mewujudkan kemandirian ekonomi melalui inovasi dan kreasi (asrul sidiq) (1)

6
Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Melalui Inovasi dan Kreasi Oleh Asrul Sidiq Dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Aceh mendapatkan dana otonomi khusus dari tahun 2008 sampai tahun 2027. Dana otonomi khusus inilah yang saat ini menjadi sumber utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Aceh masih sangat bergantung dengan dana otonomi khusus dalam pembiayaan pembagunan. Dana otonomi khusus mengambil peran lebih dari 50 persen dalam APBA. Sementara peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri dalam APBA masih sangat kecil yaitu kurang dari 10 persen total APBA. Hal ini tentunya harus diantisipasi dikarenakan dana otonomi khusus yang besifat sementara. Diperlukan munculnya sektor-sektor ekonomi yang potensial dan produktif di Aceh sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Aceh menghadapi permasalahan masih tingginya angka kemiskinan. Dalam rilis BPS Aceh menunjukkan peningkatan angka kemiskinan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 17,6 persen. Pada September tahun yang sama naik menjadi 17,72 persen. Terakhir, pada Maret 2014, angka kemiskinan itu mencapai 18,05 persen.

Upload: asrul-sidiq

Post on 08-Nov-2015

225 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Ekonomi Kreatif. Industri Kreatif. Inovasi dan Kreasi.

TRANSCRIPT

Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Melalui Inovasi dan Kreasi

OlehAsrul Sidiq

Dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Aceh mendapatkan dana otonomi khusus dari tahun 2008 sampai tahun 2027. Dana otonomi khusus inilah yang saat ini menjadi sumber utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Aceh masih sangat bergantung dengan dana otonomi khusus dalam pembiayaan pembagunan. Dana otonomi khusus mengambil peran lebih dari 50 persen dalam APBA. Sementara peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri dalam APBA masih sangat kecil yaitu kurang dari 10 persen total APBA. Hal ini tentunya harus diantisipasi dikarenakan dana otonomi khusus yang besifat sementara. Diperlukan munculnya sektor-sektor ekonomi yang potensial dan produktif di Aceh sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Aceh menghadapi permasalahan masih tingginya angka kemiskinan. Dalam rilis BPS Aceh menunjukkan peningkatan angka kemiskinan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 17,6 persen. Pada September tahun yang sama naik menjadi 17,72 persen. Terakhir, pada Maret 2014, angka kemiskinan itu mencapai 18,05 persen.

Permasalahan lain yang dihadapi Aceh saat ini adalah banyaknya uang Aceh yang bocor ke Medan. Berdasarkan rilis Bank Indonesia di Harian Serambi Indonesia (8 Agustus 2014) disebutkan bahwa sampai dengan triwulan II 2014, jumlah uang yang beredar di Aceh mencapai Rp 2,8 Triliun. Tetapi dari jumlah tersebut hanya sebesar Rp 588 Miliar yang ditransaksikan di Aceh. Sisanya Rp 2,1 Triliun atau sekitar 75 persennya ditransaksikan ke luar Aceh. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya uang yang keluar dari Aceh dimana banyak orang Aceh membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perekonomian Aceh masih tidak sehat.

Chris Manning seorang ekonom senior dari Australian National University mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan utama yang dihadapi Aceh saat ini adalah pengangguran dikalangan pemuda. Tingkat pengangguran usia muda di Aceh berada cukup jauh di atas rata-rata tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Aceh dalam mengatasi persoalan yang jika dibiarkan akan dapat membawa multiplier dampak negatif.

Pengangguran di kalangan pemuda ini terjadi karena kurangnya sektor-sektor ekonomi produktif yang dapat menyerap lapangan kerja. Seperti kita ketahui bahwa sektor minyak bumi dan gas alam yang menjadi andalan Aceh selama ini terus berkurang. Aceh harus segera dapat menemukan sektor-sektor ekonomi produktif baru yang dapat mendorong perekonomian. Aceh memiliki banyak potensi dari sektor pertanian, perikanan, pertambangan, dan potensi sumber daya alam lainnya. Namun hal tersebut menjadi sia-sia jika tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini juga yang mengakibatkan masih banyaknya orang Aceh membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Kualitas pemuda Aceh yang inovatif dan kreatif menjadi pondasi utama dalam pembangunan Aceh kedepan. Hal ini menjadi solusi utama mengatasi permasalahan pengangguran di kalangan pemuda. Pemuda sudah seharusnya tidak terpaku hanya pada mencari pekerjaan. Sejauh ini pemuda Aceh masih sangat terpaku pada pekerjaan PNS dan pekerjaan-pekerjaan yang dekat dengan akses dana ke APBA. Seolah-olah kalau belum PNS maka belum bekerja. Kalau belum menjadi kontraktor maka belum menjadi pengusaha. Hal-hal tersebut tentunya sangat tidak positif terhadap pembangunan Aceh kedepannya.

Pola pikir untuk dapat menciptakan lapangan kerja dari berbagai potensi pasar yang ada harus dibudayakan. Asian Economic Community 2015 akan segera tiba pada Desember 2015 nanti. Kalau kita tidak siap akan komunitas masyarakat ekonomi Asia Tenggara ini, maka Indonesia dan Aceh khususnya akan menjadi pihak yang dirugikan. Para pemuda harus mempersiapkan diri untuk dapat bersaing dalam kancah nasional bahkan global. Pemuda-pemuda yang berjiwa inovasi dan kreativitaslah yang dapat menjadi garda terdepan dalam persaingan secara nasional dan global ini.

Persaingan global menyebabkan terjadinya pergeseran sistem ekonomi dari berbasis teknologi menjadi berbasis inovasi dan kreativitas. Peranan inovasi dan kreativitas sebagai salah satu mesin penggerak perekonomian menjadi semakin penting. Peradaban tersebut kita kenal dengan nama ekonomi kreatif. Keunggulan bersaing dan penentu pertumbuhan bukan lagi semata-mata hanya berbasiskan pada pengetahuan, tetapi kreativitas. Masukan utama ekonomi kreatif adalah gagasan yang diolah menjadi produk atau jasa yang bernilai ekonomi. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif bukan lagi ditentukan oleh bahan bakunya atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi.

Pada saat ini perkembangan ekonomi di Aceh masih menghadapi banyak masalah. Salah satu masalah kita adalah ketidakhadiran infrastruktur dunia kreatif dan inovatif. Tidak ada visi bersama untuk arah jangka panjang yang jelas. Hal ini diperparah dengan situasi pemerintah yang belum melihat desain dan ekonomi kreatif sebagai prioritas. Aceh belum memiliki jejaring (network) dan kewirausahaan yang inovatif (entrepreneurship). Penguatan jejaring adalah pekerjaan rumah terbesar kita saat ini.

Solusi mengatasi persoalan pengangguran di kalangan pemuda ini juga erat kaitannya dengan kondisi perpolitikan di Aceh. Perekonomian dan perpolitikan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Pengamat politik Fachry Ali dalam seminar nasional yang diadakan di UIN Ar-Raniriy pada tanggal 20 Agustus 2014 mengatakan bahwa pasca perjanjian damai antara RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005, terjadi pertumbuhan lebih banyak kelas menengah atas serta super elite Aceh daripada kelas menengah profesional Aceh dan kelas pedagang yang ada saat ini (Serambi Indonesia, 21 Agustus 2014). Fachry juga mengungkapkan bahwa dengan proses seperti ni maka akan sangat sulit muncul kelas masayarakat manufaktur dan industri di Aceh. Kelas manufaktur dan industri di Aceh ini sangat penting dalam mendorong pembangunan perekonomian di Aceh. Fachry Ali juga menyebutkan bahwa akibat dari pertumbuhan lebih banyak kelas super elite ini juga melahirkan kelas masyarakat konsumtif dimana perputaran uang di Aceh tidak sehat, karena sebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat yang didominasi kaum romantisme yang didapat dari sektor tidak produktif.

Melihat persoalan yang dihadapi Aceh saat ini, sudah seharusnya kemandirian ekonomi menjadi salah satu poin utama dalam merancang pembangunan Aceh kedepan. Perlu dibangun budaya kreatif melalui penanaman pikiran kritis, yaitu pikiran yang selalu kritis terhadap apa yang telah ada, untuk menemukan sesuatu yang baru. Selain itu kita juga perlu membangun budaya produktif, yaitu hasrat untuk meneliti, merancang, menciptakan, membuat, dan memproduksi sesuatu, bukan sekedar menggunakan, menimpor, dan mengkonsumsi apa-apa yang telah disediakan. Budaya konsumtif yang lahir dari kalangan yang saat ini telah sangat merasuk di dalam masyarakat Aceh ini sebaiknya ditransformasikan ke dalam budaya produktif. Untuk itu diperlukan perubahan fundamental pada sistem yang lebih mendorong kreativitas, perubahan struktur ekonomi dan industri yang menghargai nilai inovasi, dan perubahan struktur kepemerintahan yang mendorong ke arah cara berpikir yang kreatif.