globalisasi dan perdagangan internasional

117
GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dr. Agus Budi Santosa, M.Si. BADAN PENERBITAN UNIVERSITAS STIKUBANK ISBN : 978 602 8557 51 1

Upload: others

Post on 10-Jun-2022

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

GLOBALISASIDANPERDAGANGANINTERNASIONALDr. Agus Budi Santosa, M.Si.

BADAN PENERBITAN UNIVERSITAS STIKUBANK

ISBN : 978 602 8557 51 1

Page 2: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1

GLOBALISASI DAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

ISBN :

978 602 8557 51 1

Penulis : DR. AGUS BUDI SANTOSA, M.SI

Penerbit: BADAN PENERBITAN

Universitas Stikubank Semarang

Jl. Kendeng V Bendan Ngisor Semarang

Telp. (024) 8414970 Fax. (024) 8441738

Page 3: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

2

KATA PENGANTAR

Perkembangan perdagangan internasional saat ini mengalami perkembangan

yang sangat pesat, hal ini dilihat dari peningkatan baik volume perdagangan

internasional dan nilai perdagangan internasional. Indikator peningkatan tersebut

dapat dilihat pada neraca pembayaran maupun neraca perdagangan. Perdagangan

internasional membawa pengaruh besar terhadap perekonomian suatu Negara

termasuk Indonesia.

Buku ini akan memberikan kajian baik teori dan maupun penelitian empiris

tentang teori perdagangan internasional dan pengaruhnya terhadap perekonomian

dalam negeri. Kajian teori dilihat dari beberapa aspek atau sudut pandang sehingga

diharapkan akan memperkaya kajian terhadap perdagangan internasional. Selain itu

buku ini juga dilengkapi dengan penelitian empiris yang dilakukan oleh penulis yang

berkaitan dengan topik bahasan untuk menunjang teori-teori.

Untuk mempermudah konsep, pada setiap akhir bab disajikan pertanyaan atau

bahan diskusi. Hal tersebut dimaksudkan bisa membuat mahasiswa melakukan

analisis lebih lanjut terhadap konsep teori .

Penulis mengucapkan terimakasih kepada BP Universitas Stikubank yang

telah menerbitkan buku ajar ini. Agar menjadi lebih baik, saran dan komentar dari

pembaca sangat kami harapkan untuk lebih sempurnanya buku ajar ini.

Semarang , Februari 2017

Agus Budi Santosa

Page 4: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

3

DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

Bab I : PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN

EKONOMI

a. Strategi Pembangunan Ekonomi : Big Push Theory, Balance

Growth dan Unbalance Growth . hal 1

b. “Closure rule” dan Two gab Model hal 5

Bab II : TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

a. Comparative Cost Theory hal 8

b. Hecksher – Ohlin Theory (HO) hal 9

c. Teori Perdagangan Internasional Baru hal 12

Bab III : PERDAGANGAN DAN PERTUMBUHAN

a. Pendahuluan hal 13

b. Kebijakan Untuk Mempengaruhi “Terms of Trade” hal 15

c. Efektivitas Kebijakan Proteksi Tariff hal 17

d. Liberalisasi Perdagangan hal 19

Bab IV : NERACA PEMBAYARAN DAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN

a. Pendahuluan hal 21

b. Neraca Pembayaran dan Neraca Transaksi Berjalan hal 24

c. Analisis Neraca Transaksi Berjalan hal 25

d. Peneltian Terdahulu hal 29

Bab V : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

a. Pendahuluan hal 31

b. Dampak Deregulasi Keuangan Terhadap Efektifitas

Page 5: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

4

Kebijakan Moneter hal 34

c. Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional hal 36

d. Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan hal 38

Bab VI : Penelitian Empiris : Kemampuan Model Purchasing Power Parity

Dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS

a. Pendahuluan hal 41

b. Rumusan Masalah hal 42

c. Kajian Teori hal 42

d. Hipotesis hal 43

e. Metode Penelitian hal 43

f. Analisis Data dan Pembahasan hal 45

g. Simpulan hal 49

Bab VII : Penelitian Empiris Evisiensi Pasar Valuta Asing di Indonesia

a. Pendahuluan hal 50

b. Rumusan Masalah hal 51

c. Metode Penelitian hal 51

d. Pembahasan : Efisiensi Pasar Valuta Asing hal 53

e. Simpulan hal 54

Bab VIII : KETERBUKAAN EKONOMI INDONESIA : KRITIK

DAN SUPPORT

a. Pendahuluan hal 55

b. Landasan Teori hal 56

c. Kasus Indonesia hal 61

d. Support hal 64

e. Kritik hal 70

Bab IX : REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INDUSTRI

a. Pendahuluan hal 73

b. Reformasi Kebijakan, Penyesuaian Struktural dan bank Dunia hal 74

c. Apa Yang Harus Di Reformasi hal 76

Page 6: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

5

d. Dasar Pemikiran Dari Reformasi Kabijakan hal 76

e. Menginterprestasikan Kembali Pengalaman Asia Timur hal 82

f. Model Baru Persaingan Tidak Sempurna hal 85

g. Isu dan Strategi Reformasi hal 88

h. Konstelasi Jelas Dari Suatu Kebijakan hal 89

i. Kesimpulan hal 92

Bab X : INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

a. Pendahuluan hal 93

b. Perspektif Teoari Alternatif hal 94

c. Model-Model hal 97

d. Pola Industrialisasi hal 99

e. Perusahaan Multinasional dan Struktur Industri hal 100

f. Pengaruh Kuat Hasil Perdagangan Pada Hasil Industri hal 101

g. Penutup hal 107

DAFTAR PUSTAKA

Page 7: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

6

BAB I

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN

PEMBANGUNAN EKONOMI

A. Strategi Pembangunan Ekonomi : Big Push Theory, Balance Growth dan

Unbalance Growth .

Sebagian besar negara sedang berkembang melakukan perdagangan

internasional dengan tujuan untuk meningkatkan akumulasi kapital yang nantinya

dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang kapital dan barang lain yang

tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Pelaksanakan perdagangan internasional

memerlukan kebijakan yang diadopsi dari teori-teori perdagangan internasional.

Penentuan kebijakan atau kombinasi kebijakan dalam kaitannya dengan

pembangunan ekonomi disebut dengan Strategi Pembangunan ( Blitzer, 1975).

Strategi pembangunan tersebut akan menentukan instrumen-instrumen apa yang

akan digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan.

Rosenstein-Rodan (1943,1961) mengemukakan Big Push Theory untuk

menjelaskan proses pembangunan di suatu negara. Teori Big Push bertitik tolak

dari kondisi perekonomian negara sedang berkembang yang mengalami stagnasi.

Hal itu tercermin pada kondisi pasar yang tidak sempurna. Akibatnya, investasi

pada negara sedang berkembang mengandung resiko yang relatif besar karena

adanya unsur ketidakpastian. Sehingga investor dalam melakukan investasi

cenderung “terpecah” dan dalam skala yang kecil, hal ini mengakibatkan

perekonomian tidak mampu keluar dari kondisi stagnasi. Untuk mengatasinya

diperlukan investasi dalam skala yang besar dan pada berbagai bidang yang

Page 8: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

7

beragam. Hal itu merupakan faktor pendorong yang besar (big push) untuk

mengatasi masalah stagnasi.

Ide mengenai big push theory tidak sama dengan konsep pembangunan

berimbang (balance growth) tetapi keduanya saling berhubungan. Balance

growth ditambah kondisi economic of scale identik dengan big push. Pemikiran

balance growth dikembangkan oleh Ragnar Nurske (1953) dengan memberikan

ide pembangunan secara frontal yang meliputi berbagai macam investasi yang

saling berkaitan dalam berbagai macam industri komplementer. Dengan adanya

investasi dalam skala besar akan meningkatkan produktifitas dan pendapatan riil.

Dampak selanjutnya terjadi peningkatkan tabungan masyarakat sehingga

memungkinkan terjadinya pertumbuhan. Sejalan dengan proses tersebut, kenaikan

pendapatan akan meningkatkan permintaan agregatif. Hal ini mendorong

kecenderungan melakukan investasi yang pada akhirnya menjadikan akumulasi

modal. Secara eksplisit, Nurske juga menjelaskan mengapa negara kecil yang

miskin tidak mendorong ekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif

(barang primer) dan mengimpor barang yang disebut dengan “balance diet”. Hal

ini disebabkan bahwa keseimbangan itu bersifat global, sehingga apabila

kebijakan perdagangan diterapkan secara umum akan terjadi kelebihan penawaran

dan yang pada akhirnya memperburuk term of trade.

Konsep big push theory dan balance growth, bukan tanpa kelemahan.

Permasalahan yang muncul, bahwa investasi dalam skala besar yang digunakan

untuk proses pembangunan harus tersedia pada waktu yang sama. Bagi negara

sedang berkembang, kondisi seperti itu sulit dipenuhi mengingat investasi

diperoleh dari tabungan masyarakat (dalam negeri) dimana tingkat pendapatan

masyarakat masih rendah, sehingga kemampuan menabung juga rendah. Langkah

yang ditempuh oleh negara sedang berkembang dengan mendatangkan modal dari

luar negri baik berupa investasi langsung atau berupa pinjaman. Tetapi

pengalaman empiris menunjukkan bahwa pengerahan dana dari luar negeri akan

mendatangkan masalah tersendiri dan sangat rumit.

Page 9: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

8

Kritik lain dikemukakan oleh Little (1982) terhadap asumsi bahwa

perekonomian dapat mengimport barang untuk proses pembangunan dimana

dalam proses produksinya comparative advantage-nya kecil. Sedangkan

pengabaian kemungkinan terhadap pasar eksport menyebabkan lebih banyak

ketidakmerataan dalam pembangunan. Menurut Little, perencanaan pembangunan

harus mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran,

sehingga dapat dihindari beban suatu sektor yang ditimbulkan oleh sektor lain

dalam jangka pendek. Selain itu perusahaan yang ada harus tergolong dalam skala

cukup besar, untuk mendapatkan keuntungan dari economic of scale dalam

perekonomian terbuka.

Konsep yang mengarah pada kesimpulan yang sama dikemukakan oleh

Leibenstein (1957) dengan mengemukakan ide tentang “minimum critical effort”.

Mekanisme utama yang memungkinkan mempercepat pembangunan ekonomi

memerlukan supply tabungan tinggi yang menggambarkan share pendapatan

dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan

Keberatan lain juga dikemukakan oleh Hirshman (1958), yang

mengemukakan : sangat tidak mungkin pada kenyataannya bagi negara sedang

berkembang untuk melakukan lompatan pada semua sektor secara simultan.

Pembangunan seharusnya dilihat sebagai suatu rangkaian yang disequilibrium

melalui mekanisme backward linkages dan forward linkages. Maka dikemukakan

teori Hirschman’s Unbalance Growth (HUG).

Konsep pemikiran HUG didasari oleh suatu kenyataan bahwa di negara

sedang berkembang sudah tersedia investasi (dalam skala kecil) dari masa lampau

yang terbatas pada sektor tertentu (biasanya dilakukan pada sektor yang sudah

agak maju). Akibatnya terjadi ketimpangan (unbalance) antar sektor.

Pembangunan (investasi) tetap dilaksanakan pada sektor yang agak maju, tetapi

hasil dari investasi tersebut semakin diprioritaskan pada sektor lainnya.

Hirschman juga mengemukakan adanya keterkaitan (linkage) antar sektor baik

melalui mekanisme :

Page 10: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

9

1. Forward linkage, yaitu keterkaitan dengan industri tahap menyususul

(industri hilir)

2. Backward linkage, yaitu keterkaitan dengan industri tahap sebelumnya

(industri hulu).

Dengan mekanisme seperti itu ketimpangan (unbalance) akan dapat dikurangi

secara bertahap. Jadi strategi pembangunan tidak perlu dilaksanankan berimbang,

tetapi yang lebih penting menentukan secara selektif sasaran utama (prioritas) dari

tahap pembangunan.

Pertanyaan yang muncul apakah perdagangan internasional akan

memperngaruhi pertumbuhan negara sedang berkembang ?. Pertanyaan tersebut

dijawab oleh beberapa ahli dengan melakukan suatu studi empiris. Menurut

Roternberg (1987) mengemukakan bahwa kebijakan perdagangan internasional

dengan mendorong strategi promosi ekspor hanya akan berhasil meningkatkan

kemakmuran masyarakat (dalam jangka panjang) apabila sektor ekspor tersebut

merupakan sektor dominan dalam struktur ekonomi baik dalam pengertian nilai

tambah atau kesempatan kerja.

Jung Marshall (1985) melakukan pengujian hubungan antara pertumbuhan

ekonomi dengan pertumbuhan ekspor. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 37

negara sedang berkembang, didapatkan 22 negara (60%) menunjukan data

ekonomi bahwa sektor ekspor secara statistik tidak mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Hal ini disebabkan, sektor ekspor yang didorong secara ekonomi tidak

efisien, karena produk ekspor tersebut sangat tergantung pada input yang diimport

dan diberi keringanan dengan subsidi. Akibatnya biaya ekonomi untuk devisa

untuk mendorong produk ekspor nontradisional lebih tinggi dari biaya ekonomi

devisa untuk sektor ekspor tradisional

Pendapat tersebut didukung oleh Staelin (1974) yang melakukan studi kasus

di India. Ia mengemukakan, dalam dua dekade dalam periode sekarang, biaya

ekonomi yang dipikul oleh perekonomian India untuk memperoleh devisa dari

Page 11: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

10

kegiatan ekspor non-tradisional hampir dua kali lipat dari biaya ekonomi yang

diperlukan untuk memperoleh devisa dari kegiatan ekspor produk tradisional.

Dari beberapa hasil penelitian di atas, muncul pertanyaan apakah

implikasinya bagi strategi perdagangan internasional NSB ?. Pengembangan

industri yang berorientasi pada ekspor dapat menimbulkan misallocation of

resource yang memperburuk perekonomian negara seandainya tidak

memperhitungkan domestic resource cost yang berkaitan dengan sektor ekspor

yang dikembangkan.

B. “Closure rule” dan Two gab Model

Terminologi “closure rule” , menurut Sen (1963), menjelaskan mengenai

model pertumbuhan umum yang dispesifikasikan dalam model tertutup. Dua

bentuk closure akan tampak berbeda, walaupun secara matematis sama. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan cara pemecahannya atau mekanisme

penyesuaiannya. Pemilihan model yang paling baik sesuai dengan kriteria

complete dan consistent sebagai suatu persamaan.

Closure mempunyai hubungan yang erat dengan gab. Apabila suatu model

tidak memiliki pemecahan terhadap full employment, maka kemungkinan model

tersebut terdapat labor demand gab. Model yang sangat berpengaruh dalam

pembangungan ekonomi adalah Two Gab Model ( Little, 1960 ; Mc Kinnon,

1964, Williamson, 1983). Tujuan dari model ini, untuk mengetahui apakan

bantuan luar negeri dapat berperan dalam suatu perekonomian. Bantuan luar

negeri mempunyai peran yang jelas, yaitu (1) memungkinkan negara sedang

berkembang mengakumulasikan barang tanpa dibiayai dengan tabungan, (2)

bantuan luar negeri memungkinkan adanya transfer devisa pada neraca

pembayaran yang terbatas, sehingga memungkinkan melakukan import. Two Gab

Model dapat dijelaskan menggunakan variabel sebagai berikut :

Yo : kapasitas output g : tingkat pertumbuhan

Page 12: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

11

E : permintaan eksport a : A/ Yo

A : bantuan LN e : E/ Yo

S : Propensity to save

u(v) : investasi – output ratio barang LN

Semua kuantitas absolut diukur dengan harga dalam negeri. Asumsi yang

digunakan, investasi hanya untuk import. Tingkat pertumbuhan (g) merupakan

target yang akan dicapai. Produksi dalam negeri dalam kondisi full employment.

Investasi merupakan kelebihan jumlah tabungan dalam negri dan luar negeri.

Sehingga :

(𝑢 − 𝑣)𝑔 𝑌𝑜 ≤ 𝑠 𝑌𝑜 + 𝐴 (1)

dibagi dengan Yo

𝑔 ≤(𝑠+𝑎)

(𝑢−𝑎) (2)

import tidak melebihi ekspor ditambah bantuan luar negeri

𝑣𝑔 𝑌𝑜 ≤ 𝐸 + 𝐴 (3)

dibagi dengan Yo, menghasilkan :

𝑔 ≤(𝑒+𝑎)

𝑣 (4)

Pada persamaan (2) dan (4) terdapat 2 kendala independen terhadap tingkat

pertumbuhan, yaitu : tabungan dan balance of payment. Maka sesuai dengan

ketentuan terdapat saving gab dan foreign exchange gab.

Untuk mendapatkan nilai a dan g positif, dimana ekonomi tumbuh sama

dengan investasi dan equilibrium balance of payment, maka :

𝑠

(𝑢+𝑣) >

𝑒

𝑣 (5)

Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari tingkat pertumbuhan pada

persamaan (2) dan (4), berarti bantuan luar negri lebih efektif dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada level yang rendah dan dapat

mengurangi foreign exchange gab. Sedangkan pada level yang lebih tinggi akan

meningkatkan augmented domestic saving.

Page 13: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

12

Dengan mempertimbangkan kendala balance of payment, persamaan

(4), dimana nilai g rendah (yang diakibatkan nilai a rendah) maka pada full

employment capacity ada kecenderungan tabungan lebih besar dari investasi.

Pada kondisi ini, pemerintah terhadap neraca pembayaran, tidak memungkinkan

menciptakan permintaan efektif. Closure rule yang mungkin pada kasus ini

adalah mekanisme Keynesian Adjustment dimana income dalam negri turun

dibawah kapasita Yo sampai gab tidak ada, sehingga :

(u + v) g Y = s Y + A

vgY = E + A …………………………………… (6)

Joshi (1970) mempunyai keberatan terhadap dengan two-gab model dalam

konteks optimalisasi model, walaupun kesimpulannya sama. Menurutnya, model

tersebut memperlihatkan kekakuannya dibandingkan dengan kenyataannya. Harga

bukan merupakan variabel yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan. Dia

memberikan contoh, besarnya permintaan eksport mungkin berhubungan dengan

nilai tukar mata uang asing atau besarnya tabungan dalam jangka pendek. Apabila

tabungan dalam negeri meningkat, kenaikan nilai tukar dapat dilakukan dengan

biaya yang sama. Mekanisme ini akan meyebabkan harga dalam negeri

menyesuaikan diri (tidak kaku).

Tetapi model yang dikemukakan oleh Findlay (1971) berbeda.

Menurutnya, kekakuan dalam kasus di atas disebabkan ketidak mudah

bergeraknya “ikatan” eksport yang digunakan dalam perdagangan barang

investasi. Dengan propensity to save atas pendapatan tetap, maka bila kendala

eksport diikat tambahan tabungan tidak efektif dalam meningkatkan

pertumbuhan.

Page 14: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

13

BAB II

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1. Comparative Cost Theory

Teori comparative cost dan keuntungan perdagangan internasional secara

intensif dikemukakan dan dilakukan penelitian oleh Chenery (1961), Bhagwati

(1969) dan Meier (1969). Teori ini dimunculkan oleh David Ricardo (1817)

sebagai tanggapan atas teori Absolute Advantage dari Adam Smith. Pengertian

cost dalam teori ini adalah opportunity cost dalam produksi DN yang

didefinisikan sebagai technical production possibilities, yang disebut juga dengan

istilah technical transformation rate. Sedangkan pengertian opprtunity cost,

menurut Gottfried Haberler, adalah jumlah barang kedua yang harus dikorbankan

agar memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi tambahan 1 unit

barang pertama. Asumsi yang digunakan untuk memembahas teori comparative

advantage adalah :

(a) hanya terdapat 2 barang dan 2 negara,

(b) biaya produksi konstan

(c) pasar dalam kondisi persaingan sempurna

(d) tidak terdapat perubahan teknologi

(e) tidak terdapat biaya transportasi

(f) perdagangan bersifat bebas.

Page 15: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

14

Terhadap teori ini, Anand dan Joshi (1979) menjelaskan bahwa

pengoptimalan nilai produksi DN pada harga internasional, sesuai dengan teori

comparative cost, menyebabkan perbedaan terhadap hasil (pendapatan) yang

diterima. Pekerja yang bekerja pada sektor unggulan akan menerima pendapatan

yang lebih besar dibandingkan pekerja pada sektor non-unggulan. Hal ini

menyebabkan terjadinya distorsi dalam distribusi pendapatan.

Keberatan terhadap teori ini disampaikan oleh Kemp (1964) dan Baldwin

(1986) yang mengemukakan bahwa teori comparatif advantage dalam konteks

perencanaan pembangunan dinilai terlalu statis. Padahal teori ini tergantung

mutlak pada struktur harga internasional, dan harga tersebut termasuk

“pembangunan” yang terus berkelanjutan (dinamis ). Selain itu teori ini gagal

menjelaskan perbedaan antara market intertemporal idealized dari general

equilibrium theori dengan perluasan sistem harga yang melekat pada pasar di

NSB.

Pengujian empiris terhadap teori comparative cost dilakukan oleh Mac

Daugall (1951, 1952) dengan melakukan penelitian pada industri-industri di

Amerika Serikat (AS) dan Inggris dengan menggunakan data tahun 1937. Hasil

yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa industri yang

memiliki produktifitas tenaga kerja lebih tinggi di AS dibandingkan industri

Inggris adalah industri yang memiliki ratio ekspor AS terhadap Inggris yang lebih

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa AS lebih banyak mengekspor barang-barang

dari industri yang mempunyai produktifitas lebih tinggi (comparative advantage).

Hasil pengujian tersebut diperkuat oleh pengujian oleh Bela Ballsa dengan

menggunakan data tahun 1950 dan Stern dengan data tahun 1959.

Meskipun secara pengujian empiris teori ini sudah dapat dibuktikan

kebenarannya, tetapi terdapat beberapa kelemahan, yaitu ; (1) teori ini tidak

memberikan penjelasan mengenai terjadinya perbedaan produktivitas pada faktor

produksi dan keunggulan komparatif antar negera. (2) tidak memberikan

Page 16: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

15

penjelasan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap faktor

produksi.

2. Hecksher – Ohlin Theory ( HO )

Kelemahan dalam teori comparative cost, disempurnakan oleh Eli Hecksher

dan Bertil Ohlin yang kemudian dikenal dengan Teori Hecksher-Ohlin (HO) atau

Factor Proportion Factor. Teori ini menjelaskan sebab-sebab munculnya

keunggulan komparatif suatu negara dan dampak perdagangan internasional

terhadap pendapatan faktor produksi. Menurut teori ini, perdagangan

internasional timbul karena adanya perbedaan comparative advantage antara

negara satu dengan lainnya. Munculnya perbedaan comparative advantage

dipengaruhi oleh kelimpahan relatif faktor produksi ( factor abudance ) dan

intensitas relatif penggunaan faktor-faktor produksi (factor intensity). Untuk

mendefinisikan kelimpahan faktor produksi, ada 2 cara, yaitu : (1) mendasarkan

pada jumlah unit faktor produksi, (2) atas dasar harga-harga relatif faktor

produksi. Sedangkan yang dimaksud dengan intensitas faktor produksi adalah

faktor produksi (bahan) yang digunakan untuk membuat suatu barang adalah

sama, tetapi intensitasnya (jumlahnya) berbeda antara negara satu dengan negara

lainnya. Perbedaan intensitas tersebut disebabkan oleh endowment factor.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori ini sebagai berikut :

(a) hanya terdapat 2 barang dan 2 negara

(b) tingkat teknologi sama

(c) komoditi-1 padat modal/karya sedangkan komoditi-2 padat karya/ modal

(d) constant return to scale

(e) spesialisasi pada satu komoditi

(f) preferensi konsumen sama

(g) mobilitas faktor produksi sempurna.

Pengujian empiris terhadap teori ini dilakukan oleh Leontief (1954) dengan

data perekonomian AS pada tahun 1947. Dari hasil pengujian diperoleh, bahwa

substitusi import hanya 30% lebih padat modal dibandingkan ekspornya. Hal ini

Page 17: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

16

berarti AS cenderung mengekspor produk padat tenaga kerja dan mengimpor

produk padat modal. Kesimpulan yang diperoleh bertentangan dengan teori H-O,

sehingga dikenal dengan istilah paradoks leontief. Tetapi, munculnya paradoks

tersebut menurut beberapa ekonom dikarenakan keterbatasan metodologi dan

kelemahan analisa. Selain ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya

paradoks tersebut, yaitu ;

(1) tahun 1947 bukan merupakan profil yang tepat pada perdagangan AS,

karena adanya PD-II

(2) model yang digunakan leontief hanya 2 faktor dan tidak mencerminkan

gambaran perdagangan sebenarnya

(3) pemerintah AS mengenakan proteksi tariff yang tinggi.

Deardorff (1980, 1982) menganalisa prediksi dengan model H-O yang hasilnya

tidak sesuai dengan model dasar sederhana. Dia mencoba menguji rumusan ide

tentang hubungan antara content factor dari barang ; endowment factor dari suatu

negara dan pola perdagangan. Hasil pengujiannya diperoleh kesimpulan bahwa

hubungan tersebut tidak sesuai dengan kondisi di NSB. Artinya, pembuatan

barang-barang untuk tujuan ekspor di NSB tidak banyak menggunakan input-

input (constant factor) yang banyak terdapat di NSB (endowment factor)

Salah satu asumsi dalam model H-O adalah undistorted economy dalam

perekonomian suatu negara. Dalam kenyataanya banyak negara mengenakan

tariff sebagai proteksi industri DN. Menurut Travis (1972), adanya tariff tersebut

justru menyebabkan perbedaan penting dalam aliran perdagangan dan

perekonomian menjadi distorted.

Model yang lebih relevan dalam hal factor price equalization dalam kasus

NSB adalah model Rybszynski (1955). Ide model ini didasarkan pada ekspansi

supply factor yang dihubungkan dengan perluasan sektor yang menggunakan

faktor tersebut . Apabila terjadi kenaikan supply tenaga kerja (factor) maka

konsekuensinya terjadi perubahan produksi lebih besar pada sektor tersebut dan

Page 18: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

17

intensitas tenaga kerja pada tingkat nasional meningkat. Variabel yang digunakan

dalam model ini :

P : harga barang

A : matrik faktor requirement unit produksi

X : vector produksi

F : vector dari domestic supply

Produksi akan mencapai optimal :

Max X P . X subject to A . X <+ F

A . X = F

Maka, shadow price tenaga kerja :

P. A –1

. u L …………………………………………. ( 7 )

Sesuai dengan model ini, kenaikan supply tenaga kerja pasti menyebabkan

kenaikan produksi lebih besar dari intensitas kenaikan tenaga kerja. Apabila harga

DN tidak berubah dan foreign trade meningkat, perubahan produksi DN

menyebabkan kenaikan export yang sama dengan intensitas tenaga kerja.

3. Teori Perdagangan Internasional Baru

Teori perdagangan internasional telah berkembang pesat akhir-akhir ini, dan telah

banyak model yang berbeda-beda dapat menjelaskan teori baru tersebut. Krugman

(1989) mengemukan suatu teori : bahwa proteksi import merupakan promosi ekspor.

Mekanisme pemikirannya sebagai berikut : terdapat 2 perusahaan, masing-masing

sebagai produksen penjual di pasar dalam negeri. Marginal cost (MC) tiap

perusahaan turun sejalan dengan produksinya. Apabila pemerintah melakukan

intervensi dengan membatasi/ melarang import, maka perusahaan tersebut akan

mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri dengan membagi pasar sehingga produksi

akan naik dan MC turun. Dengan adanya intervensi tersebut, perusahaan luar negeri

hanya dapat menjual barang dalam jumlah sedikit dan MC perusahaan luar negeri

naik. Jadi dengan pemberlakuan intervensi berupa proteksi dengan membatasi import

akan menyebabkan penjualan meningkat.

Page 19: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

18

Pada kenyataannya, pengaruh terhadap konsumen dalam negeri sangat

ambigius. Penghilangan persaingan dari perusahaan luar negeri akan menyebabkan

harga barang meningkat (merugikan konsumen), tetapi penurunan MC perusahaan

dalam negeri menguntungkan bagi produksen.

BAB III

PERDAGANGAN DAN PERTUMBUHAN

PENDAHULUAN

Dalam pelbagai litelatur ekonomi banyak dijumpai definisi mengenai

pertumbuhan yang berbeda-beda antar ekonom. Menurut Johnson (1955)

pertumbuhan diartikan sebagai ekspansi yang menyebabkan kenaikan production

possibility frontier atau faktor availability. Dalam steady state model, perbedaan yang

menonjol terlihat antara produktivitas dan besarnya kegiatan ekonomi dalam jangka

panjang, yaitu sebagai faktor eksogen atau sebagai faktor endogen. Sedangkan dalam

model Solow-Swan, tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh

pertumbuhan supply tenaga kerja dan tingkat perubahan teknologi.

Menurut Coves (1965), hubungan antara perdagangan dan pertumbuhan dapat

dilihat dalam model vent for surplus. Konsep model ini sebagai berikut : suatu negara

memiliki faktor endowment yang masing-masing berbeda. Dalam model

perekonomian tertutup (tidak ada perdagangan internasional) pangsa pasar produk

terbatas di dalam negeri. Akibatnya banyak faktor produksi yang tidak digunakan

karena permintaan sedikit, sehingga terdapat surplus faktor produksi. Kemudian

terjadi perdagangan internasional (perekonomian terbuka) sehingga pangsa pasar

Page 20: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

19

menjadi luas (eksport) dan permintaan meningkat. Sehingga surplus faktor produksi

yang dulunya “menganggur” digunakan untuk meningkatkan produksi . Jadi adanya

perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Penjelasan lain tentang perdagangan dan pertumbuhan dikemukakan oleh

Findlay dengan menggunakan Model von Newman . Analisa model ini mempunyai

hubungan yang erat dengan model dari Deardorff (1973) yang menjelaskan bahwa

fungsi tabungan adalah sama dan dampak dari perekonomian terbuka terhadap

perdagangan akan meningkatkan tingkat akumulasi modal melalui surplus investasi.

Dalam model von Newman dijelaskan, bahwa kondisi negara memiliki perekonomian

kecil dan aktivitas kegiatan ekonomi linier. Variabel yang digunakan untuk

menjelaskan model tersebut :

P : harga internasional

A : input faktor produksi

B : output faktor produksi

A dan B : mencerminkan kemungkinan produksi domestik sektor formal

x : aktivitas kegiatan ekonomi.

Sehingga input requirement : A . x dan output requirement : B . x . Kemudian

variabel-variabel tersebut diaplikasikan dalam suatu model pembangunan yang

menunjukkan tingkat pertumbuhan Steady-State maksimal g* untuk beberapa

aktivitas x* dalam perekonomian tertutup sebagai berikut :

A.x* ( 1 + g

* ) <= B. x

* ………………………. (8)

Dalam perekonomian terbuka dimana terdapat perdagangan internasional, variabel

harga akan terpengaruh oleh harga internasional. Pengaruh terhadap harga sama

dengan tambahan aktivitas secara linier yang tercermin pada A dan B.

Effect dari perdangan internasional terhadap pembangunan dalam model von

Newman dapat disimpulkan :

1. g* dapat ditingkatkan menjadi maksimum dan tambahan pada variabel A

dan B tidak mensyaratkan solusi untuk mencapai tingkat maksimum

Page 21: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

20

2. The turnpike result akan diaplikasikan untuk memperbaiki sistem dan

efisiensi pertumbuhan . Perdagangan internasional dapat meningkatkan

tingkat pertumbuhan steady-state dalam sektor formal.

Perdagangan internasional dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan dalam steady-

state dalam sektor formal, sedangkan diluar steady-state perdagangan internasional

mungkin meningkatkan tingkat pertumbuhan yang diukur dengan capital stock.

Seperti model lainnya, model von Newman ini bukan tanpa kelemahan yang dapat

berkembang menjadi masalah serius. Kelemahan tersebut tampak dalam hal :

1. Dalam memaksimalkan tingkat pertumbuhan, model mengabaikan

pertimbangan penting yaitu kreativitas tenaga kerja.

2. Tingkat tabungan yang memasukkan surplus supply cost of labour dinilai

tidak realistis

3. Model juga mengabaikan faktor produksi lain seperti tanah dan sumber

non-produkstif lainnya

4. Teknologi dalam model von Newman mencerminkan diseconomis dan

menolak adanya eksternalitas dalam ekonomi

5. Model mengasumsikan bahwa sektor formal direncanakan

Kebijakan Untuk Mempengaruhi “Terms of Trade”

Negara sedang berkembang secara umum tidak dapat memperluas produksi

produk primer tanpa menderita kerugian dalam perdagangan internasional.

Kesimpulan bahwa terms of trade akan turun seculary terhadap produksi produk

primer harus dibedakan dari kesimpulan pada North-South Model ( Chichilinsky -

1980,1981). Dalam paper pertamanya disebutkan : transfer dari negara maju ke

negara miskin, disebabkan beberapa pergerakan (perubahan) dalam term of trade

yang membuat negara menerima dampak buruk (transfer paradox). Sedangkan dalam

paper kedua dijelaskan : kenaikan kurva demand dalam eksport model North-South

mungkin menyebabkan hal yang lebih buruk dalam term of trade.

Page 22: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

21

Terdapat perbedaan mendasar antara peningkatan dalam rata-rata term of

trade yang disetujui di NSB dan pengurangan fluktuasi dalam terms of trade.

Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan variabel stabilisasi dan peningkatan term

of trade. Corden (1984) mengemukakan, peningkatan term of trade dapat dilakukan

dengan :

1. Optimum tariff

Permasalah yang muncul : (a) tindakan pembalasan dari negara lain yang

dikenakan tariff ; (b) meningkatkan elastisitas harga permintaan jangka

panjang; (c) pengikisan market share, sehingga mengganggu usaha

mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek.

2. Control terhadap produksi

Usaha ini melibatkan banyak perusahaan. Apabila produksi tidak diawasi

dan harga barang meningkat, akan menyebabkan terjadinya konflik

kepentingan antara konsorsium dengan kepentingan individu dalam

kelompok. Hal ini menyebabkan munculnya free rider dan terjadinya over

supply.

Kebijakan yang mungkin di implementasikan untuk mempengaruhi term of

trade di NSB dengan menggunakan commodity price stabilitation. Messell (1970),

menggunakan simple partial equilibrium model dengan supply dan demand untuk

menjelaskan optimal price stabilitation bagi produsen. Model tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut :

Notasi demand : b – c. p dan notasi supply : + . p1 – z .

Dimana : z : variabel random dengan nilai 1 atau –1 dengan probabilitas 0,5

Harga tanpa intervensi dari pemerintah :

[ (b - ) - z . ] / c + ……………………………. (9)

Asumsi marginal propensity to income adalah konstan ( =1). Dengan menggunakan

Roy’s identity, maka fungsi harga :

a – b . p + 0,5 c . p2 …………………………… (10)

Page 23: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

22

Persamaan (9) dan (10) disubstitusikan, sehingga menjadi :

a – b [[ (b - ) - z . ] / c + ] + 0,5 c . [ [(b - ) - z . ] / c + ] 2 (11)

Maka harga dengan intervensi dari pemerintah :

P = (b - ) / c + ……………………………

(12)

Optimalisasi produksen dapat dilihat pada laba perusahaan. Fungsi laba :

+ ( + z . ) p + 0,5 p2 ……………………………

(13)

Nilai laba tanpa stabilisasi :

+ ( + z . ) . [[ (b - ) - z . ] / c + ] + 0,5 . [[ (b - ) - z . ] / c + ] 2 (14)

Nilai laba dengan stabilisasi :

+ . [(b - ) / c + ] + 0,5 [(b - ) / c + ] 2 ………………. (15)

Perbedaan antara laba yang diharapkan tanpa stabilisasi dan dengan stabilisasi dapat

dilihat dari ketentuan :

2 [ { / (c + )

2 } – 2 (c + )] ……………………………. (16)

Apabila nilainya negatif, maka produksen mengalami kerugian pada saat fluktuasi

dan mengalami keuntungan pada saan stabilisasi. Hal ini juga berarti, jika fluktuasi

berasal dari demand side, konsumen mendapatkan keuntungan dari stabilisasi,

sebaliknya produksen mengalami kerugian.

Efektivitas Kebijakan Proteksi Tariff

Untuk melindungi industri dalam negeri (infant industry) terhadap persaingan

dari industri luar negeri yang sejenis , NSB biasanya menerapkan Kebijakan Proteksi.

Kebijakan tersebut dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : (1) Tariff Barrier, yaitu proteksi

yang dilakuka oleh suatu negara dengan mengenakan tariff tertentu ( ad valerum atau

ad specific ) pada suatu barang, (2) Non-tariff Barrier, yaitu kebijakan proteksi yang

dilakukan oleh suatu negara selain berupa tariff, misalnya : quota, subsidi import,

dsb.

Page 24: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

23

Salah satu cara untuk mengevaluasi proteksi dengan menggunakan effective

protection rate (EPR) yang didefinisikan sebagai tambahan value added domestk

(termasuk input aktivitas ekonomi) sebagai proporsi dari value added harga

internasional. Pengaruh proteksi tariff terhadap aktifitas ekonomi menyebabkan

harga domestik berubah menjadi lebih tinggi dari value added aktivitas ekonomi. Hal

ini dimaksudkan untuk mendorong dampak yang lebih besar pada kanaikan produksi

atau hambatan dari aktivitas ekonomi tersebut. Pada kenyataannya dampak buruk

berupa hambatan dalam aktivitas ekonomi lebih besar. Dengan menggunakan EPR

diharapakan dapat mengukur tambahan “resources” yang akan digunakan untuk

mendorong aktivitas ekonomi yang telah ditentukan.

EPR juga didesain untuk mengukur effek tariff terhadap aktivitas ekonomi,

tetapi beberapa aktivitas tidak masuk dalam fungsi kesejahteraan (welfare function)

walaupun keuntungan yang ditimbulkan dimasukkan. Kesepakatan ini mengalami

kesulitan dalam cara memberikan intepretasi kesejahteraan dengan tepat dari

pengukuran EPR.

Menurut Bhagwati dan Srinivasan (1978, 1979) EPR dapat digunakan untuk

mengukur domestic resources cost yang ditentukan oleh struktur tariff dalam nilai

produksi domestik di pasar harga internasional. Domectic resources cost dari suatu

aktivitas merupakan nilai shadow price, yaitu biaya oportunity sosial dari resources

yang digunakan dalam aktivitas untuk mengahasilkan 1 unit nilai tambah

internasional.

Corden (1984) menjelaskan hubungan antara biaya proteksi dengan kegiatan

ekonomi, dalam konteks kerugian nilai pada harga internasional. Dari hasil

penelitiannya dapat diestimasikan dengan menggunakan indikator efektifitas proteksi,

yaitu perbedaan antara ERP kegiatan ekonomi satu dengan yang lainya.

Bhagwati dan Desai (1970) membahas tentang distorsi dalam system lisensi

import. Perusahaan bersikap rasional akan menginvestasikan modalnya pada bidang

usaha yang diyakini bahwa penambahan kapasitas produksi akan membantu

memperoleh nilai lisensi import yang tinggi, contohnya : rent-seeking yang

Page 25: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

24

dihadapikan pada nilai resources dimasukkan pada penentuan “rent” yang

ditimbulkan oleh proteksi atau intervensi yang lain. Hal yang paling nyata bahwa

rent-seeking mungkin menaikkan secara besar biaya proteksi dan biaya intervensi

lainnya. ( dalam Kruger’s Model ).

Dengan adanya perdagangan internasional dimungkinkan terjadinya perluasan

kemungkinan produksi dalam negeri dari sektor publik. Sektor ini dapat efisien jika

sektor dapat memaksimalkan nilai produksinya pada harga internasional. Menurut

Diamond dan Mirralees (1971), optimalisasi harga internasional merupakan relatif

shadow price untuk keputusan produksi sektor publik. Shadow price mendorong

produksi set pada tingkat optimal dan sebagai pertukaran pada harga internasional

relatif.

Little dan Mirralees (1979), Joshi (1972), Dasgupta-Stiglits (1974)

menjelaskan bahwa shadow price untuk perdagangan tidak ditentukan dalam angka,

tetapi dalam unit dimana serial cost benefit accounting dihitung. Dalam perdagangan

barang shadow price proporsional terhadap harga internasional. Kritik terhadap

shadow price dikemukakan oleh Stewart-Streeten (1972) yang menyoroti

permasalahan :

(1) validity dari penggunaan harga internasional sebagai shadow price.

(2) bagaimana shadow price untuk perdagangan jasa harus dihitung.

Liberalisasi Perdagangan

Sistem perdagangan internasional telah lama menjadi bahan perbincangan

diantara ekonom. Perbincangan tersebut menyeangkut pendekatan mana yang sesuai

digunakan untuk memformulasikan tata perdagangan internasional sehingga

menimbulkan manfaat yang signifikan baik negara maju atau NSB.

Pendekatan Neo-Klassik mengemukakan bahwa perdagangan internasional

yang bebas, dimana setiap negara melakukan spesialisasi pada barang yang

mempunyai keunggulan komparatif, akan menimbulkan kemakmuran yang relatif

optimal. Dalam perdagangan internsional yang bebas diharapkan akan muncul :

Page 26: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

25

1. Perdagangan bebas tanpa proteksi akan menghindari kondisi X-

inefficiency dalam proses produksi, yaitu inefisiensi yang ditimbulkan

karena produksen “bersikap manja” dengan adanya proteksi dari

pemerintah. Dengan tanpa proteksi, produksen dituntut untuk melakukan

alokasi sumber ekonomi secara efisien.

2. Mampu menghindarkan atau meminimumkan ketidakstabilan

perekonomian makro.

3. Perdagangan bebas yang mampu mendorong terjadinya economic of scale

sehingga barang makin kompetitif di pasar internasional.

Usaha-usaha untuk menghilangkan hambatan tersebut memunculkan adanya

GATT (general equilibrium on tariff and trade), yaitu persetujuan negara-negara

untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional yang berupa tariff.

Dalam GATT terdapat 3 prinsip, yaitu :

1. Most fafoured nation (MFN), yaitu bila suatu negara memberi perlakukan

instimewa kepada satu partner dagangnya, maka negara tersebut harus

memberikan hal yang sama kepada negara lain.

2. Reprocity, yaitu penurunan atau penghapusan tariff oleh suatu negara

terhadap negara lain harus dirundingkan terlebih dahulu.

3. Non-discrimination, yaitu setiap barang yang masuk suatu negara (barang

impoet) diperlakukan sama dengan barang domestik.

Tetapi dalam pelaksanaanya, GATT mengalami banyak penyimpangan yang

dilakukan oleh negara pesertanya (dengan argumennya sendiri) serta tidak konsisten.

Kecenderungan pengurangan hambatan juga tampak dalam proses globalisasi

perekonomian dunia dengan munculnya blok-blok perdagangan, misal : AFTA (asean

free trade area), NAFTA ( north american free trade area), EC (european

community). Didalam blok perdagangan tersebut, hambatan perdagangan baik berupa

tariff atau non-tariff disetui untuk dihilangkan. Dalam pelaksanaanya dilakukan

secara bertahap, untuk kasus AFTA dikenal dengan Fast track dan Normal track.

Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, blok-blok perdagangan tersebut

Page 27: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

26

membentuk kawasan regional bersama dimana hambatan dalam perdagangan

dihilangkan (secara bertahap), misal : APEC. Munculnya blok perdagangan

mempunyai dampak :

1. Trade creating effect, yaitu dampak positif bagi suatu negara yang ikut

dalam blok perdagangan

2. Trade deverting effect, yaitu dampak negatif dengan adanya blok

perdagangan (bagi negara yang tidak ikut dalam blok perdagangan).

BAB IV

NERACA PEMBAYARAN DAN

NERACA TRANSAKSI BERJALAN

PENDAHULUAN

Adanya keterbukaan perekonomian memiliki dampak pada neraca

pembayaran suatu negara yang menyangkut arus perdagangan dan lalu lintas modal.

Arus perdagangan dapat dipengaruhi oleh kebijakan nilai tukar dalam upaya untuk

menjaga daya saing ekspor dan menekan impor untuk mengurangi defisit transaksi

berjalan. Pengaruh kebijakan nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua

sisi, yaitu permintaan dan penawaran.

Pada sisi permintaan, depresiasi nilai tukar akan menyebakan harga barang

luar negeri relatif lebih tinggi dibandingkan harga barang dalam negeri. Hal tersebut

akan berdampak pada peningkatan permintaan terhadap barang dalam negeri, baik

dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar negeri (ekspor meningkat).

Analisis sisi permintaan ini diperkaya dengan konsep elastisitas harga Marshall-

Lerner Condition, dimana depresiasi nilai tukar akan meningkatkan ekspor netto

apabila jumlah elastisitas harga ekspor dan impor lebih besar dari satu.

Page 28: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

27

Sedangkan dari sisi penawaran, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan

biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output

produksi dan akan memicu kenaikan harga secara umum ( inflasi ). Interaksi antara

sisi permintaan dan sisi penawaran secara langsung akan mempengaruhi arus

perdagangan internasional, yang dalam indikator makro tercermin pada neraca

perdagangan ( ballance of trade ).

Dengan mengamati perkembangan kinerja perdagangan internasional

Indonesia selama ini, terlihat bahwa nilai tukar masih digunakan sebagai alat oleh

otoritas moneter untuk mendorong ekspor (Waluyo dan Siswanto, 1998). Devaluasi

di Indonesia pada saat menganut sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate )

semula dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekspor yang selanjutnya dapat

menanggulangi defisit neraca traksaksi bejalan. Setelah beberapa kali dilakukan,

kebijakan devaluasi tidak signifikan meningkatkan ekspor. Hal tersebut dikarenakan

kenaikan penerimaan ekspor yang cukup berarti, khususnya dari sektor non-migas

menjadi terkikis karena cepatnya penyesuaian harga domestik akibat terlalu

rendahnya nilai rupiah terhadap Dollar AS.

Sebenarnya cukup jelas arahnya bahwa kebijakan devaluasi atau depresiasi,

menurut teori ekonomi internasional dan sejumlah studi empiris, menunjukkan bahwa

kebijakan tersebut ditujukan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan suatu

negara. Sebagaimana disampaikan oleh Adelman (1999), bahwa apresiasi mata uang

domestik akan menurunkan daya saing ekspor dan pada gilirannya akan menambah

defisit transaksi berjalan, demikian pula sebaliknya.

Tabel 1.1

Perkembanngan Nilai Neraca Transaksi Berjalan dan

Kurs Rupiah Terhadap Dollar AS

Tahun

Bulan Neraca Transaksi

Berjalan Kurs IDR terhadap

USD

( juta USD )

2004 Maret -1992 8587

Juni 973 9415

September 2038 9170

Desember 544 9290

Page 29: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

28

2005 Maret 209 9480

Juni 436 9713

September -1165 10310

Desember 797 9830

2006 Maret 2804 9075

Juni 1717 9300

September 3524 9235

Desember 1891 9020

2007 Maret 3020 9118

Juni 2460 9054

September 2899

9137

Sumber : Bank Indonesia.

Grafik 1.1.

Perkembangan Nilai Neraca Transaksi Berjalan (juta USD)

Grafik 1.2.

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS

-2000

-1000

0

1000

2000

3000

4000

juta USD

Ma

r.

Jun

.

Se

p.

De

c.

Ma

r.

Jun

.

Se

p.

De

c.

Ma

r.

Jun

.

Se

p.

De

c.

Ma

r.

Jun

.

Se

p.

tahun 2004-2007

Page 30: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

29

Namun demikian, studi empiris yang dilakukan oleh Leonars dan Stockman

(2001) menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara nilai tukar, transaksi

berjalan dan gross domestic product (GDP) riil. Sependapat dengan itu, menurut

Rajan (2003) bahwa depresiasi dan apresiasi mata uang bukan cara efektif untuk

mengkoreksi ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan.

Pertentangan antara kedua kajian di atas membawa kepada isu yang menarik

dan perlu dilakukan studi bagaimana dampak sebenarnya dari fluktuasi (depresiasi

dan aprediasi) mata uang rupiah terhadap perubahan neraca transaksi berjalan

Indonesia.

Neraca Pembayaran dan Neraca Transaksi Berjalan.

Neraca pembayaran dapat didefinisikan sebagai sebuah catatan yang

sistematis tentang semua transaksi ekonomi antar negara dalam suatu periode

tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi ekonomi adalah nilai dari suatu

aktifitas pertukaran yang melibatkan transfer pemilik barang atau jasa dan pemilik

auang atau asset. Hal yang harus ditekankan, bahwa transaksi ekonomi tersebut

haruslah transaksi ekonomi yang bersifat internasional yang melibatkan hubungan

antar negara.

Stuktur neraca pembayaran menurut IMF (International Monetary Fund)

memiliki komposisi sebagai berikut :

1. Current Account

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

Mar

.

Jun.

Sep.

Dec.

Mar

.

Jun.

Sep.

Dec.

Mar

.

Jun.

Sep.

Dec.

Mar

.

Jun.

Sep.

Nov.

2004 2005 2006 2007

Page 31: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

30

Terdiri dari transfer barang dan jasa (baik ekspor maupun impor) dan

unilateral transfer. Dalam konteks Indonesia, current account merupakan

rekening neraca transaksi berjalan, yang merupakan nilai netto aktifitas ekspor

dan impor barang atau jasa serta unilateral transfer.

2. Capital Account

Meliputi semua transfer financial kecuali unilateral tranfer. Sub account dari

elemen ini adalah long term capital dan short term capital.

3. Official Reserve Account

Mencatat transfer financial dari otoritas moneter suatu negara. Sub Account

ini ditujukan untuk mempengaruhi nilai tukar suatu negara melalui intervensi

otoritas moneter pada kasus floating exchange rate system. Sedangkan pada

suatu kasus dimana sistem moneter internasionalnya fixed exchange rate

system, account ini ditujukan untuk kompensasi penyesuaian nilai tukar

domestik terhadap nilai tukar pasar (compensatory compensation).

4. Error and Omissions

Sub Account ini merupakan pos penyesuaian terhadap transaksi-transaksi

yang tidak mampu terdeteksi dalam kurun waktu yang dimiliki oleh laporan

neraca pembayaran (1 tahun).

2. Analisis Neraca Transaksi Berjalan

Analisis neraca transaksi berjalan lebih menekankan pada aktifitas ekspor dan

impor. Dalam kajian teori, analisis neraca perdagangan dapat dijelaskan melalui

pendekatan elastisitas dan pendekatan Absorbsi.

2.1. Pendekatan elastisitas

Konsep analisis ini menekankan pada peranan penting analisis tentang

aktivitas ekspor dan impor dalam memahami neraca pembayaran. Pendekatan ini

memberi tekanan pada konsep neraca perdagangan sebagai perbedaan antara ekspor

Page 32: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

31

dan impor. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan dampak devaluasi (fluktuasi

nilai tukar) melalui pembedaan bagaimana dan bagaimana perubahan nilai tukar

tersebut akan mempengaruhi nilai tukar berpengaruh pada terms of trade, dan

bagaimana perubahan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi ekspor dan impor.

Dengan demikian pendekatan elastisitas sangat erat kaitannya dengan konsep

Marshall-Lerner Condition.

Marshall-lerner Condition menyatakan bahwa tingkat stabilitas pasar valuta

asing sangat tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk barang impor dan

permintaan barang untuk ekspor. Apabila jumlah elastisitas keduanya lebih besar dari

1 (satu) maka pasar valuta asing bersifat stabil. Pasar valuta asing dikatakan tidak

stabil bila jumlah elastisitas keduanya kurang dari satu, sedangkan bila jumlah

elastisitasnya sama dengan 1 (satu) maka dikatakan pasar valuta asing tidak banyak

berperan sebagai faktor perubah neraca pembayaran. (Salvatore, 1994).

Dengan demikian, berdasarkan kondisi Marshall-Lerner, fluktuasi nilai tukar

baik dalam bentuk apreisiasi maupun depresiasi, akan bermanfaat untuk

mempengaruhi neraca transaksi berjalan apabila jumlah elastisitas permintaan untuk

barang ekspor dan impor lebih besar dari pada 1 (satu). Namun demikian, angka

elastisitas bukan merupakan faktor penentu satu-satunya. Skala produksi suatu negara

dalam perdagangan internasional juga menentukan. Apabila negara tersebut memiliki

skala produksi yang besar sehingga pasar internasional dipengaruhinya, maka

fluktuasi nilai tukar akan berpengaruh pada perekonomian negara tersebut.

Sebaliknya bagi suatu negara yang skala produksinya relatif kecil di perdagangan

internasional, maka kebijakan perubahan nilai tukar hanya akan merubah nilai barang

secara absolute. Dampak bagi negara kecil tersebut, apabila melakukan devaluasi

hanyalah terjadi peningkatan penerimaan ekspor, namun juga disertai peningkatan

pengeluaran untuk impor.

2.2. Pendekatan Absorbsi.

Pendekatan ini lebih memberikan tekanan pada dampak devaluasi (perubahan

nilai tukar) terhadap neraca transaski berjalan yang didefinikan sebagai perbedaan

Page 33: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

32

antara pendapatan (Y) dengan absorbsi (A). Dalam konsepnya, devaluasi memiliki

kecenderungan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan hanya apabila devaluasi

tersebut mampu mengurangi tingkat pengeluaran relatif terhadap pendapatan. Dari

hubungan identitas pendapatan nasional diperloleh persamaan :

Y = C + I + X – M

Dimana : Y : pendapatan nasional X : ekspor

C : konsumsi M : impor

I : investasi

Sedangkan absorbsi ( A ) domestik diformulasikan :

A = C + I

Dengan melakukan substitusi antara dua persamaan tersebut diperoleh :

Y – A = X – M

Persamaan tersebut dapat ditafsirkan apabila tingkat absorbsi lebih besar dari

pada tingkat pendapatan, sehingga perbedaan antara keduanya harus ditutupi dengan

impor, maka neraca transaksi berjalan akan defisit.

Disisi lain, absorbsi dapat juga dikaitkan dengan penggunaan keseimbangan

saving-investment atau leankage-injection.

S + M = X + I atau S – I = X - M

Dimana : S : tabungan

Apabila tabungan domestik tidak mencukupi untuk kebutuhan investasi, maka

perlu untuk mengimpor tabungan dari luar negeri yang berupa investasi asing (If)

dimana :

I f = X - M

Dari kelima persamaan di atas, dapat dibuat sebuah persahaan tunggal :

X – M = S – I = Y – A = If

Jadi apabila pendapatan suatu negara lebih kecil dari tingkat absorbsinya, maka

investasi akan lebih besar daripada tabungan, dan membawa konsekuensi terjadinya

defisit neraca transaksi berjalan. Sehingga diperlukan pembiayaan yang berasal dari

investasi asing dalam bentuk aliran modal ke dalam negeri (capital inflow).

Page 34: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

33

2.3. Pendekatan Moneter

Pendekatan moneter terhadap neraca pembayaran (Monetary Approach

Ballance of Payment) secara umum menyatakan bahwa neraca transaksi berjalan dan

tingkat cadangan internasional dapat dijelaskan melalui analisis pasar uang. Dalam

pendekatan ini terdapat dua versi, yaitu Equilibrium Monetary Approach Ballance of

Payement (EMABP) dan Dis-equilibrium Monetary Approach Ballance of

Payment.(DMABP). ( Miller, 1978).

EMABP meyatakan bawa pasar uang memiliki bentuk model flow, dan pasar

uang diasumsikan bersifat stabil. Dalam suatu perekonomian negara yang relatif

kecil, yang dianggap tidak terdapat pertumbuhan ekonomi dan tingkat harga serta

tingkat bunga relatif tetap terhadap besaran internasional, maka rasio antara

perubahan cadangan internasional dengan perubahan asset domestik dari pada bank

sentral sama dengan – 1 (negatif satu).

Versi DMABP secara pasti menyatakan bahwa persamaan pasar uang bersifat

flow dan memandang pasar uang sebagai pasar yang berada pada posisi tidak

seimbang. Ketidakseimbangan tersebut dapat bersumber dari ketidakseimbangan

permintaan pada pasar barang dalam bentuk terjadinya exess demand, dan

ketidakseimbangan yang berasal dari kendala anggaran yang dihadapi dalam suatu

perekonomian. Ada beberapa asumsi dalam versi DMABP ini, yaitu :

a. Penawaran domestik dianggap sebagai exess supply dalam pasar barang

domestik.

b. Pemerintah tidak memiliki penerimaan maupun pengeluaran.

c. Komponen asing untuk permintaan adalah neraca perdagangan dan aliran

modal netto.

d. Uang domestik hanya dipegang oleh penduduk domestik.

e. Tidak terdapat uang asing yang dipegang penduduk, sehingga permintaan

netto atas uang asing sama dengan 0 (nol).

2.4. Pendekatan Global Monetary Approach Ballance of Payment (GMABP)

Page 35: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

34

Ada dua elemen penting dalam GMABP, yaitu pertama digunakannya

pemikiran mazhab monetaris dalam analisis neraca transaksi berjalan disequilibrium

yang lebih menekankan pada penawaran dan permintaan uang. Kedua, GMABP

menempatkan asumsi terintegrasinya perekonomian dunia, terutama pada pasar

komoditi.

Mazhab monetaris global beranggapan bahwa komoditi-komoditi yang

dihasilkan oleh negara yang berbeda-beda tetap memiliki sifat subtitusi, sehingga

dalam perdagangan bebas pertukan akan mengacu pada hukum satu harga (the law of

one price). Terdapat tiga hal penting mengenai pandangan mazhab ini :

1. Adanya asumsi substitusi sempurna di pasar barang dunia sehingga

memungkinkan digunakannya konsep Purchasing Power Parity (PPP).

2. Elemen moneteris yang baku membawa konsekuensi pada proposionalnya

perubahan yang terjadi pada jumlah uang beredar dan tingkat harga.

3. Dalam kondisi nilai tukar tetap, penawaran uang domestik memiliki

kecondongan untuk bersifat endogen daripada eksogen.

4. Ekses permintaan uang memiliki peran penting dalam memfungsikan semua

pasar ( pasar uang dan pasar komoditi ) dalam perekonomian.

Keseimbangan neraca transaksi berjalan dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai

adanya kesamaan antara penerimaan dunia dengan pengeluaran dunia, atau adanya

kesamaan tingkat hoarding dalam negeri dengan tingkat dishoarding di luar negeri.

(Hallwood dan McDonald, 1995). Dalam kasus fluktuasi nilai tukar, dalam hal ini

devaluasi, dampak yang terjadi adalah meningkatnya hoarding luar negeri

proposional dengan tingkat devaluasi yang terjadi. Kenaikan tersebut didasari oleh

adanya pergerakan tingkat harga sebesar perubahan devaluasi.

4. Penelitian Terdahulu

Studi yang dilakukan oleh Djiwandono (1980) mengenai pendekatan moneter

terhadap analisis neraca pembayaran dalam konteks perekonomian Indonesia yang

terbuka, menunjukkan bahwa : (1) Perubahan yang terjadi pada pendapatan nasional

dan tingkat harga, secara bersama-sama akan memperbaiki posisi neraca transaksi

Page 36: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

35

berjalan, (2) Kebijakan devaluasi memiliki dampak positif terhadap neraca transaksi

berjalan dalam jangka pendek, (3) Dengan menganggap variabel pembentuk model

yang lain pada model penelitian sebagai variabel eksogen, maka terdapat bukti yang

signifikan bahwa proporsi antara penawaran uang dengan cadangan internasional

(dalam neraca pembayaran) memiliki sifat proposional negatif.

Penelitian lain dilakukan oleh Nopirin (1983) menganalisis dampak kebijakan

nilai tukar terhadap pendapatan nasional, neraca transaksi berjalan dan harga di

Indonesia. Model penelitian yang digunakan adalah model analisis neraca transaksi

berjalan jangka pendek yang dikembangkan oleh Frankel dan Glyfason (1992). Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan moneter selama periode penelitian

menunjukkan kebijakan moneter menyeluruh yang merupakan kombinasi antara

kebijakan pengeluaran pemerintah yang dikombinasikan dengan kebijakan nilai tukar

akan meningkatkan pendapatan nasional, keseimbangan neraca transaksi berjalan dan

stabilitas harga.

Waluyo dan Siswanto (1998) menunjukkan bahwa elastisitas nilai tukar riil

terhadap ekspor non-migas yang cukup besar dan signifikan mengimplikasikan

kebijakan nilai tukar (depresiasi rupiah) yang terjadi di Indonesia mempengaruhi

kinerja ekspor non-mogas, namun pengaruhnya tidak segera tetapi membutuhlan lag.

Selain itu, hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pengaruh nilai tukar dalam

mendorong ekspor semakin besar dan cepat dalam rentang waktu sebelum krisis

moneter tahun 1997.

Ma dan Cheng (2003) melakukan penelitian terhadap efek dari fluktuasi nilai

tukar terhadap perdagangan internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek

dari fluktuasi nilai tukar pada masa saat krisis mata uang tahun 1997 berdampak

negatif terhadap impor, sedangkan terhadap ekspor berdampak positif. Merosotnya

mata uang domestik akan mengurangi impor dalam jangka pendek dan menstimulasi

ekspor dalam jangka panjang.

Page 37: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

36

BAB V

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Kebijakan-kebijakan dalam perekonomian secara garis besar dapat ditinjau dari

dua sisi, yaitu kebijakan untuk mempengaruhi Sisi Penawaran Agregate (misal:

kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian) dan kebijakan yang mempengaruhi

Sisi Permintaan Agregate (misal: kebijakan moneter, kebijakan fiskal). Kedua macam

kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara simultan akan

mempengaruhi sasaran yang akan dicapai dalam kebijakan ekonomi, seperti tingkat

inflasi, pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran.

Dalam setiap kebijakan ekonomi, mengandung tiga komponen yaitu: Instrumen,

sasaran, serta hubungan antara instrumen dan sasaran. Uraian berikut ini akan

mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas

kebijakan moneter dengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut.

Page 38: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

37

Permasalahan akan muncul, apabila dalam merancang kebijakan ekonomi

sasaran akhir yang akan dicapai berganda (misal: inflasi, pertumbuhan ekonomi,

neraca pembayaran). Dalam kondisi tersebut kesesuaian antara Policy Mix dan

ketetapan Policy Assignment sangat penting. Landasan teori dari konsep kesesuaian

Policy Mix dikenal lewat ekonom dari Belanda, yaitu Jan Tinberger (2004)

Sedangkan konsep teori tentang ketetapan Policy Assignment di kemukakan oleh ahli

ekonomi moneter dari Amerika Serikat, Robert Muldell. (2006)

Konsep dasar dari teori Tinbergen mendasarkan pada asumsi adanya hubungan

linear antara intrument dengan sasaran akhir, untuk itu setiap intrumen harus

independent terhadap intrumen yang lain. Di dalam kerangka kerja dari Tinberger,

penyebab ketidak efektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek :

Dari analisanya, dikemukakan ada beberapa aspek yang menjadi penyebab

ketidak efektifan dari kebijakan moneter:

1. Jumlah instrumen kebijkan yang tersedia minimal sama dengan jumlah

sasaran

Dalam konteks perekonomian Indonesia, ada 3 sasaran kebijakan ekonomi

makro yang akan dicapai yaitu inflasi yang rendah, pertumbuahn ekonomi

yang cukup tinggi dan keseimbangan neraca pembayaran. Ketiga sasaran

tersebut didekati dengan menggunakan tiga intrument yaitu kebijakan

moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar.

2. Pembatasan ruang gerak kebijakan moneter

Untuk kasus di indonesia tidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap

variabel-variabel moneter, namun secara implisitruang gerak kebijakan

moneter sangat dibatasi oleh sasaran nilai tukar.

3. Hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir

Hal ini terjadi dalam perekonomian Indonesia. Pencapaian sasaran akhir

pertumbuhan ekonomi seringkali mempengaruhi pencapaian sasaran tingkat

inflasi.

4. Kesesuaian antara Policy Mix dengan Policy Setting

Page 39: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

38

Dalam kondisi seperti sekarang ini pembebanan tugas yang berlebihan pada

kebijakan moneter untuk mencapai berbagai sasaran ekonomi makro akan

mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi (khususnya bersumber dari

tingginya nilai suku bunga), mendorong masuknya modal asing jangka

pendek yang bersifat spekulatif dan mendorong industri keuangan untuk

melakukan usaha dengan pembiayaan yang berisiko tinggi.

Sedangkan konsep dasar teori ketepatan Policy Assignment berkaitan dengan

pembagian tugas diantara berbagai kebijakan yang tersedia dan dikenal dengan

Mundells Assgnment Rule. Berdasarkan teori tersebut efektifitas kebijakan

tergantung pada beberapa faktor, pertama kesesuaian pembagian tugas dengan

keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter

diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi dari pada kebijkan fiskal dan

kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi, maka

seyogyanya kebijakan moneter hanya digunakan untuk pengendalian laju inflasi

sedangkan untuk pertumbuhan produksi dikendalikan menggunakan kebijakan

fiskal.

Kedua, efektifitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan

otoritas moneter dalam mengendalikan instrumen-instrumen yang ada. Indikator

yang digunakan untuk menilai kemampuan tersebut adalah kemampuan otoritas

moneter dalam mengendalikan uang primer. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi (mengurangi) efektifitas pengendalian uang primer:

1. Derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek

Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia dengan

menggunakan Koefisien Ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih

operasi pasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, didapatkan nilai

sebesar 75%. Ini mengandung arti bahwa setiap Rp 1,- jumlah uang yang

tersedot melalui OPT hanya 25 % (Rp 0,25,-) yang benar-benar masuk,

Page 40: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

39

sedangkan 75 % (Rp 0,75,-) mengalir kembali kepada masyarakat melalui

peningkatan arus masuk modal dari luar negeri jangka pendek.

2. Masih rendahnya tingkat kedalaman pasar uang

Dalam analisa permintaan dan penawaran, kondisi tersebut tercermin pada

kurva permintaan yang tidak elastis. Dalam keadaan tersebut, adanya tekanan

yang berupa pesatnya arus keluar masuk modal maupun tekanan likuiditas akan

mempengaruhi perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar. Sebagai

konsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif.

3. Adanya segmentasi sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku

diantara berbagai kelompok bank. Hal ini terkait dengan kebijakan bank dalam

menentukan pangsa pasar dalam kegiatan operasionalnya.

4. Buruknya Sistem Perbankan

Hal ini tampak dalam perbedaan bank-bank pemerintah dan swasta dalam

menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter.

Ketiga, tingkat kredibilitas otoritas pengambil kebijakan. Konsep

yangberkaitan dengan kredibilitas pengambil kebijakan adalah konsel Time

Concistency. Dalam konsep ini suatu kebijakan untuk diambil berdasarkan prinsip

discretionary akan mendorong pengambil kebijakan untuk mengambil yang berbeda

dengan ekseptasi pasar. Jika dilihat dari sisi pengambil kebijakan , tindakan ini

adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaat dari kebjakan yang

diambil. Namun bila kebijakan tersebut dilakukan berulang-ulang maka tingkat

kredibilitas kebijakan yang diambil akan turun dimata pelaku pasar ( misal

perubahan tingkat bunga dan revisi APBN ). Akibatnya masyarakat akan

membentuk persepsi yang berbeda dengan yang dinginkan oleh pemerintah dan

sasaran kebijakan makro menjadi tidak tercapai.

Dari uraian di atas tentang Policy Mix dan Policy Assigment dapat

disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya sedang mengalami proses transformasi

ekonomi dan keuangan. Proses tersebut akan menyebabkan adanya perubahan

Page 41: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

40

paradigma pengendalian moneter sebagai dampak dari deregulasi dan globalisasi di

sektor keuangan.

B. DAMPAK DEREGULASI KEUANGAN TERHADAP EFEKTIVITAS

KEBIJAKAN MONETER.

Deregulasi dan globalisasi pada sektor keuangan yang dilakukan oleh

pemerintah Indonesia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan

ekonomi khususnya bidang moneter. Menurut Milton Friedman, terdapat tiga

kemungkinan dampak deregulasi keuangan terhadap kebijakan moneter.

1. Deregulasi dalam suku bunga dan nilai tukar serta integrasi ke dalam

pasar keuangan dunia akan mengubah transmisi kebijakan moneter

2. Inovasi dalam bidang keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya

hubungan antara harga (inflasi) dan uang (besaran moneter

3. Semakin meningkatnya mobilitas modal akan mempersulit dua

sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar dalam

waktu yang bersamaan.

Dari pengalaman beberapa negara maju, seperti Kanada dan Australia,

menunjukkan bahwa setelah adanya deregulasi sektor keuangan terdapat hubungan

yang cenderung tidak stabil antara pertumbuhan jumlah uang beredar (JUB) dan

kegiatan ekonomi (inflasi, pertumbuhan ekonomi). Akibatnya pertumbuhan JUB

tidak mampu lagi mengontrol perkembangan inflasi dan tingkat produksi nasional.

Hal ini menyebabkan banyak negara tidak lagi menggunakan besaran moneter JUB

sebagai sasaran kebijakan moneter, tetapi beralih kepada besaran moneter tingkat

bunga.

Di Indonesia, pencapaian sasaran jumlah uang beredar ( M0,M1 dan M2)

mempunyai kecenderungan tidak sesuai dengan target. Seiring dengan menurunnya

kinerja pencapaian jumlah uang beredar, maka sasaran akhir inflasi dan neraca

pembayaran juga sulit tercapai. Hal yang perlu diperhatikan disini, bahw

aderugulasi sktor moneter yang dimulai sejak tahun 1983 mengakibatkan perubahan

struktural pada:

Page 42: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

41

1. Pembebasan penentuan tingkat suku bunga kepada pasar. Hal ini

berdampak terhadap perubahan portofolio keuangan masyarakat yang

tercermin pada perubahan kompisisi uang kartal, uang giral dan simpanan

berjangka.

2. Batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakin dekatnya

substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan

M1

3. Perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan

tingkat sensitifitas permintaan aka uang terhadap perubahan pendapatan

dan suku bunga

Dengan adanya perubahan –perubahan tersebut semakin menyakinkan bahwa

kebijakan moneter melalui tingkat bunga lebih penting dibandingkan melalui

jumlah uang beredar.

C. SUKU BUNGA SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL

Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang

beredar (sasaran kuantitas) yang dipelopori aliran monetaris dan tingkat suku bunga

(sasaran harga) yang dipelopori oleh aliran keynesian.

Aliran monetaris percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan

uang relatif rendah dan elastisitas terhadap permintaan barang relatif tinggi. Selain

itu, mereka juga percaya bahwa velocity of circulation dan jumlah uang beredar

bersifat eksogen. Hal ini mengakibatkan uang tidak bersifat netral, karena uang

dapat mempengaruhi tingkat produksi nasional dan harga dalam jangka pendek.

Sehingga aliran ini sangat mendukung penggunaan sasaran jumlah uang beredar

dalam kebijakan moneter.

Sedangkan aliran keynesian mempercayai bahwa elastisitas tingkat suku

bunga terhadap permintaan uang relatif tinggi, elastisitas suku bunga terhadap

investasi (barang) relatig rendah. Terhadap velocity of circulation, menurut aliran

Keynesian, tidak stabil dan sangat fluktuatif. Jumlah uang beredar merupakan

faktor endogen. Dari pandangan tersebut, aliran keynesian menyimpulkan bahwa

Page 43: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

42

mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung, yaitu melalui

tingkat suku bunga. Oleh karena itu, aliran ini lebih menekankan pada penggungaan

suku bunga sebagai sasaran kebijakan moneter. Transmisi kebijakan moneter

menggunakan sasaran suku bunga dapat melalui beberapa jalur :

1. Intertemporal Substitution

Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan

dari tabungan. Hal ini akan berdampak pada pengeluaran baik untuk

investasi maupun untuk konsumsi.

2. Exchange Rate Effect

Didalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga (ceteris

paribus) akan berpengaruh pada apresiasi nilai tukar mata uang domestik

dalam jangka pendek. Ini mengakibatkan harga barang impor relatif

menjadi lebih murah dan inflasi akan menurun. Dilain pihak kegiatan

ekspor akan menurun, karena harga barang ekspor menjadi relatif mahal.

3. Cash Flow Effect

Dengan meningkatnya tingkat suku bunga nominal simpanan, maka

pendapatan nominal debitur (lembaga keuangan bank) akan menurun.

Dampak selanjutnya akan perpengaruh terhadap tingkat likuiditas lembaga

keuangan tersebut, sehingga mau tidak mau lembaga keuangan akan

mengurangi jumlah pengeluarannya (misal: melakukan rasionalisionalisasi

tenaga kerja)

4. Wealth Effect

Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagi faktor diskonto dari

ekspektasi pendapatan uantuk masa yang akan datang akan mengubah

nilai aset finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset tersebut

mengakibatkan perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada

Page 44: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

43

gilirannya akan mempengaruhi keputusan dalam bidang konsumsi,

investasi dan produksi.

5. Credit Rational Effect

Penngkatan suku bunga simpanan akan mendorong lembaga keuangan

bank untuk meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada

debitur (baik lama atau baru) sebagai akibat dari kekhawatiran turunnya

kapasitas debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya, suku

bunga kredit meningkat dan suplay kredit menurun.

D. KONSEP PENGENDALIAN MONETER DENGAN MENGGUNKAN

SUKU BUNGA SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL UNTUK

INDONESIA

Kebijakan moneter di Indonesia memiliki beberapa sasaran, yaitu : (1)

pertumbuhan ekonomi yang tinggi,(2) penyediaan lapangan kerja yang cukup,(3) laju

inflasi rendah, dan (4) keseimbangan neraca pembayaran. Dalam pelaksanaannya,

Bank Indonesia mengalami kesulitan untuk mencapai seluruh sasaran karena adanya

“conflicting target” antara satu sasaran dengan sasaran lainnya. Untuk itu perlu

dipertimbangkan sasaran tunggal yaitu suku bunga sebagai sasaran operasional.

Adapun mekanismenya sebagai berikut :

SBI-SBPU

rate

Excess

Reserve

P U A B

Suku Bunga Dep.

Dan Nilai Tukar

G D P

GDP > Potensial

Output

Inflasi

Meningkat

Page 45: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

44

Dalam gambar di atas, dijelaskan bahwa untuk mencapai sasaran akhir

tunggal yaitu pengendalian inflasi menggunakan sasaran operasional suku bunga

Pasar Uang Antar Bank ( PUAB ). Untuk mengendalikan suku bunga PUAB

instrumrn kebijakan moneter yang digunakan adalah Operasi Pasar Terbuka ( OPT )

melalui jual/ beli SBI dan SBPU. Perubahan suku bunga SBI/ SBPU selanjutnya

diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar ( dengan sistem nilai tukar

mengambang ). Kedua variabel tersebut selanjutnya akan ditransmisikan ke sektor riil

melalui tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output

potensial akan mempengaruhi laju inflasi.

Penentuan sasaran akhir dan sasaran operasional perlu dilakukan karena pada

kenyataannya tidak ada pelaku ekonomi (termasuk Bank Indonesia) memiliki

informasi yang lengkap mengenai jalannya kebijakan moneter dalam perekonomian.

Selain itu, seringkali terjadi pengaruh dari faktor lain muncul yang justru

menyebabkan tidak tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter.

Dalam masalah implementasi kebijakan, biasanya policy makers dihadapkan

pada dua persoalan :

1. Efek apakah yang perlu dihasilkan dalam mencapai tujuan akhir , misalnya

untuk mencapai tujuan menurunkan harga atau perluasan kesempatan kerja,

apakah jumlah uang beredar harus turun, tetap atau naik. Dalam hal ini, suatu

indikator kebijakan moneter akan memberikan informasi mengenai efek apa

yang harus dihasilkan.

2. Cara mengubah atau memanipulasi instrumen kebijakan untuk menghasilkan

efek tersebut ? Dalam hal ini, operasional target akan menunjukkan metode

yang digunakan.

Yang dimaksud dengan indikator kebijakan moneter adalah variabel ekonomi

yang bisa memberikan informasi mengenai : arah perubahan sektor moneter,

termasuk pengaruh tindakan Bank Indonesia terhadap pencapaian tujuan akhir.

Indikator yang baik adalah indikator yang bisa memberikan informasi yang konsisten

Page 46: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

45

dan meyakinkan, indikator dalam hal ini kebijakan moneter yang mencakup variabel

moneter.

Sedangkan target operasional dari kebijakan moneter adalah variabel ekonomi

yang setiap saat dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia melalui operasi pasar

terbuka. Suatu target operasional yang baik harus memenuhi kriteria dasar sebagai

berikut :

1. Besaran harus dapat diukur oleh Bank Indonesia secara akurat dalam jangka

pendek.

2. Dapat dikontrol atau dikendalikan oleh Bank Indonesia dengan cara

mengubah instrumen kebijakan moneter.

3. Perubahan besarnya target operasional dalam jangka menengah seharusnya

mendominasi perubahan-perubahan dalam variabel ekonomi yang dipilih

sebagai indikator.

Page 47: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

46

BAB VI

PENELITIAN EMPIRIS

KEMAMPUAN MODEL PURCHASING POWER PARITY DALAM

MENJELASKAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA

SERIKAT

1.1. PENDAHULUAN

Globalisasi perekonomian sering didefinisikan sebagai proses semakin

menghilangnya atau menipisnya “batas”` ekonomi antar negara. Sejalan dengan

berkemban gnya proses globalisasi perekonomian, maka dibidang perdagangan

internasionalpun restriksi semakin berkurang. Hal ini membawa dampak

meningkatnya volume dan nilai perdagangan internasional .

Dalam melakukan perdagangan internasional, nilai ( harga ) suatu komoditi

dinyatakan dalam satuan mata uang tertentu, bisa mata uang domestik maupun mata

uang luar negeri. Permasalahan muncul dalam kaitannya dengan harga, karena nilai

valuta asing sering mengalami fluktuasi. Perubahan nilai tersebut disebabkan oleh

banyak hal, diantaranya : perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat suku bunga,

perubahan tingkat pendapatan serta seberapa besar peran pemerintah dalam

perekonomian (Madura, 2000)

Page 48: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

47

Nilai valuta asing tercermin dalam variabel kurs yang sebenarnya merupakan

perbandingan mata uang domestik dengan valuta asing, sehingga kurs dapat

digunakan untuk mengetahui daya beli suatu valuta. Perbedaan daya beli antara mata

uang suatu negara dengan negara yang lain akan memberikan kesempatan bagi pelaku

ekonomi untuk mengambil keuntungan melalui arbitrage. Aktivitas atbitrage akan

berhenti dengan sendirinya ketika semua kesempatan yang menguntungkan telah

habis, yang berarti bahwa selain biaya untuk melakukan perpindahan dari satu tempat

lainnya, juga termasuk berbagai tarif, pada akhirnya menyebabkan harga komoditi di

pasar (negara) yang berbeda menjadi sama. (Maurice D Levi, 2001).

Sehubungan dengan fakta di atas, para ekonom mengemukakan tentang the

law of one price ( hukum satu harga ), dimana nilai tukar antara mata uang domestik

dan komoditi domestik seharusnya sama dengan nilai tukar antara mata uang

domestik dengan komoditi luar negeri (Salvatore, 1997).

Teori Purchasing Power Parity ( PPP ) merupakan suatu teori yang langsung

menerapkan hukum satu harga untuk membandingkan pasar barang dan jasa antar

negara. Pada dasarnya teori PPP menekankan hubungan jangka panjang antara kurs

valuta asing dengan harga komoditi secara relatif. Menurut teori PPP bentuk relatif

(relative form ) laju perubahan indeks harga, yang juga merupakan inflasi, di dua

negara akan hampir sama jika diukur memakai valuta yang sama. (Jeff Madura, 1995)

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keberlakuan teori PPP, dalam hal ini

variabel inflasi relatif, dalam memprediksi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

Amerika Serikat .

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah

variabel inflasi relatif dalam model PPP dapat menjelaskan perilaku nilai tukar

Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat ?

2. KAJIAN TEORI

2.1. Teori Purchasing Power Parity ( PPP )

Page 49: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

48

Teori PPP diperkenalkan oleh Gustav Cassel yang menjelaskan hubungan

antara harga komoditi dalam mata uang domestik ( lokal ) dengan dengan nilai tukar.

Teori ini menyatakan bahwa nilai tukar akan meyesuaikan diri dari waktu ke waktu

untuk mencerminkan selisih inflasi antara dua negara, akibat adanya daya beli

konsumen untuk membeli produk domestik akan sama dengan daya beli untuk

membeli produk luar negeri. Asumsi utama yang mendasari teori PPP adalah pasar

komoditi merupaka pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan

harga dan informasi. ( Tucker, 1991).

Oleh karena itu, bila indeks harga di kedua negara identik, the law of one

price menjustifikasi teori PPP ( Baillie dan McMahon, 1990 ). Artinya bila produk

yang sama dijual pada pasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam penjualan

maupun biaya transportasi, maka harga produk cenderung sama pada dua pasar

tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara berbeda, harga produk biasanya

dinyatakan dala mata uang yang berbeda, namun harga produknya tetap masih sama.

Perbandingan harga hanya memerlukan suatu konversi satu mata uang ke mata uang

lain.

Teori PPP dibedakan benjadi dua, yaitu bentuk Absolute dan bentuk Relatif.

Teori PPP Absolute menyatakan bahwa harga dari dua produk homogen di negara-

negara yang berbeda akan sama jika diukur dalam valuta yang sama. Kurs valuta

asing dinyatakan dalam nilai harga kedua negara :

S t = P t / P t*

Dimana P t dan P t* menunjukkan harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua

negara ( tanda * menunjukkan luar negeri ).

Dengan kata lain , teori PPP absolute menerangkan kurs spot ditentukan oleh

harga relatif dari sejumlah barang yang sama ( ditunjukkan oleh indeks harga ).

Dalam kaitannya dengan inflasi ( kenaikan harga produk secara umum) dapat

disimpulkan bahwa menurut teori ini suatu negara yang mata uangnya mengalami

tingkat inflasi yang tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap

mata uang negara lain yang tingkat inflasinya lebih rendah.

Page 50: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

49

Sementara itu, teori PPP Relative mengatakan persentase perubahan kurs

nominal akan sama dengan perbedaan inflasi di antara kedua negara. Apabila

dinyatakan dalam konteks future, harapan perubahan kurs valuta asing sama dengan

harapan perbedaan inflasi :

S e t = P

e t - P

e* t

dimana S e t = harapan perubahan kurs

Bentuk ini mengakui bahwa karena keberadaan ketidaksempurnaan pasar,

harga dari produk yang sama di negara yang berbeda bisa jadi tidak sama jika diukur

melalui valuta yang sama. Tetapi, laju perubahan harga produk seharusnya tidak jauh

berbeda jika diukur memakai valuta yang sama, sepanjang biaya transportasi dan

proteksi perdagangan tidak berubah.

2.9. Hipotesis

Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan yang bersifat sementara

tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang akan

dibuktikan melalui uji statistik. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan diatas,

maka dapat diangkat hipotesis penelitian ini sebagai berikut :

Variabel inflasi relatif dapat menjelaskan perilaku nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

Amerika Serikat

3. METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh indikator atau variabel makro

perekonomian di Indonesia dan Amerika Serikat. Tetapi dalam penelitian ini variabel

makro yang digunakan sesuai model Purchasing Power Parity yang meliputi variabel

Kurs, Indeks Harga Konsumen, Tingkat Bunga, Tingkat Output dan Money Supply.

Sedangkan periode waktu penelitian mulai tahun 1998.1 – 2005.4 dengan

menggunakan data kuartalan

2.3. Definisi Variabel

Variabel-variabel tersebut dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut :

Page 51: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

50

1. Kurs ( S t ) yaitu nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Diukur

dengan berapa rupiah yang diperlukan untuk mendapatkan satu Dollar

Amerika Serikat.

2. Indeks Harga Konsumen ( P ) , yang secara operasional adalah rasio dari

indeks harga konsumen di Amrika Serikat dan Indonesia.

3. Tingkat Bunga ( r ), yaitu rasio tingkat bunga di Amerika Serikat dan

Indonesia. Dalam penerlitian ini tingkat bunga yang diginakan adalah SBII

dan Federal Reserve.

4. Tingkat Output ( y ), merupakan rasio antara tingkat Groos Domestic Product

Amerika Serikat dan Indonesia atas dasar harga konstan.

5. Money Supply ( m ) yaitu rasio antara jumlah uang beredar ( M2 ) di Amerika

Serikat dan Indonesia.

3.4. Teknik Analisis Data

Untuk menguji apakah konsep inflasi dalam model PPP dalam menjelaskan

perilaku nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat maka digunakan teknis

analisa dengan Error Correction Model ( ECM ).

3.5. Perumusan Model Purchasing Power Parity

Model PPP yang digunakan dalam penelitian ini mengikut sertakan variabel

jangka pendek ke dalam dinamika jangka panjang adalah sebagai berikut :

D ln S t = a 0 + a 1 D ln( P* t-1 / P t-1) + a 2 D ln (r * t-1 / r t-1) + a 3 D ln(y * t-1 / y t-1)

+ a 4 D ln (m * t-1 / m t-1 ) + a 5 ECT

Dimana : D S t = perbedaan nilai kurs aktual

a 0 = intercept

a 1,2,3,4 = koefisien

P* / P : rasio IHK di luar negeri dan dalam negeri

r* / r : rasio tingkat bunga luar negeri dan dalam negeri

y* / y : rasio GDP luar negeri dan dalam negeri

m*/ m : rasio jml. Uang beredar luar negeri dan dala negeri

ln : natural logaritma , ECT : error correction term

Page 52: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

51

Dengan menggunakan model ECM maka mampu menjelaskan perilaku data

baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk pengaruh jangka pendek dapat

dilihat dari variabel independent yang didiferensikan.

4. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Estimasi ECM Model Purchasing Power Parity.

Model koreksi kesalahan merupakan salah satu alternatif untuk menguji

kemungkinan berkointegrasinya variabel yang diamati. Apabila error corection term

(ECT) pada hasil regresi signifikan berarti model koreksi kesalahan adalah model

yang sahih (valid), dan variabel yang diamati berkointegrasi atau residual hasil

regresi adalah stasioner.

Model ECM yang mengikut sertakan variabel jangka pendek ke dalam

dinamika jangka panjang adalah sebagai berikut :

D ln S t = a 0 + a 1 D ln ( P* t-1 / P t-1 ) + a 2 D ln (r * t-1 / r t-1 )

+ a 3 D ln ( y * t-1 / y t-1 ) + a 4 D ln (m * t-1 / m t-1 ) + a 5 ECT

Hasil pengolahan data menunjukkan hasil sebagai berikut :

Dependent Variable: LKURS Method: Least Squares Date: 09/24/07 Time: 20:06 Sample(adjusted): 1990:1 2000:3 Included observations: 68 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.19E-1 4 9.28E-15 1.284626 0.2069 INF 2.35E-17 2.14E-17 1.097221 0.2796 SB -1.87E-14 3.61E-15 -5.187999 0.0000

JUB 5.12E-14 4.99E-14 1.025844 0.3116 GDP 1.19E-14 5.85E-15 2.035174 0.0490 ECT 1.000000 9.92E-16 1.01E+15 0.0000

R-squared 0.897650 Mean dependent var 8.064516 Adjusted R-squared 1.000000 S.D. dependent var 0.664688 S.E. of regression 2.64E-15 Sum squared resid 2.57E-28 F-statistic 5.34E+29 Durbin-Watson stat 0.523135 Prob(F-statistic) 0.000000

Page 53: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

52

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai probabilitas ECT : 0.0000

mengindikasikan hasil regresi signifikan, berarti model ECM adalah valid dan

variabel yang diamati berkointegrasi. Apabila dilihat dari nilai R-square yang

mempunyai nilai: 0,897 mengandung arti bahwa seluruh variasi variabel dependent

(Kurs) mampu dijelaskan oleh variasi himpunan variabel pendapatan nasional,

jumlah uang beredar, inflasi dan harga sebesar 89,76 %.

Sedangkan nilai F-stat : 5,34E+29 yang lebih besar dari F tabel : 4.98

signifikan pada 1 % mengimplikasikan bahwa secara bersama-sama variabel

independent mempengaruhi variabel dependent.

Selanjutnya dalam analisa jangka pendek menunjukkan bahwa hanya variabel

independent suku bunga ( SB ) dan pendapatan nasional (GDP) signifikannya

mempengaruhi variabel dependent (Kurs) dengan tingkat signifikansi 95 %.

Sedangkan variabel Inflasi (INF) dan jumlah uang beredar (JUB) tidak signifikan

mempengaruhi variabel Kurs, dengan tingkat signifikansi 72,14 % dan 68,84 %.

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa teori Purchasing Power Parity yang

menjelaskan bahwa inflasi dapat menjelaskan perilaku nilai tukar (kurs) tidak

terbukti, karena dalam jangka pendek inflasi tidak berpengaruh terhadap kurs.

4.5. Analisis Koefisien Regresi Jangka Panjang

Hasil perhitungan terhadap variabel dalam model dalam analisis koefisien

regresi jangka panjang dapat disajikan sebagai berikut :

Hasil Pengujian Regresi Jangka Panjang

Kurs - 18301,79 + 1,13341 GDP + 1,13165JUB + 22,1276 INF - 3,71668 SB

t-hit 0,00026 5,2199 3,934 0,0797 0,0423

Bedasarkan hasil analisis jangka panjang yang diperoleh dari estimasi dengan

menggunakan model koreksi kesalahan dapat disimpulkan bahwa variabel

pendapatan nasional ( GDP ) dan jumlah uang beredar ( JUB ) dalam jangka panjang

mempengaruhi variabel Kurs dengan derajat signifikansi 99 %. Sedangkan variabel

inflasi ( INF ) dan suku bunga ( SB ) tidak signifikan terhadap variabel Kurs. Hal ini

Page 54: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

53

sesuai dengan analisis dalam jangka pendek bahwa inflasi tidak dapat menjelaskan

perilaku nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

4.7. Pembahasan

4.7.1. Analisis Jangka Pendek.

Berdasarkan hasil estimasi terhadap model Purchasing Power Parity

menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa variabel Inflasi (INF ) yang mampu

menjelaskan variasi variabel Kurs dengan tingkat signifikansi 72,14 %. Sedangkan

koefisien inflasi positif menunjukkan kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1 % akan

mendorong penurunan mata uang Rupiah (depresiasi) sebesar 2,35E-17 %.

Hubungan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut, inflasi merupakan suatu

kondisi dimana harga-harga barang secara keseluruhan meningkat secara umum dan

berlangsung terus-menerus. Dalam teori kuantitas ( Irving Fisher ), inflasi disebabkan

karena kenaikan jumlah uang beredar, kenaikan jumlah uang beredar dalam negeri

(relatif terhadap stok uang luar negeri ) akan meyebabkan kelebihan penawaran uang

(exess supply ). Dalam masa krisis ekonomi, hal tersebut menyebabkan kenaikan

permintaan mata uang asing (US Dollar ) untuk mengamankan likuiditasnya atau

untuk mendapatkan keuntungan. Dampak selanjutnya yang terjadi adalah penurunan

mata uang dalam negeri (depresiasi ).

Dalam jangka pendek, perilaku nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS tidak

dapat dijelaskan dengan variabel inflasi, ini berarti tidak sesuai dengan teori

Purchasing Power Parity. Hal ini dapat dijelaskan karena asumsi-asumsi ( tidak ada

biaya transportasi, barang homogen) yang mendasari dari teori ini dalam realitas riil

tidak terpenuhi, metode penghitungan inflasi ). Dampaknya inflasi pada berbagai

negara tidak mencerminkan perilaku harga yang sama pada banyak negara, sehingga

teori One Low Price yang mendasari tidak terbukti. Selain itu realitas riil

menunjukkan bahwa biaya transportasi barang antar negara pasti ada, sehingga harus

diperhitungkan dalam penghitungan inflasi ( dalam teori PPP tidak diperhitungkan).

4.7.2. Analisis Jangka Panjang.

Page 55: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

54

Analisis jangka panjang menunjukkan kesimpulan yang sama pada hubungan

antara inflasi dengan nilai tukar ( koefisien positif ) yang berarti kenaikan inflasi

dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan dilai tukar Rupiah terhadap

Dollar Amerika Serikat. Nilai koefisensi sebesar 0,0797 menjelaskan bahwa

kenaikan harga ( inflasi ) sebesar 1 % akan menyebabkan depresiasi rupiah sebesar

22.127 %.

Kesimpulan yang sama dengan analisis jangka pendek juga didapatkan pada

ketidakmampuan inflasi dalam menjelaskan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

Amerika Serikat. Ini dapat dilihat pada nilai t-hit variabel inflasi dalam analisis

jangka panjang sebesar 0,0797 berada pada daerah penerimaan Ho, sehingga dapat

disimpulkan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap nilai tukar (kurs).

Penjelasan teoritik yang dipakai, dalam jangka panjang menurut JM Keynes

semua kembali pada posisi equlibrium dalam arti tidak terdapat laba. Sehingga harga-

harga dalam jangka panjang relatif tetap, ini berarti tingkat inflasi tidak ada (sangat

kecil). Karena inflasi relatif tetap maka tidak mempunyai kemampuan dalam

menjelaskan perilaku nilai tukar. Dampak berikutnya dalam pasar uang (pasar valas)

tidak mungkin terjadi tindakan dari pelaku ekonomi yang mengambil keuntungan dari

perubahan (fluktuasi) nilai tukar atau spekulasi.

Jika dilihat dari konsidi antar negara, maka dapat disimpulkan bahwa

kemungkinan terjadinya perbedaan harga dalam jangka panjang juga kecil. Ini dapat

dilihat dari fenomena globalisasiyang muncul dalam beberapa dekade yang lalu.

Kecenderungan globalisasi dalam jangka panjang menyebabkan hambatan

perdagangan menjadi kecil sehingga menyebabkan harga barang “relatif” sama ,

maka inflasi menjadi relatif tetap.

5. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Estimasi Model teori purchasing power parity dengan menggunakan Error

Correction Model menunjukkan bahwa hasil ECT nilai Probabilitas sama

Page 56: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

55

dengan angka nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan

valid dan dapat digunakan untuk analisis jangka panjang.

2. Dalam analisis jangka pendek variabel inflasi tidak dapat menjelaskan

perilaku nilai tukar, demikian pula variabel jumlah uang beredar. Tetapi

variabel pendapatan nasional dan suku bunga dapat menjelaskan perilaku nilai

tukar

3. Hasil analisis yang sama juga diperoleh dapam analisis jangka panjang, yaitu

bahwa inflasi tidak dapat menjelaskan perilaku nilai tukar.

BAB VII

PENELITIAN EMPIRIS

EFISIENSI PASAR VALUTA ASING DI INDONESIA

(Studi Kasus Rupiah Indonesia dan Dollar Amerika Serikat )

1. Pendahuluan :

Beralihnya sistem nilai tukar di Indonesia dari sistem mengambang terkendali

(managed floating system) menjadi sistem yang mengambang penuh atau bebas

(freely floating system) menyebabkan posisi nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing

ditentukan oleh mekanisme pasar. McGregor (2000) mengemukakan : “ ... in a

floating rate system, the exchange rate is determined directly by market forces, and is

liable to fluctuate continually, as dictated by changing market condition”. Dalam

konteks pengertian di atas, nilai tukar rupiah secara bebas ditentukan oleh kekuatan

interaksi antara permintaan dan penawaran valuta asing. Disamping itu, dalam sistem

nilai tukar mengambang bebas, diasumsikan tidak ada kewajiban Bank Indonesia

Page 57: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

56

untuk melakukan intervensi secara sistematis di pasar valuta asing, sehingga nilai

tukar Rupiah bebas bergerak dalam merespon kekuatan pasar.

Dengan semakin leluasanya kekuatan pasar dalam menentukan nilai tukar

Rupiah, maka perilaku pasar menjadi lebih sulit untuk diprediksi secara langsung.

Nilai tukar di pasar uang tidak semata mencerminkan kekuatan permintaan dan

penawaran valuta asing untuk memenuhi underlying transaction (transaksi-transaksi

pokok), melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi

ekspektasi pelaku ekonomi yang erat kaitannya dengan unsur ketidakpastian.

Nilai tukar Rupian pasca sistem mengambang bebas, ditentukan oleh tiga

faktor utama. Pertama, ekspektasi jangka pendek pelaku pasar (sentimen pasar) yang

sering tercermin pada fluktuasi nilai tukar dalam jangka pendek. Kedua, faktor

fundamental meliputi variabel-variabel makro ekonomi, yang didalamnya termasuk

permintaan dan penawaran mata uang. Ketiga, struktur mikro valuta asing yaitu

kondisi finansial lembaga keuangan bank dan corporate. ( Miranda SG dan Doddy Z,

1998 )

Dengan mengacu pada pemaparan di atas, penulis mencoba melakukan

pengujian beberapa model penentuan nilai tukar untuk memilih model yang sesuai

bagi penentuan nilai tukar Rupiah. Penelitian ini juga melakukan penerapan aplikatif

terhadap model yang terpilih untuk melakukan peramalah (forecasting) terhadap nilai

tukar Rupiah. Untuk lebih terintegrasinya analisis penelitian akan dimasukkan juga

analisis mengenai efisiensi pasar valuta asing di Indonesia, sehingga dapat diketahui

rasionalitas dan ekspektasi pelaku pasar valuta asing dalam menentukan nilai tukar

Rupiah.

2. Rumusan Masalah

Salah satu indikator untuk mengetahui kestabilan nilai tukar adalah efisiensi

Pasar Valuta Asing. Suatu Pasar Valuta Asing dikatakan efisien apabila nilai tukar

spot rate suatu valuta asing sama dengan nilai expected valuta asing tersebut,

sehingga expected return dari valuta asing melalui aktivitas spekulasi sama dengan

nol. ( Fama, 1981, hal. 277-289).

Page 58: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

57

Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

Apakah Pasar Valuta Asing di Indonesia efisien ?

3. Metode Penelitian

3.1. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data

yang diperoleh dari dokumen/ tulisan yang disusun oleh badan/ pihak yang dapat

dipertanggungjawabkan kevaliditasannya. (Erwan Agus dan Dyah Ratih, 2007)

Adapun sumber data diperoleh dari : International Financial Statistics ; Laporan

Bank Indonesia ; Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan Biro Pusat

Statistik.

3.2. Diskripsi Data

Untuk menganalisa efisiensi pasar valuta asing data yang diperlukan adalah sebagai

berikut :

1. Nillai Tukar Spot ( S t ) dan Nilai Tukar Expected ( S t+1 )

Nilai tukar expected dalam penelitian ini adalah nilai tukar yang terjadi

pada satu hari berikutnya ( t+1), data ini dapat diketahui dari data nilai tukar

spot. Sedangkan untuk nilai tukar spot sama dengan yang di atas. Dalam data

IFS nomor kodenya : rf .

2. Tingkat Suku Bunga ( r )

Data diambil dari tingkat suku bunga pasar uang ( money market ) yang

berasal dari IFS dengan kode : 60b. Suku bunga tersebut mencerminkan suku

bunga dalam jangka pendek sesuai dengan penelitian ini yang mengekspektasi

nilai tukar dalam jangka pendek ( t+1). Dalam penelitian ini, data suku bunga

digolongkan menjadi 2, yaitu suku bunga Indonesia ( rd) dan suku bunga

Amerika Serikat (Rf ).

3.3. Model Penelitian : Martingale Models

Page 59: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

58

Untuk mengetahui efisiensi Pasar Valuta Asing digunakan model dasar yang

dikenal dengan Martingale Models ( Ricard Baille dan Patrick Mc Mahon, hal 44-

45). Dalam model tersebut dijelaskan, bahwa Pasar Valuta Asing dikatakan efisien

apabila expected return yang diharapkan melalui spekulasi sama dengan 0 (nol), atau

:

E ( Z t+1 | t ) = 0 ................................................... (3.15)

Hal ini berarti nilai spot rate sama dengan expected spot rate, sehingga :

s t+1 - E ( Z t+1 | t ) = 0 .................................................... (3.16)

Sedangkan expected spot rate adalah :

E ( Z t+1 | t ) = [ 1 + r dt / 1 + r

ft ] s t ..................................... (3.17)

Dimana : r dt = tingkat suku bunga dalam negeri

rft = tingkat suku bunga luar negeri

3.4. Metode Analisis

Merupakan analisis data dengan memberikan informasi mengenai data yang

diamati dan tidak bertujuan menguji hipotesis serta manarik kesimpulan yang

digeneralisasikan terhadap populasi. Analisis ini dapat dilakukan dengan menyajikan

tabel frekuensi maupun grafik dan penjelasannya sehingga diperoleh suatu informasi

yang lebih mudah dipahami. ( Erwan Agus dan Dyah Ratih, 2007)

4. Pembahasan : Efisiensi Pasar Valuta Asing

Konsep dasar pemikiran efisiensi pasar valuta asing didasari pada

“kesempurnaan” informasi dalam artian apakah informasi yang tersedia pada pasar

valuta asing dapat diperoleh pelaku-pelaku. Suatu pasar valuta asing dikatakan efisien

apabila terjadi informasi sempurna ( perfect information ) sehingga pelaku pasar

dapat menggunakan informasi tersebut untuk memprediksi nilai tukar pada hari

berikutnya (n + 1) . Dengan demikian suatu pasar yang efisien tidak dimungkinkan

adanya spekulasi, karena expected exchange rate sama dengan spot rate n + 1 .

Page 60: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

59

Dalam penelitian ini hipotesa yang digunakan adalah Random Walk Hypothesis

(RWH) dimana expected rate ( t+1) dipengaruhi oleh spot rate ( t ). Pengambilan

keputusannya dengan melihat selisih antara nilai Kurs Spot Rate ( t+1) dengan

Expected Spot Rate ( t+1 ), apabila selisihnya sama dengan 0 ( nol ) maka dikatakan

bahwa pasar valuta asing efisien.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Martingale Model,

dapat disimpulkan bahwa pasar valuta asing sangat tidak efisien. Sebab, selisih spot

rate dan expected spot rate tidak sama dengan 0 (nol), bahkan nilai selisihnya sangat

tinggi. Dari 52 data, hanya 1 data ( 1985.4) yang prosentasenya dibawah 10 %,

sedangkan data lainnya diatas 10 %. Hal ini menunjukkan bahwa variabel spot rate

(t) dan tingkat bunga saja tidak cukup digunakan untuk memprediksi expected spot

rate (t+1 ), sehingga diperlukan variabel lain, misalnya : forward rate. Perbedaan

paling tinggi terjadi pada periode terakhir tahun 1997 ( 386 % ) dimana berlangsung

krisis nilai tukar paling parah, sehingga ekspektasi terhadap nilai tukar sangat sulit

dilakukan.

Grafik : Pergerakan Nilai Tukar Spot dan Expected Spot Rate

0

5000

10000

15000

20000

25000

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49

Sp

ot

- E

xp

ec.

Sp

ot

Rate

Data

Pergerakan Spot dan Expected Spot Rate

ExpectedSpot. Rate

Spot Rate

Page 61: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

60

Hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisa efisiensi pasar valuta asing

(pergerakan nilai tukar) adalah kondisi dimana faktor-faktor diluar ekonomi sangat

mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, terutama dimasa krisis. Sentimen negatif dari

faktor non-ekonomi berpengaruh sangat besar terhadap nilai tukar.

5. Simpulan

Analisia pasar valuta asing di Indonesia dengan Mortingale Model

mengindikasikan bahwa pasar sangat tidak effisien, dasar pemikirannya adalah selisih

antara expected spot rate dan spot rate sangat besar ( tidak sama dengan nol ).

Sehingga untuk mengekspektasi nilai tukar diperlukan variabel lain selain tingkat

bunga dan nilai tukar spot, misalnya : nilai tukar forward, neraca pembayaran.

BAB VIII

KETERBUKAAN EKONOMI INDONESIA :

KRITIK DAN SUPPORT

1. Pendahuluan

Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari

setiap Negara, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness)

maupun keterbukaan disektor finansial (financial openness). Keterbukaan ekonomi

menggambarkan semakin hilangnya hambatan dalam perdagangan, baik berupa tariff

maupun non-tariff, dan semakin lancarnya mobilitas modal antar Negara.

Secara teori, keterbukaan ekonomi menjanjikan keuntungan bagi suatu Negara

yang terlibat didalamnya.Three (2002) menyimpulkan bahwa keterbukaan ekonomi

dapat dipandang sebagai kesempatan atau peluang guna lebih mengoptimalkan

keuntungan baik itu keuntungan statis atau keuntungan dinamis dari perdagangan luar

Page 62: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

61

negeri, serta dampak positif dari penanaman modal asing. Salvatore (1997)

menjelaskan keuntungan dari perdagangan internasional suatu Negara diantaranya

berupa pembukaan akses pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya

saing ekonomi yang lebih tinggi, serta peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih

besar. David Dollar dan Aart Kraay (2000) membuktikan bahwa Negara-negara yang

lebih terbuka (globalisers) mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar

2,9 persen pada tahun 1970an menjadi 3,5 persen pada tahun 1980an, dan menjadi 5

persen paada tahun 1990an.

Namun demikian, manfaat yang diterima oleh setiap Negara dari keterbukaan

ekonomi tidak menunjukkan pola dan besaran yang sama. Data empiris menunjukkan

bahwa globalisasi cenderung memperkaya Negara-negara maju, yang telah

menguasai sumberdaya ekonomis strategis seperti modal, teknologi dan informasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Birdsell dalam Halwani (2005) menyatakan bahwa

penduduk miskin dunia yang populasinya mencapai 80 persen, hanya menikmati 20

persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, sedangkan 20 persen penduduk

kaya telah menguasai 80 persen PDB dunia pada tahun 1995.

Studi yang dilakukan oleh Buckman (2005) mennunjukkan dekade 1980an

peningkatan PDB Negara maju lebih besar dibandingkan Negara berkembang, namun

demikian pada dekade 1990an Negara berkembang mencapai peningkatan lebih

tinggi. Negara-negara di Afrika belum banyak mendapatkan keuntungan dari

keterbukaan perekonomian dan integrasi ekonomi.

Tabel 1

Perubahan dalam PDB tahun 1980an dan 1990an (dalam persen)

Wilayah 1981 -1990* 1991 – 1999*

Negara Maju 22,6 9,8

Negara Berkembang 12,0 30,1

Amerika latin -6,4 13,1

Page 63: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

62

Afrika -8,4 -5,4

Asia Timur 46,2 29,1

Asia Barat -35,4 0

Asia Selatan 28,6 17,1

Ekonomi Transisi** 12,2 -29,1

Catatan : * mengindikasikan perubahan PDB diukur dalam paritas daya beli ** menunjukkan perekonomian di Negara-negara Eropa Timur

Sumber : Buckman (2005)

2. Landasan Teori

Konsep teori yang menjelaskan keterbukaan ekonomi adalah sequencing of

economic liberalisation theory yang mengukur keterbukaan ekonomi melalui variabel

perdagangan internasional dan variabel aliran modal. Sequencing of economic

liberalisation theory pertama kali dikemukakan oleh McKinnon (1982) dengan

mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi di Chile tahun 1972 – 1973 dan

Argentina tahun 1975 – 1976. McKinnon menintik beratkan pada empat hal yang

perlu dilakukan untuk merubah kondisi ekonomi yang didominasi oleh campur

tangan pemerintah yang tinggi atau dikenal dengan istilah “repression” menjadi suatu

perekonomian yang lebih terbuka. Konsep dasar teori keterbukaan ekonomi dari

McKinnon memperlihatkan pendekatan liberalisasi ekonomi dengan cara bertahap.

Keempat hal tersebut yaitu :

1. Stabilisasi ekonomi makro merupakan persyaratan yang utama (necessary)

yaitu dengan cara menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran

pemerintah.

2. Membuang semua distorsi dalam pasar barang, pasar modal dan pasar tenaga

kerja sebelum menggabungkan diri kedalam ekonomi global.

3. Melakukan liberalisasi perdagangan internasional yaitu dengan cara merubah

hambatan non tarif menjadi tarif, dan mengurangi tarif yang ada.

Page 64: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

63

4. Melakukan liberalisasi aliran modal (external capital account) yaitu dengan

cara membebaskan control terhadap nilai tukar dan membiarkan nilai tukar

berfluktuatif.

Pandangan McKinnon dan Swan mengenaikan kebijakan represi keuangan

(financial repression) yang terjadi dalam perekonomian ditandai dengan adanya

batasan dalam tingkat bunga (suku bunga riil rendah) dalam perekonomian justru

menyebabkan rendahnya minat masyarakat untuk menyimpan dananya di bank dan

pada akhirnya supply dana investasi berkurang, dampaknya pertumbuhan ekonomi

melambat.

Guna mengatasi hal tersebut, McKinnon dan Swan merekomendasikan

kebijakan liberalisasi keuangan yaitu dengan adanya kebijakan tingkat bunga yang

sesuai dengan mekanisme pasar. Kenaikan tingkat bunga berarti adanya peningkatan

intensif yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga akan mendorong masyarakat

menyimpan dananya di bank. Hal ini berarti adanya akumulasi modal yang dapat

digunakan untuk pertumbuhan ekonomi. Secara lebih rinci uraian tersebut dapat

dijelaskan dalam gambar berikut :

Grafik 1 :

Hubungan Tingkat Tabungan, Tingkat Investasi dan Tingkat Bunga Riil

r3

F

F’

Sy

0 Sy1

Sy2

Tingkat bunga

riil riiiilReal

I

tingkat

tabungan,

tingkat investasi

r2

r1

r0

I0 I1 I2

Page 65: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

64

Tingkat tabungan S(yo) pada tingkat pendapatan yo merupakan fungsi dari

tingkat bunga. Notasi F menunjukkan pembatasan keuangan (financial constraint)

dan notasi Io menunjukkan tingkat investasi pada tingkat awal dan ro merupakan

tingkat bunga riil pada tingkat awal. Dalam hal ini kondisi represi keuangan terjadi

pada tingkat bunga riil ro. Tingkat tabungan pada keadaan ini ditunjukkan pada kurva

S(yo). Sehingga tingkat investasi yang ada hanya terbatas pada Io.

Liberalisasi keuangan dapat dilihat dari pergerakan ke atas dari garis F

menjadi garis F’. Hal ini menyebabkan suku bunga riil lebih tinggi dari tingkat

sebelumnya, baik ro maupun r1. Kenaikan dalam tingkat bunga riil ini akan diikuti

dengan adanya kenaikan dalam tingkat tabungan yang dapat dihimpun oleh bank dari

masyarakat. Meningkatnya tingkat tabungan dalam perbankan ini dapat dimanfaatkan

oleh investor untuk membiayai proyeknya, sehingga dapat meningkatkan kegiatan

ekonomi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Tingkat

tabungan meningkat dari S(yo) menjadi S(y1), S(y2) dan seterusnya seiring dengan

kenaikan dalam tingkat bunga. Sedangkan tingkat investasi akan meningkat dari Io

menjadi I1, I2 dan seterusnya. Secara lebih rinci perkembangan tersebut menjadi :

ro,S(yo),Io r1,S(y1),I1 r2,S(y2),I2 pertumbuhan ekonomi.

Konsep dasar teori keterbukaan ekonomi dari McKinnon bukannya tanpa

kelemahan. Beberapa kritik muncul terhadap sequencing of economic liberalisation

theory. Pertama , Pemerintahan yang tidak kredibel dapat menghambat proses

reformasi. Kedua, pendekatan gradual memungkinkan kelompok-kelompok tertentu

yaitu kepentingan bercokol untuk bertahan atau bahkan menghambat proses

reformasi. Ketiga, pada prinsipnya pengendalian terhadap modal (capital control)

Page 66: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

65

adalah hal yang lebih mudah untuk dilakukan. Dengan demikian pertumbuhan

ekonomi dapat dilakukan dengan melakukan liberalisasi modal terlebih dahulu.

Menanggapi kritik tersebut, maka kemudian muncul adanya konsensus yang

berkembang berkaitan dengan sequencing of economic liberalisation theory ,

konsensus tersebut menyangkut :

1. Stabilisasi ekonomi makro

2. Liberalisasi pasar uang dalam negeri dengan cara :

a. Menjaga kestabilan ekonomi makro dan mengimplementasikan

pengawasan yang hati-hati terhadap perbankan dan mengawali dengan

membangun skema asuransi deposito.

b. Deregulasi suku bunga dalam negeri

c. Membiarkan bank-bank baru untuk masuk pasar setelah proses

liberalisasi finansial.

3. Deregulasi untuk mengambangkan perdagangan internasional dan pasar

modal.

Keterbukaan perekonomian tidak dapat dilepaskan dari globalisasi dan

integrasi ekonomi diberbagai kawasan yang kemudian memunculkan free trade area.

Studi yang dilakukan oleh UNDP (2005) menjelaskan adanya tiga alasan yang

mendorong semakin tingginya kegiatan antar Negara dalam blok perdagangan, yaitu :

perubahan kebijakan domestik yang dikombinasikan dengan berkembangnya

teknologi baru, berkurangnya hambatan dalam perdagangan internasional,

menurunnya biaya transportasi, komunikasi dan teknologi informatika. Rodrik (2001)

mengungkapkan letak geografis akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam

free trade area melalui pembangunan kelembagaan dan integrasi pasar global.

Menurut Krugman dan Obsfelt (2004) pada dasarnya keterbukaan ekonomi

suatu Negara melalui perdagangan internasional karena dua alasan, yaitu adanya

perbedaan scarcity antar Negara dan untuk mencapai economics of scale dalam

Page 67: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

66

kegiatan produksi. Keuntungan yang diperoleh melalui perdagangan internasional

dapat dikenal sebagai gains of trade yang ditunjukkan pada jarak D-E pada gambar-2

berikut :

Grafik 2 : Gains of Trade

3. Kasus Indonesia

Pada kasus Indonesia, keterbukaan ekonomi juga merupakan bagian dari

kehidupan perekonomian Indonesia. Data perekonomian Indonesia, sebagaimana

dipublikasikan secara internasional terlihat dalam gambar-3.

Keterbukaan ekonomi Indonesia seperti pada gambar-3 dirumuskan dalam

dua bentuk keterbukaan, yaitu keterbukaan berdasarkan harga konstan (Openk) dan

keterbukaan berdasarkan harga berlaku (Openc). Dari kedua pendekatan tentang

keterbukaan tersebut terlihat bahwa hubungan ekonomi dengan dunia internasional

melalui perdagangan, baik ekspor maupun impor, merupakan sesuatu yang tidak

terelakkan. Adanya relevansi antara harga domestik dengan tingkat keterbukaan

X

O

X

A

C

E

B

Page 68: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

67

ekonominya, bisa menyebabkan harga domestik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

berperan dalam mengubah struktur perdagangan internasional, yang salah satunya

adalah stabilitas harga negara partner dagang dan stabilitas faktor fundamental

ekonomi negara partner dagan (Agung Nusantara).

Dengan demikian karena perekonomian Indonesia adalah perekonomian

terbuka maka, akan terkena imbas apabila negara partner dagangnya mengalami

permasalahan ekonomi, demikian juga jika perekonomian global mengalami masa

sulit, baik disebabkan oleh partner dagang Indonesia maupun negara lain.

Indikator keterbukaan perekonomian lain diproksi dengan rasio total ekspor

dan impor dengan PDB. Rasio keterbukaan perekonomian Indonesia dapat dilihat

pada tabel 2, yang menunjukkan nilai positif dan memiliki kecenderungan meningkat.

Hal ini mengindikasikan bahwa keterbukaan perekonomian bagi Indonesia

menguntungkan karena nilai neraca transaksi perdagangan (balance of trade) surplus.

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Openc 49.06 49.9 52.85 50.52 51.88 53.96 52.26 55.99 96.19 64.04 76.39 76.85 65.09 56.93 63.28

Openk 66.25 71.32 73.56 72.66 79.31 85.9 85.56 92.32 102.38 65.71 76.39 77.99 72.03 70.57 81.71

0

20

40

60

80

100

120

% [

(X+

M)/

GD

P]

Grafik 3 : Derajat Keterbukaan Ekonomi

Page 69: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

68

Tabel 2 :

Indikator Perekonomian Makro Indonesia

Tahun 1990-2010 (%)

Tahun Pertumbuhan

Ekonomi

Financial

Development

Keterbukaan

Perekonomian

1990 9,0 39 475

1991 8,9 40 550

1992 7,2 42 613

1997 4,7 57 951

1998 -13,1 60 762

1999 0,8 59 727

2000 4,9 53 956

2008 6,0 38 2663

2009 4,6 38 2133

2010 6,1 39 2934

Sumber : Asian Development Bank,2011, diolah

Keuntungan lain dari terbukanya perekonomian Indonesia dapat ditunjukkan

pada indikator pertumbuhan ekonomi yang memiliki nilai positif (kecuali tahun 1998

karena dampak krisis ekonomi tahun 1997). Ini menunjukkan bahwa terjadi

peningkatan pendapatan penduduk Indonesia sebagai akibat dari keterbukaan

perekonomian, sehingga dapat pula disimpulkan daya beli meningkat dan terjadi pula

peningkatan kesejahteraan.

Namun demikian, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan

perdagangan internasional yang semakin meningkat dan memiliki rasio positif, tidak

diikuti dengan perkembangan sektor keuangan (financial development) yang diukur

dari rasio jumlah uang beredar (M2) dengan produk domestik bruto. Perkembangan

pada tahun 2010 menunjukkan bahwa angka financial development (FD) kembali

pada tingkatan pada tahun 1990. Penurunan angka FD mengandung arti tingkat

monetesasi yang terjadi dalam perekonomian nasional mengalami penurunan. Hal ini

terjadi karena beberapa hal : (1) instrument keuangan di sektor keuangan terbatas

Page 70: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

69

(baik jumlah maupun jenisnya), (2) insentif yang diberikan sektor keuangan kecil

dibandingkan dengan insentif dari sektor lainnya, (3) instrumen keuangan di Negara

lain lebih profitable, (4) kurang adanya kepercayaan masyarakat terhadap sektor

keuangan dalam negeri.

4. Support

Perekonomian Indonesia mengamali fluktuasi dalam

perkembangannya pada dua dasawarsa terakhir. Konstelasi perekonomian dunia yang

sangat dinamis membawa dampak pada kejutan-kejutan dalam bentuk kontraksi dan

ekspansi perekonomian domestik. Hal ini terjadi karena pada dasarnya perekonomian

nasional sudah banyak melakukan keterbukaan ekonomi. Kondisi ini dapat berakibat

pada semakin derasnya aliran ekonomi dan perdagangan baik dari luar negeri ke

Indonesia atau dari Indonesia ke luar negeri. Proses keterbukaan ekonomi yang

terjadi membawa dampak pada ketergantungan perekonomian pada negara-negara

yang terlibat di dalamnya. Krisis keuangan yang terjadi di Asia dan dunia pada

umumnya berdampak pada kontraksi ekonomi di Indonesia. Stabilitas perekonomian

dan trend pertumbuhan ekonomi yang positif ternyata tidak mampu menjaga angka

pertumbuhan ekonomi pada level yang positif. Krisis keuangan yang terjadi

mempengaruhi kinerja berbagai perusahaan di Indonesia yang mengalami koreksi

atas situasi yang terjadi.

Namun apabila dilihat pada indikator lainnya, penurunan pertumbuhan

ekonomi pada tahun 1998 tersebut tidak paralel dengan perkembangan pada indikator

perkembangan sektor keuangan dan kegiatan perdagangan secara internasional. Dua

indikator tersebut masih memiliki trend perkembangan yang positif dan bahkan

sektor keuangan masih mampu memberikan kontribusi positif pada penyediakan

likuiditas keungan bagi masyarakat Indonesia. Masih kuatnya posisi financial

deepening Indonesia pada tahun 1998 tersebut menunjukkan bahwa sektor keuangan

masih menjadi pilihan penting dalam pelaku ekonomi domestik dalam menjalankan

kegiatan ekonomi dan perdagangannya.

Page 71: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

70

Grafik 4 : Rasio Hutang Terhadap PDB

Indikator rasio hutang luar negeri Indonesia terhadap PDB menunjukkan

penurunan, sehingga bisa dijelaskan bahwa keterbukaan ekonomi setelah terjadinya

krisis menyebabkan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap luar negeri semakin

berkurang.

Grafik 5 : Pertumbuhan Ekonomi

Page 72: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

71

Indikator pertumbuhan ekonomi juga mengalami peningkatan setelah

terjadinya krisis ekonomi, hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah

berkaitan dengan keterbukaan ekonomi bisa meningkatkan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat.

Dalam perkembangan perekonomian nasional pasca krisis keuangan pada

tahun 1998, kondisi perekonomian domestik mengalami pencerahan. Siklus bisnis

(gelombang konjungtur) yang terjadi secara bertahap tapi pasti bergerak pada

tingkatan kestabilan ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang positif.

Selama periode 1999-2010 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami

perkembangan yang cukup siginifikan. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan

ekonomi pemerintah dengan keterbukaan ekonomi dapat mendorong adanya ekspansi

pada sumber daya ekonomi secara global dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.

Sebagai akibatnya mesin pertumbuhan ekonomi bergerak secara dinamis dalam

memanfaatkan peluang usaha dan keunggulan bersaing. Pergerakan ekonomi yang

positif ini diikuti dengan kegiatan perdagangan internasional yang semakin meluas

(rasion ekspor dan impor terhadap PDB). Seiring dengan implementasi free trade

area dalam bentuk asean economic community dan kerjasama ekonomi regional

lainnya dapat mendorong arus lalu lintas perdagangan menjadi semakin terbuka

peluangnya.

Kestabilan perekonomian yang diikuti dengan kinerja perekonomian yang

positif membutuhkan peran sektor keuangan yang semakin berkembang. Sektor

keuangan yang semakin berkembang akan dapat mendorong kegiatan ekonomi

bergerak secara lebih leluasa dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi dan dalam

upaya untuk merespon permintaan pasar terhadap output yang ada. Dalam hal ini

menurut McKinnon (1973) and Shaw (1973) sektor keuangan merupakan faktor

penting dalam proses akumulasi modal yang direfleksikan dalam bentuk tabungan,

investasi dan produktifitasnya. Selanjutnya menurut King and Levine (1993) efisiensi

merupakan faktor penting dalam sektor keuangan yang memiliki peran penting dalam

pembangunan dari pada dampak dari sejumlah investasi yang ada.

Page 73: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

72

Grafik 6 : Penanaman Modal Asing dan Domestik

Sumber : BPS

Keterbukaan ekonomi juga memberikan dampak positif dari aspek penanaman

modal asing yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Ini mengindikasikan

bahwa kenaikan PMA bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan merujuk pada

Grafik 5 .

Tinjauan secara empiris menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran

penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hasil penelitian oleh

Amiruddin, dkk (2007) menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan sektor

keuangan dengan pertumbuhan ekonomi di negara Malaysia. Hasil penelitian tersebut

memperkuat temuan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan adanya

hubungan positif antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan

ekonomi (King and Levine,1993 ; Levine,dkk,2000; Nourzad,2002).

Selain keterkaitan antara sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi,

literatur ekonomi juga membahas keterkaitan antara keterbukaan ekonomi yang

tercermin dalam indikator perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi.

Page 74: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

73

Dalam hal ini pemahaman teori Klassik dalam bidang perdagangan internasional

mengarahkan pada suatu teori bahwa perdagangan internasional akan dapat

mendorong kegiatan ekonomi suatu negara. Dengan semakin terbukanya

perekonomian suatu negara, maka akan semakin membuka peluang setiap negara

untuk dapat melakukan kegiatan perdagangan internasionalnya.

Grafik 7 : Perkembangan Ekspor-Import

Sumber : Bank Indonesia

Perkembangan nilai ekspor dan impor selama periode 2000 sampai 2010

menunjukkan grafik yang meningkat dengan perilaku data yang sama, ini

menunjukkan aspek lain nilai positif dari keterbukaan ekonomi.

Namun demikian, patut pula dicermati bahwa keterbukaan perekonomian di

kawasan ASEAN menjadi kawasan ekonomi tunggal ASEAN juga dapat berdampak

pada keterbukaan sektor keuangan masing-masing negara terhadap penetrasi dari

negara lain di ASEAN. Secara teoritis, keterbukaan sektor keuangan tersebut dapat

menyebabkan persaingan di sektor keuangan menjadi semakin ketat. Pasar keuangan

domestik yang ditandai dengan perkembangan sektor perbankan akan menghadapi

pilihan investor baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri di kawasan ASEAN.

Dalam hal ini kegiatan ekspor dan impor akan semakin mudah dan cepat manakala

Page 75: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

74

ditopang oleh perkembangan sektor keuangan yang semakin dinamis dalam

memberikan pelayanan kepada pelaku ekonomi. Dalam hal ini menurut Kletzer and

Bardhan (1987) negara dengan perkembangan sektor keuangan yang baik (well-

developed financial sector) memiliki keunggulan komparatif dalam industri dan

sektor yang berhubungan dengan keuangan eksternal. Semakin berkembangnya

sektor keuangan akan dapat mendorong pelaku ekonomi untuk mengembangkan

usahanya melalui pembiayaan dari perbankan. Perlauasan usaha yang terjadi pada

akhirnya juga dapat mengakibatkan adanya peningkatan kapasitas output baik untuk

keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun untuk keperluan memenuhi

pasar luar negeri (ekspor).

Beberapa indikator ekonomi yang dijelaskan di atas menjelaskan pentingnya

atau terdapatnya pengaruh positif dari keterbukaan ekonomi pada perekonomian

Indonesia. Dengan semakin menguatnya indikator makro perekonomian, maka

stabilitas perekonomian Indonesia juga dapat dijaga. Ini dapat diketahui pada

indikator ekonomi nilai tukar IDR yang merupakan variable ekonomi paling sensitif

terhadap gejolak ekonomi maupun non ekonomi sebagai akibat dari kerterbukaan

ekonomi. Indeks nilai tukar IDR menunjukkan grafik yang relatif stabil setelah

terjadinya krisis ekonomi.

Grafik 8 : Indeks Nilai Tukar IDR

Page 76: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

75

5. Kritik

Pengaruh positif pada variabel-variabel makro ekonomi Indonesia sebagai

akibat dari semakin terbukanya perekonomian Indonesia bukannya tidak

menimbulkan masalah. Terdapat tiga permasalahan struktural yang dihadapi oleh

perekonomian Indonesia dalam hubungannya dengan keterbukaan ekonomi. Pertama,

masih belum berartinya kontribusi total faktor produktivitas di dalam memacu

pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi

Indonesia lebih banyak didorong oleh akumulasi modal dan juga masih tingginya

intensitas produksi yang berbasis penggunaan teknologi rendah dan lemahnya

kemampuan tenaga kerja. Kedua, rendahnya dasar kemampuan tenaga kerja pada

industri manufaktur dan timpangnya struktur industri. Sektor manufaktur Indonesia

memiliki derajat ketergantungan yang tinggi terhadap input import untuk semua

tingkatan industri manufaktur, ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri

dalam negeri. Selain itu, sektor manufaktur masih terkonsentrasi di kota-kota besar di

wilayah Jawa yang berdampak pada ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.

Ketiga, rendahnya kemampuan teknologi yang tercermin dari indikator rendahnya

kelulusan mahasiswa pendidikan tinggi khususnya bidang ilmu alam, teknik dan ilmu

kedokteran. Selain itu, jumlah peneliti dan teknisi per penduduk sangat jauh

dibandingkan Negara China, Korea, Malaysia dan Singapura. Ketiga hambatan

struktural tersebut merupakan faktor dominan yang mempengaruhi keterbukaan

perekonomian Indonesia dilihat dari perubahan ekspor khususnya di lingkup pasar

ASEAN yaitu competitive factor dibandingkan dengan demand dan diversify factors.

Kritik terhadap keterbukaan ekonomi di Indonesia didukung oleh penelitian

yang dilakukan Buckman (2005) yang menyimpulkan bahwa telah terjadi

pemahaman yang salah atas dampak keterbukaan ekonomi bagi pertumbuhan.

Buckman memberikan dua kritik :

Page 77: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

76

1. Tidak cukup bukti yang kuat yang mengatakan semakin kecil hambatan tariff

semakin besar pertumbuhan ekonomi. Studi lain memperlihatkan bahwa

volume perdagangan tidak memiliki hubungan yang kuat dengan

pertumbuhan.

2. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi banyak variabel ekonomi dan non

ekonomi, jadi tidak hanya oleh perdagangan semata.

Kritik lain berkaitan dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang didorong

oleh keterbukaan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dimana

kebijakan dilakukan dengan menitik beratkan pada pendekatan reformasi pasar

(market reform) dengan cara “big bang”. Kebijakan tersebut kurang tepat karena

tidak memperhatikan hal-hal teknis dalam kaitannya dengan orientasi kelembagan

pasar, sehingga dalam masa transisi ekonomi sangat dimungkinkan terjadi market

failure yang ditandai dengan adanya monopoli, rigiditas pasar tenaga kerja, alokasi

subsidi industri yang tidak efisien. Kesemuanya itu justru berdampak pada turunnya

pertumbuhan ekonomi dan turunnya pendapatan perkapita, dimana keduanya

merupakan cost of economics reform yang merupakan biaya dari keterbukaan

ekonomi.

Krisis ekonomi Asia Tenggara yang terjadi pada pertengahan tahun 1997

melalui contagion effect menyebabkan krisis multidimensional di Indonesia, juga

mendasari kritik terhadap keterbukaan ekonomi. Krisis yang berawal dari krisis

finasial sektor swasta di Thailand berkembang/ meyebar sehingga menyebabkan

depreasi nilai tukar IDR yang sangat tajam, inflasi yang tinggi, pengangguran

meningkat dan banyak perusahaan gulung tikar. Hal tersebut memperlihatkan bahwa

leberalisasi finansial yang terlalu berlebihan ternyata memberikan dampak yang

sangat berbahaya bagi perekonomian suatu Negara.

Page 78: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

77

Page 79: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

78

BAB IX

REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INDUSTRI

I. PENDAHULUAN

Pada awal tahun 1980-an perlu diingat adanya 2 peristiwa yang penting.

Pertama, banyak dari negara-negara berkembang, termasuk mayoritas negara-negara

di Amerika Latin dan Afrika dilanda krisis hutang dan krisis ekonomi makro dalam

jumlah yang besar. Kemudian pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang

jarang tumbuh dan bahkan di beberapa negara justru terjadi penurunan. Peristiwa

diatas menyebabkan pada masa tersebut dikenal sebagai “the lost decade” dalam

pembangunan.

Tetapi mungkin tidak semua hilang. Peristiwa penting yang kedua adalah

kritik dari para pembuat kebijakan setelah melalui penelitian yang cermat terhadap

kebijakan inward looking, kebijakan substitusi impor, kritik tersebut pun datang dari

pemimpin pemerintah yang sama dimana sebelumnya sangat antusias dalam

mengimplementasikan kebijakan seperti itu. Pada akhir dekade tersebut, kelompok

anti ekspor dan anti pengusaha swasta menjadi bias dan telah kehilangan

kepercayaan. Pengusaha pemerintah, promosi industrial, dan proteksi perdagangan

telah ditinggalkan, dan privatisasi (swastanisasi), deregulasi industri dan era

perdagangan bebas telah dimulai.

Tulisan ini berusaha mengulas apa konsekuensi adanya reformasi kebijakan

perdagangan dan industri tersebut dengan mengkombinasikan penjelasan secara

teoritis dan kenyataan agar lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan mengenai apa

yang terjadi disekitar kita. Penelitian mengenai reformasi ini tidak hanya terbatas

pada kajian teoritis atau berdasarkan kenyataan semata, tetapi telah dilakukan uji

empirikal yang sistematis terhadap konsekuensi reformasi tersebut pada lingkungan

Page 80: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

79

sekitarnya. Dan reformasi ini dibatasi pada reformasi kebijakan perdagangan dan

industri ; meskipun isu stabilisasi makro ekonomi dibahas sekilas tetapi hanya ang

berkaitan langsung dengan masalah diatas. Dan dalam proses reformasi ini terlibat

pula Bank Dunia dengan program yang ditawarkan berupa Structural Adjustment

Loans (SAL’s). untuk lebih jelasnya maaka akan dipaparkan dibawah ini.

II. REFORMASI KEBIJAKAN, PENYESUAIAN STRUKTURAL DAN

BANK DUNIA

Selama tahun 1980-an, structural adjustment menjadi nama lain dari reformasi

kebijakan. Hampir semua reformasi kebijakan selama periode tersebut pada negara

berkembang diilhami dan atau didukunng oleh SAL’s dari Bank Dunia. Reformasi

tersebut tidak terlepas dalam konteks dialog antara pemerintah dengan Bank Dunia-

yang terkadang juga dengan IMF. Adanya campur tangan dari Bank Dunia dan IMF,

termasuk didalamnya dalam masalah pembiayaan kegiatan tersebut, telah

menyebabkan adanya keseragaman dalam karakteristik agenda reformasi tersebut.

Dan kata “structural adjustment” telah menjadi kode yang digunakan untuk

menggambarkan dan melegitimiasikan reformasi, sedangkan liberalisasi dan orientasi

keluar (outward oriented) jadikan strategi utama dalam pembangunan. Mungkin

hanya Cina yang tidak melakukan hal tersebut, karena Bank Dunia dan IMF telah

menyekat kebijakan pembangunannya. Reformasi kebijakan secara terus menerus

mempunyai arah pergerakan yang jelas dalam perekonomian menuju penggunaan

mekanisme pasar yang besar dan insentif swasta, serta pada orientasi ekspor yang

lebih luas dan aturan main yang ditetapkan oleh Bank Dunia dalam reformasi ini telah

menjadi bagian dari sejarah dan dianalisa di sejumlah sumber yang berbeda,

khususnya oleh staf Bank Dunia itu sendiri.

Keterlibatan Bank Dunia dalam SAL’s adalah adanya peningkatan yang tajam

terhadap pinjaman negara-negara bekembang tersebut sebagai akibat rasa frustasi

yang mereka rasakan akibat oil shocks yang kedua. Yang melatar belakangi Bank

Dunia untuk memberikan pinjaman adalah untuk mengembangkan kapasitas ekspor

Page 81: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

80

yang lebih besar. Pada awalnya Bank Dunia cenderung naif melihat distori yang

cukup besar pada pengembangan strategi di banyak negara berkembang. Negara

sedang berkembang harus mulai untuk memindahkan atau bergerak dari distori

insentif harga yang sangat tinggi dan kerangka investasi untuk sesuatu yang lebih

stabil dan lebih berorientasi pada harga yang ditetapkan pada sistem pasar, dan

perekonomian menjadi lebih terbuka serta mengurangi proteksi – proteksi yang ada.

Pada dasarnya SAL’s ini diawali adanya krisis pembayaran eksternal

disebabkan adanya dua putaran oil shocks, perhatian Bank Dunia diarahkan untuk

memperbaiki distrosi mikro ekonomi. Hal tersebut menjadi pemandangan yang biasa

tentang adanya krisis hutang sebagai salah satu dari simpul distrosi tersebut.

Tujuan pembentukan SAL’s adalah menutupi stabilitasi makro dan reformasi

mikro. Ada dua jenis respons dari kebijakan, keduanya dinamakan “adjustment”,

guna mengatasi shock eksternal pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Yang pertama

adalah stabilisasi dalam mengatur pengurangan pengeluaran dari sebuah penyesuaian

permintaan domestik akan sumber daya yang memungkinkan di suatu negara. Kedua

adalah structural adjustment atau perubahan harga relatif dan mendesain

kelembagaan guna menciptakan perekonomian yang semakin efisien, lebih fleksibel,

dan dapat mengalokasikan sumber daya yang lebih baik serta menjaga agar terus

terjadi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.”

Definisi lain menjelaskan structural adjustment sebagai inti dari

pembangunan adalah structural adjustment ; dari pedesaan ke perkotaan ; dari

pertanian ke industri ; dari produksi untuk konsumsi rumah tangga ke produksi untuk

pasar ; dari perdagangan domestik yang besar ke rasio perdagangan luar negeri yang

lebih besar. Jadi secara umum, pembangunan sinonim dengan structural adjustment.”

Dalam tulisan ini ini structural adjustment akan difokuskan pada kebijakan

structural adjustment, contoh kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi

ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang. Kebijakan stabilisasi makro ekonomi

yang ditujukan untuk stabilisasi harga dan secara keseluruhan keseimbangan antara

sumber-sumber daya ekonomi dengan pengeluaran.

Page 82: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

81

Page 83: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

82

III. APA YANG HARUS DI REFORMASI ?

Dari sejumlah daftar mengenai kebijakan apa yang perlu di reformasi, maka

yang paling menonjol adalah masalah rezim insentif industri bagi negara-negara yang

melakukan kebijakan subtitusi impor. Pada kebijakan perdagangan, reformasi

langsung ditujukan pada masalah perijinan dan hambatan-hambatan kuantitatif

lainnya, tingkat tarif yang sangat tinggi dan sangat bervariasi, pajak ekspor dan surat-

surat kelengkapan yang berkaitan dengan birokrasi perbatasan. Dalam kebijakan

industri, targetnya adalah efisiensi dan pengusaha pemerintah yang tidak optimal,

hambatan untuk masuk dan keluar bagi pengusaha swasta untuk bergerak dibidang

tertentu, kontrol harga, kebijakan pendeskripsian pajak dan subsidi dan kendala biaya

yang ringan.

Gambaran mengenai proteksi perdagangan di negara-negara berkembang

dengan menggambarkan masalah hambatan tarif dan non tarif pada sekitar 50 negara

berkembang pada pertengahan tahun 1980-an menyajikan daftar tingkat tarif rata-

rata, pengukuran rasio untuk non tarif, kuota dan deposit impor. Dan masih banyak

pula penelitian yang berusaha menggambarkan bagaimana proteksi perdagangan di

negara berkembang sebelum dilakukannya reformasi.

Penelitian terbaru dilakukan secara lengkap melalui studi multi-volume pada

kebijakan harga produk petanian dimana dikatakan bahwa hal itu perlu di lakukan

untuk produk pertanian dimana dapat diberlakukan pula bagi kebijakan perdagangan

sektor industri pada awal perkembangannya. Mereka menjelaskan bahwa dampak

intervensi kebijakan pada sektor pertanian, dimasukkan dalam perhitungan efek

langsung (contoh campur tangan spesifik sektor) dan efek tidak langsung (contoh

peningkatan pembatasan perdagangan pada produk manufaktur dan untuk mendorong

perubahan nilai tukar keseimbangan).

IV. DASAR PEMIKIRAN DARI REFORMASI KEBIJAKAN

Studi yang memperhatikan masalah kebijakan perdagangan dan industrialisasi

secara bertahap sudah mulai ditegakkan dalam rangka reformasi kebijakan di negara

Page 84: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

83

sedang berkembang. Tidak dapat disangkal bahwa kesuksesan Korea Selatan,Taiwan,

Singapura dan Hongkong yang lebih ditekankan pada kebijakan orientasi pasar.

Mungkin yang menentukan keberhasilan mereka adalah krisis pembayaran eksternal

yang diawali dari kegagalan hutang membuat perubahan kebijakan yang tidak dapat

dihindarkan. Perubahan yang diambil pembuat kebijakan didorong guna menghadapi

krisis neraca pembayaran akibat adanya penetapan kuota dan berdampak pada

rasionalisasi nilai tukar mata uang asing. Kemudian pada tahun 1980-an para

pembuat kebijakan telah belajar dari pengalaman sebelumnya dalam menghadapi

krisis minyak yang pertama. Dan alasan lain yang juga mempengaruhi reformasi

tersebut adalah :

1. Bank Dunia dan IMF secara kondisional ikut mengatur dalam

pembiayaan eksternal yang keberadaanya sangat membantu

berlangsungnya reformasi tersebut.

2. krisis makro ekonomi yang dalam dan terus menerus diatasi dengan

memperhatikan pendistribusian di second place dimana ditahannya

reformasi mikro ekonomi pada waktu normal yang lebih banyak.

Ada 4 argumen dasar yang memungkinkan terjadinya reformasi kebijakan

orientasi pasar :

a. Liberalisasi ekonomi mengurangi peningkatan efisiensi statis dari mis-

alokasi dan pemborosan sumber daya.

b. Liberalisasi ekonomi mempertinggi pengetahuan, perubahan teknologi

dan pertumbuhan ekonomi.

c. Ekonomi yang berorientasi ke luar adalah lebih baik dalam mengatasi

adanya ekstermal shocks.

d. Sistem ekonomi yang didasarkan atas pasar cenderung kurang dalam

aktivitas yang senantiasa mencari celah yang bermanfaat (rent

seeking).

Page 85: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

84

4.1. Efek Statis ; Miss-alokasi Sumber Daya

Biaya efisiensi dari kebijakan subtitusi impor meliputi sebagian besar proteksi

perdagangan pada tingkat yang tinggi dan pengaturan industrial, dimana hal tersebut

telah didokumentasikan secara ekstensif dalam studi yang dilakukan. Kebijakan-

kebijakan telah mendorong untuk mengembangkan sektor industri dimana diperlukan

biaya tinggi dan melakukan sedikit untuk memastikan bahwa produktifitas akan

meningkat sepanjang waktu. Maka dihasilkan pola spesialisasi menjadi dipisahkan

dari masalah keunggulan komparatif. Dari perspektif alokasi sumber daya tersebut,

dampak-dampaknya adalah munculnya anti ekspor ; anti pertanian ; anti tenaga kerja

dan anti pendatang baru di sektor industri.

Sementara antara argumen secara teori dan empirikal untuk biaya mis-alokasi

sumber daya dari sindrom substitusi impor adalah sangat kuat, hal itu lebih keras lagi

untuk membuat kasus yang memaksakan besarnya biaya-biaya tersebut.

4.2. Efek Dinamis ; Perubahan Teknologi, Pengetahuan dan

Pertumbuhan

Kebijakan industrialisasi substitusi impor pada awalnya dilakukan dengan

harapan dapat meningkatkan kemampuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi

negara tersebut, akan tetapi kedua hal tersebut tidak pernah terealisasi dalam

kenyataan. Sementara itu negara-negara Asia Timur yang berorientasi keluar

(outward looking) dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat

yang memuaskan. Sejak awal banyak ahli ekonomi mengatakan bahwa posisi industri

yang tergolong infant industry tidak dapat dipertahankan, karena jika hal itu terus

dipertahankan yang terjadi justru kemunduran dibidang industri itu sendiri. Maka

kelompok anti ekspor dan anti persaingan sudah tidak berlaku lagi, yang ada adanya

upaya untuk melakukan pemotongan biaya yang tidak efisien (menekan high cost

economy), akuisisi dari kemampuan teknologi dan pertumbuhan yang

berkesinambungan. Koreksi dari kebiasan tersebut dipindahkan dengan disintensif

teknologi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Balassa (1988) :

Page 86: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

85

“Hal tersebut sering diteliti bahwa (monopoli dan oligopoli) lebih kepada

“quite life” daripada kegiatan inovatif, dimana diperlukan resiko dan

ketidakpastian. Pada gilirannya persaingan yang harus dirancang (carrot and

stick) memberikan dorongan pada perubahan teknoogi. Untuk satu hal, dalam

penciptaan persaingan untuk produk-produk dalam negeri di pasar rumah

tangga, insentif terhadap import-import untuk perusahaan eksportir terus

berusaha untuk mengikuti teknologi modern dalam kegiatan produksinya

untuk memelihara atau meningkatkan posisi pangsa pasarnya.”

Pandangan tersebut menjadi kebijaksanaan konvensional dalam menjelaskan

hal-hal yang berhubungan pada masa lalu (retrospektif) dari kesuksesan Asia Timur,

sebaik argumen prospektif untuk memindahkan distrosi tersebut pada negara-negara

sedang berkembang lainnya.

Distrosi harga relatif, seperti pajak perdagangan dan subsidi investasi adalah

hal yang pertama. Beberapa dampak distrosi relatif profitabilitas terhadap industri dan

sektor-sektor. Konsekuensinya, meskipun perubahan pada sektor ya g

menguntungkan dapat dikatakan mempunyai konsekuensi yang jelas untuk kegiatan

inovatif, dan perubahan neto pada inovasi lebarnya ekonomi (economic wide) tetap

tidak dapat diprediksi. Kegiatan inovatif dapat dikurangi di beberapa sektor, tetapi

ditingkatkan di sektor lain.

Argumen tersebut dapat diidentikkan dengan X-efisiensi ; jika tarif

mendorong kelambatan pengusaha dalam sektor persaingan impor karena

peningkatan hal tersebut pada beberapa sektor harga relatif dengan logika yang sama

mereka harus mengurangi kelambatan sektor yang berorientasi ekspor.

Kebijakan perdagangan dan industri memiliki kejelasan yang mengganggu

konsentrasi kemampuan pengetahuan dan teknologi. Beberapa contoh yang

terkemuka dijelaskan berikut ini. Kontrol harga domestik pada komoditas industri

seperti baja menghambat inovasi dan peningkatan kualitas karena selalu terjadi

kelebihan permintaan ; dalam menghadapi kelebihan permintaan, pemerintah menjadi

tidak perlu meningkatkan permintaan untuk meningkatkan produksinya. Hambatan

Page 87: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

86

untuk masuk dan keluarnya suatu industri, akan lebih mudah dan efisien jika

pendatang baru tersebut sebagai free riding atau membeli lisensi daripada membuat

baru.

Ada 3 jenis bukti empirik yang berhak disebutkan yang berkaitan dengan

sebab dan dampak antara perfoman proteksi dan teknologi yang mengkhawatirkan,

yaitu :

(1). Studi kasus level industri,

(2). Studi industri silang dari perubahan efisiensi teknik dan produktifitas,

dan,

(3). Studi negara silang dari pertumbuhan ekonomi.

4.3. Respon dari Eksternal Shocks

kasus reformasi industri diperkuat dengan argumen bahwa negara-negara

yang berorientasi ekspor mempunyai posisi yang lebih baik dalam menghadapi shock

eksternal negatif daripada negara-negara yang berorientasi ke dalam. Argumentasi

tersebut telah dianalisa dari perbandingan pengalaman beberapa negara berdasarkan

pada periode saat terjadi oil shock, Balassa menghitung dampak nilai tukar pada

perdagangan luar negeri dan shock permintaan eksport untuk beberapa negara. Dia

membagi shock agregat kedalam 4 jenis yang disebutnya sebagai “respon kebijakan”

:

(1). Tambahan pembiayaan eksternal neto,

(2). Meningkatkan pangsa pasar ekspor,

(3). Subtitusi impor

(4). Efek impor terhadap penurunan pertumbuhan GNP.

Untuk negara-negara promosi ekspor. Negara-negara promosi ekspor, tidak

seperti negara berorientasi ke dalam, mampu untuk meningkatkan pangsa pasar

dunia, yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Page 88: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

87

Analisis komparatif pengalaman di Asia Timur dan Amerika Latin dalam

memperbaiki krisis hutang yang berlarut-larut dengan memberikan bagian yang

cukup besar terhadap GNP-nya.

Ekonomi terbuka lebih baik dalam menghadapi shock eksternal yang negatif.

Hal itu berguna untuk membedakan antara dampak dari shock dan keluar dari masa

transisi. Pengurangan dari arus modal eksternal berpengaruh pada negara yang

berpartisipasi aktif pada pasar modal internasional daripada yang tidak. Dampak

shocks negatif eksternal menjadi suram pada kebanyakan negara yang menganut

ekonomi terbuka seperti Korea dan Chili , tetapi relatif tidak berpengaruh pada negara

tertutup seperti India.

Jadi tidak hanya negara-negara yang berorientasi keluar yang kebal terhadap

shock, tetapi mereka juga mempunyai waktu yang lebih singkat untuk keluar dari

krisis. Tetapi hal diatas merupakan masalah konseptual saja. Jika untuk memahami

orientasi keluar tersebut melihat keberadaan distrosi mikro ekonomi akan menjadi

insentif yang bias dari ekspor, hal tersebut sulit untuk melihat bagaimana distorsi

tersebut dapat dapat berhubungan sebab akibat antara krisis neraca pembayaran yang

biasanya mengikuti eksternal shocks. Pada perekonomian subsisten (simple),

hambatan perdagangan menurunkan ekspor dan impor, dan tidak memiliki implikasi

pada keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan perdagangan ditunjukkan

dengan kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan pengeluaran dan kebijakan nilai

tukar. Respon yang benar dari shock neraca pembayaran merupakan kombinasi dari

pengurangan pengeluaran dan kebijakan switching pengeluaran seperti kebijakan

nilai tukar.

4.4. Efek Kelembagaan ; Mengurangi rent seeking

Pembentukan kelembagaan dibawah kebijakan substitusi impor mempunyai

jenis cara kerja yang memperlebar variasi distorsi insentif dan mis-alokasi sumber

daya di mana secara bersamaan disebut rent seking. Biaya sumber daya dari distorsi

yang besar menjadi berlipat ganda dengan adanya eksistensi dari beberapa aktivitas.

Page 89: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

88

Selama pemerintah ada dan mengimplementasikan kebijakannya, individu-individu

dan kelompok-kelompok akan menggunakan kekuatan politik untuk mengambil

manfaat bagi dirinya sendiri.

V. MENGINTERPRETASIKAN KEMBALI PENGALAMAN ASIA

TIMUR

Cerita kesuksesan Asia Timur, sebagai contoh tingkat pertumbuhan yang

mengagumkan yang dialami oleh Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan

Hong Kong, meningkatkan tantangan tentang bagaimana pengalaman tersebut dapat

diikuti oleh negara lainnya. Para ekonomi yang mengajukan keterbukaan dan

liberalisasi di bidang harga bagi negara-negara berkembang sebagaimana yang

digambarkan dari pengalaman Asia Timur dengan tajam dikemukakan oleh para

spesialis di Asia Timur itu sendiri. Gambaran yang umumnya ditampilkan mengenai

keajaiban meminimisasi distorsi harga, memberikan kebebasan penuh pada sistem

pasar, dan menonjolkan ekspor. Pada kasus Korea dan Taiwan, ditekankan pada

reformasi dimana terjadi pengurangan hambatan besar-besaran terhadap masalah

keuangan, dan mendirikan rejim perdagangan bebas terhadap bagi para eksportir.

Tetapi apa yang dilakaukan di Asia Timur tidak seperti menyerupai apa yang

dilakukan oleh negara Amerika Latin. Penelitian yang menggambarkan kemajuan

liberalisasi di Jepang, Korea dan Taiwan menyimpulkan kemajuan liberalisasi di

Jepang tidak sampai tahun 1960 dalam membatasi bagian terbesar dari hambatan

kuantitatif yang formal ; nilai rasio liberalisasi impor nominal diperluas dari kurang

70 % pada tahun 1976. mirip juga dengan Taiwan tidak membatasi bagian terbesar

terhadap hambatan kuantitatif formal sampai awal tahun 1970-an ; rasio liberalisasi

impor nominal meningkat dari 61,5 % pada tahun 1970 menjadi 96,5 % pada tahun

1973. Korea dijadwalkan untuk mengurangi bagian terbesar dari batasan kuantitatif

tersebut selama periode 1984-1988.

Mengacu pada studi yang dilakukan oleh Korean Development Institute

(KDI), rata-rata tingkat efektif pada hambatan di Korea (untuk penjualan domestik

saja) kenyataannya meningkat dari 30 % pada 1963 menjadi 38 % pada 1978, setelah

Page 90: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

89

itu menjadi 24 % pada tahun 1970, dimana kondisi tersebut merupakan refleksi dari

peningkatan proteksi pada sektor pertanian, akan tetapi untuk barang-barang industri

properti, tingkat efektifitasnya menurun dari 26 % pada tahun 1963 menjadi 13 %

pada tahun 1978. kontras dengan peningkatan dan no-hold-barred liberalisasi yang

terjadi di Chile pada pertengahan kedua tahun 1970, dan di Bolivia, Mexico dan

Argentina pada tahun 1980 sangat mengejutkan.

Pemerintah Korea menggunakan proteksi perdagangan, menseleksi subsidi

kredit, target eksport (bagi perusahaan individu), kepemilikan swasta di sektor

perbankan, subsidi ekspor, dan kontrol harga – semuanya menyebarkan pemikiran

tunggal dari akuisis jasa dari kapabilitas teknologi dan membangun industri-industri

yang pada akhirnya akan meningkatkan daya kompetisi di pasaran dunia. Kebijakan

pemerintah menjadi sukses tidak disebabkan karena tepatnya penetapan harga, tetapi

disebabkan karena tepatnya penetapan harga, tetapi disebabkan tujuan dari kebijakan

tersebut yang salah. Sehingga elemen yang paling strategis adalah pertukaran dari

subsidi pemerintah dan proteksi perdagangan oleh pemerintah juga membentuk

standar performan yang keras. Perusahaan dimana performannya mengkhawatirkan

maka mereka akan menjadi subjek program “rasionalisasi”.

Adanya elemen-elemen dalam pasar bebas (seperti di Hong Kong) mengikuti

strategi Taiwan, dimana Taiwan dikatakan menguasai ekonomi pasar, dengan

karakteristik sebagai berikut :

(i). Tingkat investasi yang tinggi,

(ii). Lebih banyak investasi pada industri-industri kunci daripada

membiarkan keberadaan campur tangan pemerintah,

(iii). Menyebar luaskan banyak industrinya pada persaingan di dunia

internasional.

Perembesan dari insentif dan kontrol dari perusahaan swasta menembus

hambatan impor, syarat untuk masuk (entry), syarat kandungan lokal, insentif

investasi fiskal, dan konsensional kredit. Dikatakannya pula bahwa Taiwan memiliki

Page 91: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

90

konsistensi dalam mengantisipasi keunggulan komparatif di beberapa sektor seperti

kain tekstil, plastik, metal dasar, pembuatan kapal, mobil dan industri elektronik.

Akan tetapi pengalaman keberhasilan di Asia Timur tidak bisa atau tidak sama

jika diterapkan di negara-negara Amerika Latin, atau di negara Asia lainnya.

Kebijakan dalam kuota impor dan lisensi subsidi kredit, pembebasan pajak,

kepemilikan publik, dan selanjutnya. Sebagai contoh, subsidi ekspor yang bekerja

dengan baik di Korea ternyata tidak efektif dan menjadi sumber rent seeking di

Kenya, Bolivia dan Senegal. Hipotesa yang masuk akal untuk menjelaskan hal

tersebut karena adanya perbedaan jalan dalam interaksi pemerintah dengan sektor

swasta. Di Asia Timur pemerintah sebagai pengikut stackelberg dalam berhadapan

dengan sektor swasta di banyak negara berkembang di dunia.

Jika apa yang terjadi dalam pengalaman di Asia Timur menjadi revisionist

(yang melakukan perbaikan) dan liberalis dapat disetujui, maka mungkin dpat diikuti

sebagai berikut :

(a). Terdapat banyak campur tangan pemerintah dan kebijakan perdagangan

yang aktif dan industri,

(b). Tetapi campur tangan mengambil tempat yang terpenting dalam konteks

kebijakan stabilitas makro ekonomi dalam bentuk anggaran defisit dan

manajemen nilai tukar yang realistis,

(c). Juga penting, pemerintah menekankan pada komitmen penuh pada

ekspor dengan membantu meminimisasi biaya sumber daya dan insentif

problem,

(d). Juga, campur tangan mengambil tempat dalam karakteristik

pembentukan kelembagaan dengan “hard” state dan disiplin

pemerintahan yang kuat terhadap sektor swasta,

(e). Dan akhirnya membentuk kekurangan di banyak negara berkembang

lainnya.

Page 92: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

91

VI. MODEL-MODEL TERBARU PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA

Satu dari argumentasi yang biasanya terdapat dalam tipe kebijakan industri di

Asia Timur adalah pemerintah mungkin tidak dapat membuat keputusan-keptusan

yang menghalangi perkembangan industri menjadi sukses dan sebab itu patut

didukung. Jadi sifat kebijakan pemerintah tersebut senantiasa memelihara persaingan

yang mendukung keunggulan komparatif potensial.

Pendapat tersebut tidak lagi menjadi jelas dalam model perdagangan yang

terbaru dengan increasing return to scale dan persaingan yang tidak sempurna.

Diasumsikan bahwa banyak operasional perusahaan yang dibawah increasing return

to scale. Juga dianggap bahwa produksi industrial memperagakan permintaan atau

technological spillovers, dimana perluasan suatu perusahaan mendorong untuk

meningkatkan permintaan akan barang tersebut, dan dengan skala produksi seperti itu

biaya produksi perusahaan akan semakin berkurang. Masalah diatas tidak lepas dari

gaung teori yang dikemukakan oleh Rosenstein Rodan (1943), Nurske (1953) dan

Hirschman (1958), sebagaimana konsep “big push”, “balance growth” dan

“linkages”.

Seberapa penting persaingan tidak sempurna dalam negara sedang

berkembang ? Persaingan tidak sempurna sering merupakan konsekuensi dari

kebijakan pemerintah itu sendiri ; pembatasan masuk dan keluar, lisensi kapasitas dan

hambatan jumlah barang yang diperdagangkan ditentukan dalam suatu kebijakan.

Keadaan return to scale pada kenyataannya sangat terbatas. Biasanya tidak ditemukan

jejak yang signifikan mengenai kondisi return to scale, tidak satupun dari industri-

industri yang pernah diteliti (sampai tiga digit industri) yang menunjukan kondisi

constant return, dan hanya dua dari empat digit yang diestimasi menunjukkan

increasing return to scale.

Mungkin dari literatur akhir-akhir ini kontribusi utamanya adalah munculnya

alat-alat analisis yang baru. Alat analisis dikelompokkan menjadi tiga isu ; interaksi

strategi diantara perusahaan ; eksternalitas ukuran pasar ; dan keseimbangan pada saat

Page 93: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

92

return to scale dan learning by doing dari internal perusahaan. Tiga jenis kebijakan

tersebut adalah :

(1). Kebijakan perdagangan strategis (contoh kebijakan profit shifting)

Banyak dari modeling kebijakan yang diperhatikan akhir-akhir ini mengenai

pembentukan persaingan tidak sempurna meningkat pada kebijakan

perdagangan strategis. Model ini didasarkan dari dua oligopoli di negara yang

berbeda, persaingan pada pasar ketiga dan biaya operasi dibawah konstan.

Untuk industri yang bertujuan pada pasar persaingan tidak sempurna potensi

untuk mempertahankan kelebihan keuntungan, paling tidak jika industri yang

masuk dibatasi.

Secara sistematis analisa kebijaksanaan dalam wilayah perdagangan dan

investasi asing langsung telah menyajikan akses keuntungan, dan kesimpulan

yang berguna pada implikasinya bagi negara berkembang. Dan pelajaran yang

dapat diambil dari kebijakan seperti ini adalah :

a. Persaingan dari perusahaan asing diperlukan meskipun tidak selalu

menguntungkan,

b. Import dapat mengakibatkan perusahaan berada di bawah laissex-faire,

c. Investasi luar negeri dapat menjadi menyenangkan, meskipun dibawah

perdagangan bebas,

d. Kebijakan dimana terdapat diskriminasi bagi perusahaan yang dimiliki

oleh domestik akan dapat bermanfaat,

e. Ditentukan peristiwa empirik yang memungkinkan, persaingan tidak

sempurna pada sektor industri bagi negara berkembang tidak harus

pada tingkat tarif nominal yang lebih dari 15%,

f. Persaingan tidak sempurna pada sektor industri di negara berkembang

bukan argumen yang melanggar pengukuran liberalisasi perdagangan.

(2). Kebijakan untuk mempromosikan industri dengan skala ekonomis

Dalam teori perdagangan yang baru campur tangan kebijakan potensial

dimana perusahaan domestik beroperasi pada tingkat kapasitas sub optimal.

Page 94: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

93

Pada saat ini increasing return to scale, biaya rata-rata perusahaan harus

menunjukkan gap antara harga dan marginal cost (meskipun excess profit

sama dengan nol). Pada prinsipnya, gap dapat diperkecil melalui kebijakan

subsidisasi dan proteksi perdagangan dengan meningkatkan skala produksi

yang ada.

Jika pemerintah mampu mengambil keuntungan dari pasar dunia, maka perlu

melepaskan ketergantungan dari demand spillovers di sektor lain pada

perekonomian yang sama. Pada saat kebijakan pemerintah sering menghadapi

rintangan yang besar dibidang perdagangan, argumen dapat dibaca dengan

jelas sebagai salah satu hal dari perdagangan bebas daripada campur tangan

pemerintah. Proteksi perdagangan dapat menyebabkan perusahaan untuk

meningkatkan output dan mengurangi biaya per unit. Dalam liberalisasi

perdagangan, harga domestik pada industri-industri persaingan impor menjadi

rendah, dimana dampak tingkat penurunan dari biaya rata-rata pada

keseimbangan baru.

(3). Kebijakan untuk mempromosikan pengetahuan dan pertumbuhan

Model akhir-akhir ini dari pertumbuhan endogen ditekankan bagaimana

kegiatan pengetahuan dan purposive R & D yang mengendalikan

pertumbuhan ekonomi mendobrak kreasi produk-produk baru. Tidak seperti

model neo klasik solow, tingkat pertumbuhan dalam jangka panjang dlam

model tersebut menekan dengan forever diminishing marginal productivity of

capital, dan dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

Perdagangan internasional memiliki tiga konsekuensi utama yaitu

1. keunggulan komparatif atau efek alokasi,

2. pangsa pasar atau efek integrasi,

3. efek redundasi (kelebihan).

Penelitian tradisional yang disajikan untuk mengklarifikasi hubungan antara

produktifitas pertanian, keterbukaan dan pertumbuhan oleh Matsuyama (1992)

Page 95: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

94

memperlihatkan bagaimana efek produktifitas pertanian pada pertumbuhan sebagai

perantara pada keterbukaan ekonomi. Untuk itu diperlihatkan kunci-kunci sebagai

berikut :

i. ada dua sektor pertanian dan industri,

ii. adanya learning by doing dalam sektor industri, yang mendorong

pertumbuhan, dan

iii. elastisitas pendapatan dari permintaan untuk output pertanian kurang

dari satu.

Dalam perekonomian tertutup, model memprediksikan bahwa pertanian

berhubungan positif dengan pertumbuhan ; semakin produktif sektor pertanian,

semakin tinggi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh indusrti, dan tingkat

pengetahuan dan pertumbuhan semakin cepat. Pada perekonomian terbuka, makin

produktif pertanian semakin berperan ekonomi untuk menspesialisasikan di sektor

pertanian dan hasilnya dijadikan sumber bagi industri, dimana indusrti sebagai mesin

pertumbuhan.

VII. ISU DARI STRATEGI REFORMASI

Pengenalan rezim perdagangan dan industri di negara berkembang terasa

membutuhkan adanya reformasi, sebaik pengalaman pertumbuhan dengan reformasi

telah menyebabkan berkembangnya literatur yang membahas tentang reformasi.

Beberapa isu dilibatkan seperti reformasi yang bertahap- memiliki tradisi panjang

yang panjang dalam menganalisa ekonomi. Yang lainnya adalah analisa kredibilitas

kebijakan dan interaksi dengan stabilisasi dan sebagainya.

7.1 Teori Reformasi yang Bertahap

Teori tentang reformasi ini berkembang secara alami sedikit demi sedikit dari

teori the second best. Seandainya semua distrosi kebijakan tidak dapat dipindahkan

sekalipun ; akapah reformasi dapat meningkatkan pendapatan agregat ? untuk melihat

hal tersebut didukung oleh literatur tentang :

Page 96: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

95

(1). Kesamaan penurunan presentasi dari semua peninkatan distrosi

pendapatan agregat (disebut “radial” mthod),

(2). Pengurangan distorsi dari kebanyakan tarif pajak yang tinggi untuk

barang meningkatkan pendapatan agregat (disebut “concertina”

method).

7.2 Penyeragaman Tingkat Pajak atau Tarif

Adanya penyeragaman tarif ditujukan untuk mengurangi tingkat penyebaran.

Akan tetapi tidak adanya penyeragaman struktur tarif menjadi lebih baik daripada

penyeragaman tarif. Untuk barang-barang yang bersaing dengan barang impor

diproteksi dengan tingkat tarif yang tinggi untuk menghindarkan distorsi konsumsi.

Penyeragaman tarif akan optimal hanya jika ditujukan bagi kebijakan untuk

menurunkan impor agregat pada tingkat tertentu.

7.3 Interaksi dengan Kebijakan Stabilisasi

Lebih signifikan bahwa reformasi perdagangan dan harga sering dalam

kenyataan merupakan program tambahan dari stabilisasi. Manajemen ekonomi makro

diukur melalui difisit fiskal, overvalutioin dari nilai tukar, dan tingkat suku bunga riil

yang negatif membuat perbedaan signifikan dari produktifitas proyek investasi.

Adanya inflasi yang tinggi dapat meniadakan keuntungan dari reformasi struktural.

VIII. KONSEKUENSI JELAS DARI REFORMASI KEBIJAKAN

Sejak reformasi pada tahun 1980-an maka perlu kita evaluasi hasil dari

reformasi tersebut perlu dilaporkan. Sebagai tambahan, hasil dari reformasi struktural

telah ditunda dengan adanya ketidakstabilan lingkungan makro ekonomi. Untuk

alasan yamg sama, konsekuensi dari reformasi mikro ekonomi adalah sulit untuk

menguraikan dari efek kebijakan stabilisasi.

8.1 Respon sisi Penawaran dan Restrukturisasi

Staf Bank Dunia selalu menjadi orang yang berada di garis depan dalam

mengevaluasi konsekuensi kebijakan reformasi. Dan analisanya difokuskan pada

negara-negara yang menerima SAL’s. Sekali shok eksternal dikontrol, kecenderungan

Page 97: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

96

penerima SAL menjadi lebih baik dibandingkan negara yang tumbuh sisi ekspor dan

ekonominya tetapi buruk dalam masalah investasi. Pengurangan dalam investasi

menimbulkan teka teki, dan disarankan bahwa peningkatan pertumbuhan akan

semakin besar selama dampak dari tambahan impor dibuat memungkinkan dengan

pembiayaan dari luar.

Argumen untuk mendapatkan tingkat harga yang tepat diprediksi pada

ekstensi yang tidak dapat diabaikan terhadap respons suplay terhadap perubahan

harga. Bagi ekspor, jelas bahwa dapat dengan jelas usaha seperti itu akan

meningkatkan harga penawaran barang yang akan diekspor, dan dampaknya akan

terasa cepat terhadap permintaan barang tersebut.

Kemudian hal lain bahwa ekspor boom secara umum akan mengakibatkan

devaluasi mata uang asing dengan tajam dan akibatnya pada subsidi ekspor. Hal itu

dialami oleh industri komponen elektronika da Malaysia, tekstil di Bangladesh dan

Srilanka dan Maquiladora di Meksiko.

Satu dari peraturan yang ketat pada performan ekspor pada negara-negara

tersebut diberlakukan, sekali menentukan meningkatkan ekspor maka hal tersebut

memberikan efek histeris yang kuat, karena dapat dianggap sebagai dorongan yang

kuat untuk mendapatkan ekspor keluar. Tetapi apa yang terjadi tidak dapat disama

ratakan dengan negara lain.Untuk negara yang mskin, seperti di Afrika yang

merupakan negara pertanian, respon sisi penawaran lebih terbatas daripada di

Amerika Latin atau di negara Asia. Elastisitas penawaran barang pertanian cenderung

rendah dalam jangka pendek. Survey dari respon penawaran agregat pada pertanian

diharapkan pada jangka panjang elastisitas harga dari penawaran akan berkisar 0.3 –

0.9, dengan negara-negara yang lebih rendah dari range tersebut.

8.2 Konsekuensi untuk Efisiensi Statis dan Dinamis

Konsekuensi produktifitas pada reformasi di Cina mengalami mpeningkatan

yang relatif tinggi. Dikatakan bahwa di Cina insentif reformasi telah membiarkan

Total Factor Production tumbuh dengan cepat dan penurunan TFP dibeberapa

Page 98: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

97

perusahaan yang berbeda. Dikatakannya, pertumbuhan TFP mempunyai korelasi

positif terhadap bagian keuntungan yang ditahan bagi suatu perusahaan.

Data sistematis yang jelas mengenai efisiensi konsekuensi dari reformasi

perdagangan datang dari penelitian James Tybout dari bank dunia. Mereka merakit

sekelompok panel data dari beberapa negara berkembang, dan mempunyai subjek

yang dianalisa secara statistik, dengan memperhatikan isu secara konseptual dan

ekonometrik. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan :

1. Apakah liberalisasi perdagangan telah menyebabkan penurunan price-

cost margin pada sektor Import competing? Diketahui bahwa semakin

tinggi penetrasi impor dihubungkan dengan markup price-cost yang

rendah ( pengontrolan terhadap rasio output kapital dan efek tetap ) Gap

antara price-cost diturunkan dalam industri persaingan yng tidak sempurna

dengan peurunan proteksi yang dialami sebelumnya, sementara mereka

ditingkatkan atau tetap terhadap yang lain.

2. Apakah adanya reformasi tersebut telah menjadikan perusahaan

mengambil keuntungan yang lebih baik dari sisi skala ekonomi ke arah

rasionalisasi industri? Tybout melihat kasus Chili pada periode 1979-

1985, dikatakan tidak ada hubungan antara persaingan impor dengan exit

rate. Pengawasan terhadap efek industri dan negara, membuka

perdagangan dengan lebih tinggi berhubungan positif dengan ukuran lahan

pertanian yang lebih kecil dalam jangka panjang.

3. Apakah reformasi telah meningkatkan efisiensi secara teknik?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Foroutan ( 1992 ) dilaporkan

bahwa pertumbuhan dalam penetrasi impor dihubungkan dengan TFP di

Turki. Performan TFP lebih baik bagi industri yang berdasarkan

pengalamannya menurunkan proteksi dengan besar. Hal itu terjadi di

Meksiko dimana penurunan proteksi yang dramatik telah meningkatkan

efisiensinya.

Page 99: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

98

IX. KESIMPULAN

Beberapa kelompok tidak setuju bahwa adanya perubahan kebijakan telah

membawa suatu negara bergeser kearah yang lebih baik seperti yang dialami oleh

negara Asia Timur, contohnya di Bolivia dan Ghana. Pengalaman di Asia Timur

menunjukkan adanya distorsi harga relatif, dan analisa dari padanya, dan secara

institusional dilebih-lebihkan. Yang terjadi pada ekonomi di Korea Selatan dan

Taiwan menjadi makmur dengan adanya karakteristik kebijakan lingkungan dengan

restriksi perdagangan kuantitatif, subsidi yang diseleksi, dan beberapa negara yang

mencoba mengikuti langkah yang mirip dilakukan oleh negara-negara di Asia Timur

itu tidak dimiliki oleh negara berkembang yang lain. Perbedaan itu antara lain,

masalah disiplin di Asia Timur dalam sektor swastanya.

Kesimpulan minimal dari pembuat kebijakan dari negara yang ingin

mengikuti jejak negara Asia Timur itu harus mendapatkan harga yang tepat, tetapi

bukan memberdayakan reformasi tersebut berhenti sampai disitu. Reformasi yang

sejati harus mampu menciptakan interaksi dari kelompok yang baru antara

pemerintah dengan sektor swasta, mempu menciptakan kebijakan stabilitas

lingkungan dan dapat diprediksi, kemudian kegiatan rentseeking, dan meningkatkan

kemampuan pemerintah mendisiplinkan sektor swasta. Atau dengan kata lain,

perubahan tidak semata- mata diperlukan suatu kebijakan tetapi juga bagaimana

pembuat kebijakan tersebut. Pengalaman Asia Timur tersebut penuh dengan petunjuk

yang harus dikaji lebih lanjut.

Page 100: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

99

BAB X

INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN

Industri di negara-negara sedang berkembang (Less Developed Countries,

LDCs) seusai perang dunia II adalah sebuah pencapaian hasil yang sangat

mengesankan. Proses industrialisasi selama tiga dasa warsa silam di negara yang

sedang berkembang (LDCs) telah melahirkan revolusi industri kedua dan telah

mengubah perekonomian dunia lebih radikal dari pada perubahan yang terjadi di

Inggris pada akhir abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas. Dalam kurun

waktu 1060 – 1981, output industri LDCs tumbuh lebih cepat daripada produk

domestik bruto (GDP) dengan akibat meningkatnya pangsa industri dalam GDP.

Akan tetapi, sebagian besar kegiatan usaha manufaktur diantara LDCs sangat tidak

merata, 10 negara sedang berkembang mempunyai nilai tambah usaha manufaktur

(manufacturing value added, MVA) terbesar menguasai 70% dari MVA seluruh

LDCs pada tahun 1980.

Meningkatnya kepentingan kegiatan industri LSCs tercermin dalam

perubahan yang terjadi dalam struktur perdagangan barang-barang yang dihasilkan.

Dalam kurun Pasca Perang Dunia, perdagangan dunia secara keseluruhan tumbuh

lebih cepat daripada output dunia, dengan kata lain berbagai negara cenderung lebih

terbuka dan saling bergantung termasuk negara berkembang.

Pertumbuhan sektor manufaktur mempunyai efek keuntungan tidak langsung

dalam tingkat kelahiran, tingkat kesehatan umum, dan pendidikan. Dalam beberapa

kasus sektor manufaktur mampu memberikan input yang produktif atau barang-

barang konsumen dengan tepat daripada apa yang akan didapatkan pasar dunia.

Tulisan ini mengkonsentrasikan pada gambaran umum teori-teori Industri

terkemuka, perusahaan multinasional dan struktur industri, penentu pertumbuhan

industri paling penting, produktivitas dan hubungannya dengan orientasi perdagangan

Page 101: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

100

dunia, efisiensi pada perusahaan individual, efek tenaga kerja industrialisasi, serta

jalan keluar bagi LDCs.

Tulisan ini juga mencoba mengkaji kontribusi perdagangan di LDCs terhadap

proses industrialisasi di LDCs, dimana industrialisasi merupakan sasaran pokok

kebijakan dan industri dianggap perlu karena untuk menopang pertumbuhan

ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan modernisasi.

Istilah industrialisasi dalam tulisan ini adalah pertumbuhan output industri-

industri yang secara bersama-sama membentuk sektor industri. Istilah perdagangan

adalah interaksi dagang antara LDCs dengan negara lain termasuk berbagai macam

kebijakan perdagangan LDCs yang secara langsung mempengaruhi neraca

pembayaran LDCs.

II. PERSPEKTIF TEORI ALTERNATIF

Beberapa macam prespektif analisa dapat digunakan untuk membahas

pengalaman pelaksanaan kebijakan perdagangan dan industrialisasi LDCs. Dalam

bagian ini, kita memperbincangkan tiga perspektif analisa pokok yang kita jumpai

dalam literatur pembangunan – neo klasik, struktural, dan radikal.

2.1. Perspektif Neoklasik

Dalam pendekatan Neo Klasik, tolok ukur melakukan penilaian ekonomi

adalah efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Sebuah perekonomian dianggap

efisien dalam produksi bila penawaran tiap barang atau jasa tidak dapat dinaikkan,

tanpa mengurangi penawaran barang lainnya. Satu cara terpenting yang dapat

ditempuh oleh berbagai perekonomian agar barang-barang dapat diperoleh adalah

mengekspor beberapa barang untuk ditukar dengan barang-barang lain, efisiensi juga

berarti bahwa sebuah negara memanfaatkan dengan sebaik-baiknya peluang

perdagangan luar negerinya (World Bank, 1993). Alokasi sumber daya yang efisien

untuk barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional ditetapkan oleh

marginalnya pada harga internasional. Dan hal itu harus dicapai melalui operasi

mekanisme pasar yang tidak terkekang, dengan harga pasar yang berlaku untuk

mengalokasikan sumber daya secara efisien sesuai dengan keunggulan komperatif.

Page 102: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

101

Untuk mencapai tujuan itu maka distorsi pasar dalam negeri harus dihapuskan dan

adanya kebebasan perdagangan internasional termasuk dalam pasar mata uang asing

(Balassa, 1982).

Menurut kaum neoklasik tindakan proteksionis yang besar dalam perdagangan

akan menurunkan tingkat perekonomian yang bersangkutan. Perdagangan bebas yang

didasarkan pada keunggulan komperatif akan menuntun masing-masing kearah

spesialisasi produksi ekspor. Partisipasi yang lebih besar dalam perdagangan

internasional dan integrasi yang lebih erat ke dalam perekonomian internasional

bermanfaat bagi perekonomian nasional.

2.2. Perspektif Strukturalis

Penganut strukturalis mengecam analisa neo klasik tentang perdagangan dan

industrialisasi. Pendukung strukturalis berpendapat bahwa mekanisme harga di LDCs

tidak bekerja sesuai dengan model persaingan sempurna, karena itu tidak dapat

diterapkan di LDCs. Kaum strukturalis berpendapat bahwa kecenderungan jangka

panjang perdagangan bergerak merugikan produksi-produksi primer hasil pabrik,

sehingga LDCs perlu beralih dari ketergantungan pada ketergantungan perdagangan

dan ekspor barang primer ke industrialisasi yang mengandalkan pasar dalam negeri.

Perdagangan internasional sesudah perang dunia tidak dapat lagi bertindak sebagai

motor pertumbuhan bagi LDCs sehingga pelu dicari alternatifnya dalam bentuk

industrialisasi subtitusi impor.

Dalam model “dua celah” dijelaskan bahwa sasaran tingkat pertumbuhan

dapat terhalang oleh kurangnya devisa yang tersedia, sehingga LDcs perlu akan

bantuan luar negeri untuk mengurangi bahkan mengatasi kendala devisa. Proses

industrialisasi yang cepat akan menciptakan kebutuhan modal yang besar dan impor

barang antara yang hanya dapat dibeli dengan penerimaan ekspor yang terbatas, jika

barang konsumsi dibatasi

Banyak kecaman yang dilontarkan oleh kaum strukturalis terhadap pendapat

yang pro-perdagangan ditujukan pada sifat statis teori neoklasik utamanya tentang

analisa yang mengabaikan kesulitan yang mungkin dihadapi oleh sebuah negara

Page 103: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

102

dalam upayanya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan keunggulan komperatif

dari waktu ke waktu. Penyesuaian dengan pola perubahan pada permintaan

internasional tidak pernah tanpa pergesekan, sementara kemampuan ekspor yang

berdasarkan pada keunggulan komperatif adalah kecil dapat menimbulkan

ketidakstabilan penerimaan dan penyesuaian struktural jangka panjang.

Strukturalis juga mengatakan bahwa teknologi itu tidak statis dan mempunyai

sifat yang tidak sama antara satu negara dengan negara lain, karena teknologi akan

terus menerus berubah dan saluran untuk mendapatkannya tidak sempurna.

Kemampuan untuk memperoleh dan memakai teknologi yang berubah itu merupakan

faktor yang sangat penting untuk menentukan hubungan antara perdagangan dan

pembangunan industri.

Kaum strukturalis juga berpendapat bahwa ketidak sempurnaan dipasar dunia

secara sistematis cenderung membagi keuntungan dari perdagangan dengan

merugikan mitra-mitra tawar-menawar yang lebih lemah, yakni LDCs. Karena itu

diperlukan hal-hal seperti campur tangan yang bertujuan untuk mengoreksi berbagai

ketidak sempurnaan dan pengalihan keuntungan dari perdagangan ke LDCs.

2.3. Perspektif Radikal

Gagasan pokok dalam paradigma radikal adalah bahwa perdagangan

internasional antara “Pusat” dan “Pinggiran” menghalangi kemajuan ekonomi LDCs.

Para penulis memusatkan perhatian mereka pada dampak hubungan perdagangan

kolonial dimana industri milik asing menghasilkan barang ekstraktif, hanya

mempunyai pertalian yang sangat sedikit dengan perekonomian dalam negeri. Dalam

kegiatan ini sebagian besar input diimpor dan output diekspor. Penguasaan asing

memastikan bahwa surplus yang diperoleh dalam industri itu ditransfer ke negara

induk yang maju. Kemerdekaan tetap melestarikan ketergantungan ekonomi atau

dengan kata lain neokolonialisme sama sekali tidak berubah.

Dengan meluasnya industrialisasi di dunia ketiga perhatian penulis radikal

beralih ke peranan modal asing dalam proses industrialisasi. Ketergantungan pada

perusahaan Transnasional memperbesar hubungan ketergantungan LDCs melaui

Page 104: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

103

beberapa cara, dan yang terpenting terkait dengan masalah ketergantungan teknologi.

Dikemukakan bahwa LDCs secara khas mengimpor jenis teknologi yang tidak tepat

dengan kondisi faktor yang ada dalam perekonomian yang sedang berkembang.

Pilihan teknologi pada gilirannya berhubungan dengan pemilihan produk industri,

dan perusahaan transnasional dipandang sebagai produsen yang hanya memenuhi

permintaan kelompok yang berpendapatan tinggi, yang tidak cocok dengan

kebutuhan sebagian besar kebutuhan penduduk. Praktek-praktek monopoli yang

dilakukan oleh TNCs seperti pemberian harga transfer dan kekuasaannya atas saluran

pemasaran dan distribusi untuk ekspor, dipandang sebagai cara-cara tambahan yang

melestarikan situasi ketergantungan pada modal asing.

Kaum radikal tidak sependapat terhadap kemingkinan berkurangnya

ketergantungan LDCs dan akan tercapainya industrialisasi yang independen.

Pembinaan kemampuan teknologi dalam negeri yang pada gilirannya menuntut

adanya kemampuan lokal untuk memproduksi barang modal dipandang sebagai

langkah penting ke arah industrialisasi yang independen. Bentuk pengembangan

industri yang lebih mengandalkan kekuatan sendiri sangat diperlukan disamping

adanya transformasi struktur ekonomi dan politik yang radikal agar ketergantungan

dapat dihapuskan.

III. MODEL-MODEL

3.1. Model Lintas Negara

Sejumlah analis telah menguji analisa cross-section aturan export dalam

menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Dalam formula ini pertumbuhan output antar

negara, dijelaskan melaui perubahan permintaan angkatan karja, persediaan negara ,

dan eksport, dengan tindakan export sebagai sebuah shift faktor, Hicks Rental.

Walaupun detail dari berbagai study tidak bertentangan, khususnya mewakili

pertumbuhan persediaan modal. Tiada alasan yang mutlak untuk percaya kesalahan

pengukuran, jika dibenarkan akan menghilangkan signifikansi export.

Koefisien eksport akan selalu positif dan signifikan. Bagaimanapun

interpretasinya menyatakan dilema yang sama seperti dalam menjelaskan signifikansi

Page 105: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

104

waktu trend permintaan. Export mungkin akan menghasilkan dampak yang

menguntungkan sebagai gambaran spesialisasi yang lebih, namun meningkatkan

keuntungan kapasitas bahkan pada sektor yang bukan pokok untuk mendapatkan

pengembalian seperti hasil kemampuan pertukaran luar negeri. Export menyokong

pendapat bahwa dalam pertukaran memaksa secara ekonomis, meningkatkan rata-rata

kegunaan yang membawa keuntungan besar dari orientasi export. Hal ini dan

penjelasan pendukung koefisien export dalam cros-section study lainnya tidak

mengimplikasikan bahwa total faktor produktifitas yang lebih meluas secara

konvensional akan menurunkan syarat-syarat unit input dengan fungsi porduksi yang

telah diberikan adalah hasil export.

Pertumbuhan eksport sebagai variabel bebas yang menjelaskan pertumbuhan

harga lintas negara sebuah realokasi sektoral export dan barang-barang non eksport,

variabel ini ditemukan dan diyakini menjadi faktor-faktor yang menentukan

pertumbuhan LDCs, hal ini mendukung argumen tentang realokasi sektoral dalam

proses pertumbuhan.

Pembuktian melalui penelitian dengan studi kasus di Korea menyediakan

salah satu penjelasan micro economic tentang hubungan antara produktifitas dan

pertumbuhan export. Badan usaha export diuntungkan oleh kesadaran untuk

mentransfer teknologi, dan membentuk design produk serta pemasaran yang bagus,

termasuk anjuran pada produk engineering. Pengalaman Korea Selatan

memperlihatkan studi tentang pentingnya transfer teknologi yang berpengaruh kuat

terhadap perdagangan luar negeri.

3.2. The Large Country Puzzle

Fenomena perkembangan yang paling membuat tanda tanya besar adalah

persistensi rendahnya produktifitas seperti dibuktikan oleh sumber biaya domestik

yang tinggi (DRCs) di negara-negara besar dalam kompetisi internal. Banyak negara

yang dianalisa secara detail atas pengaruh kuat yang telah dibawa regime

perdagangan adalah besar secara demografi dan ukuran permintaan terhadap ukuran

pasar domestik. Brazil, India, Meksiko dan Filipina adalah contoh yang menunjukkan

Page 106: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

105

rendahnya ratio pemusatan dalam banyak industri seperti tekstil yang benar-benar

infisien. Bahkan dalam sektor yang dikarakteristikkan oleh pemusatan substansial

ratio, posisi monopoli yang mampu di proteksi tidak akan penting bagi badan usaha

yang mengambil jarak atas keuntungan dalam bentuk pengurangan usaha.

Seperti dalam keputusan-keputusan behavioral terdapat pendapatan dan

dampak subtitusi dan usaha besar untuk menambah efisiensi yang akan menaikkan

keuntungan. Dalam negara yang menggunakan subtitusi import secara besar, biaya

usaha untuk menaikkan produktifitas dapat dialokasikan melalui pertimbangan output

domestik dan keuntungan potensial umuran absolut dari bea penurunan usaha akan

menjadi kokoh. Pertimbangan matang akan menghitung usaha R & D secara

signifikan dalam negara-negara pen-substitusi import yang lebih besar di Amerika

Latin dan India

IV. POLA INDUSTRIALISASI

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menganalisa dalam kerangka kuantitatif

, perubahan-perubahan struktural yang terjadi selama proses pengembangan industri,

dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola industrialisasi yang baku. Hipotesis

dasarnya adalah bahwa sementara pendapatan perkapita naik, industrialisasi

berlangsung dengan tingkat keseragaman yang cukup di seluruh negeri untuk

menghasilkan pola perubahan alokasi sumber daya yang konsisten, penggunaan

faktor dan gejala lain yang terkait.

Berbagai study empiris memperlihatkan terdapat hubungan antara perubahan

sektor usaha manufaktur (baik dalam ukuran maupun komposisi relatif) dan tingkat

pendapatan perkapita. Secara khusus perubahan struktural bermula dengan pangsa

usaha manufaktur yang kecil dalam GDP pada tingkat pendapatan perkapita yang

rendah. Laju perubahan struktur itu meningkat cepat pada tingkat pendapatan

menengah. Pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi (diatas 1000 US$/kapita)

pangsa sektor manufaktur terus tumbuh, tetapi dengan laju yang lebih lamban,

sementara negara yang bersangkutan masuk ke tahap dewasa.

Page 107: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

106

Di samping itu, pola perkembangan industrialisasi masing-masing negara di

pengaruhi oleh sejarah ekonomi dan politiknya sendiri, hubungannya dengan negara

lain, dan oleh perubahan di lingkungan ekstern. Campur tangan aktif pemerintah pun

pada gilirannya dapat membentuk dan mempengaruhi sifat hubungan tersebut.

Identifikasi terhadap industri membedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu

industri tahap awal memenuhi pemintaan negara-negara berpendapatan rendah akan

barang-barang kebutuhan pokok, dengan menggunakan teknologi sederhana, namun

tidak memperbesar pangsa dalam GNP diatas tingkat pendapatan perkapita yang

relatif rendah. Industri menengah tumbuh cepat bersamaan dengan naiknya

pendapatan perkapita dari tingkat yang amat rendah, tetapi pangsanya tumbuh dengan

lamban pada saat tingkat pendapatan menengah perkapita sudah tercapai. Industri

tahap akhir terus tumbuh lebih cepat daripada GNP sampai ke tingkat pendapatan

yang tertinggi, dan industri ini berciri khas melipatgandakan pangsanya dalam GNP

pada tahap akhir industri.

V. PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN STRUKTUR INDUSTRI

Dampak perusahaan multinasional (Multinasional enterprises, MNEs)

terhadap konsentrasi industri dalam perekonomian LDCs adalah sangat kontroversial.

Akibat jangka pendek masuknya MNEs pada mulanya mungkin memperendah

konsentrasi industri dalam negeri yang beroperasi di dalamnya. Penurunan

konsentrasi akan lebih besar apabila :

1. MNEs masuk dengan berbagai fasilitas baru bukan hanya mengambil alih

pabrik milik lokal yang sudah ada.

2. Jika masuknya MNEs mempelopori satu bidang industri menjadikan

pesaing-pesaing utama ikut masuk pula.

Dengan mekanisme Miniature Replica Effect (efek tiruan mini) , bahwa dalam

sebuah industri yang didominasi oleh sekelompok kecil oligopolis yang bersaing di

segenap penjuru dunia masuknya salah satu perusahaan itu ke dalam pasaran baru

dapat merangsang dilakukannya langkah struktur industri DC.

Page 108: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

107

Meningkatnya GNP perkapita sebuah negara (diatas tingkat minimum tertentu

yang pada tingkat ini keterlibatan asing melalui investasi jadi bermanfaat), negara itu

akan beralih dari kedudukannya sebagai penerima arus modal netto ke kedudukan

baru sebagai pengirim modal netto ke luar negeri. Peralihan ini dapat dihubungkan

dengan MNEs lokal di LDC yang cepat tumbuh, walaupun bentuk MNEs asal LDCs

tidak sama dengan MNEs asal DCs.

VI. PENGARUH KUAT PERDAGANGAN PADA HASIL INDUSTRI

6.1. Produktifitas Industri Sebuah Kunci Variabel

Rata-rata pertumbuhan produktifitas dalam sektor industri telah dianggap

sebagai fenomena kunci dalam penjelasan evolusi sektoral industri ekonomi pada

masa sekarang. Teori perdagangan internasional menunjukkan implikasi adanya

perbedaan rata-rata pertumbuhan produktifitas sektoral. Analisa dari teori tersebut

dapat digunakan untuk menemukan implikasi terhadap perbedaan pertumbuhan

produktifitas 2 sektor ekonomi dimana permintaan perdagangan inter sektoral

ditentukan oleh domestik. Pemanfaatan secara banyak LDC, termasuk yang

kecil/sederhana, model ekonomi tertutup timbul secara layak atas sejumlah campur

tangan pemerintah yang menghalangi dunia harga dari penentuan pokok harga-harga

intersektoral.

Laju pertumbuhan dalam produktifitas industri mempunyai implikasi yang

besar atas transformasi struktural pada pengembangan ekonomi sekarang. Pertama,

pendapatan ekonomi ditingkatkan dari proses akselerasi produktifitas yang lebih

tinggi sejauh mungkin seperti elastisitas penghasilan atas permintaan barang industri

yang lebih banyak terhadapnya daripada agricultural. Kedua, memberikan harga yang

relatif kompetitif.. produktifitas tersebut meningkat sebagai refleksi menurunnya

hubungan harga barang-barang industri kepada masalah-masalah tersebut dimana

sektor agricultural yang dominan mempunyai pertumbuhan TFP rata-rata lebih

rendah. Menurunnya harga relatif diperlukan insentif untuk expansi secara luas pada

agricultural seperti harga antara konsumen dan produsen yang dibeli dari kota-kota

yang produk-produk agriculturalnya relatif jatuh (murah). Akhirnya, penurunan harga

Page 109: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

108

relatif produk-produk industri ditingkatkan jumlah permintaan atas barang-barang

tersebut melalui permintaan elastisitas harga yang tinggi, menolong percepatan

pergeseran antara output dan alokasi terhadap sektor industri pedesaan.

Strategi substitusi impor dapat dilihat sebagai salah satu desain untuk

mempercepat proses transformasi struktural melalui penciptaan permintaan yang

diperbanyak atas barang-barang industri domestik, daripada mengandalkan pada

memperlambat proses pergerakan antar sektor dalam merespon untuk mengubah

produktifitas relatif dan differensiasi elastisitas pendapatan.

6.2. Biaya-biaya Perlindungan

Penghitungan atas kedua biaya produksi yang efektif dan harga sumber daya

domestik (DRCS) telah dinyatakan untuk menstabilkan besarnya harga-harga

tersebut. Belajar pada OECD, Bank Dunia dan National Burean of Economy

Research telah terdokumentasikan secara hati-hati dan teranalisa dampaknya

mengenai pengaruh tarif dan non tarif. Total harga atas pengaruhnya berkisar dari

mendekati 0 (Malaysia) hingga 10% GNP di Brasil. Penurunan kecil GNP meskipun

terukur tidak efisien dengan sektor perusahaan yang merefleksikan pembagian output

industri pada GNP, harga-harga relatif bertambah nilai industri adalah semakin besar.

Dalam sebuah variasi yang menarik pada argumen harga proteksi

konvensional, bahwa dampak yang merugikan ketidak efisiensian ISI adalah

hilangnya kebiasaan penghitungan jika penghitungan manufaktur setara 5% dari

GNP, sektor ini menerima keuntungan lebih dari produksinya dalam pendapatan (atau

tabungan) pertukaran luar negeri, sektor lain harus menghasilkan pendapatan dengan

perhitungan yang sama atas pertukaran luar negeri dalam akses faktor penerimaan

pembayaran. Jika tidak akan memunculkan ketidakseimbangan pembayaran. Karena

itu, pertumbuhan sektor manufaktur tidak sepadan dengan pertumbuhan produktifitas

yang berimplikasi kebutuhan akan subsidi yang berkembang pada perbandingan

harga. Sektor pajak export harus tumbuh untuk mengadakan tambahan subsidi. Jika

sektor export 15% dari GNP, 5 persen bobot mati hilang secara tidak langsung, 33%

pajak harus ditempatkan pada exportir. Meskipun pajak tak langsung dibebankan

Page 110: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

109

pada sewa, akan menjadikan respon supply negatif sebaik pada kemunduran incentive

untuk meng-invest. Dalam rumus Lewis penghitungan konvensional atas bobot mati

hilang secara signifikan dalam pengaruh biaya proteksi sesungguhnya.

ERPS dan DRCS mengukur ketidak efisiensi alokasi seperti indikasinya

perhitungan faktor alokasi kepada sektor import yang tak dapat bersaing dengan

import ketika keduanya dimunculkan ke pasar bebas. Teknik yang tak efisien muncul

bila industri-industri tidak mampu bersaing dengan import dibawah rejim

perdagangan bebas yang menggunakan lebih banyak input-input per unit dari output

daripada pentingnya teknik. Keberadaan pekerjaan mengestimasi ERP dan informasi

saran tentang yang mana sektor di Brazil dan negara lain jatuh kedalam kategori

“tanpa harapan” dan “dapat ditebus”.

Penelitian mengenai biaya-biaya perlindungan, menyimpulkan bahwa 5 dari 6

negara yang diujinya, ketidakefisiensi secara teknis adalah sungguh-sungguh lebih

besar daripada ketidak efisiensi alokasi. Sementara hasil-hasil numeric yang speific

tergantung pada pengkategorian sektor dan asumsi-asumsi khusus mengenai bentuk

kurva supply industri, variasi-variasi yang masuk akal dalam asumsi-asumsi ini tidak

akan mencabangkan kepentingan relatif dua sumber ketidak efisienan. Perkiraan yang

menyeluruh, bagaimanapun juga menunggu model-model aplikasi penghitungan

umum equilibrium pada issue ini.

6.3. Orientasi Perdagangan dan Pertumbuhan Faktor Total Produktivity

Awal dukungan atas substitusi import didasarkan pada kebijakan tertentu

dalam alasan-alasan awal industri dan laju pertumbuhan produktifitas yang mereka

harapkan selama masa dimana kemampuan industrial diciptakan dan teknologi

modern diunggulkan. Asumsi pokoknya bahwa periode proteksi akan

menguntungkan untuk menaikkan teknik efisiensi dan menuju harga-harga

internasional yang kompetitif daripada menyederhanakan inti sewa daripada bentuk

waktu luang atau pendapatan yang terlalu banyak proteksi tingkat tinggi

mengingatkan dalam gerakan setelah dua atau tiga dekade industrialisasi yang

kebanyakan negara optimis yang tidak terjamin.

Page 111: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

110

Meskipun tidak demikian, negara-negara yang melakukan pendekatan

substitusi import dapat merealisasikan perfoman yang lebih baik dengan kebijakan-

kebijakan yang lebih fleksibel. Sebagai contoh Korea dan Taiwan memulai usaha

industrialisasi dengan biaya proteksi yang tinggi dan menentukan import beberapa

produk. Mereka membedakan dari negara lain yang menggunakan ISI dalam transisi

kecepatan pelaksanaan export dan menginginkan untuk menghilangkan proteksi saat

industri mengalami persaingan internasional setelah periode proteksi. Keinginan dan

kemampuan sistem politik untuk menutup ketidak berhasilan enterprises dan

pengganti-penggantinya adalah sangat penting dan dimensi unexplered dari

keberhasilan Asia Timur. Dengan prospek kompetisi international setelah masa

periode pelaksanaan proteksi, badan-badan usaha di negara-negara tersebut

mempunyai pilihan sedikit untuk menjalankan investasi dalam pemanfaatan

kemampuan teknologi demi menaikkan produktifitas secara kontras dibanding model

ISI yang menggunakan “learning-by-doing” adalah mekanisme memajukan

kemajuan yang terbaik.

Pengaruh dari suatu orientasi eksternal mungkin terletak pada pengaruh

alokatif dan tehnisnya, pengaruh-pengaruh alokatif yang merusak relatif kecil

dibandingkan dari GNP sedangkan pengaruh teknisnya tampak lebih besar. Di satu

sisi, kedua pengaruh eksternal tersebut telah mempengaruhi pertumbuhan GNP

negara-negara yang telah diteliti selama hampir 1,5 tahun. Disisi lain pengaruh

kumulatif GNP tiap tahun selama 2 dekade tidak menyebabkan yang serius tapi tidak

bisa dianggap sepele. Para pendukung rejim perdagangan bebas berpendapat bahwa

realokasi anggaran belanja akibat pengaruh ISI adalah tetap/statis. Dalam konteks

yang intertemporal keuntungan-keuntungan dari pengembangan efisiensi teknis yang

wajar dari pengaruh-pengaruh yang tercatat dalam paragraf sebelumnya seharusnya

dibarengi dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lebih netral. Para pendukung ISI

memiliki satu pandangan yang sama tentang keuntungan-keuntungan teknis yang

efisien dari pemberlakuan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka walaupun mereka

cenderung mengabaikan efisiensi alokatif. Pengujian empiris dari persaingan-

Page 112: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

111

persaingan ini menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh dinamis dari ISI, secara

prinsip, mungkin dipakai dalam analisa sumber-sumber pertumbuhan.

Sejumlah besar studi telah dilakukan pada sumber-sumber pertumbuhan LDC

dengan menggunakan metode yang berbeda mulai dari metode Denison-Kendrick-

Sohone. Sebelum menguji hasilnya, perlu dikemukakan dua hal yang tidak

dibicarakan secara eksplitis yaitu struktur-struktur lama serta faktor-faktor domestik

yang menentukan pertumbuhan produktifitas.

6.3.1 Struktur-struktur lama

Para pendukung rezim perdagangan netral mengharapkan pertumbuhan TFP

lebih besar bila diikuti dengan satu kebijaksanaan perdagangan bebas dibandingkan

dengan kebijaksanaan ISI. Spesifikasi dari struktur-struktur lama yang benar adalah

mengkhawatirkan tapi memperoleh perhatian yang kecil. Suatu pengamatan dari

pertumbuhan TFP setelah liberalisasi terjadi dapat diartikan sebagai dampak lama

dari resim subsidi impor sebelumnya. Atau kegagalan dari pertumbuhan TFP

berlanjut dengan liberalisasi mungkin berawal dari dampak-dampak yang merugikan

dari penerapan ISI dengan sebuah ketertinggalan.

6.3.2 Faktor-faktor Domestik yang menentukan pertumbuhan produktifitas

Meski kekuatan-kekuatan persaingan internasional diyakini sebagai satu

katalisator penting bagi pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya faktor-faktor domestik

lebih banyak berperan. Perkembangan negara berkembang yang dipengaruhi

pertumbuhan produktifitas menekankan pada upaya-upaya internal perusahaan

termasuk R & D dan penciptaan lingkungan kerja yang harmonis. Pengaruh-pengaruh

dari pendidikan, kesehatan, nurtisi, dan hubungan-hubungan industri pada

produktifitas tenaga kerja telah ditetapkan untuk mendesak beberapa dampak pada

produktifitas. Sumber utama dari keberhasilan penampilan para exportir Asia Timur

adalah dengan menjadikan tenaga kerja dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan besar.

Page 113: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

112

6.4. Bukti Empiris

6.4.1 Total Faktor Produktifitas dan Rejim Perdagangan

Karena belum ada sejumlah studi mengenai produktifitas di tiap negara yang

ruang lingkup pertanyaannya di dekati dengan satu dasar yang konsisten dan tidak

ada study yang secara sistematis mempelajari faktor-faktor penentu domestik.

Penelitian yang ada hanya memfokuskan penelitiannya pada keakuratan

penghitungan output dan input serta produktifitas. Oleh karena itu, tidak dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada bidang produktifitas

perdagangan. Datu perbedaan utama antara LDC dan DC tampaknya ada pada

pertumbuhan yang awalnya dihitung.

Study yang baru-baru ini diadakan di Turki dibuat untuk meneliti hipotesa

tentang industri-industri yang baru berdiri dan hubungan antara satu resim yang lebih

netral dan pertumbuhan produktifitas. Para penulis tidak dapat menyimpulkan

pendapat tentang industri yang baru tersebut terhadap struktur yang lama dan

pengaruh sektoral. Dari hasil penghitungan yang mereka lakukan diketahui bahwa

dihampir setiap sektor, perusahaan-perusahaan umum menunjukkan tingkatan-

tingkatan yang lebih rendah dari total faktor produktifitas dan dikatakan bahwa

keuntungan potensial besar diperoleh dari kepemilikan pribadi atau disiplin pasar.

Bagi sektor-sektor perusahaan pribadi,mendapat dukungan dari hasil hipotesa

bahwa di Korea total faktor produktifitas tumbuh jauh lebih cepat daripada

perusahaan-perusahaan internal di Turki dan Yugoslavia. Hampir semua sisa sektor

perusahaan bangsa Korea dihapus oleh satu perbaikan demi perubahan-perubahan

dalam penggunaan kapasitas. Sedangkan penggunaan yang bertambah sebenarnya

merupakan satu keuntungan yang berasal dari promosi ekspor.

Oleh karena itu, hingga sekarang tidak ada pengesahan yang jelas dari

hipotesa tentang negara-negara dengan orientasi eksternal mendapat keuntungan dari

pertumbuhan yang lebih besar dalam efisiensi teknis sektor-sektor komponen

perusahaan.

Page 114: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

113

VII. PENUTUP

Laju pertumbuhan industrial seperti LDCs dalam periode pasca perang dunia

adalah diluar kewajaran standar historis, kemudian tidak jelas bahwa LDC

melembaga sebagai sebuah “revolusi” sehingga negara-negara tersebut dapat

menyerap teknologi baru dan meningkatkan pertumbuhan produktifitas yang dapat

digunakan sebagai dasar untuk menaikkan standar kehidupan. Beberapa negara

pertumbuhan export didasarkan pada perbandingan keuntungan secara equal dengan

laju transformasi sektor paternal pendapatan dan faktor alokasi-proses pertumbuhan

industri di negara-negara tersebut adalah pantas, tercermin kenaikan laju

pertumbuhan tenaga kerja oleh realisasi intensive tenaga kerja di bidang export dan

teknologi memilih tanpa batas segmentasi faktor pasar. Kewajara, efficiency dan

pertumbuhan adalah pelengkap, menghindari keinginan perhatian terhadap kebijakan

explisit menjadi distribusi pendapatan atau kebutuhan dasar.

Dalam jangka panjang, faktor realokasi tidak dapat menyediakan produktifitas

sebagai mesin pertumbuhan. Sekarang banyak faktor desequilibrium yang mengikuti

tujuan realokasi telah dihapuskan di negara-negara Asia Timur dan tujuan pokok

yang lain dari pendapat ini yang nyata harus berasal dari pertumbuhan produktifitas.

Sementara keuntungan potensial dari orientasi external adalah direalisasikan kepada

bagian terbesar orientasi kedalam dari LDCs. Rendahnya pertumbuhan negara-negara

DECD menyarankan bahwa meskipun dengan penambahan secara cepat kebijakan

resim LDC, ekonomi internasional tidak akan diterima sebagai pencontohan

penampilan the bangh of flour. Laju pertumbuhan akan semakin tergantung, seperti

anjuran lewis, pada pemberdayaan pertumbuhan produktifitas dalam agricultural dan

industri. Faktor-faktorkontribusi berkembang dalam produktifitas agricultural adalah

sangat mudah dimengerti seperti pentingnya kebijakan untuk merealisasikannya.

Bagaimanapun juga pertumbuhan produktifitas dalam perusahaan (dan

keahlian usaha pada sektor industri) adalah tidak dikenal dengan baik. Orientasi

eksport, tidak memunculkan pendapatan total pertumbuhan produktifitas lebih tinggi

kemudian melakukan subtitusi impor. Perbandingan total pertumbuhan faktor

Page 115: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

114

produktifitas diantara negara-negara menunjukkan perbedaan orientasi perdagangan

internasional tapi tidak memunculkan perbedaan sistematis dalam pertumbuhan

produktifitas perusahaan. Tidak pula mempunyai pengalaman khusus di sektor ini.

Barangkali masalah pengukuran yang mengagetkan menangani hasil yang oleh

kebanyakan ekonomi kelihatan tidak ada bentuk yang diterima. Namun semua itu

memberikan pemahaman komprehensif yang lemah. Untuk menjelaskan produktifitas

di negara berkembang seperti perkembangan terakhir menghasilkan pola-pola premir

namun data-data begitu rendah lebih lagi data-data mengenai badan usaha

dikumpulkan untuk memprediksi produksi awal adalah bisa diterima dan sebagai

konfirmasi untuk stabilisasi pada level-level yang lebih tinggi dan banyak.

Bisa jadi penekanan industrialisasi adalah ikhtisar terbaik atas laju faktor

transfer ke sektor perusahaan yang berhasil mengembangkan kedewasaan dan

menambah dukungan pertumbuhan produktifitas dan tercatat sebagai sejarah tak bisa

dihindarkan dalam periode yang minim. Kalau pintas menuju industri yang maju

mungkin tidak ada meskipun berbagai usaha lain untuk mengidentifikasi hal-hal yang

menentukan produktifitas adalah penting. Pertumbuhan yang lebih cepat dalam

produktifitas industri menemukan penguatan pertumbuhan bersama antara

agricultural dan industri yang boleh jadi menjadi bahan kritikan yang terus menerus

dari pada ketika Lewis mengeluarkan pandangan ke empatnya pada pertengahan

1970.

Meskipun harga minyak turun tahun 1980-an, tidak ada isyarat / tanda

keuntungan dalam pertumbuhan lambat di bidang ekonomi-industri, bahkan dengan

perkembangan yang lebih lambat dalam perdagangan dunia, kesempatan ekspor

meningkat dan tereksploitasi tetapi perubahan struktural dalam pola produksi dan

faktor alokasi di bawah yang tidak secepat pada awal 1973. produktifitas akan

memainkan peranan yang lebih besar daripada permulaan periode dalam peningkatan

standar kehidupan pada LDC3.

Page 116: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

115

DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S., 2013, Ekspor Impor Teori dan Penerapannya, Penerbit Lembaga

Manajemen PPM, Jakarta Pusat

Arsyad, Lincolin, 2004, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,

Yogyakarta: BPFE.

Apridar. 2009. Ekonomi Internasional : Sejarah, Teori, Konsep, Permasalahan Dalam

Aplikasinya. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Ashad, 2012. Teori Moderinas Dan Globalisasi, Sidoarjo: Kreasi Wacana

Eiteman, Stonehill, Moffett, 201, Manajemen Keuangan Multinasional, Jakarta

Erlangga

Eun,Cheols. and Resnick, Bruce g. 2011. International Financial Management.Global

Edition. New York: Mcgraw-hill,Inc.

Hendra Halwani, H.Prijono Tjiptoherijanto, 1993, Perdagangan Internasional

Pendekatan Ekonomi Mikro Makro, Ghalia Indonesia, Jakarta

IKENSEN, D, 2009, "Made on Earth – How Global Economic Integration Renders

Trade Policy Obsolete", December 2009, No. 42, CATO Institute

Mansour, Fakih. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:

Insist Press dan Pustaka Pelajar

Ma, A.C., Van Assche, A., Hong, C. ,2008, "Global Production networks and

China's Processing Trade", Journal of Asian Economics

MILBERG, W., 2007, "Export Processing Zones, Industrial Upgrading and

Economic Development: A Survey", New School for Social Research

Ratya Anindita dan Michael R. Reed, 2008, Bisnis Dan Perdagangan Internasional,

Andi Offset, CV. Andi Offset, Yogyakarta

Sukirno Sadono, 2010, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar

Kebijakan, Jakarta: Kencana

Page 117: GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

116

Todaro, Michael P., 2003, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Edisi Keenam,

Jakarta: Erlangga.

YI, K.M., 2003, "Can Vertical Specialization Explain the Growth of World Trade?",

Journal of Political Economy, 111(1)