mitologisasi bahasa agama analisis kritis dari semiologi...
TRANSCRIPT
Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh: Husni Mubarak NIM: 101033121744
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1427 M./2007 M.
Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
Husni Mubarak NIM: 101033121744
Di Bawah Bimbingan
Dr. Fariz Pari, M.Fils. NIP: 150262447
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1427 H./ 2007 M.
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi
Roland Barthes telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04
Juni 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Filsafat Islam Program Strata I (SI) pada jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 4 Juni 2007
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Hj. Hermawati, M.A. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag. NIP. 150227408 NIP. 150254185
Anggota,
Penguji I Penguji II
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Ida Rosyidah, M.A. NIP. 150262447 NIP. 150243267
Pembimbing,
Dr. Fariz Pari, M.Fils. NIP. 150254627
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan yang telah menciptakan Akal Budi manusia, dan
memerintahkan agar mempergunakannya. Karya ini hasilnya. Bentuk karya ini
memang kecil dan tipis, tapi di balik kelahirannya, menyimpan sejarah. Sejarah yang,
bagi penulis, begitu berharga hingga dapat berkenalan dengan pemikiran Roland
Barthes yang sudah bersemayam di peristirahatan di Prancis sana. Karya ini tentu
bukan karya monumental. Tapi penulis berharap karya ini bisa menjadi titik inspirasi
pemikiran kemanusiaan secara keseluruhan di masa mendatang. Sebagai karya akhir
perkuliahan di UIN Jakarta, karya ini akan menjadi langkah awal perjalanan studi
penulis di masa yang akan datang.
Karya ini tidak mungkin lahir jika tanpa dukungan banyak pihak selama
penulis menempuh studi di UIN Jakarta ini. Penulis pertama-tama ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor (lama dan baru) UIN bersama
seluruh jajaran pelaksana kampus UIN Jakarta yang telah memberi kesempatan bagi
penulis menempuh perkuliahan di sini. Tanpa itu, penulis tidak yakin dapat mengenal
tradisi filsafat khususnya, dan tradisi Islam secara keseluruhan. Akibatnya, karya ini
pun tidak mungkin lahir.
Saya haturkan terima kasih juga atas kebaikan Dekan Ushuluddin dan Filsafat
yang lama, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, maupun yang baru Dr. M. Amin Nurdin, beserta
jajarannya yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan
di UIN Jakarta. Tak lupa juga kepada Ketua Jurusan, Drs. Agus Darmaji, M.Fils, dan
Sekretaris Jurusan pak Drs. Ramlan A. Gani M.Ag., yang tak pernah mengeluh,
setidaknya itu yang penulis mendengar, dalam membantu kelancaran administrasi
akademik penulis.
Pembimbing penulis, Dr. Fariz Pari, yang telah membimbing dalam
pengerjaan karya ini. Penulis haturkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Ia sudah
sebagaimana pembimbing seharusnya, keras jika bangunan teori masih lemah, tapi
disertai ketulusan. Penulis rasakan itu. Meskipun penulis sadar Ia hanya satu bagian
dari poliseminya makna “Roland Barthes” di hadapan kita. Juga penulis tidak lupa
kepada seluruh dosen Ushuluddin yang juga telah turut ambil bagian terpenting dalam
memperkanalkan penulis pada dunia pemikiran.
Tempat lain yang juga menjadi sejarah penting karya ini adalah FORMACI
(Forum Mahasiswa Ciputat). Di tempat itu, penulis merasakan atmosfir penjelajahan
pemikiran yang sesungguhnya. Ridwan MT (“alumni” FORMACI yang tak pernah
lelah menjadi “google” berjalan, penulis berhutang atas kebaikannya, Allah saja yang
membalasmu Wan), Thowiq AB, Salbiah, A. Zaim Rafiqi, Agus Khatibul Umam,
Sulaiman Cimong Jaya, Zezen ZM (semoga tercapai cita-citamu ke Harvard), Iqbal,
Seif (yang tengah studi di Australia), Hafni, Nanang Sunandar, Mamad Ja’far,
Herman Heizer, nengnya Herman, Apriadi beserta keluarga, Linda, Tati Castia, Adri
(sang Imam besar FORMACI), Akib, Lilis, Saidiman, Indri, Ayi Tairi, Didi, Arif, Puji
(Alfan juga), Mahmuddin, Sahal jr, Khaerul, Reza, Agus Bre (kele!), Tiyar, Evi
Rahmawati, Testriono, Ia Nurseha, de’ Gyn, Acun, Hanif, Sholeh tingggi, soleh stf,
Kusnandar (partisipasi Anda sangat besar untuk skripsi ini), Mustafa, Daraj (kawan di
Wisma Sakinah) dan kalian semua yang tak disebut namanya karena (mungkin) lupa.
Kalian semua penguasa mitos masa depan Indonesia, terima kasih.
Kewan-kawan Aqidah Filsafat angkatan manapun yang pernah penulis kenal,
terima kasih. Khususnya angkatan 2001, kalian lucu-lucu. Semoga perkawanan kita
abadi.
Kedua orang tuaku, Bapak Deden, Mah Nena, terimakasih atas semua kasih
sayangnya. Semangat studi penulis berasal dari mereka. A Anas bersama keluarga,
Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima kasih atas dukungan kalian. Tidak
lupa juga Mang Asep Ahmad Mujahid dan keluarga yang telah membantu penulis
selama kuliah lahir-batin. Semoga Allah membalas kalian dengan balasan yang
setimpal.
Terakhir, teman “istimewaku”, yang selalu menemani penulis dalam detik. Ide
brilian muncul dari hati yang tenang. Ketenangan telah penulis dapatkan untuk karya
ini darinya. Terima kasih.
Kepada sobat ataupun kawan yang tidak sempat disebut, penulis ucapkan
terima kasih. Semoga Tuhan membalas jasa kalian. Kini karya ini telah hadir.
Ciputat, 22 Mei 2007
Husni Mubarak
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..……
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...…….
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………….
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah………………………………….……
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………
D. Kajian Pustaka………………………………………………………….…...
E. Metodologi Penelitian………………………………………………………
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………….…
BAB II BIOGRAFI ROLAND BARTHES…………………………………………….
A. Riwayat Hidup……………………………………………………….…….
B. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya…………………………..…....
BAB III MITOS DALAM PENDEKATAN TEORITIS……………………..…..
A. Mengurai Teori Mitos dalam Sejarah…………………………………..….
1. Periode Klasik………………………………….……….………..…
2. Periode Pencerahan: Mencari Asal Usul…………….………….…..
3. Periode Kontemporer: Psikoanalisis dan Strukturalisme...............….
B. Semiologi: Upaya Membangun Teori……………………………………..
1. Pengaruh Saussure……………………………………….……
i
iv
1
1
7
9
9
11
13
15
15
24
37
37
39
40
43
48
48
2. Langue/Parole………………………………….………….……....
3. Tanda (sign), Penanda (signifier) dan Petanda (Signfied)……….
4. Pemaknaan (Signification)………………….…………………...…
C. Mitos: as a Semiological System………………………………….…….…
D. Mitos: Kritik Ideologi………………………………………….……….…...
BAB IV MITOLOGISASI BAHASA AGAMA DARI KACA MATA
SEMIOLOGI ROLAND BARTHES……..…………………………..….
A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi……………………………..……
B. Sistem Mitis dalam Bahasa Agama……………………………………..…..
C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama.................................................
BAB V PENUTUP……………………………………………………………………
A. Kesimpulan……………………………………………………………….…
B. Saran-saran………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...…
54
56
58
60
71
76
76
83
89
98
98
101
103
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenapa agama mencerahkan sekaligus melahirkan kekerasan? Secara
normatif, semua agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian, keselamatan dan
ajaran kebaikan lainnya. Tidak bisa dilupakan bahwa dalam sejarah umat manusia,
Islam pernah melahirkan peradaban yang luar biasa. Begitu juga, etika Protestan,
menurut Max Weber (1864-1920), telah membangkitkan kemajuan ekonomi para
penganutnya1. Begitu juga dengan kenyataan-kenyataan lainnya yang membuktikan
bahwa agama memberi inspirasi kemajuan peradaban.
Di sisi lain, agama juga sekaligus inspirasi kekerasan. Dalam sejarahnya,
penyebaran agama selalu mengalami peperangan. Sejarah yang tidak mungkin
terlupakan sepanjang zaman adalah perang salib (agama). Belakangan juga muncul
kekerasan di sejumlah negara Muslim karena ada kelompok yang “menghina” Nabi
Muhammad melalui karikatur. Serangan WTC di Amerika enam tahun lalu, salah satu
alasannya, agama. Di negara kita, masih segar dalam ingatan, Ahmadiyah diserang
dan ditutup, Lia Eden diteror, warga Syi’ah di Madura tidak bisa tenang beribadah
karena diganggu oleh warga NU.
Beberapa studi mengatakan bahwa lahirnya kekerasan dalam agama lebih
karena faktor eksternal2. Di dalam agama secara internal diyakini tidak ada ajaran
kekerasan. Kondisi sosial budaya atau ekonomi politiklah yang menyebabkan agama
1 Max Weber, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright (New York: A Galaxy Book, 1985), h. 314-322
2 Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h. 5
menjelma menjadi sumber lahirnya kekerasan dalam agama. Misalnya, perang di
Ambon menurut beberapa sumber lebih karena perebutan lahan pertambangan
beberapa elit.
Di lain pihak, justru penyebab kekerasan memang doktrin keagamaan
mengajarkan kekerasan3. Mengalirkan darah musuh tidak apa untuk kebangkitan
ajaran Tuhan. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad pernah berperang dengan kaum
“kafir” Quraisy menjadi inspirasi untuk melegitimasi perang mempertahankan
Yarussalem dalam perang Salib, cukup menjadi bukti.
Padahal temuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, diprediksi Comte
(1798-1857), sosiolog asal Prancis, sebagai akhir dari fase agama dan metafisika
untuk menyongsong masyarakat positivistik. Yakni, suatu masyarakat yang dapat
menjalankan kehidupannya sendiri dengan langkah yang terukur, efektif, efisien dan
terprediksi. Agama tidak lagi penting karena pada masyarakat positivistik semua
masalah umat manusia dapat dijawab secara empiris dan sistematis. Tidak lagi
diperlukan argumen teologis untuk menghadapinya4.
Prediksi Comte ini tidak terbukti. Justru wacana dan gerakan keagamaan
semakin kuat. Di zaman media informasi begitu deras dan capaian ilmu pengetahuan
mencapai titik kulminasi, agama justru mewarnai perjalanan sejarah peradaban bumi.
Terorisme, upaya menerjemahkan agama dengan jalan kekerasan dalam konteks
global, mendapat dukungan sangat kuat dari teknologi. Pertukaran informasi yang
semakin sesak, di dalamnya agama selalu hadir. Tidak jarang kita temui saat ini
pemuka agama “berdakwah” melalui teknologi. Oleh karenanya, agama bisa tersebar
sampai ke seluruh pelosok; entah ajaran kebaikan ataupun ajaran kekerasan tersebar
luas menyapa para penganutnya.
3 Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin Islam & Good Governance edisi keduabelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h.3
4Doyle P. Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern I, (Jakarta,: Gramedia, 1994) h. 82
Pertukaran gagasan keagaman dalam design teknologi informasi yang semakin
canggih, selalu menggunakan sistem tanda. Sistem tanda inilah yang memungkinkan
komunikasi. Karenanya, hubungan antar tanda melahirkan sistem yang
memungkinkan pertukaran gagasan antar manusia. Sistem itu menjelma menjadi
struktur tanda atau bahasa. Bahasa juga berarti sistem nilai yang melingkupi seluruh
tindak gerak manusia5. Tradisi, budaya, adat, cara berfikir dan sebagainya termuat
dalam bahasa. Sementara, bahasa sebagai alat komunikasi kita sebut, meminjam
istilah Saussure, speech (selanjutnya kita sebut wicara atau ujaran).
Dalam hal ini, bahasa berperan sangat penting. Bahasa adalah satu-satunya
entitas di mana ajaran-ajaran agama dikomunikasikan. Tanpanya, agama tidak akan
ada. Bahkan dunia sekalipun nihil tanpanya. Melalui bahasa, agama hadir di tengah-
tengah, bahkan di jantung kehidupan umat manusia. Tidak kita pungkiri juga bahwa
dalam bahasa, agama diperebutkan demi kekuasaan. Karenanya, agama dapat
direduksi pada bahasa. Eksistensi agama terletak pada bahasanya.
Bahasa agama yang hadir di tengah-tengah kita, baik dalam bentuk jargon atau
pun hasil dari pemikiran mendalam, selalu diyakini kebenarannya. Diyakini pula
bahwa bahasa yang digunakan untuk pengetahuan agama memiliki referensi objektif.
Misalnya mengenai Tuhan. Ketika kitab suci berbicara Tuhan, berarti Tuhan ada
secara objektif “di sana”. Bahkan aturan yang dibuat berdasarkan bahasa agama
benar-benar disabdakan Tuhan. Tidak ada yang membantah hal ini6.
Meski demikian, bahasa agama tetap saja tidak memiliki referensi indrawi.
Karena panca indra manusia, dan bahkan rasio sekali pun terbatas ketika berbicara
5 Roland Barthes, Element of Semiology, (New York: Hill & Wang, 1973) p.14 6 Memang dalam sejarah ada kelompok atheis yang menentang habis-habisan keberadaan
Tuhan. Termasuk ajarannya. Misalnya, F. Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan jargon “Tuhan telah mati dan kita adalah pembunuhnya”. Akan tetapi justru dengan menolak Tuhan, dan bergelut terus menerus dengan persoalan metafisika, berarati sedang berpegang pada sistem metafisika tertentu: tidak ada Tuhan, dan dipegang secara teguh. Bukankah itu “Tuhan” dalam bentuk lain? Lih. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 1996), h. 43
tentang metafisika (termasuk juga tentang Tuhan). Indra dan rasio manusia hanya
dapat bersentuhan dengan fenomena (benda sebagaimana tampakannya), tidak dengan
nomena (benda pada dirinya)7. Apa yang selama ini dirumuskan sebagai pengetahuan,
didasarkan pada fenomena, atau apa yang tampak, tidak bersentuhan dengan benda
pada dirinya (thing in its self). Begitupun dengan metafisika, dalam hal ini Tuhan,
yang kita lihat bukan Tuhan pada dirinya. Melainkan dari fenomena alam lah manusia
bisa menyimpulkan adanya Tuhan. Hanya iman yang menjamin objektivitas informasi
dalam agama8.
Bahasa agama dalam bentuk wahyu dan interpretasi atas wahyu, selanjutnya
dipandang sebagai ajaran universal. Kategori universal bahasa agama berarti apa yang
diajarkan dalam teks suci berlaku bagi seluruh umat manusia. Ajaran abadi yang tak
tergerus oleh ruang dan waktu. Pada saat kitab suci itu turun barangkali memang
ajaran kitab suci tersebut sifatnya partikular. Karena ia hadir untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi saat itu. Akan tetapi, ketika zaman sudah berubah,
dengan persoalan yang berubah pula, ajaran dari kitab suci tersebut menjadi normatif.
Artinya, apa yang terjadi secara historis pada saat turunnya kitab suci, dengan
kategori universalnya, menjadi hilang. Bahasa agama yang digunakan pada periode
berikutnya sudah menjadi prinsip umum yang universal.
Lain agama, lain mitos. Meskipun sama dengan agama ketika bicara tentang
yang sakral serta soal ketiadaan referensi objektif akan yang sakral tersebut, mitos
adalah barang haram. Ia selalu dihindari keberadaannya. Karena mitos adalah cerita
yang sudah pasti bohong. Memercayainya sama dengan bertindak konyol. Mitos
selalu dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan sebagai yang
7 Dua istilah yang diambil dari filsuf modern asal Jerman, Immanuel Kant. Lebih jauh lih. F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 141 8 Dalam al-Quran dikatakan bahwa nabi Musa perrnah bercakap-cakap dengan Tuhan. Akan
tetapi tidak sedikit yang mengartikan itu sebagai proses percakapan batin atau ruhani.
benar, maka mitos sebagai yang salah. Karenanya, sebisa mungkin kita
menghindarinya, dan beralih pada ilmu pengetahuan karena pasti benar, empirik dan
terukur.
Roland Barthes (1915-1980), pemikir Prancis yang ikut andil dalam
perdebatan teori mitos dengan pendekatan semiologi Saussurean, dengan lantang
menyerukan agar kita tidak perlu menghindari mitos. Mitos menurutnya bukan seperti
dipandang orang awam, cerita “bohong” sekaligus ditakuti. Juga bukan seperti
kalangan positivis yang menganggap itu sebagai tahayul yang harus dibuktikan secara
empiris, jika ingin dianggap sebagai kebenaran. Bagi Barthes, mitos adalah “a type of
speech”9, satu model berujar. Ia hadir dalam keseharian kita. Bukan hanya dari kisah-
kisah nenek moyang saja, melainkan hadir lewat televisi, radio, koran, film, musik,
majalah makanan, kendaraan dan sebagainya. Setiap kita, entah orang awam atau
ilmuan selalu bersentuhan dengan mitos. Karena mitos ada dalam sistem bahasa.
Sementara setiap kita juga hanya dapat berujar melalui sistem bahasa tersebut. Sistem
bahasa dibangun atas pertukaran tanda secara terus menerus.
Mitos yang diidentifikasi oleh Barthes ini adalah mitos dalam pendekatan
bahasa struktural10. Mitos dilihat dari unsur terkecil dalam struktur bahasa: penanda
(signifier) dan petanda (signified). Anggur sebagai “minuman yang memabukan”
adalah bahasa objektif. Karena penandanya anggur dan tinandanya “minuman yang
memabukan”. Akan tetapi, ketika penandanya anggur dan tinandanya sudah dirubah
menjadi “minuman kelas atas yang menyehatkan” telah terjadi peningkatan makna.
Inilah yang disebut dengan mitos.
9 Roland Barthes, Mythologies (London : Paladin Book, 1976) p.34 10 Pendekatan ini digunakan tidaka lepas dari pengaruh strukturalisme yang digagas oleh
Ferdinand de Saussure. Istilah kunci dalam bukunyaThe Element of Semiology, Barthes tidak pernah keluar dari istilah-istilah kunci Saussure. Misalnya soal langue dan Parole. Atau soal signifier (citra akustik bahasa) dan signified (konsep) sebagai pembentuk sign (tanda atau bahasa). Lih.. Barthes, Element of Semiology, p.35
Setiap hari, mitos dalam pengertian tersebut diinternalisasi ke dalam ingatan
kita. Penjejalan mitos ini terutama melalui media. Media tanpa henti menjejalkan
mitos-mitos berupa iklan, feshion, style, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa
menghindarinya. Setiap detik media massa, terutama media elektronik, menampilkan
image, kesan-kesan, kata-kata, gambar-gambar yang kemudian membentuk makna-
makna. Kita tidak menyadari perubahan makna sedemikian cepatnya dan menganggap
hasil perubahan itu sebagai makna natural atau makna asali. Contohnya, televisi setiap
hari, bahkan mungkin setiap jam, menyuguhkan iklan pasta gigi, mereknya
“Pepsodent”. Karena setiap jam kita melihat iklan itu, tanpa kita sadar Pepsodent itu
kemudian kita anggap bermakna “pasta gigi” itu sendiri. “Pasta gigi” kini menjadi
makna natural bagi “Pepsodent”.
Jika demikian, apakah bahasa dalam agama luput dari mitologisasi? Roland
Barthes tidak membahas soal ini. Akan tetapi, menurut penulis, meskipun Roland
Barthes tidak membicarakannya, bahasa dalam agama memiliki struktur bahasa yang
serupa dengan bahasa lain, yakni tanda (sign) yang juga terdiri dari penanda
(signifier) dan petanda (signifed). Pemitosan pada ajaran agama sangat mungkin
terjadi pada level bahasanya. Bahkan ajaran agama sekalipun barangkali adalah
bentukan mitologisasi pada zamannya. Karena wahyu, atau informasi dari Tuhan,
sebagai sumber bahasa agama, senantiasa menggunakan bahasa metafor. Artinya
makna dalam setiap kalimat merupakan bentukan dari makna dasar.
Misalnya, nama “al-Quran” untuk kitab suci umat Islam. “Al-Quran” sebagai
penanda, maka tinandanya adalah “bacaan”. Kini tinandanya adalah “kitab suci”.
Peralihan kesan ini berarti mitologisasi. Bahkan kalau kata “al-Quran” keluar dari
mulut teman kita, kesan yang muncul bukan “bacaan biasa” melainkan “kitab suci
yang tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci, tidak boleh
menginjaknya, membakarnya dan sebagainya”. Makna pada tingkat kedua sudah
sedemikian naturalnya, sehingga kita menganggapnya demikian.
Barthes juga mengatakan bahwa mitos sebagai sistem bahasa selalu sudah
mengandung ideologi. Konsep pada sistem mitis merupakan ide-ide atau gagasan
kelompok tertentu yang menyelewengkan sistem bahasa dalam sisem mitis tadi demi
kepentingan kode yang ada dalam kelompok tersebut. Artinya, gagasan tidak
berangkat dari ruang kosong. Ia muncul karena ada persoalan yang mesti diatasi
olehnya. Akan tetapi, untuk mendapat legitimasi mesti menggunakan sistem bahasa
yang ada. Mitos yang sudah sedemikian mapan menjelma menjadi ideologi.
Jika dalam bahasa agama terjadi semacam mitologisasi, berarti di dalamnya
sudah melekat ideologi. Oleh kerenanya, bahasa agama sangat mungkin didiami oleh
ideologi apapun yang ada di dunia ini. Termasuk ideologi yang mengusung jalan
kekerasan dalam cara beragama. Di sanalah kekerasan agama mendapat legitimasi.
Apakah demikian? Bagaimana menjelaskan secara teknis mitologisasi bahasa agama
berlangsung? Bagaimana ideologi merasuk kedalam sistem mitis bahasa agama?
Persolan inilah yang kemudian menginspitrasi penulis untuk menelusuri persoalan
tersebut secara kebahasaan melalui kaca mata Barthesian.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mitologisasi berarti proses pembentukan dari bahasa objektif atau denotatif ke
bahasa konotatif sehingga menghasilkan sistem penandaan baru yang kemudian
disebut sebagai mitos. Mitologisasi ini berlaku untuk bahasa apapun, selagi itu bahasa
manusia. Tidak untuk bahasa lain, misalnya bahasa binatang atau tumbuh-tumbuhan.
Bahasa Agama berarti bahasa apapun yang berkaitan dengan Tuhan dan kitab suci;
bisa berupa tafsir atasnya atau pembicaraan sehari-hari yang terkait dengan Tuhan dan
kitab suci.
Analisa Kritis berarti telisik atas objek kajian secara kritis. Kritis berarti
mengungkap secara jelas jika memang dalam objek kajian terdapat krisis. Kritis di
sini jangan diartikan sebagai sikap nyeleneh. Mengungkap krisis dalam objek kajian
didasari keinginan merekonstruksi kajian agama dari sisi bahasa sekuat mungkin.
Kata dari dalam judul di atas tidak lain memaksudkan bahwa analisa kristis tersebut
dilihat dari kacamata metodologi tertentu, dalam hal ini semiologi Roland Barthes.
Semiologi adalah salah satu ilmu yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure.
Dikatakan sebagai ilmu karena objek kajiannya, yakni bahasa diperlakukan sebagai
sesuatu yang objektif. Bahasa dapat dikuliti dan dibedah karena di tangan Saussure
bahasa adalah struktur yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified),
atau dalam istilah Barthes, bentuk (form) dan konsep (concept). Semiologi ini
diadopsi Barthes seraya mengembangkan kedua unsur bahasa ini menjadi makna awal
(denotatif) dan makna tingkat II (konotatif).
Roland Barthes, seperti akan kita lihat kemudian adalah filsuf Prancis yang
secara khusus menulis tentang mitos modern dalam bukunya Mythologies. Karya-
karyanya sangat berpengaruh terutama bagi sarjana yang ingin meneliti dan
mengkritisi budaya massa.
Beberapa masalah yang ingin dijelaskan dalan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
• Bagaimana bahasa agama menjadi mitos?
• Jika dalam sistem mistis sudah menjadi ideologi, bagaimana ideologi tersebut
bekerja dalam bahasa agama?
C. Tujuan Pembahasan
Harapan penulis, ada tiga tujuan yang hendak dicapai karya yang berada di
tangan Anda ini. Pertama, pembaca sadar akan status bahasa agama dan mitos di
tengah masyarakat dewasa ini. Di sini pembaca diajak menyelami kedalaman makna
yang terkandung dalam bahasa agama dan mitos. Sehingga apa yang kita yakini
sebagai bahasa agama dan mitos mendapat pendasaran yang kuat.
Kedua, paparan yang clear mengenai bahasa agama dan mitos dapat
menumbuhkan konsepsi baru. Melaluinya, kita bisa lebih adil menghadapi keduanya
sebagai fakta sosial, yang mau tidak mau hadir di tengah-tengah kita.
Ketiga, akhirnya pemahaman baru dari karya ini tentang mitologisasi bahasa
agama dapat menumbuhkan pandangan moral yang jelas. Karena dalam bahasa
agama, baik-buruk dipertaruhkan. Pengertian yang buram tentangnya akan melahirkan
sistem nilai yang buram pula. Begitu juga sebaliknya.
D. Kajian Pustaka
Dalam penelusuran penulis, Komarudin Hidayat, seorang professor Filsafat di
UIN Jakarta yang kini menjabat sebagai Rektor, telah menulis buku yang berjudul
Memahami Bahasa Agama dan Menafsir Kehendak Tuhan. Dalam dua bukunya
bahasa agama mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, bahasa agama didekati dengan
menggunakan pendekatan filsafat bahasa Wittgenstein (1889-1951). Ini berbeda
dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini. Karena Komaruddin
menggunakan pendekatan Wittgensteinian, dengan begitu pembahasannya kemudian
terfokus pada bagaimana bahasa beroperasi dalam language game tertentu;
bagaimana wahyu ditafsir dalam bahasa agama beroperasi dalam budaya tertentu.
Bahasa agama hanya dibahas pada level tata bahasa, tidak pada struktur.
Konsekuensinya, membincang bahasa agama berarti mencari manfaat pragmatis dari
bahasa agama yang ada. Sementara skripsi yang ada di hadapan Anda lebih terfokus
pada bahasa agama dalam analisa semiologi. Analisa ini ingin mengurai bahasa pada
struktur dengan analisa semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes, yang
dalam buku Komaruddin tidak masuk, bahkan tidak ada dalam daftar indeks. Ini
berarti Roland Barthes tidak pernah dikutip sekalipun dalam buku itu.
Begitu juga dengan K. Bertens dalam bukunya, Panorama Filsafat Modern
memuat satu bab mengenai bahasa religious (agama). Akan tetapi, di sana ditulis
dalam rangka memaparkan perkembangan filsafat analitik dalam melihat bahasa
agama. Di dalamnya tidak menyinggung perbandingan bahasa agama ini dengan
mitos. Hanya memaparkan bahasa agama berdasarkan periode dalam perkembangan
filsafat analitik di Inggris dan sekitarnya. Meski demikian, dua buku di atas sangat
membantu dalam menelusuri kajian skripsi ini.
Kemudian pada tahun 1998, Rony Subayu, mahasiswa Tafsir Hadits
menyelesaikan S1 dengan judul “al-Quran sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitis
Roland Barthes sebagai Metode Tafsir”. Hanya saja dalam tulisannya, analisa
Barthesia digunakan untuk menafsir al-Quran. Dalam tulisan tersebut saya masih
melihat inkonsistensi. Misalnya, ketika dikatakan bahwa tafsir mitis ini hanya berlaku
untuk ayat-ayat mu’amalah, tidak untuk ayat-ayat ‘ubudiyyah. Padahal bukankah
ayat-ayat ‘ubudiyyah juga tidak lepas dari bahasa?
Kemudian, analisa mitis Barthesian bukan untuk mencari makna objektif di
balik bahasa tersebut seperti yang dikira Bunyamin, layaknya konsep elan vital Fazlur
Rahman. Justru Barthes ingin memperlihatkan, menurut penulis, bahwa mitos akan
senantiasa berjalin berkelindan dalam setiap bahasa. Nah, dalam bahasa agama, soal
‘ubudiyyah sekalipun proses mitologisasi ini mungkin terjadi. Kalau sudah terjadi
mitologisasi, tidak untuk dicari makna sesungguhnya, melainkan mencipta makna.
Skripsi ini lebih menekankan pada penciptaan makna (mitos) baru yang dilandasi oleh
nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa Barthes? Karena melalui kajian semiologinya, ia berhasil
mengungkap makna baru dalam melihat mitos. Sementara itu, bahasa agama juga
mempergunakan bahasa manusia yang dapat terbaca melalui analisa semiologi yang
dibangunnya. Jadi, penulis tertarik untuk menganalisa secara kritis mitologisasi
bahasa agama dari perspektif Barthesian. Dengan asumsi: jangan-jangan apa yang kita
yakini—dalam hal ini agama—selama ini tidak berbeda dari mitos. Apakah itu karena
konsep mitos yang kita yakini selama ini juga kurang tepat rumusannya? Ataukah
sebaliknya? Inilah signifikansi tulisan ini dibanding tulisan lain yang pernah ada.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah kajian tokoh, yaitu kajian yang objek kajiannya adalah
salah satu tokoh semiologi yang bernama Roland Barthes. Sebagai kajian tokoh, studi
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriftif-analitis, yaitu
penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data-data yang besumber
pada buku, baik data primer maupun data sekunder. Kemudian menganalisisnya
secara proporsional. Digunakannya pendekatan kualitatif ini merupakan upaya untuk
memperkaya perolehan data guna dapat lebih mempertajam analisa.11
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan datanya dengan menggali informasi sebanyak-
banyaknya tentang mitos dari sumber primer. Adapun sumber primer skripsi ini
11 Robert Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York: Jhon Wiley & Son, 1975), h. 4; lihat juga, Masri Singarimbun dan Soffian Efendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. I, h. 9
adalah dua buku Rolad Barthes: Elements of Semiology dan Mythologies. Dua buku
ini sangat penting melihat konsep dasar semiologi yang dibangun Barthes, sekaligus
juga konsepnya tentang mitos. Adapun buku lain seperti, The Pleasure of the Text dan
Image, Music and Text, akan melengkapi dua buku sebelumnya.
Selain data primer, skripsi ini juga akan mencari data pendukung bagi data
primer tadi. Dalam hal ini mengumpulkan gagasan yang terkait atau komentar
terhadap pemikiran Roland Barthes. Data ini akan diperoleh dari misalnya Jurnal
Filsafat, majalah yang banyak bermain dengan iklan, koran, dan lain sebagainya.
Kemudian juga saya akan menambahkan data yang bisa mendukung, yakni data
survei yang pernah dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengenai
Radikalisme Agama.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Lampiran 2:
Teknik Penulisan Makalah dan Skripsi dalam buku Pedoman Akademik yang
diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Jakarta Press, tahun 2006-
2007.12
F. Sistematika Penulisan
Mengacu kepada metode penelitian di atas, pembahasan skripsi ini terdiri dari
empat bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-bab. Adapun secara sistematis bab-
bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi
seputar signifikansi studi ini. Di dalamnya, terdiri dari latar belakang masalah,
12 Tim Penyusun UIN Jakarta, Pedoman Akademik (Jakarta: FUF UIN Jakarta Press 2006-
2007), cet. II, h. 87-105.
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, kajian pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab kedua mengungkap biografi dan perjalana intelektual Roland Barthes
hingga gagasan-gagasannya diakui dan dikenal publik hingga kini. Tentu saja, Barthes
tidak berdiri di ruang kosong. Artinya, ada pemikir yang memengaruhinya dalam
menentukan sikap pikirnya. Sehingga kita tahu kenapa rumusan semiologinya
demikian? Juga kenapa konsep mitosnya dimengerti dalam kerangka yang sama
sekali baru?
Bab ketiga akan dibahas bagaimana Roland Barthes memahami mitos dalam
kerangka semiologi. Namun, sebelumnya akan diperlihatkan sejenak teori-teori mitos
yang sudah sejak zaman Yunani kuno ada. Hal ini penting untuk melihat di mana
letak signifikansi dan menariknya gagasan Barthes. Kemudian kita juga akan melihat
bagaimana kritik Barthes terhadap para pendahulunya dalam membicarakan mitos.
Bab keempat merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu
membincang bahasa agama dengan pendekatan semiologi. Sehingga diharapkan
terbongkar hakikat bahasa yang dipegang oleh setiap agamawan. Apakah mitologisasi
memang batul-betul telah, tengah dan akan terus berlangsung? Jika demikian adanya,
apakah bahasa agama adalah mitos. Bab inilah inti dari seluruh penelitian ini.
Akhirnya, penelitian (skripsi) ini ditutup dengan bab kelima yang berisi
kesimpulan dan saran-saran. Hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab
beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.
BAB II
BIOGRAFI ROLAND BARTHES
C. Riwayat Hidup
Dalam sejarah pemikiran, khususnya kajian budaya (culture studies), Roland
Barthes adalah salah seorang intelektual terpenting. Sumbangan pemikirannya
mengenai budaya massa sangat besar. Analisa budaya yang dikembangkan Barthes,
utamanya teori mitos, menjadi kunci mengkaji kebudayaan lebih luas. Dengan
gayanya yang ngepop, Barthes berhasil merumuskan teori mitos yang bisa menelisik
budaya yang sudah seolah terlihat natural atau alamiah. Meskipun, Barthes sendiri
mengatakan bahwa teks adalah ruang multidimensi yang di dalamnya tidak ada yang
orisinal, saling berbenturan dan melebur13. Barthes pun menyadari bahwa karyanya
adalah bagian dari peleburan ini.
Roland Barthes lahir di Charboug pada tanggl 12 November 191514. Ia terlahir
dari pasangan Louis Barthes, seorang perwira angkatan laut, dan Henriette Barthes,
seorang Protestan yang taat15. Dalam sejarah hidupnya, ia tidak pernah mengenal
langsung sang ayah. Belum lagi usianya setahun, Barthes sudah ditinggalkan ayahnya
ke medan pertampuran di laut Utara, dan meninggal di sana. Sepeninggal ayahnya,
13 Roland Barthes, Image, Music, Text, (Glasgow: Fontona, 1977) h. 146 14 David Herman, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli, Postmodernism:
The Key Figure, (Massachusetts: Blackwell, 2002), h. 38 15 Jonathan Culler, Seri Pengantar Singkat: Barthes (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) cet.
I, h. 16
Barthes hijrah bersama ibu, bibi dan neneknya ke Bayonne. Di sana, Barthes
mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari keluarganya, dan menghabiskan
masa kanak-kanak sebelum diajak ibunya tinggal di Paris. Selama di Bayonne,
Barthes mendapat pelajaran musik dari bibinya. Di sanalah ia pertama kalinya
bersentuhan dengan budaya.16
Pada usia ke 9, Barthes dibawa ibunya ke Paris. Di Paris, ia tumbuh dewasa.
Pendidikan formal ia tempuh di Lycée Montaigne (1924-30) dan Lycée louis-le-grand
(1930-34). Ia mengaku bahwa saat itu ia merasakan sangat bahagia karena kasih
sayang ibunya yang melimpah, meskipun dalam kondisi kesepian (tanpa ayah asli)
dan ekonomi yang minim. Tahun 1927, ibunya melahirkan adik tirinya, Michel
Salzado17. Sejak itu nenek Barthes mengehetikan bantuan finansial karena Salzado
adalah anak yang tidak mendapat restu keluarga. Ibunya kemudian bekerja sebagai
tukang jilid buku untuk menghidupi keluarga.
Barthes adalah seorang aktivis tulen. Di usianya yang ke-19, ia sudah terlibat
dengan kelompok DRAF, sebuah organisasi politik anti-fasisme Jerman. Dalam
organisasi itu ia mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana kejamnya fasis
Jerman. Jiwa aktivisnya berlanjut pada saat Barthes terbebas dari wajib militer karena
ia mengidap penyakit TBC, ia berpastisipasi kembali dalam protes melawan fasisme.
Keterlibatan ini tidak lepas dari semangat yang kuat dalam diri Barthes untuk
16 Roland Barthes, www.Semiotict.com 17 Roland Barthes, www.mediamatic.com
menentang kekejaman fasis Jerman. Setahun sebelumnya, ia membuat tulisan
pertamanya tentang Plato18.
Pendidikan sarjananya, ia tempuh di Sorbonne. Ia mendapatkan gelar sarjana
di bidang sastra klasik tahun 1939. Semasa kuliah, sekitar tahun 1937, ia sudah
menjadi pemandu bahasa asing di Hungaria. Setahun kemudian ia melakukan
penjelajahan ke Yunani bersama grup teater yang didirikannya, Théâtre Antiqua.
Perjalanan ini sangat mendukung studi sastra klasik yang sedang ditempuhnya.
Setelah menyelesaikan kesarjanaannya di bidang sastra klasik, Barthes
kemudian mengajar di Lycée in Biarritz selama setahun (1939-1940). Tahun
berikutnya ia menjadi asisten dan pengajar di Lycée Voltaire dan Lycée Carnot, Paris.
Mengajar di sana juga hanya setahun. Bersamaan dengan mengajar di Paris ini,
Barthes mendapat gelar kesarjanaan lagi dalam studi Tragedi Yunani. Bulan oktober
1941, Barthes harus bergulat dengan penyakit tubercolosis19. Penyakit inilah yang
senantiasa “menemani” perjalanan karier akademisnya. Tahun berikutnya, ia
mendapatkan perawatan intensif di Sanatorium des Ẻtudiants, Saint Hilaire-du-
Touvet, Isére. Pergulatan yang cukup melelahkan bagi seorang Barthes.
Setelah dinyatakan bebas dari penyakitnya, kemudian Barthes menyelesaikan
studinya dalam bidang grammer dan philology di usianya yang ke-28. Akan tetapi,
pernyataan bahwa ia bebas dari tuberculosis tidak berlangsung lama. Persinggahan
18 David Herman, Roland Barthes, h. 38 19 Roland Barthes, The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale,
New York: Hill and Wang, 1985. h. 368
keduanya di Sanatorium cukup lama, sekitar 3 tahun. Selama di balai pengobatan itu,
Barthes sempat mempelajari ilmu pra-medis (the madical preliminary examination),
yang konsentrasinya psikiatri. Diduga banyak kalangan bahwa di sanalah ia
berkenalan dengan pemikiran Freud secara intensif. Selama itu pula ia sangat
berhasrat untuk melahap seluruh karya J. P. Sartre dan Karl Marx. Sehingga pada
gilirannya, Barthes menjadi sangat Sartrean dan Marxian. Meskipun, ia tidak mau
berlama-lama dan terjebak dalam kubangan dua pemikir itu. Akhirnya, tahap
penyembuhan pun ia jalani di Leysin, klinik Alexandre, Sanatorium Universitaire
Suisse.
Setelah benar-benar dinyatakan sembuh, Barthes kemudian menerima tawaran
sebagai asisten pustakawan di Institute of Bucharest. Berkat ketekunannya, ia
kemudian menjadi pengajar di institut tersebut dan menjadi professor di sana. Tidak
saja itu, Barthes juga menjadi Reader20 di University of Bucharest21. Selain itu juga
dia menjadi dosen di Universitas Alexandria, Mesir (1949-50). Di sana ia sempat
resmi menjadi warga negara Mesir. Keberadaannya di Mesir itu merupakan momen
penting bagi Barthes. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan ilmu linguistik
modern dari salah seorang professor di sana, A.J. Greimas. Ini adalah momen penting
sebagai intelektual yang di kemudian hari sangat berpengaruh dalam jagat pemikiran
20 Reader adalah setingkat di atas lecture di kampus-kampus Inggris dan setingkat di bawah
professor. Lih. Microsoft Encarta Dictionory tools. 21 Roland Barthes, The Grain of the Voice, h. 368
budaya. Di sana pula, ia menjadi kontributor untuk jurnal Combat, jurnal terkemuka
sayap kiri (left-wing) di Paris.
Sepulangnya ke Paris, tepatnya pada tahun 1950, Bartes menjadi direktur pada
Générale des Affaires Culturelles, organisasi pemerintah yang berkonsentrasi dalam
bidang pengajaran bahasa Prancis di luar negeri. Jabatan ini ia emban hingga dua
tahun berikutnya. Setelah itu, ia kemudian terlibat dengan Center National de la
Recherche Scientifique (1952-1954). Di sana, Barthes sibuk melakukan penelitian
dalam bidang leksikologi, terutama mengenai kosakata dalam perdebatan sosial di
awal abad 19. Barthes juga sempat menjadi penasehat sastra di sebuah penerbitan
buku Ẻditions de l’Arche selama setahun22.
Rentang 1955-59, Barthes bergabung kembali dengan Center National de la
Recherche Scientifique untuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi. Selama
keterlibatannya pada lembaga penelitian tersebut, Barthes memublikasikan buku
pertamanya Writing Degree Zero (1953). Buku ini merupakan kumpulan artikel yang
semula ditulis untuk jurnal Combat. Buku lain yang dipublikasi Barthes setahuan
kemudian adalah Michelet par lui-meme (1954). Buku ini juga masih seputar
pemikiran awal Barthes dalam bidang sastra. Saat-saat itu, ia pernah mendirikan
kolompok studi tentang kebudayaan kontemporer yang kemudian melahirkan karya
paling cemerlang dalam sejarah karier intelektualnya, Mythologies (1957).
22 Ibid, h, 368
Mengantongi kesarjanaan di bidang sosiologi, Barthes kemudian bekerja
sebagi direktur di Ẻcole Pratique des Hautes Ẻtudes (1960). Saat itu ia mengepalai
bagian VI, yakni bidang ilmu sisiologi-ekonomi. Dua tahun berikutnya, 1962, ia
dipercaya menangani bidang sosiologi tanda, simbol dan representasi (sosiology of
signs, symbols and representations). Jabatannya ini kelak manghasilkan karya yang
sangat mendalam mengenai budaya, lebih khusus kritik sastra. Di tahun 1963, Barthes
menerbitkan karya yang cukup cemerlang dan kontroversial, Sur Racine.
Pada tahun berikutnya, Barthes yang dikenal sebagai penulis produktif
menerbitkan kumpulan esai yang ditulisnya selama menjabat direktur sosiologi-tanda
dengan judul Critical Essays (1964). Pada tahun yang sama, Barthes juga
menerbitkan buku Elements of Semiology. Ini adalah karya Barthes yang
mengukuhkannya sebagai ahli linguistik. Di dalamnya tidak hanya mengungkapkan
dengan gaya tulisan yang jernih, melainkan juga mengembangkan teori bahasa para
pendahulunya.
Jabatan dalam bidang sosiologi tanda, ia emban hingga tahun 1967. Di tahun
ini, Barthes kemudian mengajar di Universitas Johns Hopkins di Beltimore. Dalam
kesibukannya ini, ia tetap menulis sejumlah esai dalam bidang mode. The Fashion
System (1967) adalah karya penting Barthes yang membicarakan mode dalam analisa
struktural. Karya ini juga sangat penting dalam perjalanan karier intelektual Barthes
sebagai budayawan. Karya ini menjadi sumber pemikiran yang diperhitungkan dalam
analisa mode. Bukan hanya bagian dari concern pribadi, kota Paris, sebagai kota
mode dunia, juga sangat mendukung kajiannya ini.
Momen penting lainnya adalah manakala Barthes melamar menjadi professor
di Collége da France23. Ia diterima di sana sebagai professor di bidang semiologi
sastra. Posisinya ini menjadi penting karena di sanalah ia bisa menegaskan peran
semiologi sebagai pendekatan ilmiah, ilmu yang sejak tahun 50-an telah ditekuninya.
Di samping itu, Collége da France adalah kampus paling bergengsi di Prancis, tempat
para intelektual besar dalam ilmu sosial. Sebut saja Paul Valery, Merleau-Ponty,
Althusser, Michel Foucault, dan lain-lain. Meskipun sebelumnya pemikiran Barthes
selalu menjadi pusat perhatian intelektual di Prancis, posisi professornya semakin
menegaskan bahwa gagasan yang diusung Barthes terbukti orisinal dan patut
diapresiasi. Hingga kini Barthes memang menjadi ikon intelektual modis dalam
berbagai bidang yang berkaitan dengan budaya. Mulai dari sastra, kajian media, film,
fotografi, fesyen, dan lain-lain.
Proses menjadi professor di Collége da France merupakan sebagai momen
paling membanggakan sekaligus mengharukan dalam kehidupan Barthes. Saat itu,
banyak kalangan meragukan bahwa Barthes bisa menjadi Professor di Collége da
France. Pasalnya, Barthes adalah intelektaul yang dikenal sebagai intelektual yang
fashionable, modis. Ia tidak pernah menulis buku setebal Derrida, atau Foucault. Di
23 Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h. 2
samping itu, Barthes juga tidak menulis tema yang serius seperti mereka. Ia lebih
banyak memusatkan perhatian pada budaya pop, mode misalnya.
Di tengah keraguan banyak pihak atas jabatan yang akan ia emban, ia berhasil
memperlihatkan kepada banyak kalangan di Prancis, barangkali juga dunia, bahwa
apa yang menjadi minatnya selama ini adalah problem akademis. Di samping itu,
mungkin juga ini memperlihatkan keseriusan perguruan tinggi di Eropa, bahwa
professor tidak diukur dari tebal-tidaknya buku yang dihasilkan, melainkan dari
orisinalitas pemikiran.
Adalah Michel Foucault, filsuf sekaligus teman lama Barthes yang paling
dilematis. Peran Foucault bagi “lamaran” Barthes adalah orang yang akan
mewawancarai dan memberikan penilaian apakah ia layak atau tidak menjadi
professor di sana. Di sisi lain, seluruh intelektual di Prancis tahu bahwa antara
Foucault dan Barthes terlibat perseteruan intlektual yang serius. Sejak perkanalannya
di tahun 50-an, kemudian hubungan mereka berubah menjadi perang dingin.
Akhirnya, Foucault meminta seorang teman mendampingi—karena ia tidak cukup
berani dengan situasi ini. Sepuluh menit kemudian “pengawal” Foucault itu keluar
karena dia sudah merasa berani berhadapan dengan Barthes.
Hasilnya, Foucault memuluskan lamaran Barthes dan membawa dia untuk
pidato di hadapan dewan professor dengan judul Leçon. Barthes bukan seorang yang
kacang lupa akan kulitnya, dalam pidato tersebut, ia meyebut Foucault sebagai “dia
yang dengan baik hati telah berusaha memperkenalkan kursi ini dan orang yang
mendudukinya kepada dewan profesor”24. Sebuah silaturhmi intelektual yang sangat
mengharukan yang kemudian dimuat dalam koran paling bergengsi Le Monde25.
1978 adalah tahun yang berat dalam hidup Barthes. Ibu yang paling
dicintainya meninggal dunia. Di awal disebutkan bahwa dengan susah payah ibunya
membesarkan Barthes. Kasih sayang yang teramat besar sehingga Barthes amat
terpukul atas kepergian ibunya ini. Salah satu foto ibunya menjadi inspirasi untuk
refleksi fotografi dalam bukunya Camera Lucida (1980).
Akhirnya, takdir itu menghampiri. Siang itu, 25 Februari 1980, lepas dari
pertemuan di Collége da France, Barthes tertabrak truk. Ia sempat dibawa ke RS. Di
sana ini berjuang melawan kematian selama sebulan. Akan tetapi, perjuangannya
harus berakhir sebulan berikutnya. Barthes meninggal tanggal 26 Maret 1980.
Sosoknya boleh meninggal, karya terus hidup. Sebentuk eksplikasi dari the death of
author. Karyanya hidup dalam jejeraing tanda, dan maknanya bertebaran di luar
kontrol sang author, pengarang.
D. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya
Dalam jejaring sejarah intelektual Eropa, barangkali juga dunia, Barthes
mengambil peran penting dalam menyumbangkan pikirannya untuk melihat gejala
24 Roland Barthes, Inaugural Lacture, College de France, 458 25 Ibid, h. 3
masyarakat pos-industri dewasa ini. Sumbangannya terutama dalam mengkaji budaya
massa melalui analisa linguistik. Melalui pendekatan bahasa, Barthes ingin
memperlihatkan kepada kita bahwa kita perlu melihat budaya massa secara kritis.
Karena di balik budaya yang “diproduksi” secara massal melalui perantara bahasa,
tidak kosong ideologi, atau meminjam istilah Habermas, kepentingan tertentu26.
Barthes membuka kedok ideologi di balik budaya massa tersebut melalui tilikannya
atas struktur bahasa.
Melihat persoalan sosial dalam tilikan (struktur) bahasa kala itu merupakan
trend di hampir semua bidang ilmu kemanusiaan (humaniora). Kegandrungan ini
sering kali disebut sebagai linguistic turn (pembalikan ke arah bahasa). Bahasa
kemudian, meminjam istilah Michel Foucault, menjadi episteme27 dalam tradisi
pemikiran Barat (dan bahkan trend ini menular pula di kalangan intelektual “Timur”).
Sosiologi, antropologi, psikologi, sastra, dan lain-lain, gaduh dengan pendekatan ini.
Meskipun hampir semua intelektual menggunakan pendekatan bahasa untuk
menganalisa persoalan-persoalan sosial, Barthes bukan seorang yang terbawa arus
tanpa kekhasan tersendiri menghadapi arus deras linguistic turn tadi. Bukan hanya
cara penyampaiannya yang jernih, secara teoritis Barthes juga melakukan terobosan-
terobosan dalam merekonstruksi konsep dasar para pendahulunya.
26 F. Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunkatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.63 27 Episteme adalah wacana yang lahir dari jejaring pengetahuan yang saling berhubungan.
Wacana ini pada suatu zaman tetentu tren di semua bidang kajian. Episteme terutama dapat dipakai untuk menunjukan sejarah yang diskontinuitas. Lih. Michel Focault, Archeology of Knowledge, (New York: Routledge, 2002), h. 212-2215
Sebagai intelektual yang berpengaruh, Barthes tidak berangkat dari ruang
kosong. Sebelumnya, telah hadir tokoh-tokoh intelektual besar yang cukup
berpengaruh terhadap pikiran-pikiran Barthes hingga dirinya mendapat pengakuan
internasional. Paling tidak, ada lima tokoh terkemuka yang cukup memengaruhi
pemikiran Barthes. Yaitu, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Ferdinand de Saussure dan
inspirator pos-strukturalisme (Sigmund Freud dan Nietzsche). Pertama, pengaruh
Jean-Paul Sartre (1905-1980), terutama muncul karena ketertarikan Barthes pada
dunia sastra. Katertarikannya ini terutama mencuat setelah membaca karya-karya
sastrawan Prancis ini. Selain sebagai pencipta seni, dalam hal ini penulis novel, Sartre
juga adalah filsuf dan sekaligus kritikus sastra. Sekitar tahun 1948, Sartre terlibat
dalam perdebatan panjang dengan para pengkritiknya. Kala itu, ia menerbitkan tulisan
dengan judul What is Literature?
Tulisan ini merupakan serangan balik dari Sartre terhadap para pengkritik atas
karyanya. Suatu perdebatan yang sangat sehat, di mana yang dipersoalkan bukan
hujatan atas pribadi pengarang, melainkan lebih pada problematisasi argumen.
Sehingga perdebatan mengarah pada proses penciptaan kreasi yang lebih segar.
Tulisan itu terdiri dari tiga bagian, What is Writing?, Why Write, dan For Whom Does
One Write?. Dengan mengekplorasi tiga bagian ini, Sartre hendak menunjukan
fenomenologi menulis, seni menulis tanpa prasangka.
Sartre membedakan dua hal yang terkait dengan sastra: bahasa (language) dan
gaya (style)28. Bahasa sebagai komponen penting karena melalui bahasa karya bisa
terwujud. Bila tidak punya kemampuan berbahasa dengan baik, karya tidak mungkin
lahir. Selain bahasa, menurut Sartre, gaya juga adalah hal yang sangat penting.
Kebebasan individu dalam berkreasi tertuang dari gaya. Pembedaan ini juga
merupakan kecaman yang cukup keras terhadap para praktisi dan kritikus sastra yang
kala itu menstabilkan bentuk sastra yang baik. Di sanalah individualitas diberangus.
Apa yang dilakukan Sartre, selain pembelaan atas karya-karyanya, juga
merupakan bentuk dari dominasi eksistensialisme dalam tradisi kritik sastra sejak
tahun 1940-an. Gagasan Sartre ini menjadi semacam “pedoman” dalam melihat
sebuah karya. Dalam suasana seperti itulah buku Writing Degree Zero (1953) lahir.
Buku ini adalah karya perdana Barthes, sebagai respon atas hangatnya perdebatan soal
tanggung jawab sastra kepada masyarakat. Buku ini, seperti diperlihatkan Sontag
sebagai revisi kecil atas buku What is Literature-nya Sartre.
Barthes menerima bahasa dan gaya Sartre. Menurut Barthes, bahasa dan gaya
adalah dua hal yang secara alamiah harus dimiliki seorang penulis. Dalam hal ini
Barthes menambahkan unsur ketiga, yaitu tulisan (writing). Tulisan, berbeda dengan
bahasa dan gaya, merupakan ungkapan kedirian sang penulis. Di sanalah penulis
peduli akan dirinya. Bukan gaya, melainkan tulisan itu sendiri. Ritme, nada, etos
suasana haru, kecewa dan sebagainya terlempar begitu saja. Tulisanlah bentuk paling
28 Jean-Poul Sartre, Literatur and Existensialism, (New York: Carol, 1994) h. 6
mewakili kedirian seseorang. Di dalamnya seseorang bisa memanipulasi gaya
konvensional berdasarkan pada efek-efek hasrat. Tindakan menulis berarti tindakan
berkreasi dan unik bagi setiap orang. Di sinilah pengaruh eksistensialisme mengalir
dalam diri Barthes. Bagaimana menemukan eksistensi diri dengan menemukan
kebebasannya dalam menulis.29
Di sini kita bisa melihat pengaruh tradisi eksistensialisme dalam pikiran
Barthes. Meskipun kemudian dia tidak serta merta diklaim sebagai eksistensialis.
Karena buku ini lebih pada kritik sastra. Hanya saja, pengaruh tradisi itu kentara
ketika Barthes menyuguhkan gagasan writing sebagai capaian eksistensi manusia.
Setralitas keunikan individu dalam writing inilah yang membuka jalan Barthes
melakukan kritik terhadap sastra. Minat Barthes akan dunia sastra merupakan minat
dasar dalam dirinya. Kecintaannya terhadap sastra, yang dimulai dari buku ini,
membuat minatnya berkembang ke bidang-bidang lain. Kritik ideologi, teori sastra,
kritik budaya massa, fotografi, mode dan lain-lain.
Kedua, Karl Marx (1818-1883). Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa
selama di sanatorium, proses penyembuhan dari penyakit TBC, Barthes mempelajari
dengan seksama karya-karya Marx. Meskipun ia tidak membuat semacam komentar,
atau buku yang secara khusus atas pikiran-pikiran Marx, pengaruh Marx cukup kental
dalam karya-karya Barthes berikutnya. Pikiran-pikiran Marx “berjaya” pasca perang
dunia kedua di Eropa. Kecemerlangan Marx dalam menganalisa gejala sosial, tidak
29 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 7
saja berpengaruh terhadap praktisi politik untuk menjalankan pemerintahannya, tetapi
juga intelektual setelahnya. Barthes adalah salah satunya.
Minat atas sastra membuka jalan Barthes untuk mengembangkan minatnya
atas budaya secara umum. Di sinilah pikiran Marx terlihat. Kata pengantar edisi revisi
buku Mythologies misalnya, Barthes mengatakan bahwa bukunya itu dimaksudkan
sebagai kritik ideologi. Barthes dalam esainya Myth Today, secara eksplisit mengutip
Marx untuk menunjukan ideologi borjuis. Melalui semiologi, ia ingin membongkar
mistifikasi budaya borjuis-kecil (petit-bourgeois) menjadi budaya universal.
Kecenderungan Barthes terlibat dalam perdebatan soal kritik ideologi ini tidak
lepas dari pengaruh pikiran-pikiran Marx di Prancis kala itu. Para intelektual seperti
tersihir dengan gagasan Marx mengenai ideologi. Pendekatan yang diberikannya pun
sudah sedemikian berkembang. Selain Sartre, filsuf yang pernah menjadi bagian dari
kelompok komunis, orang yang juga mengantarkan gagasan Marx kepada Barthes,
adalah Louis Althusser. Barthes adalah salah satu mahasiswa Althusser. Dalam
perkembangannya, Barthes yang beda generasi dari Althusser memiliki minat yanag
sama: ideologi.
Marx memaknai ideologi sebagai gagasan yang mengelabui kesadaran
manusia, terutama kelas buruh (proletar). Marx melihat ketidak-adilan dalam sistem
sosial waktu itu. Output para buruh tidak sesuai dengan keringat yang telah
dikeluarkan untuk memproduksi barang (berkarya). Para pemilik modal (borjuis)
adalah kelas yang telah mengeksploitasi keringat para buruh. Sebagai pemilik modal,
mereka memperlakukan buruh sebagai alat yang akan melipat gandakan modal. Selain
menguasai alat, para pemilik modal juga mengendalikan kesadaran proletar. Melalui
agama, budaya, negara, gagasan borjuis tersebar bahwa kondisi ini seolah-olah
berlangsung kodrati. Ideologi borjuis telah mengelabui keadaan yang sesungguhnya.
Para pewaris Marx telah mengembangkan gagasan ideologi. Althusser
misalnya, buat dia ideologi merupakan sebentuk panggilan akan kedirian
(interpellates individual as subject)30. Gramsci mengartikan ideologi sebagai
pandangan dunia. Tidak seperti intelektual lain, Barthes tidak berupaya mencari
definisi ideologi. Barthes lebih tertarik untuk menganalisa cara keberadaan ideologi
dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi melalui
penelitian terhadap bahasa. Buku Mythologies adalah buku paling fundamental yang
menelisik ideologi di masyarakat melalui analisa semiologi.
Ketiga, Ferdinand de Saussure. Tokoh lain yang memengaruhi karier
intelektual Barthes adalah Saussure. Pengaruh Saussure dalam pemikiran Barthes
teramat kuat. Bahkan para komentator mengatakan bahwa Barthes adalah one of the
leaders of structuralist school31. Sebutan ini, Barthes sendiri tidak terlalu suka karena
menurut dia momen sebagai seorang strukturalis adalah salah satu momen dari
seluruh kariernya. Meski sebutan ini kurang disukai Barthes, tapi wajar saja sebutan
30 Louis Altusser, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam Paul Du Gay,ed.
Identity: a Reader, (London: Sage Publication, 2000) h.31 31 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 17
itu melekat pada dirinya. Pasalnya, ia menulis beberapa buku yang sistematis—sistem
yang ia ambil dari pendekata semiologi atau strukturalisme—pada fase itu.
Ketertarikan Barthes terhadap pikiran-pikiran Saussure bisa dibaca pertama-
tama bukan ketertarikan pribadi. Hingga tahun 70-an, strukturalisme yang merupakan
output semiologi Saussurean menyelimuti aura intelektual Perancis. Barthes menjadi
bagian yang terlelap dalam dekapan selimut semiologi Saussurean. Hampir semua
pemikiran yang hidup dalam rentang antara tahun 50-70an terpengaruh oleh semiologi
ciptaan Saussure. Semiologi Saussurean pada perkembangannya menggoyahkan
makna fenomenologis yang dikembangkan Sastre kala itu. Setelah terlibat dalam
diskusi semiologi secara serius, mempelajari semiologi ternyata kemudian menjadi
sebuah ketertarikan pribadi. Barthes begitu kagum melihat kemungkinan
pengembangkan teoritis yang dijanjikan semiotika untuk mengatasi persoalan
hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi.
Barthes kemudian menyebut momen ini sebagai moment of science atau
moment of scientificity. Sejak Saussure sendiri sebenarnya kajian semiologi ingin
dijadikan sebagai pendekatan ilmiah. Yakni, dengan mnempatkan bahasa sebagai
objek yang dapat dikaji dan dianalisa secara objektif. Bahasa menjadi objektif karena
ia lepas dari manusia, mengatasinya. Bahasa adalah semesta tanda yang terstruktur
sedemikian rupa sehingga semiologi bisa memperlakukannya sebagai entitas yang
objektif. Barthes juga demikian. Bagi dia, ini adalah momen untuk memeriksa
seluruh kemungkinan klaim semiologi dalam mengkaji kebudayan ummat manusia
sebagai pendekatan ilmiah. Penelusuran Barthes atas semiologi bukan hanya sebatas
memperkenalkan pemikiran Saussure (bapak semiologi), penerus, dan penafasirnya,
melainkan juga membuka ruang imajinsi intelektual dalam sejarah dunia modern.
Semiologi menjadi salah satu pendekatan ilmiah di antara pendekatan ilmu
kemanusiaan yang sudah ada: sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya.
Melalui semiologi, kajian budaya dapat diteliti secara sistematis, terperinci dan
objektif.
Buku Elements of Semiology (1964) adalah bentuk konkrit dari momen ini.
Buku ini lahir untuk kepentingan ia mengajar semiologi di Ẻcole Pratique des Hautes
Ẻtudes. Buku ini semacam textbook semiologi Saussurean karena ditulis secara padat,
sistematis, programatis, dan penuh informasi teoritis. Di dalamnya mengulas istilah-
istilah semiologi Saussure dan perkembangannya oleh para penerus Saussure. Selain
ulasan, juga mengembangkan kemungkinan tanda pada level yang melampaui sistem
linguistik: sistem mitologi. Tidak heran bila Gottdiener menyebut Elements sebagai
buku paling berpengaruh dalam bidang semiologi sejak perang dunia II32. Penilaian
ini tidak berlebihan karena di dalamnya memang menyajikan overview ringkas namun
menyeluruh tentang semiologi dan prospoknya bagi pngembangan sebuah pendekatan
semiologi dalam kajian budaya modern.
32 Ibid, h, 22
Pengaruh Saussure dan upaya scientificity sebenarnya sudah terlihat dari buku
sebelumnya, Mythologies (1957). Buku ini bagi karier Barthes adalah the founding
text bagi kajian budaya media dengan pendekatan semiologi. Pikiran-pikiran Saussure
sudah terlihat jelas pada Myth Today, bagian kedua buku tersebut. Bagian ini
semacam teoritisasi analisa tentang mitos dari perspektif semiologi Saussurean. Buku
inilah yng akan menjadi landasan tulisan ini. Melalui Mythologies, buku yang lahir
sebagai kritik ideologi, kita akan melihat bagaimana mitos beroperasi dalam budaya
kontemporer. Lebih spesifik lagi, cara teori Barthes tentang mitos akan membawa
penulis pada imajinasi intelektual dalam menganalisa mitologisasi bahasa agama.
Keempat, sepuluh tahun terkahir karier intelektual Barthes mengalami
peralihan dari analisa struktural ke analisa tekstual. Jika momen sebelumnya analisa
Barthes lebih terpusat ingin mengungkap struktur tanda di balik bahasa dan budaya
modern, momen selanjutnya lebih ingin menemukan daya nikmat dari (pembacaan)
teks (pleasure of the text). Fase ini tentu saja tidak lepas dari aura intelektual Perancis
saat ini yang ingin segera lepas dari selimut Saussurean yang terlampau hangat.
Foucault, Derrida, Lacan dan juga Barthes termasuk di dalamnya. Situasi ini
merupakan satu bagian dari rangkaian sejarah panjang peradaban Barat modern. Para
pemikir yang disebut sebagai ponggawa postrukturalis terinspirasi terutama dari dua
tokoh besar yang mengubah pola pikir modernisme menuju posmodernisme, dari
strukturalisme ke pos-strukturalisme. Mereka adalah Nietzsche dan Sigmund Freud.
Melalui Nietzsche, sebagaimana para filsuf pos-strukturalisme lainnya,
Barthes terinspirasi soal sikap agnostik terhadap konsep. Nietzsche dengan segala
upayanya berupaya mengeluarkan manusia dari jerat metafisika yang dianggap
sebagai fondasi kebenaran, yang tidak lebih dari sekedar ilusi. Yang tersisa hanyalah
kehendak untuk berkuasa, bukan rasionalitas33. Tidak ada konsep yang mapan.
Semuanya dalam keadaan khaos, terus berubah tanpa konsep yang pasti. Hal inilah,
pada saat peralihan menuju analisis teks, Barthes memaklumatkan bahwa tidak ada
konsep (signified) tunggal yang ajek dalam proses pemaknaan. Bentuk (form) pada
bahasa selalu menyediakan beragam makna (polisemi).
Freud juga adalah tokoh penting yang merubah cara berpikir masyarakat
Barat. Gagasan Freud tentang alam bawah sadar sebagai hal yang dominan dalam
bertindak menjadi inspirasi bagi pemikir abad dua puluh untuk tak percaya pada
rasionalitas sebagai landasan mencapai kebenaran. Karena yang menggerakan
sepenuhnya kehidupan manusia adalah alam bawah sadar, dalam hal ini seks atau
hasrat. Melalui perantara Lacan, Barthes berkenalan dengan gagasan Freud tentang
ketaksadaran (unconciousness) sebagai pemicu kehidupan. Di sinilah sumber inspirasi
Barthes mengganti epistemologi menjadi pleasure dalam menganalisa teks. Analisis
teks bukan lagi mencari keajekan struktur yang dapat diungkap secara sistematis,
melainkan bagaimana teks tersebut menggairahkan saya (pembaca). Membaca bukan
untuk mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan
33 Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 2006) cet. IV, h, 54
menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan untuk memproduksi teks. Teks
kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks
baru atas pembacaannya itu.
Seluruh rangkaian momen karir intelektual Barthes sama sekali tidak bisa
menunjukan identitas apa yang pantas untuknya. Seorang strukturaliskah? Pos-
strukturaliskah? Budayawankah? Kritikus Sastrakah? Yang jelas, seluruh perjalanan
hidup Barthes tidak bisa dirumuskan dalam satu kesimpulan utuh. Penggalan setiap
momen selalu merupakan kesinambungan dari proyeksi sebelumnya. Identita Barthes
sangat banyak, sebanyak minat dan karya yang dilahirkannya.
Seperti kita tahu bahwa dalam sejarah intelektual Barthes tidak ada satu buku
utuh yang dia tulis secara sistematis, lengkap dan tuntas, kecuali serpihan-serpihan
artikel yang dibukukan. Meskipun begitu, karya-karyanya menjadi rujukan dan
textbook bagi penikmat dan pemerhati kebudayaan. Meskipun begitu, originalitas
dalam menganalisis budaya massa lebih luas melalui semiologi telah
mengantarkannya menjadi seorang pemikir cemerlang dan menjadi rujukan utama
dalam kajian budaya kontemporer.
Berikut adalah karya-karya Roland Barthes yang telah dipublikasi sebelum
dan sesudah meninggal.
1) L’Adventure Semiologique (Seuil, 1985). The Semiotic Challenge, terjemahan
Richard Howard (Hill and Wang, 1988).
2) La Chambre Ckire: no sur la Photographie (Gallimard and Suil, 1980).
Camera Lucida: Reflection on photography, terjemahan Richar Howard
(hilland Wang, 1981).
3) Critique et verite (Seuil,1966). Critisism and Truth, terjemahan Katrine
Kueneman (University of Minnesota Press, 1987).
4) La Degré Zéro de l’écriture (Seuil, 1953), terjemahan Annete Lovrs dan
Collin Smith (Hill and Wang, 1980).
5) Ẻléments de Sémiologie (Seuil, 1964), Elements of Semiology, terjemahan
Annate Lovers dan Collin Smith (Jonathan Cape Ltd, 1967).
6) L’Empire des Signes (Skira, 1970), Empire of Signs, terjemahan Richard
Howard (Hill and Wang, 1972).
7) Fragment d’un discours amoureux (Seuil, 1977), A Lover’s Discourse”
Fragments, terjmahan Ricahd Howard (Hill and Wang, 1978).
8) Le Grain de la Voic: Entretiens 1962-1980 (Seuil, 1981), The Grain of the
Voice: Interviews 1962-1980, terjemahan Linda Converdale (Hill dan Wang,
1985).
9) Image-Music-Text, esai yang diseleksi dan diterjemahka oleh Stephen Heath
(Hill and Wang, 1977).
10) Incidents (Seuil, 1987). Incidents, terjemahan Richard Howard (Univrsity of
California Press, 1992).
11) Lécon: Lécon Inaugurale de la Chaire de Semiologie Litteraire du Collége da
France, Pronencee le 7 janvier 1977 (Seuil, 1978). Inaugural Lecture,
terjemahan Richar Howard, dalam A Barthes Reader, Ed. Susan Sontag (Hill
and Wang, 1982).
12) Michlet par lui meme (Seuil,1954). Michelet, terjemahan Richar Howard
(Black Well, 1987).
13) Mythologies (1957). Mythologies, terjemahan Annate Lover’s (Hill and Wang,
1973).
14) New Critical Essays, terjemahan Richar Howard (Hill and Wang, 1986).
15) L’Obvie et l’Obtus (Seuil, 1982). The Rasponsibility of Forms, terjemahan
Richar Howard (Hill and Wang, 1975).
BAB III
PEMIKIRAN ROLAND BARTHES TENTANG MITOS
E. Teori Mitos dalam Sejarah
Untuk sampai pada mitos model apa yang diteliti oleh Barthes, terlebih dahulu
penulis uraikan teori-teori mitos sebelumnya. Barthes terlibat dalam perdebatan
seputar mitos ketika teori mitos sudah dirumuskan dan diperdebatkan dua puluh abad
lebih. Sejak zaman Yunani kuno, teori mitos sudah mendapat perhatian di kalangan
intelektual. Fakta ini bukan sedang menilai betapa sumbangan Barthes hanya
sejumput dari sejarah panjang teorisasi mitos, melainkan menunjukan bahwa
ketertarikan orang untuk memahami mitos sudah sejak lama ada. Ini berarti
keberadaan mitos dalam perjalanan sejarah ummat manusia tidak pernah absen. Mitos
di setiap zaman selalu mewarnai bagaimana realitas dipahami. Karenanya, perlu
ditekankan di sini bahwa kepustakaan mengenai mitos teramat beragam dan sulit
untuk dievaluasi. Akan tetapi, di sini kita akan melihat teori-teori mitos dalam
sejarahnya untuk kemudian melihat di mana posisi Barthes dalam khazanah
perjalanan teori mitos hingga kini.
Secara kebahasaan, mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu, muthos. Dalam
bahasa Inggris padanan katanya adalah word (bahasa Indonsia: kata) atau speech (B.I.
wicara atau ujaran). Kata muthos dibedakan dari logos. Anehnya, logos juga
sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris word. Menurut Kees W,
Bello, dalam artikelnya Myth: on Overview, keduanya dibedakan berdasarkan cita
rasa, word bagi logos berupa kata yang akan menimbulkan diskusi, berarti sebuah
argumen. Sementara pada muthos atau myth, word dimengerti sebagai kata untuk
menceritakan Tuhan atau manusia superhero34.
Pada perkembangannya, pengertian mitos di atas dipahami oleh masyarakat
umum dalam bahasa sehari-hari sebagai cerita fiktif, ilusi, angan-angan atau,
pendeknya, kepercayaan yang tidak berlandaskan pada kenyataan, bukan sebagai
upaya sungguh-sungguh manusia dalam menggumuli dunia. Kecuali para pemikir
yang intens mendalami teoi-teori mitos, pada umumnya, termasuk di dalamnya para
akademisi, pengusaha, orang awam, dan lain-lain, menerima definisi di atas. Padahal
definisi ini sangat menyesatkan. Untuk penelitian akademis, dan tentunya bisa juga
“mengingatkan” masyarakat luas, bahwa jika mitos dianggap sinonim dengan ilusi
hanya akan membuat tugas meneliti mitos menjadi kabur karena akan sulit
menentukan mana kepercayaan berdasarkan ilusi dan bukan. Percaya berarti sudah
mengandaikan begitu saja keberadaan objek yang dipercayai. Ditambah dengan
kenyataan bahwa tugas peneliti adalah memastikan jenis kepercayaan, mempelajari
struktur logisnya, dan menjelaskan apa sebab orang mempercayainya sebagai benar.
Sejak zaman Plato tepatnya, mitos-mitos zaman purba klasik dijadikan bahan
penelitian. Akan tetapi, baru pada abad 19 karya-karya ahli etnografi yang pertama
memperluas kajian sampai mencakup mitos-mitos yang hidup di kalangan bangsa
primitif. Perkambangan ini memungkinkan banyak bidang kajian yang menjadikan
analisa mitos menjadi bagian dari bidang mereka. Kaum positivisme membincangkan
jenis kepercayaan masa lalu ini masuk dalam daftar kajian mereka. Namun, harus
diakui bahwa kajian mitos dalam positivisme lebih sebagai kajian pinggiran di mana
mitos menjadi model dari kepercayaan yang tidak benar. Begitu juga aliran lain
34 Keen W. Bolle, Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed. Mircea
Eliade, h. 261
menganggap mitos bagian dari kajian psikoanalisa, Sigmund Freud35 (1856-1939) dan
Carl Jung36 (1875-1961) misalnya; Cassirer37 (1874-1945) memberi bentuk simbolik
yang penting kepada mitos; Levi-Strauss38 (1908), telah menggunakan mitos sebagai
alat untuk meguji dan menjelaskan kepercayaan masyarakat primitif dengan
pendekatan structural anthropology.
1. Periode Klasik
Pada tahap paling awal, sekitar 6 abad sebelum masehi, spekulasi mitologi
lebih pada keraguan atas cerita akan dewa-dewa. Mereka inilah yang mengaggap
bahwa mitos tentang dewa tidak lebih dari sekedar khayalan atau, lebih jauh lagi,
sebagai rekayasa penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokritos
misalnya, mengatakan bahwa dewa-dewa diciptakan tidak lebih dari sekedar untuk
menjelaskan fenomena alam yang menakutkan atau tidak normal. Begitu juga dengan
kalangan Epikuris yang mengatakan bahwa pengertian dewa-dewa muncul dari
gambaran dalam mimpi dan visi mereka39.
35 Freud adalah psikolog asal Austria yang menggagas pendekatan baru dalam psikologi:
psikoanalisa. Melalui psikoanalisa, ia memusatkan perhatian bukan pada kesadaran, melainkan pada alam bawah sadar. Alam bawah sadarlah yang sebenarnya menggerakan kejiwaan manusia. Gagasannya ini juga membalik tradisi filsafat Cartesian soal kesadaran. Meskipun ia tidak membicarakan mitos, tidak sedikit para pengikut Freud berusaha menjelaskan mitos dengan psikoanalisa. Pengaruhnya sangat luas dalam ilmu sosial secara luas, juga dalam teori mitos. Misalnya, psikoanalisa dikembangkan dalam tradisi poststrukturalisme oleh J. Lacan, dan juga Barthes. lebih lanjut lih. Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, Terj. Hasan Basari (Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984), h.35-37
36 Carl Jung adalah murid langsung Freud. Ia mengembangkan alam bawah sadar, bukan hanya individual melainkan kolektif. Pada sisi inilah Jung menjelaskan mitos. Ibid, h.40
37 Ernest Cassirer adalah filsuf Jerman yang memimpin tradisi neo-Kantian. Bisa dikatakan bahwa dia adalah penerus Kant dalam memandang pengetahuan. Melalui cara berpikir Kantian, ia merumuskan mitos sebagai pengetahuan khas masyarakat primitif. Lih. Ernest Cassirer, dalam Microsoft ® Encarta ® 2006.
38 Levi-Strauss adalah antropolog Prancis yang sangat terpengaruh oleh Saussure. Ia mendekati mitos primitif dari struktur bahasanya. Makna mitos akan dapat ditangkap jika struktur bahasanya sudah dirumuskan. Dalam teori mitos, Levi-Strauss sudah menjelajahi hampir kesemua benua. Dia menemukan bahwa ada hubungan kekerabatan mitos antar benua dalam struktur bahasanya. Lih. Levi-Strauss, Struktural Anthropology, (New York: Penguin Book, 1963), h. 31-50
39 Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, h. 7
Keraguan mereka sebenarnya tidak menyentuh langsung mengenai mitos itu
sendiri. Meskipun demikian, keraguan mereka telah membuka jalan bagi teori mitos
yang muncul di zaman itu. Ada dua teori besar yang dihasilkan dari spekulasi
sebelumnya tentang mitos40. Pertama alegoris. Teori ini menyebutkan bahwa mitos
harus dibaca sebagai alegori (kiasan) yang menyembunyikan suatu ajaran moral atau
filosofis tertentu. Menurut teori ini, di balik mitos terdapat keluhuran yang jika
disampaikan tanpa metafor akan jatuh pada orang salah, dan ini berarti keluhuran
makna akan luntur. Tugas kita adalah mengungkap kebenaran atau ajaran moral
tertentu yang tersembunyi di baliknya.
Kedua Euhemerus. Menurut teori ini, makna harfiah mitos tentu bukan makna
yang sebenarnya. Tapi, bagi mereka, mitos sebenarnya lahir dari sejarah tertentu. Jika
mitos seringkali tidak masuk akal karena dalam penuturannya terjadi distorsi-distorsi,
ditambah lagi dengan ada kecenderungan orang di masa lalu mengagungkan tokoh-
tokoh dan membesar-besarkan prestasinya. Mitos terbentuk dalam sejarah. Karena
pada awalnya ada kejadian yang sebenarnya. Jadi, Euhemerus juga layaknya alegoris
menyimpan kebenaran di balik mitos. Akan tetapi kebenaran itu hanya dapat ditemui
melalui penelusuran sejarah.
2. Periode Pencerahan
Periode awal pencerahan, gagasan mengenai mitos tidak ada yang melebihi
batasan yang telah ditetapkan oleh aliran Euhemerus. Kalaupun ada, gagasan mereka
tidak diterima secara luas. Sebut saja gagasan Bernard De Fontenella (1657-1757),
yang berpendapat bahwa mitos merupakan upaya rasional orang primitif untuk
menjelaskan dunia. Giambattista Vico (1668-1744), kritikus sastra Itali terkemuka
40 Lih. Bolle, Myth: an Overview, h. 268
pada masa pencerahan, mengemukakan bahwa orang-orang zaman dulu adalah para
penyair yang berbicara dalam bahasa puisi, dan mitos adalah apa yang tersisa dari
bahasa mereka. Kedua gagasan ini terpinggirkan oleh kecenderungan orang
memelihara aliran Euhemerisme41.
Teori yang mendapat dukungan luas pada masa pencerahan dalam membaca
mitos adalah ilmu linguistik (filologi), ilmu bahasa yang dijadikan kajian eksak yang
berkembang abad sembilan belas. Teori ini dipelopori oleh Max Muller42. Muller
adalah filolog yang berusaha memahami perbandingan agama dengan penelusuran
asal usul etimologis. Muller berpendapat bahwa bahasa asli orang Arya miskin akan
istilah-istilah abstrak tapi kaya akan istilah konkrit. Jadi ketika berhadapan dengan
fenomena-fenomena abstrak, mereka cenderung menggunakan bahasa puitis. Mitos
baginya adalah bentuk ujaran lama sehingga terasa puitis dan terkadang tidak bisa
dimengerti di zaman berikutnya.
Keberatan atas teori ini adalah bahwa di kalangan filolog sendiri terjadi
perbedaan pendapat dalam analisa etimologi dalam penyebutan nama-nama mitis. Ini
berarti tidak bisa dipastikan makna etimologi mana yang paling asali? Kritikus
pendapat Muller ini dilancarkan oleh Andrew Lang (1844-1912). Menurut Lang,
mitos adalah kisah yang diciptakan oleh orang-orang primitif yang bertujuan
memberikan penjelasan. Kisah ini penting dibuat untuk menjawab rasa ingin tahu.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendapat seperti ini telah dikemukakan
oleh Fontenelle bahwa mitos tercipta sebagai ilmu pengetahua orang primitif.
Bedanya, Fontenelle ini cenderung mengangap sama pola masyarakat primitif dengan
masyarakat modern. Bagi Lang, mitos merupakan produk dari mentalitas khas
masyarakat primitif yang kekenak-kanakan. Keadaan intelektual ini ditandai dengan
41 Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h. 12 42 Ibid, h,18
mentalitas yang kabur terhadap apapun yang dihadapi pada tingkat hidup, emosi, dan
akal budi yang sama43.
Terakhir, tradisi positivisme. Positivisme menegaskan agar pengetahuan
hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Aliran ini bisa dibilang kelanjutan dari
empirisme pencerahan. Positivisme meradikalkan gagasan empirisme. Jika kalangan
empiris masih menerima adanya pengalaman subjektif. Sementara itu, positivisme
menolak sama sekali. Di sini jelas mereka menolak metafisika. The thing in itself
yang dirumuskan Immanuel Kant tidak bisa menjadi objek bagi penelitian ilmiah.
Filsafat kini harus mengarahkan pada data-data faktual semata.
Positivisme digagas oleh Auguste Comte (1798-1857). Dalam pemikirannya,
periode pengetahuan dibagi ke dalam tiga tahap. Pertama teologi. Tahap ini manusia
mengandalkan pengetahuan pada sesuatu yang supranatural. Periode ditandai oleh
sub-periode: masa paling primitif atau kekanak-kanakan, yaitu tahap animisme.
Manusia menganggap objek-objek fisik bernyawa. Kemudian masa “remaja”,
kepercayaan politeisme, kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa.
Kemudian paling akhir dari periode teologi ini adalah monoteisme. Sebuah pemusatan
kekuasaan di “tangan” kekuatan yang adimanusiawi.
Tahap kedua adalah tahap metafisik. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap
selanjutnya dalam melihat kekuatan-kekuatan adimanusiawi tadi sebagai abstraksi-
abstraksi metafisik. Misalnya, konsep “cause”, “ether” dan seterusnya. Tahap ini
mengalihkan dari kekuasaan adimanusiawi menjadi abstraksi alam sebagai
keseluruhan. Keberadaan Allah dan dewa-dewa sudah tidak perlu lagi; yang tertinggal
hanya entitas-entitas abstrak yang metafisik.
43 Ibid, h, 21
Kemudian tahap berikutnya adalah tahap positivis. Tahapan di mana
pengetahuan mencapai puncaknya. Tahap ini tidak lagi mencari sebab-sebab kejadian
di luar fakta-fakta teramati. Pikiran hanya memusatkan pada fakta yang sebenarnya
bekerja menurut hukum umum. Ilmu pengetahuan pada masa ini bukan saja ilmu
tentang yang real, melainkan juga ilmu yang pasti dan berguna. 44
Dengan demikian jelas apa pandangan kaum positivis terhadap mitos. Mitos
adalah pikiran-pikiran zaman manusia yang masih kekanak-kanakan. Mitos hanyalah
bualan belaka. cerita dalam mitos hanya sebatas kepercayaan zaman primitif, yang
saat ini sudah tidak berguna lagi. Meskipun mitos berisi sejarah, kalangan positivis
menganggap bahwa pengetahuan yang didapat bukan berasal dari fakta-fakta yang
dapat diamati. Demikian juga, jika ada mitos sejarah seperti cerita kerajaan Prabu
Siliwangi di Jawa Barat, alih alih memercayai maknannya, malah menelusuri jejak
sejarahnya secara arkeologis hingga menemukan cerita yang tepat secara ilmiah,
berangkat dari artefak-artefak yang secara faktual bisa menunjukan kebenaran
historisnya.
3. Periode Kontemporer: Psikoanalisa dan Strukturalisme.
Periode ini pembahasan mitos sudah terpilah-pilah seiring dengan spesifikasi
ilmu pengetahuan. Periode ini paling tidak ada dua pendekatan yang menonjol. Kita
mulai dengan pendekatan psikologi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa mitos
merupakan fenomena psikis. Penafsiran-penafsiran ini umumnya diilhami oleh karya-
karya Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Jung (1875-1961)45. Sementara
metodologi khusus dalam psikologi diinspirasi oleh tafsir mimpinya Freud.
44 F. Budi hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, h.205-206 45 Ibid, h. 38
Mimpi, menurut Freud, ditimbulkan oleh angan-angan dan tujuannya
menampilkan angan-angan tersebut seolah sudah terpenuhi supaya orang dapat
melanjutkan tidurnya tanpa gangguan. Angan-angan tersebut, lanjut Freud, bersumber
dari hasrat seks masa kanak-kanak. Misalnya, pada anak laki-laki tertanam hasrat seks
pada ibunya dan ingin melenyapkan ayahnya. Namun, keinginan ini berhadapan
dengan tata nilai dan sopan santun sehingga dilenyapkan dan dibuang dari ingatan.
Akan tetapi tidak hilang sama sekali, hasrat tersebut mengendap di bawah sadar
manusia, dan tetap di sana untuk mengganggu orang dewasa tidur.
Freud sendiri tidak memperluas teorinya ke wilayah mitos. Ia hanya mencoba
mengamati bahwa simbol-simbol mitos banyak kemiripan dengan simbol-simbol
dalam mimpi. Misalnya, terutama tema seksual masa kanak-kanak. Tema ini dipakai
untuk melihat mitos terkenal tentang kisah Oedipus. Freud juga menegaskan bahwa
mitos, seperti halnya mimpi, merupakan produk fantasi.46
Salah satu murid Freud yang cukup berpengaruh, Carl Jung memperluas
pengertian bawah sadar. Tidak seperti Freud yang menegaskan bahwa tipikal bawah
sadar besifat pribadi dan isinya selalu berasal dari pengalaman sadar individu itu
sendiri, Jung mebedakan antara lapisan luar bawah sadar dan lapisan dalam. Lapisan
luar inilah yang bersifat pribadi. Sementara, lapisan bawah sadar terdalam disebut
dengan bawah sadar kolektif. Istilah kolektif dipilih lebih karena sifatnya yang
universal. Dengan kata lain, ia identik pada semua orang, dan karenanya merupakan
suatu lapisan bawah sadar bersama yang bersifat supra-personal dan terdapat pada diri
setiap orang. Alam bawah sadar kolektif ini juga disebut dengan arkhetip-arkhetip.47
Melalui pembedaan ini, Jung menjelaskan bahwa mitos merupakan
representasi simbolik dari bawah sadar kolektif manusia. Ungkapan-ungkapan mitis
46 Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h.35 47 Ibid, h.40
harus dibaca sebagai suatu bayangan-cermin atau simbol dari dirinya. Karena semua
mitos dari alam, menurut Jung, merupakan ungkapan simbolik dari drama batin yang
tidak disadari dari psike yang menjadi terbuka bagi kesadaran manusia melalui
proyeksi. Artinya, manusia memroyeksikan dirinya kepada dunia apa yang
sebenarnya terjadi jauh di dalam bawah sadarnya sendiri. Proses ini sangat menonjol
di kalangan bangsa primitif. Misalnya, bangsa primitif tidak cukup atas
penglihatannya atas matahari terbit dan terbenam; peristiwa lahiriah ini pada saat
yang bersamaan merupakan peristiwa psikis; dalam lintasan matahari tergambar nasib
suatu dewa atau seorang pahlawan yang pada tingkatan paling akhir tidak ada di
mana-mana kecuali dalam dirinya sendiri.
Jelaslah bahwa teori mitos yang hendak dibangun dengan pendekatan
pskiologi ini hendak menyamakan antara apa yang terjadi pada mimpi juga berlaku
pada mitos. Ini jelas bermasalah karena mitos dengan mimpi sama sekali berbeda. Di
sinilah letak beberapa keberatan jika teori psikoanalisa diterapkan untuk mitos. mitos
sama sekali berbeda dengan mimpi. Karena, Freud sendiri mengatakan bahwa tujuan
mimpi bukan untuk mengomunikasikan sesuatu, melainkan untuk tidak dimengerti.
Sementara, mitos merupakan ungkapan publik bukan pribadi. Mitos juga salah satu
cara paling ampuh agar mereka dapat dimengerti.
Ide Jung tentang kesadaran kolektif juga tidak bisa menjelaskan mitos pada
dirinya. Karena seandainya kita sudah dapat menjelaskan hakikat ide-ide bawah sadar
kolektif, mitos hanya salah satu efek saja. Selain itu, gagasan alam bawah sadar
kolektif merupakan kelanjutan dari teori idealisme. Sementara, hipotesis Roh
supraindividual sebagai “aktor” utama perilaku suatu peradaban tidak bisa dibuktikan
kebenarannya. Bahwa telah terjadi penyebaran mitos adalah hal yang menarik. Akan
tetapi hal itu tidak membuktikan keberadaan alam bawah sadar kolektif. Kesimpulan
model ini tidak lebih dari menebak-nebak dengan menggunakan akal.
Kemudian, teori yang belakangan ini mendapat perhatian banyak kalangan
adalah strukturalisme. Teori yang memusatkan perhatian pada struktur bahasa ini,
menjadi alternatif dalam memecah persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer.
Karena, bahasa, sebagaimana diyakini kalangan strukturalis, adalah struktur dasar
yang memungkinkan manusia berujar dan bertindak. Demikian juga dengan
perdebatan mitos. Teori strukturalisme digunakan untuk mendekati mitos pertama kali
dirintis oleh Levi-Strauss (1908- ), antropolog yang getol jalan-jalan ke berbagai
belahan dunia dalam rangka menganalisa mitos-mitos antrologis. Teori ini, seperti
telah diperlihatkan di muka, dikembangkan atas pemikiran pendirinya, Ferdinand de
Saussure.
Menurut Levi-Strauss, studi-studi mitos sebelumnya menghadapi kesulitan-
kesulitan seperti beberapa kesulitan yang dihadapi oleh ahli linguistik pra-ilmiah (pra-
Saussure). Teori-teori mitos selama ini memegang asumsi bahwa di mana terdapat
simbol-simbol dan motif-motif yang sama tentu memiliki makna yang sama pula. Hal
ini sama dengan kesalahan para linguist sebelum Saussure yang berasumsi bahwa ada
hubungan alamiah anatara bunyi-bunyi dengan ide-ide yang ditunjukan oleh bunyi
itu. Menurut Levi-Strauss, mitos harus diperlakukan seperti bahasa. Yang perlu dicari
adalah struktur keseluruhan dari mitos bukan makna dari masing-masing simbolik
karena makna mitos hanya mungkin jika menggabungkan seluruh bagian-bagainnya.48
Untuk mengidentifikasi unsur-unsur pada mitos, kita harus menguraikan
ceritanya menjadi kalimat-kalimat pendek. Misalnya, mitos tentang Oedipus. Kita
bagi menjadi, “Cadmos membunuh naga”, “Oedipus membunuh Sphing”, “Oedipus
48 Levi-Strauss, Stuctural Anthropology, (New York: Pinguin Books, 1963), h.209
mengawini ibunya” dan sebagainya. Kemudian unsur-unsur ini dipilih berdasarkan
kalimat-kalimat yang memiliki kesamaan-kesamaan menjadi berkas-berkas yang
terpisah. Menurut Levi-Strauss kesamaan dalam berkas itulah yang merupakan satuan
konstituen di dalam mitos. Biasanya, dalam satuan-satuan itu terdapat unsur-unsur
yang saling berlawanan. Oleh karenannya kita dapat mengelompokkannya dalam
satuan oposisi biner, seperti, hidup/mati, laki-laki/wanita, mentah/dimasak, dan lain-
lain. Kemudian oposisi biner ini dapat dikelompokan lagi ke dalam skema konseptual.
Bisa jadi, skema itu menyangkut soal-soal kosmologis, sosiologis atau ekonomis.
Akhirnya, skema konseptual itu dan hubungannya satu sama lain dinyatakan sebagai
diagram yang menurut Levi-Strauss menjadi struktur global dari mitos yang
dianalisa.49
Si pembuat mitos dengan sendirinya sedang ingin menyampaikan suatu pesan
kepada khalayak pendengar. Akan tetapi pesan itu tidak disadari baik oleh pembuat
cerita maupun oleh pendengarnya. Di sinilah analisa struktur memperlihatkan bahwa
apa yang diupayakannya bukan untuk menunjukan bagaimana manusia berpikir di
dalam mitos mereka, melainkan bagaimana mitos itu berpikir dalam sruktur bahasa
manusia, dan tidak mereka sadari.
Oleh karena mitos beroperasi di bawah tingkat kesadaran, maka mitos harus
sering diulang-ulang dan dalam bentuk yang berbeda-beda agar maknannya dapat
disampaikan. Inilah kenapa suatu mitos seringkali muncul dalam banyak versi.
Analisa struktural juga menggiring pada kesimpulan bahwa tidak ada versi mitos yang
paling benar dan paling sah. Karena tujuannya adalah mengumpulkan, menganalisa,
dan membandingkan semua versi yang ada sehingga kita dapat menemukan dokrin
yang tersembunyi di dalamnya.
49 Ibid, h.214
F. Semiologi: Upaya Membangun Teori
1. Pengaruh Saussure
Pendekatan strukruralisme yang dipraktekkan Levi-Strauss untuk menganalisa
mitos menjadi inspirasi intelektual bagi Barthes untuk membaca mitos kontemporer
yang bersemayam di dalam budaya massa. Levi-Strauss, sebagai seorang antropolog,
tentu ia melibatkan dirinya dalam perdebatan menjelaskan mitos-mitos primitif. Jadi,
ia tidak berkepentingan atas, dan bahkan tidak memerhatikan terhadap, mitos-mitos
yang dihasilkan oleh “mesin-mesin” teknologi kontemporer. Kemudian, Levi-Strauss
juga dalam membaca mitos primitif, dalam kerangka bahasa. Tanda yang diamati
masih berbentuk cerita yang sifatnya bahasa simbolik. Hubungan antar tanda bahasa
menjadi pusat perhatian Levi-Strauss agar dapat menemukan makna pada mitos.
Sementara itu, Barthes memandang mitos sebagai salah satu tipe berujar (a
type of speech). Speech, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam konsep semiologi,
bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral saja, melainkan juga gambar, film, seni,
olahraga, pertunjukan, dan lain-lain. Mitos akan menyentuh kita melalui media yang
tersedia. Apapun, bagi Barthes, di dunia ini bisa jadi mitos, asalkan ia dapat
terbahasakan. Oleh karenan itu, mitos merupakan salah satu bidang yang dikaji
melalui semiologi. ditambah bahwa bahasa struktur bahasa hanyalah model bagi tanda
selain bahasa.50
Strukturalisme yang digagas oleh seorang pakar linguistik asal Swiss,
Ferdinand de Saussure menandai lahirnya ilmu linguistik modern. Karya Saussure,
Cours de Linguistique Général, menjadi “kitab suci” ilmu baru ini. Meskipun
demikian, “kitab suci” itu tak tahan kritik dan siap dikembangkan para penerusnya.
50 Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill & Wang, 1972) h.109
Buku itu sebenarnya, kumpulan ia mengajar, karena mamuat banyak gagasan baru
dalam ilmu bahasa, beberapa muridnya berinisiatif menerbitkannya. Jadilah ia “kitab
suci” linguistik modern hingga kini.
Melalui buku tersebut, Saussure ingin menjadikan bahasa sebagai objek kajian
ilmiah. Pada masanya, para ahli bahasa tidak bisa melampaui pendekatan historis.
Pendekatan historis, hanya terfokus pada bagaimana melihat bahasa lebih pada asal
usulnya. Pendekatan ini membuat ilmu bahasa sangat bergantung dari data-data
sejarah yang spesifik. Saussure membayangkan adanya suatu disiplin ilmu yang stabil
untuk mempelajari bahasa sehingga dapat melampaui pendekatan lama.
Saussure terinspirasi oleh gagasan Durkheim (1858-1917) mengenai fakta
sosial. Masyarakat, menurut Durkheim, dapat diteliti sebagai fakta sosial yang
objektif. Fenomena ini terpisah dari kehendak manusia dan memengaruhinya dalam
perilaku sosial. Ini adalah kesadaran kolektif yang disebutnya sebagai fakta sosial.51
Saussure membayangkan kesadaran kolektif ini dalam bahasa. Bahasa menjadi
fenomena objektif yang bisa ditelanjangi strukturya terlepas dari konteks dan
peristiwa yang membentuknya. Melalui sruktur, individu dan masyarakat
mengembangkan bahasa dalam bentuknya yang spesifik. Kesadaran kolektif
masyarakat tadi terejawantahkan dalam strukturnya. Karena itulah Saussure disebut
sebagai bapak strukturalisme, di mana sruktur menjadi pusat penelitiannya.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk mendekati bahasa dari
strukturnya, Saussure membedakan antara langue (bahasa) dan parole (wicara).
Parole adalah seluruh ujaran manusia bedasarkan pilihan-pilihan individu, termasuk
di dalamnya bentuk pengungkapan secara spesifik. Artinya, parole ini muncul dari
penggunaan bahasa yang dilakukan secara individual dilakukan oleh masing-masing
51 Doyle Poul Johnson, Teori Sosiologi Modern I, h. 74
orang atau kelompok. Masing-masing lingkungan memilik parole berbeda-beda.
Perhatian Saussure dalam merumuskan ilmu bahasa yang ilmiah justru tertuju pada
langue. Langue merupakan kebiasaan pasif si penutur bahasa yang memungkinkan
kita saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dapat dipahami bersama.
Jadi langue ini adalah abstraksi dari keseluruhan akivitas berbahasa manusia. Langue
sepenuhnya produk alam bawah sadar manusia, dan inilah yang disebut sebagai
kesadaran kolektif. 52
Saussure sadar bahwa ilmu bahasa tidak mungkin meneliti parole saja karena
terlalu banyak dan spesifik. Oleh karena itu, ia lebih terfokus pada langue. Bagi
Saussure, linguistik bisa didekati melalui jalan diakronis juga sinkronis. Para ahli
bahasa sebelumnya, hanya berhenti mendekati bahasa dengan metode diakronis, yaitu
meneliti bahasa berdasarkan perkembangannya dalam urutan waktu. Jadi
penelitiannya dilakukan dengan mengamati institusi yang meresponnya dalam kurun
waktu tertentu. Bahasa juga bisa dilihat melalu cara sinkronis, yaitu kita dapat
memperlajari perubahan bunyi dan sistem fonologis di antara berbagai sistem langue,
meskipun dalam rentang waktu yang berjauhan. Karena itu, tidak heran jika bahasa,
sekalipun abstrak, sangatlah majemuk. Kemajemukan ini memperlihatkan adanya
kekerabatan yang secara implisit terdapat di dalam struktur bahasa.
Lalu di mana letak tanda dalam strukturalisme Saussure? Seperti sudah
disinggung bahwa bahasa yang diperbincangkan Saussure terletak pada langue.
Karena langue adalah hasil konvensi anggotanya, konvensi tersebut dihasilkan
berdasarkan sistem pemaknaan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa sistem
pemaknaan, tidak mungkin saling memahami. Sistem pemaknaan itulah yang disebut
dengan tanda. Menurut Sussure, langue adalah semesta tanda yang masing-masing
52 Harimurti K, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996), h. 5
bersifat arbitrer. Sifat arbitrer yang melekat pada tanda bukan berarti kita boleh
seenaknya mengasosiasikan bunyi tertentu untuk konsep tertentu. Karena asosiasi
antara bunyi dan konsep yang membentuk tanda terjadi atas konvensi masyarakat.
Sehingga kita tidak tahu latar belakang mengapa bunyi “batu” diasosiasikan pada
konsep batu bukan air. Akan tetapi, sifat arbitrer ini juga menegaskan bahwa tidak
ada hubungan alamiah antara bunyi dengan konsep yang ditunjuknya. Itu semua hasil
konvensi anggota masyarakat di ranah bawah sadar manusia.53
Saussure memandang tanda terdiri atas dua komponen: (1) citra akustik yang
disebut penanda (signifier) dan (2) konsep atau citraan mental yang disebut petanda
(signified). Penanda adalah kesan citraan bunyi yang dapat dibunyikan dari mulut
penutur, sementara petanda adalah konsep yang hanya dapat dirasakan secara mental
dalam pikiran penutur. Hubungan keduanya saling menentukan. Citra akustik akan
terasa sebagai igauan belaka jika di dalamnya tidak ada konsep yang hendak ditunjuk.
Begitu juga konsep tidak akan muncul tanpa penyampaian dalam bentuk bunyi atau
citra akustik. Korespondensi terus menerus di atantara keduanya diperlukan untuk
menjalin komunikasi para penuturnya. Akan tetapi, cara mereka berhubungan
berbeda-beda, bergantung pada konvensi di masyarakat. Tanda tidak pernah lepas dari
konteks pembentukannya.54
Bahasa dalam pandangan Saussure bukan isi, melainkan bentuk. Pandangan
ini kemudian dikembangkan oleh Levi-Strauss sebagai relasi. Bahasa merupakan
jalinan relasi tanda yang sangat rumit. Relasi ini menjadi jembatan pembentukan
makna yang silih berganti disampaikan di antara penutur. Hanya saja, relasi ini hanya
mungkin bila tanda memiliki penandaan (signification). Penandaan inilah yang
menghubungkan, asosiasi antara bunyi dan konsep secara referensial. Misalnya, kata
53 Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, h. 53 54 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), h. 65
gunting mengandung penandaan atas konsep alat memotong benda. Hubungan antara
kata gunting dengan alat memotong benda akan gugur manakala kata gunting diganti
oleh kata ganteng atau gintung.
Tanda-tanda di dalam bahasa bukanlah sitem yang homogen. Hubungan antar
satu tanda dengan tanda lainnya memiliki mekanisme hubungan tersendiri. Hubungan
tersebut disebut dengan diferensi atau perbedaan. Diferensi ini akan memperjelas apa
yang akan ditandakan oleh penutur. Misalnya, “gunting” menjadi jelas maknanya
karena berbeda dengan “genting”. Diferensi ini sangat penting dalam pemikiran
Saussure. Tanpa diferensi, tanda-tanda dalam sistem langue tidak dapat diketahui.
Hubungan antara tanda juga dilihat melalui dua cara: sintagmatik dan
paradigmatik. sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linier pada tanda. Artinya,
hubungan antar tanda bergerak lurus dengan satuan waktu. Hubungan ini mengajak
kita memprediksikan apa yang akan terjadi dari hubungan tersebut. Dalam hubungan
ini, konsep sangat ditentukan oleh hubungan antara tanda dengan yang lainnya.
Misalnya, hubungan antara satu kata dengan kata lain dalam satu kalimat.
Sementara, hubungan paradigmatik merupakan hubungan unsur-unsur tanda
dalam satu kelas yang membentuk sistem. Tanda-tanda dalam hubungan ini identik
satu sama lain, meskipun masing-masing memiliki nilai atau valensi secara unik.
Misalnya, antara kata supermarket dalam hubungannya dengan pasar, mall. Atau kata
“ketupat” dalam hubungannya dengan “peci”, “sarung” untuk suasan idul fitri.
Hubungan tanda-tanda secara paradigmatik merupakan hubungan virtual.
Keberadaannya dalam keadaan in absentia, satu kelas namun tidak hadir. Hubungan
unsur ini terletak pada pikiran manusia.55
55 Lihat Fariz Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan
Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, (Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005), h. 26
Melalui pemikiran Saussure tersebut, Barthes menjelajahi dengan tekun segala
kemungkinan dari linguistik modern (strukturalisme) untuk membangun teori
mitosnya kelak. Akan tetepi, sejak awal, ia meniatkan penjelajahannya itu ditapakinya
ke wilayah yang lebih luas, signification other than language.56 Apa yang digagas
oleh Saussure mengubah model berpikir dalam ilmu-ilmu sosial. Meski demikian,
bahasa tetap menjadi pijakan, atau barangkali juga model sistem penandaan di luar
bahasa. Cara pandang baru atas bahasa ini membuat Barthes terpesona dalam
penelitian-penelitiannya kelak, terutama sebagai kritik ideologi.
Dalam bukunya, Mythologies (1957), untuk kepentingan analisa terhadap
mitos-mitos yang dipublikasi di berbagai media, sebenarnya Barthes sudah membahas
semiologi. Karena mitos, kata Barthes, adalah bagian dari kajian semiologi. Beberapa
istilah kunci semiologi telah diurainya secara detail. Namun, penjelasannya masih
terbatas pada konsep yang sejauh menunjang analisanya atas mitos.
Baru pada tahun 1964, melalui bukunya Elements of Semiology, Barthes
memaparkan beberapa konsep kunci teori semiologinya. Tepatnya, buku itu lebih
berupa ulasan atas kemungkinan teori semiologi Saussure dan para penerus dengan
perkembangannya. Buku ini dipersiapkan sebagai bahan mata kuliah di mana dia
mengajar. Akan tetapi, ternyata buku ini juga menjadi momen bagi Barthes untuk
membangun teori untuk mendekati persoalan-persoalan kebudayaaan secara luas.
Pendek kata, kita akan melihat bagaimana mitos dalam pandangan Barthes dengan
memahami landasan teori yang dipakainya. Oleh karenannya, membahas konsep-
konsep kunci akan dibicarakan terlebih dahulu.
2. Langue/Parole
56 Roland barthes, Element of Semiology, (London: Jonathan cape, 1967), h. 95
Pertama-tama Barthes membahas soal pembedaan antara bahasa (langue) dan
wicara (parole). Sebagai seorang Saussurean, Barthes setuju akan dua istilah ini.
Bahasa (langue) adalah pranata sosial dan sistem nilai. Sebagai pranata sosial, bahasa
merupakan ciptaan masyarakat bersama dan bukan oleh individu. Bahasa ini harus
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan sifatnya otonom, memiliki aturannya
sendiri. Sebagai sistem nilai, bahasa memiliki unsur-unsur yang dapat dipertukarkan
dan dibandingkan. Sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa menjadi sesuatu
yang objektif, berada di luar dan memaksa manusia untuk berujar sesuai dengan
bahasa yang ada.
Sementara itu, wicara (parole) merupakan tindakan individu dalam memilih
dan mengaktualisasikan pilihannya dari bahasa yang tersedia. Melalaui bahasa,
memungkinkan individu mengungkapkan subjektivitasnya. Dengan bahasa
sebagaimana dijelaskan di atas, orang secara individu dapat memakainya sesuai
dengan kebutuhan pribadi. Bahasa sebagaimana dipakai ini disebut wicara yang
disipiakan oleh pilihan-pilihan pribadi.
Pembedaan dua kategori Saussurean ini disepakati oleh Barthes. Hanya saja,
melalui dua konsep ini Barthes mengembangkan keduanya ke arah non-verbal yang
lebih luas. Karena tidak ada lagi istilah yang lebih baik dari dua istilah ini, Barthes
tetap mempertahankannya untuk sistem tanda yang lebih luas tadi. Misalnya, dalam
perkembangan mode. Struktur antara bahasa dan wicara ini berlaku. Sederetan
rancangan busana yang tersedia dalam buku-buku mode dilihat sebagai bahasa,
berupa sistem mode yang sedang berkembang. Jatuhnya pilihan pada mode tertentu
merupakan wicara dalam struktur mode tersebut. Di samping itu, Barthes juga
mengidentifikasi pada sistem mobil, sistem makanan, sistem pakaian dan sebagainya
yang meruapakan bagian dari sistem tanda yang non-verbal. Perhatian Barthes sistem
bahasa non-verbal karena keyakinannya bahwa semiologi bisa mempelajari other than
language.57
Bila sistem bahasa yang dihubungkan melalui sistem relasi antar langue,
wicara pun demikian. Selain pilihan yang disediakan bahasa beragam, wicara sendiri,
bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral. Wicara juga bisa diaktualisasikan
melalui tulisan, gambar, foto, gestur tubuh, film, dan seterusnya. Sistem tanda yang
tersedia dalam bahasa tidak terbatas pada oral sebagai sistem pemaknaan. Akan tetapi,
tentu saja pilihan-pilihan beragam bentuk wicara ini tetap mengacu pada sistem
langue yang berlaku.
Dalam ilmu sosial kemanusiaan, pemisahan antara bahasa dan wicara ini
memiliki peran yang cukup signifikan. Yang agak mengherankan, seperti kita tahu,
Saussure terispirasi dari konsep “fakta sosial” dalam sosiologi yang digagas oleh
Durkheim. Justru pemisahan antara bahasa dan wicara ini tidak banyak mendapat
perhatian dalam bidang sosiologi. Jika di ranah sosiologi tidak mendapat perhatian,
pemisahan langue/parole ini diapresiasi oleh tradisi filsafat di Prancis waktu itu.
Misalnya, kata Barthes, pemisahan antara speaking speech dan spoken speech dari
Merleau-Ponty. Begitu juga dalam antropologi seperti yang dipraktekan oleh Levi-
Strauss.58 Ini membuktikan bahwa pemisahan antara bahasa dan wicara ini masih
dipertahankan Saussure sebagai konsep dalam perkembangan teori kemanusiaan
hingga kini. Termasuk Barthes dalam menganalisa sistem kebudayaan di luar bahasa:
mode, makanan, iklan, film dan lain sebagainya.
3. Tanda (Sign), Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified)
57 Roland barthes, Element of Semiology,h.25-28 58 Ibid, h. 24
Di awal pembahasannya tentang tanda, Barthes sepakat dengan Saussure
bahwa penanda (signifier) dan petanda (signified) adalah komponen tanda.
Pembedaan ini sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu linguistik secara umum.
Sebelum Saussure, orang selalu terkecoh dengan menyamakan antara signifier
(penanda) dengan sign (tanda) karena di dalam imajinasi kita, keduanya ada
kemiripan. Sehingga konsep di dalam tanda dilewatkan begitu saja. Padahal trikotomi
ini merupakan aspek konstitutif: tanpa salah satunya tidak ada tanda, tidak bisa
membicarakannya, bahkan membayangkannya. Suara yang tidak ada konsep akan
terasa seperti igauan belaka, dan berarti bukan tanda.
Menurut Barthes, Saussure sengaja memilih istilah tanda (sign) sebagai ciri
dalam bahasa. Padahal sebelumnya sudah banyak sekali padanan istilah untuk sign
ini. Menurut Barthes, sign memeiliki kesamaan makna dengan beberapa istilah yang
sebelumnya telah digunakan oleh pemikir sebelumnya. Misalnya, signal, index, icon,
symbol, allegory. Pilihan Saussure jatuh pada sign dalam linguistik karena karena jika
menggunakan istilah simbol berakibat pada sifatnya yang “disengaja” (motivated).
Sementara sign merupakan kesatuan atau gabungan antara penanda dan petanda yang
sifatnya arbitrer (unmotivated).59
Pembahasan bagian tanda ini Barthes memperlihatkan konsep yang digunakan
pada sistem bahasa, kemudian dikembangan pada sistem tanda (semiologi). Seperti
dalam sistem bahasa, tanda semiologis terdiri dari signifier dan signified. Objek yang
dalam kehidupan sehari-hari sepertinya tidak masuk dalam sistem bahasa menjadi
bagian dari sistem tanda. Pakaian misalnya, awalnya hanya memiliki nilai fungsi,
untuk menutupi badan. Akan tetapi, dalam sistem tanda pakaian juga digunakan
sebagai tanda. Karena ternyata di zaman kita ini misalnya, pakaian tidak cukup satu
59 Ibid, h.38
atau dua karena kebutuhannya bukan sekedar fungsi menutupi badan melainkan
makna darinya. Kemeja sebagai penanda dari pakaian “resmi”. Setiap momen ada
jenis pakaian yang sesuai dengan aturan sosial (sekali lagi tergantung konvensi yang
terus menerus berlangsung). Dengan kata lain, selain nilai fungsi, objek keseharian
juga terdapat penandaan (pemaknaan).
Untuk melengkapi istilah signifier dan signified dalam sistem languistik
Saussure, dan mengembangkan dalam sistem tandanya, Barthes mengadopsi gagasan
Hjelmslev bahwa signifier disejajarkan sengan plane of expression, signified
disetarakan dengan plane of content. Secara intrinsik, masing-masing masih
mengandung form dan substance. Jadi sebuah content dari form, juga bisa dari
substance. Pembedaan ini kemudian, seperti masih akan kita lihat memengaruhi
konsep konotasi dan metabahasa dalam pemikiran Barthes nanti.60
Perlu ditambahkan di sini bahwa tanda bermakna sejauh dilihat dalam dua
hubungan: paradigmatik dan sintagmatik. (1) Paradigmatik adalah hubungan eksternal
antar tanda yang sekelas atau satu sistem. Misalnya, pohon cemara yang dijadikan
iklan bulan Desember memiliki hubungan paradigmatik dengan lonceng, sinterklas,
kereta anjing dan seterusnya. Gambar-gambar ini adalah masuk dalam perlengkapan
menyambut natal. (2) Sintagmatik juga merupakan hubungan ekstrenal. Jika
paradigmatik ke atas, maka hubungan sintagmatik menyangkut hubungan sejajar.
Yakni, hubungan satu tanda dengan tanda lainnya, baik yang mendahului atau yang
berada di belakangnya. Misalnya, dalam satu kalimat, hubungan antara kata dengan
kata selanjutnya disebut hubungan sintagmatik.61
4. Pemaknaan (Signification)
60 Ibid, h. 39 61 Ibid, h. 62-72
Signification berasal dari bahasa latin, significatio. Secara etimologis artinya
hal menunjuk, hal menyatakan, pengungkapan, petunjuk. Dari beberapa arti ini, “hal
menunjuk” adalah arti yang paling dekat dengan konsep signification yang akan
dibahas oleh Barthes. Karena, arti ini berkaitan dengan peristiwa penandaan dari pada
tanda itu sendiri. Barthes menandasakan bahwa “signification dipahami sebagai
proses…sebuah tindakan memproduksi tanda”.62 Signification penting mendapat
perhatian karena pada saat kita berhadapan dengan tanda, kita sudah selalu dibayang-
bayangi oleh makna. Oleh karena itu signification di sini dilihat sebagai keseluruhan
sistem.
Dalam analisis semiologi, signification hanya digunakan untuk sistem tanda
tingkat kedua. Hal ini karena pada sistem inilah makna mencapai kita. Pada level ini
kita menggabungkan signifier dan signified sesuai dengan keadaan dan kondisi kita.
Artinya, pemaknaan pada level ini membutuhkan pengalaman atau subjektivitas kita
sebagai audiens. Di sini pula terjadi pertukaran tanda di antara anggota masyarakat,
yang kemudian menghasilkan langue.
Seperti sudah dikemukakan, Barthes mengadopsi formula yang digagas oleh
Hjelmslev soal expression dan content. Adopsi ini terutama karena, bagi Barthes,
formula Saussure hanya menarik digunakan untuk analisa linguistik, sementara untuk
kepentingan analisa semiotik atau non linguistik masih dirasa kurang. Sumbangan
Hjelmslev ini sangat berharga karena dengan formula baru ini Barthes bisa
merumuskan sistem ganda dalam semiologi. Sistem ganda ini kemudian disebut
konotasi dan metabahasa. Dalam rumusan sistem ganda pada tanda terdiri dari plane
of expression (E), plane of content (C), dan relation (R).
Rumusannya sebagai berikut:
62 Ibid, h. 48
Konotasi: 2 E R C 1 E R C Metabahasa: 2 E R C 1 E R C
Keterangan: E: Expression
R: Relation
C: Content
Konotasi adalah sistem tanda tingkat kedua, di mana yang menjadi plane of
expression-nya adalah sistem tanda tingkat pertama. Meskipun sistem tanda tingkat
pertama berupa rangakain tanda, pada saat berubah posisi menjadi konotator, ia hanya
memiliki signified tunggal. Karakter Signified dalam konotasi mesti umum, global dan
menyebar. Barthes menyebutnya ideologi. Ideologi di sini mengacu pada gagasan
Hjelmslev dimengerti sebagai bentuk (form) signified bagi konotatif, sementara
rhetoric menjadi bentuk (form) bagi konotator.63
Berbeda dengan konotasi yang pada sistem tanda tingkat pertama menjadi
plane of expression, di dalam metabahasa sistem tanda tingkat pertama itu kemudian
menjadi plane of content. Sebagai contoh senderhana, Barthes menyebut sejarah ilmu
sosial kemanusiaan telah menghasilkan metabahasa secara diakronik. Artinya, ilmu-
ilmu tersebut menghasilkan istilah baru dari signified (sistem tanda tingkat pertama
tentang sosial kemanusiaan) pada level metabahasa. Beribu buku teori sosiologi
merupakan metabahasa untuk membicarakan interaksi sosial.64
63 Ibid, h.90-91 64 Ibid, h. 92
G. Mitos: as a Semiological System
Sedari awal perhatiannya pada budaya massa, Barthes sadar bahwa mitos yang
selama ini dibicarakan dan diperdebatkan para ilmuan sosial belum menyentuh mitos
yang beredar di zamannya. Mitos sekarang tidak lagi berasal dari cerita orang tua atau
buku-buku legenda, mereka tampil dan menyapa kita melalui media yang lebih luas:
film, foto, iklan, pakaian, makanan, dan seterusnya. Hal ini karena bahasa sebagai
kesadaran kolektif dalam masyarakat tertentu selain menyediakan makna sebenarnya
(denotatif), juga makna yang melenceng dari makna denotatifnya. Makna bukan
sebenarnya senantiasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita
menyebut “singa” bagi laki-laki yang gagah berani. “Lelaki gagah berani” adalah
makna konotataif dari makna singa dalam sistem bahasa denotatif. Mitos adalah
bagian dari sistem tanda yang mengalami penyelewengan makna yang sudah kita
anggap sebagai sesuatu yang common sense dan natural. Dengan demikian, mitos
akan tersebar di mana dan kapan saja hingga hari ini.
Barthes mengamini kritik Levi-Strauss terhadap teori mitos sebelumnya,
bahwa mereka menganggap setiap simbol dalam mitos mesti memiliki makna yang
alamiah. Karena adalah bualan belaka ketika membicarakan mitos berangkat dari
substansinya. Di sini letak perbedaan dengan teori-teori sebelumnya. Teori alegoris,
misalnya, percaya bahwa di balik mitos terdapat ajaran moral yang agung (kebenaran
sejati) yang tertuang dalam bahasa alegoris. Begitu juga Euhemeris percaya bahwa di
balik sejarah menyimpan sejarah yang sebenarnya. Penyimpangan sejarahlah
penyebab kebenarannya terkubur. Teori idealis pun demikian, menganggap bahwa
sejarah adalah perjalanan Roh absolut yang terrepresentasi dalam perubahan-
perubahan pada ritual (mitos) keagamaan. Termasuk juga kalangan positivisme yang
menganggap bahwa mitos tidak lebih dari bualan manusia primitif. Di dalamnya tidak
ada kebenaran. Mitos dipertentangkan kaum positivis dengan pengetahuan empiris,
atau saintisme.
Melalui pendekatan semiologi, Barthes menemukan bahwa menganalisis mitos
bukan soal ada kebenaran absolut atau tidak di baliknya. Juga bukan persoalan bahwa
mitos itu cerita bohong atau bukan. Mitos jusru selalu menghampiri kita dalam
keseharian kita. Karena mitos adalah sistem komunikasi manusia. Hanya saja, mitos
tidak ditentukan oleh objek komunikasi, melainkan dengan cara apa mitos itu sampai.
Itulah sebabnya mitos menurut Barthes adalah tipe wicara. Oleh karenanya, mitos
dalam konsepsi Barthes tidak ditentukan berdasarkan substansinya, tapi dari bentuk
penandaanya. Analisis mitos akan sampai pada makna, sebagaimana Levi-Strauss,
hanya jika memusatkan perhatian pada strukturnya. Bedanya Barthes dari Levi-
Strauss adalah Strauss percaya bahwa mitos-mitos kuno menjadi banyak versi karena
seringnya diulang-ulang kisah tersebut. Sementara itu, Barthes memandang “sejarah
manusialah yang mengubah realitas menjadi wicara, dan wicara itulah yang
menentukan hidup matinya bahasa mitis”.65
Sejarah yang dimaksud Barthes di sini bukan sebagaimana dipersepsi oleh
kaum idealis yang menganggap ada Roh Absolut yang menentukan perubahan-
perubahan itu. Kaum positivis yang menganggap bahwa mitos merupakan
penyimpangan dari sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang dimaksud Barthes adalah
setiap zaman dan tempat memiliki kode-kode pemaknaan yang menentukan makna
apa yang akan muncul dari mitos. Perhatian atas sejarah sebenarnya bukan fokus
Barthes yang notabene seorang semiolog. Ia membicarakan sejarah dalam konteks
65 Roland Barthes, Mytholgies, trans. Jonathan Cope, (New Yok: Hilland Wang, 1972), h. 110
menunjukkan bahwa perubahan bentuk tanda dalam mitos mengacu pada kode
masyarakat di mana mitos dipakai.
Pada bagian pendahuluan edisi revisi, Barthes memaklumkan bahwa teori
mitos dikembangkannya sebagai kritik ideologi budaya modern. Berikut saya kutip
pernyataannya:
“This book has a double theoretical framework: on the one hand, an ideological critique bearing on the language of so-called mass-culture; on the other, a first attampt to analyse semiologically the mechanics of this language”.66
Pernyataan ini dengan jelas menunjukan bahwa teori mitos yang digagas oleh
Barthes lebih sebagai kritik ideologi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
ketertarikan Barthes terhadap ideologi berbeda dari para pemikir sebelumnya. Ia tidak
tertarik untuk memperdebatkan hakikat ideologi. Yang ia persoalkan adalah
bagaimana ideologi berfungsi dan dipercayai secara kolektif oleh masyarakat tertentu.
Ideologi, menurut Barthes, tersebar memakai jasa mitos. Secara semiologi, mitos
adalah ilmu formal yang dianalisis secara sinkronis. Sebagai ideologi, mitos dipelajari
secara diakronis atau mengurai sejarah ide-ide dalam bentuk (atau historis sifatnya).67
Sebagaimana kita tahu sistem tanda terdiri dari signifier dan signified. Dua
unsur ini sangat menentukan makna terbangun dari suatu tanda. Sekema ini, selain
dalam sistem tanda bahasa Saussure, dapat juga kita temui dalam pemikiran Freud
tentang mimpi. Makna dari tingkah laku menjadi penanda, dan petandanya adalah
makna laten dalam bawah sadar, sebagai tandanya adalah mimpi dalam totalitasnya.
66 Artinya: “buku ini memiliki latar belakang teori ganda: di satu sisi, kritik ideologi atas
bahasa budaya massa; dan dari sisi lain, usaha pertama untuk menganalisis secara semiotik cara kerja bahasa budaya massa”. Ibid, h. 9
67 Ibid, h. 112
Begitupun dalam kritik sastra Sartre. Penandanya adalah krisis, penandanya wacana
dalam sastra dan yang menjadi tandanya adalah karya sebagai bentuk pemaknaan.68
Struktur ini juga kita temukan dalam mitos. Mitos adalah sistem tanda tingkat
kedua, unsur-unsur dalam mitos form (penanda), concept (petanda), dan signification
(tanda). Pembedaan ini memperlihatkan bahwa antara sistem tanda pertama dan kedua
ada kesamaan struktur. Meski demikian, ada beberapa perbedaan di antara keduanya.
Salah satunya, akan kita bahas lebih jauh nanti, adalah makna tingkat kedua memiliki
motif tertentu (motivated). Hal ini berbeda pada sistem bahasa, sistem tanda tingkat
pertama, yang unmotivated.
Dalam sistem mitos, penanda menempati dua posisi: penuh dan kosong.
Penanda sistem mitis di kala penuh ia disebut makna (meaning), dan di saat kosong,
Barthes menyebutnya, bentuk (form). Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini
sangat menentukan analisis mitos. Sebab penanda mitos diambil dari sistem tanda
bahasa yang sebelumnya memiliki makna penuh, kemudian mengalami penguapan
makna, yang tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem mitos.
Sementara itu, petandanya tidak mengalami ambigu semacam petanda, Barthes
menyebutnya konsep. Kemudian, sign pada sistem mitos disebut dengan pemaknaan
(signification) karena sistem mitos terbangun dari gabungan berbagai macam tanda.
Mitos, sebagai sistem tanda tingkat dua, berdiri di atas landasan sistem tanda
tingkat pertama (atau, selanjutnya kita akan menyebutnya sistem semiotik). Untuk
menghasilkan mitos, sistem semiotika mengambil seluruh tanda pada sistem bahasa
sebagai tanda global. Artinya, tidak perlu lagi diuraikan unsur-unsurnya, ia sudah
berupa makna pada tanda. Penanda sudah melebur dengan petanda menjadi tanda.
Misalnya, kata “bunga”. Bunga adalah bunga. Akan tetapi, jika bunga sudah
68 Ibid, h. 114
menandai rasa cinta, maka bunga tersebut harus dilihat sebagai tanda yang sudah
penuh antara penanda, petanda sudah menyatu menjadi tanda.
Contoh mitos yang dikemukan Barthes adalah gambar serdadu kulit hitam
yang memberi hormat pada tricolor (bendera Prancis yang memiliki tiga warna) di
majalah Paris-Match. Sebagai sistem semiotika tingkat pertama, gambar tersebut
sebagai sign terdiri dari signifier (foto serdadu yang memberi hormat pada bendera
Perancis) dan signified (serdadu “sungguhan” yang memberi hormat pada bendera
Perancis). Foto ini bagi Barthes, orang yang memang lahir di Perancis, sudah kosong
akan makna denotatifnya. Gambar sedadu itu malah menunjukan kebesaran Perancis.
“Kebesaran Perancis” dihasilkan dari sistem semiotika yang berpijak pada sistem
tanda tingkat pertama. Rumusannya demikian: form (foto serdadu Negro yang
menghorat bendera Prancis), concept (kebesaran imperium Perancis) dan signification
(kebesaran Perancis yang tidak membeda-bedakan warna kulit). 69
Jadi, gambar tersebut menjadi mitos karena foto tersebut menunjukan makna
lain dari “kenyataan”. Sebelum Prancis sebagai penjajah warga kulit hitam, dengan
foto ini orang akan lupa seolah Prancis adalah negara yang menyayangi warganya,
tanpa membedakan warna kulit. Sikap lupa pembaca gambar ini karena dalam
prakteknya, penikmat mitos tidak peduli lagi terhadap biografi serdadudan sejarah
Prancis. Yang mereka sadari hanya “kenyataan” bahwa setiap warga Prancis setia
kepadanya siapapun dia dan warna apapun kulitnya. Oleh karenannya penjelasan alam
bawah sadar ala Freud sudah tidak berguna lagi untuk menjelaskan mitos karena yang
bekerja membentuk mitos adalah sruktur tanda.
Rumusan Barthes tantang sistem tanda tingkat dua, mitos, lebih sebagai
konotasi. Karena sistem tanda tingkat pertama menjadi penanda bagi mitos. Dengan
69 Ibid, h. 116
demikian, mitos berupa konotasi ini sebenanya selalu kita temui. Misalnya, “kursi
kepresidenan” sebagai sistem tanda tingkat pertama jelas gambaran mentalnya adalah
kursi yang diduduki presiden. Akan tetapi kata itu sudak menjadi mitos secara
semiologis di hadapan kita. Kursi kepresidenan memiliki konotasi lain, dalam hal ini,
kekuasaan presiden. Mitos berupa konotasi selalu hadir di hadapan kita seolah
konotasi dalam bahasa adalah makna yang alamiah, atau common sense.
Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa penanda mitos berada pada dua
posisi. Sebagai sistem semiotik secara total ia adalah makna. Serdadu negro
menghormat bendera Prancis, kursi (yang didududki) presiden. Tapi pada saat
menjadi bentuk (form) untuk mitos tanda tersebut berjarak dari maknanya. Yang
tersisa hanyalah tanda kosong yang siap menerima petanda (konsep) konotatif.
Biografi sedadu negro menguap, ia siap diisi oleh konsep tentang kebesaran kerajaan
Prancis yang dicintai seluruh rakyatnya. Begitu juga kursi sebagai kursi yang sudah
jelas maknannya, tetapi ia menjadi bentuk bagi mitos dan siap menunjukan makna
konotasi kekeuasaan.
Pembedaan posisi penanda mitos yang penuh kemudian kosong penting
karena konsep yang akan mengisi kekosongan makna pada bentuk berasal dari situasi
yang melingkupi pembaca (penikmat) mitos. “Konsep sama sekali tidak abstrak: ia
dipenuhi dengan berbagai situasi” demikian Barthes menegaskan.70jadi, pada saat
menjadi mitos sejarah atau situasi yang mengisi kekosongan itu adalah sejarah dari
konsep baru. Situasi yang melingkupi penikmat sangat menentukan suatu tanda
menjadi mitos atau tidak. Gambar sedadu negro di majalah Prancis bukan mitos jika
dilihat oleh seorang nelayan di Garut sana. Begitu juga jika dikatakan kursi
70 Ibid, h. 119
kepresidenan ke warga di Arab sana, tidak ditemukan makna konotasinya. Mitos akan
terungkap melalui kode-kode yang ada pada masyarakat dimana mitos itu dikonsumsi.
Barthes menyebut ada empat karakter sistem mitis: deformasi, intensional,
statement of fact, motivasional. Ciri pertama sistem mitis adalah deformasi.
Hubungan deformasi ini berlangsung melalui distorsi makna oleh konsep. Deformasi
biasa terjadi karena penanda mitis memiliki dua aspek. Bersifat penuh, yakni makna
sistem semiotik, dan aspek yang bersifat kosong yakni bantuk. Biografi serdadu negro
itu maknannya didistorsi oleh kebesaran Prancis. Barangkali, dalam pelajaran sejarah
di Prancis sadar bahwa mereka pernah menjajah negara kulit hitam. Konsep mitis foto
serdadu yang menghormat bendera Prancis tersebut mendistorsi makna
kepenuhannya. Justru foto tersebut menyelewengkan makna atau sejarah Prancis
sebagai penjajah menjadi kerajaan yang mengakomodir setiap warganya. Sehingga
ketika di lain waktu dan tempat ditemukan gambaran serupa akan dianggap sebagai
common sense bahwa begitulah Prancis.
Jelaslah bahwa ada pembentukan citra lain (konotasi) melalui gambaran dalam
foto tersebut. Akan tetapi, distorsi ini bukan melenyapkan tanda, ia hanya
memiskinkan. Konsep tetap memerlukan tanda ini secara utuh. Foto serdadu sangat
jelas, tak ada yang disembunyikan. Konsep tidak dapat hadir kepada kita jika
penandanya hilang. Gambar itu harus tetap jelas sehingga distorsi menjadi mungkin.
Perlu ditambahkan juga bahwa distorsi konsep atas makna pada sistem mitis berbeda
dengan “salah” tafsir pada hermeneutik. Distorsi adalah salah satu karakter mitos
yang akan dialami oleh mitos apapun. Sengaja atau tidak. iklan akan melakukan
distorsi dengan sengaja sesuai dengan kode sosial calon pemakai produk yang
diiklankan. Tapi pada mitos yang sudah jadi common sense, distorsi terlihat sebagai
proses yang alamiah. Karena analisis struktur pada sistem bahasa tidak membahas
mitos sebagai cerita bohong, melainkan sebagai struktur tanda yang khas sehingga ia
dipercaya oleh konsumennya.
Kedua, karakter berikutnya adalah bahwa mitos langsung menyapa penikmat.
Sifat mitos yang intensional ini diperlihatkan Barthes mengenai mitos Basque71.
Ketika Barthes berjalan-jalan ke Basque, ia melihat bangunan rumah yang khas.
Kemudian di lain waktu, ia berjalan di suatu daerah di Prancis yang konstruksi vila-
vila yang memiliki kesamaan dengan bangunan khas Basque. Saat itu saya (Barthes)
disapa oleh kekhasan Basque sehingga saya menandakan bahwa jenis arsitektural
itulah “esensi” Basque. Sehingga vila di Prancis itu, detail-detail lainya tidak lagi
diperhatikan. Di hadapannya, Basque menyapa setiap kali melihat vila di lain tempat
yang memiliki kemiripan. Seolah-oleh masyarakat sekitar vila mengatakan bahwa
inilah Basque yang sesungguhnya hadir di sini.72
Kemudian ciri ketiga, pesan—hasil distorsi tadi—yang sampai kepada kita
berpaling dan membuat penilaian generalitas. Konsep dalam mitos tidak lagi sekedar
konsep biasa yang partikular, melainkan sudah menjadi bukti konsep yang faktual.
Efeknya, konsep terlihat netral dan naif. Hal ini karena “mitos”, bagi Barthes, “adalah
wicara yang dicuri dan dikembalikan lagi. Hanya saja wicara yang dikembalikan tidak
sepadan dengan wicara yang dicuri. Ketika dicuri, ia tidak dikembalikan ke tempatnya
semula”.73 Konsep yang menyertai bentuk mitis mengeras dan mengklaim dirinya
universal. Penanda mitos (foto serdadu negro menghormat bendera Prancis) menjadi
semacam statement of fact, bahwa itulah kebesaran Prancis. Saya, penikmat mitos
tersebut, tidak memiliki kesempatan, dan barangkali tidak peduli lagi pada sejarah
Prancis yang pernah menjajah negara kulit hitam. Kini, melalui foto tersebut, Prancis
71 Basque adalah daerah di Spanyol yang memiliki rumah dengan arsitektur yang khas, yakni
kesatuan arsitektural. 72 Roland Barthes, Mythologies, h. 124 73 Ibid, h. 125
memang menyayangi seluruh warganya, apapun latar belakangnya. Citra ini menjadi
universal bagi bentuk gambaran lain.
Ciri keempat mitos adalah sifatnya yang selalu motivasional. Inilah beda
antara sistem semiotik dengan sistem mitis. Di dalam sistem semiotik, hubungan
antara penanda dan petanda sifatnya arbitrer. Artinya, kita tidak tahu kenapa citra
akustik pohon menunjukkan konsep pohon. Sementara dalam sistem mitis hubungan
keduanya tidak pernah arbitrer. Selalu didorong oleh motivasi tertentu. Oleh
karenanya selalu mengandung analogi. Bahkan jika sederetan kata yang tidak jelas,
sehingga kita tidak dapat menemukan makna. Ia kosong makna. Situasi ini bisa
menjadi mitos bagi konsep “absurditas”. Terlebih yang semula mempunyai makna
penuh. Gambar serdadu Negro menghormat bendera Prancis setelah kosong makna
(didistorsi), gambar itu secara nyata bisa jadi analogi bagi kebesaran Prancis.
Motivasi ini ada yang direkayasa oleh kelompok tertentu (konspirasi) ada juga
yang tidak, yang disengaja misalnya iklan. Motivasi di dalamnya diciptakan secara
sengaja, direkayasa demi menampilkan citra tertentu pada produk yang
diiklankannya. Sementara itu, mitos yang tidak direkayasa tapi tetap mempunyai
motivasi analogis misalnya, ketika kita saat ini berbicara tentang kursi kepresidenan.
Kita tidak tahu, dan tidak peduli siapa yang pertama kali “menyelewengkan” makna
kursi menjadi kekuasaan. Meski tidak direkayasa hubungan konsep kekuasan dengan
bentuk kursi, tapi memiliki analogi antara keduanya. Untuk itu, Barthes menegaskan
bahwa “motivasi amatlah penting bagi sifat ganda mitos: mitos memainkan analogi
antara makna dan bentuk, tak ada satu pun mitos yang tidak memiliki bentuk yang
termotivasi”.74
74 Ibid, h. 126
Seorang analis mitos, karenanya, mesti sadar betul situasi masyarakat di mana
mitos berkembang. Konsep dalam mitos mesti mengambil forma yang berlaku di
masyarakat. Dengan demikian, kita mengerti definisi Barthes bahwa mitos adalah tipe
wicara (myth is a type of speech). Artinya, ujaran dalam mitos, sebagai sistem
komunikasi, mengacu kepada bahasa di mana mitos itu dipraktekkan. Sistem mitos
bukanlah rumusan matematis. Imajinasi forma untuk mitos selalu terkait dengan stok
tanda-tanda paradigmatik masyarakat tersebut.
Menurut Barthes, ada tiga posisi reader mitos. Pertama, pembuat mitos.
Pembuat adalah manakala membangun mitos berangkat dari konsep. Ia membiarkan
konsep itu mengisi bentuk yang sudah kosong makna. Atau misalnya, jika foto
serdadu dibaca sebagai contoh kebesaran Prancis. Ia mengembalikan makna literalnya
juga merupakan pembaca mitos sebagai podusen. Barthes menyebut jurnalis pada
posisi ini.
Kedua, semiolog, pengurai mitos. Peran ini dilakukan jika pembaca mitos
dapat menemukan distorsi di dalamnya. Ia mengenali konsep dan bentuk secara nyata.
Foto serdadu Negro menghormat bendera Prancis menjadi alibi bagi kebesaran
prancis. Ia bisa membedakan dengan jelas antara bentuk dan konsep yang ada dalam
strukltur mitos di hadapannya.
Ketiga, penikmat mitos. Posisi ini adalah pembaca yang membiarkan mitos
berfungsi melakukan distorsi makna sehingga kita merasakan kehadiran makna mitos.
Apa yang disampaikan mitos tentu saja sebagai kebenaran yang secara alamiah,
penanda menunjukan petandanya. Reader semacam ini tidak lagi sadar dan mau
memerhatikan latar belakang atau problematika antara penanda dan petandanya. Yang
ia sadari hanyalah pemaknaan tertentu yang ia yakini kebenarnnya sebagai universal.
Dari ketiga kemungkinan itu, Barthes menyebutkan bahwa dua pertama jenis
pembaca hanya akan menghancurkan mitos dan membangun mitos baru. Keduanya
sinis akan keberadaan mitos. Posisi tigalah mitos menjadi dinamis. Karena mitos
menjalankan fungsi strukturalnya. Ia dinikmati pembaca yang sesekali benar, dan di
lain waktu tidak realistik. Tapi, mereka menerima dan meyakininya. Oleh karena itu,
fokus analisis mitos mesti diarahkan pada mitos yang sudah begitu saja diterima dan
ada di masyarakat. Akan tetapi, bagaimanapun pilihan mana yang akan diambil
masyarakat, itu bukan urusan semiolog. Pilihan-pilihan tersebut akan sangat
bergantung pada situasi masing-masing subjek.
Akhirnya, mitos diartikan sebagai tipe berujar menunjukan bahwa mitos
merupakan cara masyarakat berkomunikasi. Karenanya tidak mungkin dihilangkan
sama sekali. Justru, semakin melawan, semakin ia menjadi makanan empuk mitos.
Misalnya, bahasa matematika. Ia adalah bahasa murni yang tidak mungkin mengalami
pemitosan. Ia melawan mitos. Justru, kemurnian matematika kemudian menjadi mitos
tersendiri bagi metematika. Begitu jug puisi. Puisi kontemporer75 adalah salah satu
bahasa yang berusaha melawan mitos. Mitos mengarah pada ultra-pemaknaan, atau
pergeseran makna semiologi tingkat pertama. Puisi berusaha mengembalikan makna
bukan pada makna kata, melainkan makna benda itu sendiri. Pada akhirnya berusaha
menemukan makna alamiahnya. Sampai pada suatu keyakinan bahwa puisi bisa
mengenai sesuatu dalam dirinya (the thing is itself). Kesemuanya ini pada akhirnya
menjadi penanda bagi mitos puisi kontemporer.
H. Mitos Sebagai Kritik Ideologi
Seperti sudah penulis kemukakan di muka bahwa salah satu tujuan Barthes
menulis buku Mythologies adalah kritik ideologi. Ideologi yang dimaksud Barthes
75 Barthes menyebutnya puisi modern karena puisi klasik murni mitos karena puisi klsik
menekankan ekstra petanda yang adalah regularitas. Lih. Ibid, h. 133
adalah ide-ide yang melekat dalam skema bahasa. Karenanya, ideologi dikaji dalam
kerangka bahasa. Ideologi menyebar melalui sistem tanda tingkat kedua, yakni mitos.
Jadi, Ideologi dikonsumsi oleh masyarakat seiring dengan penyebaran mitos.
Barthes mengatakan bahwa mitos menjadi bagian dari semiologi karena ia
adalah ilmu formal, juga menjadi bagian dari ideologi karena ia adalah ilmu sejarah:
ia mengkaji ide-ide dalam bentuk (ideas-in-form).76 Pandangan Barthes ini sekaligus
menekankan bahwa mitos bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari konsumennya.
Konsep yang ada pada mitos dalam proses pemaknaannya tidaklah abstrak, melainkan
dipenuhi oleh situasi di mana mitos itu bekerja. Pada posisi itulah mitos dibaca
sebagai ideologi.
Aspek historis dalam mitos di sini berbeda dengan tradisi positivisme.
Positivisme memandang mitos sebagai cerita bohong. Adapaun kisah-kisah kuno, di
hadapan mereka bisa menjadi objek kajian. Mereka berusaha mencari bukti-bukti
arkeologis untuk mengkonstruksi cerita yang sesungguhnya. Misalnya, kisah Prabu
Kiansantang, apa yang beredar di masyarakat menurut kaum postivis adalah cerita
bohong karena tidak ada bukti. Mereka berusaha mencari bukti-bukti yang dapat
mengkonstruksi cerita yang “sesungguhnya”. Jika ternyata tidak ada bukti, maka
kisah tentang prabu Kiansantang dianggap bualan belaka. Tentu saja dengan standar
yang mereka miliki.
Sementara itu, aspek historis sistem mitis dalam pandangan Barthes adalah
bahwa pemaknaan mitos selalu berangkat dari situasi tertentu dan terjadi terus
menerus. Berarti sifatnya historis. Pemaknaan yang historis ini kemudian dianggap
(dipercaya) sebagai makna abadi dan natural. Dengan cara ini, ideologi melekat pada
76 Ibid, h.112
benak (bahasa) masyarakat, sementara historisitas ideologi tersebut dilupakan atau
diendapkan.77
Citra pada sistem mitis yang akan mengalami naturalisasi berasal dari kode
budaya tertentu. Artinya, makna pada sistem tanda tingkat kedua, mengacu pada stok
stereotip kultur tertentu. Mitos yang bertahan secara historis—diulang-ulang dan
menjadi acuan dalam proses pemaknaan—akan mengisi kode-kode budaya pada
masyarakatnya. Pada situasi semacam inilah ideologi terbentuk pada masyarakat
tertentu. Petanda pada sistem mitis merupakan fragmen ideologi di mana penandanya
adalah konotator-konotataor78.
Oleh sebab itu, ideologi yang dianalisis Barthes kemudian memiliki kemiripan
dengan konsep hegemoni menurut Gramsci. Ideologi yang dianalisis oleh Barthes,
yakni ideologi borjuis79, telah menjadi sistem bahasa yang mendominsi masyarakat
Prancis. Ideologi borjuis bertahan sebagai mitos dan telah menjadi kode masyarakat
Prancis secara mental. Barthes mengakui bahwa borjuis telah mengalami perubahan
dalam bentuknya. Meskipun demikian, sebagai ide dalam bahasa, ideologi borjuis
melekat dan menjadi kode kultural dalam memaknai hidup. Bahkan kelompok “kiri”
sekalipun, pada level bahasanya, menggunakan istilah-istilah yang dihasilkan oleh
ideologi borjuis. Namun, ideologi ini melekat pada cara pandang masyarakat tanpa
nama, ia lebih bersifat mental.
Dalam buku Mythologies, Barthes memilih masyarakat Prancis sebagai objek
penelitiannya. Barhes menilai kebudayaan Perancis masih didominasi oleh ideologi
77 Ibid, h. 130 78 Barthes, Elements of Semiology, h. 91 79 Ideologi borjusi seperti diakui Barthes memang telah mengalami perubahan-perubahan.
Borjuis sebagai pemilik moda, memang masih ada dan bahkan terus menciptakan borjuis kecil. Sebagai fata politik memang borjuis telah hilang karena tidak ada partai yang mengatasnamakan borjuis. Terakhir, borjusi sebagai ideologi yang menyelimuti “tradisi” Eropa secara keseluruhan telah menyebar dan mendominasi peta penanadaan masyarakatnya. Secara mental ia sudah melekat dengan kehidupan masyarakat Eropa tanpa nama borjuis. Nama boleh banyak, bojuis, semi-borjuis,borjuis kecil, kapitalis, tapi cara pandang secara mental borjuis trrepresentasi secara menyeluruh. Lih. Barthes, Mythologies, h. 138
borjuis80. Artikel-artikel di awal tulisan buku Mythologies merupakan hasil
pembacaan Barthes atas mitos di Prancis yang membawa ideologi borjuis melalui
berbagai media; film, iklan, koran, majalah, pertunjukan dan sebagaianya.
Ideologi borjuis menjalankan fungsinya dengan berbagai retorika yang telah
menjadi semacam perangkat pemaknaan masyarakat Prancis. Forma retorika borjuis,
tanpa menyebut nama mereka kelompok borjuis, kelas borjuis sudah mempersiapkan
masyarakat dengan perangkat pemaknaan kelas mereka.
Forma retorik borjuis ini pada akhirnya mengerucut pada dua hal: esensi dan
skala. Berdasarkan ideologi borjuis, kemanusiaan didekati sebagai esensi dan diukur
dengan skala. Skala yang dimaksud di sini adalah bahwa ukuran kemanusiaan berada
dalam kerangka ideologi borjuis. Esensi dan skala ini menjadi model landasan
berpikir masyarakat modern. Esensi dan skala yang ditimbulkannya kadangkala
mengeksklusi konsep yang lain (the other). Kecenderungan ini misalnya Barthes
perlihatkan pada esensi penulis wanita di Prancis. Meskipun mereka telah melahirkan
karya-karya yang banyak, mengenai jumlah anak yang dilahirkan mereka tetap
menjadi perhatian utama. Bahwa esensi perempuan pada hakikatnya melahirkan anak
merupakan bukti ideologi borjuis beroperasi dalam kehidupan masyarakat Prancis.
Esensialisme dalam retorika borjuis bukan sekitar apakah seseorang
melukiskan esensi dengan tepat atau tidak, benar atau salah, melainkan esensialisasi
pada dasarnya adalah membunuh sejarah. Sejarah yang menguap pada mitos benar-
benar membuat konsumennya tidak lagi peduli akan sejarah konsep yang
dinaturalisasi oleh masyarakat borjuis. Sekali lagi kalimat pasif ini bukan berarti
80 Barthes tidak memberi definisi secara khusus apa itu borjuis. Dilihat dari penjelasan-
penjelasan yang ia berikan, borjuis masih dalam kerangka marxian. Borjuis diperesepsi sebagai representasi kelas pemilik modal secara ekonomi. Tapi, tak diingkari pula bahwa telah muncul kelas borjuis kecil, yang dilahirkan oleh kapitalisme. Namun, kini borjuis bukan lagi sosok manusia, ia kini, sebagai ideologi, hanyalah mental. Ia hadir di keseharian masyarakat Prancis lewat media, tapi disadari dan tanpa bernama. Ibid, h. 138
pembuatan mitos ini disadari. Analisis mitis Barthes tidak terfokus pada pembuat
mitos melainkan bagaimana mitos ini dikonsumsi. Dalam masyarakat Prancis kala itu,
media massa sudah merajai sebagai kepanjangan tangan kelompok borjuis dan
menjejalkan makna mitis pada masyarakatnya. Oleh karenannya, distorsi pada mitos
bisa jadi secara sadar bisa terjadi, bisa juga tidak. Yang jelas, ideologi berjuis sudah
melekat dalam wacana Prancis saat itu.
Dengan demikian sebenarnya hubungan antara budaya dan ideologi
merupakan hubungan yang politis. Artinya, ada tawar menawar ideologi pada ranah
budaya. Budaya dalam hal ini dimengerti sebagai konstruk sosial. Mitos dan ideologi
yang sudah dianggap sebagai common sense juga adalah konstruk, tapi konsumennya
tidak lagi memerhatikannya karena karakter mitos yang akan selalu dehistorisasi
konsep mitos. Apa yang diperebutkan adalah ideologi mana yang akan dominan.
Tentu sebenarnya banyak ideologi, tapi kenyataanya selalu ada ideologi yang
dominan. Mitos boleh banyak, tapi ideologi mesti ada yang dominan. Budaya yang
sesungguhnya tidak statis, dihentikan kesejarahannya menjadi ideologi tertentu.
Dalam masyarakat kapitalisme lanjut yang ditandai dengan ekonomi
konsumtif, tidak ada retorik yang paling tangguh kecuali dalam iklan. Barthes
menyebut sistem semiotik sebagaimana ditemukan dalam iklan disebut sebagai logo-
technique. Istilah ini mengacu pada memproduksi konsep atau logo secara sepihak,
sebagaimana dikehendaki oleh produsen. Di hadapan mitos, untuk kepentingan iklan,
apapun bisa menjadi mangsanya, yang pada akhirnya didistorsi sesuai dengan konsep
dan maksud pembuat iklan.
Mitos berfungsi menaturalisasi apa yang sebetulnya tidak natural. Yang
natural ini adalah konsep yang muncul dalam zaman dan tempat tertentu. lewat mitos,
konsep ini seolah alamiah. Itulah ideologi. Jadi, ideologi, membuat konsep menjadi
seolah tidak terkait dengan kekuasaan. Padahal, melaluinya kekuasaan tengah
berlangsung, masuk pada level kesadaran kolektif masyarakat. Untuk menghadapi
mitos borjuis, bagi Barthes tidak bisa dilawan secara frontal, melainkan dengan
membuat mitos tandingan. Yakni dengan menjadikan ideologi borjuis sebagai tanda
tingkat pertama untuk membuat mitos tingkat dua di atasnya. Di sinilah pertarungan
dan perebutan makna terjadi dalam komunikasi sehari-hari.
Pandangan Barthes mengenai mitos ini secara teoritik menampilkan “metode”
mengupas mitos yang berlangsung di hadapan kita. Pandangannya tentang ideologi
borjuis merupakan contoh untuk mempraktekan mitos pada kasus masyarakat Prancis.
Ini artinya, persoalan kemanusiaan lainnya pun bisa menjadi objek kajian analisis
mitis Barthesian. Kemudian, distingsi pemikir sebelum Barthes antara mitos dengan
logos menajadi cair. Karena yang logos bisa menjadi mitos dengan mengendarai
sistem semiotika ganda. Mitos, bukan soal benar atau salahnya cerita di dalamnya,
melainkan soal struktur tanda yang mengabsolutkan makna tertentu melalui motif atau
ideologi tertentu.
BAB IV
MITOLOGISASI BAHASA AGAMA
DARI KACA MATA SEMIOLOGI ROLAND BARTHES
A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi
Pada bab ini, penulis akan mencoba menerapkan analsis mitis Barthesian pada
bahasa agama. Bahasa agama, sebagaimana bahasa lain, merupakan mangsa paling
empuk bagi sistem mitis. Karena tanda pada bahasa agama menggunakan metafor
yang selalu polisemi. Tentu teori mitos yang akan dipakai di sini adalah mitos
Barthesian yang mengurainya melalui jalur analisis sinkronis81 (formal) sekaligus
diakronis (historical). Secara semiologis, bahasa agama dikupas dalam bentuk, dan
secara ideologis mengungkap ide-ide.
Sebelum kita mengurai lebih lanjut mitologisasi bahasa agama melalui kaca
mata semiologi Barthesian, ada baiknya kita tengok sejenak definisi umum bahasa
agama. Bahasa didefinisikan sebagai (1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang
dihasilkan oleh alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang
dipakai sebagai alat kemunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; (2)
perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suatu bangsa, daerah, negara,
dst)82. Definisi pertama akan digunakan karena ada kemiripan dengan gagasan
Saussure tentang langue yang adalah khazanah tanda. Tanda itu terdiri dari penanda
dan petanda, yang ditandai dengan sifatnya yang arbitrer dan konvensional.
81 Diakronis adalah pola penelitian bahasa berdasarkan urutan waktu, atau dalam sejarahnya.
Sementara sinkronis lebih pada struktur kebahasaanya, lepas dari sejarahnya. 82 Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, (jakarta: bali
Pustaka, 1988) h, 66-67
Sementara religion (agama) berasal dari bahasa latin religio. Secara
kebahasaan religion ini berkaitan dengan ketaatan yang sungguh-sungguh akan
kewajiban ritual dan rasa takjub terhadap yang gaib. Intinya agama selalu
diasosiasikan dengan Tuhan.83 Namun, Tuhan tidak hanya sebagaimana dimengerti
oleh tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam), melainkan segala macam
kepercayaan terhadap realitas yang tran-historis. Bila digabung keduanya, bahasa
agama, menurut definisi umum berarti sistem bahasa arbitrer yang dijadikan alat
komunikasi seputar hubungannya dengan realitas yang tran-historis, transenden.
Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah
Kajian Hermeneutika (1996) mendefinisikan bahasa agama sebagai bahasa yang
berkaitan dengan ungkapan tentang Tuhan, kalam Tuhan (kitab Suci) dan ritual
keagamaan. Pertama, ungkapan yang menggambarkan relitas metafisik. Oleh karena
bahasa manusia tidak mungkin mencapainya, untuk mengatasi ketakmungkinan itu,
ungkapan tentang Tuhan mengenai Tuhan harus diungkapkan dalam kerangka
analogis atau metafora. Bahasa manusia akan mampu mendekati pemahaman tentang
realitas metafisik, termasuk Tuhan, asalkan bahasa yang digunakannya berupa analog-
analog. Melalui analogi diharapkan kehadiran yang metafisik tersebut bisa dirasakan
sebagai yang transenden. Kedua, kalam Tuhan, dalam hal ini kitab suci. Dari awal
hingga akhir tulisan dan bacaan dalam kitab suci adalah firman Tuhan. Soal bahasa
manusia yang historis? Bahasanya boleh historis, maknanya universal. Di sini juga
agar kita bisa menghindari kesalahpahaman, harus dibaca juga sebagai metafor.
Terakhir, ritual. Bahasa agama tidak hanya terbatas pada bahasa oral, melainkan juga
83 Religion, Microsoft ® Encarta ® 2006
bahasa tubuh dan isyarat. Dalam hal ini ritual dalam bentuk gerak tubuh atau isyarat
merupakan bahasa agama. Setiap agama bahasa isyarat ini akan dapat ditemukan.84
Hermeneutik yang diajukan oleh Komaruddin ini mengandaikan iman yang
begitu kuat, sehingga menafsir kehendak Tuhan selalu disertai beban iman. Beban
karena ada batas-batas yang jika dilampaui akan dicap sebagai tidak iman (kafir!).
Sebagai sikap atau hasil akhir dari penelitian, iman terhadap kitab suci verbal dan
maknanya dari Tuhan adalah pilihan. Tidak ada masalah. Akan tetapi, kalau menjadi
bagian dari metode, akan melahirkan makna eksklusif dan sinis terhadap pendekatan
lain yang memaknai dengan cara lain. Terlebih mengalihkan makna yang membuat
peneliti mengambil sikap tidak iman, sebagai pilihan. Lalu apa yang dimaksud dengan
“pemahaman yang benar”, atau objektif? Jika demikian, mungkinkah yang objektif
berdasar pada yang subjektif, atau iman? Meski demikian, definisinya tentang bahasa
agama bisa diterima.
K. Bertens melalui salah satu aritikelnya Masalah Bahasa Religius dalam
buku Panorama Filsafat Modern (2005) membicarakan bahasa religius (agama)
dalam perdebatan filsafat bahasa. Bahasa agama yang dipersoalkan oleh kalangan
tradisi filsafat bahasa adalah logis tidaknya bahasa religius. Jadi perdebatan yang
muncul bukan unsur teologis, seperti mempersoalkan eksistensi Allah dan seterusnya.
Yang mereka perdebatkan bahasa pemakaian bahasa teologis. Ini artinya, dalam
prakteknya, apakah bahasa teologis (agama) absah menurut filsafat analitik? Secara
umum filsafat analitik periode awal menganggap bahwa bahasa agama tidak
bermakna. Bukan berarti bahasa agama sebagai omong kosong (nonsensical),
melainkan bahasa agama tetap berguna untuk hidup pribadi si penutur. Ucapan
teologis tidak memiliki isi faktual, tidak dapat diverifikasi. Baru pada periode
84 Komaruddin hidayat, Menafsir Kehendak Tuhan, (jakarta: Teraju, 2003) h, 6
Wittgenstein II yang merumuskan teori language game85. Teori ini memungkinkan di
kalangan analitik bahasa teologis bermakna di dalam permainannya sendiri.86
Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seluruh agama yang (pernah)
ada di jagat raya, baik agama langit atau bumi. Agama apapun di dunia ini memiliki
bahasa untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya. Dalam perngertian inilah
terma bahasa agama akan dibongkar sistem tandanya. Secara semiologis,
sebagaimana bahasa lainnya, merupakan bahasa agama yang memiliki struktur antara
langue dan parole. Setiap agama memiliki langue, berupa perangkat bahasa yang
memungkinkan pemeluknya bertutur dan beribadah. Sementara parole, sebagai
respon individual atau kelompok, berupa pemaknaan atau ritual akan melestarikan
keberadaan agama tersebut. Tanpa salah satunya, tidak ada agama. Seperti juga sudah
kita tahu bahwa langue adalah khazanah tanda. Jadi kita akan membahas bahasa
agama dari unit terkecilnya: tanda.
Tulisan ini merujuk pada objek materi yang sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Komaruddin dan para filsuf analitik, yakni bahasa agama
(religius). Akan tetapi, cara mendekatinya berbeda. Cara pandang yang akan menjadi
kaca mata dalam mengupas bahasa agama di sini menggunakan semiologi Barthesian.
Seluruh tanda sebagai unit terkecilnya diurai melalui dikotomi sign antara signifier
dan signified. Kaca mata semiologi ini tidak mempersoalkan apakah kata memiliki
rujukan objektif atau tidak. Kata Tuhan misalnya, untuk memverifikasi adakah
rujukan objektif—dalam pengertian positivisme yang melulu indrawi—
keberadaannya, tidak akan dapat ditemukan, sebagaimana sulitnya—untuk tidak
85 Language game adalah teori yang dilahirkan oleh Wittgenstein untuk menjelaskan bahwa
masing-masing jenbis ungkapan dalam berbahasa akan bermakna sesuai dengan permainannya masing-masing. Bahasa resmi, atau dalam hal ini bahasa islmiah, memiliki aturan masinnya sendiri. sementara, bahasa lainnya, misalnya bahasa agama, juga memiliki aturan mainnya juga. Sehingga bahasa resmi tidak bisa menilai aturan main pada permainan bahasa lainnya. Lih. Bartens, Panorama Filsafat Moderen, (jakarta: Teraju, 2005), h,184
86 Ibid, h. 167-189
mengatakan tidak mungkin—orang membuktikan ke-tidak-ada-an Tuhan. Analisis
semiologi, melalui penelusuran signifier, signified dan sign, kata Tuhan bisa
bermakna. Citra akustik “Tuhan” sebagai signifier, konsep mental Tuhan sebagai
khalik menjadi signified-nya, dan kemudian, kata “Tuhan” secara semiologi sudah
sempurna menandakan Tuhan yang bermakna.
Tulisan ini juga tidak membahas apakah kitab suci konstruk manusia (nabi)
atau benar-benar datang dari Tuhan. Dalam agama Islam misalnya, perdebatan ini
sudah mewarnai pemikiran teologi. Bahkan telah memakan korban jiwa yang cukup
banyak. Di sini yang akan dibicarakan adalah bahasa agama yang kini dikonsumsi.
Kitab suci di tangan penganut-penganutnya hari ini. Pemaknaan atas teks suci atau
keagamaan lainya tidak pernah abstrak, ia selalu dipenuhi situasi dan kondisi tertentu.
Kendatipun mengklaim dirinya memahami makna literalnya, tapi proses pemaknaan
tidak akan pernah lepas dari situasi masyarakat di mana bahasa agama itu dikonsumsi.
Letak perbedaan bahasa agama dengan bahasa lainnya: tanda yang tampil
adalah wacana keagamaan; dari ritual hingga hubungan sosial yang dilegitimasi oleh
wacana agama. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bercampur-baur
dengan bahasa (wacana) lainnya; malah berkelindan dalam rajutan relasi antar tanda
sehingga kemudian membentuk langue suatu masyarakat. Misalnya, budaya, politik,
ekonomi, dan sebagaianya. Jadi, dalam hal ini bahasa agama yang dibicarakan di sini,
sebagaimana telah dirumuskan Komaruddin di atas, terkait erat dengan ungkapan
tentang metafisik, kitab suci, dan ritual, baik vetikal maupun horizontal, pada ranah
politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Secara mental, bahasa agama dapat dimengerti, meski tidak masuk akal87.
Karena ia terdiri dari penanda dan petanda yang menyatu dalam tanda. Jika bunyi
bahasa tidak memiliki konsep, ia hanya igauan belaka. Begitu juga dengan konsep
tanpa penanda, tidak akan pernah terungkap ke permukaan. Artinya, bahasa agama
bagian dari bahasa manusia yang dapat diurai secara semiologis. Misalnya, kejadian
Isra’ Mi’raj nabi Muhammad. Kejadian itu tidak masuk akal (pergi ke langit dalam
waktu semalam). Akan tetapi, disampaikan melalui bahasa, kejadian itu dapat dicerap
oleh mental pendengarnya.
Penanda (signifier) dalam bahasa agama juga tidak hanya terbatas pada bahasa
oral. Penanda juga bisa tampil dengan tulisan, gambar, foto, kaligrafi, patung, dan
seterusnya. Sebagai contoh, tulisan kaligrafi merupakan penanda bagi konsep atau
petanda tulisan indah tersebut. Begitu juga film yang memperlihatkan wacana agama.
Tanda pada dirinya, menurut Barthes, memang sudah polisemi. Terlebih tanda
keagamaan yang selalu menggunakan metafor sebagai tanda. Kekayaan makna ini
menjadi lahan subur juga buat tumbuh dan berkembangnya pertarungan perebutan
makna berdasarkan ideologi masing-masing. Akan tetapi kekayaan dua unsur ini baru
pada level sistem tanda tingkat pertama. Bahasa agama adalah sistem tanda yang
paling empuk menjadi mangsa mitos.
Begitu juga proses pemaknaan bahasa agama tidak lepas dari hubungan antar
tanda melalui paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan paradigmatik adalah
hubungan dengan tanda di luar dirinya yang sekelas. Hubungan semacam ini terjadi
karena tanda yang kita ungkapkan memiliki padanannya secara virtua. Misalnya, kata
infaq, ada hubungan dengan tanda lain yang sekelas namun virtual atau absen,
87 Masuk akal di sini mengacu pada pandangan orang awam yang sudah didominasi oleh
logika positivisme. Masuk akal artinya, hal yang tidak dapat dicerap oleh akal positivisme, dianggap tidak mungkin bermakna. Sementara penelusuran bahasa, memungkinkan kebermaknaanapapun asalkan masih dalam sistem bahasa atau langue yang ada.
shadaqah. Sintagmatik adalah hubungan yang bisa terjadi bila berkaitan dengan tanda
yang mendahului atau di belakangnya. Model ini memungkinkan pemaknaan dengan
menghubungkan kata infaq dengan kata lainnya dalam kalimat. Misalnya, “infaq
dapat mengurangi kemiskinan di indonesia”. Hubungan “infaq” dengan kata
“mengurangi”, “jumlah”, “kemiskinan”, dst., adalah hubungan sintagmatik.
Rumusannya:
Sintagmatik Infaq dapat mengurangi kemiskinan di Inonesia Zakat Paradigmatik Shadaqah Oleh karenanya, bahasa agama pada akhirnya tidak selalu netral. Ia berpihak
pada konsep di mana bahasa agama dipakai. Konsep ini adalah hasil abstraksi dalam
bahasa dalam sistem masayarakat tertentu. Hanya saja kita harus jeli dalam
menangkap konsep tersebut. Karena pertukaran konsep terjadi, terutama di zaman kita
sekarang begitu cepat dengan bantuan teknologi informasi yang canggih. Oleh sebab
itu, menangkap kode atau konsep bahasa agama yang sudah berubah mengandaikan
pengetahuan peneliti kode potensial dalam kelompok masyarakat tertentu. Di sanalah
mitos dan ideologi merasuki bahasa agama dan membuat ideologi sebagai esensi
abstrak.
Tanda dalam bahasa agama memang tidak pernah tunggal. Buktinya,
Muhammad Khalafullah, dalam bukunya al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah (2002),
mengatakan bahwa teks kitab suci berupa cerita masa lalu tidak bisa dipahami sebagai
sejarah karena al-Quran tidak pernah menunjukan waktu dan tempat secara terperinci.
Makna yang harus diambil dari kisah-kisah dalam al-Quran menurut Khalafullah
adalah teks-teks tersebut mengandung makna psikologis di mana cerita itu turun88.
88 M. Khalafullah, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi, (Jakarta: Paramadina,
2002), h. 15-16
Contoh ini hanya untuk menunjukan bahwa makna teks kitab suci agama tidak bisa
dibaca secara literal semata karena ia meruapakan tanda yang polisemi.
B. Sistem mitis dalam Bahasa Agama
Lalu bagaimana mitologisasi bahasa agama itu berlangsung secara semiologis?
Seperti sudah dibahas pada bab sebelumnya, sumbangan teoritis Barthes terhadap
semiologi yang telah dirintis oleh Saussure terdapat dalam dua hal: pertama, sistem
tanda bukan hanya dapat mengidentifikasi sistem bahasa saja, melainkan sistem tanda
lebih luas. Semiologi bisa meneliti sistem makanan di restoran, sistem tanda pada
pakaian, foto, film dan sebagainya89. Sumbangan kedua dari Barthes adalah
membelah sistem tanda menjadi bertingkat. Tingkat pertama dan tingkat kedua, di
mana tingkat kedua berpijak pada tanda tingkat pertama. Masing-masing memiliki
struktur tanda yang sama (terdiri dari penanda, petanda, dan tanda). Sistem konotasi
berpijak pada sistem denotatif.
Bahasa agama yang juga tidak bisa lepas dari logika formal semiologi, juga
sangat potensial menjadi mitos, memiliki makna konotasi. Terlebih, bahasa agama
memang selalu menggunakan metafor yang selalu polisemi. Pada makna yang
polisemi itu, mitos memastikan salah satu makna, menaturalkannya, dan mengubur
kemungkinan makna lain. Proses ini tentu ridak disadari dan tidak diperdulikan lagi
oleh penganutnya. Ia sudah berjalan sebagai common sense. Misalnya, suatu hari saya
melintas di daerah Kemang dan melihat kelompok berjubah putih konvoy motor dan
meneriakkan “Allahu Akbar”. Konotasi dalam pikiran saya adalah penyerangan.
Makna konotasi ini sudah menjadi common sense. Mitos model ini merupakan
semiologi konotatif.
89 Barthes, Element of Semiology, h. 26-29
Berbeda dari konotasi, mitos sebagai metabahasa menjadikan sistem bahasa
menjadi petanda (concept) yang siap dibubuhi penanda (form) baru. Sistem bahasa
yang dijadikan petandannya disebut dengan bahasa-objek (object-language). Bahasa
dibicarakan sebagai objek. Ribuan buku yang pernah ditulis pemikir atau ulama
tentang doktrin keagamaan adalah bentuk konkret metabahasa. Doktrin keagamaan
seputar hubungan manusia dengan Tuhan telah melahirkan beragam wacana.
Konsepnya berpijak pada sistem bahasa, dan melahirkan penanda-penanda yang
beragam.
Berbicara mitos bukan berarti sedang mengidentifikasi makna yang salah.
Misalnya, makna konotasi “teriakan Allahu Akbar”, makna yang melenceng dari
makna literalnya, menjadi “penyerangan”, bukan berarti makna itu salah karena sudah
menjadi mitos. Analisis mitis lepas dari justitifikasi benar-salah ala positivisme.
Semiologi hanya bertugas mengurai distorsi tersebut agar terlihat pemaknaan model
apa yang sedang berlangsung. Karena konsep yang mendistorsinya berangkat dari
situasi yang melingkupi konsumen mitos tersebut.
Seperti juga Barthes tegaskan bahwa makna konotasi ini ibarat pagar putar
yang tidak pernah berhenti. Jadi penelusurannya bukan pada makna objektif atau
bukan, malainkan pada bentuk, atau dengan cara apa makna muncul. Bahasa agama
yang sudah berjalan sejak keberadaannya hingga kini tentu sama seperti pagar putar
itu. Ia tidak akan berhenti melahirkan mitos-mitos baru. Ia hanya akan mati sebagai
mitos hanya jika tipe ujaran tersebut sudah tidak dipilih lagi.
Jika memandang bahwa makna konotasi sebagai cerita bohong yang sudah
tidak ada gunanya, berarti mengandung asumsi ada esensi yang “benar” di balik
makna suatau wacana keagamaan. Logika ini adalah logika positivisme. Cara
pandang semacam ini menurut Barthes, dan seluruh tradisi strukturalis, menganggap
bahwa positivisme telah salah dalam memandang bahasa. Seolah dalam bahasa
terdapat makna objektif secara indrawi dan karenanya terverifikasi. Dalam tradisi
struktural, sekali lagi, bukan soal ada esensi objektif secara indrawi atau tidak,
melainkan melihatnya dalam struktur tandanya. Yaitu, pola struktur bahasa yang
memungkinkan esensialisasi dan mitologisasi. Dalam konteks itulah, positivisme
menjadi mitos tersendiri secara semiologis.
Dalam bahasa agama, sulit membedakan mana tanda tingkat pertama dan
mana tanda tingkat kedua. Jika kita kita imajinasikan, bahasa paling awal muncul
bahasa agama dalam masyarakat merupakan produk dari sistem mitis. Karena bahasa
yang digunakan untuk mengungkapkan apa yang diyakini sudah menggunakan prinsip
analogi. Prinsip analogi terpaksa dilakukan karena fenomena alam di luar jangkauan
pikiran manusia primitif. Misalnya masyarakat primitif untuk pertama kalinya
mengidentifikasi makhluk gaib dengan api. Api sebagai bahasa yang nampak, sudah
dicuri maknanya, diuapkan makna literalnya, dan siap diisi oleh konsep “makhluk
gaib” yang diyakini kehadirannya. Api, sebagai entitas yang membakar memiliki nilai
analogis dengan kekuatan supranatural. Sistem mitis yang dipercaya oleh masyarakat
primitif mengalami perkembangan seiring dengan sejarah. Sebagaimana Barthes
katakan bahwa “mitos-mitos kuno tidak ada yang abadi; sebab sejarah manusailah
yang mengubah realitas menjadi wicara, dan sejarah ini mengatur hidup matinya
bahasa mitis”.90
Berikut contoh bahasa agama yang sudah menjadi mitos dalam kerangka
Barthesian. Laskar Jihad, dalam websitenya, menampilkan galeri foto-foto kekejaman
orang Kristen di Maluku. Penempatan foto-foto kekejaman di website laskar jihad
adalah sistem mitis di mana foto-foto itu bukan sekedar tampilan tanpa distorsi
90 Barthes, Mythologies, h.110
makna.91 Tampil sebagai galeri website laskar jihad, foto tersebut mengandung
konotasi ajakan berperang melawa Kristen. Foto-foto itu menegaskan peperangan
melawan kedzaliman Kristen sebagai jihad di jalan Allah. Maka wajar bila tidak
sedikit waktu itu, banyak yang mendaftar sebagai relawan untuk berperang ke
Ambon. Ini adalah contoh mitologisasi yang disengaja oleh pemuatnya. Tapi, para
konsumen wesite ini tidak lagi peduli kenapa dan siapa pembuat mitos ini. Yang
muncul dibenak adalah kedzaliman yang harus dilawan.
Skemanya demikian:
Contoh Mitos Makna Denotatif Makna Konotatif Foto kekejaman orang Kristen terhadap warga Muslim dalam website Laskar Jihad
Gambar orang Kristen melukai warga Muslim
Perang melawan orang Kristen adalah keharusan karena orang Kristen sangat kejam
Empat karakteristik mitos sebagaimana Barthes ungkapkan, deformasi,
intensional, statement of fact, dan motivasional, dapat kita lihat pada contoh mitos
keagamaan yang sudah penulis sebut tadi. Pertama, deformasi. Deformasi ini
mangandaikan bahwa penanda mitos berada pada dua posisi: penuh sebagai makna
(tanda tingak pertama secara general), dan kosong, pada bentuk (form). Deformasi
bekerja berkat distorsi makna menjadi bentuk oleh konsep. Foto kekejaman Kristen di
websitenya Laskar jihar, sebagai makna penuh ia adalah gambar bermakna
(kekejaman Krisen terhadap Islam). Ketika dipakai untuk mengisi galeri Laskar Jihad,
foto itu menjadi bentuk untuk konsep lain (jihad atau berperang melawan mereka
wajib hukumnya). Jika foto ini dilihat di luar website, maka foto ini akan dibaca
dengan beragam makna. Karena Laskar jihad memiliki konsep jihad (perang), maka
maknannya menjadi seperti apa yang diharapkan oleh pembuat.
91 www.laskarjihad.org/galleryphoto
Kedua, intensional. Foto ini bagi konsumennya yang muslim langsung
menyentuh sasaran, terlebih korbannya adalah orang muslim. Apa yang dikehendaki
oleh mitos terasa oleh konsumen muslim. Foto dalam website tersebut memaksa
pembaca untuk mengkategorikan Kristen sebagai kejam yang mendzalimi umat Islam.
Kemudian, mitos pada saat itu juga menjauh dari pembaca seolah menunjukkan
bahwa memang faktanya Kristen secara universal memang kejam. Foto itu enjadi
statement of fact yang tak terbantahkan lagi. Pembaca sudah tidak lagi peduli terhadap
kenapa foto itu dicetak, untuk tujuan apa peristiwa itu diabadikan. Kini foto melalaui
website itu telah menampilkan kekejaman Kristen di manapun. Oleh karea itu jihad
adalah tindakan yang wajib hukumnya.
Terakhir, motivasional. Tidak seperti bahasa biasa yang arbitrer, sistem mitis
mengandung motif. Pada foto ini motifnya jelas untuk mengajak jihad, foto itu sanagt
mewakili sebagai penanda kekejaman Kristen. Nilai analogis foto dengan kosep yang
disisipkan oleh pembuat website Laskar Jihad. Sementara, dalam mitos Muamar, dia
mana letak motivasinya? Dalam contoh mitos itu, motivasinya tidak disadari.
Pendengar begitu saja menganalogikan keindahan dengan meliak liuknya suara
Muamar saat membaca al-Quran. Barangkali jika Muammar melantunkannya di
hadapan non-muslim, konsep dalam mitosnya lain. Analisis itu lebih pada konsep
yang akan masuk mendiami bentuk pada mitos.
Keempat karakter tersebut akan senantiasa memenuhi sebuah mitos. Hanya
saja, dari pihak penikmat mitos, tantu saja, tidak akan disadari keempat karakter
tadi.keempat karakter ini dirinci olah Barthes hanya untuk dapat mengidentifikasi
status pada mitos tertentu.
Berikut skema keempat karakter tersebut:
Contoh Mitos Foto kekejaman orang Kristen terhadap warga Muslim dalam website Laskar Jihad
Deformasi makna penuh: gambar orang kristen melukai warga Muslim. Makna kosong: deretan gambar semata. Oleh Laskar Jihad makna penuhnya didistorsi oleh konsep perang (jihad) melawan Kristen.
Intensional Gambar ini secara intensional menyapa penganut muslim. Seolah gambar ini menunjukan bahwa saya (pembaca website Laskar Jihad) bagian dari kedzaliman Kristen.
Statement of Fact
Melalui gambar yang dipasang di website Laskar Jihad itu seolah menunjukan secara universal bahwa faktanya orang Kristen memang dzalim, memusuhi warga Muslim secara Universal.
motivasional Gambar itu ada kesamaan analogis dengan konsep jihad yang ditawarkan pemilik website tersebut.
Perlu juga disadari bahwa apa yang dibicarakan lewat sistem semiologi dalam
pembentukan mitos lebih menekankan pada kode dan bukan realitas yang ditunjuk
oleh sistem bahasa. Perhatian semiolog adalah kode-kode potensial dalam kelompok
msyarakat tertentu. Karena konsep datangnya dalam situasi tertentu. Dalam konteks
inilah bahwa sistem tanda yang sudah termitologisasi akan seolah masih menunjukan
realitas, padahal dia sudah selalu merupakan abstraksi dari realitas untuk melayani
konsep barunya yang adalah kode-kode. Bahasa agama, tentu saja, tidak dapat
memberikan bukti bahwa di dalamnya memiliki rujuan realitasnya atau tidak. Karena
sistem penandaannya lebih merupakan mata rantai sistem mitis yang tak berhenti.
Oleh karena itu, mitologisasi bahasa agama, sebagai sistem tanda tingkat
kedua secara formal (semiologis), dapat dimengerti kini. Tidak ada aspek dalam
bahasa agama yang bukan sistem tanda bertingkat. Selalu saja doktrin keagamaan
merupakan sistem ganda. Mitologisasi dalam bahasa agama terjadi di setiap zaman
secara terus menerus. Apa yang saat ini menjadi mitos, di lain waktu makna mitis itu
akan dicuri oleh konsep lain dan dijadikan mitos baru. Demikian seterusnya. Sampai
di sini kita baru mengurai mitos bahasa agama dari sisi bentuk (formal). Begitulah
bahasa agama secara teknis menjadi mitos bagi pemeluknya.
C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama
Menurut Barthes, mitos dapat didekati dengan dua pendekatan sekaligus:
semiologi (tanda) dan ideologi (ide). Analisis tanda (semiologis) sudah kita bahas,
kini akan melangkah pada pendekatan kedua, sisi ideologis dari sistem mitis bahasa
agama. Pendekatan semiologis, karena sifatnya sinkronis, dianalisa secara struktur
kebahasaannya. Sementara, analisa ideologis, justru sebaliknya. Ia akan sangat
bergantung pada kode pada masyarakat di mana mitos itu bergulir. Karena itu untuk
mengenali fragmen ideologi yang melekat padanya, mitos harus dilihat pada
masyarakat tertentu.
Barthes sendiri tidak mendefinisikan ideologi yang dimaksudkannya. Akan
tetapi, citra pada sistem mitis yang akan mengalami naturalisasi, berasal dari kode
budaya tertentu. Artinya, makna pada sistem tanda tingkat kedua, mengacu pada stok
stereotip budaya tertentu. Mitos yang bertahan secara historis—diulang-ulang dan
menjadi acuan dalam proses pemaknaan—akan mengisi kode-kode budaya pada
masyarakatnya. Pada posisi semacam inilah ideologi terbentuk pada masyarakat
tertentu. Petanda pada sistem mitis merupakan fragmen ideologi di mana penanda
adalah konotator-konotataornya92.
Ideologi yang diidentifikasi Barthes dalam kebudayaan di Prancis didominasi
oleh ideologi borjuis93. Ideologi borjuis merupakan citra yang secara mental telah
merasuki budaya massa Prancis melalui media. Ideologi ini menjadi acuan kultural
dalam pemaknaan fenomena sosial pada masyarakat Prancis kala itu. Sistem pakaian,
makanan, musik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ideologi diproduksi dan
diacu oleh masyarakatnya dalam struktur penanadaan.
92 Barthes, Elements of Semiology, h. 91 93 Barthes, Mythologies, h. 151
Dalam bahasa agama, ideologi yang menjadi acuan kultural dalam
pemakanaan akhir abad 20 ini lebih diwarnai oleh dua ideologi yang bersebrangan
secara tegas: fundamentalisme dan liberlisme. Oposisi dua ideologi ini selalu hadir di
setiap periode masyarakat di mana bahasa agama dikonsumsi. Hanya saja dalam
konteks bagaimana bahasa agama menghadapi modernitas, dua ideologi ini semakin
kentara karena mitos-mitos yang dipoduksi keduanya bersaing secara ketat untuk
menguasai kode kultural pada masyarakatnya.
Karen Amstrong dalam bukunya, Berperang Demi Tuhan, menunjukan bahwa
gejala kebangkitan agama di abad 20 ini ditandai oleh munculnya gerakan
fundamentalisme. Gerakan ini sebagai reaksi terhadap kebudayaan sekuler ilmiah
yang muncul pertama kali di Barat dan kemudian merambah kepenjuru dunia.
Fundamentalisme sebagai gerakan bukan wilayah kajian semiologi, tapi
fundamentalisme sebagai ideologi adalah sasaran kajian di sini. Gagasan besarnya
memaknai bahasa agama dari makna literalnya untuk mempertahankan sakralitas
yang hilang oleh modernitas.94 Di sisi lain, ideologi liberal. Ideologi ini juga sebagai
respon terhadap modernitas. Bedanya bila fundamentalisme mengaggap bahwa
modernitas akan mengancam keberadaan agama, kalangan liberal justru sebaliknya
mereka optimis atas kemajuan yang dibawa modernitas.95
Dua ideologi ini dianalisis bukan untuk mencari mana yang paling benar dan
apa hakikat dua ideologi ini, justru kedua ideologi ini selalu hadir dalam proses
pemaknaan keberagamaan. Karena Barthes menekankan bahwa pilihan membaca
mitos dengan cara apa, itu bukan wilayah kajian semiologi. Hal itu sangat tergantung
94 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, (Bandung: Serambi, 2001),
h.xii-xiv 95 Charles Kruzman ed., Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina,
2001), h.xxiii
pada situasi subjek. Sebagai kode kultural, keduanya akan menghasilkan pemaknaan
yang berbeda.
Untuk memudahkan analisis, di sini akan dibatasi pada dua isu yang sudah
menjadi mitos di Indonesia. Diantaranya, soal penegakan Syariah Islam dan fatwa
MUI tentang liberalisme. Mitologisasi pada keduanya hanyalah model untuk
mitologisasi yang berangkat dari kode kultural tertentu. Jadi, bahasa agama lainnya
juga dapat dianalisis seperti ini. Dua isu ini akan dibantu oleh hasil survey LSI
(Lembaga Survey Indonesia) dan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Mayarakat)
sejak tahun 2001 hingga 2006 untuk membuktikan mitos mana yang lebih dipilih oleh
masyarakat Indonesia. Hasil survey ini bisa membantu karena yang menjadi objek
penelitiannya adalah persepsi publik terhadap isu-isu tersebut. Bahasa sebagaimana
dirumuskan oleh Saussure sejauh dimengerti secara mental, dan persepsi adalah gerak
mental.
Pertama, isu Syariah Islam. Hasil survey yang dilakukan dua lembaga tadi
menyebutkan bahwa grafik persepsi publik muslim Indonesia terhadap dukungan
penegakan syariah Islam di Indonesia terus naik; tahun 2001 sekitar 21,4%, 2002
sekitar 70,6%, 2004 sekitar 75,5% dan terakhir tahun 2006 sekitar 82,8%.96 Tentu
angka-angka ini bukan wilayah analisis semiologi, tapi angka ini akan membantu
mengukur keberhasilan mitos berfungsi pada masyarakat. Angka ini menunjukan
bahwa kampanye isu syariah Islam oleh kelompok fundamentalis, seperti Hizbut
Tahrir (HT), FPI dan sejenisnya, berhasil dipersepsi positif mayoritas muslim
Indonesia. Keberhasilan kelompok tersebut menunjukan keberhasilam mitos yang
disebarkan menjalankan fungsinya sebagai konsep yang universal.
96 Radikalisme Islam dan Sikap Publik Indonesia, dari www.LSI.org
Istilah Syariah Islam bagi mayoritas Muslim di Indonesia menjadi mitos
karena ia kemudian menjadi konotator bagi kepatuhan terhadap Islam sebagai
institusi. Makna syariah secara literal semakin tak terlihat dan tidak disadari lagi. Ini
misalnya terlihat pada mayoritas muslim Indonesia menginginkan penegakan Syariah
Islam, akan tetapi soal pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri hanya
didukung tidak lebih dari dari 38% masyarakat muslim Indonesia. Ini menunjukana
bahwa Syariah Islam tidak lebih sebagai jargon kepatuhan, kata-kata magis, mitos
yang makna denotatifnya teruapkan oleh makna kultural. Model pemaknaan semacam
ini adalah fragmen dari ideologi fundamentalisme.
Kelompok liberal di lain pihak, juga telah menciptakan mitos lain yang
berpijak pada mitos fundamentalisme. Dalam hal ini mengembalikan makna literal
istilah Syariah Islam. Di kalangan liberal, kode-kode sosial untuk memaknai Syariah
Islam lebih didominasi oleh sikap positif terhadap ide-ide progressif modernitas.
Syariah Islam sebagai konotator di kalangan liberal berarti aturan Tuhan yang bisa
ditafsir dengan beragam makna. Meskipun, mitos yang berkembang dari kalangan
liberal ini hanya didukung oleh 2.5% Muslim Indonesia97. Di lingkungan yang sedikit
itu, mitos liberal berfungsi. Tidak jarang orang di kelompok ini yang mengandaikan
begitu saja gagasan seperti ini dan menaturalkannya. Awalnya, pemaknaan model
liberal ingin melepaskan dari pemitosan seperti pada kelompok fundamentalis. Akan
tetapi, justru perlawanannya itu menjadi “objek” bagi kealamiahan kalangan liberal.
Isu yang juga melahirkan pertarungan “sengit” dua ideologi tersebut di negeri
ini adalah fatwa MUI mengenai pelarangan paham liberalisme, pluralisme, dan
sekularisme. MUI didaulat oleh sebagian besar warga muslim Indonesia sebagai
lembaga agama Islam non-pemerintah yang berhak mengeluarkan fatwa atas perkara
97 Toleransi Sosial Masyarakat Indoensia, www.LSI.org
yang tidak ada pada zaman Nabi dengan mempertimbangkan empat sumber: Quran,
Suhhan, Ijma’, dan Qiyas, sebagai landaan hukumnya. Mulai dari persoalan ibadah,
hubungan sosial, faham-faham dalam Islam, hingga problem hasil tamuan teknologi
dicarikan legitimsi agama melalui komisi fatwa.
Liberalisme, pluralisme dan sekularisme juga tidak luput dari persoalan yang
MUI mesti selesaikan karena menurut MUI keberadaan faham ini telah meresahkan
masyarakat. Oleh karenannya, faham-faham ini haram hukumnya diikuti oleh ummat
Islam. Fatwa MUI ini kemudian disusul dengan aksi “penyerangan” terhadap kantor
Jaringan Islam Liberal (JIL). Tentu hubungan ini bukan semata kausalitas, melainkan
respon pemaknaan sebagian warga muslim yang memercayai fatwa tersebut sebagai
kebenaran natural. JIL sebagai representasi ketiga faham yang diharamkan MUI
tersebut harus juga dihilangkan keberadaan organisasinya. Kasus ini hanya
memperlihatkan betapa efek ideologis dari mitos cukup efektif menggerakan individu
atau kelompok untuk berbuat atas apa yang diyakininya. Fatwa di tangan para
“penyerang” JIL telah menjadi ketentuan yang tak perlu dicermati lagi karena fatwa
tersebut lahir dari lembaga MUI secara otomatis universal.
Sekali lagi di sini tidak sedang menghukum apakah tindakan kaum
fundamentalis dalam memaknai fatwa ini dengan brutal, benar atau salah. Itu perkara
hukum. Analisis semiologi hanya akan mengurai bagaimana fatwa ini di benak
kelompok fundamentalis menjadi mitos, dan seiring dengan ideologinya. Sehingga
tindakan anarkis berlangsung pada masyarakat tertentu. Efek-efek sosial seperti
tindakan anarkistis tesebut dapat diidentifikasi pada berjalan tidaknya sistem mitis
pada konseumennya. Letak kekuatan mitos justru pada hegemoninya. Ia dimaknai
sedemikian rupa secara alamiah.
Definisi MUI patut dikutip di sini.
“Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.”98
Dalam kerangka semiologi Barthesian, definisi ini sebagai sistem tanda tingkat
dua karena ia berpijak bahasa-objek tentang wacana tentang liberalisme, pluralisme
dan sekularisme yang berkembang. Akan tetapi ketika pertama kali mendefinisikan,
jelas di sana terjadi menetapkan definisi tertentu yang sesuai dengan kepentingannya.
Definisi yang dibuat oleh MUI adalah bagian dari metabahasa. Definisi ini salah satu
dari berbagai definisi dalam berbagai buku lainnya atas konsep yang sama
(liberalisme, plualisme dan sekularisme).
Musyawarah Nasional MUI ke tujuh tersebut sudah jelas hasilnya, liberalisme,
pluralisme dan sekularisme, haram. Sebagai sistem mitis kemudian fatwa ini
menyebar sebagaia wacana karena tuntutan organisasi. Fatwa ini lagi-lagi berhasil
menjalankan fungsinya sebagai mitos, memberi makna konotasi atas fatwa ini. Makna
konotasi dari fatwa ini adalah liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ajaran syetan
yang harus dimusnahkan. Ideologi fundamentalisme memoles makna konotasi ini
denga konsep pemurnian ajaran agama dari paham-paham yang akan merusak Islam.
salah satu bukti keberhasilan fatwa ini menjadi mitos adalah penyerangan JIL dengan
argumentasi fatwa MUI.
Sementara itu, di kelompok liberal sendiri juga mengalami proses metabahasa
untuk liberalisme itu sendiri. Istilah liberalisme sebagai paham yang lahir di Barat,
digunakan untuk forma bagi gagasan kebebasan dalam Islam. Seperti halnya MUI,
kalangan Islam liberal juga menggunakan tafsir atas teks al-Qur’an untuk
98 www.MUI.org/fatwa/keputusanmunas
melegitimasinya. Gagasan yang dikeluarkan oleh kalangan liberal juga bagi sebagian
kalangan menjadi mitos. Tidak sedikit pula kelompok liberal sebagai mitos.
Ideologi pada akhirnya tidak bisa dilihat dari satu segi, melainkan di sana
terdapat beragam kode yang dapat dibandingkan dan ditukarkan. Dengan
mengungkap ideologi yang melekat pada satu sistem mitos tidak dimengerti bahwa
kita sudah menemukan kebenaran. Akan tetapi, membuat kita sadar apa yang selama
ini dianggap common sense, ahistoris, diandaikan begitu saja, ternyata memiliki
konteks tertentu. Konsep yang sudah selalu historis menyadarkan kita bahwa konsep
apapun sebenarnya berangkat dari titik pijak dalam ruang tertentu.
Menurut Barthes, ada tiga kemungkinan reader mitos memperlakukannya:
pengurai, pembuat dan konsumen. Pengurai adalah tugas seorang mitolog. Yakni,
mereka yang mengurai sistem mitis secara semiologis hingga sistem tersebut dapat
diketahui forma dan konsepnya. Mengurai dengan cara seperti itu akan dapat dilihat
bagaimana mitos menjalakan fungsinya, yakni distorsi. Akhirnya, mitolog akan dapat
menemukan alibi makna dari mitos tersebut.
Kedua, pembuat mitos berarti dengan sadar dia mengetahui bahwa sistem
bahasa tertentu akan dijadikan sistem mitis. Atau pengurai di atas karena sudah dapat
mengetahui alibi makna, lalu ia memutuskan untuk mengembalikan makna ke konsep
denotatifnya, merupakan pembuat mitos. Barthes menyebut wartawan sebagai profesi
yang akan senantiasa membuat mitos karena mereka berhadapan dengan konsep yang
dia harus mencari forma yang menarik setelah didistorsi oleh makna yang dimaksud.
Sebagai pembuat, sistem bahasa dilihatnya sebagai simbol yang dapat mengisi konsep
yang diianginkan.
Ketiga adalah konsumen mitos. Mereka adalah reader mitos yang menikmati
mitos seraya merasakan kehadiran makna sebagai benar-benar dianggap demikian
adanya. Misalnya, fatwa MUI tadi, bagi konsumen mitos, fatwa itu diaggap sebagai
sistem tanda yang memperlihatkan pertentangan liberalisme dengan Islam. Mereka
merasakan mitos sebagai kebenaran yang sudah mapan, tak berubah dan universal
bagi kemajuan umat Islam. Begitupun sebaliknya, penikmat mitos dari kalangan
liberalimse yang mengaggap bahwa liberalisme sebagai konsep yang mapan bagi
kemajuan ummat Islam.
Dari ketiga kemungkinan ini, memilih salah satunya bukan tugas semiolog. Itu
tergantung pada situasi di mana subjek memaknai. Hanya saja tugas semiolog harus
dalam posisi melihat mitos dari posisi ketiga agar mitos dapat terlihat bekerja
mendistori makna dan menjadi mapan sebagai konsep yang diperacaya universal dan
alamiah. Jika tidak, analisis mitis akan mandek karena diawali dengan sikap sinis dan
malah mengahncurkan bangunan mitos yang ada.
Mendengar bahwa alasan melakukan bom bunuh diri, dari pernyataan pelaku
sebelum meledakan bom, persoalan agama, membuktikan betapa efek mitos begitu
besar dalam memengaruhi pola pemaknaan dunia sang konsumen. Distorsi yang
terjadi di kelompok-kelompok radikal fundamentalisme agama ini selalu melahirkan
kekerasan. Karena dalam struktur yang dibangunnya, bahwa esensi agama adalah
satu. Yang lainnya tidak lebih dari lawan dari esensi tunggal tersebut. Kecenderungan
semacam inilah yang membuat orang rela melakukan kekerasan. Bukan hanya rela,
bahkan merasa sebagai bagian dari upaya pembebasan demi agama. Apa yang
dilakukan FPI terhadap warga Ahmadiyah di Bogor merupakan contoh konsumen
mitos di mana ideologi radikal berfungsi. Status ini sama dengan penyerangan
Amerika terhadap Afganistan belakangan ini. Bush menciptakan mitos terorisme yang
diarahkan terhadap Islam sebagai legitimasi penyerngannya. Serangan terhadap
Afganistan dilakukan deni membebaskan warganya dari ancaman terorisme.
Kita tidak pernah bisa melepaskan diri dari mitos. Karenanya tidak ada
gunanya melawan mitos. Perlawanan itu terwujud dalam mitos baru yang masing-
masing kita ciptakan. Untuk mengatahui ideologi macam apa dalam sebuah mitos,
kita perlu menjadi konsumen mitos. Akan tetapi pada saat yang bersamaan kita
mengurai strukturnya hingga kita menemukan alibi maknanya. Dengan demikian, kita
diharapkan bisa memperlihatkan krisis di dalamnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahasa agama dan mitos dilihat dari kaca mata semiologi Barthesian tidak
perlu dipertentangkan. Justru melalui analisa struktur tanda, mitos di tangan Barthes
sebagai sistem yang akan selalu hadir di dalam hiruk pikuk kesibukan kita sehari-hari.
Termasuk bahasa agama. Kisah masa lalu yang menceritakan kepahlawanan atau
tentang yang gaib adalah mitos. Akan tetapi, kisah tersebut memiliki status mitos
bukan karena isi kisahnya yang kuno dan tentang kepahlawanannya, melainkan
karakter sistem tanda yang membentuknya makna konotatif.
Mitos dalam pandangan Barthes lebih sebagai struktur bahasa ganda. Seraya
mengacu pada leluhurnya, para ahli linguistik modern Prancis, Barthes merumuskan
mitos dalam struktur. Dia membedakan antara struktur bahasa atau tingkat pertama,
dan struktur mitis atau tingkat dua. Sistem tanda tingkat dua berpijak pada sistem
bahasa tingkat pertama. strukturkeduanya sama, hanya saja karakternya yang berbeda.
Jika pada sistem bahasa, hubungn penanda dengan penanda arbitrer, maka dalam
sistem mitis justru memiliki motivasi tersendiri.
Sistem tanda tingkat kedua ini bisa ditempatkan sebagai metabahasa dan
konotasi. sebagai metabahasa, mitos berbentuk karena pembuat mitos menjadikan
bahasa sebagai objek yang sifatnya abstrak. Ini artinya yang dijadikan pijakan
pembentukan mitosnya adalah konsep. Mitos ditempatkan sebagai metabahasa dapat
kita saksikan pada perkembangan ilmu-ilmu sosial. Bahasa objeknya adalah fenomena
kemanusiaan sebagai konsep yang ingi dielsakan dan akhirnya mnemukan forma yang
tepat untuknya. Sebaliknya dari metabahasa, konotasi menampatkan sistem bahasa
sebagai ptanda yang terdistorsi tadi. Sistem bahasa yang megalami penyimpangan
makna akan siap diisi oleh konsep. Konsep yang mengisinya akan senantiasa historis.
Artinya, ia berangkat dari situasi yang melahirkan konsep. Hubungan antara
metabahasa dan konotasi saling melengkapi. Metabahasa menyediakan dan
memungkinkan pembentukan mitoskarena selalu menjadikan bahasa sebagai objek.
Semantara konotasi membuat peneliti untuk tidak mnyerah pada common sense.
Mitos konotsai menjelma sebagai common sense. Para peneliti yang tidak puas
dengan commo sense itu dan melahirkan etabahsa baru. san begitu seterusnya.
Fungsi mitos menurut Barthes adalah distorsi sistem bahasa yang akan
dijadikan forma oleh konsep. Apa yang menjadi makna dasar, kemudian dirubah agar
secara simbolik bisa menjadi penanda bagi konsep yang diinginkan. Distorsi ini
sejalan dengan deformasi. Forma dalam sistem bahasa yang maknanya penuh,
dideformasi menjadi forma yang kosong dan siap diisi oleh konsep baru. Deformasi
ini juga terjadi seraya dengan masukny konsep yang sudah dalam situasi tertentu
dalam proses pemaknaannya. Mitos tidak menyembunyikan apa-apa, ia hanya
mendistorsi, begitu kata Barthes.
Begitu juga dengan agama yang menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan pesan-pesannya kepada penganutnya, juga tidak lepas dari
mitologisasi. Sebagai bahasa, meskipun dalam agama membicarakan tentang yang
transenden dan suci, sistem komunikasi agama hanya dapat dimengerti penganutnya
jika memiliki struktur tanda yang secara arbitrer dan konvensional telah ada. Oleh
karena bahasa agama memilki struktur bahasa, maka ia juga menjadi mangsa mitos
sebagaimana bahasa lainnya.
Mitologisasi bahasa agama terjadi bertingkat-tingkat. Bahasa agama pada
dirinya lebih adalah sudah berupa sistem mitis. Bahasa agama selalu mengambil
istilah yang untuk pentingan konsep yang hedak disampaikannya terjadi distorsi.
Memapankan bahasa agama yang diterima oleh para nabi merupakan bentuk
mitologisasi yang berkarkter esensialis. Bukan soal esensinya seperti apa, melainkan
membunuh sejarah. Apa yang telah menjadi mitos, aspek sejarahnya kita lupakan.
Demikian juga bahasa agama yang mengisahkan tentang sejarah masa lalu,
kesejarahannya akan diabaikan karena kitab suci berkepentingan bukan sebagai buku
biografi tokoh masa lalu, melainkan menghadirkan konsep. Konsep yang dimaksud di
sini adalah gagasan yang ingi disampaikan pada saat kisah tersebut diceritakan.
Misalnya, kisah-kisah di dalam al-Qur’an tentang nabi Musa. Al-Qur’a tidak
berpretensi sebagai buku biogafi nabi Musa, melainkan, lewat cerita tersebut, ingin
menyampaikan gagasan keesaan Tuhan pada zaman nabi Muhammad.
Kemudian siste mitis dalam bahasa agama juga akan menjadi kendaraan untuk
ideologi tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagaannya ke masyarakat banyak.
Lewat mitos yang selalu menaturalkan apa yang hitoris memungkinkan ideologi
menjadi seustu yang natural. Apa yang semula historis, karena ide tidak muncul
dalam ruang kosong, menjadi seolah melenggang di ruang kosong. Dengan demikian,
ideologi akan dapat membatalkan pembaca mitos sebagai konseumen. Kesadaran
akah historisitas konsep,ide ata gagasan menjadi kunci apakah kita akan terjebat pada
ideologi tertentu atau tidak. melah, kita jug akan bisa melepas mitos meski harus
menghidupkan mitos debngan mengembalikan ke makna dasar.
Kekerasan dalam agama tentu didukung oleh keyakinan yang kuat atas doktrin
yang dipelajarinya. Agama melalui semiologi Barthesian dilihat sebagai sistema tanda
yang terus menerus mengalami distorsi sesusi dengan zaman di mana agama tersebut
menjadi wacana. Sebagai doktrin yang sudah mengalami distorsi dan mitologisasi,
bahasa agama sangat mungkin memengaruhi tindak tanduk. Terlebih legitimasi
mitisnya adalah konsep yang gaib (dalam hal ini Tuhan). Bahwa menyerang warga
muslim di India oleh penganut agama Sikh diyakini sebagai perang suci, membela
Tuhan. Di negara kita bom di Bali juga dilandasi oleh keyakinan bahwa itu adalah
jihad di jalan Allah. Jihad atau perang suci dinaturalkan dari historisitasnya dan juga
mengupkan historisitas konsepo yang dibawanya. Apa yang dikategorikan sebagai
musuh juga tidak dilihat sebagai historis. Dalam konteks inilah kekerasan dalam
agama bisa dimengerti. Bahwa selalain kodisi sosial, ekonomi, pilitik yang menandai
historisitas konsep, juga dari dalam doktrin keagamaan dengan beragam distorsi
dengan ideologi yang menyertainya memungkinkan bahasa agama melahirkan
kekerasan.
B. Saran-Saran
Gagasan Barthes tentu saja sekilas sangat menggoda. Apa yang digagasnya
mendapat perhatian dari punlik intelektual Perancis terutaa dalam kajian badaya
massa. Melalui tilikan semiologis yang diwarisi dari Saussure, Barthes berhasil
mengidentifikasi bahwa budaya massa tidak lepas dari mitos yang diproduksi oleh
media, alat canggih temuan masyarakat modern. Tentu saja di dalamnya bahasa
agama. Agama kini juga bagian dari peradaban yang di dalamnya terjadi relasi
penanadaan yang luar biasa cepat dan rumit. Maka tak heran bila bahasa agama bisa
diperlakukan sebagaimana Bartes memperlakukan budaya massa.
Bagi Anda yang tertarik mempelajari kajianini lebih serius apa yang diagagas
oleh Barthes tentu bukan satu-satunya pendekatan. Sebagai intelektual yang selalu
ingin lepas dri pendahulunya, Barthes merevisi gagasannya tentang sistem tanda dan
mitos. Revisi ini bukan membatalkan tentunya, tapi melampaui. Apa yang dilihatnya
melalui semiologi belumlah cukup. Ia mengambangakn gagasannya dari tanda ke
teks. Memalui teori teksnya, Barthes merasa tidak puas dengan teoria penandaan yang
hanya mengurai makna. Menurtnya, sebuah teks tidak ckup hanya diurai, justru teks
haruis dapat menggairahkan pembaca hingga dapat mempoduksi teks baru.
Sekalipun demikian, apa yang sudah digagas Barthes masih televan dalam
menganalisa fenomena sosial kita saat ini. Media yang semakin canggih, membuat
kita buta dibuatnya. Media memproduksi tanda terus menerus. Akibatnya kita hidup
dalam lingkaran tanda yang maknannya tidak pernah jelas karena muncul sebagai
bentukan ideologi kapitalisme. Bagitupun dengan bahasa agama. Bahasa agama
enjadis emakin tak jelas mana yang benar-benar doktrin dalam arti denotatif dan mana
tanda yang diciptkan sengaja oleh media untuk kepentingannya. Bahwa selalu terjadi
distorsi dlam memaknai bahasa agama tak terelakan lagi. Paling tidak melalui gagasan
semiologi Barthesian ini kita dapat menjadi pembaca mitos yang ktiris. Menjadi
konseumen mitso sembari mengurai strukturnya. Sehingga kita dapat memperlihatkan
krisi ideologi di dalamnya. Dan kita tidak terjebat dalam esensialisme semu;
sepertinya esensi, padahal historis.
DAFTAR PUSTAKA
A. Primer
Barthes, Roland. Camera Lucida, London: Flamingo, 1977.
Elements of Semiology, New York: Hill & Wang, 1973.
Image-Music-Text, London: Fontana Press, 1977.
______ Inaugurl Lacture, College de France, 458
Mitologies, London: Paladin Book, 1976.
S/Z, New York: Hill & Wang, 1974.
The Pleasur of the Text, London: Jonathan Cape, 1976.
______ The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale, New York: Hill and Wang, 1985
B. Sekunder
Allen, Graham. Intertextuality, London and New York: Rourledge, 2000. Altusser, Louis, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam paul du gay,ed.
Identity: a Reader, London: Sage Publication, 2000. Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, Bandung: Serambi,
2001. Bertens, K. Panorama Filsafat Modern, Bandung: Teraju, 1995. Bolle, Keen W., Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed.
Mircea Eliade, NewYork: Pinguin Books, 1985. Bogdan, Robert and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods,
New York: Jhon Wiley & Son, 1975. Budi Hardiman, Franki. Filsafat Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004. -----------, Menuju Masyarakat Komunkatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Culler, Jonathan, Seri Pengantar Singkat: Barthes, Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2003.
Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, Jakarta: Bali Pustaka, 1988.
Focault, Michel, Archeology of Knowledge, New York: Routledge, 2002. Herman, David, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli,
Postmodernism: The Key Figure, Massachusetts: Blackwell, 2002. Hidayat, Komaruddin. Menafsir Kehendak Tuhan, Bandung: Teraju, 1999. K., Harimurti, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern
dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996.
Kruzman, Charles ed., Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dkk., Jakarta:
Paramadina, 2001. Khalafullah, Muhammad, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi,
Jakarta: Paramadina, 2002. Levi-Strauss, Cloude, Struktural Anthropology, New York: Penguin Book, 1963. Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005. Microsoft® Encarta® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. P. Jonshon, Doyle. Sosiologi Klasik dan Modern I, Jakarta: Gramedia, 1986. Pari, Fariz, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan
Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005.
Piliang, Yasraf A. Hipersemiotika, Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Putaka, 2000. Sartre, Jean-Poul, Literatur and Existensialism, New York: Carol, 1994. Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Singarimbun, Masri dan Soffian Efendi. Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
1995. Sunardi. Nietzsche, Yogyakarta: LKIS, 1996. -----------, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Tim Penyusun UIN Jakarta. Pedoman Akademik, Jakarta: FUF UIN Jakarta Press, 2006/2007.
Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin
Islam & Good Governance edisi keduabelas, PPIM, UIN Jakarta, 2006. Tudor, Henry, Mitos dan Ideologi Politik, Terj., Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984. Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas,
PPIM, UIN Jakarta, 2006. Weber, Max, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright, New York: A
Galaxy Book, 1985. C. Website
www.laskarjihad.org/galleryphoto www.LSI.org www.MUI.org/fatwa/keputusanmunas