model peran media sosial dalam manajemen bencana.
Ia menggunakan pendekatan empat tahap manajemen bencana, yakni peringatan (warning),
dampak (impact), respon (response), dan bantuan (relief). Keempat tahapan itu dibagi menjadi
delapan stase sosio-temporal, yakni prediksi kejadian, sistem peringatan, deteksi kejadian,
perubahan bahasa, penelusuran bencana, kesadaran situasi, alat-alat, dan crowdsourcing. Model
tersebut disajikan dalam gambar 1.
Gambar 6 Stase sosio-temporal. Sumber (Nazer et al., 2017).
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kualitas data menjadi hal yang paling krusial
dalam manajemen bencana dengan media sosial. Media sosial bisa menjadi hutan rimba yang
menyesatkan dengan banyaknya unggahan warganet di linimasa, baik yang informatif
maupun yang tidak. Bahkan, dewasa ini kita dihadapkan pada maraknya fenomena hoaks
yang juga patut menjadi perhatian. Unggahan-unggahan yang bersifat spam, bot-generated,
8
dan bukan menjadi bagian informasi yang dibutuhkan harus dieliminasi dalam analisis media
sosial.
Warning
Pada tahap mitigasi atau peringatan (warning), media sosial dapat digunakan sebagai sumber
pelengkap informasi yang memberikan kepercayaan masyarakat dalam mendeteksi bencana
dan memberikan peringatan.
Berdasarkan Gambar 1, tahap ini mencakup dua kegiatan, yakni prediksi kejadian
dan sistem peringatan. Menurut penjelasan Nazer et al, prediksi kejadian didasarkan pada
fitur unggahan media sosial. Peningkatan jumlah unggahan mengenai topik tertentu dapat
menjadi gambaran popularitas isu selanjutnya. Isu kriminalitas dan sentiment warganet
terhadap bencana ini bisa dideteksi berdasarkan konten unggahan sehingga bisa menjadi
deteksi dini kejadian-kejadian yang mengiringi bencana tersebut.
Media sosial juga bisa menjadi sistem peringatan (warning system). Di Indonesia,
fungsi ini dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui
akun Twitter @infoBMKG. Melalui Twitter (belakangan ini ditambah dengan aplikasi
berbasis Android), BMKG memberikan peringatan dini manakala bencana, khususnya
gempa bumi, terjadi. Informasi tersebut berisi lokasi kejadian, tingkat gempa, dan potensi
tsunami. Ketika pesan itu disampaikan kepada khalayak, penerima pesan diharapkan bisa
mengantisipasi dan melakukan tindakan yang tepat.
Media sosial menghubungkan antara informasi dari lembaga resmi dengan publik-
publik non pemerintah untuk saling memberikan stimulus untuk menyarankan tindakan-
tindakan yang diperlukan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, BNPB telah memetakan
stakeholder bencana yang tiap-tiap stakeholder telah mengetahui tugas dan wewenangnya di
setiap tahap. Peringatan dini yang salah satunya diperantarai oleh media sosial akan
mengaktivasi sistem tersebut.
Impact
9
Media sosial seringkali menjadi informan pertama saat terjadi bencana. Media tersebut
bersifat user-generated content yang mengandalkan penggunanya sebagai pembuat isi
informasi. Informasi itu bahkan mendahului berita resmi yang dibuat oleh media
konvensional maupun instansi berwenang. Isi informasi di media sosial kerap dijadikan
acuan oleh media konvensional resmi.
Hal tersebut dipandang sebagai anomali yang dapat ditangkap oleh metode deteksi
kejadian. Dampak yang paling besar akan dirasakan pada perubahan bahasa yang terjadi
selama bencana. Kajian kualitatif yang dilakukan pada pengguna livejournal.com saat
peristiwa pemboman World Trade Center 11 September 2001 yang tergolong ke dalam
bencana sosial menunjukkan adanya peningkatan emosi yang positif dan pemrosesan
kognitif, orientasi sosial, dan jarak psikologis pasca serangan tersebut (Cohn, Mehl, &
Pennebaker, 2004).
Studi tersebut menggunakan metode analisis teks menggunakan Linguistic Inquiry
and Word Count (LIWC). Indeks emosi yang positif dan pemrosesan kognitif menunjukkan
bagaimana pengguna secara intelektual memahami peristiwa, terlihat dari penggunaan kata-
kata positif seperti bahagia, baik, bagus, dan kata-kata negatif, seperti membunuh, jelek,
bersalah. Orientasi sosial memperlihatkan seberapa banyak orang disebut dalam tulisan-
tulisan tersebut. Sedangkan jarak psikologis merujuk pada penggunaan lebih banyak kata
ganti orang ketiga dibandingkan orang pertama.
Response
Fungsi media sosial pada saat terjadi bencana adalah sebagai fasilitator, salah satunya adalah
untuk menelusuri bencana. Saat ini banyak terdapat sistem digital yang mampu memonitor
media sosial untuk kebutuhan yang berkaitan dengan krisis. Sistem-sistem itu menggunakan
sistem komputasi untuk mengumpulkan data, mengekstraksi informasi, memonitor
berubahan dalam data statistik, memproses bahasa, mengklaster pesan yang sama, dan
mentranslasi secara otomatis. Sistem komputasi itu menghasilkan topik dan tren yang sedang
banyak dibicarakan di jagat digital (Nazer et al., 2017).
10
Informasi yang tersebar di media sosial juga menjadi medium untuk meningkatkan
kesadaran terhadap situasi yang terjadi. Pada saat tsunami di Banten 2 Agustus 2019 lalu,
tingginya statistik unggahan yang menampilkan informasi bencana itu telah membuat
peristiwa tersebut mendapat perhatian dari banyak pihak. Kesadaran situasi (situational
awareness) adalah proses untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam suatu peristiwa
yang melibatkan banyak aktor dan pergerakan, khususnya untuk menghargai kebutuhan
komando dan kontrol operasional (Vieweg, Hughes, Starbird, & Palen, 2010).
Relief
Tahapan terakhir adalah stase pemulihan pascabencana. Media sosial menjadi alat yang
sangat efektif untuk menggalang bantuan dan mengumpulkan relawan. Para relawan ini yang
menjadi bala bantuan yang secara nyata terjun langsung menolong para korban yang
terdampak bencana, baik mendirikan tenda darurat, menyalurkan bantuan, hingga melakukan
penyembuhan trauma (trauma healing) terutama bagi anak-anak.
Fasilitasi melalui media sosial dalam menggalang sumber daya menjadi bagian dari
crowdsourcing (Nazer et al., 2017). Teknologi digital memungkinkan informasi merambah
melewati batas-batas geografis sehingga potensi bantuan bisa datang dari berbagai lini.
Bentuk-bentuk bantuan yang dilakukan oleh para relawan pun semakin beragam, dari
sekadar menyebarkan informasi penggalangan dana hingga menggerakkan khalayak untuk
turut mengulurkan bantuan (Mauroner & Heudorfer, 2016). Para influencer di media sosial
turut menjadi bagian dari subsistem pemulihan pascabencana sehingga Nazer et al
menyebutnya sebagai digital volunteer.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Adrian, A. (2016). MODEL SPASIAL KERENTANAN DIKAWASAN PESISIR
SELATAN TELUK BETUNG KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP BENCANA
TSUNAMI. Jurnal SPATIAL Wahana Komunikasi Dan Informasi Geografi, 15(1), 23–
28. https://doi.org/10.21009/spatial.151.04
2. Akhirianto, N. A. (2019). KONSEP DESAIN PENGURANGAN RISIKO BENCANA
LONGSOR BERBASIS KOMUNITAS. Jurnal Sains Dan Teknologi Mitigasi Bencana,
12(1), 32–43. https://doi.org/10.29122/jstmb.v12i1.3698
3. Anggraeni, L. (2020). Penanggulangan bencana banjir bandang di desa sanggi
Padangcermin Tanggamus Lampung. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1),
Article 1. http://jurnal.umitra.ac.id/index.php/ANDASIH/article/view/373
4. Baker, N. D., & Ludwig, L. G. (2018). Disaster preparedness as social control. Critical
Policy Studies, 12(1), 24–43. https://doi.org/10.1080/19460171.2016.1214075
5. Baruch, A., May, A., & Yu, D. (2016). The motivations, enablers and barriers for
voluntary participation in an online crowdsourcing platform. Computers in Human
Behavior, 64, 923–931. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.07.039
6. Baytiyeh, H. (2017). Socio-cultural characteristics: The missing factor in disaster risk
reduction strategy in sectarian divided societies. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 21, 63–69. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2016.11.012
7. Bhatia, G. K., Kumaraguru, P. (Advisor), Dubey, A. (Advisor), Buduru, A. B., &
Kaulgud, V. (2018). WorkerRep: Building trust on crowdsourcing platform using
blockchain [Thesis, IIIT-Delhi].
https://repository.iiitd.edu.in/xmlui/handle/123456789/631
8. Blackman, D., Nakanishi, H., & Benson, A. M. (2017). Disaster resilience as a complex
problem: Why linearity is not applicable for long-term recovery. Technological
Forecasting and Social Change, 121, 89–98.
https://doi.org/10.1016/j.techfore.2016.09.018
9. Chamlee-Wright, E. (2018). The power of narrative in post-disaster entrepreneurial
response. The Review of Austrian Economics, 31(4), 467–472.
https://doi.org/10.1007/s11138-017-0395-y
10. Chan, N. W., Roy, R., Lai, C. H., & Tan, M. L. (2019). Social capital as a vital resource
in flood disaster recovery in Malaysia. International Journal of Water Resources
Development, 35(4), 619–637. https://doi.org/10.1080/07900627.2018.1467312
11. Cheng, X., Gou, Q., Yue, J., & Zhang, Y. (2019). Equilibrium decisions for an innovation
crowdsourcing platform. Transportation Research Part E: Logistics and Transportation
Review, 125, 241–260. https://doi.org/10.1016/j.tre.2019.03.006
12. Erbeyoğlu, G., & Bilge, Ü. (2020). A robust disaster preparedness model for effective
and fair disaster response. European Journal of Operational Research, 280(2), 479–494.
https://doi.org/10.1016/j.ejor.2019.07.029
13. Escudero, L. F., Garín, M. A., Monge, J. F., & Unzueta, A. (2018). On preparedness
resource allocation planning for natural disaster relief under endogenous uncertainty with
12
time-consistent risk-averse management. Computers & Operations Research, 98, 84–102.
https://doi.org/10.1016/j.cor.2018.05.010
14. Gajanayake, A., Mohseni, H., Zhang, G., Mullett, J., & Setunge, S. (2018). Community
adaptation to cope with disaster related road structure failure. Procedia Engineering, 212,
1355–1362. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.175
15. Gomes, T., Tapolcai, J., Esposito, C., Hutchison, D., Kuipers, F., Rak, J., de Sousa, A.,
Iossifides, A., Travanca, R., André, J., Jorge, L., Martins, L., Ugalde, P. O., Pašić, A.,
Pezaros, D., Jouet, S., Secci, S., & Tornatore, M. (2016). A survey of strategies for
communication networks to protect against large-scale natural disasters. 2016 8th
International Workshop on Resilient Networks Design and Modeling (RNDM), 11–22.
https://doi.org/10.1109/RNDM.2016.7608263
16. Gustaman, F. A. I., Rahmat, H. K., Banjarnahor, J., & Maarif, S. (2020). PERAN
KANTOR PENCARIAN DAN PERTOLONGAN LAMPUNG DALAM MASA
TANGGAP DARURAT TSUNAMI SELAT SUNDA TAHUN 2018. NUSANTARA :
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 462–469.
17. Harrison, S. E., & Johnson, P. A. (2016, October 1). Crowdsourcing the Disaster
Management Cycle [Article]. International Journal of Information Systems for Crisis
Response and Management (IJISCRAM). www.igi-global.com/article/crowdsourcing-
disaster-management-cycle/185638
18. Hutagalung, S. S. (2018). Resiliensi Komunitas Dalam Menghadapi Bencana Alam
[Research].
19. Hutagalung, S. S. (2019). Model Pelayanan Publik yang tanggap bencana [Research].
Universitas Lampung. repository.unila.ac.id
20. Hutagalung, S. S., Sulistio, E. B., & Mulyana, N. (2020). Multi Stakeholder Involvement
in Tsunami Disaster Recovery Phases in South Lampung. MIMBAR : Jurnal Sosial Dan
Pembangunan, 36(1), 119–127. https://doi.org/10.29313/mimbar.v36i1.5356
21. Inews.id. (2020, October 15). Doni Monardo Sebut Ada 4 Klaster Bencana di Indonesia.
INews.ID. https://www.inews.id/news/nasional/doni-monardo-sebut-ada-4-klaster-
bencana-di-indonesia
22. Jd, R., & Zd, W. (2016). Disaster relief volunteerism: Evaluating cities’ planning for the
usage and management of spontaneous volunteers. Journal of Emergency Management
(Weston, Mass.), 14(2), 127–138. https://doi.org/10.5055/jem.2016.0279
23. Kankanamge, N., Yigitcanlar, T., Goonetilleke, A., & Kamruzzaman, M. (2019). Can
volunteer crowdsourcing reduce disaster risk? A systematic review of the literature.
International Journal of Disaster Risk Reduction, 35, 101097.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2019.101097
24. Kim, H., & Zakour, M. (2017). Disaster Preparedness among Older Adults: Social
Support, Community Participation, and Demographic Characteristics. Journal of Social
Service Research, 43(4), 498–509. https://doi.org/10.1080/01488376.2017.1321081
25. Kim, M.-Y., & Kim, M. S. (2017). Correlation among Nurses’ Educational Status,
Knowledge and Disaster Preparedness Abilities. Journal of the Korea Academia-
Industrial cooperation Society, 18(7), 589–598.
https://doi.org/10.5762/KAIS.2017.18.7.589
26. Kiranaratri, A. H., Simarmata, N., & Hidayat, D. (2019). ANALISIS POTENSI
TINGKAT BENCANA BANJIR DAERAH ALIRAN SUNGAI WAY KURIPAN
13
KOTA BANDAR LAMPUNG. Rekayasa Sipil, 13(2), 147–152.
https://doi.org/10.21776/ub.rekayasasipil.2019.013.02.10
27. Kohler, T., & Chesbrough, H. (2019). From collaborative community to competitive
market: The quest to build a crowdsourcing platform for social innovation. R&D
Management, 49(3), 356–368. https://doi.org/10.1111/radm.12372
28. Lampost.co. (2020, January 13). Lampung Masuk Daerah Risiko Tinggi Rawan Bencana
di Indonesia. lampost.co. https://www.lampost.co/berita-lampung-masuk-daerah-risiko-
tinggi-rawan-bencana-di-indonesia.html
29. Lassa, J. A. (2018). Roles of Non-Government Organizations in Disaster Risk Reduction.
Oxford Research Encyclopedia of Natural Hazard Science.
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780199389407.013.45
30. Lichtveld, M., Covert, H., El-Dahr, J., Grimsley, L. F., Cohn, R., Watson, C. H.,
Thornton, E., & Kennedy, S. (2020). A Community-Based Participatory Research
Approach to Hurricane Katrina: When Disasters, Environmental Health Threats, and
Disparities Collide. American Journal of Public Health, 110(10), 1485–1489.
https://doi.org/10.2105/AJPH.2020.305759
31. Lin, W.-Y., Wu, T.-H., Tsai, M.-H., Hsu, W.-C., Chou, Y.-T., & Kang, S.-C. (2018).
Filtering disaster responses using crowdsourcing. Automation in Construction, 91, 182–
192. https://doi.org/10.1016/j.autcon.2018.03.016
32. Lutz, P. (2019). Variation in policy success: Radical right populism and migration policy.
West European Politics, 42(3), 517–544.
https://doi.org/10.1080/01402382.2018.1504509
33. Peters, D. H., Hanssen, O., Gutierrez, J., Abrahams, J., & Nyenswah, T. (2019).
Financing Common Goods for Health: Core Government Functions in Health Emergency
and Disaster Risk Management. Health Systems & Reform, 5(4), 307–321.
https://doi.org/10.1080/23288604.2019.1660104
34. Poblet, M., García-Cuesta, E., & Casanovas, P. (2018). Crowdsourcing roles, methods
and tools for data-intensive disaster management. Information Systems Frontiers, 20(6),
1363–1379. https://doi.org/10.1007/s10796-017-9734-6
35. Puspitasari, D. (2019). Implementasi Crowdsourcing dalam Dunia Perpustakaan. Jurnal
Perpustakaan Universitas Airlangga, 9(1), 35–39.
https://doi.org/10.20473/jpua.v9i1.2019.35-39
36. Qoidah, N., & Widowati, E. (2020). Manajemen Bencana Gunung Merapi Berbasis
Masyarakat. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 4(Special
1), 203–214. https://doi.org/10.15294/higeia.v4iSpecial 1.39351
37. Repoussis, P. P., Paraskevopoulos, D. C., Vazacopoulos, A., & Hupert, N. (2016).
Optimizing emergency preparedness and resource utilization in mass-casualty incidents.
European Journal of Operational Research, 255(2), 531–544.
https://doi.org/10.1016/j.ejor.2016.05.047
38. Riccardi, M. T. (2016). The power of crowdsourcing in disaster response operations.
International Journal of Disaster Risk Reduction, 20, 123–128.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2016.11.001
39. Rodríguez-Espíndola, O., Albores, P., & Brewster, C. (2018). Disaster preparedness in
humanitarian logistics: A collaborative approach for resource management in floods.
European Journal of Operational Research, 264(3), 978–993.
https://doi.org/10.1016/j.ejor.2017.01.021
14
40. Savage, D. A. (2019). Towards a complex model of disaster behaviour. Disasters, 43(4),
771–798. https://doi.org/10.1111/disa.12408
41. Schenk, E., Guittard, C., & Pénin, J. (2019). Open or proprietary? Choosing the right
crowdsourcing platform for innovation. Technological Forecasting and Social Change,
144, 303–310. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2017.11.021
42. Shah, I., Elahi, N., Alam, A., Dawar, S., & Dogar, A. A. (2020). Institutional
arrangement for disaster risk management: Evidence from Pakistan. International
Journal of Disaster Risk Reduction, 51, 101784.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2020.101784
43. Shoji, M., Takafuji, Y., & Harada, T. (2020). Behavioral impact of disaster education:
Evidence from a dance-based program in Indonesia. International Journal of Disaster
Risk Reduction, 45, 101489. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2020.101489
44. Teo, M., Goonetilleke, A., Ahankoob, A., Deilami, K., & Lawie, M. (2018). Disaster
awareness and information seeking behaviour among residents from low socio-economic
backgrounds. International Journal of Disaster Risk Reduction, 31, 1121–1131.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.09.008
45. Twigg, J., & Mosel, I. (2017). Emergent groups and spontaneous volunteers in urban
disaster response. Environment and Urbanization, 29(2), 443–458.
https://doi.org/10.1177/0956247817721413
46. Yaneri, A. (2020). INTERVENSI KOMUNITAS: STRATEGI PENANGGULANGAN
BENCANA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN DELI SERDANG. Jurnal
Papatung : Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Pemerintahan Dan Politik, 3(2), 12–26.
https://doi.org/10.660303/japp.v3i2.72