mimisan_1208505055
TRANSCRIPT
MIMISAN (EPISTAKSIS)
MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA
NIM : 1208505055
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga
bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga
bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau Inggris:
epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar
melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan
suatu tanda atau keluhan bukan penyakit (Suspolita, 2009). Epistaksis sering
ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya
(spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri
dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai,
dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila
tidak segera ditolong (Ichsan, 2001).
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach
atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal
dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior (Ichsan, 2001)
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga
sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil
dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali (Ichsan, 2001)
2
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun,
sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka
kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum
dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada
orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir dkk,
2006).
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan
dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari
dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif (Suspolita dkk, 2009).
Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu
juga menemukan dan mengobati sebabnya (Ichsan, 2001).
Selain dengan pengobatan menggunakan cara pengobatan modern, mimisan
juga bisa diatasi dengan menggunakan cara-cara pengobatan tradisional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka sebagai permasalahannya
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah patofisiologi mimisan (epistaksis) ?
2. Apa sajakah faktor Etiologi yang menyebabkan terjdinya mimisan
(epistaksis) ?
3. Bagaimanakah cara pengobatan mimisan secara tradisional
(epistaksis) ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mnegetahui patofisiologi mimisan (epistaksis).
2. Untuk mengetahui faktor Etiologi yang menyebabkan terjadinya
mimisan (epistaksis).
3
3. Untuk mengetahui cara pengobatan mimisan secara tradisional
(epistaksis).
4. Untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai mimisan
(epistaksis).
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut.
1. Memberikan infomasi dan pengetahuan patofisiologi mimisan
(epistaksis).
2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang faktor etiologi yang
menyebabkan terjadinya mimisan (epistaksis).
3. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang cara pengobatan
mimisan secara tradisional (epistaksis).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Pembuluh Darah Hidung
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI)
dan karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi
atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan
dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis
superior.
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina
mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media
terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina,
nasalis posterior dan faringeal asendens.
5
Gambar 2.1 Pembuluh darah di daerah septum nasal
Gambar 2.2 Pembuluh darah di daerah lateral hidung
6
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui (Ichsan, 2001) :
a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.
b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatine mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri
ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral
superior (Ichsan, 2001).
2.2 Definisi Mimisan (Epistaksis)
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir
90% dapat berhenti sendiri (Munir, dkk; 2006).
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau
keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat menjengkelkan (Ichsan, 2001).
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun,
sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka
kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum
dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada
orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir, dkk;
2006).
7
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach
atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal
dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga
sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.
8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Patofisiologi Mimisan (Epistaksis)
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Munir, 2006).
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu
(Munir, 2006) :
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini
bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari
beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero
superior vestibulum nasi.
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.
Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan
dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya
dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
9
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai
bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis
eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah
untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua
pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis.
Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa
menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau
pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini
merupakan objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi
epistaksis yang tersering (Suspolita, 2009).
Semua pendarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung
yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai
luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan.
3.2 Etiologi Mimisan (Epistaksis)
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi
bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau
kelainan sistemik (Ichsan, 2001).
10
1. Lokal
a. Trauma
Sebagian besar epistaksis berasal dari bagian anterior hidung
sepanjang septum. Pada prang dewasa muda, penyebabnya biasanya trauma
jari (Michael,dkk; 1998). Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma
biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung,
trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas
yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan
epistaksis. Trauma, termasuk mengorek hidung dan benda asing, adalah
penyebab yang paling sering (Behrman, dkk; 2000). Epistaksis dapat terjadi
setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin,
mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan
lalulintas.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma
dan angiofibroma.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah,
Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
11
telangiectasia/Osler’s disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di
wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh
darah paru.
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi
predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan
yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital.
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum
dan kemudian perdarahan.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah
atau lingkungan udaranya sangat kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik.
c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili,
demam tifoid.
d. Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi
epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan
persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
12
Seringkali pada keluarganya ada riwayat epistaksis di masa kanak-kanak
dan kerentanan bertambah saat infeksi pernapasan dan pada musim dingin ketika
udara kering mengiritasi mukosa hidung, mengakibatkan pembentukan fisura dan
kerak. Perdarahan berat dapat ditemukan pada kelainan vaskuler kongenital
seperti telangiektasia atau varises, dan pada anak dengan trombositopenia,
defisiensi faktor-faktor penjendalan, hipertensi, gagal ginjal, atau kongesti vena.
anak wanita di masa remaja dapat menderita epistaksis pada saat menarche
(Behrman, dkk; 2000).
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab
epistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang
dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan
menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik
pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis.
(Munir, 2006).
3.3 Gejala Klinis
Epistaksis biasanya terjadi tanpa peringatan, dengan adanya darah yang
mengalir lambat, namun bebas, dari satu lubang hidung atau kadang-kadang dari
keduanya. Pada anak dengan lesi hidung, perdarahan dapat terjadi setelah
olahraga. Bila perdarahan terjadi pada malam hari, darah dapat tertelan dan dapat
menjadi nyata bila anak muntah atau bila daah keluar bersama tinja. Biasanya,
sumber perdarahan adalah pleksus vaskuler pada sekat anterior (pleksus
Kiesselbach) atau mukosa bagian turbinasi anterior (Behrman, dkk; 2000).
Gejala umum yang timbul diantaranya
Darah menetes atau mengalir dari lubang hidung depan atau belakang.
Muntah darah bila banyak darah tertelan.
Bisa spontan.
Bisa akibat trauma.
13
Bila perdarahan berlanjut penderita menjadi lemah, pucat, anemis.
Penderita jatuh syok, nadi cepat, lemah, tekanan darah turun.
3.4 Pengobatan Tradisional Mimisan (Epistaksis)
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tujuan
pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang
penting adalah:
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan
akut atau tidak.
14
Mimisan bisa diobati secara tradisional dengan menggunakan beberapa
jenis tumbuhan obatn antara lain pegagan, daun sirih, alang-alang, teratai, dan
lainnya.
1. Pegagan
Pegagan (latin: Centella Asiatica) merupakan tanaman yang berkhasiat
bagi otak. Tanaman ini biasa tumbuh dikebun, ladang, pematang sawah
atau ditepi jalan. Tanaman ini bagus untuk dikonsumsi sehari-hari. Sebagai
pengganti ginko biloba yang terdapat dalam suplemen sintetis.
Sudah sejak dahulu pegagan telah digunakan untuk obat, seperti obat
kulit, gangguan saraf dan memperbaiki peredaran darah. Tanaman ini
berasal dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, India, Republik Rakyat Cina, Jepang dan Australia kemudian
menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk
tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda dan antanan.
Gambar 3.1 Tanaman Pegagan
Bahan yang dibutuhkan adalah daun tanaman pegagan segar 60 gram.
Cara membuatnya yaitu, cuci bersih pegagan dan rebus dengan air 400cc
hingga mendidih dan sisa setengahnya. Minum air rebusannya selagi
hangat, minum 2 kali sehari.
15
2. Alang-Alang
Alang-alang (Imperata cylindrica (L.)) Tanaman semak, menahun,
tingginya 1-1,5m. Batang lunak, bulat, pendek, beruas-ruas, berwarna putih
keunguan, pada tiap buku terdapat rambut berwarna putih. Daun tunggal
berbentuk lanset, tepi rata, ujung meruncing, pangkal menyempit, panjang
kurang lebih 1m, lebar kurang lebih 1,5cm, berwarna putih. Akar serabut
berwarna putih kotor.
Gambar 3.2 Tanaman Alang-alang
Bahan yang diperlukan adalah akar alang-alang sebanyak 60 gram.
Cara membuatnya: akar alang-alang direbus dengan air 400cc sampai
tersisa 200cc. Airnya diminum selagi hangat, Lakukan 2 kali sehari secara
teratur hingga aliran keluar dari hidung berhenti.
3. Teratai
Teratai (Nelumbium nelumbo Druce) adalah tanaman air yang tumbuh
tegak. Rimpang tebal bersisik, tumbuh menjalar. Daun dan bunga keluar
langsung dari rimpangnya yang terikat pada lumpur di dasar kolam.
Helaian daun lebar dan bulat, disangga oleh tangkai yang panjang dan bulat
berdiameter 0,5-1 cm, panjangnya 75-150 cm. Daun menyembul ke atas
permukaan air, menjulang tegak seperti perisai. Permukaan daun berlilin;
warnanya hijau keputihan, tepi rata, bagian tengah agak mencekung, tulang
16
daun tersebar dari pusat daun ke arah tepi, diameter 30-50 cm. Bunganya
harum, tumbuh menjulang di atas permukaan air dengan tangkai bulat
panjang dan kokoh, panjang tangkai bunga 75-200 cm.
Gambar 3.3 Tanaman Teratai
Bahan yang diperlukan adalah akar teratai sebanyak 200 gram. Cara
membuatnya yaitu dengan mencuci bersih akar teratai, tumbuk halus dan
teteskan airnya kedalam hidung sebanyak 2-3 tetes, dan minum sisanya
4. Daun Sirih
Sirih merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan bersandar
pada tanaman lain. Tinggi atau panjangtanaman ini 5-15 m tergantung
pertumbuhan dan tempat rambatnya. Batang tanaman sirih berwarna hijau
kecoklatan. Daunnya pipih, bentuknya menyerupai jantung dengantangkai
daun agak panjang. Warna daunnya kekuningan, hijau tua, atau hitam.
Gambar 3.4 Tanaman Sirih
17
Bahan yang diperlukan adalah daun sirih sebanyak 1 lembar. Cara
membuatnya adalah dengan mencuci bersih daun sirih yang muda,
kemudian remas hingga keluar minyak, gunakan untuk menyumbat hidung
pada saat terjadi mimisan. Selain itu bisa juga dengan cara digulung dan
ditekan-tekan agar keluar minyaknya. Gunakan gululngan daun sirih untuk
mnyumbat hidung yang mengalami mimisan sampai darah berhenti
mengalir.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uaraian pembahasan tersebut, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Patofisiologi mimisan (epistaksis) yaitu perdarahan hidung berasal dari
arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior
dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung.
2. Faktor etiologi mimisan (epistaksis) terbagi menjadi dua yaitu etiologi
lokal (yang meliputi trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital)
dan sistemik (yang berhubungan dengan kelainan atau gangguan lain
yang diderita).
3. Pengobatan mimisan (epistaksis) secara tradisional dapat dilakukan
dengan mengolah tanaman obat (seperti alang-alang, pegagan, sirih,
teratai) ataupun memanfaatkannya secara langsung.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ichsan, Mohammad. 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 hal. 43-46.
Eliastasm, Michael; dkk. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis E/5 (alih bahasa oleh Hunardja Santasa). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 E/15. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Baughman, Diane C dan JoAnn C Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah
(alih bahasa oleh Yasmin Asih). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG
Sa’adah, Sumiati. Mengenal Tanaman yang Berkhasiat Obat. Jakarta : Azka Press
Redaksi Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta : Agromdia
Pustaka
Winarto, W.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia, Untuk Pengobat Herbal, Jilid 1. Jakarta : Karyasari Herba Media.
Suspolita, Dewi;dkk. 2009. Tinjauan Pustaka Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Munir, Delfitri; dkk. 2006. Epistaksis. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39/No.3 hal. 274-278
20