metode istinbÂt̠ hukum wahbah...

81
METODE ISTINBT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Muhammad Ihfal Alifi NIM: 11150440000041 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M/ 1440 H

Upload: others

Post on 06-Nov-2019

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI

DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Ihfal Alifi

NIM: 11150440000041

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/ 1440 H

Page 2: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

i

i

METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI

DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Ihfal Alifi

NIM: 11150440000041

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/ 1440 H

Page 3: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

ii

ii

METODE ISTINBAT HUKUM WAHBAH ZUHAILI

DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Ihfal Alifi

NIM: 11150440000041

Di Bawah Bimbingan

Dr. H. Abdul Halim, M.Ag

NIP: 19670608 199403 1 005

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/ 1440 H

Page 4: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

iii

iii

Page 5: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

iv

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya telah

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Maret 2019

Muhammad Ihfal Alifi

Page 6: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

v

v

ABSTRAK

Muhammad Ihfal Alifi, NIM 11150440000041, METODE ISTINBAT HUKUM

WAHBAH ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA, Program Studi

Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440 H/2019 M. xiv + 69 halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat Wahbah Zuhaili sekaligus

metode istinbat hukum yang digunakan dalam persoalan perkawinan beda agama

yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim. Isu perkawinan beda

agama pada saat ini menjadi isu yang masih aktual untuk dibicarakan. Peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menyatakan bahwasanya

perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan aturan

hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan: “Perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kepustakaan (library research)

dengan mengumpulkan data primer yang dijadikan sebagai dasar/landasan dari

penelitian ini, kemudian data skunder yang berkaitan dengan tema ini dijadikan

sebagai data pendukungnya. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah

deskriptif analisis terhadap sumber data primer yakni kitab “al-Fiqh al-Islam wa

Adillatuhu” dan “al-Tafsir al-Munir” serta sumber data sekunder yang berkaitan

dengan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menurut

Wahbah Zuhaili dikelompok menjadi 3 kategori, yakni perkawinan antara pria

muslim dengan wanita musyrik, perkawinan antara wanita muslimah dengan pria

kafir, dan perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab. Dalam metode istinbat

hukum Wahbah Zuhaili menggunakan metode kompromi atas dalil yang

bertentangan (ta’arud al-adillah), yakni QS. al-Baqarah [2]: 221 dengan QS. al-

Maidah [5]: 5. Pendekatan dalam istinbat hukum tersebut menggunakan sadd al-

dzari’ah. Sehingga dalam penetapan hukumnya Wahbah Zuhaili melihat bahwa

penetapan suatu hukum itu didasarkan atas kebutuhan dan kemaslahatan di

masyarakat.

Kata Kunci: Wahbah Zuhaili, Beda Agama, Perkawinan, Istinbat Hukum.

Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag

Daftar Pustaka : 1993-2018

Page 7: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

vi

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Ungkapan tersebut, penulis ucapkan sebagai wujud puji

syukur atas selesainya, skripsi ini. Pertolongan utama dari Allah Subhanahu wa

Ta’ala merupakan jalan lapang bagi penulis dalam menyelesaikan karya akhir ini.

Salawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan Muhammad saw.

yang telah menggulung tikar-tikar kejahiliaan dan menghamparkan permadani-

permadani keislaman, dan mengajarkan kita tentang arti hidup yang sesungguhnya.

Semoga kita mendapatkan syafaat darinya di akhirat kelak. Amin.

Doa dan penyemangat dari kedua orang tua ku, yakni Ayah tercinta Khoifin

dan Ibu tercinta Umi Kulsum juga menjadi pemacu bagi penulis selama proses

pengerjaan skripsi. Karya ini, merupakan salah satu wujud bakti penulis kepada

ayah dan ibu, yang dengan kasih sayang serta ketulusannya telah membesarkan dan

mendidik penulis. Berharap buah hatinya memiliki ilmu yang bermanfaat sekaligus

sebagai ladang amal jariah, itulah pesan yang selalu disampaikan kedua orang tua

kepada tiga buah hatinya. Asa itu, menjadi penuntun bagi penulis selama menimba

ilmu di kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ketinggalan, kedua adikku, Findi Maulidiyah Alfi dan Ahmad Ziyad

Al-Kufi, yang juga menjadi penyemangat hari-hariku. Kepada merekalah,

selayaknya teladan kuberikan sebagai anak sulung agar kelak keduanya menjadi

lebih baik dariku. Meski jarak jadi pemisah, Insya Allah, ayah, ibu dan kedua

adikku, selalu berada di hati penulis.

Ucapan terimakasih, penulis juga persembahkan kepada para pihak yang

selama ini memberikan kontribusi bagi penulis sehingga bisa menuntaskan S1 dan

menyelesaikan karya ilmiah ini:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie,

S.H, M.H, M.A.

2. Ketua program studi Hukum Keluarga sekaligus sebagai dosen pembimbing

skripsi, Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., yang berkenan meluangkan waktu

untuk berbagi ide dan saran kepada penulis. Dengan kesabaran, beliau

Page 8: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

vii

vii

menuntunku untuk menyelesaikan skripsi ini dan selaku Sekretaris program

studi Hukum Keluarga, Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H.

3. Dosen Pembimbing Akademik, Bapak K.H. Dr. Juaini Syukri, Lc, M.A.,

yang berkenan untuk selalu menasihati dan membimbing selama menjalani

proses perkuliahan.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendarmakan ilmu,

pengalaman dan wawasan yang bermanfaat bagi penulis, semoga menjadi

ladang amal tak berkesudahan.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk studi

kepustakaan

6. Ibu Nurul Faizah, yang selalu memberikan motivasi dan banyak

mengajarkan hal-hal yang mendasar yang bernilai besar untuk menjalin

suatu hubungan sosial dengan baik. Kak Wahyu, Kak Nurul, untuk kalian

berdua, terbaik pokoknya. Canda dan tawa keluarga angkat ku menjadi

penyegar di tengah kepenatan.

7. Pendiri, para guru, serta seluruh santri-santri Al-Nahdlah Islamic Boarding

School Depok, yang memberikan dukungan dan permakluman yang luar

bisa kepada penulis untuk segera menyandang gelar S1. Semoga penulis

bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan Pondok dan para

santri.

8. Para Kyai dan kawan-kawan di Pondok Pesantren MQ Tebuireng, yang

telah mengajarkan bagaimana menempatkan Kalam Ilahi sebagai pelita

hidup. Tempat dimana bersemai segudang ilmu agama ini, selalu membuat

penulis rindu untuk kembali. “Matur suwun MQ.”

9. Sahabat sahabatku, Hukum Keluarga Angkatan 2015, Keluarga Besar HMI

Hukum Keluarga, Keluarga Besar Bidik Misi 2015 UIN Syarif

Hidayatullah, dan Keluarga Besar KKN SEPATU Hambaro, kebersamaan

dengan kalian layaknya sebuah keluarga, sungguh tak kan penulis lupakan.

Untuk para sohib: Fauriza Rohmi, Zaenudin, Shofan Amirudin, Ahmad

Page 9: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

viii

viii

Zulfi Aufar, Ariyall Hikam Pratama, Cak Jayyid Rosyidi, Cak Suyut,

persahabatan kita Insya Allah tetap terjaga.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang

turut serta dalam memberikan dukungan, dan motivasi bagi penulis dalam

menjalani masa studi hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak

dapat penulis sebutkan secara satu-persatu. Semoga Allah membalas kebaikan

semuanya.

Jakarta, 25 Maret 2019

Muhammad Ihfal Alifi

Page 10: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

ix

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa kata yang

ditransliterasi dari bahasa Arab-Latin. Adapun pedoman yang digunakan penulis

dalam proses transliterasi Arab-Latin adalah “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum 2017”. Berikut adalah daftar penulisan transliterasi Arab-Latin:

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

ẖ ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

Page 11: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

x

x

q qo ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrop ` ء

y ya ي

B. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal

atau monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــــــــــــــــــــــــ ـ a fathah ــــــــــــــــــــــــــــ

ـــــــــــــــــــــــــ ـ i kasrah ــــــــــــــــــــــــــــ

ـــــــــــــــــــــــــــــ ـ ــــــــــــــــــــــــ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya

adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــــــــــــ ي ـ ai a dan i ــــــــــــ

ـــــــــــــ وـــــ ـ ـــــــ au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Page 12: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

xi

xi

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــا ـ a a dengan topi di atas ـــــــــ

ـيــ ـ ـــــــ i i dengan topi di atas

ــو ـ u u dengan topi di atas ــــــــــ

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan

lam ( لا ), dialih aksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsiyyah atau

huruf qamariyyah. Misalnya:

al-ijtihad = اإلجتهاد

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

E. Tasydid (syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

.al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah = الشفعة

F. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbutah tersebut dialih

aksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbutah tersebut diikuti dengan

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat

contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syari‘ah شريعة 1

al-syari‘ah al-islamiyyah الشريعة اإلسالمية 2

muqaranat al-madzahib مقارنة المذاهب 3

G. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam

Page 13: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

xii

xii

transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri

didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap

huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري

= al-Bukhari, tidak ditulis Al-Bukhari.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meski akar kata nama tersebut

berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din

al-Raniri.

H. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman

pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

al-darurah tubihu al-mahzurat الضرورة تبيح المحظورات 1

al-iqtisad al-islami اإلقتصاد اإلسالمي 2

usul al-fiqh أصول الفقه 3

al-asl fi al-asyya’ al-ibahah األصل في األشياء اإلباحة 4

Al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5

Page 14: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

xiii

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................ ix

DAFTAR ISI .....................................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................ 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5

E. Tinjauan Kajian Terdahulu .............................................................. 5

F. Metode Penelitian ............................................................................ 7

G. Sistematika Penelitian ..................................................................... 10

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA ..................................................... 11

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama .............................................. 11

B. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik ................... 13

C. Perkawinan Seorang Muslimah dengan Laki-laki Kafir ................. 15

D. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Ahli Kitab ................ 19

BAB III BIOGRAFI SOSIO-INTELEKTUAL WAHBAH ZUHAILI ....... 27

A. Kehidupan Wahbah Zuhaili ............................................................. 27

B. Geneologi Keilmuan Wahbah Zuhaili ............................................. 30

C. Karya-karya Intelektual Wahbah Zuhaili ........................................ 32

D. Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili ...................................................... 35

Page 15: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

xiv

xiv

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBAT HUKUM YANG DIGUNAKAN

WAHBAH ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA .............. 39

A. Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili tentang Perkawinan Beda Agama

............................................................................................................... 39

B. Metode Istinbat Hukum yang Digunakan Wahbah Zuhaili dalam

Perkawinan Beda Agama ..................................................................... 48

C. Relevansi Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Perkawinan Beda Agama

............................................................................................................... 57

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 60

A. Kesimpulan ..................................................................................... 60

B. Saran ................................................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64

Page 16: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan bagian dari sunatullah yang berlaku secara umum

bagi semua makhluk yang hidup di muka bumi. Melalui proses perkawinan, baik

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan berkembang biak dengan tujuan untuk

menjaga kelestarian hidup.1 Oleh karena itu, setiap manusia yang normal dan telah

dewasa pasti akan mendambakan suatu perkawinan. Akan tetapi dalam

melaksanakan perkawinan itu tidak bisa dengan cara serampangan seperti hewan

atau binatang karena perkawinan bagi manusia mempunyai tata cara dan aturan

yang ditentukan oleh hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif.2

Dalam Islam, sebuah perkawinan dilakukan tidak hanya membahas tentang

persoalan dan tanggung jawab dua orang saja, namun di dalamnya juga membahas

tentang persoalan dua keluarga, bahkan masyarakat Islam secara keseluruhan serta

peran Allah dan Rasul-Nya, karena perkawinan merupakah bagian dari syariat

Allah dan sunah Rasul-Nya. Oleh karena itu, seorang suami dan istri dapat

menjalankan persoalan dan tanggung jawabnya manakala keduanya berasal dari

satu kelompok yang bersatu dalam pemikirannya dan apa lagi dalam urusan

agamanya. Jikalau seorang suami dan istri itu berlainan agama bahkan berlainan

bangsa tentu akan membawa kepada “conflict of law” yang akan menimbulkan

pertikaian berlanjut di dalam sebuah keluarga.3

Isu perkawinan beda agama pada saat ini menjadi isu yang masih aktual

untuk dibicarakan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

menyatakan bahwasanya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana

dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, cet. 2, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 1. 2 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di

Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2016), h. 9. 3 Fuad Mohd. Fachrudin, Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib, (Jakarta: Kalam

Mulia, 1993), h. 41.

Page 17: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

2

yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.4 Meskipun ketentuan tersebut

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak menutup kemungkinan

terjadinya perkawinan beda agama dikarenakan beragamnya agama dan aliran

kepercayaan yang ada di Indonesia.

Para ulama dalam menanggapi permasalahan perkawinan beda agama

memiliki pendapat yang berbeda-beda, ada golongan yang membolehkan dan ada

pula golongan yang mengharamkan perkawinan beda agama. Munculnya

perbedaan pemikiran tersebut dikarenakan dalil-dalil yang menyebutkan tentang

persoalan perkawinan beda agama masih sangat membutuhkan pemahaman yang

lebih mendalam dan detail. Itu artinya, belum ada kepastian hukum secara jelas,

sehingga memerlukan ijtihad dalam hukum kebolehan dan keharamannya.5

Adapun golongan ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama

adalah Atha’, Ibn ‘Umar, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, al-Hadi (salah seorang

imam Syi’ah Zaidiyah), argumentasi yang dijadikan dasar larangan perkawinan

beda agama adalah mengacu pada QS. al-Mumtahannah [60]: 10, yang mana di

dalam ayat tersebut menjelaskan tentang larangan melakukan perkawinan antara

umat Islam dengan orang kafir; QS. al-Baqarah [2]: 221 yang secara jelas

menyatakan larangan menikah dengan orang-orang musyrik. Kedua ayat tersebut

dijadikan dasar oleh golongan ini untuk menolak kebolehan perkawinan beda

agama.6

Sedangkan bagi golongan kedua, yaitu ulama yang membolehkan

perkawinan beda agama (meliputi Yahudi dan Nasrani; Rasyid Rida memasukkan

Majusi, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu sebagai Ahli Kitab), Ibn Katsir mengutip

dari pernyataan Ibn ‘Abbas yang didapatkan dari ‘Ali ibn Abi Talhah menyatakan

bahwa perempuan Ahli Kitab yang dimaksud dikecualikan dari QS. al-Baqarah [2]:

221. Gagasan yang disampaikan oleh golongan ini didukung juga oleh beberapa

4 Peradilan Agama dan KHI di Indonesia, tentang “Larangan Perkawinan Beda Agama

pasal 44”, (Medan: Duta Karya, 1995), h. 75. 5 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2003), h. 289. 6 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, (Tangsel: Harmoni

Mitra Media, 2012), h. 5.

Page 18: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

3

ulama, yaitu Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id ibn Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dahhak,

Zaid ibn Aslam, dan Rabi’ ibn Anas.7

Adanya perbedaan pandangan dikalangan, menunjukkan bahwa

penggunaan suatu dalil yang sama dalam membahas suatu isu hukum akan

melahirkan suatu produk hukum yang berbeda ketika dalil-dalil tersebut dipahami

oleh orang yang berbeda. Sehingga metode istinbat hukum yang dilakukan dalam

menggali suatu hukum amatlah menjadi kunci yang sangat penting dalam menggali

suatu produk hukum.8

Wahbah Zuhaili merupakan salah satu ulama kontemporer yang memiliki

kecerdasan dan banyak sekali mengkaji tentang permasalahan fikih kontemporer

saat ini. Salah satu karya beliau yang membuat dirinya terkenal adalah dua kitab

fenomenalnya, yaitu Usul al-Fiqh al-Islami9 dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu fi

Mukhtalif al-Madzahib.10 Selain dua karya tersebut, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah

wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj11 merupakah karya Wahbah Zuhaili yang mengkaji

tentang ayat-ayat al-Quran dengan tujuan menempatkan al-Quran dalam sebuah

ikatan yang solid dan kuat antara orang Islam dan bukan Islam.12

Dalam permasalahan perkawinan beda agama Wahbah Zuhaili

menyampaikan beberapa gagasan ulama yang dijadikan sebagai perbandingan

dalam menggali suatu produk hukum, yaitu pendapat ulama yang mengharamkan

perkawinan beda agama secara mutlak dan yang memberikan pengecualian

terhadap kebolehan menikah dengan ahli kitab. Meskipun dalam perkawinan beda

agama Wahbah Zuhaili mengambil dua pandangan dari ulama yang membolehkan

dan mengharamkan, ia tetap menentukan pendapat manakah yang menurut dirinya

7 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h. 6. 8 Ahmad Nurcholish, Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama, h. 7. 9 Kitab ini terdiri dari 2 jilid, penulisan kitab ini selesai pada tahun 1965, di dalam kitab ini

membahas tentang metodologi fikih yang dibahas secara komprehensif. 10 Kitab ini terdiri dari 10 jilid, penulisan kitab ini selesai pada tahun 1984, di dalam kitab

ini membahas tentang isu hukum kontemporer yang dipadukan dengan al-Quran, Sunah dan Mazhab

hukum. Lebih popular dengan fikih muqaranah. 11 Kitab ini terdiri dari 16 jilid, di dalamnya membahas tentang tafsir ayat-ayat al-Quran

secara komprehensif. 12 Amir Faishol Fath, Nadzariyat al-Wihdah al-Quraniyyah ‘Inda Ulama al-Muslimin Wa

Dawaruha fi al-Fikr al-Islam, Penerjemah Nasiruddin Abbas, The Unity of Al-Quran, (Jakarta

Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 276.

Page 19: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

4

dianggap sebagai pendapat yang paling kuat (rajih) dengan menggunakan metode

istinbat hukum yang sesuai dengan permasalahan perkawinan beda agama.13

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas penulis tertarik untuk

melakukan sebuah penelitian yang membahas tentang masalah tersebut dalam

sebuah kajian ilmiah yang tertuang dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul

“Metode Istinbat Hukum Wahbah Zuhali dalam Perkawinan Beda Agama”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan

terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di dalam penulisan ini penulis

hanya akan membahas bagaimana pandangan Wahbah Zuhaili dan metode istinbat

hukumnya dalam perkawinan beda agama. Adapun rumusan masalah tersebut

penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebegai berikut:

1. Bagaimana pandangan Wahbah Zuhaili dalam persoalan perkawinan beda

agama yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim, serta apa

yang menjadi dasar kebolehan dan larangannya?

2. Bagaimana metode istinbat hukum dan relevansi pemikiran Wahbah Zuhaili

dalam konteks ke-Indonesiaan yang digunakan dalam menyelesaikan

persoalan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang muslim

dengan non-muslim?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis adalah

dapat mengungkap hasil ijtihad atau istinbat hukum Wahbah Zuhaili dalam

persoalan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, penulis menyusun tujuan

penelitian ini secara rinci dalam menjawab persoalan-persoalan yang terdapat

dalam rumusan masalah, yaitu:

13 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Juz 9, (Depok: Gema Insani, 2011), h. 147.

Page 20: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

5

1. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Wahbah Zuhaili dalam

permasalahan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang muslim

dengan non-muslim, serta dalil yang menjadi dasar kebolehan dan

larangannya.

2. Untuk mengetahui dan memahami metode istinbat hukum dan relevansi

pemikiran Wahbah Zuhaili dalam konteks ke-Indonesiaan yang digunakan

dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama yang dilakukan

oleh seorang muslim dengan non-muslim.

D. Manfaat Penelitian

Segala sesuatu yang telah seseorang lakukan lazimnya pasti memiliki

maksud serta tujuan tertentu. Sebagaimana dengan penelitian yang penulis adakan

ini mempunyai manfaat tertentu, antara lain:

1. Sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kepada seluruh kalangan masyarakat

agar wawasan serta pengetahuan hukum yang dimiliki masyarakat tetap

hidup dan berkembang khusunya dalam pembahasan perkawinan beda

agama.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran bagi para sivitas akademika agar dapat

memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum yang terkait dalam

pembahasan perkawinan beda agama.

3. Manfaat bagi penulis, yaitu penelitian ini termasuk dalam bagian

pengajaran yang sangat berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap

suatu pemikiran tentang hukum perkawinan beda agama.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Banyak orang yang telah mengetahui bahwa pembahasan tentang

perkawinan beda agama merupakan suatu penelitian yang banyak sekali dilakukan

oleh para peneliti, baik dalam sebuah kajian dan karya yang dipublikasikan maupun

yang menjadi bagian dari konsumsi pribadi saja. Oleh karena itu, dalam penelitian

kali ini penulis hanya akan membahas kajian terdahulu yang ada kaitan atau

hubungan dengan pemikiran atau pandangan sekaligus metode istinbat hukum

Page 21: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

6

Wahbah Zuhaili dalam perkawinan beda agama.

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Muhammadun dalam Kajian

studi pemikiran tokoh ditulis dalam sebuah jurnal hukum yang diterbitkan pada

tahun 2016 dengan judul “Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam

Pendekatan Sejarah”. Pada penelitian ini, ia membahas tentang Pemikiran Wahbah

Zuhaili pada aspek pembaharuan hukum Islam dimana tujuan dari adanya

penelitian tersebut adalah mendapatkan sebuah bukti yang menjelaskan tentang

fleksibilitas syariat Islam dalam bidang muamalah.14

Shikhkhatul Af’idah merupakan salah satu mahasiswi yang menyelesaikan

sarjananya di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, bentuk skripsi yang

dijadikan sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjananya berjudul

“Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah al-Zuhaili”.15 Dalam skripsi

yang dia tulis di dalamnya menjelaskan sebuah kajian penafsiran yang dilakukan

oleh Wahbah Zuhaili dalam salah satu karyanya yang berjudul Tafsir al-Wasit.

Penelitian tersebut terfokus dalam sosio-historis, linguistik dan sosial

kemasyarakatan yang mempengaruhi seorang Wahbah Zuhaili dalam menulis

sebuah kitab Tafsir.

Pembahasan tentang poligami telah dibahas dalam sebuah jurnal hukum

yang diterbitkan oleh Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Vol. 17

No. 1 Juni 2017 dengan dua seorang penulis yang bernama Eka Hayatunnisa dan

Anwar Hafidzi. Sesuai dengan judul jurnal tersebut “Kriteria Poligami serta

Dampaknya melalui Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam

wa Adillatuhu”,16 yang mana dalam penelitian tersebut menjelaskan tentang

dampak adanya perilaku poligami pada zaman sekarang dengan cara

mengkontekstualisasikan sudut pandang dua kitab, yaitu Fikih Islam wa Adillatuhu

14 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon, Misykah, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2016. 15 Shikhkhatul Af’idah, Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah al-Zuhaili,

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2017. 16 Eka Hayatunnisa dan Anwar Hafidzi, Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui

Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam wa Adillatuhu, Jurnal Syariah: Jurnal

Ilmu Hukum dan Pemikiran, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Vol. 17, No. 1 Juni

2017.

Page 22: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

7

karya Wahbah Zuhaili dan Fikih Sunah karya Sayyid Sabiq.

Berkenaan dengan pemikiran Wahbah Zuhaili juga pernah dilakukan

penelitian oleh Maulina Fajri mahasisiwi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Medan tahun 2017 dengan judul “Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga

yang Kafir Menurut Wahbah Zuhaili dan Yusuf Qardawi”.17 Penelitian ini di

dalamnya terfokus pada pembahasan dalil-dalil yang digunakan oleh Wahbah

Zuhaili dan Yusuf Qardawi dalam menguatkan argumentasinya, yang mana akhir

dari penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa Wahbah Zuhaili mendasarkan

pendapatnya dengan hadis Nabi yang melarang muslim mewarisi harta orang kafir

ataupun sebaliknya. Sedangkan bagi Yusuf Qardawi mendasarkan pendapatnya

dengan hadis yang memberikan kebolehan mewarisi harta keluarga yang kafir atas

dasar kemaslahatan.

Pada tahun 2008 seorang peneliti yang bernama Syafruddin telah

menyelesaikan pendidikan S3 di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan karya Disertasi yang berjudul “Penafsiran Ayat

Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir”.18 Di dalam penelitiannya, dia

membahas tentang perbedaan penafsiran Wahbah al-Zuhaili dengan mufasir ahkam

terdahulu sekaligus karakteristik penafsiran ayat ahkam dalam kitab al-Tafsir al-

Munir.

Berdasarkan kajian-kajian terdahulu yang telah penulis sampaikan di atas

baik itu berupa jurnal, skripsi ataupun disertasi, maka jelaslah bahwa penelitian

yang akan dikaji dan diteliti ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya.

Sehingga menurut penulis kajian ini menjadi layak dan patut untuk diteliti sebagai

bentuk sumbangsih pemikiran dan karya untuk khalayak umum.

F. Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis termasuk dalam kategori

17 Maulina Fajri, Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga yang Kafir Menurut

Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qardawi, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2017. 18 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, Disertasi S3

Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Page 23: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

8

penelitian kepustakaan. Dalam penelitian kepustakaan dibutuhkan suatu metode

yang akurat agar hasil dari penelitian tersebut dapat diterima secara akademik dan

ilmiah. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini adalah Jenis Penelitian Kepustakaan (library research).19 Pada

umumnya jenis penelitian ini sering digunakan dalam metode penelitian

kualitatif.20 Sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa metode

penelitian secara kualitatif tidak bisa lepas dari kepustakaan.

Langkah awal dalam penggunaan metode ini adalah dengan

mengumpulkan data primer yang dijadikan sebagai dasar/landasan dari

penelitian ini, kemudian data skunder yang berkaitan dengan tema

penelitian ini dijadikan sebagai data pendukungnya.21

Oleh karena itu, sumber-sumber data yang diperlukan dalam proses

penyelesaian penelitian ini terdapat dalam buku-buku yang relevan terhadap

permasalahan yang akan dibahas. Adapun sumber tersebut nantinya diambil

dari beberapa karya yang membicarakan tentang perkawinan beda agama,

metode istinbat hukum, sekaligus pemikiran dan karya Wahbah Zuhaili.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pemikiran Wahbah Zuhaili

tentang perkawinan beda agama, sedangkan yang menjadi Objek utama

dalam penelitian ini adalah karya-karya Fikih Wahbah Zuhaili dalam bidang

perkawinan beda agama.

3. Sumber Data

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa penelitian ini

19 Penelitian kepustakaan (library research) adalah kegiatan untuk menghimpun informasi

yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi objek penelitian. Lihat juga Abudin Nata,

Metodologi Studi Islam, cet. 9, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 173. 20 Penelitian Kualitatif adalah jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif

dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran. Lihat juga Yayan Sopyan, Pengantar

Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26. 21 Cholid Narbuko, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), h. 41.

Page 24: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

9

merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana sumber data22

yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam dua

kelompok, yaitu Data Primer23 dan Data Sekunder.24

Adapun sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah “al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu” dan “al-Tafsir al-Munir”,

sedangkan sumber data sekunder yang dijadikan sebagai data pendukung

didapatkan dari karya-karya Wahbah Zuhaili, dan literatur-literatur lain

yang berhubungan dengan perkawinan beda agama.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik dokumentasi,25 yaitu dengan membaca, mempelajari serta

menganalisis berbagai data, diantaranya data primer yang telah dijelaskan

di atas dengan ditambah data sekunder yang digunakan sebagai data

pendukungnya.

5. Teknik Analisis Data

Metode yang dipakai untuk menganalisis data-data yang tersedia

dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan

dengan cara mengidentifikasi, menyusun, mengolah serta menguraikan

secara sistematis. Kemudian langkah selanjutnya adalah menganalisis data

yang tersedia dengan menjabarkan, menginterpretasikan dengan penafsiran

yang sistematis, sosiologis, historis, dan logis. Kemudian untuk

mendapatkan sebuah kesimpulan yang sesuai dalam penelitian ini penulis

akan menyajikannya menggunakan metode deduktif.26

22 Sumber data merupakan subjek dari mana data itu didapatkan. Lihat juga Suharsimi

Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), h. 107. 23 Data Primer adalah data yang didapatkan atau dihimpun langsung di lapangan oleh orang

yang melakukan penelitian. Lihat Juga Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan

Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 82. 24 Data Sekunder adalah data yang didapatkan atau dihimpun oleh orang yang melakukan

penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Lihat Juga Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi

Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, h. 58. 25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, h. 135. 26 Noeng Muhajir, Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 76.

Page 25: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

10

6. Pedoman Penulisan Data

Penulisan penelitian ini berpedoman pada ketentuan penulisan

skripsi yang telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2017.27

G. Sistematika Penelitian

Pada penyusunan skripsi ini, penulis akan membahas dan menguraikan

permasalahan yang menjadi fokus penelitian menjadi 5 (lima) bab, yang mana pada

setiap bab berisikan sub-sub bab. Proses penyusunan seperti ini dimaksudkan untuk

dapat menguraikan setiap permasalahan dengan baik dan terperinci. Adapun

sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab Pertama, di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, di dalamnya membahas tentang pengertian perkawinan beda

agama pada umumnya serta berbagai macam pandangan ulama-ulama mengenai

perkawinan beda agama.

Bab ketiga, di dalamnya membahas tentang biografi Wahbah Zuhaili,

dimulai dari kehidupan, keilmuan, karya-karya, dan metode ijtihadnya.

Bab keempat, di dalamnya membahas tentang pemikiran Wahbah Zuhaili

dalam perkawinan beda agama, dengan disertai landasan/dasar kebolehan dan

larangan serta metode istinbat hukum dan relevansi pemikirannya.

Bab kelima, di dalamnya membahas kesimpulan dari keseluruhan

pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, disertakan pula saran-saran yang

dapat disampaikan dalam penelitian ini.

27 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan

Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

Page 26: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

11

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Salah satu jalan yang diberikan Allah kepada umat manusia dengan tujuan

untuk berkembang biak dan melestarikan kehidupan adalah sebuah perkawinan.

Perkawinan merupakan sunatullah yang berlaku pada semua makhluk ciptaan-Nya,

baik dari golongan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dalam literatur

fikih yang berbahasa Arab kata perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua

kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج). Kedua kata inilah yang sering dipakai di

dalam kehidupan sehari-hari orang Arab sekaligus banyak terdapat di dalam al-

Quran dan Hadis Nabi.28

Menurut para ahli ilmu usul fikih dan bahasa, arti kata nikah secara hakiki

berarti hubungan kelamin (وطء) sedangkan secara majasi menunjukkan arti akad

Adanya dua arti yang terkandung dalam kata nikah menimbulkan perbedaan 29.(عقد)

pendapat. Menurut ulama Syafi’iyyah arti kata nikah secara hakiki diartikan sebagai

akad, sedangkan menurut ulama Hanafiyyah secara hakiki kata nikah tersebut

mengandung makna hubungan kelamin.30

Dalam kitab-kitab, penjelasan tentang makna pernikahan secara terminologi

terdapat beberapa rumusan yang berbeda, perbedaan ini disebabkan karena berbeda

dalam sudut pandang. Menurut ulama Syafi’iyyah pernikahan adalah suatu akad

yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan

lafaz nikah atau zawaj. Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah pernikahan diartikan

sebagai sebuah akad yang berguna untuk memiliki, bersenang-senang dengan

sengaja. Adapun pandangan ulama Malikiyyah terhadap pengertian pernikahan

adalah suatu akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita.

28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 35. 29 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, (Depok: Gema Insani, 2011), h. 39. 30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, h. 37.

Page 27: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

12

Secara esensinya diartikan bahwa dengan adanya akad maka seseorang akan

terhindar dari adanya bahaya fitnah perbuatan haram (zina).31

Setelah diketahui pengertian yang berhubungan dengan perkawinan,

selanjutnya adalah masuk dalam pengertian perkawinan beda agama. Pengertian

perkawinan beda agama pada umumnya diartikan sebagai sebuah perkawinan yang

dilakukan oleh dua orang yaitu laki-laki dan perempuan yang berbeda agama,

kepercayaan, atau paham.32

Sedangkan menurut Abdurrahman yang disebut dengan perkawinan beda

agama adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh orang yang memeluk

agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan lainnya.33 Sehingga dapat

disimpulkan mengenai pengertian tentang persoalan perkawinan beda agama

adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang antara laki-laki dan

perempuan yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama

yang dianutnya.

Persoalan klasik pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin hingga saat ini

yang masih menjadi pembahasan yang menarik dalam kajian fikih salah satunya

adalah persoalan perkawinan beda agama. Pada zaman kekhalifahan Umar ibn

Khattab perkawinan beda agama mengalami sedikit perubahan. Menurut Umar

perkawinan beda agama tidak lagi menjadi suatu perkawinan yang dibolehkan,

argumentasi yang disampaikannya didasarkan atas kondisi pada waktu itu, yaitu

untuk menjaga fitnah bagi umat Islam dengan kekhawatirannya terhadap anak yang

dilahirkan dari perkawinan beda agama.34

Masuk pada era globalisasi yang sudah semakin berkembang dengan

mobilitas manusia yang pesat dan tinggi menjadikan persoalan perkawinan beda

agama mudah untuk dilakukan pada lapisan masyarakat, suku, bangsa dan

kewarganegaraan. Oleh karena itu agar masyarakat lebih paham tentang

31 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31. 32 Mahjuddin, Masa’il al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam

Mulia, 2016), h. 44. 33 O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo, 1997), h. 35. 34 Rumondo Nasution, Penelitian Hukum tentang Pelaksanaan Hukum dalam Praktek

Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak, (Jakarta: Departemen

Kehakiman, 1994), h. 51.

Page 28: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

13

perkawinan beda agama pada penjelasan berikutnya akan dibahas tentang

perkawinan beda agama dalam 3 bagian, yaitu perkawinan seorang muslim dengan

wanita musyrik, perkawinan seorang muslimah dengan pria kafir, dan perkawinan

seorang muslim dengan wanita ahli kitab.

B. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik

Islam datang sebagai suatu agama yang dapat memberikan Rahmat untuk

seluruh alam, sehingga tujuan dari adanya Islam adalah dapat memberikan

kedamaian pada seluruh alam. Dalam al-Quran telah banyak dijelaskan bahwa tidak

ada larangan bagi umat Islam untuk dapat berbuat baik dan memberikan hartanya

kepada siapapun termasuk kepada orang yang berbeda agama, selama orang-orang

tersebut tidak dalam kondisi memerangi atau berencana mengusir kaum muslim

dari negaranya.35 Namun, Allah memberikan pengecualian terhadap persoalan

perkawinan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala QS. al-Baqarah [2]:

221.

شركة ولن م ؤمنة خير م مة م

ولأ ٱلمشركت حت ى يؤمن عجبتكم ولا تنكحوا

و أ

عجبكم شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م ٱلمشركين حت ى يؤمنوا ولا تنكحوا

يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة بإذنهۦ ويبي ن ء ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ول أ ۦ ل ايته نلن ا

رون لعنل هم يتذك Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-

orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia

menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan

ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-

perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-

Baqarah [2]: 221)

35 Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid IV, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-‘Amiyah,

1998), h. 1773.

Page 29: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

14

Ayat di atas diturunkan untuk menjelaskan persoalan tentang keharaman

adanya perkawinan antara seorang muslim dengan wanita musyrik. Adapun sebab

turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan peristiwa Ibn Abi Martsad al-Ghinawi

ketika diutus oleh Rasulullah menuju ke Makkah, di sana dia bertemu dengan

seorang wanita musyrik yang bernama Anaq, yang sudah lama berkenalan

dengannya pada zaman jahiliah. Wanita musyrik yang bernama Anaq tersebut

meminta kepada Ibn Abi Martsad al-Ghinawi untuk menjadikannya sebagai

seorang istrinya. Namun, Ibn Abi Martsad tidak secara spontan memberikan

jawaban atas permintaan wanita musyrik tersebut. Kemudian dia menanyakannya

kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berada di Madinah.

Berdasarkan kasus inilah QS. al-Baqarah [2]: 221 diturunkan.36

Pada QS. al-Baqarah [2]: 221 ini dimulai dengan kata wala tankihu ( وال

.yang memiliki makna janganlah kamu nikahi atau janganlah kamu kawini (تنكحوا

Hukum larangan yang terkandung di dalam ayat ini secara umum dibebankan

kepada semua umat muslim tanpa terkecuali. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah

melarang seluruh umat muslim melakukan perkawinan dengan wanita-wanita

musyrik.37 Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ali al-Sabuni dalam kitabnya,

hukum melakukan perkawinan dengan wanita-wanita musyrik adalah haram,

sebagaimana perkawinan yang dilakukan terhadap wanita majusi dan para

penyembah berhala. Menurut Ali al-Sabuni, yang dimaksud dengan musyrik dalam

ayat tersebut adalah orang yang selain dari agama samawi, dan yang tidak beriman

kepada Allah. Sebagaimana orang-orang majusi dan penyembah berhala.38

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata al-

musyrikat yang dimaksud dalam ayat tersebut. Menurut Sayyid Sabiq, wanita

musyrik adalah seorang wanita yang tidak memiliki agama, segala sesuatu yang

dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni

khurafat atau lamunan dan bayangan bisikan setan.39 Sedangkan menurut Jumhur

36 Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85. 37 Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, h. 86. 38 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan

Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008),

h. 199. 39 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011), h. 102.

Page 30: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

15

ulama, lafal “al-musyrikat” yang ada pada ayat tersebut tidak mencakup kepada

golongan ahli kitab. Pendapat jumhur ulama didasarkan pada firman Allah QS. al-

Baqarah [2]: 105.

ل عنلي ن ينز هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين أ

ا يود ٱل ذين كفروا من أ ن خير م كم م

وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ب كم وٱلل ن ر ذو ٱلفلل ٱلعييم م Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada

menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan

Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya

(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Baqarah [2]: 105)

Pada firman Allah tersebut terdapat huruf ataf berupa wawu yang berfungsi

menghubungkan dua hal yang berlainan, yaitu min ahl al-kitab wala al-musyrikina

,Maka dapat diambil sebuah kesimpulan secara zahir .(من اهل الكتاب وال المشركين)

bahwa lafadz al-musyrikat tidak mencakup ahli kitab.40 Demikian juga sama halnya

dengan pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Abduh, menurut dia wanita-

wanita musyrik adalah wanita selain dari golongan ahli kitab.41

Berdasarkan beberapa pendapat yang disampaikan oleh beberapa ulama di

atas, maka dapatlah diambil sebuah garis besar tentang makna kata al-musyrikat,

yaitu orang yang menyembah kepada berhala (al-Watsaniyyah), atheis

(zindiqiyyah), orang yang murtad, penyembah api (majusiyyah).42

Dengan demikian, hukum perkawinan yang dilakukan antara seorang

muslim dengan wanita musyrik adalah haram. Meskipun wanita musyrik tersebut

sangat mengagumkan, baik karena wajahnya, keturunannya, maupun kekayaannya.

C. Perkawinan Seorang Muslimah dengan Laki-laki Kafir

Begitu banyaknya seorang wanita muslimah yang tergoda oleh laki-laki

kafir karena faktor ketampanan, kekayaan serta keturunannya menjadikan seorang

40 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan

Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 200. 41 Muhammad Abduh, ‘Amal al-Kamilah li al-imam Muhammad Abduh, Juz IV, (Kairo:

Dar al-Syuruk, 1993), h. 583. 42 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, h. 99.

Page 31: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

16

wanita muslimah tersebut rela untuk menjadi bagian dari hiduprnya atau bisa

disebut sebagai istri dari laki-laki tersebut. Dalam persoalan ini, ulama telah sepakat

bahwasanya perkawinan yang dilakukan oleh wanita muslimah dengan seorang

laki-laki kafir, baik dia termasuk dari golongan ahli kitab atau bukan ahli kitab

(musyrik) hukumnya adalah haram.43 Jika dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan

maka laki-laki pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa seperti kitab suci,

yaitu Budha, Hindu, atau pemeluk agama dengan kepercayaan lainnya juga haram

hukumnya.

Al-Quran secara jelas menyebutkan dalil tentang keharaman perkawinan

seorang muslimah dengan laki-laki non-muslim, yaitu pada QS. al-Baqarah [2]:

22144 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 10.

عنلم بإيمن أ ٱلل ءكم ٱلمؤمنت مهجرت فٱمتحنوهن ها ٱل ذين ءامنوا إذا جا ي

أ ي هن

ل هم ولا هم يحنل ون ل ار لا هن حل فإن عنلمتموهن مؤمنت فنلا ترجعوهن إلى ٱلكف هن

ولا جورهن أ ءاتيتموهن إذا ن تنكحوهن

ولا جناح عنليكم أ نفقوا

أ ا وءاتوهم م

بعصم ٱلكوافر وس نفقتم وليس ئ تمسكوا أ ما ئ نلوا لكم حكم ٱلل ذ نفقوا

أ ما نلوا

عنليم حكيم بينكم يحكم وٱلل

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)

mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah

43 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 27. 44 QS. al-Baqarah [2]: 221

عجبتكم ول شركة ولو أ

ن م ؤمنة خير م مة م ولأ ؤمن خير ا تنكحوا ولا تنكحوا ٱلمشركت حت ى يؤمن ولعبد م ٱلمشركين حت ى يؤمنوا

يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفر ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ولعجبكم أ

شرك ولو أ ن م م رون لعنل هم يت ة بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا ذك

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik

hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,

walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan

ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)

Page 32: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

17

mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu

kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada

halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi

mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka

bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada

mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)

dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah

kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.

Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10)

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Syaikhani yang didapatkan

sumber beritanya dari al-Miswar ibn Marwan ibn Ahkam beliau menjelaskan,

bahwa sebab diturunkannya ayat ini adalah pada waktu setelah Rasulullah selesai

mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy di dalam naskah Hudaibiyah,

kemudian datanglah Ummu Kultsum binti ‘Uqbah dari Makkah. Tujuan

kedatangannya adalah untuk berhijrah kepada Rasulullah. Lalu keluarganya datang

memintanya. Namun dia berkata: Ya Rasulullah, aku ini adalah seorang wanita,

sedangkan kondisi lemah yang dimiliki seorang wanita telah engkau maklumi. Lalu

bagaimana mungkin engkau akan mengembalikan aku kepada kaum kuffar yang

justru mereka akan mengganggu keagamaanku, dan tentu aku tidak akan tabah?.

Maka Rasulullah menjawab kepada keluarga Hindun: “Perjanjian itu berlaku untuk

kaum pria, bukan untuk kaum wanita.” Yang kemudian ayat ini turun

memerintahkan agar wanita-wanita tersebut tidak dikembalikan lagi ke Makkah

jika mereka benar-benar telah beriman.45

Kandungan ayat di atas menjelaskan tentang larangan melakukan

perkawinan dengan orang-orang kafir, baik wanita maupun laki-laki. Tetapi jika

mereka beriman kepada Allah maka mereka halal untuk dinikahi.

Batasan tentang istilah kafir dalam pandangan para ulama tidak terlalu

menjadi perdebatan, sebagaimana para ulama berbeda pendapat dalam pemberian

batasan tentang iman, jika pembenaran (al-Tashdiq) terhadap Allah dan Rasul-Nya

serta ajaran-ajaran yang dibawanya adalah maksud dari arti kata iman, maka kata

kafir diartikan sebagai suatu bentuk pendustaan (al-Takdzib) terhadap Allah dan

45 Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Penerjemah Tim Abdul Hayyie,

Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Quran, (Depok: Gema Insani, 2008), h. 567.

Page 33: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

18

Rasul-Nya, serta ajaran-ajaran yang dibawa olehnya. Demikian batasan yang paling

umum dan sering digunakan dalam pembahasan kitab-kitab akidah.46

Dengan demikian, definisi yang tepat diberikan atas orang-orang kafir

adalah orang-orang yang menolak agama Allah, menolak kemahaesaan Allah,

Kenabian dan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, hal tersebut terjadi karena

tertutupnya mata, telinga dan hati mereka untuk dapat mengakui agama Allah.

Sebagaimana firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 7.47

Orang musyrik dan ahli kitab dalam persoalan ini masuk dalam golongan

orang-orang yang kafir, kenapa demikian?. Alasannya adalah sebagaimana telah

disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 105, bahwa yang masuk dalam kategori

orang kafir adalah dari ahli kitab dan orang-orang musyrik.48 Meskipun ahli kitab

masuk dalam kategori orang kafir, namun dalam penjelasan QS Ali Imran [3]: 199

memberikan pengertian yang berbeda tentang ahli kitab.49 Dalam kandungan ayat

tersebut dijelaskan bahwa tidak semua ahli kitab itu sama, diantara golongan ahli

kitab ada juga yang beriman, walaupun kebanyakan dari mereka kafir. Sehingga

secara eksplisit ayat tersebut menerangkan bahwasanya ada pembagian term

tentang kafir.

46 Harifudin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologi dengan

pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998) h. 6. 47 QS. al-Baqarah [2]: 7

بصرهم غشو عنلى قنلوبهم وعنلى سمعهم وعنلى أ ة ولهم عذاب عييم ختم ٱلل

Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.

Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah [2]: 7) 48 QS. al-Baqarah [2]: 105

ب ن ر ن خير م ل عنليكم م ن ينز هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين أ

ا يود ٱل ذين كفروا من أ كم و م وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ذو ٱلل

ٱلفلل ٱلعييم Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan

diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang

dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

(QS. al-Baqarah [2]: 105) 49 QS. Ali Imran [3]: 199

نزل إليهم خ أ نزل إليكم وما

وما أ هل ٱلكتب لمن يؤمن بٱلل

جرهم إون من أ

ئك لهم أ ول

أ ثمنا قنلينلا لا يشترون بايت ٱلل شعين لل

سريع ٱلحساب عند رب هم إن ٱلل

Artinya: “Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada

apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah

hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka

memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali

Imran [3]: 199)

Page 34: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

19

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dapat diambil

sebuah kesimpulan bahwa larangan perkawinan dengan orang kafir dalam QS. al-

Mumtahanah [60]: 10 lebih ditekankan kepada seorang wanita muslimah dengan

laki-laki kafir. Sedangkan untuk perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli

kitab boleh dilakukan dengan pembatasan kata al-muhsanat.

Adapun argumentasi yang disampaikan oleh Sayyid Sabiq tentang hukum

keharaman melakukan perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki kafir

adalah sebagai berikut:50

1. Orang Islam tidak boleh tunduk dibawah kuasa orang kafir, sebagaimana

firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 41.51

2. Seorang laki-laki yang kafir tidak akan mau mengerti terhadap agama

istrinya yang muslimah, namun malah laki-laki tersebut akan mendustakan

kitab dan mengingkarinya. Sedangkan jika laki-laki muslim menikah

dengan wanita ahli kitab, maka laki-laki tersebut akan mau mengerti agama,

mengimani kitab, sekaligus nabi dari agama istrinya sebagai bagian dari

keimanannya. Karena di dalam agama Islam dijelaskan tidak akan sempurna

keimanan seseorang tanpa adanya keimanan terhadap kitab-kitab dan nabi-

nabi terdahulu.

3. Dalam sebuah rumah tangga yang terbentuk dari perkawinan beda agama,

pasangan suami istri tidak akan mungkin tinggal dan hidup (bersama)

karena perbedaan yang jauh.

D. Perkawinan Seorang Muslim dengan Wanita Ahli Kitab

Keharaman terhadap perkawinan yang dilaksanakan antara wanita

muslimah dengan seorang laki-laki ahli kitab sudah tidak diragukan lagi. Namun

permasalahannya adalah bagaimana dengan hukum seorang laki-laki muslim

50 Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar, (Yogyakarta: LKiS, 2006), 37. 51 QS. al-Nisa’ [4]: 41

ة بشهيد وجئنا بك م أء شهيدا فكيف إذا جئنا من كل ؤلا عنلى ه

Artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang

saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas

mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. al-Nisa’ [4]: 41)

Page 35: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

20

menikah dengan wanita ahli kitab?. Menurut pandangan beberapa ulama mazhab,

yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berempat telah

bersekapat bahwa hukum mengenai perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli

kitab adalah boleh.52 Menurut Yusuf Qardawi, hukum kebolehan perkawinan

tersebut didasarkan atas dalil al-Quran yang menyatakan bahwa ahli kitab diberikan

keistimewaan dalam hal muamalah, karena ahli kitab merupakan serumpun dengan

agama Islam, yaitu sama-sama agama samawi. Meskipun dalam praktiknya ahli

kitab pada zaman Nabi sudah dalam keadaan musyrik. Tetapi al-Quran tetap

membolehkannya.53 Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah QS. al-Maidah

[5]: 5.

ل هم ل كم وطعامكم حل وتوا ٱلكتب حل ي بت وطعام ٱل ذين أ حل لكم ٱلط

ٱليوم أ

وتوا وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱل ذين أ

خدان ومن يكفر ٱلكتب من قب نلكم محصنين غير مسفحين ولا مت خذي أ

ألخرة من ٱلخسرين بٱلإيمن فقد حبط عمنلهۥ وهو فى ٱArtinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)

orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)

bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan

diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan

di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah

membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud

berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir

sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya

dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah [5]: 5)

Istilah tentang wanita ahli kitab dalam ayat ini memunculkan sebuah

permasalahan, yakni siapakah yang dimaksud dengan ahli kitab, dan apakah sama

ahli kitab yang disebutkan dalam QS. al-Maidah [5]: 5 tersebut dengan ahli kitab

pada era sekarang?.

52 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, (Jakarta: Rumah Fikih Publishing, 2018),

h. 32. 53 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 6.

Page 36: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

21

Kata yang menyebutkan tentang penjelasan ahli kitab di dalam al-Quran

ditemukan sebanyak 31 kata pada 9 surat.54 Secara etimologi kata ahli kitab itu

tersusun dari dua susunan kata, yaitu kata ahl dan al-kitab. Kata ahl termasuk

bagian dari kalimat isim (kata benda) yang menunjukkan makna famili, keluarga,

kerabat. Sedangkan kata al-Kitab memiliki makna kitab. Maka makna ini termasuk

makna secara umumnya, adapun makna khusus dari kata ahl al-kitab ini adalah

sebuah kitab suci. Sehingga jikalau kedua kata tersebut disambungkan, maka

pemaknaan yang paling sesuai adalah dilihat dari segi bahasanya, yaitu orang-orang

yang beragama sesuai dengan al-Kitab.55

Adapun pembatasan terhadap siapa yang dimaksud ahli kitab mengalami

perkembangan dari masa ke masa, menurut Imam Abu Hanifah dan Ulama lain dari

Mazhab Hanafi serta sebagian dari Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa yang

dimaksud dengan ahli kitab adalah setiap orang yang mempercayai salah seorang

Nabi, atau kitab yang pernah Allah turunkan, maka orang tersebut masuk dalam

kategori ahli kitab. Sedangkan bagi Imam Abu Hanifah dan Ulama yang lainnya,

pngertian tentang siapa ahli kitab itu tidak terbatas dalam hal kelompok penganut

agama Yahudi dan Nasrani saja.56

Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh jumhur ulama serta Imam

Syafi’i, bahwa seorang yang masuk dalam kategori ahli kitab hanyalah dari

pengikut golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil.57 Sedangkan menurut ulama

Syafi’iyyah golongan Yahudi dan Nasrani yang bukan dari Bani Israil itu

dipisahkan lagi menjadi empat kelompok. Pertama, yang masuk ke dalam Yahudi

atau Nasrani sebelum kedua agama itu mengalami perubahan. Kedua, orang yang

masuk ke dalam kedua agama tersebut setelah mengalami perubahan namun dia

tidak terlibat dengan perubahan itu. Ketiga, orang yang masuk ke dalam kedua

agama tersebut setelah mengalami perubahan dan setelah turunnya agama Islam.

Keempat, orang yang tidak diketahui kapan mereka masuk ke dalam agama Yahudi

54 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 15. 55 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 22. 56 Ali Mustafa Yakub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits, (Jakarta:

Pustaka Darus Sunnah, 2005), h. 21. 57 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 23.

Page 37: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

22

dan Nasrani tersebut. Adapun dari empat kelompok di atas yang masih diakui

sebagai bagian dari ahli kitab adalah kelompok pertama dan kedua.58 Pemahaman

M. Quraish Shihab yang didasarkan pada QS. al-An’am [6]: 15659 lebih cenderung

memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah semua

penganut agama Yahudi dan Nasrani (Kristen), kapan, dimanapun dan dari

keturunan siapapun.60

Selain dari kedua agama di atas, ulama berbeda pendapat dalam

menempatkan kedudukannya sebagai ahli kitab atau tidak. Bagi ulama Hanafiyyah,

agama Majusi tidak termasuk dalam bagian ahli kitab, tetapi memasukkan agama

yang mengikuti Zabur Nabi Daud dan yang berpegang kepada mushaf Ibrahim dan

Syis sebagai golongan ahli kitab. Sedangkan ulama yang lain termasuk di dalamnya

ulama Zahiriyyah memasukkan agama Majusi ke dalam ahli kitab alasannya karena

para penganut agama Majusi dikenakan kewajiban membayar jizyah sebagaimana

berlaku terhadap Yahudi dan Nasrani.61

Sehingga menurut penulis, berdasarkan firman Allah QS. Ali Imran [3]:

20,62 di mana ayat ini ditujukan pada ahli kitab di masa Rasulullah. Padahal ajaran-

ajaran yang hidup pada masa itu sudah mengalami naskh wa tabdil (penghapusan

dan penggantian). Maka dapat disimpulkan bahwa siapa saja orang yang

menisbatkan dirinya kepada Yahudi dan Nasrani termasuk dalam golongan ahli

kitab.63

58 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, h. 134. 59 QS. al-An’am [6]: 156

ئفتين من قبنلنا إون كن ا عن نزل ٱلكتب عنلى طا أ ن تقولوا إن ما

دراستهم لغفنلين أ

Artinya: “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya

diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan

apa yang mereka baca.” (QS. al-An’am [6]: 156) 60 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2017), 198. 61 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, h. 135. 62 QS. Ali Imran [3]: 20

وتوا ٱلكتب …وقل ل نل ذين أ

Artinya: “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imran [3]: 20) 63 Hanif Luthfi, Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab, h. 24.

Page 38: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

23

Dengan demikian, dalam menyikapi persoalan tentang perkawinan seorang

muslim dengan wanita ahli kitab para ulama fikih terbagi menjadi dua golongan.

Golongan pertama, yaitu para ulama yang berpendapat bahwa seorang muslim

diperbolehkan untuk perkawinan dengan wanita ahli kitab, dan Golongan kedua

adalah para ulama yang berpendapat bahwa hukum perkawinan seorang muslim

dengan wanita ahli kitab adalah haram.

Pendapat tentang kebolehan perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli

kitab dikemukakan oleh Muhammad Abduh, bahwa kehalalan yang diberikan

kepada seorang muslim menikahi wanita ahli kitab itu merujuk kepada QS. al-

Maidah [5]: 5 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Menurut Muhammad

Abduh seharusnya tidak perlu dikhawatirkan atas pengaruh ajakan dari istrinya

untuk mengikuti ajaran agamanya, karena pada dasarnya seorang laki-laki memiliki

watak yang lebih keras daripada seorang wanita, sehingga sangat kecil

kemungkinan seorang muslim tersebut untuk ikut ke dalam ajaran agama wanita

ahli kitab.64 Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh M. Quraish Shihab,

toleransi atas kebolehan perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli kitab

merupakan sebuah jalan keluar yang sangat mendesak pada waktu itu. Di mana

pada waktu itu kaum muslimin sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa

mampu kembali kepada keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah.65

Adapun dari golongan sahabat yang juga memperbolehkan perkawinan

seorang muslim denga wanita ahli kitab adalah Usman ibn Affan, Talhah, Huzaifah,

Ibn Abbas, dan Jabir. Sedangkan dari golongan tabiin yang juga membolehkan

adalah Sa’id ibn Musayyab, Said ibn Zubair, Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah,

Sya’bi, al-Dahhak, dan banyak dari kalangan ahli fikih yang sependapat dengan

ini.66

Adapun argumentasi yang digunakan oleh para sahabat, tabiin dan ulama

dalam mempertahankan pendapatnya, yaitu Pertama, mereka mendasarkan

64 Muhammad Abduh, Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilmu wa al-Madaniyah, (Kairo:

Dar al-Manar, 1373 H), h. 97. 65 M. Quraish Shihah, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 3,

(Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), h. 29. 66 Muhammad Baltaji, Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i, Penerjemah Masturi Irham,

Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab, (Jakarta: Khalifa, 2005), h. 323.

Page 39: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

24

pendapatnya atas QS. al-Maidah [5]: 5 yang menjelaskan bahwa ahli kitab tidak

termasuk dalam golongan orang musyrik sebagaimana dijelaskan dalam firman-

Nya QS. al-Bayyinah [98]: 1.67 Kedua, mereka melakukan penguatan dalil QS. al-

Maidah [5]: 5 tersebut tidak dapat di-nasakh denga QS. al-Baqarah [2]: 221, karena

berdasarkan turunnya QS. al-Baqarah [2]: 221 diturunkan lebih dahulu daripada

QS. al-Maidah [5]: 5, karena menurut kaidah fikihnya sesuatu yang datang di akhir

itulah yang menasakh ayat turun sebelumnya dan bukan sebaliknya. Sehingga

hukum kebolehan dalam surat al-Maidah masih tetap berlaku.68 Ketiga, berpegang

atas fakta historis, yakni terjadinya perkawinan antara Usman dengan Nailah binti

Firafisah, kemudian ia masuk Islam, serta perkawinan yang dilakukan oleh

Huzaifah dengan wanita Yahudi.69

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada golongan yang kedua

yang tidak setuju dengan hukum kebolehan perkawinan seorang muslim dengan

wanita ahli kitab, diantaranya adalah golongan Syi’ah Imamiyyah dan Sayyid

Qutub. Menurutnya ahli kitab yang dimaksud merupakan bagian dari orang-orang

musyrik, pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibn Umar ketika beliau ditanya

tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nasrani.70 Adapun dalil al-

Quran yang dijadikan argumentasi bahwa orang ahli kitab itu musyrik adalah QS.

67 QS. al-Bayyinah [98]: 1

ين حت هل ٱلكتب وٱلمشركين منفك تيهم ٱلبي نة لم يكن ٱل ذين كفروا من أ

ى تأ

Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka)

tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. al-

Bayyinah [98]: 1) 68 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dan

Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 201. 69 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 7. 70 Jawaban yang disampaikan oleh Ibn Umar adalah berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221

dan ditambahkan dengan perkataan “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar pada

anggapan seorang wanita (Nasrani) yang menganggap bahwa Isa adalah Tuhannya, padahal Isa

adalah hanya seorang manusia biasa dan termasuk hamba Allah”. Lihat juga Ibn Katsir, Tafsir Ibn

Katsir. Penerjemah Arif Rahman Hakim dkk. Terjemah Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2, (Solo: Insan

Kamil, 2006), h. 28.

Page 40: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

25

al-Taubah [9]: 3071 serta QS. al-Mumtahanah [60]: 10.72

Salah satu seorang sahabat Nabi yang berkesempatan menjadi Khulafaur

Rasyidin yaitu Umar ibn Khattab juga berpendapat tentang perkawinan seorang

muslim dengan wanita ahli kitab. Pada waktu itu beliau menyampaikan kepada

seluruh sahabat yang telah melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab agar

menceraikan istri mereka. Kemudian seluruh sahabat menceraikan istrinya kecuali

Hudzaifah. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia”. Maka

Hudzaifah bertanya kepadanya, “Apakah dia haram?”. Lalu Umar menjawab,

“Tidak, akan tetapi aku merasa khawatir jika terjadi pelacuran dari mereka”.

Berdasarkan atsar tersebut terlihat jelas bahwa Umar melarang perkawinan dengan

wanita ahli kitab, larangan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya

adalah kekhawatiran Umar terhadap keberlangsungan kehidupan umat Islam

terutama generasi muda di masa mendatang, dan jika dibiarkan maka kaum

muslimin akan mengikuti jejaknya untuk menikahi wanita ahli kitab yang

mengakibatkan wanita-wanita muslimah menjadi perawan tua.73 Adapun sikap

yang diambil oleh Umar dalam memutuskan perkara ini adalah termasuk sikap

ihtiyat (hati-hati). Sehingga kecenderungan Umar atas larangan perkawinan

seorang muslim dengan wanita ahli kitab itu didasarkan atas kemaslahatan, bukan

atas dasar teks al-Quran semata.

Dengan demikian, hukum larangan menikahi seorang wanita yang

disampaikan oleh Umar ibn Khattab bukan termasuk kategori haram lidzatihi

sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh ulama Syi’ah Imamiyyah dan Sayyid

71 QS. al-Taubah [9]: 30

فوههم لك قولهم بأ ذ وقالت ٱلن صرى ٱلمسيح ٱبن ٱلل تنلهم يهئون قول وقالت ٱليهود عزير ٱبن ٱلل ق ٱٱل ذين كفروا من قبل لل

ن ى يؤفكون أ

Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang-orang Nasrani berkata:

“Al-Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru

perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai

berpaling?.” (QS. al-Taubah [9]: 30) 72 QS. al-Mumtahanah [60]: 10

...ولا تمسكوا بعصم ٱلكوافر Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-

perempuan kafir.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 10) 73 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 150.

Page 41: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

26

Qutub. Namun, metode yang sering digunakan Umar dalam memutuskan perkara-

perkara sosial pada masa pemerintahannya itu lebih memperhatikan tujuan

disyariatkannya hukum Islam, atau lebih sering disebut dengan maqasid syari’ah.

Pada akhirnya menurut hemat penulis berdasarkan beberapa uraian

pendapat para ulama yang menjelaskan tentang hukum perkawinan seorang muslim

dengan wanita ahli kitab dapatlah diambil sebuah kesimpulan, meskipun dalam teks

al-Quran perkawinan tersebut dibolehkan tetapi pada saat ini sudah banyak

penyimpangan-penyimpangan dari kitab-kitab sebelumnya. Sehingga harus lebih

berhati-hati lagi bagi para pemuda dalam memutuskan keinginannya untuk

melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab dan sebisa mungkin hal tersebut

dihindari oleh para pemuda pada saat ini.

Page 42: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

27

BAB III

BIOGRAFI SOSIO-INTELEKTUAL WAHBAH ZUHAILI

A. Kehidupan Wahbah Zuhaili

Pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di Dair

‘Atiyyah telah lahir seorang intelektual muslim berkebangsaan Syiria. Beliau

adalah Wahbah bin Syekh Mustafa al-Zuhaili.74 Ayahnya bernama Syekh Mustafa

al-Zuhaili, dia adalah seorang ulama yang hafal al-Quran dan banyak mengkaji isi

kandungannya. Sebagai seorang ulama yang hafal al-Quran ayahnya senantiasa

membaca al-Quran setiap malam dari jam dua hingga terbit fajar. Sehari-hari

ayahnya bekerja sebagai seorang petani sekaligus pedagang, selain bertani dan

berdagang ayahnya juga terkenal sebagai sosok yang rajin berpuasa, dan beribadah

serta memiliki visi yang jauh ke depan terhadap kehidupan sosial dan pendidikan

anak-anaknya.75 Sedangkan ibunya bernama Hj. Fatimah binti Mustafa Sa’dah, dia

adalah seorang ibu rumah tangga yang kuat serta berpegang teguh kepada ajaran

agama.76

Perjalanan karir intelektual Wahbah Zuhaili dimulai dengan pendidikan dan

tarbiah yang secara langsung diberikan oleh kedua orang tuanya sejak beliau masih

kecil. Kecintaan dan ghirah yang tinggi pada kedua orang tuanya menjadi faktor

utama bagi Wahbah Zuhaili dalam menjalankan keseriusannya menyelesaikan

pendidikan dasar pada tahun 1946.77

Tepat pada usia 14 tahun setelah Wahbah Zuhaili menyelesaikan pendidikan

dasarnya, ia kemudian melanjutkan sekolah di tingkat pertama dan menengah di

Kota Damaskus. Dengan penuh semangat dan kegigihan yang dimilikinya, Wahbah

74 M. Alim Khoiri, Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis

Komparatif Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah az-Zuhaili, Jurnal SMaRT, Vol, 2 No. 2 Desember

2016, h. 231. 75 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008), h. 174. 76 Ayahnya wafat pada hari Jum’at sore tanggal 13 Jumadil Ula 1395 H/ 23 Maret 1975 M.

Sedangkan ibunya wafat pada hari Ahad 11 Jumadil Akhir 1404 H/ 13 Maret 1984 H. Lihat juga M.

Alim Khoiri, Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis Komparatif

Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah az-Zuhaili, h. 231. 77 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 23.

Page 43: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

28

Zuhaili berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat menengah pada waktu yang

tepat.78

Ketika Wahbah Zuhaili meneruskan pendidikannya di Fakutlas Syariah dan

Fikih Kota Damaskus beliau berhasil mendapatkan nilai yang istimewa –imtiyaz

‘amm– pada tahun 1953. Beliau juga masuk dalam nominasi sarjana muda yang

dapat menyelesaikan studinya selama 6 tahun. Selain itu, selama Wahbah Zuhaili

mendalami bidang Syariah dan Fikih, beliau juga mendalami Sastra Arab di

Universitas yang sama, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1954 M. Prestasi

Wahbah Zuhaili dalam bidang pendidikan inilah yang menjadi bukti keseriusan dan

kesungguhannya dalam belajar sehingga pada usia 22 tahun Wahbah Zuhaili sudah

memiliki 2 gelar strata satu.79

Tidak puas dengan keilmuan yang telah ia dapatkan di Damaskus, Wahbah

Zuhaili akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas

Syariah dan Bahasa Arab al-Azhar University Mesir. Dalam waktu yang bersamaan

ternyata Wahbah Zuhaili juga masuk sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum di

Universitas ‘Ain al-Syam. Sehingga dapat dibayangkan betapa sibuknya Wahbah

Zuhaili pada waktu itu, karena beliau harus menyelesaikan pendidikannya dalam

waktu yang bersamaan. Meskipun dalam kondisi seperti itu, Wahbah Zuhaili

berhasil menyelesaikan pendidikannya di dua Universitas yang berbeda, yakni pada

tahun 1956 di Fakultas Syariah dan tahun 1957 di Fakultas Bahasa Arab Universitas

al-Azhar, sedangkan pada tahun 1957 juga beliau lulus di Fakultas Hukum

Universitas ‘Ain al-Syams dan mendapatkan predikat lulusan terbaik serta sertifikat

izin mengajar (ijazah takhasus al-tadris).80

Semangat menuntut ilmu yang tinggi serta didukung dengan keseriusan dan

kesungguhan dalam menyelesaikan pendidikan, inilah yang menjadi faktor utama

Wahbah Zuhaili untuk melanjutkan studinya pada jenjang magister di Universitas

Kairo. Fokus kajian yang kembali diambil olehnya adalah tentang kajian Hukum

78 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, (Depok:

Al-Hikam Press, 2017), h. 17. 79 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, h. 18. 80 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 172.

Page 44: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

29

Islam. Dengan karya tesis yang diberi judul “al-Dzarai’ fi al-Siyasah al-Syari’ah

wa al-Fiqh al-Islami” inilah yang mengantarkan beliau sehingga mendapatkan

gelar Magisternya pada tahun 1959 dari Fakultas Hukum Universitas Kairo.

Padahal begitu banyak gelar yang telah beliau dapatkan, namun itu semua tidak

membuatnya menjadi orang yang mudah puas dengan keilmuannya.81

Masih tetap dengan kesibukan Wahbah Zuhaili dengan dunia ilmu

pengetahuan, yakni melanjutkan pendidikan doktoral di Fakultas Syariah Islam

Universitas al-Azhar Kairo. Tepat pada tahun 1963 Wahbah Zuhaili berhak

menerima gelar doktor dalam bidang Syariah Islam di Universitas al-Azhar Kairo

dengan disertasinya yang berjudul “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy Dirasah

Muqaranah baina al-Madzahib al-Tsamaniyyah wa al-Qanun al-Duwali al-‘Aam”.

Menurut tim ujian promosi, penelitian ini layak untuk diberikan predikat martabat

al-syarf al-ula (summa cumlaude) sekaligus direkomendasikan untuk dicetak dan

dilakukan pertukaran disertasi antar univesitas yang ada di Negara Barat. Peristiwa

inilah yang mengantarkan Wahbah Zuhaili menuju gerbang dunia ilmuwan yang

bertaraf internasional.82

Perjalanan pendidikan Wahbah Zuhaili jika dilihat mulai dari jenjang strata

satu hingga strata tiga studi yang paling dominan dan favorit dikaji lebih dalam

adalah bidang Fikih Perbandingan –al-Fiqh al-Muqaran– sehingga tidak menjadi

hal yang aneh ketika Wahbah Zuhaili diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang

dosen pada tingkat Licence (S1) dan Diploma (S2 tanpa Tesis) di Fakultas Syariah

dan Fakultas Hukum Universitas Damaskus. Selain diangkat menjadi dosen di

Universitas Damaskus, dia juga diangkat sebagai dosen dan dekan terbang di

beberapa universitas. Adapun jabatan yang pernah diberikan kepada Wahbah

Zuhaili di lingkungan akademik adalah sebagai dekan terbang di Fakultas Syariah

Damaskus pada tahun 1966-1970 (sekaligus sebagai Ketua Kultur dan Kebudayaan

Tinggi), dosen terbang di Fakultas Sastra Universitas Benghazi Libia pada tahun

1972-1974, dosen terbang Pascasarjana di Universitas Libia pada tahun 1973-1976,

81 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili, h. 19. 82 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 24.

Page 45: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

30

dosen terbang di Universitas Emirat Arab dan ‘Ain Syams pada tahun 1985-1989.83

Bekal yang dimiliki Wahbah Zuhaili dalam keterlibatannya memecahkan

dan mendiskusikan berbagai hal menjadi faktor utama yang menandai

ketokohannya, baik di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Adapun

peran Wahbah Zuhaili di tingkat regional dan internasional yang pernah diikuti

adalah:84

1. Sebagai anggota tetap dalam pembahasan seminar peradaban Islam kerajaan

Yordania.

2. Staf ahli pada perkumpulan Fikih Islam di Jeddah, di Makkah, dan di India

serta Lembaga Ensiklopedia Islam di Damaskus.

3. Ketua Badan Inspektorat Syariah pada perusahaan Bagi Hasil dan Clearing

House Islam di Bahrain dan Ketua Badan Inspektorat Syariah pada Bank

Islam Internasional pada Organisasi Bank Arab di Bahrain.

4. Anggota Majelis Fatwa tingkat Tinggi di Suriah.

5. Anggota Tim Ensiklopedi Fikih jarak jauh di Kuwait, Anggota Tim

Ensiklopedi Arab Raya di Damaskus, Anggota Tim Ensiklopedi Peradaban

di Yordania, dan Ensiklopedi Muamalat pada Badan Fikih Islam di Jedah.

Bukti pengakuan dunia atas kecerdasan dan keilmuan yang dimiliki oleh

Wahbah Zuhaili adalah keterlibatannya dalam keanggotaan majelis tinggi di tingkat

Internasional.

B. Geneologi Keilmuan Wahbah Zuhaili

Kesuksesan yang didapat oleh seorang murid tentunya tidak lepas dari peran

seorang guru yang telah membimbing dan mengajarinya. Oleh karena itu,

keberhasilan Wahbah Zuhaili di bidang akademik dan non-akademik tidak lain dan

tidak bukan adalah hasil dari bimbingan dan pengajaran yang telah diberikan oleh

para gurunya, baik yang berada di Syiria ataupun yang berada di luar Syiria.

Guru-guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran kepada Wahbah

83 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 25. 84 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 173.

Page 46: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

31

Zuhaili merupakan guru-guru yang dianggap pakar dalam bidang keilmuannya

masing-masing sehingga mereka menjadi bahan rujukan pada masanya.85 Diantara

guru-guru Wahbah Zuhaili jika dikelompokkan berdasarkan domislinya adalah

sebagai berikut:86

1. Guru-guru yang berdomisli di Damaskus, antara lain: Syekh Muhammad

Yasin (Ilmu Hadis), Syekh Mahmud al-Rankusi (Akidah), Syekh Hasan al-

Syatiy (Ilmu Faraid), Syekh Hasyim al-Khatib (Fiqh al-Syafi’iy), Syekh

Lutfi al-Fayumi (Usul Fikih dan Mustalah Hadis), Syekh Ahmad Samaq

(Tajwid), Syekh Hamdi Juwaijati (Ilmu Tilawah), Syekh Abu Hasan al-

Qasab (Ilmu Nahwu dan Sharaf), Syekh Hasan Habannakah dan Syekh

Sadiq Habannakah al-Maidaniy (Ilmu Tafsir), Syekh Salih al-Farfuwr

(Balaghah), Syekh Hasan al-Khatib, Ali Sa’ad al-Din, Syekh Subhi al-

Khaizaran dan Kamil al-Qasar (Ilmu Hadis Nabi dan Akhlak), Juwd al-

Mardini (Berpidato), Rasyid al-Syatiy dan Hikmat al-Syatiy (Ilmu Sejarah

dan Akhlak), Nazim Mahmud Nasimi dan Mahir Hamadah (Kodifikasi

Hukum), Serta guru-guru lainnya di bidang Ilmu Kimia, Fisika, Bahasa

Inggris serta ilmu modern lainnya.

2. Guru-guru yang berdomisili di Mesir, antara lain: Rektor al-Azhar, Imam

Mahmud Syaltut, Imam Abdurrahman Taj, dan Syekh Isa Manun (Ilmu

Perbandingan Fikih), Syekh Jad al-Rab Ramadan (Ilmu Fikih al-Syafi’iy),

Syekh Mahmud ‘Abdul al-Da’im, Syekh Mustafa Mujahid dan Syekh

Muhammad Hasyim (Fikih al-Syafi’iy), Syekh Mustafa ‘Abdul Khaliq,

Syekh ‘Abdul Ghani ‘Abdul Khaliq, Syekh Usman al-Marazaqiy, Syekh

Hasan Wahdan, dan Syekh al-Zawahiri al-Syafi’iy (Usul Fikih), Syekh

Muhammad ‘Ali al-Za’biy (Fikih Ibadah), Syekh Muhammad Abu Zahrah,

Syekh Ali al-Khafif, Syekh Muhammad al-Bana, Syekh Muhammad Zafzaf,

Muhammad Salam Madzkur, dan Syekh Faraj al-Sanhuriy keseluruhan itu

merupakan guru di sekolah pasca sarjana pada Studi Perbandingan Fikih

dan Usul Fikih.

85 Ikatan Alumni Syam Indonesia, ‘Allamah asy-Syam Syekh Wahbah az-Zuhaili, h. 20. 86 Syafruddin, Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir, h. 36-37.

Page 47: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

32

3. Guru-guru yang berdomisili di Mesir (Universitas ‘Ain al-Syams), antara

lain: Syekh Isawi Ahmad Isawi, Syekh Zakiuddin Sya’ban, Abdul Mun’im

al-Darawi, Utsman Khalil, Dr. Sulaiman al-Tamawi, Ali Rasyid, Hilmi

Murad, Yahya al-Jamal, Ali Yunus, Muhammad Ali Imam, Aktsam al-

Khauli, dan masih banyak guru lainnya.

Selain memiliki guru-guru yang pakar dalam setiap bidang keilmuan,

Wahbah Zuhaili juga memiliki murid-murid yang juga tak kalah hebat dengannya.

Di antara murid-murid yang pernah belajar langsung kepada Wahbah Zuhaili adalah

Dr. Mahmud al-Zuhaili (adik kandungnya), Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul

Latif Farfuri, Dr. Abu Lail, Dr. Abdus Salam al-‘Ibadi, Dr. Muhammad al-Syarbaji,

Majid Abu Rakhiyah, Badi’ al-Sayyid al-Laham, Hamzah, dan masih banyak lagi

murid-murid lainnya. Kebanyakan dari murid-muridnya telah dibimbing dan

diajarkan langsung oleh Wahbah Zuhaili tentang Ilmu Fikih serta Usul Fikihnya.87

C. Karya-karya Intelektual Wahbah Zuhaili

Produktivitas seorang ilmuwan dalam membuat karya ilmiah merupakan

salah satu unsur terpenting yang dijadikan pertimbangan pada saat ini dalam

menilai kualitas keilmuan seseorang. Dalam hal menulis Wahbah Zuhaili

merupakan seorang ulama yang aktif serta produktif dalam menulis sebuah karya

ilmiah, baik berupa diktat perkuliahan, artikel, majalah, koran, makalah ilmiah,

sampai kitab-kitab besar yang berjilid-jilid.

Kary-karya Wahbah Zuhaili yang dibuat dalam bentuk makalah dan

Ensiklopedi tersebar di seluruh penjuru dunia, jika dikumpulkan secara keseluruhan

bersama tulisan-tulisan kecil jumlahnya lebih dari 500 judul. Salah satu karya-

karyanya yang terbesar adalah al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu fi Mukhtalif al-

Madzahib, Usul al-Fiqh al-Islami, dan al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-

Syari’ah wa al-Manhaj.

Adapun sejumlah karya-karya Wahbah Zuhaili yang menjadi sebagai bukti

kemampuannya dalam bidang keilmuan yang ditekuninya adalah sebagai berikut:

87 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 175.

Page 48: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

33

1. Dalam Bidang al-Quran dan ‘Ulum al-Quran88

a. Al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj.

b. Al-Tartil al-Tafsir al-Wajiz 'ala Hamsy al-Quran al-‘Azim wa Ma'ahu.

c. Al-Tafsir al-Wajiz wa Mu’jam Ma’ani al-Quran al-Aziz.

d. Al-Quran al-Karim – Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasaisuhu.

e. Al-Ijaz al-Ilmi fi al-Quran al-Karim.

f. Al-Syar’iyyah al-Qira’ah al-Mutawatirah wa Astaruha fi al-Rasm al-

Quran wa al-Ahkam.

g. Al-Qissah al-Quraniyyah.

h. Al-Qiyam al-Insaniyyah fi al-Quran al-Karim.

i. Al-Quran al-Wajiz – Surah Yasin wa Juz ‘Amma.

2. Dalam Bidang Fiqh dan Usul al-Fiqh89

a. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy Dirasah Muqaranah baina al-

Madzahib al-Tsamaniyyah wa al-Qanun ad-Duwali al-‘Aam

b. Usul al-Fiqh al-Islami 1-2.

c. Al-'Uqud al-Musamah fi Qanun al-Mu'amalah al-Madaniyyah al-

Imarati.

d. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu al-Juz at-Tasi' al-Mustadrak.

e. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (8 jilid).

f. Nadzariyat al-Daman au Ahkam al-Mas'uliyyah al-Madaniyyah wa al-

Jinaiyyah.

g. Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh.

h. Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami.

i. Al-Istinsakh Jadl al-'Ilm wa al-Din wa al-Akhlaq.

j. Nadzariyat al-Darurah al-Syar'iyyah.

k. Al-Tamwil wa Suq al-Awraq al-Maliyah - al-Bursah.

l. Bai’ al-Dain fi al-Syari’ah al-Islamiyyah.

m. Al-Buyu’ wa Astaruha al-Ijtima’iyyah al-Mu’asirah.

88 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 176. 89 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 177.

Page 49: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

34

n. Al-Amwal allati Yasihhu Waqfuha wa Kaifiyat al-Sarfiha.

o. Asbab al-Ikhtilaf wa Jihad al-Nazhr al-Fiqhiyyah.

p. Ahkam al-Mawad al-Najsah wa al-Muhramah fi al-Gaza’ wa al-Dawa’

q. Ahkam al-Ta’ammul ma’a al-Masarif al-Islamiyyah.

r. Al-Ijtihad al-Fiqh al-Hadits Muntalaqatuhu wa Ittijahatuhu.

s. Al-Dain wa Tufa'iluhu ma'a al-Hayah.

t. Al-Dzara'i' fi al-Siyasah al-Syar'iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy.

u. Sur min 'Urud al-Tijarah al-Mu'asirah wa Ahkam al-Zakah.

v. Al-'Ulum al-Syar'iyyah baina al-Wahidah wa al-Istiqlal.

w. Al-Madzhab al-Syafi'i wa Madzhabuhu al-Wasit baina al-Madzahib al-

Islamiyyah.

x. Nuqat al-Iltiqa' baina al-Madzahib al-Islamiyyah.

y. Manahij al-Ijtihad fi al-Madzahib al-Mukhtalifah.

z. Al-Hadits al-'Alaqat al-Dauliyyah fi al-Islam Muqaranah bi al-Qanun

al-Dauli.

3. Dalam Bidang Hadits dan ‘Ulum al-Hadits

a. Al-Muslimin al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Syarifah, Haqiqatuha wa

Makanatuha 'inda Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyyah.

4. Dalam Bidang Akidah Islam90

a. Al-Iman bi al-Qada wa al-Qadr.

b. Usul Muqaranah Adyan al-Bad’i al-Munkarah.

5. Dalam Bidang Dirasat al-Islamiyyah91

a. Al-Khasais al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam wa Da'aim al-

Dimuqratiyyah al-Islamiyyah.

b. Al-Da'wah al-Islamiyyah wa Ghairu al-Muslimin, al-Manhaj wa al-

Wasilah wa al-Hadzfu.

c. Tabsir al-Muslimin li Ghoirihim bi al-Islami, Ahkamuhu wa

Dawabituhu wa Adabuhu.

90 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 178. 91 Muhammadun, Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan Sejarah,

h. 179.

Page 50: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

35

d. Al-Amn al-Gaza'i fi al-Islam.

e. Al-Imam al-Suyuti Mujaddid al-Da'wah ila al-Ijtihad.

f. Al-Islam wa al-Iman wa al-Ihsan.

g. Al-Islam wa Tahdiyat al-'Asri, al-Tadakhum al-Naqdi min al-Wajhah

al-Syar'iyyah.

h. Al-Islam wa Ghairu al-Muslimin.

i. Al-Mujaddid Jamaluddin al-Afghani wa Islahatuhu fi al-'Alam al-

Islami.

Sekian banyak karya-karya yang telah Wahbah Zuhaili terbitkan di berbagai

Negara, terlihat bahwa bidang Fikih menjadi bidang yang paling dominan

dibanding bidang lainnya. Sehingga fokus spesialisasi kajian yang dimiliki oleh

Wahbah Zuhaili adalah bidang Fikih dan Hukum.

D. Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili

Salah satu karya yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili dalam bidang fikih yang

menjadikan dirinya dikenal secara luas di dunia akademik adalah al-Fiqh al-Islami

wa Adillatuhu fi Mukhtalif al-Madzahib. Di dalam buku tersebut menggambarkan

beberapa pemikiran Wahbah Zuhaili dalam merespon permasalahan fikih yang

bersifat kontemporer.

Berkenaan dengan pembahasan aturan-aturan syariah atau fikih, Wahbah

Zuhaili senantiasa menyandarkan pendapatnya kepada dali-dalil al-Quran, Sunah

sekaligus dengan menggunakan akal sehat (ra’yu).92 Sama halnya dengan

kesepakatan para mujtahid tentang sumber hukum yang dapat digunakan seorang

mujtahid dalam menggali suatu hukum (istinbat hukum),93 yaitu sumber yang

paling utama menurut mereka adalah al-Quran. Apabila di dalam al-Quran tidak

ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan hukum tersebut, maka

sumber hukum yang kedua dapat dipakai adalah Sunah. Namun bilamana di dalam

92 Ra’yu adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggali hukum-hukum dengan

menggunakan qiyas, istihsan, istislah, (maslahah mursalah), ‘urf, dan tata cara ijtihad lainnya yang

ditetapkan syariat. Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2015), h. 181. 93 Istinbat Hukum adalah usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya. Lihat juga

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 1.

Page 51: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

36

Sunah juga tidak didapatinya, maka selanjutnya merujuk kepada kesepakatan

(konsensus atau ijma’) para ahli ijtihad pada suatu masa tertentu. Setelah tahapan

tersebut telah dilakukan dan masih dalam kondisi belum ditemukannya jalan keluar

dalam penyelesaian hukum tersebut, maka langkah terakhir yang dapat dilakukan

adalah mengembalikan (meng-qiyas-kan) dengan permasalahan yang telah

dituliskan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya (baik dalam al-Quran maupun

Sunah).94

Oleh karena itu, menurut Wahbah Zuhaili tidak akan dengan mudah dapat

diterima oleh akal ketika seorang yang berijtihad atau mempelajari hukum-hukum

fikih hanya sebatas bersandar pada definisi atau identifikasi masalah serta

berdasarkan kemungkinan-kemungkinan atas sesuatu yang bisa terjadi. Atas dasar

itulah metode ijtihad yang digunakan Wahbah Zuhaili selalu didukung dengan dalil-

dalil hukumnya, agar ijtihad yang disampaikan dapat terlepas dari istilah taklid, dan

dapat merubahnya menjadi ittiba’.95

Salah satu karakteristik Wahbah Zuhaili yang juga dituangkan dalam

beberapa karyanya adalah penggunaan metode perbandingan (muqaranah) antara

pendapat-pendapat empat mazhab, diantaranya adalah mazhab Hanafiyyah, mazhab

Malikiyyah, mazhab Syafi’iyyah, dan mazhab Hanabilah. Di mana pada bagian

akhir dari metode perbandingan tersebut selalu ditampilkan kesimpulan hukum

berdasarkan sumber hukum Islam baik yang naqli maupunu aqli. Sehingga menurut

Wahbah Zuhaili, jika ada seseorang yang menyimpulkan suatu hukum atau ber-

istinbat hukum hanya menggunakan al-Quran saja, maka orang tersebut telah

melepaskan Islam dari akar-akarnya, dan orang tersebut juga dekat dengan musuh-

musuh Islam. Sekaligus jika orang tersebut membatasi fikih hanya berdasarkan

sunah, itu artinya dia telah mereduksi agama Islam dan telah melakukan kesalahan.

Pada akhirnya pemikirannya akan pincang dan tidak akan dapat berkembang dan

relevan seiring berkembangnya zaman, sekaligus tidak akan dapat memberikan

94 Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, h. 32. 95 Taklid adalah mengamalkan pendapat sesorang yang tidak dianggap sebagai hujjah,

dengan tidak mengetahui dalil (yang dipeganginya itu). Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, Ijtihad

dalam Syariat Islam, h. 79.

Page 52: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

37

kemaslahatan bagi umat manusia.96

Tidak berhenti pada metode membandingkan pendapat-pendapat mazhab,

Wahbah Zuhaili juga terbiasa merujuk atau mengembalikan semua pendapatnya

pada kitab-kitab utama secara langsung. Karena bagi seorang ulama sekelas

Wahbah Zuhaili ketika dia mengutip pendapat suatu mazhab dari rujukan yang tidak

sama mazhabnya maka akan menyebabkan kesalahan penisbatan di dalamnya,

terutama dalam mengambil pendapat yang paling unggul (rajih). Salah satu tujuan

dari Wahbah kenapa menggunakan metode seperti ini adalah untuk dapat

menghindari penafsiran yang salah serta fanatisme dalam bermazhab. Sedangkan

dalam penggunaan sumber hukum yang berupa hadis, salah satu aspek yang paling

ditekankan oleh Wahbah Zuhaili yaitu tentang kesahihan hadis yang hendak dipakai

dalam mengkaji hukum Islam tersebut. Sehingga menurut Wahbah Zuhaili hadis

yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh para ahli fikih adalah hadis yang telah

di-takhrij dan di-tahqiq. Selain dari hadis tersebut menurut Wahbah Zuhaili

pendapat jumhur ulama juga dapat dijadikan sebagai alasan yang kuat dalam men-

tarjih suatu pendapat. Lebih lanjut lagi Wahbah Zuhaili menjelaskan ketika dalam

kondisi yang terpaksa (al-darurah), sangat dibutuhkan (al-hajah), tidak mampu (al-

‘ajz), atau ada alasan yang lain (al-udzur), maka menurutnya taklid terhadap semua

mazhab itu dibenarkan meskipun sampai pada tingkatan talfiq.97

Sebenarnya sikap talfiq tidak secara mutlak dibenarkan, namun sikap talfiq

hanya dapat dilakukan selama tidak bertentangan dengan keputusan hakim dalam

memutuskan suatu sengketa, dan tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat atau

tidak bertentangan dengan kesepakatan bersama yang telah disepakati.98

Adapun metodologi yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili dalam berijtihad

adalah dengan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nas-nas yang ada dalam

al-Quran dengan menggunakan pendekatan beberapa disiplin ilmu, diantaranya

adalah ilmu bahasa. Di mana dalam pendekatan ini yang menjadi perhatian adalah

96 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 18. 97 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 19. 98 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 20.

Page 53: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

38

dalam urusan lafadz, apakah lafadz tersebut itu mujmal, musytarak, aam, khas,

haqiqah, majaz, mutlaq, muqayyad dan masih banyak lagi. Sedangkan jikalau tidak

ditemukan dalam firman Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Wahbah

Zuhaili akan menggunakan dalil-dalil sunah, baik berupa perkataan (qauliyah) dan

perbuatan (fi’liyah) serta berupa ketetapan (taqririyah).99

Dengan demikian, cara atau metode yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili

dalam menyelesaikan permasalahan fikih atau dalam menggali suatu hukum

(istinbat al-hukum) adakalanya merujuk kepada dalil atau nas, baik al-Quran

maupun Sunah. Adakalanya juga beliau menganalogikan permasalahan tersebut

menggunakan nas-nas atau yang biasa disebut dengan qiyas. Adakalanya juga

beliau menimbang realitas permasalahan yang dihadapi menggunakan kaidah-

kaidah umum yang digali dari dalil-dalil al-Quran dan Sunah, antara lain istihsan,

maslahah mursalah, ‘urf, sadd al-dzari’ah dan lain-lain.

99 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 1, h. 21.

Page 54: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

39

BAB IV

ANALISIS METODE ISTINBAT HUKUM YANG DIGUNAKAN WAHBAH

ZUHAILI DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili tentang Perkawinan Beda Agama

Salah satu bentuk persoalan yang menjadi penting dalam perjalanan hidup

manusia adalah perkawinan. Persoalan ini tidak hanya dianggap penting oleh

manusia, namun dianggap penting juga di dalam agama sampai-sampai al-Quran

memberikan perhatian khusus tentang perkawinan tersebut. Mengapa seperti itu?

Karena dengan terbentuknya suatu ikatan perkawinan manusia dapat membina

ketenangan dalam kehidupannya. Selain mengatur tentang hukum perkawinan, al-

Quran juga mengatur bagiamana sikap yang harus dilakukan setelah perkawinan,

bahkan bisa lebih dari itu. Salah satu yang diatur adalah tentang dengan siapa saja

perkawinan itu boleh atau tidaknya untuk dilakukan. Termasuk mengatur

perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kesamaan akidah

ataupun berlainan akidah, atau yang biasa disebut dengan perkawinan beda agama.

hal-hal tersebut bisa terjadi di mana saja, karena sebagaimana yang telah Allah

firmankan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13 yang di dalamnya mengandung penjelasan

bahwa kita hidup dan diciptakan dengan keberagaman suku, bangsa, agama,

bahasa, budaya dan yang lain sebagainya agar kita bisa saling mengenal.100

Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang

pandangan Wahbah Zuhaili terhadap persoalan perkawinan beda agama yang masih

banyak terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Menurut Wahbah Zuhaili di dalam

kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu perkawinan beda agama ini dikategorikan

ke dalam 3 bentuk, sebagai berikut:

100 QS. al-Hujurat [49]: 13

إن ئل لتعارفوا نثى وجعنلنكم شعوبا وقبان ذكر وأ إن ا خنلقنكم م ها ٱلن ا ي

أ كم إ ي تقى

أ كرمكم عند ٱلل

عنليم خبير أ ن ٱلل

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang

paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-

Hujurat [49]: 13)

Page 55: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

40

1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik

Menurut Wahbah Zuhaili, seorang wanita musyrik adalah

perempuan yang menyembah Allah bersama Tuhan yang lain, seperti

berhala, binatang-binatang, api, atau bintang. Sehingga bagi Wahbah

Zuhaili hukum perkawinan seorang pria muslim dengan wanita musyrik itu

haram dan dilarang untuk dilakukan.101 Argumentasi yang disampaikan oleh

Wahbah Zuhaili didasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221.

شركة ولو ن م ؤمنة خير م مة م

ولأ ٱلمشركت حت ى يؤمن ولا تنكحوا

شرك ن م ؤمن خير م ولعبد م عجبتكم ولا تنكحوا ٱلمشركين حت ى يؤمنواأ

ئك يدع ولعجبكم أ

إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة ولو أ يدعوا ون إلى ٱلن ار وٱلل

رون بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا لعنل هم يتذك Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,

sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia

supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)

Menurut Wahbah Zuhaili, yang menjadi penekanan pembahasan

pada ayat ini adalah pada lafadz al-musyrikat. Pada lafadz ولا تنكحوا ٱلمشركت

memiliki makna janganlah menikahi wanita kafir harbi yang bukan

termasuk dalam golongan ahli kitab.102 Senada dengan pendapat para

jumhur ulama yang juga menjelaskan bahwa kata al-musyrikat tidaklah

101 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 147. 102 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Penerjemah

Abdul Hayyie dkk, Terjemah Tafsir Munir, Jilid 1, (Depok: Gema Insani, 2013), 510.

Page 56: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

41

mencakup golongan ahli kitab, pendapat yang disampaikan oleh jumhur

ulama disandarkan pada QS. al-Baqarah [2]: 105.103 Dalam ayat tersebut

redaksi yang digunakan adalah meng-’ataf-kan (menghubungkan) dengan

menggunakan huruf wawu antara lafadz al-musyrikin dengan lafadz ahl al-

kitab, yang mana fungsi penggunaan huruf ataf dalam redaksi ayat tersebut

adalah menghubungkan dua kata yang berlainan makna.104 Oleh karena itu,

Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa kata al-musyrikat tidak mencakup

golongan ahli kitab. Jadi yang dimaksud dengan al-musyrik adalah orang-

orang yang tidak menganut agama samawi, yaitu orang-orang yang secara

nyata dan jelas menyembah berhala.

Wahbah Zuhaili juga mengutip pendapat jumhur ulama yang secara

umum sepakat memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud al-musyrikat

adalah wanita watsaniyyah (wanita-wanita yang menyembah patuh atau

berhala), Majusiyyah (wanita-wanita yang menyembah api).105

Berkenaan dengan latar belakang diturunkannya ayat ini adalah

berdasarkan hadis nabi yang diriwayatakan oleh Ibn al-Mundzir, Ibn Abi

Hatim, dan al-Wahidiy meriwayatkan dari muqatil. Peristiwa ini terjadi pada

saat Ibn Abi Mirtsad al-Ghinawi meminta izin kepada Rasul untuk dapat

melangsungkan pekawinan dengan Anaq, seorang wanita musyrik yang

cantik jelita.106

Sehingga dalam persoalan perkawinan pria muslim dengan wanita

103 QS. al-Baqarah [2]: 105

هل ٱلكتب ولا ٱلمشركين ا يود ٱل ذين كفروا من أ م وٱلل ء يختص برحمتهۦ من يشا ب كم وٱلل ن ر ن خير م ل عنليكم م ن ينز

ذو أ

ٱلفلل ٱلعييم Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan

diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang

dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

(QS. al-Baqarah [2]: 105) 104 Muhammad Ali al-Sabuni, Tafsir al-Ayat al-Ahkam, Penerjemah Mu’ammal Hamidy

dan Imran A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, h. 200. 105 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 147. 106 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 1,

(Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), h. 660.

نزلت هذه الأية فى ابن ابى مرثد الغنوي اسنأذن النبى صنلى الل عنليه :أخرج ابن المنذر وابن ابى حاتم والواحدي عن مقاتل قال .فنزلت ,واكنت ذات حظ من جمال ,وهى مشركةأن يتزوجها (عناق)وسنلم فى

Page 57: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

42

musyrik Wahbah Zuhaili melarang secara tegas dalam pelakasannya. Salah

satu alasan larangan perkawinan tersebut adalah kebiasaan yang dilakukan

oleh orang-orang musyrik sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas

yakni mengajak kepada kekafiran sehingga orang terjerumus dalam

perbuatan yang buruk dan berujung di neraka. Selain itu juga orang-orang

musyrik tersebut tidak memiliki agama yang dapat membimbing mereka

dalam kebenaran. Sehingga perbedaan akidah menciptakan sebuah

kegelisahan, ketidak tenangan, dan perpecahan diantara suami-istri. Hal-hal

tersebutlah yang mengakibatkan sebuah kehidupan dalam rumah tangga

menjadi tidak tentram dan tidak tercapai tujuannya baik berupa ketenangan

dan kestabilan yang mana seharusnya dibangun dengan landasan rasa kasih

sayang dan cinta.107

2. Perkawinan antara wanita muslimah denga pria kafir

Corak kehidupan sosial masyarakat yang plural, di mana

penduduknya bercampur baur dengan berbagai ragam agama, berpotensi

mengakibatkan tumbuhnya perasaan cinta antar lawan jenis, di mana lawan

jenis tersebut berbeda agama.

Adapun dalam persoalan tentang perkawinan wanita muslimah

dengan pria kafir itu berbeda dengan kebolehan perkawinan seorang laki-

laki muslim dengan wanita ahli kitab. Menurut Wahbah Zuhaili perkawinan

yang dilakukan oleh seorang wanita muslimah dengan pria kafir, baik laki-

laki tersebut termasuk golongan ahli kitab secara ijma’ hukumnya haram.

Dasar keharaman yang ditetapkan oleh Wahbah Zuhaili disandarkan pada

dua ayat al-Quran, yaitu QS. al-Baqarah [2]: 221108 dan QS. al-Mumtahanah

107 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 148. 108 QS. al-Baqarah [2]: 221

عج شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م يدعوا إلى ٱلجن ة وٱلمغفرة ولا تنكحوا ٱلمشركين حت ى يؤمنوا ئك يدعون إلى ٱلن ار وٱلل ول

بكم أ

رون بإذنهۦ ويبي ن ءايتهۦ لنلن ا لعنل هم يتذك Artinya: “… Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita

mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke

surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-

Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221)

Page 58: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

43

[60]: 10.109

Pada ayat yang dijadikan dasar hukum keharaman perkawinan

tersebut menurut Wahbah Zuhaili, larangan perkawinan ini tidak ada

pengecualian yang diberikan di dalamnya, baik laki-laki itu orang-orang

musyrik, kafir, maupun ahli kitab. Meskipun di dalam QS. al-Baqarah [2]:

221 menjelaskan tentang laki-laki musyrik, akan tetapi yang dijadikan illat

hukum dalam ayat ini adalah redaksi ارئك يدعون إلى ٱلن ول

yang menjelaskan أ

bahwa mereka itu mengajak ke neraka. Sehingga keumuman yang ada

dalam kata tersebut mencakup semua orang musyrik, kafir, dan ahli kitab.110

Alasan lain yang disampaikan oleh Wahbah Zuhaili tentang hal ini juga

adalah agama memang secara jelas memutus penguasaan orang kafir

terhadap orang mukmin berdasarkan firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 141.111

3. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab

Dalam menanggapi kasus perkawinan beda agama yang dilakukan

antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, Wahbah Zuhaili

menyampaikan dalam dua bentuk pendapat, yakni pendapat yang

membolehkan perkawinan dengan wanita ahli kitab dan pendapat yang

memakruhkan perkawinan dengan wanita ahli kitab.112

Berdasarkan pendapat Wahbah Zuhaili yang pertama adalah

menyatakan tentang kebolehan pelaksanaan perkawinan dengan wanita ahli

kitab yang dikutip dari pendapat jumhur ulama. Di mana dalam

109 QS. al-Mumtahanah [60]: 10

ل هم ولا هم يحنل ون له ... ار لا هن حل فإن عنلمتموهن مؤمنت فنلا ترجعوهن إلى ٱلكف ...ن Artinya: “… maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka

janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada

halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka...” (QS. al-

Mumtahanah [60]: 10) 110 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 148. 111 QS. Al-Nisa’ [4]: 141

فرين ع ... لنلك نلى ٱلمؤمنين سبينلا ولن يجعل ٱلل Artinya: “... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 141) 112 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 149.

Page 59: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

44

argumentasinya didasarkan pada firman Allah QS. al-Maidah [5]: 5.113

Dalam ayat tersebut yang menjadi penekanannya menurut Wahbah

Zuhaili adalah siapa saja yang masuk kriteria wanita-wanita ahli kitab yang

diperbolehkan untuk dinikahi. Menurutnya perempuan ahli kitab adalah

perempuan-perempuan yang percaya terhadap agama samawi, yaitu Yahudi

dan Nasrani. Ahli kitab diartikan juga sebagai seorang yang diberikan kitab

Taurat dan Injil.114 Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah QS. al-

An’am [6]: 156115, dan QS. Ali Imran [3]: 113 dan 199.116

113 QS. al-Maidah [5]: 5

ٱ وتواي بت وطعام ٱل ذين أ حل لكم ٱلط

ل هم وٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱليوم أ ل كم وطعامكم حل لكتب حل

وتوا ٱلكتب من قبنلكم محصنين غير مسفحين ولا مت خدان و ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱل ذين أ

من يكفر بٱلإيمن فقد خذي أ

ألخرة من ٱلخسرين حبط عمنلهۥ وهو فى ٱArtinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang

diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan

mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-

wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila

kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud

berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman

(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk

orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah [5]: 5) 114 QS. al-Maidah [5]: 68

نزل إليكم م ة وٱلإنجيل وما أ هل ٱلكتب لستم عنلى شىء حت ى تقيموا ٱلت ورى

أ ب كم قل ي ...ن ر

Artinya: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan

ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Maidah

[5]: 68) 115 QS al-An’am [6]: 156

ئفتين من قبنلنا إون كن ا عن نزل ٱلكتب عنلى طا أ ن تقولوا إن ما

فنلين دراستهم لغ أ

Artinya: “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya

diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan

apa yang mereka baca.” (QS al-An’am [6]: 156) 116 QS. Ali Imran [3]: 113

ء ءانا ئمة يتنلون ءايت ٱلل ة قا م هل ٱلكتب أ

ن أ م ء ٱل يل وهم يسجدون ۞ليسوا سوا

Artinya: “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka

membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud

(sembahyang).” (QS. Ali Imran [3]: 113)

QS. Ali Imran [3]: 199

نزل إليهم خشعين لل أ نزل إليكم وما

وما أ هل ٱلكتب لمن يؤمن بٱلل

جرهم إون من أ

ئك لهم أ ول

أ ثمنا قنلينلا لا يشترون بايت ٱلل

سريع ٱلحساب عند رب هم إن ٱلل

Artinya: “Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada

apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah

hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka

memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali

Imran [3]: 199)

Page 60: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

45

Selain kata ahl al-kitab, kata al-muhsanat juga menjadi bagian dari

kriteria yang melekat pada wanita-wanita ahli kitab yang diperbolehkan

untuk dinikahi. Menurut Wahbah Zuhaili kata al-muhsanat diartikan

sebagai wanita-wanita yang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Oleh

karena itu, bagi Wahbah Zuhaili kategori al-muhsanat menjadi bagian yang

penting dan perlu diperhatikan dalam melaksanakan perkawinan dengan

wanita ahli kitab. Salah satu tujuannya adalah sebagai bentuk upaya

mendorong manusia agar melakukan perkawinan dengan wanita ahli kitab

yang suci, karena perkawinan yang seperti ini dapat memunculkan rasa

kasih sayang dan cinta antara suami-istri. Serta dapat memberikan

ketenangan dan ketentraman dalam sebuah rumah tangganya.

Selain didasarkan pada al-Quran, kebolehan perkawinan dengan

wanita ahli kitab juga didasarkan Wahbah Zuhaili dengan atsar sahabat,

yaitu diperbolehkannya sahabat Usman ibn Affan menikah dengan Nailah

binti Firafisah al-Kalbiyyah yang mana dia adalah seorang wanita Nasrani

yang kemudian masuk Islam. Selain sahabat Usman ada sahabat lainnya lagi

yang juga diperbolehkan melakukan perkawinan tersebut, dia adalah

Huzaifah. Huzaifah melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dari

golongan Yahudi yang merupakan penguhuni al-Mada’in. Akan tetapi

kebolehan tersebut menurut sahabat Jabir dilakukan pada masa Invasi kota

Kufah bersama Sa’ad ibn Abi Waqash.117

Menurut Wahbah Zuhaili kebolehan seorang laki-laki muslim

menikah dengan wanita ahli kitab itu tidak sama dengan wanita musyrik.

Karena seorang wanita ahli kitab memiliki kesamaan dalam hal keimanan

pada beberapa prinsip asas, yaitu mereka mengakui keimanan atas Tuhan,

Rasul, dan Hari Kiamat dengan segenap hisab dan siksaan yang ada di

dalamnya. Hal inilah yang menjadi titik temu antara keduanya.

Adapun pendapat kedua yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili adalah

pendapat yang dikemukakan oleh mazhab empat yakni mazhab Hanafi,

117 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 149.

Page 61: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

46

Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Pertama, menurut mazhab Hanafi seorang

laki-laki muslim haram menikahi wanita ahli kitab apabila wanita ahli kitab

tersebut hidup dan tinggal di Dar al-Harbiy karena di wilayah tersebut

hukum-hukum Islam tidak bisa ditampakkan, sehingga dapat menimbulkan

fitnah dalam perkawinannya.118 Kedua, mazhab Maliki memiliki dua

pendapat dalam persoalan perkawinan beda agama yakni, hukum makruh

secara mutlak dan tidak makruh secara mutlak. Yang dimaksud dengan

hukum makruh secara mutlak adalah ketika seorang laki-laki muslim

menikah dengan wanita ahli kitab baik wanita tersebut ahli kitab yang zimi

ataupun harbi. Sedangkan hukum tidak makruh secara mutlaknya adalah

jika dilihat hanya berdasarkan zahirnya ayat 5 surat al-Maidah. Ketiga,

hukum yang dikeluarkan oleh mazhab Syafi’i memiliki kesamaan dengan

apa yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, hanya saja dalam menjelaskan

hukum makruh tersebut mazhab syafi’i memberikan persyaratan di

dalamnya, yaitu:

a. Dalam perkawinannya tidak ada keinginan untuk menjadikan wanita

ahli kitab memeluk agama Islam.

b. Ada seorang wanita muslimah yang lebih baik dari wanita ahli kitab.

c. Dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak menikahi

wanita ahli kitab.

Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i yang dijadikan sebagai

penekanan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama ini adalah persoalan

maslahah dan mafsadahnya. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan beda

agama menurut mazhab Syafi’i diperbolehkan selama dalam perkawinan

tersebut dapat memunculkan kemaslahatan, namun hukum kebolehannya

dapat berubah menjadi makruh jika perkawinan tersebut dilaksanakan dapat

menimbulkan kemafsadatan.119 Keempat, menurut mazhab Hanbali

perkawinan ini juga dihukumi makruh, salah satu alasannya adalah sikap

118 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, Jilid IV (Kairo: al-Maktaf

al-Tsaqafy Publishing, 1420 H), h. 64. 119 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, Jilid IV, h. 65.

Page 62: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

47

Umar ibn Khattab yang memerintahkan kepada para sahabat yang menikah

dengan wanita ahli kitab untuk menceraikannya.120

Berdasarkan ungkapan tersebut, menurut Wahbah Zuhaili terlihat

bahwa Umar ibn Khattab belum bisa sepenuhnya menerima adanya praktik

perkawinan antara seorang muslim dengan wanita ahli kitab. Sikap ketidak

senangan Umar terhadap seseorang yang melakukan perkawinan tersebut,

merupakan bentuk kehati-hatian dan kekhawatiran Umar sebagai seorang

khalifah pada waktu itu. Harapannya adalah agar kebiasaan perkawinan

antara pria muslim dengan wanita ahli kitab tidak sampai diikuti dan

dijadikan kebiasaan oleh banyak umat Islam. Karena jika hal itu sampai

terjadi yang dirugikan adalah para wanita-wanita muslimah, yang

mengakibatkan mereka tidak lagi disukai oleh para laki-laki muslim dan

mereka akan menjadi seorang perawan tua. Dalam hal ini, Umar lebih

mengedepankan konsep kemaslahatan bagi seluruh umat Islam.121

Adapun kesimpulan akhir yang disampaikan oleh Wahbah Zuhaili

dalam persoalan perkawinan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli

kitab, adalah perkawinan antara laki-laki muslim itu dapat dilaksanakan

sebagaimana yang firman Allah dalam QS. al-Maidah [5]: 5. Namun

Wahbah Zuhaili menekankan bahwa kebolehan perkawinan ini bukanlah

suatu hukum asal atau mutlak, akan tetapi ketentuan ini hanya bersifat pada

kondisi tertentu saja dengan tujuan perkawinan itu membawa misi kasih

sayang dan harmonisme, sehingga ketidak senangan seorang istri terhadap

Islam itu terkikis habis. Dan dengan perlakuan suami yang baik, istri akan

dapat lebih baik mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara

amaliah praktis, sehingga ia menjadi pemeluk Islam yang baik.

Oleh karena itu, menurut penulis dalam persoalan kebolehan dan

ketidak bolehan melaksanakan perkawinan ini nantinya akan banyak

memberikan dampak yang berbahaya sekali, baik dilihat dalam sudut

120 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 150. 121 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Fikih

Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 151.

Page 63: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

48

pandang hukum maupun dalam aspek kehidupan sosialnya. Jika

merefleksikannya dalam wacana berfikir, maka persoalan perkawinan

dengan wanita ahli kitab dapat ditolerir. Namun bila persoalan ini masuk

dalam ruang lingkup praksisnya, maka akan banyak ditemukan berbagai

macam persoalan yang semakin rumit. Salah satunya adalah terjadinya

Tarik-menarik kondisi anak dalam urusan pendidikan dan agamanya.

Kondisi seperti ini menurut penulis menjadi salah satu kondisi yang sangat

rawan memunculkan keretakan dalam sebuah rumah tangga. Sehingga

dengan memunculkan ketenangan dalam rumah tangga itu menjadi bekal

utama dalam proses kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka

pelarangan perkawinan tersebut amatlah sangat relevan dan antisipatif.

B. Metode Istinbat Hukum yang Digunakan Wahbah Zuhaili dalam

Perkawinan Beda Agama

Dalam pembahasan kali ini yang akan dibahas adalah berkenaan dengan

metode istinbat hukum yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili dalam menentukan

kepastian hukum dalam persoalan perkawinan beda agama. Sebelum berlanjut

kepada pembahasan tersebut, alangkah lebih baiknya diuraikan kembali pengertian

tentang istinbat itu sendiri.

Menurut Muhammad ibn ‘Ali al-Fayumi seorang ahli bahasa Arab dan

Fikih, yang dimaksud dengan istinbat adalah upaya menarik hukum dari al-Quran

dan Sunah melalu jalan ijtihad. Adapun menurut Wahbah Zuhaili yang diuraikan

dalam karyanya usul al-fiqh al-islami, pembahasan yang berkaitan dengan sumber-

sumber hukum Islam terbagi menjadi dua macam. Pertama sumber hukum syariah

yang disepakati dan kedua sumber pelengkap hukum atau dalil-dalil yang masih

ikhtilaf di dalamnya. Sumber-sumber hukum yang termasuk dalam kategori

pertama adalah al-Quran, Sunah, ijmak dan qiyas. Sedangkan sumber-sumber

hukum yang termasuk dalam kategori kedua adalah istihsan, maslahah mursalah,

madzhab al-sahabi, syar’u man qoblana, istishab, sadd al-dzari’ah, ‘urf dan

Page 64: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

49

adat.122

Selanjutnya, dalam menanggapi persoalan perkawinan beda agama sumber

hukum yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili adalah berdasarkan QS. al-Baqarah

[2]: 221, QS. al-Mumtahannah [60]: 10, dan QS. al-Maidah [5]: 5. Dalam redaksi

QS. al-Baqarah [2]: 221 jika ditinjau dari aspek kebahasaan menurut Wahbah

Zuhaili dalam ayat tersebut mengandung sebuah bentuk kalimat larangan (nahi).123

Adapun gaya bahasa yang digunakan dalam larangan ayat tersebut adalah larangan

yang menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai dengan huruf lam yang

menunjukkan makna larangan (لا الناهية). Sehingga kandungan hukum pada ayat

tersebut bersifat menunjukkan kepada hukum keharaman dalam melaksanakan

sebuah perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik dan

perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki musyrik meskipun seorang

laki-laki dan wanita musyrik tersebut memiliki kekayaan, kecantikan, ketampanan

dan kedudukan yang tinggi. Menurut Wahbah Zuhaili keharaman dalam

pelaksanaan perkawinan tesebut didasarkan pada illat hukum ayat tersebut yaitu

pada lafadz ئك يدعون إلى النارأول (mereka itu mengajak ke neraka). Sehingga

keputusan hukum larangan melakukan perkawinan tersebut dapat juga dipahami

dengan sebuah kaidah ushul fikih yang berbunyi:

124.لدهالنهى عن الشىء أمر بArtinya: “Suatu larangan terhadap suatu perbuatan itu menunjukkan perintah

kebalikannya”

Dengan demikian, maksud dari adanya pelarangan pelaksanaan perkawinan

pada ayat tersebut menunjukkan makna kebalikannya, yaitu perintah kepada setiap

orang Islam supaya melaksanakan perkawinan dengan orang yang seiman dari

122 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 163. 123 Mayoritas ulama usul fikih mendefinisikan nahi sebagai

طنلب الكف عن الفعل عنلى جهة الإستعنلاء بالصيغة الدال عنليهArtinya: “Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada

pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu”. Lihat juga

Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 171. 124 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 177.

Page 65: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

50

golongan mereka bukan malah tertarik dengan laki-laki atau wanita dari golongan

musyrik. Dalam masalah hukum haramnya perkawinan seorang laki-laki muslim

dengan wanita musyrik dan perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki

musyrik, jumhur ulama sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat dalam

keharamannya.

Dalil-dalil al-Quran yang juga membahas tentang persoalan perkawinan

beda agama yang dijadikan sumber hukum oleh Wahbah Zuhaili adalah QS. al-

Maidah [5]: 5. Setelah diturunkannya QS. al-Maidah [5]: 5 ini, timbul banyak

pertanyaan di kalangan sahabat apakah hukum keharaman perkawinan beda agama

sudah dihapuskan dengan adanya ayat ini, ataukah hukum tersebut masih tetap ada

dan hukum pada QS. al-Maidah [5]: 5 ini tidak menasakh hukum tersebut.

Pada QS. al-Maidah [5]: 5 yang dijadikan Wahbah Zuhaili sebagai dasar

hukum tentang persoalan perkawinan beda agama menjelaskan, bahwa perkawinan

antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab itu diperbolehkan. Pada

QS. al-Baqarah [2]: 221 dijelaskan bahwa redaksi ayat tersebut bentuknya larangan,

sedangkan dalam QS. al-Maidah [5]: 5 redaksinya menggunakan bentuk takhyir

(memberikan pilihan).125 Sehingga hukum yang ditunjukkan oleh ayat yang

menggunakan bentuk takhyir ini adalah halal atau mubah (boleh dilakukan), dalam

artian tidak mendapatkan pahala jika dilakukan dan tidak juga berdosa jika

ditinggalkan.

Menurut Wahbah Zuhaili kedua dalil tersebut merupakan dalil yang

kontradiktif dalam menyelesaikan persoalan hukum perkawinan beda agama

(ta’arud).126 Sebab dalil yang pertama menjelaskan hukum keharaman melakukan

perkawinan dengan orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan

125 Menurut Abdul Karim Zaidan yang dimaksud dengan takhyir adalah

ما خير الشارع المكنلف بين فعنله وتركه

Artinya: “Bahwa Syari (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan

atau tidak melakukan suatu perbuatan”. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 171. 126 Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan ta’arudh adalah

التعارض هو أن يقتلى أحد الدليل حكما فى واقعه خنلاف ما يقتليه الدليل الاخر فيهاArtinya: “ta’arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan hukum suatu peristiwa

tertentu, sedangkan dalil yang lain menunjukkan hukum yang berbeda dengan itu”. Lihat juga Satria

Effendi, Ushul Fiqh, h. 218.

Page 66: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

51

dalil kedua menjelaskan hukum kebolehan untuk melakukan perkawinan dengan

wanita ahli kitab. Oleh karena itu, Wahbah Zuhaili berpendapat jika terjadi ta’arud

antara dua dalil, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai

berikut:127

1. Dengan mengkompromikan antara dua dalil, selama ada peluang untuk

melakukannya, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari hanya

memfungsikan satu dalil saja.

2. Jika tidak dapat dilakukan kompromi terhadap dalil-dalil tersebut, maka

jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.

3. Jika dalam tahapan tarjih tidak dapat juga dilakukan, maka langkah

selanjutnya adalah dengan meneliti mana di antara dua dalil itu yang lebih

dahulu datangnya.

4. Jika tidak juga dapat menemukan mana dalil yang terlebih dahulu datang,

maka jalan keluarnya dengan tidak memakai dua dalil itu dan dalam kondisi

yang seperti ini seharusnya seorang mujtahid merujuk kepada dalil-dalil

yang lebih rendah bobotnya.

Adapun langkah yang dilakukan oleh Wahbah Zuhaili dalam menyelesaikan

kontradiksi dalil pada persoalan perkawinan beda agama ini adalah Wahbah Zuhaili

berusaha untuk mengkompromikan antara kedua dalil tersebut. Sehingga kedua

dalil tersebut masih berfungsi hukumnya.

Dalam mengkompromikan dalil pada QS. al-Baqarah [2]: 221 yang menjadi

penekanannya adalah lafadz al-musyrikat. Siapa sajakah yang masuk dalam

kategori al-musyrikat, apakah seorang wanita ahli kitab yang dibolehkan dinikahi

itu juga termasuk bagian dari golongan orang-orang musyrik?. Dalam memahami

kata al-musyrikat Wahbah Zuhaili memberikan pengertian, al-musyrik adalah

seseorang yang menyembah Allah bersama tuhan yang lain, seperti berhala, atau

binatang-binatang, atau api, atau bintang. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i

serta mazhab lainnya menganggap perempuan yang murtad dari agama Islam itu

termasuk dalam kategori seorang musyrik. Serta pendapat para ahli fikih juga

127 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 219.

Page 67: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

52

berpendapat bahwa seorang watsaniyyah (penyembah berhala) dan majusiyyah

(penyembah api) masuk dalam kategori orang yang haram untuk dinikahi.

Meskipun pendapat ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan kata al-musyrik,

akan tetapi secara substansial yang dimaksudkan adalah sama, yaitu menjelaskan

kata al-musyrik pada ayat di atas adalah penganut agama non-samawi. Sebab

mereka menyembah berhala yang nyata-nyata berbuat syirik.

Dalam permasalahan tentang kedudukan seorang wanita ahli kitab apakah

sama dengan orang musyrik, pendapat jumhur ulama yang dikutip oleh Wahbah

Zuhaili menjelaskan bahwa mereka sepakat wanita ahli kitab itu tidak termasuk

dalam bagian tersebut. Alasan mendasar yang mempengaruhi pemikiran jumhur

ulama adalah berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 105. Dalam redaksi tersebut

penyebutan yang digunakan untuk ahli kitab dibedakan dengan huruf ‘ataf di mana

huruf ‘ataf yang digunakan dalam ayat tersebut adalah wawu yang berfungsi

menghubungkan antara dua kata yang berlainan. Oleh karena itu, secara zahir

lafadznya al-musyrik itu tidak mencakup ahli kitab.

Setelah ditemukan makna dari kata ahl al-kitab dan al-musyrik. Metode

selanjutnya yang dilakukan Wahbah Zuhaili adalah menganalisis lafadz yang

menjelaskan kebolehan perkawinan dengan ahli kitab. Apakah kata ahl al-kitab

yang ada pada lafadz tersebut termasuk dalam kata yang mutlaq128 atau justru kata

ahl al-kitab itu termasuk kata yang muqayyad.129 Dalam memahami redaksi

kebahasaan kata والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب menjelaskan bahwa lafadz tersebut

adalah termasuk kategori lafadz yang muqayyad. Ke-muqayyad-an ayat tersebut

ditunjukan dengan lafadz المحصنات yang menunjukkan makna wanita-wanita yang

menjaga kehormatannya atau seorang perempuan yang suci. Sehingga ahli kitab

yang dimaksud dalam QS. al-Maidah [5]: 5 menurut Wahbah Zuhaili adalah

128 Menurut Abdul Wahab Khalaf yang dimaksud dengan mutlaq adalah

مادل عنلى فرد غير مقيد لفيا بأي قيدArtinya: “lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu

ketentuan”. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 188. 129 Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafdziyah dibatasi

dengan suatu ketentuan. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 188.

Page 68: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

53

seorang wanita ahli kitab yang senantiasa menjaga kehormatan dan kesuciannya.

Sehingga, kebolehan tersebut tidak diberikan kepada seorang wanita ahli kitab yang

tidak menjaga kesucian dan kehormatan. Dalam makna muqayyad yang

ditunjukkan oleh ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak semua ahli kitab itu boleh

dinikahi. Argumentasi ini juga didukung dengan menggunakan dalil QS. Ali Imran

[3]: 199 yang artinya “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada yang beriman

kepada Allah”. Dengan demikian, mafhum mukhalafah makna ayat tersebut

menunjukkan adanya golongan ahli kitab yang tidak beriman kepada Allah.

Selain menggunakan sumber hukum al-Quran dalam istinbat hukumnya,

Wahbah Zuhaili juga memasukkan hadis nabi dan atsar sahabat sebagai sumber

hukum pendukung dalam menetapkan suatu hukumnya. Salah satu hadis nabi yang

dijadikan sebagai alasan diturunkannya ayat tentang larangan tersebut adalah Hadis

yang diriwayatkan oleh Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dan al-Wahidiy dari

Muqatil, dia berkata: “ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami

oleh Ibn Abi Mirtsad al-Ghinawiy, yang memohon izin kepada Nabi Muhammad

Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dapat menikah dengan ‘Anaq’ seorang wanita

musyrik yang memiliki kekayaan dan kecantikan”. Adapun dalam versi selain itu

adalah Sesungguhnya Rasulullah meminta Mirtsad ibn Abi Mirtsad ke kota

Makkah, dengan tujuan agar dia bisa mengajak umat muslim yang lainnya untuk

berjuang bersamanya. Pada waktu kedatangannya ke kota Makkah dia sudah

tertarik dengan seorang wanita jahiliyah bernama ‘Anaq’ yang dulu pernah

mendatangi dirinya dan mengajukan pertanyaan, “Apa engkau sedang kesepian?”

kemudia Mirtsad menjawab, ya, namun Islam menghalangi kita. Anaq kembali

bertanya, “Bersediakah engkau mengawiniku?.” Kemudian Mirtsad menjawab, ya,

namun saya akan berikan jawaban setelah saya mendapatkan izin dari Rasulullah.130

130 Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut

يه نبى صنلى الل عنلنزلت هذه الاية فى ابن أبى مرثد الغنوي استأذن ال :أخرج ابن المنذر وابن أبى حاتم والواحدي عن مقاتل قال أن رسول الل صنلى :ويف عبارة أو فى رواية اخرى .فنزلت ,واكنت ذات حظ من جمال ,أن يتزوجها وهى مشركة (عناق)وسنلم فى

:واكن يهوي امرأة فى الجاهنلية اسمها ,ليخرج منها ناسا من المسنلمين ,الل عنليه وسنلم بعث مرثد بن أبى مرثد الغنوي إلى مكةع ولكن أرج ,قال نعم ؟فهل لك أن تتزوج بى :فقالت ,إن الإسنلام قد حال بيننا ,ويحك :فقال ؟ألا تخنلوا :وقالت ,تهفأت ,عناق

.فنزلت ,فاستأمره ,فاستأمره ,إلى رسول الل صنلى الل عنليه وسنلم

Lihat juga Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 1, h. 660.

Page 69: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

54

Berdasarkan hadis di atas yang menjadi latar belakang turunnya ayat 221 al-

Baqarah dapat dipahami bahwa kandungan hukum di dalam ayat tersebut tujuannya

adalah untuk memberikan jawaban dari peristiwa tersebut. Oleh karena itu, jawaban

yang diberikan pada ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman perkawinan

antara orang Islam dengan orang musyrik, baik dengan laki-laki atau wanitanya.

Namun belum mencakup tentang ketentuan hukum perkawinan seorang muslim

dengan wanita ahli kitab. Adapun dalil yang juga dijadikan oleh Wahbah Zuhaili

sebagai sumber hukum dalam penetapan hukum perkawinan antara seorang muslim

dengan wanita ahli kitab adalah mazhab sahabi131.

Sumber mazhab sahabi yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili didasarkan

pada ijtihad yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Pada waktu itu Umar ibn

Khattab memerintahkan kepada semua orang Islam yang telah melakukan

perkawinan dengan ahli kitab untuk menceraikan istri mereka. Maka semua orang

Islam yang melakukan perkawinan tersebut menceraikannya kecuali Huzaifah.

Kemudian Umar r.a. mengirim surat kepadanya setelah dia berhasil menduduki kota

Madain setelah bertambah banyaknya jumlah wanita muslimah di sana, “Saya

dengar kamu telah menikah dengan wanita ahli kitab dari Madain, maka

ceraikanlah dia”. Kemudian Huzaifah membalas surat itu, “Saya tidak akan

melakukannya, kecuali terlebih dahulu kamu memberitahu saya apakah pernikahan

itu halal atau haram? Dan apa yang kamu inginkan dari surat itu?” kemudian Umar

membalasnya, “Tidak, bahkan halal. Akan tetapi wanita ajam (selain Arab) itu akan

memperdaya kamu. Jika kamu menjadikan mereka sebagai istri kamu, maka

mereka akan melupakanmu terhadap istri-istrimu (yang lain, yang berdarah Arab)”.

Huzaifah kemudian membalas surat Umar, “Sekarang saya akan

menceraikannya”.132

Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Umar ibn Khattab menunjukkan

bahwa sebenarnya persoalan perkawinan beda agama diperbolehkan oleh

131 Adapun yang dimaksud dengan mazhab sahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah

tentang suatu kasus yang hukumnya tidak secara tegas dijelaskan dalam al-Quran dan Sunah

Rasulullah. Lihat juga Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 154. 132 Muhammad Baltaji, Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i, Penerjemah Masturi

Irham, Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab, h. 326.

Page 70: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

55

Rasulullah, namun pada waktu masa kepemimpinan Umar ibn Khattab menjadi

khalifah perkawinan tersebut dianggap sebagai suatu perkawinan yang tidak lagi

menjadi perkawinan yang dibolehkan. Sehingga menurut Wahbah Zuhaili ketidak

senangan seorang Umar dalam perkawinan yang dilakukan oleh Huzaifah adalah

bentuk kekhawatiran Umar sebagai seorang khalifah, Umar khawatir ketika

perkawinan tersebut dilakukan oleh masyarakat secara umum, yang mengakibatkan

para orang-orang muslim sesudahnya tidak akan lagi suka dengan para wanita-

wanita muslimah dan menjadikan wanita-wanita muslimah menjadi perawan tua.

Oleh karena itu. Konsep kemaslahatan yang digunakan oleh Umar merupakan suatu

siasat dan strategi yang sangat cocok untuk digunakan pada kondisi saat ini di mana

kelemahan umat Islam awam pada umumnya adalah meniru apa yang telah

dilakukan dan ditetapkan oleh para sahabat sehingga orang-orang akan

menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang halal dan dianjurkan dalam ajaran

agamanya.133

Selain menggunakan pertimbangan mazhab sahabi, agar tidak terlihat

fanatisme terhadap beberapa pendapat saja Wahbah Zuhaili juga mengemukakan

pandangan empat mazhab untuk dapat diambil pendapat yang lebih dikuatkan.

Pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan bahwa hukum

makruh tersebut dilihat pada kondisi wanita ahli kitab tersebut ahli kitab zimi atau

ahli kitab harbi. Berbeda dengan ulama Syafi’iyyah, dalam menetapkan hukum

perkawinan beda agama lebih ditekankan dalam urusan maslahah dan mafsadah

yang nanti muncul akibat perkawinan beda agama tersebut.

Dalam proses mengkompromikan dua dalil yang bertentangan tersebut

Wahbah Zuhaili juga menjadikan sadd al-dzari’ah sebagai bentuk pendekatakan

dalam mewujudka tujuan syariah (maqasid syari’ah). Adapun yang dimaksud

dengan sadd al-dzari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan

atau kejahatan. Menurut Wahbah Zuhaili salah satu bentuk perbuatan yang dapat

133 Tindakan yang dilakukan Umar adalah sebagai bentuk ketegasan seorang pemimpin

dalam memberikan kemaslahatan untuk rakyatnya sebagaimana kaidah fikih.

تصرف الإمام عنلى الراعية منوط بالمصنلحةArtinya: “kebijakan seorang pemerintah atas rakyat itu harus didasarkan pada kemaslahatan”

Page 71: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

56

menjadi bagian wasilah menuju kebinasaan atau kejahatan diantaranya adalah134

1. Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi

suatu hal yang diharamkan saja, tetapi esensi dari perbuatan itu sendiri

adalah haram.

2. Perbuatan yang secara esensialnya diperbolehkan, namun perbuatan

tersebut memungkinkan untuk digunakan kepada sesuatu yang diharamkan.

Dalam persoalan perkawinan antara seorang muslim dengan seorang wanita

ahli kitab termasuk dalam kategori yang kedua. Di mana perbuatan tersebut secara

esensialnya diperbolehkan, namun kemungkinan akan membawa kepada

kebinasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatannya.

Oleh karena itu, jika perkawinan tersebut tetap saja dilakukan dan marak

dalam kehidupan masayarakat secara umum, maka tujuan adanya syariah tidak bisa

terwujud. Salah satu dampak buruk yang diakibatkan atas terjadinya perkawinan

seorang muslim dengan seorang wanita ahli kitab adalah sebagai berikut:

1. Berdampak kepada agama seorang anak, anak yang terlahir dari perkawinan

antara seorang wanita ahli kitab akan mengalami kebingungan dalam

menentukan agama yang harus dia ikuti antara seorang ayah atau ibunya.

Sehingga dapat menimbulkan keributan antara suami dan istri (Hifdz al-

Nasl).

2. Berdampak kepada agama seorang suami, ketika seorang laki-laki muslim

yang lemah yang belum secara kuat dalam memegang keimanannya

menikah dengan seorang wanita ahli kitab dikhawatirkan dia akan berpaling

dari agama Islam dan ikut kepada agama istri. (Hifdz al-Din)

3. Berdampak kepada harta warisan, seorang laki-laki muslim yang menikah

dengan wanita ahli kitab ketika sang suami meninggal dunia maka istri tidak

dapat mewarisi harta warisan tersebut, dikarenakan berbeda agama menjadi

penghalang seseorang mewarisi di dalam agama Islam. (Hifdz al-Mal).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Wahbah Zuhaili dalam menetapkan

hukum tentang perkawinan beda agama metode yang digunakan adalah dengan

134 Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 158.

Page 72: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

57

mengambil dalil-dalil al-Quran, Sunah, pendapat sahabat, pendapat empat imam

mazhab, serta pendapat ulama dengan mengkompromikan dua dalil al-Quran yang

bertentangan menggunakan pendekatan sadd al-dzari’ah. Oleh karena itu, dalam

kesimpulan hukumnya Wahbah Zuhaili tidak terlihat dalam keberpihakannya

dengan salah satu mazhab. Akan tetapi Wahbah Zuhaili lebih cenderung melihat

hukum sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masyarakat. Bagi Wahbah

Zuhaili dalam pelaksanaan syariat tidak boleh melupakan tujuan dari syariat

tersebut (maqasid syari’ah). Karena berbicara tentang agama itu tidak hanya soal

halal-haram, namun banyak berbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya.

C. Relevansi Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Perkawinan Beda Agama

Pemikiran Wahbah Zuhaili mengenai kebolehan perkawinan beda agama itu

hanya diperuntukkan bagi seorang muslim dengan seorang wanita ahli kitab

berdasarkan QS. al-Maidah [5]: 5. Sedangkan untuk persoalan perkawinan seorang

wanita muslimah dengan laki-laki ahli kitab atau kafir serta seorang muslim

menikahi seorang wanita musyrik atau sebaliknya hukumnya adalah tetap haram

dan dilarang berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Mumtahanah [60]:

10.

Indonesia merupakan negara hukum, yaitu negara yang sistem

kenegaraannya menggunakan norma-norma hukum yang berlaku. Secara

keseluruhan kehidupan dan pergerakan bangsa Indonesia ini diatur oleh sebuah

hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang

berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam

pasal tersebut terlihat bahwa negara benar-benar telah menjamin para penduduknya

untuk dapat memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan kehendak nurani

masing-masing.

Meskipun negara telah menjamin kebebasan para penduduknya untuk dapat

memeluk agama sesuai dengan kehendak dan keyakinannya, tetapi dalam urusan

perkawinan tetap memperhatikan keterlibatan aspek agama dalam peraturannya

secara lebih rinci. Alasan keterlibatan aspek agama adalah dengan tujuan untuk

Page 73: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

58

menjaga ketertiban bersama serta agar tidak menimbulkan konflik horizon di

masyarakat.135 Oleh karena itu, negara telah mengatur persoalan perkawinan pada

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.136 Salah satu

aspek yang dimaksud dalam pasal tersebut yakni, menjelaskan bahwa suatu

perkawinan dilaksanakan menurut masing-masing agama. Perkawinan beda agama

menurut hukum agama-agama yang ada di Indonesia dapat diketahui bahwa

masing-masing agama yang ada di Indonesia secara substansinya tidak memberikan

peluang kepada umatnya untuk menikah dengan umat di luar agamanya.137

Tidak adanya peluang yang diberikan oleh agama-agama yang ada di

Indonesia untuk melakukan perkawinan dengan umat di luar agamanya

menunjukkan bahwa perkawinan beda agama sesungguhnya tidak dikehendaki oleh

setiap ajaran agama. Jika dikaitkan dengan aturan hukum negara, maka sesuatu

yang diajarkan oleh agama-agama di Indonesia menjadi suatu hal yang linier

dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Oleh karena itu, pada

pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974138 yang mengatur

tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44139 telah secara

jelas menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam tidak

dibenarkan melakukan perkawinan beda agama baik menurut syariat maupun

undang-undang yang berlaku.

Menurut analisis penulis, pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili

dalam persoalan perkawinan beda agama bersifat limitatif sesuai dengan konteks

ke-Indonesiaan, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah suatu negara yang

135 Indonesia bukanlah sebuah negara yang sekuler, sehingga masih mempertimbangkan

moral agama di dalam segala aspek pengaturan hukumnya. Dibuktikan dengan landasan ideologis

masyarakat Indonesia yang mengacu pada Pancasila, yaitu sila yang pertama, yang sangat

fundamental dan filosofis. 136 Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Lihat Asnawi,

Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI, (Kudus: Menara Kudus, 2001), h. 5. 137 Ihtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara RI, (Jakarta: Badan Litbang Agama

dan Diklat Keagamaan RI Depag, 2003), h. 128. 138 Pasal 8 (f) yang berbunyi, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai

hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin” Lihat Asnawi,

Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI, (Kudus: Menara Kudus, 2001), h. 7. 139 Peradilan Agama dan KHI Indonesia, tentang “Larangan Perkawinan Beda Agama”

pasal 44 yang berbunyi, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang

pria yang tidak beragama Islam”

Page 74: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

59

memiliki toleransi atau pluralis dalam beragama. Namun pluralisme dalam

keberagaman tersebut tetap ada batasnya. Adanya pembatasan tersebut merupakan

salah satu tujuan untuk menjamin hubungan kehidupan sosial kemasyarakatan yang

selalu rukun dan saling menghargai. Sehingga negara tidak perlu lagi membentuk

suatu aturan hukum yang lebih spesifik dan khusus untuk melindungi praktik

perkawinan beda agama di Indonesia karena hal tersebut akan menimbulkan

konflik-konflik sosial.

Page 75: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

60

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang telah saya sampaikan pada

bab-bab sebelumnya, maka saya sebagai penulis dapat menyimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Sebagai seorang ulama fikih kontemporer yang integritas keilmuannya di

beberapa bidang, khususnya dalam bidang hukum Islam yang banyak

dijadikan rujukan oleh kalangan akademisi maupun masyarakat umum,

Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa perkawinan beda agama

pembahasannya dibagi menjadi 3 bagian, antara lain:

a. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik

Dalam perkawinan ini, Wahbah Zuhaili berpandangan bahwa

perkawinan tersebut haram untuk dilakukan, baik dilakukan antara

seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik ataupun seorang

wanita muslimah dengan laki-laki musyrik. Argumentasi Wahbah

Zuhaili didasarkan pada QS. al-Baqarah [2]: 221. Adapun alasan

larangan pelaksanaan perkawinan ini menurut Wahbah Zuhaili adalah

perkawinan yang dilakukan dengan orang musyrik mengajak kepada

kekafiran sehingga menjerumuskan ke neraka dan orang-orang musyrik

tidak memiliki agama yang membimbing kepada kebenaran sehingga

kehidupan di dalam rumah tangga menjadi tidak tentram dan tidak

tercapai tujuannya.

b. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki kafir

Sedangkan dalam hal perkawinan seorang wanita muslimah

dengan laki-laki kafir menurut Wahbah Zuhaili secara ijmak hukumnya

haram, meskipun laki-laki tersebut masuk dalam kategori seorang laki-

laki ahli kitab. Pendapat Wahbah Zuhaili didasarkan pada dalil QS. al-

Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 10. Salah satu alasan

keharaman tersebut adalah dikhawatirkan mempengaruhi agama wanita

Page 76: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

61

muslimah sehingga wanita tersebut berpaling dari Islam, karena dalam

sebuah keluarga seorang laki-laki memiliki peran sebagai kepala

keluarga dan laki-laki kafir itu mengajak ke neraka.

c. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab

Menurut Wahbah Zuhaili kebolehan perkawinan hanya boleh

dilaksanakan oleh seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab

saja, bukan sebaliknya. Pendapat ini didasarkan pada QS. al-Maidah

[5]: 5. Adapun dalam kebolehan pelaksanaannya bukanlah suatu

kebolehan yang bersifat asal atau mutlak, akan tetapi ketentuan

kebolehan ini berlaku pada kondisi tertentu saja, di mana seorang yang

melaksanakan perkawinan memiliki tujuan untuk membawa misi kasih

sayang dan harmonisme, sehingga istri dapat lebih baik dalam

mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah

praktis dan dapat memunculkan ketertarikan pada wanita ahli kitab

untuk menjadi pemeluk agama Islam.

Sedangkan jika perkawinan tersebut dilakukan justru

menimbulkan banyak kekhawatiran daripada kemaslahatannya, maka

hukum pelarangan pelaksanaan perkawinan tersebut lebih cocok untuk

diterapkan.

2. Adapun dalam proses istinbat hukum yang digunakan Wahbah Zuhaili

dalam penetapan hukum tentang perkawinan beda agama adalah dengan

cara menggunakan sumber hukum Islam yang pertama adalah al-Quran,

selain al-Quran Wahbah Zuhaili juga menggunakan dalil Sunah,

berdasarkan kedua dalil tersebut ditemukan dalil yang saling bertentangan

(ta’arud al-adillah) pada dalil al-Qurannya. Sehingga mengharuskan

Wahbah Zuhaili mengkompromikan kedua dalil tersebut agar kedua dalil

tersebut masih dapat digunakan kedua hukumnya. Dalam proses

mengkompromikan dalil QS. al-Baqarah [2]: 221 dan QS. al-Ma’idah [5]: 5

metode yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili adalah dengan menganilisis

pada aspek kebahasaan. Salah satu penekanannya adalah pada lafadz al-

musyrik dan ahl al-kitab. Setelah ditemukan hasilnya tentang kedua lafadz

Page 77: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

62

tersebut, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Wahbah Zuhaili adalah

melihat pendapat salah satu sahabat tentang perkawinan beda agama, yakni

pendapat sahabat Umar ibn Khattab sewaktu menjadi seorang khalifah.

Serta melakukan metode perbandingan atas beberapa pandangan empat

mazhab. Berdasarkan sumber hukum tersebut sekaligus memperhatikan

pada tujuan adanya syariat Wahbah Zuhaili memutuskan untuk

menggunakan metode sadd al-dzari’ah. Yang mana pada metode ini

Wahbah Zuhaili melihat kebolehan perkawinan beda agama di dalam QS.

al-Maidah [5]: 5 seharusnya tidak lagi menjadi suatu perkawinan yang

dibolehkan dikarenakan melihat kondisi dan kebutuhan yang tidak lagi

seperti pada waktu itu. Karena bagi Wahbah Zuhaili dalam pelaksanaan

syariat tidak boleh melupakan tujuan dari syariat tersebut (maqasid

syari’ah). Sehingga berbicara tentang agama itu tidak hanya soal halal-

haram, namun banyak berbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya.

3. Relevansi pemikiran Wahbah Zuhaili mengenai perkawinan beda agama

sangat linier dengan semangat masyarakat dan hukum di Indonesia.

Meskipun Indonesia adalah negara yang pluralis namun demikian masih

tetap ada pembatasnya. Pembatasan tersebut semata-mata hanya untuk

menjamin kehidupan yang aman dan terkendali. Perkawinan Beda Agama

di dalam Perundang-undangan Indonesia tidak diakui karena hal itu tidak

sesuai dengan cita hukum masyarakat Indonesia.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam skripsi ini demi

mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk penulis

pada khususnya adalah sebagai berikut:

1. Dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi

dalam perkawinan, sebaiknya seorang pemuda dan pemudi berupaya lebih

keras lagi dalam mencari calon pasangan hidupnya. Salah satu hal yang

menjadi perhatian khusus adalah dalam aspek kesamaan akidah atau

keimanannya.

Page 78: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

63

2. Dalam bidang akademik, diharapkan semakin banyak peneliti yang lebih

mendalami kajian tentang perkawinan beda agama terutama dalam proses

istinbat hukum agar dapat ditemukan forumulasi yang semakin terbaharu

dalam penelitiannya.

1. Dalam bidang pemerintahan, diharapkan ada undang-undang yang secara

tegas mengatur tentang perkawinan beda agama dengan memperhatikan

maqasid syari’ahnya. Sehingga peraturan tersebut dapat mengakomodir

persoalan tersebut.

Page 79: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

64

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. ‘Amal al-Kamilah li al-imam Muhammad Abduh. Juz IV.

Kairo: Dar al-Syuruk, 1413 H.

______________. Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilmu wa al-Madaniyah.

Kairo: Dar al-Manar, 1373 H.

Af’idah, Shikhkhatul. Metode dan Corak Tafsir al-Wasit Karya Wahbah az-

Zuhaili. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam

Negeri Walisongo Semarang, 2017.

Al-Arabi, Ibn. Ahkam al-Quran. Jilid IV. Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-

‘Amiyah, 1998.

Al-Juzairi, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah. Jilid IV. Kairo: al-

Maktaf al-Tsaqafy Publishing, 1420 H. Al-Sabuni, Muhammad Ali. Tafsir al-Ayat al-Ahkam. Penerjemah Mu’ammal

Hamidy dan Imran A. Manan. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni.

Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008.

Al-Suyuti, Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. Penerjemah Tim Abdul

Hayyie. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Quran. Depok: Gema

Insani, 2008.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Asdi Mahasatya, 2002.

Asnawi. Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI. Kudus: Menara Kudus,

2001. Baltaji, Muhammad. Manhaj Umar ibn Khattab fi al-Tasyri’i. Penerjemah Masturi

Irham. Metodologi Ijtihad Umar ibn Khattab. Jakarta: Khalifa, 2005. Cawidu, Harifudin. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologi dengan

pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Dahwal, Sirman. Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di

Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2016. Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017.

Eoh, O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja

Grafindo, 1997.

Fachrudin, Fuad Mohd. Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib. Jakarta:

Kalam Mulia, 1993.

Fajri, Maulina. Hukum Muslim Mewarisi Harta dari Keluarga yang Kafir Menurut

Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qardawi. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2017.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan

Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Fath, Amir Faishol. Nadzariyat al-Wihdah al-Quraniyah Inda Ulama al-Muslimin

Wa Dawaruha fi al-Fikr al-Islam. Penerjemah Nasiruddin Abbas. The Unity

of Al-Quran. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008.

Page 80: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

65

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama. cet. 2. Bandung: Mandar Maju, 2003.

Hasan, Abdul Halim. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana, 2006.

Hasan, Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002.

Nasution, Rumondo. Penelitian Hukum tentang Pelaksanaan Hukum dalam

Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status

Anak. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994.

Hayatunnisa, Eka dan Anwar Hafidzi. Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui

Pendekatan Alla Tuqsitu fi al-Yatama dalam Kitab Fikih Islam wa

Adillatuhu. Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. Universitas

Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Vol. 17 No. 1 Juni 2017.

Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003.

Ihtiyanto. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Jakarta: Badan Litbang Agama

dan Diklat Keagamaan RI Depag, 2003. Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allamah al-Syam Syekh Wahbah al-Zuhaili.

Depok: Al-Hikam Press, 2017.

Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir. Penerjemah Arif Rahman Hakim dkk. Terjemah

Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2. Solo: Insan Kamil, 2006.

Khalaf, Abdul Wahab. Ijtihad dalam Syariat Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2015.

Khoiri, M. Alim. Kedudukan Qaul Sahabat dalam Istinbat Hukum Islam: Analisis

Komparatif Pemikiran Ibn Hazm dan Wahbah al-Zuhaili. Jurnal SMaRT.

Vol. 2 No. 2 Desember 2016.

Luthfi, Hanif. Hukum Fikih Seputar Ahli Kitab. Jakarta: Rumah Fikih Publishing,

2018.

Mahjuddin. Masa’il al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam. Jakarta:

Kalam Mulia, 2016.

Muhajir, Noeng. Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Muhammadun. Pemikiran Hukum Islam Wahbah al-Zuhaili dalam Pendekatan

Sejarah. Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon. Misykah. Vol. 1 No.

2 Juli-Desember 2016.

Narbuko, Cholid. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. cet. 9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004.

Nurcholish, Ahmad. Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama. Tangsel:

Harmoni Mitra Media, 2012.

Peradilan Agama dan KHI di Indonesia. tentang “Larangan Perkawinan Beda

Agama pasal 44”. Medan: Duta Karya, 1995.

R, M. Dahlan. Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2015.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011.

Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 2017.

Page 81: METODE ISTINBÂT̠ HUKUM WAHBAH ZUHAILIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45165/1/MUHAMMAD... · Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf

66

______________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jilid

3. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Pnelitian. Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Jakarta, 2010.

Suhadi. Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar. Yogyakarta: LKiS, 2006.

Syafruddin. Penafsiran Ayat Ahkam al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir. Disertasi

S3 Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2014.

______________. Ushul Fiqh. Jilid 2. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014.

Yaqub, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits.

Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2005.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie dkk.

Fikih Islam wa Adillatuhu. Jilid 9. Depok: Gema Insani, 2011.

______________. Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.

Penerjemah Abdul Hayyie dkk. Terjemah Tafsir Munir. Jilid 1. Depok:

Gema Insani, 2013.

______________. Tafsir al-Munir al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Jilid

1. Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.