metode istinbÂt̠ hukum wahbah...
TRANSCRIPT
METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI
DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Ihfal Alifi
NIM: 11150440000041
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M/ 1440 H
i
i
METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI
DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Ihfal Alifi
NIM: 11150440000041
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M/ 1440 H
ii
ii
METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI
DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Ihfal Alifi
NIM: 11150440000041
Di Bawah Bimbingan
Dr. H. Abdul Halim, M.Ag
NIP: 19670608 199403 1 005
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M/ 1440 H
iii
iii
iv
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Maret 2019
Muhammad Ihfal Alifi
v
v
ABSTRAK
Muhammad Ihfal Alifi, NIM 11150440000041, METODE ISTINBAT HUKUM
WAHBAH ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA, Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440 H/2019 M. xiv + 69 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat Wahbah Zuhaili sekaligus
metode istinbat hukum yang digunakan dalam persoalan perkawinan beda agama
yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim. Isu perkawinan beda
agama pada saat ini menjadi isu yang masih aktual untuk dibicarakan. Peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menyatakan bahwasanya
perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan aturan
hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan: “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kepustakaan (library research)
dengan mengumpulkan data primer yang dijadikan sebagai dasar/landasan dari
penelitian ini, kemudian data skunder yang berkaitan dengan tema ini dijadikan
sebagai data pendukungnya. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah
deskriptif analisis terhadap sumber data primer yakni kitab “al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu” dan “al-Tafsir al-Munir” serta sumber data sekunder yang berkaitan
dengan skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menurut
Wahbah Zuhaili dikelompok menjadi 3 kategori, yakni perkawinan antara pria
muslim dengan wanita musyrik, perkawinan antara wanita muslimah dengan pria
kafir, dan perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab. Dalam metode istinbat
hukum Wahbah Zuhaili menggunakan metode kompromi atas dalil yang
bertentangan (ta’arud al-adillah), yakni QS. al-Baqarah [2]: 221 dengan QS. al-
Maidah [5]: 5. Pendekatan dalam istinbat hukum tersebut menggunakan sadd al-
dzari’ah. Sehingga dalam penetapan hukumnya Wahbah Zuhaili melihat bahwa
penetapan suatu hukum itu didasarkan atas kebutuhan dan kemaslahatan di
masyarakat.
Kata Kunci: Wahbah Zuhaili, Beda Agama, Perkawinan, Istinbat Hukum.
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag
Daftar Pustaka : 1993-2018
vi
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Ungkapan tersebut, penulis ucapkan sebagai wujud puji
syukur atas selesainya, skripsi ini. Pertolongan utama dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala merupakan jalan lapang bagi penulis dalam menyelesaikan karya akhir ini.
Salawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan Muhammad saw.
yang telah menggulung tikar-tikar kejahiliaan dan menghamparkan permadani-
permadani keislaman, dan mengajarkan kita tentang arti hidup yang sesungguhnya.
Semoga kita mendapatkan syafaat darinya di akhirat kelak. Amin.
Doa dan penyemangat dari kedua orang tua ku, yakni Ayah tercinta Khoifin
dan Ibu tercinta Umi Kulsum juga menjadi pemacu bagi penulis selama proses
pengerjaan skripsi. Karya ini, merupakan salah satu wujud bakti penulis kepada
ayah dan ibu, yang dengan kasih sayang serta ketulusannya telah membesarkan dan
mendidik penulis. Berharap buah hatinya memiliki ilmu yang bermanfaat sekaligus
sebagai ladang amal jariah, itulah pesan yang selalu disampaikan kedua orang tua
kepada tiga buah hatinya. Asa itu, menjadi penuntun bagi penulis selama menimba
ilmu di kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak ketinggalan, kedua adikku, Findi Maulidiyah Alfi dan Ahmad Ziyad
Al-Kufi, yang juga menjadi penyemangat hari-hariku. Kepada merekalah,
selayaknya teladan kuberikan sebagai anak sulung agar kelak keduanya menjadi
lebih baik dariku. Meski jarak jadi pemisah, Insya Allah, ayah, ibu dan kedua
adikku, selalu berada di hati penulis.
Ucapan terimakasih, penulis juga persembahkan kepada para pihak yang
selama ini memberikan kontribusi bagi penulis sehingga bisa menuntaskan S1 dan
menyelesaikan karya ilmiah ini:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie,
S.H, M.H, M.A.
2. Ketua program studi Hukum Keluarga sekaligus sebagai dosen pembimbing
skripsi, Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., yang berkenan meluangkan waktu
untuk berbagi ide dan saran kepada penulis. Dengan kesabaran, beliau
vii
vii
menuntunku untuk menyelesaikan skripsi ini dan selaku Sekretaris program
studi Hukum Keluarga, Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H.
3. Dosen Pembimbing Akademik, Bapak K.H. Dr. Juaini Syukri, Lc, M.A.,
yang berkenan untuk selalu menasihati dan membimbing selama menjalani
proses perkuliahan.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendarmakan ilmu,
pengalaman dan wawasan yang bermanfaat bagi penulis, semoga menjadi
ladang amal tak berkesudahan.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk studi
kepustakaan
6. Ibu Nurul Faizah, yang selalu memberikan motivasi dan banyak
mengajarkan hal-hal yang mendasar yang bernilai besar untuk menjalin
suatu hubungan sosial dengan baik. Kak Wahyu, Kak Nurul, untuk kalian
berdua, terbaik pokoknya. Canda dan tawa keluarga angkat ku menjadi
penyegar di tengah kepenatan.
7. Pendiri, para guru, serta seluruh santri-santri Al-Nahdlah Islamic Boarding
School Depok, yang memberikan dukungan dan permakluman yang luar
bisa kepada penulis untuk segera menyandang gelar S1. Semoga penulis
bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan Pondok dan para
santri.
8. Para Kyai dan kawan-kawan di Pondok Pesantren MQ Tebuireng, yang
telah mengajarkan bagaimana menempatkan Kalam Ilahi sebagai pelita
hidup. Tempat dimana bersemai segudang ilmu agama ini, selalu membuat
penulis rindu untuk kembali. “Matur suwun MQ.”
9. Sahabat sahabatku, Hukum Keluarga Angkatan 2015, Keluarga Besar HMI
Hukum Keluarga, Keluarga Besar Bidik Misi 2015 UIN Syarif
Hidayatullah, dan Keluarga Besar KKN SEPATU Hambaro, kebersamaan
dengan kalian layaknya sebuah keluarga, sungguh tak kan penulis lupakan.
Untuk para sohib: Fauriza Rohmi, Zaenudin, Shofan Amirudin, Ahmad
viii
viii
Zulfi Aufar, Ariyall Hikam Pratama, Cak Jayyid Rosyidi, Cak Suyut,
persahabatan kita Insya Allah tetap terjaga.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang
turut serta dalam memberikan dukungan, dan motivasi bagi penulis dalam
menjalani masa studi hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak
dapat penulis sebutkan secara satu-persatu. Semoga Allah membalas kebaikan
semuanya.
Jakarta, 25 Maret 2019
Muhammad Ihfal Alifi
ix
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa kata yang
ditransliterasi dari bahasa Arab-Latin. Adapun pedoman yang digunakan penulis
dalam proses transliterasi Arab-Latin adalah “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum 2017”. Berikut adalah daftar penulisan transliterasi Arab-Latin:
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ẖ ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
x
x
q qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrop ` ء
y ya ي
B. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
atau monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـــــــــــــــــــــــــ ـ a fathah ــــــــــــــــــــــــــــ
ـــــــــــــــــــــــــ ـ i kasrah ــــــــــــــــــــــــــــ
ـــــــــــــــــــــــــــــ ـ ــــــــــــــــــــــــ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـــــــــــــ ي ـ ai a dan i ــــــــــــ
ـــــــــــــ وـــــ ـ ـــــــ au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xi
xi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـــا ـ a a dengan topi di atas ـــــــــ
ـيــ ـ ـــــــ i i dengan topi di atas
ــو ـ u u dengan topi di atas ــــــــــ
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam ( لا ), dialih aksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsiyyah atau
huruf qamariyyah. Misalnya:
al-ijtihad = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
E. Tasydid (syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah = الشفعة
F. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbutah tersebut dialih
aksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbutah tersebut diikuti dengan
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat
contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syari‘ah شريعة 1
al-syari‘ah al-islamiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqaranat al-madzahib مقارنة المذاهب 3
G. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
xii
xii
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري
= al-Bukhari, tidak ditulis Al-Bukhari.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meski akar kata nama tersebut
berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din
al-Raniri.
H. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darurah tubihu al-mahzurat الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisad al-islami اإلقتصاد اإلسالمي 2
usul al-fiqh أصول الفقه 3
al-asl fi al-asyya’ al-ibahah األصل في األشياء اإلباحة 4
Al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
xiii
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................ ix
DAFTAR ISI .....................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
E. Tinjauan Kajian Terdahulu .............................................................. 5
F. Metode Penelitian ............................................................................ 7
G. Sistematika Penelitian ..................................................................... 10
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA ..................................................... 11
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama .............................................. 11
B. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik ................... 13
C. Perkawinan Seorang Muslimah dengan Laki-laki Kafir ................. 15
D. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Ahli Kitab ................ 19
BAB III BIOGRAFI SOSIO-INTELEKTUAL WAHBAH ZUHAILI ....... 27
A. Kehidupan Wahbah Zuhaili ............................................................. 27
B. Geneologi Keilmuan Wahbah Zuhaili ............................................. 30
C. Karya-karya Intelektual Wahbah Zuhaili ........................................ 32
D. Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili ...................................................... 35
xiv
xiv
BAB IV ANALISIS METODE ISTINBAT HUKUM YANG DIGUNAKAN
WAHBAH ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA .............. 39
A. Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili tentang Perkawinan Beda Agama
............................................................................................................... 39
B. Metode Istinbat Hukum yang Digunakan Wahbah Zuhaili dalam
Perkawinan Beda Agama ..................................................................... 48
C. Relevansi Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Perkawinan Beda Agama
............................................................................................................... 57
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 60
A. Kesimpulan ..................................................................................... 60
B. Saran ................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan bagian dari sunatullah yang berlaku secara umum
bagi semua makhluk yang hidup di muka bumi. Melalui proses perkawinan, baik
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan berkembang biak dengan tujuan untuk
menjaga kelestarian hidup.1 Oleh karena itu, setiap manusia yang normal dan telah
dewasa pasti akan mendambakan suatu perkawinan. Akan tetapi dalam
melaksanakan perkawinan itu tidak bisa dengan cara serampangan seperti hewan
atau binatang karena perkawinan bagi manusia mempunyai tata cara dan aturan
yang ditentukan oleh hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif.2
Dalam Islam, sebuah perkawinan dilakukan tidak hanya membahas tentang
persoalan dan tanggung jawab dua orang saja, namun di dalamnya juga membahas
tentang persoalan dua keluarga, bahkan masyarakat Islam secara keseluruhan serta
peran Allah dan Rasul-Nya, karena perkawinan merupakah bagian dari syariat
Allah dan sunah Rasul-Nya. Oleh karena itu, seorang suami dan istri dapat
menjalankan persoalan dan tanggung jawabnya manakala keduanya berasal dari
satu kelompok yang bersatu dalam pemikirannya dan apa lagi dalam urusan
agamanya. Jikalau seorang suami dan istri itu berlainan agama bahkan berlainan
bangsa tentu akan membawa kepada “conflict of law” yang akan menimbulkan
pertikaian berlanjut di dalam sebuah keluarga.3
Isu perkawinan beda agama pada saat ini menjadi isu yang masih aktual
untuk dibicarakan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
menyatakan bahwasanya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, cet. 2, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 1. 2 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di
Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2016), h. 9. 3 Fuad Mohd. Fachrudin, Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1993), h. 41.
2
yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.4 Meskipun ketentuan tersebut
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak menutup kemungkinan
terjadinya perkawinan beda agama dikarenakan beragamnya agama dan aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia.
Para ulama dalam menanggapi permasalahan perkawinan beda agama
memiliki pendapat yang berbeda-beda, ada golongan yang membolehkan dan ada
pula golongan yang mengharamkan perkawinan beda agama. Munculnya
perbedaan pemikiran tersebut dikarenakan dalil-dalil yang menyebutkan tentang
persoalan perkawinan beda agama masih sangat membutuhkan pemahaman yang
lebih mendalam dan detail. Itu artinya, belum ada kepastian hukum secara jelas,
sehingga memerlukan ijtihad dalam hukum kebolehan dan keharamannya.5
Adapun golongan ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama
adalah Atha’, Ibn ‘Umar, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, al-Hadi (salah seorang
imam Syi’ah Zaidiyah), argumentasi yang dijadikan dasar larangan perkawinan
beda agama adalah mengacu pada QS. al-Mumtahannah [60]: 10, yang mana di
dalam ayat tersebut menjelaskan tentang larangan melakukan perkawinan antara
umat Islam dengan orang kafir; QS. al-Baqarah [2]: 221 yang secara jelas
menyatakan larangan menikah dengan orang-orang musyrik. Kedua ayat tersebut
dijadikan dasar oleh golongan ini untuk menolak kebolehan perkawinan beda
agama.6
Sedangkan bagi golongan kedua, yaitu ulama yang membolehkan
perkawinan beda agama (meliputi Yahudi dan Nasrani; Rasyid Rida memasukkan
Majusi, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu sebagai Ahli Kitab), Ibn Katsir mengutip
dari pernyataan Ibn ‘Abbas yang didapatkan dari ‘Ali ibn Abi Talhah menyatakan
bahwa perempuan Ahli Kitab yang dimaksud dikecualikan dari QS. al-Baqarah [2]:
221. Gagasan yang disampaikan oleh golongan ini didukung juga oleh beberapa
4 Peradilan Agama dan KHI di Indonesia, tentang “Larangan Perkawinan Beda Agama
pasal 44”, (Medan: Duta Karya, 1995), h. 75. 5 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h. 289. 6 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, (Tangsel: Harmoni
Mitra Media, 2012), h. 5.
3
ulama, yaitu Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id ibn Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dahhak,
Zaid ibn Aslam, dan Rabi’ ibn Anas.7
Adanya perbedaan pandangan dikalangan, menunjukkan bahwa
penggunaan suatu dalil yang sama dalam membahas suatu isu hukum akan
melahirkan suatu produk hukum yang berbeda ketika dalil-dalil tersebut dipahami
oleh orang yang berbeda. Sehingga metode istinbat hukum yang dilakukan dalam
menggali suatu hukum amatlah menjadi kunci yang sangat penting dalam menggali
suatu produk hukum.8
Wahbah Zuhaili merupakan salah satu ulama kontemporer yang memiliki
kecerdasan dan banyak sekali mengkaji tentang permasalahan fikih kontemporer
saat ini. Salah satu karya beliau yang membuat dirinya terkenal adalah dua kitab
fenomenalnya, yaitu Usul al-Fiqh al-Islami9 dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu fi
Mukhtalif al-Madzahib.10 Selain dua karya tersebut, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah
wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj11 merupakah karya Wahbah Zuhaili yang mengkaji
tentang ayat-ayat al-Quran dengan tujuan menempatkan al-Quran dalam sebuah
ikatan yang solid dan kuat antara orang Islam dan bukan Islam.12
Dalam permasalahan perkawinan beda agama Wahbah Zuhaili
menyampaikan beberapa gagasan ulama yang dijadikan sebagai perbandingan
dalam menggali suatu produk hukum, yaitu pendapat ulama yang mengharamkan
perkawinan beda agama secara mutlak dan yang memberikan pengecualian
terhadap kebolehan menikah dengan ahli kitab. Meskipun dalam perkawinan beda
agama Wahbah Zuhaili mengambil dua pandangan dari ulama yang membolehkan
dan mengharamkan, ia tetap menentukan pendapat manakah yang menurut dirinya
7 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h. 6. 8 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h. 7. 9 Kitab ini terdiri dari 2 jilid, penulisan kitab ini selesai pada tahun 1965, di dalam kitab ini
membahas tentang metodologi fikih yang dibahas secara komprehensif. 10 Kitab ini terdiri dari 10 jilid, penulisan kitab ini selesai pada tahun 1984, di dalam kitab
ini membahas tentang isu hukum kontemporer yang dipadukan dengan al-Quran, Sunah dan Mazhab
hukum. Lebih popular dengan fikih muqaranah. 11 Kitab ini terdiri dari 16 jilid, di dalamnya membahas tentang tafsir ayat-ayat al-Quran
secara komprehensif. 12 Amir Faishol Fath, Nadzariyat al-Wihdah al-Quraniyyah ‘Inda Ulama al-Muslimin Wa
Dawaruha fi al-Fikr al-Islam, Penerjemah Nasiruddin Abbas, The Unity of Al-Quran, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 276.
4
dianggap sebagai pendapat yang paling kuat (rajih) dengan menggunakan metode
istinbat hukum yang sesuai dengan permasalahan perkawinan beda agama.13
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas penulis tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian yang membahas tentang masalah tersebut dalam
sebuah kajian ilmiah yang tertuang dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul
“Metode Istinbat Hukum Wahbah Zuhali dalam Perkawinan Beda Agama”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di dalam penulisan ini penulis
hanya akan membahas bagaimana pandangan Wahbah Zuhaili dan metode istinbat
hukumnya dalam perkawinan beda agama. Adapun rumusan masalah tersebut
penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebegai berikut:
1. Bagaimana pandangan Wahbah Zuhaili dalam persoalan perkawinan beda
agama yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim, serta apa
yang menjadi dasar kebolehan dan larangannya?
2. Bagaimana metode istinbat hukum dan relevansi pemikiran Wahbah Zuhaili
dalam konteks ke-Indonesiaan yang digunakan dalam menyelesaikan
persoalan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang muslim
dengan non-muslim?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis adalah
dapat mengungkap hasil ijtihad atau istinbat hukum Wahbah Zuhaili dalam
persoalan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, penulis menyusun tujuan
penelitian ini secara rinci dalam menjawab persoalan-persoalan yang terdapat
dalam rumusan masalah, yaitu:
13 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Juz 9, (Depok: Gema Insani, 2011), h. 147.
5
1. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Wahbah Zuhaili dalam
permasalahan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang muslim
dengan non-muslim, serta dalil yang menjadi dasar kebolehan dan
larangannya.
2. Untuk mengetahui dan memahami metode istinbat hukum dan relevansi
pemikiran Wahbah Zuhaili dalam konteks ke-Indonesiaan yang digunakan
dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama yang dilakukan
oleh seorang muslim dengan non-muslim.
D. Manfaat Penelitian
Segala sesuatu yang telah seseorang lakukan lazimnya pasti memiliki
maksud serta tujuan tertentu. Sebagaimana dengan penelitian yang penulis adakan
ini mempunyai manfaat tertentu, antara lain:
1. Sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kepada seluruh kalangan masyarakat
agar wawasan serta pengetahuan hukum yang dimiliki masyarakat tetap
hidup dan berkembang khusunya dalam pembahasan perkawinan beda
agama.
2. Sebagai sumbangsih pemikiran bagi para sivitas akademika agar dapat
memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum yang terkait dalam
pembahasan perkawinan beda agama.
3. Manfaat bagi penulis, yaitu penelitian ini termasuk dalam bagian
pengajaran yang sangat berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap
suatu pemikiran tentang hukum perkawinan beda agama.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Banyak orang yang telah mengetahui bahwa pembahasan tentang
perkawinan beda agama merupakan suatu penelitian yang banyak sekali dilakukan
oleh para peneliti, baik dalam sebuah kajian dan karya yang dipublikasikan maupun
yang menjadi bagian dari konsumsi pribadi saja. Oleh karena itu, dalam penelitian
kali ini penulis hanya akan membahas kajian terdahulu yang ada kaitan atau
hubungan dengan pemikiran atau pandangan sekaligus metode istinbat hukum
6
Wahbah Zuhaili dalam perkawinan beda agama.
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Muhammadun dalam Kajian
studi pemikiran tokoh ditulis dalam sebuah jurnal hukum yang diterbitkan pada
tahun 2016 dengan judul “Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam
Pendekatan Sejarah”. Pada penelitian ini, ia membahas tentang Pemikiran Wahbah
Zuhaili pada aspek pembaharuan hukum Islam dimana tujuan dari adanya
penelitian tersebut adalah mendapatkan sebuah bukti yang menjelaskan tentang
fleksibilitas syariat Islam dalam bidang muamalah.14
Shikhkhatul Af’idah merupakan salah satu mahasiswi yang menyelesaikan
sarjananya di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, bentuk skripsi yang
dijadikan sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjananya berjudul
“Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah al-Zuhaili”.15 Dalam skripsi
yang dia tulis di dalamnya menjelaskan sebuah kajian penafsiran yang dilakukan
oleh Wahbah Zuhaili dalam salah satu karyanya yang berjudul Tafsir al-Wasit.
Penelitian tersebut terfokus dalam sosio-historis, linguistik dan sosial
kemasyarakatan yang mempengaruhi seorang Wahbah Zuhaili dalam menulis
sebuah kitab Tafsir.
Pembahasan tentang poligami telah dibahas dalam sebuah jurnal hukum
yang diterbitkan oleh Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Vol. 17
No. 1 Juni 2017 dengan dua seorang penulis yang bernama Eka Hayatunnisa dan
Anwar Hafidzi. Sesuai dengan judul jurnal tersebut “Kriteria Poligami serta
Dampaknya melalui Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam
wa Adillatuhu”,16 yang mana dalam penelitian tersebut menjelaskan tentang
dampak adanya perilaku poligami pada zaman sekarang dengan cara
mengkontekstualisasikan sudut pandang dua kitab, yaitu Fikih Islam wa Adillatuhu
14 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon, Misykah, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2016. 15 Shikhkhatul Af’idah, Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah al-Zuhaili,
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,
2017. 16 Eka Hayatunnisa dan Anwar Hafidzi, Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui
Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam wa Adillatuhu, Jurnal Syariah: Jurnal
Ilmu Hukum dan Pemikiran, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Vol. 17, No. 1 Juni
2017.
7
karya Wahbah Zuhaili dan Fikih Sunah karya Sayyid Sabiq.
Berkenaan dengan pemikiran Wahbah Zuhaili juga pernah dilakukan
penelitian oleh Maulina Fajri mahasisiwi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan tahun 2017 dengan judul “Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga
yang Kafir Menurut Wahbah Zuhaili dan Yusuf Qardawi”.17 Penelitian ini di
dalamnya terfokus pada pembahasan dalil-dalil yang digunakan oleh Wahbah
Zuhaili dan Yusuf Qardawi dalam menguatkan argumentasinya, yang mana akhir
dari penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa Wahbah Zuhaili mendasarkan
pendapatnya dengan hadis Nabi yang melarang muslim mewarisi harta orang kafir
ataupun sebaliknya. Sedangkan bagi Yusuf Qardawi mendasarkan pendapatnya
dengan hadis yang memberikan kebolehan mewarisi harta keluarga yang kafir atas
dasar kemaslahatan.
Pada tahun 2008 seorang peneliti yang bernama Syafruddin telah
menyelesaikan pendidikan S3 di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan karya Disertasi yang berjudul “Penafsiran Ayat
Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir”.18 Di dalam penelitiannya, dia
membahas tentang perbedaan penafsiran Wahbah al-Zuhaili dengan mufasir ahkam
terdahulu sekaligus karakteristik penafsiran ayat ahkam dalam kitab al-Tafsir al-
Munir.
Berdasarkan kajian-kajian terdahulu yang telah penulis sampaikan di atas
baik itu berupa jurnal, skripsi ataupun disertasi, maka jelaslah bahwa penelitian
yang akan dikaji dan diteliti ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya.
Sehingga menurut penulis kajian ini menjadi layak dan patut untuk diteliti sebagai
bentuk sumbangsih pemikiran dan karya untuk khalayak umum.
F. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis termasuk dalam kategori
17 Maulina Fajri, Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga yang Kafir Menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qardawi, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2017. 18 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, Disertasi S3
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
8
penelitian kepustakaan. Dalam penelitian kepustakaan dibutuhkan suatu metode
yang akurat agar hasil dari penelitian tersebut dapat diterima secara akademik dan
ilmiah. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini adalah Jenis Penelitian Kepustakaan (library research).19 Pada
umumnya jenis penelitian ini sering digunakan dalam metode penelitian
kualitatif.20 Sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa metode
penelitian secara kualitatif tidak bisa lepas dari kepustakaan.
Langkah awal dalam penggunaan metode ini adalah dengan
mengumpulkan data primer yang dijadikan sebagai dasar/landasan dari
penelitian ini, kemudian data skunder yang berkaitan dengan tema
penelitian ini dijadikan sebagai data pendukungnya.21
Oleh karena itu, sumber-sumber data yang diperlukan dalam proses
penyelesaian penelitian ini terdapat dalam buku-buku yang relevan terhadap
permasalahan yang akan dibahas. Adapun sumber tersebut nantinya diambil
dari beberapa karya yang membicarakan tentang perkawinan beda agama,
metode istinbat hukum, sekaligus pemikiran dan karya Wahbah Zuhaili.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pemikiran Wahbah Zuhaili
tentang perkawinan beda agama, sedangkan yang menjadi Objek utama
dalam penelitian ini adalah karya-karya Fikih Wahbah Zuhaili dalam bidang
perkawinan beda agama.
3. Sumber Data
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa penelitian ini
19 Penelitian kepustakaan (library research) adalah kegiatan untuk menghimpun informasi
yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi objek penelitian. Lihat juga Abudin Nata,
Metodologi Studi Islam, cet. 9, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 173. 20 Penelitian Kualitatif adalah jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif
dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran. Lihat juga Yayan Sopyan, Pengantar
Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26. 21 Cholid Narbuko, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), h. 41.
9
merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana sumber data22
yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam dua
kelompok, yaitu Data Primer23 dan Data Sekunder.24
Adapun sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah “al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu” dan “al-Tafsir al-Munir”,
sedangkan sumber data sekunder yang dijadikan sebagai data pendukung
didapatkan dari karya-karya Wahbah Zuhaili, dan literatur-literatur lain
yang berhubungan dengan perkawinan beda agama.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik dokumentasi,25 yaitu dengan membaca, mempelajari serta
menganalisis berbagai data, diantaranya data primer yang telah dijelaskan
di atas dengan ditambah data sekunder yang digunakan sebagai data
pendukungnya.
5. Teknik Analisis Data
Metode yang dipakai untuk menganalisis data-data yang tersedia
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan
dengan cara mengidentifikasi, menyusun, mengolah serta menguraikan
secara sistematis. Kemudian langkah selanjutnya adalah menganalisis data
yang tersedia dengan menjabarkan, menginterpretasikan dengan penafsiran
yang sistematis, sosiologis, historis, dan logis. Kemudian untuk
mendapatkan sebuah kesimpulan yang sesuai dalam penelitian ini penulis
akan menyajikannya menggunakan metode deduktif.26
22 Sumber data merupakan subjek dari mana data itu didapatkan. Lihat juga Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), h. 107. 23 Data Primer adalah data yang didapatkan atau dihimpun langsung di lapangan oleh orang
yang melakukan penelitian. Lihat Juga Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 82. 24 Data Sekunder adalah data yang didapatkan atau dihimpun oleh orang yang melakukan
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Lihat Juga Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi
Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, h. 58. 25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, h. 135. 26 Noeng Muhajir, Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 76.
10
6. Pedoman Penulisan Data
Penulisan penelitian ini berpedoman pada ketentuan penulisan
skripsi yang telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.27
G. Sistematika Penelitian
Pada penyusunan skripsi ini, penulis akan membahas dan menguraikan
permasalahan yang menjadi fokus penelitian menjadi 5 (lima) bab, yang mana pada
setiap bab berisikan sub-sub bab. Proses penyusunan seperti ini dimaksudkan untuk
dapat menguraikan setiap permasalahan dengan baik dan terperinci. Adapun
sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, di dalamnya membahas tentang pengertian perkawinan beda
agama pada umumnya serta berbagai macam pandangan ulama-ulama mengenai
perkawinan beda agama.
Bab ketiga, di dalamnya membahas tentang biografi Wahbah Zuhaili,
dimulai dari kehidupan, keilmuan, karya-karya, dan metode ijtihadnya.
Bab keempat, di dalamnya membahas tentang pemikiran Wahbah Zuhaili
dalam perkawinan beda agama, dengan disertai landasan/dasar kebolehan dan
larangan serta metode istinbat hukum dan relevansi pemikirannya.
Bab kelima, di dalamnya membahas kesimpulan dari keseluruhan
pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, disertakan pula saran-saran yang
dapat disampaikan dalam penelitian ini.
27 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan
Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
11
BAB II
PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Salah satu jalan yang diberikan Allah kepada umat manusia dengan tujuan
untuk berkembang biak dan melestarikan kehidupan adalah sebuah perkawinan.
Perkawinan merupakan sunatullah yang berlaku pada semua makhluk ciptaan-Nya,
baik dari golongan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dalam literatur
fikih yang berbahasa Arab kata perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua
kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج). Kedua kata inilah yang sering dipakai di
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab sekaligus banyak terdapat di dalam al-
Quran dan Hadis Nabi.28
Menurut para ahli ilmu usul fikih dan bahasa, arti kata nikah secara hakiki
berarti hubungan kelamin (وطء) sedangkan secara majasi menunjukkan arti akad
Adanya dua arti yang terkandung dalam kata nikah menimbulkan perbedaan 29.(عقد)
pendapat. Menurut ulama Syafi’iyyah arti kata nikah secara hakiki diartikan sebagai
akad, sedangkan menurut ulama Hanafiyyah secara hakiki kata nikah tersebut
mengandung makna hubungan kelamin.30
Dalam kitab-kitab, penjelasan tentang makna pernikahan secara terminologi
terdapat beberapa rumusan yang berbeda, perbedaan ini disebabkan karena berbeda
dalam sudut pandang. Menurut ulama Syafi’iyyah pernikahan adalah suatu akad
yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan
lafaz nikah atau zawaj. Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah pernikahan diartikan
sebagai sebuah akad yang berguna untuk memiliki, bersenang-senang dengan
sengaja. Adapun pandangan ulama Malikiyyah terhadap pengertian pernikahan
adalah suatu akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita.
28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 35. 29 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, (Depok: Gema Insani, 2011), h. 39. 30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 37.
12
Secara esensinya diartikan bahwa dengan adanya akad maka seseorang akan
terhindar dari adanya bahaya fitnah perbuatan haram (zina).31
Setelah diketahui pengertian yang berhubungan dengan perkawinan,
selanjutnya adalah masuk dalam pengertian perkawinan beda agama. Pengertian
perkawinan beda agama pada umumnya diartikan sebagai sebuah perkawinan yang
dilakukan oleh dua orang yaitu laki-laki dan perempuan yang berbeda agama,
kepercayaan, atau paham.32
Sedangkan menurut Abdurrahman yang disebut dengan perkawinan beda
agama adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh orang yang memeluk
agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan lainnya.33 Sehingga dapat
disimpulkan mengenai pengertian tentang persoalan perkawinan beda agama
adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama
yang dianutnya.
Persoalan klasik pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin hingga saat ini
yang masih menjadi pembahasan yang menarik dalam kajian fikih salah satunya
adalah persoalan perkawinan beda agama. Pada zaman kekhalifahan Umar ibn
Khattab perkawinan beda agama mengalami sedikit perubahan. Menurut Umar
perkawinan beda agama tidak lagi menjadi suatu perkawinan yang dibolehkan,
argumentasi yang disampaikannya didasarkan atas kondisi pada waktu itu, yaitu
untuk menjaga fitnah bagi umat Islam dengan kekhawatirannya terhadap anak yang
dilahirkan dari perkawinan beda agama.34
Masuk pada era globalisasi yang sudah semakin berkembang dengan
mobilitas manusia yang pesat dan tinggi menjadikan persoalan perkawinan beda
agama mudah untuk dilakukan pada lapisan masyarakat, suku, bangsa dan
kewarganegaraan. Oleh karena itu agar masyarakat lebih paham tentang
31 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31. 32 Mahjuddin, Masa’il al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2016), h. 44. 33 O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1997), h. 35. 34 Rumondo Nasution, Penelitian Hukum tentang Pelaksanaan Hukum dalam Praktek
Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak, (Jakarta: Departemen
Kehakiman, 1994), h. 51.
13
perkawinan beda agama pada penjelasan berikutnya akan dibahas tentang
perkawinan beda agama dalam 3 bagian, yaitu perkawinan seorang muslim dengan
wanita musyrik, perkawinan seorang muslimah dengan pria kafir, dan perkawinan
seorang muslim dengan wanita ahli kitab.
B. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam datang sebagai suatu agama yang dapat memberikan Rahmat untuk
seluruh alam, sehingga tujuan dari adanya Islam adalah dapat memberikan
kedamaian pada seluruh alam. Dalam al-Quran telah banyak dijelaskan bahwa tidak
ada larangan bagi umat Islam untuk dapat berbuat baik dan memberikan hartanya
kepada siapapun termasuk kepada orang yang berbeda agama, selama orang-orang
tersebut tidak dalam kondisi memerangi atau berencana mengusir kaum muslim
dari negaranya.35 Namun, Allah memberikan pengecualian terhadap persoalan
perkawinan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala QS. al-Baqarah [2]:
221.
شركة ولن م ؤمنة خير م مة م
ولأ ٱلمشركت حت ى يؤمن عجبتكم ولا تنكحوا
و أ
عجبكم شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م ٱلمشركين حت ى يؤمنوا ولا تنكحوا
يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة بإذنهۦ ويبي ن ء ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ول أ ۦ ل ايته نلن ا
رون لعنل هم يتذك Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-
Baqarah [2]: 221)
35 Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid IV, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-‘Amiyah,
1998), h. 1773.
14
Ayat di atas diturunkan untuk menjelaskan persoalan tentang keharaman
adanya perkawinan antara seorang muslim dengan wanita musyrik. Adapun sebab
turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan peristiwa Ibn Abi Martsad al-Ghinawi
ketika diutus oleh Rasulullah menuju ke Makkah, di sana dia bertemu dengan
seorang wanita musyrik yang bernama Anaq, yang sudah lama berkenalan
dengannya pada zaman jahiliah. Wanita musyrik yang bernama Anaq tersebut
meminta kepada Ibn Abi Martsad al-Ghinawi untuk menjadikannya sebagai
seorang istrinya. Namun, Ibn Abi Martsad tidak secara spontan memberikan
jawaban atas permintaan wanita musyrik tersebut. Kemudian dia menanyakannya
kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berada di Madinah.
Berdasarkan kasus inilah QS. al-Baqarah [2]: 221 diturunkan.36
Pada QS. al-Baqarah [2]: 221 ini dimulai dengan kata wala tankihu ( وال
.yang memiliki makna janganlah kamu nikahi atau janganlah kamu kawini (تنكحوا
Hukum larangan yang terkandung di dalam ayat ini secara umum dibebankan
kepada semua umat muslim tanpa terkecuali. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah
melarang seluruh umat muslim melakukan perkawinan dengan wanita-wanita
musyrik.37 Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ali al-Sabuni dalam kitabnya,
hukum melakukan perkawinan dengan wanita-wanita musyrik adalah haram,
sebagaimana perkawinan yang dilakukan terhadap wanita majusi dan para
penyembah berhala. Menurut Ali al-Sabuni, yang dimaksud dengan musyrik dalam
ayat tersebut adalah orang yang selain dari agama samawi, dan yang tidak beriman
kepada Allah. Sebagaimana orang-orang majusi dan penyembah berhala.38
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata al-
musyrikat yang dimaksud dalam ayat tersebut. Menurut Sayyid Sabiq, wanita
musyrik adalah seorang wanita yang tidak memiliki agama, segala sesuatu yang
dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni
khurafat atau lamunan dan bayangan bisikan setan.39 Sedangkan menurut Jumhur
36 Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85. 37 Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, h. 86. 38 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan
Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008),
h. 199. 39 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011), h. 102.
15
ulama, lafal “al-musyrikat” yang ada pada ayat tersebut tidak mencakup kepada
golongan ahli kitab. Pendapat jumhur ulama didasarkan pada firman Allah QS. al-
Baqarah [2]: 105.
ل عنلي ن ينز هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين أ
ا يود ٱل ذين كفروا من أ ن خير م كم م
وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ب كم وٱلل ن ر ذو ٱلفلل ٱلعييم م Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Baqarah [2]: 105)
Pada firman Allah tersebut terdapat huruf ataf berupa wawu yang berfungsi
menghubungkan dua hal yang berlainan, yaitu min ahl al-kitab wala al-musyrikina
,Maka dapat diambil sebuah kesimpulan secara zahir .(من اهل الكتاب وال المشركين)
bahwa lafadz al-musyrikat tidak mencakup ahli kitab.40 Demikian juga sama halnya
dengan pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Abduh, menurut dia wanita-
wanita musyrik adalah wanita selain dari golongan ahli kitab.41
Berdasarkan beberapa pendapat yang disampaikan oleh beberapa ulama di
atas, maka dapatlah diambil sebuah garis besar tentang makna kata al-musyrikat,
yaitu orang yang menyembah kepada berhala (al-Watsaniyyah), atheis
(zindiqiyyah), orang yang murtad, penyembah api (majusiyyah).42
Dengan demikian, hukum perkawinan yang dilakukan antara seorang
muslim dengan wanita musyrik adalah haram. Meskipun wanita musyrik tersebut
sangat mengagumkan, baik karena wajahnya, keturunannya, maupun kekayaannya.
C. Perkawinan Seorang Muslimah dengan Laki-laki Kafir
Begitu banyaknya seorang wanita muslimah yang tergoda oleh laki-laki
kafir karena faktor ketampanan, kekayaan serta keturunannya menjadikan seorang
40 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan
Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 200. 41 Muhammad Abduh, ‘Amal al-Kamilah li al-imam Muhammad Abduh, Juz IV, (Kairo:
Dar al-Syuruk, 1993), h. 583. 42 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, h. 99.
16
wanita muslimah tersebut rela untuk menjadi bagian dari hiduprnya atau bisa
disebut sebagai istri dari laki-laki tersebut. Dalam persoalan ini, ulama telah sepakat
bahwasanya perkawinan yang dilakukan oleh wanita muslimah dengan seorang
laki-laki kafir, baik dia termasuk dari golongan ahli kitab atau bukan ahli kitab
(musyrik) hukumnya adalah haram.43 Jika dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan
maka laki-laki pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa seperti kitab suci,
yaitu Budha, Hindu, atau pemeluk agama dengan kepercayaan lainnya juga haram
hukumnya.
Al-Quran secara jelas menyebutkan dalil tentang keharaman perkawinan
seorang muslimah dengan laki-laki non-muslim, yaitu pada QS. al-Baqarah [2]:
22144 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 10.
عنلم بإيمن أ ٱلل ءكم ٱلمؤمنت مهجرت فٱمتحنوهن ها ٱل ذين ءامنوا إذا جا ي
أ ي هن
ل هم ولا هم يحنل ون ل ار لا هن حل فإن عنلمتموهن مؤمنت فنلا ترجعوهن إلى ٱلكف هن
ولا جورهن أ ءاتيتموهن إذا ن تنكحوهن
ولا جناح عنليكم أ نفقوا
أ ا وءاتوهم م
بعصم ٱلكوافر وس نفقتم وليس ئ تمسكوا أ ما ئ نلوا لكم حكم ٱلل ذ نفقوا
أ ما نلوا
عنليم حكيم بينكم يحكم وٱلل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah
43 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 27. 44 QS. al-Baqarah [2]: 221
عجبتكم ول شركة ولو أ
ن م ؤمنة خير م مة م ولأ ؤمن خير ا تنكحوا ولا تنكحوا ٱلمشركت حت ى يؤمن ولعبد م ٱلمشركين حت ى يؤمنوا
يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفر ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ولعجبكم أ
شرك ولو أ ن م م رون لعنل هم يت ة بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا ذك
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)
17
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10)
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Syaikhani yang didapatkan
sumber beritanya dari al-Miswar ibn Marwan ibn Ahkam beliau menjelaskan,
bahwa sebab diturunkannya ayat ini adalah pada waktu setelah Rasulullah selesai
mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy di dalam naskah Hudaibiyah,
kemudian datanglah Ummu Kultsum binti ‘Uqbah dari Makkah. Tujuan
kedatangannya adalah untuk berhijrah kepada Rasulullah. Lalu keluarganya datang
memintanya. Namun dia berkata: Ya Rasulullah, aku ini adalah seorang wanita,
sedangkan kondisi lemah yang dimiliki seorang wanita telah engkau maklumi. Lalu
bagaimana mungkin engkau akan mengembalikan aku kepada kaum kuffar yang
justru mereka akan mengganggu keagamaanku, dan tentu aku tidak akan tabah?.
Maka Rasulullah menjawab kepada keluarga Hindun: “Perjanjian itu berlaku untuk
kaum pria, bukan untuk kaum wanita.” Yang kemudian ayat ini turun
memerintahkan agar wanita-wanita tersebut tidak dikembalikan lagi ke Makkah
jika mereka benar-benar telah beriman.45
Kandungan ayat di atas menjelaskan tentang larangan melakukan
perkawinan dengan orang-orang kafir, baik wanita maupun laki-laki. Tetapi jika
mereka beriman kepada Allah maka mereka halal untuk dinikahi.
Batasan tentang istilah kafir dalam pandangan para ulama tidak terlalu
menjadi perdebatan, sebagaimana para ulama berbeda pendapat dalam pemberian
batasan tentang iman, jika pembenaran (al-Tashdiq) terhadap Allah dan Rasul-Nya
serta ajaran-ajaran yang dibawanya adalah maksud dari arti kata iman, maka kata
kafir diartikan sebagai suatu bentuk pendustaan (al-Takdzib) terhadap Allah dan
45 Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Penerjemah Tim Abdul Hayyie,
Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Quran, (Depok: Gema Insani, 2008), h. 567.
18
Rasul-Nya, serta ajaran-ajaran yang dibawa olehnya. Demikian batasan yang paling
umum dan sering digunakan dalam pembahasan kitab-kitab akidah.46
Dengan demikian, definisi yang tepat diberikan atas orang-orang kafir
adalah orang-orang yang menolak agama Allah, menolak kemahaesaan Allah,
Kenabian dan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, hal tersebut terjadi karena
tertutupnya mata, telinga dan hati mereka untuk dapat mengakui agama Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 7.47
Orang musyrik dan ahli kitab dalam persoalan ini masuk dalam golongan
orang-orang yang kafir, kenapa demikian?. Alasannya adalah sebagaimana telah
disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 105, bahwa yang masuk dalam kategori
orang kafir adalah dari ahli kitab dan orang-orang musyrik.48 Meskipun ahli kitab
masuk dalam kategori orang kafir, namun dalam penjelasan QS Ali Imran [3]: 199
memberikan pengertian yang berbeda tentang ahli kitab.49 Dalam kandungan ayat
tersebut dijelaskan bahwa tidak semua ahli kitab itu sama, diantara golongan ahli
kitab ada juga yang beriman, walaupun kebanyakan dari mereka kafir. Sehingga
secara eksplisit ayat tersebut menerangkan bahwasanya ada pembagian term
tentang kafir.
46 Harifudin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologi dengan
pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998) h. 6. 47 QS. al-Baqarah [2]: 7
بصرهم غشو عنلى قنلوبهم وعنلى سمعهم وعنلى أ ة ولهم عذاب عييم ختم ٱلل
Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.
Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah [2]: 7) 48 QS. al-Baqarah [2]: 105
ب ن ر ن خير م ل عنليكم م ن ينز هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين أ
ا يود ٱل ذين كفروا من أ كم و م وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ذو ٱلل
ٱلفلل ٱلعييم Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang
dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
(QS. al-Baqarah [2]: 105) 49 QS. Ali Imran [3]: 199
نزل إليهم خ أ نزل إليكم وما
وما أ هل ٱلكتب لمن يؤمن بٱلل
جرهم إون من أ
ئك لهم أ ول
أ ثمنا قنلينلا لا يشترون بايت ٱلل شعين لل
سريع ٱلحساب عند رب هم إن ٱلل
Artinya: “Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah
hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali
Imran [3]: 199)
19
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa larangan perkawinan dengan orang kafir dalam QS. al-
Mumtahanah [60]: 10 lebih ditekankan kepada seorang wanita muslimah dengan
laki-laki kafir. Sedangkan untuk perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli
kitab boleh dilakukan dengan pembatasan kata al-muhsanat.
Adapun argumentasi yang disampaikan oleh Sayyid Sabiq tentang hukum
keharaman melakukan perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki kafir
adalah sebagai berikut:50
1. Orang Islam tidak boleh tunduk dibawah kuasa orang kafir, sebagaimana
firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 41.51
2. Seorang laki-laki yang kafir tidak akan mau mengerti terhadap agama
istrinya yang muslimah, namun malah laki-laki tersebut akan mendustakan
kitab dan mengingkarinya. Sedangkan jika laki-laki muslim menikah
dengan wanita ahli kitab, maka laki-laki tersebut akan mau mengerti agama,
mengimani kitab, sekaligus nabi dari agama istrinya sebagai bagian dari
keimanannya. Karena di dalam agama Islam dijelaskan tidak akan sempurna
keimanan seseorang tanpa adanya keimanan terhadap kitab-kitab dan nabi-
nabi terdahulu.
3. Dalam sebuah rumah tangga yang terbentuk dari perkawinan beda agama,
pasangan suami istri tidak akan mungkin tinggal dan hidup (bersama)
karena perbedaan yang jauh.
D. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Keharaman terhadap perkawinan yang dilaksanakan antara wanita
muslimah dengan seorang laki-laki ahli kitab sudah tidak diragukan lagi. Namun
permasalahannya adalah bagaimana dengan hukum seorang laki-laki muslim
50 Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar, (Yogyakarta: LKiS, 2006), 37. 51 QS. al-Nisa’ [4]: 41
ة بشهيد وجئنا بك م أء شهيدا فكيف إذا جئنا من كل ؤلا عنلى ه
Artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang
saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. al-Nisa’ [4]: 41)
20
menikah dengan wanita ahli kitab?. Menurut pandangan beberapa ulama mazhab,
yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berempat telah
bersekapat bahwa hukum mengenai perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli
kitab adalah boleh.52 Menurut Yusuf Qardawi, hukum kebolehan perkawinan
tersebut didasarkan atas dalil al-Quran yang menyatakan bahwa ahli kitab diberikan
keistimewaan dalam hal muamalah, karena ahli kitab merupakan serumpun dengan
agama Islam, yaitu sama-sama agama samawi. Meskipun dalam praktiknya ahli
kitab pada zaman Nabi sudah dalam keadaan musyrik. Tetapi al-Quran tetap
membolehkannya.53 Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah QS. al-Maidah
[5]: 5.
ل هم ل كم وطعامكم حل وتوا ٱلكتب حل ي بت وطعام ٱل ذين أ حل لكم ٱلط
ٱليوم أ
وتوا وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱل ذين أ
خدان ومن يكفر ٱلكتب من قب نلكم محصنين غير مسفحين ولا مت خذي أ
ألخرة من ٱلخسرين بٱلإيمن فقد حبط عمنلهۥ وهو فى ٱArtinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah [5]: 5)
Istilah tentang wanita ahli kitab dalam ayat ini memunculkan sebuah
permasalahan, yakni siapakah yang dimaksud dengan ahli kitab, dan apakah sama
ahli kitab yang disebutkan dalam QS. al-Maidah [5]: 5 tersebut dengan ahli kitab
pada era sekarang?.
52 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, (Jakarta: Rumah Fikih Publishing, 2018),
h. 32. 53 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 6.
21
Kata yang menyebutkan tentang penjelasan ahli kitab di dalam al-Quran
ditemukan sebanyak 31 kata pada 9 surat.54 Secara etimologi kata ahli kitab itu
tersusun dari dua susunan kata, yaitu kata ahl dan al-kitab. Kata ahl termasuk
bagian dari kalimat isim (kata benda) yang menunjukkan makna famili, keluarga,
kerabat. Sedangkan kata al-Kitab memiliki makna kitab. Maka makna ini termasuk
makna secara umumnya, adapun makna khusus dari kata ahl al-kitab ini adalah
sebuah kitab suci. Sehingga jikalau kedua kata tersebut disambungkan, maka
pemaknaan yang paling sesuai adalah dilihat dari segi bahasanya, yaitu orang-orang
yang beragama sesuai dengan al-Kitab.55
Adapun pembatasan terhadap siapa yang dimaksud ahli kitab mengalami
perkembangan dari masa ke masa, menurut Imam Abu Hanifah dan Ulama lain dari
Mazhab Hanafi serta sebagian dari Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan ahli kitab adalah setiap orang yang mempercayai salah seorang
Nabi, atau kitab yang pernah Allah turunkan, maka orang tersebut masuk dalam
kategori ahli kitab. Sedangkan bagi Imam Abu Hanifah dan Ulama yang lainnya,
pngertian tentang siapa ahli kitab itu tidak terbatas dalam hal kelompok penganut
agama Yahudi dan Nasrani saja.56
Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh jumhur ulama serta Imam
Syafi’i, bahwa seorang yang masuk dalam kategori ahli kitab hanyalah dari
pengikut golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil.57 Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah golongan Yahudi dan Nasrani yang bukan dari Bani Israil itu
dipisahkan lagi menjadi empat kelompok. Pertama, yang masuk ke dalam Yahudi
atau Nasrani sebelum kedua agama itu mengalami perubahan. Kedua, orang yang
masuk ke dalam kedua agama tersebut setelah mengalami perubahan namun dia
tidak terlibat dengan perubahan itu. Ketiga, orang yang masuk ke dalam kedua
agama tersebut setelah mengalami perubahan dan setelah turunnya agama Islam.
Keempat, orang yang tidak diketahui kapan mereka masuk ke dalam agama Yahudi
54 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 15. 55 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 22. 56 Ali Mustafa Yakub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits, (Jakarta:
Pustaka Darus Sunnah, 2005), h. 21. 57 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 23.
22
dan Nasrani tersebut. Adapun dari empat kelompok di atas yang masih diakui
sebagai bagian dari ahli kitab adalah kelompok pertama dan kedua.58 Pemahaman
M. Quraish Shihab yang didasarkan pada QS. al-An’am [6]: 15659 lebih cenderung
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah semua
penganut agama Yahudi dan Nasrani (Kristen), kapan, dimanapun dan dari
keturunan siapapun.60
Selain dari kedua agama di atas, ulama berbeda pendapat dalam
menempatkan kedudukannya sebagai ahli kitab atau tidak. Bagi ulama Hanafiyyah,
agama Majusi tidak termasuk dalam bagian ahli kitab, tetapi memasukkan agama
yang mengikuti Zabur Nabi Daud dan yang berpegang kepada mushaf Ibrahim dan
Syis sebagai golongan ahli kitab. Sedangkan ulama yang lain termasuk di dalamnya
ulama Zahiriyyah memasukkan agama Majusi ke dalam ahli kitab alasannya karena
para penganut agama Majusi dikenakan kewajiban membayar jizyah sebagaimana
berlaku terhadap Yahudi dan Nasrani.61
Sehingga menurut penulis, berdasarkan firman Allah QS. Ali Imran [3]:
20,62 di mana ayat ini ditujukan pada ahli kitab di masa Rasulullah. Padahal ajaran-
ajaran yang hidup pada masa itu sudah mengalami naskh wa tabdil (penghapusan
dan penggantian). Maka dapat disimpulkan bahwa siapa saja orang yang
menisbatkan dirinya kepada Yahudi dan Nasrani termasuk dalam golongan ahli
kitab.63
58 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 134. 59 QS. al-An’am [6]: 156
ئفتين من قبنلنا إون كن ا عن نزل ٱلكتب عنلى طا أ ن تقولوا إن ما
دراستهم لغفنلين أ
Artinya: “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya
diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan
apa yang mereka baca.” (QS. al-An’am [6]: 156) 60 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2017), 198. 61 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 135. 62 QS. Ali Imran [3]: 20
وتوا ٱلكتب …وقل ل نل ذين أ
Artinya: “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imran [3]: 20) 63 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 24.
23
Dengan demikian, dalam menyikapi persoalan tentang perkawinan seorang
muslim dengan wanita ahli kitab para ulama fikih terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama, yaitu para ulama yang berpendapat bahwa seorang muslim
diperbolehkan untuk perkawinan dengan wanita ahli kitab, dan Golongan kedua
adalah para ulama yang berpendapat bahwa hukum perkawinan seorang muslim
dengan wanita ahli kitab adalah haram.
Pendapat tentang kebolehan perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli
kitab dikemukakan oleh Muhammad Abduh, bahwa kehalalan yang diberikan
kepada seorang muslim menikahi wanita ahli kitab itu merujuk kepada QS. al-
Maidah [5]: 5 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Menurut Muhammad
Abduh seharusnya tidak perlu dikhawatirkan atas pengaruh ajakan dari istrinya
untuk mengikuti ajaran agamanya, karena pada dasarnya seorang laki-laki memiliki
watak yang lebih keras daripada seorang wanita, sehingga sangat kecil
kemungkinan seorang muslim tersebut untuk ikut ke dalam ajaran agama wanita
ahli kitab.64 Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh M. Quraish Shihab,
toleransi atas kebolehan perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli kitab
merupakan sebuah jalan keluar yang sangat mendesak pada waktu itu. Di mana
pada waktu itu kaum muslimin sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa
mampu kembali kepada keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah.65
Adapun dari golongan sahabat yang juga memperbolehkan perkawinan
seorang muslim denga wanita ahli kitab adalah Usman ibn Affan, Talhah, Huzaifah,
Ibn Abbas, dan Jabir. Sedangkan dari golongan tabiin yang juga membolehkan
adalah Sa’id ibn Musayyab, Said ibn Zubair, Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah,
Sya’bi, al-Dahhak, dan banyak dari kalangan ahli fikih yang sependapat dengan
ini.66
Adapun argumentasi yang digunakan oleh para sahabat, tabiin dan ulama
dalam mempertahankan pendapatnya, yaitu Pertama, mereka mendasarkan
64 Muhammad Abduh, Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilmu wa al-Madaniyah, (Kairo:
Dar al-Manar, 1373 H), h. 97. 65 M. Quraish Shihah, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 3,
(Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), h. 29. 66 Muhammad Baltaji, Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i, Penerjemah Masturi Irham,
Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab, (Jakarta: Khalifa, 2005), h. 323.
24
pendapatnya atas QS. al-Maidah [5]: 5 yang menjelaskan bahwa ahli kitab tidak
termasuk dalam golongan orang musyrik sebagaimana dijelaskan dalam firman-
Nya QS. al-Bayyinah [98]: 1.67 Kedua, mereka melakukan penguatan dalil QS. al-
Maidah [5]: 5 tersebut tidak dapat di-nasakh denga QS. al-Baqarah [2]: 221, karena
berdasarkan turunnya QS. al-Baqarah [2]: 221 diturunkan lebih dahulu daripada
QS. al-Maidah [5]: 5, karena menurut kaidah fikihnya sesuatu yang datang di akhir
itulah yang menasakh ayat turun sebelumnya dan bukan sebaliknya. Sehingga
hukum kebolehan dalam surat al-Maidah masih tetap berlaku.68 Ketiga, berpegang
atas fakta historis, yakni terjadinya perkawinan antara Usman dengan Nailah binti
Firafisah, kemudian ia masuk Islam, serta perkawinan yang dilakukan oleh
Huzaifah dengan wanita Yahudi.69
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada golongan yang kedua
yang tidak setuju dengan hukum kebolehan perkawinan seorang muslim dengan
wanita ahli kitab, diantaranya adalah golongan Syi’ah Imamiyyah dan Sayyid
Qutub. Menurutnya ahli kitab yang dimaksud merupakan bagian dari orang-orang
musyrik, pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibn Umar ketika beliau ditanya
tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nasrani.70 Adapun dalil al-
Quran yang dijadikan argumentasi bahwa orang ahli kitab itu musyrik adalah QS.
67 QS. al-Bayyinah [98]: 1
ين حت هل ٱلكتب وٱلمشركين منفك تيهم ٱلبي نة لم يكن ٱل ذين كفروا من أ
ى تأ
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka)
tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. al-
Bayyinah [98]: 1) 68 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan
Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 201. 69 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 7. 70 Jawaban yang disampaikan oleh Ibn Umar adalah berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221
dan ditambahkan dengan perkataan “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar pada
anggapan seorang wanita (Nasrani) yang menganggap bahwa Isa adalah Tuhannya, padahal Isa
adalah hanya seorang manusia biasa dan termasuk hamba Allah”. Lihat juga Ibn Katsir, Tafsir Ibn
Katsir. Penerjemah Arif Rahman Hakim dkk. Terjemah Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2, (Solo: Insan
Kamil, 2006), h. 28.
25
al-Taubah [9]: 3071 serta QS. al-Mumtahanah [60]: 10.72
Salah satu seorang sahabat Nabi yang berkesempatan menjadi Khulafaur
Rasyidin yaitu Umar ibn Khattab juga berpendapat tentang perkawinan seorang
muslim dengan wanita ahli kitab. Pada waktu itu beliau menyampaikan kepada
seluruh sahabat yang telah melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab agar
menceraikan istri mereka. Kemudian seluruh sahabat menceraikan istrinya kecuali
Hudzaifah. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia”. Maka
Hudzaifah bertanya kepadanya, “Apakah dia haram?”. Lalu Umar menjawab,
“Tidak, akan tetapi aku merasa khawatir jika terjadi pelacuran dari mereka”.
Berdasarkan atsar tersebut terlihat jelas bahwa Umar melarang perkawinan dengan
wanita ahli kitab, larangan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya
adalah kekhawatiran Umar terhadap keberlangsungan kehidupan umat Islam
terutama generasi muda di masa mendatang, dan jika dibiarkan maka kaum
muslimin akan mengikuti jejaknya untuk menikahi wanita ahli kitab yang
mengakibatkan wanita-wanita muslimah menjadi perawan tua.73 Adapun sikap
yang diambil oleh Umar dalam memutuskan perkara ini adalah termasuk sikap
ihtiyat (hati-hati). Sehingga kecenderungan Umar atas larangan perkawinan
seorang muslim dengan wanita ahli kitab itu didasarkan atas kemaslahatan, bukan
atas dasar teks al-Quran semata.
Dengan demikian, hukum larangan menikahi seorang wanita yang
disampaikan oleh Umar ibn Khattab bukan termasuk kategori haram lidzatihi
sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh ulama Syi’ah Imamiyyah dan Sayyid
71 QS. al-Taubah [9]: 30
فوههم لك قولهم بأ ذ وقالت ٱلن صرى ٱلمسيح ٱبن ٱلل تنلهم يهئون قول وقالت ٱليهود عزير ٱبن ٱلل ق ٱٱل ذين كفروا من قبل لل
ن ى يؤفكون أ
Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang-orang Nasrani berkata:
“Al-Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru
perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai
berpaling?.” (QS. al-Taubah [9]: 30) 72 QS. al-Mumtahanah [60]: 10
...ولا تمسكوا بعصم ٱلكوافر Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10) 73 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 150.
26
Qutub. Namun, metode yang sering digunakan Umar dalam memutuskan perkara-
perkara sosial pada masa pemerintahannya itu lebih memperhatikan tujuan
disyariatkannya hukum Islam, atau lebih sering disebut dengan maqasid syari’ah.
Pada akhirnya menurut hemat penulis berdasarkan beberapa uraian
pendapat para ulama yang menjelaskan tentang hukum perkawinan seorang muslim
dengan wanita ahli kitab dapatlah diambil sebuah kesimpulan, meskipun dalam teks
al-Quran perkawinan tersebut dibolehkan tetapi pada saat ini sudah banyak
penyimpangan-penyimpangan dari kitab-kitab sebelumnya. Sehingga harus lebih
berhati-hati lagi bagi para pemuda dalam memutuskan keinginannya untuk
melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab dan sebisa mungkin hal tersebut
dihindari oleh para pemuda pada saat ini.
27
BAB III
BIOGRAFI SOSIO-INTELEKTUAL WAHBAH ZUHAILI
A. Kehidupan Wahbah Zuhaili
Pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di Dair
‘Atiyyah telah lahir seorang intelektual muslim berkebangsaan Syiria. Beliau
adalah Wahbah bin Syekh Mustafa al-Zuhaili.74 Ayahnya bernama Syekh Mustafa
al-Zuhaili, dia adalah seorang ulama yang hafal al-Quran dan banyak mengkaji isi
kandungannya. Sebagai seorang ulama yang hafal al-Quran ayahnya senantiasa
membaca al-Quran setiap malam dari jam dua hingga terbit fajar. Sehari-hari
ayahnya bekerja sebagai seorang petani sekaligus pedagang, selain bertani dan
berdagang ayahnya juga terkenal sebagai sosok yang rajin berpuasa, dan beribadah
serta memiliki visi yang jauh ke depan terhadap kehidupan sosial dan pendidikan
anak-anaknya.75 Sedangkan ibunya bernama Hj. Fatimah binti Mustafa Sa’dah, dia
adalah seorang ibu rumah tangga yang kuat serta berpegang teguh kepada ajaran
agama.76
Perjalanan karir intelektual Wahbah Zuhaili dimulai dengan pendidikan dan
tarbiah yang secara langsung diberikan oleh kedua orang tuanya sejak beliau masih
kecil. Kecintaan dan ghirah yang tinggi pada kedua orang tuanya menjadi faktor
utama bagi Wahbah Zuhaili dalam menjalankan keseriusannya menyelesaikan
pendidikan dasar pada tahun 1946.77
Tepat pada usia 14 tahun setelah Wahbah Zuhaili menyelesaikan pendidikan
dasarnya, ia kemudian melanjutkan sekolah di tingkat pertama dan menengah di
Kota Damaskus. Dengan penuh semangat dan kegigihan yang dimilikinya, Wahbah
74 M. Alim Khoiri, Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis
Komparatif Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah az-Zuhaili, Jurnal SMaRT, Vol, 2 No. 2 Desember
2016, h. 231. 75 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 174. 76 Ayahnya wafat pada hari Jum’at sore tanggal 13 Jumadil Ula 1395 H/ 23 Maret 1975 M.
Sedangkan ibunya wafat pada hari Ahad 11 Jumadil Akhir 1404 H/ 13 Maret 1984 H. Lihat juga M.
Alim Khoiri, Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis Komparatif
Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah az-Zuhaili, h. 231. 77 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 23.
28
Zuhaili berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat menengah pada waktu yang
tepat.78
Ketika Wahbah Zuhaili meneruskan pendidikannya di Fakutlas Syariah dan
Fikih Kota Damaskus beliau berhasil mendapatkan nilai yang istimewa –imtiyaz
‘amm– pada tahun 1953. Beliau juga masuk dalam nominasi sarjana muda yang
dapat menyelesaikan studinya selama 6 tahun. Selain itu, selama Wahbah Zuhaili
mendalami bidang Syariah dan Fikih, beliau juga mendalami Sastra Arab di
Universitas yang sama, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1954 M. Prestasi
Wahbah Zuhaili dalam bidang pendidikan inilah yang menjadi bukti keseriusan dan
kesungguhannya dalam belajar sehingga pada usia 22 tahun Wahbah Zuhaili sudah
memiliki 2 gelar strata satu.79
Tidak puas dengan keilmuan yang telah ia dapatkan di Damaskus, Wahbah
Zuhaili akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas
Syariah dan Bahasa Arab al-Azhar University Mesir. Dalam waktu yang bersamaan
ternyata Wahbah Zuhaili juga masuk sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum di
Universitas ‘Ain al-Syam. Sehingga dapat dibayangkan betapa sibuknya Wahbah
Zuhaili pada waktu itu, karena beliau harus menyelesaikan pendidikannya dalam
waktu yang bersamaan. Meskipun dalam kondisi seperti itu, Wahbah Zuhaili
berhasil menyelesaikan pendidikannya di dua Universitas yang berbeda, yakni pada
tahun 1956 di Fakultas Syariah dan tahun 1957 di Fakultas Bahasa Arab Universitas
al-Azhar, sedangkan pada tahun 1957 juga beliau lulus di Fakultas Hukum
Universitas ‘Ain al-Syams dan mendapatkan predikat lulusan terbaik serta sertifikat
izin mengajar (ijazah takhasus al-tadris).80
Semangat menuntut ilmu yang tinggi serta didukung dengan keseriusan dan
kesungguhan dalam menyelesaikan pendidikan, inilah yang menjadi faktor utama
Wahbah Zuhaili untuk melanjutkan studinya pada jenjang magister di Universitas
Kairo. Fokus kajian yang kembali diambil olehnya adalah tentang kajian Hukum
78 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, (Depok:
Al-Hikam Press, 2017), h. 17. 79 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, h. 18. 80 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 172.
29
Islam. Dengan karya tesis yang diberi judul “al-Dzarai’ fi al-Siyasah al-Syari’ah
wa al-Fiqh al-Islami” inilah yang mengantarkan beliau sehingga mendapatkan
gelar Magisternya pada tahun 1959 dari Fakultas Hukum Universitas Kairo.
Padahal begitu banyak gelar yang telah beliau dapatkan, namun itu semua tidak
membuatnya menjadi orang yang mudah puas dengan keilmuannya.81
Masih tetap dengan kesibukan Wahbah Zuhaili dengan dunia ilmu
pengetahuan, yakni melanjutkan pendidikan doktoral di Fakultas Syariah Islam
Universitas al-Azhar Kairo. Tepat pada tahun 1963 Wahbah Zuhaili berhak
menerima gelar doktor dalam bidang Syariah Islam di Universitas al-Azhar Kairo
dengan disertasinya yang berjudul “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy Dirasah
Muqaranah baina al-Madzahib al-Tsamaniyyah wa al-Qanun al-Duwali al-‘Aam”.
Menurut tim ujian promosi, penelitian ini layak untuk diberikan predikat martabat
al-syarf al-ula (summa cumlaude) sekaligus direkomendasikan untuk dicetak dan
dilakukan pertukaran disertasi antar univesitas yang ada di Negara Barat. Peristiwa
inilah yang mengantarkan Wahbah Zuhaili menuju gerbang dunia ilmuwan yang
bertaraf internasional.82
Perjalanan pendidikan Wahbah Zuhaili jika dilihat mulai dari jenjang strata
satu hingga strata tiga studi yang paling dominan dan favorit dikaji lebih dalam
adalah bidang Fikih Perbandingan –al-Fiqh al-Muqaran– sehingga tidak menjadi
hal yang aneh ketika Wahbah Zuhaili diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang
dosen pada tingkat Licence (S1) dan Diploma (S2 tanpa Tesis) di Fakultas Syariah
dan Fakultas Hukum Universitas Damaskus. Selain diangkat menjadi dosen di
Universitas Damaskus, dia juga diangkat sebagai dosen dan dekan terbang di
beberapa universitas. Adapun jabatan yang pernah diberikan kepada Wahbah
Zuhaili di lingkungan akademik adalah sebagai dekan terbang di Fakultas Syariah
Damaskus pada tahun 1966-1970 (sekaligus sebagai Ketua Kultur dan Kebudayaan
Tinggi), dosen terbang di Fakultas Sastra Universitas Benghazi Libia pada tahun
1972-1974, dosen terbang Pascasarjana di Universitas Libia pada tahun 1973-1976,
81 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, h. 19. 82 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 24.
30
dosen terbang di Universitas Emirat Arab dan ‘Ain Syams pada tahun 1985-1989.83
Bekal yang dimiliki Wahbah Zuhaili dalam keterlibatannya memecahkan
dan mendiskusikan berbagai hal menjadi faktor utama yang menandai
ketokohannya, baik di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Adapun
peran Wahbah Zuhaili di tingkat regional dan internasional yang pernah diikuti
adalah:84
1. Sebagai anggota tetap dalam pembahasan seminar peradaban Islam kerajaan
Yordania.
2. Staf ahli pada perkumpulan Fikih Islam di Jeddah, di Makkah, dan di India
serta Lembaga Ensiklopedia Islam di Damaskus.
3. Ketua Badan Inspektorat Syariah pada perusahaan Bagi Hasil dan Clearing
House Islam di Bahrain dan Ketua Badan Inspektorat Syariah pada Bank
Islam Internasional pada Organisasi Bank Arab di Bahrain.
4. Anggota Majelis Fatwa tingkat Tinggi di Suriah.
5. Anggota Tim Ensiklopedi Fikih jarak jauh di Kuwait, Anggota Tim
Ensiklopedi Arab Raya di Damaskus, Anggota Tim Ensiklopedi Peradaban
di Yordania, dan Ensiklopedi Muamalat pada Badan Fikih Islam di Jedah.
Bukti pengakuan dunia atas kecerdasan dan keilmuan yang dimiliki oleh
Wahbah Zuhaili adalah keterlibatannya dalam keanggotaan majelis tinggi di tingkat
Internasional.
B. Geneologi Keilmuan Wahbah Zuhaili
Kesuksesan yang didapat oleh seorang murid tentunya tidak lepas dari peran
seorang guru yang telah membimbing dan mengajarinya. Oleh karena itu,
keberhasilan Wahbah Zuhaili di bidang akademik dan non-akademik tidak lain dan
tidak bukan adalah hasil dari bimbingan dan pengajaran yang telah diberikan oleh
para gurunya, baik yang berada di Syiria ataupun yang berada di luar Syiria.
Guru-guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran kepada Wahbah
83 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 25. 84 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 173.
31
Zuhaili merupakan guru-guru yang dianggap pakar dalam bidang keilmuannya
masing-masing sehingga mereka menjadi bahan rujukan pada masanya.85 Diantara
guru-guru Wahbah Zuhaili jika dikelompokkan berdasarkan domislinya adalah
sebagai berikut:86
1. Guru-guru yang berdomisli di Damaskus, antara lain: Syekh Muhammad
Yasin (Ilmu Hadis), Syekh Mahmud al-Rankusi (Akidah), Syekh Hasan al-
Syatiy (Ilmu Faraid), Syekh Hasyim al-Khatib (Fiqh al-Syafi’iy), Syekh
Lutfi al-Fayumi (Usul Fikih dan Mustalah Hadis), Syekh Ahmad Samaq
(Tajwid), Syekh Hamdi Juwaijati (Ilmu Tilawah), Syekh Abu Hasan al-
Qasab (Ilmu Nahwu dan Sharaf), Syekh Hasan Habannakah dan Syekh
Sadiq Habannakah al-Maidaniy (Ilmu Tafsir), Syekh Salih al-Farfuwr
(Balaghah), Syekh Hasan al-Khatib, Ali Sa’ad al-Din, Syekh Subhi al-
Khaizaran dan Kamil al-Qasar (Ilmu Hadis Nabi dan Akhlak), Juwd al-
Mardini (Berpidato), Rasyid al-Syatiy dan Hikmat al-Syatiy (Ilmu Sejarah
dan Akhlak), Nazim Mahmud Nasimi dan Mahir Hamadah (Kodifikasi
Hukum), Serta guru-guru lainnya di bidang Ilmu Kimia, Fisika, Bahasa
Inggris serta ilmu modern lainnya.
2. Guru-guru yang berdomisili di Mesir, antara lain: Rektor al-Azhar, Imam
Mahmud Syaltut, Imam Abdurrahman Taj, dan Syekh Isa Manun (Ilmu
Perbandingan Fikih), Syekh Jad al-Rab Ramadan (Ilmu Fikih al-Syafi’iy),
Syekh Mahmud ‘Abdul al-Da’im, Syekh Mustafa Mujahid dan Syekh
Muhammad Hasyim (Fikih al-Syafi’iy), Syekh Mustafa ‘Abdul Khaliq,
Syekh ‘Abdul Ghani ‘Abdul Khaliq, Syekh Usman al-Marazaqiy, Syekh
Hasan Wahdan, dan Syekh al-Zawahiri al-Syafi’iy (Usul Fikih), Syekh
Muhammad ‘Ali al-Za’biy (Fikih Ibadah), Syekh Muhammad Abu Zahrah,
Syekh Ali al-Khafif, Syekh Muhammad al-Bana, Syekh Muhammad Zafzaf,
Muhammad Salam Madzkur, dan Syekh Faraj al-Sanhuriy keseluruhan itu
merupakan guru di sekolah pasca sarjana pada Studi Perbandingan Fikih
dan Usul Fikih.
85 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah asy-Syam Syekh Wahbah az-Zuhaili, h. 20. 86 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 36-37.
32
3. Guru-guru yang berdomisili di Mesir (Universitas ‘Ain al-Syams), antara
lain: Syekh Isawi Ahmad Isawi, Syekh Zakiuddin Sya’ban, Abdul Mun’im
al-Darawi, Utsman Khalil, Dr. Sulaiman al-Tamawi, Ali Rasyid, Hilmi
Murad, Yahya al-Jamal, Ali Yunus, Muhammad Ali Imam, Aktsam al-
Khauli, dan masih banyak guru lainnya.
Selain memiliki guru-guru yang pakar dalam setiap bidang keilmuan,
Wahbah Zuhaili juga memiliki murid-murid yang juga tak kalah hebat dengannya.
Di antara murid-murid yang pernah belajar langsung kepada Wahbah Zuhaili adalah
Dr. Mahmud al-Zuhaili (adik kandungnya), Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul
Latif Farfuri, Dr. Abu Lail, Dr. Abdus Salam al-‘Ibadi, Dr. Muhammad al-Syarbaji,
Majid Abu Rakhiyah, Badi’ al-Sayyid al-Laham, Hamzah, dan masih banyak lagi
murid-murid lainnya. Kebanyakan dari murid-muridnya telah dibimbing dan
diajarkan langsung oleh Wahbah Zuhaili tentang Ilmu Fikih serta Usul Fikihnya.87
C. Karya-karya Intelektual Wahbah Zuhaili
Produktivitas seorang ilmuwan dalam membuat karya ilmiah merupakan
salah satu unsur terpenting yang dijadikan pertimbangan pada saat ini dalam
menilai kualitas keilmuan seseorang. Dalam hal menulis Wahbah Zuhaili
merupakan seorang ulama yang aktif serta produktif dalam menulis sebuah karya
ilmiah, baik berupa diktat perkuliahan, artikel, majalah, koran, makalah ilmiah,
sampai kitab-kitab besar yang berjilid-jilid.
Kary-karya Wahbah Zuhaili yang dibuat dalam bentuk makalah dan
Ensiklopedi tersebar di seluruh penjuru dunia, jika dikumpulkan secara keseluruhan
bersama tulisan-tulisan kecil jumlahnya lebih dari 500 judul. Salah satu karya-
karyanya yang terbesar adalah al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu fi Mukhtalif al-
Madzahib, Usul al-Fiqh al-Islami, dan al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-
Syari’ah wa al-Manhaj.
Adapun sejumlah karya-karya Wahbah Zuhaili yang menjadi sebagai bukti
kemampuannya dalam bidang keilmuan yang ditekuninya adalah sebagai berikut:
87 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 175.
33
1. Dalam Bidang al-Quran dan ‘Ulum al-Quran88
a. Al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj.
b. Al-Tartil al-Tafsir al-Wajiz 'ala Hamsy al-Quran al-‘Azim wa Ma'ahu.
c. Al-Tafsir al-Wajiz wa Mu’jam Ma’ani al-Quran al-Aziz.
d. Al-Quran al-Karim – Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasaisuhu.
e. Al-Ijaz al-Ilmi fi al-Quran al-Karim.
f. Al-Syar’iyyah al-Qira’ah al-Mutawatirah wa Astaruha fi al-Rasm al-
Quran wa al-Ahkam.
g. Al-Qissah al-Quraniyyah.
h. Al-Qiyam al-Insaniyyah fi al-Quran al-Karim.
i. Al-Quran al-Wajiz – Surah Yasin wa Juz ‘Amma.
2. Dalam Bidang Fiqh dan Usul al-Fiqh89
a. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy Dirasah Muqaranah baina al-
Madzahib al-Tsamaniyyah wa al-Qanun ad-Duwali al-‘Aam
b. Usul al-Fiqh al-Islami 1-2.
c. Al-'Uqud al-Musamah fi Qanun al-Mu'amalah al-Madaniyyah al-
Imarati.
d. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu al-Juz at-Tasi' al-Mustadrak.
e. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (8 jilid).
f. Nadzariyat al-Daman au Ahkam al-Mas'uliyyah al-Madaniyyah wa al-
Jinaiyyah.
g. Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh.
h. Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami.
i. Al-Istinsakh Jadl al-'Ilm wa al-Din wa al-Akhlaq.
j. Nadzariyat al-Darurah al-Syar'iyyah.
k. Al-Tamwil wa Suq al-Awraq al-Maliyah - al-Bursah.
l. Bai’ al-Dain fi al-Syari’ah al-Islamiyyah.
m. Al-Buyu’ wa Astaruha al-Ijtima’iyyah al-Mu’asirah.
88 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 176. 89 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 177.
34
n. Al-Amwal allati Yasihhu Waqfuha wa Kaifiyat al-Sarfiha.
o. Asbab al-Ikhtilaf wa Jihad al-Nazhr al-Fiqhiyyah.
p. Ahkam al-Mawad al-Najsah wa al-Muhramah fi al-Gaza’ wa al-Dawa’
q. Ahkam al-Ta’ammul ma’a al-Masarif al-Islamiyyah.
r. Al-Ijtihad al-Fiqh al-Hadits Muntalaqatuhu wa Ittijahatuhu.
s. Al-Dain wa Tufa'iluhu ma'a al-Hayah.
t. Al-Dzara'i' fi al-Siyasah al-Syar'iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy.
u. Sur min 'Urud al-Tijarah al-Mu'asirah wa Ahkam al-Zakah.
v. Al-'Ulum al-Syar'iyyah baina al-Wahidah wa al-Istiqlal.
w. Al-Madzhab al-Syafi'i wa Madzhabuhu al-Wasit baina al-Madzahib al-
Islamiyyah.
x. Nuqat al-Iltiqa' baina al-Madzahib al-Islamiyyah.
y. Manahij al-Ijtihad fi al-Madzahib al-Mukhtalifah.
z. Al-Hadits al-'Alaqat al-Dauliyyah fi al-Islam Muqaranah bi al-Qanun
al-Dauli.
3. Dalam Bidang Hadits dan ‘Ulum al-Hadits
a. Al-Muslimin al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Syarifah, Haqiqatuha wa
Makanatuha 'inda Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyyah.
4. Dalam Bidang Akidah Islam90
a. Al-Iman bi al-Qada wa al-Qadr.
b. Usul Muqaranah Adyan al-Bad’i al-Munkarah.
5. Dalam Bidang Dirasat al-Islamiyyah91
a. Al-Khasais al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam wa Da'aim al-
Dimuqratiyyah al-Islamiyyah.
b. Al-Da'wah al-Islamiyyah wa Ghairu al-Muslimin, al-Manhaj wa al-
Wasilah wa al-Hadzfu.
c. Tabsir al-Muslimin li Ghoirihim bi al-Islami, Ahkamuhu wa
Dawabituhu wa Adabuhu.
90 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 178. 91 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,
h. 179.
35
d. Al-Amn al-Gaza'i fi al-Islam.
e. Al-Imam al-Suyuti Mujaddid al-Da'wah ila al-Ijtihad.
f. Al-Islam wa al-Iman wa al-Ihsan.
g. Al-Islam wa Tahdiyat al-'Asri, al-Tadakhum al-Naqdi min al-Wajhah
al-Syar'iyyah.
h. Al-Islam wa Ghairu al-Muslimin.
i. Al-Mujaddid Jamaluddin al-Afghani wa Islahatuhu fi al-'Alam al-
Islami.
Sekian banyak karya-karya yang telah Wahbah Zuhaili terbitkan di berbagai
Negara, terlihat bahwa bidang Fikih menjadi bidang yang paling dominan
dibanding bidang lainnya. Sehingga fokus spesialisasi kajian yang dimiliki oleh
Wahbah Zuhaili adalah bidang Fikih dan Hukum.
D. Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili
Salah satu karya yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili dalam bidang fikih yang
menjadikan dirinya dikenal secara luas di dunia akademik adalah al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu fi Mukhtalif al-Madzahib. Di dalam buku tersebut menggambarkan
beberapa pemikiran Wahbah Zuhaili dalam merespon permasalahan fikih yang
bersifat kontemporer.
Berkenaan dengan pembahasan aturan-aturan syariah atau fikih, Wahbah
Zuhaili senantiasa menyandarkan pendapatnya kepada dali-dalil al-Quran, Sunah
sekaligus dengan menggunakan akal sehat (ra’yu).92 Sama halnya dengan
kesepakatan para mujtahid tentang sumber hukum yang dapat digunakan seorang
mujtahid dalam menggali suatu hukum (istinbat hukum),93 yaitu sumber yang
paling utama menurut mereka adalah al-Quran. Apabila di dalam al-Quran tidak
ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan hukum tersebut, maka
sumber hukum yang kedua dapat dipakai adalah Sunah. Namun bilamana di dalam
92 Ra’yu adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggali hukum-hukum dengan
menggunakan qiyas, istihsan, istislah, (maslahah mursalah), ‘urf, dan tata cara ijtihad lainnya yang
ditetapkan syariat. Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2015), h. 181. 93 Istinbat Hukum adalah usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya. Lihat juga
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 1.
36
Sunah juga tidak didapatinya, maka selanjutnya merujuk kepada kesepakatan
(konsensus atau ijma’) para ahli ijtihad pada suatu masa tertentu. Setelah tahapan
tersebut telah dilakukan dan masih dalam kondisi belum ditemukannya jalan keluar
dalam penyelesaian hukum tersebut, maka langkah terakhir yang dapat dilakukan
adalah mengembalikan (meng-qiyas-kan) dengan permasalahan yang telah
dituliskan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya (baik dalam al-Quran maupun
Sunah).94
Oleh karena itu, menurut Wahbah Zuhaili tidak akan dengan mudah dapat
diterima oleh akal ketika seorang yang berijtihad atau mempelajari hukum-hukum
fikih hanya sebatas bersandar pada definisi atau identifikasi masalah serta
berdasarkan kemungkinan-kemungkinan atas sesuatu yang bisa terjadi. Atas dasar
itulah metode ijtihad yang digunakan Wahbah Zuhaili selalu didukung dengan dalil-
dalil hukumnya, agar ijtihad yang disampaikan dapat terlepas dari istilah taklid, dan
dapat merubahnya menjadi ittiba’.95
Salah satu karakteristik Wahbah Zuhaili yang juga dituangkan dalam
beberapa karyanya adalah penggunaan metode perbandingan (muqaranah) antara
pendapat-pendapat empat mazhab, diantaranya adalah mazhab Hanafiyyah, mazhab
Malikiyyah, mazhab Syafi’iyyah, dan mazhab Hanabilah. Di mana pada bagian
akhir dari metode perbandingan tersebut selalu ditampilkan kesimpulan hukum
berdasarkan sumber hukum Islam baik yang naqli maupunu aqli. Sehingga menurut
Wahbah Zuhaili, jika ada seseorang yang menyimpulkan suatu hukum atau ber-
istinbat hukum hanya menggunakan al-Quran saja, maka orang tersebut telah
melepaskan Islam dari akar-akarnya, dan orang tersebut juga dekat dengan musuh-
musuh Islam. Sekaligus jika orang tersebut membatasi fikih hanya berdasarkan
sunah, itu artinya dia telah mereduksi agama Islam dan telah melakukan kesalahan.
Pada akhirnya pemikirannya akan pincang dan tidak akan dapat berkembang dan
relevan seiring berkembangnya zaman, sekaligus tidak akan dapat memberikan
94 Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, h. 32. 95 Taklid adalah mengamalkan pendapat sesorang yang tidak dianggap sebagai hujjah,
dengan tidak mengetahui dalil (yang dipeganginya itu). Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad
dalam Syariat Islam, h. 79.
37
kemaslahatan bagi umat manusia.96
Tidak berhenti pada metode membandingkan pendapat-pendapat mazhab,
Wahbah Zuhaili juga terbiasa merujuk atau mengembalikan semua pendapatnya
pada kitab-kitab utama secara langsung. Karena bagi seorang ulama sekelas
Wahbah Zuhaili ketika dia mengutip pendapat suatu mazhab dari rujukan yang tidak
sama mazhabnya maka akan menyebabkan kesalahan penisbatan di dalamnya,
terutama dalam mengambil pendapat yang paling unggul (rajih). Salah satu tujuan
dari Wahbah kenapa menggunakan metode seperti ini adalah untuk dapat
menghindari penafsiran yang salah serta fanatisme dalam bermazhab. Sedangkan
dalam penggunaan sumber hukum yang berupa hadis, salah satu aspek yang paling
ditekankan oleh Wahbah Zuhaili yaitu tentang kesahihan hadis yang hendak dipakai
dalam mengkaji hukum Islam tersebut. Sehingga menurut Wahbah Zuhaili hadis
yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh para ahli fikih adalah hadis yang telah
di-takhrij dan di-tahqiq. Selain dari hadis tersebut menurut Wahbah Zuhaili
pendapat jumhur ulama juga dapat dijadikan sebagai alasan yang kuat dalam men-
tarjih suatu pendapat. Lebih lanjut lagi Wahbah Zuhaili menjelaskan ketika dalam
kondisi yang terpaksa (al-darurah), sangat dibutuhkan (al-hajah), tidak mampu (al-
‘ajz), atau ada alasan yang lain (al-udzur), maka menurutnya taklid terhadap semua
mazhab itu dibenarkan meskipun sampai pada tingkatan talfiq.97
Sebenarnya sikap talfiq tidak secara mutlak dibenarkan, namun sikap talfiq
hanya dapat dilakukan selama tidak bertentangan dengan keputusan hakim dalam
memutuskan suatu sengketa, dan tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat atau
tidak bertentangan dengan kesepakatan bersama yang telah disepakati.98
Adapun metodologi yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili dalam berijtihad
adalah dengan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nas-nas yang ada dalam
al-Quran dengan menggunakan pendekatan beberapa disiplin ilmu, diantaranya
adalah ilmu bahasa. Di mana dalam pendekatan ini yang menjadi perhatian adalah
96 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 18. 97 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 19. 98 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 20.
38
dalam urusan lafadz, apakah lafadz tersebut itu mujmal, musytarak, aam, khas,
haqiqah, majaz, mutlaq, muqayyad dan masih banyak lagi. Sedangkan jikalau tidak
ditemukan dalam firman Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Wahbah
Zuhaili akan menggunakan dalil-dalil sunah, baik berupa perkataan (qauliyah) dan
perbuatan (fi’liyah) serta berupa ketetapan (taqririyah).99
Dengan demikian, cara atau metode yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili
dalam menyelesaikan permasalahan fikih atau dalam menggali suatu hukum
(istinbat al-hukum) adakalanya merujuk kepada dalil atau nas, baik al-Quran
maupun Sunah. Adakalanya juga beliau menganalogikan permasalahan tersebut
menggunakan nas-nas atau yang biasa disebut dengan qiyas. Adakalanya juga
beliau menimbang realitas permasalahan yang dihadapi menggunakan kaidah-
kaidah umum yang digali dari dalil-dalil al-Quran dan Sunah, antara lain istihsan,
maslahah mursalah, ‘urf, sadd al-dzari’ah dan lain-lain.
99 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 21.
39
BAB IV
ANALISIS METODE ISTINBAT HUKUM YANG DIGUNAKAN WAHBAH
ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili tentang Perkawinan Beda Agama
Salah satu bentuk persoalan yang menjadi penting dalam perjalanan hidup
manusia adalah perkawinan. Persoalan ini tidak hanya dianggap penting oleh
manusia, namun dianggap penting juga di dalam agama sampai-sampai al-Quran
memberikan perhatian khusus tentang perkawinan tersebut. Mengapa seperti itu?
Karena dengan terbentuknya suatu ikatan perkawinan manusia dapat membina
ketenangan dalam kehidupannya. Selain mengatur tentang hukum perkawinan, al-
Quran juga mengatur bagiamana sikap yang harus dilakukan setelah perkawinan,
bahkan bisa lebih dari itu. Salah satu yang diatur adalah tentang dengan siapa saja
perkawinan itu boleh atau tidaknya untuk dilakukan. Termasuk mengatur
perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kesamaan akidah
ataupun berlainan akidah, atau yang biasa disebut dengan perkawinan beda agama.
hal-hal tersebut bisa terjadi di mana saja, karena sebagaimana yang telah Allah
firmankan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13 yang di dalamnya mengandung penjelasan
bahwa kita hidup dan diciptakan dengan keberagaman suku, bangsa, agama,
bahasa, budaya dan yang lain sebagainya agar kita bisa saling mengenal.100
Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang
pandangan Wahbah Zuhaili terhadap persoalan perkawinan beda agama yang masih
banyak terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Menurut Wahbah Zuhaili di dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu perkawinan beda agama ini dikategorikan
ke dalam 3 bentuk, sebagai berikut:
100 QS. al-Hujurat [49]: 13
إن ئل لتعارفوا نثى وجعنلنكم شعوبا وقبان ذكر وأ إن ا خنلقنكم م ها ٱلن ا ي
أ كم إ ي تقى
أ كرمكم عند ٱلل
عنليم خبير أ ن ٱلل
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-
Hujurat [49]: 13)
40
1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
Menurut Wahbah Zuhaili, seorang wanita musyrik adalah
perempuan yang menyembah Allah bersama Tuhan yang lain, seperti
berhala, binatang-binatang, api, atau bintang. Sehingga bagi Wahbah
Zuhaili hukum perkawinan seorang pria muslim dengan wanita musyrik itu
haram dan dilarang untuk dilakukan.101 Argumentasi yang disampaikan oleh
Wahbah Zuhaili didasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221.
شركة ولو ن م ؤمنة خير م مة م
ولأ ٱلمشركت حت ى يؤمن ولا تنكحوا
شرك ن م ؤمن خير م ولعبد م عجبتكم ولا تنكحوا ٱلمشركين حت ى يؤمنواأ
ئك يدع ولعجبكم أ
إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة ولو أ يدعوا ون إلى ٱلن ار وٱلل
رون بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا لعنل هم يتذك Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)
Menurut Wahbah Zuhaili, yang menjadi penekanan pembahasan
pada ayat ini adalah pada lafadz al-musyrikat. Pada lafadz ولا تنكحوا ٱلمشركت
memiliki makna janganlah menikahi wanita kafir harbi yang bukan
termasuk dalam golongan ahli kitab.102 Senada dengan pendapat para
jumhur ulama yang juga menjelaskan bahwa kata al-musyrikat tidaklah
101 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 147. 102 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Penerjemah
Abdul Hayyie dkk, Terjemah Tafsir Munir, Jilid 1, (Depok: Gema Insani, 2013), 510.
41
mencakup golongan ahli kitab, pendapat yang disampaikan oleh jumhur
ulama disandarkan pada QS. al-Baqarah [2]: 105.103 Dalam ayat tersebut
redaksi yang digunakan adalah meng-’ataf-kan (menghubungkan) dengan
menggunakan huruf wawu antara lafadz al-musyrikin dengan lafadz ahl al-
kitab, yang mana fungsi penggunaan huruf ataf dalam redaksi ayat tersebut
adalah menghubungkan dua kata yang berlainan makna.104 Oleh karena itu,
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa kata al-musyrikat tidak mencakup
golongan ahli kitab. Jadi yang dimaksud dengan al-musyrik adalah orang-
orang yang tidak menganut agama samawi, yaitu orang-orang yang secara
nyata dan jelas menyembah berhala.
Wahbah Zuhaili juga mengutip pendapat jumhur ulama yang secara
umum sepakat memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud al-musyrikat
adalah wanita watsaniyyah (wanita-wanita yang menyembah patuh atau
berhala), Majusiyyah (wanita-wanita yang menyembah api).105
Berkenaan dengan latar belakang diturunkannya ayat ini adalah
berdasarkan hadis nabi yang diriwayatakan oleh Ibn al-Mundzir, Ibn Abi
Hatim, dan al-Wahidiy meriwayatkan dari muqatil. Peristiwa ini terjadi pada
saat Ibn Abi Mirtsad al-Ghinawi meminta izin kepada Rasul untuk dapat
melangsungkan pekawinan dengan Anaq, seorang wanita musyrik yang
cantik jelita.106
Sehingga dalam persoalan perkawinan pria muslim dengan wanita
103 QS. al-Baqarah [2]: 105
هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين ا يود ٱل ذين كفروا من أ م وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ب كم وٱلل ن ر ن خير م ل عنليكم م ن ينز
ذو أ
ٱلفلل ٱلعييم Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang
dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
(QS. al-Baqarah [2]: 105) 104 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy
dan Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 200. 105 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 147. 106 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 1,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), h. 660.
نزلت هذه الأية فى ابن ابى مرثد الغنوي اسنأذن النبى صنلى الل عنليه :أخرج ابن المنذر وابن ابى حاتم والواحدي عن مقاتل قال .فنزلت ,واكنت ذات حظ من جمال ,وهى مشركةأن يتزوجها (عناق)وسنلم فى
42
musyrik Wahbah Zuhaili melarang secara tegas dalam pelakasannya. Salah
satu alasan larangan perkawinan tersebut adalah kebiasaan yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas
yakni mengajak kepada kekafiran sehingga orang terjerumus dalam
perbuatan yang buruk dan berujung di neraka. Selain itu juga orang-orang
musyrik tersebut tidak memiliki agama yang dapat membimbing mereka
dalam kebenaran. Sehingga perbedaan akidah menciptakan sebuah
kegelisahan, ketidak tenangan, dan perpecahan diantara suami-istri. Hal-hal
tersebutlah yang mengakibatkan sebuah kehidupan dalam rumah tangga
menjadi tidak tentram dan tidak tercapai tujuannya baik berupa ketenangan
dan kestabilan yang mana seharusnya dibangun dengan landasan rasa kasih
sayang dan cinta.107
2. Perkawinan antara wanita muslimah denga pria kafir
Corak kehidupan sosial masyarakat yang plural, di mana
penduduknya bercampur baur dengan berbagai ragam agama, berpotensi
mengakibatkan tumbuhnya perasaan cinta antar lawan jenis, di mana lawan
jenis tersebut berbeda agama.
Adapun dalam persoalan tentang perkawinan wanita muslimah
dengan pria kafir itu berbeda dengan kebolehan perkawinan seorang laki-
laki muslim dengan wanita ahli kitab. Menurut Wahbah Zuhaili perkawinan
yang dilakukan oleh seorang wanita muslimah dengan pria kafir, baik laki-
laki tersebut termasuk golongan ahli kitab secara ijma’ hukumnya haram.
Dasar keharaman yang ditetapkan oleh Wahbah Zuhaili disandarkan pada
dua ayat al-Quran, yaitu QS. al-Baqarah [2]: 221108 dan QS. al-Mumtahanah
107 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 148. 108 QS. al-Baqarah [2]: 221
عج شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة ولا تنكحوا ٱلمشركين حت ى يؤمنوا ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ول
بكم أ
رون بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا لعنل هم يتذك Artinya: “… Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-
Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)
43
[60]: 10.109
Pada ayat yang dijadikan dasar hukum keharaman perkawinan
tersebut menurut Wahbah Zuhaili, larangan perkawinan ini tidak ada
pengecualian yang diberikan di dalamnya, baik laki-laki itu orang-orang
musyrik, kafir, maupun ahli kitab. Meskipun di dalam QS. al-Baqarah [2]:
221 menjelaskan tentang laki-laki musyrik, akan tetapi yang dijadikan illat
hukum dalam ayat ini adalah redaksi ارئك يدعون إلى ٱلن ول
yang menjelaskan أ
bahwa mereka itu mengajak ke neraka. Sehingga keumuman yang ada
dalam kata tersebut mencakup semua orang musyrik, kafir, dan ahli kitab.110
Alasan lain yang disampaikan oleh Wahbah Zuhaili tentang hal ini juga
adalah agama memang secara jelas memutus penguasaan orang kafir
terhadap orang mukmin berdasarkan firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 141.111
3. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab
Dalam menanggapi kasus perkawinan beda agama yang dilakukan
antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, Wahbah Zuhaili
menyampaikan dalam dua bentuk pendapat, yakni pendapat yang
membolehkan perkawinan dengan wanita ahli kitab dan pendapat yang
memakruhkan perkawinan dengan wanita ahli kitab.112
Berdasarkan pendapat Wahbah Zuhaili yang pertama adalah
menyatakan tentang kebolehan pelaksanaan perkawinan dengan wanita ahli
kitab yang dikutip dari pendapat jumhur ulama. Di mana dalam
109 QS. al-Mumtahanah [60]: 10
ل هم ولا هم يحنل ون له ... ار لا هن حل فإن عنلمتموهن مؤمنت فنلا ترجعوهن إلى ٱلكف ...ن Artinya: “… maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka...” (QS. al-
Mumtahanah [60]: 10) 110 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 148. 111 QS. Al-Nisa’ [4]: 141
فرين ع ... لنلك نلى ٱلمؤمنين سبينلا ولن يجعل ٱلل Artinya: “... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 141) 112 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 149.
44
argumentasinya didasarkan pada firman Allah QS. al-Maidah [5]: 5.113
Dalam ayat tersebut yang menjadi penekanannya menurut Wahbah
Zuhaili adalah siapa saja yang masuk kriteria wanita-wanita ahli kitab yang
diperbolehkan untuk dinikahi. Menurutnya perempuan ahli kitab adalah
perempuan-perempuan yang percaya terhadap agama samawi, yaitu Yahudi
dan Nasrani. Ahli kitab diartikan juga sebagai seorang yang diberikan kitab
Taurat dan Injil.114 Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah QS. al-
An’am [6]: 156115, dan QS. Ali Imran [3]: 113 dan 199.116
113 QS. al-Maidah [5]: 5
ٱ وتواي بت وطعام ٱل ذين أ حل لكم ٱلط
ل هم وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱليوم أ ل كم وطعامكم حل لكتب حل
وتوا ٱلكتب من قبنلكم محصنين غير مسفحين ولا مت خدان و ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱل ذين أ
من يكفر بٱلإيمن فقد خذي أ
ألخرة من ٱلخسرين حبط عمنلهۥ وهو فى ٱArtinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah [5]: 5) 114 QS. al-Maidah [5]: 68
نزل إليكم م ة وٱلإنجيل وما أ هل ٱلكتب لستم عنلى شىء حت ى تقيموا ٱلت ورى
أ ب كم قل ي ...ن ر
Artinya: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Maidah
[5]: 68) 115 QS al-An’am [6]: 156
ئفتين من قبنلنا إون كن ا عن نزل ٱلكتب عنلى طا أ ن تقولوا إن ما
فنلين دراستهم لغ أ
Artinya: “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya
diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan
apa yang mereka baca.” (QS al-An’am [6]: 156) 116 QS. Ali Imran [3]: 113
ء ءانا ئمة يتنلون ءايت ٱلل ة قا م هل ٱلكتب أ
ن أ م ء ٱل يل وهم يسجدون ۞ليسوا سوا
Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka
membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang).” (QS. Ali Imran [3]: 113)
QS. Ali Imran [3]: 199
نزل إليهم خشعين لل أ نزل إليكم وما
وما أ هل ٱلكتب لمن يؤمن بٱلل
جرهم إون من أ
ئك لهم أ ول
أ ثمنا قنلينلا لا يشترون بايت ٱلل
سريع ٱلحساب عند رب هم إن ٱلل
Artinya: “Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah
hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali
Imran [3]: 199)
45
Selain kata ahl al-kitab, kata al-muhsanat juga menjadi bagian dari
kriteria yang melekat pada wanita-wanita ahli kitab yang diperbolehkan
untuk dinikahi. Menurut Wahbah Zuhaili kata al-muhsanat diartikan
sebagai wanita-wanita yang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Oleh
karena itu, bagi Wahbah Zuhaili kategori al-muhsanat menjadi bagian yang
penting dan perlu diperhatikan dalam melaksanakan perkawinan dengan
wanita ahli kitab. Salah satu tujuannya adalah sebagai bentuk upaya
mendorong manusia agar melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab
yang suci, karena perkawinan yang seperti ini dapat memunculkan rasa
kasih sayang dan cinta antara suami-istri. Serta dapat memberikan
ketenangan dan ketentraman dalam sebuah rumah tangganya.
Selain didasarkan pada al-Quran, kebolehan perkawinan dengan
wanita ahli kitab juga didasarkan Wahbah Zuhaili dengan atsar sahabat,
yaitu diperbolehkannya sahabat Usman ibn Affan menikah dengan Nailah
binti Firafisah al-Kalbiyyah yang mana dia adalah seorang wanita Nasrani
yang kemudian masuk Islam. Selain sahabat Usman ada sahabat lainnya lagi
yang juga diperbolehkan melakukan perkawinan tersebut, dia adalah
Huzaifah. Huzaifah melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dari
golongan Yahudi yang merupakan penguhuni al-Mada’in. Akan tetapi
kebolehan tersebut menurut sahabat Jabir dilakukan pada masa Invasi kota
Kufah bersama Sa’ad ibn Abi Waqash.117
Menurut Wahbah Zuhaili kebolehan seorang laki-laki muslim
menikah dengan wanita ahli kitab itu tidak sama dengan wanita musyrik.
Karena seorang wanita ahli kitab memiliki kesamaan dalam hal keimanan
pada beberapa prinsip asas, yaitu mereka mengakui keimanan atas Tuhan,
Rasul, dan Hari Kiamat dengan segenap hisab dan siksaan yang ada di
dalamnya. Hal inilah yang menjadi titik temu antara keduanya.
Adapun pendapat kedua yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili adalah
pendapat yang dikemukakan oleh mazhab empat yakni mazhab Hanafi,
117 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 149.
46
Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Pertama, menurut mazhab Hanafi seorang
laki-laki muslim haram menikahi wanita ahli kitab apabila wanita ahli kitab
tersebut hidup dan tinggal di Dar al-Harbiy karena di wilayah tersebut
hukum-hukum Islam tidak bisa ditampakkan, sehingga dapat menimbulkan
fitnah dalam perkawinannya.118 Kedua, mazhab Maliki memiliki dua
pendapat dalam persoalan perkawinan beda agama yakni, hukum makruh
secara mutlak dan tidak makruh secara mutlak. Yang dimaksud dengan
hukum makruh secara mutlak adalah ketika seorang laki-laki muslim
menikah dengan wanita ahli kitab baik wanita tersebut ahli kitab yang zimi
ataupun harbi. Sedangkan hukum tidak makruh secara mutlaknya adalah
jika dilihat hanya berdasarkan zahirnya ayat 5 surat al-Maidah. Ketiga,
hukum yang dikeluarkan oleh mazhab Syafi’i memiliki kesamaan dengan
apa yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, hanya saja dalam menjelaskan
hukum makruh tersebut mazhab syafi’i memberikan persyaratan di
dalamnya, yaitu:
a. Dalam perkawinannya tidak ada keinginan untuk menjadikan wanita
ahli kitab memeluk agama Islam.
b. Ada seorang wanita muslimah yang lebih baik dari wanita ahli kitab.
c. Dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak menikahi
wanita ahli kitab.
Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i yang dijadikan sebagai
penekanan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama ini adalah persoalan
maslahah dan mafsadahnya. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan beda
agama menurut mazhab Syafi’i diperbolehkan selama dalam perkawinan
tersebut dapat memunculkan kemaslahatan, namun hukum kebolehannya
dapat berubah menjadi makruh jika perkawinan tersebut dilaksanakan dapat
menimbulkan kemafsadatan.119 Keempat, menurut mazhab Hanbali
perkawinan ini juga dihukumi makruh, salah satu alasannya adalah sikap
118 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, Jilid IV (Kairo: al-Maktaf
al-Tsaqafy Publishing, 1420 H), h. 64. 119 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, Jilid IV, h. 65.
47
Umar ibn Khattab yang memerintahkan kepada para sahabat yang menikah
dengan wanita ahli kitab untuk menceraikannya.120
Berdasarkan ungkapan tersebut, menurut Wahbah Zuhaili terlihat
bahwa Umar ibn Khattab belum bisa sepenuhnya menerima adanya praktik
perkawinan antara seorang muslim dengan wanita ahli kitab. Sikap ketidak
senangan Umar terhadap seseorang yang melakukan perkawinan tersebut,
merupakan bentuk kehati-hatian dan kekhawatiran Umar sebagai seorang
khalifah pada waktu itu. Harapannya adalah agar kebiasaan perkawinan
antara pria muslim dengan wanita ahli kitab tidak sampai diikuti dan
dijadikan kebiasaan oleh banyak umat Islam. Karena jika hal itu sampai
terjadi yang dirugikan adalah para wanita-wanita muslimah, yang
mengakibatkan mereka tidak lagi disukai oleh para laki-laki muslim dan
mereka akan menjadi seorang perawan tua. Dalam hal ini, Umar lebih
mengedepankan konsep kemaslahatan bagi seluruh umat Islam.121
Adapun kesimpulan akhir yang disampaikan oleh Wahbah Zuhaili
dalam persoalan perkawinan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli
kitab, adalah perkawinan antara laki-laki muslim itu dapat dilaksanakan
sebagaimana yang firman Allah dalam QS. al-Maidah [5]: 5. Namun
Wahbah Zuhaili menekankan bahwa kebolehan perkawinan ini bukanlah
suatu hukum asal atau mutlak, akan tetapi ketentuan ini hanya bersifat pada
kondisi tertentu saja dengan tujuan perkawinan itu membawa misi kasih
sayang dan harmonisme, sehingga ketidak senangan seorang istri terhadap
Islam itu terkikis habis. Dan dengan perlakuan suami yang baik, istri akan
dapat lebih baik mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara
amaliah praktis, sehingga ia menjadi pemeluk Islam yang baik.
Oleh karena itu, menurut penulis dalam persoalan kebolehan dan
ketidak bolehan melaksanakan perkawinan ini nantinya akan banyak
memberikan dampak yang berbahaya sekali, baik dilihat dalam sudut
120 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 150. 121 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih
Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 151.
48
pandang hukum maupun dalam aspek kehidupan sosialnya. Jika
merefleksikannya dalam wacana berfikir, maka persoalan perkawinan
dengan wanita ahli kitab dapat ditolerir. Namun bila persoalan ini masuk
dalam ruang lingkup praksisnya, maka akan banyak ditemukan berbagai
macam persoalan yang semakin rumit. Salah satunya adalah terjadinya
Tarik-menarik kondisi anak dalam urusan pendidikan dan agamanya.
Kondisi seperti ini menurut penulis menjadi salah satu kondisi yang sangat
rawan memunculkan keretakan dalam sebuah rumah tangga. Sehingga
dengan memunculkan ketenangan dalam rumah tangga itu menjadi bekal
utama dalam proses kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka
pelarangan perkawinan tersebut amatlah sangat relevan dan antisipatif.
B. Metode Istinbat Hukum yang Digunakan Wahbah Zuhaili dalam
Perkawinan Beda Agama
Dalam pembahasan kali ini yang akan dibahas adalah berkenaan dengan
metode istinbat hukum yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili dalam menentukan
kepastian hukum dalam persoalan perkawinan beda agama. Sebelum berlanjut
kepada pembahasan tersebut, alangkah lebih baiknya diuraikan kembali pengertian
tentang istinbat itu sendiri.
Menurut Muhammad ibn ‘Ali al-Fayumi seorang ahli bahasa Arab dan
Fikih, yang dimaksud dengan istinbat adalah upaya menarik hukum dari al-Quran
dan Sunah melalu jalan ijtihad. Adapun menurut Wahbah Zuhaili yang diuraikan
dalam karyanya usul al-fiqh al-islami, pembahasan yang berkaitan dengan sumber-
sumber hukum Islam terbagi menjadi dua macam. Pertama sumber hukum syariah
yang disepakati dan kedua sumber pelengkap hukum atau dalil-dalil yang masih
ikhtilaf di dalamnya. Sumber-sumber hukum yang termasuk dalam kategori
pertama adalah al-Quran, Sunah, ijmak dan qiyas. Sedangkan sumber-sumber
hukum yang termasuk dalam kategori kedua adalah istihsan, maslahah mursalah,
madzhab al-sahabi, syar’u man qoblana, istishab, sadd al-dzari’ah, ‘urf dan
49
adat.122
Selanjutnya, dalam menanggapi persoalan perkawinan beda agama sumber
hukum yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili adalah berdasarkan QS. al-Baqarah
[2]: 221, QS. al-Mumtahannah [60]: 10, dan QS. al-Maidah [5]: 5. Dalam redaksi
QS. al-Baqarah [2]: 221 jika ditinjau dari aspek kebahasaan menurut Wahbah
Zuhaili dalam ayat tersebut mengandung sebuah bentuk kalimat larangan (nahi).123
Adapun gaya bahasa yang digunakan dalam larangan ayat tersebut adalah larangan
yang menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai dengan huruf lam yang
menunjukkan makna larangan (لا الناهية). Sehingga kandungan hukum pada ayat
tersebut bersifat menunjukkan kepada hukum keharaman dalam melaksanakan
sebuah perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik dan
perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki musyrik meskipun seorang
laki-laki dan wanita musyrik tersebut memiliki kekayaan, kecantikan, ketampanan
dan kedudukan yang tinggi. Menurut Wahbah Zuhaili keharaman dalam
pelaksanaan perkawinan tesebut didasarkan pada illat hukum ayat tersebut yaitu
pada lafadz ئك يدعون إلى النارأول (mereka itu mengajak ke neraka). Sehingga
keputusan hukum larangan melakukan perkawinan tersebut dapat juga dipahami
dengan sebuah kaidah ushul fikih yang berbunyi:
124.لدهالنهى عن الشىء أمر بArtinya: “Suatu larangan terhadap suatu perbuatan itu menunjukkan perintah
kebalikannya”
Dengan demikian, maksud dari adanya pelarangan pelaksanaan perkawinan
pada ayat tersebut menunjukkan makna kebalikannya, yaitu perintah kepada setiap
orang Islam supaya melaksanakan perkawinan dengan orang yang seiman dari
122 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 163. 123 Mayoritas ulama usul fikih mendefinisikan nahi sebagai
طنلب الكف عن الفعل عنلى جهة الإستعنلاء بالصيغة الدال عنليهArtinya: “Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu”. Lihat juga
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 171. 124 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 177.
50
golongan mereka bukan malah tertarik dengan laki-laki atau wanita dari golongan
musyrik. Dalam masalah hukum haramnya perkawinan seorang laki-laki muslim
dengan wanita musyrik dan perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki
musyrik, jumhur ulama sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat dalam
keharamannya.
Dalil-dalil al-Quran yang juga membahas tentang persoalan perkawinan
beda agama yang dijadikan sumber hukum oleh Wahbah Zuhaili adalah QS. al-
Maidah [5]: 5. Setelah diturunkannya QS. al-Maidah [5]: 5 ini, timbul banyak
pertanyaan di kalangan sahabat apakah hukum keharaman perkawinan beda agama
sudah dihapuskan dengan adanya ayat ini, ataukah hukum tersebut masih tetap ada
dan hukum pada QS. al-Maidah [5]: 5 ini tidak menasakh hukum tersebut.
Pada QS. al-Maidah [5]: 5 yang dijadikan Wahbah Zuhaili sebagai dasar
hukum tentang persoalan perkawinan beda agama menjelaskan, bahwa perkawinan
antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab itu diperbolehkan. Pada
QS. al-Baqarah [2]: 221 dijelaskan bahwa redaksi ayat tersebut bentuknya larangan,
sedangkan dalam QS. al-Maidah [5]: 5 redaksinya menggunakan bentuk takhyir
(memberikan pilihan).125 Sehingga hukum yang ditunjukkan oleh ayat yang
menggunakan bentuk takhyir ini adalah halal atau mubah (boleh dilakukan), dalam
artian tidak mendapatkan pahala jika dilakukan dan tidak juga berdosa jika
ditinggalkan.
Menurut Wahbah Zuhaili kedua dalil tersebut merupakan dalil yang
kontradiktif dalam menyelesaikan persoalan hukum perkawinan beda agama
(ta’arud).126 Sebab dalil yang pertama menjelaskan hukum keharaman melakukan
perkawinan dengan orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan
125 Menurut Abdul Karim Zaidan yang dimaksud dengan takhyir adalah
ما خير الشارع المكنلف بين فعنله وتركه
Artinya: “Bahwa Syari (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan
atau tidak melakukan suatu perbuatan”. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 171. 126 Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan ta’arudh adalah
التعارض هو أن يقتلى أحد الدليل حكما فى واقعه خنلاف ما يقتليه الدليل الاخر فيهاArtinya: “ta’arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan hukum suatu peristiwa
tertentu, sedangkan dalil yang lain menunjukkan hukum yang berbeda dengan itu”. Lihat juga Satria
Effendi, Ushul Fiqh, h. 218.
51
dalil kedua menjelaskan hukum kebolehan untuk melakukan perkawinan dengan
wanita ahli kitab. Oleh karena itu, Wahbah Zuhaili berpendapat jika terjadi ta’arud
antara dua dalil, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:127
1. Dengan mengkompromikan antara dua dalil, selama ada peluang untuk
melakukannya, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari hanya
memfungsikan satu dalil saja.
2. Jika tidak dapat dilakukan kompromi terhadap dalil-dalil tersebut, maka
jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.
3. Jika dalam tahapan tarjih tidak dapat juga dilakukan, maka langkah
selanjutnya adalah dengan meneliti mana di antara dua dalil itu yang lebih
dahulu datangnya.
4. Jika tidak juga dapat menemukan mana dalil yang terlebih dahulu datang,
maka jalan keluarnya dengan tidak memakai dua dalil itu dan dalam kondisi
yang seperti ini seharusnya seorang mujtahid merujuk kepada dalil-dalil
yang lebih rendah bobotnya.
Adapun langkah yang dilakukan oleh Wahbah Zuhaili dalam menyelesaikan
kontradiksi dalil pada persoalan perkawinan beda agama ini adalah Wahbah Zuhaili
berusaha untuk mengkompromikan antara kedua dalil tersebut. Sehingga kedua
dalil tersebut masih berfungsi hukumnya.
Dalam mengkompromikan dalil pada QS. al-Baqarah [2]: 221 yang menjadi
penekanannya adalah lafadz al-musyrikat. Siapa sajakah yang masuk dalam
kategori al-musyrikat, apakah seorang wanita ahli kitab yang dibolehkan dinikahi
itu juga termasuk bagian dari golongan orang-orang musyrik?. Dalam memahami
kata al-musyrikat Wahbah Zuhaili memberikan pengertian, al-musyrik adalah
seseorang yang menyembah Allah bersama tuhan yang lain, seperti berhala, atau
binatang-binatang, atau api, atau bintang. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i
serta mazhab lainnya menganggap perempuan yang murtad dari agama Islam itu
termasuk dalam kategori seorang musyrik. Serta pendapat para ahli fikih juga
127 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 219.
52
berpendapat bahwa seorang watsaniyyah (penyembah berhala) dan majusiyyah
(penyembah api) masuk dalam kategori orang yang haram untuk dinikahi.
Meskipun pendapat ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan kata al-musyrik,
akan tetapi secara substansial yang dimaksudkan adalah sama, yaitu menjelaskan
kata al-musyrik pada ayat di atas adalah penganut agama non-samawi. Sebab
mereka menyembah berhala yang nyata-nyata berbuat syirik.
Dalam permasalahan tentang kedudukan seorang wanita ahli kitab apakah
sama dengan orang musyrik, pendapat jumhur ulama yang dikutip oleh Wahbah
Zuhaili menjelaskan bahwa mereka sepakat wanita ahli kitab itu tidak termasuk
dalam bagian tersebut. Alasan mendasar yang mempengaruhi pemikiran jumhur
ulama adalah berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 105. Dalam redaksi tersebut
penyebutan yang digunakan untuk ahli kitab dibedakan dengan huruf ‘ataf di mana
huruf ‘ataf yang digunakan dalam ayat tersebut adalah wawu yang berfungsi
menghubungkan antara dua kata yang berlainan. Oleh karena itu, secara zahir
lafadznya al-musyrik itu tidak mencakup ahli kitab.
Setelah ditemukan makna dari kata ahl al-kitab dan al-musyrik. Metode
selanjutnya yang dilakukan Wahbah Zuhaili adalah menganalisis lafadz yang
menjelaskan kebolehan perkawinan dengan ahli kitab. Apakah kata ahl al-kitab
yang ada pada lafadz tersebut termasuk dalam kata yang mutlaq128 atau justru kata
ahl al-kitab itu termasuk kata yang muqayyad.129 Dalam memahami redaksi
kebahasaan kata والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب menjelaskan bahwa lafadz tersebut
adalah termasuk kategori lafadz yang muqayyad. Ke-muqayyad-an ayat tersebut
ditunjukan dengan lafadz المحصنات yang menunjukkan makna wanita-wanita yang
menjaga kehormatannya atau seorang perempuan yang suci. Sehingga ahli kitab
yang dimaksud dalam QS. al-Maidah [5]: 5 menurut Wahbah Zuhaili adalah
128 Menurut Abdul Wahab Khalaf yang dimaksud dengan mutlaq adalah
مادل عنلى فرد غير مقيد لفيا بأي قيدArtinya: “lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu
ketentuan”. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 188. 129 Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafdziyah dibatasi
dengan suatu ketentuan. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 188.
53
seorang wanita ahli kitab yang senantiasa menjaga kehormatan dan kesuciannya.
Sehingga, kebolehan tersebut tidak diberikan kepada seorang wanita ahli kitab yang
tidak menjaga kesucian dan kehormatan. Dalam makna muqayyad yang
ditunjukkan oleh ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak semua ahli kitab itu boleh
dinikahi. Argumentasi ini juga didukung dengan menggunakan dalil QS. Ali Imran
[3]: 199 yang artinya “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada yang beriman
kepada Allah”. Dengan demikian, mafhum mukhalafah makna ayat tersebut
menunjukkan adanya golongan ahli kitab yang tidak beriman kepada Allah.
Selain menggunakan sumber hukum al-Quran dalam istinbat hukumnya,
Wahbah Zuhaili juga memasukkan hadis nabi dan atsar sahabat sebagai sumber
hukum pendukung dalam menetapkan suatu hukumnya. Salah satu hadis nabi yang
dijadikan sebagai alasan diturunkannya ayat tentang larangan tersebut adalah Hadis
yang diriwayatkan oleh Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dan al-Wahidiy dari
Muqatil, dia berkata: “ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami
oleh Ibn Abi Mirtsad al-Ghinawiy, yang memohon izin kepada Nabi Muhammad
Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dapat menikah dengan ‘Anaq’ seorang wanita
musyrik yang memiliki kekayaan dan kecantikan”. Adapun dalam versi selain itu
adalah Sesungguhnya Rasulullah meminta Mirtsad ibn Abi Mirtsad ke kota
Makkah, dengan tujuan agar dia bisa mengajak umat muslim yang lainnya untuk
berjuang bersamanya. Pada waktu kedatangannya ke kota Makkah dia sudah
tertarik dengan seorang wanita jahiliyah bernama ‘Anaq’ yang dulu pernah
mendatangi dirinya dan mengajukan pertanyaan, “Apa engkau sedang kesepian?”
kemudia Mirtsad menjawab, ya, namun Islam menghalangi kita. Anaq kembali
bertanya, “Bersediakah engkau mengawiniku?.” Kemudian Mirtsad menjawab, ya,
namun saya akan berikan jawaban setelah saya mendapatkan izin dari Rasulullah.130
130 Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut
يه نبى صنلى الل عنلنزلت هذه الاية فى ابن أبى مرثد الغنوي استأذن ال :أخرج ابن المنذر وابن أبى حاتم والواحدي عن مقاتل قال أن رسول الل صنلى :ويف عبارة أو فى رواية اخرى .فنزلت ,واكنت ذات حظ من جمال ,أن يتزوجها وهى مشركة (عناق)وسنلم فى
:واكن يهوي امرأة فى الجاهنلية اسمها ,ليخرج منها ناسا من المسنلمين ,الل عنليه وسنلم بعث مرثد بن أبى مرثد الغنوي إلى مكةع ولكن أرج ,قال نعم ؟فهل لك أن تتزوج بى :فقالت ,إن الإسنلام قد حال بيننا ,ويحك :فقال ؟ألا تخنلوا :وقالت ,تهفأت ,عناق
.فنزلت ,فاستأمره ,فاستأمره ,إلى رسول الل صنلى الل عنليه وسنلم
Lihat juga Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 1, h. 660.
54
Berdasarkan hadis di atas yang menjadi latar belakang turunnya ayat 221 al-
Baqarah dapat dipahami bahwa kandungan hukum di dalam ayat tersebut tujuannya
adalah untuk memberikan jawaban dari peristiwa tersebut. Oleh karena itu, jawaban
yang diberikan pada ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman perkawinan
antara orang Islam dengan orang musyrik, baik dengan laki-laki atau wanitanya.
Namun belum mencakup tentang ketentuan hukum perkawinan seorang muslim
dengan wanita ahli kitab. Adapun dalil yang juga dijadikan oleh Wahbah Zuhaili
sebagai sumber hukum dalam penetapan hukum perkawinan antara seorang muslim
dengan wanita ahli kitab adalah mazhab sahabi131.
Sumber mazhab sahabi yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili didasarkan
pada ijtihad yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Pada waktu itu Umar ibn
Khattab memerintahkan kepada semua orang Islam yang telah melakukan
perkawinan dengan ahli kitab untuk menceraikan istri mereka. Maka semua orang
Islam yang melakukan perkawinan tersebut menceraikannya kecuali Huzaifah.
Kemudian Umar r.a. mengirim surat kepadanya setelah dia berhasil menduduki kota
Madain setelah bertambah banyaknya jumlah wanita muslimah di sana, “Saya
dengar kamu telah menikah dengan wanita ahli kitab dari Madain, maka
ceraikanlah dia”. Kemudian Huzaifah membalas surat itu, “Saya tidak akan
melakukannya, kecuali terlebih dahulu kamu memberitahu saya apakah pernikahan
itu halal atau haram? Dan apa yang kamu inginkan dari surat itu?” kemudian Umar
membalasnya, “Tidak, bahkan halal. Akan tetapi wanita ajam (selain Arab) itu akan
memperdaya kamu. Jika kamu menjadikan mereka sebagai istri kamu, maka
mereka akan melupakanmu terhadap istri-istrimu (yang lain, yang berdarah Arab)”.
Huzaifah kemudian membalas surat Umar, “Sekarang saya akan
menceraikannya”.132
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Umar ibn Khattab menunjukkan
bahwa sebenarnya persoalan perkawinan beda agama diperbolehkan oleh
131 Adapun yang dimaksud dengan mazhab sahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah
tentang suatu kasus yang hukumnya tidak secara tegas dijelaskan dalam al-Quran dan Sunah
Rasulullah. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 154. 132 Muhammad Baltaji, Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i, Penerjemah Masturi
Irham, Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab, h. 326.
55
Rasulullah, namun pada waktu masa kepemimpinan Umar ibn Khattab menjadi
khalifah perkawinan tersebut dianggap sebagai suatu perkawinan yang tidak lagi
menjadi perkawinan yang dibolehkan. Sehingga menurut Wahbah Zuhaili ketidak
senangan seorang Umar dalam perkawinan yang dilakukan oleh Huzaifah adalah
bentuk kekhawatiran Umar sebagai seorang khalifah, Umar khawatir ketika
perkawinan tersebut dilakukan oleh masyarakat secara umum, yang mengakibatkan
para orang-orang muslim sesudahnya tidak akan lagi suka dengan para wanita-
wanita muslimah dan menjadikan wanita-wanita muslimah menjadi perawan tua.
Oleh karena itu. Konsep kemaslahatan yang digunakan oleh Umar merupakan suatu
siasat dan strategi yang sangat cocok untuk digunakan pada kondisi saat ini di mana
kelemahan umat Islam awam pada umumnya adalah meniru apa yang telah
dilakukan dan ditetapkan oleh para sahabat sehingga orang-orang akan
menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang halal dan dianjurkan dalam ajaran
agamanya.133
Selain menggunakan pertimbangan mazhab sahabi, agar tidak terlihat
fanatisme terhadap beberapa pendapat saja Wahbah Zuhaili juga mengemukakan
pandangan empat mazhab untuk dapat diambil pendapat yang lebih dikuatkan.
Pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan bahwa hukum
makruh tersebut dilihat pada kondisi wanita ahli kitab tersebut ahli kitab zimi atau
ahli kitab harbi. Berbeda dengan ulama Syafi’iyyah, dalam menetapkan hukum
perkawinan beda agama lebih ditekankan dalam urusan maslahah dan mafsadah
yang nanti muncul akibat perkawinan beda agama tersebut.
Dalam proses mengkompromikan dua dalil yang bertentangan tersebut
Wahbah Zuhaili juga menjadikan sadd al-dzari’ah sebagai bentuk pendekatakan
dalam mewujudka tujuan syariah (maqasid syari’ah). Adapun yang dimaksud
dengan sadd al-dzari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan
atau kejahatan. Menurut Wahbah Zuhaili salah satu bentuk perbuatan yang dapat
133 Tindakan yang dilakukan Umar adalah sebagai bentuk ketegasan seorang pemimpin
dalam memberikan kemaslahatan untuk rakyatnya sebagaimana kaidah fikih.
تصرف الإمام عنلى الراعية منوط بالمصنلحةArtinya: “kebijakan seorang pemerintah atas rakyat itu harus didasarkan pada kemaslahatan”
56
menjadi bagian wasilah menuju kebinasaan atau kejahatan diantaranya adalah134
1. Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi
suatu hal yang diharamkan saja, tetapi esensi dari perbuatan itu sendiri
adalah haram.
2. Perbuatan yang secara esensialnya diperbolehkan, namun perbuatan
tersebut memungkinkan untuk digunakan kepada sesuatu yang diharamkan.
Dalam persoalan perkawinan antara seorang muslim dengan seorang wanita
ahli kitab termasuk dalam kategori yang kedua. Di mana perbuatan tersebut secara
esensialnya diperbolehkan, namun kemungkinan akan membawa kepada
kebinasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatannya.
Oleh karena itu, jika perkawinan tersebut tetap saja dilakukan dan marak
dalam kehidupan masayarakat secara umum, maka tujuan adanya syariah tidak bisa
terwujud. Salah satu dampak buruk yang diakibatkan atas terjadinya perkawinan
seorang muslim dengan seorang wanita ahli kitab adalah sebagai berikut:
1. Berdampak kepada agama seorang anak, anak yang terlahir dari perkawinan
antara seorang wanita ahli kitab akan mengalami kebingungan dalam
menentukan agama yang harus dia ikuti antara seorang ayah atau ibunya.
Sehingga dapat menimbulkan keributan antara suami dan istri (Hifdz al-
Nasl).
2. Berdampak kepada agama seorang suami, ketika seorang laki-laki muslim
yang lemah yang belum secara kuat dalam memegang keimanannya
menikah dengan seorang wanita ahli kitab dikhawatirkan dia akan berpaling
dari agama Islam dan ikut kepada agama istri. (Hifdz al-Din)
3. Berdampak kepada harta warisan, seorang laki-laki muslim yang menikah
dengan wanita ahli kitab ketika sang suami meninggal dunia maka istri tidak
dapat mewarisi harta warisan tersebut, dikarenakan berbeda agama menjadi
penghalang seseorang mewarisi di dalam agama Islam. (Hifdz al-Mal).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Wahbah Zuhaili dalam menetapkan
hukum tentang perkawinan beda agama metode yang digunakan adalah dengan
134 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 158.
57
mengambil dalil-dalil al-Quran, Sunah, pendapat sahabat, pendapat empat imam
mazhab, serta pendapat ulama dengan mengkompromikan dua dalil al-Quran yang
bertentangan menggunakan pendekatan sadd al-dzari’ah. Oleh karena itu, dalam
kesimpulan hukumnya Wahbah Zuhaili tidak terlihat dalam keberpihakannya
dengan salah satu mazhab. Akan tetapi Wahbah Zuhaili lebih cenderung melihat
hukum sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masyarakat. Bagi Wahbah
Zuhaili dalam pelaksanaan syariat tidak boleh melupakan tujuan dari syariat
tersebut (maqasid syari’ah). Karena berbicara tentang agama itu tidak hanya soal
halal-haram, namun banyak berbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya.
C. Relevansi Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Perkawinan Beda Agama
Pemikiran Wahbah Zuhaili mengenai kebolehan perkawinan beda agama itu
hanya diperuntukkan bagi seorang muslim dengan seorang wanita ahli kitab
berdasarkan QS. al-Maidah [5]: 5. Sedangkan untuk persoalan perkawinan seorang
wanita muslimah dengan laki-laki ahli kitab atau kafir serta seorang muslim
menikahi seorang wanita musyrik atau sebaliknya hukumnya adalah tetap haram
dan dilarang berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Mumtahanah [60]:
10.
Indonesia merupakan negara hukum, yaitu negara yang sistem
kenegaraannya menggunakan norma-norma hukum yang berlaku. Secara
keseluruhan kehidupan dan pergerakan bangsa Indonesia ini diatur oleh sebuah
hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam
pasal tersebut terlihat bahwa negara benar-benar telah menjamin para penduduknya
untuk dapat memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan kehendak nurani
masing-masing.
Meskipun negara telah menjamin kebebasan para penduduknya untuk dapat
memeluk agama sesuai dengan kehendak dan keyakinannya, tetapi dalam urusan
perkawinan tetap memperhatikan keterlibatan aspek agama dalam peraturannya
secara lebih rinci. Alasan keterlibatan aspek agama adalah dengan tujuan untuk
58
menjaga ketertiban bersama serta agar tidak menimbulkan konflik horizon di
masyarakat.135 Oleh karena itu, negara telah mengatur persoalan perkawinan pada
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.136 Salah satu
aspek yang dimaksud dalam pasal tersebut yakni, menjelaskan bahwa suatu
perkawinan dilaksanakan menurut masing-masing agama. Perkawinan beda agama
menurut hukum agama-agama yang ada di Indonesia dapat diketahui bahwa
masing-masing agama yang ada di Indonesia secara substansinya tidak memberikan
peluang kepada umatnya untuk menikah dengan umat di luar agamanya.137
Tidak adanya peluang yang diberikan oleh agama-agama yang ada di
Indonesia untuk melakukan perkawinan dengan umat di luar agamanya
menunjukkan bahwa perkawinan beda agama sesungguhnya tidak dikehendaki oleh
setiap ajaran agama. Jika dikaitkan dengan aturan hukum negara, maka sesuatu
yang diajarkan oleh agama-agama di Indonesia menjadi suatu hal yang linier
dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Oleh karena itu, pada
pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974138 yang mengatur
tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44139 telah secara
jelas menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam tidak
dibenarkan melakukan perkawinan beda agama baik menurut syariat maupun
undang-undang yang berlaku.
Menurut analisis penulis, pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili
dalam persoalan perkawinan beda agama bersifat limitatif sesuai dengan konteks
ke-Indonesiaan, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah suatu negara yang
135 Indonesia bukanlah sebuah negara yang sekuler, sehingga masih mempertimbangkan
moral agama di dalam segala aspek pengaturan hukumnya. Dibuktikan dengan landasan ideologis
masyarakat Indonesia yang mengacu pada Pancasila, yaitu sila yang pertama, yang sangat
fundamental dan filosofis. 136 Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Lihat Asnawi,
Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI, (Kudus: Menara Kudus, 2001), h. 5. 137 Ihtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara RI, (Jakarta: Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan RI Depag, 2003), h. 128. 138 Pasal 8 (f) yang berbunyi, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin” Lihat Asnawi,
Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI, (Kudus: Menara Kudus, 2001), h. 7. 139 Peradilan Agama dan KHI Indonesia, tentang “Larangan Perkawinan Beda Agama”
pasal 44 yang berbunyi, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam”
59
memiliki toleransi atau pluralis dalam beragama. Namun pluralisme dalam
keberagaman tersebut tetap ada batasnya. Adanya pembatasan tersebut merupakan
salah satu tujuan untuk menjamin hubungan kehidupan sosial kemasyarakatan yang
selalu rukun dan saling menghargai. Sehingga negara tidak perlu lagi membentuk
suatu aturan hukum yang lebih spesifik dan khusus untuk melindungi praktik
perkawinan beda agama di Indonesia karena hal tersebut akan menimbulkan
konflik-konflik sosial.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang telah saya sampaikan pada
bab-bab sebelumnya, maka saya sebagai penulis dapat menyimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Sebagai seorang ulama fikih kontemporer yang integritas keilmuannya di
beberapa bidang, khususnya dalam bidang hukum Islam yang banyak
dijadikan rujukan oleh kalangan akademisi maupun masyarakat umum,
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa perkawinan beda agama
pembahasannya dibagi menjadi 3 bagian, antara lain:
a. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik
Dalam perkawinan ini, Wahbah Zuhaili berpandangan bahwa
perkawinan tersebut haram untuk dilakukan, baik dilakukan antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik ataupun seorang
wanita muslimah dengan laki-laki musyrik. Argumentasi Wahbah
Zuhaili didasarkan pada QS. al-Baqarah [2]: 221. Adapun alasan
larangan pelaksanaan perkawinan ini menurut Wahbah Zuhaili adalah
perkawinan yang dilakukan dengan orang musyrik mengajak kepada
kekafiran sehingga menjerumuskan ke neraka dan orang-orang musyrik
tidak memiliki agama yang membimbing kepada kebenaran sehingga
kehidupan di dalam rumah tangga menjadi tidak tentram dan tidak
tercapai tujuannya.
b. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki kafir
Sedangkan dalam hal perkawinan seorang wanita muslimah
dengan laki-laki kafir menurut Wahbah Zuhaili secara ijmak hukumnya
haram, meskipun laki-laki tersebut masuk dalam kategori seorang laki-
laki ahli kitab. Pendapat Wahbah Zuhaili didasarkan pada dalil QS. al-
Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 10. Salah satu alasan
keharaman tersebut adalah dikhawatirkan mempengaruhi agama wanita
61
muslimah sehingga wanita tersebut berpaling dari Islam, karena dalam
sebuah keluarga seorang laki-laki memiliki peran sebagai kepala
keluarga dan laki-laki kafir itu mengajak ke neraka.
c. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
Menurut Wahbah Zuhaili kebolehan perkawinan hanya boleh
dilaksanakan oleh seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
saja, bukan sebaliknya. Pendapat ini didasarkan pada QS. al-Maidah
[5]: 5. Adapun dalam kebolehan pelaksanaannya bukanlah suatu
kebolehan yang bersifat asal atau mutlak, akan tetapi ketentuan
kebolehan ini berlaku pada kondisi tertentu saja, di mana seorang yang
melaksanakan perkawinan memiliki tujuan untuk membawa misi kasih
sayang dan harmonisme, sehingga istri dapat lebih baik dalam
mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah
praktis dan dapat memunculkan ketertarikan pada wanita ahli kitab
untuk menjadi pemeluk agama Islam.
Sedangkan jika perkawinan tersebut dilakukan justru
menimbulkan banyak kekhawatiran daripada kemaslahatannya, maka
hukum pelarangan pelaksanaan perkawinan tersebut lebih cocok untuk
diterapkan.
2. Adapun dalam proses istinbat hukum yang digunakan Wahbah Zuhaili
dalam penetapan hukum tentang perkawinan beda agama adalah dengan
cara menggunakan sumber hukum Islam yang pertama adalah al-Quran,
selain al-Quran Wahbah Zuhaili juga menggunakan dalil Sunah,
berdasarkan kedua dalil tersebut ditemukan dalil yang saling bertentangan
(ta’arud al-adillah) pada dalil al-Qurannya. Sehingga mengharuskan
Wahbah Zuhaili mengkompromikan kedua dalil tersebut agar kedua dalil
tersebut masih dapat digunakan kedua hukumnya. Dalam proses
mengkompromikan dalil QS. al-Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Ma’idah [5]: 5
metode yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili adalah dengan menganilisis
pada aspek kebahasaan. Salah satu penekanannya adalah pada lafadz al-
musyrik dan ahl al-kitab. Setelah ditemukan hasilnya tentang kedua lafadz
62
tersebut, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Wahbah Zuhaili adalah
melihat pendapat salah satu sahabat tentang perkawinan beda agama, yakni
pendapat sahabat Umar ibn Khattab sewaktu menjadi seorang khalifah.
Serta melakukan metode perbandingan atas beberapa pandangan empat
mazhab. Berdasarkan sumber hukum tersebut sekaligus memperhatikan
pada tujuan adanya syariat Wahbah Zuhaili memutuskan untuk
menggunakan metode sadd al-dzari’ah. Yang mana pada metode ini
Wahbah Zuhaili melihat kebolehan perkawinan beda agama di dalam QS.
al-Maidah [5]: 5 seharusnya tidak lagi menjadi suatu perkawinan yang
dibolehkan dikarenakan melihat kondisi dan kebutuhan yang tidak lagi
seperti pada waktu itu. Karena bagi Wahbah Zuhaili dalam pelaksanaan
syariat tidak boleh melupakan tujuan dari syariat tersebut (maqasid
syari’ah). Sehingga berbicara tentang agama itu tidak hanya soal halal-
haram, namun banyak berbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya.
3. Relevansi pemikiran Wahbah Zuhaili mengenai perkawinan beda agama
sangat linier dengan semangat masyarakat dan hukum di Indonesia.
Meskipun Indonesia adalah negara yang pluralis namun demikian masih
tetap ada pembatasnya. Pembatasan tersebut semata-mata hanya untuk
menjamin kehidupan yang aman dan terkendali. Perkawinan Beda Agama
di dalam Perundang-undangan Indonesia tidak diakui karena hal itu tidak
sesuai dengan cita hukum masyarakat Indonesia.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam skripsi ini demi
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk penulis
pada khususnya adalah sebagai berikut:
1. Dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi
dalam perkawinan, sebaiknya seorang pemuda dan pemudi berupaya lebih
keras lagi dalam mencari calon pasangan hidupnya. Salah satu hal yang
menjadi perhatian khusus adalah dalam aspek kesamaan akidah atau
keimanannya.
63
2. Dalam bidang akademik, diharapkan semakin banyak peneliti yang lebih
mendalami kajian tentang perkawinan beda agama terutama dalam proses
istinbat hukum agar dapat ditemukan forumulasi yang semakin terbaharu
dalam penelitiannya.
1. Dalam bidang pemerintahan, diharapkan ada undang-undang yang secara
tegas mengatur tentang perkawinan beda agama dengan memperhatikan
maqasid syari’ahnya. Sehingga peraturan tersebut dapat mengakomodir
persoalan tersebut.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. ‘Amal al-Kamilah li al-imam Muhammad Abduh. Juz IV.
Kairo: Dar al-Syuruk, 1413 H.
______________. Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilmu wa al-Madaniyah.
Kairo: Dar al-Manar, 1373 H.
Af’idah, Shikhkhatul. Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah az-
Zuhaili. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2017.
Al-Arabi, Ibn. Ahkam al-Quran. Jilid IV. Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-
‘Amiyah, 1998.
Al-Juzairi, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah. Jilid IV. Kairo: al-
Maktaf al-Tsaqafy Publishing, 1420 H. Al-Sabuni, Muhammad Ali. Tafsir al-Ayat al-Ahkam. Penerjemah Mu’ammal
Hamidy dan Imran A. Manan. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni.
Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. Penerjemah Tim Abdul
Hayyie. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Quran. Depok: Gema
Insani, 2008.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Asdi Mahasatya, 2002.
Asnawi. Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI. Kudus: Menara Kudus,
2001. Baltaji, Muhammad. Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i. Penerjemah Masturi
Irham. Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab. Jakarta: Khalifa, 2005. Cawidu, Harifudin. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologi dengan
pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Dahwal, Sirman. Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di
Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2016. Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017.
Eoh, O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1997.
Fachrudin, Fuad Mohd. Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib. Jakarta:
Kalam Mulia, 1993.
Fajri, Maulina. Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga yang Kafir Menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qardawi. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2017.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan
Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Fath, Amir Faishol. Nadzariyat al-Wihdah al-Quraniyah Inda Ulama al-Muslimin
Wa Dawaruha fi al-Fikr al-Islam. Penerjemah Nasiruddin Abbas. The Unity
of Al-Quran. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
65
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. cet. 2. Bandung: Mandar Maju, 2003.
Hasan, Abdul Halim. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana, 2006.
Hasan, Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002.
Nasution, Rumondo. Penelitian Hukum tentang Pelaksanaan Hukum dalam
Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status
Anak. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994.
Hayatunnisa, Eka dan Anwar Hafidzi. Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui
Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam wa
Adillatuhu. Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. Universitas
Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Vol. 17 No. 1 Juni 2017.
Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Ihtiyanto. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan RI Depag, 2003. Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili.
Depok: Al-Hikam Press, 2017.
Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir. Penerjemah Arif Rahman Hakim dkk. Terjemah
Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2. Solo: Insan Kamil, 2006.
Khalaf, Abdul Wahab. Ijtihad dalam Syariat Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2015.
Khoiri, M. Alim. Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis
Komparatif Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah al-Zuhaili. Jurnal SMaRT.
Vol. 2 No. 2 Desember 2016.
Luthfi, Hanif. Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab. Jakarta: Rumah Fikih Publishing,
2018.
Mahjuddin. Masa’il al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam. Jakarta:
Kalam Mulia, 2016.
Muhajir, Noeng. Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Muhammadun. Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan
Sejarah. Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon. Misykah. Vol. 1 No.
2 Juli-Desember 2016.
Narbuko, Cholid. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. cet. 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.
Nurcholish, Ahmad. Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama. Tangsel:
Harmoni Mitra Media, 2012.
Peradilan Agama dan KHI di Indonesia. tentang “Larangan Perkawinan Beda
Agama pasal 44”. Medan: Duta Karya, 1995.
R, M. Dahlan. Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011.
Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 2017.
66
______________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jilid
3. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Pnelitian. Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Jakarta, 2010.
Suhadi. Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Syafruddin. Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir. Disertasi
S3 Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2014.
______________. Ushul Fiqh. Jilid 2. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014.
Yaqub, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits.
Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2005.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie dkk.
Fikih Islam wa Adillatuhu. Jilid 9. Depok: Gema Insani, 2011.
______________. Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.
Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Terjemah Tafsir Munir. Jilid 1. Depok:
Gema Insani, 2013.
______________. Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Jilid
1. Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.