model konservasi dugong

Upload: vitel-rian

Post on 20-Jul-2015

495 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

KARYA TULIS

MODEL KONSERVASI DUGONG (Dugong dugon Muller)

Oleh : Skalalis Diana, M.Si.

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JANUARI 2007

KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala kasih sayang dan karuniaNYa, maka penyusunan karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya tulis ilmiah berisikan hasil penelusuran, pengumpulan dan telaahan pustaka yang relevan dengan masalah yang dikaji. Adapun tulisan ilmiah ini berjudul, Peranan Ekologik Padang Lamun Bagi Dunia Perikanan Harapan penulis semoga karya ilmiah dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan semoga kita selalu dalam bimbingan, lindungan dan karunia Allah SWT. Amien.

Bandung, Maret 2006 Penulis

i

DAFTAR ISI BAB Halaman i ii iii iv 1 2 3 4 4 7 8 10 12 13 17 18 20 21

KATA PENGANTAR .... LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN . DAFTAR ISI.......... .. DAFTAR TABEL............................................................................. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .. 1.2 Tujuan Penulisan............ TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Burung Air dan Peranannyaa.................................... 2.2 Burung Pantai.............................................................................. 2.3 Pemgertian Migrasi..................................................................... 2.4 Lahan Basah................................................................................ METODE PENULISAN .................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Burung Air Bermigrasi............................................................... 4.2 Kelompok Burung Pantai di Indonesia....................................... 4.3 Lokasi Penting Burung Pantai di Indonesia................................ 4.4 Peraturan Perundangan, Konvensi dan Kerjasama yang Berkaitan dengan Burung Pantai di Indonesia............................ 4.5 Ancaman Terhadap Burung Pantai di Indonesia........................ PENUTUP......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................

I

II

III IV

V

iii

DAFTAR TABEL Judul Nomor 4.1. Famili dan Jumlah Spesies Burung Pantai di Indonesia, Asia dan Dunia...................................................................................... 4.2. Contoh Beberapa Lokasi Penting bagi Burung Pantai Migran di Indonesia........................................................................................ Halaman 13 15

iv

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH a. Judul 1. Identitas Penulis a. Nama Lengkap dan Gelar b. Jenis Kelamin c. Golongan/Pangkat/NIP d. Jabatan Fungsional e. Fakultas/Program f. Bidang Ilmu : Dampak Degradasi Lahan Basah Terhadap Burung Pantai Migran : Skalalis Diana, M.Si : Perempuan : III-c/Penata /132146259 : Lektor : PIK/ Ilmu Kelautan : Konservasi

Bandung, Maret 2007 Menyetujui, Ketua Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Penulis,

Sunarto, M.Si. NIP.132086607

Skalalis Diana, M.Si NIP.132 146 259

Mengetahui, Pembantu Dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Prof. Dr. H. Masyamsir, Ir., MS. NIP. 130 367 235

ii

DAMPAK DEGRADASI LAHAN BASAH TERHADAP BURUNG PANTAI MIGRAN (Skalalis Diana) BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangBurung atau Aves merupakan salah satu diantara lima (5) kelas hewan bertulang belakang yang berdarah panas. Berbeda dengan hewan lain, burung merupakan hewan yang selalu lebih menarik perhatian manusia, dan telah teridentifikasi ada lebih dari 9.000 spesies burung di dunia (Ensiklopedi Indonesia 2003). Berdasarkan modus hidupnya, burung juga dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok diantaranya adalah burung air. Burung air merupakan salah satu komponen penting dari ekosistem lahan basah, dan menurut Rusila Noor (1994), burung air adalah spesies burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah tersebut merupakan tempat burung air mencari makan, baik di perairan tawar, payau maupun laut. Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dimana memiliki kurang lebih 17.000 pulau-pulau kecil dan dengan panjang total pantai sekitar 81.000 km, menjadikan Indonesia memiliki habitat lahan basah yang mendukung bagi kehidupan burung air. Khususnya bagi burung migran atau burung pendatang atau dikenal dengan sebutan burung pantai migran. Akan tetapi dengan makin pesatnya pembangunan di wilayah pesisir yang telah mengakibatkan makin menyusutnya luasan lahan basah di Indonesia, otomatis akan berdampak terhadap burung pantai migran. Hal ini dikarenakan lahan basah merupakan sumber keanekaragaman makanan bagi burung pantai migran selain juga sebagai tempat bersistirahat. Demikian pentingnya lahan basah untuk keberlanjutan burung migran, sehingga apabila terjadi penyusutan maka dapat

1

dipastikan populasi burung pantai migran akan berkurang, bahkan bukan tidak mungkin pada gilirannya spesies tertentu akan hilang.

1.2 Tujuan PenulisanTulisan ini bertujuan untuk mengkaji aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan burung pantai migran, yaitu bagaimana kemungkinan dampak dari semakin berkurangnya lahan basah dengan adanya kebijakan pemerintah, terutama di bidang perikanan.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Pengertian Burung Air dan PeranannyaBurung air berdasarkan Konvensi Ramsar ( The Convention on Wetlands of international Importance) didefinisikan sebagai spesies burung yang secara ekologis kehidupannya bergantung pada keberadaan lahan basah (Rose dan Scott 1994). Burung air dalam bahasa Inggris disebut waterbird atau juga sering disebut waterfowl (Rusila Noor 1994). Rose dan Scott (1994), menyebutkan bahwa familia burung mencakup Podicipedidae (titihan), Phalacrocoracidae (pecuk), Pelecanidae (pelican), Ardeidae (cangak, kuntul, kowak), Ciconiidae (bangau), Threskiornithidae (pelatuk besi), Anatidae (bebek, mentok, angsa), Gruidae (burung jenjang), Rallidae (ayamayaman, mandar, kareo, terbombok), Heliornithidae, Jacanidae (ucing-ucingan), Rostratulidae, Haemotopodidae, Charadriidae (trinil), Scolopacidae (gajahan,

berkek), Recurvirostridae, Phalaropididae, Burhinidae, Glareolidae (terik), dan Laridae (camar). Familia tersebut terdapat di Indonesia, sedangkan familia Gaviidae, Balaenicipitidae, Scopoidae, Phoenicopteridae, Anhimidae, Pedionomidae,

Eurypygidae, Dromadidae, Ibidorhynchidae, Thinocordae, dan Rhynchopidae merupakan burung air yang tidak terdapat di Indonesia (Andrew 1992). Peran ekologis burung air masih sedikit diketahui, akan tetapi sebagai predator yang menempati puncak rantai makanan, maka spesies ini peka terhadap perubahan lingkungannya, seperti adanya polusi atau berkurangnya makanan. Menurut Buckley dan Buckley (1976), hal tersebut dapat menjadi informasi awal atau suatu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan kondisi suatu lingkungan terutama lingkungan lahan basah. Hal senada diungkapkan juga oleh Kushlan (1993), bahwa data mengenai burung air akan merupakan informasi yang berguna untuk menentukan mutu lingkungan muara, dengan menggunakannya sebagai salah satu bioindikator umum. Bioindikator akan muncul karena adanya hubungan antara

3

keragaman dan kelimpahan burung serta ketersediaan makanannya. Buckley dan Buckley (1976) juga menyebutkan bahwa burung air juga diduga berperan penting pada pertukaran energi antara kehidupan di daratan dan perairan, yang mungkin sekali besar peranannya pada dinamika produktivitas biomassa estuari

2.2

Burung PantaiBurung pantai dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai shorebird atau

wader. Secara umum burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung kepada kawasan pantai sebagai tempat mencari makan dan/ atau berbiak, berikuran kecil sampai sedang dengan berbagai bentuk dan ukuran paruh yang disesuaikan dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsanya ( Howe, Bakewel, dan Rusila Noor 2003). Banyak dari burung pantai berbiak di daratan yang bukan merupakan daerah pantai atau lahan basah, akan tetapi mereka sangat bergantung kepada kawasan pantai karena digunakan sebagai kawasan perantara dalam prilaku migrasi mereka. Sebagian besar dari kelompok burung pantai merupakan pengembara ulung yang menghabiskan waktu berbiak di belahan bumi utara dan waktu mencari makan di belahan bumi selatan ( Howe, Bakewel, dan Rusila Noor 2003).

2.3

Pengertian MigrasiMenurut Peterson (1980) kata migrasi berasal dari Migrare yang artinya pergi

dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks burung, Campbell dkk (1985) dalam Dictionary of Birds, menjelaskan bahwa kata migrasi hanya ditujukan kepada pergerakan dari populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, antara tempat berbiak dengan satu atau lebih lokasi tidak berbiak, dan oleh karena itu melibatkan kegiatan terbang pada arah tujuan tertentu.

4

Secara umum suatu makhluk hidup melakukan migrasi disebabkan oleh dua hal berikut, yaitu : (1) untuk memberikan tanggapan terhadap tekanan yang disebabkan oleh kondisi alam, untuk kelangsungan hidup mereka, dan (2) untuk memungkinkan digunakannya lingkungan yang berbeda sebagai bagian dari siklus kehidupan mereka ( Howe, Bakewel, dan Rusila Noor 2003). Migrasi sendiri dapat dibedakan menjadi migrasi berdasarkan lokasi dan migrasi berdasarkan waktu. Berdasarkan lokasinya, makhluk hidup bisa melakukan migrasi baik secara horizontal maupun vertikal, tetapi prinsipnya hampir sama, yaitu untuk memberikan tanggapan dari tekanan yang diberikan oleh alam. Dalam kelompok ini migrasi dapat dibedakan menjadi: 1) Migrasi arah (latitudinal migration), yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dimana ketinggian lokasi asal dan lokasi tujuan bukan merupakan faktor pertimbangan utama. Migrasi jenis ini biasanya dilakukan antara dua tempat berjauhan dan memiliki perbedaan kondisi alam (cuaca) ekstrim, misalnya migrasi dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan, atau migrasi dari Asia Utara ke Australia 2) Migrasi ketinggian (altitudinal migration), termasuk kedalam kelompok ini adalah perpindahan antara dua lokasi yang memiliki ketinggian diatas permukaan laut yang cukup berbeda (migrasi secara vertikal). Umumnya migrasi jenis ini dilakukan pada lokasi yang tidak berjauhan dengan tujuan untuk menghindari tekanan alam yang datang sewaktu-waktu, seperti misalnya banjir, dimana para migran akan bermigrasi dari daerah dataran rendah menuju ke dataran yang lebih tingi (pegunungan). Para migran kemudian akan segera kembali ke lokasi asal jika banjir tersebut telah surut.

Sedangkan berdasarkan waktu, migrasi dapat dikelompokkan menjadi:

5

1) Migrasi balik (return migration), yaitu perpindahan yang dilakukan ke suatu tujuan tertentu, dan kemudian kembali lagi ke lokasi asal secara teratur. Dalam migrasi jenis ini, para migran melakukan perjalanan dimulai dari suatu lokasi pada waktu tertentu dan berulang-ulang sepanjang hidupnya, biasanya respon terhadap perubahan kondisi alam yang terjadi secara teratur sepanjang tahun. Migrasi jenis ini dilakukan misalnya oleh berbagai spesies burung yang berbiak di belahan bumi utara pada musim panas dan kemudian menuju belahan bumi selatan (yang sedang musim panas) pada musim dingin di tempatnya berbiak. Migrasi jenis ini juga dilakukan secara teratur oleh kelompom ikan salmon, yang menghabiskan masa tidak berbiaknya di bagian hilir sungai, dan kemudian bermigrasi ke bagian hulu pada saat tidak berbiak. 2) Migrasi balik tunda (re-migration), yaitu perjalanan ke suatu tujuan tertentu yang dilakukan oleh suatu generasi makhluk hidup, dan kemudian kembali ke lokasi asal dilakukan oleh generasi berikutnya, dan demikian seterusnya. Migrasi jenis ini dilakukan oleh kelompok makhluk hidup yang memiliki rentang hidup yang cukup singkat, misalnya kupu-kupu. 3) Migrasi searah (removal migration), yaitu perjalanan yang dilakukan ke suatu tujuan dan tidak bermaksud untuk kembali secara tetap ke lokasi asal. Migrasi ini dilakukan oleh berbagai kelompok makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan, dengan tujuan yang pada umumnya sama, yaitu untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuh-tumbuhan melakukan migrasi secara pasif, artinya mereka tidak bisa menentukan sendiri arah tujuannya dan memerlukan pertolongan pihak lain untuk berpindah ke lokasi tertentu, misalnya dengan pertolongan angin, binatang, air, dan manusia.

Sementara itu, kelompok hewan melakukan migrasi dengan strategi tertentu dan usaha sendiri, untuk menuju lokasi tujuan yang telah direncanakan untuk dituju.

6

Umumnya mereka melakukan migrasi dalam kelompok besar (tidak soliter). Dari kelompok binatang yang melakukan migrasi diantaranya adalah ikan, serangga, dan burung.

2.4 Lahan BasahLahan basah memiliki arti yang berbeda bagi berbagai kalangan. Pengertian atau definisi lahan basah tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu definisi secara sempit dan luas. Pada umumnya lahan basah untuk definisi yang sempit dianggap sebagai ekoton. Dan menurut Worthington (1976), Cowardin et al (1979) serta Denny (1985) dalam Davies et al (1995), ekoton adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suau vegetasi yang khas. Disamping definisi yang sempit untuk lahan basah, juga ada definisi yang luas yang dikeluarkan dalam Ramsar. Adapun definisi lahan basah tersebut yaitu daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebh dari enam (6) meter pada waktu air surut. Definisi ini, mencakup dataran terumbu karang dan padang lamun di di daerah pesisir, dataran Lumpur, hutan bakau, muara, sungai, rawa air tawar, hutan rawa dan danau, juga rawa dan danau beragam (Davies et al 1995).

7

BAB III METODE PENULISAN

Metode penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran, pengumpulan dan telaah pustaka yang relevan, aktual dan faktual dengan masalah yang dikaji. Bahan kajian tersebut adalah datadata sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Data dan informasi diperoleh dari berbagai media cetak (laporan, jurnal, skripsi, dan buku-buku) dan media elektronik (internet).

8

BAB IV HASIL DAN BAHASAN

4.1

Burung Air BermigrasiMigrasi bagi burung air merupakan bagian kehidupan yang sangat berat,

melelahkan dan penuh tantangan. Hal tersebut bukan sesuatu hal yang mengherankan, terutaman dikarenakan burung harus melakukan perjalanan yang sangat jauh, seringkali bahkan harus menempuh jarak ribuan kilometer, mengarungi samudera dan melintasi pegunungan. Jauhnya jarak yang harus ditempuh tentu saja menuntut mereka untuk mempersiapkan strategi dan waktu keberangkatan serta kedatangan dan lokasi tujuan yang tepat. Menurut Fayeldi (Harian Pikiran Rakyat tanggal 21 Juni 2007), hewan

bermigrasi karena memiliki dua alas an, yaitu: 1) mereka melakukan migrasi mencari tempat untuk kawin dan berkembangbiak; 2) mereka melakukan migrasi akibat terjadinya perubahan iklim. Dimana perubahan iklim tersebut berdampak pada kurangnya suplai makanan dan turunnya suhu secara drastis. Hal yang sama terjadi pada burung air migran. Selama dalam siklus migrasi burung air migran mengalami perbedaan kondisi habitat yang sangat ekstrim. Misal di Siberia, tempat dimana sebagian besar burung air berbiak, pada musim dingin, selama 24 jam terus menerus malam dengan kondisi yang sangat dingin (hingga 50oC) dan nyaris tidak berpenghuni, sementara pada musim panas, selama 24 jam terus menerus siang dengan suhu mencapai 25oC. Adanya kondisi yang sangat ekstrim tersebut menuntut burung untuk memiliki perhitungan waktu yang sangat cermat, yaitu kapan harus segera melakukan migrasi dan kapan harus segera kembali untuk berbiak. Perhitungan yang kurang tepat akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa

9

burung melakukan migrasi sebagai suatu strategi evolusioner untuk menyiasati kurangnya pasokan makanan pada musim dingin di tempat berbiak mereka. Meskipun resiko yang harus dihadapi oleh burung air selama melakukan migrasi tidaklah kecil, akan tetapi mereka tetap melakukannya karena enerji yang dikeluarkan dapat ditebus dengan kemungkinan keberhasilan mereka untuk tetap hidup (survival) serta memiliki kesempatan untuk kembali ke lokasi asal, dan berkembangbiak selama musim panas. Menurut Howes, Bakewel dan Rusila Noor (2003), berdasarkan jarak areal migrasi yang ditempuh, perjalanan migrasi burung air dapat dibagi menjadi : (1) migrasi jarak pendek (Hop) dengan jarak tempuh sekitar 50 500 km, (2) migrasi jarak menengah (Skip) dengan jarak tempuh mencapai 1000 km, dan (3) migrasi jarak jauh (Jump) dengan jarak tempuh mencapai 6000 km, atau bahkan mungkin lebih. Sedangkan untuk jalur terbang (flyway), di Asia dikenal dua jalur terbang utama, yaitu: (1) Jalur terbang bagian timur Asia/Australasia, jalur ini mencakup daerah berbiak di Siberia, Cina, dan Alaska, memanjang ke selatan melewati daerah persinggahan di Asia Tenggara, Papua New Guinea, Australasia, Selandia baru dan Kepulauan Pasifik; serta (2) jalur terbang Indo Asia, memanjang dari tempat berbiaknya di Siberia tengah melalui Himalaya hinggake daratan Sub benua India. Selain di Asia, di dunia masih terdapat jalur terbang migrasi yang lain, misalnya jalur terbang Afrika-Eropa. Selama ini burung air migran memiliki jalur terbang sendiri, akan tetapi seringkali ditemukan individu-individu yang menyimpang dari jalur terbang tersebut, seperti yang telah diinformasikan dari program pencincinan internasional. Adanya penyimpangan tersebut belum banyak diketahui apa yang menjadi penyebabnya. Muncul pertanyaan apakah sebenarnya yang menyebabkan burung air melakukan migrasi? Apakah hanya karena dorongan untuk memperoleh kondisi yang lebih baik ataukah hanya karena insting semata. Dalam hal ini berdasarkan

10

hasil penelitian dan percobaan para ahli, ada beberapa hal yang mendorong burung air melakukan migrasi (dalam Howes, Bakewel dan Rusila Noor (2003), yaitu: 1) Kondisi atau tanda-tanda alam yang dilalui dalam perjalanan pertama mereka (missal gunung, pantai, dan sungai. Dalam perjalanan pertama tersebut, burung muda merekam (imprinting) obyek-obyek visual yang dapat mereka tangkap. 2) Letak matahari. Beberapa ahli berpendapat bahwa pada siang hari, arah terbang dan tujuan akhir burung migrant dipandu oleh arah dan posisi matahari. Pendapat cermin ini didasarkan pada hasil cahaya percobaan matahari. dengan Burung

menggunakan

yang

memantulkan

percobaan ternyata akan merubah arah terbangnya ketika arah cahaya yang memantul melalui cermin kemudian dirubah arahnya. 3) Letak bintang. Pada malam hari, dipercayai bahwa burung tetap melakukan perjalanan migrasinya. Pada saat tersebut, pendapat para ahli mengatakan bahwa perjalanan meraka dipandu oleh letak bintang. Percobaan planetarium menunjukkan bahwa pada saat letak bintang di lensa dirubah arahnya, maka burung yang dilepas di planetarium akan merubah arah terbangnya. 4) Magnet bumi. Percobaan ini juga menunjukkan bahwa dalam perjalanannya, burung migrant nampaknya juga memanfaatkan magnet bumi sebagai panduan arah perjalanan. Di lokasi percobaan, burung yang ditutup matanya, ternyata masih mampu untuk menentukan arah terbang, tetapi ketika disimpan magnet kecil di tubuhnya, maka arah terbangnya kemudian kacau. 5) Gabungan faktor-faktor diatas. Banyak para ahli juga berpendapat bahwa burung migrant memanfaatkan faktor-faktor diatas secara bergantian untuk memandu perjalanan.

11

Hewan-hewan yang melakukan migrasi, seperti juga burung sangat diuntungkan dengan adanya konvensi migrasi spesies ( Convention on Migratory Species) yang telah disetujui di Bonn pada 23 Juni 1979. Mengapa demikian? Ini dikarenakan Negara-negara yang ikut menandatangani/ meratifikasi konvensi tersebut harus melakukan identifikasi dan melindungi spesies yang bermigrasi beserta habitatnya. Hal ini juga berlaku bagi burung air migran, sehingga dengan adanya konvensi tersebut diharapkan burung-burung air migran dapat melanjutkan bertahan hidup dan melanjutkan siklus hidupnya.

4.2

Kelompok Burung Pantai di IndonesiaBurung pantai yang kita kenal sebagian besar adalah burung migran atau

burung pendatang. Mereka menghabiskan waktunya di wilayah lahan basah untuk mencari makan sambil menunggu untuk kembali ke daerah berbiaknya, baik di belahan bumi utara (Rusia dan sekitarnya) maupun di belahan bumi selatan (Australia dan Negara-negara Pasifik). Secara taksonomis, sebagian besar burung pantai meliputi dua (2) familia besar, yaitu Charadriidae dan Scolopacidae. Beberapa spesies lainnya termasuk ke dalam familia Jacanidae, Haematopodidae, Recurvirostridae, Glareolidae,

Burhinidae, dan Phalaropidae dengan jumlah spesies yang lebih sedikit. Apabila dibandingkan dengan burung air seperti yang dikemukakan pada bab 3 poin 3.1; maka jumlah familia burung pantai jauh lebih sedikit. Di seluruh dunia, sampai waktu ini telah teridentifikasi sebanyak 214 spesies burung pantai, dimana 65 spesies diantaranya tercatat ditemukan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, tercatat spesies burung pantai yang berbiak di lahan basah di Indonesia (penetap/resident), diantaranya adalah Charadrius javanicus (Cerek Jawa). Untuk lebih jelasnya familia dan spesies burung pantai yang tercatat di Indonesia dapat dilihat pada tabel 4.1.

12

Tabel 4.1. Famili dan Jumlah Spesies Burung Pantai di Indonesia, Asia dan Dunia Jumlah Spesies per Kawasan Dunia (1) Asia(1) Indonesia(2) 1 Burhinidae 9 3 1 2 Charadriidae 65 19 16 3 Dromadidae 1 1 4 Glaredidae 17 6 2 5 Haematopodidae 11 2 32 6 Ibidorhynchidae 1 1 7 Jacanidae 8 3 3 8 Pluvianellidae 1 9 Recuvirostridae 7 2 1 10 Rostratulidae 2 1 1 11 Scolopacidae 88 46 39 12 Thinocoridae 4 TOTAL 214 84 65 (2) Sumber: (1) Howes dan Bakewell (1989); Rusila Noor (1994) Pada table 4.1., jelas terlihat bahwa famili Charadriidae dan Scololopacidae merupakan familia yang memiliki jumlah spesies burung pantai yang paling banyak dibandingkan dengan familia lainnya. Dari 12 familia burung pantai di dunia, di Indonesia terdapat empat (4) familia burung pantai yang sampai sekarang tidak tercatat ada, yaitu Dromadidae, Ibidorhynchidae, Pluvianellidae, dan Thinocoridae. Sehingga jumlah familia yang tercatat di Indonesia ada delapan (8), sedangkan di Asia tercatat ada 10 familia. No Famili

4.3

Lokasi Penting Burung Pantai di IndonesiaBurung pantai dimana sebagian besar merupakan burung migran, menempati

berbagai sistem lahan basah yang ada di Indonesia. Dari berbagai sistem lahan basah yang ada di Indonesia menurut Rusila Noor (1994), setidaknya terdapat 19 lokasi/ kelompok lokasi di Indonesia memiliki kepentingan bagi burung air secara internasional dan telah memenuhi kriteria Ramsar. Hampir seluruh lokasi tersebut terletak di daerah hamparan lumpur pantai yang bersambung dengan hutan mangrove.

13

Jadi jelas bahwa kawasan hutan mangrove atau ekosistem mangrove merupakan habitat utama bagi burung pantai migran, sementara di Indonesia sudah sangat banyak kawasan hutan mangrove yang rusak sehingga luasannya menjadi berkurang, salah satunya adalah akibat konversi hutan mangrove. Konversi hutan mangrove yang paling banyak dilakukan adalah berkaitan dengan bidang perikanan, yaitu dirubah peruntukannya menjadi areal pertambakan, baik untuk tambak dengan sistem tradisional, semi intensif maupun intensif. Pada tahun 1998, tercatat luas tambak di Indonesia mencapai 368.244 hektar (dalam Wibowo dan Hendarto 2006). Ini berarti kehilangan areal bagi burung air karena seperti diketahui kawasan mangrove merupakan wilayah yang disukai oleh burung air. Dimana menurut Milton dan Mahardi (1985) serta Rusila Noor (1996), di Cagar Alam Pulau Dua (kawasan hutan mangrove), Banten ditemukan sekitar 57 spesies burung air, dimana 10 spesies diantaranya menggunakan kawasan ini, untuk bersarang dan membesarkan anaknya. Selain itu adalah jelas bahwa burung air pada kawasan hutan mangrove merupakan top predator pada rantai makanan dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa burung air lingkungannya. Berdasarkan uraian tersebut, adalah jelas bahwa peranan kawasan hutan mangrove bagi keberlanjutan burung air terutama burung air migran sangat penting. Oleh karenanya, pihak Dinas Perikanan harus penuh pertimbangan dalam mengkonversi kawasan hutan mangrove untuk areal pertambakan, karena apabila daya dukungnya terlampaui, maka bukan lah suatu hal yang tidak mungkin burung air migran akan kehilangan salah satu habitat dari siklus hidupnya yang pada gilirannya dapat memusnahkan spesies burung air tersebut. Berdasarkan analisa data yang ada, di wilayah Indonesia terdapat sekitar 16 lokasi bagi burung pantai. Dimana ke-16 lokasi tersebut mewakili lebih dari 90% total penghitungan burung pantai yang ada selama ini. Adapun lokasi penting bagi burung pantai migran di Indonesia dapat dilihat pada tabel 4.2. dapat digunakan untuk mengetahui mutu kondisi

14

Tabel 4.2. Contoh Beberapa Lokasi Penting bagi Burung Pantai Migran di IndonesiaNo 1 2 Nama Lokasi Tanjung Bakung, SUMATERA Tanjung Datuk, SUMATERA 3 Delta Sungai Perkiraan dan Tipe lahan basah Utama 400.000 ha Mangrove, lumpur 25.000 ha Mangrove, lumpur > 150.000 ha Mangrove, lumpur Tidak berbiak Tidak berbiak Periode penting Tidak berbiak Alasan untuk pemasukan kawasan/kepentingan bagi spesies migran Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5000 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5000 individu Salah satu lokasi terpenting persinggahan burung migrant di Indonesia, dengan catatan pengamatan 115.000 individu. Tempat penting bagi Limnodromus semipalmatus (>2.200 individu), Limosa limosa (>30.000 individu), dan L. lallonica (7.000 individu) 4 Muara Gembong, Muara Karang JAWA 5 6 IndramayuCirebon, JAWA Delta Bengawan Solo, Brantas, Perengan, Semangkan, JAWA 7 8 Suwung, BALI Sumba, NTT Muara sungai 1.500 Muara, Lumpur, berpasir 9 Pantai NTT Kupang, 6.800 lumpur ha teluk, Tidak berbiak Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5.100 individu. Empat ekor L. semipalmatus serta 250 ekor N. madagascariensis pernah tercatat karang, Mangrove, ha Teluk, Pantai Tidak berbiak Tidak berbiak Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.100 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.000 individu Mangrove, Delta 160 ha, Muara Tidak berbiak Tidak berbiak muara Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 10.000 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 19.000 individu sungai, tambak 150.000 ha Delta, lumpur sungai, Mangrove, Angke, Mulya. Kamal Muara dan 10.500 ha Mangrove, Lumpur, muara Tidak berbiak Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 29.000 individu

Musi Banyuasin, SUMATERA

15

Tabel 4.2. LanjutanNo 10

Nama Lokasi

11 12

Pulau Jawa, Muara Ulu, Pulau Berau, Senipah, Pulau Bukuan, Tj. Sembilang, Pulau Layangan KALIMANTAN Lampuko-Mampie, SULAWESI Lanteboeng, Pandang, SULAWESI Ujung Maros,

Perkiraan dan Tipe lahan basah Utama 500.000 ha Muara sungai, Mangrove, lumpur 2.000 ha Mangrove Mangrove, laguna 200 ha Mangrove, lumpur

Periode penting Tidak berbiak

Alasan untuk pemasukan kawasan/kepentingan bagi spesies migran Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.000 individu Lokasi jumlah individu Lokasi jumlah individu penting dengan catatan pengamatan sampai 2.100 penting dengan catatan pengamatan sampai 4.100

Tidak berbiak Tidak berbiak

13

Muara Sungai Salowatu (Banjare-Patiro, Ujong Patiro, Palima BanjuwaTipulwa, Banawatu, SULAWESI Pantai Utara Teluk Bone (Palopo, Baliase, Malengke, Montalinga,BaliaseWolu,Watulengkua,Teluk Usu, SULAWESI Pulau Kimaam (rawa Dembuwuan, Rawa Cumoon) IRIAN JAYA

Tidak berbiak

Sekitar 750 ekor tercatat di kawasan ini

14

5.000 ha Teluk

Tidak berbiak

Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 4.100 individu

15

16

TN Wasur dan Rawa Biru

600.000 ha dalam kawasan lindung, muara, pulau kecil, mangrove, lumpur >431.000 ha., Muara, mangrove, lumpur

Tidak berbiak, Migrasi Selatan/Utara

Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.200 individu dari 21 spesies

Tidak berbiak

Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 6.900 individu dari 25 spesies. Lokasi penting bagi Numenius minutus

Pada tabel 4.2., ada 16 lokasi penting di Indonesia untuk burung pantai migran dimana lokasi tersebut merupakan lahan basah. Menurut Ramsar

Convention Bureau (1997), lahan basah merupakan daerah rawa, paya, lahan gambut dan perairan baik alami maupun buatan, tetap atau sementara, dengan air tergenang atau mengalir, air tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam (6) meter pada waktu air surut paling rendah.

16

4.4

Peraturan Perundangan, Konvensi dan Kerjasama Berkaitan dengan Burung Pantai di Indonesia

yang

Peraturan perundan-undangan khusus yang berkaitan dengan burung pantai migran di Indonesia, sampai saat ini masih belum ada. Undang-undang perlindungan yang ada adalah UU No.5 tahun 1990 tentang Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, yang kemudian didukung dengan PP No. 7 tahun 1999. Di bawah Undang-undang ini, ada sekitar 400 spesies burung di Indonesia yang dilindungi, hanya sayangnya hanya sembilan (9) spesies burung pantai yang termasuk di dalamnya. Di dalam Undang-undang tersebut tercantum pelarangan untuk menangkap, memelihara, dan memperjualbelikan spesies-spesies burung yang dilindungi, termasuk bagian-bagian tubuh dan telurnya, baik hidup maupun mati. Dalam hal perjanjian dan kerjasama internasional, Indonesia telah menjadi anggota di bidang perlindungan hidupan liar, termasuk burung pantai. Diantara perjanjian dan jerjasama internasional tersebut adalah Convention International on Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Convention on Biodiverstity. Disamping itu pada tahun 1991, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar mengenai lahan basah yang memiliki kepentingan internasional, khususnya sebagai habitat burung air. Melalui konvensi ini, setiap anggota mengajukan lokasi lahan basah tertentu yang telah memenuhi criteria sebagai lahan basah yang memiliki kepentingan in ternasional dan kemudian membuat dan melakukan

rencana pengelolaan kawasan tersebut beserta sumberdaya di dalamnya. Masyarakat internasional juga diharapkan dapat membentu usaha tersebut. Indonesia telah memasukan Taman Nasional Berbak di Jambi dan Taman Nasional Wasur di Irian Jaya sebagai situs Ramsar. Kedua kawasan tersebut telah diketahui sebagai lokasi penting persinggahan burung pantai yang bermigrasi. Selain itu untuk perlindungan burung pantai migrant, Indonesia juga telah turut serta dalam kespekatan multilateral Negara-negara di kawasan Asia dan

17

Oseania yang disebuit East Asia Australasian Shorebird Site Network. Dimana sama halnya dengan Konvensi Ramsar, dalam kesepakatan ini setiap Negara anggota diharuskan untuk mengajukan lokasi-lokasi penting bagi persinggahan burung migrant, dan Indonesia telah mengajukan Taman Nasional Wasur untuk lokasi tersebut.

4.5

Ancaman Terhadap Burung Pantai di IndonesiaBurung pantai di Indonesia yang sebagian besar merupakan burung migran

(tercatat ada 65 spesies), keberadaannya sangat tergantung pada lahan basah. Berdasarkan criteria yang tercantum pada Konvensi Ramsar, menurut BPS (1994) dalam Nirarita dkk (1996), Indonesia memiliki lahan basah alami seluas kurang lebih 37,32 juta ha atau sekitar 19,45% dari luas daratan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki luas ekosistem lahan basah terluas di Asia. Akan tetapi sejalan dengan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia, luas lahan basah tersebut mengalami penyusutan yang cukup drastis, dan menurut Nirarita dkk (1996), luas lahan basah yang ada adalah 24,99 juta ha. Kondisi tersebut jelas akan sangat berpengaruh terhadap komponen-komponen lahan basah yang ada, termasuk burung pantai migran. Secara garis besar menurut Howes, Bakewell dan Rusila Noor (2003), terdapat dua (2) macam ancaman utama bagi burung pantai migran di Indonesia, yaitu: 1) Perubahan peruntukan dan perusakan habitat 2) Perburuan burung yang tidak mengindahkan daya dukungnya

Di Indonesia, lokasi-lokasi penting utama untuk burung pantai, yaitu pada daerah yang memiliki sistem lahan basah (Tabel 4.2), pada data yang ada

mengenai luas lahan basah adalah bukan tidak mungkin makin menyusut luasannya.

18

Hal ini terkait dengan makin banyaknya konversi lahan terutama di daerah pantai baik untuk kepentingan perumahan maupun pertambakan atau pembangunan lainnya. Khusus di Pantai Utara (Pantura) Jawa, hilangnya hutan mangrove akan memperkecil tingkat produktivitas biologis pada daerah lumpur dan pada gilirannya akan menurunkan daya dukung bagi burung pantai migran yang singgah dan mencari makanan di daerah tersebut. Data dari Ditjen Perikanan (1991)

menunjukkan bahwa sekitar 268.000 ha hutan bakau telah dikonversi menjadi pertambakan, dimana sebagian besar areal tersebut berada di Pantura Jawa dan Sulawesi Selatan. Selain itu menurut Dephut dan FAO (1990), sekitar 877.200 ha berada di bawah kekuasaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Disamping itu, patut dicermati adanya program revitalisasi tambak yang dicanangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tahun 2006, karena kalau rencana tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan realitas faktual yang ada, maka bukan tidak mungkin ekosistem mangrove atau hutan bakau akan semakin hancur. Berdasarkan data yang ada pada tahun 1998 luas total areal tambak adalah 368.244 ha. Mengapa makin menyusutnya hutan bakau harus diwaspadai? Hal ini jelas sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan burung pantai migran, karena sekali habitat tersebut hilang akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman makanan yang merupakan pendukung kehidupan mereka, sekaligus hilangnya habitat bagi tempat mereka beristirahat. Disamping itu perburuan merupakan ancaman utama lain yang harus diwaspadai. Berdasarkan Milton dan Marhadi (1989), memperkirakan bahwa selama kurun waktu 1984 1986 sebanyak 300.000 ekor burung air telah ditangkap/diburu setiap tahunnya. Sementara Rusila Noor (1988), memperkirakan bahwa selama tahun 1987 1988, jumlah tersebut menurun menjadi 200.000 ekor per tahun, dimana lebih dari 50% burung air yang ditangkap adalah burung-burung migran.

19

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Indonesia memiliki sistem lahan basah yang sangat penting bagi kelangsungan (Survival) dan keberlanjutan (sustain) burung pantai migran. Akan tetapi dengan makin pesatnya penyusutan lahan basah di Indonesia, adalah sangat patut menjadi pertimbangan yang sangat seksama akan kebijakan pembangunan di Indonesia yang berkaitan dengan pembangunan di wilayah pesisir. Hal ini terkait dengan banyaknya tipe lahan basah sesuai dengan Konvensi Ramsar yang terkandung di dalamnya. Sehingga adalah sangat bijak

apabila dalam merencanakan pembangunan di wilayah pesisir, mempertimbangkan daya dukung yang ada, yaitu tidak hanya untuk kepentingan manusia semata tetapi seluruh makhluk hidup yang terkait di dalamnya, termasuk burung pantai migran. Disamping itu, kita tidak boleh lupa apalagi mengingkari konvensi dan/ atau kerjasama baik bilateral maupun multileral, khususnya yang berkaitan dengan burung pantai migran. Ada satu hal lagi yang patut kita cermati dan renungi bahwa setiap tanggal 9 April ditetapkan sebagai Hari Burung Sedunia atas inisiatif Eurasian Waterbird Agreement (AEWA suatu perjanjian Negara-negara di Afrika, Eropa dan sebagian Asia untuk melindungi burung bermigrasi di wilayah mereka) dan Convention on Migratory Species (CMS) yang telah ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1979. Hal ini berarti negara-negara yang telah meratifikasi harus tunduk kepada perjanjian yang ada dan adalah kewajiban kita sebagai bangsa Indonesia untuk turut melaksanakannya, baik untuk kepentingan diri sendiri, Negara maupun dunia.

20

DAFTAR PUSTAKA

Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia: a checklist (Peters sequence). Jakarta: Indonesian Ornithological Society. Buckley, P.A, and Buckley, F.G. 1976. Guidelines for Protection and Management of Colonially Nesting Waterbirds. Boston Massachusetts: North Atlantic Regional Office National Park Service. Davies, J; G. Claridge; and Ch.E. Nirarita. 1995. Manfaat Lahan Basah: Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Dirjen PHPA dan Asian Wetland Bureau Indonesia. Ensiklopedi Indonesia. 2003. Seri Fauna: Burung. Cetakan ke-5. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. 258 hlm. Howe, Bakewel, dan Rusila Noor, Y. 2003. Kushlan, J.A. 1993. Waterbirds as bioindicator of Wetland Charge: are they valuable tool? In Moser, M, CR Prentice and Janine van Vessem (eds). 1994. Waterfowl and Wetland Conservation in the 1990s a global perspective. Proc, IWRB Symp, St. Petersburg Bach, Florida, USA. IWRB Spec. Publ. 26:48 55. Ninarita, E. Ch; Wibowo, P; dan Padmawinata, D. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Peterson (1980) Ramsar Convention Bureau. 1997. The Ramsar Convention Manual: a guide to the Convention on Wetlands (Ramsar, Iran, 1971). Second Ed. Gland, Switzerland. Rose, P.M, and Scott, D.A. 1994. Waterfowl Population Estimates. IWRB Publication 29.

21

Rusila Noor, Y. 1994. Pengetahuan Tentang Burung Air, Khususnya Burung Air Bermigrasi (Migratory Waterbirds) di Indonesia. Makalah disajikan pada Wetland Conservation Assessment and Management training Course III, Bogor 3 Sepetember 1994. PHPA/AWB Pusdiklat Pegawak & SDM Kehutanan. Rusila Noor , Y.2006. Hari Burung Bermigrasi Sedunia: Burung Migran Memerlukan Kita. Warta Konservasi: Lahan Basah Vol 14 No.2, April 2006.

22

MODEL KONSERVASI DUGONG (Dugong dugon Muller) (Skalalis Diana) BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangKelas Mammalia merupakan hewan bertulang belakang dengan ciri-ciri morfologis yang jelas dapat dibedakan dari kelas-kelas lain dari hewan vertebrata. Ciri paling khas yang dipunyai secara anatomis dan fisiologis adalah memiliki kelenjar mammae untuk menyususi anaknya. Salah satu ordo dari kelas mammalian yang dikenal sebagai bangsa sapi laut adalah Sirenia.

Ordo Sirenia (Bangsa Sapi Laut) merupakan salah satu mammalian berukuran besar yang hidup di perairan tropis di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Salah satu spesies dari ordo ini adalah duyung (Dugong dugon, Muller 1766). Duyung ini memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan gajah daripada dengan mammalian laut lainnya seperti paus dan lumba-lumba.

Duyung merupakan mammalian laut herbivora yang tercatat sebagai salah satu satwa langka dalam Buku Data merah (Red Data book) dari IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (Thornback and Jenkins 1982). Populasi duyung semakin hari semakin berkurang yang diakibatkan oleh perburuan dan kerusakan habitat (Lanyon 1992, Marsh 1993). Selain itu, juga disebabkan karena perkembangbiakan duyung sangat lambat dan hanya melahirkan satu ekor anak setiap kali melahirkan.

1

Duyung menggunakan padang lamun (seagrass beds) sebagai habitatnya untuk mencari makan, dimana makanan utamanya adalah lamun (seagrass) (Lanyon et al. 1989, Pren 1993). Oleh karenanya sangatlah jelas apabila padang lamun rusak maka kehidupan duyung akan terganggu, terutama dalam penyediaan makanannya. Menurut Marsh (1982), makanan utama duyung adalah lamun dimana lebih dari 90% isi perut duyung terdiri dari lamun dan sisanya adalah beberapa spesies algae (seaweed).

Spesies-spesies lamun yang disenangi duyung umumnya adalah Halodule uninervis, H. pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, H.spinulosa, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassia hemprichii dan Zostera capricorni (Pren 1993, Lanyon et al 1989). Dengan demikian menjadi jelas bahwa duyung sebagai hewan herbivore akan sangat tergantung dengan penyebaran lamun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa duyung memakan spesies lamun yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya. Di Australia, duyung umumnya memakan spesies-spesies H. ovalis dan Z. capricorni, sedangkan di laut Merah mereka hanya memakan spesies H. uninervis.

Berdasarkan uraian di atas adalah jelas bahwa duyung selain merupakan hewan langka juga memerlukan lamun sebagai makananannya. Oleh karena itu, sangat lah perlu untuk melakukan konservasi duyung dengan mencari model yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

1.2 Tujuan Penulisan Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk membuat model konservasi duyung, yang mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Biologi Duyung Klasifikasi duyung berdasarkan Muller (1766) dalam www. Goggle.com, adalah sebagai berikut:

Duyung

Phylum Class Ordo Family Species

: Chordata : Mammalia : Sirenia : Dugongidae : Dugong dugonSumber: Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna (1992)

Duyung memiliki kepala yang besar dengan mata yang kecil dan hidung yang besar. Duyung memiliki penglihatan yang tidak terlalu jelas namun memiliki pendengaran yang sangat baik. Pada duyung jantan dewasa dan beberapa pada dugong betina terdapat gading kecil. Menginjak masa kawin, duyung jantan menggunakan gadingnya untuk berkelahi mendapatkan pasangannya. Duyung dapat mencapai umur 70 tahun, namun biasanya mati di usia muda. Duyung memiliki panjang tubuh 2,4 3,0 meter dengan berat tubuh berkisar 230 908 kilogram (www. Goggle.com. Dugong conservation).

2.2 Lamun 2.2.1 Pengertian Lamun Istilah lamun untuk seagrass, pertama kali diperkenalkan kepada para ilmuwan, peneliti dan akademisi di perguruan tinggi di perguruan tinggi oleh Dr. Malikusworo Hutomo,

3

APU; dalam disertasi doktornya yang berjudul Telaah ekologik komunitas ikan pada padang lamun di Teluk Banten (Hutomo, 1985). Di Indonesia kata lamun untuk padanan kata dari tumbuhan laut, seagrass, dapat dikatakan digunakan dengan terpaksa karena seharusnya terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah rumput laut. Kata rumput laut sudah digunakan secara umum dan baku bagi tumbuhan algae (seaweed), baik dalam dunia perdagangan maupun dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baku sehari-hari (Atmadja 1999).

Lamun di dunia tercatat ada sekitar 58 spesies yang dijumpai dalam skala besar dan menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu padang lamun (seagrass beds) (Kuo dan McComb 1989). Sementara menurut Kiswara (1994), di perairan Indonesia tercatat ada 13 spesies lamun yang tumbuh.

2.2.2

Habitat dan Sebaran Lamun

Lamun dapat tumbuh hingga kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari serta menerima nutrient dari darat dan laut. Lamun biasanya tumbuh pada substrat pasir, pasir lumpuran, lumpur-pasiran, lumpur lunak dan karang. Di samping itu, lamun dapat kita temukan tumbuh mulai dari daerah pasut terendah sampai pada daerah subtidal dengan kedalaman hingga 40 m bahkan hingga 90 m selama masih ada cahaya matahari (Den Hartog 1977, Nienhuis et al. 1989).

Secara geografis, ditemukan ada tujuh (7) marga (genera) lamun yang menghuni perairan tropis yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, dan Halophila. Sedangkan lima (5) genera lamun yang menghuni perairan subtropics yaitu Zostera, Phyllospadix, Heterozostera, Posidonia, dan Amphibolis. Lamun yang tumbuh di perairan tropis terpusat pada dua wilayah yaitu daerah Indo

4

Pasifik Barat sampai pantai Pasifik Amerika Tengah, dan Laut Karibia. Di Indopasifik Barat semua genera dapat ditemukan, sedangkan di Karibia hanya didapatkan empat (4) genera, yaitu Halodule, Syringodium, Thalassia, dan Halophila. Pada daerah subtropics, ada dua (2) genera dari lima (5) genera yang mempunyai sebaran bipolar yaitu Zostera dan Posidonia. Zostera sebarannya cukup luas, sedangkan Posidonia penyebarannya hanya terbatas di Laut Tengah dan Australia Selatan. Satu genus, Phyllospadix penyebarannya terbatas di perairan Pasifik Utara. Sedangkan dua (2) genera yaitu Heterozostera dan Amphibolis penyebarannya terbatas pada perairan subtropis di belahan bumi selatan (Den Hartog 1970).

2.2.3

Lamun sebagai sumber makanan

Lamun dapat dimakan oleh beberapa organisme. Avertebrata hanya bulu babi yang memakan langsung lamun. Sedangkan dari vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae. Acanthuridae), penyu dan duyung. Bebek dan angsa memakan lamun jika lamun tersebut muncul pada surut terendah (McRoy dan Helfferich 1980). Telah diketahui bahwa sejumlah avertebrata memakan lamun sedikit sekali, tetapi jika lamun tersebut hanyut dan terdampar di pantai, maka mulai terjadi dekomposisi sehingga lamun akan dimakan oleh beberapa larva dan Talitridae (Amphipoda). Menzies et al (1976), menyatakan bahwa makanan yang diproduksi amun berguna untuk fauna dasar pemakan detritus, dan pengetahuan tentang proses dekomposisi lamun sangat sedikit sekali. Deposit Thalassia sering ditemukan di laut dalam.

2.3 Interaksi Duyung dengan Lamun Umum Dugong menggunakan padang lamun sebagai habitat untuk mencari makan dengan makanan utamanya adalah lamun (seagrass) (Marsh et al 1977; Lanyon et al 1989;

5

Pren 1993). Kerusakan habitat dalam hal ini padang lamun tentunya akan mempengaruhi kehidupan dan penghidupannya, khususnya dalam penyediaan

makanan. Makanan utama Dugong adalah lamun dimana menurut Marsh (1982), 90% isi perut Dugong adalah lamun dan sisanya adalah beberapa spesies algae (seaweed)

Selektivitas makanan Dari 10 genera lamun, 8 genera diantaranya telah ditemukan pada usus atau mulut Dugong (Lipkin 1975; Johnstone and Hudson 1981; Marsh et al 1982). Adapun spesiesspesies lamun yang disenangi Dugong, umumnya adalah Halodule uninervis, H. pinofolia, Syringodium isoetifoliym, Halophila ovalis, H. spinulosa, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassia hemprichii dan Zostera capricorni (Pren 1993). Berdasarkan hasil analisis makanan di Queensland, menunjukkan bahwa kelihatannya Dugong tidak menyeleksi makanannya berdasarkan lamun yang dimakan, tetapi mereka makan lamun berdasarkan yang tersedia pada area tertentu. Lebih jauh Marsh et al (1982), menyatakan bahwa pada analisis makan, perut Dugong menunjukkan bahwa makanannya berdasarkan dimana mereka ditangkap.

Dugong memakan lamun sekitar 10-30 gram kering/m2, dengan kata lain Dugong makan lamun pada daerah lamun yang mempunyai kerapatan rendah. Pada penelitian Wake (1975) di Great Barrier Reef menunjukkan bahwa Dugong ditemukan pada kerapatan tinggi di bawah kedalaman kurang dari lima meter. Pada beberapa daerah penelitian di Australia menunjukkan bahwa H. uninervis, H. ovalis, H. ovata merupakan spesies-spesies predominan yang ditemukan di perut dugong. Berbeda dengan penyu, Dugong mengkonsumsi seluruh tumbuhan lamun. Tetapi akar dan rimpang Amphibolus antartica dan E. acoroides yang mempunyai kutikula, tebal dan dinding sel lignin jarang

6

ditemukan. Akar dan rimpang yang lembut dari spesies H. uninervis, H. ovalis, H. ovata, H. Decipiens, H. Pinifolia dan Z. capricorni dimakan oleh dugong.

Adaptasi morfologi untuk memakan lamun Studi tentang fungsi morfologi bagian-bagian mulut menunjukkan bahwa Dugong sebagai pemakan dasar. Kepala Dugong adalah bulat dan besar, sehingga bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan menjadi pemakan tumbuhan dasar perairan. Hidung kebawah sehingga moncongnya mendatar. Pada bagian moncong (rostrum) terdapat penebalan dan dilengkapi jungur berupa duri-duri pendek (brissae) lebar-ramping dan tebal. Bulu-bulu pada hidung tumbuh dengan baik, dan diperkirakan mungkin digunakan sebagai sensor lokasi terdapatnya lamun. Heinson dan Birch 91972) menyatakan bahwa ditemukan sedikit sekali pasir dalam usus Dugong. Hal ini diduga karena Dugong mempunyai suatu cara untuk meminimalkan termakannya pasir. Lebih lanjut Barnet dan Johns (1976) menyatakan bahwa jika Dugong makan, kepalanya diputar-putar, mungkin sebgai usaha untuk menghilangkan substrat. Pada bagian mulut Dugong yang berukuran kecil ini letaknya jauh kebelakang dari kepalanya kearah ventral dan terbentuk dengan tujuan untuk mematahkan lamun. Gigi prmaxilla Dugong lebih besar, panjang, dan tinggi.

Pada Dugong jantan mempunyai sepasang taring pada gigi serinya, sedang betinanya, gigi taring ini tidak tumbuh melanjut menembus gusinya. Gigi-gigi yang mula-mula tumbuh alan berbaris kedepan yang kemudian digantikan oleh gigi-gigi berikutnya yang tumbuh kearah samping. Gigi pengganti secara umum tereduksi baik jumlah maupun bentuknya sampai tertinggal hanya dua gigi molar yang permanent pada Dugong dewasa.

7

Dugong memiliki system fermentasi pada lambungnya, dimana mengandung banyak mikroba untuk mengahancurkan dinding-dinding sel benda yang masuk. Panjang usus Dugong dewasa dapat mencapai 30 meter (Marsh et al (1978).

Kebiasaan makan Dugong sebagai herbivore yang hidup di laut, cara makannya umumnya sama dengan cara makan herbivore di darat, yaitu mengunyah-ngunyah makanannya. Kebiasaan

makan dilakukan pada malam hari (nocturnal) tetapi dalam suatu kolam besar (oceanorium), Dugong tidak mengenal waktu makan. Hal ini dipertegas oleh Anderson dan Birtles (1978), bahwa Dugong dapat makan pada waktu malam hari maupun pada waktu lain. Pada waktu makan, Dugong lebih banyak menggunakan lubang hidung serta bibirnya daripada sirip dada untuk menggali Lumpur atau mencabut akar lamun. Lumpur yang melekat pada tumbuhan lamun dibersihkan dengan cara menyemburkan tumbuhan itu sejenak lalu ditelan (Azkab 1998).

Dugong mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dimana yang dewasa dapat menghabiskan 25 30 kg lamun basah setiap harinya. Dugong yang pernah dipelihara di Gelanggang Samudra Jaya Ancol memakan 30 40 kg lamun basah setiap harinya. Sedangkan di kolam penampungan di Australia, duyung sanggup memakan 50 55 kg lamun basah per hari (Azkab 1998).

Makanan Dugong biasanya tumbuh pada kedalaman satu sampai dua meter di bawah permukaan air laut. Jarang ditemukan Dugong sedang makan pada kedalaman lebih dari 10 meter. Jika dugong memakan lamun yang tumbuhnya pendek seperti Halodule dan Halophila, maka akan terlihat alur makannya dengan lebar 9 26 cm, dalam 3 5

8

cm dan panjang mencapai 8 m (Anderson dan Birtles 1978). Panjang alur makan bervariasi tergantung pada kerapatan lamun. Wake (1975), mendapatkan rata-rata 63% lamun termasuk rimpang tercabut dari jejak makan, bahkan sampai 80% pada kasus yang sama. Menurut Anderson (1986), akan terjadi perubahan strategi makan jika dugong makan lamun yang tumbuh tinggi, yaitu dengan mematahkan daun dari rimpang.

Interaksi dugong dengan lamun Pada tahun 1986 diperkirakan populasi dugong di Australia sekitar 10.000 ekor. Kelompok dugong dapat mencapai 600 ekor pada beberapa daerah padang lamun. Pada area tersebut sering terjadi kekeruhan karena pelumpuran dsri pencabutan lamun sebagai makanan mereka (Marsh 1986a, 1986b).

Perubahan pada kelimpahan atau kualitas nutrisi lamun mungkin akan berpengaruh terhadap pergerakan dan siklus perkawinan dari dugong. Studi tentang sejarah kehidupan dugong berindikasi bahwa dugong dapat hidup sampai 70 tahun, dan kecepatan reproduksi rendah serta memerlukan waktu lama. Dugong mempunyai waktu reproduksi minimum dengan periode 9 10 tahun untuk kedua spesies dan pada betina dewasa hanya mengandung antara 3 7 tahun (Azkab 1998).

2.4 Konservasi Jumlah populasi duyung semakin hari semakin berkurang akibat perburuandan kerusakan habitat (Anderson 1981; Lanyon 1992; Marsh 1993). Dugong merupakan salah satu spesies hewan laut menyusui yang terancam kepunahan. Dugong diburu orang untuk mendapatkan minyak, daging, dan kulitnya (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1992). Berdasarkan IUCN (The International Union for the Conservation of

9

Nature and Natural Resources) Dugong termasuk spesies yang vulnerable menuju extinct (kepunahan).

Disamping itu, perkembangbiakan Dugong sangat lambat dan hanya melahirkan seekor anak pada setiap kehamilan, sehingga perkembangan populasinya akan lambat pula (Azkab 1998).

10

BAB III METODE PENULISANMetode penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran, pengumpulan dan telaah pustaka yang relevan, aktual dan faktual dengan masalah yang dikaji. Bahan kajian tersebut adalah data-data sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Data dan informasi diperoleh dari berbagai media cetak (laporan, jurnal, skripsi, dan buku-buku) dan media elektronik (internet).

11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASANDugong merupakan hewan yang terancam punah (extinction), oleh karena itu, adalah sangat penting untuk melindunginya. Dalam upaya melindungi dugong akan lah tidak cukup hanya melindungi spesies tersebut tanpa mempertimbangkan lingkungannya. Oleh karenanya dalam karya ilmiah ini dikemukakan suatu model konservasi dugong dengan mempertimbangkan ke tiga pilar dalam suatu pengelolaan agar berkelanjutan. Adapun ke tiga pilar tersebut adalah aspek ekologi, aspek social budaya, dan aspek ekonomi.

4.1 Aspek EkologiKonservasi Dugong dugon atau duyung erat kaitannya dengan masalah lingkungan terutama sebagai habitatnya. Dewasa ini di berbagai belahan dunia berupaya untuk menyelamatkan spesies ini, mengingat jumlahnya yang makin sangat sedikit, bahkan hampir punah (extinct). Dudong dugon atau yang lebih dikenal dengan sapi laut (sea cow) adalah mamalia laut yang serius berada dalam menuju kepunahan di sebagian besar belahan dunia.

Pada hari pertama konferensi dari United Nations on Environment Programme (UNEP), agen PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengemukakan kajian mengenai dugong yang berjudul, The Dugong: Status Report and Action Plan for Countries and Territories in Its Range. Adanya ancaman bagi hewan tersebut seharusnya menjadi tamparan keras untuk milyaran manusia yang mempercayakan kehidupannya kepada sumberdaya perairan laut, karena dugong merupakan kunci indikator spesies. Mars dan Saalfeld (1989), memperkirakan bahwa setiap tahunnya sekitar 40 ekor dugong dibunuh di

12

sebelah utara Queensland. Menurut Heinsohn (1972), program penjaringan hiu dalam rangka mengurangi populasinya di pantai utara Queensland, dimana areal tersebut memiliki nilai penting sebagai aktivitas rekreasi, dilaporkan ternyata secara tidak sengaja telah membunuh dugong. Oleh karenanya, program tersebut diganti menjadi program pemancingan (Long line fishing) untuk mengurangi kecelakaan yang tidak sengaja terhadap Dugong.

Tahun 1975 , Great Barrier Reef Management Plan (GBRMP), telah melakukan upaya untuk melestarikan Dugong. Upaya pelestarian dugong tersebut dimulai dengan upaya pelestarian seagrass bed (padang lamun) sebagai habitat dugong mencari makan. Ini merupakan hal penting, karena pada padang lamun terdapat komunitas atau populasi lamun yang merupakan makanan bagi dugong. Seperti telah dipaparkan pada bab sebelumnya, spesies lamun yang menjadi makanan dugong tidaklah harus spesies tertentu tapi lebih tergantung pada spesies yang ada pada suatu padang lamun.

Faktor lingkungan lain yang memiliki dampak terhadap ekologi Dugong adalah adanya pencemaran air akibat limbah, baik yang berasal dari rumah tangga (permukiman), usaha pertanian, kegiatan pariwisata maupun limbah pencemar dari tumpahan minyak penambangan. Dampak dari limbah-limbah tersebut selain akan mempengaruhi pertumbuhan lamun, secara langsung akan dapat menganggu hidup dugong, baik secara fisiologis atau gangguan pertumbuhan yang bukan tidak mungkin dapat

menyebabkan kematian. Dilaporkan bahwa akibat dari akumulasi senyawa racun telah mengakibatkan terditeksi adanya akumulasi merkuri dan senyawa organoklorin pada otot Dugong (Miyazaki 1979).

13

4.2 Aspek Sosial Budaya Berdasarkan laporan, populasi terbesar Dugong berada di Australia, Teluk Persia dan sebagian Laut Merah, sebelah Utara dan Timur Pantai Afrika Timur< sri Langka, Indonesia, dan Kepulauan Pasifik. Di Australia, distribusi populasi terbesar berada di Australia Barat, Wilayah Utara dan Queensland.

Di Australia, suku Aborigin dan bangsa Torres Strait (ATSI: Aboriginal and Torres Strait Islanders) memegang peranan penting dalam pengembangan konservasi Dugong. Sebagai suku asli penduduk Australia, mereka memiliki hak istimewa untuk memburu Dugong. Perburuan yang mereka lakukan sebenarnya tidak melampaui dari batas

jumlah Dugong yang dapat diburu. Ini dikarenakan tangkapan dugong mereka sesuai dengan ketentuan dari GBRMP Authority. Antara ATSI dan GBRMPA ditengahi oleh Council of Elders of ATSI Communities (semacam DPR-nya ATSI) yang melaporkan jumlah hasil penangkapan Dugong, sehingga perburuan Dugong dapat terus berjalan demikian pula dengan program konservasinya. Council of Elders of ATSI Communities melaporkan informasi setiap kali diadakan penangkapan Dugong. Perburuan Dugong oleh masyarakat Aborigin dan Torres Strait, hanya dilakukan pada waktu suku tersebut merayakan perkawinan, kelahiran maupun kematian. Elders of ATSI Communities harus menjalankan tugas tersebut sebijaksana mungkin, agar kedua fungsi yaitu fungsi adat dan fungsi konservasi dapat berjalan beriringan.

Perburuan yang dilakukan oleh suku aborigin bangsa Torres Starit tersebut, jelas berbeda dengan yang dilakukan oleh pemburu yang bertujuan untuk komersialisasi. Kalau yang pertama, perburuan yang dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan adat dan tentu saja jumlah yang diburu tidak akan banyak . Disamping itu umumnya, masyarakat adapt lebih memperhatikan keberlanjutan spesies yang mereka ambil

14

seperti halnya masyarakat adapt lain (misal dalam perburuan paus di Nusa Tenggara Timur). Sedangkan yang kedua, tentu saja perburuan yang dilakukan tidak akan mempertimbangkan keberlenajutan spesies tersebut, karena tujuan utamanya adalah ekonomi semata.

4.3 Aspek Ekonomi Populasi Dugong pada wilayah distribusinya cepat menuju kepunahan, kecuali di Australia. Hal ini berkaitan erat dengan adanya ketentuan hukum mengenai penangkapan Dugong oleh suku Aborigin dan Torres strait. Dimana hanya suku tersebut yang memiliki hak istimewa untuk melakukan penangkapan Dugong, yaitu untuk kepentingan adapt. Disamping itu berdasarkan data yang ada, memang populasi

Dugong yang ada di Australia masih cukup besar.

The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumberdaya Alam) telah menggolongkan Dugong sebagai hewan yang mudah diserang dan cepat punah. Ini dikarenakan permintaan Dugong sebagai komoditas konsumsi. Oleh karenanya telah menyebabkan perburuan Dugong semakin lama semakin tidak terkendali, yang konsekuensinya tentu saja semakin berkontribusi bagi semakin cepatnya kepunahan Dugong. Disis lain, juga dikarenakan Dugong merupakan mamalia yang memiliki masa reproduksi yang cukup lama, yaitu tiap 9 10 tahun sekali dengan anak yang dilahirkannya umumnya satu ekor.

Dugong selain dapat dijadikan makanan tradisional juga memiliki segi ekonomi lainnya, seperti diambil minyaknya yang tidak kalah bernilai. Jadi jelaslah tidak heran perburuan Dugong tetap berlangsung. Melihat kondisi yang memprihatinkan dari populasi Dugong,

15

maka dibuatlah hukum internasional mengenai pelestarian Dugong. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyebabkan serta merta terhentinya perburuan Dugong, karena kenyataannya masih saja terjadi perburuan illegal terhadap Dugong. Banyak lembagalembaga sosial masyarakat yang turun membantu dalam upaya pelestarian mamalia tesebut. Di Indonesia sendiri telah ada upaya untuk mendirikan akuarium raksasa (sea world) yang merupakan salah satu tempat pelestarian Dugong secara ex-situ, sekaligus sebagai tempat rekreasi yang mengasyikan selain menguntungkan secara finansial.

Berdasarkan uraian ke tiga aspek tersebut di atas (aspek ekologi, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi), maka penulis mencoba membuat model konservasi yang memasukan ke tiga aspek tersebut.

16

Aspek Ekologi

Aspek Sosial Budaya

Aspek Ekonomi

1. Degradasi padang Lamun 2. Pencemaran air: - limbah rumah tangga - limbah pertanian - limbah pariwisata

Adat suku Aborigin dan Torres Strait

Kebutuhan konsumen (perdagangan)

Penangkapan Dugong

Kepunahan Dugong

Upaya Pelestarian Dugong

Dibuat Regulasi untuk Dugong

Dibentuk Lembaga-Lembaga Sosial Masyarakat yang Peduli terhadap Dugong

- Dilakukan penangkaran secara ex-situ untuk Dugong - Dilakukan konservasi untuk ekosistem lamun

Gambar 4.1. Model Konservasi Dugong dugon

17

BAB V KESIMPULANDugong dugon merupakan salah satu mamalia laut yang keberadaannya makin memprihatinkan. Hal ini dapat jelas diketahui dengan masuknya spesies ini dalam daftar Red Book dari IUCN dengan kategori vulnerable menuju kepunahan (extinction). Oleh karenanya perlu dilakukan upaya konservasi agar Dugong tidak benar-benar menjadi punah.

Model konservasi untuk dugong harus memasukan tiga aspek, yaitu aspek ekologi, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi, yang disesuaikan dengan kondisi setempat (conditioning).

18

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P.K. dan A. Birtles. 1978. Behavior and ecology of the Dugong. Dugong dugon (sirenia): observation in Shoalwater and Clevilands Bays, Queensland, Aust. Wildl. Res.5: 1-23. Atmadja , W.S.1999. Perkembangan dan Makna Penelitian Rumput Laut (algae makro) di Indonesia. dalam Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama, Jakarta 7 Desember 1999. P3O-LIPI, Jakarta. 42 hlm. Azkab, M.H. 1998. Duyung sebagai pemakan lamun. Oseana Volume XXIII, Nomor 3 & 4, 1998: 35 39. P3O-LIPI, Jakarta. Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan Lamun. Oseana Volume XXXI, Nomor 3, 2006: 4555. P3O-LIPI, Jakarta. Fenchel, T. 1977. Aspects of the decomposition of seagrass ecosystem. In: Seagrass ecosystem; a scientific perspective (C.P. McRoy and C. Helfferich, eds.). Marcel Dekker, Inc. New york. Hlm 123-245. Goering, J.J. and P.L. Parker. 1972. Nitrogen fixation by epiphytes on seagrasses. Limnol.Oceanogr. 17: 320-323. Harlin, M.M. 1975. Epiphyte-host relationship in seagrass communities. Aquatic Bot. 1(2): 125-131. Kiswara, W. 1994. A review: Seagrass ecosystems studies in Indonesia waters. Papers presented at the ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal resources, Chulalongkorn University, Bangkok-Thailand 16-20 May 1994. Kuo, J and A.J. McComb.1989. Seagrass taxonomy, structure and development. In: Biology of seagrasses: a treatise on the biology of seagrasses with special

19

reference to Australian region (A.W.D. Larkum, A.J. Comb and Sephered, eds.) Elsier, Amsterdam. 6-73. Lanyon, J.M., C.J. Limpus dan H. Marsh. 1989. Dugong and Turtles: grazers in the seagrass system. In: Biology of seagrass: a treatise on the biology of seagrass with special responces to the Australian region (A.W.D. Larkum, A.J.McComb dan S.A. Shepeedek). Elwseiver Science Pulb. Amsterdam: 610 634. Lanyon, J. 1992. The nutritional ecology of the Dugong (Dugong dugon) in tropical north Queensland. Sirenews 18: 17-18. Marsh, H.1993. The status of the Dugong (Abstract). Sirenews 20: 13-14. McRoy, C.P and R.J. Barsdate. 1970. Phosphate absorbtion in eelgrass. Limnol Oceanogr. 51: 6-13. McRoy , C.P. and C. Helfferich. 1980. Applied aspect of seagrass. In: Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective (R.C. Phillips and C.P. McRoy, eds.). : 297-343. Nienhuis, P; J.Coosen and W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2): 187-214. Phillips, R.C and G. Menez. 1992. Seagrasses. Smithsonian Inst. Press. Washington. 193 pp. Preen, A. 1993. Dugong: Cultivation grazers of seagrass (Abstract). Sirenews 20: 14-15. Thayer, G.W; S.M. Adams dan M.W.Lacroix. 1975. Structural and fluctuation aspects of recently established Zostera marina community. Estuarine Res.1:518-580. Thorhaug, A dan C.B. Austin. 1976. Restoration of seagrass with economic analysis. Env. Consev.3 (4):259-267. Thornback J. dan M.Jenkins. 1988. Seagrasses. Smithsonian Institution Press.

Washington. 104 hlm.

20

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT LOKAL (Skalalis Diana) BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangIndonesia merupakan Negara kepulauan yang terluas di dunia dengan sekitar 17.000 pulau, memiliki kekayaan baik fauna maupun flora yang beragam sehingga di dunia dikenal dengan sebutan megabiodiversity country. Sementara itu, mayoritas penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Hal ini dikarenakan ekosistem pesisir dan lautan merupakan sumber matapencaharian bagi mereka. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang dominan dari perairan dangkal atau perairan wilayah pesisir di daerah iklim tropis. Ekosistem ini disebut unik karena selain memiliki bentuk yang indah dari beragam spesies karangnya sendiri, juga memiliki beragam spesies biota laut yang berasosiasi dengannya. Ini menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan salah satu gudang biota dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menurut Kantor Kementrian Negara

Lingkungan Hidup dan Wetlands International Indonesia (1996), terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di dunia yang sangat produktif, dengan nilai ratarata produktivitas primernya adalah 2.500 gr/m2/tahun. Selain sangat penting secara ekologi, ekosistem yang memiliki sistem ekologi yang stabil ini mempunyai nilai dan arti yang tidak kalah pentingnya dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya. Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, terumbu karang ini antara lain berfungsi sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, dan bahan bangunan.

Disamping itu, keberadaan terumbu karang memiliki arti penting bagi perikanan laut dangkal. Manfaat lain adalah sebagai obyek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat mengagumkan. Akan tetapi dengan segala fungsinya tersebut

1

telah mendorong adanya aktivitas manusia yang tidak terkendali yang telah mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang. Kondisi tersebut menunjukkan adanya degradasi lingkungan serta tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pantai. Tekanan sosial ekonomi yang muncul yang diperburuk dengan proyek-proyek ekspansi ekonomi ke kawasan daratan pesisir atau pantai dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat telah diindikasikan sebagai penyebab utama adanya kerusakan ekosistem pesisir, termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, sumberdaya ini perlu dikelola dan dilestarikan secara bijaksana dan rasional, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dalam karya ilmiah ini akan digambarkan tentang cara-cara mengelola terumbu karang dengan mengikutsertakan masyarakat setempat sebagai ujung tombak yang sangat berperan dalam melestarikan terumbu karang. Selain itu, untuk menjawab kondisi pada saat ini yaitu dengan pengembangan terumbu buatan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat, baik dalam segi sosial, ekonomi maupun budayanya. Pada karya tulis ini digunakan studi kasus di Sulawesi Utara (Manee) dan Maluku (Sasi) dan Dusun Jemluk, Bali.

1.2 Tujuan PenulisanKarya tulis ini bertujuan untuk mengkaji beberapa fenomena yang terjadi saat ini berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang berbasiskan masyarakat.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Biologi Karang dan Terumbu KarangKarang (koral) merupakan komunitas laut yang sangat unik, dimana sebagian

besar karang merupakan binatang-binatang kecil yang disebut polip, hidup berkoloni dan membentuk terumbu (Wesmacott et.al. 2000). Menurut Nybakken (1982),

terumbu adalah hasil sedimentasi kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang-karang hermatifik (Klas Anthozoa), alga koralin, dan organisme lain. Organisme karang menurut Morton (1990), termasuk ke dalam Filum Cnidaria bersama-sama dengan ubur-ubur, hydroid, hydra air tawar, dan anemone laut). Karang dapat hidup baik secara soliter maupun koloni, tetapi umumnya

membentuk koloni (Morton 1990). Koloni karang terdiri dari ribuan individu hewan yang disebut koralit, dimana setiap koralit terdiri dari polip, septa, dan tentakeltentakel nematokost, sedangkan simbiose zooxanthellae berada pada lapisan gastrodermis dar koralit (Morton 1990). Beberapa spesies zooxanthellae dapat hidup di satu spesies karang (Rowan dan Knowlton 1995, Rowan et. al . 1997). Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip (Sebens 1997). Koloni karang bereproduksi, baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari spesies dan kondisinya, dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, didekat terumbu karang, atau terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya (Richmond 1997). Reproduksi aseksual terjadi bila patahan-patahan karang terlepas dari koloni induknya, dan apabila patahan tersebut

3

mendarat pada substrat yang tepat maka ia dapat menempelkan kembali dirinya sendiri dan berkembang menjadi koloni baru (Wesmacott et.al. 2000). Recruitment atau peremajaan adalah suatu proses dimana karang yang masih muda mengalami penempelan larva dan bermetamorfosis menjadi bagian dari populasi dewasa dan komunitas terumbu karang.Setelah melewati tahap berenang bebas di kolom perairan, larva kemudian menempel pada substrat yang cocok; dimana keberadaan substrat yang cocok merupakan bagian penting bagi kesuksesan peremajaan karang (Wesmacott et.al. 2000). Karang memperoleh makanannya dengan dua (2) cara; pertama dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton, dan kedua melalui alga simbionnya (Rowan dan Knowlton 1995). Menurut Muscatine (1990), zooxanthelllae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang. Apabila dilihat dari bentuk pertumbuhan (lifeform) individu atau koloni karang, maka dapat dibedakan menjadi enam (6) macam yaitu tipe bercabang (branching), tipe padat (massive), tipe daun (foliose), tipe kerak (encrusting), tipe jamur (mushroom), dan tipe meja (tabulate) (Morton 1990). Dan berdasarkan struktur geomorfologinya serta proses pembentukannya, terumbu karang dapat dibedakan atas empat (4) tipe terumbu karang; yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang kecil atau takat (patch reef/ platform reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dancincin (atoll) (Morton 1990, Rompas dan Usher 1992).

2.2

Faktor LingkunganKualitas air merupakan fakor penting bagi kehidupan karang, menurut

Berwick (1983) dan Nontji (1987), untuk hidupnya karang mememerlukan persyaratan hidup tertentu. Persyaratan tersebut yang terpenting adalah suhu, salinitas, kecerahan air, sedimentasi, arus, dan cahaya.

4

Suhu optimal bagi pertumbuhan karang menurut randhal dan Myers dalam Darjamuni (1986) berkisar 25 30oC. Sedangkan menurut Berwick (1983), suhu optimum berkisar 23 25oC dan pada suhu air tahunan di bawah 18oC maka karang tidak akan mengalami perkembangbiakan. Menurut Divlev (1980), salinitas optimum untuk pertumbuhan karang berkisar 32 -35 ppt. Sedangkan pada kondisi salinitas di atas atau di bawah 30 35ppt, perkembangan karang tidak baik (Berwick 1983 dan Nybakken 1982). Dan menurut Nybakken (1982), kedalaman maksimum karang untuk dapat membentuk terumbu karang adalah 50 70 m. Tetapi karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman kurang dari 25 meter dengan suhu rata-rata minimum tahunan 20oC. Selain itu, lokasi yang baik untuk pertumbuhan karang adalah adanya sumber cahaya untuk berfotosintesis, sedimentasi hanya terbatas pada kolom air serta jangan ada makroalga. Ini dikarenakan adanya makroalga dapat merupakan pesaing untuk mendapatkan cahaya matahari dan membatasi penempelan larva (Richmond 1997).

2.3

Kondisi dan Ancaman Terhadap KarangKondisi karang di Indonesia, berdasarkan data yang tercatat pada buku

Status of Coral Reefs of the Word: 2000; adalah 40% terumbu termasuk dalam kategori jelek (penutupan karang hidupnya < 25%), dan hanya 29% dipertimbangkan termasuk dalam kategori baik sampai sangat baik (penutupan karang hidupnya >50%). Keanekaragaman spesies karangnya berjumlah 450 spesies. Kondisi terumbu karang di Indonesia bagian Timur lebih baik kondisinya dibandingkan bagian Barat, akan tetapi juga menurun sangat cepat. Ancaman terhadap terumbu karang adalah terjadinya pemutihan karang, baik akibat perubahan iklim (climate change) yang mengakibatkan penaikan suhu muka air laut, juga aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan

5

terumbu karang adalah reklamasi lahan pesisir, pembuangan limbah, kegiatan wisata (diving dan snorkeling), kegiatan perikanan yang merusak (pemakaian bom, racun, dan alat tangkap yang tidak selektif), serta eksploitasi karang/ terumbu karang secara langsung (Wesmacott 2000). Kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi di Indonesia, menurut Herman Cesar (Konsultan World Bank) dalam COREMAP (Coral Reefs

Rehabilitation and Management Program) (1998), dapat mengakibatkan Indonesia kehilangan sekitar 46 juta dolar Amerikaa dalam waktu empat (4) tahun. Hal ini dapat terjadi apabila penggunaan bahan peledak dengan tujuan utama mengambil ikan karang tidak dihentikan.

2.4

Pemberdayaan MasyarakatPemberdayaan berasal dari bahasa Inggris, empowerment. Kata power

dalam empowerment berarti daya, sehingga diartikan sebagai pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Konsep ini muncul sekitar tahun 1980-an dimana Negara-negara di dunia mulai menyadari fakta bahwa disamping kemajuan pembangunan juga terjadi degradasi lingkungan hidup (Kartasasmita 1996). Sidang Umum PBB pada tahun 1983 menyepakati untuk membentuk suatu komisi untuk mempelajari tantangan lingkungan dan pembangunan serta cara-cara menanggulanginya. Pada tahun 1984, Sekjen PBB mangangkat Ny. Gro Harlem Brudtland (Perdana Menteri Norwegia) sebagai Ketua Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment and Develepment); salah seorang anggotanya, Prof. Emil Salim. Sidang kerja pertama komisi ini justru dilakukan di Jakarta pada Maret 1985. Agendanya berupa dialog langsung dengan pemerintah, pengusaha, dan lembaga-lembaga swadaya

masyarakat (Kartasasmita 1996).

6

Tahun 1987, komisi membuat laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang juga dikenal sebagai The Brundtland Report. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, komisi merekomendasikan pembaharuan hukum, dimana cara yang paling baik menurut komisi adalah: 1. desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang hidup masyarakat setempat; dan 2. pemberian penyuluhan yang efektif pada masyarakat mengenai

penggunaan sumberdaya tersebut. Dua cara untuk menerapkan hukum yang disukung masyarakat di atas kemudian dikenal sebagai konsep manajemen berbasis masyarakat (communitybased management). Dengan konsep pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat, tidak berarti upaya mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan terhambat. Pertumbuhan hanya akan berkesinambunagan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa produktivitas rakyat maupun sumberdaya yang berkembang melalui pengatan ekonomi rakyat atau lebih dikenal dengan pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembanguan, yakni bersifat people-centered, paryticipatory, empowering, and sustainable (Chamber dalam kartasasmita 1996). Salah satu upaya penting dalam strategi pemberdayaan, adalah pendididkan, dan melalui pendidikan pengembangan dan penyerapan ilmu pengetahuan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: 1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah bawa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan

7

mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) 3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat bukan hanya menyangkut konsep pembanguna ekonomi, melainkan juga konsep social, budaya, poltik dan kesejahteraan dalam ukuran material. Hal ini berkenaan dengan harkat dan martabat kemanusiaan dimana kemajuan dan kemandirian sebagai sasaran-sasaran utama pembangunan bukan hanya diukur dari kemampuan ekonomi, melainkan juga sikap seseorang atau masyarakat dalam menyikapinya. Pada dasarnya masalah sikap adalah masalah budaya. Oleh karena itu, konsep pembangunan kita sebenarnya menetapkan perilaku sosbud yang harus didasari oleh kebudayaan (Kartasasmita, 1996).

8

BAB III METODE PENULISANMetode penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran, pengumpulan dan telaah pustaka yang relevan, aktual dan faktual dengan masalah yang dikaji. Bahan kajian tersebut adalah data-data sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Data dan informasi diperoleh dari berbagai media cetak (laporan, jurnal, skripsi, dan buku-buku) dan media elektronik (internet).

9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Di Indonesia, terumbu karang atau ekosistem terumbu karang telah mengalami tekanan yang besar terutama akibat pengaruh manusia. Selama ini ada beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya penelolaan terumbu karang, diantaranya adalah kurang data dan informasi yang lengkap. Disamping itu, pengelolaan yang ada masih banyak belum berpihak pada masyarakat lokal yang sesungguhnya berhak memperoleh manfaat dari keberadaan ekosistem terumbu karang tersebut. Tapi hal yang paling mendasar adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat (Community awareness) yang hidup disekitarnya, yang tergantung, membutuhkan, dan atau mempengaruhi ekosistem terumbu karang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan ekosistem terumbu karang pada setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda, sesuai dengan kondisi stempat (conditioning); seperti adanya perbedaan lingkungan ekologis, geografis, serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang adalah eksploitasi spesies-spesies ikan karang dengan menggunakan bom, racun (misal potassium cyanide), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bubu tindih serta penambangan karang itu sendiri. Dalam pengelolaan ini keterkaitan antara masyarakat yang menetap di sekitarnya, budaya dan lingkungan yang biasa dipahami sebagai konsep social budaya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Sedangkan lingkungan social budaya ini merupakan komponen penting yang ikut menentukan

pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

10

Selama ini, eksploitasi suberdaya pesisir dan laut, yang bertindak sebagai pelaku utamanya adalah masyarakat pesisir termasuk nelayan, akan tetapi sampai sekarang kehidupan dan taraf hidup mereka umumnya tidak banyak mengalami perubahan, tetap saja merupakan masyarakat prasejahtera. Seandainya kondisi tersebut terus dibiarkan bukan hal yang tidak mungkin pemanfaatan sumberdaya alam yang ada akan semakin memburuk. Dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir terutama nelayan adalah paling besar karena mereka lah yang langsung berhubungan dengan alam. Biasanya masyarakat nelayan memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya termasuk terumbu karang. Akan tetapi dengan rusaknya ekosistem terumbu karang tersebut, mengakibatkan mereka yang sangat tergantung dengan ekosistem tersebut akan sangat dirugikan. Dan apabila kita hubungkan

dengan salah satu fungsi ekologis terumbu karang yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground) dan tempat asuhan (nursery ground) bagi beragam spesies biota termasuk ikan, maka masyarakat terutama nelayan yang akan terpengaruh tidak hanya mereka yang mengambil ikan di sekitar ekosistem terumbu karang tetapi juga nelayan yang memanfaatkan ikan-ikan lain yang tempat pemijahannya berada di ekosistem terumbu karang. Sehingga hal tersebut, pada gilirannya akan merugikan nelayan secara ekonomi. Selain nelayan yang berstatus sebagai ABK (anak buah kapal), maka yang akan mengalami kerugian tidak hanya pemilik modal dan atau juragan kapal, bakul ikan, serta pelaku-pelaku lain, akan tetapi seluruh pelaku yang ada kaitannya dengan bidang perikanan, khususnya perikanan tangkap. Apabila kondisi tersebut tetap dibiarkan, maka dapat dibayangkan berapa jumlah manusia yang akan dirugikan. Oleh karenanya, dalam hal ini pengelolaan sangat diperlukan. Dalam tulisan ini, pengelolaan ekosistem terumbu karang yang akan dikemukakan adalah pengelolaan dengan konsep pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lingkungannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan harapan masyarakat tersebut merasa bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Dimana kegiatan

11

pengelolaan ini tidak semata-mata ditinjau dari sisi potensi daerah sekitarnya saja, tetapi juga seberapa besar masyarakat tersebut menimbulkan kerusakan. Ini dikarenakan potensi kerusakan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor obyektif pada masyarakat setempat, yang menyangkut persoalan sosial ekonomi dan sosial budaya. Dalam suatu pembangunan yang berkelanjutan, maka masyarakat harus diberdayakan. Oleh karena itu, dasar pandangnya kemampuan potensinya. masyarakat Menurut dengan mengembangkan Kartasamita adalah meningkatkan dan mendinamisasikan pemberdayaan

Chamber

dalam

(1996),

masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembanguan, yakni bersifat people-centered, paryticipatory, empowering, and sustainable. Pengelolaan masyarakat sebagai berbasis pengelola masyarakat untuk ini, bertujuan mengikutsertakan yaitu dengan

kepentingan hal ini

ekologis, untuk

menyelamatkan

daerah

sekitarnya.

Dalam

mempertahankan

keberlangsungan sumberdaya ekosistem terumbu karang dalam jangka panjang, sehingga fungsinya dapat lestari dan pemanfaatannya berkelanjutan. Pemanfaatan yang berkelanjutan disini dimaksudkan untuk kepentingan ekonomis yaitu

memanfaatkan semberdaya yang tersedia seefektif dan seefisien mungkin sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomis jangka pendek untuk kepentingan masyarakat tanpa harus melakukan perusakan lingkungan. Disamping juga bagi kepentingan sosial masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara langsung berpartisipasi aktif dalam menentukan pengelolaan dan pembangunan yang berkelanjutan di daerahnya masing-masing. Menumbuhkan kesadaran masyarakat, sebaiknya dilakukan secara

menyeluruh yaitu disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat yang ada. Selain itu, adanya hukum adat yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat, dapat merupakan jalan yang lebih mudah untuk dapat menjadikan perilaku masyarakat

12

lebih arif dalam memperlakukan lingkungannya. Misalnya, di daerah Sulawesi Selatan dikenal adanya Panglima sebagai pemimpin adat atau orang yang dituakan masyarakat dalam menentukan jenis, alat, waktu, dan tempat tangkapan ikan dalam suatu kawasan tertentu. Pengetahuan kelompok atau komunitas yang telah ada, sebaiknya di legitimasi sebagai lembaga yang akan memberikan masukan dan informasi dalam menentukan suatu kebijakan pengelolaan. Dengan adanya legitimasi tersebut, komunitas mendapat tanggungjawab moral dan akan merasa sebagai bagian yang terlibat aktif serta diakui dalam pengelolaan lingkungannya. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian terumbu karang dapat terwujud apabila ada rangsangan yang menguntungkan bagi mereka, terutama dari segi ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat pesisir dan nelayan umumnya adalah masyarakat yang berada pada tingkat prasejahtera. Dalam kondisi demikian, sangat sedikit kemungkinan bagi mereka untuk memperhatikan pelestarian alam dan menjaga kualitas lingkungan. Sebagai gambaran dari uraian sebelumnya. Maka berikut akan diuraikan sedikit tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan serta manfaat yang diperolehnya. Gambaran ini merupakan suatu studi kasus Idi perairan pantai Jemluk, Kabupaten Karangasem, Bali. Kawasan pesisir Jemluk dihuni oleh sekitar 87 kepala keluarga (KK) yang bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Bidang perikanan di kawasan ini masih bersifat tradisional, dimana nelayan menangkap ikan menggunakan perahu jukung dan alat tangkap utama adalah pancing tonda dengan spesies sasarannya adalah tongkol dan cakalang.Selain menangkap ikan, nelayan umumnya memiliki usaha lain seperti beternak, berladang, dan melayani antar jemput turis untuk memancing, snorkeling, atau menyelam. Kawasan pasang surut di Jemluk digunakan untuk bermain anak-anak serta tempat pembuangan sampah. Disamping itu, pada musim tertentu untuk

13

penangkapan

nener

dengan

menggunakan

serok,

tambat

perahu

serta

penggembalaan babi. Sedangkan kawasan daratannya/ pantai datar digunakan untuk permukiman, pendaratan perahu, berkebun, berladang, basis kegiatan wisata laut, lading garam, dan pembuangan sampah. Dan daerah perbukitan digunakan untuk permukiman, kandang dan penggembalaan ternak, pembuangan sampah, serta lading dan kebun. Pada kawasan pesisir Jemluk potensial untuk dibuat terumbu buatan yang merupakan salah satu solusi teknis dalam meningkatkan produktivitas alami pada area yang telah mengalami degradasi habitat. Penempatan terumbu buatan ini dimulai pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan terkait dengan Proyek pelestarian LHidup Perikanan. Pelaksanaannya secara penuh melibatkan dukungan masyarakat local serta instansi pemerintah di tingkat daerah (Dinas perikanan, Dinas Pariwisata, dan Pemerintah Daerah). Dengan adanya terumbu buatan ini, masyarakat dapat mengambil manfaatnya, antara lain: Pemanfaatan waktu luang Keberadaan terumbu buatan telah menambah kegiatan masyarakat setempat yang bisa dilakukan pada waktu biasanya mereka tidak memiliki aktivitas usaha. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa pelayanan pariwisata dan memancing ikan-ikan dasar dan ikan-ikan karang. Pelayanan pariwisata Pada awal penempatan, wisatawan asing menilai bahwa terumbu buatan telah mengganggu aktivitas selam atau mengotori pantai, tetapi setelah sekitar tiga bulan sampai satu tahun, banyak pujian dari wisatawan akan keindahan ekosistem buatan tersebut. Para istruktur selam biasanya memanfaatkan keberadaan terumbu buatan sebagai salah satu promosi pada wisatawan.

14

Kegiatan memancing ikan-ikan dasar dan ikan-ikan karang Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan setempat sebelumnya hanya dilakukan selama enam bulan dalam setahun, yaitu sekitar bulan Juni sampai bulan November. Setelah itu, nelayan biasanya menganggur kecuali yang memiliki kegiatan berladang atau memelihara ternak. Seteh berfungsinya terumbu buatan dalam meningkatkan produktivitas alami perairan pantai setempat, musim tidak melaut tersebut telah dapat diisi dengan kegiatan memancing ikan dipinggiran terutama di lokasi-lokasi penempatan terumbu buatan. Selain itu beberapa anak nelayan seharian bisa memancing ikan di sekitar terumbu buatan.

Berdasarkan alas an-alasan tersebut, nelayan menilai bahwa pengembangan terumbu buatan juga telah meningkatkan pendapatan atau secara ekonomi menguntungkan. Keberhasilan tersebut dikarenakan sejak awal masayarakat setempat telah diberdayakan. Dalam hal ini, mereka telah dilibatkab dan dilakukan penyuluhanpenyuluhan yang berkaitan dengan rencana pengembangan terumbu buatan yang dimaksudkan khususnya untuk meningkatkan produktivitas alami daerah-daerah yang telah mengalami kerusakan. Hal ini juga akan sejalan dengan rencana pengembangan kawasan Jemluk sebagai tujuan wisata secara berkelanjutan dan kelestarian lingkungan pantai. Sesuai dengan pengamatan, secara berkelanjutan telah ada perubahanperubahan positif pada masyarakat. Paling tidak, karena sadar diuji, masyarakat telah paham hal-hal yang tidak dan boleh dilakukan agar kebersihan dan kelestarian lingkungan terjaga.