mimisan_1208505055

27
MIMISAN (EPISTAKSIS) MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA NIM : 1208505055 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2012 1

Upload: rdwiradiputra

Post on 30-Jul-2015

114 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mimisan_1208505055

MIMISAN (EPISTAKSIS)

MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA

NIM : 1208505055

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2012

1

Page 2: Mimisan_1208505055

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan yang seharusnya mendapat perhatian lebih

dari biasanya. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga

bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,

terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga

bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang

cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.

Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau Inggris:

epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar

melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan

suatu tanda atau keluhan bukan penyakit (Suspolita, 2009). Epistaksis sering

ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya

(spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri

dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai,

dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila

tidak segera ditolong (Ichsan, 2001).

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior

dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach

atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal

dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior (Ichsan, 2001)

Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga

sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil

dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali (Ichsan, 2001)

2

Page 3: Mimisan_1208505055

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun,

sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka

kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang

bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum

dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada

orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir dkk,

2006).

Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan

dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari

dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif (Suspolita dkk, 2009).

Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu

juga menemukan dan mengobati sebabnya (Ichsan, 2001).

Selain dengan pengobatan menggunakan cara pengobatan modern, mimisan

juga bisa diatasi dengan menggunakan cara-cara pengobatan tradisional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka sebagai permasalahannya

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah patofisiologi mimisan (epistaksis) ?

2. Apa sajakah faktor Etiologi yang menyebabkan terjdinya mimisan

(epistaksis) ?

3. Bagaimanakah cara pengobatan mimisan secara tradisional

(epistaksis) ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mnegetahui patofisiologi mimisan (epistaksis).

2. Untuk mengetahui faktor Etiologi yang menyebabkan terjadinya

mimisan (epistaksis).

3

Page 4: Mimisan_1208505055

3. Untuk mengetahui cara pengobatan mimisan secara tradisional

(epistaksis).

4. Untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai mimisan

(epistaksis).

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut.

1. Memberikan infomasi dan pengetahuan patofisiologi mimisan

(epistaksis).

2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang faktor etiologi yang

menyebabkan terjadinya mimisan (epistaksis).

3. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang cara pengobatan

mimisan secara tradisional (epistaksis).

4

Page 5: Mimisan_1208505055

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pembuluh Darah Hidung

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI)

dan karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,

bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior

lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi

atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan

dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris

interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis

superior.

Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri

sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri

sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,

memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.

Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina

mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),

membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.

Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media

terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina,

nasalis posterior dan faringeal asendens.

5

Page 6: Mimisan_1208505055

Gambar 2.1 Pembuluh darah di daerah septum nasal

Gambar 2.2 Pembuluh darah di daerah lateral hidung

6

Page 7: Mimisan_1208505055

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna

dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak

pada cavum nasi melalui (Ichsan, 2001) :

a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan

melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat

posterior dan dinding lateral hidung.

b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatine mayor, yang

berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian

inferoanterior septum nasi.

Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri

ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral

superior (Ichsan, 2001).

2.2 Definisi Mimisan (Epistaksis)

Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari lubang hidung, rongga

hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis

bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir

90% dapat berhenti sendiri (Munir, dkk; 2006).

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau

keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang

sangat menjengkelkan (Ichsan, 2001).

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun,

sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka

kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang

bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum

dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada

orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis (Munir, dkk;

2006).

7

Page 8: Mimisan_1208505055

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior

dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach

atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal

dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.

Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga

sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.

8

Page 9: Mimisan_1208505055

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Patofisiologi Mimisan (Epistaksis)

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan

lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media

menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial

sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut

memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika

media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang

yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis

memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah

ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Munir, 2006).

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu

(Munir, 2006) :

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada

anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini

bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari

beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero

superior vestibulum nasi.

Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.

Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan

dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi

dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya

dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

9

Page 10: Mimisan_1208505055

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri

etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan

sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang

mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai

bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis

eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah

untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua

pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis.

Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa

menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau

pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini

merupakan objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi

epistaksis yang tersering (Suspolita, 2009).

Semua pendarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung

yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai

luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan.

3.2 Etiologi Mimisan (Epistaksis)

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput

mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah

Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi

bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah

yang kaya anastomosis.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau

kelainan sistemik (Ichsan, 2001).

10

Page 11: Mimisan_1208505055

1. Lokal

a. Trauma

Sebagian besar epistaksis berasal dari bagian anterior hidung

sepanjang septum. Pada prang dewasa muda, penyebabnya biasanya trauma

jari (Michael,dkk; 1998). Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma

biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung,

trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas

yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan

epistaksis. Trauma, termasuk mengorek hidung dan benda asing, adalah

penyebab yang paling sering (Behrman, dkk; 2000). Epistaksis dapat terjadi

setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin,

mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan

lalulintas.

b. Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma

spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma

spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.

Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma

dan angiofibroma.

c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan

intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah,

Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan

epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah

perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic

11

Page 12: Mimisan_1208505055

telangiectasia/Osler’s disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di

wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh

darah paru.

e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.

Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi

predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila

mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan

yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang

keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital.

Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum

dan kemudian perdarahan.

f. Pengaruh lingkungan

Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah

atau lingkungan udaranya sangat kering.

2. Sistemik

a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.

b. Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan

epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan

prognosisnya tidak baik.

c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili,

demam tifoid.

d. Gangguan endokrin

Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi

epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan

persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.

12

Page 13: Mimisan_1208505055

Seringkali pada keluarganya ada riwayat epistaksis di masa kanak-kanak

dan kerentanan bertambah saat infeksi pernapasan dan pada musim dingin ketika

udara kering mengiritasi mukosa hidung, mengakibatkan pembentukan fisura dan

kerak. Perdarahan berat dapat ditemukan pada kelainan vaskuler kongenital

seperti telangiektasia atau varises, dan pada anak dengan trombositopenia,

defisiensi faktor-faktor penjendalan, hipertensi, gagal ginjal, atau kongesti vena.

anak wanita di masa remaja dapat menderita epistaksis pada saat menarche

(Behrman, dkk; 2000).

Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab

epistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang

dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering

kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan

menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik

pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis.

(Munir, 2006).

3.3 Gejala Klinis

Epistaksis biasanya terjadi tanpa peringatan, dengan adanya darah yang

mengalir lambat, namun bebas, dari satu lubang hidung atau kadang-kadang dari

keduanya. Pada anak dengan lesi hidung, perdarahan dapat terjadi setelah

olahraga. Bila perdarahan terjadi pada malam hari, darah dapat tertelan dan dapat

menjadi nyata bila anak muntah atau bila daah keluar bersama tinja. Biasanya,

sumber perdarahan adalah pleksus vaskuler pada sekat anterior (pleksus

Kiesselbach) atau mukosa bagian turbinasi anterior (Behrman, dkk; 2000).

Gejala umum yang timbul diantaranya

Darah menetes atau mengalir dari lubang hidung depan atau belakang.

Muntah darah bila banyak darah tertelan.

Bisa spontan.

Bisa akibat trauma.

13

Page 14: Mimisan_1208505055

Bila perdarahan berlanjut penderita menjadi lemah, pucat, anemis.

Penderita jatuh syok, nadi cepat, lemah, tekanan darah turun.

3.4 Pengobatan Tradisional Mimisan (Epistaksis)

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tujuan

pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang

penting adalah:

1. Riwayat perdarahan sebelumnya.

2. Lokasi perdarahan.

3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau

keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

6. Hipertensi

7. Diabetes melitus

8. Penyakit hati

9. Gangguan koagulasi

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan

akut atau tidak.

14

Page 15: Mimisan_1208505055

Mimisan bisa diobati secara tradisional dengan menggunakan beberapa

jenis tumbuhan obatn antara lain pegagan, daun sirih, alang-alang, teratai, dan

lainnya.

1. Pegagan

Pegagan (latin: Centella Asiatica) merupakan tanaman yang berkhasiat

bagi otak. Tanaman ini biasa tumbuh dikebun, ladang, pematang sawah

atau ditepi jalan. Tanaman ini bagus untuk dikonsumsi sehari-hari. Sebagai

pengganti ginko biloba yang terdapat dalam suplemen sintetis.

Sudah sejak dahulu pegagan telah digunakan untuk obat, seperti obat

kulit, gangguan saraf dan memperbaiki peredaran darah. Tanaman ini

berasal dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia, India, Republik Rakyat Cina, Jepang dan Australia kemudian

menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk

tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda dan antanan.

Gambar 3.1 Tanaman Pegagan

Bahan yang dibutuhkan adalah daun tanaman pegagan segar 60 gram.

Cara membuatnya yaitu, cuci bersih pegagan dan rebus dengan air 400cc

hingga mendidih dan sisa setengahnya. Minum air rebusannya selagi

hangat, minum 2 kali sehari.

15

Page 16: Mimisan_1208505055

2. Alang-Alang

Alang-alang (Imperata cylindrica (L.)) Tanaman semak, menahun,

tingginya 1-1,5m. Batang lunak, bulat, pendek, beruas-ruas, berwarna putih

keunguan, pada tiap buku terdapat rambut berwarna putih. Daun tunggal

berbentuk lanset, tepi rata, ujung meruncing, pangkal menyempit, panjang

kurang lebih 1m, lebar kurang lebih 1,5cm, berwarna putih. Akar serabut

berwarna putih kotor.

Gambar 3.2 Tanaman Alang-alang

Bahan yang diperlukan adalah akar alang-alang sebanyak 60 gram.

Cara membuatnya: akar alang-alang direbus dengan air 400cc sampai

tersisa 200cc. Airnya diminum selagi hangat, Lakukan 2 kali sehari secara

teratur hingga aliran keluar dari hidung berhenti.

3. Teratai

Teratai (Nelumbium nelumbo Druce) adalah tanaman air yang tumbuh

tegak. Rimpang tebal bersisik, tumbuh menjalar. Daun dan bunga keluar

langsung dari rimpangnya yang terikat pada lumpur di dasar kolam.

Helaian daun lebar dan bulat, disangga oleh tangkai yang panjang dan bulat

berdiameter 0,5-1 cm, panjangnya 75-150 cm. Daun menyembul ke atas

permukaan air, menjulang tegak seperti perisai. Permukaan daun berlilin;

warnanya hijau keputihan, tepi rata, bagian tengah agak mencekung, tulang

16

Page 17: Mimisan_1208505055

daun tersebar dari pusat daun ke arah tepi, diameter 30-50 cm. Bunganya

harum, tumbuh menjulang di atas permukaan air dengan tangkai bulat

panjang dan kokoh, panjang tangkai bunga 75-200 cm.

Gambar 3.3 Tanaman Teratai

Bahan yang diperlukan adalah akar teratai sebanyak 200 gram. Cara

membuatnya yaitu dengan mencuci bersih akar teratai, tumbuk halus dan

teteskan airnya kedalam hidung sebanyak 2-3 tetes, dan minum sisanya

4. Daun Sirih

Sirih merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan bersandar

pada tanaman lain. Tinggi atau panjangtanaman ini 5-15 m tergantung

pertumbuhan dan tempat rambatnya. Batang tanaman sirih berwarna hijau

kecoklatan. Daunnya pipih, bentuknya menyerupai jantung dengantangkai

daun agak panjang. Warna daunnya kekuningan, hijau tua, atau hitam.

Gambar 3.4 Tanaman Sirih

17

Page 18: Mimisan_1208505055

Bahan yang diperlukan adalah daun sirih sebanyak 1 lembar. Cara

membuatnya adalah dengan mencuci bersih daun sirih yang muda,

kemudian remas hingga keluar minyak, gunakan untuk menyumbat hidung

pada saat terjadi mimisan. Selain itu bisa juga dengan cara digulung dan

ditekan-tekan agar keluar minyaknya. Gunakan gululngan daun sirih untuk

mnyumbat hidung yang mengalami mimisan sampai darah berhenti

mengalir.

18

Page 19: Mimisan_1208505055

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uaraian pembahasan tersebut, dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Patofisiologi mimisan (epistaksis) yaitu perdarahan hidung berasal dari

arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior

dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung.

2. Faktor etiologi mimisan (epistaksis) terbagi menjadi dua yaitu etiologi

lokal (yang meliputi trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital)

dan sistemik (yang berhubungan dengan kelainan atau gangguan lain

yang diderita).

3. Pengobatan mimisan (epistaksis) secara tradisional dapat dilakukan

dengan mengolah tanaman obat (seperti alang-alang, pegagan, sirih,

teratai) ataupun memanfaatkannya secara langsung.

19

Page 20: Mimisan_1208505055

DAFTAR PUSTAKA

Ichsan, Mohammad. 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 hal. 43-46.

Eliastasm, Michael; dkk. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis E/5 (alih bahasa oleh Hunardja Santasa). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 E/15. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC

Baughman, Diane C dan JoAnn C Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah

(alih bahasa oleh Yasmin Asih). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG

Sa’adah, Sumiati. Mengenal Tanaman yang Berkhasiat Obat. Jakarta : Azka Press

Redaksi Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta : Agromdia

Pustaka

Winarto, W.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia, Untuk Pengobat Herbal, Jilid 1. Jakarta : Karyasari Herba Media.

Suspolita, Dewi;dkk. 2009. Tinjauan Pustaka Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Munir, Delfitri; dkk. 2006. Epistaksis. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39/No.3 hal. 274-278

20