migrasi internasional sebagai dampak globalisasi
TRANSCRIPT
MIGRASI INTERNASIONAL SEBAGAI DAMPAK GLOBALISASI
Globalisasi dan Perpindahan Manusia
Migrasi sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau
kelompok orang baik lintas batas atau di dalam teritorial negara, yang meliputi berbagai
bentuk, tempo, komposisi, dan faktor penyebab perpindahan manusia. Termasuk dalam
definisi di sini juga perpindahan pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal, migran
ilegal dan juga migran ekonomi. Diperkirakan terdapat sekitar 214 juta orang tinggal di luar
negara pengirim atau daerah asalnya.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan transportasi tak pelak membuat
masyarakat dunia menjadi lintas batas, atau dalam bahasa Kenichi Ohmae (1999), borderless
society. Periode modern perpindahan manusia ditandai tidak hanya semakin tingginya angka
migrasi manusia lintas batas negara, tetapi juga pertumbuhan signifikan migrasi dalam secara
ekonomis, sosial, kultural, dan politik (Castles dan Miller 2009 dalam Heywood 2011).
Perdagangan dunia yang meniscayakan perpindahan modal, barang, dan jasa juga
mengikutsertakan perpindahan manusia.
Dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk dan semakin mudahnya akses
transportasi mendorong arus perpindahan manusia menjadi semakin massif. Laporan dari
IOM menyebutkan bahwa hingga hari ini terdapat 214 juta migran internasional, meningkat
lebih dua kali lipat dari sebelumnya tahun 1975 sebanyak 85 juta orang. Ini berarti 1 dari 35
orang di dunia ini adalah migran. Angka sebesar ini merepresentasikan 3 % dari keseluruhan
populasi dunia.
Globalisasi mempercepat perpindahan barang dan jasa di seluruh dunia melalui
perdagangan bebas. Tetapi berbeda dengan perdagangan yang hanya sebatas menukar barang
atau jasa, migrasi internasional juga melibatkan perpindahan manusia yang memiliki latar
belakang budaya berbeda dengan budaya di negara tujuan. Perbedaan ini sedikit banyak akan
menimbulkan permasalahan-permasalahan. Borjas (2005) mengatakan bahwa memindahkan
tomat tentu saja berbeda dengan memindahkan pemetik tomat, karena pemetik tomat
memiliki budaya yang berpotensi menyulut konflik dengan budaya masyarakat pribumi.
Castells dan Miller (2003 dalam Krally 2008) mengidentifikasi lima kecenderungan
umum perpindahan manusia kontemporer. Pertama adalah perpindahan manusia kontemporer
melibatkan sejumlah besar negara, baik sebagai negara pengirim maupun penerima.
Fenomena ini bisa disebut globalization of migrations. Kedua arus perpindahan manusia
diprediksi akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketiga, migrasi internasional tidak
memiliki pola sama, seperti adanya migrasi musiman disamping migrasi permanen.
Keempat,tidak seperti di masa lalu yang hanya melibatkan laki-laki, di era sekarang, migrasi
juga dilakukan oleh kaum hawa. Kelima, akibat-akibat yang ditimbulkan migrasi
internasional menjadi isu politik di banyak negara.
Imigrasi dalam jumlah besar dan berkelanjutan akan merubah komposisi demografis
negara penerima. Imigran yang awalnya datang sebagai pekerja atau pengungsi tidak mau
kembali ke negara asalnya. Mereka lebih memilih tetap tinggal di host country selepas
kontrak kerja mereka selesai. Mereka yang tinggal dalam waktu lama, akan mendapatkan
kewarganegaraan. Pada masa selanjutnya, warganegara keturunan asing ini akan membentuk
minoritas dengan jumlah signifikan yang rentan diskriminasi, terlebih jika mereka memiliki
latar belakang politik dan kultural dengan negara tempat tinggal.
Menurut Sita Bali (1997) perhatian dunia internasional mengenai isu migrasi terjadi
baru-baru saja, tepatnya dekade 1980-an. Ini disebabkan bahwa pada masa sebelumnya
persoalan yang timbul akibat migrasi belum dirasakan. Baru pada tahun 1980-an ketika
terjadi resesi pada banyak negara industri menyebabkan tingginya angka pengangguran,
instabilitas ekonomi dan politik. Pada saat itulah pemerintah baru menyadari bahwa mereka
menanggung beban tingginya angka pengangguran yang menimpa baik masyarakat asli
maupun pendatang. Masyarakat asli cenderung menyalahkan migran, karena dianggap
mengambil peluang kerja mereka. Kondisi ini seperti memberikan daya dorong bagi
munculnya sentimen anti imigran dan xenophobia yang diusung kelompok-kelompok rasis
Neo Nazi di Jerman dan Austria, Sayap Kanan di Inggris, dan kebijakan anti migran oleh
pemerintah Perancis.
Sejak tahun 1970, bahkan sejak perekonomian diikuti oleh kenaikan harga minyak
dunia pada 1973, banyak pemerintah Eropa Barat tidak bisa menghalangi datangnya pekerja
asing kendati mereka memiliki hak untuk melakukannya. Arus perpindahan penduduk
melewati batas negara ini dipahami sebagai isu utama yang berdampingan sebagai dampak
dari fenomena integrasi dimensi perdagangan, makroekonomi, perkembangan, dan kesehatan
yang terjadi berdampingan karena proses globalisasi. Fenomena, penyebab, dan konsekuensi
perpindahan melewati batas negara tersebut saat ini tidak dikesampingkan dalam berbagai
studi akademis ilmu sosial terkait dengan ekonomi, ilmu politik, hubungan internasional dan
studi lain yang melibatkan serangkaian etika dan teori.
Arus perpindahan manusia (imigrasi) terjadi dalam banyak cara sehingga
mengundang diterapkannya suatu kebijakan sebagai respon terhadap fenomena tersebut.
Bhagwati dalam tulisannya berjudul “International Flows of Humanity” meyakini analisis
arus perpindahan tersebut dikelompokkan menjadi tiga tipe yang dapat membantu dalam
mengenali problem imigrasi saat ini dan metode untuk mengatasinya antara lain :
1. arus imigrasi dari negara miskin ke negara kaya dengan perbedaan implikasinya
apabila arus tersebut berjalan sebaliknya,
2. arus imigrasi pekerja ahli dan pekerja non-ahli, pada awalnya dapat dianggap
menyebabkan problema brain-drain di negara yang ditinggalkan biasanya terjadi di
negara miskin dan berkembang atau opportunity bagi para migran sendiri,
3. arus imigrasi secara ilegal dan legal, dan yang mana dipicu kondisi dan situasi
misalnya akibat perselisihan dan tekanan imigrasi yang bersifat karena dorongan
(voluntary) atau paksaan (involuntary) seperti arus pengungsi.
Faktor Push and Pull Migrasi
Perpindahan manusia tersebut bisa dibedakan antara mereka yang berpindah atas
pilihan sendiri (voluntary migration) dan mereka yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran
( involuntary migration) sebagai pekerja (migrant worker), pengungsi (refugee) atau pencari
suaka (asylum seeker). Banyak faktor-faktor yang membuat mereka bermigrasi. Faktor dari
negara asal bisa berupa bencana alam, pengangguran, tekanan pemerintah, perang.
Sedangkan faktor penarik dari negara tujuan seperti daya tarik ekonomi, kesamaan kultur,
mengenyam pendidikan, kesempatan mendapatkan kebebasan yang lebih dari yang
didapatkan di negara asal.
Teori tentang migrasi manusia pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Ravenstein
pada tahun 1889. Setelah memperhatikan data sensus penduduk di Inggris dan Wales kala itu,
dia menyimpulkan bahwa migrasi dipengaruhi oleh proses “push-pull”, dimana kondisi tidak
menguntungkan di satu tempat ‘mendorong’ manusia untuk keluar. Sebaliknya, kondisi yang
menguntungkan di tempat lain akan ‘menarik’ manusia untuk pergi ke daerah tersebut.
Banyak teoritisi mengikuti jejak Ravenstein. Teori-teori dominan yang diusung para
akademisi kontemporer kurang lebih merupakan variasi dari kesimpulannya.
Salah satu turunan dari teori Ravenstein seperti dituturkan Andrew Heywood (2011),
bahwa secara umum terdapat dua teori tentang migrasi. Teori Individual menyatakan bahwa
perpindahan manusia terjadi atas pertimbangan rasional individu yang didorong oleh harapan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Teori ini menekankan pada daya tarik ekonomi
yang terdapat pada negara tujuan sebagai faktor penarik (pulled) seseorang untuk bermigrasi.
Teori kedua adalah teori struktural yang menekankan pada pertimbangan struktur sosial,
politik, ekonomi di negara asal yang mengharuskan seseorang meninggalkan negaranya.
Dalam teori ini dikatakan bahwa seseorang pushed (terdorong) bermigrasi karena persoalan
seperti bencana alam, kemiskinan, instabilitas politik dan sosial di negara mereka.
Di masa sebelumnya teori migrasi struktural lebih mendominasi ketimbang migrasi
individual. Faktor yang menyebabkan perpindahan manusia kebanyakan didorong oleh
kondisi yang mengharuskan seseorang untuk berpindah disebabkan oleh invasi, kolonialisme,
dan perdagangan budak. Tercatat 15 juta budak dari Afrika Barat dibawa ke Amerika dan
sejumlah besar orang Jawa yang dipekerjakan secara paksa di Suriname sepanjang abad 18-
19 oleh Belanda. Tekanan politik penguasa seperti yang dialami bangsa Yahudi di abad
pertengahan dan gelombang emigrasi bangsa Eropa ke Amerika disebabkan oleh kemiskinan
dan kejaran kaum puritan yang berkuasa di Eropa ketika itu. Contoh diatas menunjukkan
bahwa migrasi pada masa dahulu lebih didominasi faktor struktural yang membuat seseorang
mau tidak mau meninggalkan negaranya.
Sedangkan di era kontemporer cukup banyak faktor yang membuat manusia
bermigrasi. Meskipun tidak lagi mendominasi, namun faktor struktural masih berperan dalam
mendorong seseorang untuk bermigrasi. Faktor-faktor pendorong (pushed) seperti
kemiskinan, bencana alam, tekanan pemerintah, berkait kelindan dengan faktor penarik
(pulled) berupa daya tarik ekonomi di negara-negara maju.
Kedua faktor diatas berperan bersama-sama dalam membentuk tingginya angka
perpindahan manusia di masa modern. Masa setelah PD II ditandai masifnya gelombang
pengungsi dari negara-negara dunia ketiga diakibatkan oleh konflik etnis, perang sipil, dan
instabilitas politik. Hingga tahun 1990-an, gelombang pengungsi yang meninggalkan
negaranya mencapai 15 juta orang. Kombinasi dari pengungsi dan migran yang pindah akibat
kemiskinan akut, pengangguran, kerusakan lingkungan mendorong arus migrasi semakin
meningkat.
Eropa pasca PD II merasakan tingkat pertumbuhan industri yang sangat tinggi.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai Eropa tak pelak menjadi daya tarik orang-orang
dari negara berkembang untuk ikut menikmati kemakmuran. Untuk menopang proses
industrialisasi tersebut, Pemerintah negara-negara Eropa, khususnya Eropa Barat mengimpor
pekerja dari luar Eropa. Pemerintah Perancis, misalnya membuka pintu negaranya bagi
orang-orang dari negara bekas koloninya di Afrika Utara. Pemerintah Inggris juga
menggunakan tenaga dari bekas koloninya di anak benua India, Afrika, dan Karibia. Untuk
pemerintah Jerman, karena mereka tidak mempunyai koloni di luar benua Eropa, mereka
mengundang guest-worker dari Turki dan Yugoslavia untuk mendorong tumbuhnya industri
di negara tersebut (Bali 1997; Heywood 2011).
Dampak ekonomi dari migrasi cukup signifikan. Pengiriman uang (dikirim ke negara
asal oleh para migran) merupakan sumber pendapatan penting bagi keluarga dan untuk
negara berkembang. Bahkan, jumlah tahunan remitansi (diperkirakan lebih dari US $ 337
miliar pada tahun 2007) lebih dari jumlah tahunan aliran bantuan luar negeri (Sens et.al,
2009). Bagi negara penerima (terutama negara-negara dengan populasi orang tua tinggi),
migrasi umumnya bermanfaat karena para pekerja migran memiliki keterampilan yang dapat
mengisi posisi kosong yang ditinggalkan masyarakat asli negara tersebut.
Dengan tingkat perpindahan manusia ke Eropa yang semakin tinggi, kemudian
muncul suara-suara yang menentang imigrasi ke Eropa. Mereka melihat bahwa migrasi tidak
hanya menjanjikan keuntungan bagi negara penerima, tapi ekses negatif dari migrasi jauh
lebih banyak. Dampak negatif tersebut meluas dalam berbagai sektor (politik, ekonomi,
sosial, budaya), tapi argumen utama dari kalangan oposan imigrasi adalah kekhawatiran
bahwa semakin bertambahnya jumlah migran mengancam ketahanan negara. Para migran
tersebut dianggap tidak memiliki nasionalisme seperti masyarakat asli. Inilah yang kemudian
membuahkan disahkannya sejumlah peraturan diskriminatif bagi para migran di negara-
negara Eropa. Seperti misalnya dikeluarkannya kebijakan anti simbol agama di Perancis pada
masa pemerintahan Jacques Chirac. Penerus Chirac, Nicholas Sarkozy juga mengumumkan
sikap permusuhan kepada imigran pada pemilu presiden 2007. Sementara di Italia, politisi
Italia menyalahkan imigran pada kejadian terbunuhnya seorang wanita di Roma tahun 2007.
Isu ini kemudian memantik kekerasan terhadap imigran di Italia.
Terkait dengan “apakah arus imigrasi merupakan sebab proses globalisasi?” Arus
imigrasi pada era “saat ini” tidak lebih besar daripada arus imigrasi di era-era sebelumnya.
Imigrasi yang terjadi saat ini hanya sebesar 175 juta orang saja, artinya jumlah ini hanya
berkisar 3 persen dari total penduduk dunia (Bhagwati, 2004: 209). Bhagwati menyebutkan
banyak pengamat menilai arus imigrasi saat ini lebih kecil disebabkan hambatan seperti
kontrol perbatasan yang ketat dan imigrasi bukan hal yang cuma-Cuma. Ahli sejarah banyak
yang setuju bahwa imigrasi yang paling fenomenal hingga mencapai 10 persen jumlah
penduduk dunia terjadi di abad kesembilan belas. Perbedaan imigrasi era lalu dengan saat ini
terletak pada perpindahan penduduk dari negara miskin ke negara kaya daripada perpindahan
penduduk dari Old World (Eropa) ke New World (Amerika Serikat), merujuk pada
perpindahan penduduk atau imigrasi sebelum dan pasca Perang Dunia. Pernyataan Bhagwati
ini juga didukung oleh Martin Wolf, Jeffrey William, dan Timothy Hutton yang menyatakan
“Empat puluh tahun sebelum PD I, imigrasi meningkatkan daya kerja Dunia Baru (Amerika
Serikat) sebanyak 1/3 jumlah populasi dunia dan mengurangi daya kerja Eropa sebanyak 1/8,
merupakan gambaran yang tidak terlampaui oleh imigrasi California dan Meksiko yang
terjadi empat puluh tahun yang lalu”. Perpindahan atau imigrasi saat ini diyakini merupakan
suatu hal yang membawa pertentangan dan menimbulkan anggapan bahwa mesti
dikonfrontasi (Bhagwati, 2004: 209).
Bhagwati menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena imigrasi: faktor
pendorong dan penarik. Faktor pendorong ialah sejumlah faktor yang mempengaruhi
keputusan emigran untuk meninggalkan negara asal, sedangkan faktor penarik ialah sejumlah
faktor yang mempengaruhi arus masuk imigrasi. Sejumlah faktor tersebut tidak hanya
beroperasi dalam ruang lingkup mekanisme pasar (penawaran dan permintaan) tetapi juga…
Supply Factors : Peningkatan kualitas standar hidup, kemajuan pendidikan dan kesempatan
bagi anak-anak, serta ketertarikan adanya fasilitas profesional lebih baik terkait dengan
migran tenaga ahli adalah sejumlah dorongan ekonomi utama emigrasi. Variabel tersebut
menjelaskan dorongan emigrasi, perpindahan dari negara kurang maju ke negara maju,
perpindahan tersebut dapat juga terjadi antarnegara maju. Akan tetapi arus pengungsi ke satu
wilayah tidak menjelaskan adanya penyebab atau ketertarikan dorongan ekonomi di atas.
Meningkatnya ketimpangan (inequality) antarnegara yang dilihat sebagai insentif
yang menambah keinginan emigran untuk keluar dari negara asalnya. Tetapi, Bhagwati
menyebutkan bahwa seiring ketimpangan ini berkurang, turut menjelaskan (meskipun tidak
secara dramatis) menekan arus imigrasi begitu pesat. Salah satu faktor yang menekan arus
imigrasi saat ini ialah faktor finansial untuk melakukan perjalanan, khususnya bagi negara
kurang maju (miskin) yang kemudian cenderung untuk menempuh jalur ilegal.
Imigrasi biasanya dipicu oleh emigrasi sebelumnya yang membangun momentum
untuk tumbuh imigrasi yang lebih besar. Ditambah lagi biaya imigrasi menjadi semakin
rendah karena faktor kemudahan teknologi, travel, dana telekomunikasi yang mudah diakses.
Faktor Permintaan. Faktor permintaan emigrasi meningkat di negara-negara maju, dan akan
terus bertambah untuk dua alasan: demografi dan bertambahnya permintaan terhadap tenaga
kerja ahli yang terspesialisasi. Pertama, faktor yang membuat permintaan imigrasi menguat
dikarenakan oleh kondisi demografi negara maju yang menunjukkan penurunan angka
kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang rendah. Kedua, karena adanya permintaan
terhadap pekerja ahli di negara kaya. Proses perkembangan informasi dan teknologi yang
kompleks telah mendatangkan kebutuhan pasar untuk ahli komputer, programer, dan
lainnnya. Ketiga, meningkatnya rekrutmen tenaga kerja kontrak di berbagai pelayanan jasa
yang ditampung oleh pihak-pihak asing seperti perusahaan asing yang memiliki cabang di
luar negeri (Bhagwati, 2004: 212). Ketiga, meningkatnya tren outsourcing, perekrutan tenaga
kerja kontraktual di suatu perusahaan.
Prospek Globalisasi terhadap arus imigrasi secara global: Globalisasi menciptakan
peluang adanya perdagangan dan interaksi internasional menguat. Globalisasi mendorong
kompetisi pasar dengan menciptakan dan menarik perhatian tenaga-tenaga ahli dan
profesional. Pemerintah melihat kualitas pekerja yang demikian akan cenderung lebih mudah
berasimilasi dengan lingkungan masyarakat baru.
Hal ini meningkatkan permintaan yang sesuai dengan penawaran yang ada. Misalnya
negara yang kurang berkembang tidak mampu menyediakan imbalan ekonomi atau kondisi
sosial yang diperlukan oleh kelompok tenaga kerja ahli dan profesional. Akan tetapi, Eropa
dan Amerika serikat mampu memberikan kesempatan pendidikan anak-anak tenaga ahli dan
prospek karir yang tidak tersedia di negara asal mereka.
Persoalan yang muncul terletak pada asimetri kepentingan negara kurang maju
(miskin) dan negara maju terkait dengan imigrasi. Misalnya, terkait dengan arus migrasi
tenaga ahli dan tenaga non-ahli: negara maju cenderung menginginkan imigran yang masuk
adalah tenaga-tenaga ahli yang kompeten dan sibuk untuk menerapkan berbagai kebijakan
yang mencegah tenaga non-ahli memasuki batas negara mereka. Sedangkan negara kurang
maju (negara asal miskin) memiliki kepentingan untuk membiarkan/ mengijinkan tenaga
kerja non-ahli keluar dari wilayahnya, dan menahan tenaga ahli untuk tetap tinggal di
negaranya. Persoalan kedua terletak pada ketidakseimbangan kesempatan di negara kurang
maju (asal) dan negara maju (negara tujuan) dalam menyediakan hiburan, fasilitas-fasilitas
yang mendukung karir profesional tenaga ahli, pengalaman pekerjaan yang lebih baik, dan
pendidikan untuk anak-anak mereka. Akan lebih tidak masuk akal jika negara asal
menerapkan kebijakan untuk membatasi imigran menetap di negara tujuan. Oleh karena itu
terdapat beberapa kondisi yang ditawarkan oleh Bhagwati dalam melihat fenomena imigrasi
ini dari dua dimensi, negara asal dan negara tujuan.
Strategi yang ditawarkan oleh Bhagwati, ialah melakukan mengatasi dengan imigrasi
daripada mencoba untuk membatasinya. Pemerintahan negara berkembang mesti menerapkan
kebijakan yang bisa mengikat migran dengan negara asal mereka sehingga dapat mengurangi
biaya sosial dan meningkatkan keuntungan ekonomis di negara asalnya. Kebijakan tersebut
dapat berupa memasukkan pendidikan anak dan jaminan hak-hak sipil seperti partisipasi
dalam organisasi internal sekolah dan komite guru dan wali murid di sekolah. Pemerintah
juga bisa membantu tempat tinggal imigran di seluruh negara, untuk menghindari penekanan
upah di salah satu wilayahnya. Contoh operasional bagaimana negara kurang maju
menerapkan kebijakan tersebut, Bhagwati memberikan beberapa contoh negara yang berhasil
seperti India, China, Taiwan dan Korea Selatan. Solusi ketiga, Bhagwati menawarkan wacana
adanya organisasi yang mengelola migrasi dunia, World Migration Organization yang
berperan untuk membenarkan arus masuk dan keluar migrasi suatu negara, menetapkan
kebijakan residensi migran apakah legal atau sebaliknya yang berfungsi secara ekonomi,
politik, baik terhadap tenaga kerja ahli maupun non-ahli.
Kesimpulan
Globalisasi tidak bisa dikatakan sebagai sebab utuh imigrasi atau arus perpindahan
penduduk lintas batas negara. Pada kenyataannya orang-orang telah hidup berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain sejak berabad-abad lalu karena alasan yang makin beragam,
bahkan sebelum fenomena globalisasi diwacanakan. Misalnya perpindahan pengungsi dari
satu tempat ke tempat yang lebih kondusif tidak memiliki keterkaitan dengan adanya
globalisasi. Pengungsi berpindah begitu saja tanpa menggunakan transportasi yang
accessible, informasi internet, atau kesempatan kerja yang lebih baik. Aspek penting yang
dilihat dalam perpindahan pengungsi ialah persoalan keamanan untuk lepas dari represi,
opresi, penyiksaan dan lainnya.
Contoh kedua ialah, orang berpindah karena ingin menikmati pemandangan alam.
Proses globalisasi tidak mengakibatkan, secara langsung, alam tumbuh indah, maksudnya
keindahan pegunungan Alpen, padang rumput Mediterania, Danau Toba bahkan ada bahkan
sebelum globalisasi muncul. Barangkali penting untuk tidak mengeneralisasi bahwa proses
globalisasi menginisiasi perpindahan penduduk. Sekiranya penting untuk melihat tipe-tipe
migrasi kemudian mengkaitkannya satu persatu dengan proses globalisasi, sehingga dapat
menjawab apakah globalisasi benar-benar sebagai katalisator arus imigrasi.
Kedua, “globalisasi meningkatkan arus imigrasi lintas batas negara”? pernyataan ini
patut mendapat sanggahan, seperti yang diungkapkan oleh Bhagwati (2004) bahwa arus
imigrasi malahan berkurang seketika globalisasi makin intensif. Hal ini terjadi karena makin
banyak dikeluarkannya regulasi sebagai counterpart diaspora akibat proses globalisasi.
Terkait dengan “globalisasi dan arus imigrasi” terdapat dua pandangan utama: (1)
pendukung globalisasi memegang proposisi bahwa terdapat bentuk baru globalisasi akibat
integrasi global yang memungkinkan terciptanya beragam keuntungan dan kesempatan
ekonomi bagi orang-orang untuk kemudian berpindah ke satu tempat (Sanchez, 1999), salah
satu pendukung globalis yang memberikan penjelasan bagaimana hal tersebut mungkin
terjadi ialah Bhagwati (2004). Sedangkan pemikir anti-globalis, mengungkapkan bahwa arus
migrasi orang-orang dengan keahlian tertentu malah akan mengakibatkan komunitas terpecah
menjadi dua karena ketidakinginan mereka untuk berasimilasi dengan kultur negara “host”.
Dua proposisi tersebut memiliki beban penjelasan (kelebihan dan kelemahan) masing-masing
yang berdampak pada dua keadaan: (1) wacana globalisasi sebagai fenomena kultural dab (2)
wacana perbedaan. Lebih jauh diperpanjang pada prospek terciptanya (1) homogenization:
melting pot, (2) Heterogenization: salad bowl, atau (3) hybridization (Wardhani, 2011).
Strategi yang diperoleh dari analisis imigrasi dari lensa globalisasi antara lain: (1)
mengesampingkan arus imigrasi besar-besaran di era abad 19 yang mana gelombang
globalisasi diidentikkan dengan revolusi Industri. Arturo Sanchez menyarankan wacana
untuk mengubah metode tersebut ke metode yang lebih aktual. Arturo Sanchez meyakini
bahwa dengan melibatkan analisis yang terjadi pada abad kesemblan belas hanya
menekankan justifikasi adanya “cost benefit” yang mendorong perpindahan penduduk besar-
besaran. Saat ini, persoalan arus imigrasi tidak hanya terkait pada satu dimensi saja (cost
benefit and economic opportunity), akan tetapi lebih bervariasi dan oleh karena itu,
implikasinya pun semakin banyak yang mengarah pada kecenderungan adanya asimilasi
budaya atau pengakuan perbedaan budaya dalam satu komunitas. Terkait dengan hal itu,
Arturo sanchez (1999) mencetuskan gagasan adanya pengakuan terhadap warganegara ganda
dalam kebijakan imigrasi suatu negara. Strategi lain yang diungkapkan oleh Globerman
(2001) yang dalam tulisannya “Globalization dan Immigration” mencoba mengkaitkan
fenomena imigrasi dengan perdagagan internasional dan arus investasi asing (FDI, Foreign
Direct Investment). Ia menguraikan bahwa untuk melihat dan mengatasi fenomena imigrasi,
maka variabel yang penting untuk diikutsertakan ialah meneliti hubungannya dengan
perdagangan internasional dan arus FDI terkait dengan seberapa besar perdagangan
internasional dan arus FDI menyumbang masuknya imigran dari suatu negara.
Ditambah lagi biaya imigrasi menjadi semakin rendah karena faktor kemudahan
teknologi, travel, dana telekomunikasi yang mudah diakses. Rasanya globalisasi saat ini tidak
mendukung biaya bepergian yang makin murah dan accessible. Sebaliknya biaya bepergian
belum lagi persoalan regulasi ketat terkait imigrasi justru menjadi faktor penghambat utama.
Di China misalnya, setiap orang di China memiliki pendapatan pertahun sebesar $100 dolar
saja. Artinya, mustahil bagi mereka untuk mengejar kesempatan kerja (economic
opportunity) untuk pindah ke Amerika Serikat. Akan tetapi bagi orang China yang sanggup
meningkatkan pendapatannya sebesar $5000 pertahun dengan menggunakaan momentum
pertumbuhan ekonomi China, sanggup untuk bepergian ke Amerika Serikat. Dari ilustrasi
yang demikian, maka prospek imigrasi hanya akan meningkatkan ketidakmerataan ekonomi.
Bagi imigran yang berasal dari negara Sub-Sahara Afrika atau wilayah lain yang belum
tersentuh oleh globalisasi, maka globalisasi hanya akan mengakibatkan ketimpangan antara
negara-negara tersebut dengan negara-negara seperti China, India, Brazil, atau Meksiko.
Sumber
Bhagwati, Jagdish. 2004. International Flow of Humanity, dalam “in Defense of
Globalization”. Chapter 3. London: Oxford University Press., pp. 209-218.
Globerman, Steven, GLOBALIZATION AND IMMIGRATION (2001), available at
http://www.riim.metropolis.net/events/Roundtable%20-%20%20May%202001/globalization
%20and%20immigration.pdf
Sanchez, Arturo, Transnationalism and Assimilation, in PLANNERS NETWORK
ONLINE (July/Aug. 1999),
Alex Nowrasteh. Open Market.org. 2008. Globalization and Immigration. [online]
available http://www.openmarket.org/2008/05/15/does-economic-development-cause-
immigration/
http://www.iom.int/cms/en/sites/iom/home/about-migration/key-migration-terms-
1.html#Migration.
http://www.iom.int/cms/en/sites/iom/home/about-migration/facts--figures-1.html
http://www.csiss.org/classics/content/90
GLOBALISASI
Oleh :
SYARIF HUSEIN (151080198)
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
2012