model pembangunan berbasis rt sebuah evaluasi
TRANSCRIPT
MENATA MODEL
PEMBANGUNAN BERBASIS
RUKUN TETANGGA (PBRT)
“Inovasi Yang Penuh Prestasi Namun
Miskin Kreasi Inovasi”
Penulis :
Syahrul Mustofa, S.H.,M.H
Diterbitkan Oleh :
Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat
Desa
TAHUN
2010
BAB I
PENDAHALUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga, telah dimulai sejak
tahun 2007 sampai dengan sekarang. PBRT adalah merupakan program
prioritas sekaligus unggulan KSB. Program ini telah menjadi wacana dan
diskursus yang menarik dari berbagai kalangan, bukan hanya warga
masyarakat di KSB, melainkan pula dari Kabupaten/Kota lainnya di NTB, dan
Kab/Kota lainnya di Indonesia. Bahkan, pada tahun 2010 sebanyak 8 delegasi
negara asing dan 15 Provinsi di Indonesia mengunjungi KSB untuk
mempelajari model Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga.
Sejumlah prestasi telah diraih dalam program ini, antara lain adalah ;
sebagai juara II dalam Sayembara GLG (Good Local Governance) oleh
Pemerintah Provinsi NTB yang bekerjasama dengan GTZ, salah satu NGO/LSM
Internasional asal Negara Jerman pada tahun 2008 dan menghatarkan pula
Bupati KSB, Dr. KH. Zulkifli Muhadli, SH.,MM menjadi seorang Doktor Ilmu
Sosial.
Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga adalah merupakan
salah satu program inovatif KSB. Program ini secara umum adalah berusaha
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di setiap
lingkungan RT melalui proses pemberdayaan dan penguatan warga desa dan
RT.
Semangat yang melatarbelakangi RT sebagai basis pembangunan
dilatarbelakangi oleh sejarah, kedudukan, peran dan fungsi RT selama ini. RT
merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang keberadaannya sudah lama
dan memiliki kedekatan dengan warga, posisi RT sebagai pondasi sekaligus
ujung tombak dalam proses pembangunan. Sejarah telah membuktikan bahwa
kedudukan dan peran RT yang strategis dalam kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan budaya masyarakat telah dijadikan sebagai sarana atau salah satu
instrumen penting bagi penjajah-jepang melakukan proses pembodohan
masyarakat dan mampu mempertahankan keamanan lingkungan. Melalui
keberadaan dan peran RT pula, pemerintah Orde Baru berhasil
mempertahankan dan memenangkan Pemilu dari orde ke orde, dari RT inipula
kita bisa menyaksikan bagaimana prakarsa gotong royong dan swadaya
masyarakat yang murni itu terbangun dan fakta-fakta lainnya.
Artinya posisi, fungsi dan peran RT di Indonesia sesungguhnya
sangatlah strategis dan potensial dalam rangka mendorong sebuah proses
perubahan sosial, ekonomi bahkan politik dan keamanan lingkungan. Tinggal
pertanyaannya sekarang adalah kemana arah kebijakan dan perubahan yang
akan dicapai atau dituju dari kedudukan dan peran RT yang strategis tersebut.
Semuanya itu akan sangat tergantung dari sejauhmana Pemerintah Daerah
menempatkan posisi dan peran RT, serta bagaimana kehendak masyarakat
terhadap peran dan fungsi RT saat ini.
Program PBRT adalah merupakan instrumen untuk mendorong
terwujudnya kesejahteraan ekonomi, sosial, politik dan budaya sekaligus
merupakan sarana tranformasi sosial yang diharapkan mampu untuk
mendongkrak keterpurukan situasi dan kondisi masyarakat yang berkembang
selama ini. Inovasi ini cukup menarik dan unik, karena merupakan satu-
satunya model pembangunan yang ada di provinsi NTB bahkan di Indonesia.
Namun, sejauh ini belum banyak dilakukan upaya untuk dilakukan kajian dan
evaluasi secara mendalam mengenai perkembangan pelaksanaan PBRT di
daerah, khususnya terkait capaian pelaksanaan keberhasilan, permasalahan
yang berkembang maupun terkait dengan kekuatan dan kelemahan serta
harapan-harapan masyarakat KSB dimasa mendatang atas PBRT.
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini difokuskan untuk menjawab permasalahan dan pertanyaan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakan konsep umum Pembangunan Berbasis Rukun
Tetangga dan gambaran implementasi dari PBRT di Kabupaten
Sumbawa Barat sejak diberlakukan hingga sekarang?
2. Sejauhmanakah capaian keberhasilan pelaksanaan PBRT dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapai dalam implementasi
PBRT selama ini?
3. Faktor-faktor apakah yang merupakan faktor pendukung maupun
penghambat dari keberhasilan dan kegagalan implementasi program
PBRT di Kabupaten Sumbawa Barat ?
4. Program dan kegiatan apasajakah yang inovatif dan populer di
tengah-tengah masyarakat dan memperoleh respons yang positif
dan sejauhmanakah tingkat kepuasan masyarakat atas program dan
kegiatan dilapangan?
5. Bagaimanakah Visi, Misi, Program dan Kegiatan yang perlu
dikembangkan dan disempurnakan dalam Pembangunan Berbasis
RT untuk lima tahun kedepan ?
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan mengenai konsep PBRT serta perjalanan
pelaksanaan Program Pembangunan Berbasis RT di Kabupaten
Sumbawa Barat sejak tahun 2007 hingga sekarang
2. Mengidentifikasi tingkat capaian keberhasilan pelaksanaan PBRT dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapai dalam implementasi
PBRT selama ini.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor pendukung maupun
penghambat dari keberhasilan maupun kegagalan implementasi
program Pembangunan Berbasis RT di Kabupaten Sumbawa Barat.
4. Mengidentifikasi dan menganalisis Program dan kegiatan yang
inovatif dan populer di tengah-tengah masyarakat serta
mendeskripsikan tingkat kepuasan masyarakat atas program dan
kegiatan dilapangan.
5. Mengidentifikasi dan memformulasikan rumusn Visi, Misi, Program
dan Kegiatan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dalam
Pembangunan Berbasis RT untuk lima tahun kedepan (2011-2015).
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah
daerah antaralain manfaat tersebut adalah ;
a. Sebagai bahan dokumentasi atas pelaksanaan Program
Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga yang telah dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah.
b. Sebagai bahan evaluasi bagi Pemerintah Daerah sekaligus sarana
informasi untuk dapat mengetahui tingkat keberhasilan/kegagalan
Program Pembangunan Berbasis RT secara obyektif dan
independen.
c. Sebagai bahan bagi Pemerintah daerah untuk mengetahui posisi dan
perkembangan program PBRT sekaligus mengetahui peta
kelemahan dan kekuatan, maupun peta peluang dan tantangan
pelaksaaan Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga yang dihadapi
selama ini dan masa yang akan datang.
d. Sebagai sarana bagi Pemerintah Daerah untuk dapat merumuskan
kebijakan, anggaran, Program dan Kegiatan Pembangunan Berbasis
Rukun Tetangga yang tepat untuk periode selanjutnya (2011-
2015).
e. Secara akademik adalah sebagai bahan referensi untuk
pengembangan pendidikan dan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan
Beberapa rumusan mengenai perencanaan ada di berbagai literatur.
Menurut Abe (2005:27) perencanaan berasal dari kata rencana yang berarti
rancangan atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Pengertian sederhana
tersebut dapat diuraikan beberapa komponen penting, yakni tujuan (apa yang
hendak dicapai), kegiatan (tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan),
dan waktu kapan (bilamana kegiatan tersebut hendak dilakukan). Selanjutnya
Abe (2005:31) menjelaskan perencanaan adalah susunan (rumusan)
sistematik mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan di masa depan,
dengan pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi-potensi,
faktor-faktor internal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam mencapai
tujuan tertentu.
Nawawi (2003:29) mengemukakan sebagai berikut “Perencanaan
adalah proses pemilihan dan penetapan tujuan, strategi, metode, anggaran,
dan standar (tolok ukur) keberhasilan suatu kegiatan”. Pengertian ini
menunjukkan bahwa perencanaan merupakan proses atau rangkaian beberapa
kegiatan yang saling berhubungan dalam memilih salah satu dari beberapa
alternatif tentang tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah
organisasi/perusahaan. Kemudian memilih strategi dan metode untuk
mencapai tujuan tersebut. Hasibuan (2005:91) mengemukakan bahwa
perencanaan (planning) adalah fungsi dasar (fundamental) manajemen,
karena organizing, staffing, directing, dan controlling pun harus terlebih
dahulu direncanakan. Perencanaan ini adalah dinamis. Perencanaan ini
ditujukan pada masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, karena
adanya perubahan kondisi dan situasi. Sedangkan Siagian (2005:41)
mendefinisikan perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan
keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan.
Conyers dalam Riyadi (2003:2) “Planning is a continuous process which
involves decisions, or choices, about alternative ways of using available
resources, with the aim of achieving particulars goals at some time in the
future.” Artinya, perencanaan adalah suatu proses yang terus menerus yang
melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber
daya yang ada dengan sasaran untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di
masa yang akan datang. Sedangkan menurut Catanese dan Snyder (1996: 50)
perencanaan merupakan aktivitas universal manusia, suatu keahlian dasar
dalam kehidupan yang berkaitan dengan pertimbangan suatu hasil sebelum
diadakan pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.
Selanjutnya dengan memperbandingkan definisi perencanaan dari
beberapa ahli, Kaho (2005:259) mengemukakan pengertian perencanaan
merupakan suatu proses yang tidak mengenal akhirnya dan untuk mencapai
hasil yang memuaskan, maka perencanaan harus mempertimbangkan kondisi-
kondisi waktu yang akan datang di mana perencanaan tersebut akan
dilaksanakan dan juga kondisi-kondisi pada saat sekarang, saat perencanaan
dibuat.
Dari uraian di atas, menurut Hasibuan (2005:94-95) dapat ditarik
kesimpulan dari beberapa pengertian perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan merupakan fungsi utama manajer. Pelaksanaan pekerjaan tergantung pada baik buruknya suatu rencana;
2. Perencanaan harus diarahkan pada tercapainya tujuan. Jika tujuan tidak tercapai mungkin disebabkan oleh kurang baiknya rencana;
3. Perencanaan harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan obyektif dan rasional untuk mewujudkan adanya kerjasama yang efektif;
4. Perencanaan harus mengandung atau dapat diproyeksikan kejadian-kejadian pada masa yang akan datang;
5. Perencanaan harus memikirkan matang-matang tentang anggaran, kebijaksanaan, program, prosedur, metode, dan standar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
6. Perencanaan harus memberikan dasar kerja dan latar belakang bagi fungsi-fungsi manajemen lainnya.
Dari berbagai pendapat ahli tersebut di atas, maka dapat dikatakan
bahwa perencanaan merupakan sebuah tindakan awal dalam proses
pengambilan keputusan dengan melakukan pengkajian yang mendalam
terhadap konsep maupun fakta (pilihan alternatif) secara komprehensif
yang dapat dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang kemudian
dilaksanakan sesuai tujuan yang ditetapkan (pada waktu yang akan
datang).
Dalam melakukan suatu perencanaan, maka perencanaan harus
memenuhi unsur-unsur perencanaan. Menurut Riyadi dan Bratakusumah
(2004:3), unsur-unsur perencanaan yang baik adalah sebagai berikut :
1. Adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Ini berarti bahwa perencanaan hendaknya disusun dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi yang didukung dengan fakta-fakta atau bukti-bukti yang ada. Hal ini menjadi penting karena hasil perencanaan merupakan dasar bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas.
2. Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan. Ini berarti bahwa dalam menyusun rencana perlu memperhatikan berbagai alternatif pilihan sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
3. Adanya tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini perencanaan merupakan suatu alat/sarana untuk mencapai tujuan melalui pelaksanaan kegiatan.
4. Bersifat memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan.
5. Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya Silalahi (2003 : 166) mengemukakan bahwa di dalam suatu
perencanaan haruslah dirumuskan dan ditetapkan jawaban-jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tentang :
a. Apa yang harus dikerjakan (what must be done)
b. Mengapa harus dikerjakan (why must be done)
c. Di mana dikerjakan (where will be done)
d. Kapan akan dikerjakan (when will be done)
e. Siapa yang akan mengerjakan (who will do it); dan
f. Bagaimana hal tersebut akan dikerjakan (how will it be done).
Sedangkan Kunarjo (2002:23) mengemukakan pada dasarnya
perencanaan yang baik mempunyai beberapa persayaratan sebagai berikut:
1. Perencanaan harus didasari dengan tujuan pembangunan; 2. Perencanaan harus konsisten dan realistis; 3. Perencanaan harus dibarengi dengan pengawasan yang kontinyu; 4. Perencanaan harus mencakup aspek fisik dan pembiayaan; 5. Para perencana harus memahami berbagai perilaku dan hubungan
antarvariabel ekonomi; dan 6. Perencanaan harus mempunyai koordinasi.
Dari berbagai pengertian yang telah di sampaikan tersebut dapat
dikatakan bahwa perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat
menjawab atau memenuhi pertanyaan-pertanyaan sebagaimana di
kemukakan. Selanjutnya dalam perencanaan harus terkandung tujuan-tujuan
atau sasaran-sasaran yang akan dicapai, pendayagunaan sumber daya yang
ada baik sumber daya manusia maupun materiil dan waktu agar efektifitas
pencapaian tujuan dapat tercapai. Perencanaan juga harus konsisten dan
realistis, disertai pengawasan yang terus menerus, mencakup aspek fisik dan
pembiayaan, mempunyai koordinasi dan para perencananya harus memahami
permasalahan ekonomi.
Ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan. Menurut Tjokroamidjojo
(1995:8), manfaat perencanaan didasarkan pada tiga hal yaitu pada :
a) Penggunaan sumber-sumber pembangunan secara efisien dan efektif;
b) Keperluan mendobrak ke arah perubahan struktural ekonomi dan sosial masyarakat;
c) Yang terpenting adalah arah perkembangan untuk kepentingan keadilan sosial.
Sedangkan menurut Hasibuan (2005:110) manfaat perencanaan adalah :
1. Dengan perencanaan tujuan menjadi jelas, obyektif dan rasional; 2. Perencanaan menyebabkan semua aktivitas terarah, teratur dan
ekonomis; 3. Perencanaan akan meningkatkan daya guna dan hasil guna semua
potensi yang dimiliki; 4. Perencanaan menyebabkan semua aktivitas teratur dan bermanfaat; 5. Perencanaan dapat menggambarkan keseluruhan organisasi; 6. Perencanaan dapat memperkecil resiko yang dihadapi organisasi; 7. Perencanaan memberikan landasan untuk pengendalian; 8. Perencanaan merangsang prestasi kerja;
9. Perencanaan memberikan gambaran mengenai seluruh pekerjaan dengan jelas dan lengkap;
10. Dengan perencanaan dapat diketahui tingkat keberhasilan pegawai.
Selanjutnya, manfaat perencanaan menurut Kaho (2005:260) akan
memberikan banyak manfaat bagi organisasi, antara lain:
a. Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan;
b. Membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama;
c. Memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran operasi lebih jelas;
d. Membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat; e. Memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; f. Memudahkan dalam melakukan koordinasi; g. Membuat tujuan lebih khusus, terinci, dan lebih mudah dipahami; h. Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; i. Menghemat waktu, usaha, dan dana.
Dapat disimpulkan bahwa perencanaan bermanfaat untuk
menggunakan sumberdaya yang dimiliki secara optimal guna mencapai hasil
optimal ke arah perubahan struktur ekonomi dan sosial serta mengurangi
adanya kesenjangan di antara masyarakat suatu negara atau daerah.
Setiap organisasi memerlukan perencanaan dalam pelaksanaan setiap
kegiatannya baik organisasi pemerintah maupun swasta, sehingga
menimbulkan berbagai macam rencana dalam perkembangannya.
Perencanaan (Arsyad;1999) dan Jhingan (2004) dapat dikelompokkan pada
berbagai segi, yaitu: (1) Berdasarkan jangka waktu, (2) berdasarkan sifat
perencanaan, (3) berdasarkan alokasi alokasi sumberdaya, (4) berdasarkan
tingkat keluwesan, (5) berdasarkan sistem ekonomi, dan (6) berdasarkan cara
pelaksanaannya (arus informasi)
Berdasarkan jangka waktu, perencanaan dibagi menjadi perencanaan
jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Perencanaan jangka
panjang biasanya mempunyai rentang waktu antara 10 sampai 25 tahun.
Rencana jangka panjang merupakan cetak biru pembangunan yang harus
dilaksanakan dalam jangka waktu panjang. Sedangkan perencanaan jangka
menengah biasanya mempunyai rentang waktu antara 4 sampai 6 tahun.
Dalam perencanaan jangka menengah ini walapun masih umum, sasaran-
sasaran dalam kelompok besar (sasaran sektoral) sudah dapat diproyeksikan
dengan benar. Rencana jangka pendek mempunyai rentang waktu 1 tahun,
biasanya disebut juga rencana operasional tahunan. Rencana jangka pendek
biasanya lebih akurat, karena melihat masa depan yang pendek lebih mudah
daripada melihat masa depan dalam jangka panjang.
Berdasarkan pada sifat perencanaan, perencanaan dapat dibagi menjadi
perencanaan dengan komando (planning by direction) dan perencanaan
dengan rangsangan (planning by enducement). Dalam perencanaan komando,
pemerintah pusat merencanakan, mengatur dan memerintahkan pelaksanaan
rencana sesuai dengan sasaran dan prioritas yang ditetapkan sebelumnya.
Perencanaan dengan rangsangan merupakan sistem perencanaan demokratis
dimana ada kebebasan berusaha, kebebasan berkonsumsi, dan kebebasan
berproduksi. Tetapi kebebasan itu juga tunduk kepada pengendalian dan
pengaturan pemerintah.
Berdasarkan pengalokasian sumberdaya perencanaan dibagi menjadi
perencanaan keuangan dan perencanaan fisik. Perencanaan keuangan adalah
teknik perencanaan dalam mengalokasikan dana (uang), sementara
perencanaan fisik adalah pengalokasian sumberdaya secara fisik misalnya
manusia, bahan dan peralatan.
Berdasarkan tingkat keluwesan suatu perencanaan dapat dibagi
menjadi perencanaan indikatif dan perencanaan imperatif. Dalam perencanaan
indikatif pemerintah memberikan wewenang kepada swasta untuk melakukan
perencanaan dan mengelola sumber daya dengan bebas. Sedangkan dalam
perencanaan indikatif semua kegiatan dan sumber daya ekonomi berjalan
menurut komando negara.
Berdasarkan cara pelaksanaannya, perencanaan dapat dibedakan
menjadi perencanaan sentralistik (Centralized) atau Top-down Planning dan
Perencanaan Desentralistik (Decentralized) atau Bottom-up Planning. Pada
perencanaan sentralistik, keseluruhan proses perencanaan suatu negara
berada di bawah badan perencanaan pusat. Badan ini merumuskan suatu
rencana pusat, menetapkan tujuan, sasaran dan prioritas untuk setiap sektor
pembangunan. Perencanaan desentralistik pada perencanaan dari bawah.
Rencana dirumuskan oleh badan perencanaan pusat setelah berkonsultasi
dengan berbagai unit administrasi negara. Rencana ini menggabungkan
rencana daerah/wilayah.
2.2. Pengertian Pembangunan
Secara sederhana terminologi pembangunan kerap diartikan sebagai
proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Pengertian pembangunan
menurut Kartasasmita (1997:6) adalah suatu proses yang berkesinambungan
dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan
produktivitas sumber daya. Dengan defenisi ini pembangunan dapat dimaknai
sebagai kegiatan nyata dan berencana untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Siagian (1999:4) menyepakati bahwa pembangunan merupakan
suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan
pemerintah, menuju modernitas dalam rangka nation building. Lebih lanjut
Saul M.Katz (Tjokrowinoto, 1996:7) menyebutkan bahwa definisi
pembangunan adalah :
“pergeseran dari satu (one state of national being) kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik (more valued), tetapi apa yang disebut more valued (lebih baik/lebih berharga), berbeda dari satu negara ke negara lain (culture specific) atas dari satu periode ke periode lain (time specific)”
Istilah pembangunan secara luas (Todaro, 2003:21) sebagai suatu proses
perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial
secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi.
Dari defenisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya
pembangunan merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk
mengadakan suatu perubahan sesuai yang diinginkan. Perubahan ini
dimaksudkan untuk manambah nilai. Dalam pelaksanaannya memerlukan
suatu waktu yang telah disepakati serta bersifat berkelanjutan.
Pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk memperbaiki kehidupan
sesuai yang diharapkan berupa terpenuhinya kebutuhan pokok, adanya
perubahan kualitas standar kehidupan, maupun pilihan-pilihan ekonomis
lainnya. Pilihan ekonomi ini memberikan alternatif manusia dalam memenuhi
kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial.
Ada tiga tujuan inti pembangunan (Todaro, 2003:28). Ketiga tujuan inti
tersebut adalah pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi
berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan; kedua, peningkatan
standar hidup yang tidak hanya merupakan peningkatan pendapatan, tetapi
juga penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan,
serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang
kesemuanya tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan
juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan;
ketiga, serta perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu
serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari
belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap negara
atau bangsa-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang
berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Pembangunan memiliki beberapa paradigma. Setiap paradigma
pembangunan tersebut mengalami pergeseran paradigma tergantung kepada
sistem paradigma pembangunan yang berlaku. Paradigma pembangunan yang
menjadi acuan pembangunan nasional, dapat mengalami perubahan dengan
paradigma pembangunan yang baru.
Paradigma diartikan sebagai cara pandang terhadap suatu bidang
keilmuan. Paradigma yang satu dengan yang lainnya tidak dapat disamakan
tapi dapat diperbandingkan. Pembangunan yang dilakukan oleh Indonesia
sebagai negara berkembang merupakan suatu proses kegiatan yang terencana
dalam upaya pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, dan modernisasi
bangsa guna peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan
masyarakat.
Perkembangan paradigma dan strategi pembangunan menurut Suryono
(2001 : 55) adalah sebagaiberikut :
1. Paradigma dan Strategi Pertumbuhan (growth) Merupakan konsep pembangunan untuk mengejar ketinggalan suatu negara dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan pendapatan nasional. Muncul teori Rostow (1960) tentang tahapan pembangunan, yaitu tahap masyarakat tradisional; tahap pra kondisi untuk tinggal landas; tahap tinggal landas, tahap menuju kedewasaan; dan tahap konsumsi massa tinggi.
2. Paradigma pertumbuhan dan pemerataan (growth and equity). Strategi ini lebih diorientasikan pada pengelolaan dan investasi sumber daya manusia dan pembangunan sosial dalam proses pembangunan.
3. Paradigma Pembangunan yang Berkelanjutan (sustainable development) Konsep pembangunan yang ditawarkan oleh Korten karena adanya beberapa masalah di negara-negara yang sedang berkembang, antara lain pertambahan penduduk, urbanisasi, kemiskinan, kebodohan, partisipasi masyarakat, organisasi sosial politik, kerusakan lingkungan dan pembangunan masyarakat pedesaan. Di samping itu juga adanya masalah kependudukan (pengangguran, urbanisasi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan pendapatan) dan kerusakan lingkungan alam akibat dari pembangunan yang tidak berdimensi pada pembangunan manusia, sehingga berpengaruh terhadap masalah keadilan, kelangsungan hidup dan integritas pembangunan yang saling mendukung. Strategi Pembangunan yang berkelanjutan dicirikan oleh : (a) Pembangunan yang berdimensi pelayanan sosial yang diarahkan pada kelompok sasaran melalui pemenuhan kebutuhan pokok; (b) Pembangunan yang ditujukan pada pembangunan sosial seperti mewujudkan keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya, serta menciptakan kedamaian; (c) Pembangunan yang diorientasikan pada manusia untuk berbuat melalui pembangunan yang berpusat pada manusia dan meningkatkan pemberdayaan manusia.
4. Paradigma Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia (people centered development). Arah pembangunannya ádalah untuk mendukung pemerataan dan pertumbuhan dalam rangka kelangsungan pembangunan yang bersifat global, seperti transformasi nilai, kelembagaan, teknologi, dan perilaku manusia yang konsisten terhadap kualitas kehidupan sosial dan lingkungannya.
Sedangkan menurut Hamzens (2005 : 37), terdapat lima paradigma
pembangunan, antara lain :
1. Paradigma Pertumbuhan (growth pole) Keberhasilan pembangunan dinilai dari presentase pertumbuhan yang diraih dari berbagai bidang pembangunan, keberhasilan pembangunan dilaporkan pada setiap akhir tahun anggaran.
2. Paradigma Pemerataan (equity) Karena pertumbuhan yang berlangsung pada tahap selanjutnya disadari tidak merata dimiliki oleh seluruh rakyat, kekayaan yang dimiliki dan diproduksi Bangsa Indonesia tidak merata dapat dimiliki secara adil oleh semua penduduknya. Pemerintah kemudian menerapkan model pemerataan untuk kelanjutan pelaksanaan pembangunan.
3. Paradigma Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Basic Need Strategy) Pembangunan didasarkan pada pemenuhan terhadap kebutuhan dasar manusia.
4. Paradigma Keberlanjutan (Sustainable) Pembangunan yang dilakukan harus berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan alam.
5. Paradigma Pemberdayaan (Empowerment) Pembangunan dilakukan melalui pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM).
2.3. Perencanaan Pembangunan
Dalam memahami perencanaan pembangunan daerah maka pengertian
perencanaan pembangunan harus dipahami terlebih dahulu. Perencanaan
pembangunan merupakan tahapan awal yang akan digunakan sebagai bahan
atau acuan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan (action plan). Riyadi
(2004;7) memberikan defenisi perencanaan pembangunan sebagai :
“Suatu perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik.”
Berdasarkan UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Perencanaan Pembangunan disebutkan sebagai
sebuah sistem, sehingga membentuk sistem pembangunan nasional. Dalam
undang-undang tersebut yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Dari pengertian tentang perencanaan pembangunan di atas, dapat
dikatakan bahwa perencanaan pembangunan dapat efektif apabila
penyelenggara negara (pemerintah) harus mampu merumuskan tujuan yang
akan direalisasikan. Penyelenggara negara (pemerintah) harus mengetahui
proses dan segala bentuk hubungan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Pemerintah harus mempunyai kekuatan dan kekuasaan
menggunakan sumber daya.
Tjokroamidjojo (1995 : 49) telah memberikan ciri-ciri perencanaan
pembangunan, yaitu ;
pertama, yaitu perencanaan pembangunan yang dicerminkan dalam suatu usaha peningkatan produksi nasional, kedua perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pendapatan per kapita. Ini merupakan kelanjutan dari ciri pertama. Ketiga, perencanaan pembangunan yang merupakan usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi, keempat, perencanaan pembangunan yang merupakan usaha untuk perluasan kesempatan kerja, kelima, perencanaan pembangunan yang mempunyai kecenderungan pada usaha untuk pemerataan pembangunan, keenam, perencanaan pembangunan yang merupakan usaha pembinaan kepada lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan, ketujuh, yaitu perencanaan pembangunan yang mengarah pada kemampuan pembangunan secara bertahap didasarkan pada kemampuan nasional, kedelapan, perencanaan pembangunan yang merupakan usaha secara terus menerus menjaga stabilitas ekonomi, dan kesembilan, merupakan tujuan pembangunan yang fundamental ideal atau bersifat jangka panjang.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
tersebut merupakan tahapan bentuk dari perencanaan pembangunan bagi
suatu negara atau daerah dalam melakukan perencanaan. Tahapan ini
ditentukan berdasarkan tingkat kemampuan bagi suatu daerah. Apabila suatu
daerah baru atau negara baru melakukan perencanaan, maka harus dilihat
apakah mereka sudah mempunyai tingkat produksi yang tinggi, dan apabila
hal ini dinyatakan sudah, maka mereka baru dapat melakukan perencanaan
pembangunan pada ciri yang kedua, demikian seterusnya sampai pada
akhirnya perencanaan terhadap pencapaian tujuan yang ideal atau
fundamental.
Disamping ciri-ciri perencanaan pembangunan, perlu diperhatikan
unsur-unsur pokok perencanaan pembangunan. Sebagaimana diungkapkan
oleh Tjokroamidjojo (1995), unsur-unsur pokok dalam perencanaan
pembangunan adalah sebagai berikut :
a) Kebijaksanaan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan, yang merupakan unsur dasar daripada seluruh rencana yang kemudian dituangkan dalam unsur-unsur pokok lainnya. Salah satunya adalah penetapan tujuan-tujuan rencana.
b) Kerangka rencana, yang biasa juga disebut dengan kerangka makro, yang menghubungkan berbagai variabel pembangunan serta implikasi hubungan tersebut.
c) Perkiraan sumber-sumber pembangunan, yang seringkali merupakan bagian dari penelaahan kerangka makro rencana.
d) Uraian tentang kerangka kebijaksanaan yang konsisten. Berbagai kebijakan perlu dirumuskan dan kemudian dilaksanakan dimana kebijakan-kebijakan tersebut harus serasi dan konsisten. Antara lain yaitu kebijakan fiskal, penganggaran, moneter, harga serta kebijakan lainnya.
e) Program investasi, yang perlu dilakukan secara bersamaan dengan penyusunan sasaran-sasaran rencana. Penyusunan di sini perlu dilakukan secara seksama dan dilakukan berdasar perencanaan yang lebih operasional. Dalam penyusunan program investasi dan sasaran rencana pembangunan diserasikan dengan kemungkinan pembiayaan yang wajar.
f) Administrasi pembangunan. Salah satu segi penting perencanaan adalah pelaksanaan rencana, dan untuk itu siperlukan administrasi negara yang mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut. Dalam hal ini perlu penelaahan terhadap mekanisme dan kelembagaan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Proses perencanaan merupakan suatu prosedur dan tahapan dari
perencanaan itu dilaksanakan. Secara hirarki, prosedur perencanaan itu
dilakukan atas dasar prinsip Top-Down Planning, yaitu proses perencanaan
yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi suatu organisasi kemudian atas dasar
keputusan tersebut dibuat suatu perencanaan di tingkat yang lebih rendah.
Prinsip lainnya adalah lawan dari prinsip di atas yaitu Bottom-Up Planning
yang merupakan perencanaan yang awalnya dilakukan di tingkat yang paling
rendah dan selanjutnya disusun rencana organisasi di atasnya sampai dengan
tingkat pusat atas dasar rencana dari bawah.
Senada dengan pendapat di atas menurut Abe (2005 : 77), bahwa,“tahap-tahap dalam perencanaan pembangunan adalah penyelidikan, perumusan, menentukan tujuan dan target, mengidentifikasi sumberdaya (daya dukung), merumuskan rencana kerja, dan menentukan anggaran (budget) yang hendak digunakan dalam realisasi rencana. Dalam konteks upaya perubahan, langkah untuk melakukan evaluasi, dapat dimasukkkan menjadi bagian dari tahap kerja.”
Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa perencanaan yang
dimaksud adalah perencanaan yang merupakan kegiatan penyusunan rencana
dalam hal ini merupakan pembuatan dokumen rencana. Namun, seperti telah
dikemukakan bahwa perencanaan bukanlah merupakan suatu kegiatan
penyusunan dokumen rencana saja, melainkan dalam pengertian yang luas
yaitu perencanaan yang meliputi proses kegiatan yang menyeluruh dan terus
menerus dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.
Berikut ini disampaikan proses atau tahap-tahap dalam suatu perencanaan
oleh Tjokroamidjojo (1995), yaitu :
a) Penyusunan Rencana Penyusunan rencana ini meliputi unsur-unsur, yakni :
1. Tinjauan keadaan, merupakan kegiatan berupa tinjauan sebelum memulai suatu rencana atau tinjauan terhadap pelaksanaan rencana sebelumnya. Di sini diusahakan dapat diidentifikasi masalah-masalah pokok yang dihadapi, sejauh mana kemajuan telah dicapai, hambatan-hambatan dan potensi-potensi yang ada.
2. Forecasting (peramalan), yaitu merupakan perkiraan keadaan masa yang akan datang.
3. Penetapan tujuan dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan tersebut.
4. Identifikasi kebijaksanaan dan/atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana. Suatu policy mungkin perlu didukung oleh program-program pembangunan, yang agar lebih operasional rencana kegiatan usaha ini perlu dilakukan berdasarkan pemilihan alternatif yang terbaik, yang dalam hal ini dilakukan berdasarkan opportunity cost dan skala prioritas.
5. Persetujuan Rencana. b) Penyusunan Program Rencana
Merupakan tahap perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan-tujuan atau sasaran, suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayan serta penentuan lembaga mana yang akan melakukan program-program pembangunan tersebut.
c) Pelaksanaan Rencana Dalam tahap ini merupakan tahap untuk melaksanakan rencana dimana perlu dipertimbangkan juga kegiatan-kegiatan pemeliharaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaanpun perlu diikuti implikasi pelaksanaannya, bahkan secara terus-menerus perlu untuk dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
d) Pengawasan Adapun tujuan dari pengawasan ini adalah :
- Agar pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencananya. - Jika terdapat penyimpangan maka perlu untuk diketahui berapa
jauh penyimpangan tersebut dan dicari penyebabnya. - Dilakukan tindakan korektif terhadap penyimpangan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu sistem monitoring dengan pelaporan dan feedback daripada pelaksanaan rencana.
e) Evaluasi Tahap ini dilakukan secara terus-menerus selama proses pelaksanaan. Selain itu, tahap ini dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana yaitu evaluasi tentang situasi sebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana sebelumnya. Sehingga dengan evaluasi dapat dilakukan perbaikan terhadap perencanaan selanjutnya dan penyesuaian terhadap perencanaan itu sendiri.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan bentuk dari perumusan
kepentingan lokal dalam memenuhi kebutuhan daerah itu sendiri. Mendukung
pendapat tersebut, Abe (2002:65) mengemukakan perencanaan daerah
merupakan proses menyusun langkah-langkah yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Senada dengan hal tersebut, Arsyad
(1999:303) menganggap bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah
perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya publik yang
tersedia di daerah dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptakan nilai sumber daya secara bertanggung jawab.
Perencanaan pembangunan daerah menurut Syahroni (2002:5) adalah
suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor), secara terus
menerus menganalisis kondisi, merumuskan tujuan, kebijakan, menyusun
konsep strategi, menggunakan sumber daya yang tersedia, untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah secara berkelanjutan.
Sedangkan perencanaan pembangunan daerah menurut Riyadi (2004:7)
adalah melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik bagi suatu
komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah
tertentu/daerah tertentu dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang
ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap
berpegang pada azas prioritas.
Ada beberapa tahapan dalam perencanaan pembangunan daerah.
Menurut Syahroni (2002), terdapat empat tahapan dasar perencanaan
pembangunan daerah.
a. Tahap Pertama adalah pemahaman daerah, keluarannya adalah berupa profil daerah antara lain kondisi fisik geografis, sosial ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, masalah-masalah daerah, potensi-potensi daerah, peluang dan tantangan.
b. Tahap Kedua adalah Perumusan Kebijakan hasil/keluaran adalah dapat berupa visi dan misi, tujuan, arahan pembangunan, strategi umum dan prioritas pembangunan.
c. Tahap ketiga adalah adalah perumusan dan penetapan program-program dan rencana tindak, menghasilan program dan rencana tindak yang merupakan pedoman pelaksanaan pembangunan daerah.
d. Tahap keempat adalah monitoring dan evaluasi, yang menhasilkan koreksi apabila terdapat penyimpangan, dan memberikan umpan balik bagi perencanaan selanjutnya.
Tahapan kegiatan dalam proses perencanaan pembangunan daerah,
menurut UU No. 25 Tahun 2004 adalah pertama, penyusunan rencana, kedua,
penetapan rencana, ketiga, pengendalian pelaksanaan rencana dan keempat,
evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan rencana dilakukan untuk menghasilkan rancangan
lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari empat
langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana
pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh dan terukur. Langkah
keua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan kerja
dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah
disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders)
dan menyelarskan pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang
pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan
langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Tahapan penetapan rencana bertujuan untuk menjadikan rencana
menjadi produk hukum sehingga mengikat semua orang untuk
melaksanakannya. Menurut undang-undang ini, rencana pembangunan jangka
panjang Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Daerah dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) ditetapkan
sebagai Peraturan Kepala Daerah.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk
menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam
rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama
pelaksanaan rencana tersebut oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Selanjutnya Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan
pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing Satuan Kerja
Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan
pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data
dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja
pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasran
kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan.
Keberhasilan pencapaian tujuan perencanaan pembangunan daerah,
menurut Riyadi (2004:15) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
perencanaan pembangunan daerah merujuk pada faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pembangunan. Beberapa faktor tersebut adalah; faktor
lingkungan, sumber daya manusia perencana, sistem yang digunakan,
perkembangan ilmu dan teknologi, dan faktor pendanaan.
Faktor lingkungan ini bisa berasal dari luar (eskternal) maupun dari
dalam (internal). Baik dari luar mapun dari dalam, faktor tersebut dapat
mencakup sosial, budaya, ekonomi dan politik. Faktor sumber daya manusia
merupakan motor penggerak perencanaan. Kualitas perencanaan yang baik
akan lebih memungkinkan tercipta oleh sumber daya manusia yang baik.
Menyangkut faktor sistem yang digunakan adalah aturan atau kebijakan yang
digunakan oleh daerah tertentu sebagai pelaksanaan perencanaan
pembangunan. Hal ini bisa menyangkut prosedur, mekanisme pelaksanaan,
pengesahan dan lain sebagainya. Faktor ilmu pengetahuan dapat
memberikan pengaruhnya dimana tidak hanya dari segi peralatan namun
dapat juga adanya berbagai teknik dan pendekatan yang lebih maju.
Sedangkan faktor pendanaan merupakan faktor yang harus ada dalam
membiayai sebuah aktivitas. Demikian halnya dengan perencanaan
pembangunan. Kepastian adanya sumber dana dapat memberikan jaminan
akan terlaksananya perencanaan tersebut.
Menurut Kuncoro (2004 : 54), mekanisme perencanaan pembangunan
di era otonomi daerah terdiri dari proses top-down dan bottom-up. Proses
top-down dimulai dari pembahasan atas. Sebaliknya, proses bottom-up,
merupakan proses konsultasi di mana setiap tingkat pemerintahan menyusun
draft proposal pembangunan tahunan berdasarkan proposal yang diajukan
oleh tingkat pemerintahan di bawahnya.
2.4. Pengertian Partisipasi
Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam
pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat
penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya
dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan
ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan
manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh
karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya
partisipasi masyarakat penerima program.
Demikian pula pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan
manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa
masyarakat perlu dilibatkan dalam proses tersebut. Di sini masyarakat perlu
diberikan empowerment (kuasa dan wewenang) dan berpartisipasi dalam
pengelolaan pembangunan.
Ada banyak ahli yang mendefinisikan tentang partisipasi. Menurut
Almond dalam Syamsi (1986:112), partisipasi didefinisikan “sebagai orang-
orang yang orientasinya justru pada penyusunan dan pemrosesan input serta
melibatkan diri dalam artikulasi dari tuntutan-tuntutan kebutuhan dan dalam
pembuatan keputusan”. Jnanabrota Bhattacharyya dalam Ndraha (1990:102)
mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama.
Sedangkan Mubyarto dalam Ndraha (1990:102) mendefinisikannya sebagai
kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan
setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Sementara Davis dalam Syamsi (1986:114) mendefinisikan partisipasi
sebagai berikut “participation is defined as mental and emotional involvement
of persons in group situations that encourage them to contribute to group
goals and share responsibility for them”. Dari pengertian tersebut, partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa adalah keterlibatan baik mental
maupun emosi individu-individu anggota masyarakat untuk memberikan
kontribusi dan bertanggung jawab terhadap tujuan pembangunan desa.
Dalam keterlibatannya, masyarakat harus memberikan dukungan semangat
berupa bentuk dan jenis partisipasi yang kesemuanya disesuaikan dengan
kebutuhan dan fase pembangunan desa (perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan dan pengawasan serta penilaian).
Partisipasi warga menurut Sj Sumarto (2004:17) adalah “proses ketika
warga, sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil
peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan
mereka”. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat menurut
Tjokroamidjojo (1983:207) dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan
arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli tersebut di atas, bisa
di tarik kesimpulan bahwa partisipasi merupakan pengambilan bagian atau
keterlibatan anggota masyarakat dengan cara memberikan dukungan
kontribusi (tenaga, pikiran maupun materi) dan tanggung jawabnya terhadap
setiap keputusan yang telah diambil demi tercapainya tujuan yang telah
ditentukan bersama.
2.5. Bentuk dan Manfaat Partisipasi Masyarakat
Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat penerima
program pembangunan, menurut Cohen dalam Syamsi (1986:114) terdiri dari
partisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), implementasi,
pemanfaatan (benefit) dan evaluasi program pembangunan. Keempat macam
partisipasi tersebut merupakan suatu siklus yang dimulai dari decision making,
implementasi, benefit dan evaluasi, kemudian merupakan umpan-balik bagi
decision making yang akan datang. Namun dapat pula dari decision making
langsung ke benefit atau pada evaluasi, begitu pula mengenai umpan
baliknya. Di samping keempat bentuk partisipasi dari Cohen tersebut, Conyers
(1992:154) perlu menambahkan satu lagi, yaitu masyarakat sebagai penerima
program perlu dilibatkan dalam identifikasi masalah pembangunan dan dalam
proses perencanaan program pembangunan.
Sementara Ndraha (1990:103-104) membagi bentuk atau tahap
partisipasi menjadi 6 (enam) bentuk/tahapan, yaitu:
a. partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial;
b. patisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya;
c. partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan;
d. partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; e. partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan; dan
f. partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Terjadinya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah menurut
Cohen dalam Syamsi (1986:122-123) disebabkan karena empat hal. Pertama,
dari segi basisnya, yaitu partisipasi karena desakan (impetus) dan partisipasi
karena adanya insentif. Kedua, segi bentuk yaitu partisipasi terjadi secara
terorganisasi, ada pengarahan dari pimpinan kelompok, dan partisipasi yang
dilakukan secara langsung oleh individu itu sendiri. Ketiga, segi keluasannya,
yaitu partisipasi terjadi dengan mengorbankan waktu dan dengan menambah
kesibukan di luar untuk kepentingan pribadinya. Keempat, dari segi
efektivitasnya, yaitu dengan menjadi partisipan berharap bisa memberikan
masukan/saran atau kontribusi yang tentunya pada akhirnya akan memberi
manfaat terhadap dirinya. Dilihat dari keempat segi partisipasi tersebut di atas
bila dilihat dari prakarsa terjadinya partisipasi maka bisa digolongkan menjadi
dua bentuk, yaitu partisipasi yang datang dari atas (with initiative coming from
the top down), dan partisipasi yang datang dari bawah (with initiative coming
from the bottom up).
Ada tiga alasan utama menurut Conyers (1992:154-155) mengapa
partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting, yaitu: pertama,
partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi
mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua,
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses, persiapan dan perencanaannya, karena
mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan
bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri. Demikian pula Goulet dalam
Supriatna (2000:211), tanpa partisipasi pembangunan justru akan
mengganggu manusia dalam upayanya untuk memperoleh martabat dan
kemerdekaannya.
Mengapa partisipasi menjadi amat penting, menurut Tjokrowinoto
(1993) terdapat beberapa alasan pembenar bagi partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, yaitu:
a. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut;
b. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat;
c. Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan;
d. Partisipasi dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki;
e. Partisipasi memperluas zone (wawasan) penerima proyek pembangunan;
f. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat;
g. Partisipasi menopang pembangunan; h. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi
aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia; i. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan
masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah;
j. Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka.
Perencanaan pembangunan yang berkiblat dan melibatkan kelompok
sasaran pada akhirnya akan dapat diciptakan proyek-proyek pembangunan
yang sesuai dengan sumber daya, kondisi, kebutuhan dan potensi kelompok
sasaran tersebut. Dengan kesesuaian ini, maka partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program pembangunan akan tinggi dan pada tingkat selanjutnya
proyek pembangunan itu akan bermanfaat dan dimanfaatkan kelompok
sasaran. Dengan demikian tujuan pembangunan kualitas manusia melalui
partisipasi masyarakat ini hanya akan tercapai apabila masyarakat melalui
kelompok swadaya masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
terlibat dalam setiap proses pembangunan.
2.6. Partisipasi dalam Pengertian Pembangunan Berbasis RT
Perda PBRT No. 27 Tahun 2008 Bab I Pasal I menyebutkan yang
dimaksud dengan Pembangunan Berbasis RT yang selanjutnya disingkat PBRT
adalah “instrumen kebijakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumbawa
Barat sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan partisipasi seluruh
komponen masyarakat dalam perencanaan dalam perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi pembangunan guna mencapai kesejahteraan pada segala bidang
kehidupan dengan berbasis pada Rukun Tetangga (RT)”. Pembangunan
disegala bidang kehidupan adalah dapat dikelompokkan atas tiga bidang yaitu;
(a) sosial budaya dan kependudukan, (b) ekonomi dan infrastruktur serta (c)
fisik dan lingkungan.
Pembangunan Berbasis RT di Kabupaten Sumbawa Barat
diselenggarakan berdasarkan asas-asas :
2) Asas Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan di segala bidang kehidupan harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agara senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan pembangunan dalam kehidupan bersama sebagai sesama warga.
3) Asas Demokrasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan di segala bidang kehidupan harus mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang direpresentasikan melalui musyawarah warga/rembug warga di tingkat RT.
4) Asas Gotong Royong, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan di segala bidang harus dilaksanakan secara bersama-sama dengan cara gotong royong dengan harapan tumbuhnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya kualitas kehidupan.
5) Asas Pemberdayaan Masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan disegala bidang ditujukan untuk meningkatkan kualitas taraf hidup dan kehidupan masyarakat melalui program/kegiatan yang sesuai dengan potensi sumber daya dan prioritas kebutuhan masyarakat setempat.
6) Asas Transparansi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan disegala bidang harus mampu membka diri terhadap hak masyarakat untuk memberikan masukan yang seluas-luasnya dengan tetap mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
7) Asas Akuntabilitas, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan dan hasil akhir kegiatan pembangunan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
8) Asas kepentingan umum, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pembangunan harus mengutamakan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
Sasaran PBRT adalah seluruh komponen masyarakat yang berbasis di
RT digugah dan didorong untuk berpartisipasi aktif dalam seluruh proses
pembangunan di segala bidang, sehingga tumbuh kesadaran kolektif dan
selanjutnya berkembang menjadi kebiasaan yang terus menerus dan akhirnya
akan menjadi budaya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Pada dasarnya, penelitian ini berupaya mengembangkan konsep dan
fakta secara mendalam untuk menjawab pertanyaan, bagaimanakah konsep
Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga dan Pelaksanaan Pembangunan PBRT
selama 2007 sampai dengan sekarang, sejauhmanakah tingkat pencapaian
keberhasilan dan kegagalan serta permasalahan dalam PBRT, faktor-faktor
apasajakah yang mendukung pencapaian keberhasilan dan faktor penghambat
pencapaian PBRT, sejauhmanakah tingkat kepuasan masyarakat dan respons
masyarakat terhadap PBRT, bagaimanakah visi, misi dan program PBRT
dimasa mendatang.
Oleh karena itu penelitian ini menekankan pada proses pencarian dan
pengungkapan makna dari fenomena proses pelaksanaan pembangunan
berbasis rukun tetangga, faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam
PBRT, harapan-harapan masyarakat serta ide visi, misi, program dan kegiatan
PBRT 2011-2015. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif-
evaluatif dengan pendekatan kualitatif yaitu prosedur pemecahan masalah
yang diteliti dengan menggunakan cara memaparkan data yang diperoleh dari
pengamatan lapangan dan kepustakaan, kemudian di analisa dan
diinterpretasikan dengan memberikan kesimpulan.
Menurut Arikunto (1998:12) ”Penelitian Deskriptif (to describe =
menggambarkan, membeberkan) adalah penelitian yang dilakukan dengan
menjelaskan/menggambarkan variabel masa lalu dan sekarang (sedang
terjadi)”. Peneltian dengan pendekatan kualitatif, menurut Hamidi (2004:14)
berangkat dari penggalian data berupa pandangan responden, yang kemudian
responden bersama peneliti memberi penafsiran sehingga menciptakan konsep
sebagai temuan.
3.2. Fokus dan lokasi Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan untuk melakukan identifikasi
perkembangan Perkembangan PBRT, khususnya terkait dengan ingkat
keberhasilan/pencapaian PBRT dan faktor-faktor pendukungnya, identifikasi
permasalahn PBRT, kelemahan dan tantangannya, serta identifikasi harapan
dan program PBRT untuk lima tahun kedepan, khususnya terkait dengan
Perumusan Visi, Misi, Program dan Kegiatan PBRT 2011-2015.
Penelitian ini dilakukan di 8 Kecamatan dan masing-masing kecamatan
dipilih secara acak untuk menentukan 2 Desa. Jumlah 16 desa. Kelompok
strategis yang akan dijadikan sebagai situs penelitian antara lain adalah
Pemerintah daerah (Eksekutif-Legislatif), DPRD, Satuan Kerja Perangkat
Daerah, Camat, Desa/Kelurahan, Kepala Dusun dan Ketua RT, KPPM dan para
kelompok strategis lainnya.
3.3. Sumber dan Jenis Data
Sumber data utama adalah data lapangan yang diperoleh dari para
informan yang diperoleh secara langsung dari para pelaku PBRT, pemilihan
informal awal dipilih secara acak, didasarkan pada subyek yang menguasai
permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data atau narasumber
lain yang berkompeten dengan permasalahan penelitian mereka adalah para
pihak yang mengetahui dan memahami PBRT dan para penerima manfaat dari
PBRT diantaranya, adalah ; Pemerintah daerah (Eksekutif), DPRD (Legislatif),
Satuan Kerja Perangkat Daerah, Camat, Desa/Kelurahan, KPM, Ketua RT,
masyarakat, dan kelompok strategis lainnya. Penelitian ini juga menggunakan
data pendukung yang bersumber dari berbagai dokumen yang berhubungan
dengan masalah penelitian, seperti ; Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2008
tentang PBRT, dokumen RPJP dan RPJM Kabupaten, Petunjuk Teknik
Operasional Dana Stimulan Dukungan Pemberdayaan Masyarakat, Petunjuk
Teknis Operasional Rehab Rumah, laporan GLG dan dokumen pendukunga
lainnya.
3.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
Proses pengumpulan data dilakukan secara berjenjang dan dilakukan
pula dengan pendekatan triangulasi mulai dari para aktor penerima manfaat
PBRT yang berada di tingkat RT, Desa dan seterusnya. Begitupun dengan para
aktor pelaku pembangunan PBRT dan kelompok strategis lainnya sebagaimana
tertuang dalam Perda No.27 Tahun 2008.
Proses pengumpulan data dan informasi melalui indeph interview
dilakukan dengan dua cara, yakni indept interview secara terbuka dan
terstruktur, dengan pertanyaan-pertanyaan difokuskan pada permasalahan
yang diajukan dalam penelitian dan Indep interview yang tidak terstuktur—
dilakukan untuk menggali dan mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan
leluasa, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya
sehingga berbagai pandangan dengan berbagai presfektif maupun ekplorasi
terhadap berbagai permasalahan yang ada dalam PBRT dapat diekplorasi
secara lebih luas dan mendalam.
Disamping melakukan wawancara mendalam pengumpulan data
dilakukan pula melalui focus group discussion dimaksudkan untuk lebih
memperdalam dan memperluas hasil-hasil dan temuan-temuan penelitian
sekaligus memperkaya presfektif dan membangun kesepakatan para
stekaholder terkait dengan hasil identifikasi yang ditemukan dalam penelitian,
FGD ini diantaranya dilakukan adalah dengan RT, FGD dengan KPM dan
desa/kelurahan.
Melakukan survey kepuasan masyarakat. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk mendukung data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara
maupun FGD terkait dengan PBRT. Melalui survey ini diharapkan hasil-hasil
wawancara maupun FGD serta kekurangan ketersediaan dari data kualitatif
yang diperoleh melalui wawancara dan FGD dapat dan informasinya tersedia
melalui data survey. Survey ini difokuskan pada program dan kegiatan PBRT
yang berhubungan langsung dengan periman manfaat program, sekaligus
sebagai sara untuk menilai secara lebih obyektif situasi dan kondisi trend
perkembangan PBRT. Kegiatan dilakukan pada 8 kecamatan dengan jumlah
responden sebanyak 250 orang yang diambil secara acak, survey ini dilakukan
untuk memperkuat data dan informasi maupun temaun-temuan penting dari
hasil penelitian.
BABIV
HASIL DAN PEMBAHASAN (I)
REVIEW PERJALANAN PELAKSANAAN PROGRAM
PEMBANGUNAN BERBASIS RT
4.1. REVIEW KONSEP PROGRAM PBRT Pada bagian pertama ini akan dibahas dan dikaji kembali mengenai konsep
PBRT, antara lain meliputi ; latar belakang dan tujuan, nilai-nilai dan hakaket dari keberadaan Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga sebagai sebuah gagasan inivasi daerah KSB
4.1.1. Latar Belakang PBRT
Pada tahun 2006 gagasan/ide Program Pembangunan Berbasis Rukun
Tetangga diluncurkan oleh Bupati KSB, Dr.KH.Zulkifli Muhadli, SH.MM.
Ide/gagasan ini cukup menarik dan inovatif, meski pada tahun 2006 secara
konseptual saat ini belum ada kejelasan mengenai konsepsi PBRT namun
dalam berbagai pertemuan dengan warga maupun dalam rapat-rapat Bupati
KSB mensosialiasi ide/gagasannya mengenai sebuah Program yang kemdudian
dikenal dengan Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga atau PBRT.
Gagasan tersebut kemudian menjadi wacana dan diskursus publik yang
kemudian dalam rangka merespons itu, dalam waktu yang relatif singkat dan
cepat, Dinas Sosial, tenaga Kerja, Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa bekerjasama dengan Forum LSM dan LEGITIMID KSB
kemudian pada tahun 2007 PBRT mulai merespons, menginisiasi dan
mengkreasikan konsepsi PBRT dan bahkan memulai melaksanakan PBRT
(learning by doing).
Jika merepleksikan kembali kehadiran PBRT, maka setidaknya ada 4
(empat) hal yang melatarbelakangi semangat lahirnya program PBRT.
Pertama, adalah semangat visi dan misi kabupaten sebagai Kabupaten
Percontohan di NTB. Semangat ini merupakan semangat dari visi dan misi
KSB, dan dalam rangka mewujudkan visi dan misi tersebut dipandang perlu
untuk melakukan sebuah terobosan kebijakan baru yang inovatif, konstruktif
dan diharapkan menjadi model baru yang inovatif yang dapat menjadi conth
teladan bagi Kabupaten/Kota lainnya di NTB—semangat untuk melakukan
inovasi pembangunan daerah ditungkan dalam kreasi program PBRT.
Kedua, adalah semangat untuk melakukan perubahan sosial secara
cepat dan sistematis untuk merubah paradigma pembangunan dan pola
pendekatan pembangunan yang selama ini berlangsung dari pola top-down
menjadi bottom-up. Pola buttom-up yang dibangun bukan lagi pada tingat
desa atau kelurahan melainkan pada tingkat komunitas paling bawah atau
rendah yakni komunitas RT, sehingga ada perluasan ruang partisipasi
masyarakat yang semakin terbuka dan luas. Semangat lainnya adalah untuk
meletakkan partisipasi warga dalam proses pembangunan sebagai “pelaku
utama” (subjek pembangunan) atas dasar semangat itupula maka dibutuhkan
adanya sutau kerangka kebijakan untuk “memindahkan” locus dan penerima
manfaat pembangunan dari sebelumnya didominasi oleh para elite untuk
diarahkan pada komunitas langsung terendah yang ada pada wilayah atau
kepada basis lingkungan/komunitas RT sehingga dengan cara itu selain
diharapkan ruang partisipasi semakin terbuka karena semakin dekat dengan
masyarakat juga diharapkan kelompok masyarakat miskin yang selama ini
tidak memperoleh ruang untuk berpartisipasi dan mengakses program
pembangunan daerah maupun program pembangunan desa akan semakin
terbuka dan luas.
Seiring dengan itu, maka keberadaan, peran dan fungsi RT yang selama
ini belum berjalan secara maksimal/optimal dalam proses pembangunan
(karena RT hanya sebagai “pengantar surat” atau “penjaga ketertiban
masyarakat di tingkat RT), dipandang perlu untuk dilakukan revitalisasi dan
restrukturisasi kelembagaan RT, kedudukan, fungsi maupun peran RT ;
dimana RT sebagai ujung tombak penyelanggaran pembangunan dan
pelayanan publik di tingkat komunitas desa/kelurahan didorong agar mampu
memainkan fungsi dan perannya sekaligus merubah fungsi dan perannya dari
semula yang hanya sebagai “penjaga malam atau pengantar surat” menjadi
sebagai fasilitator pembangunan dilingkungannya. Dengan cara ini diharapkan
RT mampu memfasilitasi kebutuhan dan kepentingan warga miskin yang ada
di lingkungannya untuk dapat mengakses pembangunan dan lebih jauh adalah
diharapkan ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan pelayanan publik
dapat diwujudkan bagi warga miskin.
Kedua, semangat program pembangunan berbasis RT dilatarbelakangi
pula oleh suatu kenyataan atau fakta dimana proses reformasi selama ini—
ternyata tidak cukup mampu untuk membuka ketersediaan ruang
demokratisasi dan partisipasi warga di tingkat daerah, dan tumbuhnya peran
serta masyarakat miskin dalam proses pembangunan (perencanaan,
pelaksanaan maupun evaluasi/pengawasan pembangunan) di daerah.
Ketersediaan wadah atau ruang dan mekanisme partisipasi warga yang
disediakan dari dulu hingga sekarang adalah hanya dalam bentuk musyawarah
rencana pembangunan desa/kelurahan (musrenbangdes/kel) yang dalam
impelementasinya selama ini ternyata hanyalah lebih bersifat “seremonial”
tahunan dan wadah tersebut hanyalah menjadi wadah penyaluran aspirasi
pembangunan bagi kepentingan para elite yang berada di tingkat desa dan
kelurahan yang notabennya memiliki kepentingan dalam pembangunan—
sehingga musrenbangdes/kel tidak banyak dapat mengakomodir usulan-usulan
atau kebutuhan warga miskin dalam kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan daerah atau dengan kata lain musrenbangdes/kelurahan belum
dapat mencerminkan kebutuhan dan memiliki mengakomodasikan kelompok
warga miskin.
Pelibatan musrenbangdes/kelurahan yang hanya melibatkan para tokoh
masyarakat, agama, pemuda dan meniadakan elibatan warga miskin dalam
musrenbangdes/kel—ternyata semakin menjauhkan kelompok warga miskin
dalam proses pembangunan, mereka tetap menjadi penonton karena “para
wakil tokoh masyarakat” yang ada di desa dan kelurahan ternyata tidak
menyuarakan berbagai permasalahan dan kebutuhan yang diinginkan oleh
warga miskin. Berdasarkan kondisi itulah, maka dipandang perlu untuk
melakukan terobosan baru—salah satunya adalah dengan menyediakan ruang
untuk tumbuhnya partisipasi warga miskin dalam proses pembangunan di KSB
dengan cara menyediakan dan menjamin keterlibatan (partisipasi ) warga
miskin dalam proses perencanaan pembangunan—melalui wadah musyawarah
RT. Wadah partisipasi ini diharapkan dapat menjadi sarana penting bagi warga
miskin yang ada di setiap lingkungan RT dalam desa/kelurahan untuk
menyuarakan aspirasinya dalam proses perencanaan pembangunan dan untuk
menjamin perlindungan hak-hak warga miskin untuk dapat berpartisipasi
dalam proses pembangunan, maka didorongnya regulasi daerah yang
kemudian dituangkan dalam produk hukum daerah berupa Perda No.27 Tahun
2008 tentang Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga.
Latar Belakang yang Ke-tiga pemerintah daerah KSB menyadari bahwa
proses percepatan pembangunan daerah (sebagai kabupaten baru) dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat membutuhkan adanya upaya
pemberdayaan masyarakat secara intens, sistematis dan berkelanjutan dan
pembangunan itu sendiri adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemandirian masyarakat sebagaimana secara prinsipil tertuang dalam
konsep demokrasi bahwa pembangunan daerah atau demokrasi itu berasal
dari, oleh dan untuk rakyat/masyarakat.
Tujuan utama dari kerangka pemberdayaan masyarakat ini adalah
bagaimana pemerintah daerah mampu untuk memandirikan dan
mensejahterakan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin dan
kelompok marginal. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu tidaklah mudah
karena modal sosial dan pranata sosial-ekonomi-budaya masyarakat telah
“prak-poranda” karena selama kurun waktu 32 tahun lebih (masa Orba)
masyarakat hidup dalam kunngkungan sistem tyrani. Tatanan dan pranata
sosial budaya, ekonomi, politik masyarakat yang sebelumnya merupakan
potensi sekaligus merupakan kekuatan dari kearifan lokal masyarakat telah
banyak yang hilang akibat kebijakan dan sistem pembangunan yang
cenderung menegasikan kepentingan dan kebutuhan daerah dan kelompok
masyarakat miskin.
Refleksi lainnya adalah dari kenyataan yang berkembang selama ini,
dimana proses pembangunan yang hanya meletakkan masyarakat sebagai
objek pembangunan ternyata tidak memiliki dampak dan manfaat yang
signifikan bagi masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat,
bahkan hasil-hasil pembangunan, seperti jalan, irigasi, jembatan dan
sebagainya dibiarkan bahkan sejumlah warga justeru merusaknya karena
masyarakat merasa tidak memilikinya dan merasa tidak harus
bertanggungjawab atas hasil-hasil pembangunan yang ada. Beranjak dari
kenyataan dan hal itulah, kemudian pemerintah daerah KSB berkesimpulan
dan menyadari bahwa proses pembangunan tanpa melibatkan partisipasi
masyarakat akan mengurangi kualitas pembangunan, mengurangi adanya
tanggungjawab sosial, rasa memiliki dan sebagainya, dan proses
pembangunan yang tanpa partisipasi masyarakat atau dukungan dari
masyarakat akan memprsulit pemerintah dan semakin memperbesar tanggung
jawab pemerintah daerah terhadap proses pembangunan. Konsep dan
kenyataan ini disadari tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan
semangat untuk mewujudkan good governance.
Relkesi Keempat, adalah bahwa dalam perjalanan program
pembangunan di Indonesia, khususnya di kabupaten Sumbawa Barat
sesungguhnya telah banyak program dan kegiatan pembangunan yang
diarahkan pada upaya untuk percepatan pengentasan kemiskinan selama ini
(2 tahun terakhir 2005-2006). Akan tetapi semangat program untuk
mempercepat pengentasan kemiskinan tidak dibarengi pula dengan upaya
pembenahan sistem pendataan dan informasi yang memadai (akurat dan
tepat), sehingga banyak program pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya
tidak dinikmati oleh warga miskin melainkan dinikmati oleh para elite dan
berlangsung dari orde ke orde.
Potret peristiwa pemberian Bantuan Langsung Tunai-BBM yang terjadi
pada tahun 2006 dan 2007 adalah peristiwa yang cukup mengerikan, dimana
berbagai aksi muncul sebagai sikap protes ketidakpuasan atas kebijakan
penetapan penerima dana BLT. Berbagai peristiwa yang terjadi dipenjuru
tanah air itu, ternyata juga terjadi di Desa Lalar, Kecamatan Taliwang, akibat
ketidakjelasan data dan informasi—salah sasaran penerima BLT, akhirnya
Kantor Desa lalar Liar dirusak masyarakat setempat yang merasa tidak puas
atas pemberian BLT. Kasus seperti ini ternyata juga terjadi dalam konteks
Pemilu maupun Pilkada yang disebabkan ketiadaan ketersediaan data dan
informasi yang memadai tentang keadaan desa dan kelurahan, khususnya lagi
keberadaan penduduk dan penduduk miskin.
Sistem data dan informasi kependudukan menjadi sangat penting untuk
dilakukan penataan karena beranjak dari ketersediaan data dan informasi
inilah sesungguhnya Pemerintah Daerah akan dapat menyusun atau
memformulasikan kebijakan secara tepat dan cepat untuk merespons berbagai
kebutuhan dan keinginan rakyat dalam berbagai bidang; seperti, bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Keberadaan dan peran RT
dalam konteks pendataan tentu sangatlah strategis karena RT adalah
merupakan unit organisasi sosial yang berada pada garis terdepan dalam
kesehariannya bersama-sama dengan masyarakat setempat. (RT diasumsikan
sangat mengetahui situasi dan kondisi lingkungannya).
Beranjak dari hal itulah, maka iniasi dan inovasi kebijakan
pembangunan dengan menggunakan Program Pembangunan Berbasis RT
(Rukun Tetangga) sebagai model dalam proses (perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi) pembangunan di Kabupaten Sumbawa Barat dinilai sebagai langkah
strategis untuk mendorong percepatan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan memfokuskan pada agenda awal yakni
mendorong terpenuhinya kebutuhan layanan dasar bagi masyarakat
berdasarkan atas prinsip-prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas
publik.Peletakkan sasaran pembangunan di tingkat RT diharapkan dapat lebih
mendekatkan ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan dalam pelayanan
publik, khususnya bagi warga miskin di tingkat komunitas paling bawah (RT).
Disamping itu program ini juga diharapkan dapat merubah paradigma proses
pembangunan yang berlangsung selama ini. Kondisi tersebut dapat
ditunjukkan dalam skema PBRT sebagai berikut :
Sumber Data : Disampaikan oleh KH. Zulkifli Muhadli, SH,MM, pada Seminar dan Lokakarya Best Practices Jakarta 10 Desember 2008
Inisiasi pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat dalam
mengembangkan kebijakan best practices pada PBRT ini sekaligus melengkapi
inovasi kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis di KSB—yang
ketika itu membutuhkan pula adanya ketersediaan data dan informasi yang
memadai untuk dapat mengalokasikan program pendidikan dan kesehatan
gratis secara tepat dan cepat (tidak salah sasaran).
4.1.2. Konsep Tujuan Umum PBRT
Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga sesungguhnya
adalah sebuah program yang meletakkan wilayah (locus) proses
pembangunan di tingkat lingkungan RT dan meletakkan warga miskin yang
ada di lingkungan RT adalah sebagai pelaku utama dari proses pembangunan,
sekaligus mereka adalah kelompok penerima utama dari pembangunan. Oleh
karena itulah, maka dalam PBRT haruslah ada pelibatan masyarakat,
khususnya warga miskin mulai sejak perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi dan pengawasan pembangunan. (sesuai makna demokrasi
kerakyatan). Dengan pradigma berpikir dan semangat itulah, maka dalam
PBRT meletakkan kedudukan dan peran pemerintah hanyalah sebagai
fasilitator, yakni berperan dan berfungsi memfasilitasi apa yang menjadi
kebutuhan dan kehendak rakyat.
Secara prinsipil semangat dan tujuan akhir (goals) yang hendak dicapai
dari PBRT adalah meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu untuk mengukur keberhasilan PBRT digunakan indikator IPM
(Indeks Pembangunan Manusia). Melalui keberadaan PBRT diharapkan dapat
menghasilkan atau memberikan daya dorong terhadap, setidak-tidaknya lima
hal, yakni; (1) kemampuan sumber daya manusia/kelompok/individu
(capacity). (2) tumbuhnya kebersamaan, pemerataan dan kesejahteraan
(equity). (3). menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun
dirinya sendiri (empowerment). (4). kemandirian (sustainability), serta ; (5).
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan menghormati
(interdepedency).
Adapun Dampak dan manfaat yang diharapkan dari PBRT adalah
dalam janka panjang kesejahteraan sosial dan kemandirian sosial, ekonomi
politik masyarakat akan semakin meningkat. Sedangkan dalam jangka pendek
diharapkan ada perubahan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat,
khususnya adalah terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Semangat dan tujuan
ini ternyata cukup sejalan dengan tujuan pembangunan sosial, yakni; (1)
peningkatan standar hidup, melalui seperangkat dan jaminan sosial segenap
lapisan masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang kurang beruntung
dan sangat memerlukan perlindungan sosial (2) Peningkatan pemberdayaan
melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang
menunjang harga diri dan martabat manusia dan (3) Penyempurnaan
kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan
sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
Melalui Program PBRT diharapkan bukan hanya menjadi sebuah
dimensi baru (inovasi baru) dalam proses pembangunan daerah di KSB,
melainkan juga adalah menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan
daerah untuk mencapai human well being masyarakat di KSB. Di dalam Perda
Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Pembangunan Berbasis RT (Rukun Tetangga)
telah ditegaskan bahwa PBRT adalah instrumen kebijakan Pemerintah
Kabupaten Sumbawa Barat sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan
partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi pembangunan guna mencapai kesejahteraan pada segala bidang
kehidupan dengan berbasis pada Rukun Tetangga (RT)1.
Pembangunan disegala bidang kehidupan masyarakat kemudian
dikelompokkan menjadi tiga bidang yaitu : (1) bidang sosial budaya dan
kependudukan, (2) Bidang ekonomi dan infrastuktur, (3) bidang fisik dan
lingkungan. Dalam Perda tersebut juga telah ditegaskan bahwa tujuan
Pembangunan Berbasis adalah:
1. Memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembangunan
2. Mempercepat tercapainya tujuan pembangunan pada segala bidang
kehidupan
3. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
4. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan
masukan dalam pelaksanaan pembangunan
5. Mencapai hasil pembangunan yang mengutamakan kesejahteraan
umum dan tepat sasaran
6. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Dengan telah ditetapkannya Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008
Tentang Program Pembangunan Berbasis RT, maka secara “konstitusional”
PBRT merupakan amanag yang mesti harus dijalankan oleh Pemerintah
daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Amanah itupula yang telah menjadikan
program pembangunan berbasis rukun tetangga bukan hanya sebagai
program unggulan daerah KSB melainkan program prioritas pembangunan
tahunan daerah di KSB. Bahkan dalam berbagai baliho atau reklame resmi
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat menyebutkan dan
mengucapkan “Selamat Datang di Bumi PBRT”. Gaung Pembangunan
Berbasis Rukun Tetangga, bukan hanya telah menjadi wacana dan diskursus 1 Tujuan PBRT dalam Perda Nomor 27 Tahun 2008
publik yang menarik dan terus berkembang, bukan hanya di level kabupaten,
propinsi, nasional bahkan mulai ke tingkat internasional. Bahkan pada tahun
2010, delegasi 8 negara dan 15 Provinsi di Indonesia telah mengunjungi KSB
untuk mempelajari model Pembangunan Berbasis RT. Berbagai penghargaan
pun telah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atas
keberhasilan Inovasi pembangunan yang telah dilakukan KSB dalam program
best practices PBRT. Bahkan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati KSB
telah ke Jerman untuk mempresentasikan model PBRT.
4.1.3. Persiapan dan Perjalananan awal PBRT
Pada tahap awal pelaksanaan program PBRT (tahun 2007) pemerintah
daerah menetapkan tujuan umum (goal) PBRT adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin melalui penguatan partisipasi, transpraransi,
akuntabilitas dan keberpihakan anggaran untuk rakyat miskin di KSB serta
perbaikan atas ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan dan kinerja
pelayanan publik. Keberhasilan program pembangunan berbasis RT tercermin
dari meningkatnya IPM (pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat
miskin) secara partisipatif, mandiri dan berkelanjutan. Sedangkan tujuan
khusus (objective) PBRT adalah : (1). Meningkatkan partisipasi masyarakat
(RT) dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
pembangunan secara partisipatif. Pemerintah daerah KSB juga telah
menetapkan indikator keberhasilan tujuan tersebut tercermin dari tumbuhnya
inisiasi dan partisipasi aktif warga RT dalam proses pembangunan, adanya
mekanisme partisipasi warga RT, meningkatnya swadaya murni masyarakat
dalam mengelola pembangunan, adanya pengawasan warga atas proses
pembangunan di lingkungan RT; (2). Meningkatkan pelayanan dasar bagi
warga miskin melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kesetaraan
dalam pelayanan publik ke tingkat RT. Indikator keberhasilannya adalah
adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan swakelola ke
tingkat warga, penyediaan pelayanan dasar bagi warga miskin khususnya
pendidikan dan kesehatan, pelibatan RT dalam Jumantara, penyediaan
informasi dan mekanisme komplain pelayanan bagi warga; (3). Meningkatkan
APBD dan APBDes yang pro-rakyat miskin (pro poor budgeting) melalui
penguatan SIOS, informasi publik, penguatan partisipasi RT dalam proses
penggaraan dan komitmen. Indikator keberhasilan tercermin dari adanya data
dan informasi SIOS di tingkat RT dan daerah, RPJM/RPJP Desa, musyawarah
perencanaan pembangunan dilingkungan RT, meningkatnya ketepatan sasaran
anggaran bagi warga miskin; (4). Meningkatkan keberdayaan kelembagaan
masyarakat (RT) dan warga dalam pembangunan dilingkungan RT melalui
penataan organisasi, pendidikan/pelatihan-pelatihan, pendampingan serta
penguatan kapasitas kelembagaan dalam pemberdayaan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut kemudian Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa Barat berusaha untuk merumuskan ruang lingkup
program/kegiatan serta tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam
implementasi PBRT, yakni sebagai berikut ;
1. Tahapan Persiapan, mencakup penyiapan sosial dan perkuatan
kelembagaan RT melalui sosialisasi program, identifikasi stakeholder,
penyusunan regulasi pelaksanaan program dan perekrutan tenaga
pendamping sesuai target yang ingin dicapai;
2. Tahapan Pelaksanaan, meliputi pelaksanaan masing-masing fokus
program, yaitu; inisiasi partisipatif pembelajaran mandiri, kegiatan
pengentasan keaksaran fungsional, fasilitasi pembentukan Taman Bacaan
Mini pada masing-masing dan atau lintas RT untuk dikembangkan menjadi
PAUD dan Play Group, promosi dan aksi penyehatan lingkungan dan
pemukiman secara gotong royong, fasilitasi perekrutan tenaga kerja lokal
dalam pengerjaan proyek-proyek berskala kecil di lingkungan RT, dan
penyaluran dana stimulan untuk usaha keluarga (home industri) serta
melakukan pendataan kondisi sosio ekonomi masyarakat dalam rangka
mendukung keberadaan Sistem Informasi Orang Susah (SIOS);
3. Tahapan Monitoring dan Pelaporan, meliputi penyusunan laporan
masing-masing kegiatan, publikasi hasil kegiatan dan melakukan evaluasi
pelaksanaan program serta menindaklanjuti saran dan pengaduan
masyarakat.
a. Langkah-Langkah Implementasi
Meski merupakan sebuah gagasan atau inovasi baru Pemerintah Daerah
pada tahap awal Implementasi program Pembangunan Berbasis RT ternyata
dilaksanakan pada seluruh wilayah administrasi Kabupaten Sumbawa Barat
dengan menggunakan pendekatan secara bertahap meliputi; persiapan,
pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi. Metodologi dan proses implementasinya
adalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi intensif program Pembangunan Berbasis RT. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan mengadakan sosialisasi secara terpadu di semua
wilayah kecamatan/kelurahan/desa dengan mengundang semua perangkat
RT dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk lewat media khutbah jumat
untuk menjelaskan tujuan, manfaat, dan proses implementasi program;
2. Perkuatan kelembagaan RT. Kegiatan ini diimplementasi melalui penerbitan
Keputusan Bupati tentang tupoksi perangkat RT, formalisasi perangkat RT
dengan menerbitkan SK Lurah/Kades, dan penyediaan tenaga pendamping
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pendahuluan seperti pemetaan
dan pendataan kondisi masyarakat serta sekaligus sebagai fasilitator dalam
pelaksanaan program kegiatan. Perkuatan kelembagaan RT dengan
formalisasi perangkat RT melalui penerbitan SK Lurah/Kades dimaksudkan
agar partisipasi masyarakat dapat dipacu/dimotivasi/digerakkan oleh
perangkat RT berkenaan sesuai dengan tupoksi yang ditetapkan dalam SK
Bupati. Dengan demikian perkuatan kelembagaan RT sebagaimana
diuraikan di atas diharapkan dapat menjamin keberlangsungan partisipasi
itu sendiri;
3. Inventarisasi stakeholder. Kegiatan ini dilakukan melalui mekanisme
pendataan dan pemetaan kembali terhadap stakeholder yang mempunyai
kapasitas dan komitmen dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan
program;
4. Pembuatan rincian tugas dan peran masing-masing pelaksana kegiatan;
kegiatan ini dimaksudkan agar para pelaksana kegiatan yang telah
ditetapkan memahami dan mengerti masing-masing tugasnya sehingga
tidak terjadi tumpang tindih dalam implementasinya. Rincian tugas
dimaksud akan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati;
5. Penyusunan Standart Operating Procedure (SOP) masing-masing fokus
kegiatan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan melibatkan semua pelaksana
program sehingga SOP yang dihasilkan dapat memberikan kejelasan arah,
serta sekaligus menjadi perekat semua pihak dalam rangka mensukseskan
pelaksanaan program;
6. Sosialisasi SOP. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menginformasikan kepada
masyarakat terhadap SOP yang telah disusun guna mendukung
transparansi kinerja pelayanan publik;
7. Penentuan model kegiatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menentukan
proses dan langkah-langkah atas rencana kegiatan yang hendak
dilaksanakan secara partisipatif di lingkungan RT masing-masing;
8. Mengintegrasikan kegiatan pembangunan berbasis RT ke dalam
AAK/APBDes, dimaksudkan agar kegiatan pembangunan yang tidak
tertampung melalui APBD dapat menjadi bagian kegiatan yang khusus
diprogramkan dalam AAK/APBDes. Kegiatan ini dilaksanakan oleh
perangkat kelurahan/desa melalui asistensi dan sinkronisasi dengan TAPD;
9. Penyusunan laporan kegiatan dan keuangan masing-masing fokus
kegiatan, kegiatan ini dilakukan sebagai wujud tanggung jawab terhadap
pelaksanaan program kepada publik (akuntabilitas publik) yang
dilaksanakan per triwulan;
10. Kerjasama dengan media massa dalam rangka sosialisasi dan publikasi
rencana/hasil program. Kegiatan ini dimaksudkan memberikan informasi
kepada publik terhadap semua agenda dan capaian program maupun
hambatan-hambatan dalam implementasi program, sehingga diharapkan
ada masukan dari masyarakat untuk melakukan perbaikan terhadap
pelaksanaan program di masa yang akan datang;
11. Pembuatan sistem database capaian hasil kegiatan, implementasi kegiatan
ini melalui pengembangan Sistem Informasi Orang Susah (SIOS) sebagai
tindak lanjut atas pendataan yang dilaksanakan oleh perangkat RT;
12. Perkuatan lembaga Unit Pengaduan Masyarakat (UPM). Kegiatan ini
dilakukan dengan mengoptimalkan peran perangkat RT untuk merespon
secara cepat permasalahan yang ada di lingkungan masing-masing untuk
selanjutnya secara langsung maupun tidak langsung
diinformasikan/diteruskan kepada UPM guna mendapat respon dalam
kesempatan pertama.
b. Target Capaian awal PBRT
Dari rencana peningkatan program yang telah disusun di atas, maka
target capaian dalam jangka pendek lebih diarahkan kepada penyiapan sosial,
perkuatan kelembagaan RT, dan optimalisasi Unit Pengaduan Masyarakat
(UPM) sebagai berikut :
1. Terlaksananya sosialisasi program Pembangunan Berbasis RT di
kabupaten, 8 kecamatan, 6 Kelurahan, 43 Desa dan 642 RT.
2. Teridentifikasinya stakeholder.
3. Tersusunnya SOP pelaksanaan program.
4. Tersusunnya Peraturan Bupati tentang Tugas Pokok dan Fungsi RT.
5. Tersusunnya SK Lurah/Kades tentang Pengangkatan Perangkat RT.
6. Tersusunnya Peraturan Bupati tentang Tugas Pokok dan Fungsi Pelaksana
Kegiatan.
7. Tersedianya tenaga pendamping RT di setiap Kelurahan/Desa.
8. Tertatanya administrasi kependudukan di tingkat RT.
9. Terwujudnya pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan dan
pemukiman, kegiatan pembelajaran masyarakat, pemanfaatan pekarangan
dan usaha rumah tangga secara mandiri oleh masyarakat.
10. Terbangunnya Sistem Informasi Orang Susah (SIOS).
11. Tersusunnya laporan kegiatan.
12. Terpublikasinya pelaksanaan program minimal satu kali di media lokal.
13. Berfungsinya Unit Pengaduan Masyarakat secara efektif melalui optimalisasi
peran kesekretariatan, penyegaran tim, dan peningkatan koordinasi
rencana tindak lanjut pengaduan masyarakat.
c. Implementasi Persiapan dan awal PBRT
Untuk mencapai tujuan, sasaran dan hasil diatas. Maka, ada dua target
indikator yang dipakai dari keberhasilan PBRT saat itu, yakni; pertama ;
adanya penguatan partisipasi warga di lingkungan RT melalui pelatihan,
pendampingan/ pengorganisasian secara sistematis dan berkelanjutan. Kedua;
adanya perbaikan pelayanan publik melalui pelibatan warga dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan pelayanan. Beranjak dari
dua target tersebut serangkaian kegiatan dan hasil yang dicapai pada awal
program PBRT adalah sebagai berikut :
No Kegiatan Yang
Dilaksanakan Hasil Yang Dicapai
Penanggung
Jawab
1 Workshop kemitraan antara Pemda dengan LSM dalam pencanangan PBRT
Terbangunnya kemitraan antara Pemda dan LSM
Bappeda dengan Forum LSM
2 Grand design Program Pembangunan Berbasis RT secara partisipatif yang melibatkan para pihak (stakeholders).
Adanya formulasi program PBRT yang sistematis, terarah, terpadu serta terukur
Bappeda dan Dinas Sosial, Nakertrans dan Pmberdayaan Masyarakat dan LEGITIMID KSB
3 Penyusunan dan pematangan draft buku panduan program yang akan dicetak sebagai referensi sekaligus menjadi pedoman dalam implementasi program.
Tersedia modul panduan PBRT Dinas Sosial, Nakertrans dan Pemberdayaan Masyarakat bekerjasama dengan LEGITIMID KSB
4 Penyusunan draft regulasi dan konsultasi publik Program Pembangunan Berbasis RT, yang terdiri dari : • Penyusunan Regulasi
Perencanaan Partisipatif Berbasis RT,
• Penyusunan Regulasi SOP Sistem Informasi Orang Susah (SIOS),
• Penyusunan Regulasi kelembagaan RT,
• Penyusunan Regulasi Kader Pemberdayaan Masyarakat,
• Penyusunan Regulasi BUMDES,
• Penyusunan Regulasi RPJM Desa, dan
• Penyusunan Regulasi tentang SOP Unit Pengaduan Masyarakat
Adanya Regulasi (Perda/Perbup/SK) untuk mendukung PBRT
DSTTPBM, Bagan Hukum dan Organisas bekerjasama dengan LEGITIMID KSB.
5 Sosialisasi PBRT secara berjenjang.
Tersosialisasinya PBRT di 642 RT
Bupati, Wartawan, Sekretriat Daerah, Camat, Lurah dan Kepala Desa, LSM
6 Penataaan kelembagaan RT, sejumlah 642 RT di KSB sesuai dengan kebutuhan dan melalui mekanisme musyawarah RT.
Terbentuknya kelembagaan/kepengurusan RT sebanyak 642 RT di 6 Kelurahan dan 42 Desa beserta SK penetapan
Masyarakat difasilitasi kelurahan/desa dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Lurah dan Kepala Desa
7 Pelatihan SIOS untuk para ketua /Pengurus RT
502 pengurus RT mengikuti pelatihan SIOS
DSTTPM dengan LSM
8 Penyediaan 3 paket Buku untuk SIOS RT
3 x 642 RT telah menerima buku SIOS
DSTTPM dengan LSM
9 Fasilitasi dukungan dana stimulan untuk RT
Sejak bulan April 2007 Pengurus RT memperoleh insentif Rp. 100.000/ bulan/RT, dan memperoleh bantuan dana PBRT sebesar Rp. 1,5 juta/RT. Untuk TA. 2008 dialokasikan sebesar Rp. 2 juta/RT
BPKAD dan Dinas Sosial, Nakertrans, dan Pemberdayaan Mayarakat
10 Achievment RT Award (sayembara tata kelola RT) se-KSB dalam Harlah Pemkab KSB
Pemberian hadiah sebagai reward keberhasilan RT dalam melaksanaan PBRT sebesar Rp. 10 juta untuk juara I, Rp. 7,5 juta untuk pemenang II, dan Rp. 5 juta untuk pemenang III pada buan November 2007.
Bappeda dan Dinas Sosial, Nakertrans, dan Pemberdayaan Mayarakat
11 Rerutmen Tenaga Pendamping 40 orang Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) telah direkrut dan ditetapkan sebagai pendamping RT dengan SK Bupati KSB.
Dinas Sosial, Nakertrans, dan Pemberdayaan Mayarakat bekerjasama dengan Forum LSM
12 Pelatihan Tenaga Pendamping RT (KPM)
1. 40 orang KPM mengikuti Pelatihan CO/pengorganisasian masyarakat sipil
2. 40 orang KPM mengikti Pelatihan SIOS
DSTTPM bekerjasama dengan LSM
13 Pembuatan SIOS berbasis komputer dari TKST.
1. Tersedianya perangkat dan sistem komputerisasi database SIOS
2. 35 Desa/Kelurahan sudah tersusun SIOS
Pengurus RT bekerjasama dengan YSTP yang dikoordinasikan oleh Dinas Sosial, Nakertrans dan Pemberdayaan Masyarakat.
14 Pendampingan KPM ke masing-masing RT di 42 desa
1. Adanya proses pendampingan yang
KPM berkoordinasi dengan
dan 6 kelurahan dilakukan secara berkelajutan oleh KPM dimasing-masing RT dalam kelurahan/desa
2. Terorganisirnya 642 RT
Pemdes/Kelurahan dan Pemerintah Kecamatan
15 Pembentukan petugas/Juru Pemantau Kesehatan Masyarakat (Jumantara) dari pengurus RT
1. Terbentuknya Jumantara di setiap RT
2. Terbentunya Forum Jumantara se-KSB dari unsur RT
Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Kader Posyandu dan KPM
16 Pilot Project Aplikasi Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di tingkat RT
1. Telah terbentuk PAUD di 2 (dua) desa dan 1 (satu) kelurahan
2. Adanya bahan pembelajaran
3.
Dinas Dikpora dan SKB
17 Pilot project informasi pembangunan untuk transparansi program pembangunan sampai tingkat RT
1. Telah tersedia papan informasi dan kotak pengaduan bagi masyarakat dilingkungan RT pada Kelurahan Bugis dan Menala
Kantor Kelurahan Bugis dan Menala
18 Inisiasi awal pembentukan/ penerapan mekanisme komplain dan keluhan warga
1. Adanya mekanisme komplain yang disediakan Pemda namun baru melalui media massa lokal (kerjasama pemda dengan media) dan website
2. Adanya draf konsep mekanisme komplain, namun masih dikoordinasikan dengan SKPD terkait.
Sekretariat Daerah
19 Musyawarah-Musyawarah di tingkat RT :
a. Musyawarah perencanaan pembangunan;
b. Musyawarah pemetaan kemiskinan;
c. Musyawarah pemanfaatan dana stimulan;
d. Musyawarah gotong-royong ;
e. Musyawarah penyelesaiaan masalah sosial kemasyarakatan.
1. 642 RT x 10 orang mengikuti musyawarah
2. Adanya rencana pembangunan di 642 RT
3. Adanya Rencana Tindak Lanjut Aksi disetiap RT
4. Meningkatnya keterlibatan warga dalam musyawarah RT
Sekretariat Daerah, Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan RT, SKPD terkait yang telah memprogramkan agenda kerjanya untuk PBRT
20 Aksi Pembangunan oleh RT bersama warga ; seperti penyehatan lingkungan, pemukiman, pekarangan dan usaha rumah tangga secara mandiri.
1. 642 RT x 10 warga x 3 kali melaksanakan gotong royong
2. adanya perbaikan sejumlah fasilitas lingkungan RT, seperti jalan, drainase dll.
3. Meningkatnya partisipasi warga dilingkungan RT
Dinas Kesehatan, Dinas Dikpora, DSTTPM
21 Serial Workshop Evaluasi dan Pelaporan
1. Terlaksananya workshop evaluasi program bulanan
2. 40 KPM mengikuti workshop evaluasi bulanan
3. adanya laporan progrest report program secara obyektif dan partisipatif
DSTTPM dan Legitimid KSB
22 Publikasi dan Penyusunan Rencana Program PBRT tahun 2008
1. Terpulikasikannya PBRT di media massa lokal
2. Tersusunnya RKA PBRT tahun 2008
3. Adanya Rencana tindak lanjut PBRT
Media Lokal dan DSTTPM
d. Kemajuan Yang Dicapai pada awal PBRT
Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT) yang telah
dilaksanakan pada tahap awal tersebut ternyata telah memberikan banyak
perubahan di Kabupaten Sumbawa Barat. Berikut perbandingan sebelum
adanya PBRT dan setelah adanya PBRT:
No Sebelum adanya
PBRT Setelah adanya
PBRT Perubahan & potensinya
dimasa Mendatang
1 Mekanisme partisipasi warga dalam proses pembangunan hanya sampai pada tingkat desa/kelurahan (Musrenbangdes).
Adanya mekanisme partisipasi warga dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sampai tingkat RT.
PBRT menyediakan ruang partisipasi yang semakin luas bagi warga dalam proses pembangunan dan kondisi ini akan mendorong semakin meningkatkan partisipasi warga.
2 Minimnya partisipasi RT dan warga, khususnya warga miskin dan perempuan dalam proses pembangunan
Adanya ruang dan partisipasi warga miski\n dan perempuan dalam proses pembangunan. Khsusunya, dalam merumuskan prioritas pembangunan di tingkat desa/kelurahan
PBRT mensyaratkan/mengharuskan agar dalam perencanaan pembangunan ditingkat RT melibatkan partisipasi warga miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan
3 Kedudukan, Tugas pokok dan fungsi RT tidak jelas. Peran RT lebih banyak untuk pengamanan kampung dan
Adanya penataan kelembagaan RT. Regulasi RT diatur secara khusus, dan RT ditempatkan sebagai organsiasi masyarakat otonom
Dengan adanya kejelasan kedudukan, Tupoksi RT serta kewenangan yang lebih besar dalam proses pembangunan serta adanya upaya penguatan organisasi RT. Dimas mendatang organisasi RT akan semakin kuat
pengatar surat yang diberikan peran besar dalam proses pembangunan.
dan mandiri.
4 Tidak adanya dukungan dari Pemda, baik berupa finansial maupun peningkatan kapasitas. Perhatian Pemda sangat minim
Adanya dukungan baik berupa dana operasional pembangunan Rp. 1 juta/RT, honorarium untuk pengurus RT, pelatihan-pelatihan juga adanya pendampingan RT oleh KPM/tenaga pendamping.
Semakin meningkatnya kapasitas RT, dan akselereasi pembangunan di tingkat desa/kel semakin cepat. PBRT memberikan ruang lahirnya proses pembelajaran bagi warga setempat dalam mengelola program pembangunan secara mandiri
5 Anggaran Pemda (APBD) maupun Anggaran Desa (APBDes) belum mengacu pada masalah dan kebutuhan warga miskin
APBD dan APBDES diarahkan pada data SIOS (Sistem Informasi Orang Susah) dan hasil musyawarah pembangunan di tingkat RT
Anggaran akan semakin terarah sesuai kebutuhan warga miskin dan upaya pengentasan kemiskinan di KSB akan semakin cepat teratasi.
6 Tidak ada database dan informasi kependudukan (warga miskin, kesehatan, pendidikan, ekonomi) di tingkat RT
Adanya data dan informasi mnegenai kependukan (warga miskin, kesehatan, pendidikan, ekonomi) di tingkat RT dalam desa/kelurahan yang bersifat aktual
Data dan informasi di masing-masing RT akan membuka peluang lahirnya partisipasi dan transparansi, berkurangnya kesalahan dalam perencanaan pembangunan serta adanya alat ukur bagi masyarakat untuk menilai progrest program pembangunan.
7 Tidak adanya Achievment RT Award (sayembara tata kelola pembangunan yang biak)
Adanya Achievmnet RT Award mendorong peningkatan motivasi dan partisipasi RT dan warga pada masing-masing RT untuk menggerakkan proses pembangunan dilingkungan RT
Para pengurus RT akan semakin termotivasi untuk berpartisipasi dan terus menunjukkan eksistensi keberhasilan dalam pelaksanaan program pembangunan di masing-masing lingkungannya. Kondisi ini akan mendorong semakin meningkatnya kompetsisi dalam meraih hasil pembangunan yang lebih baik.
8 Database dan informasi orang miskin dan orang susah kurang valid, sehingga banyak terjadi konflik misalnya BLT dan kontraproduktif terhadap
Data dan informasi tentang orang miskin ditentukan oleh warga sendiri dengan indikator-indikator yang ditetapkan sendiri
- Data dan informasi tentang orang miskin menjadi lebih valid
- Mendorong pelaksanaan pembangunan lebih tepat pada sasaran dalam usaha memecahkan masalah kemiskinan
pembangunan dan orang miskin sering menjadi justifikasi dalam melaksanakan program tapi dalam realitanya tidak tepat sasaran
9 Banyak Program dan kegiatan pembangunan belum mengacu pada RPJP dan RPJM, kurang terintegrasi dan masih bersifat sektoral pada masing-masing SKPD
SKPD menyesuaikan program dan kegiatan dengan hasil musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat RT. Di tingkat Kelurahan/Desa didorong adanya RPJP dan RPJM Desa sebagai kerangka acuan pembangunan melalaui perda
Program dan kegiatan akan lebih terintegrasi dan fokus pada RPJM Daerah
10 Informasi publik tentang anggaran maupun kebijakan masih minim, rahasia dan menjadi stigma bahwa publik tidak perlu mengetahuinya.
Informasi publik tentang anggaran dan kebijakan pembangunan mulai diinformasikan kepada warga. Beberapa desa telah membuat papan informasi pembangunan. Pemkab akan mengalokasikan anggaran 2008 untuk penyediaan perangkat informasi di tingkat desa/kelurahan
Terbukanya aparatur pemerintahan untuk menyediakan informasi-informasi tentang pembangunan kepada warga, dan warga juga aktif melakukan pencarian data dan informasi. Kondisi ini akan mendorong warga semakin kritis dan berusaha mengambil peran dalam proses pembangunan
11 Minimnya upaya pemberdayaan para lulusan sarjana- yang menganggur, namun memiliki potensi untuk dapat diberdayakan menjadi tenaga kerja produktif, bermanfaat bagi masyarakat setempat
Adanya rekruitmen KPM sebagai tenaga pendamping, serta proses pemberdayaan melalaui pelatihan, pendampingan dll secara berkelanjutan
Berkurangnya jumlah penggangguran. Para sarjana menjadi lebih berdaya, mampu melakukan pendampingan warga, memiliki motivasi, inisiasi dan kreatifitas untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat di tempatnya berada.
12 Tidak tersedianya Adanya regulasi Aparatur pemerintah tidak lagi
mekanisme komplain/keluhan masyarakat atas pelayanan publik dan aparatur pemerintah daerah masih enggan untuk menerima komplain dari warga
tentang komplain dan keluhan warga, Pemda memberikan ruang bagi warga untuk mengkomplain pelayanan dan mengevaluasi kinerja aparatur pemerintah. Telah dikembangkan model mekanisme penyelesaian pelayanan di tingkat RT
menganggap komplain dan keluhan sebagai pengganggu tapi sebagai evaluasi kinerja. -warga tidak takut lagi menyampaikan komplain dan keluhan tentang pelayanan publik. Kondisi kedepan potensi pelayanan publik akan semakin baik dan meningkat
13 Rendahnya pelibatan LSM dalam merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan program
Adanya pelibatan LSM dalam proses perumusan, pelaksanaan dan monev program dan kemitraan LSM dengan Pemda
Kemitraan Pemda KSB dengan sejumlah LSM akan mendorong adanya penguatan LSM dan kemitraan menuju tata kelola kepemerintahan lokal yang baik (good governance).
14 Adanya perebedaan data dan informasi antar instansi (BPS, Dikes, Dukcapil. dll) tentang kemiskinan dan warga miskin sehingga menimbulkan masalah ketika adanya program pengentasan kemiskinan, seperti ; kasus BLT BBM
Ukuran/indikator kemiskinan dan warga miskin miskin di setiap kelurahan/desa dilakukan secara partsipaif melalui mekanisme musyawarah perangkingan kemiskinan di masing-masing RT
Berkurangnya konflik dan resistensi dalam masyarakat atas pola penyaluran program stimulan dan dukungan bantuan terhadap masyrakat miskin dan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk secara bersama-sama menuntaskan masalah kemiskinan di RT masing-masing.
15 Belum adanya pemetaan potensi RT, Pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat dan keluarga miskin selama ini belum menyentuh sasaran, baik karena akses permodalan maupun lemahnya dukungan dari komunitas
Adanya draf regulasi pembentukan Bumdes untuk home industri berbasis RT. KJKS saat ini membantu akses modal untuk usaha kecil dan rumah tangga yang difasilitasi oleh pengurus RT dan didukung oleh warga, termasuk memaksimalkan pemanfaatan lahan pekarangan rumah. Sudah tumbuhnya kegiatan usaha rumah tangga baik
Kedepan home industry berbasis RT diharapkan dapat tumbuh dan berkembang
itu produk makanan khas, maupun kerajinan yang dilakukan secara koektif di lingkup RT yang ditunjang oleh dukungan permodalan dari KJKS maupun termasuk dari dinas terkait.
16 RT belum terlibat secara aktif dalam upaya peningkatan derajat kesehatan, dan perbaikan kualitas SDM dan perbaikan pendidikan warga masyarakat sbagai kebutuhan dasar (basic need)
RT dilibatan secara aktif dalam pendataan mesalah pengamatan masalah kesehatan masyarakat sebagai Jumantara dan penunjang program desa siaga termasuk dalam memberikan data dan informasi kodisi pendidikan masyarakat yang dibahas dalam rapat dengan Komite Sekolah dan Dewan Pendidkan
Keterlibtan RT memberikan dampak terhadap peningkatan kesehatan lingkungan dan pemukiman warga dengan efektifnya kegiatan Jum’at bersih yang dikoordnir oleh RT. Akses dan koordinasi penanganan masalah penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarkat semakin kuat baik oleh PKBM, PAUD dan SKB trutama bagi warga yang tidak memiliki kemampuan baca tulis dan tidak terampil.
17 Bazda dan KJKS kesulitan dalam membrikan data Bantuan untuk kaum duafa, fakir dan miskin, yatim piatu, dan lainnya melalui BAZDA dan KJKS
BAZDA dan KJKS dapat memperoleh data dan informasi langsung dari RT dan SIOS
Bantuan tepat sasaran sangat membantu kaum dhuafa, dan kondisi ini akan mendorong kepercayaan bagi para pemberi zakat, infak, sadakoh di KSB.
e. Hambatan Dan Tantangan awal PBRT
Dari pembelajaran proses yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan
program PBRT ditemukan bebera hambatan dan tantangan, antara lain adalah
sebagai berikut ;
1. Besaran cakupan dan luasnya sektor yang menjadi target yang ditetapkan
belum diimbangi oleh ketersediaan jumlah dan kapasitas tenaga
pendamping baik dari TKST (Tenaga Kerja Sukarelas Terdidik/sekarang
disebut KPM) maupun dari aparatur pemerintah terutama dalam
melakukan monitoring terhadap efktifitas pelaksanaan program untuk
semua RT di KSB;
2. Untuk konsep aplikasi dari mekanisme transparansi dan akutabilitas baru
efektif sampai di tingkat kelurahan/desa, sedangkan menyangkut
mekanisme tranparansi dan akuntabilitas anggaran dan program
pembangunan dari masing-masing SKPD masih terpusat melalui sekrtariat
daerah (belum ada unit khusus) dan semetara masih dilakukan melalui
kerjasama dengan media massa (kolom khusus keluhan pelayanan
publik);
3. Perubahan regulasi dan kebijakan (seperti: PP No. 41 Th. 2007 tentang
Struktur OPD) maupun kebijakan lainnya (kebijakan anggaran) acapkali
memberikan dampak yang membias terhadap konsistensi dan
keberlangsungan program-program teremasuk PBRT.
f. Pembelajaran awal program PBRT
Pembelajaran yang diperoleh dari pelaksaan awal Program PBRT yang
dapat dipetik saat itu adalah sebagai berikut:
1. Luasnya ruang publik yang diberikan sampai kepada unit komunitas
warga terkecil untuk berpartisipasi dalam pembangunan semakin
memperbesar kesadaran dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap
upaya penyuksesan program dan kegiatan pembangunan yang
direncanakan termasuk peranserta dari perempuan;
2. Efisiensi dan penghematan anggaran sampai 68% (terutama biaya
operasional dan beaya tenaga kerja) pada proyek/kegiatan dengan skala
menengah ke bawah yang bisa dilaksanakan langsung oleh masyarakat,
seperti pembukaan dan penataan jalan lingkungan dan pemukiman
dengan mutu yang sangat memuaskan;
3. Mengurangi kebocoran anggaran dalam hal penyediaan pengadaan
barang dan jasa, oleh karena dana langsung diluncurkan kepada
masyarakat yang berdampak pada berkurangnya beban pemerintah
daerah dalam menyediakan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pelayanan umum yang bisa disediakan sendiri oleh masyarakat yang
dikembangkan dari dana stimulan;
4. Menunjang upaya percepatan pengentasan kemiskinan yang dilakukan
oleh pemerintah melalui program-program pemberdayaan masyarakat
khususnya bagi masyarakat/warga miskin karena relatif tepat sasaran.
Dari proses itupula kemudian pemerintah KSB mencoba menarik faktor-faktor
kunci dari keberhsilan pelaksanaan PBRT, sebagai berikut :
1. Adanya dukungan masyarakat dan good will pemda untuk menginisiasi
inovasi pola pengembangan partisipasi, transparansi dan akuntbilitas
pembangun daerah;
2. Adanya semangat perubahan sebagai Kabupaten baru yang merupakan
potensi sekaligus modal sosial bagi pemerintah daerah untuk melakukan
perubahan;
3. Visi dan misi pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJM KSB
sebagai Kabupaten Percontohan di NTB menjadi motivasi Pemerintah dan
sluruh lapisan masyarakat untuk berkreasi melakukan inovasi
pembangunan daerah;
4. Adanya keinginan kuat dan semangat kebersamaan untuk membangun
KSB sebagai kabupaten baru untuk mengejar ketertinggalannya dengan
kabupaten/kota lainnya di NTB menjadi modal sosial untuk membangun
motivasi masyarakat dalam PBRT;
5. Adanya pelibatan para pihak pemangku kepentingan dalam program
PBRT dari semua unsur/ranah civil society (pemerintah, swasta,
masyaraat/LSM, perguruan tinggi, dan mass media) yang terpadu dalam
koordinasi perumusan, pernecanaan, operasioanalisasi dan monitoring
dan evaluasi partisipatif secara berkala;
6. Pemda dan DPRD KSB berkomitmen untuk mendukung pengalokasian
dari semua tahapan kegiatan dan rencana implementasi dari PBRT untuk
dialokasikan dalam APBD secara berkelanjutan mulai TA 2007 yang
diintegrasikan dalam kegiatan SKPD terkait.
g. Rencana Tindak Lanjut PBRT dari pengalaman awal program
Belajar dari pelaksanaan awal program PBRT, maka pada Pada tahun
selanjutnya kemudian Pemda merencanakan akan melakukan serangkaian
kegiatan (tindak lanjut program) sebagai berikut :
1. Meningkatkan/memperkuat kapasitas dan skill KPM (Kader Pemberdayaan
Masyarakat) dalam melakukan proses pendampingan RT melalui berbagai
kegiatan pelatihan, yaitu:
o Pelatihan analisis sosial (social maping)dan memperkuat kapasitas
KPM dalam PBRT;
o Pelatihan teknik fasilitasi perencanaan;
o Pelatihan pemetaan kemiskinan secara partisipatif (Poor Wealth
Ranking/PWR);
2. Fasilitasi pelaksanaan kegiatan Musrenbang di tingkat RT terutama
pelibatan waga miskin dan kelompok perempuan dalam menyusun
program dan rencana kegiatan pembangunan TA. 2009;
3. Pengembangan dan desiminasi konsep dan implementasi PBRT dalam
semua tataran dan sektr pembangunan di KSB;
4. Pengembangan dan perluasan akses ketersedian, keterjangkauan, dan
kesetaraan menyediakan sarana dan parasarana kebutuhan dasar
termasuk pemberian pelayanan yang optimal;
5. Pengembangan evaluasi dan monitoring secara partisipatif yang
melibatkan para pihak untuk melihat progress keberhasilan dan capaian
implemtasi program;
6. Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan RT dalam proses pembangunan;
antara lain adalah peningkatan skill pengurus RT dalam memfasilitasi
proses musyawarah/pelatihan, pendataan SIOS dan sebagainya;
7. Melakukan proses pendampingan model inovasi pembangunan berbasis
RT (Pilot project di beberapa desa);
8. Membentuk Model Informasi Pembangunan di Tingkat RT dan model
pengelolaan dana pembangunan dibawah Rp. 50 juta rupiah;
9. Melakukan Analisis dan Advokasi APBD Berbasis RT;
10. Memfasilitasi model mekanisme komplain pelayanan publik.
Namun dari serangkaian rencana tindak lanjut tersebut tidak seluruhnya dapat
ditindaklanjuti oleh Pemerintah daerah, antara lain disebabkan ; keterbatasan
anggaran, personil dan sebagainya sehingga hanya beberapa program dan
kegiatan yang kemudian dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.
4.2. PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN PBRT PASCA
PEMBELAJARAN DAN PENGALAMAN AWAL PROGRAM
Dari proses pengalaman dan pembelajaran awal program PBRT tahun
2007. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat kemudian melakukan
berbagai inovasi PBRT. Pada bagian ini akan dikaji inovasi PBRT dan
diinventarisir program PBRT yang dinilai masyarakat cukup populer dan cukup
inovatif serta dirasakan langsung manfaat dari PBRT dan di indetifikasi pula
apakah program PBRT hanya dilaksanakan oleh BPM atau ada SKPD lainnya
yang juga melakukan inovasi PBRT.
Dari hasil penelitian ternyata Program Pembangunan Berbasis Rukun
Tetangga tidak hanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintahan desa Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana,
melainkan juga dilaksanakan oleh sejumlah SKPD lainnya. Dari hasil identifikasi
program dan kegiatan PBRT, tercatat ada beberapa program PBRT yang
dikenal dan memperoleh perhatian publik. Kelima Program dan kegiatan
tersebut adalah sebagai berikut ;
No Nama Program Instansi Pelaksana Mulai Program
1 Rehab Rumah Berbasis Rukun Tetangga (RRBR)
Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
T.A. 2008 s.d. sekarang
2 Sistem Informasi Orang Susah (SIOS)
Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
T.A. 2007
3 Dana Stimulant RT untuk Pemberdayaan Masyarakat
Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
T.A. 2007 s.d. sekarang
4 Juru Pemantau Masyarakat
Dinas Kesehatan
5 Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT)
Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan
T.A. 2009 s/d sekarang
Sumber : data diolah dari berbagai sumber
Pada bagian ini akan dibahas bagaimanakah gambaran perjalanan
pelaksanaan program dan kegiatan tersebut, permasalahan dan kelemahan
apasajakah yang muncul dari program dan kegiatan tersebut dilapangan, apa
yang menjadi harapan masyarakat dan kearahmanakah kebijakan program
dimasa mendatang perlu untuk dikembangkan.
4.2.1. Program Rehab Rumah Berbasis Rukun Tetangga (RRBR)
4.2.1.1. Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran RRBR
Program Rehab Rumah
dilatarbelakangi oleh semangat
Pemerintah Daerah untuk
memenuhi sembilan kebutuhan
pokok masyarakat yang
merupakan fundamental dari
roda pembangunan di KSB.
Kesembilan kebutuhan pokok tersebut adalah pangan, pakaian (sangdang),
perumahan (papan), pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, keamanan,
kesenangan dan kenyamanan. Program Rehab Rumah Berbasis Rukun
Tetangga diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat
sebagai wujud upaya untuk memenuhi salah satu dari sembilan kebutuhan
pokok masyarakat. Salah satu kebutuhan pokok tersebut adalah terjaminnya
ketersediaan tempat tinggal (papan) yang layak bagi masyarakat.
Tempat tinggal yang layak merupakan salah satu tolak ukur derajat
kualitas kehidupan anggota masyarakat karena kondisi tempat tinggal akan
berbanding lurus dengan kualitas hidup penghuni rumah yang menempati
semakin layak tempat tinggal yang ditempati maka kecendrungan kualitas
kehidupannya semakin baik. Oleh karena itu, program RRBR menitikberatkan
prioritasnya pada anggota masyarakat miskin yang masih menghuni rumah
tidak layak ditempati. Melalui program RRBR diharapkan tempat tinggal warga
miskin layak huni dan sehat dan dalam jangka panjang diharapkan kualitas
kehidupan warga miskin akan/dapat semakin membaik, paling tidak dilihat dari
aspek atau presfektif kesehatan lingkungan perumahan.
Secara teknis operasional dalam rangka memudahkan pelaksanaan
rehab rumah berbasis RT, pemerintah daerah telah menyusun dan
menetapkan petunjuk teknis operasional program Rehab Rumah Berbasis
Rukun Tetangga (PTO-RRBR) pada bulan Mei 2010. Petunjuk teknis ini
berisikan tentang kebijakan progam, peran pemerintah dan stakeholder lain
yang terkait RRBR mulai dari proses identifiasi sampai dengan pelaksanaan
program, termasuk dalam PTO RRBR juga ditetapkan mengenai kriteria rumah
yang dapat dijadikan obyek program RRBR. Dalam PTO RRBR, kriteria rumah
tidak layak huni dan tidak sehat yang patut untuk menerima program RRBR,
adalah sebagai berikut:
1) Rumah tanah; lantai tanah, dinding sudah rapuh, atap terbuat dari
daun rumbia, luas rumah kurang dari 8 m2/orang serta tidak ada sekat
ruangan/ruang tidur menyatu dengan ruang keluarga.
2) Rumah Panggung; lantai sudah rapuh, dinding sudah rapuh, tiang
sebagian sudah rapuh, atap terbuat dari daun rumbia dan banyak yang
bocor, luas rumah kurang 8 m2/orang dan tidak ada sekat/ruang tidur
menyatu dengan ruang keluarga.
3) Rumah Semi Permanen ; lantai belum diplester, dinding belum
diplester, tidak memiliki ventalasi yang cukup, atap banyak yang bocor,
luas rumah kurang dari 8m2/orang dan tidak ada sekat ruangan/ruang
tidur menyatu dengan ruang keluarga.
4) Status Tanah, lokasi dan pemilik ; tanah tempat rumah yang akan
direhab tidak dalam sengketa, dibuktikan dengan sertifikat atau surat
kepemilikan tanah, lokasi rumah tidak bertentangan dengan konsep
tata ruang KSB, misalnya; ada dibantaran sungai atau daerah rawan
bencana, pemilik rumah warga KSB yang dibuktikan dengan KTP atau
KK.
Dasar kriteria di atas menjadi dasar dalam menentukan dan
menetapkan rumah yang tidak layak huni. Adapun proses tahapan
pelaksanaan RRBR dibagi kedalam 4 (empat) tahapan, yakni ; tahap
Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaa serta Monitoring dan Evaluasi.
1. Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan, proses awal atau langkah awal dimulai
dengan diselenggarakannya musyawarah warga tingkat RT yang
melibatkan unsur pemerintahan desa dan masyarakat. Musyawarah RT ini
bertujuan untuk mengidentifikasi rumah-rumah yang dianggap tidak layak
huni dan tidak sehat, sekaligus mencari kesepakatan bersama mengenai
rumah yang perlu direhab di desa/kelurahan di lingkungan RT. Hasil
musyawarah warga RT ini kemudian diajukan kepada Pemerintah Desa
dan dibuatkan dalam bentuk berita acara hasil musyawarah RT yang
kemudian di serahkan RT kepada Kepala Desa.
Ditingkat desa, diadakan pertemuan untuk dilakukan pemeriksaan
silang terhadap daftar usulan penerima bantuan, dalam pertemuan hadir
calon penerima bantuan, Ketua RT, perangkat desa, BPD, LPM, dan unsur
desa lainnya. Hasil pertemuan tersebut, selanjutnya dibuatkan berita acara
untuk diserahkan ke kantor kecamatan.
Tugas pemerintah kecamatan adalah memeriksa kesiapan desa-
desa dalam menyelenggarakan RRBR serta inventarisasi rumah-rumah
yang dibedah, dengan menghadirkan kepala desa, staf kecamatan, dan
unsur Muspika (posramil, kapolsek dan camat). Setelah data base tersebut
rampun, tahapan selanjutnya adalah pihak camat (kecamatan)
menyerahkan kepada Pemerintah Daerah ( Bupati Sumbawa Barat) melalui
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat.
Sementara kegiatan pada level Kabupatennya, Badan Pemberdayaan
Masyarakat (BPM) kemudian menginventarisir data base yang terkumpul
dari seluruh desa/kelurahan sekaligus membahas teknis penyelenggaraan
program untuk diserahkan kepada Bupati.
Berikut ini adalah alur atau bagan singkat proses perencanaan
Rehab Rumah Berbasis RT :
2. Tahap Pengorganisasian
Untuk mengorganisasikan program rehab rumah berbasis RT,
pemkab membentuk Tim Koordinasi program dari tingkat Kabupaten,
Kecamatan, Desa/Kelurahan dengan beban tugas yang berbeda-beda.
Susunan tugas Tim Koordinasi tersebut digambarkan sebagai berikut :
Tahap 1
Musyawarah RT
- Identifikasi dan menentukan rumah yang layak menerima
bantuan
- Identifikasi kebutuhan bahan-bahan rehab rumah
Tahap 2
Musyawarah Desa
- Pemeriksaan silang rumah yang akan direhab
Tahap 3
Musyawarah Kecamatan
- Memeriksa kesiapan masing-masing desa
- Menyusun data base rumah yang akan dibedah
Tahap 4
Musyawarah Kabupaten (BPM)
- Memeriksa berkas-berkas yang terkumpul dari masing-masing desa/kelurahan
- Inventasrisasi rumah yang akan dibedah dalam data base
- Pembahasan teknis program
- Hasil tersebut diserahkan ke Bupati
Sumber Data : Diolah dari PTO Rehab Rumah Berbasis Rumah Tangga Tahun 2010
3. Tahap Pelaksanaan
Guna menghindari kesalahan pendataan, Pemerintah Kabupaten
melalui BPM melaukan proses validasi data akhir rumah penerima
bantuan. Alokasi biaya rehab rumah per unitnya yang disiapkan
pemerintah daerah sebesar Rp. 5 Juta, disalurkan melalui rekening kas
desa/kelurahan setelah kepala desa dan kelurahan setelah
menyelesaikan
kebutuhan bahan
menandatangani berita acara serah terima bantuan, dan
menandatangani surat perjanjian kerjasama.
4. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Tim Kabupaten
•Menyusun Petunjuk Teknis Operasional Program RRBR
•Sosialisasi kepada Camat, Desa/Kelurahan, Pengurus RT, dan KPM
•Mengkoordinasikan seluruh tahapan program dengan semua elemen RRBR
•Memfasilitasi pencairan dana program
•Monev tahapan program
•Membuat laporan pelaksanaan program kepada Bupati
Tim Kecamatan
•Sosialisasi tahapan program kepada Desa/Kelurahan, Kepala Dusun/Lingkungan dan Pengurus RT
•Koordinasi pelaksanaan program
•Membuat laporan hasil program
Tim Desa/Kelurahan
•Pemerintah Desa/Kelurahan bertugas Koordinasi, sosialisasi, pengawasan, konsultasi program, membuat laporan hasil program
•BPD bertugas Sosialisasi dan pengawasan
•LPM bertugas Menggerakkan swadaya masyarakat, dan pengawasan
•Ketua RT bertugas Pendataan dan identifikasi, musyawarah RT, Menggerakkan Swadaya, Membuat laporan bersama KPM
•KPM bertugas Menggerakkan Swadaya, Bersama RtTmelakukan pendataan, Pendampingan RT, Dokumentasi dan laporan
Sumber Data : Diolah dari PTO Rehab Rumah Berbasis Rumah Tangga
Pelaksanaan
Guna menghindari kesalahan pendataan, Pemerintah Kabupaten
M melaukan proses validasi data akhir rumah penerima
bantuan. Alokasi biaya rehab rumah per unitnya yang disiapkan
pemerintah daerah sebesar Rp. 5 Juta, disalurkan melalui rekening kas
desa/kelurahan setelah kepala desa dan kelurahan setelah
menyelesaikan tahapan-tahapan seperti ; Rekapitulasi identifikasi
kebutuhan bahan-bahan bangunan bagi rumah yang akan direhab,
menandatangani berita acara serah terima bantuan, dan
menandatangani surat perjanjian kerjasama.
Monitoring dan Evaluasi
Menyusun Petunjuk Teknis Operasional Program RRBR
Sosialisasi kepada Camat, Desa/Kelurahan, Pengurus RT, dan KPM
Mengkoordinasikan seluruh tahapan program dengan semua elemen RRBR
Memfasilitasi pencairan dana program
Monev tahapan program
Membuat laporan pelaksanaan program kepada Bupati
Sosialisasi tahapan program kepada Desa/Kelurahan, Kepala Dusun/Lingkungan dan Pengurus RT
Koordinasi pelaksanaan program
Membuat laporan hasil program
Pemerintah Desa/Kelurahan bertugas Koordinasi, sosialisasi, pengawasan, konsultasi program, membuat laporan hasil program
BPD bertugas Sosialisasi dan pengawasan
LPM bertugas Menggerakkan swadaya masyarakat, dan pengawasan
Ketua RT bertugas Pendataan dan identifikasi, musyawarah RT, Menggerakkan Swadaya, Membuat laporan bersama KPM
KPM bertugas Menggerakkan Swadaya, Bersama RtTmelakukan pendataan, Pendampingan RT, Dokumentasi dan laporan
Sumber Data : Diolah dari PTO Rehab Rumah Berbasis Rumah Tangga Tahun 2010
Guna menghindari kesalahan pendataan, Pemerintah Kabupaten
M melaukan proses validasi data akhir rumah penerima
bantuan. Alokasi biaya rehab rumah per unitnya yang disiapkan
pemerintah daerah sebesar Rp. 5 Juta, disalurkan melalui rekening kas
desa/kelurahan setelah kepala desa dan kelurahan setelah
tahapan seperti ; Rekapitulasi identifikasi
bahan bangunan bagi rumah yang akan direhab,
menandatangani berita acara serah terima bantuan, dan
Mengkoordinasikan seluruh tahapan program dengan semua elemen RRBR
Sosialisasi tahapan program kepada Desa/Kelurahan, Kepala Dusun/Lingkungan
Pemerintah Desa/Kelurahan bertugas Koordinasi, sosialisasi, pengawasan, konsultasi program,
Ketua RT bertugas Pendataan dan identifikasi, musyawarah RT, Menggerakkan Swadaya, Membuat
KPM bertugas Menggerakkan Swadaya, Bersama RtTmelakukan pendataan, Pendampingan RT,
Kegiatan monitoring dan evaluasi program dilaksanakan secara
bersama-sama antara pemerintah kabupaten, kecamatan dengan
pemerintah desa/kelurahan.
4.2.1.2. Keberhasilan dan capaian Program RRBR
Pada tahun 2009 pemerintah daerah telah berhasil merehab 860 unit
rumah. Dan hingga saat ini tahun 2010 jumlah rumah miskin yang mendapat
bantuan perbaikan rumah sebanyak 1.900 unit yang menyedot anggaran
daerah sekitar Rp. 6 Milyar dalam tiga tahun terakhir (2008-2010). Tahun
2010 jumlah unit rumah warga miskin yang akan memperoleh bantuan rehab
rumah berjumlah 500 unit rumah dengan kebutuhan anggaran Rp.2,5 Milyar.
Dengan dana sebesar itu, diharapkan warga dapat menikmati sebuah rumah
yang layak untuk dihuni.
Di Kabupaten Sumbawa Barat, penyebaran rumah tangga dan keluarga
miskin ternyata hampir merata di 8 (delapan) kecamatan. Dapat dikatakan
bahwa masih banyak warga miskin di Sumbawa Barat yang tidak memiliki
penghasilan tetap/berpenghasilan rendah dan membutuhkan intervensi serius
pemerintah daerah untuk kedepannya. Diakui oleh masyarakat bahwa
kehadiran program rehab rumah sungguh telah memberikan angin segar bagi
warga miskin, kebutuhan masyarakat akan perumahan yang layak, sehat dan
nyaman kini bukanlah impian belaka, warga penerima bantuan dapat
menikmati dan merasakan langsung manfaatnya dalam jangka panjang.
Program rehab rumah mungkin belum memberikan efek yang significan
untuk merubah kondisi sosial ekonomi warga miskin, namun kemauan baik
pemerintah daerah untuk melindungi dan mengayomi kelompok rentan telah
mendapat apresiasi dari masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin
dan marginal. Secara umum masyarakat menilai program bedag rumah yang
dilaksanakan selama ini sudah cukup baik (memuaskan) dan menurut
masyarakat program ini perlu untuk dilanjutkan di masa mendatang. Karena
dampak dan manfaat atas program bedah rumah ini dirasakan langsung
menyentuh kebutuhan masyarakat miskin dan
membantu masyarakat dalam mem
dan rumah sehat. Masyarakat juga berharap melalui program ini, dimasa
dimasa mendatang diharapkan metode pengelolaan rehab rumah bagi warga
miskin untuk dilakukan secara lebih terbuka dan memberikan akses bagi
warga miskin untuk dapat bekerja. Pola pelaksanaan rehab rumah perlu
dirubah dengan cara merubah pendekatan
proyekkan atau dilaksanakan oleh perusahaan, melainkan warga setempat,
khususnya warga miskin, sehingga dapat menimbulkan m
yang lebih besar atas keberadaan program rehab rumah.
4.2.1.3. Tingkat Kepuasan Masyarakat Atas Program
Dari hasil survey yang dilakukan LEGITIMID KSB terhadap tingkat
kepuasan masyarakat (penerima program) rehab rumah menyatakan b
sebanyak 90 orang atau 36% mengatakan puas dan 75 orang atau 30%
mengatakan puas2. Namun demikian sebanyak 30 orang atau 12% merasa
tidak puas dengan program rehab rumah. Berikut tabel tingkat kepuasan
masyarakat terhadap Program Rehab Rumah ;
Sumber : data diolah dari hasil survey LEGITIMID KSB 2010
2 Dari hasil wawancara dengan beberapa warga penerima bantuan bedah rumah mengaku bangga dan
senang dengan adanya bantuan pemerintah, pemilik rumah merasa puas dengan hunian barunya, lebih sehat dan layak huni. Diakuinya pula, bedah rumah ini juga melibatkan swadaya masyarakat dilingkungan (gotong royong).
50; 20%
30; 12%
Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap program
menyentuh kebutuhan masyarakat miskin dan sangat efektif
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar (rumah layak huni)
Masyarakat juga berharap melalui program ini, dimasa
dimasa mendatang diharapkan metode pengelolaan rehab rumah bagi warga
miskin untuk dilakukan secara lebih terbuka dan memberikan akses bagi
miskin untuk dapat bekerja. Pola pelaksanaan rehab rumah perlu
dirubah dengan cara merubah pendekatan—melalui padat karya, tidak di
proyekkan atau dilaksanakan oleh perusahaan, melainkan warga setempat,
khususnya warga miskin, sehingga dapat menimbulkan m
yang lebih besar atas keberadaan program rehab rumah.
Tingkat Kepuasan Masyarakat Atas Program RRBR
Dari hasil survey yang dilakukan LEGITIMID KSB terhadap tingkat
kepuasan masyarakat (penerima program) rehab rumah menyatakan b
sebanyak 90 orang atau 36% mengatakan puas dan 75 orang atau 30%
. Namun demikian sebanyak 30 orang atau 12% merasa
tidak puas dengan program rehab rumah. Berikut tabel tingkat kepuasan
masyarakat terhadap Program Rehab Rumah ;
Sumber : data diolah dari hasil survey LEGITIMID KSB 2010
wawancara dengan beberapa warga penerima bantuan bedah rumah mengaku bangga dan bantuan pemerintah, pemilik rumah merasa puas dengan hunian barunya, lebih sehat dan
layak huni. Diakuinya pula, bedah rumah ini juga melibatkan swadaya masyarakat dilingkungan (gotong royong).
75; 30%
90; 36%
50; 20%
30; 12% 3; 1% 2; 1%
Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap program
rehab rumah
Sangat Puas
Puas
cukup Puas
Tidak Puas
Mengecewakan
Tidak menjawab
sangat efektif dalam rangka
enuhi kebutuhan dasar (rumah layak huni)
Masyarakat juga berharap melalui program ini, dimasa
dimasa mendatang diharapkan metode pengelolaan rehab rumah bagi warga
miskin untuk dilakukan secara lebih terbuka dan memberikan akses bagi
miskin untuk dapat bekerja. Pola pelaksanaan rehab rumah perlu
melalui padat karya, tidak di
proyekkan atau dilaksanakan oleh perusahaan, melainkan warga setempat,
khususnya warga miskin, sehingga dapat menimbulkan multi player effect
RRBR
Dari hasil survey yang dilakukan LEGITIMID KSB terhadap tingkat
kepuasan masyarakat (penerima program) rehab rumah menyatakan bahwa
sebanyak 90 orang atau 36% mengatakan puas dan 75 orang atau 30%
. Namun demikian sebanyak 30 orang atau 12% merasa
tidak puas dengan program rehab rumah. Berikut tabel tingkat kepuasan
wawancara dengan beberapa warga penerima bantuan bedah rumah mengaku bangga dan bantuan pemerintah, pemilik rumah merasa puas dengan hunian barunya, lebih sehat dan
layak huni. Diakuinya pula, bedah rumah ini juga melibatkan swadaya masyarakat dilingkungan (gotong royong).
Sangat Puas
Mengecewakan
Tidak menjawab
Dari hasil penelusuran lebih jauh mengenai materi ketidakpuasan
masyarakat atas program rehab rumah tersebut ternyata terkait dengan
antara lain meliputi; (1) alokasi pembiayaan yang disediakan oleh pemerintah
terhadap program bedah rumah yang dinilai tidak memadai hanya sekitar Rp.
5 juta dan dari dana tersebut yang terealisasi untuk bedah rumah antaar Rp.3
s.d. 3,5 juta/rumah. Dalam pandangan masyarakat—mengacu pada sosialiasi
yang disampaikan Bupati KSB terkait dengan jumlah bantuan dana rehab
rumah sebesar Rp.5 juta/rumah. Masyarakat beranggapan bahwa dana
tersebut adalah murni diterima atau direalisasikan sebesar Rp.5 juta/rumah,
namun dalam kenyataannya ternyata tidaklah demikian, karena dari jumlah
tersebut masih harus dikeluarkan biaya administrasi dan “keuntungan”
pelaksana proyek sehingga akibat pengurangan jumlah biaya tersebut,
kuantitas dan kualitas rehab rumah menjadi berkurang. (2). Adalah terkait
dengan metode pelaksanaan rehab rumah. Sebagian masyarakat penerima
program menilai bahwa pelaksanaan rehab rumah yang dikelola atau
dikerjakan oleh perusahaan atau kontraktor pelaksana tidaklah tepat dan
dinilai merugikan kepentingan masyarakat, masyarakat tidak puas karena
beberapa kontraktor pelaksana tidak mengerjakan rehab rumah sesuai dengan
volume pembiayaan dan keinginan/kebutuhan dari rehab rumah itu sendiri.
(3). Kurangnya transparansi dalam pengelolaan rehab rumah yang dikelola di
tingkat desa atau pelaksana proyek.
4.2.1.4. Kelemahan dan Tantangan Program RRBR
Disamping permasalahan diatas, dari beberapa pandangan
kelompok strategis di masyarakat menilai bahwa alokasi jumlah penerima
rehab rumah sebanyak 10 rumah/desa/tahun dinilai relatif masih sangat minim
karena jumlah penduduk miskin di setiap desa/kelurahan disejumlah
desa/kelurahan melebihi 10 KK/Miskin/rumah tidak layak huni dan sehat.
Dengan jumlah rehab rumah yang masih sangat terbatas inilah yang
terkadang menimbulkan persoalan kecemburuan sosial di kalangan
masyarakat desa/kelurahan. Ada masyarakat yang beranggapan mereka lebih
berhak untuk menerima program rehab rumah dibandingkan dengan penerima
program.
Kondisi ini ternyata tidak lepas dari kelemahan Pemerintahan Desa
setempat dalam menetapkan kriteria rumah tidak layak huni dan sehat, dan
menentukan kriteria keluarga miskin. Dalam kenyataannya dilapangan,
ternyata di sejumlah desa tidak konsisten dan obyektif dalam menentukan
kriteria rumah tidak layak huni dan sehat, bahkan kebijakan beberapa desa
dalam menentukan penerima program masih mengkedepankan keluarga dan
pendukungnya, sehingga sejumlah warga miskin dan rumahnya tidak layak
huni tidak dimasukkan sebagai penerima program.
Temuan masalah lainnya dibalik kisah keberhasilan program rehab
rumah di atas ternyata petunjuk teknis yang disiapkan dan telah ditetapkan
pemerintah daerah tidak berjalan efektif bahkan hanya terkesan menjadi
formalitas belaka karena dalam implementasinya tidak mengacu pada juklak
dan juknis. Fakta dan temuan dilapangan proses perencanaan hingga
pelaksanaan program belum mengikuti ketentuan teknis yang diatur
sebelumnya oleh Pemerintah Daerah dan diindikasikan oleh masyarakat
program rehab rumah potensial mengalami penyimpangan karena minimnya
pengawasan dari pemerintah daerah disatu sisi dan buruknya kinerja
pemerintahan desa pada sisilain.
Hasil investigasi dan wawancara dilapangan menunjukkan beberapa
warga penerima bantuan atau warga yang memantau pelaksanaan pekerjaan
rehab rumah dilingkungannya menilai hasil pelaksanaan program tidak sesuai
dengan jumlah dana yang diterima untuk per unitnya (Rp. 5 Juta), sehingga
diduga ada pemotongan anggaran bantuan oleh pihak-pihak tertentu
khsususnya pada tingkat desa. Terkadang yang direnovasi hanya pada bagian
depan rumah, sementara yang lainnya tidak atau masalah pengadaan
bahan/materilal bangunan yang kurang layak dengan nilai anggaran.
Temuan lainnya terkait dengan bedah rumah, yakni penentuan
penerima bantuan bedah rumah baik Ketua RT, Kepala Dusun dan Pemerintah
Desa tidak diputuskan dalam musyawarah warga /rembug warga. Akan tetapi
layak atau tidaknya penerima hanya bantuan ditentukan berdasarkan
pendataan di masing-masing Dusun. Masyarakat sendiri juga tidak pernah
mendapat laporan hasil pekerjaan rehab rumah baik dari RT maupun
Pemerintah Desa.
Dari hasil wawancara dilapangan ditemukan pula bahwa sejumlah
Kepala Desa kesulitan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat untuk
memberikan dana rehab rumah, apakah dalam bentuk uang cash ataukah
dalam bentuk barang ataukah dalam bentuk lainnya. Kekulitan dan
kekhawatiran sejumlah Kepala Desa jika dana rehab rumah diserahkan
langsung dalam bentuk uang, dikhawatirkan dana tersebut akan digunakan
oleh penerima manfaat dalam bentuk lainnya, sehingga tidak terjadi rehab
rumah. Oleh sebab itulah, sebagian Kepala Desa mengambil langkah kebijakan
dengan cara membelanjakan kebutuhan rehab rumah dalam bentuk barang-
barang—sesuai dengan kebutuhan rehab rumah penerima manfaat. Beberapa
Kepala Desa, khususnya di daerah lingkar tambang (18 desa) merasa kesulitan
untuk menggerakkan partisipasi masyarakat—untuk membantu penerima
manfaat program, karena sebagian besar warga bekerja. Begitupun dengan
sumbangan sosial yang diharapkan dari masyarakat setempat yang memiliki
nilai kelebihan ekonomi (mapan) sangat minim tingkat solidaritas sosial
masyarakat—sehingga upaya penggalangan dana swadaya yang diharapkan
dapat membantu menutupi kekurangan pembiayaan rehab rumah tidak ada.
Dari uraian diatas teridentifikasi permasalahan sekaligus kelemahan-
kelemahan yang masih ditemukan dari program diantaranya adalah ; (1)
inkosistensi penerapan program dengan petunjuk teknis yang berlaku (2)
lemahnya regulasi khususnya terkait dengan mekanisme pengawasan dan
pertanggungjawaban (3) kurangnya sosialiasi terhadap PTO RRBR sehingga
para stakeholders tidak memahami secara mendalam hak dan kewajiban,
kedudukan, peran dan fungsinya dalam program RRBR. (4). masih lemahnya
budaya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas di lingkungan RT. Sehingga
selama kurun waktu 2007-2010, masih terdapat adanya indikasi/dugaan
penyimpangan dana bantuan ditingkat desa/kelurahan sehingga berdampak
pada buruknya hasil pelaksanaan progam yang diterima warga miskin. Berikut
masalah dan kelemahan program ;
No Masalah dan Kelemahan-kelemahan Faktor pendorong (sebab-Sebab)
1 Adanya indikasi/dugaan penyimpangan dana bantuan ditingkat desa/kelurahan sehingga berdampak pada buruknya hasil pelaksanaan progam yang diterima warga miskin.
Masih Lemahnya sistem pengawasan serta kurangnya transparansi pengelolaan program yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa disisilain partisipasi masyarakat masih rendah
2 Masih adanya kesalahan dalam menentukan kelompok sasaran penerima program dan kriteria/indikator mengenai rumah tidak layak huni tidak dilaksanakan secara konsisten
Hasil Pendataan yang dilakukan oleh RT dan pemerintahan desa tidak dimusyawarah di tingkat RT dan desa. Keputusan dalam penentuan kelompok penerima program masih didominasi oleh personal Kepala desa
3 Beberapa desa penerima program tidak memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan program kepada masyarakat
Tingkat kepatuhan terhadap juklak dan juknis masih rendah
4 Belum dilaksanakannya Petujuk Pelaksana dan Teknis Operasional Program Pembangunan Rehab Rumah
Beberapa desa tidak memhami PTO
5 Masih lemahnya kegiatan pemantauan/pengawasan terhadap pelaksanaan program di tingkat bawah.
Masyarakat tidak dapat melakukan pengawasan karena akses data dan informasi tidak dapat diakses oleh warga
6 Belum optimalnya peran KPM sebagai pendamping RT. Tugas-tugas seperti identifikasi, pendataan, dan penyusunan laporan tidak dilakukan oleh KPM, bahkan KPM banyak yang tidak melaksanakan proses pendampingan dalam program rehab rumah, peran dan fungsi KPM tidak berjalan
KPM tidak memahami hak dan kewajiban sebagai pendamping program, disisilain aturan mengenai peran KPM dalam program rehab rumah belum cukup tegas, khususnya terkait dengan penerapan sanksi terhadap KPM yang kinerjanya buruk
7 Lemahnya hubungan koordinasi dan kerjasama antara RT dengan KPM maupun dengan organsiasi sosial kemasyaratan lainnya
-
8 Rendahnya partisipasi masyarakat dan solidaritas masyarakat (basiru)
Pergeran nilai sosial di masyarakat seiring dengan proses industrialisasi yang berlangsung
4.2.1.5. Tantangan Program RRBR
Amanat Perda Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Pembangunan Berbasis
RT maupun Petunjuk Teknis Operasional Rehab Rumah Berbasis Rukun
Tetangga yang menekankan agar pelaksanaan program rehab rumah
didasarkan atas semangat dan nilai-nilai kearifan lokal (gotong royong/basiru)
atau partisipasi warga ternyata dibeberapa daerah nilai dan tradisi tersebut
semakin berkurang, bahkan khusus di daerah lingkar tambang, Kecamatan
Maluk, Sekongkang dan Jereweh basiru semakin sirna akibat proses
industrialisasi dan globalisasi yang berlangsung dalam waktu yang begitu
cepat3, sehingga sangat sulit pelaksanaan program pembangunan rehab
berjalan di atas rel kekuatan basiru.
Dalam konteks inipula sesungguhnya dalam program PBRT untuk RRBR
dimasa mendatang adalah bagaimana mampu mendorong kekuatan dan
potensi lokal (basiru) untuk mampu bertahan dan menjadi kekuatan potensial
untuk bergerakkan partisipasi warga. Tantangan lainnya adalah perkembangan
jumlah penduduk, khususnya para pendatang (masyarakat urban) ke KSB
nyang dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan, dan sebagian besar
mereka pula menetap di KSB dan tidak semua mereka sukses atau mapan
secara ekonomi. Kondisi ini dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah
setempat, jika tidak ada kerangka yang jelas untuk mengantisipasi program
tersebut, termasuk dalam konteks ini adalah masyarakat transmigrasi, karena
sebagain besar masyarakat transmigrasi adalah masyarakat yang notabennya
tergolong miskin, seperti kasus masyarakat transmigrasi SP 1, SP 2 dan SP 3.
Keberadaan mereka dinilai oleh masyarakat adat (indegenous people) telah
mengambil bagian dari hak-hak masyarakat adat, seperti dalam kasus
3 Globalisasi adalah suatu sistem atau tatanan yang menyebabkan seseorang atau Negara tidak mungkin untuk mengisolasikan
diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Globalisasi merupakan tantangan bagi Negara
berkembang , seperti Negara Indonesia karena dengan globalisasi maka unsur-unsur budaya luar mudah masuk ke Indonesia.
Budaya luar tidak semuanya positif bagi perkembangan dan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
program bedah rumah yang dilakukan oleh PT.NNT. sehingga menimbulkan
kecemburuan sosial antara masyarakat lokal/adat (indegenous people) dengan
masyarakat pendatang.
Tantangan lainnya yang berpotensi dihadapi oleh Pemerintah daerah
dalam kerangka program RRBR adalah terkait dengan peningkatan harga,
khususnya barang-barang yang menjadi kebutuhan untuk pembangunan
rehab rumah dimana harga di KSB tergolong tinggi dan tentu semakin
meningkat tatakala pemerintah pusat pada tahun 2011 menerapkan kebijakan
kenaikan harga BBM, maka dapat dipastikan alokasi anggaran sebesar Rp. 5
juta/rumah tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
rehab rumah. Pemerintah daerah juga perlu mengantisipasi proses pemekaran
desa dan kelurahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Karena
proses pemekaran desa/kelurahan ternyata juga berdampak pada distribusi
alokasi jumlah penerimaan kelompok sasaran penerima program. Semakin
besar jumlah desa, maka semakin besar alokasi anggaran yang mesti
dipersiapkan oleh Pemerintah daerah setiap tahunnya. Disamping itu,
pmemrintah juga akan dihadapkan pada tantangan berupa standar kehidupan
yang layak di KSB yang semakin meningkat—terlebih lagi dengan
ditempatkannya KSB sebagai Kabupaten terkaya ke-6 di Indonesia, maka
tentu standar minimum mengenai kriteria rumah layak huni dan sehat di KSB
akan semakin meningkat. Terlebih lagi dengan berkembangnya rumah-rumah
yang berkualitas, mega dan mewah yang tumbuh dan berkembang saat ini
dibeberapa desa, seperti desa dalam wilayah lingkar tambang, (pekerja
newmont vs petani) maka kesenjangan ini akan dapat memicu pada semakin
meningkatnya standar mengenai kelayakan rumah huni dan sehat serta
tuntutan kelompok warga miskin untuk dapat memperoleh manfaat dan
dampak atas program rehab rumah.
4.2.1.6. Rekomendasi Arah Kebijakan Program RRBR di masa
mendatang
Program rehab rumah perlu dilanjutkan di masa mendatang, namun
agar program tersebut dapat lebih berjalan efektif, efisien dan berkelanjutan
sehingga berdampak signifikan bagi masyarakat miskin, maka pemerintah
daerah perlu untuk melakukan perbaikan/penyempurnaan, antara lain sebagai
berikut ; pertama, perlu ada upaya untuk melakukan revitalisasi nilai basiru
sebagai modal sosial masyarakat sekaligus modal sosial dalam pembangunan
berbasis RT. Pembangunan kembali nilai basiru dapat dilakukan dalam bentuk
pengembangan interaksi sosial masyarakat melalui pertemuan-pertemuan dan
peningkatan kegiatan sosial kemasyarakatan, pengembangan kearifan lokal
serta nilai-nilai kebersamaan dan semangat untuk membangun dan menata
desa/lingkungan secara bersama-sama. Pemerintahan desa dan organisasi
sosial kemasyaratan harus mampu berperan aktif dalam menjaga dan
melestarikan kekuatan sosial besiru, simbol-simbol sosial yang menjadi
kekuatan basiru harus ditumbuhkan kembali, khususnya basiru dalam
pembangunan rumah.
Kedua, perlu ada penguatan dan penegakkan regulasi terkait dengan
pembangunan rehab rumah. Penerapan reward and punishment harus dapat
dilakukan untuk memotivasi dan memberikan sanksi terhadap para pengelola
program pembangunan rehab rumah yang berhasil maupun mengalami
kegagalan dalam pencapaian target pembangunan. Misalnya dalam bentuk
pemberian tambahan jumlah penerima manfaat program bagi desa/kelurahan
yang berhasil dan pengurangan jatah alokasi penerimaan manfaat bagi
desa/kelurahan yang melakukan penyimpangan terhadap pelaksanaan
program. Disamping itu, pemerintah daerah juga harus melakukan sosialiasi
kepada seluruh para pemangku kepentingan terhadap program pembangunan
rehab rumah berbasis RT. Konsistensi pelaksanaan juklak-juknis sangat
dibutuhkan untuk memastikan dan menjamin program rehab rumah telah
berjalan sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan (on the track).
Ketiga, prinsip-prinsip tata kelola program, seperti partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas perlu untuk diterapkan secara optimal.
Termasuk dalam konteks ini adalah wadah dan mekanisme komplain terhadap
pelaksanaan program harus dapat tersedia—sehingga masyarakat yang
merasa tidak puas atau menduga adanya praktek penyimpangan atas
pelaksanaan program dapat menyalurkan aspirasi dan keluhannya secara
benar.
Keempat, proses perencanaan, khususnya terkait dengan kelompok
penerima manfaat selain dilakukan melalui melakukan pendataan dibutuhkan
pula adanya mekanisme pengambilan keputusan secara terbuka dan bersama.
Misalnya, sebelum menetapkan siapa-siapa saja calon penerima program,
pemerintah desa mengumumkan daftar nama-nama calon penerima program,
membuka ruang bagi masyarakat setempat untuk memberikan penilaian dan
tanggapan balik atas hasil pendataan yang telah dilakukan oleh RT, dan jika
dibutuhkan pengambilan keputusan terkait dengan kelompok penerima
manfaat program dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan bersama,
sehingga praktek dugaan kesalahan kelompok sasaran penerima program dan
kecurigaan-kecurigaan warga atas program dapat semakin berkurang,
disamping itu diharapkan dengan adanya ketersediaan data dan informasi
secara terbuka masyarakat setempat juga dapat melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan program rehab rumah.
Kelima, pada tahap pelaksanaan program dibutuhkan adanya suatu
pengawasan yang ketat terhadap program dan koordinasi yang kuat, terlebih
lagi pada program rehab rumah di daerah lingkar tambang—yang selama ini
juga menerima program rehab rumah dari PT.NNT. Double account maupun
duplikasi anggaran berpotensi terjadi dan peluang terhadap penyimpangan
anggaran juga semakin terbuka karena selama ini pula dalam program rehab
rumah yang dilaksanakan oleh PT.NNT dilakukan oleh Pemerintahan Desa
setempat. Koordinasi program rehab rumah yang dilaksanakan oleh Pemrintah
daerah dan PT.NNT menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat
tingkat kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap alokasi jumlah penerima
manfaat program dari tahun ke tahun terus meningkat. Disamping itu
pemerintah daerah perlu pula melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat,
khususnya departeman terkait yang membidangi pembangunan perumahan
rakyat sehingga diharapkan dimasa mendatang program pembangunan rehab
rumah tidak hanya bertumpuh pada ketersediaan fiskal daerah melainkan pula
bantuan pemerintah pusat baik melalui DAK maupun dalam bentuk lainnya,
termasuk dalam konteks ini adalah mencari terobosan baru dengan cara
menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga donor internasional, seperti
USAID, UNDP, Ford foundation, JICA, Kedutaan-kedutaan dan sebagainya
untuk memperoleh dana bantuan hibah atau grant program.
Keenam, pertanggungjawaban, pengawasan dan evaluasi
pelaksanaan program rehab rumah kedepan harus ditingkatkan, khususnya
pertanggungjawaban pemerintahan desa kepada masyarakat setempat. Dalam
konteks pemantauan/pengawasan dan evaluasi perlu ada pelibatan langsung
kelompok penerima manfaat program sehingga dapat diketahui tingkat
dampak dan manfaat atas program yang dijalankan. Disamping itu,
pemerintah daerah juga perlu untuk mendokumentasikan dan
mempublikasikan hasil-hasil capaian keberhasilan dari program rehab rumah
sehingga dapat diketahui oleh publik secara luas dan dapat menjadi sarana
untuk memperoleh perhatian atau daya tarik bagi para pihak untuk membantu
pelaksanaan program. Minimnya publikasi program selama ini ternyata telah
menyebabkan banyak pihak yang belum banyak memahami program rehab
rumah, termasuk dalam konteks ini adalah para stakeholders di daerah.
Padahal dari sisi inisiasi dan inovasi program ini telah menginspirasi daerah
lainnya di Indonesia untuk melakukan replikasi. Melalui publikasi inipula
diharapkan promosi daerah KSB akan semakin dikenal luas dan dapat menjadi
salah satu kabupaten percontohan di Indonesia.
4.2.2. Pemberdayaan Masyarakat dan RT melalui pemberian Dana
Dukungan (Stimulan RT)
4.2.2.1. Latar Belakang, Tujuan dan Sasaean Dana Stimulus RT
Untuk menggairahkan semangat gotong royong dan swadaya
masyarakat sekaligus penguatan kelembagaan RT, pemerintah daerah KSB
telah menyediakan dana dukungan pemberdayaan masyarakat (stimulan RT)
kepada masing-masing RT, dana tersebut dapat digunakan RT bersama warga
lingkungan untuk dikelola sebagai dana pembangunan berdasaran kebutuhan
dilingkungan RT. Dari data yang ada jumlah dana stimulan yang diberikan
pemerintah daerah sumbawa barat dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2006-2007 dana stimulan yang diterima RT sebesar
Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), pada tahun 2008-2010 ditingkatkan menjadi
Rp.1.400.000 (satu juta empat ratus ribu rupiah) per RT. tahun 2010 ini
tercatat sekitar 715 (tujuh ratus lima belas) RT yang menerima dana stimulan.
Adapaun mengenai bentuk dan jenis dari kegiatan yang dibiayai dari dana
dukungan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan musyawarah rencana pembangunan RT atau
musyawarah pertanggungjawaban, dengan alokasi dana Rp.
150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah)
2. Biaya administrasi sebesar Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)
3. Kegiatan pembangunan/perbaikan sarana prasarana lingkungan
yang dapat memberikan manfaat langsung, alokasi dananya
sebesar Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah)
Sebelum pemerintah daerah menyalurkan dana stimulan RT,
pengurus RT sebelumnya melakukan beberapa hal: Pertama, menyusun
rencana kegiatan bersama warga. Kedua, menyampaikan rencana kegiatan
(skala prioritas) kepada BPM Sumbawa Barat dengan melampirkan Rencana
Penggunaan Anggaran, Daftar hadir peserta rapat, serta Surat pernyataan
penggunaan dana dukungan. Sedangkan tugas BPM selanjutnya memverifikasi
dan menentukan kelayakan rencana pengajuan kegiatan, setelah dinyatakan
layak maka BPM mencairkan anggarannya ke rekening Desa/Kelurahan setelah
kepala desa/kelurahan bersama RT menandatangani surat perjanjian
kerjasama, berita acara serah terima, dan surat pernyataan.
Dari hasil investigasi dilapangan ternyata penggunaan atau
pemanfaatan dana stimulan RT oleh masing-masing RT pada masing-masing
desa/kelurahan berbeda-beda hal ini sangat tergantung dari hasil
rembug/musyawarah warga lingkungan; dari temuan dilapangan pemanfaatan
dana misalnya, adalah diperuntukkan untuk pembelian sound system, genset,
kursi, pengadaan lampu jalan, pengerasan gang, pembuatan deker jembatan,
dll. Salah satu contoh penggunaan dana stimulan yang dilaksanakan warga RT
pada kelurahan Bugis Kecamatan Taliwang pada tahun 2009 antara lain :
RT Jenis Kegiatan Realisasi Anggaran
01 Pembuatan Meja pimpong, Pembelian Kursi, Biaya rapat , Administrasi
Rp. 1.518.000
02 Biaya rapat, Perbaikan gang lingkungan, Adminitrasi, Rp. 1.638.000 03 Pengadaan cangkul, sekop, terpal, mikrofon, tali
tambang, perbaikan selokan, biaya rapat dan administrasi
Rp. 1.733.000
04 Pembelian tanah urug, terpal, biaya rapat dan administrasi
Rp. 1.694.000
Sumber data : Laporan pertanggunjawaban Dana Stimulan PBRT Kel. Bugis Kec. Taliwang
Bantuan dana dukungan pemberdayaan masyarakat (dana stimulan)
RT ini ternyata cukup berhasil dalam merangsang dan membuka partispasi
warga dalam membangun lingkungan sesuai kebutuhan warga. Bantuan
pemberdayaan tersebut relatif dimanfaatkan secara maksimal untuk
kepentingan warga setempat, seperti pembelian terop atau kursi yang
digunakan untuk acara-acara perkawinan, kegiatan ibadah, takziah, perbaikan
gang jalan lingkungan atau pembelian tanah urug, turut membantu upaya
pemerintah meringankan pengerjaan/percepatan proyek pembangunan
didaerah.
Keuntungan ganda (multiplayer effec) yang diperoleh dengan
adanya bantuan pemberdayaan ini adalah warga lingkungan ikut terlibat
sebagai perencana (merumuskan), pelaksana, mengawasi serta menerima
manfaat langsung dari hasil perencanaan musyawarah antar sesama warga.
Terutama jika proyek pemerintah daerah yang bernilai Rp. 50 s/d Rp. 100 juta
dikelola langsung desa/kelurahan, maka bisa dibayangkan
manfaat/keuntungan yang dapat diperoleh baik oleh pemerintah daerah
maupun pemerintah desa/kelurahan.
4.2.2.2. Kelemahan dan Tantangan Pemberdayaan Masyarakat
melalui Dana Stimulus RT
Salah satu kelemahan dan tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan program dana stimulan RT adalah pada aspek management
pengelolaan. Pertama, beberapa RT ditemukan proses pengelolaan dana
stimulan, pemanfaatan dan peruntukkannya ditetapkan sendiri oleh Pengurus
RT, bahkan disejumlah desa masih ditemukan penetapan pemanfaatan dana
stimulan RT hanya oleh seorang Ketua RT.
Kedua, dana stimulant RT tersebut dirasakan masih belum cukup
memenuhi kebutuhan pembangunan di lingkungan RT, khususnya lagi dalam
konteks pembangunan infrastuktur, seperti gang, perbaikan saluran irigasi dan
sebagainya. Dan sejauh ini belum ada upaya untuk dilakukan upaya
pengembangan kerjasama antar RT. Khususnya terkait dengan pembangunan
sarana infrastuktur yang menghubungkan RT satu dengan RT lainnya, seperti
pembuatan jalan atau pembangunan sarana irigasi. Sehingga pelaksanaan
program tidak mampu menjangkau skala dalam bentuk yang lebih besar.
Persoalan koordinasi antar RT dan koordinasi program pemanfaatan dana
stimulan RT belum maksimal berjalan di tingkat RT, semantara itu fungsi dan
peran Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dalam memfasilitasi proses
terselenggaranya kerjasama antar RT masih sangat lemah. Keberadaan RW
sebagai wadah pemersatu RT sekaligus wadah bersama belum dapat
dimanfaatkan, begitupun dengan peran dan fungsi pemerintahan desa,
khususnya Pemdes dan BPD serta LPM terlihat belum optimal dalam
memfasilitasi terselenggaranya pelaksanaan dana stimulan secara baik,
minimnya supervisi dari pemerintahan desa maupun kecamatan selama ini
juga menjadi kelemahan dan tantangan pelaksanaan program. Bahkan,
banyak pemerintahan desa dan camat yang tidak mengetahui penggunaan
dan pemanfataan dana stimulan. Praktek lainnya yang ditemukan dilapangan
adalah masih adanya upaya untuk “mensunat” dana program oleh Kades,
seperti yang terjadi di Sekongkang Bawah. Sejumlah RT mengeluhkan
pemotongan dana yang dilakukan Rp.100.000/RT oleh Pemerintah Desa—
dengan alasan proses pengelolaan dana stimulan RT membutuhkan biaya
administrasi dan transportasi.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh LEGITIMID juga menemukan
selaian dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan sebagaimana di
atas adalah terkait dengan meningkatnya jumlah RT pemekaran. Sejak
Pembangunan berbasis RT dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (2007),
muncul kecendrungan jumlah RT di setiap desa/kelurahan semakin meningkat
terlebih lagi dengan meningkatkan jumlah pemekaran desa dan kelurahan
yang terjadi saat ini. Dengan bertambahnya jumlah RT tentu berimplikasi
terhadap ketersediaan pembiayaan atau alokasi anggaran dana stimulan RT di
masa mendatang.
4.2.2.3. Rekomendasi Arah Kebijakan Dana Stimulus RT
Kebijakan pemberian dana stimulan bagi RT ternyata dirasakan cukup
bermanfaat, bukan hanya pada kelembagaan RT melainkan masyarakat,
melalui dana stimulan RT itupula kelembagaan RT nampak mulai tumbuh,
bangkit dan berkembang. Namun, demikian beberapa kelemahan dan
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program dana stimulan RT pun
semakin meningkat. Oleh sebab itupula perlu dilakukan langkah antisipasi
sekaligus penyempurnaan pelaksanaan dana stimulan, antara lain meliputi;
pertama, penataan kelembagaan dan kinerja RT. Penataan kelembagaan
ditujukan pada sejumlah kelembagaan RT yang menunjukkan capaian kinerja
dan prestasi yang buruk serta para pengurus RT tidak aktif dan kurang cukup
akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua, dibutuhkan adanya
penguatan kapasitas kelembagaan RT, khususnya terhadap keberadaan
sejumlah RT yang memiliki kapasitas yang tergolong rendah dalam memahami
tupoksi sebagai RT namun pengurus RT tersebut mmeiliki komitmen untuk
memajukan lingkungannya. Ketiga, sejauh ini peran KPM (Kader
Pemberdayaan Masyarakat) pada sejumlah desa dan kelurahan menunjukkan
prestasi kerja yang buruk, bahkan KPM tidak menunjukkan jati diri dan
komitmennya sebagai tenaga pendamping RT. Oleh karen itulah dimasa
mendatang perlu dilakukan pula penataan terhadap KPM dan penilaian
prestasi KPM secara objektif. Pemerintah daerah harus memiliki report
penilaian terhadap seluruh KPM yang bekerja dalam PBRT. Keempat, perlu ada
penegakkan dan penerapan sanksi yang tegas terhadap para pelaku yang
melakukan penyimpangan. Kelima, perlu ada peningkatan koordinasi antar
stakholders khususnya antara RT dengan organisasi sosial kemasyarakatan
lainnya yang ada di tingkat kelurahah dan desa. Pemerintah daerah juga perlu
untuk melakukan koordinasi program rehab rumah dengan PT.NNT-yang
selama ini pula telah melaksanakan program rehab rumah tidak layak huni dan
sehat-sehingga segala keterbatasan khususnya terkait dengan program dan
kegiatan dapat diantisipasi oleh pemerintah daerah. Pemerintah Daerah KSB
juga perlu pula untuk mendorong sektor swasta, khususnya agar pihak
perusahaan (PT.NNT) agar dapat lebih bersifat terbuka dalam pengelolaan
dana CSR-Comdev.
4.2.3. Program Stimulus Ekonomi untuk Usaha Mikro Kecil Menengah
dan Koperasi Berbasis RT (KBRT)
4.2.3.1. Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran KBRT
Dalam rangka memperluas
kesempatan kerja, peluang
berusaha, serta mengatasi
pengangguran dan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi
masyarakat, pemerintah daerah
menumbuhkembangkan Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM)
dan Koperasi di Kabupaten
Sumbawa Barat bekerjasama dengan perbankan sebagai penyedia dana
usaha. Sebuah rencana pembangunan ekonomi daerah yang lebih maju dan
berkeadilan. Program yang berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong
royong masih tetap yang utama dan terus dikembangkan didaerah pariri lema
bariri.
Pada tahun 2009 lalu, pemerintah daerah sumbawa barat me-
launching pendirian 720 unit Koperasi Berbasis RT yang tersebar di 37 Desa
meliputi delapan kecamatan se-KSB. Dan sebagai dana awalnya Pemkab
Sumbawa Barat mengalokasikan dari dana ABPD sebesar Rp. 10 Milyar
sebagai dana stimulus. Masing-masing KBRT memperoleh dana stimulus
sebesar Rp. 10 Juta4. Pendirian KBRT ini bertujuan untuk mendekatkan
ekonomi masyarakat yang diharapkan bisa menumbuhkembangkan wirausaha
baru bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah5. Dasar pembentukan
Koperasi Berbasis RT (KBRT) telah didukung oleh SK Bupati Nomor 17 Tahun
2010 tentang petunjuk pelaksanaan program dana stimulus.
Atas komitmen penuh Bupati Sumbawa Barat terhadap
pembangunan ekonomi masyarakat melalui koperasi, maka pada tahun 2010
ini Bupati Sumbawa Barat DR KH Zulkifli Muhadli, SH,MM menerima
penghargaan Satya Lencana Wira Bhakti Koperasi dari Presiden RI.
Penghargaan yang sama juga diberikan oleh Menteri Negara Koperasi dan
UMKM RI sebagai kabupaten penggerak koperasi dengan nama penghargaan
Paramadhana Madya Koperasi.
Berdasarkan Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2010 tentang Program
Stimulus Ekonomi untuk Mikro Kecil Menengah dan Koperasi Kerjasama
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dengan Perbankan, jenis usaha
ekonomi produktif yang dilakukan oleh pelaku UMKM dan Koperasi adalah
sebagai berikut :
• Usaha pada sektor pertanian seperti, pertanian tanaman pangan,
perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan-kelautan
• Usaha pada sektor pertambangan, energi, gas dan air bersih
seperti pertambangan rakyat, energi terbarukan, gas dan air
bersih.
• Usaha pada sektor industri/agroindustri seperti aneka jenis
industri, non pertanian, home industri.
4 Penyerahan dana Stimulus secara resmi dilakukan Pemkab Sumbawa Barat melalui Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi (Perindagkop) dan UMKM pada hari senin tanggal 19 April 2010 jumlah dana stimulus yang diserahkan berjumlah sebesar Rp.13 miliar kepada 720 Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT) se KSB. Dalam Acara penyerahan ini disaksikan pula Prof.DR.H. Sri Edy Swasono Nitidiningrat.
5 Dalam sambutan pada acara penyerahan dana stimulus, Drs.H.Amrullah Ali, SH.MH mengatakan bahwa Penciptaan KBRT tersebut merupakan salah satu kepedulian Pemkab terhadap program peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena penyaluran dana stimulus melalui koperasi yang dikelola oleh masing-masing RT tersebut dinilai memiliki peran,fungsi yang sangat startegis dalam mendongkrak perekonomian rakyat, terutama petani, nelayan dan para pedagang ekonomi menegah kebawah, “Dana Stimulus yang disalurkan melalui masing-masing RT se KSB ini, merupakan salah satu langkah Pemkab dalam membantu peningkatan dan pendapatan perekonomian rakyat, karena bertujuan sebagai badan usaha yang dapat menaungi serta mempersatukan rakyat kecil dalam meningkatkan kesejahteraan,” jelasnya.www.sumbawanews.com
• Usaha pada sektor perhubungan, telekomunikasi, informasi, dan
komputer seperti perbengkelan, tehnologi informasi, komputer dan
sebagainya.
• Usaha pada sektor perdagangan, koperasi, pariwisata, hotel dan
restoran seperti, usaha dagang/warung dan sebagainya
• Usaha pada sektor keuangan dan jasa lainnya seperti lembaga
keuangan mikro, simpan pinjam, BUMDes, dan usaha jasa lainnya.
Melihat peluang dan kesempatan diatas UMKM dan KBRT sangat
mumpuni didayagunakan untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi
daerah yang mantap (steady social economic growth), dan perluasan
kesempatan kerja.
4.2.3.2. Kelemahan dan Tantangan KBRT
Terkait dengan implementasi program KBRT di Sumbawa Barat, dari
hasil studi menemukan beberapa permasalahan yang berkembang, antara
lain;
1. Tidak jelasnya rencana usaha yang akan dikembangkan oleh masing-
masing KBRT. Sebagian besar KBRT yang telah terbentuk sejauh ini
belum jelas jenis usahanya bahkan banyak KBRT yang pasif atau tidak
mengetahui usaha apa yang harus dikembangkan?
2. Sebagian besar para pengurus KBRT belum memahami tentang
kedudukan, peran dan fungsi sebagai pengurus KBRT bahkan banyak
diantara pengurus KBRT belum memahami dasar-dasar mengenai
koperasi (apa itu koperasi?).
3. Tidak jelasnya managemen KBRT, disisilain tingkat kejujuran para
pengurus KBRT, sistem koordinasi dan pengawasan sangat rendah,
sehingga beberapa KBRT yang telah terbentuk, memanfaatkan dana
stimulan KBRT bukan untuk pengembangan usaha, melainkan
didistribusikan dan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan para
pengurus KBRT (dana KBRT dibagi-bagi kepada pengurus KBRT).
4. Secara prinsipil keberadaan KBRT adalah diperuntukkan untuk
mendorong kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok
masyarakat miskin, namun dari hasil studi menemukan sebagian besar
kelompok masyarakat miskin merasa kesulitan untuk memperoleh
pinjaman dari KBRT yang bergerak dalam usaha simpan pinjam. Justeru
dilapangan banyak ditemukan pengurus KBRT memberikan pinjaman
hanya kepada masyarakat/individu/kelompok yang mapan atau bahkan
“pengusaha” dengan alasan karena ada jaminan mereka akan mampu
untuk membayar pinjaman yang diberikan kendatipun bukan sebagai
anggota KBRT.
5. Tidak adanya kejelasan mengenai kelompok/sasaran penerima manfaat
dan skala prioritas masyarakat penerima manfaat, sehingga para
pengurus KBRT kesulitan untuk menentukan penerima manfaat, dalam
praktek kecendrungan sebagian besar memilih untuk memberikan dana
kepada warga yang berekonomi menengah ke atas. Sehingga KBRT
belum mampu untuk mendorong peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang
lebih baik.
6. Pengelolaan KBRT tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip tata kelola
koperasi yang baik, seperti management yang transparans dan
akubtabel, dan belum berjalannya mekanisme secara baik, dari hasil
studi misalnya banyak ditemukan KBRT dalam menentukan kelompok
penerima dana KBRT yang tidak melalui rapat musyawarah RT,
melainkan didasarkan atas faktor hubungan keluarga, saudara, kolega
atau orang-orang terdekat. Bahkan penggunaan dana KBRT digunakan
untuk kepentingan yang lain.
7. Belum adanya regulasi dan penegakkan sanksi yang jelas dan tegas
terhadap para pengurus KBRT yang melakukan praktek penyimpangan
atau pelanggaran dana KBRT.
8. Ketidaksiapan masyarakat dan pengurus KBRT ketika hendak
menjalankan rencana progam pemerintah seperti kemampuan
mengembangkan usaha ekonomi perdagangan, telekomunikasi,
Perkebunan dan usaha lainnya.
Disamping itu, KBRT juga dihadapkan pada permasalahan pada jenis
pengembangan usaha karena jika usaha yang dikembangkan sama, misalnya
simpan pinjam, maka dengan keberadaan 720 Koperasi/masing-masing RT
tentu sulit KBRT tersebut akan berkembang karena jumlah komunitas KK yang
ada dilingkungan RT sangatlah terbatas 25 s.d.50 KK. Begitupun dengan
usaha lainnya, misalnya pengadaan sembako.
Tingginya jumlah KBRT juga akan semakin menyulitkan pemerintah
daerah dalam melakukan pengedalian program, melakukan koordinasi maupun
pengawasan atas pengelolaan dana stimulan. Membangun koperasi dalam
waktu serentak dan sangat singkat ini tentu tidaklah mudah, terlebih lagi
dengan ketersediaan kapasitas para pengurus koperasi di lingkungan RT yang
sangat terbatas.
Berbagai kelamahan dan permasalahan diatas, menjadi penting
untuk mendapat perhatian dari Pemerintah daerah, khususnya Dinas Koperasi,
Industri dan Perdagangan yang merupakan leading sektor dari program KBRT.
Karena jika tidak dapat dikembangkan secara baik, bukan hanya akan
menghabur-haburkan anggaran, melainkan akan menjadi citra buruk bagi
pemerintah daerah KSB—karena gaung KBRT dan penghargaan yang telah
diraih KBRT—jika tidak sejalan dengan capaian keberhasilan, maka publik akan
menilai program KBRT hanyalah sebatas kamuflase atau simularca politik.Oleh
karenanya, penyelesaian masalah mendasar tersebut sangat membutuhkan
upaya serius pemerintah daerah (dinas teknis).
4.2.3.3. Rekomendasi Arah Kebijakan KBRT di Masa Mendatang
Koperasi mempunyai kedudukan yang kuat dan sangat penting di dalam
rangka membangun sistem perekonomian daerah Kabupaten Sumbawa Barat
yang berbasis kerakyatan. Sebagaimana amanah dalam dalam UUD 1945
pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Pasal ini secara implicit jelas menunjukan
bahwa kedudukan koperasi sangat penting, karena koperasi merupakan badan
usaha yang berdasarkan azas kekeluargaan tersebut. Sehingga koperasi
diyakini dapat diandalkan untuk menopang perekonomian daerah.
Sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah bahkan nasional, koperasi
memiliki misi sebagai stabilisator ekonomi disamping sebagai agen
pembangunan. Keberadaan dan peran koperasi telah teruji dan terbukti ketika
krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional, semua pihak baru
tersadarkan bahwa pengelolaan ekonomi yang mengandalkan perusahaan
besar telah membuat rapuh basis ekonomi nasional. Ketika krisis moneter
terjadi, banyak perusahaan besar yang mengalami stagnasi dan terpuruk
usahanya. Namun di tengah kondisi perekonomian nasional yang lemah
tersebut ternyata usaha kecil, menengah dan koperasi masih dapat bertahan
dan menjadi tumpuan untuk berperan dalam menjalankan roda perekonomian
nasional.
Beranjak dari hal tersebut di atas, kebijakan daerah untuk membangun
dan mengembangkan koperasi sudah tepat karena melalui koperasi inilah
diharapkan koperasi benar-benar mampu menjalankan fungsi dan peranannya
dalam menggerakkan ekonomi rakyat. Namun, untuk mengatasi dan
mengantisipasi permasalahan yang berkembang sebagaimana telah diuraikan
di atas, maka pemerintah daerah perlu melakukan pembenahan
pengembangan usaha KBRT yakni menyangkut permasalahan kualitas
pengurus, partisipasi anggota, permodalan dan pengawasan.
Secara normatif pengelola (pengurus) dalam KBRT memiliki fungsi yang
amat strategis yaitu bertindak sebagai pengusaha yang menjaga
kesinambungan koperasi sebagai lembaga ekonomi yang efisien. Tantangan
yang dihadapi oleh daerah saat ini dalam konteks pembangunan KBRT adalah
terkait dengan Rendahnya kualitas dari pengurus koperasi—sebagai
seorang wirausaha dalam mengelola koperasi. Hal ini yang mengakibatkan
proses manajemen KBRT menjadi sangat lemah sehingga arah dan tujuan
yang hendak di capai KBRT sulit untuk bisa tercapai terutama dalam
peningkatan perkembangan usaha dari KBRT.
Salah satu faktor yang akan menentukan keberhasilan KBRT dimasa
mendatang adalah menyangkut pula soal manajemen. Dengan kata lain
berhasil tidaknya KBRT akan sangat tergantung pada kemampuan manajemen
yang dilaksanakan oleh pengurus KBRT. Mengingat tantangan terbesar yang
dihadapi KBRT berada dalam arena persaingan global, tentu dimasa
mendatang persaingan semakin ketat, eksistensi individu, masyarakat ataupun
KBRT akan sangat ditentukan oleh keunggulan daya saing yang
berkesinambungan. Hanya dengan sumber daya manusia (SDM) yang unggul
dan mempunyai daya saing tinggi KBRT dapat mengatasi tantangan dan
memanfaatkan peluang yang ada.
Dalam konteks itulah maka penting bagi pemerintah daerah untuk ;
Pertama, meningkatkan kemampuan Pengurus KBRT sebagai wirausaha
koperasi. KBRT sebagai salah satu badan usaha yang beranggotakan orang-
seorang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan (Undang-Undang No. 25 Tahun 1992). Oleh
sebab itu KBRT harus dilengkapi dengan alat-alat organisasi KBRT yang
memadai, produktif dan efektif karena alat tersebut merupkan pilar-pilar yang
akan menentukan tumbuh dan runtuhnya KBRT termasuk yang akan
menentukan tercapainya atau tidaknya tujuan KBRT.
Sejauh ini Perangkat KBRT yang terdiri dari Rapat anggota, Pengurus
dan Pengawas belum berjalan efektif, bahkan banyak dari pengurus dan
anggota KBRT yang tidak memahami fungsi dan peran Rapat tersebut.
Padahal beberapa alat KBRT ini memiliki peranan penting dalam kehidupan
berkoperasi.
Kedua, mendorong terciptanya Pengeolaan KBRT yang profesional dan
bertanggung jawab, khususnya para Pengurus KBRT. Sebagai pengelola, para
pengurus KBRT memiliki tanggung jawab yang besar terhadap seluruh
anggota KBRT karena pengurus KBRT dipilih oleh anggota dalam rapat
anggota (Musyawarah RT), mereka yang telah terpilih dan dipercaya sebagai
pengelola KBRT haruslah dapat menjalankan amanah tersebut. Dari sisi
akuntabilitas pengurus KBRT terhadap anggota masih sangat rendah, bahkan
ditemukan banyak terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu dimasa mendatang
pmerintah daerah perlu mendorong adanya wadah dan mekanisnya
akuntabilitas yang ketat terhdap pengelolaan KBRT.
Ketiga, mendorong kemampuan para pengurus KBRT. Merujuk pada
pendapat Sumarsono (2003:60) yang menyatakan bahwa ada tiga syarat yang
harus dimiliki oleh seorang pengelola (manajer/pengurus) , yaitu : Managerial
skill, Technical skill dan Entrepreneur skill. Maka, penting kedepan KBRT yang
telah terbentuk dan yang akan terbentuk di masa mendatang, untuk
mensyaratkan atau mendorong terpenuhinya prasayarat diatas. Sebab
keberhasilan KBRT akan sangat ditentukan dari sejauhmanakah keahlian
kewirausahaan dalam proses pengembangan KBRT karena tanpa jiwa
wirausaha yang baik maka KBRT sulit untuk dapat berkembang. Tantangan
penting kedepan yang perlu diantisipasi dalam KBRT dimasa dimasa
mendatang adalah bagaimana para pengurus KBRT mampu untuk menjadi
seorang wirausaha.
Keempat, meningkatkan kemampuan Wirausaha para pengurus KBRT,
antara lain berupa upaya peningkatan terhadap pengetahuan mengenai
permodalan, pemasaran, manajemen usaha, teknologi, dan informasi serta
mendorong lahirnya sikap kewirausahaan seperti ; Kemauan yang kuat untuk
berkarya dengan semangat kemandirian, Kemauan dan kemampuan
memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara sistematis termasuk
keberanian mengambil risiko usaha, Kemampuan berfikir dan bertindak kreatif
dan inovatif, Kemampuan bekerja secara teliti, tekun, dan produktif dan
mendorong adanya kemauan dan kemampuan untuk berkarya dalam
kebersamaan berlandaskan etika bisnis yang sehat. Sebab untuk menjadi
wirausaha koperasi berarti harus memiliki kemampuan dalam menemukan dan
mengevaluasi peluang-peluang, mengumpulkan sumber-sumber daya yang
diperlukan dan bertindak untuk memperoleh keuntungan dan peluang-peluang
itu.
Kelima, mendorong para pengelola KBRT memiliki sifat-sifat, jiwa dan
semangat kewirausahaan (enterprenuershup) ;
1. Capacity for hard work (Kemauan bekerja keras)
Sikap kerja keras yang merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang
dan dalam pelaksanaannya terdapat satu unsur yang sangat penting serta
mendukung sikap ini yaitu disiplin dalam menggunakan waktu.
2. Getting Things Done With And Through People (Bekerjasama dengan orang
lain)
Berprilaku menyenangkan bagi semua orang dan juga memiliki banyak teman
baik kalangan atas ataupun kalangan bawah serta menghindarkan
permusuhan merupakan kiat menjalin kerjasama dengan orang lain sehingga
akan memudahkan dalam mencapai keberhasilan.
3. Good Appearance (Penampilan yang baik)
Penampilan ini bukan berarti penampilan body face /muka yang elok atau
paras yang cantik, akan tetapi lebih ditekankan pada penampilan perilaku yang
baik, jujur pada siapapun.
4. Self Confidence (Yakin)
Self confidence ini diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari dengan
melangkah pasti, tekun, sabar, tidak ragu-ragu, memiliki keyakinan diri bahwa
kesuksesan pasti akan diraih.
5. Making Sound Decision (Pandai membuat keputusan)
Sikap memiliki pertimbangan yang matang dalam memilih alternatif pilihan
dengan mengumpulkan terlebih dahulu berbagai informasi yang akurat
merupakan langkah yang terbaik dalam membuat suatu keputusan dengan
tidak ragu-ragu.
6. College Education (Mau menambah ilmu pengetahuan)
Rajin mengembangkan wawasan dengan melakukan penambahan ilmu
pengetahuan dengan cara mengikuti pendidikan tambahan yang berupa
pelatihan, kursus, penataran, membaca buku dan lain sebagainya.
7. Ambition Drive (Ambisi untuk maju)
Sikap memiliki semangat tinggi, mau berjuang untuk maju, gigih dalam
menghadapi pekerjaan dan tantangan dan mampu melihat ke depan dan
berjuang untuk menggapai apa yang dicita-citakan.
8. Ability to Communicate (Pandai berkomunikasi)
Keterampilan berkomunikasi dengan cara pandai mengorganisasi buah pikiran
kedalam bentuk ucapan-ucapan yang jelas, menggunakan tutur kata yang
enak didengar dan mampu menarik perhatian orang lain, serta harus diikuti
oleh perilaku jujur dan konsisten.
Keenam, Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi proses pemetaan
potensi sumber daya alam dan geografis serta potensi-potensi usaha yang
potensial untuk dikembangkan sebagai basis usaha PBRT, serta mendorong
adanya perencanaan usaha KBRT sehingga dimasa mendatang masing-masing
KBRT memiliki usaha dan krakteristik usaha sesuai dengan basis potensi yang
ada pada masing-masing lingkungan RT.
Ketujuh, untuk mendorong adanya kemandirian usaha KBRT melalui
upaya pendampingan (monev dan tehnical asistensi) yang dilakukan secara
massif dan sistematis terhadap proses penyelenggaraan KBRT sehingga
Kedelapan, mendorong berbagai regulasi dan kebijakan, program dan
anggaran yang memadai untuk mewujudkan KBRT yang maju dan mandiri.
4.2.4. Pemantauan Kesehatan Masyarakat Melalui Juru Pemantau
Kesehatan Masyarakat (Jumantara)
4.2.4.1. Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran Jumantara
Juru Pemantau masyarakat (Jumantara) adalah sebuah program yang
dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan di bidang kesehatan. Program ini merupakan modifikasi dari
program Desa Siaga yang kemudian disesuaikan dan dikembangkan oleh
pemerintah daerah KSB sesuai dengan situasi permasalahan dan potensi yang
dimiliki Kabupaten Sumbawa Barat
Dalam program Pemantauan kesehatan masyarakat ini Pemerintah
Daerah melibatkan Para Ketua Rukun Tetangga atau Tokoh Masyarakat lain
ditingkat RT untuk melakukan pemantauan, untuk dapat melakukan
pemantauan masyarakat para ketua RT dan tokoh masyarakat ini diberikan
orientasi/pelatihan guna melakukan pencatatan dan pemantauan terkait
dengan permasalahan kesehatan masyarakat di wilayahnya.
Pemantauan yang dilakukan antara lain adalah terkait dengan
penyebaran penyakit demam berdarah dan malaria, pemantauan jentik
nyamuk, Pemantauan kesehatan ibu dan anak, pemantauan masalah gizi,
pemantauan orang sakit, pemantauan kesehatan lingkungan, serta
pemantauan kewaspadaan dini permasalaham kesehatan masyarakat.
Jumantara dimaksudkan untuk mendorong kesiapan warga dan
peningkatan kapasitas warga serta kemauan warga untuk mencegah dan
mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan secara mandiri. Program ini telah dimulai sejak tahun 2006-2007
pengembangan Desa Siaga 100 % melalui perencanaan program Sistem Antar
Jaga (SIAGA), melibatkan 66 orang bidan diseluruh Kecamatan Se-KSB, Forum
Jumantara Kecamatan Se-KSB serta peran Kader secara bersama-sama
bergerak menyukseskan Desa SIAGA 100%. Keberhasilan pemerintah daerah
sumbawa barat dalam pengembangan desa siaga 100% dibuktikan dengan
berbagai penghargaan Desa Siaga 100%, antara lain ; Tahun 2007 berupa
penghargaan Swasti Saba Padapa (Kab/Kota Sehat Tingkat Pemantapan)
diberikan oleh Gubernur NTB, Swasti Saba Padapa (Kab/Kota Sehat) diberikan
oleh Menteri Kesehatan RI, Manggala Karya Bakti Husada Arutala diberikan
oleh Menteri Kesehatan RI. Tahun 2008 penghargaan Swasti Saba Padapa
(Kab/Kota Sehat) diberikan oleh Menteri Kesehatan RI, Manggala Karya Bakti
Husada Arutala diberikan oleh Menteri Kesehatan RI, Swasti Saba Wiwerda
diberikan oleh Gubernur NTB. Tahun 2009 penghargaan Swasti Saba Wiwerda
dari Presiden RI. Indikator keberhasilan lainnya adanya Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) yang bertugas mengembangkan Desa Siaga. Program dan
kegiatan dalam desa SIAGA, antara lain adalah ;
Tahun 2006
1. Pelayanan kesehatan gratis
2. Brigade Mobil pelayanan kesehatan masyarakat
3. Bulletin KSB Sehat
4. Bantuan rujukan Keluarga rawan
5. Aktualisasi seni dan informasi keluarga sehat bahagia
6. Pembentukan juru pemantau kesehatan masyarakat (Jumantara)
7. Program khsusus S1 Kesehatan Masyarakat, D-III Keperawatan dan D-
III Kebidanan
Tahun 2007
1. Brigade mobil wanita pelayanan kesehatan masyarakat sebagai wujud
partisiasi aktif Dharma Wanita Kesehatan
2. Penambahan 2 puskesmas yaitu puskemas tano dan brang ene
3. Peningkatan status Puskesmas Taliwang menjadi Puskesmas Perawatan
Plus, serta Pukesmas Seteluk dan Puskemas Maluk menjadi Puskesmas
Perawatan
Tahun 2008
1. Pemantapan 100% Desa siaga di kabupaten sumbawa barat
2. Pengadaan ambulance desa sebagai solusi alternatif transportasi
kesehatan masyarakat pedesaan
3. Pembentukan TFC (Therapiutic Feeding Center) untuk mnjawab
persoalan kasus gizi buruk
4. Pembangunan poskesdes
Tahun 2009
1. Pencanangan P4K Plus
2. Pembentukan PAM (Physical Asset Management Center)
3. Penetapan Eliminasi Malaria 2015 (lebih cepat 5 Tahun dari target
nasional)
4. Launching Rumah Tangga Sehat Berbasis Rukun Tetangga (RTS-BRT)
Tahun 2010
1. Ambulance Gratis
2. Pembangunan Puskesmas Tongo
4.2.4.2. Kelemahan dan Tantangan Program Jumantara
Persoalan ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan pelayanan
kesehatan masih menjadi tantangan dan kendala bagi Pemda KSB untuk
menjangkau pelayanan kesehatan bagi daerah-daerah terpencil. Penyediaan
program Brimob Yankesmas oleh Pemda KSB yang diperuntukkan bagi
masyarakat didaerah terpencil seperti Talonang, Rarak Ronges, Mataiyang
ataupun Desa Mantar, belum menunjukkan hasil yang significan. Intensitas
kunjungan Brimob Yankesmas ke daerah tersebut relatif masih rendah,
padahal pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Brimob Yankesmas
sangat membantu warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar yang
layak. Sementara fasilitas kesehatan berupa peralatan dan obat-obatan
diwilayah terpencil hanya dilengkapi dengan peralatan seadanya. Kelemahan
lainnya adalah, kurangnya ketersediaan tenaga kesehatan yang bertugas di
daerah terisolir, juga berdampak pada buruknya kualitas pelayanan kepada
masyarakat.Tentu akan sangat menyulitkan bagi pasien yang harus
mendapatkan pelayanan secara cepat dan tepat.
Jumlah Kunjungan Brimob-Yankesmas selama 5 Tahun (2006-2010)
Tahun Jumlah Daerah
2006 6 Kali Talonang, Rarak Ronges, Mataiyang, Mantar
2007 8 Kali SDA 2008 8 Kali SDA 2009 8 Kali SDA
2010/Mei 3 Kali SDA Total Kunjungan 33 Kali Sumber data: Edisi Khusus KSB Sehat tahun 2010
Persoalan lainnya adalah lemahnya sosialisasi terpadu seluruh program
pemerintah terhadap Ketua RT berdampak pada minimnya pemahaman Ketua
RT untuk menjalankan Program Desa Siaga atau Jumantara dilingkungan
warganya. Bahkan untuk memberikan pemahaman kepada warga lingkungan,
banyak RT yang belum untuk melakukan pemantauan karena minimnya upaya
penguatan kapasitas dan pemberdayaan dibidang kesehatan untuk para
pengurus RT.
4.2.4.3. Rekomendasi Arah Kebijakan Jumantara di masa mendatang
Dimasa mendatang perlu ada upaya antara lain adalah ; pertama, untuk
peningkatan kapasitas dan pendampingan secara intens, bukan hanya kepada
para Ketua RT melainkan pula kepada seluruh para Pengurus RT, sehingga
secara kelembagaan proses dan kinerja pemantauan kesehatan masyarakat,
bukan hanya dapat dilakukan oleh Ketua RT melainkan pula para pengurus
RT. Sehingga manakala para Ketua RT tidak dapat melaksanakan proses
pemantauan, maka ada pengurus RT lainnya yang dapat melakukan kerja
tersebut. Kedua, perlu ada koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa agar pelaksanaan program
SIAGA-Jumantara dapat terintegrasikan dengan PBRT. Ketiga, perlu ada
sistem informasi kesehatan yang terintegrasi, berjenjang dan sistematis
sebagai sarana untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan
kesehatan masyarakat secara dini dan tepat. Keempat, perlu ada peningkatan
optimalisasi dan akselerasi program kesehatan bagi daerah-daerah terpencil,
antara lain; adalah peningkatan pelayanan Brimob Yankes, peningkatan
ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah terpendil, peningkatan
ketersediaan obat-obatan bagi daerah terpencil. Kelima, perlu ada Indeks
Kepuasan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (IKM) dan standar pelayanan
kesehatan masyarakat (SPM) yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan
pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat.
4.2.4. Pemberdayaan Sarjana Mengganggur Melalui Pemberdayaan
sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat
4.2.4.1. Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran KPM
Program ini bertujuan untuk mendorong agar para sarjana yang masih
menganggur yang ada di masing-masing desa dapat produktif untuk
memajukan desa/kelurahannya melalui pemberdayaan masyarakat. Program
ini sekaligus dimaksudkan pula untuk membuka peluang dan kesempatan bagi
para sarjana untuk bekerja—mengabdikan dirinya kepada masyarakat untuk
mensejahterakan dan memajukan desa/kelurahannya. Pada awal Program
Pemerintah Daerah (tahun 2007) telah merekrut sebanyak 44 Desa/Kelurahan,
mereka ditempatkan di masing-masing desa sebagai Pendamping Program
PBRT.
Para Pendamping RT ini pada awalnya disebut dengan Tenaga Kerja
Sukarela Terdidik (TSKT) dan kemudian seiring dengan berlakunya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan
Masyaraat, TKST berubah menjadi KPM. Peran dan fungsi utama KPM adalah
melakukan proses pendampingan PBRT, khususnya pemberdayaan bagi
masyarakat miskin, antara lain ; (a) merancang program perbaikan kehidupan
sosial ekonomi, politik dan budaya masyarakat (b) memobilisasi sumber daya
setempat (c) memecahkan masalah sosial, ekonomi dan politik yang ada di
masyarakat (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat miskin dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang
relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat dalam PBRT.
KPM sebagai fasilitator diharapkan mampu untuk memberikan motivasi,
kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat miskin, seperti melakukan
mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama,
serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber yang ada. KPM
sebagai Pendidik diharpkan dapat memberikan masukan positif dan direktif
berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan
pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya,
membangkitkan kesadaran, menyampaikan informasi, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dan beberapa tugas lainnya yang
berkaitan dengan peran sebagai pendidik.
KPM sebagai Perwakilan masyarakat diharapkan dapat berperan
memfasilitasi terjadinya proses interaksi antara pendamping dengan lembaga-
lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat
dampingannya, mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan,
menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun
jaringan kerja. Singkatnya, dalam PBRT, KPM iharapkan mampu sebagai
‘manajer perubahan” yang mampu ;
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat miskin berkembang secara optimal. Kehadiran TKST
diharapkan mampu untuk membebaskan masyarakat miskin dari sekat-
sekat kultural dan struktural yang menghambat.
2. Memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat
miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Peran TKST dalam kerangka ini adalah mendorong
adanya tumbuh dan berkembangnya segenap kemampuan dan
kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian
mereka.
3. Melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak
tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang
tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan
mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok
lemah atau singkatnya menghapus segala jenis diskriminasi dan
dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4. Memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu
menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. TKST berperan
untuk menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh ke dalam
keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
5. Memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan
distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Dalam konteks ini TKST harus dapat mendorong adanya keselarasan
dan keseimbangan yang menjamin dan memungkinkan setiap orang
memperoleh kesempatan berusaha.
Adapun tugas dari TKST dalam PBRT diantaranya, adalah ;
1. Melakukan penguatan kapasitas baik secara individu maupun
kelembagaan kepada Ketua RT, Pemerintah dan Perangkat Desa, dan
warga setempat melalui pendidikan/pelatihan, diskusi komunitas,
pengembangan media informasi dan lainnya agar masyarakat memiliki
kemampuan dalam proses pembangunan ;
2. Memfasilitasi proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi pembangunan secara partisipatif yang dimulai dari tingkat RT
hingga desa secara periodik dan berkelanjutan ;
3. Merumuskan dan mendorong Sistem Informasi Orang Susah (SIOS)
yang efektif dan menemukan metode yang efektif untuk dikembangkan
di tingkat komunitas ;
4. Melakukan pendataan dan updating kependudukan secara rinci dan
melakukan analisis atas data tersebut, serta merumuskannya dalam
rencana pengembangan pembangunan RT ;
5. Memperkuat upaya peningkatan kesehatan masyarakat dengan cara
membantu dan bekerjasama dengan seluruh tenaga media baik di
tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten ;
6. Mendorong partisipasi warga untuk mewujudkan upaya pengembangan
gerakan sejuta pohon melalui pendidikan kesadaran lingkungan,
pemantauan lingkungan dan pengembangan kemitraan dengan pihak
lain ;
7. Merumuskan potensi pembangunan dimasing-masing RT, termasuk
potensi home indutsri ditiap RT yang dapat dikembangkan dimasa
mendatang ;
8. Meningkatkan kesadaran pendidikan formal maupun informal untuk
mendukung proses percepatan peningkatan Sumber Daya Manusia di
KSB melalui pengembangan pendidikan.
9. Mengkooordinasikan , menisnergiskan dan mengintegrasikan seluruh
sektor pembangunan yang ada di masing
dalam program pembangunan RT
10. Mendorong peran serta masyarakat dalam proses pembangunan mulai
dari tingkat RT,
11. Menyampikan laporan secara periodik perkembangan keadaan dan
siatusi dimasing
updating dan analisis data secara sistematis dan berkelanjutan.
12. dan tugas lainnya.
4.2.4.2.Kelemahan dan tantangan
Berdasarkan hasil studi menemukan
pendampingan PBRT masih sangat lemah, bahkan dari hasil survey terkait
dengan kepuasan masyarakat
ketidakpuasan masya
melakukan proses pendampingan PBRT. Berikut tabel hasil survey tingkat
kepuasan masyarakat atas kinerja KPM
Sumber : Data diolah dari hasil survey LEGITIMID KSB 2010dilakukan secara acak pada 8 kecamatan
Kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat atas kinerja KPM dalam
melakukan proses pemberdayaan masyarakat dan proses pendampingan pada
Program PBRT ini antara lain adalah terkait d
TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT ATAS KINERJA KPM
Sangat Puas
Tidak Puas
Tidak menjawab
Mengkooordinasikan , menisnergiskan dan mengintegrasikan seluruh
sektor pembangunan yang ada di masing-masing RT untuk dirumuskan
dalam program pembangunan RT
Mendorong peran serta masyarakat dalam proses pembangunan mulai
dari tingkat RT, RW, Dusun, Desa dan seterusnya.
Menyampikan laporan secara periodik perkembangan keadaan dan
siatusi dimasing-masing RT yang ada disetiap desa serta melakukan
updating dan analisis data secara sistematis dan berkelanjutan.
dan tugas lainnya.
Kelemahan dan tantangan Kinerja KPM
Berdasarkan hasil studi menemukan kinerja KPM dalam proses
pendampingan PBRT masih sangat lemah, bahkan dari hasil survey terkait
masyarakat atas kinerja KPM menunjukkan
masyarakat atas kinerja yang dilakukan oleh KPM dalam
melakukan proses pendampingan PBRT. Berikut tabel hasil survey tingkat
kepuasan masyarakat atas kinerja KPM.
Sumber : Data diolah dari hasil survey LEGITIMID KSB 2010. Jumlah reponden 250. Metode sampling dilakukan secara acak pada 8 kecamatan
Kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat atas kinerja KPM dalam
melakukan proses pemberdayaan masyarakat dan proses pendampingan pada
Program PBRT ini antara lain adalah terkait dengan ; (1). Inisiasi dan
10; (4%) 12;( 5%
41; (16%)
65; (26%)85; (34%)
35; (14%) 2; (1%)
TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT ATAS KINERJA KPM
DALAM PBRT
Sangat Puas Puas Cukup Puas
Tidak Puas Mengecewakan Sangat Mengecewakan
Tidak menjawab
Mengkooordinasikan , menisnergiskan dan mengintegrasikan seluruh
masing RT untuk dirumuskan
Mendorong peran serta masyarakat dalam proses pembangunan mulai
Menyampikan laporan secara periodik perkembangan keadaan dan
masing RT yang ada disetiap desa serta melakukan
updating dan analisis data secara sistematis dan berkelanjutan.
kinerja KPM dalam proses
pendampingan PBRT masih sangat lemah, bahkan dari hasil survey terkait
atas kinerja KPM menunjukkan kekecewaan dan
rakat atas kinerja yang dilakukan oleh KPM dalam
melakukan proses pendampingan PBRT. Berikut tabel hasil survey tingkat
Jumlah reponden 250. Metode sampling
Kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat atas kinerja KPM dalam
melakukan proses pemberdayaan masyarakat dan proses pendampingan pada
engan ; (1). Inisiasi dan
5%)
TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT ATAS KINERJA KPM
Sangat Mengecewakan
kretaifitas KPM dalam melakukan pendampingan PBRT. Sebagian besar Para
Ketua RT menegeluhkan KPM karena inisiatif KPM dan kreatifitas KPM yang
rendah dalam menginisiasi berbagai ide/gagasan program/kegiatan, termasuk
mengekseskuis program/kegiatan yang seringkali meninggu atau pasif, bahkan
di beberapa desa ditemukan KPM seringkali tidak berada di tempat untuk
melaksanakan program/kegiatan. Padahal, menurut masyarakat seyogyanya
KPM berada terdepan pada setiap program/kegiatan PBRT. Seperti misalnya,
dalam kegiatan gotong royong yang ada di lingkungan RT/Desa/Kelurahan,
maupun kegiatan lainnya seperti ; Musyawarah RT. (2) KPM tidak melakukan
sosialiasikan program PBRT kepada masyarakat, dan kurang mampu
memahami program PBRT, bahkan interaksi dan beritengrasi KPM dengan
masyarakat sangat rendah sehingga selain masyarakat tidak memahami
agenda kegiatan tahunan PBRT, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui keberadaan dan peran KPM dalam PBRT (3). Tidak ada proses
pemetaan sosial dan pendampingan sosial yang dilakukan oleh para KPM
secara intens kepada masyarakat yang merupakan wilayah dampingannya,
sehingga data dan informasi yang komperehensif mengenai perkembangan
situasi dan kondisi ekonomi, sosial, politik-budaya tidak terupdating, bahkan
banyak yang tidak tersedia di masing-masing lingkungan RT.
Dari hasil wawancara dengan sejumlah KPM mengatakan bahwa
lemahnya kinerja KPM dalam pelaksanaan PBRT selama ini dikarenakan antara
lain ; pertama, keterbatasan kapasitas KPM dalam memahami PBRT secara
komprehensif, termasuk target dan capaian tahunan dari PBRT itu sendiri
karena tidak adanya target capaian dan indikator yang jelas mengenai
keberhasilan PBRT, dari beberapa kegiatan yang ditetapkan Pemerintah
Daerah dalam hal ini Badan Pemeberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa cenderung menoton. Tidak jelas apa yang harus kami kerjakan dalam
pendampingan, apa yang perlu kami dampingi? Apa tujuan dan sasarannya?
Bagaimana strateginya dan sebagainya. Termasuk juklak maupun juknik
kegiatan pendampingan yang hingga saat ini belum tersedia, hanya juklak dan
juknik mengenai rehab rumah dan itupun dalam juklak dan juknis tersebut,
peran KPM lebih sebatas pada monitoring karena yang mengelola adalah para
Kepala Desa. Kedua, rendahnya penguatan kapasitas, seperti menyangkut
peningkatan keahlian KPM dalam memahami dan menggunakan berbagai
metodelogi dalam pemberdayaan masyarakat, semestinya KPM diberikan
pemahaman dan keahlian mengenai antara lain misalnya ; metode PRA, RRA,
ZOPP, SWOT, Wealth Rangking Poor dan sebagainya. Ketiga, selama ini proses
pengawasan terhadap KPM juga lemah, tidak ada yang mengawasi kinerja
KPM dilapangan, termasuk dalam konteks ini adalah akuntabilitas KPM—
selama ini KPM hanya memberikan laporan kepada BPM dan berdasarkan
laporan itu KPM memperoleh gaji, isntrumen penilaian atas prestasi dan
kinerja KPM pun ternyata tidak cukup tersedia. Sehingga KPM dapat saja
membuat laporan fiktif dan sebagainya. Keempat, pekerjaan sebagai
pendamping PBRT lebih bersifat “sampingan” atau bukan pekerjaan utama,
karena tidak cukup jika mengandalkan dari honorarium KPM untuk menutupi
biaya kehidupan. Kelima, tidak ada regulasi yang jelas yang mengatur
bagaimana kedudukan, tugas dan fungsi KPM dalam PBRT, termasuk sanksi
yang tegas terhadap KPM yang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya
dengan baik.
Banyak KPM yang kemudian lebih memilih sebagai pelaksana program
PNPM atau menjadi CO pada program Comdev PT.NNT karena dinilai lebih
menjanjikan dari sisi fiskal atau pada akhirnya memilih pekerjaan lainnya.
Tantangan inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam rangka
pemberdayaan KPM dalam PBRT.
4.2.4.3. Rekomendasi Arah Kebijakan Pengembangan KPM di masa
mendatang
Mengacu pada permasalahan, kelemahan dan tantangan di atas maka
dimasa mendatang perlu ada reformulasi kebijakan antara lain adalah terkait
dengan ; pertama, agenda program pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat, perlu ada rumusan kerangka kerja yang jelas mengenai materi
maupun metode pendampingan yang akan dilakukan, termasuk ukuran
mengenai target dan capaian keberhasilan program. Kedua adalah
menyangkut metode peningkatan kapasitas KPM, perlu ada pendidikan dan
pelatihan khusus mengenai berbagai metodelogi dalam pemberdayaan
masyarakat, termasuk dalam konsteks ini adalah pemahaman yang
komprehensif mengenai program PBRT kepada para KPM. Ketiga, perlu ada
formulasi kebijakan baru mengenai sistem atau mekanisme pengawasan dan
pelaporan maupun penilaian atas prestasi dan kinerja KPM, termasuk dalam
konteks ini adalah penerapan sistem reward and punishment terhadap KPM
yang lebih jelas dan tegas. Keempat, perlu ada regulasi baik berupa peraturan
maupun juklak dan juknis terkait dengan berbagai kegiatan sebagai kerangka
pedoman bagi para KPM dalam melaksanakan kegiatan.
4.2.5. Sistem Informasi Orang Susah (SIOS)
4.2.5.1. Latar belakang, Tujuan dan sasaran SIOS
Dalam rangka meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kesetaraan
dalam proses pembangunan yang lebih baik bagi masyarakat miskin/orang
susah, serta untuk mengoptimalkan sasaran program pembangunan agar
dapat berbasis/mengarah pada kebutuhan bagi kebutuhan masyarakat miskin
maka Pemerintah Daerah memerlukan adanya ketersediaan data dan informasi
yang akurat dan tepat mengenai keberadaan warga miskin yang ada di KSB.
Program dan kegiatan ini sesungguhnya dilatarbelakangi dari maraknya
persoalan terkait program pengentasan kemiskinan yang selama ini banyak
dan diperuntukkan bagi warga miskin, namun penerima manfaat atau sasaran
program tidak tepat, justeru yang memperoleh manfaat adalah kelompok
masyarakat yang mampu. Salah satu fakta dan pembalajaran penting yang
ditarik Pemerintah Daerah KSB adalah dalam kasus BLT-BBM pada tahun
2006.
Data dan informasi mengenai warga miskin, termasuk ukuran dan
keberadaan dari warga miskin selama ini ternyata berbeda-beda, data yang
digunakan atau dimiliki BPS terkadang berbeda dengan Dinas, Kesehatan,
Dinas Kependudukan, Bappeda dan sebagainya, kategori dan standar
mengenai klafisikasi warga miskin seringkali berbeda-beda dan celakanya
seringkali pula dimana keberadaan warga miskin itu sering tidak tersedia data
dan informasinya secara lengkap. Sehingga menyulitkan Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan program dan kegiatan pengentasan kemiskinan.
Beranjak dari permasalahan diatas, maka pada tahun 2007 Pemerintah
Daerah KSB menggagas sebuah program/kegiatan yang dikenal dengan SIOS
(Sistem Informasi Orang Susah). Pendataan mengenai warga miskin dilakukan
oleh RT karena RT diasumsikan sebagai pihak yang paling mengetahui atau
memahami keberadaan, situasi dan kondisi setiap warga yang ada
dilingkungannya. Melalui pendataan yang dilakukan oleh RT diharapkan data
dan informasi yang diperoleh akan lebih akurat/valid dan dapat lebih obyektif
dalam menilai warga miskin yang ada dilingkungannya, RT juga diasumsikan
sebagai pihak yang paling mengetahui tingkat perkembangan kondisi ekonomi-
sosial masyarakat dilingkungannya, sehingga updating terhadap
perkembangan kemiskinan yang ada dilingkungannya dapat diketahui secara
cepat dan tepat. Berikut ini bagan alur pengumpulan dan pengolahan data :
Sumber : Konsep Paper SIOS, Legitimid KSB 2007
4.2.5.2. Keberhasilan Pelaksanaan Program SIOS
Pada tahun 2007, Pemerintah Daerah (BPM) bekerjasama dengan
Forum LSM telah melakukan kerjasama dalam melakukan pendataan. Peran
forum LSM dalam proses pendataan adalah melakukan entry terhadap seluruh
Ketua RT
Kecamatan
Pemerintah
Desa
BKKBN
Kependudukan
dan Catatan Sipil
Perencanaan
Kebijakan dan
Pembangunan Daerah
dan Nasional
BPS
PDE- BAPPEDA
Pusat Informasi
Kependudukan
data dan informasi yang diperoleh dari RT yang didampingi TKST. Data dan
informasi tersebut berhasil dikumpulkan, meskipun belum cukup
komprehensif. Namun demikian inisiasi awal ini telah menjadi inspirasi dan
pembelajaran penting bagi semua pihak bahwa data dan informasi mengenai
kemiskinan dan warga miskin sangat penting untuk mendorong program-
program dan kegiatan pembangunan lebih terarah pada kelompok warga
miskin. Sehingga program dapat dirasakan langsung dapat bermanfaat bagi
warga miskin.
4.2.5.3. Kelemahan dan Tantangan SIOS
Pengembangan program Sistem Informasi Orang Sudah (SIOS) berbasis
RT ternyata tidak berjalan secara berksinambungan. Proses updating atau
pemutakhiran data mengenai perkembangan kemiskinan dan warga miskin di
masing-masing lingkungan ternyata tidak berjalan secara intens. Pengurus RT
maupun KPM yang diharapkan dapat berperan aktif untuk melakukan
pemantauan dan pendataan ternyata tidak berjalan, bahkan kemiskinan data
dan informasi kembali terjadi. Harapan adanya data dan informasi yang
lengkap dan akurat yang dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan
perencanaan, kebijakan, program dan anggaran yang berpihak kepada warga
miskin dan terfokus pada upaya percepatan pengentasan kemiskinan di
masing-masing lingkungan pada akhirnya tidak berjalan efektif.
Dari hasil studi menemukan adanya beberapa permasalahan sekaligus
merupakan kelemahan, antara lain adalah ; pertama, tidak adanya juklak dan
juknis yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para RT maupun KPM
untuk melakukan pendataan kemiskinan dan warga miskin, disisilain
peningkatan kapasitas terkait dengan pendataan dan pengembangan sistem
SIOS sangatlah minim, bahkan sejauh ini tidak ada kesepahaman bersama
mengenai konsepsi SIOS secara bersama-sama. Kedua, belum adanya
supervisi dari pemerintahan desa maupun kecamatan secara intens untuk
mendorong KPM maupun RT untuk melakukan pendataan. Sementara dari
presfektif Para Pengurus RT terindetifikasi beberapa permasalahan dan
kendala, yakni ; (1) ketersediaan waktu para Ketua RT untuk melaksanakan
proses pendataan karena begitu banyaknya jenis kegiatan yang meski harus
dilaksanakan oleh Ketua RT, seperti dalam Jumantara—RT juga melakukan
pemantauan dan pendataan. (2). Kurangnya bimbingan dan arahan yang
diberikan oleh RT, bahkan KPM yang diharapkan dapat membantu dan
menginisiasi proses pendataan sama sekali tidak berjalan. (3). Rendahnya
kapasitas para pengurus RT, dibeberapa RT masih ada yang tidak memilki
kemampuan untuk menbaca dan menulis.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah KSB berinisiatif untuk melakukan
inovasi dalam rangka memacu perkembangan pembangunan daerah. Namun,
tidak dipungkiri upaya untuk mewujudkan inovasi tersebut bukanlah hal yang
mudah, terlebih lagi langkah tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali
baru diterapkan di Indonesia, maka konsekuensinya tentu Pemerintah Daerah
dihadapkan pada tuntutan realisasi atas ide/gagasan kearah yang lebih
operasional untuk dapat diterapkan. Inovasi penerapan Sistem Informasi
Orang Susah atau dikenal dengan SIOS tentu juga akan berdampak pada
perubahan peran kelembagaan kemasyaratan, khususnya Rukun Tetangga
(RT) yang akan semakin besar dan dalam konteks itupula persoalan
kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola data berbasis RT menjadi
salah satu komponen penting dalam mencapai SIOS yang efektif, efisien dan
berkesinambungan.
4.2.5.4. Rekomendasi Arah Kebijakan Pengembangan SIOS
Untuk mewujudkan Sistem Informasi Orang Susah (SIOS) yang akurat
dan komprehensif serta dapat digunakan sebagai bahan dalam pengembangan
kebijakan daerah, maka dibutuhkan adanya ketersediaan instrumen yang
memadai, seperti petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis mengenai SIOS
yang dapat digunakan sebagai pedoman teknis bagi KPM maupun para RT
untuk melakukan pendataan warga miskin di masing-masing lingkungan RT,
serta upaya peningkatan kapasitas RT, baik melalui proses pendidikan dan
pelatihan maupun proses pendampingan. Pemerintah daerah perlu
mendorong para KPM yang ada di masing-masing desa untuk melakukan
proses pendataan—sebagai bagian dari agenda kerja rutin KPM, keahlian KPM
khususnya terkait dengan metode pemetaan kemiskinan dan warga miskin
(Poor Wealth Rangking) perlu untuk diberikan agar proses pendataan berjalan
secara partisipatif. Kedua, perlu ada upaya untuk melakukan pengolahan dan
analisis data secara intens, termasuk dokumentasi data dan informasi serta
pengembangan informasi. Data dan informasi mengenai kemiskinan dan
warga miskin serta perkembangannya harus didokumentasikan dan
dipublikasikan oleh masing-masing desa/kelurahan—bahkan jika
memungkinkan adalah dengan tehnologi e-goverment mengingat saat ini di
hampir semua desa/kelurahan di KSB telah tersedia komputer—maka
dokumentasi komputerisasi dan jaringan informasi (internet) dapat digunakan
sebagai sarana untuk pengembangan jaringan informasi, sehingga data dan
informasi tersebut dapat diakses mulai dari tingkat desa/kelurahan maupun
kabupaten secara cepat dan akurat. Ketiga, perlu ada sistem pengawasan dan
evaluasi yang kuat terhadap proses pendataan kemiskinan dan warga miskin
yang berlangsung, pemerintah desa, kecamatan perlu melakukan pemantauan
dan memberikan tehnical asistensi kepada para RT dalam proses pendataan,
disamping turut mendorong adanya partisipasi warga untuk terlibat secara
langsung dalam proses pendataan. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pendataan penduduk dapat dilakukan dalam bentuk penyampaian data dan
informasi mengenai keadaan ekonomi (kemiskinan) yang dialami kepada RT
baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam arti masyarakat tidak mesti
harus menunggu pendataan RT/KPM. Keempat, perlu ada peningkatan
koordinasi antar SKPD, khususnya terkait dengan pendataan, sehingga proses
pendataan tidak berjalan sektoral, misalnya terkait dengan program Jumantara
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Program pendataan penduduk dan
pemilih yang dilakukan oleh KPU, program pendataan yang dilakukan oleh BPS
dan sejumlah instansi lainnya. Berbagai kegiatan tersebut perlu untuk
diintegrasikan menjadi satu kesatuan, sehingga proses pendataan dapat
dilakukan secara komprehensif, dan tidak menimbulkan beban bagi
pemerintahan desa/kelurahan maupun RT setempat. Hal ini dimaksudkan pula
untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran data maupun tumpang tindih
data, akibat perbedaan materi, indikator, nilai maupun strategy yang
digunakan berbeda. Sehingga sistem SIOS yang diharapkan menjadi semakin
sulit untuk diwujudkan, karena proses pendataan dilakukan yang berlangsung
sebelum adanya PBRT dengan setelah adanya PBRT tidak ada perubahannya.
4.3. ISSUE PERMASALAHAN, FAKTOR PENDORONG DAN
PENGHAMBAT PBRT
Pada bagian ini akan dibahas mengenai berbagai issue permasalahan
maupun keberhasilan yang berkembang dalam PBRT dan akan dilakukan
identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor pendorong keberhasilan
maupun faktor penghambat/kelemahan maupun tantangan dalam pelaksanaan
PBRT. Issue permasalahan ini dilakukan secara umum atas program PBRT,
karena analsisi terhadap PBRT berdasarkan atas program/kegiatan telah
dilakukan pada bagian sebelumnya.
4.3.1. Ketercapaian tujuan PBRT secara umum
Dalam rangka menjamin dan mencapai tujuan pembangunan dan
proses pembangunan dapat berjalan efektif, efisien dan produktif, Pemerintah
daerah Kabupaten Sumbawa Barat telah menyadari akan pentingnya
partisipasi aktif seluruh unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan,
perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
pembangunan kebijakan PBRT sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah
Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Pembangunan Berbasis Rukun tetangga
berusaha meletakkan instrumen partisipasi masyarakat sebagai kekuatan
pendorong perubahan sekaligus sebagai sarana untuk untuk mewujudkan
terciptanya, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, dalam implementasinya wadah partisipasi dan akses informasi
masyarakat dalam proses pembangunan masih berada dan hanya pada tingkat
RT, sementara ruang (wadah) partisipasi dan akses informasi pembangunan
pada level yang lebih tinggi, seperti dalam musyawarah perencanaan
pembangunan daerah (Musrenbangkab) dan pembahasan APBD belum
tersedia. Artinya dari sisi ketercapaian pengembangan partisipasi masyarakat
berupa wadah dan tingkat partisipasi warga masih sebatas pada ranah RT dan
partisipasi tersebut baru sebatas penyampaian aspirasi masyarakat.
Dalam konteks partisipasi masyarakat yang lebih tinggi seperti dalam
perumusan kebijakan APBD maupun regulasi daerah, Proses pelibatan warga
dalam Musrenbang Kabupaten masih hanya diperuntukkan bagi para tokoh
masyarakat, tokoh agama, LSM, wartawan dan sebagainya, tidak tersedia
wadah partisipasi yang menjamin hak-hak bagi warga miskin untuk terlibat
secara langsung dalam musrenbang dan dapat mempengaruhi kebijakan
tersebut.
Begitupun terkait dengan capaian keberhasilan dalam tingkat
akomodasi usulan masyarakat sebagai basis kebijakan ternyata masih
sangatlah rendah. Karena hasil-hasil musyawarah di tingkat RT dalam
Musrenbangkab dan pembahasan APBD belum cukup dapat diakomodir oleh
eksekutif maupun legislatif. Bahkan, kecendrungan yang muncul program dan
kegiatan pembangunan yang teralokasi dalam APBD masih bersifat “elitis” dan
cenderung hanya mengakomodasikan kebutuhan dan kepentingan kekuatan
elite atau dengan kata lain belum berbasis pada hasil-hasil musyawarah warga
RT dan mengarah pada upaya pencapaian percepatan pengentasan
kemiskinan di lingkungan RT. Dominasi kepentingan elit dan “politis” para
anggota DPRD masih cukup besar dalam menentukan APBD, dan DPRD masih
cenderung untuk mengkedepankan kepentingan dan kebutuhan para
konstituennya, bukan kebutuhan warga miskin.
Persoalan inilah yang menyebabkan tingkat partisipasi warga semakin
rendah, bahkan saat ini semakin berkembang sikap apatisme masyarakat
miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan RT, karena
musyawarah perencanaan pembangunan RT yang dilaksanakan selama ini
ternyata tidak diakomodir dalam kebijakan APBD. Menurunnya gerak
partisipasi warga miskin dalam PBRT belakangan ini ternyata berdampak besar
bagi keberhasilan pelaksanaan PBRT. Bahkan menjadi ancaman dan tantangan
besar bagi Pemerintah Daerah di masa mendatang.
Secara yuridis, sesungguhnya telah ada kemajuan karena Pemerintah
Daerah telah menjamin dan menyediakan wadah bagi partisipasi warga miskin
dengan lahirnya Perda PBRT No.27 Tahun 2008 tentang Pembangunan
Berbasis RT. Namun, sejauh ini ternyata Perda tersebut belum mampu untuk
menjangkau dan menjamin keterlibatan masyarakat miskin dalam proses
penyusunan kebijakan (perdaturan daerah) maupun APBD daerah.
Rendahnya komitmen dan politicall will DPRD untuk membuka ruang
partisipasi warga miskin dalam proses penyusunan kebijakan menjadi
tantangan dan ancaman bagi warga miskin untuk dapat berpartisipasi. Dan
hingga saat ini sebagian besar anggota DPRD masih beranggapan bahwa
penyusunan kebijakan Peraturan daerah, termasuk APBD adalah hanya ruang
kekuasaan DPRD dan Eksekutif. Masyarakat tidak perlu dilibatkan karena
sebagian besar anggota DPRD beranggapan bahwa kepentingan dan
kebutuhan masyarakat, termasuk masyarakat miskin telah direpresentasikan
dan diagregasikan oleh DPRD bahkan beberapa anggota DPRD menilai
pelaibatan masyarakat akan menghambat proses pembahasan APBD di DPRD
dan keberadaan warga miskin tidaklah signifikan dalam formulasi kebijakan
APBD karena warga miskin itu sendiri tidak memiliki kapasitas untuk
menganalisis APBD.
Semangat, tujuan dan nilai-nilai dari PBRT untuk merangsang dan
membangkitkan partisipasi masyarakat dari tingkat yang paling bawah (RT)—
sekaligus sebagai sarana pengembangan dan pembelajaran bagi partisipasi
warga untuk dapat belajar menyuarakan kepentingannya dalam kebijakan
sebagaimana yang diamanahkan dalam tujuan PBRT yang telah tertuang
dalam Perda No. 27 Tahun 2008 tentang Pembangunan Berbasis RT ;
1. Memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembangunan
2. Mempercepat tercapainya tujuan pembangunan pada segala
bidang kehidupan
3. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
4. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan
masukan dalam pelaksanaan pembangunan
5. Mencapai hasil pembangunan yang mengutamakan kesejahteraan
umum dan tepat sasaran
6. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Tujuan PBRT tersebut ternyata belum dipahami oleh sebagian besar
anggota DPRD. Kondisi ini dalam perkembangannya berdampak pula terhadap
minimnya dukungan DPRD terhadap program dan anggaran untuk PBRT.
Ketercapaian tujuan PBRT dilihat dari sisi keberhasilan dalam
memajukan dan memandirikan RT. Dilihat dari aspek ini, belum banyak RT
yang dapat mandiri dan mampu melaksankan program PBRT sesuai dengan
harapan, bahkan masih banyak anggota DPRD yang belum memahami
semangat, tujuan, program dan kegiatan dari PBRT, sehingga kinerja
kelembagaan RT dinilai masyarakat belum cukup memuaskan. Dilapangan
ditemukan sebagian besar RT masih “mengeluhkan” justeru dengan PBRT saat
ini beban dan tanggung jawab RT dan warga dirasakan semakin berat karena
berbagai kegiatan yang “dilimpahkan” dari atas ke lingkungan RT terkadang
tidak dibarengi dengan dukungan juklak-juknis, anggaran, tehnical asistensi
dan sebagainya yang memadai sehingga menyulitkan RT dalam melaksanakan
tugas tersebut. Pola pendekatan program yang diharapkan berubah dari pola
top down menjadi buttum-up ternyta belum banyak mengalami pergeseran,
begitupun dengan orientasi dan keberpihakan program pembangunan daerah
kearah pengentasan kemiskinan dan kelompok warga miskin belum banyak
mengalami perubahan. Sejauh ini, belum banyak program dan kegiatan PBRT
yang memang betul-betul lahir dari inspirasi dan kebutuhan/keinginan para RT
bersama warga lingkungannya, menurut masyarakat, khususnya para
pengurus RT mengatakan bahwa proses PBRT masih top down sehingga
tidaklah mengherakan jika banyak program dan kegiatan yang dilaksanakan
dalam PBRT seringkali tidak seiring atau sejalan dengan hasil musyawarah
perencanaan di tingkat RT.
Ketercapaian tujuan pemenuhan kebutuhan dasar. Dilihat dari sisi
ketercapaian tujuan PBRT dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga
masyarakat. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa beberapa program
dalam PBRT, seperti rehab rumah, bantuan dana stimulan untuk RT, dinilai
cukup baik dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun, demikian
masyarakat menilai belum banyak program pembangunan daerah yang
langsung menyentuh pada warga miskin atau dinilai masih sangat minim.
Masyarakat sesungguhnya berharap pada lima tahun kedepan, Pemerintah
daerah dapat lebih banyak mengorientasikan pembangunannya pada upaya
percepatan pengentasan kemiskinan, dari sisi kuantitas program diharapkan
akan lahir program-program inovatif yang lebih berpihak kepada masyarakat
dan diharapkan pula dimasa mendatang sasaran kelompok penerima program
difokuskan pada kelompok masyarakat miskin yang berada didesa/kelurahan.
Disamping itu kedepan masyarakat sangat berharap, media atau
wadah musyawarah pembangunan di tingkat RT dapat dijadikan sebagai
dasar dalam pertimbangan perumusan kebijakan dan program PBRT, hasil-
hasil musyawarah RT sebagai inisiasi dari bawah (buttom up) dapat
diakomodir dan disinergiskan dengan perencanaan pembangunan dari daerah
yang bersifat teknoratis. Sehingga, masyarakat merasakan bahwa apa yang
telah diinisiasi tersebut bukanlah merupakan pekerjaan yang sia-sia belaka.
4.3.2.Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi PBRT
Dari hasil identifikasi dan analisis ditemukan bebarapa faktor-faktor
pendorong ataupun faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan keberhasilan
pelaksanaan PBRT. Dari hasil identifikasi LEGITIMID KSB tentang identifikasi
beberapa faktor-faktor pendukung PBRT, terungkap antara lai sebagai berikut:
a. Adanya dukungan masyarakat dan good will pemda untuk
menginisiasi inovasi pola pengembangan partisipasi, transparansi
dan akuntbilitas pembangun daerah.
b. Adanya semangat perubahan sebagai Kabupaten baru yang
merupakan potensi sekaligus modal sosial bagi pemerintah
daerah untuk melakukan perubahan.
c. Visi dan misi pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJM
KSB sebagai Kabupaten Percontohan di NTB menjadi motivasi
Pemerintah dan sluruh lapisan masyarakat untuk berkreasi
melakukan inovasi pembangunan daerah.
d. Adanya keinginan kuat dan semangat kebersamaan untuk
membangun KSB sebagai kabupaten baru untuk mengejar
ketertinggalannya dengan kabupaten/kota lainnya di NTB
menjadi modal sosial untuk membangun motivasi masyarakat
dalam PBRT;
e. Adanya pelibatan para pihak pemangku kepentingan dalam
program PBRT dari semua unsur/ranah civil society (pemerintah,
swasta, masyaraat/LSM, perguruan tinggi, dan mass media)
yang terpadu dalam koordinasi perumusan, pernecanaan,
operasioanalisasi dan monitoring dan evaluasi partisipatif secara
berkala.
f. Pemda dan DPRD KSB berkomitmen untuk mendukung
pengalokasian dari semua tahapan kegiatan dan rencana
implementasi dari PBRT untuk dialokasikan dalam APBD secara
berkelanjutan sejak TA 2007 yang diintegrasikan dalam kegiatan
SKPD terkait;
4.3.3.Faktor-faktor Penghambat/kelemahan Implementasi PBRT
Adapun yang menjadi beberapa kelemahan sekaligus menjadi faktor
penghambat dari pelaksanaan PBRT antara lain adalah :
a. Belum adanya pemahaman bersama mengenai Konsep
Pembangunan Berbasis RT. Secara umum Konsep pembangunan
berbasis RT dan beberapa regulasi yang mendukung PBRT telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah KSB, akan tetapi tingkat
pemahaman terhadap konsep PBRT secara komprehensif,
sistematis dan mendalam belum sepenuhnya dapat dipahami
oleh para pelaku atau aktor pembangunan di daerah
(stakeholders), bahkan antar SKPD terkadang masih mengalami
silang pendapatan mengenai PBRT. Akibat kurangnya
pemahaman terhadap konsep pembangunan berbasis RT,
ternyata telah melahirkan dua masalah utama ; (1) program
tidak dapat berjalan sesuai dengan gagasan atau inisiasi awal
program pembangunan berbasis RT, antar stakeholders
pembangunan kesulitan dalam membangun sinergitas kegiatan.
(2) tidak jelasnya tahapan pelaksanaan program dan kegiatan,
sinergisitas program tidak berjalan maksimal dan tahapan
program berjalan kurang sistematis, terarah, terpadu serta
terukur. Sehingga keberhasilan program pun semakin sulit untuk
dapat diukur. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya master plann
atau grand design program pembangunan berbasis rukun
tetangga untuk lima tahun kedepan sebagai kerangka pedoman
penyelenggaraan PBRT, antara lain mengenai visi, misi dan
program PBRT lima tahun kedepan, kerangka design
pengembangan program SIOS (Sistem Informasi Orang Susah).
Model pendampingan masyarakat dan peran KPM dan RT serta
kerangka program lainnya.
b. Masih lemahnya Impementasi Perda No 27 Tahun 2008 Tentang
Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga. Lemahnya
implementasi Perda ini disebabkan karena subtansi perda belum
diketahui dan pahami oleh para pelaku PBRT, khususnya
Pengurus RT, KPM dan Pemerintah desa/kelurahan. Disamping
itu, beberapa regulasi pendudkungseperti petunjuk pelaksana
dan teknis PBRT, kedudukan, tugas pokok dan fungsi RT, sistem
informasi orang susah, tata cara pendampingan/pemberdayaan
RT dan sebagainya belum tersedia. Oleh sebab itu perlu ada
sosialiasi dan kerangka regulasi juklak-juknis program.
c. Belum optimalnya koordinasi dan sinergisitas pelaksanaan PBRT.
Sejauh ini meskipun SKPD yang menjadi leading sektor adalah
BPM dalam pelaksanaan PBRT, namun ternyata SKPD lainnya
pun melaksanakan sejumlah program/kegiatan terkait dengan
PBRT, seperti Dinas Koperasi, Inudstri dan Perdagangan dengan
Programnya KBRT (Korerasi Berbasis Rukun Tetangga) dan Dinas
Kesehatan, dengan Programnya Jumantara (Juru Pemantau
Kesehatan Masyarakat) yang juga berbasis RT. Koordinasi dan
sinergisitas program PBRT masih rendah, sehingga pada tingkat
impelemntasi dillapangan para pengurus RT kesulitan dan
kebingungan untuk melaksanakan program/kegiatan. Oleh sebab
itu kedepan dibutuhkan koordinasi dan sinergisitas program dan
kegiatan agar dapat berjalan sinergis, efektif dan efisien dan
para pengurus RT tidak menjadi tempat “Kumpulan
Dinas/Badan” karena akan melahirkan overload
program/kegiatan pada tingkat RT bagi para RT yang pada
akhirnya RT tidak mampu untuk melaksanakan program/kegiatan
dengan baik. Kedepan diperlukan pula adanya kerangka design
program bersama antar SKPD dan koordinasi sehingga tidak
terjadi overload atau tumpang tindih kegiatan.
d. Masih lemahnya orientasi program berbasis RT yang berorientasi
kepada kelompok miskin. Mengacu pada tujuan akhir yang
hendak dicapai dari PBRT serta strategi pendekatan yang
digunakannya. Maka, proses penyusunan program dan kegiatan
PBRT haruslah difokuskan pada program pengentasan
kemiskinan dan diarahkan kepada kelompok penerima manfaat
utama program adalah kelompok warga miskin. Oleh sebab itu
kedepan, SKPD harus dapat mengintegrasikan program
berdasarkan atas data dan kebutuhan real masyarakat yang ada
pada masing-masing lingkungan RT sesuai dengan basis potensi,
ketersediaan personil, anggaran dan sebagainya. Kedepan,
penyusunan anggaran maupun kegiatan tahunan PBRT yang
dilaksanakan oleh masing-masing instansi/SKPD harus mampu
menterjemahkan database dan informasi yang tersedia di tingkat
RT dan harus “rela” mengorbankan kepentingan proyek kearah
prioritas warga miskin. Sehingga dibutuhkan komitmen dan
politicall will yang sama seluruh stakeholder yang ada,
khsususnya para pengambil kebijakan yang ada ditingkat
daerah..
e. Masih Lemahnya Fungsi dan Peran Kader Pemberdayaan
Masyarakat (KPM) dalam melakukan proses pemberdayaan RT
dan masyarakat. KPM merupakan pendamping sosial yang
bertugas meningkatkan keberdayaan masyarakat. Fungsi dan
Peran KPM adalah bagaimana mendorong adanya partisipasi
masyarakat, memajukan dan memandirikan masyarakat secara
sosial, ekonomi, politik dan budaya serta melakukan penguatan
terhadap kelembagaan RT agar RT mampu secara profesional,
mandiri dan berkelanjutan meningkatkan keberdayaan
masyarakat setempat. Sejauh ini peran dan fungsi KPM dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat sangatlah lemah, bahkan
banyak KPM yang tidak mengetahu peran dan fungsinya. Salah
satu penyebabnya adalah proses rekrutmen KPM yang
berlangsung di tingkat desa/kelurahan masih mengkedepankan
kepentingan keluarga, golongan dan sebagainya, belum
mengkedepankan aspek komitmen sosial dan kapasitas KPM.
Oleh sebab itu kedepan perlu ada pengawasan yang kuat dalam
proses rekrutmen KPM. Pemerintah daerah juga perlu melakukan
re-design mengenai KPM, antara lain adalah menyangkaut ;
Sistem pelaporan kinerja dan akuntabilitas Kinerja KPM, pola
atau model pemberdayaan yang dilakukan oleh KPM, sistem
reward and punishment KPM, penguatan kapasitas KPM, antara
lain meliputi; dasar-dasar dan prinsip-prinsip pendamping
masyarakat, metodelogi perencanaan dan monev partisipatif dan
sebagainya.
f. Masih Lemahnya peran dan Fungsi Organisasi Sosial
Kemasyarakatan, khususnya kelembagaan RW dalam
mendukung PBRT. Pembangunan Berbasis RT selama ini
cenderung menegasikan keberadaan, peran dan fungsi
organsiasi sosial kemasyaratan lainnya, seperti keberadaan RW
(Rukun Warga). Beberapa persoalan terkait dengan keberadaan
program mulai muncul, banyak ketua RW merasa kurang
diperhatikan dan menilai program pembangunan berbasis RT
cenderung diskriminatif. Para ketua RW beranggapan organsasi
RW juga merupakan organsiasi sosial kemasyaratan yang sama
halnya seperti RT, termasuk peran dan fungsi RW. Bahkan, RW
selama ini menjadi sarana bagi para Ketua RT, apabila
mendapatkan berbagai persoalan—Para Ketua RT mengadukan
permasalahan dan penyelesaian persolan itu kepada RW. Dari
hasil identifikasi permasalahan dan kelemahan, peran dan fungsi
organsiasi sosial kemasyaratan lainnya, selain RW yang
mengalami “kevakuman” adalah Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM), karena sebagain program dan kegiatan yang
seyogyanya menjadi bagian urusan atau kewenangan LPM kini
menjadi kewenangan RT. Misalnya, dalam program
pembangunan infrastuktur, rehab rumah dan sebagainya. Kondisi
inilah yang memicu munculnya kecemburuan sosial antar
lembaga dan lemahnya efektifitas beberapa lembaga organsiasi
sosial kemasyaratan dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat. Kedepan, perlu ada penataan kelembagaan,
khususnya terkait dengan kedudukan, pola hubungan dan
tupoksi antar lembaga.
g. Rendahnya dukungan ketersediaan program untuk peningkatan
kapasitas kelembagaan RT. Beberapa kelemahan dari sisi
kapasitas antara lain adalah terkait dengan administrasi dan
tatalaksana RT, kapasitas RT dalam melakukan pemetaan,
memfasilitasi proses pembangunan dan sebagainya. Disamping
itu, adalah kelemahan terkait dengan ketersediaan dan
keterbatas anggaran.
h. Masih Lemahnya Dukungan dan Kerjasama dari Pihak Ketiga.
Seluruh jajaran pemerintahan, pihak swasta dan masyarakat
dalam Perda No. 27 Tahun 2008 telah diposisikan sebagai pelaku
sekaligus penanggungjawab mengelola PBRT. Ketiga aktor ini
memiliki peran dan fungsi yang berbeda, prinsip ini dilandasi oleh
semangat untuk mewujudkan good governance dan sebagai
upaya pengembangan PBRT, pemerintah daerah telah menyadari
dan membutuhkan adanya kerjasama dari berbagai elemen
masyarakat, termasuk dalam konteks ini adalah pihak ketiga atau
sektor swasta untuk dapat berperan aktif dalam rangka
membangun masyarakat, khususnya kelompok warga miskin.
Namun sejauh ini dukungan khususnya dari keberadaan
Perusahaan yang ada di KSB untuk mengeluarkan dana CSR
untuk mendukung PBRT masih sangat rendah, bahkan nyaris
nihil. Begitupun terkait dengan pola kemitraan Pemda dengan
Organisasi Masyarakat Sipil (NGO/Ormas dll). Kedepan, perlu ada
upaya pengembangan kemitraan dan sinergisitas program antara
Pemda, Swasta dan Organisasi Masyarakat Sipil.
BABV
HASIL DAN PEMBAHASAN (2)
MENGAGAS DAN MEWUJUDKAN VISI, MISI PROGRAM
DAN KEGIATAN PBRT 2011-2015
Pada bagian ini akan di bahas mengenai gagasan berbagai program
PBRT di masa mendatang ; perumusan visi, misi, tujuan, program dan
kegiatan PBRT untuk periode 2011-2015. Gagasan ini beranjak dari
permasalahan dan kelemahan serta tantangan program yang dihadapi selama
ini serta harapan-harapan yang muncul di masyarakat sebagaimana telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
5.1. Perumusan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, Program dan
Kegiatan PBRT 2011-2015
5.1.1. Visi PBRT 2011-2015
Mengacu pada hasil-hasil yang telah dicapai pada program dan kegiatan
PBRT sebelumnya, serta hasil evaluasi atas ketercapaian PBRT dan
perkembangan saat ini maupun di masa mendatang, maka visi PBRT untuk
priode 2011-2015 adalah : “Terwujudnya kesejahteraan sosial, ekonomi,
politik dan budaya di lingkungan RT secara adil dan berkelanjutan
berlandaskan nilai Fitrah”
Keberhasilan pencapaian visi sebagaimana di atas akan tercermin dari
(indikator keberhasilan), sebagai berikut;
1. Berkurangnya jumlah warga miskin yang ada pada setiap lingkungan RT
dalam desa dan kelurahan.
2. Terpenuhinya kebutuhan dasar warga miskin secara memadai di setiap
lingkungan RT dalam desa dan kelurahan
3. Terciptanya kemandirian ekonomi, sosial, politik dan budaya warga
miskin di setiap lingkungan RT dalam desa dan kelurahan
5.1.2. Misi PBRT 2011-2015
Untuk mewujudkan tercapainya visi PBRT sebagaimana di atas, maka
misi yang perlu untuk dijalankan adalah sebagai berikut ;
1. Melakukan upaya peningkatan Sumber Daya Warga Miskin di bidang
ekonomi, sosial, politik, budaya dan keamanan agar mampu
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan di tingkat daerah,
desa/kelurahan maupun RT.
2. Mengembangkan usaha produktif serta mengoptimalkan potensi
geografis dan sumber daya alam potensial di masing-masing
lingkungan RT dalam desa dan kelurahan sebagai upaya untuk
pengembangan dan peningkatan kesejahteraan warga miskin.
3. Mendorong lahirnya program-pprogram untuk peningkatan akselerasi
pengentasan kemiskinan melalui pengembangan kebijakan, anggaran
dan program PBRT yang inovatif, efektif dan efisien guna mendukung
penyelenggaraan PBRT secara mandiri dan berkelanjutan.
4. Melakukan penataan dan peningkatan kelembagaan, peran dan fungsi
organisasi sosial kemasyarakatan di tingkat Kelurahan dan Desa serta
kelompok strategis lainnya untuk turut serta berpartisipasi dalam
usaha pencapaian keberhasilan pelaksanaan PBRT
5.1.3. Tujuan dan sasaran PBRT 2011-2015
Tujuan dan sasaran (hasil) Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga
untuk periode 2011-2015 difokuskan pada tujuan dan sasaran (hasil) sebagai
berikut;
1. Meningkatkan kapasitas dan partisipasi warga miskin dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya dan politik agar lebih kreatif, mandiri, berdaya
saing dalam proses pelaksanaan pembangunan di tingkat daerah, desa
dan kelurahan maupun lingkungan. Indikator keberhasilan tujuan di atas
tercermin dari ;
a. Meningkatnya partisipasi dan peran sosial budaya, ekonomi, politik
warga miskin dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi dan monitoring) baik di tingkat daerah, desa dan kelurahan
maupun lingkungan RT.
b. Meningkatnya kemampuan warga miskin dalam merumuskan,
melaksanakan dan mengevaluasi proses pembangunan ekonomi,
sosial, politik dan budaya berdasarkan permasalahan dan kebutuhan
yang dihadapi warga miskin di lingkungan RT.
c. Meningkatnya derajat/kualitas dan kemandirian kehidupan sosial
budaya, ekonomi dan politik warga miskin di lingkungan RT secara
berkelanjutan.
2. Memanfaatkan potensi geografis dan sumberdaya alam secara optimal
untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan bagi warga miskin. Adapun
indikator keberhasilan dari tujuan ini adalah ;
a. Terbangunnya sistem data dan informasi yang akurat mengenai peta
potensi potensial dan perkembangannya di masing-masing lingkungan
RT, desa dan kelurahan.
b. Adanya perencanaan usaha dan pengembangan usaha produktif untuk
warga miskin secara berkelanjutan.
c. Adanya pemanfaatan atau optimalisasi atas potensi geografis dan
sumber daya alam sebagai usaha untuk peningkatan pendapatan
warga miskin.
3. Mengoptimalkan potensi & kekuatan organisasi sosial kemasyarakatan
desa dan kelurahan (pemerintahan desa, LPM, KPM, RW, RT dll) serta
kelompok strategis lainnya (swasta, LSM dll) untuk percepatan
pengentasan kemiskinan. Adapun indikator keberhasilan pencapaian
tujuan tercermin dari ;
a. Meningkatnya kemampuan dan keahlian pemerintahan
desa/kelurahan dan organisasi sosial kemasyaratan lainnya dalam
memfasilitasi proses terselenggaranya PBRT.
b. Terbangunnya sinergisitas antar lembaga organisasi (pemerintahan
daerah, pemerintahan desa/kelurahan, RW/RT) serta para pelaku
pembangunan PBRT.
c. Meningkatnya dukungan dan kerjasama dengan para stakeholders
strategis lainnya (swasta, LSM, kelompok profesi dll) untuk
mensukseskan ketercapaian program PBRT.
4. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan sarana dan
prasarana kebutuhan dasar warga miskin di masing-masing lingkuangan
RT dalam desa dan kelurahan. Adapun indikator keberhasilan tujuan
tercermin dari ;
a. Meningkatnya ketersediaan sarana dana prasarana dasar (9 kebutuhan
pokok) warga miskin di setiap lingkungan RT dalam desa dan
kelurahan.
b. Adanya kebijakan-kebijakan, program-program dan kegiatan serta
anggaran yang berpihak kepada kelompok warga miskin serta inovasi-
inovasi baru yang kreatif dan konstruktif untuk kemajuan
pembangunan berbasis rukun tetangga.
5. Mengembangkan model PBRT percontohan yang dapat dijadikan sebagai
contoh teladan (best practices) serta dapat direplikasi untuk
pengembangan PBRT di masa mendatang. Adapun indikator keberhasilan
tujuan tercermin dari ;
a. Meningkatnya program dan kegiatan inovatif dalam PBRT setiap
tahunnnya atau secara priodik.
b. Adanya RT teladan/percontohan (inovatif dan berhasil) yang memiliki
keunggulan di bidang tertentu (misalnya di bidang pengembangan
partisipasi, ekonomi, sosial, budaya dan politik serta keamanan).
c. Adanya sistem penilaian keberhasilan program PBRT secara obyektif
melalui indeks penilaian desa/kelurahan dan pemberian sistem reward
dan punishment yang mendorong motivasi semangat untuk
pencapaian tujuan PBRT di masa mendatang.
6. Mengembangkan kebijakan dan program untuk meningkatkan rasa aman,
nyaman dan damai di lingkungan RT melalui pengembangan sistem
peringatan dini. Adapun indikator keberhasilan tujuan tercermin dari ;
a. Berkurangya tingkat kriminilitas dan ganguan ketertiban umum di
lingkungan RT
b. Tersedianya data dan informasi yang cepat dan akurat mengenai
situasi dan kondisi kerawanan ekonomi, sosial, budaya, politik dan
keamanan di masing-masing lingkungan RT.
c. Adanya sistem informasi peringatan dini yang menjamin pencegahan
dan penanggulangan dini bencana sosial, ekonomi, politik, keamanan
berbasis lingkungan RT secara cepat dan tepat.
5.1.4. Program dan Kegiatan PBRT 2011-2015
Secara umum Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga pada
tahun 2011 dan 2015 mengacu pada visi dan misi sebagaimana di atas dan
diarahkan pada upaya untuk ; pertama, memperkuat keberhasilan program
yang telah tercapai pada tahun-tahun sebelumnya. (PBRT tahap I), seperti;
program rehab rumah bagi warga miskin, pemberdayaan RT dan dana
stimulan dan beberapa program lainnya. Kedua, merepons permasalahan
dan perkembangan dinamika sosial, ekonomi, budaya politik dan keamanan
kekinian yang dihubungkan pula dengan kerangka umum kebijakan
pembangunan daerah 2011-2015.
Dilihat dai sifat program dan kegiatannya, maka pada tahun 2011-2015
terdapat program yang bersifat rutin dan insidentiil. Program yang bersifat
rutin adalah program/kegiatan yang setiap tahunnya dibutuhkan dalam PBRT,
misalnya terkait dengan pelaksanaan musyawarah RT. Sedangkan yang
dimaksud dengan program dan kegiatan yang bersifat insidenttil adalah
program dan kegiatan yang ditujukan untuk merespon dinamika
perkembangan dan kebutuhan program dan kegiatan selama kurun waktu lima
tahun ke depan. Secara umum, bentuk program dan kegiatan utama yang
akan dilaksanakan meliputi ;
1. Program penguatan partisipasi pembangunan ekonomi, sosial, politik,
budaya dan keamanan/ketertiban bagi warga miskin. Kegiatan yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi ;
a. Meningkatkan ketersediaan data dan akses informasi PBRT
antara lain ; data dan informasi SIOS, data dan informasi
program tahunan PBRT dll.
b. Menyelenggarakan sosialiasi PBRT baik melalui dialog, penerbitan
brosur, buletin dan lain sebagainya
c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya
dan keamanan/ketertiban.
d. Melakukan pendampingan secara intens untuk peningkatan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi,
sosial, politik, budaya dan ketertiban.
e. Memfasilitasi pengembangan partisipasi masyarakat melalui
pelibatan masyarakat dalam berbagai program perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan PBRT melalui dialog, konsultasi
publik, serial diskusi/forum warga, pembuatan kotak pengaduan,
pembentukan pusat informasi pembangunan desa/kel/RT dsb.
f. Menyusun berbagai regulasi sesuai dengan kebutuhan dan
dinamika PBRT, antara lain ; misalnya regulasi yang menjamin
akses informasi dan penerima manfaat program adalah warga
mikin, regulasi tentang dana bantuan dll.
2. Program Optimalisasi Peningkatan SumberDaya Alam dan ekonomi
untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi warga miskin. Kegiatan
meliputi ;
a. Melakukan Pemetaan dan kajian potensi geografis dan
sumberdaya alam serta ekonomi potensial dan produktif di
masing-masing lingkungan RT secara periodik dan berkelanjutan
(data dan informasi potensi RT).
b. Penyusunan Pembuatan data dan penyebaran informasi
(promosi) potensi geografis dan sumber daya alam serta
ekonomi potensial berbasis desa/keluharan berdasarkan atas
data dan informasi dari RT.
c. Pembentukan Badan Usaha atau Kelompok Usaha Produktif
berbasis potensi yang ada di lingkungan RT/desa/kelurahan
untuk mengembangkan potensi yang ada (akan dilakukan pula
reformulasi bentuk kelembagaan usaha yang tepat di tingkat
RT/reformulasi KBRT)
d. Pengembangan usaha produktif, meliputi ; penyusunan rencana
usaha berbasis potensi dan management usaha, peningkatan
jaringan usaha dan kerjasama
e. Memfasilitasi pemberian bantuan usaha/permodalan bagi
kelompok warga miskin yang memiliki potensi usaha dan jiwa
enterprenurship (termasuk melakukan reformulasi kelompok
sasaran KBRT)
f. Melakukan Pendampingan dan pelatihan-pelatihan untuk
mendukung usaha ekonomi produktif berdasar potensi dan
perencanaan usaha, termasuk memnfasilitasi jaringan usaha dan
kerjasama
g. Penyusunan regulasi dan program inovatif untuk mendukung
pengembangan usaha masyarakat berbasis potensi di masa
mendatang
3. Program Optimaliasi Pengembangan potensi & kekuatan organisasi
sosial kemasyarakatan desa dan kelurahan (pemerintahan desa, LPM,
KPM, RW, RT dll) serta kelompok strategis lainnya (swasta, LSM dll)
untuk percepatan pengentasan kemiskinan. Kegiatan yang perlu
dilaksanakan, antara lain meliputi;
a. Menyelenggarakan Pelatihan management Tata Kelola PBRT,
Tatalaksana Organisasi, dan metodelogi pemberdayaan
masyarakat untuk para pelaku PBRT (khususnya pemerintahan
desa/kelurahan, LPM, BPD, RT/RW).
b. Menyelenggaran training of trainers untuk KPM, antara lain ;
teknik untuk memfasilitasi perencanaan dan monev secara
partisipatif, teknik melakukan pemetaan sosial, teknik
pengorganisasian masyarakat dan lainnya
c. Mengkaji dan menyusun berbagai regulasi pendukung PBRT ;
seperti juklak dan juknis untuk para pelaksana PBRT (misalnya,
juknis tentang pemetaan sosial, juklak dan juknis SIOS, juklak
dan juknis KBRT, dll)
d. Memfasilitasi adanya forum koordinasi dan monev bersama serta
peningkatan dukungan dan kerjasama yang sinergis dan
singkron dalam PBRT baik dari aspek program maupun dari
aspek para pelaku PBRT (stakeholders) antara lain ; koordinasi
antar SKPD, KPM, RT, desa dan para pelaku lainnya yang
dilakukan serta koordinasi program, seperti jumantara, KBRT dll
secara berkala.
4. Program peningkatan ketersediaan, keterjangkauan dan kesetaraan
sarana dan prasarana kebutuhan dasar warga miskin di masing-masing
lingkungan RT dalam desa dan kelurahan. Kegiatan yang perlu
dilaksanakan, antara lain meliputi;
a. Penyediaan sarana dana prasarana dasar (9 kebutuhan pokok)
warga miskin di setiap lingkungan RT dalam desa dan kelurahan
berdasarkan potensi dan kemampuan masyarakat dan
difokuskan pada daerah terpencil/terbelakang.
b. Melanjutkan program pembangunan rehab rumah dengan
meningkatkan partisipasi dan swadaya lokal masyarakat serta
kerjasama antar RT.
c. Memfasilitasi ketersediaan Penyediaan air bersih secara gratis
bagi warga miskin yang kesulitan air bersih, dan pembangunan
fasilitas MCK
d. Memberikan bantuan khusus bagi keluarga miskin, jompo dan
anak-anak terlantar untuk pemenuhan infastuktur dasar, seperti
bantuan beras bagi warga miskin.
e. Menyusun program dan kegiatan tahunan dibidang infrastuktur
berbasis atas kebutuhan warga miskin serta program yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar warga miskin.
5. Program peningkatan perlindungan kerawanan sosial-budaya, ekonomi,
politik dan alam berbasis RT/desa/kelurahan. Kegiatan yang perlu
direncanakan antara lain adalah;
a. Melakukan pemetaan/identifikasi situasi dan kondisi kerawanan
sosial, ekonomi, politik dan alam melalui pendekatan Early
Warning System dan Early Response System
b. Menyelenggarakan pelatihan kepada para stakholders tentang
EWS untuk pencegahan dan penanggulan bencana alam dan
sosial serta ganguan keamanan lingkungan berbasis komunitas
c. Memfasilitasi adanya Team Relawan Tanggap Darurat berbasis
komunitas di masing-masing desa/kelurahan dan RT
d. Memfasilitasinya adanya data dan informasi serta sistem
informasi dan peringan dini berbasis desa/kelurahan dan RT
6. Program pengembangan model PBRT percontohan yang dapat dijadikan
sebagai contoh teladan (best practices) serta dapat direplikasi untuk
pengembangan PBRT di masa mendatang. Adapun kegiatan yang perlu
untuk dilaksanakan antara lain adalah;
a. Menyelenggarakan sayembara PBRT Award ; Tingkat
Desa/kelurahan di selenggarakan oleh masing-masing
desa/kelurahan, Tingkat Kecamatan di selenggarakan oleh
masing-masing Kecamatan dan Tingkat Kabupaten di
selenggarakan oleh Kabupaten (Wakil Pemenang dari Kecamatan
akan dikompetisikan pada tingkat Kabupaten).
b. Menyusun dan melaksanakan Indeks Tata Kelola Pemerintahan
Desa dan Kelurahan (termasuk PBRT) secara berkala
c. Menyusun dan mendokumentasikan praktek-praktek best
practices PBRT dari masing-masing lingkungan RT.
d. Mempublikasikan dan menyebarkan informasi dalam bentuk
brosur, buku-buku, dll terkait dengan praktek best practices
PBRT.
e. Menyusun pedoman dan melaksanakan replikasi best practices
PBRT kepada RT lainnya atau desa/kelurahan lainnya.
f. Menyelanggarakan seminar dan lokakarya terkait dengan
keberhasilan inovasi PBRT.
g. Melakukan evaluasi (lesson learned) atas inovasi dan praktek
best practices secara berkala serta menyusun program dan
kegiatan yang inovatif di masa mendatang
Sasaran Program Kegiatan
Indikasi Kegiatan Keterangan Kerangka Regulasi
Kerangka Anggaran (tahun) ke-
Terintegrasinya program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga dengan Program Daerah, Desa/kelurahan/RT dan program lainnya
Optimalisasi & Sinergisitas PBRT
(1) Integrasi program melalui penyusunan RPJMDesa (pengumpulan data dan informasi mulai dari tingkat RT, RW dan Dusun).
(2) Peningkatan koordinasi antar SKPD melalui pertemuan secara berkala ( khususnya;SKPD yang memasukkan bagian kegiatan dalam PBRT), seperti Dinas Koperasi dengan program KBRT, Dinas Kesehatan dengan Program Jumantara, dll serta Peningkatan koordinasi dan sinergisitas antar organsiasi kemasyarakatan, RT dengan RW, RT dengan Dusun, RT dengan KPM dll.
(3) Peningkatan singkroniasai dan sinergisitas PBRT dengan program lainnya, sepertu PNPM, Program CSR- Comdev PT.NNT dll.
(4) Menyusun kerangka regulasi kebijakan dan atau juklak-juknis (tupoksi) untuk memperjelas keberadaan, peran dan fungsi SKPD leading Sektor dalam PBRT dan SKPD pendukung lainya
(1) Perda Pedoman Penyusunan RPJM Desa & Perdes RPJM Desa - - (4) Perbup/Perda ttg yang mengatur CSR PT.NNT dan perusahaan lainnya (5) Perbup/SK Bupati
(1)
(1)
(1)
(1)
(1)
(1)
Untuk Penyusunan RPJMDesa dan RPJM Kabupaten. Pola pendekatan yang digunakan adalah Apakah RPJM Desa menyesuaikan dengan RPJM Kabupaten ataukah RPJM Kabupaten merupakan mengkompilasi RPJMDesa
Organisasi sosial kemasyaratan memiliki kepedulian dan pemahaman terhadap PBRT serta sense of responsilibilty terhadap kelompok warga miskin dan rawan di lingkungan RT;
Sosialiasi dan review PBRT
(1) Pembuatan poster dan brosur yang berisikan tujuan dan kelompok sasaran atau penerimana manfaat program PBRT
(2) Sosialiasi tatap muka tentang PBRT dengan para pelaku atau pelaksana dan kelompok penerima program (multistakeholders).
(3) Penerbitan buletin jum’at (6 bulan sekali) berisikan tentang PBRT (Islam dan pengentasan kemiskinan)
-
(1) (1) (1)
(2) juknis Sosialiasi
Meningkatnya Program (1) Pelatihan Perencanaan Pembangunan Berbasis RT
kemampuan dan keahlian pemerintahan desa dan kelurahan setempat dan Kader Pemberdayaan Masyarakat untuk memfasilitasi terselenggaranya PBRT
Peningkatan Partisipasi Desa/Kelurahan dan RT untuk PBRT
(2) Pelatihan Monitoring dan Evaluasi Partisipatif dalam PBRT
(3) Pelatihan Pemetaan potensi desa dan kelurahan secara partisipatif
(4) Pelatihan Pemetaan Kemiskinan Secara Partisipatif (5) Pelatihan Teknik Fasilitator Pembangunan (6) Pelatihan Pengembangan Usaha berbasis potensi
desa dan kelurahan/RT (7) Pelatihan Manajement Tata Kelola RT
-
(1) (1) (1)
Modul Pelatihan (juklak dan juknis)
Meningkatnya partisipasi dan peran sosial budaya, ekonomi, politik warga miskin dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik
Program Peningkatan Partisipasi Warga Miskin dalam PBRT
(1) Pelatihan untuk peningkatan partisipasi warga miskin (2) Penyediaan akses informasi program-program
pembangunan bagi warga miskin, misalnya informasi tentang dana bantuan bagi warga miskin, rehab rumah dll.
(3) Pelibatan warga miskin dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program pembangunan
-
(2) (2)
(1)
Modul Pelatihan
Meningkatnya kapasitas dan keahlian RT (sekurang-kurangnya 25 %) dari seluruh jumlah RT yang dapat melaksanakan program pembangunan berbasis rukun tetangga secara baik
Program Peningkatan Kapasitas RT
(1) Pelatihan Teknik memfasilitasi musyawarah RT/Rapat-rapat
(2) Pelatihan Mediasi untuk menyelesaikan permasalahan/laporan warga
(3) Pelatihan Administrasi Kelembagaan RT. (4) Pelatihan PBRT (Latar belakang, tujuan PBRT,
tahapan PBRT, agenda PBRT dll).
Juklak dan Juknis/Modul
(2) (2) (2) (2)
Terbangunnya struktur organisasi kelembagaan RT yang kuat, mandiri dan memiliki kedudukan dan pola hubungan yang jelas, termasuk TUPOKSI pengurus RT sehingga adminitrasi dan
Program Penataan kelembagaan RT
(1) Restrukturisasi kelembagaan RT yang tidak efektif (2) Penyusunan Pedoman TUPOKSI RT (3) Indeks Kemajuan/Perkembangan Kelembagaan dan
Kinerja RT secara periodik
(2) (2)
(2,3,4,5)
tatalaksana RT dalam PBRT menjadi jelas.
Terbangunnya sistem data dan informasi yang akurat mengenai peta potensi potensial dan perkembangannya di masing-masing lingkungan RT, desa dan kelurahan
Pengembangan Sistem data dan Informasi Potensi Desa/kelurahan Berbasis RT
(1) Penyusunan potensi RT oleh Pengurus RT (2) Penyusunan Kompliasi Data RT oleh RW/Dusun (3) Penyusunan Kompilasi data dan informasi potensi RT
oleh Desa/Kelurahan untuk menjadi data potensi desa/kelurahan
(4) Pembuatan Sistem Jaringan Data dan Informasi Potensi Desa/Kelurahan melalui e-goverment
(5) Publikasi potensi desa dan kelurahan (6) Updating data perkembangan potensi desa dan
kelurahan 1 tahun sekali
(1 dan 2) (1 dan 2) (1 dan 2) (2 dan 3) (3 ) (1 s/d 5)
Point 1 s.d. 3 Juklak dan Juknis
Adanya perencanaan usaha dan pengembangan usaha untuk warga miskin secara profesional, mandiri dan berkelanjutan
Program Inovasi Model KBRT berbasis Potensi RT/Desa/kelurahan
(1) Penyusunan model Pengembangan Usaha Koperasi Berbasis RT yang mengacu pada potensi desa/kelurahanh
(2) Penataan Pengelolaan Koperasi Berbasis RT (kerangka regulasi, konsepsi, dll)
(3) Pengembangan jaringan usaha dan kerjasama usaha KBRT
(4) Penerapan sanksi yang tegas terhadap para pengurus KBRT yang “nakal”.
(5) Pemberian Penghargaan terhadap pengurus KBRT yang inovatif dan berhasil mensejahterakan warga miskin.
(5). SK Bupati
(1 dan 2) (1 dan 2) (2, 3, 4 dan 5) (2, 3, 4 dan 5)
Juklak dan juknis/Modul pelatihan
Adanya pemanfaatan atau optimalisasi atas potensi potensial geografis dan sumber daya alam oleh warga miskin sebagai usaha untuk peningkatan
Optimalisasi Potensi Geografis dan Sumber Daya Alam (Inisiasi industrialisasi pedesaan/kelurahan berbasis potensi RT)
(1) Pemberdayaan potensi desa dan kelurahan melalui proses pendampingan
(2) Pengembangan inovasi pemanfaatan potensi desa/kelurahan berbasis RT
(3) Pemberian dana stimulan bagi warga yang memiliki potensi usaha dan jiwa enterprenurship
(4) Evaluasi keberhasilan pencapaian optimalisasi potensi desa/kelurahan
(1,2,3,4,5) (idem) (2,3,4,5) (1,2,3,4,5)
Juklak dan juknis/Modul pelatihan
pendapatan warga miskin ;
Pengembangan sarana dan prasarana infastuktur dasar untuk warga miskin ; seperti pembangunan rehab rumah, bantuan sosial pendidikan dan kesehatan, air bersih, irigasi, MCK dan sebagainya.
Penyediaan Infrastuktur Warga Miskin berbasis RT
(1) Merubah model pelaksaan program rehab rumah dengan lebih menekankan pada aspek partisipasi misalnya dengan cara mendesentralisasikan kewenangan pengelolaan rehab rumah termasuk anggaran kepada desa secara langsung dan pola pembangunan rehab rumah dengan menekankan sistem padat karya atau gotong royong, tidak melalui tender dan dikelola/dimonopoli pengusaha (kontraktor pelaksana)—melainkan masyarakat setempatlah, khususnya pemilik rumah sebagai kontraktor pelaksana.
(2) Penyediaan air bersih secara gratis bagi warga miskin yang kesulitan air bersih, dan pembangunan fasilitas MCK
(3) Penyediaan bantuan bagi keluarga miskin, jompo dan anak-anak terlantar untuk pemenuhan infastuktur dasar.
Perbup/SK Bupati (1 dan 2)
Menciptakan kebijakan-kebijakan, program-program dan kegiatan serta anggaran yang berpihak kepada kelompok warga miskin serta inovasi-inovasi baru yang kreatif dan konstruktif untuk kemajuan pembangunan berbasis rukun tetangga.
Pengembangan Kebijakan, program dan kegiatan inovasi PBRT
(1) Menyusun berbagai regulasi sesuai dengan kebutuhan dan dinamika PBRT, antara lain ; misalnya regulasi yang menjamin akses informasi dan penerima manfaat program adalah warga mikin, regulasi tentang dana bantuan dll.
(2) Menyusun program dan alokasi anggaran pembangunan untuk pengentasan kemiskinan sesuai dengan masalah dan kebutuhan yang dihadapi warga miskin
(3) Fasilitasi /Asistensi pengelolaan ADD, Donasi PT NNT dan bantuan lainnya yang diperuntukkan bagi desa untuk difokuskan/prioritaskan pada program pengentasan kemiskinan
(4) Melakukan evaluasi dan inovasi-inovasi atas pencapaian PBRT secara berkala
-
(1,2,3,4,5) Idem Idem Idem
Adanya model RT percontohan yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bersama (lesson learned) sekaligus bahan replikasi best practices
Pilot Project Inisiasi Inovasi pengembangan model Best Practices PBRT
(1) Menyusun Indeks Pemetaan Keberhasilan (Best Practices) RT dalam pengelolaan PBRT
(2) Merubah pola penilaian lomba RT dengan mengacu pada pendekatan hasil indeks
(3) Mendokumentasikan dan mempublikasikan praktek-praktek best practices yang muncul dalam PBRT.
(4) Membuat replikasi best practices untuk dikembangkan pada wilyah RT lainnya
(1,2,3,4,5) (2) (1,2,3,4,5,) 2, 3,4
Adanya kelompok pemerhati sosial atau tanggap darurat di masing-masing lingkungan yang memiliki kapasitas untuk merespons secara cepat dan tepat dalam pencegahan dan penanggulangan dini.
Peningkatan Perlindungan Keamanaan Warga Berbasis RT
(1) Identifikasi Relawan Tanggap Darurat dan Keamanan Lingkungan RT
(2) Pelatihan EWS untuk pencegahan dan penanggulan bencana alam dan sosial serta ganguan keamanan lingkungan berbasis komunitas
(3) Pembentukan Team Relawan Tanggap Darurat berbasis komunitas di masing-masing desa/kelurahan/RT
(1) (1) (1)
Juklak dan juknis/Modul pelatihan
Adanya sistem informasi kerawanan dini (Early Warning System and Early Respons System) Berbasis Komunitas (Bidang Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, Sosial, Budaya, termasuk daerah rawan bencana alam)
Pengembangan Sistem EWS berbasis komunitas RT
(1) Pemetaan daerah rawan sosial, ekonomi dan bencana alam
(2) Pembentukan Team Relawan Tanggap Darurat berbasis komunitas tingkat desa/kelurahan
(3) Pembuatan Sistem Data dan Informasi daerah rawan bencana
(1) (1) (2)
Juklak dan juknis/Modul pelatihan