model pengembangan manajemen risiko kecelakaan kerja dengan fokus pada perilaku pekerja di industri...

33
11 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi uraian teori-teori yang akan mendasari dalam menganalisa dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan manajemen risiko dalam industri kimia. Adapun sumber teori-teori tersebut dari berbagai literatur, buku, penelitian-penelitian terdahulu, dan jurnal. Bab ini akan menjabarkan secara detail mengenai penelitian terdahulu dan informasi yang mendukung penelitian ini terkait dengan industri kimia, manajemen risiko, kecelakaan kerja, safety climate, safety behavior, serta review terkait topik dari penelitian terdahulu dan posisi penelitian. Dari teori – teori ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dengan jelas serta mendapatkan hasil analisis yang akurat. 2.1 Industri kimia Banyak perusahaan di indonesia yang menggunakan bahan kimia dalam proses produksinya, baik itu dimanfaatkan sebagai bahan baku maupun bahan bakar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/I/1986 dimana industri kimia termasuk dalam pengklasifikasian industri yaitu industri dengan modal besar serta membutuhkan keahlian tinggi dan penerapan teknologi maju dalam mengolah bahan-bahan kimia. Untuk itu setiap aktivitas kerja yang berhubungan dengan bahan kimia akan menimbulkan peluang dan dampak munculnya kecelakaan. Reniers (2009) mengatakan bahwa industri kimia yang terdiri dari sebagian besar peralatan produksi, tangki penyimpanan, serta sistem perpipaan untuk jaringan transportasi bahan kimia berbahaya. Karena pesatnya pertumbuhan industri ini, maka terus – menerus semakin kompleks peralatan produksi yang digunakan dengan kondisi proses yang lebih ekstrim dan kritis. Kompleksitas industri kimia juga ditandai dengan besarnya potensi kecelakaan yang muncul dengan banyaknya kasus kecelakaan pabrik kimia seperti Seveso pada tahun 1976, Bhopal pada tahun 1984, dan Chernobyl 1986. Hal ini juga didukung oleh Huang (2012) menyatakan bahwa meskipun industri kimia berkembang pesat

Upload: abufikrimlg

Post on 18-Jan-2016

72 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI KIMIA

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

11

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi uraian teori-teori yang akan mendasari dalam

menganalisa dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan

manajemen risiko dalam industri kimia. Adapun sumber teori-teori tersebut dari

berbagai literatur, buku, penelitian-penelitian terdahulu, dan jurnal. Bab ini akan

menjabarkan secara detail mengenai penelitian terdahulu dan informasi yang

mendukung penelitian ini terkait dengan industri kimia, manajemen risiko,

kecelakaan kerja, safety climate, safety behavior, serta review terkait topik dari

penelitian terdahulu dan posisi penelitian. Dari teori – teori ini diharapkan dapat

menyelesaikan permasalahan dengan jelas serta mendapatkan hasil analisis yang

akurat.

2.1 Industri kimia

Banyak perusahaan di indonesia yang menggunakan bahan kimia dalam

proses produksinya, baik itu dimanfaatkan sebagai bahan baku maupun bahan

bakar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/I/1986

dimana industri kimia termasuk dalam pengklasifikasian industri yaitu industri

dengan modal besar serta membutuhkan keahlian tinggi dan penerapan teknologi

maju dalam mengolah bahan-bahan kimia. Untuk itu setiap aktivitas kerja yang

berhubungan dengan bahan kimia akan menimbulkan peluang dan dampak

munculnya kecelakaan.

Reniers (2009) mengatakan bahwa industri kimia yang terdiri dari

sebagian besar peralatan produksi, tangki penyimpanan, serta sistem perpipaan

untuk jaringan transportasi bahan kimia berbahaya. Karena pesatnya pertumbuhan

industri ini, maka terus – menerus semakin kompleks peralatan produksi yang

digunakan dengan kondisi proses yang lebih ekstrim dan kritis. Kompleksitas

industri kimia juga ditandai dengan besarnya potensi kecelakaan yang muncul

dengan banyaknya kasus kecelakaan pabrik kimia seperti Seveso pada tahun

1976, Bhopal pada tahun 1984, dan Chernobyl 1986. Hal ini juga didukung oleh

Huang (2012) menyatakan bahwa meskipun industri kimia berkembang pesat

Page 2: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

12

selama lima dekade terakhir, kecelakaan akibat bahan kimia mengakibatkan

kerugian yang besar bagi perusahaan serta lingkungan sekitarnya.

Bahaya yang ditimbulkan dari kecelakaan indutri kimia mampu

memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan maupun kesejahteraan manusia.

Tereksposnya tubuh dengan bahan kimia berbahaya akan berakibat buruk bagi

keselamatan seseorang, misalnya orang yang terkena langsung dengan cairan

asam, kulitnya akan mengalami oksidasi, berubah warna menjadi putih yang

disertai dengan rasa perih dan gatal. Bahkan penggunaan bahan kimia berbahaya

juga berpotensi menyebabkan kematian bila terhirup dengan konsentrasi tertentu.

Bahan kimia dapat masuk ke dalam tubuh dengan tiga cara yaitu pernapasan

(inhalation), kulit (skin absorption), dan tertelan (ingestion).

2. 2 Bahaya dan Risiko

Bahaya dan risiko dalam permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja

memiliki hubungan yang erat. Setiap sumber bahaya yang mengandung risiko

dapat menimbulkan kecelakaan yang berdampak pada kerugian manusia,

kerusakan lingkungan, dan property (Wicaksono, 2011).

Gambar 2.1 Hubungan antara bahaya dan risiko (Wicaksono, 2011)

Hazard atau bahaya merupakan sumber, situasi atau tindakan yang

berpotensi memberikan efek buruk pada manusia atau kelainan fisik atau mental

yang teridentifikasi berasal dari kegiatan kerja atau segala hal yang berhubungan

dengan pekerjaan (OHSAS 18001: 2007). Hal ini juga didukung oleh Cross

(1998) dimana bahaya merupakan sumber potensial munculnya kerusakan atau

kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian. Segala sesuatu yang memiliki

risiko dan menimbulkan hasil negatif disebut dengan sumber bahaya. Dengan

Bahaya Kecelakaan

Risiko Property

Lingkungan

Manusia

Page 3: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

13

mengidentifikasi dan menghilangkan atau mengendalikan bahaya dapat

membantu mencegah kerugian akibat kecelakaan.

Dalam bahasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), bahaya dapat

diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Bahaya Keselamatan Kerja (Safety Hazard)

Merupakan jenis bahaya yang memberikan efek timbulnya kecelakaan

yang dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian serta kerusakan

pada property perusahaan. Dampak yang ditimbulkan bersifat akut. Jenis

bahaya keselamatan kerja antara lain:

• Bahaya mekanik: bahaya yang disebabkan oleh mesin atau

peralatan kerja mekanik seperti terjatuh, tertindih, tersayat, dan

terpeleset.

• Bahaya elektrik: bahaya yang disebabkan oleh peralatan yang

mengandung arus listrik

• Bahaya kebakaran: bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia yang

bersifat mudah terbakar (flammable)

• Bahaya peledakan: bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia yang

bersifat mudah meledak (explosive)

2. Bahaya kesehatan kerja (Health Hazard)

Merupakan jenis bahaya yang memberikan efek pada kesehatan,

menyebabkan gangguan kesehatan, dan penyakit akibat kerja. Dampak

yang ditimbulkan bersifat kronis, jenis bahaya kesehatan antara lain:

• Bahaya fisik, diantaranya getaran, kebisingan, suhu ekstrim, radiasi

ion dan non pengion, serta pencahayaan.

• Bahaya kimia, diantaranya yang berkaitan dengan bahan atau

material seperti antiseptic, aerosol, insektisida, dust, fumes, dan

gas.

• Bahaya ergonomi, diantaranya gerakan berulang (repetitive

movement), statistic posture, manual handling, dan postur janggal

Page 4: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

14

• Bahaya biologi, diantaranya bahaya yang ditimbulkan dari

makhluk hidup yang berada di sekitar lingkungan kerja seperti

virus, bakteri, protozoa, dan jamur (fungi) yang bersifat pathogen

• Bahaya psikologi, diantaranya beban kerja yang terlalu berat,

hubungan dan kondisi kerja yang tidak nyaman.

Dalam bukunya, Mamduh (2006) menyatakan bahwa risiko merupakan

kejadian yang merugikan yang harus dihindari. Pengertian risiko menurut The

Australia / New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS 4360: 2009)

yaitu peluang munculnya suatu kejadian yang menimbulkan efek terhadap suatu

objek.

Berdasarkan buku Risk Assessment and Management Handbook: for

Environmental, Health, and Safety Profesional, risiko terbagi menjadi 5 (lima)

macam:

1. Risiko keselamatan kerja (safety risk)

Secara umum risiko ini memiliki probabilitas rendah, tingkat

pemaparan yang tinggi, tingkat konsekuensi pemaparan yang tinggi,

bersifat akut, dan menimbulkan efek secara langsung. Tindakan

pengendalian yang harus dilakukan dalam respon tanggap darurat adalah

dengan mengetahui penyebab secara jelas dan lebih fokus pada

keselamatan manusia dan pencegahan timbulnya kerugian terutama pada

area tempat kerja.

2. Risiko Kesehatan (Health risk)

Risiko ini berfokus pada kesehatan manusia yang berada di luar

tempat kerja atau fasilitas. Umumnya memiliki probabilitas tinggi, tingkat

pemaparan rendah, konsekuensi yang rendah, dan bersifat kronik.

Hubungan sebab – akibatnya tidak mudah ditemukan.

3. Risiko Lingkungan dan ekologi (Environmental and Ecological Risk)

Pada risiko ini melibatkan interaksi yang beragam antara populasi

dan komunitas ekosistem pada tingkat mikro maupun makro, ada

ketidakpastian yang tinggi antara sebab dan akibat, risiko ini fokus pada

habitat dan dampak ekosistem .

4. Risiko Kesejahteraan Masyarakat (Public Welfare/ Goodwill Risk)

Page 5: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

15

Risiko ini lebih berhubungan dengan persepsi kelompok maupun

umum tentang kinerja sebuah organisasi. Fokusnya pada nilai – nilai yang

terdapat pada masyarakat dan persepsinya.

5. Risiko Keuangan (Financial Risk)

Risiko ini dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam

pengambilan keputusan dan kebijakan organisasi, karena setiap

pertimbangan akan selalu berkaitan denga aspek financial dan mengacu

pada tingkat efektifitas dan efisiensi.

2.3 Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang berhubungan dengan

hubungan kerja dengan perusahaan, dimana hubungan kerja yang dimaksud yaitu

kecelakaan kerja yang terjadi saat melakukan pekerjaan di tempat kerja maupun

saat melakukan perjalanan ke dan dari tempat kerja (Suma’mur, 1987). Dalam

bukunya Wickens (1998) menyebutkan bahwa kecelakaan disebabkan oleh

berbagai faktor, diantaranya faktor manusia, peralatan, kesalahan desain peralatan,

faktor lingkungan serta kombinasi berbagai faktor tersebut.

Menurut Wicaksono (2011) yang dikutip dalam Keputusan Menteri

Tenaga Kerja KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Program jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas,

Borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu, definisi kecelakaan kerja adalah

kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit

yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam

perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah

melalui jalan biasa atau wajar dilalui.

Departemen Kesehatan dalam situsnya www.depkes.go.id mendefinisikan

kecelakaan kerja yaitu kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan yang

biasanya menyebabkan kerugian material dan penderitaan dari yang paling ringan

sampai kepada yang paling berat. Penyebab kecelakaan menurut departemen

kesehatan yang diambil dari situsnya www.depkes.go.id dibagi dalam 2

kelompok:

Page 6: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

16

1. Kondisi berbahaya (unsafe condition) yaitu kondisi tidak aman dari:

Mesin, peralatan, bahan dan lain-lain

Lingkungan kerja

Sifat pekerjaan

Cara kerja

2. Perbuatan berbahaya (unsafe act) yaitu perbuatan berbahaya dari manusia

yang dapat terjadi antara lain:

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pekerja/pelaksana

Cacat tubuh yang tidak kentara (bodily defect)

Keletihan dan kelemahan daya tahan tubuh

Sikap dan perilaku kerja yang tidak baik

Tindakan tidak aman (unsafe action) menimbulkan terjadinya kecelakaan,

hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran akan keselamatan yang dapat

dilihat dari tingkat pekerja yang mengabaikan peraturan keselamatan kerja serta

pihak manajemen yang tidak memberikan perhatian penuh dalam upaya

menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Maryani,

2012).

Menurut Reason (1997) dalam Maryani (2012) menyatakan bahwa

tindakan tidak aman dapat disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang

ditimbulkan oleh manusia (human error) dalam bekerja. Berdasarkan Health and

Safety Executives (HSE, 2003, p. 38) menyimpulkan bahwa kesalahan perilaku

manusia memberikan kontribusi sebesar 80% terhadap munculnya kecelakaan.

Sehingga penelitian untuk mengetahui dan menganalisa penyebab kecelakaan

akibat tindakan tidak (unsafe action) aman perlu dilakukan untuk membantu

manajemen menentukan kebijakan dalam mengurangi serta meminimalkan risiko

akibat kecelakaan kerja.

2.4 Manajemen Risiko

Manajemen risiko merupakan upaya terkoordinasi untuk mengarahkan dan

mengendalikan kegiatan - kegiatan organisasi terkait dengan risiko (ISO 31000).

Menurut University (2003) manajemen risiko merupakan aplikasi sistematis

tentang manajemen, kebijakan, prosedur, dan cara kerja terhadap kegiatan analisa,

Page 7: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

17

evaluasi, pengendalian dan komunikasi yang berkaitan dengan risiko. Hal ini juga

diperkuat oleh Supriyadi (2005) dimana manajemen risiko merupakan

keseluruhan prosedur yang dihubungkan dengan identifikasi bahaya, penilaian

risiko, meletakkan pengukuran kontrol pada tempatnya serta meninjau ulang

hasilnya.

Berdasarkan AS/NZS (4360: 2009) manajemen risiko merupakan metode

efektif dalam mengelola potensial bahaya dan efek yang merugikan . Manajemen

risiko dilakukan pada setiap jenis pekerjaan yang melibatkan seluruh pihak yang

terkait dilingkungan kerja. Sehingga dalam pelaksanaan manajemen risiko

diperlukan peran aktif seluruh elemen yang terlibat.

Beberapa tahapan dalam melaksanakan manajemen risiko menurut

AS/NZS 4360 (2009) yaitu:

1. Menetapkan tujuan dan ruang lingkup dalam pelaksanan manajemen risiko

2. Melaksanakan identifikasi risiko

3. Melakukan analisa risiko untuk menetapkan kemungkinan dan

konsekuensi yang akan terjadi

4. Menetapkan evaluasi risiko untuk menetapkan skala prioritas dan

membandingkan dengan kriteria yang ada

5. Melakukan pengendalian risiko yang tidak dapat diterima.

6. Melakukan pemantauan dan peninjauan program manajemen risiko yang

telah dilaksanakan

7. Mengkomunikasikan dan mengkonsultasikan proses manajemen yang

melibatkan pihak internal dan eksternal.

Page 8: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

18

Gambar 2.2 Tahapan Proses Manajemen Risiko (AS/NZS 4360,2009)

2.4.1 Manfaat Manajemen Risiko

Beberapa manfaat yang akan didapatkan perusahaan dalam menerapkan

manajemen risiko berdasarkan AS/NZS 4360:2009 antara lain:

1. Memperkecil kemungkinan munculnya kejadian yang tidak diinginkan

serta mengurangi efek yang ditimbulkan dari kejadian tidak diinginkan

tersebut

2. Meningkatkan produktifitas kerja

3. Meningkatkan perencanaan kerja perusahaan yang efektif, proses

produksi, lingkungan kerja, serta mampu mencapai target perusahaan

dengan baik

4. Memperoleh keuntungan dari sisi ekonomi bagi perusahaan

5. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

Sistem manajemen risiko yang baik dalam sebuah perusahaan mampu

menghindari berulangnya kejadian yang tidak diinginkan (Qi-Ruifeng, 2012).

2.4.2 Proses Manajemen Risiko

Berdasarkan gambar 2.2 Tahapan dalam proses manajemen risiko menurut

AS/NZS 4630:2004 yaitu:

1. Penentuan Ruang lingkup yang akan diidentifikasi

Menentukan Konteks

Identifikasi Bahaya

Analisa Risiko

Evaluasi Risiko

Pengendalian Risiko

Kom

unik

asi d

an K

onsu

ltasi

Pem

anta

uan

dan

Tinj

auan

Ula

ng

Page 9: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

19

Dalam menentukan parameter dasar sebuah proses manajemen risiko

diperlukan penentuan ruang lingkup terlebih dahulu. Proses yang terjadi dalam

tahapan ini antara lain: menetapkan tujuan yang jelas dan objektif pada aktifitas

yang akan dipelajari, mengidentifikasi studi kasus yang dibutuhkan, membatasi

luasnya rencana dari segi waktu dan lokasi, memberi batasan luasnya kegiatan

manajemen risiko yang dihasilkan. Disamping itu, penentuan ruang lingkup

meliputi peraturan yang mendukung kebutuhan manajemen sesuai dengan tujuan

dan target yang ingin dicapai dengan memperhatikan kebutuhan dana, jadwal, dan

sumber daya manusia.

2. Identifikasi bahaya

Identifikasi bahaya merupakan langkah dalam manajemen risiko untuk

mengidentifikasi apa yang memungkinkan terjadinya kecelakaan kerja (kegiatan

proses produksi, sumber daya manusia, dan lingkungan) dan bagaimana skenario

kecelakaan itu bisa terjadi. Hal ini juga didukung oleh Hidayati (2008) dimana

identifikasi risiko secara terstruktur dapat memudahkan dalam menemukan risiko-

risiko yang mungkin terjadi.

Menurut Iryaning (2012), proses identifikasi merupakan tahapan penting

dalam mengidentifikasi risiko (risk event) dalam sebuah proses produksi. Dengan

melakukan pemetaan aktifitas produksi kemudian menganalisa apa saja yang

menjadi risiko (what), dimana terjadinya risiko tersebut (where), kapan risiko

tersebut muncul (when), bagaimana risiko tersebut dapat muncul ditempat itu

(how), dan mengapa risiko tersebut muncul (why). Hal ini untuk mengetahui

risiko dan penyebab dari risiko yang terjadi. Penyebab risiko disebut dengan risk

factor.

Menurut Chrysler (2008) dalam Iryaning (2012) menyatakan bahwa

penyebab terjadinya risiko (potential effects) dalam penelitian ini disebut risk

cause yaitu indikasi bagaimana risiko atau kegagalan dapat terjadi yang

menggambarkan sesuatu yang dapat dikontrol atau diperbaiki. Proses identifikasi

ini penting dilakukan karena selain berpengaruh terhadap penilaian risiko juga

membantu dalam menentukan tingkat kemunculan (occurance) dan juga menjadi

landasan dalam melakukan mitigasi risiko. Proses identifikasi penyebab risiko

dilakukan dengan mengidentifikasi akar permasalahan dari masing-masing risiko

Page 10: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

20

yang telah teridentifikasi sebelumnya secara menyeluruh dimana suatu risiko

dapat terdiri dari beberapa penyebab risiko (risk caused) dan juga sebaliknya,

suatu penyebab risiko dapat menyebabkan terjadinya beberapa risiko.

3. Analisa Risiko

Analisa risiko adalah sistematika dari informasi yang didapatkan saat

identifikasi risiko serta untuk memperkirakan suatu risiko terhadap individu,

populasi, bangunan atau lingkungan (kolliri, 1996). Dalam AS/NZS 4360: 2009

dijelaskan bahwa analisa risiko merupakan pengembangan pemahaman tentang

risiko, dimana terdapat data pendukung yang digunakan sebagai pertimbangan

pengambilan keputusan tentang cara pengendalian yang paling tepat dan cost-

effective. Risiko diukur dalam nilai peluang dan dampak. Peluang merupakan

kemungkinan dalam satu periode waktu risiko tersebut akan muncul yang

dinyatakan dalam frekuensi. Dampak merupakan akibat dari suatu kejadian.

Perhitungan tingkat risiko dapat dirumuskan sebagai perkalian dari peluang dan

dampak

4. Evaluasi Risiko

Pada tahap evaluasi risiko bertujuan untuk membuat keputusan

berdasarkan hasil analisis risiko yaitu menentukan risiko yang perlu diprioritaskan

untuk mendapatkan mitigasi (Iryaning, 2012). Evaluasi risiko merupakan suatu

proses membandingkan tingkatan risiko dengan kriteria risiko yang ada.

Pemantauan dan tinjauan ulang secara periodik dilakukan apabila risiko

dikategorikan pada level rendah.

5. Pengendalian Risiko

Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola

dengan tepat, efektif serta sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.

Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam pengendalian risiko adalah

identifikasi dan penilaian risiko, sehingga dapat lebih terfokus kepada bahaya

potensial yang dinilai memiliki risiko tinggi sehingga lebih efektif dan efisien.

Tingkat Risiko = Peluang x Dampak

Page 11: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

21

Berdasarkan OHSAS 18001 dalam Wicaksono (2011) , pedoman

pengendalian risiko yang yang spesifik untuk bahaya K3 adalah dengan

pendekatan:

1. Eliminasi

2. Substitusi

3. Pengendalian teknis

4. Pengendalian administratif

5. Penggunaan alat pelindung diri (APD)

Menurut AS/NZS 4360, pengendalian risiko secara umum dapat dilakukan

dengan pendekatan sebagai berikut:

1. Menghindari risiko dengan mengambil keputusan untuk menghentikan

kegiatan atau proses produksi, alat, bahan yang berbahaya

2. Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko (reduce likelihood)

3. Mengurangi konsekuensi kejadian (reduce consequence)

4. Mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer)

5. Menanggung risiko yang tersisa. Pengendalian risiko tidak mungkin

menjamin risiko atau bahaya hilang seratus persen, sehingga masih ada

sisa risiko (residual risk) yang harus ditanggung oleh perusahaan.

2.5 Safety Climate

Safety climate menggambarkan persepsi karyawan terhadap pandangan

mengelola keselamatan di lingkungan kerja dalam jangka waktu tertentu. Safety

climate menjadi prioritas dalam keselamatan kerja di suatu organisasi (Darvish,

H,. 2011). Hal ini juga didukung oleh Dong-chul (2004) dimana safety climate

sebagai gambaran pekerja terhadap keadaan iklim kesehatan dan keselamatan

kerja yang merupakan indikator dari budaya keselamatan suatu kelompok atau

organisasi. Menurut Zohar yang dikutip dari Clarke (2006) menyatakan bahwa

safety climate merupakan hasil akhir dari pandangan pekerja terhadap lingkungan

kerja serta batasan dalam upaya mengarahkan pekerja pada perilaku aman atau

meminimalisir frekuensi unsafe behaviour.

Dari beberapa definisi diatas, secara garis besar safety climate merupakan

persepsi atau pandangan pekerja terhadap iklim kerja dan keadaan keselamatan

Page 12: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

22

kerja pada lingkungan perusahaan, semakin baik persepsi terhadap keselamatan

kerja maka semakin rendah perilaku tidak aman (unsafe behaviour) yang

dilakukan pekerja.

Aspek-aspek dalam safety climate yang mempengaruhi pekerja dalam

menciptakan lingkungan kerja yang aman menurut Dagdeviren (2008) antara

lain:

1. Aspek organisasi perusahaan (Organizational factors): Faktor-faktor

dalam manajemen perusahaan yang mempengaruhi terciptanya lingkungan

kerja yang aman

2. Aspek kepribadian pekerja (Personal factors): faktor-faktor dalam diri

pekerja dalam menciptakan suasana aman dalam bekerja

3. Aspek pekerjaan (job related factors): faktor-faktor dari pekerjaan itu

sendiri yang mempengaruhi pelaksanaan peraturan keselamatan kerja.

Sedangkan menurut Cigularov (2010) aspek dalam safety climate yang

paling berpengaruh dengan kondisi lingkungan kerja saat ini adalah:

1. Safety Communication : keterbukaan dalam berkomunikasi antara

karyawan dan manajemen mampu menurunkan angka kecelakaan kerja

(Barling, 1999)

2. Errors Management : Safety Climate dalam lingkungan perusahaan

dapat dipengaruhi oleh errors management

Dalam penelitian yang dilakukan menunjukkan pengaruh yang signifikan

antara safety communication dan errors management terhadap terciptanya kondisi

lingkungan kerja yang aman.

Safety Climate dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang terkait

dengan keselamatan, termasuk didalamnya perilaku aman, lingkungan kerja,

manajemen yang terkait dengan keselamatan atau keefektifan program

keselamatan dalam perusahaan. Faktor-faktor safety climate kemungkinan besar

akan mempengaruhi kepatuhan pekerja terhadap program-program keselamatan

kerja yang telah diberlakukan oleh perusahaan.

Pada dasarnya safety climate memiliki kontribusi yang jelas terhadap

budaya K3 organisasi melalui sikap (attitudes) yang diekspresikan dalam perilaku

K3 (Safety behavior). Safety climate sebaiknya dipahami sebagai bagian dari

Page 13: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

23

persepsi dan keyakinan yang terkait dengan bagaimana K3 dapat dikelola dengan

baik dan benar (Mearns, 2001).

2.6 Safety Behavior

Penyebab utama terjadinya kecalakaan kerja berdasarkan riset oleh NCS

sekitar 80% dari total seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh

unsafe behavior. Untuk itu muncul pandangan baru dalam kesehatan dan

keselamatan kerja yaitu Behavior Safety. Behavior Safety merupakan aplikasi

sistematis dari dunia psikologi tentang perilaku manusia pada masalah

keselamatan di tempat kerja (Setiawan, 2012). Hal ini didukung oleh Syaaf

(2010), menyatakan bahwa safety behavior adalah sebuah perilaku yang

dihubungkan langsung dengan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja,

seperti pemakaian alat pelindung diri, penandatanganan formulir risk sebelum

bekerja atau berdiskusi masalah keselamatan kerja.

Dalam beberapa penelitian hanya dibahas mengenai program behavior

based safety, dimana program ini banyak diaplikasikan di perusahaan-perusahaan

di luar Indonesia. Menurut buku safety management a human approach, behavior

based safety merupakan sistem manajemen keselamatan untuk setiap tingkatan

organisasi, dimana menggambarkan perilaku yang diperlukan serta mendorong

sehingga tercapainya perilaku yang diinginkan. Hal ini juga didukung oleh Salem

(2007) behavior based safety merupakan suatu metodelogi untuk meningkatkan

keselamatan dengan cara pengintegrasian ilmu perilaku manusia, pengembangan

prinsip organisasi dan mutu dengan manajemen keselamatan dalam rangka

mengurangi kerugian industri.

Banyaknya riset yang menunjukkan penyebab kecelakaan kerja adalah

unsafe behavior. Dimana unsafe behavior itu sendiri merupakan tipe perilaku

tidak aman yang mengarah pada munculnya kecelakaan seperti bekerja tanpa

menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin, menyingkirkan

peralatan keselamatan, menggunakan peralatan tidak standar, mengoperasikan

peralatan dengan kecepatan berbahaya, bertindak kasar dalam bekerja, kurangnya

pengetahuan serta keadaan emosi yang terganggu (Minner, 1994).

Page 14: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

24

Banyak upaya dilakukan untuk mengurangi angka kecelakaan melalui

peningkatan peraturan keselamatan kerja, peningkatan alat-alat produksi, safety

training, hingga pada peningkatan disiplin kerja. Namun perubahan yang didapat

tidak dapat bertahan lama, hal ini karena pekerja kembali pada kebiasaan lama

yaitu unsafe behavior. Berdasarkan permasalahan ini dimana unsafe behavior

merupakan penyebab terbesar dalam kecelakaan kerja dan untuk meningkatkan

safety performance maka usaha yang dapat dilakukan fokus pada pengurangan

frekuensi unsafe behavior.

Berdasarkan laporan dari Du Pont’s company terdapat sebuah hirarki yang

menunjukkan kontribusi unsafe behavior terhadap kecelakaan, hal ini dikenal

dengan the safety triangel seperti ditunjukkan pada gambar

Gambar 2.3 The Safety Triangel (Du Pont’s Company)

Namun Geller (1988) dalam Hanum (2012) menyatakan bahwa model

pada gambar 2.3 tersebut menggunakan pendekatan yang bersifat reaktif yang

berfokus terhadap penurunan unsafe action. Sedangkan menurut Geller dalam

mengurangi fatalities seharusnya bersifat preventif dimana lebih fokus pada

peningkatan safe action. Pendapat ini juga didukung oleh Rebber dan Wall (1984)

dalam Hanum (2012) melalui observasi yang dilakukan terhadap lingkungan

perusahaan berat, mereka melaporkan adanya hubungan negatif yang signifikan

antara safe behavior dan tingkat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan injury

serta hilangnya hari kerja. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin kecil

Page 15: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

25

tingkat safe behavior pekerja, maka semakin tinggi tingkat kecelakaan yang

menyebabkan injury. Data tersebut mengindikasikan bahwa meningkatkan safe

behavior mampu menurunkan tingkat kecelakaan dan injury yang diakibatkannya.

Berikut ini gambar 2.4 yang menunjukkan strategi proaktif yang digagas Geller

dimana lebih fokus pada peningkatan safe action.

Gambar 2.4 The Safety Triangel (Geller, 1988)

Menurut Setiawan (2012) menyatakan bahwa dengan fokus pada unsafe

behavior akan memberikan indeks yang lebih baik tentang safety performance

dibandingkan dengan fokus pada angka kecelakaan kerja. Hal ini didasarkan pada

dua alasan yaitu: kecelakaan kerja adalah hasil dari serangkaian unsafe behavior

dan unsafe behavior bisa diukur dengan cara tertentu. Jika perusahaan fokus pada

angka kecelakaan kerja maka sistem management safety cenderung bersifat

reaktif. Perusahaan hanya memperhatikan safety jika angka kecelakaan kerja

meningkat. Sedangkan pendekatan behavioral safety lebih bersifat proaktif, sebab

dengan pendekatan ini perusahaan cenderung berusaha untuk mengidentifikasi

setiap unsafe behavior yang muncul, sehingga dapat langsung dikendalikan.

Beberapa alasan mengapa pekerja sering melakukan unsafe behavior di

lingkungan kerja menurut Setiawan (2012):

1. Unsafe berhavior terbentuk karena pengaruh lingkungan yang besar

sehingga terus dilakukan dalam pekerjaan. Para pekerja sebenarnya ingin

Page 16: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

26

mengikuti kebutuhan akan keselamatan namun karena adanya kebutuhan

lain sehingga menimbulkan konflik dalam dirinya. Hal ini membuat

pekerja menomorduakan safety need dibandingkan faktor lainnya. Faktor-

faktor lainnya termasuk keinginan untuk menghemat waktu, merasa lebih

nyaman, menarik perhatian, mendapat kebebasan dan mendapat

penerimaan dari lingkungan.

2. Merasa telah ahli pada bidangnya dan belum pernah mengalami

kecelakaan sehingga pekerja berpendapat bahwa bila selama bekerja

dengan cara ini (unsafe) tidak terjadi apa-apa, mengapa harus berubah.

Pendapat ini merupakan salah satu potensi besar munculnya kecelakaan

kerja.

3. Pengawas atau manajer yang tidak peduli dengan safety juga menjadi

pemicu munculnya unsafe behavior. Secara tidak langsung keberadaan

pengawas dan manajer ini mendorong pekerja untuk melakukan unsafe

behavior dalam kegiatan produksi. Ketidakpedulian manajer terhadap

safety ini membuat pekerja meremehkan komitmen perusahaan terhadap

safety.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi unsafe behavior

menurut Setiawan (2012) antara lain:

1. Menghilangkan risiko yang ada di lingkungan kerja dengan merekayasa

faktor-faktor risiko atau melakukan kontrol fisik. Cara ini dilakukan untuk

mengurangi potensi terjadinya unsafe behavior, namun tidak selalu

berhasil karena pekerja mempunyai kontrol penuh terhadap unsafe

behavior.

2. Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli terhadap keselamatan dirinya.

Hal ini dengan asumsi bahwa dengan merubah sikap akan berpengaruh

pada perilaku. Beberapa upaya yang dapat dilakukan seperti kampanye

keselamatan kerja, safety training. Namun perubahan sikap tidak selalu

diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang

seharusnya dilakukan bukan apa yang sebenarnya dilakukan.

3. Memberikan punishment terhadap pelaku unsafe behavior.

Pelaksanaannya harus konsisten diterapkan di setiap elemen perusahaan

Page 17: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

27

dan segera setelah munculnya pelanggaran. Namun sulit dilakukan karena

tidak semua unsafe behavior dapat terpantau secara langsung.

4. Memberikan reward terhadap munculnya safety behavior. Namun kendala

dari upaya ini karena reward minimal harus setara dengan reinforcement

yang didapat dari perilaku unsafe behavior.

2. 6. 1. Pendekatan Safety Behavior untuk mengurangi Unsafe Behavior

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cooper (1999) menyebutkan

kriteria-kriteria yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program behavior safety

antara lain:

1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan

Parameter keberhasilan dalam pelaksanaan behavior safety yaitu

melibatkan seluruh pekerja dalam sefety management. Umumnya pada

perusahaan banyak dijumpai safety management yang bersifat top-down

dimana perkerja yang terlibat langsung dengan unsafe behavior tidak

dilibatkan langsung dalam proses perbaikan safety performance. Behavior

safety mengatasi hal ini dengan sistem bottom-up, sehingga individu yang

terlibat langsung dibidangnya dapat mengidentifikasi adanya unsafe

behavior. Dengan keterlibatan pekerja serta komitmen secara menyeluruh

terhadap program ini diharapkan proses improvement dapat berjalan

dengan baik.

2. Memusatkan Perhatian pada Unsafe Behavior yang Spesifik

Fokus terhadap unsafe behavior (sampai pada porsi yang terkecil) juga

menjadi ukuran keberhasilan behavioral safety. Menghilangkan unsafe

behavior berarti menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang

berhubungan dengan perilaku. Banyak peneliti menggunakan teknik

behavioral analysis terapan dan memberi reward dalam mengidentifikasi

terjadinya unsafe behavior. Mengidentifikasi kekurangan dalam sistem

manajemen agar tidak lagi memicu munculnya unsafe behavior.

Page 18: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

28

3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi

Observer memonitor safety behavior pada kelompok pekerja dalam waktu

tertentu. Makin banyak observasi makin akurat data tersebut dan safety

behavior akan meningkat

4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data

Semua perilaku kerja dirangkum dalam prosentase jumlah safety behavior.

Dari data akan terlihat letak hambatan yang dihadapi serta memberikan

pengaruh bagi karyawan yang telah berperilaku aman, selain itu bisa juga

menjadi dasar dalam mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan.

5. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional

Keunikan sistem behavior safety karena adanya jadwal intervensi yang

terencana. Karyawan diminta untuk menjadi relawan dalam observer yang

tergabung dalam sebuah project team. Observer diberi pelatihan untuk

dapat mengidentifikasi unsafe behavior yang didokumentasikan dalam

sebuah lembar check list. Observasi dilakukan dalam suatu periode waktu.

Setelah itu program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting

yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Data hasil observasi dianalisis

untuk mendapatkan feed back bagi karyawan. Team project juga

memonitor data secara berkala sehingga perbaikan dan koreksi terhadap

program dapat terus dilakukan.

6. Menitikberatkan Pada Umpan Balik Terhadap Perilaku Kerja.

Dalam sistem behavior safety umpan balik dapat berbentuk umpan balik

verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi, umpan

balik dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat

yang strategis dalam lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing

dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalisis untuk

mendapatkan umpan balik yag mendetail tentang perilaku yang spesifik.

7. Membutuhkan Dukungan dari Manajer

Komitmen manajemen terhadap proses behavior safety dapat dilihat dari

kebebasan observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan

penghargaan bagi karyawan yang melakukan safety behavior,

menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera

Page 19: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

29

dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan

meningkatkan inisiatif untuk melakukan safety behavior. Dukungan yang

diberikan oleh managemen sangat penting karena kegagalan dalam

pelaksanaan program safety bahavior biasanya disebabkan oleh kurangnya

perhatian pihak managemen.

2.7 Causal Effects Diagram

Causal Effects Diagram (CED) merupakan suatu alat yang mampu

menganalisa penyebab masalah dalam suatu proses dengan menampilkan seluruh

penyebab dan efek yang ditimbulkan oleh permasalahan tersebut. Alat ini

menyajikan sejumlah informasi yang menunjukkan hubungan antara kejadian

dengan penyebab kejadian.

CED ditampilkan dalam bentuk garis dan simbol yang menunjukkan

hubungan sebab akibat. CED baik digunakan untuk:

• Secara cepat dalam menangkap hipotesis yang kita buat mengenai

penyebab dari dinamika

• Memunculkan dan menangkap model mental dari individu maupun

kelompok

• Mampu mengkomunikasikan feedback yang penting yang diyakini

bertanggung jawab terhadap permasalahan.

Awalnya CED dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa untuk mengetahui

akibat dari suatu permasalahan yang kemudian diambil tindakan perbaikan.

Menurut Prabowo (2012), CED adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan

sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar dimana gambar yang

ditampilkan adalah panah-panah yang saling terkait dimana hulu panah

mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat.

CED merupakan diagram pengulangan sebab akibat yaitu model yang

menekankan pada pertimbangan kompleksitas dinamis dari sistem. Model ini

menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel-variabel yang

bersangkutan dalam bentuk garis untuk menghubungkan mana yang merupakan

variabel penyebab dan mana yang variabel akibat (Malabay, 2008). Pendekatan

Page 20: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

30

dengan model CED ini berguna untuk memahami kejadian-kejadian, pola perilaku

yang menyebabkan kejadian itu dan yang terpenting mengetahui struktur yang

bertanggung jawab terhadap pola perilaku tersebut. Dengan mengetahui pola

struktur yang bersangkutan akan dapat mengidentifikasi yang paling memegang

peranan dalam sistem sehingga untuk melakukan perbaikan dapat didahulukan

atau diprioritaskan.

Penerapan CED misalnya dalam menghitung banyaknya penyebab

kesalahan yang mengakibatkan terjadinya suatu masalah, menganalisis

penyebaran pada masing-masing penyebab masalah dan menganalisis proses.

Proses menghitung penyebab kesalahan dilakukan dengan mencari akibat terbesar

dari suatu masalah kemudian dijelaskan ke dalam beberapa penyebab utama.

Dalam menyusun model CED dapat digunakan teknik brainstorming dari seluruh

karyawan yang terlibat dalam permasalahan K3. Hasil brainstorming masalah

dikelompokkan ke dalam beberapa tema sebab utama.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan CED antara

lain:

1. Mengetahui batasan masalah atau ruang lingkup

2. Dimulai dari komponen yang menarik

3. Mempertanyakan tentang pengaruh dari suatu komponen dan hal apa

saja yang mempengaruhinya

4. Menentukan komponen apa saja yang terlibat

5. Penggunaan kata benda terhadap komponen yang akan dibahas

6. Pembuatan diagram harus realistis, mudah dipahami agar perubahan

diagram jika diperlukan dapat dilakukan dengan baik.

Keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan model CED ini adalah

sebagai berikut:

1. Mendorong untuk melihat permasalahan secara menyeluruh, baik dari

segi cakupan dan waktu sehingga dapat mencegah pemikiran yang

sempit

2. Gambaran rantai hubungan sebab akibat membuat lebih eksplisit dan

dasar pemikiran akan menjadi lebih baik

Page 21: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

31

3. Memungkinkan efektifitas komunikasi dapat berjalan dan perwujudan

kerja sama tim akan lebih baik

4. Membantu mengeksplorasi alternatif kebijakan dan keputusan

sehingga konsekuensinya dapat diantisipasi lebih awal

5. Memungkinkan keberadaan posisi yang baik untuk mengambil

keputusan

2.8 Analytic Network Process (ANP)

Menurut Lu (2007) yang dikutip dari Kasih (2012) Analytic Network

Process (ANP) merupakan pengembangan dari Analytic Hierarchy Process

(AHP). Dimana secara esensial AHP merumuskan pemahaman intuitif dari

permasalahan kompleks dengan menggunakan struktur hierarki. Struktur AHP

merumuskan permasalahan keputusan ke dalam hubungan hierarki dengan goal,

kriteria keputusan, dan alternatif-alternatif, sedangkan struktur ANP merupakan

sebuah jaringan. Struktur ANP mempertimbangkan hubungan ketergantungan

serta feedback sedangkan AHP tidak (Tuzkaya, 2008). Kelebihan lain dari ANP

yaitu memberikan hasil yang lebih baik dalam pembuatan model perbandingan

analitik yang sesuai dan dibuat dengan tepat (Guneri, 2009). Sebuah ilustrasi yang

menggambarkan tentang perbedaan hirarki dan jaringan terdapat pada gambar 2.5.

Linear Hierarchy

component,cluster(Level)

element

A loop indicates that eachelement depends only on itself.

Goal

Subcriteria

Criteria

Alternatives

Feedback Network with Components having Inner and Outer Dependence among Their Elements

C4

C1

C2

C3

Feedback

Loop in a component indicates inner dependence of the elements in that componentwith respect to a common property.

Arc from componentC4 to C2 indicates theouter dependence of the elements in C2 on theelements in C4 with respectto a common property.

Gambar 2.5 Perbedaan hirarki dan jaringan (Saaty, 2004)

ANP menyediakan sebuah kerangka kerja yang umum untuk

menyelesaikan dengan keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi mengenai

ketidaktergantungan dari elemen-elemen pada tingkat yang lebih tinggi dari

Page 22: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

32

elemen-elemen pada tingkat yang lebih rendah dan mengenai ketidaktergantungan

dari tiap elemen-elemen dalam suatu tingkatan pada sebuah hirarki (Saaty, 2004).

Hal ini juga didukung oleh Mardiantony (2012) Pembobotan dengan ANP

membutuhkan model yang merepresentasikan saling keterkaitan antar kriteria dan

subkriteria yang dimilikinya. Ada dua kontrol yang perlu diperhatikan dalam

memodelkan sistem yang hendak diketahui bobotnya. Kontrol pertama adalah

kontrol hirarki yang menunjukkan keterkaitan kriteria dan subkriteria. Kontrol

lainnya adalah kontrol keterkaitan yang menunjukkan adanya saling keterkaitan

antar kriteria atau klaster.

Kelebihan yang dimiliki dari ANP antara lain:

1. Dapat menangkap pengaruh ketergantungan antar komponen secara timbal

balik

2. Mampu mengkombinasikan dan membandingkan nilai-nilai yang tidak

dapat diukur dan penilaian subjektif dengan menggunakan data-data

kuantitatif yang konsisten dalam skala rasio

3. Mampu menghasilkan indikator pengaruh positif dan negatif

4. Mampu mensintesis semua pengaruh antar komponen menjadi satu

kesatuan yang utuh.

Hal-hal tersebut diatas menjadi alasan metode ANP sering digunakan

dalam pengambilan keputusan dalam riset kualitatif yang melibatkan berbagai

faktor yang saling berkaitan yang mempunyai perbandingan lebih objektif,

prediksi yang lebih akurat, serta hasil yang lebih stabil dan sempurna. ANP

menggunakan proses yang sederhana namun permasalahan yang kompleks dalam

berbagai bidang dapat diselesaikan (Kasih, 2012).

Page 23: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

33

Gambar 2. 6 Struktur dan Supermatriks dari sebuah hirarki (Saaty, 1999)

Tahapan dalam memprioritaskan kriteria menggunakan ANP

(Saaty,2001):

1. Menentukan konstruksi model permasalahan

Masalah perlu distrukturkan kedalam komponen – komponen

penting seperti penentuan goal, kriteria, sub-kriteria, dan prioritas

alternatif dalam bentuk suatu hubungan hirarki, dimana semakin tinggi

level maka semakin strategis keputusannya.

2. Pembentukan matriks-matriks perbandingan berpasangan dari level-level

komponen yang berkaitan.

Pengambilan keputusan diminta untuk merespon suatu deret perbandingan

berpasangan (pairwise comparison) dengan melihat pada kriteria kontrol level

yang lebih tinggi maupun level yang lebih rendah. Dalam kasus saling

ketergantungan (interdependencies), komponen dalam level yang sama akan

dilihat sebagai komponen kontrol untuk komponen yang lain.

Untuk membandingkan dua elemen, baik ANP maupun AHP

menggunakan skala pengukuran rasio sembilan-point dari Saaty, yang dapat

dilihat pada tabel 2.1. ANP mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan harus

membuat perbandingan kepentingan antara dua pasangan atribut yang mungkin,

menggunakan skala verbal (dari yang paling penting ke kurang penting) untuk

tiap varian. Pengambilan keputusan juga membuat perbandingan yang mirip untuk

seluruh pasangan subkriteria untuk tiap kriteria. Informasi yang diperoleh dalam

proses ini untuk menghitung skor subkriteria dengan melihat tiap kriteria.

Page 24: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

34

Tabel 2.1 Skala ANP

Nilai Numerik Definisi Keterangan

1 Sama penting Dua faktor dengan kontribusi yang

sama terhadap tujuan

3 Sedikit lebih penting Pengalaman dan penilaian satu faktor

lebih kuat dibanding faktor lain

5 Lebih penting Pengalaman dan penilaian satu faktor

lebih kuat dibandingkan faktor lain

7 Sangat penting Suatu faktor lebih kuat dan

dominasinya terlihat dalam praktek

9 Amat sangat penting Perbedaan antara item yang

dibandingkan sangat besar sehingga

semestinya tidak dibandingkan

langsung

2, 4, 6, 8 Nilai tengah Untuk menggambarkan kompromi di

antara dua penilaian yang berdekatan

Skor 1 menunjukkan dua pilihan mempunyai tingkat kepentingan yang sama

atau tidak ada perbedaan dan skor 9 menunjukkan dominasi yang besar sekali dari

suatu komponen (komponen baris) terhadap komponen pembanding (komponen

kolom). Jika suatu komponen mempunyai tingkat pengaruh yang lemah, rentang

skor berkisar dari 1 sampai 1/9 (satu per sembilan), dimana 1 menunjukkan tidak

ada perbedaan dan 1/9 menunjukkan dominasi yang kuat dari elemen kolom

terhadap elemen baris. Ketika penilaian skor dilakukan untuk suatu pasangan,

suatu nilai kebalikan secara otomatis merupakan perbandingan kebalikan didalam

matriks. Jadi jika aij merupakan suatu nilai dalam matriks yang menunjukkan

hubungan antara komponen i terhadap komponen j, maka aij sama dengan 1/aij.

Jika perbandingan berpasangan telah lengkap, vektor prioritas w (yang

disebut eigen vector) dihitung dengan rumus:

A . w = Λmax . w ...............................................(2.1)

Page 25: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

35

Dimana A adalah matriks perbandingan berpasangan dan lamda max

adalah eigen value terbesar dari A. eigen vector merupakan bobot prioritas suatu

matriks yang kemudian digunakan dalam penyusunan supermatriks.

3. Perhitungan rasio konsistensi

Dalam penilaian proses terdapat kemungkinan masalah kelengkapan atau

konsistensi dari perbandingan berpasangan. Rasio konsistensi (consistency ratio/

CR) memberikan suatu penilaian numerik mengenai bagaimana

ketidakkonsistenan suatu evaluasi. Indeks konsistensi (consistency index/ CI)

suatu matriks perbandingan dihitung dengan rumus

CI = Λmax – n ..................................................(2.2)

n – 1

dimana: Λmax = eigenvalue terbesar dari matriks perbandingan berpasangan n x n

n = jumlah item yang dibandingkan

Rasio konsistensi diperoleh dengan membandingkan indeks konsistensi dengan

satu nilai yang sesuai dari bilangan indeks konsistensi acak (random consistency

index/RI) atau dengan rumus:

CR = CI / RI .................................................(2.3)

dimana: CR = Consistency ratio

CI = Consistency index

RI = Random Consistency index

4. Formasi supermatriks

ANP menggunakan formasi dari suatu supermatriks untuk memberikan resolusi

pengaruh ketergantungan antar klaster dari hirarki jaringan keputusan.

Supermatriks terdiri dari submatriks – submatriks yang disusun dari suatu set

hubungan antara dua level yang terdapat dalam model. Prioritas dari elemen-

elemen yang diturunkan dari perbandingan berpasangan dengan kriteria kontrol

tertentu, disusun baik secara vertikal dan horizontal sesuai dengan komponennya

supermatriks. Tiap vektor yang diambil dari matriks perbandingan berpasangan

merupakan pengaruh dengan mempertimbangkan kriteria kontrol dari elemen

Page 26: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

36

suatu komponen pada elemen tunggal dari komponen yang sama atau berbeda

yang terdapat dibagian atas supermatriks (Saaty, 2001)

5. Penentuan prioritas akhir

Penentuan prioritas akhir ditentukan dari nilai akhir untuk masing – masing

pilihan atau alternatif.

2.9 Penelitian terdahulu

Studi literatur mengenai penelitian terdahulu bertujuan untuk mendapatkan

gambaran penelitian yang telah dilakukan pada topik manajemen risiko

kecelakaan kerja, perilaku pekerja sebagai penyebab kecelakaan kerja, dan ANP.

Hal ini agar penelitian yang dilakukan memiliki dasar yang kuat dan belum

pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang menjadi acuan dalam

memecahkan permasalahan ini diantaranya:

2. 9. 1 Manajemen Risiko keselamatan Kerja

Penelitian mengenai manajemen risiko yang berkaitan dengan keselamatan

kerja banyak dilakukan pada negara – negara berkembang. Hal ini didasari karena

perkembangan suatu negara juga diikuti dengan perkembangan industri yang

tentunya berdampak pada munculnya kecelakaan kerja. Untuk mengetahui adanya

bahaya yang memicu munculnya kecelakaan kerja, seseorang harus tahu dimana

sumber risiko tersebut. Dalam menentukan sumber risiko perlu adanya identifikasi

risiko serta kemudian dilakukan analisa risiko. Sehingga peran manajemen risiko

dalam hal ini adalah untuk mengetahui sumber risiko dan menemukan strategi

pengendalian dari risiko tersebut (Pasman, 2009).

Banyak penelitian mengenai manajemen risiko dalam industri proses yang

menjadi acuan dalam penelitian ini diantaranya penelitian oleh Qi-Ruifeng (2012)

yang menyatakan bahwa manajemen risiko merupakan proses sistematik dalam

upaya meningkatkan proses keselamatan kerja. Penilaian risiko sebagai bagian

dalam manajemen risiko terhadap bahan kimia banyak dikembangkan sebagai

upaya untuk menurunkan tingkat risiko lingkungan (Wang, 2012). Mampu

meningkatkan kinerja K3 dengan mengidentifikasi dan mengurangi sumber-

sumber risiko di lingkungan kerja (Glickman, 2007).

Page 27: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

37

Dalam penelitiannya Marhavilas (2011) menjelaskan penilaian risiko

sebagai proses sistematis dalam mengukur dampak dari kejadian dan konsekuensi

akibat kegiatan manusia di lingkungan yang berbahaya. Sebuah model yang

kompleks antara manusia, mesin dan interaksi antara manusia dan mesin akan

dibayangi dengan kegagalan sehingga perlu adanya analisa risiko untuk

mengurangi dan menghindari kegagalan tersebut. Penerapan manajemen risiko

dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat memicu

kegagalan sistem. Namun tidak dijelaskan bagaimana mengendalikan faktor-

faktor tersebut sebagai upaya dalam menghindari terjadinya kegagalan sistem.

Tahapan dalam manajemen risiko yang dilakukan dalam penelitian ini seperti

terlihat pada gambar 2.2

2. 9. 2 Pengaruh Safety Behavior dalam Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak direncanakan yang

muncul dan memberikan dampak cedera (ringan atau berat) atau kerusakan

maupun tidak. Penyebab kecelakaan secara umum diantaranya kondisi yang tidak

sesuai dengan aturan keamanan dan keselamatan kerja serta perilaku – perilaku

yang tidak aman. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai pengaruh perilaku

manusia dalam munculnya kecelakaan.

Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini

diantaranya Abu-Kadher (2004) yang menyatakan kunci sukses dalam

pelaksanaan manajemen risiko di sebuah pabrik adalah komunikasi dua arah

antara manajemen dengan pekerja. Faktor lingkungan dan perilaku manusia dalam

sebuah hubungan sosial mempengaruhi komunikasi antar manusia, oleh karena itu

diperlukan pemahaman mengenai faktor dan perilaku manusia untuk menciptakan

suasana kerja yang aman. Hal ini juga didukung oleh Qing-gui (2012) dimana

perilaku manusia sebagai suatu yang harus dikontrol dan dikendalikan dalam

manajemen risiko di lokasi tambang batubara. Pengoptimalan kontrol terhadap

perilaku manusia penting dilakukan manajemen risiko karena munculnya risiko

disebabkan karena perilaku tidak aman dari pekerja. Model perilaku manusia

dapat dilihat pada gambar 2.7

Page 28: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

38

Gambar 2. 7 Model Perilaku Manusia (Qing-gui, 2012)

Behavioural safety merupakan pendekatan yang efektif dalam

meningkatkan safety performance suatu perusahaan karena yang berhubungan

langsung dengan kondisi keselamatan adalah perilaku pekerja (Wirth, 2008).

Menurut Dagdeviren (2008) faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya

perilaku tidak aman dalam sistem keselamatan kerja diantaranya faktor organisasi,

faktor manusia dan pekerjaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2. 8 Faktor yang mempengaruhi munculnya unsafe behavior

(Dagdeviren, 2008)

Hanya saja dalam penelitiannya Dagdeviren (2008) tidak menjabarkan

lebih spesifik mengenai safety culture sebagai pemicu munculnya permasalahan

S (Stimulus) O (Individual) R (Respond)

F (Feedback variables)

Wei

ghtin

g Fau

lty B

ehav

ior C

ausin

g Fac

tors

Organizational Factors

Personal Factors

Job Related Factors

Safety Culture

Training and Development

Management-Worker Relationship

Inspection

Overtime work

Lack of Skill

Tendency of Risky Behavioring

Sensory Adaptation

Competition

Task Context

Routinization

Role Conflict

Work Flow

Stage 1: Goal

Stage 2: Factors

Stage 3: Sub-Factors

Page 29: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

39

unsafe behavior. Penelitian lebih bersifat makro dengan melihat pengaruh

manajemen keselamatan dalam lingkungan industri.

2. 9. 3 Posisi Penelitian

Berdasarkan hasil review dari penelitian terdahulu, selanjutnya dapat

ditentukan posisi penelitian yang akan dilakukan dari analisa gap yang ada.

Dimana banyak penelitian mengenai manajemen risiko dilakukan namun

penelitian dengan pengendalian risiko berbasis pendekatan perilaku di industri

kimia belum pernah dilakukan sebelumnya. Model manajemen risiko berbasis

perilaku yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alat pengambil keputusan

mengenai strategi pengendalian risiko untuk mengurangi angka kecelakaan kerja.

Rangkuman posisi penelitian dapat dilihat pada gambar 2. 9. Melalui

bagan tersebut terlihat bahwa penelitian yang dilakukan mampu mengisi gap

penelitian yang ada dan dapat memberikan kontribusi keilmuan pada bidang

manajemen risiko kecelakaan kerja pada industri kimia.

Gambar 2. 9 Posisi Penelitian

Gap PenelitianManajemen Risiko Safety BehaviorPasman, 2009; Bouloiz, 2010;

Badri, 2011Manajemen risiko dalam hal ini

adalah mengidentifikasi dan menganalisa risiko ditempat

kerja, belum spesifik membahas bagaimana pengendalian terhadap risiko tersebut

Marhavilas, 2011; Andersen, 2011; Milazzo, 2012; Qing-gui,

2012; Huang, 2012Identifikasi, analisa serta

pengendalian telah dilakukan dalam proses manajemen risiko, namun pengendalian risiko yang dilakukan terhadap kondisi baik

peralatan, lingkungan, sistem perpipaan diberbagai industri seperti oil and gas company,

coal mining, steam power plant.

Dagdeviren, 2008 ; Pangeran 2010

ANP dalam pengambilan keputusan prioritas risiko

belum ada yang membahas risiko kecelakaan kerja yang berhubungan dengan unsafe

behavior

Metode

Causal Effects DiagramTool dalam menganalisa penyebab permasalahan dalam suatu proses serta

dampak dari masalah tersebut, mampu menjelaskan

hubungan antar penyebab

Abu-Kadher, 2004Perilaku sebagai kunci sukses

dalam pelaksanaan manajemen risiko yang mengarah pada komunikasi dua arah antara

manajemen dan pekerja, namun belum menjelaskan lebih detail

faktor perilaku tersebut

Cooper, 2000; Cox, 2000; Lin, 2008; Ogle, 2008; Darvish, 2011;

Fugas, 2012Safety climate memberikan

pengaruh terbentuknya faktor perilaku pekerja, namun belum

mengintegrasikan dengan proses manajemen risiko sebagai

pemicu kecelakaan kerja

Cacciabue, 2000; Anderson, 2005; Cigularov, 2010; Konstandinidou, 2011;

Rathnayaka, 2012Perilaku sebagai bagian dari human factors memberikan dampak terhadap munculnya

kecelakaan kerja, namun belum dijelaskan hubungan antar faktor

perilaku manusia tersebut

Patradhiani, 2012Pemodelan manajemen risiko dengan pendekatan perilaku pekerja untuk meminimalisir

risiko kecelakaan kerja di Industri kimia

Tixier, 2002Identifikasi awal terhadap

sumber risiko mampu meminimalisir risiko

kecelakaan, namun belum spesifik manusia sebagai

sumber risiko

Page 30: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

40

Untuk mengetahui bahwa gap dalam penelitian ini merupakan topik yang

belum pernah diteliti, maka perlu adanya studi lebih luas mengenai penelitian

dengan topik manajemen risiko kecelakaan kerja di industri dan perilaku pekerja

sebagai pemicu munculnya risiko kecelakaan kerja. Adapun hasil dari studi

tersebut ditampilkan dalam tabel 2.2. Pada tabel tersebut diketahui bahwa gap

penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Tabel 2.2 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu

No Nama (Tahun) Manajemen Risiko

Penyebab Kecelakaan Keterangan Objek Penelitian

Identifikasi Analisa Pengendalian

1 Bouloiz, H. (2010) Risiko Organisasi Industri Kimia

2 Hassim, M. H. (2010)

Risiko Layout pabrik Industri Kimia

3 Badri, A. (2011) Industri Perakitan

4 Pasman, H. J. (2009)

5 Marhavilas, P. K. (2011)

Pengendalian tempat kerja (conditions)

Steam Power Plant

6 Andersen, S. (2011) Pengendalian Sistem Integrated Operations (Conditions)

Oil and Gas Company

7 Milazzo, M. F. (2012)

Pengendalian sistem perpipaan (Conditions)

Industri Kimia

8 Qing-gui, C. (2012) Pengendalian Layout pabrik (Conditions)

Coal Mine

9 Huang, R. (2012) Pengendalian kompleksitas peralatan (Conditions)

Industri Kimia

10 Cox, S. J. (2000) Safety Climate Offshore in Mexico

11 Darvish, H. (2011) Safety Climate Steel Industry

12 Fugas, C. S. (2012) Safety Climate berpengaruh terhadap Safety Behavior

Europe

13 Lin, S. (2008) Safety Climate China

14 Ogle, R. A. (2008) Error Operator

15 Rathnayaka, S. (2012)

Human Factors and Management Organization

LNG Process

16 Konstandinidou, M. (2011)

Human Factors Industri Petrokimia

17 Anderson, M. (2005) Behavior Safety

18 Abu-Khader, M. M. (2004)

Behavior Safety Industri Kimia

19 Cacciabue, P. C. (2000)

Human Factors

Page 31: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

41

Tabel 2.2 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu (lanjutan)

No Nama (Tahun) Manajemen Risiko

Penyebab Kecelakaan Keterangan Objek Penelitian

Identifikasi Analisa Pengendalian

20 Cigularov, K. P. (2010)

Management Climate Construction

21 Ismail, F. (2012) Behavior Based Safety Oil and Gas Company

22 Dagdeviren, (2008) Behavior Safety

23 Patradhiani, R. (2013)

Pengendalian risiko dengan pendekatan perilaku pekerja

Industri Kimia

Page 32: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

42

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 33: MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN  KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI  KIMIA

11