modal sosial ritzer dan relasinya dengan pengelolaan hutan

18
1 BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan . Pokok bahasan a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000) dalam Supriono, dkk. (2011). Adapun Cox (1995) dalam Supriono, dkk. (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma- norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Senada dengan beberapa pernyataan di atas, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan- aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Secara sederhana, modal sosial dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Jika anggota kelompok itu yakin bahwa anggota yang lain dapat dipercaya dan jujur, mereka akan saling percaya. Kepercayaan itu seperti pelumas yang membuat kelompok atau organisasi dapat dijalankan secara lebih efisien (Fukuyama, 2005). Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara gotong royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan- perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan

Upload: muhtar-tahir

Post on 11-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa).

TRANSCRIPT

1

BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan

.

Pokok bahasan

a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial

Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di

dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat

dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga

kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal

sosial ditransmisikan melalui mekanisme mekanisme kultural seperti agama, tradisi,

atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu

masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial

dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000)

dalam Supriono, dkk. (2011).

Adapun Cox (1995) dalam Supriono, dkk. (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai

suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-

norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi

dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Senada dengan beberapa

pernyataan di atas, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu

hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai

kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi

unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-

aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

Secara sederhana, modal sosial dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma

yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di

antara mereka. Jika anggota kelompok itu yakin bahwa anggota yang lain dapat

dipercaya dan jujur, mereka akan saling percaya. Kepercayaan itu seperti pelumas yang

membuat kelompok atau organisasi dapat dijalankan secara lebih efisien (Fukuyama,

2005). Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara

gotong royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-

perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan

2

tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ’kelompok kita’ dan ’kelompok

mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul

’kambing hitam’ (Suharto, 2007).

Modal sosial juga menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu

untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh

nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Sarageldin, 1999)

dalam Supriono, dkk. (2011). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial

dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam

kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan

menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat

tersebut (Coleman, 1999).

Namun demikian Fukuyama (2000) dalam Supriono, dkk. (2011) dengan tegas

menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani

sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal

sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan

oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap

keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah

komunitas masyarakat yang didasarkan pada normanorma yang dianut bersama oleh

para anggotanya.

Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat

ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan

penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas

hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus.

Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa

terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap,

bertindak, dan bertingkah-laku, serta membangun jaringan dengan pihak lain.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap

yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima,

3

saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan

masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai,

membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru.

Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak

pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan

guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi

yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang

ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.

Senada dengan itu, Coleman (1999) juga menyatakan adanya tiga elemen penting dalam

modal sosial, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan

(3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini diyakini menentukan corak

karakter (physical character) suatu masyarakat. Sejalan dengan definisi dan dimensi

modal sosial, maka kajian terkait tipologi modal sosial berkenaan dengan bagaimana

perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang

berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi

yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat

muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.

(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)

Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang

menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri

khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam

(inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam

masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius

(cenderung homogen). Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bonded

atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki

tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat

tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang

tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki

feodal, kohesifitas yang bersifat bonding.

4

(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga

disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat.

Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal

tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilainilai kemajemukan dan

humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, bahwasanya

setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban

yang sama. Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara,

mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut.

Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan,

penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip

dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Bridging

social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan

menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan

reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk

berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara

universal.

Mengikuti Colemen (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam

gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang untuk), yang

mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang

dihadapi oleh kelompok (internal maupun eksternal). Pada keadaan tertentu jiwa

gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan

terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbolsimbol dan kepercayaan-

kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok

masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense

of solidarity (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging

capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan

kemajuan dan kekuatan masyarakat.

Menurut Suharto (2011), meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang

berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya

5

dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagai cara mencapai tujuan bersama yang tidak

jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini terutama

terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan

modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai

tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang

tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial dapat diinvestasikan bagi

kegiatan di masa depan.

Lebih lanjut Suharto (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial

tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan

mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki

modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya

‘kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan

sosial, serta seringnya muncul ‘kambing hitam’.

Modal sosial bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi

manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial

menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas

masyarakat. Modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (self-

reinforcing) (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Modal sosial tidak akan habis jika

dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering

disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Modal sosial

juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman,

1988 dalam Suharto, 2011). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama,

asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya

memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995 dalam Suharto, 2011).

Merujuk pada Ridell (1997) (dalam Suharto, 2011), ada tiga parameter modal sosial,

yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan (networks). Sebagaimana

dijelaskan Fukuyama (1995) dalam Suharto (2011), kepercayaan adalah harapan yang

tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur,

teratur, dan kerjasama berdasarkan normanorma yang dianut bersama. kepercayaan

6

sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. (Cox, 1995 dalam Suharto,

2011), kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan

tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat

kerjasama.

Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik.

Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang

kokoh; modal sosial yang baik melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam,

1995 dalam Suharto, 2011). Kerusakan modal sosial akan menimbulakn anomie dan

perilaku anti sosial (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011).

Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar

manusia (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Jaringan tersebut memfasilitasi

terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan

memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan

sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka

kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal

(Onyx, 1996 dalam Suharto, 2011). Putnam (1995) dalam Suharto (2011), berargumen

bahwa jaringan-jaringan sosial yangg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para

anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran

modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005) dalam Suharto, 2011):

1. Perasaan identitas

2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi

3. Sistem kepercayaan dan ideologi

4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan

5. Ketakutan-ketakutan

6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat

7. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya

pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan

sosial)

7

8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu

9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya

10. Tingkat kepercayaan

11. Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya

12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan

Partha dan Ismail S. (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial

sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas

dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu

sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara

bersama-sama. Solow (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial

sebagai serangkaian nilai-nilai atau normanorma yang diwujudkan dalam perilaku yang

dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi

untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama,

tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000 dalam Supriono, 2011). Modal sosial

dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti

dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akusisi modal sosial memerlukan

pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya

sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan

dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.

Bank Dunia (1999) dalam Supriono, meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang

merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma

yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Dimensi

modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya berisi nilai dan

norma serta pola-pola interaksi sosial di dalam mengatur kehidupan keseharian

anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Supriono, 2011). Dimensi sosial

menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai

tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan

norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999 dalam

8

Supriono, 2011). Minimal ada 4 kategori mengenai modal sosial yang menjadi aspek

pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik, (3) tata aturan, norma

dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty

& Ward, 2001 dalam Supriono, 2011).

Coleman (1990) menjelaskan bahwa modal sosial (social capital) merupakan struktur

hubungan atau relasi diantara dua atau banyak aktor yang mendorong terjadinya

kegiatan-kegiatan produktif. Modal sosial memicu munculnya aktifitas bersama dengan

biaya yang sangat murah dan memfasilitasi adanya kerjasama antar aktor tersebut. Ada

beberapa kategori atau diskripsi mengenai modal sosial, tetapi paling tidak ada 4 hal

yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik dan

pertukaran, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan

organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001). Sedangkan menurut Pennington &

Rydin (1999), istilah modal sosial mencakup beberapa hal berikut :

- tingkat kepercayaan

- keluasan jaringan

- intensitas hubungan dalam jaringan

- pengetahuan dalam melakukan interaksi

- kewajiban dan harapan dalam hubungan tersebut serta hubungan timbal balik

- bentuk-bentuk pengetahuan lokal

- pelaksanaan norma-norma

- keberadaan dan konsistensi dalam menerapkan sangsi untuk setiap pelanggaran

b. Contoh Wujud Modal Sosial Masyarakat Desa Jono, Bojonegoro

Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jono memunculkan potensi modal sosial yang

produktif. Kultur yang dibangun secara kolektif, memberikan warna tersendiri bagi

karakter masyarakat Jono. Karakter tersebut merupakan wujud nilai-nilai yang saling

berkaitan dengan elemen-elemen dalam modal sosial. Mengutip pernyataan Coleman

(1999), bahwasanya modal sosial memiliki tiga elemen penting yang diyakini

menentukan corak karakter masyarakat, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial

(social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini pula

yang menjadi wujud modal sosial masyarakat Desa Jono dalam mentransformasikan

9

nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliknya. Selanjutnya, di bawah ini akan di bahas lebih

jelas terkait elemenelemen modal sosial masyarakat Desa Jono, beserta esensi nilai-nilai

modal sosial yang ditransformasikan dalam kehidupan sosial budayanya.

1. Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan memainkan perannya dalam menciptakan kerukunan hidup masyarakat

Jono. Dalam konteks modal sosial, elemen kepercayaan dipahami sebagai ruh yang

menghubungkan jaringan-jaringan kerja dalam dimensi nilai dan norma yang saling

terintegrasi. Adanya trust (kepercayaan) sebagai bagian elemen utama modal sosial,

menjadi atribut kuat untuk membangun solidaritas masyarakat Jono yang disatukan

dalam persamaan kultur. Masyarakat Jono menyadari potensi kultur tersebut sebagai

kekuatan untuk mempersatukan banyak kepala dengan satu visi yang progresif, yakni

terbina kerukunan hidup bersosial dan beragama. Hal ini pun tak dapat dipungkiri juga

dipicu oleh kapasitas dan kapabilitas key person atau local strong man di Desa Jono

untuk mengorganisir dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat.

Tumbuhnya sikap saling mempercayai, baik antar anggota masyarakat, antar

masyarakat dengan pemimpin desa, atau antara masyarakat dengan pihak luar,

memberikan manfaat yang positif untuk menepis kesenjangan sosial di antara anggota

masyarakat. Ragam seni budaya yang ada di Jono menjadi salah satu media mempererat

tali silaturahim masyarakat. Terlepas dari dominasi agama Islam di Desa Jono, nyatanya

mereka mampu membentuk ikatan sosial (social glue), tanpa membedakan latar

belakang agama, jabatan, pendidikan, dan status sosial lainnya. Meski demikian,

kepercayaan yang dibangun atas dasar religiusitas maupun dalam bentuk trust (rasa

saling percaya) yang lebih mengarah pada sisi asosiatif tersebut, berjalan beriringan

tanpa ada kendala yang signifikan dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat.

Relasi yang terbangun berdasarkan kepercayaan di Desa Jono menampakkan asosiasi

sosial yang sehat, produktif, berkarakter, dan beretika. Rasa saling percaya semakin

menumbuhkan sikap empati, senasib sepenanggungan, dan tepo seliro. Sangat jarang

dijumpai konflik di antara masyarakat, apalagi sampai terseskalasi menjadi tindak

kekerasan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelompok tertentu dalam

10

skala minoritas yang belum memahami esensi kepercayaan tersebut. Kelompok

minoritas itu cenderung kontra terhadap upaya positif masyarakat untuk memperbaiki

kualitas hidup bersama demi kemajuan Desa Jono.

“Mayoritas masyarakat di Jono guyub rukun, hanya ada kelompok tertentu yg

kontra/pasif terhadap dinamika perkembangan desa. Mereka bisanya hanya duduk dan

ngrasani (menggunjing), tapi tidak mau berusaha berbuat lebih. Secara umum,

masyarakat Jono terbuka dengan perubahan yg positif, sikap gotong-royong dan saling

percaya.”

(wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012).

Kepercayaan (trust) kian tumbuh seiring upaya kebersamaan masyarakat Jono

menciptakan public spaces yang demokratis dan berkeadilan, terutama dalam ranah

kehidupan politik. Tumbuhnya kepercayaan tersebut juga didukung oleh kapasitas dan

kapabilitas seorang pemimpin. Hal ini ditunjukkan masyarakat Jono terhadap

kepemimpinan Kepala Desa atau Lurah yang menjabat pada periode saat ini (2008-

2014), yaitu Pak Dasuki. Kepemimpinan beliau yang baik dan dinilai mampu

mengayomi kepentingan desa, dirasakan warga sebagai salah satu poin positif

terciptanya keharmonisan dalam masyarakat. Gaya kepemimpinan yang srawung lan

pangerten dari seorang Lurah Jono direspon positif pula dengan guyubnya warga untuk

bergotong-royong membangun desa. Agenda kepengurusan Pak Lurah selama periode

berjalan dinilai berhasil dan cukup representatif bagi kepentingan masyarakat dan Desa

Jono, terutama dalam merintis identitas Desa Wisata Budaya. “Jujur saya katakan

program Pak Lurah itu kalau raport saya menilai lebih dari 10, kalau angka mungkin

boleh 20 bisa sampai 20, jadi melebihi target, melebihi program apa yang dikerjakan.”

(wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012).

Di sinilah tercermin nilai-nilai modal sosial yang terbangun dalam jati diri masyarakat

Jono, seperti sikap saling percaya mempercayai, sikap partisipatif, sikap

memperhatikan, serta saling memberi dan menerima.

2. Norma-Norma Sosial (Shared Norms)

Nilai dan norma terintegrasi dalam sebuah konstruksi tata aturan yang berlaku umum

dalam sistem kehidupan masyarakat Jono. Norma-norma tersebut dibuat oleh

masyarakat Jono sebagai sebuah aturan hidup yang ditaati bersama, dan tentunya ada

11

mekanisme sanksi yang mengikutinya. Dinamika masyarakat Jono selalu terikat pada

nilai dan norma sebagai acuan dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, terutama

dalam konteks tradisi budaya lokal. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa norma-norma

sosial menopang kepercayaan yang berupa harapan terhadap kejujuran, keteraturan, dan

perilaku kooperatif dalam sebuah masyarakat. Norma-norma tersebut bisa berisi

pernyataan-pernyataan yang mengarah pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.

Berlakunya norma juga mendukung kesetaraan hak dan kewajiban dalam masyarakat, di

mana akses terhadap suatu sumberdaya memang dibutuhkan kontrol sosial yang

berkeadilan, terutama di era desentralisasi semacam ini.

Sistem kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jono mengandung nilai dan norma

sebagai pandangan hidup bersama. Nilai-nilai budaya tersebut berfungsi untuk

mengatur kehidupan masyarakat agar berlaku sesuai hakikatnya sebagai makhluk sosial

yang hidup selaras dengan alam, layaknya ajaran masyarakat Samin dahulu. Sebagai

contoh adalah tradisi kemisan (kerja bakti massal setiap hari kamis), di mana

masyarakat bergotong-royong membersihkan lingkungan Desa Jono. Adat ini bukan

hanya sebatas prosesi kultural semata, tapi di balik itu mengajarkan masyarakat Jono

untuk lebih menghargai lingkungan dengan cara menjaga kebersihannya, termasuk

melestarikan fungsi hutan. Ragam budaya religi di Desa Jono, seperti manganan,

tahlilan, sedekah bumi, nyadran dan lain sebagainya, sejatinya juga mengandung ajaran

hidup yang positif, yakni bentuk rasa syukur, sikap empati, kebersamaan, kekeluargaan,

dan solidaritas. Bukan lantas mengesampingkan hukum agama, namun masyarakat Jono

memahami akulturasi budaya Islam-Jawa tersebut sebagai bagian sistem kehidupan

yang saling menguatkan.

Semarak modal sosial yang tercermin dalam sikap-sikap demokratis, partisipatif, serta

berkeadilan, menjadikan masyarakat Jono lebih bijak dalam mengambil segala

keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Contohnya dalam ranah politik

lokal, di Desa Jono terdapat tradisi pulung (secara harfiah berarti keisteimewaan) untuk

mekanisme pemilihan kepala desa. Tradisi ini merupakan terapan tradisi Jawa kuno

yang mengatur norma-norma kehidupan politik desa dalam menentukan calon

pemimpin di wilayahnya. Seperti pada prosesi pemilihan Lurah Jono tahun 2008 silam,

12

masyarakat secara partisipatif menggunakan hak pilihnya dengan menunjuk calon Lurah

yang mempunyai etos kerja, kejujuran, kecerdasan, dedikasi, hubungan elit dengan

Lurah sebelumnya, serta kedekatannya dengan warga. Jadi tidak semata-mata garis

keturunan Lurah yang boleh menjabat sebagai penggantinya, tetapi personal yang

dipandang secara obyektif berkapasitas untuk menyandang jabatan tersebut. Jika

terbukti ada pelanggaran terhadap peraturan dan norma yang berlaku, maka masyarakat

tidak segan-segan untuk mengganti pemimpinnya.

Dimensi norma sosial berupa aturan formal tertulis maupun aturan non formal yang

melekat dalam tradisi budaya sebagai suatu lembaga (sistem tata aturan). Wujud

lembaga formal seperti ini biasanya tertulis pada tata aturan institusi atau kelembagaan

formal. Sebagai contoh adalah Pemerintahan Desa Jono yang mempunyai aturan-aturan

formal dalam menjalankan mekanisme tata kelola rumah tangga desa. Selain itu, di

Desa Jono juga terdapat banyak kelembagaan formal lainnya seperti Desa wisata

Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), PKK, Posyandu, Karang

Taruna, Paguyuban Seni, LMDH, Koperasi LMDH, home industry (industri lokal), dan

lain sebagainya. Tiap lembaga tersebut memiliki peraturan-peraturan (baik formal

maupun non formal) yang berfungsi mengatur jalannya roda kelembagaan,

menjembatani konflik dalam dinamika kelembagaan, serta menciptakan ketertiban

dalam kelembagaan. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga stabilitas lembaga dalam

mewujudkan visi dan misinya masing-masing demi mendukung kemajuan desa.

3. Jaringan Sosial (Social Networking)

Jaringan sosial memudahkan masyarakat Jono dalam mencapai tujuan bersama,

serta memberikan manfaat secara personal maupun komunal. Idealnya, ketika modal

sosial bekerja, maka aktivitas kolektif masyarakat tidak berjalan searah, tetapi

menciptakan jaringan kerja yang produktif dan mendukung tujuan bersama. Putnam

(1998) dalam Eko (2004), juga menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma

dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerja sama di antara

warga negara dan institusi mereka. Dalam analogi yang sederhana, Putnam (1993 b)

dalam Eko (2004) menyatakan bahwa bekerja bersama-sama adalah lebih mudah dalam

sebuah komunitas yang diberkahi dengan persediaan (stock) modal sosial yang banyak.

13

Jejaring tersebut merupakan sumber daya dan bagian dari hubungan kepercayaan dan

norma yang lebih luas, serta memungkinkan suatu komunitas masyarakat untuk

mencapai tujuan mereka lebih mudah.

Jaringan sosial masyarakat Desa Jono memiliki dimensi yang luas, baik jaringan secara

personal (antar individu), maupun jaringan secara komunal dalam wujud relasi antar

institusi atau organisasi. Hubungan yang dibangun antar individu berdasarkan

kepercayaan dan norma, menciptakan jaringan sosial yang mengarah pada pola

simbiosis mutualisme. Misalnya dalam hal ini, ketika salah satu warga mempunyai hajat

keluarga seperti nikahan, khitanan, atau membangun rumah, maka secara serentak

masyarakat Jono akan bergotong-royong untuk saling sengkuyungan (tolong-

menolong). Hal ini berlaku pula untuk kegiatan kolektif desa seperti pemavingan jalan,

pembuatan kandang kelompok, perbaikan saluran irigasi, penghijauan hutan, dan lain

sebagainya. Jaringan kerja semacam itu dapat meringankan pekerjaan berat dan

mengurangi anggaran berlebih . “Nek kerja bekti niku wis umum, jamane pake mbahe

wis ana (kalau kerja bakti itu sudah umum, jaman nenek moyang sudah ada).

Alhamdulillah masyarakat mriki taksih remen (sini masih suka) gotong-royong kangge

(untuk) kemajuan desa.” (wawancara dengan Lurah Jono, 16 Juni 2012).

a. Relasi antara Modal Sosial dengan Pengelolaan SDH (Kasus di BKPH

Ngliron, KPH Randublatung)

Berdasarkan definisi di atas, adanya perbedaan tata nilai yang dijumpai oleh peneliti di

Desa Ngliron dan Desa Semanggi akan menimbulkan interaksi masyarakat yang

berbeda terhadap sumberdaya hutan. Tata nilai yang terdapat di Desa Ngliron seperti

kebersamaan masyarakat dalam gotong royong ataupun sambatan kini sudah mulai

bergeser untuk ditinggalkan masyarakat. Adanya tata nilai yang baik ini luntur dari

seharusnya tata nilai yang ada di dalam masyarakat pedesaan akan mempersulit pihak

pengelola hutan yaitu Perhutani untuk mengajak masyarakat Ngliron dalam membangun

hutan di KPH Randublatung ini dengan basis pengelolaan hutan lestari yang salah

satunya harus mempertimbangkan aspek sosial. Dampak yang kurang bagus akibat

lunturnya tata nilai gotong royong yang ada di Desa Ngliron ini akan mempersulit pihak

Perhutani untuk mengajak mengadakan pertemuan demi membahas kemajuan hutan dan

14

untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan di Desa Ngliron. Demikian adalah salah

satu contoh dampak dari lunturnya tata nilai terhadap interaksi tidak langsung, yaitu

interaksi masyarakat Desa Ngliron terhadap pihak Perhutani.

Etos kerja yang dimiliki pesanggem dari Desa Ngliron menurut informan kurang telaten

dalam merawat tanaman tumpangsari dan tanaman hutan milik Perhutani. Padahal

Perhutani sangat membutuhkan tangan-tangan pesanggem untuk merawat dan

memelihara tanaman jati mereka agar persentase keberhasilan tanaman jati tinggi.

Apalagi tanaman jati KU muda yang masih butuh perhatian lebih untuk mereka hidup.

Menurut informan dengan adanya tata nilai yang kurang baik yang terdapat di

pesanggem Desa Ngliron ini persentase keberhasilan dari tanaman hutannya kurang

berhasil. Ini dampak yang akibat tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem

Desa Ngliron. Hal ini berkait dengan adanya masyarakat yang mayoritas memiliki lahan

sawah milik individu, sehingga secara psikologis masyarakat Ngliron merasa tidak

terlalu bergantung dengan tumpangsari yang diberikan oleh Perhutani. Masyarakat

masih merasa tercukupi kebutuhannya dengan hasil sawah yang dimiliki sendiri

sehingga masyarakat kurang telaten untuk mengurus tanaman hutan.

Tata nilai peradaban yang sudah maju dipengaruhi oleh lebih tingginya tingkat

pendidikan masyarakat di Desa Ngliron ini membawa dampak baik untuk hutan.

Dengan semakin banyaknya masyarakat Ngliron yang mengeyam di bangku pendidikan

berarti semakin banyak orang pintar karena sekolah sehingga pengetahuan dan daya

serap terhadap pentingnya ketersediaan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka

lebih tinggi daripada masyarakat yang tingkat pendidikannya lebih rendah secara

kualitas dan kuantitas. Menurut informan, masyarakat di Desa Ngliron memiliki rasa

kesadaran akan pentingnya keberadaan hutan untuk hidup masyarakat sekitar dan

masyarakat di luar hutan. Masyarakat Desa Ngliron memiliki jiwa melindungi hutan

dari gangguan pencurian atau kehilangan pohon. Kondisi hutan di Desa Ngliron lebih

kondusif dari segi keamanan hutan. Demikian tata nilai yang baik yang perlu

dipertahankan oleh masyarakat Desa Ngliron untuk menjaga hutan dari pencurian dan

kehilangan pohon.

15

Masyarakat Desa Semanggi yang sekitar 75% menggantungkan hidupnya pada

tumpangsari di lahan Perhutani secara psikologis rasa kebergantungan terhadap hutan

menjadi lebih tinggi. Kondisi geografis yang ada di Desa Semanggi dengan sempitnya

lahan sawah yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menggarap di

lahan sawah dan dengan intensitas yang sering dan banyak yang mendapatkan jatah

tumpangsari atau tahunan membuat masyarakat Desa Semanggi memiliki keuletan dan

ketelatenan dalam merawat dan memelihara tanaman musimannya dan tanaman hutan

milik Perhutani. Tata nilai yang dimiliki masyarakat Desa Semanggi ini merupakan tata

nilai yang perlu dipertahankan oleh masyarakat untuk mewujudkan keberhasilan

pembangunan hutan yang lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Dengan

tata nilai baik yang dimiliki oleh masyarakat Desa Semanggi ini dapat menimbulkan

interaksi masyarakat terhadap hutan yang bagus untuk bersama membangun hutan.

Gotong royong atau sambatan yang masih kental terdapat di Desa Semanggi, akan lebih

mempermudah masyarakat Desa Semanggi untuk menggarap lahan tumpangsari

sehingga juga dapat berdampak pada keberhasilan tanaman hutan. Selain interaksi

secara langsung, dengan masih guyub dan patuhnya masyarakat Desa Semanggi

terhadap perintah perangkat desa atau dari Perhutani ini akan mempermudah

menggerakkan masyarakat Desa Semanggi untuk diajak berdiskusi atau membahasa

kepentingan keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa

Semanggi. Agar lebih mudah dipahami, berikut tabel relasi tata nilai yang ada di kedua

desa tersebut dengan interaksi masyarakat yang terjadi pada hutan baik secara langsung

maupun tidak langsung terhadap pihak Perhutani.

Tingginya kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam bersama-sama membangun

hutan tidak bisa dipungkiri karena Perhutani juga bisa mengikuti tata nilai yang

mendarah daging di masyarakat. Adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya

pencurian kayu di Ngliron dan Desa Semanggi juga tidak luput dari tata nilai dan

interaksi masyarakat yang ada di kedua desa tersebut. Sikap disiplin dan kesadaran

terhadap pentingnya hutan sehingga akan lebih mudah bagi pihak Perhutani untuk

mengajak bersama-sama mengamankan hutan yang berada di Desa Ngliron.

16

Hasil Pembelajaran

Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh modal sosial dalam

sebuah masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan dan kelestarian

sumberdaya hutan

Aktifitas

(1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah,

(2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan

(3) Mencari kasus yang menunjukkan adanya relasi antara kearifan lokal dengan

pengelolaan hutan

(4) Diskusi dan menjawab kuis

Kuis dan latihan

- Terangkan yang dimaksud dengan modal sosial dan berikan contohnya terutama

yang berhubungan dengan pengelolaan hutan !

- Jelaskan strategi pengelolaan hutan yang sebaiknya diterapkan pada sebuah

wilayah ketika masyarakat di sekitarnya telah memiliki dan belum memiliki

modal sosial serta berikan contoh kasusnya !

17

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya.

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta

Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta

Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan

Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta

Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta

Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat.

Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta

Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-

United Press. Jakarta.

Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan.

Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta.

Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta

Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press.

Yogyakarta

Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT.

Aditya Media. Yogyakarta

Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten

Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat.

FKT UGM. Yogyakarta

Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development,

Volume 29, No. 2, UK

Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM

Yogyakarta

18

Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta.

Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta

Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta

Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta

Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan

Tipologi. Artikel

Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh

Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta

Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa

Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta

Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi

Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta