mikrohbiologih
DESCRIPTION
MIKROTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bawang merah ( Alllium ascalonicum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang
banyak dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk konsumsi segar maupun konsumsi olahan
sehingga luas pertanamannya semakin bertambah keseluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke
mancanegara.
Dalam rangka peningkatan produksi bawang merah berbagai kendala dihadapi, salah
satunya adalah gangguan oleh organisme penggangggu tanaman atau OPT, baik yang berupa
serangga hama maupun jamur, bakteri dan nematoda. Salah satu patogen yang menyerang
bawang merah adalah jamur Fusarium oxysporum yang menyebabkan penyakit layu. Jamur
tersebut dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida, namun penggunaan pestisida dalam
waktu yang lama dapat berakibat pada tanah yang tercemar bahan kimia dari pestisida. Oleh
sebab itu, diperlukan organisme antagonis yang dapat menghambat serangan jamur layu tersebut.
Jurnal yang kami angkat untuk dibahas kali ini dengan pertanyaan bagaimana peranan
jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu
(Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Dan penelitian
dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman bawang merah
Maka untuk lebih memahami pengaruh jamur antagonis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman
bawang merah (Allium ascalonicum L.), telah dilakukan studi litelatur yang hasilnya dituangkan
dalam makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
Bagaimana peranan dan efektivitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah
(Allium ascalonicum L.).
1
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan dan efektivitas
jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu
(Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bawang Merah
Tanaman bawang merah termasuk tanaman berumbi, memiliki biji tunggal dan memiliki
cirri akar serabut. Tanaman bawang merah tergolong ke dalam genus Allium dan memiliki lebih
dari 500 spesies dan salah satunya memiliki nama latin Allium ascalonium L. Berikut ini
taksonomi tanaman bawang merah:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Lilialaes (Liliflorae)
Famili : Liliales
Genus : Allium
Species : Allium ascalonicum L.
Bawang merah berdaun silindris seperti pipa memiliki batang sejati yang disebut
“diskus” yang bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran
dan tunas perakaran serta mata tunas (titik tumbuh). Pangkal daun bersatu membentuk batang
semu. Batang semu yang berada didalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi
umbi lapis atau bulbus.Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan yang
bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan
dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang didalamnya. Tangkai
tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm.
Setelah tepung sari matang, tangkai tandan bunga akan berhenti memanjang.
Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat 5-6 helai
benang sari dan kepala putik. Daun bunga berwarna putih dan bakal buah duduk di atas
membentuk bangun segitiga sehingga kelihatan seperti kubah. Bakal buah sebenarnya terbentuk
dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang
tersebut terdapat 2 calon biji.Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih.
Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.
3
Gambar 1. Morfologi bunga bawang merah
Bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat. Selain itu, bawang
merah juga mengandung kalsium dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur
tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Kegunaan lain bawang merah adalah sebagai
obat tradisional, bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung efek antiseptik dan
senyawa alliin. Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat,
amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida.
Umumnya bawang merah didataran rendah memiliki umur hingg 60-80 hari setelah
tanam (HST). Sedangkan untuk bawang merah yang ditanam didataran tinggi memiliki umur
yang lebih lama yaitu 90-110 HST.
2.2. Penyakit Layu Fusarium
Penyakit layu Fusarium disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum. Di daerah Jawa
penyakit ini disebut dengan moler (oler). Fusarium oxysporum menyebar cepat dan menginfeksi
pucuk tanaman sehingga mengakibatkan layunya daun-daun yang kemudian perlahan-lahan
menghitam dan membusuk.
Penyakit ini ditularkan melalui umbi bibit, udara, tanah, dan air. Terdapat kemungkinan
tanaman bawang merah tersebut terinfeksi jamur Fusarium oxysporum melalui air, tanah, atau
akibat kebiasaan petani yang mencabut dan membuang tanaman terserang di pematang sawah,
jalan tengah areal, jalan raya, atau bahkan dibuang di saluran irigasi. Kebiasaan-kebiasaan ini
4
akan menjadi sumber serangan baru bagi pertanaman di sekitarnya karena tanaman bawang
merah yang terserang penyakit tidak dimusnahkan dengan cara dibakar.
Gejala awal serangan penyakit ditandai dengan daun menguning dan terpelintir,
selanjutnya menjadi layu. Tanaman mudah dicabut, karena pertumbuhn akar tertanggu
(membusuk). Jika infeksi penyakit melalui bibit, gejala serangannya mulai tampak pada umur 7-
14 hari setelah tanam (HST). Sedangkan jika infeksi penyakit melalui tanah, gejala serangan
mulai tampaj pada umur lebih dari 30 HST.
Gambar 2. Tanaman bawang yang terserang penyakit layu
Suhu optimum untuk pertumbuhan jamur adalah antara 25-30° C, dengan suhu
maksimum pada atau di bawah 37° C dan minimum di atas 5° C. Suhu titik kematian jamur F.
oxysporum antara 57,5-60° C selama 30 menit dalam tanah. Pada medium agar, pH berkisar
antara 2,2-9,0 dengan pH optimum7,7. Potensi air minimum antara -125 dan -155 bar. Sumber C
yang bagus untuk pensporaannya termasuk pati dan manitol. Pensporaan optimum jamur
disarankan terjadi pada suhu 20-25° C selama 12:12 jam pergantian antara terang dan gelap.
Pembentukan makrokonidium dipacu oleh lampu merkuri dan medium mengandung sukrosa.
Laju respirasi dan pertumbuhan jamur yang meningkat terjadi pada glukosa dan galaktosa
sedangkan peningkatan pengambilan oksigen pada L-prolin dan asam L-sisteat.
Pengendalian penyakit layu ini dapt dilakukan dengan system Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) sebagai berikut:
1. Kultur teknis:
a. Penggunan benih sehat
b. Perbaikan system pengairan (drainase)
5
c. Eradikasi selektif terhadap tanaman yang terserang, yaitu dengan mencabut dan
memusnahkannya agar serangannya tidak meluas
d. Menghindari pelukaan umbi pada saat tanam atau saat panen
2. Hayati:
Aplikasi agens hayati Trichoderma sp. Atau Gliocladium sp. dalam kompos, yang
diberikan dalam lubang tanam pada saat penanaman.
3. Kimiawi:
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak mampu menekan serangan penyakit,
dapat digunakan fungisida yang efektif untuk jamur Fusarium sp., terdaftar dan diizinkan
Menteri Pertanian, antara lain yang berbahan aktif benomil 50%. Untuk mendukung
keberhasilan usaha pengendalian, diperlukan peran aktif para petani dalam mengamati
perkembangan penyakit mulai dari penyiapan lahan sampai pertanaman agar diketahui
lebih dini timbulnya gejala penyakit.
2.3. Fusarium oxysporum
Genus Fusarium adalah salah satu genus jamur yang sangat penting secara ekonomi dan
merupakan spesies patogenik yang menyebabkan penyakit layu pada berbagai tanaman. Banyak
spesies fusarium yang berada dalam tanah bertahan sebagai klamidospora atau sebagai hipa pada
sisa tanaman dan bahan organik lain.
Menurut Agrios (1996) klasifikasi jamur ini adalah sebagai berikut :
Divisi : Mycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Hyphomycetes
Ordo : Hypales
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Species : Fusarium oxysporum
Morfologi F. oxysporum, yaitu koloninya tumbuh dengan cepat, mencapai diameter 4,5 (-
6,5) cm dalam waktu empat hari pada suhu 25° C. Miselium permukaan jarang sampai
berlimpah, berwarna putih atau krem muda, tetapi biasanya dengan warna ungu, lebih kuat pada
6
permukaan agar stroma. Beberapa isolat mempunyai ciri bau aroma seperti bunga bungur,
beberapa menghasilkan sporodokium dengan lendir oranye dari makrokonidiumnya.
Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti
beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat dekat
permukaan medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Koloni berwarna putih
kekuningan hingga keunguan (Gambar 3.).
Gambar. 3 Koloni F. oxysporm berwarna putih
Konidiofor dapat bercabang dapat tidak dan membawa monofialid (Gambar 4b).
Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral, pada fialid yang sederhana, atau terbentuk
pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek. Umumnya terdapat dalam jumlah
banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran. Berbentuk ovoid-elips sampai silindris,
lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0) x (2,2-3,5) µm (Gambar 4a).
a
b
Gambar. 4. Fusarium oxysporum f.sp passiflora (a. mikrokonidia, b. konidiofor )
Makrokonidia jarang terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat
pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit
7
membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya
bersepta 3, dan berukuran (20)27-46(50) x 3,0-4,5(5) µm. Khlamidospora terdapat dalam hifa
atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semibulat
dengan diameter 5,0-15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal.
F. oxysporum merupakan jamur yang mampu bertahan lama dalam tanah sebagai
klamidospora, yang terdapat banyak dalam akar sakit. Jamur mengadakan infeksi melalui akar.
Adanya luka pada akar akan meningkatkan infeksi. Setelah masuk ke dalam akar, jamur
berkembang sepanjang akar menuju ke batang dan di sini jamur berkembang secara meluas
dalam jaringan pembuluh sebelum masuk ke dalam batang palsu. Pada tingkat infeksi lanjut,
miselium dapat meluas dari jaringan pembuluh ke parenkim. Jamur membentuk banyak spora
dalam jaringan tanaman.
2.4. Gliocladium sp.
Gliocladium sp. merupakan salah satu cendawan musuh alami yang memiliki harapan
besar untuk dijadikan alternatif pengendalian patogen terbawa tanah.
Menurut Alexopoulus dan Mims (1999), Gliocladium sp. diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Hypocreaceae
Genus : Gliocladium
Species : Gliocladium sp.
Koloni tumbuh sangat cepat dan mencapai diameter 5-8 cm dalam waktu lima hari pada
suhu 20° C di medium PDA. Fialidanya seperti tertekan dan memunculkan satu tetes besar
konidium berwarna hijau, yang membentuk massa lendir, pada setiap gulungan (Gambar 5).
Konidiumnya berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar, dan kebanyakan
berukuran (4,5-6) x (3,5-4) µm.
8
a
Gambar 5.a. konidia, b. phialid, c. konidiofor.
Gliocladium sp. merupakan jamur tanah yang umum dan tersebar di berbagai jenis tanah,
misalnya tanah hutan, dan pada beragam rizosfer tanaman. Pertumbuhan optimum jamur
antagonis terjadi pada suhu 25-32° C. Jamur parasit nekrotof ini mampu tumbuh baik sebagai
pesaing saprotof dari jamur lainnya.
Jamur sangat toleran terhadap CO2. Pada medium yang mengandung NaCl 5%, jamur
tampak mengalami penurunan pertumbuhan dan pensporaan. Kebutuhan nutrisi dari jamur
antagonis nekrotof tidak berbeda dengan jamur saprotof. Pada stadium awal infeksi mikoparasit,
tampak terjadi perubahan kelenturan plasmalema haustorium inang, yang memampukan glukosa
dan nutrisi lain diserap dari sitoplasma inang. Jamur antagonis ini tidak berpengaruh
antagonisme terhadap jamur mikoriza asbuskular.
Pada pengendalian hayati, perkecambahan konidia atau klamidospora akan
memudahkan agensia hayati seperti Gliocladium sp. untuk menyerang miselium F. oxysporum.
Gliocladium sp. juga dapat menghambat penyebab penyakit lainnya seperti Rhizoctonia spp.,
Phytium spp., Sclerotium rolsfii penyebab damping off dan penyebab penyakit akar, diduga
enzimnya beta glucanase. Gliocladium sp. mampu menekan Sclerotium rolsfii sampai 85%
secara in-vitro. Gliocladium sp. dapat mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin
yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin
dapat menghambat cendawan. Gliocladium sp. dapat tumbuh baik pada substrat organik, media
kering, dan kondisi asam sampai sedikit basa.
9
Konidia Gliocladium sp. yang diaplikasikan ke tanah, akan tumbuh dan konidianya
berkecambah di sekitar perakaran tanaman. Laju pertumbuhan cepat akibat rangsangan jamur
patogen dalam waktu yang singkat sekitar 7 hari di daerah perakaran tanaman. Gliocladium spp
yang bersifat mikoparasit akan menekan populasi jamur patogen yang sebelumnya mendominasi.
Interaksi diawali dengan melilitkan hifanya pada jamur patogen yang akan membentuk struktur
seperti kait yang disebut haustorium dan memarasit jamur patogen. Bersamaan dengan
penusukan hifa, jamur mikoparasit ini mengeluarkan enzim seperti enzim kutinase dan β-1-3
glukanase yang akan menghancurkan dinding sel jamur patogen. Akibatnya, hifa jamur patogen
akan rusak, protoplasmanya keluar dan jamur akan mati. Secara bersamaan pula terjadi
mekanisme antibiosis, keluarnya senyawa anti jamur golongan peptaibol dan senyawa furanon
oleh Gliocladium spp. yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur pathogen.
Kemasan Gliocladium dengan merek GL-21 pertama kali terdaftar sebagai fungisida
pada tahun 1990 oleh WR Grace & Co (Columbia, MD) untuk mengendalikan penyakit
damping-off, terutama yang disebabkan oleh Pythium dan Rhizoctonia sp. Gliocladium sp
memiliki potensi besar sebagai agen pengendalian biologi untuk patogen tanah (Mahar, 2009).
Pengendalian penyakit secara hayati tidak dimaksudkan untuk memusnahkan suatu
patogen dari suatu tempat, tetapi hanya mengurangi jumlah dan kemampuan patogen tersebut
dalam menimbulkan suatu penyakit.
2.4. Trichoderma sp.
Jamur Trichoderma sp. sering digunakan untuk mengendalikan Fusarium oxysporum
(penyebab penyakit busuk batang pada tanaman), Phytophtora sp. (penyebab penyakit busuk
pangkal batang pada tanaman Lada) dan Rigidoporus lignosus ( penyebab penyakit Jamur akar
putih pada tanaman Karet). Selain itu juga efektif mengendalikan Phytium sp yang merupakan
patogen tular tanah penyebab penyakit rebah kecambah pada kacang-kacangan.
Sifat antagonis jamur Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma sp.
ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari
biakan yang ditumbuhkan di dalam petri.
10
Menurut Streets (1980) dalam Tindaon (2008), Trichoderma spp. diklasifikasikan dalam:
Divisi : Amastigomycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Trichoderma
Species : Trichoderma sp.
Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek, berukuran (2,8 - 3,2) x (2,5 - 2,8) µm,
dan berdinding halus (Gambar 6.c). Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari
koloni yang sudah tua, terletak interkalar dan kadang-kadang terminal, umumnya berbentuk
bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida,
yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung
percabangan menjadi bertambah pendek (Gambar 6.b). Fialid tampak langsing dan panjang
terutama pada aspek dari cabang (Gambar 6.a), dan berukuran 18 x 2,5 µm.
Konidium (fialospora) jorong, bersel 1, dalam kelompok-kelompok kecil terminal,
kelompok konidium berwarna hijau biru. Pada umumnya bersifat saprofit dalam tanah, dan
banyak jenisnya yang mempunyai daya antagonistik terhadap jamur-jamur parasit (Semangun,
1998). Koloni jamur pada media agar menyebar, mula-mula berwarna putih kemudian berubah
menjadi hijau. Hifa vegetatif hialin.
Gambar 6. Konidia Trichoderma sp.(a. Phialid, b. Konidiofor, c. Konidia)
Konidium Trichoderma sp. berkecambah pada kelembapan tanah antara -100 sampai -70
bar dan optimum pada kelembapan 30% di tanah. Perkecambahan jamur memerlukan sumber
nutrisi luar dan CO2 pada kondisi miskin nutrisi. Bahkan pada kondisi asam, presentase
perkecambahannya lebih besar bila dibandingkan dengan kondisi netral. Suhu optimum untuk
11
pertumbuhannya pada kisaran 15 - 35 º C, dengan rerata suhu yang terbaik pada 30-36 º C. Jamur
mempunyai daya hambat tertinggi pada pH 5 - 6,4, sedangkan pH optimumnya antara 3,7 - 4,7
pada tekanan CO2 normal. Jamur antagonis ini mampu menguraikan pati dan selulosa serta
herbisida dialat di dalam tanah meskipun lambat.
Trichoderma sp. adalah mikoparasit yang paling terkenal sebagai satu-satunya agen
pengendali hayati untuk kebanyakan patogen tular tanah. Trichoderma sp mempunyai hifa yang
melilit atau membelit disekeliling atau menyerang hifa beberapa jamur patogen tanaman
kemudian mengambil makanan dari patogen tersebut sehingga hifa patogen menjadi hancur.
Trichoderma sp. dilaporkan menghasilkan antibioka larut dalam air yang belum
teridentifikasi, khususnya yang efektif terhadap Neolentinus lepideus.Senyawa lain yang
dihasilkan oleh Trichoderma sp. terkini dan teridentifikasi adalah 3-(2-hidroksipropil)-4-(2-
heksadenil)-2(5H)-furanon. Senyawa ini adalah senyawa yang dihasilkan dalam jumlah besar
dalam medium tumbuh cair biakan Trichoderma sp, yang memperlihatkan penghambatan
terhadap F. oxsysporum. Pembelitan hifa dari mikoparasit dipermukaan bagian dalam dirangsang
oleh lektin. Pembelitan yang kuat dari mikoparasit ini merupakan tanggapan dari kontak fisik
antara hifa dan pertumbuhan langsung melalui pengaruh bahan kimia.
Mekanisme pengendalian populasi jamur patogen dilakukan melalui interaksi hifa
langsung. Setelah konidia Trichoderma sp diintroduksikan ke tanah, akan tumbuh kecambah
konidianya di sekitar perakaran tanaman. Dengan laju pertumbuhan cepat akibat rangsangan
jamur patogen, dalam waktu yang singkat (sekitar tujuh hari) daerah perakaran tanaman sudah
didominasi oleh biofungsida tersebut yang bersifat mikroparasitik dan akan menekan populasi
jamur patogen yang sebelumnya mendominasi. Interaksi diawali dengan pelilitan hifanya
terhadap jamur patogen yang akan membentuk struktur seperti kait yang disebut haustorium dan
menusuk jamur patogen. Bersamaan dengan penusukan hifa, jamur itu mengeluarkan enzim yang
akan menghancurkan dinding sel jamur patogen, seperti enzim kitinase dan b-1-3-glukanase.
Akibatnya, hifa jamur patogen akan rusak protoplasmanya keluar dan jamur akan mati. Secara
bersamaan juga terjadi mekanisme antibiosis, keluarnya senyawa antifungi golongan peptaibol
dan senyawa furanon oleh Trichoderma sp. yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa
jamur pathogen.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Peran jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan
penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum
L.).
Sebagai salah satu komoditi utama di Indonesia, produksi bawang merah harus terus
ditingkatkan dan terus dikembangkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Bukan tanpa
masalah, Pengembangan bawang merah banyak mengahadapi kendala diantaranya adalah
serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit bawang merah yang harus diwaspadai pada
awal pertumbuhan adalah penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh patogen Fusarium
oxysporum. Menurut laporan petani, layu Fusarium telah menimbulkan kerusakan dan
menurunkan hasil umbi lapis hingga 50%.
Pengendalian telah dilakukan untuk membasmi penyakit layu pada bawang merah, dan
cara pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan pestisida. Namun,
penggunaan Penggunaan pestisida yang berlebih dan dilakukan secara terus menerus dapat
mencemari tanah dan merusak keseimbangan alam. Oleh karena itu dilakukan pengendalian yang
ramah lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis. Diantara jamur antagonis
yang umum digunakan adalah Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Potensi jamur Trichoderma
sp. dan Gliocladium sp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan
penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam
usaha pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Gliocladium sp. dan atau Trichoderma sp. merupakan agens antagonis tumbuhan yang
dapat berperan menekan populasi atau aktivitas patogen tumbuhan. Agens antagonis patogen
tumbuhan adalah patogen yang dapat menimbulkan penyakit. Agens tersebut tidak dapat
mengejar inang yang telah masuk ke dalam tanaman. Efektivitasnya dapat dilihat dengan tidak
berkembangnya penyakit tersebut.
Peran antagonis Gliocladium sp. terhadap patogen tular tanah adalah dengan cara kerja
berupa parasitisme, kompetisi, dan antibiosis. Dilaporkan Gliocladium sp. dapat memproduksi
gliovirin dan viridian yang merupakan antibiotik yang bersifat fungisistik. Gliovirin merupakan
senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen dan bakteri.
13
Sedangkan Trichoderma sp. dapat menghasilkan enzim kitinase dan B-1.3-glukanase, dengan
proses antagonis parasitisme.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas jamur antagonis Trichoderma
sp. dan Gliocladium sp. dalam mengendalikan penyakit layu pada tanaman bawang merah.
Penelitian yang dilakukan di Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara dengan ketinggian tempat ± 25 meter dpl ini dilakukan dengan bahan-bahan bibit bawang
merah varietas Bima, biakan F. oxysporum, Trichoderma sp., Gliocladium sp. Dengan ketentuan
biakan F. oxysporum dalam media beras sedangkan biakan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
dalam media jagung.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial. Rancangan
Acak Kelompok (RAK) adalah suatu rancangan acak yang dilakukan dengan mengelompokkan
satuan percobaan ke dalam grup-grup yang homogen yang dinamakan kelompok dan kemudian
menentukan perlakuan secara acak di dalam masing-masing kelompok. Penelitian terdiri dari
delapan perlakuan dengan tiga pengulangan yaitu:
A0 (Kontrol)
A1 (10 g F. oxysporum)
A2 (12 g Trichoderma sp.)
A3 (18 g Trichoderma sp.)
A4 (24 g Trichoderma sp.)
A5 (12 gr Gliocladium sp.)
A6 (18 gr Gliocladium sp.)
A7 (24 gr Gliocladium sp.)
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1. Mengisolasi jamur Fusarium oxysporum dari tanaman bawang merah yang terserang penyakit
dengan teknik sterilisasi menggunakan Natrium hipoklorit 1,5% dan air steril sebanyak 3 kali
kemudian ditanam dalam media PDA dan diinkubasi pada suhu kamar untuk diperoleh biakan
jamur Fusarium yang selanjutnya diperbanyak dalam media beras.
2. Mengisolasi jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. berasal dari tanah di sekitar
perakaran tanaman bawang merah yang sehat dan ditaburkan pada PDA sebanyak 0,5 gr lalu
diinkubasi pada suhu kamar untuk selanjutnya di perbanyak pada media jagung.
14
3. Menanam bawang merah dengan memasukkan umbi bibit yang telah didisinfektan dengan
Natrium hipoklorit ke lubang tanam dalam polibeg yang berisi tanah steril yang seminggu
sebelumnya telah di aplikasikan jamur Trichoderma sp. (106) danGliocladium sp. (106)
dilakukan dengan cara menabur inokulum secara merata di sekitar perakaran. Inokulum yang
telah ditabur kemudian ditutup dengan tanah steril.
4. Inokulum biakan murni Fusarium diinventarisasikan di sekitar perakaran tanaman bawang.
Aplikasi dilakukan seminggu setelah penanaman bibit.
5. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 60-80 hari setelah tanam dengan munculnya
karakteristik siap panen
6. Pengamatan periode inkubasi dilakukan setiap hari setelah aplikasi F. oxysporum dengan cara
mengamati gejala serangan F. oxysporum yang muncul pada setiap perlakuan. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui periode awal munculnya gejala serangan penyakit pada tanaman.
7. Pengamatan keparahan penyakit F. oxysporum dilakukan 4 kali yaitu pada 15, 30, 45, dan 60
harisetelah inokulasi. Tanaman dibongkar dan umbi dicuci bersih dengan air mengalir,
kemudian umbi dipotong secara melintang. Pengamatan terhadap kejadian penyakit dilakukan
15, 30, 45 dan 60 hari setelah inokulasi (hsi) yaitu dengan melihat gejala serangan secara
visual.
Hasil yang didapatkan untuk penelitian pertama yaitu periode inkubasi F. oxysporum
pada tanaman bawang merah ditunjukkan dalam tabel 1:
Tabel 1 : Periode inkubasi F. oxysporum pada tanaman bawang merahPerlakuan Hari Setelah Inokulasi (hsi)
A0 -A1 30A2 60A3 -A4 -A5 45A6 -A7 -
Keterangan : Tanda (-) tidak terdapat gejala serangan F. oxysporum pada tanaman
bawang merah sampai akhir penelitian
15
Data pengamatan periode inkubasi menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat
terdapat pada perlakuan A1 (hanya diinokulasi dengan F. oxysporum) yaitu 30 hsi, selanjutnya
diikuti dengan A5 (Gliocladium sp. 12 g) yaitu 45 hsi dan A2 (Trichoderma sp. 12 g) yaitu 60
hsi. Sedangkan pada perlakuan A0 (kontrol tanaman sehat), A3 (Trichoderma sp. 18g), A4
(Trichoderma sp. 24g), A6 (Gliocladium sp. 18g), dan A7 (Gliocladium sp. 24g) tidak
menunjukkan gejala sampai akhir penelitian. Nur & Ismiyati (2007) melaporkan waktu aplikasi
Trichoderma sp. maupun Gliocladium sp. 7 hari sebelum tanam berpengaruh pada
pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini disebabkan pertumbuhan Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. yang telah optimal di dalam tanah sehingga mempersulit pertumbuhan F.
oxysporum yang diaplikasikan 7 hari setelah penanaman bibit, sehingga dapat meningkatkan
perkembangan dan pertumbuhan tanaman bawang merah.
Hasil penelitian kedua mengenai data keparahan penyakit F. oxysporum berdasarkan
analisis sidik ragam pada tanaman bawang merah dari 15-60 hst dapat di lihat pada Tabel 2:
Tabel 2. Keparahan penyakit (%) F. oxysporum pada tanaman bawang merahPERLAKUAN 15 hsi 30 hsi 45 his 60 hsi
A0 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A1 0,00(0,71) 2,08(1,34) 6,25 A(2,60) 6,25 A(2,60)A2 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 2,08 B(1,34)A3 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A4 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A5 0,00(0,71) 0,00(0,71) 2,08 B(1,34) 2,08 B(1,34)A6 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A7 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)
Keterangan: Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan. (Angka
di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa keparahan penyakit baru terlihat pada 30 hsi yaitu
pada perlakuan A1 (Kontrol hanya diinokulasi dengan F. oxysporum) yaitu sebesar 2,08%
kemudian meningkat pada 45 hsi sebesar 6,25% tetapi tidak ada peningkatan keparahan penyakit
16
pada 60 hsi. Pada perlakuan A5 (Gliocladium sp. 12 g) terlihat pada 45 hsi yaitu sebesar 2,08%
dilanjutkan dengan perlakuan A2 (Trichoderma sp. 12 g) pada 60 hsi sebesar 2,08%. Keparahan
penyakit F. oxysporum pada ketiga perlakuan di atas ketika dilakukan pembongkaran terdapat
pada skala 1. Sedangkan pada perlakuan A0, A3, A4, A6 dan A7 tidak terdapat gejala.
Tingginya keparahan penyakit F. oxysporum pada perlakuan A1 disebabkan pada
perlakuan ini tidak disertakan jamur antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan patogen. Sehingga kemungkinan terserang penyakit lebih besar dibanding dengan
perlakuan yang menggunakan jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Well (1988)
mengemukaka Trichoderma sp. merupakan antagonis yang potensial. Menurut Winarsih
(2007) bahwa Gliocladium sp. dapat mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin
yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin
dapat menghambat cendawan.
Hasil penelitian ketiga mengenai analisa sidik ragam kejadian penyakit F. oxysporum
pada tanaman bawang merah dapat dilihat pada Tabel 3. Berikut ini :
Tabel 3: Kejadian penyakit (%) F. oxysporum pada tanaman bawang merah
PERLAKUAN 15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsiA0 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A1 0,00(0,71) 8,33(2,15) 25,00 A(5,01) 25,00 A(5,01)A2 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 8,33 B(2,15)A3 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A4 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A5 0,00(0,71) 0,00(0,71) 8,33 B(2,15) 8,33 B(2,15)A6 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)A7 0,00(0,71) 0,00(0,71) 0,00 C(0,71) 0,00 C(0,71)
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
(Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
Dari analisa sidik ragam (Tabel 3) dapat dilihat pada 15 hsi belum ditemukan gejala layu
17
Fusarium pada semua perlakuan. Gejala baru terlihat pada 30 hsi yaitu pada perlakuan A1
(kontrol hanya diinokulasi dengan F. oxysporum), dilanjutkan pada perlakuan A5 (Gliocladium
sp. 12 g) pada 45 hsi dan A2 (Trichoderma sp. 12 g) pada 60 hsi. Sedangkan pada perlakuan A0
(Kontrol tanaman sehat), A3 (Trichoderma sp. 18 g), A4 (Trichoderma sp. 24 g), A6
(Gliocladium sp. 18 g) dan A7 (Gliocladium sp. 24 g) tidak ditemukan gejala hingga akhir
penelitian. Pada Kejadian Penyakit pada perlakuan A1 pada 30 hsi sebesar 8,33%. Kejadian
Penyakit meningkat menjadi 25% pada 45 hsi dan 60 hsi. Hal ini terjadi karena A1 tidak
diberikan agens antagonis yang dapat melindungi tanaman dari serangan patogen serta
menghambat pertumbuhan dan perkembangan F. oxysporum. Menurut Cook & Baker salah satu
syarat organism dikatakan sebagai agen hayati adalah mempunyai kemampuan antagonisme
yaitu kemampuan menghambat perkembangan atau pertumbuhan organisme lainnya.
Dari Tabel 3 dapat dilihat pemberian Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. masing-
masing sebanyak 12 gr/polibeg (A2 dan A5) masih terdapat tanaman bawang merah yang
menunjukkan gejala layu. Pada perlakuan pemberian 12 gr Trichoderma sp. (A2) gejala layu
baru terlihat pada 60 hsi yaitu sebesar 8,33%. Sedangkan pemberian Gliocladium sp. (A5) gejala
layu sudah terlihat pada 45 hsi yaitu sebesar 8,33%. Kejadian Penyakit tidak meningkat hingga
60 hsi. Sebaliknya pemberian 18 dan 24 gr Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. tidak
menyebabkan gejala layu hingga akhir penelitian. Hasil ini menunjukkan perbedaan dosis jamur
antagonis yang diberikan ke tanaman dapat mempengaruhi kejadian penyakit F. oxysporum.
Menurut Purwantisari & Hastuti (2009) Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan jamur
antagonis yang sangat penting untuk pengendalian hayati. Selain memiliki mekanisme
pengendalian yang spesifik target jamur juga dapat mengkoloni rizosfer dengan cepat dan
melindungi akar dari serangan jamur patogen.
BAB IV
18
PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan dan efektivitas jamur
antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan penyakit layu (Fusarium
oxysporum) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) benar-benar berpengaruh
dengan didapatkannya hasil bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada tanaman yang hanya
dinokulsi dengan F. oxysporum (A1) yaitu 30 hsi dan terlama pada tanaman yang diberi 12 g
Trichoderma sp. yaitu 60 hsi. Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
dengan dosis 24g/polibeg dapat menekan kejadian dan keparahan penyakit F. oxysporum pada
tanaman bawang merah. Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp dapat
membantu pada pertumbuhan, jumlah daun dan tinggi tanaman bawang merah lebih baik
dibandingkan yang tidak diberi kedua jamur ini. Penggunaan 18 g Trichoderma sp., 24 g
Trichoderma sp., 18 g Gliocladium sp., dan 24 g Gliocladium sp. dapat menekan pertumbuhan
dan perkembangan Fusarium oxysporumnpada tanaman bawang merah.
Penggunaan kedua jamur antagonis tersebut juga memiliki keunggulan debagai fungisida
alami dibandingkan menggunakan pestisida, yaitu:
1. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada
aliran air.
2. Aman bagi manusia dan hewan piaraan.
3. Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman.
4. Sangat sesuai digunakan sebagai komponen pertanian organik sebagai pestisida yang
dicampur dengan pupuk.
5. Mudah diproduksi dengan teknik sederhana.
4.2. Saran
Karena pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp tidak dapat
mengejar inang yang telah masuk ke dalam tubuh tanaman, maka penggunaan Gliocladium
sp. dan atau Trichoderma harsianum. Akan lebih efektif mengendalikan patogen tanaman jika
diberikan pada awal tanam.
19