mikrohbiologih

29
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bawang merah ( Alllium ascalonicum L ) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk konsumsi segar maupun konsumsi olahan sehingga luas pertanamannya semakin bertambah keseluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke mancanegara. Dalam rangka peningkatan produksi bawang merah berbagai kendala dihadapi, salah satunya adalah gangguan oleh organisme penggangggu tanaman atau OPT, baik yang berupa serangga hama maupun jamur, bakteri dan nematoda. Salah satu patogen yang menyerang bawang merah adalah jamur Fusarium oxysporum yang menyebabkan penyakit layu. Jamur tersebut dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida, namun penggunaan pestisida dalam waktu yang lama dapat berakibat pada tanah yang tercemar bahan kimia dari pestisida. Oleh sebab itu, diperlukan organisme antagonis yang dapat menghambat serangan jamur layu tersebut. Jurnal yang kami angkat untuk dibahas kali ini dengan pertanyaan bagaimana peranan jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Dan penelitian dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman bawang merah 1

Upload: rizky-rahmawati

Post on 28-Dec-2015

54 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

MIKRO

TRANSCRIPT

Page 1: MIKROHBIOLOGIH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bawang merah ( Alllium ascalonicum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang

banyak dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk konsumsi segar maupun konsumsi olahan

sehingga luas pertanamannya semakin bertambah keseluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke

mancanegara.

Dalam rangka peningkatan produksi bawang merah berbagai kendala dihadapi, salah

satunya adalah gangguan oleh organisme penggangggu tanaman atau OPT, baik yang berupa

serangga hama maupun jamur, bakteri dan nematoda. Salah satu patogen yang menyerang

bawang merah adalah jamur Fusarium oxysporum yang menyebabkan penyakit layu. Jamur

tersebut dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida, namun penggunaan pestisida dalam

waktu yang lama dapat berakibat pada tanah yang tercemar bahan kimia dari pestisida. Oleh

sebab itu, diperlukan organisme antagonis yang dapat menghambat serangan jamur layu tersebut.

Jurnal yang kami angkat untuk dibahas kali ini dengan pertanyaan bagaimana peranan

jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu

(Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Dan penelitian

dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan

Gliocladium sp. dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman bawang merah

Maka untuk lebih memahami pengaruh jamur antagonis Trichoderma sp. dan

Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman

bawang merah (Allium ascalonicum L.), telah dilakukan studi litelatur yang hasilnya dituangkan

dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah :

Bagaimana peranan dan efektivitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium

sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah

(Allium ascalonicum L.).

1

Page 2: MIKROHBIOLOGIH

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan dan efektivitas

jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu

(Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.)

2

Page 3: MIKROHBIOLOGIH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bawang Merah

Tanaman bawang merah termasuk tanaman berumbi, memiliki biji tunggal dan memiliki

cirri akar serabut. Tanaman bawang merah tergolong ke dalam genus Allium dan memiliki lebih

dari 500 spesies dan salah satunya memiliki nama latin Allium ascalonium L. Berikut ini

taksonomi tanaman bawang merah:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Lilialaes (Liliflorae)

Famili : Liliales

Genus : Allium

Species : Allium ascalonicum L.

Bawang merah berdaun silindris seperti pipa memiliki batang sejati yang disebut

“diskus” yang bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran

dan tunas perakaran serta mata tunas (titik tumbuh). Pangkal daun bersatu membentuk batang

semu. Batang semu yang berada didalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi

umbi lapis atau bulbus.Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan yang

bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan

dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang didalamnya. Tangkai

tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm.

Setelah tepung sari matang, tangkai tandan bunga akan berhenti memanjang.

Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat 5-6 helai

benang sari dan kepala putik. Daun bunga berwarna putih dan bakal buah duduk di atas

membentuk bangun segitiga sehingga kelihatan seperti kubah. Bakal buah sebenarnya terbentuk

dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang

tersebut terdapat 2 calon biji.Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih.

Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.

3

Page 4: MIKROHBIOLOGIH

Gambar 1. Morfologi bunga bawang merah

Bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat. Selain itu, bawang

merah juga mengandung kalsium dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur

tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Kegunaan lain bawang merah adalah sebagai

obat tradisional, bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung efek antiseptik dan

senyawa alliin. Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat,

amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida.

Umumnya bawang merah didataran rendah memiliki umur hingg 60-80 hari setelah

tanam (HST). Sedangkan untuk bawang merah yang ditanam didataran tinggi memiliki umur

yang lebih lama yaitu 90-110 HST.

2.2. Penyakit Layu Fusarium

Penyakit layu Fusarium disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum. Di daerah Jawa

penyakit ini disebut dengan moler (oler). Fusarium oxysporum menyebar cepat dan menginfeksi

pucuk tanaman sehingga mengakibatkan layunya daun-daun yang kemudian perlahan-lahan

menghitam dan membusuk.

Penyakit ini ditularkan melalui umbi bibit, udara, tanah, dan air. Terdapat kemungkinan

tanaman bawang merah tersebut terinfeksi jamur Fusarium oxysporum melalui air, tanah, atau

akibat kebiasaan petani yang mencabut dan membuang tanaman terserang di pematang sawah,

jalan tengah areal, jalan raya, atau bahkan dibuang di saluran irigasi. Kebiasaan-kebiasaan ini

4

Page 5: MIKROHBIOLOGIH

akan menjadi sumber serangan baru bagi pertanaman di sekitarnya karena tanaman bawang

merah yang terserang penyakit tidak dimusnahkan dengan cara dibakar.

Gejala awal serangan penyakit ditandai dengan daun menguning dan terpelintir,

selanjutnya menjadi layu. Tanaman mudah dicabut, karena pertumbuhn akar tertanggu

(membusuk). Jika infeksi penyakit melalui bibit, gejala serangannya mulai tampak pada umur 7-

14 hari setelah tanam (HST). Sedangkan jika infeksi penyakit melalui tanah, gejala serangan

mulai tampaj pada umur lebih dari 30 HST.

Gambar 2. Tanaman bawang yang terserang penyakit layu

Suhu optimum untuk pertumbuhan jamur adalah antara 25-30° C, dengan suhu

maksimum pada atau di bawah 37° C dan minimum di atas 5° C. Suhu titik kematian jamur F.

oxysporum antara 57,5-60° C selama 30 menit dalam tanah. Pada medium agar, pH berkisar

antara 2,2-9,0 dengan pH optimum7,7. Potensi air minimum antara -125 dan -155 bar. Sumber C

yang bagus untuk pensporaannya termasuk pati dan manitol. Pensporaan optimum jamur

disarankan terjadi pada suhu 20-25° C selama 12:12 jam pergantian antara terang dan gelap.

Pembentukan makrokonidium dipacu oleh lampu merkuri dan medium mengandung sukrosa.

Laju respirasi dan pertumbuhan jamur yang meningkat terjadi pada glukosa dan galaktosa

sedangkan peningkatan pengambilan oksigen pada L-prolin dan asam L-sisteat.

Pengendalian penyakit layu ini dapt dilakukan dengan system Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) sebagai berikut:

1. Kultur teknis:

a. Penggunan benih sehat

b. Perbaikan system pengairan (drainase)

5

Page 6: MIKROHBIOLOGIH

c. Eradikasi selektif terhadap tanaman yang terserang, yaitu dengan mencabut dan

memusnahkannya agar serangannya tidak meluas

d. Menghindari pelukaan umbi pada saat tanam atau saat panen

2. Hayati:

Aplikasi agens hayati Trichoderma sp. Atau Gliocladium sp. dalam kompos, yang

diberikan dalam lubang tanam pada saat penanaman.

3. Kimiawi:

Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak mampu menekan serangan penyakit,

dapat digunakan fungisida yang efektif untuk jamur Fusarium sp., terdaftar dan diizinkan

Menteri Pertanian, antara lain yang berbahan aktif benomil 50%. Untuk mendukung

keberhasilan usaha pengendalian, diperlukan peran aktif para petani dalam mengamati

perkembangan penyakit mulai dari penyiapan lahan sampai pertanaman agar diketahui

lebih dini timbulnya gejala penyakit.

2.3. Fusarium oxysporum

Genus Fusarium adalah salah satu genus jamur yang sangat penting secara ekonomi dan

merupakan spesies patogenik yang menyebabkan penyakit layu pada berbagai tanaman. Banyak

spesies fusarium yang berada dalam tanah bertahan sebagai klamidospora atau sebagai hipa pada

sisa tanaman dan bahan organik lain.

Menurut Agrios (1996) klasifikasi jamur ini adalah sebagai berikut :

Divisi : Mycota

Subdivisi : Deuteromycotina

Kelas : Hyphomycetes

Ordo : Hypales

Famili : Tuberculariaceae

Genus : Fusarium

Species : Fusarium oxysporum

Morfologi F. oxysporum, yaitu koloninya tumbuh dengan cepat, mencapai diameter 4,5 (-

6,5) cm dalam waktu empat hari pada suhu 25° C. Miselium permukaan jarang sampai

berlimpah, berwarna putih atau krem muda, tetapi biasanya dengan warna ungu, lebih kuat pada

6

Page 7: MIKROHBIOLOGIH

permukaan agar stroma. Beberapa isolat mempunyai ciri bau aroma seperti bunga bungur,

beberapa menghasilkan sporodokium dengan lendir oranye dari makrokonidiumnya.

Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti

beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat

permukaan medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Koloni berwarna putih

kekuningan hingga keunguan (Gambar 3.).

Gambar. 3 Koloni F. oxysporm berwarna putih

Konidiofor dapat bercabang dapat tidak dan membawa monofialid (Gambar 4b).

Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral, pada fialid yang sederhana, atau terbentuk

pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek. Umumnya terdapat dalam jumlah

banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran. Berbentuk ovoid-elips sampai silindris,

lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0) x (2,2-3,5) µm (Gambar 4a).

a

b

Gambar. 4. Fusarium oxysporum f.sp passiflora (a. mikrokonidia, b. konidiofor )

Makrokonidia jarang terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat

pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit

7

Page 8: MIKROHBIOLOGIH

membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya

bersepta 3, dan berukuran (20)27-46(50) x 3,0-4,5(5) µm. Khlamidospora terdapat dalam hifa

atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semibulat

dengan diameter 5,0-15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal.

F. oxysporum merupakan jamur yang mampu bertahan lama dalam tanah sebagai

klamidospora, yang terdapat banyak dalam akar sakit. Jamur mengadakan infeksi melalui akar.

Adanya luka pada akar akan meningkatkan infeksi. Setelah masuk ke dalam akar, jamur

berkembang sepanjang akar menuju ke batang dan di sini jamur berkembang secara meluas

dalam jaringan pembuluh sebelum masuk ke dalam batang palsu. Pada tingkat infeksi lanjut,

miselium dapat meluas dari jaringan pembuluh ke parenkim. Jamur membentuk banyak spora

dalam jaringan tanaman.

2.4. Gliocladium sp.

Gliocladium sp. merupakan salah satu cendawan musuh alami yang memiliki harapan

besar untuk dijadikan alternatif pengendalian patogen terbawa tanah.

Menurut Alexopoulus dan Mims (1999), Gliocladium sp. diklasifikasikan sebagai

berikut:

Divisi : Amastigomycota

Subdivisi : Deuteromycotina

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Hypocreales

Famili : Hypocreaceae

Genus : Gliocladium

Species : Gliocladium sp.

Koloni tumbuh sangat cepat dan mencapai diameter 5-8 cm dalam waktu lima hari pada

suhu 20° C di medium PDA. Fialidanya seperti tertekan dan memunculkan satu tetes besar

konidium berwarna hijau, yang membentuk massa lendir, pada setiap gulungan (Gambar 5).

Konidiumnya berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar, dan kebanyakan

berukuran (4,5-6) x (3,5-4) µm.

8

Page 9: MIKROHBIOLOGIH

a

Gambar 5.a. konidia, b. phialid, c. konidiofor.

Gliocladium sp. merupakan jamur tanah yang umum dan tersebar di berbagai jenis tanah,

misalnya tanah hutan, dan pada beragam rizosfer tanaman. Pertumbuhan optimum jamur

antagonis terjadi pada suhu 25-32° C. Jamur parasit nekrotof ini mampu tumbuh baik sebagai

pesaing saprotof dari jamur lainnya.

Jamur sangat toleran terhadap CO2. Pada medium yang mengandung NaCl 5%, jamur

tampak mengalami penurunan pertumbuhan dan pensporaan. Kebutuhan nutrisi dari jamur

antagonis nekrotof tidak berbeda dengan jamur saprotof. Pada stadium awal infeksi mikoparasit,

tampak terjadi perubahan kelenturan plasmalema haustorium inang, yang memampukan glukosa

dan nutrisi lain diserap dari sitoplasma inang. Jamur antagonis ini tidak berpengaruh

antagonisme terhadap jamur mikoriza asbuskular.

Pada pengendalian hayati, perkecambahan konidia atau klamidospora akan

memudahkan agensia hayati seperti Gliocladium sp. untuk menyerang miselium F. oxysporum.

Gliocladium sp. juga dapat menghambat penyebab penyakit lainnya seperti Rhizoctonia spp.,

Phytium spp., Sclerotium rolsfii penyebab damping off dan penyebab penyakit akar, diduga

enzimnya beta glucanase. Gliocladium sp. mampu menekan Sclerotium rolsfii sampai 85%

secara in-vitro. Gliocladium sp. dapat mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin

yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin

dapat menghambat cendawan. Gliocladium sp. dapat tumbuh baik pada substrat organik, media

kering, dan kondisi asam sampai sedikit basa.

9

Page 10: MIKROHBIOLOGIH

Konidia Gliocladium sp. yang diaplikasikan ke tanah, akan tumbuh dan konidianya

berkecambah di sekitar perakaran tanaman. Laju pertumbuhan cepat akibat rangsangan jamur

patogen dalam waktu yang singkat sekitar 7 hari di daerah perakaran tanaman. Gliocladium spp

yang bersifat mikoparasit akan menekan populasi jamur patogen yang sebelumnya mendominasi.

Interaksi diawali dengan melilitkan hifanya pada jamur patogen yang akan membentuk struktur

seperti kait yang disebut haustorium dan memarasit jamur patogen. Bersamaan dengan

penusukan hifa, jamur mikoparasit ini mengeluarkan enzim seperti enzim kutinase dan β-1-3

glukanase yang akan menghancurkan dinding sel jamur patogen. Akibatnya, hifa jamur patogen

akan rusak, protoplasmanya keluar dan jamur akan mati. Secara bersamaan pula terjadi

mekanisme antibiosis, keluarnya senyawa anti jamur golongan peptaibol dan senyawa furanon

oleh Gliocladium spp. yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur pathogen.

Kemasan Gliocladium dengan merek GL-21 pertama kali terdaftar sebagai fungisida

pada tahun 1990 oleh WR Grace & Co (Columbia, MD) untuk mengendalikan penyakit

damping-off, terutama yang disebabkan oleh Pythium dan Rhizoctonia sp. Gliocladium sp

memiliki potensi besar sebagai agen pengendalian biologi untuk patogen tanah (Mahar, 2009).

Pengendalian penyakit secara hayati tidak dimaksudkan untuk memusnahkan suatu

patogen dari suatu tempat, tetapi hanya mengurangi jumlah dan kemampuan patogen tersebut

dalam menimbulkan suatu penyakit.

2.4. Trichoderma sp.

Jamur Trichoderma sp. sering digunakan untuk mengendalikan Fusarium oxysporum

(penyebab penyakit busuk batang pada tanaman), Phytophtora sp. (penyebab penyakit busuk

pangkal batang pada tanaman Lada) dan Rigidoporus lignosus ( penyebab penyakit  Jamur akar

putih pada tanaman Karet). Selain itu juga efektif mengendalikan Phytium sp yang merupakan

patogen tular tanah penyebab penyakit rebah kecambah pada kacang-kacangan.

Sifat antagonis jamur Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma sp.

ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini

disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari

biakan yang ditumbuhkan di dalam petri.

10

Page 11: MIKROHBIOLOGIH

Menurut Streets (1980) dalam Tindaon (2008), Trichoderma spp. diklasifikasikan dalam:

Divisi : Amastigomycota

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Moniliales

Famili : Moniliaceae

Genus : Trichoderma

Species : Trichoderma sp.

Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek, berukuran (2,8 - 3,2) x (2,5 - 2,8) µm,

dan berdinding halus (Gambar 6.c). Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari

koloni yang sudah tua, terletak interkalar dan kadang-kadang terminal, umumnya berbentuk

bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida,

yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung

percabangan menjadi bertambah pendek (Gambar 6.b). Fialid tampak langsing dan panjang

terutama pada aspek dari cabang (Gambar 6.a), dan berukuran 18 x 2,5 µm.

Konidium (fialospora) jorong, bersel 1, dalam kelompok-kelompok kecil terminal,

kelompok konidium berwarna hijau biru. Pada umumnya bersifat saprofit dalam tanah, dan

banyak jenisnya yang mempunyai daya antagonistik terhadap jamur-jamur parasit (Semangun,

1998). Koloni jamur pada media agar menyebar, mula-mula berwarna putih kemudian berubah

menjadi hijau. Hifa vegetatif hialin.

Gambar 6. Konidia Trichoderma sp.(a. Phialid, b. Konidiofor, c. Konidia)

Konidium Trichoderma sp. berkecambah pada kelembapan tanah antara -100 sampai -70

bar dan optimum pada kelembapan 30% di tanah. Perkecambahan jamur memerlukan sumber

nutrisi luar dan CO2 pada kondisi miskin nutrisi. Bahkan pada kondisi asam, presentase

perkecambahannya lebih besar bila dibandingkan dengan kondisi netral. Suhu optimum untuk

11

Page 12: MIKROHBIOLOGIH

pertumbuhannya pada kisaran 15 - 35 º C, dengan rerata suhu yang terbaik pada 30-36 º C. Jamur

mempunyai daya hambat tertinggi pada pH 5 - 6,4, sedangkan pH optimumnya antara 3,7 - 4,7

pada tekanan CO2 normal. Jamur antagonis ini mampu menguraikan pati dan selulosa serta

herbisida dialat di dalam tanah meskipun lambat.

Trichoderma sp. adalah mikoparasit yang paling terkenal sebagai satu-satunya agen

pengendali hayati untuk kebanyakan patogen tular tanah. Trichoderma sp mempunyai hifa yang

melilit atau membelit disekeliling atau menyerang hifa beberapa jamur patogen tanaman

kemudian mengambil makanan dari patogen tersebut sehingga hifa patogen menjadi hancur.

Trichoderma sp. dilaporkan menghasilkan antibioka larut dalam air yang belum

teridentifikasi, khususnya yang efektif terhadap Neolentinus lepideus.Senyawa lain yang

dihasilkan oleh Trichoderma sp. terkini dan teridentifikasi adalah 3-(2-hidroksipropil)-4-(2-

heksadenil)-2(5H)-furanon. Senyawa ini adalah senyawa yang dihasilkan dalam jumlah besar

dalam medium tumbuh cair biakan Trichoderma sp, yang memperlihatkan penghambatan

terhadap F. oxsysporum. Pembelitan hifa dari mikoparasit dipermukaan bagian dalam dirangsang

oleh lektin. Pembelitan yang kuat dari mikoparasit ini merupakan tanggapan dari kontak fisik

antara hifa dan pertumbuhan langsung melalui pengaruh bahan kimia.

Mekanisme pengendalian populasi jamur patogen dilakukan melalui interaksi hifa

langsung. Setelah konidia Trichoderma sp diintroduksikan ke tanah, akan tumbuh kecambah

konidianya di sekitar perakaran tanaman. Dengan laju pertumbuhan cepat akibat rangsangan

jamur patogen, dalam waktu yang singkat (sekitar tujuh hari) daerah perakaran tanaman sudah

didominasi oleh biofungsida tersebut yang bersifat mikroparasitik dan akan menekan populasi

jamur patogen yang sebelumnya mendominasi. Interaksi diawali dengan pelilitan hifanya

terhadap jamur patogen yang akan membentuk struktur seperti kait yang disebut haustorium dan

menusuk jamur patogen. Bersamaan dengan penusukan hifa, jamur itu mengeluarkan enzim yang

akan menghancurkan dinding sel jamur patogen, seperti enzim kitinase dan b-1-3-glukanase.

Akibatnya, hifa jamur patogen akan rusak protoplasmanya keluar dan jamur akan mati. Secara

bersamaan juga terjadi mekanisme antibiosis, keluarnya senyawa antifungi golongan peptaibol

dan senyawa furanon oleh Trichoderma sp. yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa

jamur pathogen.

12

Page 13: MIKROHBIOLOGIH

BAB III

PEMBAHASAN

Peran jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan

penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum

L.).

Sebagai salah satu komoditi utama di Indonesia, produksi bawang merah harus terus

ditingkatkan dan terus dikembangkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Bukan tanpa

masalah, Pengembangan bawang merah banyak mengahadapi kendala diantaranya adalah

serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit bawang merah yang harus diwaspadai pada

awal pertumbuhan adalah penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh patogen Fusarium

oxysporum. Menurut laporan petani, layu Fusarium telah menimbulkan kerusakan dan

menurunkan hasil umbi lapis hingga 50%.

Pengendalian telah dilakukan untuk membasmi penyakit layu pada bawang merah, dan

cara pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan pestisida. Namun,

penggunaan Penggunaan pestisida yang berlebih dan dilakukan secara terus menerus dapat

mencemari tanah dan merusak keseimbangan alam. Oleh karena itu dilakukan pengendalian yang

ramah lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis. Diantara jamur antagonis

yang umum digunakan adalah Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Potensi jamur Trichoderma

sp. dan Gliocladium sp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan

penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam

usaha pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Gliocladium sp. dan atau Trichoderma sp. merupakan agens antagonis tumbuhan yang

dapat berperan menekan populasi atau aktivitas patogen tumbuhan. Agens antagonis patogen

tumbuhan adalah patogen yang dapat menimbulkan penyakit. Agens tersebut tidak dapat

mengejar inang yang telah masuk ke dalam tanaman. Efektivitasnya dapat dilihat dengan tidak

berkembangnya penyakit tersebut.

Peran antagonis Gliocladium sp. terhadap patogen tular tanah adalah dengan cara kerja

berupa parasitisme, kompetisi, dan antibiosis. Dilaporkan Gliocladium sp. dapat memproduksi

gliovirin dan viridian yang merupakan antibiotik yang bersifat fungisistik. Gliovirin merupakan

senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen dan bakteri.

13

Page 14: MIKROHBIOLOGIH

Sedangkan Trichoderma sp. dapat menghasilkan enzim kitinase dan B-1.3-glukanase, dengan

proses antagonis parasitisme.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas jamur antagonis Trichoderma

sp. dan Gliocladium sp. dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman bawang merah.

Penelitian yang dilakukan di Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara dengan ketinggian tempat ± 25 meter dpl ini dilakukan dengan bahan-bahan bibit bawang

merah varietas Bima, biakan F. oxysporum, Trichoderma sp., Gliocladium sp. Dengan ketentuan

biakan F. oxysporum dalam media beras sedangkan biakan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.

dalam media jagung.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial. Rancangan

Acak Kelompok (RAK) adalah suatu rancangan acak yang dilakukan dengan mengelompokkan

satuan percobaan ke dalam grup-grup yang homogen yang dinamakan kelompok dan kemudian

menentukan perlakuan secara acak di dalam masing-masing kelompok. Penelitian terdiri dari

delapan perlakuan dengan tiga pengulangan yaitu:

A0 (Kontrol)

A1 (10 g F. oxysporum)

A2 (12 g Trichoderma sp.)

A3 (18 g Trichoderma sp.)

A4 (24 g Trichoderma sp.)

A5 (12 gr Gliocladium sp.)

A6 (18 gr Gliocladium sp.)

A7 (24 gr Gliocladium sp.)

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:

1. Mengisolasi jamur Fusarium oxysporum dari tanaman bawang merah yang terserang penyakit

dengan teknik sterilisasi menggunakan Natrium hipoklorit 1,5% dan air steril sebanyak 3 kali

kemudian ditanam dalam media PDA dan diinkubasi pada suhu kamar untuk diperoleh biakan

jamur Fusarium yang selanjutnya diperbanyak dalam media beras.

2. Mengisolasi jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. berasal dari tanah di sekitar

perakaran tanaman bawang merah yang sehat dan ditaburkan pada PDA sebanyak 0,5 gr lalu

diinkubasi pada suhu kamar untuk selanjutnya di perbanyak pada media jagung.

14

Page 15: MIKROHBIOLOGIH

3. Menanam bawang merah dengan memasukkan umbi bibit yang telah didisinfektan dengan

Natrium hipoklorit ke lubang tanam dalam polibeg yang berisi tanah steril yang seminggu

sebelumnya telah di aplikasikan jamur Trichoderma sp. (106) danGliocladium sp. (106)

dilakukan dengan cara menabur inokulum secara merata di sekitar perakaran. Inokulum yang

telah ditabur kemudian ditutup dengan tanah steril.

4. Inokulum biakan murni Fusarium diinventarisasikan di sekitar perakaran tanaman bawang.

Aplikasi dilakukan seminggu setelah penanaman bibit.

5. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 60-80 hari setelah tanam dengan munculnya

karakteristik siap panen

6. Pengamatan periode inkubasi dilakukan setiap hari setelah aplikasi F. oxysporum dengan cara

mengamati gejala serangan F. oxysporum yang muncul pada setiap perlakuan. Pengamatan

dilakukan untuk mengetahui periode awal munculnya gejala serangan penyakit pada tanaman.

7. Pengamatan keparahan penyakit F. oxysporum dilakukan 4 kali yaitu pada 15, 30, 45, dan 60

harisetelah inokulasi. Tanaman dibongkar dan umbi dicuci bersih dengan air mengalir,

kemudian umbi dipotong secara melintang. Pengamatan terhadap kejadian penyakit dilakukan

15, 30, 45 dan 60 hari setelah inokulasi (hsi) yaitu dengan melihat gejala serangan secara

visual.

Hasil yang didapatkan untuk penelitian pertama yaitu periode inkubasi F. oxysporum

pada tanaman bawang merah ditunjukkan dalam tabel 1:

Tabel 1 : Periode inkubasi F. oxysporum pada tanaman bawang merahPerlakuan Hari Setelah Inokulasi (hsi)

A0 -A1 30A2 60A3 -A4 -A5 45A6 -A7 -

Keterangan : Tanda (-) tidak terdapat gejala serangan F. oxysporum pada tanaman

bawang merah sampai akhir penelitian

15

Page 16: MIKROHBIOLOGIH

Data pengamatan periode inkubasi menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat

terdapat pada perlakuan A1 (hanya diinokulasi dengan F. oxysporum) yaitu 30 hsi, selanjutnya

diikuti dengan A5 (Gliocladium sp. 12 g) yaitu 45 hsi dan A2 (Trichoderma sp. 12 g) yaitu 60

hsi. Sedangkan pada perlakuan A0 (kontrol tanaman sehat), A3 (Trichoderma sp. 18g), A4

(Trichoderma sp. 24g), A6 (Gliocladium sp. 18g), dan A7 (Gliocladium sp. 24g) tidak

menunjukkan gejala sampai akhir penelitian. Nur & Ismiyati (2007) melaporkan waktu aplikasi

Trichoderma sp. maupun Gliocladium sp. 7 hari sebelum tanam berpengaruh pada

pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini disebabkan pertumbuhan Trichoderma sp. dan

Gliocladium sp. yang telah optimal di dalam tanah sehingga mempersulit pertumbuhan F.

oxysporum yang diaplikasikan 7 hari setelah penanaman bibit, sehingga dapat meningkatkan

perkembangan dan pertumbuhan tanaman bawang merah.

Hasil penelitian kedua mengenai data keparahan penyakit F. oxysporum berdasarkan

analisis sidik ragam pada tanaman bawang merah dari 15-60 hst dapat di lihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Keparahan penyakit (%) F. oxysporum pada tanaman bawang merahPERLAKUAN 15 hsi 30 hsi 45 his 60 hsi

A0 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A1 0,00(0,71) 2,08(1,34) 6,25 A(2,60) 6,25 A(2,60)A2 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 2,08 B(1,34)A3 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A4 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A5 0,00(0,71) 0,00(0,71) 2,08 B(1,34) 2,08 B(1,34)A6 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A7 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)

Keterangan: Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan. (Angka

di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa keparahan penyakit baru terlihat pada 30 hsi yaitu

pada perlakuan A1 (Kontrol hanya diinokulasi dengan F. oxysporum) yaitu sebesar 2,08%

kemudian meningkat pada 45 hsi sebesar 6,25% tetapi tidak ada peningkatan keparahan penyakit

16

Page 17: MIKROHBIOLOGIH

pada 60 hsi. Pada perlakuan A5 (Gliocladium sp. 12 g) terlihat pada 45 hsi yaitu sebesar 2,08%

dilanjutkan dengan perlakuan A2 (Trichoderma sp. 12 g) pada 60 hsi sebesar 2,08%. Keparahan

penyakit F. oxysporum pada ketiga perlakuan di atas ketika dilakukan pembongkaran terdapat

pada skala 1. Sedangkan pada perlakuan A0, A3, A4, A6 dan A7 tidak terdapat gejala.

Tingginya keparahan penyakit F. oxysporum pada perlakuan A1 disebabkan pada

perlakuan ini tidak disertakan jamur antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan dan

perkembangan patogen. Sehingga kemungkinan terserang penyakit lebih besar dibanding dengan

perlakuan yang menggunakan jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Well (1988)

mengemukaka Trichoderma sp. merupakan antagonis yang potensial. Menurut Winarsih

(2007) bahwa Gliocladium sp. dapat mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin

yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin

dapat menghambat cendawan.

Hasil penelitian ketiga mengenai analisa sidik ragam kejadian penyakit F. oxysporum

pada tanaman bawang merah dapat dilihat pada Tabel 3. Berikut ini :

Tabel 3: Kejadian penyakit (%) F. oxysporum pada tanaman bawang merah

PERLAKUAN 15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsiA0 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A1 0,00(0,71) 8,33(2,15) 25,00 A(5,01) 25,00 A(5,01)A2 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 8,33 B(2,15)A3 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A4 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A5 0,00(0,71) 0,00(0,71) 8,33 B(2,15) 8,33 B(2,15)A6 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A7 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.

(Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).

Dari analisa sidik ragam (Tabel 3) dapat dilihat pada 15 hsi belum ditemukan gejala layu

17

Page 18: MIKROHBIOLOGIH

Fusarium pada semua perlakuan. Gejala baru terlihat pada 30 hsi yaitu pada perlakuan A1

(kontrol hanya diinokulasi dengan F. oxysporum), dilanjutkan pada perlakuan A5 (Gliocladium

sp. 12 g) pada 45 hsi dan A2 (Trichoderma sp. 12 g) pada 60 hsi. Sedangkan pada perlakuan A0

(Kontrol tanaman sehat), A3 (Trichoderma sp. 18 g), A4 (Trichoderma sp. 24 g), A6

(Gliocladium sp. 18 g) dan A7 (Gliocladium sp. 24 g) tidak ditemukan gejala hingga akhir

penelitian. Pada Kejadian Penyakit pada perlakuan A1 pada 30 hsi sebesar 8,33%. Kejadian

Penyakit meningkat menjadi 25% pada 45 hsi dan 60 hsi. Hal ini terjadi karena A1 tidak

diberikan agens antagonis yang dapat melindungi tanaman dari serangan patogen serta

menghambat pertumbuhan dan perkembangan F. oxysporum. Menurut Cook & Baker salah satu

syarat organism dikatakan sebagai agen hayati adalah mempunyai kemampuan antagonisme

yaitu kemampuan menghambat perkembangan atau pertumbuhan organisme lainnya.

Dari Tabel 3 dapat dilihat pemberian Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. masing-

masing sebanyak 12 gr/polibeg (A2 dan A5) masih terdapat tanaman bawang merah yang

menunjukkan gejala layu. Pada perlakuan pemberian 12 gr Trichoderma sp. (A2) gejala layu

baru terlihat pada 60 hsi yaitu sebesar 8,33%. Sedangkan pemberian Gliocladium sp. (A5) gejala

layu sudah terlihat pada 45 hsi yaitu sebesar 8,33%. Kejadian Penyakit tidak meningkat hingga

60 hsi. Sebaliknya pemberian 18 dan 24 gr Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. tidak

menyebabkan gejala layu hingga akhir penelitian. Hasil ini menunjukkan perbedaan dosis jamur

antagonis yang diberikan ke tanaman dapat mempengaruhi kejadian penyakit F. oxysporum.

Menurut Purwantisari & Hastuti (2009) Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan jamur

antagonis yang sangat penting untuk pengendalian hayati. Selain memiliki mekanisme

pengendalian yang spesifik target jamur juga dapat mengkoloni rizosfer dengan cepat dan

melindungi akar dari serangan jamur patogen.

BAB IV

18

Page 19: MIKROHBIOLOGIH

PENUTUP

4.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan dan efektivitas jamur

antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium

oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) benar-benar berpengaruh

dengan didapatkannya hasil bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada tanaman yang hanya

dinokulsi dengan F. oxysporum (A1) yaitu 30 hsi dan terlama pada tanaman yang diberi 12 g

Trichoderma sp. yaitu 60 hsi. Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.

dengan dosis 24g/polibeg dapat menekan kejadian dan keparahan penyakit F. oxysporum pada

tanaman bawang merah. Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp dapat

membantu pada pertumbuhan, jumlah daun dan tinggi tanaman bawang merah lebih baik

dibandingkan yang tidak diberi kedua jamur ini. Penggunaan 18 g Trichoderma sp., 24 g

Trichoderma sp., 18 g Gliocladium sp., dan 24 g Gliocladium sp. dapat menekan pertumbuhan

dan perkembangan Fusarium oxysporumnpada tanaman bawang merah.

Penggunaan kedua jamur antagonis tersebut juga memiliki keunggulan debagai fungisida

alami dibandingkan menggunakan pestisida, yaitu:

1. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada

aliran air.

2. Aman bagi manusia dan hewan piaraan.

3. Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman.

4. Sangat sesuai digunakan sebagai komponen pertanian organik sebagai pestisida yang

dicampur dengan pupuk.

5. Mudah diproduksi dengan teknik sederhana.

4.2. Saran

Karena pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp tidak dapat

mengejar inang yang telah masuk ke dalam tubuh tanaman, maka penggunaan Gliocladium

sp. dan atau Trichoderma harsianum. Akan lebih efektif mengendalikan patogen tanaman jika

diberikan pada awal tanam.

19