model pengembangan “agro-eco-industrial park ... … · bagan alir, skala likert, metode ism...

239
MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG, PROVINSI SULAWESI UTARA BROERIE POJOH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Upload: builiem

Post on 07-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

MODEL PENGEMBANGAN

“AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG, PROVINSI SULAWESI UTARA

BROERIE POJOH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 2: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pengembangan

“Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Bogor, Mei 2010

Broerie Pojoh

NRP P061060161

Page 3: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

ABSTRACT

BROERIE POJOH. Model Development of Agro-Eco-Industrial Park Bitung, North Sulawesi Province. Under Direction of

RIZAL SYARIEF, as Chairman of the Supervision Committee, KUDANG BORO SEMINAR and SUDARMASTO as Co-Chairmen Supervision Committee.

Industrial challenges of the 21st century gave birth to the concept of sustainable industry which in turn was followed by industrial ecology, a concept which tries to apply the non-waste ecological systems to industrial production systems. The application of industrial ecology concept gave birth to the term eco-industrial park (EIP). The general purpose of this research is to build a model development of Agro-eco-industrial park (AEIP) Bitung, North Sulawesi Province. Method used is FAST (synergy tool facility), Connectance Value, Likert Scale, ISM Method, AHP methods and Powersim Studio Expert 2005. The research shows that in terms of production and environmental management, agro-based industries in Bitung City were assessed to be as good enough. Pattern of linkages among industries was 23.64%, or still in low figure. Result also showed that AEIP alternative priority model that includes the activities of manufacturing industries, cooperation and exchange of waste materials, cattle, poultry, slaughter house, composting, renewable energy generation sources, and wastewater treatment facilities is of alternative model that can be developed in Bitung City. The design of dynamic models of that alternative priority model produces dominant variables, namely: Marine Fisheries-based Industry Sub-Model, Coconut-based Industry Sub-Model, Agro-Industrial Complex Sub-Model, Renewable Energy Generation Sub-Model, and Waste and by-Products Sub-Model. The dynamic models showed that in 15th year, the Agro-EIP model will reduce waste and or increase by-products usage as follows: reduce fish blood of 161,950 liters (24.96%), reduce cattle urine of 161,950 liters (6.25%), feces of beef cattle and chickens as many as 2,015,733 kg (94.40%); increase usage of marine fisheries by-products as many as 24,290,500 kg (93.59%), coconut water by-products as many as 11,803,600 liters (93.01%), coconut shell as many as 2,160,000 kg (>100%), “paring” of coconut flesh as many as 2,447,200 kg (90.64%), and in general lowering of the liquid waste, i.e. coconut milk, fish blood, and urine of cattle as many as 12,127,500 liters (1% of the total liquid waste). S

teps that can accelerate the realization of the model are development of Industrial Park in Kelurahan Tanjung Merah and approval of Special Economic Zone (KEK) in Bitung City. In order to meet the need of coconut and marine fish raw materials, the Government should try to reduce IUU (illegal, unreported, unregulated) activities, and to build non-conventional coconut production policy, i.e. derived essential coconut products for health care and body treatments.

Keywords:sustainable industry, industrial ecology, connectance value of industry, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, dynamic models.

Page 4: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

RINGKASAN

BROERIE POJOH. Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, KUDANG BORO SEMINAR dan SUDARMASTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Tantangan industri abad ke-21 melahirkan konsep industri berkelanjutan yang selanjutnya diikuti oleh ekologi industri, suatu konsep yang mencoba mengaplikasi sistem ekologi yang nir-limbah ke sistem produksi industri. Penerapan dari konsep ekologi industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP). Tujuan Umum Penelitian ini adalah membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Penambahan kata “agro” berkaitan dengan eksistensi mayoritas industri agro yang beraktivitas di kota itu. Tujuan khususnya adalah: mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur; menganalisis program pengembangan model; dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model. Metode penelitian yang digunakan adalah FaST (facility synergy tool), pengelompokan SWOT, Connectance value, Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif, dan Program Powersim Studio Expert 2005. Hasil penelitian terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur menunjukkan bahwa mayoritas industri yang beraktivitas di Kota Bitung adalah industri agro berbasis perikanan laut dan kelapa dimana dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerjanya dinilai cukup baik. Selanjutnya diketahui bahwa aktivitas industri agro mendapat dukungan positif dari pemangku kepentingan, seperti warga masyarakat dan aparat Pemerintah dan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan positif dari warga masyarakat, aparat pemerintah, dan pelaku industri agro. Kondisi eksisting kualitas air sungai dan sumur di rencana lokasi Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah termasuk dalam kategori baik. Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung adalah sebesar 23,64% atau masih dalam kategori rendah. Hasil penelitian terhadap Program Pengembangan AEIP menunjukkan bahwa elemen kunci dari tujuan program adalah membangkitkan energi dengan sumber terbarukan dan meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Elemen kunci dari kendala utama program adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep AEIP dan rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Selanjutnya diketahui bahwa Model AEIP prioritas yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, RPH, pengomposan, pembangkitan energi listrik terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan alternatif model prioritas yang dapat dikembangkan di Kota Bitung. Perancangan model dinamik dari alternatif model prioritas tersebut menghasilkan variabel-variabel dominan, yaitu: Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Pola keterkaitan antar industri di dalam AEIP Bitung adalah sebesar 36,67% atau meningkat dibandingkan dengan nilai pola keterkaitan antar industri manufaktur/agro eksisting. Beberapa hal pokok dari hasil simulasi adalah potensi bahan baku perikanan laut dan kelapa lebih kecil dari kebutuhan industri. Jumlah industri hasil simulasi adalah 64 unit yang terdiri atas enam unit industri besar (masing-masing

Page 5: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

tiga unit industri besar berbasis perikanan laut dan tiga unit industri besar berbasis kelapa) dan 58 unit industri menengah dan kecil dimana pembangunan semua unit industri dilakukan dalam selang waktu 15 tahun. Kebutuhan lahan untuk pendirian ke-64 unit industri dan fasilitas pendukungnya diperkirakan seluas 520.000 m2, atau masih menyisakan lahan seluas 460.000 m2 apabila rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah seluas 980.000 m2

Pada tahun ke-15, AEIP Bitung menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Penurunan limbah cair adalah sebagai berikut: darah ikan sebesar 161.950 liter (24,96%), urine ternak sapi 161.950 liter (6,25%), feces ternak sapi, ayam, dan RPH adalah 2.015.733 kg (94,40%). Peningkatan pemanfaatan bahan ikutan perikanan laut sebanyak 24.290.500 kg (93,59%) dan bahan ikutan air kelapa sebanyak 11.803.600 liter (93,01%), tempurung kelapa 2.160.000 kg (>100%), dan paring kelapa 2.447.200 kg (90,64%). Secara keseluruhan menurunkan limbah cair air kelapa, darah ikan, dan urine ternak sapi sebanyak 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total).

(yang diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) terealisir. Pada tahun ke-15 setelah AEIP Bitung didirikan dan ketika semua unit industri telah didirikan dan beraktivitas, Nilai Produksi AEIP Bitung adalah Rp 825,6 milyar dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 1.526 orang. Terdapat korelasi positif antara meningkatnya nilai produksi AEIP dan meningkatnya penggunakan bahan ikutan dan limbah industri. Potensi pembangkitan energi listrik terbarukan pada tahun ke-15 adalah 58.648 kWh dengan nilai produksi Rp 56,89 juta.

Untuk merealisir pembangunan AEIP Bitung maka langkah-langkah yang dapat mempermudah realisasinya adalah terwujudnya pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dan ditunjuknya Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tahapan-tahapan kegiatan yang dapat dilakukan untuk membangun AEIP Bitung adalah: Penyusunan masterplan kawasan industri; Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; Sosialisasi AEIP; Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; Perumusan tata tertib kawasan industri; Penetapan pola harga kapling industri; dan Penyiapan sistem rekruitmen tenan; Pembangunan infrastruktur kawasan industri; Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan; Pembangunan fasilitas daur ulang; Pembangunan fasilitas riset; Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa; Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; Pembangunan fasilitas training; Pembangunan pusat promosi dan bisnis; Penyiapan sistem transportasi bersama; Pembangunan klinik kesehatan; Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan Pembangunan perumahan karyawan; Program kerjasama pertukaran materi dan limbah; dan Program pengembangan masyarakat (CSR). Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku perikanan laut dan kelapa maka perlu ada upaya untuk melakukan beberapa hal seperti menekan atau menurunkan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated), budidaya perikanan laut, intensifikasi produksi kelapa, dan membangun kebijakan produksi industri kelapa non-konvensional, yakni produk-produk esensial turunan kelapa untuk pemeliharaan kesehatan dan perawatan tubuh. Kata kunci: industri berkelanjutan, ekologi industri, nilai keterkaitan antar industri, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, model dinamik.

Page 6: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 7: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG,

PROVINSI SULAWESI UTARA

BROERIE POJOH P061060161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Page 8: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

Penguji Luar Komisi:

Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira-Sa’id, MA. Dev.

2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor

Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mesdin K. Simarmata, M.Sc.

2. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA.

Page 9: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

Judul Disertasi : Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Nama : Broerie Pojoh NRP : P061060161 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc. Anggota Anggota

Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE.,M.A.

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 16 April 2010 Tanggal Lulus:

Page 10: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

KATA PENGANTAR Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku

tidak akan goyah (Mazmur 62:3). Terima kasih Tuhan Yesus karena kasihMu

membuat semua tahapan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat

dilakukan dengan baik.

Tema penelitian ini menyangkut keberlanjutan aktivitas industri dengan

judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung, Provinsi Sulawesi

Utara.” Penelitian ini merupakan sumbangan bagi upaya mengantisipasi

tantangan industri abad ke-21 yang menuntut perubahan paradigma produksi

dari melihat limbah dan bahan ikutan sebagai beban menjadi tantangan usaha.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang tinggi kepada:

1. Menteri Perindustrian RI yang telah memberikan penugasan untuk mengikuti

perkuliahan Program S3 melalui pemberian SK Tugas Belajar.

2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen

Perindustrian beserta staf yang telah memberikan persetujuan bagi

penugasan untuk mengikuti Program ini.

3. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Departemen Perindustrian

serta staf yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti program

perkuliahan dan mengatur seluruh pembiayaan selama perkuliahan.

4. Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, Dr. Joseph J.

Pardede, yang memberi dorongan semangat dalam proses pengambilan

keputusan untuk mengikuti program ini.

5. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang

dengan sangat terbuka dan penuh kehangatan membimbing dan

mengarahkan untuk melewati tahap demi tahap proses penelitian ini.

6. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc., selaku Anggota Komisi

Pembimbing, yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat

berarti dalam penelitian dan penulisan ini.

7. Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing,

yang memberi bimbingan dengan penuh perhatian dan penuh kebapakan.

8. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., selaku Ketua Program Studi PSL IPB,

beserta jajaran Dosen dan Staf, yang memberi cakrawala berpikir ilmiah

dalam melewati tahap demi tahap menuju gelar tertinggi akademik.

9. Walikota Bitung yang telah memberi izin penelitian di Kota Bitung.

Page 11: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

10. Ir. James Rompas MS, selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah, Kota Bitung yang telah memberikan informasi yang diperlukan

sekaligus sebagai Tim Ahli.

11. Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh yang membagi pengetahuan dan sekaligus sebagai

Tim Ahli.

12. Drs. Herman Rompis, MS yang memberikan bantuan penyiapan tenaga

surveyor untuk pengumpulan data.

13. Dr. Ir. I Ketut Ardana yang dengan ikhlas membantu meletakkan dasar

dalam membangun model yang menjadi salah satu fokus penelitian ini.

14. Ir. Jackry Lolowang, MS. yang dengan tulus membantu mengumpulkan data

industri berbasis perikanan laut di Kota Bitung.

15. Ir. Henry Pajow, MSi yang telah membantu memasok data yang diperlukan.

16. Pihak-pihak industri manufaktur di Kota Bitung yang telah menjawab

kuisioner yang disampaikan oleh penulis.

17. Rekan-rekan sekantor di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado yang

mendukung dan mendoakan keberhasilan studi penulis.

18. Rekan-rekan seangkatan PSL-IPB 2006 yang telah menciptakan

kebersamaan dalam keseharian kuliah serta saling mendorong untuk

keberhasilan bersama.

19. Saudara-saudaraku yang mendoakan, mendorong, dan berharap akan

keberhasilan studi ini; khususnya untuk Ibu Mertua (Ibu Juliana Goni), yang

tak putus-putusnya mendoakan kesehatan dan keberhasilan studi penulis.

20. Rekan-rekan kost di Jln. Perwira 12, Caringin, dan Asrama Sam Ratulangi

Bogor Baru yang melewati masa ini dalam kebersamaan yang membangun.

21. The last but not the least, untuk anak kami tercinta Rachel Ribka Pojoh yang

menjadi inspirasi untuk penyelesaian studi ini, dan khususnya untuk istriku

yang kukasihi, Deeske, untuk doa dan dorongan serta kerelaan untuk

berkorban.

Penelitian dan laporan hasil penelitian ini belum sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran yang diberikan untuk penyempurnaannya akan diterima dengan

senang hati.

Bogor, Mei 2010

Broerie Pojoh

Page 12: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 2

November 1962 sebagai anak ke-empat dari tujuh bersaudara dari keluarga

Guru yang bersahaja, yaitu Papa, Petrus Pojoh (Alm) dan Mama, Agustina Silap

(Almh).

Pada tahun 1974 menyelesaikan studi di SD Kristen X Kotamobagu,

selanjutnya tahun 1977 menyelesaikan studi di SMP Kristen Kotamobagu, dan

Tahun 1981 menyelesaikan studi di SMA Negeri Kotamobagu. Pada tahun 1981

mengikuti pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

Manado dan menyelesaikannya pada tahun 1985.

Pada Tahun 1985-1988 bekerja sebagai Asisten Dosen di Fakultas

Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan Fakultas MIPA Universitas

Kristen Indonesia Tomohon. Pada saat yang sama, Tahun 1986-1988 bekerja di

SCDP UPP-PPK Bolaang. Pada tahun 1988 diterima dan bekerja sebagai PNS di

Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, dengan jabatan terakhir sebagai

Staf Peneliti dalam Bidang Penelitian dan Pengembangan Industri.

Pada Tahun 1994 mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia melalui OTO-

Bappenas untuk mengikuti Program S2 pada Program Environmental Science

and Policy di University of Wisconsin-Green Bay, USA dan tamat Tahun 1996.

Setelah mengabdi selama sepuluh tahun, pada Tahun 2006 mendapat beasiswa

dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Kementerian Perindustian RI untuk

mengikuti Program S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, IPB Bogor.

Karya ilmiah dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park

di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” yang merupakan bagian dari Disertasi ini

telah dinilai layak dan akan diterbitkan pada Jurnal Riset Industri, Vol. IV, No. 2,

Agustus 2010, beberapa bagian lain sedang dalam proses penerbitan pada

jurnal lainnya.

Page 13: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xiii

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx SINGKATAN-SINGKATAN ............................................................................. xxi I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

1.2.1. Tujuan Umum ........................................................................... 4 1.2.2. Tujuan Khusus .......................................................................... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 4 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5 1.5. Novelty ................................................................................................ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 7 2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur .............................................. 8

2.2.1. Batasan dan Pengertian ........................................................ 8 2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri ...................................... 8 2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri .......................................... 9 2.2.4. Strategi Pembangunan Industri ............................................. 9 2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri ........................................ 9 2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri .......................................... 11 2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung .................................. 14 2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan

Kawasan Industri ................................................................... 15 2.2.9. Lokasi Kawasan Industri ........................................................ 15 2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus .................................................... 16

2.3. Ekologi Industri ................................................................................... 17 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri .................................................... 17 2.3.2. Tujuan Ekologi Industri .......................................................... 19 2.3.3. Peran Ekologi Industri ............................................................ 20 2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri ....................................... 22 2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih ..................................... 23 2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) .................................................... 24 2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi ........................................................ 31 2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri ............................................................ 32

III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 34 3.1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 34 3.1.1. Definisi ...................................................................................... 34 3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian ...................................... 34 3.2. Rancangan Penelitian ......................................................................... 35

3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan .................................. 35

Page 14: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xiv

3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung .................. 35 3.2.3. Tahapan Penelitian ................................................................. 42

3.3.Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 42 3.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 44 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 44 3.4.2. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 44 3.4.3. Penetapan Responden ............................................................. 46 3.4.4. Variabel yang Diamati............................................................... 46 3.5. Metode Analisis .................................................................................. 46 3.5.1. Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro ................................. 47 3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP Bitung ............................... 49 3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP

Bitung ....................................................................................... 51 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................. 53 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.................................................... 53 4.1.1. Sejarah Kota Bitung .................................................................. 53 4.1.2. Letak dan Luas ................................................................... 53 4.1.3.Topografi .................................................................................. 53 4.1.4. Iklim .......................................................................................... 54 4.2. Perekonomian .................................................................................... 56 4.3. Penggunaan Lahan ............................................................................ 57 4.4. Ketenagakerjaan................................................................................. 58 4.5. Prasarana ........................................................................................... 58 4.5.1. Listrik ........................................................................................ 58 4.5.2. Perikanan Laut ......................................................................... 59 4.6. Status Lingkungan Hidup Kota ........................................................... 60 V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO .............................................. 63 5.1. Industri Manufaktur ............................................................................. 63 5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk yang Dihasilkan ................................. 64 5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan ................................................ 65 5.2.2. Pengelompokkan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........................................................................... 68 5.3. Limbah Industri ................................................................................... 70 5.4. Bahan Ikutan Industri .......................................................................... 71 5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan ....................................................... 72 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri .......... 72 5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 74 5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri .......... 75 5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 76 5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro ................................................... 77 5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 78 5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kel. Tanjung Merah ...... 82

Page 15: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xv 5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 83 5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 84 5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri ...................................................................... 86 5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri ........... 88 5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri .............. 89 5.6.6. Rangkuman ........................................................................... 93 5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri ......................................................... 94 VI. PROGRAM PENGEMBANGAN MP-AEIP BITUNG ................................... 98 6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi AEIP Bitung .............................. 98 6.1.1. Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP Bitung ................. 98 6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas ............................................ 107 6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas ................................... 110 6.1.4. Rangkuman ........................................................................... 116 6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan MP-AEIP Bitung .............................................................................. 117 6.2.1. Penyusunan Model ................................................................ 117 6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung ......... 142 6.2.3. Simulasi Model ...................................................................... 143 VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PENERAPAN MP-AEIP BITUNG .................................................................................. 160 7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung .............................. 160 7.2. Implikasi Terhadap Keberlanjutan Industri Agro ............................... 167 7.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 168 7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung ............................................... 168 7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung ............................ 169 7.3.3. Rekruitmen Tenan MP-AEIP Bitung ....................................... 171 7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP ....................................... 172 7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung..................................................................... 172 VIII. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 174 8.1. Simpulan .......................................................................................... 174 8.2. Saran .............................................................................................. 174 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 176 LAMPIRAN .............................................................................................. 182

Page 16: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xvi

DAFTAR TABEL Halaman

2.1. Persebaran Industri di Indonesia ............................................................. 9 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia ............................................................. 11 2.3. Jumlah Kawasan Industri dan Luas (s/d 2000) ......................................... 12 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri ............................................................ 14 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri ............... 21 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME ....................................... 30 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan ............................................ 36 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian .............................. 47 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen ............................ 50 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang diharapkan .................................................................... 52 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006 .............................................................................................. 54 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 ...................................... 55 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2004-2006 ..................................................... 58 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001-2006 (ton) .................. 60 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002–2006 ...................... 63 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 ........................... 63 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 ....................... 64 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk yang Dihasilkan .............................. 64 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro ................................................. 71 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Bahan Ikutan ............................................. 71 5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur....................................................................................... 72 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 74 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro ................... 75 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .................................................................................... 77 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri .................................................................................... 80 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait .............................. 95 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan ............................................................... 97 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP ........................................... 109 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam Pemodelan .................................................................................. 120 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP ...................... 123

Page 17: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xvii 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam Pemodelan ................................................................................ 127 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Model ....... 135 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan ................................................................................. 136 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ................................. 138 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut ............................................... 143 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut .................................................................. 144 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP .......................... 144 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut ............ 145 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa ................ 145 6.13. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Kelapa (Setara Kopra) ..................................................... 146 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa Agro-EIP Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut ............................. 146 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa................................................ 147 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, dan RPH .................................................. 148 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks.................... 148 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks .................................. 149 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ............................ 149 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ................................. 150 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan

Ikutan Industri Perikanan Laut............................................................... 151 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat..................................... 152 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces, dan Urine ............. 153 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa.................................................................................. 154 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa .... 154 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa (Setara Arang Tempurung Kelapa) ....................... 155 6.27. Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos ....................................................... 156 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP ................................ 157 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP .......................................................... 158 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi AEIP dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri ....................................................... 159 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam AEIP .................................................................. 166

Page 18: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xviii

DAFTAR GAMBAR Halaman

1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ 6 2.1. Elemen dari Ekologi Industri yang Beroperasi pada Beberapa Level ........ 17 2.2. Proses Munculnya Prasarana Ekologi Industri .......................................... 20 2.3. Ekosistem Industri di Kalundborg, Denmark ............................................. 22 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi ............................ 32 2.5. Matriks Komunitas Spesies ...................................................................... 33 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Model Pengembangan Agro-EIP ............. 37 3.2. Diagram Kotak Hitam Model Pengembangan Agro-EIP ............................ 38 3.3. Perumusan Masalah ................................................................................. 40 3.4. Diagram Alir Perancangan Model ............................................................. 41 3.5. Pendekatan Sistem Analisis ..................................................................... 42 3.6. Tahapan Penelitian ................................................................................... 43 3.7. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 45 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan) ........................... 48 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006 ....................................... 57 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 .................. 59 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) .............. 65 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) ............... 67 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro ................................... 73 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro .............................................................. 73 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri.................................................................................... 74 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara ...................................................... 84 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung ............................................................ 85 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung .................................... 86 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri......................................... 88 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait ...................... 96 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan .................. 98 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan Program

Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 101 6.3. Diagram Model Struktural Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ................................................................................................... 102 6.4. Posisi Sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di Dalam Empat Sektor ........................................................... 106 6.5. Diagram Model Struktural dari Elemen Kendala Utama Program

Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 107 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP ...................................................................... 108 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP ................................................................... 109 6.8. Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di Dalam Empat Sektor ................................................................................................ 114

Page 19: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xix 6.9. Diagram Model Struktural dari Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas .............................................................................................. 115 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung ..................................... 118 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ......................................................................................... 121 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ..................................................................................................... 122 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut ..................... 128 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa ................................... 129 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks .................................... 130 6.16. Diagram Alir Sub-Model Sumber Energi Terbarukan .............................. 131 6.17. Diagram Alir Luas Lahan yang Dibutuhkan ................................................ 131 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ................................. 132 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja ................................................... 133 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi Agro-EIP ........................................................ 133 6.21. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut Secara Grafis ............................................................... 141 6.22. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Kelapa Provinsi Sulut Secara Grafis ....................................................................... 141 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja Agro-EIP .......................................... 159 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri ............................................ 171

Page 20: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xx

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ................................................................... 182 2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air ............................................................. 183 3. Foto-foto Survei Lapangan .......................................................................... 184 4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah ............................... 188 5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 191 5b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 192 6a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 193 6b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Kendala Utama Program ............... 194 7a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) .............................................................. 195 7b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ............................................................... 196 8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas ................................... 197 9 . Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi dalam Expert Survey ............... 201 10. Struktur MP-AEIP Bitung ........................................................................ 203 11. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam MP-AEIP Bitung ...................... 204 12. Koefisien dan Persamaan-persamaan MP-AEIP Bitung ......................... 205

Page 21: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

xxi

SINGKATAN-SINGKATAN

1. KI : Kawasan Industri

2. IE / EI : Industrial ecology / Ekologi Industri

3. EIP(s) : Eco-industrial park(s).

4. AEIP : Agro-eco-industrial park

5. AEIP Bitung : Agro-eco-industrial park Bitung

6. MP-AEIP Bitung : Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung

Page 22: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Aktivitas industri manufaktur, termasuk di Indonesia, diibaratkan sebagai

dua sisi mata pisau karena menghasilkan produk industri yang dibutuhkan untuk

kehidupan, sekaligus menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran air

permukaan, air tanah, sungai, danau, dan laut oleh residu bahan kimia organik

maupun anorganik serta perubahan iklim global merupakan dampak langsung

maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut. Diperlukan upaya sistematis

untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti perubahan pola hidup manusia

ataupun penerapan pendekatan pengelolaan aktivitas industri manufaktur secara

komprehensif.

Upaya untuk mengatasi pencemaran industri di negara-negara maju

seperti Amerika Serikat, dimulai sejak era tahun 1970an. Pendekatan utama

yang digunakan adalah command-and-control dengan orientasi end-of-pipe

(kebijakan dengan paradigma mengatasi masalah bukan mencegah terjadinya

masalah). Kritik banyak diberikan pada pendekatan ini terutama karena tidak

adanya insentif bagi pelaku industri untuk berbuat lebih baik dari yang

dipersyaratkan peraturan lingkungan. Juga, penanganan pencemaran industri

dilakukan tidak dalam konteks ”efektif dan efisien.” Para kritikus tersebut,

selanjutnya mengajukan pendekatan lain yaitu market-based incentives, seperti

tax, charges, subsidi, dan transferable discharge permits (TDP). Namun, kedua

pendekatan tersebut memandang sistem produksi industri manufaktur sebagai

suatu proses linear, di sisi yang satu adalah input sedangkan di sisi yang lain

adalah produk dan limbah industri.

Ekologi industri (industrial ecology) adalah disiplin ilmu yang

mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai tujuan

industri yang berkelanjutan (Chertow 1988). Ekologi industri merupakan disiplin

ilmu baru, yang memandang proses produksi industri manufaktur bukan sebagai

proses linear tetapi sebagai proses tertutup (closed-loop process). Pada tahun

1989, Frosch dan Gallopoulos mempopulerkan konsep ini dengan menyatakan

”kenapa tidak, sistem industri bertingkah-laku seperti sebuah ekosistem, dimana

limbah dari suatu spesies dapat menjadi input bagi spesies lain? Kenapa tidak,

output dari suatu industri menjadi input bagi industri lainnya, sehingga

Page 23: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

2

mengurangi penggunaan bahan mentah, pencemaran, dan menghemat

perlakuan atas limbah?” (Frosch & Gallopoulos 1989 dalam

Implementasi dari konsep ekologi industri maupun EIP di negara-negara

berkembang perlu didahului oleh studi yang mendalam. Chiu dan Yong (2004)

menyarankan kepada negara-negara berkembang di Asia yang bermaksud

mengaplikasi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang

mendalam dan merumuskan strategi yang sesuai, bukan menerapkan secara

mentah model yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Sampai saat

Peck 1996).

Beberapa penelitian terhadap konsep ekologi industri telah dilakukan.

Korhonen (2001) melakukan studi terhadap industri perkayuan di Finlandia dan

menformulasi model pengembangan industri perkayuan yang meliputi faktor-

faktor: roundput, keragaman, saling ketergantungan dan lokalitas. Kassinas

(1997) menyimpulkan bahwa jaringan co-location dan inter-firm dapat

memperkuat kemampuan bersama perusahan maupun publik untuk

mendapatkan keuntungan lingkungan. Li (2005) menunjukkan bahwa konsep

ekologi industri dapat menjadi penyokong dicapainya keuntungan kompetitif jika

hambatan-hambatan seperti kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya

tekanan terhadap kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya kerjasama

antara usaha dapat dihilangkan. Juga ditemukan bahwa perlu adanya pemberian

fasilitas kepada sektor usaha industri melalui pendekatan fasilitatif.

Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam konsep kawasan industri

melahirkan istilah eco-industrial park (EIP), dimana ”eco” merupakan integrasi

dari ekologi dan ekonomi (Ayres dan Ayres 2002; Li 2005). Pembangunan EIP

pertama dilakukan pada tahun 1995 di Amerika Serikat yang disponsori oleh the

US President’s Council for Sustainable Development. Sejak itu, konsep EIP

dikenal secara luas sebagai cara baru pengembangan industri (Koenig 2005).

Beberapa penelitian terhadap konsep EIP telah dilakukan. Hewes (2005)

menyatakan bahwa agar supaya konsepsi Industrial Symbiosis (IS) dan EIP

dapat terwujud maka keterkaitan manusiawi diperlukan. Hasil kajian dari Hewes

menunjukkan bahwa strategi yang paling berhasil dalam pengembangan IS dan

EIP bukan pada bagaimana memecahkan masalah teknis tapi bagaimana

membangun hubungan sosial, yang merupakan faktor yang sering kurang

diperhitungkan dalam ekologi industri. Geng (2004) mendapati bahwa

penggunaan air segar maupun pembuangan limbah cair di kawasan industri

dapat dihemat dengan biaya sistem yang minimal.

Page 24: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

3

ini Indonesia belum mengembangkan strategi nasional bagi pengembangan

“eco-industrial park”.

Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia

antara lain dilakukan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 24

tahun 2009 tentang Kawasan Industri yang merupakan revisi atas Keppres No.

41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Tujuannya adalah untuk mempercepat

pertumbuhan industri di daerah, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri,

mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan

meningkatkan upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan. Revisi di

atas dilakukan karena tujuan-tujuan tersebut belum dapat dicapai secara optimal

Salah satu tujuannya yaitu mendorong kegiatan industri manufaktur untuk

berlokasi di kawasan industri belum tercapai secara optimal. Salah satu

indikator belum tercapainya tujuan di atas adalah tingginya tingkat pencemaran

udara atau tercemarnya sungai-sungai, khususnya di perkotaan. Terpencarnya

pabrik/industri menyulitkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan atau

penegakan hukum lingkungan (Kristanto 2002). Data menunjukkan bahwa hanya

sekitar 10 persen dari industri yang ada di Indonesia berada/berlokasi di dalam

kawasan industri. Kristanto berargumen bahwa upaya untuk mendorong

kegiatan industri berlokasi di suatu kawasan industri tidak dilengkapi dengan

instrumen penegakan hukum sehingga kurang optimal dalam pencapaian

sasarannya.

Pencemaran industri yang semakin besar, munculnya kesadaran dan

kebutuhan untuk mengatasinya, serta kebijakan pemerintah untuk menurunkan

tingkat pencemaran dengan cara merumuskan kebijakan penataan kawasan

industri yang baru merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji model

pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi

Utara.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan: (1)

Sesuai Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional menurut Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan

Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). (2).

Lokasi penelitian terletak di wilayah yang memiliki infrastrukur yang sangat

memadai, antara lain sangat dekat Pelabuhan Laut Samudra Bitung (6 km),

Pelabuhan Udara Sam Ratulangi (48 km), jalan akses penghubung ke Manado,

(3) Perkembangan dan pertumbuhan industri di lokasi penelitian diduga kurang

Page 25: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

4

memadai dari yang diharapkan, (4) Mulai adanya protes atas dampak negatif

dari aktivitas industri manufaktur, dan (5) Mulai bermasalahnya suplai bahan

baku, energi, dan air, serta (6) Implementasi Corporate Social Responsibility

(CSR) belum memadai.

1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum:

Membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP)

Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung.

2. Menganalisis program pengembangan AEIP Bitung.

3. Menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model AEIP

Bitung.

1.3. Kerangka Pemikiran

Rencana penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa mayoritas aktivitas

industri manufaktur konvensional saat ini bergantung sepenuhnya pada

kemajuan dan perubahan teknologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Proses

produksi sumber daya alam menjadi bahan baku atau barang jadi dan

pemanfaatannya oleh konsumen telah menghasilkan limbah industri dalam

jumlah besar sehingga telah berakibat pada perubahan lingkungan global, hujan

asam, akumulasi logam berat, dan residu pestisida. Kesadaran akan peran

industri sebagai dua mata pisau (menghasilkan produk dan sekaligus

pencemaran) pada akhirnya mengkristal dan diadopsi menjadi salah satu

perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pembentukan World Commision

on Environment and Development (WCED), yang merumuskan pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) (Brundtland 1987).

Selanjutnya disebutkan dalam Brundtland Report, tantangan industri abad

ke-21 mengarahkan pada perubahan pemikiran atas hubungan antara

pembangunan industri dan perlindungan lingkungan, yang melahirkan konsep

industrial sustainability (pembangunan industri berkelanjutan), konsep yang

merujuk pada laporan dari WCED, yang selanjutnya melahirkan konsep ekologi

industri (industrial ecology). Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam sistem

pemusatan industri (kawasan industri) melahirkan konsep Eco-Industrial Park

(EIP).

Page 26: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

5

Aspek legal pengembangan industri manufaktur diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) No. 24/2009 tentang Kawasan Industri. Salah satu poin

penting dari PP tersebut adalah dorongan kepada industri manufaktur untuk

berlokasi di dalam Kawasan Industri.

Potensi keuntungan teoritis dan pengalaman penerapannya di negara-

negara maju memunculkan tantangan untuk menerapkannya di negara-negara

berkembang. Jawaban terhadap tantangan tersebut perlu dilandasi oleh kajian

komprehensif, cermat, dan mendalam terhadap faktor-faktor seperti dasar-dasar

teoritis; batasan dan asumsi; situasi industri manufaktur terkait dengan kondisi

sosial, ekonomi, dan lingkungan; prinsip-prinsip ekologi industri, dan elemen-

elemen penyusun model, yang merupakan arsitektur dari model.

Sintesis terhadap arsitektur model menggunakan peralatan analisis seperti

ISM, AHP, dan Powersim menghasilkan Model Pengembangan AEIP Bitung.

Kerangka pemikiran penelitian yang berisi keterkaitan antara faktor-faktor di

dalamnya adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1.

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan

pengembangan AEIP. Selain itu, output dari penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan atau

pemangku kepentingan lain dalam rangka pengembangan industri, antara lain

melalui penerapan kebijakan pengembangan kawasan industri.

1.5. Novelty Nilai kebaharuan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap

penyusunan Model Pengembangan AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara

melalui sintesis terhadap komponen-komponen penyusun arsitektur model.

Page 27: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

6

Gambar 1.1. Kerangka Penelitian

Keberlanjutan Industri

Ekologi Industri

Kawasan Industri

MP-AEIP Bitung

Peralatan Analisis

Industri Manufaktur/ Agro di Kota

Bitung

Rekomendasi Kebijakan

Peraturan Perundangan (UU

No. 5/1985; PP 24/2009; UU 39/29;

PERDA, dll)

Implikasi Kebijakan

Eco-Industrial Park (EIP)

Tantangan Industri Abad XXI

Arsitektur Model

Dasar-dasar Teori

Prinsip-prinsip ekologi industri

Elemen Struktural

Batasan/ asumsi

Elemen Fungsional

Situasi Aktivitas Industri Agro

Tantangan Penerapan di

Negara-negara Berkembang

Sistem Produksi Industri Manufaktur

Page 28: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brudtland) dalam

laporannya yang berjudul Our Common Future mendefinisikan pembangunan

berkelanjutan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini

tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Brundtland 1987).

Namun, didalam definisi sederhana tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan

kata pembangunan atau lingkungan.

Upaya-upaya untuk mengembangkan definisi tersebut di atas terus

dilakukan. Pada Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan Tahun

2002 di Johanesburg, definisi pembangunan berkelanjutan memasukkan tiga

pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kates et al 2005). Kates et al

selanjutnya menulis bahwa walaupun definisi tersebut dengan cepat diadopsi,

tetapi tidak ada persetujuan menyeluruh tentang detail dari tiga pilar tersebut.

Cara lain untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah

dengan melihat tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, United Nation

General Assembly mengadopsi 60 tujuan yang ingin dicapai meliputi

kemerdekaan, pembangunan, lingkungan, hak-hak azasi manusia, kaum yang

rentan, kelaparan, kaum miskin, Afrika, dan PBB (Kates et al 2005).

Cara lainnya untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah

dengan cara mengukurnya (Kates et al 2005). Sebagai contoh, Commission on

Sustainable Development membangun 58 indikator pembangunan berkelanjut-

an. Indikator-indikator tersebut berupa iklim, udara yang bersih, produktivitas

lahan, produktivitas lautan, air segar, dan biodiversiti.

Disamping itu, mendefinisikan pembangunan berkelanjutan dapat

dilakukan melalui nilai yang mewakili atau yang mendukung model

pembangunan tersebut (Kates et al 2005). Deklarasi Millenium menyatakan

nilai-nilai fundamental yang penting bagi kerjasama dunia pada abad ke-21

adalah kebebasan, kesamaan hak, solidaritas, toleransi, penghormatan terhadap

alam, dan tanggung jawab bersama.

Hal yang paling penting adalah mendefinisikan pembangunan

berkelanjutan ke dalam praktek (Kates et al 2005). Praktek tersebut berupa

mendefinisikan konsep, membangun tujuan-tujuan yang ingin dicapai,

membangun indikator, dan membangun sistem nilai. Ini meliputi membangun

Page 29: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

8

gerakan sosial, kelembagaan organisasi, mengaitkan antara ilmu pembangunan

berkelanjutan dengan teknologi, dan menegosiasi kompromi antara mereka yang

secara prinsip memperhatikan alam dan lingkungan, atau yang lebih

memperhatikan pembangunan ekonomi, dan yang lebih mendedikasikan diri

untuk peningkatan kondisi kemasyarakatan.

2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur Bahasan dalam sub-bab ini, khususnya mengenai batasan dan pengertian,

visi dan misi pembangunan industri, kebijakan pembangunan industri, strategi

pembangunan industri, rencana pengembangan industri prioritas dalam

kerangka penataan ruang, peran pemangku kepentingan dalam pembangunan

kawasan industri, dan klasifikasi jenis industri, disarikan dari “Kebijakan

Pembangunan Industri Nasional” (Deperind 2005) dan beberapa sumber lain.

2.2.1. Batasan dan Pengertian Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang

menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Yang

dimaksudkan dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan

mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil

pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan

mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis

yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind 2005).

2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri Visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah

membawa Indonesia untuk menjadi “Sebuah negara industri tangguh di dunia,”

dengan visi antara, yaitu: “Pada tahun 2030 Indonesia menjadi Negara Industri

Maju Baru.” Dengan visi tersebut maka sektor industri antara lain mengemban

misi untuk “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui

pengembangan dan pengelolaan sumber bahan baku terbarukan.” Untuk

mencapai misi tersebut maka institusi pembina industri mengemban misi antara

lain “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui

pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan

pemanfaatan sumber bahan baku terbarukan agar lebih menjamin kehidupan

generasi yang akan datang secara mandiri.”

Page 30: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

9

2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri Salah satu dari tujuan pembangunan industri jangka pendek (2004-2009)

adalah untuk meningkatkan penyebaran industri. Hal ini dirumuskan mengingat

bahwa aktivitas industri saat ini sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa (Tabel 2.1.). Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang (2010-2025) meliputi: (a).

memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam

kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry);

(b).meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak

perekonomian nasional; dan (c). meningkatkan peran sektor industri kecil dan

menengah terhadap struktur industri, sehingga terjadi keseimbangan peran

antara industri besar dengan industri kecil dan menengah (Deperind 2005).

Tabel 2.1. Persebaran Industri di Indonesia

No WILAYAH/PROVINSI 1988 2003 Unit Usaha*) (%) Unit usaha*) (%)

I Jawa 1.418.895 61,95 1.893.78 62,50 1 DKI Jakarta 22.436 1,01 23.733 0,78 2 Jawa Barat dan Banten 314.014 13,71 387.983 12,80 3 Jawa Tengah 556.748 24,31 798.814 26,36 4 DIY 75.131 3,28 133.613 4,41 5 Jawa Timur 450.566 19,67 549.625 18,14 II Luar Jawa 871.394 38,05 1.136.342 37,50 1 Sumatera 288.829 12,61 381.611 12,60 2 Kalimantan 97.738 4,27 694.844 4,83 3 Bali/NTB/NTT 212.680 9,29 333.989 11,02 4 Sulawesi 173.543 7,58 246.614 8,14 5 Maluku/Papua 19.604 4,31 27.684 0,91 Indonesia (%) 2.290.289 100,00 3.030.116 100,00

Sumber: Deperind (2005). *) unit usaha kumulatif

2.2.4. Strategi Pembangunan Industri Strategi operasional pembangunan industri antara lain dilakukan dengan

fokus pada pemberian dorongan untuk pertumbuhan klaster industri prioritas.

Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan persebaran industri maka ditetapkan

strategi operasional, yaitu penetapan prioritas persebaran pembangunan industri

ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku yang kegiatan industrinya

belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan

Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional).

2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri Peraturan perundangan tentang Kawasan Industri telah mengalami

beberapa kali perubahan. Pertama, adalah Keppres No. 53 tahun 1989,

kemudian berubah menjadi Kappres No. 41 tahun 1996, dan yang terakhir

Page 31: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

10

adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2009. Khusus yang disebut

terakhir, diundangkan tanggal 3 Maret 2009, dan sesuai dengan Pasal 32 dari

PP tersebut, mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.

Berikut dijelaskan mengenai definisi kawasan industri, perusahan industri,

kawasan peruntukan industri, dan tujuan pembangunan kawasan industri seperti

yang dimaksudkan di dalam PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri.

Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang

dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan

dikelola oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha

kawasan industri. Perusahan kawasan industri adalah perusahan yang

mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Perusahan

ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri di

wilayah Indonesia. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang

diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah

yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (PP

No.24/2009).

Di dalam PP 24/2009 dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri

bertujuan untuk (a). mengendalikan pemanfaatan ruang, (b). meningkatkan

upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, (c). mempercepat

pertumbuhan industri di daerah, (d). meningkatkan daya saing industri, (e).

meningkatkan daya saing investasi, dan (f). memberikan kepastian lokasi dalam

perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antara sektor

terkait.

Selanjutnya disebutkan di dalam PP 24/2009, pembangunan suatu

kawasan industri baru harus terintegrasi ke dalam pembangunan daerah dan

rakyat setempat. Pengembang harus melibatkan dan memprioritaskan

masyarakat yang lahannya dibebaskan untuk mendapatkan kesempatan

berusaha ditempat tersebut serta turut menikmati hasil pembangunannya.

Konversi lahan tidak perlu dalam bentuk pemberian uang tapi bisa dalam bentuk

saham kepada pemiliknya. Jadi, pendekatan yang harus dilakukan adalah

pendekatan pengembangan komunitas (community development).

Dari sudut pandang manajemen, kawasan industri dibagi menjadi kawasan

industri nonmanajemen dan kawasan industri manajemen. Kawasan industri

nonmanajemen mempunyai bentuk lahan Peruntukan Industri, Kantong Industri,

dan Sentra Industri Kecil. Dalam sistem ini, masing-masing perusahan industri

Page 32: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

11

mengelola industrinya sendiri-sendiri. Kawasan industri manajemen ditandai

oleh manajemen pengelola kawasan industri yang dibedakan menurut skala

usaha industrinya, yaitu: Kawasan Industri (industrial estate), Kawasan Berikat

(export processing zone), dan kompleks industri (industrial complex); dan Usaha

industri kecil, yang bentuknya berupa Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK),

Permukiman Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).

Pengelola Kawasan Industri adalah perusahan pengelola kawasan industri,

yang berkewajiban melakukan kegiatan: penyediaan/penguasaan tanah,

penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan

AMDAL, penyusunan tata tertib kawasan industri, pematangan tanah,

pemasaran kavling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan

sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan.

2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri Kemajuan industri di banyak negara antara lain disumbang oleh eksistensi

kawasan industri. Ada dua hal yang harus menjadi pokok perhatian dalam

pengembangan kawasan industri, yaitu pengembang dan kebijakan

pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono 2004). Peran pemerintah pusat

dalam pengembangan kawasan industri di beberapa Negara Asia, seperti Korea

Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand sangat dominan

(Tabel 2.2.).

Tabel 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia

Negara Pemerintah Swasta Malaysia, 285 KI Jepang Korea Selatan, 300 KI Taiwan Singapura Thailand, 27 KI Filipina, 20 KI Indonesia, 203 KI

78% (pusat dan lokal) 85%

70% (pusat dan lokal) 90% 85% 48%

30% (pusat dan lokal) 6% (pusat dan lokal)

22% 15% 10% 10% 15%

52% (kerjasama pemerintah dan swasta)

70% 94%

Sumber: ULI (1975) dalam Dirdjojuwono (2004) Ket: persentasi menyatakan kontribusi dalam bentuk penanaman modal

Pengembangan industri di luar negeri dilakukan dengan beberapa alasan:

(1) Kawasan Industri merupakan alat pemerataan (over population di kota-kota

besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa

investasi di kawasan industri sama dengan investasi fasilitas umum, dan (3)

Page 33: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

12

Swasta lebih berorientasi profit dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas

pemerataan dan fasilitas umum (ULI 1975 dalam Sagala 2003). Di Indonesia,

pengembangan kawasan industri dimulai sejak tahun 1970, dengan mengemban

dua misi besar, yaitu: (1) merangsang tumbuhnya iklim industri, (2) menjadi

sarana bagi pengaturan ruang (Sagala 2003).

Tingkat utilitas Kawasan Industri yang masih rendah di Indonesia karena

pengembangannya masih berorientasi real estate (profit). Hal ini terlihat dari

perbandingan harga jual lahan dengan harga pokok sebesar 4-6 kali. Di Korea,

pemerintah menetapkan harga jual lahan di dalam kawasan industri tidak lebih

dari 1,2 kali harga pokok. Secara umum dinegara industri, harga jual lahan

ditetapkan 1,2-1,3 kali harga pokok (Sagala 2003).

Setelah diundangkannya Keppres 53/1989, dunia usaha dalam dan luar

negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Oleh karena itu terjadi

“rush” sehingga direncanakan dibangun 203 KI dengan luas 66.771 ha di 20

Provinsi. Namun, bagi sebagian provinsi, rencana pengembangan kawasan

industri hanya merupakan euphoria belaka (Tabel 2.3.).

Tabel 2.3. Jumlah dan Luas Kawasan Industri (s/d 2000)

No

Provinsi

Jumlah Kawasan Industri

Luas (ha)

Rencana Terkuasai Dimatang-

kan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimanan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya

2 11 1

19 1 1 4

103 14 1

33 1 2 2 2 2 1 1 1 1

470 2.578 150

14.517 1.442 300

1.149 32.986 3.186

50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200

0 1.262 108

1.236,5 0

126,8 1.009,3

12.681,63 955,78

0 1.933,51

0 0 0

230 0 76

265,5 0 0

0 980 108

281,5 0

126,8 1.009,3 7.522,39 619,78

0 1.233

0 0 0

51,5 0 76

203 0 0

Jumlah 203 66.771 19.885,02 12.741,28

Page 34: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

13

Sesuai dengan data pada Tabel 2.3., bagi daerah-daerah tertentu, termasuk

Provinsi Sulawesi Utara, permintaan yang terjadi sampai dengan tahun 1995

masih merupakan euphoria belaka dalam menyambut dibukanya kesempatan

bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri.

Data sampai dengan Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah Kawasan

Industri yang aktif di Indonesia berjumlah 88 buah dengan total areal 27.250 ha

yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan tingkat utilitas 42% (8.000 ha) dan

jumlah industri 6.000 buah atau 10% dari total industri yang ada di Indonesia

(Jawa Post Online, 21 September 2006). Dengan diundangkannya PP No. 24

tahun 2009 tentang Kawasan Industri diharapkan akan meningkatkan utilitas

kawasan industri dan merangsang munculnya kawasan-kawasan industri baru di

seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Upaya penyebaran industri ke luar Pulau Jawa menghadapi beberapa

masalah dan kendala, yaitu (Deperind 2005):

• Adanya kecenderungan peningkatan harga lahan yang tinggi jika diindikasikan

rencana kegiatan pembangunan kawasan;

• Infrastruktur pendukung kawasan industri di daerah seperti: jaringan jalan,

pelabuhan, penyediaan listrik, air bersih, fasilitas pengolahan limbah,

telekomunikasi, penyediaan tenaga kerja dan permodalan belum memadai;

• Transportasi darat, laut dan udara untuk kelancaran arus barang masih belum

effisien sehingga seringkali menimbulkan biaya tinggi, atau mengurangi minat

penanaman modal;

• Belum ada insentif khusus bagi pengembang kawasan industri maupun industri

yang berlokasi di dalam kawasan industri;

• Belum ada peraturan yang jelas mengatur kewenangan pusat dan daerah

dalam pengembangan kawasan industri;

• Keterkaitan antar zona industri sering terganggu oleh peraturan daerah

masing-masing.

Itu sebabnya, hingga saat ini persebaran unit usaha industri masih sangat

timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia

(KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi

Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang

memiliki unit usaha cukup besar adalah Sumatera Utara (6%), sedangkan

Page 35: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

14

provinsi di KTI yang mempunyai unit usaha yang cukup besar adalah Sulawesi

Selatan (Dirdjojuwono 2004).

2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung Menurut Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional sesuai Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan

Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung,

2007). Koridor Bitung-Kema merupakan bagian dari Koridor Manado-Bitung yang

telah mendapat perhatian pemerintah secara serius, antara lain dengan

dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Manado-Bitung. Visi yang

diemban oleh institusi ini adalah merealisasikan kawasan ekonomi terpadu

Manado-Bitung sebagai pusat pengembangan industri, komersial, dan

jasa.

Tabel 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri

Kegiatan Pemerintah Pusat Pemda Swasta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Menetapkan WPPI dan Zona Industri √ √ √

2 Menetapkan tata ruang regional √

3 Menyusun pedoman teknis KI √

4 Menetapkan lokasi KI √ 5 Menerbitkan ijin KI √ √ 6 Membentuk konsorsium

pendanaan (DN dan LN) untuk pembangunan

√ √ √

7 Membangun infrastruktur (jaringan jalan, aliran listrik, telepon, gas, pengolahan air)

√ √ √ √ √ √ √

8 Membangun kemitraan dengan berbagai kegiatan dalam klaster industri

√ √ √ √ √

9 Menjamin kelancaran arus barang dan keamanan √ √ √

10 Menjamin ketersediaan lahan dan keamanan kawasan

√ √

11 Memantau dan mengawasi KI √ √

12 Membina KI √ √ √ Sumber: Deperind (2005). Keterangan:1 = Departemen Perindustrian 6=Departemen PU (Kimpraswil)

2 = Departemen Perdagangan 7=Departemen ESDM 3 = Departemen Dalam Negeri 8=Provinsi 4 = Departemen Perhubungan 9=Kabupaten/Kota 5 = Departemen Keuangan

Page 36: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

15

Misi KAPET Manado-Bitung antara lain adalah untuk merealisasikan

kawasan tersebut sebagai pusat industri agro dan industri manufaktur. Strategi

yang digunakan untuk mencapai misi tersebut adalah wilayah Manado-Bitung

difokuskan untuk pengembangan industri skala menengah dan besar.

Disamping itu, mengembangkan industri yang berorientasi bahan baku sehingga

dapat berkompetisi dengan wilayah lainnya di Indonesia (KAPET Manado-Bitung

2007).

Di Koridor Bitung-Kema direncanakan untuk dibangun Kawasan Industri

pada satu hamparan lahan seluas 98 ha yang terletak di Kelurahan Tanjung

Merah, Kecamatan Matuari. Status lahan adalah tanah Milik Negara. Lahan

tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh

pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih

mungkin untuk diperbesar hingga mencapai 512 hektar karena lahan

disekitarnya saat ini masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa milik

masyarakat.

2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri

Keberhasilan dari program penyebaran industri ke luar Pulau Jawa dapat

dicapai antara lain apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemangku

kepentingan. Secara rinci peran masing-masing pemangku kepentingan dalam

rangka persebaran industri dan pengembangan kawasan industri adalah seperti

pada Tabel 2.4.

2.2.9. Lokasi Kawasan Industri Bentuk lokasi industri yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam

pelaksanaan otonomi daerah adalah lahan peruntukan industri dan kawasan

industri untuk industri skala menengah dan besar, sedangkan untuk industri

kecil/kerajinan adalah perkampungan industri kecil (PIK) (Dirdjojuwono 2004).

Bagi industri menengah dan besar, pengembangan lokasi industri terjadi sejalan

dengan permintaan lahan. Pada tahap awal, alokasi lahan akan berupa

peruntukan lahan industri. Apabila permintaan lahan bertambah maka peluang

untuk membangun kawasan industri akan muncul.

Menurut Sagala (2004), peluang pengembangan kawasan industri di

Kabupaten/Kota dapat terealisasi apabila tingkat realisasi investasi di daerah

tersebut mencapai 6-10 buah per tahun. Suatu kawasan industri yang lengkap

Page 37: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

16

dengan infrastrukturnya layak dikembangkan pada lahan seluas 20 ha dengan

waktu pengembalian 3 tahun atau dengan tingkat permintaan lahan 7-10 ha per

tahun atau identik dengan pertumbuhan industri 5-7 buah per tahun (REI

Indonesia). Bagi daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan investasi di bawah

itu, kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk

lahan peruntukkan industri (Sagala 2004).

2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Penjelasan mengenai KEK di bawah ini diangkat dari UU No. 39 Tahun

2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. KEK adalah kawasan dengan batas

tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh

fasilitas tertentu. Insentif yang diberikan adalah fasilitas PPh, pengurangan PBB

kepada penanam modal, dan fasilitas barang impor. Pengembangan KEK

bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model

terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain

industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan

pekerjaan.

Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri,

ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan

geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri,

ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan

daya saing internasional. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus

memenuhi kriteria: (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak

berpotensi mengganggu kawasan lindung; (b) pemerintah provinsi/kabupaten

/kota yang bersangkutan mendukung KEK; (c). terletak pada posisi yang dekat

dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran

internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya

unggulan; dan (d). mempunyai batas yang jelas.

KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yaitu (a) pengolahan ekspor;

(b) logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi;

dan/atau, (g) ekonomi lain.

Page 38: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

17

2.3. Ekologi Industri 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri

Ekologi industri (industrial ecology) merupakan suatu konsep yang

“provocative” dan “oxymoronic” (frase yang mengkombinasikan dua kata yang

kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya) (Lifset and Graedel 2002).

White (Lifset and Graedel 2002) mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi

tentang aliran-aliran materi dan energi dari aktivitas industri dan konsumen, dan

dampak dari aliran-aliran tersebut terhadap lingkungan, dan pengaruh dari

faktor-faktor ekonomi, politik, regulasi, dan sosial terhadap aliran, penggunaan,

dan transformasi dari sumberdaya.” Elemen kunci ekologi industri adalah (Lifset

and Graedel 2002):

• analogi biologi

• penggunaan perspektif sistem

• peran dari perubahan teknologi

• peran perusahan/industri

• dematerialisasi dan eco-efisiensi, dan

• penelitian dan aplikasi yang berorientasi masa depan.

Elemen-elemen kunci tersebut dapat diintegrasi ke suatu gambaran yang lebih

luas, misalnya dari segi operasional ekologi industri pada beberapa level

(Gambar 2.1.).

Gambar 2.1. Elemen dari ekologi industri yang beroperasi pada beberapa level

(Lifset and Graedel 2002)

Indigo Development (ID) (2005) menyatakan bahwa ekologi industri (EI)

masih dalam tahapan formulasi, dengan beragam definisi dan area aplikasi yang

Keberlanjutan

Ekologi Industri

Level industri: • desain untuk lingkungan • pencegahan pencemaran • eco-efisiensi • akuntansi “hijau”

Antar industri: • eco-industrial parks

(industrial symbiosis) • siklus hidup produk • inisiatif sektor industri

Regional/global: • budjet dan siklus • studi aliran materi

dan energi • dematerialisasi dan

dekarbonisasi

Page 39: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

18

bervariasi. Suatu konsensus telah dicapai pada beberapa isu, tetapi masih ada

perbedaan yang kritis di beberapa area diantara ahli-ahli ekologi industri.

Beberapa definisi dari ekologi industri menurut Indigo Development (2005)

adalah:

- EI adalah suatu pendekatan sistem menggunakan metode-metode ilmu sistem

untuk analisis dan sintesis.

- Pendekatan sistem ini memiliki fokus pada interaksi sistem industri dan sistem

ekologi (lokal sampai global).

- EI berupaya untuk mendisain ulang aktivitas industri untuk mengurangi

dampak ekologi dari aktivitas manusia ke level yang dapat diterima oleh sistem

alam.

- EI adalah interdisipliner, menghubungkan penelitian dan perencanaan di

banyak bidang ilmu, termasuk ekologi, enjinering, ekonomi, manajemen bisnis,

administrasi dan hukum publik, dan lainnya.

- EI mempelajari aliran materi dan enersi didalam ekonomi, yang berkisar dari

industri dan fasilitas publik ke planet. Ia mencari strategi untuk meningkatkan

efisiensi dan mengurangi dampak dari aliran tersebut (studi ini biasanya

disebut “industrial metabolism”).

- EI mencari transformasi dari ekonomi linear yang banyak limbahnya ke sistem

produksi dan konsumsi yang tertutup. Dalam sistem ini, buangan industri,

pemerintah, dan konsumen akan digunakan kembali, didaur ulang, dan dibuat

kembali ke nilai tertinggi yang mungkin.

- EI memungkinkan pembuatan inovasi jangka pendek dengan pertimbangan

dampak jangka panjangnya. Sama halnya, itu memungkinkan pengambil

keputusan lokal mempertimbangkan dampak regional maupun global.

- EI adalah suatu cara untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan

kelangsungan hidup ekonomi dan bisnis. Keseimbangan ini harus dinamis,

dan adaptif terhadap pengetahuan baru tentang dampak industri dan respons

alam.

EI adalah suatu komponen utama dalam “ilmu keberlanjutan” dengan

peran untuk mendisain jalur transisi untuk aktivitas industri. Itu memberikan

suatu landasan tujuan (walaupun kompleks) untuk mengkoordinasi disain dari

kebijakan publik dalam realitas lingkungan dan teknik.

Page 40: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

19

2.3.2. Tujuan Ekologi Industri Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan ekologi industri adalah

untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan (Lifset and

Graedel 2002). Ekologi industri menekankan pada optimasi aliran sumberdaya.

Bidang ilmu ekologi industri adalah positif dan sekaligus normatif. Positif-ekologi

industri mencoba untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan,

tapi bukan untuk merubahnya. Normatif-untuk beberapa derajat tertentu

membaiknya interaksi manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari

tujuan ekologi industri.

Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai ekologi industri

khususnya dalam cakupan dan penekanannya (Indigo Development 2005).

- Skala waktu: beberapa ahli ekologi industri menekankan pada perubahan yang

perlahan dalam sistem yang ada, yang lain menghendaki transformasi yang

lebih luas dalam industri dan kemasyarakatan.

- Model ekosistem: bagi beberapa ahli, tema yang sangat populer adalah

modeling sistem industri berdasarkan prinsip dan dinamika dari ekosistem.

Tetapi, beberapa ahli ekologi industri dan insinyur mempertanyakan kegunaan

dari pendekatan itu.

- Aliran material: beberapa ahli ekologi industri memberi fokus pada tugas untuk

meningkatkan efisiensi dan menurunkan dampak dari aliran material pada

industri dan masyarakat. Pada beberapa artikel, keseluruhannya membahas

lebih dari itu.

- Lingkup aplikasi: banyak diskusi berkonsentrasi pada perubahan dalam

industri manufaktur sementara yang lain menyatakan EI sesuai untuk

pertanian, jasa, dan industri finansial, termasuk desain dan manajemen dari

kebijakan publik, infrastruktur dan operasional fasilitas. Beberapa ahli

memperluas domain dari EI ke bidang perilaku konsumen.

- Konsep keanekaragaman, daya dukung, dan restorasi mendapat penekanan

dari peneliti universitas tetapi jarang disinggung oleh ahli ekologi industri yang

lebih berorientasi teknis.

- Beberapa ahli melihat perubahan institusi sebagai komponen fundamental dari

EI. Yang lain menekankan pada inovasi teknis.

- Pilihan material: perpindahan dari material sintetis tidak terbarukan menjadi

bio-material yang terbarukan merupakan pusat perhatian dari beberapa ahli

Page 41: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

20

ekologi. Yang lainnya lebih menekankan pada peningkatan kinerja lingkungan

dari material berbasis minyak bumi dan bahan sintetis lainnya.

Ekologi industri merupakan penelitian saintifik dan juga suatu kerangka

untuk mendesain dan mengambil keputusan pada sektor publik dan pemerintah.

Kedua aspek ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi bukan

yang berbeda. Keduanya perlu dihubungkan dengan erat untuk memastikan

suatu basis yang baik untuk aplikasi dan penelitian yang berlanjut dari hasil-hasil

proyek-proyek EI.

2.3.3. Peran Ekologi Industri Keterbatasan sumberdaya di masa yang akan datang - yang tidak dapat

diatasi oleh kemajuan teknologi - memberi kesadaran atas kebutuhan untuk

peningkatan yang siknifikan atas efisiensi penggunaan sumberdaya alam.

Peningkatan level konsumsi sampai batas kapasitas bumi membutuhkan

peningkatan yang dramatis dalam efisiensi penggunaan sumberdaya.

Pengurangan yang substantif dalam jumlah sumberdaya yang digunakan per

unit output disebut dematerialisasi (dematerialization). Salah satu strategi yang

sedang dipelajari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, seperti

yang dilakukan di Jerman, adalah ecological tax reform (Peck 1996). Hasil

Gambar 2.2. Proses munculnya prasarana ekologi industri (Peck 1996)

Prasarana industri eksisting

Prasarana ekologi industri

Waktu

Pem

enuh

an k

eten

tuan

In

isia

tif d

aur u

lang

seb

agia

n P

enge

mba

ngan

per

alat

an

man

ajem

en

Dau

r ula

ng y

ang

terb

angu

n se

mpu

rna

Per

ubah

an s

ikni

fikan

dal

am

prod

uk d

an p

enge

mas

an

Ling

kung

an y

ang

terin

tegr

asi

penu

h di

dal

am b

uday

a pe

rusa

han

Pen

gem

bang

an e

kosi

stem

in

dust

ri da

n si

nerg

ik

Eko

logi

indu

stri

penu

h

Page 42: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

21

kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tahun

2040, perlu peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya sampai 90%.

Sebagai contoh, bila sebuah mobil saat ini mempunyai rasio penggunaan bahan

bakar 1 liter untuk 100 km jarak tempuh, maka pada tahun 2040 diperlukan

kendaraan yang memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 1 liter untuk

1000 km jarak tempuh. Ekologi industri merupakan pendekatan yang potensial

untuk melakukan dematerialisasi ekonomi global (Peck 1996).

Ekologi industri menekankan pada perumusan kebijakan publik, sistem

teknologi dan manajerial yang memfasilitasi dan mempromosi produksi dalam

bentuk yang lebih koperatif. Mengimplementasi ekologi industri meliputi life

cycle analysis, prosesing tertutup, penggunaan kembali dan daur ulang,

mendisain lingkungan dan pertukaran limbah. Diasumsikan bahwa ekonomi

yang efisien yang beroperasi secara harmoni dengan sistem alam tidak akan

menghasilkan limbah. Gambar 2.2. mengilustrasikan perubahan proses

industrialisasi ke prasarana ekologi industri secara penuh (Peck 1996).

Tabel 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri

Tititk penerapan Karakteristik Contoh-contoh Teknologi remediasi

• Gejala • Sumberdaya dan

lingkungan yang mengalami kerusakan

• Setelah fakta terjadi • mahal • berkisar antara teknologi

rendah sampai teknologi tinggi

• Remediasi tanah • Pembersihan lahan yang

tercemar • Perlakuan air

Teknologi Penanggulangan

• Akumulasi limbah atau perlakuan end-of-pipe

• Akumulasi atau perlakuan terhadap limbah sebelum dibang

• Memakan modal, energy, dan sumberdaya

• Menghasilkan aliran limbah • Agak mahal

• Penghilangan gas sulfur • Pusat pengolahan limbah

cair • catalytic mufflers

Teknologi pencegahan pencemaran

• desain proses industri

• desain produk atau komposisi

• Merubah produk atau proses atau mengurangi atau menghindari limbah

• Biaya lebih hemat dibanding metode penanggulangan

• Mengurangi aliran limbah

• Kertas bebas klorin • Elektroplating bebas

sianida • Bahan bakar bebas

timbal • Desai proses industri

Teknologi berkelanjutan

• produk atau jasa alternatif

• Manfaat ganda: efisiensi lingkungan, ekonomi, sosial, dan sumberdaya

• Penerangan yang efisien • Daur ulang kertas • Energi terbarukan • Kosmetik dan obat

dengan bahan dasar alami

Sumber: Thompson Gow and Associates, 1995 Environmental Scan. Winnipeg: Canadian Council of Ministers on the Environment, 1995) dalam Peck (1996).

Seperti salah satu definisi ekologi industri yang dikemukakan sebelumnya

disebutkan bahwa ekologi industri merupakan pertukaran material diantara

sektor industri yang berbeda dimana limbah dari suatu industri menjadi input

Page 43: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

22

untuk yang lainnya. Sebagai contoh, ekses dari fasilitas generator listrik dapat

digunakan sebagai input oleh industri sement portland (Gambar 2.3.).

Peck selanjutnya menyatakan bahwa untuk mencapai level prasarana

ekologi industri, diperlukan adanya kemajuan teknologi. Empat generasi

teknologi lingkungan telah diidentifikasi, yaitu: remediasi, penanganan,

pencegahan pencemaran, dan teknologi berkelanjutan (Tabel 2.5.).

Gambar 2.3. Ekosistem industri di Kalundborg, Denmark (Peck 1996).

2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri Desrochers (2001) menyebutkan klaster industri sebagai salah satu

sebutan lain dari konsep eco-industrial parks (EIPs). Namun, berdasarkan

content analysis dari definisi-definisi klaster industri maupun ekologi industri di

atas dapat disimpulkan bahwa kedua konsep bukan merupakan konsep yang

sama. Selanjutnya, merujuk pada definisi yang digunakan oleh Departemen

Perindustrian RI, maka dapat disimpulkan bahwa EIP dapat merupakan bagian

dari klaster industri. Hal ini karena, dari segi luasan areal, satu klaster industri

dapat meliputi beberapa kota yang terfragmentasi dengan cakupan wilayah yang

sangat luas; sedangkan EIP dipersyaratkan sebagai hamparan lahan yang

kompak dengan luasan minimal 20 ha atau lebih. Disamping itu, dalam konsepsi

Page 44: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

23

klaster industri tercakup institusi seperti perbankan atau institusi terkait lainnya

yang bukan merupakan bagian dari industri manufaktur.

Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa konsep

klaster industri dan ekologi industri bukan merupakan konsep yang sama tetapi

saling menunjang, dimana ekologi industri sebagai suatu metode yang dapat

memperkuat atau menunjang pendekatan klaster industri. Yang disebut terakhir

merupakan pendekatan yang sedang digunakan oleh Departemen Perindustrian

dalam pengembangan industri pengolahan/manufaktur nasional.

2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih Produksi bersih (clean atau cleaner production) adalah suatu pendekatan

manajemen lingkungan yang bertujuan untuk merangsang proses, produk dan

jasa baru yang lebih bersih dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya.

Konsep ini memberi tekanan pada pendekatan pencegahan dan memperhatikan

dampak yang ditimbulkan pada seluruh siklus hidup dari produk dan jasa

(Jackson dalam Ayres and Ayres 2002).

Ada resonansi yang jelas antara ekologi industri dan produksi bersih.

Keduanya dimotivasi oleh perhatian terhadap dampak lingkungan yang semakin

meningkat dari sistem ekonomi industri. Keduanya muncul pada saat yang

hampir bersamaan sebagai hasil dari proses evolusi manajemen lingkungan.

Survei terhadap literatur menegaskan adanya tumpang tindih antara kedua

model tersebut. Produksi bersih mengklaim bahwa ekologi industri merupakan

bagian dari model tersebut.

Penekanan yang diberikan oleh produksi bersih (seperti yang terdapat

dalam program United Nation Environmental Program, UNEP) terletak pada

teknologi proses, seperti pencegahan pencemaran dan minimalisasi limbah

(Jackson dalam

Perbedaan akan jelas apabila melihat interpretasi yang sempit dari kedua

konsep. Sementara kedua konsep menekankan pada efisiensi material,

produksi bersih memberi peran yang setara pada reduksi bahan beracun

berbahaya (B3) melalui substitusi, dengan menyarankan pengurangan atau

Ayres and Ayres 2002). Di lain pihak, ekologi industri memberi

perhatian pada penggunaan atau penggunaan kembali limbah yang dihasilkan

oleh satu industri untuk digunakan sebagai input bagi industri lainnya. Tujuan

dari ekologi industri adalah untuk mengurangi dampak sistem industri terhadap

lingkungan atau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Di bawah definisi

yang luas ini, kedua model sangat mirip.

Page 45: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

24

pelarangan penggunanaan beberapa bahan toksik. Selanjutnya, produksi bersih

diasumsikan dilakukan secara mandiri oleh industri secara individual. Ekologi

industri lebih menekankan pada hubungan yang lebih kuat antara industri, dan

karenanya memerlukan kerangka kerjasama yang erat diantara para pelaku.

Produksi bersih telah mendapatkan peran khusus di dalam sistem regulasi.

Di lain pihak, ekologi industri tidak sedang diarahkan oleh inisiatif regulasi, tapi

beroperasi dengan dasar kerjasama industri, yang terutama dipicu oleh

keuntungan ekonomis dari penggunaan kembali sumberdaya.

Kedua konsep dapat saling belajar dari satu sama lain. Sebagai contoh,

ekologi industri dapat belajar dari produksi bersih tentang pentingnya kerangka

“substitusi.” Di lain pihak, bergantung sepenuhnya pada strategi pencegahan

pencemaran secara individual sepertinya tidak akan mengarahkan pada efisiensi

material atau dematerialisasi pada sistem yang luas atau level makro ekonomi.

Jadi, produksi bersih dapat belajar dari ekologi industri tentang pentingnya

hubungan kerjasama antara industri untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan.

Kedua konsep berargumen memberikan strategi operasional untuk

pembangunan berkelanjutan. Namun yang penting adalah bagaimana

membangun dan mengoperasionalkan konsep masing-masing untuk mencapai

tujuan tersebut.

2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) Ekosistem industri regional dapat didefinisikan sebagai “eco-industrial

parks” atau biasa disingkat EIPs. Dengan kata lain, EIP merupakan aplikasi dari

konsep ekologi industri. The United States President’s Council on Sustainable

Development menyatakan EIP sebagai “suatu sistem industri dimana terjadi

pertukaran material dan enersi secara terencana dan berupaya untuk

menurunkan penggunaan bahan baku dan enersi, menurunkan limbah, dan

membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial”

(Korhonen 2001).

Konsep EIP masih dalam tahapan awal pengembangan. Gibbs and Deutz

(2005) menyatakan bahwa membangun EIP merupakan suatu pekerjaan yang

sulit. Di negara maju seperti Amerika Serikat, pengembangannya baru dimulai

sejak tahun 1995. Studi yang dilakukan tahun 2002 mencatat ada sekitar 34

buah ”eco-industrial park” di Amerika Serikat, dimana yang beroperasi sebanyak

Page 46: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

25

6 kawasan, dalam tahap konstruksi 5 kawasan, dalam tahap perencanaan

sebanyak 7 kawasan, sedangkan yang dinyatakan gagal (atau kembali menjadi

kawasan industri konvensional) sebanyak 16 kawasan (Gibbs and Deutz 2005).

Adanya kegagalan diatas antara lain disebabkan oleh dominasi pemerintah

dalam pembangunan tersebut (public-planning). Padahal, pembangunan “eco-

industrial park” yang ”kiblatnya” adalah ekosistem industri di Kalunborg,

Denmark, dibangun oleh karena adanya kesepakatan antara perusahan-

perusahan dengan orientasi keuntungan (private-planning) (Desrochers 2001).

Sebagai jalan tengah, Desrochers mengusulkan perpaduan antara kedua sistem

perencanaan diatas, yaitu kombinasi antara public planning dan private planning.

Tingkat keberhasilan dari implementasi konsep EIPs di negara-negara

maju antara lain disebabkan oleh fasilitasi pemerintah, regulasi lingkungan yang

mengikat, konsistensi peraturan, tingkat sosial-ekonomi masyarakat yang tinggi,

kesadaran masyarakat yang tinggi, dan lain-lain. Model yang berhasil diterapkan

di negara-negara maju tersebut belum serta merta akan berhasil apabila

diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia. Chiu dan Yong (2004)

menyarankan negara-negara berkembang di Asia yang berencana mengadopsi

model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan

meramu strategi yang paling tepat sebelum mengembangkan dan menerapkan

konsep tersebut. Kedua penulis selanjutnya menyatakan bahwa penelitian perlu

terus dilakukan untuk meningkatkan daya adaptasi dan aplikasi model terhadap

kondisi ekonomi dan sosial yang terus berubah di negara-negara berkembang

Asia.

Suatu EIP akan cenderung lebih berhasil jika konsep tersebut menjadi

bagian dari inisiatif komunitas dalam kisaran yang lebih luas (Chiu dan Yong

2004), yaitu:

- pembangunan perumahan untuk pekerja dari bisnis EIP

- pembuatan rencana stategis komunitas untuk mengurangi jumlah sampah

(penduduk, komersial, publik, dan industri).

- pembangunan pertukaran produk ikutan regional yang efektif, memberi pasar

untuk material yang dibuang sebagai limbah.

- penguatan perencanan pembangunan ekonomi untuk merangsang bisnis

yang cocok dengan profil yang dibutuhkan oleh EIP atau yang merubah

limbah menjadi produk dan lapangan kerja.

Page 47: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

26

- memobilisasi sumberdaya pendidikan untuk membantu bisnis lokal dan

pekerjaan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi energi dan mencegah

pencemaran.

- mengurangi emisi gas rumah kaca melalui program aksi komunitas yang

dipimpin oleh EIP.

- membiayai beberapa kegiatan pembangunan EIP melalui kerjasama publik

dan swasta.

Semua kawasan industri bergantung pada komunitas sekitarnya baik

tenaga kerja, sumberdaya material, jasa, dan perdagangan. Penduduk lokal

biasanya terlibat dalam konsultasi publik, yang berperan dalam persetujuan

proyek sehubungan dengan dampak lingkungan usaha/industri. Institusi lokal

seperti lembaga pendidikan berperan dalam penyiapan tenaga kerja lokal.

Tenaga kerja dari luar wilayah biasanya membutuhkan tempat tinggal/kost yang

dapat disediakan oleh komunitas sekitar perusahan.

Karena alasan-alasan diatas maka pengelola kawasan industri perlu

berinisiatif untuk membangun hubungan yang kuat dengan komunitas sekitar

kawasan industri. Keterlibatan komunitas sekitar didukung oleh banyaknya

keuntungan yang dapat diberikan oleh pengelola kawasan industri melalui

lapangan kerja maupun bisnis yang timbul karena adanya kawasan tersebut.

Perusahan, pengembang, penduduk, dan lainnya perlu bekerja bersama untuk

menangkap keuntungan-keuntungan dari konsep ekologi industri ini.

Inisiatif demikian akan memberikan dukungan yang kuat untuk mendukung

EIP. Pertukaran bahan ikutan yang efektif membutuhkan pemasok dan

pengguna yang besar. Tenaga kerja terlatih, perumahan, dan akses terhadap

keuangan membantu untuk menarik minat perusahan pengguna EIP. Pada saat

bersamaan, komunitas sekitar menikmati banyak manfaat, seperti: lingkungan

yang lebih bersih, ekonomi yang semakin kuat dan efisien, lapangan kerja baru,

dan reputasi yang baik sebagai tempat yang baik untuk memulai usaha.

Beberapa kendala yang dapat ditemui dalam penerapan EIP adalah daya

tolak perusahan untuk memberikan kepada pihak ketiga semua informasi

mengenai input dan output produksi. Hal ini menyulitkan identifikasi terhadap

potensi keterkaitan. Kurangnya pengetahuan tentang bisnis yang terletak di

bagian lain di dalam kawasan industri dan peluang keterkaitan yang ada.

Adanya kebutuhan terhadap mekanisme untuk mempromosi kerjasama dan

pertukaran informasi tentang manfaat ekonomi dari ekologi industry (Peck 1996).

Page 48: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

27

Dibandingkan dengan kawasan industri tradisional, EIP memiliki

karakteristik (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998):

1) Mendefinisikan pemangku kepentingan dan melibatkannya dalam desain

kawasan industri

2) Mengurangi dampak lingkungan melalui substitusi terhadap bahan

berbahaya, absorpsi CO2

3) Memaksimalkan efisiensi energi melalui desain dan konstruksi fasilitas, co-

generation, dan cascading.

, pertukaran materi, dan pengolahan terpadu dari

limbah

4) Mengkonservasi bahan-bahan melalui desain dan konstruksi fasilitas,

menggunakan kembali, menangkap kembali, dan mendaur ulang.

5) Hubungkan dan buat jaringan perusahan-perusahan dengan penyuplai dan

pelanggan di dalam komunitas yang lebih luas dimana EIP terletak.

6) Secara terus menerus meningkatkan kinerja lingkungan baik oleh perusahan

secara individu maupun komunitas perusahan secara keseluruhan.

7) Miliki sistem regulasi yang memberikan beberapa fleksibilitas sementara

merangsang perusahan untuk mencapai kinerja tujuan.

8) Gunakan instrumen ekonomi yang menghambat limbah dan pencemaran.

9) Terapkan sistem manajemen informasi yang memfasilitasi aliran energi dan

limbah.

10) Ciptakan mekanisme untuk melatih manajer dan pekerja tentang strategi,

alat, dan teknologi baru untuk meningkatkan kinerja

11) Lakukan pemasaran untuk menarik perusahan yang dapat mengisi atau

melengkapi perusahan lainnya.

2.3.6.1. Model Kalundborg, Denmark Pertukaran limbah antara perusahan yang berbeda tipe telah berlangsung

selama satu abad, dilatarbelakangi oleh adanya nilai bisnis yang bagus (Peck

1996). Tetapi, pengembangan “ekosistem industri” merupakan fenomena baru,

dimana contoh yang paling dikenal adalah di Kalundborg, Denmark. Disana,

ekosistem industri telah terbangun yang terdiri atas pembangkit listrik tenaga

batu bara, pabrik pemurnian minyak, pabrik gyproc (pembuat plasterboard),

perusahan farmasi, usahatani perikanan, dan Kota Kalundborg

(http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77).

Di Kalundborg, uap air dan berbagai bahan mentah seperti belerang, abu,

dan lumpur dipertukarkan satu sama lain membentuk “ekosistem industri.”

Page 49: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

28

Perusahan-perusahan yang berpartisipasi masing-masing mendapatkan

keuntungan ekonomis berupa penurunan biaya pembuangan limbah,

peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya dan kinerja lingkungan.

Pertukaran materi dan energi tahun 1995 adalah sekitar 3 juta ton/tahun, dengan

perkiraan penghematan sebesar US $10 juta/tahun. Disamping itu, gas yang

ditangkap di perusahan pemurnian minyak yang sebelumnya dibuang, dikirim ke

pembangkit listrik yang diperkirakan menghemat setara dengan 30.000 ton batu

bara/tahun (http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy. asp?id=77).

2.3.6.2. Model Kawasan Industri Burnside, Nova Scotia, Kanada Dibangun dengan pertimbangan bahwa informasi merupakan kunci utama

di dalam bisnis industri manufaktur. Oleh karena itu, kawasan industri ini

membangun Pusat Informasi Lingkungan yang bertugas memberikan informasi

tentang pilihan-pilihan terbaik untuk penurunan limbah industri, penggunaan

kembali (recycle), dan manajemen.

Cote, salah satu pioner ekologi industri di Kanada, telah membantu

membangun keterkaitan ekologi industri pada Kawasan Industri besar di

Burnside, Nova Scotia tersebut. Pendirian Pusat Informasi Lingkungan/Pusat

Produksi Bersih pada tahun 1995 dilakukan Cote dengan bantuan dari

Pemerintah Federal dan Provinsi serta sumber lainnya (Peck 1996).

Peran utama dari Kantor itu adalah untuk mempromosikan dan

memfasilitasi “peng-hijau-an” lebih dari 1200 unit bisnis yang berada di Burnside,

kawasan industri terbesar di Bagian Timur Kanada. Jasa yang diberikan oleh

kantor tersebut adalah: mempromosikan konservasi materi dan energi melalui

audit; mencari teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumbedaya

bagi partner bisnis; memfasilitasi pengurangan limbah pengepakan melalui audit

limbah; dan mengidentifikasi dan memfasilitasi keterkaitan limbah dan energi

diantara perusahan-perusahan. Keterkaitan ekologi industri dipromosikan oleh

Kantor tersebut, melalui kegiatan pertukaran limbah.

Pusat Produksi Bersih di Burnside merupakan contoh praktis dari

pendekatan untuk mempromosi ekologi industri pada kawasan industri yang

sudah berdiri sebelumnya. Contoh-contoh hubungan simbiotik yang aktual dan

potensial di Kawasan Industri adalah:

• Daur ulang cardboard rusak yang dikumpulkan oleh satu perusahan dalam

kawasan dan mengirimnya keluar untuk diproses kembali.

Page 50: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

29

• Penggunaan kembali kelebihan polystyrene di pabrik komputer oleh

perusahan pengepakan.

• Berbagai perusahan daur ulang atau penggunaan kembali yang menangani

toner bekas, pengisian kembali tinta toner, re-treading ban mobil, dan

perbaikan meubel.

• Adanya potensi untuk program pengambilan kembali logam perak di industri

percetakan.

2.3.6.3. Model Value Park, Dow Chemical Jerman Berbeda dengan yang dilakukan di Kalundborg, titik berat diletakkan pada

kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan

dan penjualan. Di kawasan industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada

produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (Peck 1996).

2.3.6.4. Model PALME, Perancis PALME (Programme d’actions labelise pour la maitrise de l’environement)

merupakan kawasan industri eco-label yang sedikit berbeda dengan EIP (Cote

dan Cohen-Rosenthal 1998). PALME tidak menekankan pada siklus, jaringan

makanan, atau keterkaitan antar industri tapi pada manajemen lingkungan dari

kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenant di

kawasan industri ini sangat ketat. Tujuh belas elemen eco-label dari model ini

diperlihatkan pada Tabel 2.6.

Di dalam model ini upaya dilakukan untuk menghadapi tantangan dengan

cara menerapkan mekanisme administratif dan manajemen sehingga tercapai

sinergi bagi semua tahapan operasi bagi semua tenant. Di dalam model ini

dilakukan negosiasi awal untuk membangun kontrak sosial dengan semua

pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tidak hanya mengidentifikasi

tujuan lingkungan masing-masing tapi berkomitmen untuk memberikan peran

khusus sehingga rencana yang ditetapkan dapat berjalan dengan baik.

Pemangku kepentingan meliputi juga antara lain badan energi dan transportasi,

kelompok-kelompok sosial masyarakat, dan pemerintahan lokal. Produk akhir

dari negosiasi yang dilakukan adalah persetujuan tertulis yang berisi daftar

rencana tindakan dari semua pemangku kepentingan.

2.3.6.5. Model Pemanfaatan “Brownfields” Contoh dari model ini adalah pemanfaatan “brownfields” di Amerika Serikat

(Peck 1996). Model ini sekaligus dilakukan untuk merehabilitasi lahan dan

Page 51: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

30

menciptakan lapangan pekerjaan baru. Kebijakan pemerintah yang dilakukan

meliputi: recycling, konservasi energi, produksi bahan dan barang yang berguna

secara sosial dan yang berkelanjutan, dan pembangunan kembali areal

sehingga menjadi alami dan dapat menunjang kesehatan masyarakat.

Tabel 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME No Elemen eco-label

1 Persiapkan rencana pembangunan lokasi industri dan kumpulkan semua peraturan dan pedoman yang relevan

2 Persiapkan laporan “Status Lingkungan” awal dari lokasi 3 Bangun rencana lansekap dan persyaratan arsitektur untuk bangunan 4 Pastikan untuk memenuhi persyaratan lingkungan dan hukum, dan

pedoman operasional 5 Bangun dan terapkan rencana bagi flora dan fauna alami untuk

memelihara atau membangun kembali keseimbangan ekologi dari lokasi 6 Terapkan kesadaran masyarakat dan program informasi menyangkut

lingkungan alami dan konservasi 7 Bangun jasa konsultasi produksi bersih 8 Bangun dan terapkan program “lokasi konstruksi yang bersih” 9 Bangun rencana manajemen limbah padat

10 Bangun rencana limbah industri dan efluent 11 Bangun rencana untuk mengatur air hujan dan aliran air permukaan, dan

konstruksi dari instalasi yang dibutuhkan 12 Berikan saran bagi perusahan menyangkut penurunan tingkat kebisingan

dan materi yang digunakan untuk bangunan dan mesin. 13 Monitor kualitas udara dan kebisingan dari lokasi 14 Bangun rencana manajemen energi dari lokasi 15 Teliti sumber energi alternatif 16 Bangun manajemen keterkaitan dengan pemerintah lokal 17 Bangun unit monitoring dan koordinasi untuk hal-hal yang sudah disebut

di atas Sumber: Cote dan Cohen-Rosenthal (1998).

2.3.6.6. Fujisawa Factory Eco-Industrial Park Proyek EIP ini merupakan inisiatif dari EBARA Corporation of Japan

bekerja sama dengan Zero Emissions Research Initiatives (ZERI) dari United

Nations University dan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri

Jepang (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). Fujisawa Factory Eco-Industrial Park

ini akan mengkombinasikan komponen-komponen industri, komersial, pertanian,

permukiman, dan rekreasi ke dalam multi-faceted community. EIP ini meliputi

konservasi dan cascading energi, energi terbarukan, konservasi limbah menjadi

energi, greenhouse, perlakuan limbah cair menggunakan rawa, penggunaan

kembali limbah cair yang sudah diolah, konversi abu menjadi portland cement

Page 52: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

31

dan keramik, penggunaan kembali dan daur ulang, dan kegiatan lainnya. EIP ini

akan didukung oleh Pusat Emisi Nol, Klinik Lingkungan, dan Pusat Logistik.

2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif

sehingga sangat prospektif untuk dipromosikan ke pasar berskala regional

maupun internasional (Depkimpraswil 2002). Keunggulan kompetitifnya meliputi

sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete, pala), perikanan

laut (tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta

pertambangan (nikel dan marmer). Sedangkan keunggulan komparatifnya

adalah eco-cultural tourism yang didasarkan atas keunikan budaya lokal dan

keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti ditemukan pada taman-taman

nasional (Rawa Aopa dan Dumoga) dan taman-taman laut (Wakatobi, Bunaken,

dan Takabonerate).

Pulau Sulawesi, disamping Pulau Kalimantan, merupakan prime mover

pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Oleh karena itu,

RTRW Pulau Sulawesi harus mengakomodasikan kebijakan-kebijakan

pengembangan KTI agar berbagai upaya pembangunan lintas wilayah dan lintas

sektor dapat berjalan secara serasi, selaras, saling menguatkan (sinergis), dan

dapat memberikan multiplier effect yang besar bagi kawasan-kawasan di

sekitarnya.

Skenario pengembangan untuk mewadahi atau memberi bingkai bagi

strategi pengembangan tata ruang wilayah Pulau Sulawesi adalah skenario

pengembangan yang berorientasi ke luar dengan sistem outlet hirarkis

fungsional dan dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan dan

pemerataan (Gambar 2.4.).

Menurut arahan tipologi (besaran dan fungsi utama) kota di Pulau

Sulawesi, Kota Bitung merupakan besaran kota sedang; memiliki fungsi utama

sebagai pelabuhan utama primer dan fungsi utama kota sebagai kota nasional

(PKL); dan dominasi kegiatan wilayah di sekitarnya di masa mendatang adalah

jasa dan industri.

Page 53: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

32

Toli-toli

Gorontalo

Poso

Palopo

Palu

Pare-

pare

Makassar

Takalar Bulukumba

Watam-pone

Kolaka

Manado

Luwuk

Bau-bau

Kendari

Bitung

Nasional &Internasional

Nasional &Internasional

KalimantanSelatan dan

Timur

NTT & NTB

KTI: Maluku,Irian

Nasional

Nasional

Nasional

Nasional

Gambar 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi (Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Pulau Sulawesi (Depkimpraswil 2002).

2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri Pola keterkaitan antar industri dapat diukur dengan pengukuran

kuantitatif menggunakan “connectance value,” yang didefinisikan sebagai jumlah

interaksi langsung dalam suatu jaring makanan dibagi dengan jumlah

keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi (Hardy dan Graedel 2002). Nilai

keterkaitan (C) dihitung menggunakan rumus:

C = 2 L / [S(S-1)]

Dimana:

- S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu).

- L adalah jumlah interaksi antar industri. - C berkisar antara 13,5% - 84,6%, dengan nilai median adalah 42,3%.

Ilustrasi dari suatu ekosistem yang terdiri atas sembilan spesies adalah

seperti pada Gambar 2.5. Hasil perhitungan dengan rumus di atas diperoleh

nilai C = 0,416 atau 41,6%.

Semakin tinggi nilai keterkaitan (C) tersebut diatas belum mengindikasikan

stabilitas ekosistem atau efisiensi (de Ruiter et al 1995 dalam Hardy dan

Graedel 2002). Oleh karena itu diperlukan perhitungan simbiosis lainnya.

Page 54: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

33

Keterkaitan yang besar berarti bahwa aliran material sedang dipertukarkan

bukan dibuang. Itu tidak menyatakan tentang besaran aliran atau kepentingan

lingkungannya. Namun, secara jelas terlihat bahwa, kuantitas yang lebih besar

yang digunakan secara simbiosis adalah lebih penting bagi lingkungan

dibandingkan dengan kuantitas yang kecil. Dengan demikian, penggunaan

material yang secara potensial berbahaya secara lingkungan lebih penting

dibandingkan dengan penggunaan material yang ramah lingkungan.

Gambar 2.5. Matriks komunitas spesies Keterangan: A, B, C, D, Y, E, F, X, dan G adalah spesies di dalam komunitas 0 = tidak ada interaksi; 1 = ada interaksi

A B

Y C

E F

D

X G

Man

gsa

atau

sum

berd

aya Pemangsa atau konsumen

E F X G C D Y A B E 0 0 0 0 1 0 0 1 0 F 0 0 0 0 1 1 1 0 0 X 0 0 0 0 0 1 1 0 0 G 0 0 0 0 0 0 1 0 1 C 0 0 0 0 0 0 0 1 0 D 0 0 0 0 0 0 0 1 1 Y 0 0 0 0 0 1 0 1 1 A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 B 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 55: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

34

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

3.1.1. Definisi Eco-Industrial Park yang digunakan Model “eco-industrial park” (EIP) adalah “suatu sistem industri dimana

terjadi pertukaran material dan energi secara terencana dan berupaya untuk

menurunkan penggunaan bahan baku dan energi, menurunkan limbah, dan

membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial” (The

United States President’s Council on Sustainable Development dalam

3.1.2.1 Asumsi Dasar

Korhonen

2001).

3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar, yaitu sebagai berikut:

a. Aplikasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kawasan Industri dalam jangka

panjang akan bersifat efektif dan efisien.

b. Regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri bersifat

konsisten dan tidak anti-competitive.

c. Tidak adanya resistensi terhadap penerapan rancangan model oleh

pemangku kepentingan.

d. Setelah semua fasilitas penunjang AEIP Bitung selesai dibangun (dengan

tahun initial/awal 2010) maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

pembangunan keseluruhan pabrik adalah lima belas tahun.

3.1.2.2. Batasan Penelitian

1. Batasan penelitian ini adalah seperti yang dirumuskan di dalam tujuan

umum, yaitu perancangan model pengembangan “agro-eco-industrial park”

(AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara; dan ke-tiga tujuan khusus penelitian,

yaitu mengevaluasi kondisi aktual dari aktivitas industri agro; menyusun

model pengembangan AEIP Bitung, dan menganalisis implikasi dan

rekomendasi kebijakan penerapan model.

2. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk merancang desain tata letak,

mendesain infrastruktur atau mendesain bangunan, dan fasilitas pendukung

Agro-eco-industrial park.

3. Model yang dibangun tidak memasukkan unsur teknologi sebagai variabel

dalam pemodelan.

Page 56: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

35 4. Kinerja AEIP diketahui melalui simulasi Model Pengembangan AEIP (MP-

AEIP) Bitung, yang dibatasi pada variabel-variabel: Nilai Produksi AEIP

Bitung, Penyerapan Tenaga Kerja, Penurunan Kuantitas limbah padat, dan

Penurunan Kuantitas Limbah Cair. Model yang dibangun tidak

mempertimbangkan biaya investasi, biaya produksi, pajak, dan tidak

dilakukan analisis finansial di dalam penyusunan model.

5. Model dibangun dengan menggunakan “Kawasan AEIP sebagai faktor

pembatas” sedangkan ketersediaan bahan baku digunakan sebagai rujukan

untuk menentukan jumlah dan kapasitas produksi.

3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan

pendekatan sistem (goal oriented). Pendekatan sistem adalah suatu

pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik

tolak analisis. Pendekatan ini diperlukan karena permasalahan yang

dihadapi semakin kompleks dan dapat menggunakan peralatan yang

menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih

komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari

suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh

(Marimin 2007).

Langkah-langkah yang dilakukan di dalam analisis sistem adalah: (1)

analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, dan (4)

pemodelan: Model Pengembangan AEIP Bitung (disingkat MP-AEIP Bitung),

Provinsi Sulawesi Utara.

3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung 3.2.2.1. Analisis Kebutuhan (Need Analysis)

Setelah mendapatkan data yang diperlukan untuk penetapan kebutuhan

dasar yang diperoleh melalui analisis terhadap pemangku kepentingan, maka

dapat diperkirakan analisis kebutuhan, seperti pada Tabel 3.1.

Page 57: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

36

Tabel 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan

Kebutuhan

Industriawan 1. pendapatan usaha meningkat 2. suplai sumberdaya alam, bahan baku dan energi terjamin dan kontinu dengan harga

rendah 3. tenaga kerja tersedia dengan upah kompetitif 4. biaya penanganan limbah relatif murah 5. modal usaha tersedia 6. peluang pasar besar 7. iklim berusaha yang kondusif 8. adanya sistem insentif bagi industri yang berlokasi di dalam kawasan industri 9. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 10. peraturan pemerintah yang konsisten 11. harga lahan di dalam kawasan industri terjangkau 12. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 13. ketersediaan teknologi aplikatif

Pemerintah dan Pemda

1. peningkatan pajak/devisa negara 2. aktivitas produksi industri dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan 3. lapangan kerja tersedia 4. kualitas lingkungan terpelihara 5. kemudahan atas pengawasan dampak lingkungan aktivitas industri 6. terkonsentrasinya industri di dalam kawasan industri 7. citra industri dalam bidang lingkungan meningkat 8. tumbuhnya industri baru (industri komplementer) 9. program corporate social responsibility diterapkan. 10. kurangnya dampak negatif seperti kriminalitas, kemacetan lalu lintas, dan prostitusi.

Pengelola/ pengembang kawasan industri

1. permintaan atas lahan industri di dalam kawasan industri meningkat 2. ditetapkannya kebijakan relokasi industri ke kawasan industri 3. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 4. iklim berusaha yang kondusif 5. modal usaha tersedia 6. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 7. regulasi pemerintah yang konsisten

Masyarakat 1. tersedianya lapangan kerja 2. lingkungan hidup yang tidak tercemar 3. adanya pembiayaan program corporate social responsibility dari industri 4. tersedianya produk industri dengan harga relatif terjangkau 5. tersedianya pasar bagi bahan baku yang diproduksi masyarakat 6. tidak adanya gangguan kesehatan/keselamatan karena aktivitas industri 7. berputarnya roda perekonomian masyarakat (tempat kost, rumah makan, warung,

kios, dan tempat hiburan) 8. terpeliharanya budaya dan keyakinan lokal/kearifan lokal

Perbankan 1. tersalurnya dan meningkatnya kredit investasi 2. dikembalikannya pinjaman modal tepat waktu (risiko kredit menurun) 3. konsistensi peraturan pemerintah 4. peraturan pemerintah yang kondusif

Badan Penanaman Modal

1. peraturan pemerintah yang kondusif 2. konsistensi peraturan pemerintah 3. meningkatnya realisasi investasi 4. meningkatnya lapangan kerja

Perguruan Tinggi/Lemba-ga Penelitian

1. tersedianya mitra kerja untuk penelitian dan pengembangan 2. penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan

3.2.2.2. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan

dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus

dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eryatno 2003).

Hasil identifikasi sistem dinyatakan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat

Page 58: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

37 yang merupakan gambaran keputusan yang dapat dilakukan secara kontinu

(Gambar 3.1.).

Gambar 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat MP AEIP Bitung

Hasil dari diagram lingkar sebab akibat dilanjutkan pada interpretasi

kedalam konsep kotak hitam (black box). Dalam penyusunan kotak gelap, perlu

diketahui macam informasi yang dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu

peubah input, peubah output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur

sistem. Diagram kotak hitam dari MP-AEIP Bitung disajikan pada Gambar 3.2.

Bahan ikutan

Model AEIP

Industri baru

Ketersedi-aan lahan

industri

Pertukaran materi dan

limbah

Kerjasa-ma antar industri

Limbah industri

+

+

+

+ +

+

+

+ +

+

+

+

Kualitas lingkungan

+/-

+/- +

+

+/-

+

+

+

+

+

+ Kekurangan

pasokan bahan baku

+

Pasokan lahan

industri

Keberlanjut-an industri

Rekruitmen TK lokal

Kinerja Industri Agro

Pasokan energi

Energi listrik terbarukan

Potensi SDA

Peran aktivitas industri

Dampak lingkungan

+

+ +

-

-

-

Persepsi masyarakat

Page 59: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

38

Gambar 3.2. Diagram Kotak Hitam MP-AEIP

3.2.2.3. Formulasi Permasalahan

Keberlanjutan aktivitas industri sangat diperlukan untuk pemenuhan

kebutuhan masyarakat, sebagai sumber devisa negara, dan penyerap lapangan

kerja. Namun dilain pihak, aktivitas industri mengakibatkan pencemaran

lingkungan yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat. Terdapat

beberapa metode penanggulangan pencemaran industri, yaitu command-and-

control yang sangat umum diaplikasi, dan market-based incentives. Namun

demikian, metode penanggulangan pencemaran industri tersebut lebih

cenderung melihat proses produksi industri dan pencemaran lingkungan yang

dihasilkannya sebagai suatu proses yang linear. Ekologi industri, dilain pihak,

melihat proses produksi industri sebagai suatu siklus, dimana limbah atau by-

products yang dihasilkan oleh suatu industri dipandang sebagai input atau

peluang usaha bagi industri lainnya. Disamping itu, penerapan konsep tersebut

harus dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan kelangkaan sumbedaya

alam, bahan baku, dan energi.

Salah satu implikasi dari rencana kebijakan pemerintah tentang kawasan

industri adalah setiap daerah yang berencana mengembangkan industri

manufakturnya harus memiliki kawasan industri. Penetapan suatu kawasan

Input tak terkontrol: - Populasi penduduk - Angkatan kerja - Kebutuhan lapangan kerja - Perubahan paradigma

berpikir terhadap limbah industri

- Harga produk di pasaran

Model Pengembangan

AEIP Bitung

Input terkontrol: - pemeliharaan LH - perubahan pola penyediaan pasokan

bahan baku, air, dan energi - peluang usaha baru - desain infrastruktur yang murah - Program pengembangan

masyarakat - insentif kepada tenan

Output tidak dikehendaki: - Limbah tak terkelola - Kelangkaan SDA dan energi - Biaya investasi meningkat - Konflik sosial - Perkembangan industri yang

lamban.

Output dikehendaki: - Kesempatan kerja dan berusaha - Keberlanjutan aktivitas industri - Biaya sosial penanganan

pencemaran berkurang - Kelestarian LH - Hubungan harmonis industri-masyarakat

- Peningkatan kinerja industry - Peningkatan kerjasama industri - Peningkatan keragaman industri

Input lingkungan: - Peraturan

perundangan - Perubahan pola hidup

Manajemen AEIP

Page 60: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

39 menjadi kawasan industri perlu didahului oleh kajian yang komprehensif dan

mempertimbangkan perkembangan terakhir (state of the art) dalam bidang

tersebut.

Beberapa contoh keberhasilan penerapan konsep ekologi industri di

dunia adalah seperti di Kalundborg, Denmark dan Finlandia (Korhonen 2001).

Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum menyimpulkan

bahwa pengembangan kawasan industri berkelanjutan dapat dicapai melalui

implementasi konsep pengembangan kawasan industri berbasis ekologi. Tetapi

masih sedikit contoh penerapan ekologi industri yang terdokumentasi. Sebelum

dapat dibangunnya sistem manajemen yang lebih jelas, kebijakan, atau desain

dari konsep itu, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menghubungkan

antara teori dengan studi kasus, tidak hanya di wilayah yang berbeda tetapi juga

di negara yang berbeda, karena faktor kondisi lokalitas sangat penting untuk

konsep ekologi industri (Korhonen 2001).

Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi aktual industri agro, status kualitas lingkungan, dan pola

keterkaitan antar industri berbasis agro/manufaktur di Kota Bitung?

2. Bagaimana bangun Model Pengembangan AEIP Bitung?

3. Bagaimana implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan Model AEIP di

Kota Bitung?

Permasalahan di atas perlu dicarikan solusinya supaya tujuan menuju

keberlanjutan aktivitas industri manufaktur dapat dicapai. Hal ini dapat dilakukan

antara lain dengan menerapkan manajemen pengembangan industri

menggunakan konsep ”eco-industrial park” (EIP) (Gambar 3.3.). Selanjutnya,

diagram alir perancangan model dicantumkan pada Gambar 3.4.

Page 61: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

40

Pendirian industri manufaktur baru

MP AEIP Bitung

BERKELANJUTAN?

Status quo: Industri manufaktur di luar KI dengan lokasi tersebar

Industri manufaktur tidak wajib dalam KI

KI yang sudah ada/beroperasi

KI baru

Pendirian KI di Provinsi Sulawesi Utara

Klasifikasi industri manufaktur di Provinsi Sulut

Peraturan perundangan/kebijakan industri

Aktivitas industri berbasis agro yang berkelanjutan

Contoh-contoh kasus/hasil-hasil penelitian terbaru: faktor-faktor hubungan sosial, jaringan co-location dan hubungan antara perusahan; roundput, keragaman, saling ketergantungan, dan lokalitas; kesadaran perlindungan lingkungan; public planning vs private planning

Gambar 3.3. Perumusan Masalah

Sosial

Ekonomi

Lingkungan

- Karakteristik dan pola keterkaitan industri berbasis agro - Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri - Program pengembangan AEIP

Pendekatan klaster industri

Page 62: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

41

Gambar 3.4. Diagram Alir Perancangan Model

3.2.2.4. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pendekatan sistem analisis

adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.5.

Pengujian Model

Penetapan Tujuan

• Analisis Kebutuhan • Formulasi Masalah

• Analisis Laboratorium • Survey Lapangan

Analisis Kondisi Aktual Industri Manufaktur/Agro

Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model

Pola Keterkaitan antar Industri

Kinerja Industri Persepsi Pemangku

Kepentingan

Tahapan Implementasi Model

Alternatif Model Prioritas

ya

Implementasi Model

Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan

Perancangan Model Dinamik

Tidak

Page 63: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

42

Gambar 3.5. Pendekatan Sistem Analisis Perancangan Model AEIP Bitung

3.2.3. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 3.6.

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 3.7.).

Mayoritas industri yang berkembang di koridor ini adalah industri berbasis-agro,

dimana yang menjadi industri unggulan yaitu industri perikanan laut dan industri

kelapa (Dinas Perindag Kota Bitung, 2008). Tidak jauh dari Kota Bitung, yaitu

Kota Manado terdapat Bandara Primer, sedangkan di Kota Bitung terdapat

Pelabuhan Utama Primer, oleh karena itu disebut sebagai kota-kota pintu

gerbang nasional (Dirjen Penataan Ruang, Departemen Kimpraswil, 2002).

Kedua sarana tersebut berperan besar sebagai faktor pendorong

berkembangnya dan terkonsentrasinya aktivitas industri di Kota Bitung.

Metode Pendekatan Sistem

• Analisis Kebutuhan • Formulasi Permasalahan • Identifikasi Sistem

Mulai Tabulasi (FasT-facility synergy tool),

Connectance value, bagan alir

Metode ISM (Program ISM VAXO)

Evaluasi terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di

Kota Bitung

Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung

Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri

agro/manufaktur di Kota Bitung

Skala Likert

Model Pengembangan AEIP Bitung

Sintesis terhadap output tujuan-tujuan khusus penelitian dan selanjutnya

model dirancang dengan menggunakan Program Powersim

Studio Expert 2005

Model alternatif AEIP prioritas

Metode AHP (Program Criterium Decision Plus)

Metode Deskriptif Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan

Page 64: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

43

Gambar 3.6. Tahapan Penelitian

Survei dan pengumpulan data, survei pakar

Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung

Kondisi aktual dari aktivitas industri

manufaktur di Kota Bitung

Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan Model

Model Pengembangan AEIP Bitung

Mulai

Alternatif AEIP

Persepsi pemangku kepentingan terhadap

aktivitas industri manufaktur di Kota Bitung

Selesai

Analisis hubungan kontekstual antar

sub-elemen

Elemen kunci Struktur hirarkhi sub-elemen

Pengelompokan sub-elemen

Tahap 2

Tahap 3

Tahap 4

Tahapan Implementasi Alternatif AEIP

Ekonomi

Sosial Lingkungan

Analisis Kebutuhan

Formulasi masalah

Identifikasi sistem

Simulasi Model

Pola Keterkaitan antar Industri

Tahap 1

Page 65: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

44

Pelaksanaan penelitian selama 24 bulan. Penelitian dimulai pada bulan

September 2007 sampai dengan Agustus 2009. Jadwal pelaksanaan penelitian

disajikan pada Lampiran 1.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut:

Dokumen-dokumen: Rencana Tata Ruang Wilayah, Peraturan

perundangan/Perda, Masterplan Rencana Pembangunan Kawasan Industri

Kota Bitung, dan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan

aktivitas industri manufaktur/agro.

a) Peta-peta: peta administrasi dan peta RTRW lokasi penelitian.

b) Bahan-bahan penyusunan kuesioner yang digunakan untuk pengambilan

data primer meliputi: persepsi pemangku kepentingan, pendapat pakar, dan

lain-lain.

Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat

komputer yang dilengkapi berbagai software untuk keperluan analisis seperti

Criterium Decision Plus, Modul ISM VAXO, dan Powersim Studio 2005.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer yang digunakan adalah survei lapang

berupa pengamatan secara langsung, wawancara, dengan atau tanpa panduan

kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Wawancara individu

menggunakan kuisioner, dilaksanakan di lokasi penelitian terhadap beberapa

responden/pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang menjadi

responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi industriawan, aparatur

pemerintah, akademisi/peneliti, dan masyarakat. Khusus untuk kuisioner bagi

para industriawan, digunakan kuisioner dengan beberapa modifikasi merujuk

pada Lowe (2001). Selain menggunakan kuesioner juga dilakukan wawancara

secara mendalam (in-depth interview) dengan pakar/praktisi. Indepth interview

dimaksudkan untuk menggali informasi sekaligus mendapatkan kesepakatan-

kesepakatan bersama dalam merumuskan pengembangan industri manufaktur

dengan menggunakan model AEIP. Pemilihan pakar secara lokal karena

pertimbangan akan pengetahuan terhadap karakteristik pengembangan industri.

Page 66: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

45

Gambar 3.7. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian

Page 67: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

46

Jumlah responden dipilih secara acak sederhana (simple random

sampling), jumlahnya ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah populasi

dalam kelompok.

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari penelusuran literatur/referensi

dari berbagai sumber, yaitu BPS, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota terkait, serta Dinas Perindustrian dan Provinsi Slawesi

Utara dan Kota Bitung, Bappeda, BPLH, Perguruan Tinggi, dan sumber relevan

lainnya.

3.4.3. Penetapan Responden Pertimbangan yang digunakan di dalam pemilihan pakar adalah

keberadaan, keterjangkauan, dan kesediaan untuk diwawancarai; reputasi,

kedudukan, kredibilitas dan pengalaman di bidangnya. Responden pakar dapat

berasal dari luar lokasi penelitian. Responden pakar adalah James Rompas,

Ketua Bappeda Kota Bitung, yang telah berpengalaman dalam pengembangan

industri/kawasan industri dan Jen Tatuh, ahli dalam bidang

Institusi/Kelembagaan dan Agribisnis. Responden masyarakat dipilih

berdasarkan domisili atau keterkaitan tugas dengan sektor industri. Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas

industri dan kebijakan industri di Koridor Kema-Bitung maka akan dilakukan

pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006).

Penetapan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan Tabel

Nomogram Herry King, dengan tingkat kepercayaan 95% (atau tingkat

kesalahan 5%) (Sugiyono 2006:100).

3.4.4. Variabel yang Diamati Data penelitian yang diperlukan dibedakan atas data primer dan sekunder,

meliputi parameter lingkungan, ekonomi, dan sosial. Secara rinci jenis data dan

variabel yang akan diamati/ dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.1.

3.5. Metode Analisis Metode penelitian yang dibahas berikut adalah untuk menjawab ke-lima

tujuan khusus penelitian. Ringkasan dari metode penelitian yang meliputi tujuan

penelitian, sumber data, data, metode analisis, dan output yang diharapkan

adalah seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.4.

Page 68: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

47

3.5.1. Evaluasi Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro (A). Kinerja Industri Agro

Untuk mengevaluasi kinerja industri di Kota Bitung digunakan metode

FaST (facility synergy tool). Output dari analisis FaST adalah profil database

industri. Metode FaST dirumuskan oleh Industrial Economics, Inc., Cambridge,

MA 1998 (Anonim 1998) untuk perencanaan EIP, yang memberikan informasi

Tabel 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian

No Parameter Data Variabel Jenis Data 1

Lingkungan Limbah industri Limbah cair Primer/sekunder Limbah padat Primer/sekunder

Bahan ikutan industri (by-products)

Kepala, sirip, ekor, dan isi perut ikan

Primer/sekunder

Air kelapa Primer/sekunder Sabut dan tempurung kelapa Primer/sekunder Paring kelapa Primer/sekunder Bungkil kelapa Primer/sekunder

Iklim Curah hujan Sekunder Kecepatan angin Sekunder Lama penyinaran Sekunder

Status Kualitas Lingkungan/Isu Pokok Lingkungan Hidup

Sampah kota Primer/sekunder Pencemaran air permukaan Primer/sekunder Pencemaran tanah Sekunder Konversi lahan Sekunder Erosi tanah dan degradasi lahan Sekunder

2

Ekonomi

Industri manufaktur Perkembangan perusahan industri Sekunder Perkembangan tenaga kerja Sekunder Perkembangan nilai produksi Sekunder Investasi Sekunder

Pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian

Pertumbuhan ekonomi, kontribusi beberapa sektor dalam PDRB

Sekunder

Penggunaan lahan Permintaan dan penawaran lahan Sekunder Ketenagakerjaan Angkatan kerja Sekunder

Penyerapan tenaga kerja Sekunder Prasarana Jalan Sekunder

Listrik Sekunder Air Minum Sekunder Perhubungan laut Sekunder

Pertanian Tanaman pangan dan perkebunan Sekunder Perikanan Primer/Sekunder 3 Sosial Hubungan sosial

antara industri dan masyarakat sekitar

Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri agro/manufaktur

Primer/sekunder

Program-program pengembangan masyarakat

Kebijakan dan regulasi pemerintah

Peraturan dan kebijakan terkait pengembangan industri dan atau kawasan industri

Primer/sekunder

Kelembagaan Kelembagaan terkait pengembangan KI/AEIP

Primer/sekunder

4 Ekosistem industri

Pola keterkaitan antar Industri agro dan industri terkait

Jumlah kerjasama pemanfaatan limbah industri dan atau by-products

Primer/sekunder

5 Faktor-faktor penentu pengem-bangan AEIP

Elemen-elemen yang terkait dengan pengembangan AEIP

Hubungan kontekstual antar elemen dari tujuan dari program; kendala utama dari program.

Primer

Page 69: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

48

dasar utama yang diperlukan untuk merencanakan AEIP, dalam bentuk profil

database industri yang menggambarkan input dan output dari setiap fasilitas

yang dapat dilibatkan dalam AEIP. Berikut diberikan ilustrasi tentang profil

database yang akan dihasilkan (Gambar 3.8.). Profil database industri yang

akan dikaji akan terdiri atas satu profil industri untuk setiap jenis industri yang

terdapat di Kota Bitung.

Situasi aktivitas industri di Kota Bitung meliputi semua data seperti yang

tercantum pada “Kolom Data” dari Tabel 3.2. Faktor-faktor tersebut selanjutnya

dikelompokkan menurut pengelompokan kekuatan (S), kelemahan (W),

kesempatan (O), dan ancaman (T).

Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk mengetahui prinsip-prinsip ekologi

industri dari aktivitas industri agro di Kota Bitung. Salah satu contoh dari prinsip-

prinsip ekologi industri adalah pola keterkaian antara industri dalam

pemanfaatan by-products secara bersama dan dengan terencana. Untuk

mengukur keterkaitan tersebut digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan

Graedel 2002).

Gambar 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan)

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan

informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat

bagan alir pola keterkaitan antar industri agro.

Profil industri: Diagram aliran materi tahunan

Kebutuhan Kebutuhan energi air

Input materi Produk

Output non-produk

Industri X

Page 70: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

49

(B). Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur dan Rencana Pembangunan Kawasan Industri Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas

industri dan rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung, dilakukan

pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006). Pengukuran

dilakukan terhadap beberapa objek persepsi, yaitu manfaat langsung atau

manfaat tidak langsung, pengaruh terhadap kenyamanan hidup; dan tingkat

persetujuan terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung.

Untuk keperluan analisis kuantitatif maka jawaban pemangku kepentingan

terhadap objek persepsi akan diberikan skor. Dengan mengalikan jumlah

responden yang memilih skala tertentu maka akan diketahui posisi persepsi

pemangku kepentingan terhadap objek persepsi yang dipertanyakan.

(C). Analisis Pola Keterkaitan Antar Industri

Analisis pola keterkaitan antar industri dilakukan untuk mengetahui prinsip-

prinsip ekologi industri yang telah berkembang pada aktivitas industri di Kota

Bitung. Salah satu contoh dari prinsip-prinsip ekologi industri adalah pola

keterkaian antara industri dalam pemanfaatan by-products dan limbah industri

secara bersama dan dengan terencana. Untuk mengukur keterkaitan tersebut

digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan Graedel 2002).

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan

informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat

bagan alir pola keterkaitan antar industri yang telah berkembang dan yang

potensial dikembangkan. Identifikasi pola keterkaitan yang potensial

dikembangkan akan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya

wilayah, trend investasi dan permintaan, regulasi, teknologi, dan lainnya.

3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP (A). Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model

Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP dianalisis menggunakan

Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) (Marimin 2004). Jawaban

terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian di dalam kuisioner diberikan dalam

bentuk simbol V, A, O, dan X, sebagai berikut:

• V: Sub-elemen (1) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.

Page 71: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

50

• A: Sub-elemen (2) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya.

• X: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan.

• O: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan.

Jenis-jenis hubungan kontekstual dari elemen-elemen di atas adalah

seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.3.

Pernyataan hubungan kontekstual antar sub-elemen, yang dinyatakan

dengan simbol-simbol V, A, X, dan O diisi ke dalam sel-sel yang terletak di

sebelah atas garis diagonal tabel hubungan kontekstual tersebut.

Sel-sel yang masih kosong (di bawah garis diagonal) diisi dengan simbol-

simbol yang merupakan pencerminan dari simbol-simbol hubungan kontekstual

sebelumnya (contoh: bila eij adalah V maka eji

No

adalah V). Tabel yang semua

selnya telah lengkap terisi disebut Structural Self-Interaction Matrix (SSIM).

Tabel 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Elemen Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen

1 Tujuan dari Program Sub-elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen tujuan lainnya

2 Kendala Utama dari Program

Sub-elemen kendala yang satu menyebabkan sub-elemen kendala lainnya

3 Program Implementasi AEIP

Sub-elemen program pengembangan yang satu mempengaruhi sub-elemen program pengembangan lainnya

Selanjutnya, Reachability Matrix (RM) diperoleh dengan cara

mengkonversi SSIM menggunakan ketentuan-ketentuan, sebagai berikut:

V : eij = 1; eji = 0

A : eij = 0; eji = 1

X : eij = 1; eji = 1

O : eij = 0; eji

(B). Alternatif AEIP

= 0

Kajian terhadap Alternatif AEIP dilakukan dengan menggunakan Teknik

AHP (Marimin 2004). Adapun yang menjadi kriteria penentuan alternatif A-EIP

Page 72: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

51

prioritas adalah Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP yang telah

diperoleh sebelumnya.

(C). Tahapan Implementasi Program Pengembangan AEIP Bitung

Kajian terhadap Tahapan Implementasi program pengembangan AEIP Bitung

dilakukan menggunakan metode ISM, seperti yang telah dijelaskan untuk mengkaji

Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model di atas.

(D). Perancangan Model Dinamik Pengembangan AEIP Bitung

Perancangan model dilakukan dengan cara mensintesis output dari tujuan-

tujuan khusus penelitian menggunakan Program Powersim Studio 2005. Output

dari tujuan umum ini adalah program komputer “Model Pengembangan AEIP

Bitung” (yang disingkat: MP-AEIP Bitung). Rangkuman dari tujuan Penelitian,

Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan

dicantumkan di dalam Tabel 3.4.

1. Pengujian Model

Oleh karena Model AEIP Bitung yang akan dibangun merupakan model

yang belum nyata atau belum ada realitas di lapangan, maka pengujian model

hanya akan dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model,

yaitu: (a) apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar, (b)

apakah prosedur perhitungan sudah sesuai (Hartrisari 2007).

2. Simulasi Model

Berdasarkan struktur model yang dibangun selanjutnya dilakukan simulasi

terhadap beberapa variabel dominan dari model dinamik AEIP Bitung. Simulasi

model dilakukan dalam kurun waktu lima belas tahun (2010-2024).

3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi aktual dan persepsi masyarakat

terhadap aktivitas industri manufaktur serta perancangan Model Dinamik

Pengembangan AEIP maka selanjutnya disusun Implikasi dan Rekomendasi

Kebijakan Penerapan AEIP. Rekomendasi tersebut dapat menjadi bahan untuk

pengembangan kawasan indusri agro berbasis ekologi (AEIP), khususnya di

Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara.

Page 73: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

52

Tabel 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan Tujuan Penelitian Sumber data Jenis Data Metode Analisis Output yang Diharapkan

Tujuan Khusus 1: Mengevaluasi kondisi aktual aktivitas industri agro di Kota Bitung

Data primer dan sekunder

Studi pustaka Responden

pemangku kepentingan

• Akitivitas industri agro/manufaktur di Kota Bitung

• Persepsi aktivitas industri manufaktur/agro

• Persepsi terhadap kebijakan pemerintah tentang kawasan industri.

• FaST (facility synergy tool).

• Pengelompokan SWOT • Connectance value • Bagan alir • Skala Likert

• Kinerja industri agro • Kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan

ancaman aktivitas industri agro di Kota Bitung • Pola keterkaitan dan pertukaran materi antara

industri yang telah ada dan yang potensial dikembangkan

• Persepsi pemangku kepentingan terhadap dampak positif maupun negatif aktivitas industri di Kota Bitung.

• Persepsi pemangku kepentingan terhadap kebijakan kawasan industri (rencana pendirian Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung)

Tujuan khusus 2: Menganalisis program pengembangan AEIP

Survei lapang Responden

pakar Studi pustaka

• Data aktivitas industri manufaktur/agro

• Persepsi pemangku kepentingan • Faktor-faktor penentu

pengembangan AEIP

• Metode ISM / Modul ISM VAXO

• Pairwise comparison Metode AHP/ Criterium Decision Plus Versi 3.0

• Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP • Alternatif AEIP Prioritas • Program Implementasi AEIP

Tujuan Khusus 3: Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan AEIP

• Implementasi Model Dinamik AEIP

• Data hasil simulasi model • Metode deskritif • Rekomendasi kebijakan

Tujuan Umum: Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung

• Sumber data Tujuan Khusus Penelitian No. 1-2

Output Tujuan khusus 1-2 • Sintesis tujuan khusus 1-2 dengan menggunakan Program Powersim Studio Expert 2005

• Program komputer “Model Pengembangan AEIP Bitung” disingkat MP-AEIP Bitung

Page 74: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

53

IV. KONDISI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Bitung

Berikut ini disajikan sejarah singkat Kota Bitung yang diangkat dari Bitung

Dalam Angka 2007 (BPS Bitung 2008).. Sebelum tahun 1964, Bitung hanyalah

merupakan kelompok desa-desa pinggir pantai biasa. Baru pada Tahun 1964

dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara No. 244 Tahun

1964, Bitung ditetapkan menjadi satu Kecamatan dengan jumlah penduduk

32.000 jiwa tersebar pada 28 desa dengan luas wilayah 29,79 km². Selanjutnya,

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1975, maka pada tanggal 10

April 1975 Kecamatan Bitung diresmikan menjadi Kota Administratif pertama di

Indonesia, dengan luas wilayah 304 km² terdiri atas 3 kecamatan dan 35 desa.

Kerena perkembangannya yang pesat maka Bitung kemudian dijuluki sebagai

Kota Serba Dimensi, yaitu Kota Pelabuhan, Kota Industri, Kota Perdagangan,

Kota Pariwisata dan Kota Pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1990 maka pada tanggal 10 Oktober 1990 Kota Administratif Bitung

ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung, dengan

luas wilayah 304 km², 3 kecamatan dan 44 kelurahan. Memasuki era otonomi

daerah, penyebutan kotamadya dirubah menjadi “kota” sehingga menjadi “Kota

Bitung.”

4.1.2. Letak dan Luas Kota Bitung terletak pada posisi geografis diantara 1023’23‘’ – 10 35’ 39” LU

dan 12501‘43‘’ – 125018’13’’

Dari aspek topografis, sebagian besar daratan Kota Bitung berombak

berbukit (45,06%) dan bergunung (32,73%). Hanya 4,18% merupakan daratan

landai serta sisanya 18,03% berombak. Di bagian timur mulai dari pesisir pantai

Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian barat, merupakan daratan

BT. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut

Maluku, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Likupang dan Kecamatan

Dimembe (Kabupaten Minahasa Utara), sebelah Timur berbatasan dengan Laut

Maluku dan Samudera Pasifik, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan

Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa Utara). Wilayah daratan mempunyai

luas 30.400 ha, secara administratif terbagi atas 8 Kecamatan dan 69 Kelurahan.

4.1.3. Topografi

Page 75: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

54

yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0-150

4.1.4. Iklim

, sehingga secara fisik dapat

dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa serta

permukiman.

Di bagian utara keadaan topografi bergelombang dan berbukit-bukit yang

merupakan kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung, taman margasatwa

dan cagar alam. Di bagian selatan terdapat Pulau Lembeh yang keadaan

tanahnya pada umumnya kasar ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan

palawija. Pulau ini memiliki pesisir pantai yang indah sebagai potensi yang dapat

dikembangkan menjadi daerah wisata bahari.

4.1.4.1. Kecepatan Angin

Kota Bitung terletak di pinggir pantai sehingga memiliki ekspos yang besar

terhadap tiupan angin. Di dalam Tabel 4.1. diperlihatkan kecepatan angin

maksimum dan rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006. Data menunjukkan bahwa

kecepatan angin rata-rata sepanjang tahun adalah 19,83 knots (1 knot=1,85

km/jam).

Tabel 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006

Bulan Kecepatan angin maksimum (knot)

Kecepatan angin rata-rata (knot)

Januari 36 25 Pebruari 23 22

Maret 41 28 April 22 18 Mei 24 15 Juni 42 18 Juli 65 38

Agustus 62 19 September 49 14

Oktober 41 16 Nopember 21 15 Desember 16 10

Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung

Rata-rata tahunan kecepatan angin di lokasi penelitian adalah 19,83 knot

atau sekitar 10,19 meter/detik. Berdasarkan data ini maka di lokasi ini dapat

dibangun pembangkit listrik dengan turbin skala kecil (<100 kW) maupun skala

besar (≥100 kW). Turbin skala besar dapat beroperasi pada saat kecepatan

angin minimal 5 meter/detik, sedangkan turbin skala kecil dapat beroperasi pada

kecepatan angin minimal 3 meter/detik. Data di atas juga menunjukkan bahwa

Page 76: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

55

pada bulan Desember dimana kecepatan angin adalah yang terendah, kondisi

kecepatan angin masih dapat menggerakkan turbin skala besar.

Salah satu contoh daerah yang telah membangun pembangkit listrik tenaga

angin di Indonesia adalah Nusa Penida, Bali. Data Bulan April 2007 s/d Maret

2008 menunjukkan bahwa kecepatan angin di wilayah tersebut berkisar antara

4,6-14,4 meter/detik pada pagi hari dan 5,3-14,0 meter/detik pada sore hari.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007, pembangkit listrik tenaga angin di

wilayah tersebut dapat menghasilkan 122.840 kW/tahun atau 10.126 kW per

bulan dengan kontribusi <5% terhadap produksi listrik di wilayah tersebut. Hasil

analisis finansial menunjukkan bahwa dengan tingkat harga Rp 700/kW,

pembangkit listrik tenaga angin tidak menguntungkan (Ardana 2009).

Walaupun secara finansial tidak menguntungkan, namun listrik tenaga

angin merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak mengakibatkan

emisi gas buang atau polusi yang berarti ke lingkungan. Disamping itu, sifatnya

adalah terbarukan sehingga dapat berkontribusi pada ketahanan pasokan

energi. Beberapa dampak lingkungan pembangkitan energi ini adalah dampak

visual, derau suara, ekologi, dan keindahan. Meskipun dampak-dampak

lingkungan ini menjadi ancaman dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga

angin, namun jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil, dampaknya

masih jauh lebih kecil (Breeze 2005).

4.1.4.2. Lama Penyinaran Matahari

Lama penyinaran matahari di Kota Bitung diperlihatkan di dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 Bulan Penyinaran matahari (%) Januari 63 Pebruari 68

Maret 67 April 50 Mei 58 Juni 57 Juli 77

Agustus 61 September 67

Oktober 73 Nopember 68 Desember 65 Rata-rata 64,5

Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung (2007).

Data menunjukkan bahwa rata-rata penyinaran matahari di lokasi penelitian

adalah 64,5%. Dengan merujuk pada data rata-rata penyinaran matahari

Page 77: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

56

sebesar 57,25% di Nusa Penida (dimana pembangkit listrik tenaga surya telah

dibangun), dapat disimpulkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya dapat

dibangun di lokasi penelitian.

Energi matahari merupakan salah satu solusi penyediaan energi di masa

yang akan datang. Salah satu kendalanya adalah investasi awal cukup mahal,

tapi biaya operasionalnya terbilang murah dibandingkan dengan pemanfaatan

energi gas bumi maupun batubara. Energi matahari dapat dimanfaatkan dengan

teknik solar thermal atau photogalvanic. Kendala utama teknik tersebut adalah

kategorinya sebagai high-technology dalam bidang nanoteknologi. Teknologi ini

belum dikuasai di Indonesia dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk

mengembangkannya. Dengan demikian, produksinya secara masal akan sulit

dilakukan. Saat ini, modul surya masih diimport dengan harga yang relatif mahal.

Namun kedepannya, diperkirakan akan semakin kompetitif sejalan dengan

penemuan cara-cara produksi yang lebih efektif dan efisien serta efek dari

semakin langkanya sumberdaya bahan bakar fosil.

Pembangkit listrik tenaga surya di Nusa Penida, Bali memiliki kapasitas

modul surya sebesar 32,4 kWp, trafo 50kVa, dengan output harian 130 kWh, 229

volt arus bolak balik (Ardana 2009). Dibandingkan dengan pembangkit listrik

tenaga surya, pembangkit ini memiliki biaya operasional lebih kecil. Namun,

sama seperti pembangkit listrik tenaga angin, dengan tingkat harga Rp 700/kWh,

pengembangan energi listrik ini tidak layak secara finansial (Ardana 2009).

4.2. Perekonomian Pertumbuhan ekonomi Kota Bitung Tahun 2006, yang ditunjukkan oleh

pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000, mengalami peningkatan

sebesar 2,91 persen. Pertumbuhan ini melambat jika dibanding tahun

sebelumnya sebesar 5,38 persen.

Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2007 (Gambar 4.1.)

menunjukkan bahwa pada tahun 2006 kontribusi Sektor Angkutan dan

Komunikasi berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakni sebesar

24,18 persen, diikuti oleh Sektor Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga

Sektor Pertanian sebesar 21,69 persen. Tingginya kontribusi sektor Angkutan

dan Komunikasi didominasi oleh aktifitas Pelabuhan Samudera Bitung,

sedangkan Sektor Pertanian disumbang oleh Sub-sektor Perikanan dengan

kontribusi sebesar 19,32 persen dari PDRB. Sektor Industri dipengaruhi oleh

Page 78: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

57

keberadaan industri non-migas, yang sebagian besar adalah industri pengolahan

makanan seperti pengolahan ikan, minyak kelapa, dan lain-lain.

Gambar 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006

Sumber : BPS Kota Bitung (2007).

PDRB per kapita Kota Bitung pada tahun 2006 sebesar Rp 15.322.271 dan

pendapatan per kapitanya adalah Rp 13.122.474. Angka ini merupakan angka

atas dasar harga berlaku, artinya mengikuti perubahan harga. Jika berdasarkan

harga pada tahun 2000 sebagai tahun dasar, maka PDRB per kapitanya adalah

Rp 10.251.489 dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp 8.051.692,-

Nilai Location Quotiens (LQ) Tahun 2006 dari tiga sektor unggulan adalah:

Sektor Industri Pengolahan (2,54); Listrik, Gas dan Air Bersih (2,54);

Pengangkutan dan Komunikasi (1,80); dan Pertanian (1,12). Nilai LQ>1

mengindikasikan bahwa Kota Bitung mempunyai kecenderungan spesialisasi

yang lebih besar dari Provinsi Sulawesi Utara, yaitu cenderung untuk

mengekspor (BPS Bitung, 2007).

4.3. Penggunaan Lahan Lahan di Kota Bitung dimanfaatkan sebagai lahan kering (99,25%), lahan

sawah (0,25%), dan lainnya (0,50%). Perkembangan penggunaan lahan Kota

Bitung Tahun 2004-2006 dicantumkan pada Tabel 4.3. Data menunjukkan

bahwa ketersediaan lahan untuk pengembangan industri di Kota Bitung relatif

terbatas, karena peluang pengembangan hanya pada lahan tegalan dan

perkebunan. Oleh karena itu maka peluang pengembangan industri dapat

dilakukan ke wilayah otonom tetangga, yaitu Kabupaten Minahasa Utara.

Angkutan/ Komunikasi

24.18%Lainnya19.35%

Konstruksi12.30%

Pertanian

Industri22.48%

Page 79: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

58

Tabel 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan

Tahun 2004-2006 No Penggunaan

Lahan 2004 2005 2006

Ha % Ha % Ha % 1 Lahan Kering :

Permukiman Tegalan Hutan Perkebunan Fasilitas Umum

4376 1899 9651

12972 800

14,39 6,25

31,75 42,67 2,63

5286 1852 9651

12062 847

17,39 6,09

31,75 39,68 2,79

5.286 1.852 9.651

12.062 847

17,39 6,09

31,75 39,68 2,79

2 Tanah Sawah : Sawah Tanah Basah/Rawa/Tambak

76 75

0,25 0,25

76 75

0,25 0,25

76 75

0,25 0,25

3 Lainnya 551 1,81 551 1,81 551 1,81 J u m l a h 30.400 100,00 30.400 100,00 30.400 100

Sumber : BPS Bitung (2007)

4.4. Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Kota Bitung pada Tahun 2008 adalah 176.161 jiwa

(Anonim 2008). Transformasi struktur ekonomi perkotaan yang dicirikan oleh

pergeseran peranan sektor primer ke sektor tersier, juga dapat dicirikan oleh

pergeseran penyerapan tenaga kerja sektor primer ke sektor tersier.

Tahun 2006 sektor pertanian menyerap sebagaian besar dari jumlah

tenaga kerja yaitu sebanyak 24,60%, kemudian sektor transportasi dan

komunikasi 18,92%, sektor industri sebesar 15%, dan sektor perdagangan

14,86% sama dengan penyerapan di sektor jasa. Seiring dengan pesatnya

perkembangan akivitas industri dan arus bongkar muat di Pelabuhan Bitung

maka sektor konstruksi juga menyerap cukup banyak tenaga kerja yakni

mencapai 8,51%, dan sektor lainnya menyerap kurang dari 2%.

4.5. Prasarana 4.5.1. Listrik

Kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk tenaga penerangan maupun

usaha di Kota Bitung dipenuhi oleh PT. PLN (PLTA Tanggari 1 dan 2 dan PLTA

Tonsea Lama yang secara geogafis terletak di wilayah otonom lain), dan PLTD

Kota Bitung. Perkembangan daya terpasang PLN dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Sampai dengan tahun 2005, daya terpasang di Kota Bitung telah

mencapai 45.221 KVA dengan daya tersalur sebesar 46.453 KVA. Penggunaan

daya terbesar adalah oleh sektor industri mencapai 44,07%, diikuti

pelanggan rumah tangga sebesar 34,89%, usaha 15,09%, kantor 3,95% dan

Page 80: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

59

sosial 2%. Produksi dan distribusi listrik selengkapnya di sajikan pada Gambar

4.2.

Gambar 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 Sumber : BPS Bitung (2007).

Penurunan debit air dari Danau Tondano akibat musim kemarau

mengganggu kinerja PLTA sehingga menyebabkan pasokan listrik ke kota ini

berkurang. Diakhir Bulan Agustus 2009 pasokan listrik turun menjadi 26 MW

sehingga menyebabkan pemadaman listrik 3-5 kali sehari bagi semua

pengguna, termasuk bagi industri manufaktur. Salah satu jalan keluarnya adalah

himbauan kepada pihak industri sebagai pengguna terbesar untuk tidak

menggunakan listrik PLN pada beban puncak jam 17.30-20.00 Wita (Manado

Post, 2 September 2009). Suatu himbauan yang kontraproduktif terhadap upaya

untuk merangsang investasi dan mengembangkan kapasitas produksi industri.

4.5.2. Perikanan Laut Perekonomian Kota Bitung seperti diuraikan sebelumnya didominasi oleh

sektor pertanian terutama sub-sektor perikanan. Namun demikian dalam

perkembangannya, sektor industri ternyata berkembang cukup pesat. Industri di

Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan, diikuti industri galangan kapal,

dan industri minyak kelapa. Di samping itu ada juga industri transportasi laut,

makanan, baja, industri menengah dan kecil.

Sub-sektor perikanan, terutama perikanan laut, menghasilkan output yang

fluktuatif. Pada tahun 2005 produksinya meningkat 0,66%, yakni dari 133.043,6

ton menjadi 133.924,8 ton pada tahun 2006, seperti terlihat pada Tabel 4.4.

Page 81: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

60

Tabel 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001 - 2006 (ton)

Tahun Ikan

Binatang

berkulit keras Binatang berkulit lunak

Binatang air

lainnya

Jumlah

2001 125 178,9 354,7 281,6 - 125.815,2

2002 125 691,9 662,0 176,8 - 126.530,7

2003 114 815,7 405,3 268,5 - 115.489,5

2004 116 652,7 4,2 411,1 366,0 117.434,0

2005 132 198,1 3,8 501,2 340,5 133.043,6 2006 133.042,4 5,4 520,5 356,5 133.924,0

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung (2007).

4.6. Status Lingkungan Hidup Kota Hasil survei menunjukkan bahwa belum ada industri agro di Kota Bitung

yang pernah menerima penghargaan lingkungan yang diberikan oleh pihak

pemerintah maupun organisasi tertentu sehubungan dengan prestasi lingkungan

yang dilakukan oleh perusahan.

Kesadaran lingkungan dari pekerja pabrik dinilai cukup baik oleh

manajemen pabrik. Kesadaran itu melekat pada Standar Operasional Prosedur

(SOP) dari perusahan, yaitu membersihkan lantai processing, membersihkan

saluran air, alat-alat bongkar kapal, dan membuang sampah pada tempatnya.

Untuk menjaga agar kesadaran lingkungan tersebut terjaga, pihak manajemen

melakukan upaya pemahaman serta pengawasan. Namun, karena keterbatasan

dana sehingga program pelatihan formal yang dianggap penting di dalam

meningkatkan kesadaran lingkungan para pekerja belum pernah diadakan.

Mengacu pada standar penulisan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)

dari Kementerian Lingkungan Hidup RI, Isu Pokok Lingkungan Hidup di Kota

Bitung adalah sampah kota, pencemaran air permukaan, pencemaran tanah,

konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, dan erosi tanah dan degradasi

lahan.

(A). Sampah Kota

Penanganan sampah padat di Kota Bitung terkendala oleh bermasalahnya

lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tewaan dan minimnya jumlah

armada angkutan sampah yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota.

Permasalahan TPA Tewaan terdiri atas status legalitas kepemilikan lahan dan

Page 82: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

61

letak TPA di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi. Status legalitas

kepemilikan lahan TPA terjadi karena sistem administrasi aset Kota yang tidak

dilakukan dengan baik sehingga keberadaan dokumen kepemilikan lahan tidak

bisa dilacak. Akibatnya, lahan tersebut dikuasai kembali oleh ex-pemilik dan

selanjutnya mengenakan beban sewa kepada Dinas Kebersihan bilamana akan

menggunakan TPA tersebut.

Letak TPA Tewaan di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi

menyebabkan beberapa permasalahan. Pertama, karena TPA dirancang

sebagai open dumping landfill maka sampah yang dibuang serta air lindi dari

sampah tersebut sangat berpotensi untuk merusak sistem aliran air tanah di

wilayah di bawahnya. Kedua, material sampah sangat potensial terbawa ke

wilayah di bawahnya oleh aliran air permukaan seperti air hujan. Ini sudah

terbukti terjadi di awal Juni 2009 dimana akibat hujan lebat menyebabkan

material sampah terbawa aliran air hujan dan mencemari kolam-kolam ikan di

wilayah di bawahnya. Akibatnya adalah kematian puluhan ribu ekor ikan air

tawar yang dibudidaya oleh masyarakat (Harian Komentar, 3 Juni 2009).

Jumlah armada angkutan truk yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota

Bitung sangat terbatas, yakni sebanyak delapan buah. Keterbatasan armada

angkutan ini mengakibatkan dari produksi sampah yang berjumlah 1.395.708

m3/tahun, hanya sebanyak 47.450 m3/tahun yang dapat terangkut ke TPA.

Dengan demikian ada sejumlah besar volume sampah kota yang tidak terangkut

ke TPA sehingga terbiar menumpuk di tempat umum, atau di permukiman

warga, dan atau dibuang ke badan air.

(B). Pencemaran Air Permukaan

Air permukaan adalah badan air yang terbuka yang dapat berupa sumur,

sungai atau laut. Sumber pencemaran terhadap air permukaan di Kota Bitung

yang utama adalah industri, rumah tangga, dan restoran yang membuang

limbahnya langsung ke badan air.

Air permukaan pada titik-titik tertentu, seperti pada areal pemukiman padat,

lokasi perbengkelan, dan industri rawan terhadap pencemaran. Di lokasi

pemukiman padat, air permukaan kemungkinan tercemar oleh bakteri yang

berasal dari septic tank. Air permukaan di sekitar aktivitas perbengkelan juga

berpeluang tercemar oleh ceceran oli bekas yang merembes ke dalam tanah.

Sedangkan pada areal sekitar industri berpotensi tercemar oleh limbah industri.

Page 83: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

62

Hal yang kontradiktif masih terjadi dimana ada pabrikan yang beranggapan

bahwa membuang limbah industri yang mengandung bahan organik seperti

minyak kelapa dan darah ikan dengan kadar yang rendah akan membantu

meningkatkan populasi plankton sehingga dapat meningkatkan kehidupan biota

laut.

(C). Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah terjadi di titik-titik tertentu seperti di perbengkelan, lokasi

permukiman, bisnis, dan industri. Penanganan oli bekas di lokasi perbengkelan

umumnya belum maksimal, karena masih terjadi ceceran-ceceran oli bekas di

permukaan tanah. Sumber pencemaran tanah lainnya adalah tempat-tempat

penimbunan besi tua yang banyak terdapat di Kota Bitung. Di tempat-tempat

tersebut, besi tua hanya ditumpuk di tempat terbuka. Paparan besi tua terhadap

sinar matahari dan air hujan menyebabkan unsur-unsur dari bahan logam dapat

tercuci ke permukaan tanah. Unsur-unsur logam tersebut dengan mudah dapat

mencapai sumber-sumber air seperti sumur, sungai, atau laut.

(D). Konversi Lahan

Penelitian menyangkut konversi lahan pertanian/alih fungsi lahan di Kota

Bitung pada akhir 1990an dilaporkan oleh Turangan (1999). Hasil penelitian

tersebut menyatakan bahwa sampai dengan Tahun 1996, konversi lahan

pertanian mencapai 279,29 ha, namun data tidak dirinci per satuan waktu

tahunan sehingga kecenderungannya tidak kelihatan. Data di dalam Bitung

Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Bitung 2007) memberikan informasi bahwa

hanya dalam selang waktu dua tahun, yaitu tahun 2004 s/d 2006 terjadi konversi

lahan pertanian seluas 957 ha, atau rata-rata 2,56%/tahun dari total lahan

pertanian secara keseluruhan di Kota Bitung. Konversi lahan pertanian terjadi

untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan fasilitas umum serta ekonomi.

(E). Erosi Tanah dan Degradasi Lahan

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, daratan Kota Bitung dibagi

menjadi beberapa kategori, yaitu berombak berbukit (45,06%), bergunung

(32,73%), berombak (18,03%), dan daratan landai (4,18%). Disisi lain, tekstur

tanah umumnya adalah berpasir dan liat berpasir. Kondisi permukaan tanah dan

tekstur tanah tersebut menyebabkan mudah terjadinya erosi tanah pada saat

musim penghujan. Erosi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan

terjadinya degradasi lahan perkebunan dan hutan.

Page 84: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

63

V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO

Pada bab ini akan dibahas mengenai status industri manufaktur/agro di

Kota Bitung. Status industri yang dibahas meliputi kinerja industri, jenis-jenis

industri dan produk yang dihasilkan, limbah industri, bahan ikutan industri,

persepsi pemangku kepentingan, evaluasi terhadap rencana pembangunan

Kawasan Industri, dan pola keterkaitan antar industri.

5.1. Industri Manufaktur Sektor industri manufaktur merupakan sektor andalan Kota Bitung. Pada

tahun 2006 terdapat 2.515 unit usaha, meningkat secara siknifikan dibanding

tahun 2002 yaitu 2.375 unit usaha (Tabel 5.1.). Bertumbuhnya sektor ini sangat

membantu perekonomian kota, terutama dengan meluasnya kesempatan kerja,

dimana pada tahun 2006 terserap tenaga kerja sebanyak 22.545 orang (Tabel

5.2.) (Dinas Perindag Kota Bitung, 2007). Jumlah Industri Kecil dan Menengah

(IKM) pada tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit.

Tabel 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002 – 2006

No Jenis Usaha Tahun 2002 2003 2004 2005 2006

1 Industri Kecil & Menengah 2.330 2.360 2.381 2.424 2.462 2 Industri Agro, Logam &

Kimia 45 47 51 51 53

Jumlah 2.375 2.407 2.432 2.475 2.515 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)

Dari 53 unit usaha industri besar (industri agro, logam, dan kimia), jumlah

industri agro adalah 35 unit usaha atau sekitar 67 persen atau merupakan

mayoritas dari keseluruhan industri besar yang ada di Kota Bitung.

Tabel 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006

No Tenaga Kerja Tahun 2002 2003 2004 2005 2006

1 Industri Kecil & Menengah 11.092 11.174 11.245 11.380 11.479

2 Industri Agro Logam & Kimia 7.647 10.116 10.510 10.510 11.066

Jumlah 18.739 21.290 21.755 21.890 22.545 Sumber : Dinas Perindag Kota Bitung (2007)

Kinerja investasi industri manufaktur di Kota Bitung dapat dinilai baik.

Penilaian ini didasarkan pada adanya penambahan sebanyak 140 unit usaha

antara tahun 2002 dengan 2006 atau dengan rata-rata 23 unit usaha/tahun

(Dinas Perindag Kota Bitung 2007). Mengacu pada Sagala (2004), peluang

Page 85: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

64 pengembangan kawasan industri di Kota Bitung cukup besar karena tingkat

realisasi investasinya lebih besar dari 10 buah per tahun. Untuk industri kecil

dan menengah di tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51

unit usaha. Rata-rata perkembangan Industri Kecil dan Menengah serta Industri

Agro, Logam dan Kimia yaitu sebesar 21%. Bila semua jenis industri digabung

maka dengan nilai investasi sebesar Rp 572,203 milyar mampu menghasilkan

produksi sebesar Rp 1.232,411 milyar.

Tabel 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006

No Nilai Produksi Tahun

2002 2003 2004 2005 2006 1 Industri Kecil &

Menengah 118.097 119.525 121.57 124.780 132.891

2 Industri Agro Logam kimia 851.095 897.905 976.462 976.462 1.098.520

Jumlah 969.192 1.017.43 1.098.032 1.101.242 1.232.411 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)

5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk-produk yang Dihasilkan

Jenis-jenis industri agro di Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan

laut dan industri kelapa. Berdasarkan survei yang dilakukan diketahui bahwa

penamaan produk-produk utama dari industri perikanan laut oleh pabrikan

berbeda antara satu pabrik dengan lainnya, demikian juga dengan penamaan di

dalam Informasi Industri Formal yang dikeluarkan oleh Dinas Perindag Kota

Tabel 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk-produk yang Dihasilkan No Jenis industri Jenis produk yang dihasilkan Jumlah

unit usaha

Produksi/tahun (ton)

1 Tepung kelapa Tepung kelapa 1 6.400 2 Minyak kelapa Minyak kelapa 2 239.075 3 Minyak kelapa

sawit Minyak sawit 2 305.805

4 Perikanan laut Fresh tuna, fresh loin tuna, frozen loin tuna, frozen tuna, frozen cooked loin tuna, smoked fish, dried fish, canned tuna

30 94.960

5 Tepung ikan Tepung ikan 1 175 6 Pakan ternak Pakan ternak 6 7.785,2 7 Minyak murni VCO 1 1 8 Karbon aktif Karbon aktif 1 7.200 9 Nata de Coco Nata de Coco

Sumber: Data diolah dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008).

Page 86: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

65 Bitung Tahun 2008. Untuk keperluan analisis maka jumlah unit usaha maupun

produksi dari semua jenis industri perikanan laut tersebut disatukan, seperti yang

diperlihatkan di dalam Tabel 5.4.

Produk-produk utama yang dihasilkan oleh industri kelapa adalah tepung

kelapa, minyak kelapa, dan minyak goreng.

5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan Diagram aliran materi tahunan dari industri perikanan laut di Kota Bitung

diperlihatkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007,

Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi. Ket: *) Bahan mentah

Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Perikanan Laut di Kota

Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut:

1. Produksi sebanyak 94.960 ton adalah data faktual yang diperoleh dari

Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag

Kota Bitung 2008).

2. Input materi (bahan baku) sebanyak 158.260 ton merupakan data prediksi

dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk

perikanan laut sebesar 60% (94.960x(1/0,6)).

3. By-products sebanyak 13.266 ton merupakan perkalian antara produk yang

dihasilkan dari by-product pada Tabel Jenis-jenis industri dan produk yang

dihasilkan di atas (7.960,2 ton) dengan rendemen rata-rata tepung ikan dan

pakan ternak sebesar 60% (7.960,2x(1/0,6)).

Kebutuhan Kebutuhan Energi 3.736 MW air: 3,17 juta m3 Input materi: Produk: 158.260 ton*) 94.960 ton

Output non-produk By-products: 13.266 ton*) Limbah cair: 3,17 juta m3.

Industri Perikanan Laut

Page 87: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

66 4. Kebutuhan air sebesar 3,17 juta m3

5. Kebutuhan energi listrik sebanyak 3.736 MW merupakan penggunaan listrik

oleh sektor industri (44,07%) terhadap daya tersalur sebesar 46.453 KVA

dibagi dua (setengah bagian digunakan oleh industri kelapa).

merupakan perkalian antara input materi

(158.260.000 kg) dengan pemakaian air sebesar 20 lt/kg bahan baku.

Data input materi bahan baku perikanan laut melebihi potensi produksi

perikanan laut Kota Bitung Tahun 2006 sebesar 133.042,4 ton. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak

25.217,6 ton per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku

Utara dan Gorontalo.

Data yang sangat menonjol besarnya adalah penggunaan air sebanyak

3,17 juta m3 per tahun. Bila dibagi dengan jumlah industri perikanan laut yang

beroperasi sebanyak 30 unit maka penggunaan air bersih adalah sebanyak 294

m3

1. Kebutuhan energi listrik: sama dengan penjelasan pada diagram aliran

materi tahunan industri perikanan laut.

/perusahan/hari, suatu jumlah yang sangat besar.

Diagram aliran materi tahunan dari industri kelapa di Kota Bitung

diperlihatkan pada Gambar 5.2.

Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Kelapa di Kota Bitung

diperoleh dengan cara sebagai berikut:

2. Kebutuhan air adalah terutama digunakan oleh industri kelapa parut kering

(KPK) yang menghasilkan produk sebanyak 6.400 ton. Penggunaan air untuk

industri KPK adalah 20 liter air bersih/kg KPK yang dihasilkan atau sebanyak

128 ribu m3 per tahun. Sedangkan air cucian untuk industri kelapa lainnya

diprediksi sebanyak 10% dari kebutuhan industri KPK, sehingga total

kebutuhan air industri kelapa adalah 140,8 ribu m3

3. Input materi kelapa setara kopra adalah 409.109 ton merupakan data

prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata

produk kelapa sebesar 60% (245.475x(1/0,6)).

per tahun.

4. Jumlah air kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 m3

diperoleh dengan

mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 ml). Angka lima

menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram

KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya air kelapa (ml) per butir

kelapa.

Page 88: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

67

Gambar 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan)

Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007,

Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi.

5. Jumlah tempurung kelapa yang dihasilkan sebanyak 12.800 ton diperoleh

dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(400 gr).

Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu

kilogram KPK, sedangkan 400 menunjukkan beratnya tempurung kelapa (gr)

per butir kelapa.

6. Jumlah paring kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 ton diperoleh dengan

mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 gr). Angka lima

menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram

KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya paring kelapa (gr) per butir

kelapa.

Data input materi bahan baku kelapa melebihi potensi produksi kelapa

Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007 sebesar 229.613 ton setara kopra (Sulut

Dalam Angka 2008). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan

bahan baku sebanyak 179.496 ton setara kopra per tahun yang diimpor dari luar

daerah, seperti Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.

Kebutuhan Kebutuhan

energi: 3.736 MW air: 140,8 ribu m3 Input materi: Produk: Kelapa setara 245.475 ton Kopra:409.109 ton tepung kelapa dan minyak kelapa

Output non-produk Limbah cair: 140,8 ribu m3

Bahan ikutan: Air kelapa: 6.400 m3

Tempurung kelapa: 12.800 ton Paring daging kelapa: 6.400 ton.

Industri Kelapa

Page 89: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

68 5.2.2. Pengelompokan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan

Ancaman 5.2.2.1. Kekuatan (A). Industri Perikanan Laut

- Posisi geografis di alur pelayaran laut internasional (APLI) yang memberi

keuntungan untuk pemasaran produk ke negara-negara Asia Pasifik, seperti

Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat.

- Posisi sebagai sentra produksi industri perikanan laut ditunjukkan oleh jumlah

unit usaha pengolahan produk perikanan laut dan armada penangkap ikan di

kota ini yang relatif besar.

- Tersedianya fasilitas pelabuhan perikanan, laboratorium pengujian perikanan,

sekolah perikanan, akademi perikanan, pelabuhan samudera laut, kedekatan

dengan bandar udara, pembuatan dan perbaikan kapal, dan lain-lain.

- Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bidang produksi, pengujian,

pendidikan dan pelatihan, pembuatan kapal penangkapan ikan, perbaikan

kapal dan penangkapan ikan.

- Kualitas sumberdaya perikanan laut (golden fish ground) yang tinggi/relatif

belum tercemar sehingga menghasilkan produk tangkapan yang berkualitas

tinggi.

(B). Industri Kelapa

- Tersedianya plasma nuftah Kelapa Dalam (KD). - Kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertanaman KD dan kelapa hibrida

(KH).

5.2.2.2. Kelemahan (A). Industri Perikanan Laut

- Kemampuan teknologi armada tangkap yang relatif ketinggalan dibandingkan

dengan kemampuan negara tetangga, seperti Philipina, Thailand, dan

Taiwan.

- Kapasitas tampung produk perikanan yang terbatas, khususnya pada musim-

musim tangkap puncak.

- Kendala birokrasi yang rumit dan pungutan liar.

- Kemampuan SDM yang terbatas.

- Sistem monitoring dan pengawasan terhadap illegal fishing yang masih

lemah.

Page 90: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

69 (B). Industri Kelapa - Status industri perkelapaan yang dikategorikan sebagai sunset industry.

- Rata-rata umur tanaman kelapa relatif tua.

- Tingkat aktivitas peremajaan kelapa relatif rendah.

- Luasan lahan untuk ekstensifikasi usaha sangat terbatas.

- Nilai usaha yang rendah antara lain karena mayoritas petani menerapkan

sistem monokultur.

- Masih kurangnya diversifikasi produk industri kelapa.

- Kemampuan SDM dalam bidang teknologi yang masih terbatas.

- Air kelapa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan nilai

tambah produk.

5.2.2.3. Peluang (A). Industri Perikanan Laut

- Kebijakan nasional yang mendorong investasi.

- Kebijakan nasional pengelolaan wilayah/daerah masing-masing untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

- Permintaan ekspor produk perikanan laut yang relatif tinggi. - Menjadi alur migrasi lintas internasional dari jenis-jenis ikan yang bernilai

ekonomi tinggi, seperti tuna dan cakalang.

(B). Industri Kelapa

- Kebijakan nasional yang mendorong investasi.

- Kebijakan nasional pengelolaan wilayah/daerah masing-masing untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

- Posisi kelapa sebagai komoditas sosial masyarakat (tree of life).

- Permintaan atas Crude Coconut Oil (CCO) sebagai bahan baku pembuatan

margarine yang tak tergantikan oleh sumber minyak nabati lainnya.

5.2.2.4. Ancaman (A). Industri Perikanan Laut

- Penjualan hasil tangkapan di laut kepada nelayan asing. - Persaingan usaha yang semakin ketat dengan provinsi-provinsi lain di

Kawasan Timur Indonesia yang juga memiliki potensi perikanan laut yang

besar.

- Semakin ketatnya ketentuan-ketentuan standar produk perikanan laut di

negara-negara importir.

Page 91: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

70 - Sertifikasi produk perikanan.

- Pembuangan limbah domestik, industri manufaktur, dan pertambangan yang

bermuara di laut.

- Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan

meningkatkan biaya operasional usaha.

(B). Industri Kelapa

- Penebangan pohon kelapa dengan laju yang cukup tinggi untuk digunakan

sebagai bahan bangunan dan bahan bakar pembuatan batu bata.

- Konversi lahan perkebunan kelapa untuk penggunaan bukan pertanian yang

cukup tinggi.

- Permintaan produk dari importir yang dikaitkan dengan praktek lingkungan

pabrik pengolahan kelapa.

- Persaingan penggunaan bahan baku dengan penggunaan domestik.

- Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru

dan meningkatkan biaya operasional usaha.

5.3. Limbah Industri Limbah industri agro yang dominan dihasilkan oleh industri perikanan dan

kelapa adalah limbah cair karena kedua jenis industri tersebut menggunakan air

dalam jumlah besar di dalam proses produksi. Limbah cair umumnya diolah

secara konvensional dengan sistem septic tank atau dengan pengolahan secara

fisika, seperti penyaringan, untuk selanjutnya dialirkan ke badan air.

Di dalam Tabel 5.5. maupun Tabel 5.6. dicantumkan data tentang limbah

cair dan padat yang dihasilkan oleh industri agro. Kecuali untuk data dari

industri karbon aktif, data limbah cair dan padat di dalam tabel tersebut

merupakan hasil prediksi yang dilakukan oleh peneliti dengan merujuk pada

sumber pustaka dan atau informasi dari sumber yang relevan, seperti manajer

produksi dari beberapa pabrik.

Data untuk industri tepung kelapa diperoleh dengan merujuk pada laporan

dari Pojoh dkk. (2000). Dalam laporan itu disebutkan bahwa satu kilogram

tepung kelapa dihasilkan dari rata-rata lima butir kelapa tua segar (umur 10-12

bulan). Satu butir kelapa tua segar mengandung air kelapa sebanyak rata-rata

200 ml, tempurung kelapa sebanyak rata-rata 400 gram, dan paring kelapa

sebanyak rata-rata 200 gram. Air pencuci untuk lima butir daging kelapa

diperkirakan sebanyak 20 liter/kg KPK. Air kelapa yang menyatu dengan air

Page 92: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

71 cucian daging kelapa itulah yang merupakan limbah cair industri kelapa. Industri

tepung ikan, pakan ternak, dan minyak murni menghasilkan limbah cair dan

limbah padat dalam jumlah yang tidak siknifikan.

Tabel 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro

No Jenis industri Limbah cair*) (m3

Limbah padat*) (ton/tahun) /tahun)

1 Tepung kelapa 147.200 - 2 Minyak kelapa Tidak signifikan -

3 Minyak kelapa sawit Tidak signifikan -

4 Perikanan laut 3,17 juta Plastik, spons, karton

5 Tepung ikan Tidak signifikan Tidak signifikan 6 Pakan ternak Tidak signifikan Tidak signifikan 7 Minyak murni Tidak signifikan Tidak signifikan 8 Karbon aktif - 288

Keterangan :*) Data hasil prediksi (kecuali untuk data industri karbon aktif yang merupakan data faktual)

5.4. Bahan Ikutan Industri Bahan ikutan dari industri perikanan laut meliputi: kepala, daging hitam,

sirip, ekor, tulang, dan isi perut ikan laut, sedangkan dari industri kelapa adalah

air kelapa, tempurung kelapa, dan paring kelapa. Data kuantitas tempurung

kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam

satuan kilogram dengan berat tempurung per butir kelapa (400 gram). Data

kuantitas paring kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung

kelapa dalam satuan kilogram dengan berat paring kelapa per butir (200 gram).

Industri tepung ikan, pakan ternak, maupun karbon aktif tidak menghasilkan

bahan ikutan yang siknifikan jumlahnya.

Tabel 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Hasil Ikutan

No Jenis industri Hasil Ikutan*) (per Tahun)

1 Tepung kelapa • Tempurung kelapa: 12.800 ton • Paring daging kelapa: 6.400 ton • Air kelapa: 6.400 m3

2 Minyak kelapa Bungkil kopra: 34.650 ton 3 Perikanan laut 13.266 ton 4 Tepung ikan Tidak signifikan 5 Pakan ternak Tidak signifikan 6 Minyak murni Tidak signifikan 7 Karbon aktif Tidak signifikan

Keterangan: *) data hasil prediksi

Page 93: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

72 5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri

Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 69,74% atau mayoritas

warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur

menyatakan setuju bahwa industri manufaktur/agro memberi banyak manfaat

bagi mereka; dan tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman (Tabel 5.7.

dan Gambar 5.3.).

Tabel 5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur

Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009). Ket: Pertanyaan (1) terdiri atas 5 sub-pertanyaan; pertanyaan (2) terdiri atas 4 sub-pertanyaan; dan pertanyaan (3) terdiri atas 2 sub-pertanyaan

Warga masyarakat berpendapat bahwa aktivitas industri agro yang

terdapat di desa/kelurahan mereka merupakan:

1. Penyedia lapangan pekerjaan;

2. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini meningkatkan nilai jual lahan;

3. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini memberi kesempatan

kepada masyarakat untuk menjadi pemasok bahan baku/bahan penolong;

4. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini membuat bisnis ojek, kos,

warung makan dan bisnis lainnya berkembang dengan baik; dan

5. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini menerapkan program

tanggung jawab sosial (CSR) dengan cukup baik.

Selanjutnya, tehadap keberadaan dan operasional harian dari industri

manufaktur/agro yang terdapat di sekitar permukiman warga masyarakat,

masyarakat memiliki persepsi bahwa (Gambar 5.4).

1. Walaupun tinggal menetap di sekitar pabrik/industri agro namun tetap

merasa nyaman tinggal di disini.

No Pertanyaan N Kategori jawaban (Responden) Sangat setuju

Setuju Ragu-ragu

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

1 Industri manufaktur bermanfaat bagi warga masyarakat

157 39 81 29 7 1

2. Tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman

157 16 83 34 18 6

Jumlah 55 164 63 25 7 Persentasi 17,52 52,22 20,06 7,96 2,24 Persentasi Kumulatif 17,52 69,74 89,80 97,76 100

Page 94: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

73

Gambar 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro

2. Belum pernah terjadi gangguan kesehatan yang fatal di daerah ini karena

pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro, dan

3. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro dapat

diatasi dengan baik oleh Perusahan.

Hal-hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan fakta yang berkembang

bahwa sampai saat survei dilakukan, tidak ada komplain atau keberatan yang

berarti yang disampaikan oleh masyarakat terhadap eksistensi industri

manufaktur/agro, khususnya dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa.

Kalaupun ada keluhan warga masyarakat maka dengan itikad baik dari pihak-

pihak terkait dan dengan mediasi pihak Pemerintah Kota, dapat dicarikan solusi

Gambar 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro

yang dapat diterima semua pihak. Contohnya ditunjukkan oleh kesediaan

masyarakat untuk bernegosiasi secara damai dengan pihak perusahan tertentu

yang diduga telah menyebabkan pencemaran industri sehingga menyebabkan

kematian puluhan ribu ekor ikan air tawar yang dibudidaya (Harian Komentar, 4

Persepsi warga masyarakat bahwa tinggal dan menetap di sekitar industri agro relatif nyaman

Sangat setuju

Setuju

Ragu-raguTidak setuju

Sangat tidak setuju

Persepsi warga masyarakat bahwa industri agro di Kota Bitung memberi banyak manfaat

Sangat setuju

Setuju

Ragu-ragu Tidak setuju

Sangat tidak setuju

Page 95: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

74 Juni 2009). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial antara

industri dan masyarakat di sekitarnya relatif baik.

5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 68,15% atau mayoritas

warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur setuju

dengan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah

(Tabel 5.8. dan Gambar 5.5). Bagi masyarakat, pembangunan kawasan industri

tidak akan mempengaruhi kesempatan kerja dan peluang usaha bagi mereka

karena rencana lokasi berada sangat dekat dengan permukiman mereka.

Tabel 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

No Pertanyaan N

Kategori jawaban (Responden)

Sangat setuju Setuju Ragu-

ragu Tidak setuju

Sangat tidak setuju

1 Tanggapan terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung

157 44 63 34 14 2

Persentasi 28,03 40,12 21,66 8,92 1,27 Persentasi Kumulatif 28,03 68.15 89,81 98,73 100

Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009).

Justru, rencana pembangunan tersebut diduga akan meningkatkan

kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga masyarakat. Masyarakat juga

menyatakan bersedia menjual lahan hak milik sesuai harga pasar atau menjadi

pemegang saham apabila lahan diperlukan untuk membangun suatu Kawasan

Industri.

Gambar 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

Persetujuan warga masyarakat atas rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung

sangat setuju

setuju

ragu-ragu

tidak setujusangat tidak

setuju

Page 96: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

75

5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri Data persepsi aparat pemerintah terhadap aktivitas industri

agro/manufaktur diberikan pada Tabel 5.9. Data menunjukkan bahwa mayoritas

aparat pemerintah setuju bahwa industri manufaktur bermanfaat dan aktivitasnya

memiliki prospek yang cerah. Manfaat industri adalah sebagai penyedia

lapangan kerja yang utama bagi masyarakat dan merupakan penggerak utama

perekonomian Kota.

Namun bertentangan dengan pendapat warga masyarakat, aparat

pemerintah memiliki persepsi bahwa kinerja lingkungan industri manufaktur di

kota ini masih cukup rendah dengan alasan-alasan bahwa:

1. Biaya penanganan limbah industri merupakan beban besar bagi pihak

industri.

2. Pihak pabrikan kurang memiliki kesadaran yang baik untuk menjaga

lingkungan yang baik.

3. Teknologi penanggulangan pencemaran industri sangat mahal dan kurang

tersedia

4. Tekanan dari masyarakat dan NGO belum dilakukan secara optimal.

5. Lokasi pabrik relatif terpencar sehingga sulit di monitor

6. Posisi masyarakat lemah dibandingkan industriawan

7. Pemberhentian aktivitas suatu industri penyebab pencemaran lingkungan

akan berdampak besar bagi perekonomian Kota.

Tabel 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur

No Pertanyaan N

Jawaban

Sangat setuju Setuju Ragu-

ragu Tidak setuju

Sangat tidak setuju

1 Manfaat industri manufaktur 31 9 16 1 5 0 2. Kinerja lingkungan industri

manufaktur di Bitung masih rendah

31 7 13 7 3 1

3 Aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah 31 7 15 8 1 0

Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud

untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 2 sub-pertanyaan; Pertanyaan (2): 7 sub-pertanyaan; Pertanyaan (3): 12 sub-pertanyaan.

Aparat pemerintah berpendapat bahwa aktivitas industri agro memiliki

prospek yang cerah karena:

Page 97: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

76 1. Aktivitas industri agro di Kota ini akan semakin berkembang di masa yang

akan datang.

2. Industri agro akan semakin menjadi tumpuan bagi penyediaan lapangan

kerja.

3. Pasokan bahan baku bagi industri agro di Kota ini akan terus ada secara

berkelanjutan.

4. Pasokan air dan energi bagi industri agro akan terus berkelanjutan.

5. Dampak lingkungan aktivitas industri dapat dikendalikan dengan baik.

6. Teknologi penanggulangan pencemaran industri agro yang baru dan

terjangkau harga dan operasionalnya akan semakin tersedia di masa yang

akan datang.

7. Akan semakin berkembang sistem manajemen dan monitoring dan evaluasi

lingkungan yang semakin baik dalam mengantisipasi dihasilkannya by

products dan limbah industri.

8. Ketersediaan lahan di Kota ini akan dapat mendukung pertambahan jumlah

industri agro

9. Infrastruktur pendukung industri agro akan terus berkembang.

10. Tenaga kerja profesional akan terus bertambah dan mendukung aktivitas

industri agro di Kota ini.

11. Kesadaran lingkungan pihak industriawan akan semakin baik di masa yang

akan datang.

12. Pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi ke Samudera Pasifik akan semakin

meningkatkan geliat aktivitas industri agro di Kota ini.

5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

Data persepsi aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan

Kawasan Industri diberikan pada Tabel 5.10. Aparat pemerintah setuju,

walaupun dengan persentasi yang tidak terlalu tinggi (51,61%) bahwa

terpencarnya lokasi pembangunan industri akan membawa banyak dampak

buruk dalam hal:

1. Pabrik/industri agro dibangun di lokasi-lokasi yang terpencar cenderung

mengakibatkan tingginya dampak pencemaran industri.

2. Terpencarnya lokasi pabrik menyebabkan Pemerintah sulit melakukan

kegiatan monitoring dan evaluasi , khususnya terhadap pencemaran industri.

3. Terpencarnya lokasi pabrik mengurangi nilai estetika kota.

Page 98: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

77

Tabel 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

No Pertanyaan N

Jawaban

Sangat setuju Setuju Ragu-

ragu Tidak setuju

Sangat tidak setuju

1 Terpencarnya lokasi industri memberi banyak dampak buruk 31 2 14 6 8 1

2 Pembangunan Kawasan Industri di kota ini sangat diperlukan 31 12 14 4 1 0

Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud

untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 9 sub-pertanyaan; Pertanyaan (2):47 sub-pertanyaan.

4. Terpencarnya lokasi pabrik meningkatkan biaya transportasi produk, bahan

baku, dan tenaga kerja.

5. Terpencarnya lokasi pabrik menyuburkan premanisme.

6. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan efektivitas pengendalian pencurian

air dan listrik.

7. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan daya saing produk dari segi tingkat

kepercayaan konsumen.

Selanjutnya, aparat pemerintah menyatakan setuju dengan persentase

yang tinggi (83,87%) bahwa pembangunan suatu kawasan industri sangat

diperlukan di Kota ini dan dukungan untuk itu telah tersedia berupa:

1. Tersedianya lahan yang cukup luas pada kawasan sesuai RTRW untuk

membangun suatu kawasan industri.

2. Di masa yang akan datang, semua industri wajib untuk merelokasi industri ke

atau mendirikan industri baru/melakukan perluasan usaha di dalam Kawasan

Industri.

3. Pemerintah siap mengatur agar suatu kawasan industri terbangun di kota ini.

5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro Sebanyak 91% dari industri agro yang disurvei menyatakan bahwa

pengendalian pencemaran industri sangat penting bagi pabrik mereka. Tanpa

adanya upaya tersebut maka proses produksi dari pabrik dapat mengganggu

kehidupan masyarakat di sekitar pabrik dan kelestarian lingkungan hidup. Oleh

karena itu pihak pabrik melakukan beberapa upaya seperti: (1) pada setiap

saluran pembuangan air limbah dipasang saringan agar air yang mengalir ke laut

sudah bebas dari tulang ikan berukuran besar, (2) memeriksa kualitas air bersih,

air limbah, dan air laut di laboratorium analisis, (3) menerapkan upaya

Page 99: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

78 pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL), dan (4) Mengurangi

kepekatan air yang mengandung darah ikan dengan cara menambahkan air

bersih kedalamnya sebelum dibuang ke badan air.

Untuk yang disebut terakhir, ada pihak industri yang berpendapat bahwa

bahan organik yang terdapat di dalam limbah cair industri yang dibuang ke

badan air (laut) bermanfaat bagi kehidupan biota laut. Walaupun untuk derajat

tertentu klaim ini dapat dilegitimasi, namun memperlakukan limbah cair dengan

cara pengenceran untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan tidak diperkenankan

oleh peraturan perundangan. Memang fakta di lapangan menunjukkan bahwa

walaupun praktek tersebut sudah dilakukan puluhan tahun namun dampaknya

terhadap kualitas perairan laut tidak siknifikan antara lain terkait dengan

kemampuan asimilasi perairan laut yang tinggi dan laju arus air laut yang besar

di Selat Lembeh.

5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri

Data persepsi industri agro terhadap rencana pembangunan kawasan

industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung dinyatakan pada Tabel 5.11.

Terhadap diundangkannya PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri,

khususnya terhadap pasal (7) dan pasal (8), industri agro yang disurvei

menjawab setuju dan mendukung ketentuan tersebut dengan catatan:

1. Fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap;

2. Alternatif bagi pendirian industri baru;

3. Mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan

4. Adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau.

Adanya fasilitas kawasan industri yang lengkap akan menjadi faktor

penghela dan pendorong pembangunan industri di dalam kawasan industri.

Fasilitas pendukung yang diperlukan adalah jalan, komunikasi, listrik, air, kapling

siap pakai, gudang, kesehatan, pusat pengolahan air limbah dan pusat daur

ulang limbah padat.

Pembangunan industri di dalam kawasan industri dapat terjadi karena

relokasi industri eksisting ke dalam kawasan industri atau pendirian industri baru.

Industri baru yang dapat dibangun adalah industri yang bertumpu pada

sumberdaya lokal. Ketersediaan bahan baku lokal, khususnya perikanan laut,

dapat dijaga apabila daya tangkap perikanan laut dapat ditingkatkan tapi dilain

Page 100: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

79 pihak menekan penjualan ikan kepada nelayan asing di tengah laut serta

menekan illegal fishing, oleh aparat penegak hukum.

Pihak industri agro yakin bahwa pendirian industri di dalam kawasan industri

dapat menekan dampak pencemaran terhadap masyarakat. Selama ini terlihat

bahwa letak industi agro terletak di kantong-kantong permukiman penduduk. Hal

ini terjadi karena lemahnya perencanaan dan law enforcement terhadap RTRW.

Fakta menunjukkan bahwa pengembangan industri akan selalu diikuti oleh

tumbuhnya permukiman dan pusat bisnis di sekitarnya. Hal ini dapat terjadi

karena didorong oleh ketersediaan fasilitas-fasilitas industri seperti jalan, air, dan

listrik yang selalu menjadi faktor penarik tumbuhnya permukiman baru. Dengan

diterapkannya sistem kawasan industri yang memiliki batas fisik yang jelas maka

ekspansi permukiman penduduk tidak dapat dilakukan ke dalam kawasan

industri yang telah memiliki status legal formal. Dengan demikian maka setting

dan lansekap awal dari kawasan tersebut akan tetap terjaga.

Catatan lain terkait dengan dukungan terhadap implementasi kawasan

industri adalah harga lahan yang terjangkau. Pengalaman menunjukkan bahwa

bila ada indikasi perencanaan pengembangan kawasan industri maka akan

merangsang munculnya mafia tanah. Dilain pihak, ada fakta yang menunjukkan

bahwa pihak pengembang kawasan industri selalu menetapkan harga yang

sangat mahal terhadap kapling industri seperti hasil penelitian yang dilakukan

oleh Kodrat (2006). Itu sebabnya perlu diberlakukan kebijakan harga maksimal

kapling industri seperti yang ditetapkan oleh Pemerintah beberapa negara,

seperti Korea Selatan. Bahkan China, dalam upaya menarik investasi industri ke

negaranya, memberikan hak penggunaan lahan dengan waktu dan luasan

sesuai yang diperlukan secara gratis (Wawancara dengan Rompas 2009).

Terkait dengan bentuk antisipasi terhadap PP No. 24/2009 tentang

Kawasan Industri, pihak industri menyatakan bahwa bila harus dilakukan maka

relokasi industri ke kawasan industri akan dilakukan secara bertahap. Pihak

pabrikan juga akan mengajak pihak lain untuk mengembangkan usaha di dalam

kawasan industri yang dibangun pemerintah. Ada pihak industri yang akan

mengantisipasinya dalam bentuk pembelian kapling industri, namun ada juga

yang menolak apabila harus relokasi ke kawasan industri karena lokasi saat ini

sudah sesuai dan sangat ideal. Ada juga beberapa industri yang tidak perlu

bebuat sesuatu karena saat ini lokasinya sudah terletak di areal rencana

kawasan industri.

Page 101: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

80

Penolakan perusahan untuk relokasi ke kawasan industri juga terkait

dengan mahalnya biaya relokasi dan kesulitan pengadaan tenaga kerja. Namun,

ada juga pihak pabrikan yang merasa skeptis dengan rencana pengembangan

kawasan industri ini berdasarkan pengalaman dimana sampai saat ini kawasan

industri perikanan yang sudah lama direncanakan belum terealisir sampai saat

ini.

Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan responden pelaku usaha

industri diperoleh informasi bahwa penegakan peraturan perundangan terkait

dengan pengelolaan lingkungan di level pabrik belum dilakukan secara konsisten

(Wawancara dengan Prasethio S. 31 Maret 2009). Hal itu mengurangi insentif

bagi pihak pabrikan/industri untuk membangun pusat pengolahan limbah yang

representatif. Ada pabrik yang membangun fasilitas pengolahan limbah yang

representaif dengan harga yang mahal (contohnya adalah PT. Bimoli), namun

ada juga yang membangun fasilitas pengolahan limbah industri tetapi tidak

sesuai dengan spesifikasi jenis dan kuantitas limbah industri yang dihasilkannya

secara periodik. Bagi beberapa pihak pelaku usaha, yang diutamakan adalah

tampak fisik dari fasilitas untuk memenuhi ketentuan tetapi bukan kinerja

pengolahan limbahnya.

Tabel 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri

No Pertanyaan N Jawaban 1 Tanggapan perusahan

atas PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri (KI), khususnya pasal (7) dan (8)

11 Setuju/mendukung ketentuan tersebut, dengan catatan: (1) fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; (2) alternatif bagi pendirian industri baru; (3) mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat;

dan (4) adanya kemudahan misalnya harga lahan yang

terjangkau. 2 Bentuk antisipasi yang

akan dilakukan perusahan terkait pertanyaan No. (1)

11 (1) Relokasi ke KI dilakukan secara bertahap; (2) mengajak perusahan lain untuk mengembangkan usaha

di dalam KI yang dibangun pemerintah; (3) tidak akan relokasi ke KI karena lokasi perusahan saat

ini sudah sesuai dan sangat ideal; (4) mencari lahan di KI; (5) lokasi perusahan berada di areal rencana KI;

3 Tanggapan perusahan terhadap rencana pembangunan KI di Kel. Tanjung Merah, Kota Bitung

11 (1) Setuju dengan permohonan agar perusahan tidak direlokasi ke KI tersebut karena alasan biaya dan tenaga kerja;

(2) Belum setuju karena rencana KI Perikanan di Aertembaga saja belum ada investornya;

4 Apakah sudah familiar dengan istilah eco-industrial park?

11 Belum familiar

Sumber: Hasil survei lapangan pada Industri Agro di Kota Bitung (2009)

Page 102: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

81

Di lain pihak, pihak pemerintah sebagai pengawas dampak lingkungan

hidup sering bertindak pasif, yaitu menunggu atau membiarkan terjadinya

pelanggaran baru kemudian mencoba mengambil tindakan yang belum tentu

berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.

Sebagai Kota Pelabuhan dan pusat pengembangan indusri manufaktur di

Provinsi Sulawesi Utara maka tanpa adanya pengelolaan lingkungan yang tepat

maka di masa yang akan datang kota ini, seperti kota-kota industri lainnya di

Indonesia, akan menghadapi permasalahan lingkungan yang besar. Munculnya

permasalahan tersebut terkait dengan pertumbuhan penduduk dan laju

urbanisasi, tidak optimalnya penataan ruang, perubahan gaya hidup karena

pertumbuhan ekonomi, ketergantungan yang besar pada sumber energi minyak

bumi, dan kurangnya perhatian masyarakat.

Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi akan mendorong pelebaran

wilayah perkotaan (city widespread). Konsekuensinya adalah akan semakin

lebarnya jarak permukiman penduduk dengan pusat aktivitas industri. Hal ini

akan menyebabkan semakin intensifnya lalu lalang kendaraan dan munculnya

titik-titik kemacetan lalu lintas yang baru. Tanpa adanya introduksi sistem

transportasi masal, seperti Pakuan Express, maka akan mengakibatkan

peningkatan pencemaran udara.

Tingginya tingkat pencemaran di pusat-pusat perekonomian dan industri

yang menyumbang pada peningkatan pencemaran lingkungan akan

merangsang penduduk untuk bermukim di luar kota. Namun, tumbuhnya

permukiman baru di wilayah-wilayah penyanggah akan menyebabkan masalah

baru bagi wilayah tersebut. Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu

dilakukan penataan terhadap aktivitas industri dan permukiman penduduk di

wilayah kota.

Aktivitas industri perlu dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu di dalam

suatu kawasan industri. Dengan terkonsentrasinya aktivitas industri maka

pengawasan dan pengelolaan lingkungan dapat lebih mudah dilakukan oleh

pemerintah maupun pengusaha. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengembangan kawasan industri berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan.

Dengan tertatanya aktivitas industri manufaktur tersebut di atas maka

kecenderungan masyarakat untuk bermukim jauh dari pusat kota dapat

dikurangi. Kecenderungan ini akan semakin siknifikan apabila pemerintah

menerapkan kegiatan revitalisasi permukiman di kampung-kampung yang

Page 103: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

82 terletak di wilayah perkotaan. Revitalisasi tersebut dapat dilakukan dalam

bentuk pembangunan rumah susun yang dapat ditempati warga masyarakat

yang menjadi pemilik dari bagian lahan rumah susun tersebut dan permukim

baru. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut maka perlu dilakukan

sosialisasi terhadap peraturan perundangan terkait dengan pemilikan rumah

susun. Pemerintah Kota, seperti di Kota Bitung, tidak perlu menunggu sampai

kondisi lingkungan menjadi parah baru kemudian mulai bertindak. Rencana dan

tindakan perlu dirumuskan dan diambil seawal mungkin.

Perubahan gaya hidup biasanya terjadi di kota tertentu dimana kontribusi

sektor industri manufaktur dan jasa telah melampaui sektor primer dalam PDRB.

Pada tahun 2006 di Kota Bitung, kontribusi Sektor Angkutan berada pada urutan

pertama terhadap total PDRB yakni sebesar 24,18 persen, diikuti oleh Sektor

Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga Sektor Pertanian sebesar 21,69

persen. Sektor Konstruksi juga memberikan kontribusi yang cukup besar yakni

12,3 persen (Bitung Dalam Angka 2007). Keberadaan Pelabuhan Samudera

Bitung yang berskala besar menyumbang perekonomian yang cukup siknifikan

bagi Kota Bitung. Data ini merupakan sinyal bahwa kecenderungan terjadinya

perubahan pola hidup masyarakat sudah sedang terjadi.

Ketergantungan pada minyak bumi yang besar juga menyumbang pada

pencemaran lingkungan. Hal ini terutama terkait dengan aktivitas transportasi

masyarakat. Namun, hal itu juga dapat diakibatkan oleh karena pembangkitan

energi listrik oleh industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar fosil

tersebut. Transisi ke sumber bahan bakar lain, seperti LPG, dapat mengurangi

kontribusi sektor industri terhadap pencemaran udara di Indonesia.

Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan

pengendalian pencemaran udara. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dapat

dilakukan melalui sosialisasi dan keteladanan, terutama dari pemerintah.

5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah Beberapa tahapan dari rencana pembangunan Kawasan Industri di

Kelurahan Tanjung Merah dilakukan atas bantuan Badan Penelitian dan

Pengembangan Industri (BPPI), Departemen Perindustrian RI. Bantuan tersebut

meliputi Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Industri (Master Plan)

dan Penyusunan Kajian AMDAL Kawasan Industri. Pada tanggal 17 Maret 2009

bertempat di Kantor Bappeda Kota Bitung telah dilaksanakan dua kegiatan, yaitu

Page 104: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

83 Presentasi Laporan Akhir Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kota

Bitung dan Persiapan Penyusunan AMDAL Kawasan Industri di Kota Bitung.

5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri Secara garis besar, yang melatarbelakangi rencana pembangunan

kawasan industri di Kota Bitung adalah faktor-faktor skala global dan nasional;

dan skala regional (BPPIP Depperin 2009).

Faktor-faktor dalam skala global dan nasional adalah persaingan sektor

industri yang semakin ketat di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi; dan visi

pembangunan industri nasional “Pada tahun 2020, Indonesia menjadi sebuah

Negara Industri Maju Baru.”

Tantangan yang dihadapi, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah

tidak tersedianya instrumen pembangunan bagi investor; tidak optimalnya

pemanfaatan SDA akibat infrastruktur yang kurang efisien, sumberdaya manusia

yang belum memadai dan iklim usaha yang kurang baik; dampak pembangunan

belum cukup memadai untuk mengatasi kesenjangan kesejahteraan wilayah;

dan perlunya upaya pengembangan kawasan industri yang berbasis kompetensi

inti daerah sebagai upaya percepatan pembangunan ekonomi daerah.

Faktor-faktor dalam skala regional adalah penetapan kawasan industri di

Tanjung Merah, Kota Bitung sejak tahun 1989 (RIK Bitung 1989; RUTR Kota

Bitung 1992; KAPET Manado-Bitung 1996; RTRW Kota Bitung 2000); potensi

sumber daya laut dan kesesuaian pengembangan kelapa di Sulawesi Utara

untuk peningkatan PAD; geoposisi Sulawesi Utara dan Kota Bitung yang

berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik; adanya usulan penetapan

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung; dan belum adanya instrumen

pembangunan yang lebih operasional bagi investor terkait dengan

pengembangan kawasan industri.

Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung terletak pada satu

hamparan lahan seluas 98 ha sebagai lokasi Kawasan Industri. Status lahan

adalah tanah Milik Negara yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah,

Kecamatan Matuari. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif

datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang

produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperluas hingga mencapai 512

hektar karena lahan disekitarnya masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa

milik masyarakat.

Page 105: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

84 5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri

Faktor-faktor pendukung pembangunan Kawasan Industri dibedakan atas

lingkungan eksternal dan lingkungan internal (BPPIP Depperin 2009).

(A). Lingkungan eksternal

Beberapa faktor lingkungan eksternal pendukung adalah keanggotaan

Indonesia (khususnya Provinsi Sulawesi Utara) di dalam BIMP-EAGA.

Disamping itu, provinsi ini merupakan “pintu gerbang” Kawasan Timur Indonesia

ke wilayah internasional karena kedekatannya dengan lintas perdagangan antar

negara. Juga, daerah ini memiliki keunggulan komparatif pada sumberdaya

alam, khususnya yang berbasis kelapa dan perikanan laut.

Faktor lingkungan eksternal pendukung lainnya adalah: penetapan wilayah

perkotaan Manado-Bitung, dalam PP No. 26/2008 tentang RTRWN, sebagai

PKN (Gambar 5.6). Di dalamnya ditetapkan empat kawasan andalan, yaitu

industri manufaktur, perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Keberadaan BP-

KAPET Manado-Bitung merupakan faktor pendukung. Dari semua faktor

pendukung yang sudah disebutkan, keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung

merupakan faktor pendukung utama.

Gambar 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara

Keterangan:

Kawasan Industri di Koridor Bitung-Kema

Kawasan Pelabuhan Internasional Bitung

Kawasan Ekonomi Khusus (KAPET Manado-Bitung, KPE Sangihe/Sitaro, & KPE Talaud, KPE Tomohon

Sumber: RTRW Provinsi Sulawesi Utara

Rencana Lokasi KI di Kel. Tanjung Merah

Page 106: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

85

Tantangan yang dihadapi bagi Kota ini adalah bagaimana menyiapkan

instrumen untuk menangkap peluang yang muncul dari trend ekonomi global

dalam bidang investasi, industri, teknologi informasi, pola konsumsi, dan pola

kawasan industri.

(B). Lingkungan internal

Faktor-faktor lingkungan internal pendukung pengembangan kawasan

industri di Kota Bitung adalah arahan RTRW Kota Bitung dan RTRW Provinsi

Sulawesi Utara, rencana pengembangan Pelabuhan Bitung menuju International

Hub Port, pemantapan program One Stop Service dalam hal pelayanan

investasi, dan rencana pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung sepanjang 46

km dengan lebar 60 m. Khusus untuk yang disebut terakhir, rencana tersebut

terkendala oleh belum adanya investor yang berminat karena “load factor” yang

masih rendah. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluarnya misalnya dengan

melibatkan Pemerintah Daerah secara langsung sebagai partner investasi dalam

pengadaan/pembebasan tanah.

(C). Dukungan Masyarakat dan Aparat Pemerintah

Baik warga masyarakat maupun aparat pemerintah setuju terhadap

rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota

Bitung (Gambar 5.7. dan Gambar 5.8.).

Gambar 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rencana pembangunan Kawasan

Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan masyarakat

dan aparat pemerintah daerah. Dukungan ini akan memuluskan implementasi

rencana tersebut.

Page 107: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

86

Gambar 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung

5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri

Kebijakan dan regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri

antara lain adalah:

• Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

• Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025

• Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

• Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

• Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas

dan Pelabuhan Bebas

• Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, dan PP 24/2009 tentang Kawasan

Industri

• Undang-undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan

bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan (Bab III, Pasal 13 ayat 2). Urusan

pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan

yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 14 ayat 2)

Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) menyangkut rencana

pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung ditulis bahwa yang menjadi

aspek inti/penghela pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) spesialisasi

Page 108: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

87 produk unggulan pada kawasan tertentu/spesialisasi kawasan, (2) adanya

industri pendorong, dan (3) output: penetapan jenis produk berdaya saing

dengan penetapan target pasar tertentu. Aspek kunci/pendukung

pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) SDM: fasilitasi pendampingan,

tenaga ahli, pendidikan/pelatihan, (2) penelitian/pengembangan: teknologi dan

inovasi, informasi, dan riset, (3) pasar: pasar/outlet, informasi pasar dan jaringan

pasar, (4) akses ke sumber input: infrastruktur, modal, bahan baku, (5)

keterkaitan: antar sektor/komoditas, antarpelaku, antardaerah, hulu-hilir, dan (6)

iklim usaha: regulasi/Perda dan kebijakan.

Berdasarkan pada Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999, dan

PP 25/2000 maka perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi,

yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha. Pada era Pasca Otonomi

Daerah, sesuai UU No. 22/1999 dan PP 25/2000 pasal 2(4) butir j: kewenangan

Pemerintah (Pusat) dalam membuat standar bagi pemberian izin oleh daerah,

dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman. Pemerintah Provinsi

melakukan koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas

kabupaten/kota. Berdasarkan PP 84/2000 tentang Pedoman Organisasi

Perangkat Daerah: Pasal 4(3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian

izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin.

Dari segi pelaku usaha, setelah Keppres 53/1989 diundangkan, dunia usaha

dalam negeri dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri.

UU tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan Undang-undang

yang diamanatkan oleh UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007. Pada pasal

31 ayat 1 UU No 25 tahun 2007 mengenai Penanaman Modal berbunyi, “Untuk

mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis

bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan

kemajuan suatu daerah dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi

khusus.” Ayat 2 menyatakan, “Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan

penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.” Serta ayat 3,

“Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud ayat (1)

diatur dengan undang-undang.”

Ada empat syarat umum dalam pengajuan proposal Kawasan. Pertama,

harus sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah dan tidak berpotensi

mengganggu kawasan lindung. Kedua, pemerintah provinsi beserta pemerintah

kabupaten atau kota yang terkait harus mendukung Kawasan tersebut. Kawasan

Page 109: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

88 juga wajib terletak pada lokasi yang dekat dengan jalur perdagangan atau

pelayaran internasional, atau dekat wilayah yang memiliki sumber daya alam

unggulan. Keempat, kawasan harus memiliki batas yang jelas.

Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) terkait dengan rencana

pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung dikemukakan bahwa

kelembagaan yang terkait dengan pengembangan Kawasan Industri di Kota

Gambar 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri (Bappeda Kota

Rincian dari

persyaratan ini bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara

penetapan kawasan ekonomi khusus, yang diharapkan bisa rampung dalam

waktu kurang dari enam bulan setelah Undang-undang Kawasan Ekonomi

Khusus disahkan tanggal 15 September 2009.

5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri

Bitung 2009 - digambar kembali)

Koperasi Petani: Penyediaan, pengelolaan dana bergulir/kredit bagi petani

Sektor Perindustrian: Penyediaan sarana prasarana pengolahan, teknologi, pembinaan pelatihan SDM

Sektor Pertanian: Input benih, sarana prasarana produksi, budidaya, teknologi, pembinaan pelatihan SDM, pengolahan, pemasaran, pengelolaan lahan-air

Sektor Perdagangan: Pengembangan pasar, jaringan informasi pasar, pembinaan SDM

FASILITASI PEMERINTAH

KAWASAN INDUSTRI

SWASTA/ MASYARAKAT

Pengusaha Lokal Pengolahan dan Pemasaran

LSM/Perguruan Tinggi: Pemberdayaan, pendampingan

Pemerintah Daerah: Kebijakan, PERDA, penjaminan kepada

Bank, insentif

Sektor PU: Sarana prasarana (program Agropolitan), infrastruktur pengairan, infrastruktur jalan

Sektor Koperasi/UKM: Pelatihan SDM, pengembangan usaha, pendampingan SDM, fasilitasi modal usaha, penyiapa n kelembagaan

Lembaga Riset: Pelatihan, informasi, teknologi

Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal:

Pemberdayaan ekonomi masyarakat

Lembaga Pengelolaan Bisnis:

Distribusi dan pengadaan input, pengolahan, pemasaran, riset, informasi, dan promosi

Petani: Produksi/budidaya

Asosiasi dan KADINDA:

Kemitraan, informasi, jaringan pasar

Bank: Permodalan

Page 110: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

89 Bitung meliputi Sektor Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Pekerjaan Umum,

dan Koperasi/UKM, Lembaga Riset, Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal,

Pemerintah Daerah, Koperasi Petani, Lembaga Pengelolaan Bisnis, Pengusaha

Lokal, Perguruan Tinggi, LSM, Perbankan, Petani, Asosiasi, dan Kadinda.

Peran utama Pemerintah adalah memberikan fasilitasi bagi Swasta/Masyarakat

(Gambar 5.9.).

5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri Pembahasan selanjutnya adalah menyangkut evaluasi terhadap rencana

lokasi tapak proyek kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah dengan

menggunakan pendekatan “Kerangka Kinerja Lingkungan” yang dikemukakan

oleh Lowe (2001). Data yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah data

skala Kota Bitung (bukan data spesifik lokasi karena adanya keterbatasan data,

kecuali disebutkan).

(A). Penggunaan Energi

Rencana lokasi Kawasan Industri Tanjung Merah terletak di wilayah yang

memiliki ekspos terhadap penyinaran matahari yang sangat besar. Data

menunjukkan bahwa penyinaran matahari pada tahun 2006 berkisar antara 50-

77% atau diperkirakan antara 6,00-9,24 jam per hari (BPS Bitung 2007). Belum

ada hambatan penyinaran matahari oleh bangunan karena rencana lokasi

terletak di dan sekitar hamparan lahan perkebunan. Topografi yang landai dari

lokasi kawasan industri mengurangi kemungkinan adanya bagian-bagian

tertentu dari kawasan industri yang akan terhalang dari sinar matahari.

Ekspos yang besar terhadap sinar matahari merupakan potensi untuk

pengembangan sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi

kawasan industri. Namun di lain pihak, akan meningkatkan biaya untuk

pendinginan udara (air conditioning).

Rencana lokasi Kawasan Industri terletak di pinggir pantai sehingga

memiliki ekspos yang besar terhadap tiupan angin. Ekspos yang besar terhadap

angin juga merupakan potensi untuk pengembangan energi terbarukan.

Disamping itu, pergerakan udara yang relatif tinggi akan meminimalkan potensi

inversi atmosfir, yang dapat menyebabkan kabut (smog) seperti yang menjadi

fenomena klasik di Jabodetabek. Namun, ekpos yang besar terhadap angin dan

atau tiupan angin kencang berpotensi meningkatkan risiko kerusakan fasilitas

dan gangguan produksi di kawasan industri.

Page 111: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

90

Potensi pembangkitan energi angin dipengaruhi oleh kekuatan dan

kesinambungan tiupan angin. Pengaturan lokasi dengan mempertimbangkan

topografi lahan, tegakan tanaman, dan bangunan mempengaruhi aliran angin

yang ingin dimanfaatkan. Variasi dari efektivitas pembangkitan energi angin

dipengaruhi oleh interaksi antara pola angin regional dan topografi lokasi, badan

air yang besar (laut), dan areal hutan.

Akses terhadap sumber energi sampingan yang dihasilkan oleh industri

eksisting sangat potensial karena letak lokasi yang hanya sekitar enam kilometer

dari pusat aktivitas industri manufaktur saat ini. Kedekatan lokasi ini merupakan

salah satu keunggulan dari rencana lokasi kawasan industri ini. Karena

kedekatan tersebut maka fasilitas bagi akses terhadap energi sampingan dapat

dipersiapkan dengan relatif mudah.

Dari hasil wawancara dengan Prasethio (Direktur PT. Bimoli) pada 31

Maret 2009 diperoleh argumentasi bahwa kawasan industri seharusnya

dibangun di Kecamatan Aertembaga atau di bagian Timur dari Kota Bitung.

Prasethio berargumen bahwa pendirian kawasan industri di Kelurahan Tanjung

Merah (yang sedang diproses) berisiko karena lokasi tersebut terpapar oleh

tiupan angin kencang, terutama pada musim angin Timur/Selatan. Selanjutnya

diinformasikan pelaku industri tersebut bahwa tiupan angin kencang secara

kontinu merusak bangunan/pabrik, seperti yang dialami oleh PT. Bimoli. Bila

kawasan industri ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung maka kawasan

tersebut akan lebih aman dari terpaan angin kencang karena terlindung oleh

Pulau Lembeh. Juga, bila diperlukan maka pada kawasan tersebut dapat

dibangun dermaga yang khusus melayani pengguna kawasan industri.

(B). Penggunaan Air

Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Kota Bitung hanya dikenal dua

musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat

dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini dimana pada bulan Oktober

sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan. Hal ini terjadi karena angin

bertiup dari arah Barat/Barat Laut yang banyak mengandung air. Sedangkan

pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim

kemarau, karena dipengaruhi oleh arus angin dari arah Timur/Selatan yang tidak

banyak mengandung air.

Karakter curah hujan Kota Bitung menunjukkan bahwa curah hujan yang

relatif tinggi tersebut meningkatkan ketersediaan air, namun sebaliknya dapat

Page 112: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

91 meningkatkan potensi kontaminasi air permukaan. Selanjutnya, karena topografi

dari rencana lokasi kawasan industri yang landai (0-25 meter dpl) maka

intensitas curah hujan yang tinggi relatif tidak menyebabkan erosi yang siknifikan

atau kejadian longsor. Sungai yang melintasi tapak proyek adalah Sungai Tanjung Merah. Air

dari sungai, setelah diolah terlebih dahulu, dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan kawasan industri. Hasil analisis laboratorium terhadap air sumur dan

air kali yang melintas di rencana lokasi Kawasan Industri menunjukkan bahwa

sampel Air Sumur memenuhi syarat SNI Air Minum, sedangkan sampel Air Kali

memenuhi syarat Air Golongan D (Lampiran 4).

(C). Penggunaan Bahan Baku/Sumberdaya Infrastruktur yang telah tersedia adalah jalan raya hotmix dengan lebar 6

meter. Di dalam lokasi tapak proyek sendiri belum tersedia infrastruktur maupun

fasilitas tertentu karena masih merupakan lahan perkebunan kelapa, sayur-

sayuran, dan palawija.

Dengan status lahan eksisting sebagai lahan perkebunan maka konversi

penggunaan lahan tidak akan menyebabkan kehilangan habitat alami. Juga,

sebagai lahan pertanian maka potensi telah terjadinya kontaminasi lahan sangat

kecil. Namun dilain pihak, konversi lahan pertanian ini ke penggunaan lain

menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif. Kehilangan produksi akibat

konversi ini diperkirakan sebesar 500 ton kopra per tahun, disamping ratusan ton

produk palawija.

Sebagaimana yang diargumentasikan oleh Prasethio (Wawancara tanggal

31 Maret 2009), lokasi kawasan industri sebaiknya ditempatkan di bagian Timur

dari Kota Bitung. Namun demikian, topografi wilayah di bagian Timur Kota Bitung

umumnya termasuk dalam kategori berombak-berbukit, bergunung, dan

berombak. Namun Prasethio berargumen bahwa kemampuan teknologi dapat

memberikan jalan keluar dari kendala tersebut. Hal ini sejalan dengan Ayres

dan Ayres (2002) yang menulis bahwa sebaiknya pembangunan kawasan

industri dilakukan di lahan-lahan yang tidak produktif, seperti misalnya lahan

yang memiliki topografi berombak berbukit atau lahan brownfield (lahan bekas

penggunaan lain tapi sudah tidak digunakan lagi). Kriteria ini lebih sesuai

dengan kondisi lahan yang terdapat di Bagian Timur Kota Bitung tersebut.

Keuntungan lain yang akan diperoleh bila Kawasan Industri didirikan di wilayah

Page 113: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

92 tersebut adalah tersedianya pantai yang tenang karena terlindung oleh Pulau

Lembeh.

(D). Emisi atmosfir

Pola angin di Kota Bitung adalah angin Barat/Barat Laut yang bertiup dari

bulan Oktober sampai dengan bulan April dan angin Timur yang bertiup dari

bulan Juni sampai dengan bulan September. Baik karena pola angin maupun

kecepatannya maka inversi amosfir tidak terjadi di Kota Bitung. Dengan

demikian maka kemungkinan terjadinya kabut/smog sangat kecil.

Sumber-sumber emisi yang sudah ada di lokasi tapak proyek hanya

berasal dari gas buang dari kendaraan yang lalu lalang dan juga dari

permukiman warga di sekitarnya. Jarak tempuh kendaraan truk dari lokasi ke

pelabuhan relatif pendek (hanya sekitar 6 km) sehingga emisi yang dikeluarkan

untuk setiap kilogram bahan yang diangkut relatif rendah.

(E). Ekosistem

Sebagai lahan pertanian yang sudah diusahakan puluhan bahkan ratusan

tahun, rencana lokasi kawasan industri bukan lagi merupakan habitat alami.

Dengan demikian, konversi lahan menjadi areal industri tidak akan

mengakibatkan terjadinya kehilangan habitat alami/satwa liar.

(F). Lingkungan Sekitar

Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah

merupakan kawasan industri pertama yang akan dibangun di Kota Bitung. Saat

ini, industri manufaktur (termasuk industri agro) didirikan di lokasi yang

terpencar-pencar, dengan konsentrasi di sepanjang garis pantai di Kecamatan

Madidir/Pelabuhan Samudera Bitung. Pembangunan kawasan industri di

Kelurahan Tanjung Merah berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan karena

akan mempermudah penerapan sistem manajemen lingkungan, baik oleh pihak

pengelola Kawasan Industri maupun pemerintah.

Di sekitar rencana lokasi kawasan industri terdapat beberapa areal

permukiman/kelurahan. Terdapatnya permukiman penduduk di sekitar lokasi

dapat memberikan keuntungan dari sisi penyediaan tenaga kerja dan fasilitas

pemondokan dengan segala fasilitas pendukungnya. Namun, lokasi permukiman

yang terlalu dekat dengan kawasan industri memiliki tingkat risiko bahaya yang

cukup tinggi.

Page 114: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

93

Lokasi kawasan industri yang relatif dekat dengan fasilitas pendukung

seperti pelabuhan akan meminimalisasi lalu lalang truk pengangkut dan hilir

mudik pekerja sehingga dapat menurunkan emisi gas dan menciptakan

keuntungan lainnya.

5.6.6. Rangkuman Hasil evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kerangka Kinerja

Lingkungan (“Environmental Performance Framework”) (Lowe 2001)

menunjukkan bahwa elemen kinerja lingkungan, yaitu penggunaan energi,

penggunaan air, ekosistem, dan lingkungan tetangga (evaluasi terhadap emisi

limbah cair dan limbah padat tidak dilakukan karena data pendukung belum

tersedia) mendukung pembangunan kawasan industri di rencana lokasidi

Kelurahan Tanjung Merah yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Bitung.

Salah satu elemen kinerja lingkungan, yaitu penggunaan bahan

baku/sumberdaya tidak mendukung penetapan lokasi menjadi kawasan industri.

Hal ini terkait dengan fakta bahwa pembangunan kawasan industri di lokasi

dimaksud akan menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif dalam luasan

yang cukup besar. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2006 menunjukkan

bahwa lahan datar (0-15 derajat) di Kota Bitung hanya seluas 4,18% dari total

areal Kota Bitung (304 km2

Hal-hal yang mendukung penetapan lokasi sebagai kawasan industri

adalah kedekatannya dengan Pelabuhan Samudera Bitung sehingga beban

emisi gas buang ke udara oleh transportasi darat yang ditimbulkannya akan

relatif kecil. Kedekatan lokasi juga meningkatkan efektifitas dan efisiensi lalu

lalang pekerja/pengguna kawasan industri. Walaupun lokasi kawasan industri

dekat dengan pelabuhan dan permukiman, tetapi jaraknya cukup aman sehingga

risiko yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat adalah minimal. Tiupan angin

kencang memang berisiko merusak fasilitas kawasan industri dan berpotensi

menggangu proses produksi, namun di lain pihak merupakan potensi

pengembangan energi terbarukan. Jadi, walaupun ada elemen kinerja

lingkungan yang tidak mendukung penetapan lokasi di Kelurahan Tanjung Merah

), atau hanya sekitar 1.271 ha. Dengan demikian,

terhadap total luasan lahan datar yang ada, persentasi rencana luasan lahan

kawasan industri seluas 98 ha adalah sebesar 7,7%, suatu persentasi yang

relatif besar.

Page 115: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

94 sebagai kawasan industri (elemen penggunaan bahan baku/sumberdaya),

namun elemen kinerja lingkungan lainnya mendukung penetapan dimaksud.

Kondisi aktual dari industri manufaktur/agro di Kota Bitung dapat diringkas

sebagai berikut:

1) Walaupun secara umum kualitas lingkungan masih cukup baik namun ada

permasalahan dalam hal lemahnya penegakan peraturan perundangan (law

enforcement), kecenderungan meningkatnya pencemaran industri terutama

terhadap komponen tanah dan air permukaan serta masalah lingkungan

sosial sebagai dampak dari alih fungsi lahan pertanian.

2) Rencana pengembangan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung

Merah cukup layak dipandang dari segi Kerangka Kinerja Lingkungan.

Namun, ada beberapa dampak yang perlu dikelola dengan baik agar kualitas

lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial dapat dipelihara.

Permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam ringkasan di atas

perlu dikelola dengan baik agar aktivitas industri dapat diarahkan menuju ke

tahapan industri yang berkelanjutan. Upaya pengelolaan tersebut dapat

dilakukan melalui penerapan Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park

(MP Agro-EIP).

5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri Sekitar 64% pabrik industri agro yang disurvei menyatakan bahwa mereka

telah memiliki ikatan dengan pihak lain terkait dengan penjualan hasil sampingan

yang dihasilkan. Sekitar 36% menyatakan bahwa mereka belum memiliki ikatan

dengan pihak lain dengan alasan bahwa jumlah hasil sampingan yang dihasilkan

relatif sedikit jumlahnya. Dari persentasi 36% tersebut, ada satu pabrik yang

menyatakan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan bersama

dengan pabrik lain yang dapat menghasilkan pendapatan dari hasil sampingan

yang dihasilkan pabrik, atau menurunkan biaya manajemen lingkungan, dan

keuntungan lainnya.

Ada pabrikan yang sedang mempraktekkan bentuk keterkaitan (kerjasama)

ini yaitu dengan membeli limbah pre-cooking dari pabrik pengolahan ikan kaleng

untuk digunakan di dalam proses produksi pada pabrik mereka. Namun,

persetujuan untuk berpartisipasi dibarengi dengan beberapa persyaratan seperti:

perlu dilakukan pertemuan pendahuluan dan perencanaan tentang apa yang

akan dilakukan dan bersedia berpartisipasi selama harga bisa bersaing.

Page 116: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

95

Prinsip-prinsip ekologi industri, yaitu pola keterkaitan antara industri agro

dengan industri sejenis atau industri lainnya, di Kota Bitung dapat dilihat pada

Tabel 5.12. Keterkaitan antar industri yang dicantumkan di dalam Tabel 5.12.

selanjutnya digambarkan ke dalam Diagram Pola Keterkaitan Antar Industri

seperti pada Gambar 5.10.

Tabel 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait

Peru-sahan

Jenis Perusa-han

Perusahan yang terkait (dari segi penggunaan by-products dan atau limbah industri)

M N O P Q R S A Kelapa Pakan

ternak Pem-buatan arang tempu-rung

Pem-buatan minyak kelapa dari paring

Pembu-atan nata de coco

- - -

B Minyak kelapa Pakan ternak

- - - - - -

C Minyak sawit - - - - - - - D Perikanan laut Pakan

ternak - - - Pem-

buatan bakso

Pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal

-

E Perikanan laut Pakan ternak

- - - - - -

F Perikanan laut Pakan ternak

- - - - - Peng-ekspor air rebusan

G Perikanan laut Pakan ternak

- - - - - -

H Perikanan laut Pakan ternak

- - - - - -

I Perikanan laut - - - - - - - J Perikanan laut - - - - - - - K Perikanan laut - - - - - - - L Arang aktif - - - - - - - Sumber: Data hasil survei industri agro di Kota Bitung (2009) Keterangan: - belum ada keterkaitan antar industri

Produk ikutan yang dihasilkan oleh pabrik tepung kelapa yang saat ini

memiliki nilai ekonomis adalah paring kelapa dan tempurung kelapa. Paring

kelapa biasanya dikeringkan terlebih dahulu oleh pabrikan tepung kelapa dan

selanjutnya dijual kepada pabrik pembuatan minyak kelapa. Tempurung kelapa

dijual dalam bentuk bahan mentah kepada pengusaha pembuatan arang

tempurung. Keduanya dijual secara lokal. Air kelapa saat ini belum memiliki nilai

jual yang berarti karena hanya relatif sedikit yang dimanfaatkan sebagai bahan

baku pembuatan nata de coco, sehingga sejumlah besar masih dibuang dalam

bentuk yang sudah tercampur dengan air bersih pencuci daging kelapa.

Pabrik perikanan laut menghasilkan by-products berupa: kepala, sayap,

ekor, isi perut, daging hitam, tulang, kulit, air rebusan, air cucian yang

mengandung darah ikan, dan abu sisa pembakaran kayu. Pabrikan juga

Page 117: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

96 menghasilkan fishmeal, yang merupakan bahan olahan dari kepala, sayap, ekor,

dan tulang ikan yang telah dikeringkan sebelumnya. Fishmeal dijual sebagai

bahan baku pembuatan pakan ternak. Ada pabrik yang menyatakan bahwa di

waktu mendatang fishmeal akan diekspor ke Jepang. Daging hitam biasanya di

kirim ke Pulau Jawa untuk dijadikan bakso. Kepala ikan, selain sebagai bahan

baku pembuatan fishmeal, juga dijual dalam bentuk segar kepada pembeli yang

selanjutnya menjualnya di pasar lokal. Air rebusan ikan pernah di ekspor ke

Jepang dan di waktu yang akan datang berpotensi untuk diekspor kembali.

Gambar 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Keterangan: A-L: Perusahan-perusahan yang tercantum di dalam Kolom 1/2 Tabel 4… M: Perusahan pembuatan pakan ternak N: Perusahan pembuatan arang tempurung O: Perusahan pembuatan minyak kelapa dari paring kelapa P: Perusahan pembuatan nata de coco Q: Perusahan pembuatan bakso

R: Perusahan pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal S: Perusahan pengekspor air rebusan ikan

Gambar 5.15. menunjukkan bahwa tidak semua industri agro di Kota

Bitung memiliki keterkaitan dengan industri sejenis atau jenis industri lainnya.

Nilai keterkaitan (C) dari industri agro dan industri lainnya di Kota Bitung dihitung

menggunakan rumus C = 2 L / [S(S-1)]. Dimana S adalah jumlah spesies atau

industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu) dan L adalah jumlah

interaksi antar industri (Tabel 5.15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Nilai

C = (2 x13) : 11 (11-1) = 26 : 110 = 0,2364 atau 23,64%. Nilai ini masih dibawah

nilai medium, yaitu 42,3 % (Hardy dan Graedel 2002). Ini berarti bahwa pola

keterkaitan antar industri agro di Kota Bitung masih rendah.

A B C D E

H J I G K L

M

N O P R Q S

F

Page 118: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

97

Tabel. 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan (C) Antar Industri Agro dan Industri Terkait di Kota Bitung

Indu

stri

Industri Jumlah A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S

A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 4 B 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 C 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 3 E 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2 G 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 J 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 L 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 M 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 N 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 O 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Q 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 R 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 13

Pola keterkaitan yang potensial dikembangkan di Kota Bitung di masa yang

akan datang dapat diketahui dengan menganalisis informasi mengenai jenis

limbah industri/bahan ikutan yang masih dibuang ke udara atau yang langsung

dibuang ke lingkungan (belum dimanfaatkan) atau yang diperjualbelikan.

Page 119: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

98

VI. PROGRAM PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG

Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Status Industri

Manufaktur/Agro di Kota Bitung. Berdasarkan informasi tersebut, pada bab ini

akan dibahas: (1) Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung (disingkat

AEIP Bitung) dan (2) Perancangan model dinamik Pengembangan AEIP Bitung.

Pengembangan AEIP Bitung dilakukan melalui tiga tahapan analisis,

yaitu: (a) Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP, (b)

Analisis Model AEIP Prioritas, dan (c) Analisis Tahapan Implementasi AEIP.

Keluaran dari hasil análisis tahapan (a) merupakan masukan bagi tahapan

analisis (b), demikian selanjutnya hasil análisis tahapan (b) menjadi masukan

bagi tahapan análisis (c). Selanjutnya, informasi yang diperoleh pada

Pengembangan AEIP Bitung merupakan masukan bagi Perancangan Model

Dinamik Pengembangan AEIP Bitung.

6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi Model AEIP Prioritas 6.1.1. Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP

Bitung Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitungdiperoleh melalui

analisis hubungan kontekstual antar elemen menggunakan metode ISM. Output

dari analisis ini adalah elemen kunci, model struktural elemen, dan

pengelompokan elemen. Sintesis atas ketiganya menghasilkan faktor-faktor

penentu pengembangan. Keterkaitan antara masing-masing elemen dengan

pengembangan AEIP Bitungditunjukkan pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan

Program

ElemenTujuan Program Elemen Kendala Utama Program

Elemen Program Pengembangan

Faktor-faktor Penentu Pengembangan Program

Page 120: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

99 6.1.1.1. Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Tujuan Program

Pengembangan AEIP Bitung adalah seperti berikut (diketik dengan huruf italic

dan diikuti penjelasannya):

(T1). Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru. Pola keterkaitan antar

industri dalam pemanfaatan materi dan limbah dapat merangsang tumbuhnya

jenis usaha industri baru.

(T2). Meningkatkan peluang kerja. Terciptanya jenis usaha baru pada gilirannya

akan meningkatkan peluang kerja bagi pencari kerja termasuk bagi masyarakat

di sekitar kawasan industri.

(T3). Meningkatkan daya saing usaha industri. Meningkatnya daya saing usaha

terutama terkait dengan meningkanya citra perusahan dimata konsumen dunia

yang semakin sadar lingkungan.

(T4). Meningkatkan pendapatan industri. Peningkatan pendapatan dapat terjadi

karena adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan atau limbah industri. Juga

karena menurunnya biaya pengelolaan limbah yang harus dikeluarkan oleh

pihak industri.

(T5). Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Pelestarian sumberdaya

alam dan lingkungan potensial untuk dicapai karena adanya upaya untuk

memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan adanya upaya pengelolaan

limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

(T6). Meningkatkan nilai tambah produk industri. Meningkatnya pendapatan

industri dapat terjadi karena adanya aktivitas peningkatan nilai tambah dari

limbah dan bahan ikutan.

(T7). Menurunkan jumlah limbah industri. Kuantitas limbah dapat berkurang

karena adanya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dari sumberdaya

alam/bahan baku.

(T8). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan

masyarakat di sekitar kawasan industri dapat semakin diupayakan karena

perubahan paradigma pihak industri yang memandang masyarakat sebagai

mitra strategis dalam usahanya. Dalam model ini, masyarakat menjadi pemasok

tenaga kerja, bahan baku, dan atau bahan penolong.

Page 121: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

100 (T9). Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi.

Aktivitas industri yang berkelanjutan hanya dapat tercapai apabila didukung oleh

pasokan bahan baku, air, dan energi yang berkelanjutan.

(T10). Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan. Pembangkitan

energi listrik dari sumber terbarukan seperti angin, surya, dan arus

laut/gelombang sangat mungkin untuk diupayakan di Kota Bitung. Secara

geografis Kota Bitung terletak di pinggir pantai dengan intensitas sinar matahari

yang cukup, kecepatan angin yang memadai, dan arus laut/gelombang yang

memungkinkan untuk pembangkitan energi listrik.

(T11). Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat.

Dalam model ini hubungan harmonis antara industri dan masyarakat merupakan

salah satu tolok ukur keberhasilan yang harus dicapai. Dengan terjalinnya

hubungan yang harmonis tersebut maka masyarakat dapat menjadi pagar sosial

bagi aktivitas industri.

(T12). Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan.

Efisiensi usaha dan lingkungan dapat dicapai karena penerapan prinsip reduce,

reuse, dan recycle di atas dan adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan

limbah. Dengan adanya upaya di atas maka biaya pengolahan limbah dapat

berkurang secara siknifikan.

(T13). Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Salah satu

komponen utama dari Model EIP adalah kerjasama pertukaran materi dan

limbah antar industri di dalamnya. Kerjasama tersebut akan merangsang

lahirnya jenis industri baru, misalnya dalam rangka memanfaatkan bahan ikutan

dan atau limbah cair. Kerjasama yang dilakukan secara sukarela, yaitu yang

dibangun karena kebutuhan dan yang saling menguntungkan, akan berjalan

secara optimal dan berkelanjutan.

(B). Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung

Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual

antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:

• V: apabila sub-elemen (1) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen

(2), tetapi tidak sebaliknya.

• A: apabila sub-elemen (2) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen

(1), tetapi tidak sebaliknya.

Page 122: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

101 • X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling memberikan kontribusi.

• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling memberikan

kontribusi.

Hubungan kontekstual antar sub-elemen Tujuan Program dicantumkan di

dalam Lampiran 5a dan Lampiran 5b.

(C). Posisi Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor

Posisi sub-elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam

empat sektor diperlihatkan di dalam Gambar 6.2. Dari Gambar tersebut diketahui

bahwa sub-sub elemen, yaitu: Membangkitkan energi listrik dari sumber

terbarukan (T10), Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13),

Menurunkan jumlah limbah industri (T7), Melestarikan sumberdaya alam dan

lingkungan (T5), Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan

energi (T9), dan Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara

keseluruhan (T12), berada pada Sektor IV (independent). Hal ini menunjukkan

bahwa pencapaian ke-enam tujuan tersebut akan menimbulkan multiplier effect

terhadap tercapainya ke-tujuh tujuan lainnya. Sub-sub elemen tujuan lainnya,

yaitu Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru (T1), Meningkatkan

1, 2, 3, 4, 6, 8, 11

5, 9, 12

7

10, 13

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Gambar 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan

Program Pengembangan AEIP Bitung

peluang kerja (T2), Meningkatkan daya saing usaha industri (T3), Meningkatkan

pendapatan industri (T4), Meningkatkan nilai tambah produk industri (T6),

Daya Dorong

Ketergantungan

Sektor IV Sektor III

Sektor II Sektor I

Page 123: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

102 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (T8), dan Meningkatkan kerjasama

antar industri secara sukarela (T11), berada pada Sektor III atau sebagai peubah

linkages (pengait) dan mencerminkan bahwa sub-sub elemen tujuan ini memiliki

keterkaitan yang kuat dengan tujuan lainnya.

(D). Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung

Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub-

elemen tujuan, tersusun diagram model struktural tujuan program, seperti pada

Gambar 6.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat empat hirarki

1 2 3 4 6 8 11

5 9 12

7

10 13

Gambar 6.3. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program

Pengembangan AEIP Bitung

tujuan program Pengembangan AEIP Bitung. Berdasarkan peringkat daya

dorong (driver power) maka tujuan-tujuan Membangkitkan energi listrik dari

sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara

sukarela (T13) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu dijadikan sebagai

patokan dalam pengembangan AEIP Bitung. Sub-elemen tujuan lainnya, yaitu

Menurunkan jumlah limbah industri (T7) juga perlu diperhatikan karena memiliki

kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan dengan ke-sepuluh sub-sub

elemen tujuan lainnya.

(E). Elemen Kunci Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung

Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci Tujuan Program

adalah:

1. Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan.

2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela.

Page 124: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

103 6.1.1.2. Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen dari Kendala Utama Program Pengembangan

AEIP Bitung

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Kendala Utama

Program Pengembangan AEIP Bitung adalah sebagai berikut (diketik dengan

huruf italic dan diikuti penjelasannya):

(K1). Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri bagi

investor. Instrumen pembangunan kawasan industri mengatur tentang teknis

pembangunan, peraturan perundangan pendukung, sistem insentif yang

diberlakukan, dan ketentuan lainnya.

(K2). Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri. Biaya untuk

membangun kawasan industri relatif sangat besar. Oleh karena itu maka

pembangunannya perlu dilakukan dalam kerangka kerjasama antara beberapa

pihak, seperti Pemerintah dan Investor. Khusus untuk rencana pembangunan

Kawasan Industri Bitung (yang diasumsikan menjadi cikal bakal AEIP Bitung),

kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk penyiapan lahan oleh Pihak

Pemerintah Provinsi dan Kota Bitung (dimana lahannya seluas 98 ha sudah

tersedia) dan pembangunan sarana dan prasarana oleh pihak investor. Dengan

adanya kerjasama tersebut maka kendala keterbatasan modal dapat diatasi.

(K3). Konsep EIP belum dipahami dengan baik. Konsep EIP merupakan konsep

yang baru. Hasil survei lapangan yang dilakukan terhadap pihak pelaku industri

menunjukkan bahwa semuanya belum mengetahui dan memahami konsep

tersebut. Bahkan, banyak pihak akademik pengembangan industri yang masih

meragukan peluang keberhasilan penerapan konsep tersebut di lapangan.

(K4). Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri. Salah satu kendala

pengembangan industri di Kota Bitung adalah adanya keterbatasan lahan

industri. Oleh karena itu, kompetisi penggunaannya dengan sektor lain sangat

ketat. Sebagai contoh kasus, salah satu persyaratan penetapan suatu

lokasi/wilayah untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah

ketersediaan lahan industri seluas minimal 500 ha. Di Kota Bitung sendiri, lahan

industri yang telah tersedia adalah seluas 98 ha dan dapat diperluas menjadi

512 ha. Namun, perluasan tersebut diduga akan tidak mudah dilakukan karena

adanya beberapa faktor penghambat.

Page 125: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

104 (K5). Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Lahan

seluas 98 ha yang direncanakan menjadi Kawasan Industri merupakan lahan

pertanian subur yang ditanami kelapa dan palawija. Upaya untuk memperluas

lahan industri tersebut menjadi 512 ha juga akan mengakibatkan kehilangan

lahan pertanian subur.

(K6). Meningkatnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan

kawasan industri. Fakta menunjukkan bahwa harga lahan biasanya akan

meroket apabila terindikasi adanya rencana pembangunan di lokasi atau sekitar

lokasi tertentu. Indikasi adanya rencana pembangunan juga biasanya

memunculkan para spekulan tanah yang mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Di beberapa negara seperti Korea Selatan, pihak Pemerintah menetapkan

berapa kelipatan harga yang diizinkan untuk diberlakukan Pihak Pengembang

terhadap tenant.

(K7). Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak

konsisten. Para ahli menilai bahwa negara ini memiliki banyak peraturan

perundangan yang tidak diterapkan secara konsekuen dan konsisten. Dilain

pihak, dukungan peraturan perundangan dalam bidang pengembangan industri

dinilai masih lemah dan cenderung tidak konsisten. Para pemimpin yang baru

berkuasa cenderung mengganti peraturan perundangan dengan yang baru

walaupun yang lama telah terbukti efektif dalam penerapannya.

(K8). Kurang tersedianya tenaga kerja terampil. Tenaga kerja terampil dengan

latar belakang pendidikan teknik industri masih kurang tersedia di wilayah ini

karena kurang tersedianya secara lokal lembaga pendidikan dalam bidang

tersebut. Tenaga kerja dimaksud biasanya harus didatangkan dari kota-kota di

Pulau Jawa. Namun, tenaga kerja dengan spesialisasi dan spesifikasi yang

diperlukan lebih memilih untuk bekerja di industri-industri besar di Pulau Jawa

yang memberikan pendapatan tetap yang lebih besar.

(K9). Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa.

Secara rata-rata, biaya tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Utara lebih mahal

dibandingkan dengan biaya tenaga kerja di Pulau Jawa. Kondisi ini menjadi

salah satu faktor penghambat berkembangnya industri padat karya di wilayah ini.

(K10). Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah.

Eksistensi faktor penghambat seperti kurang tersedianya tenaga kerja terampil

dan murah, pasar yang relatif terbatas, keterbatasan pasokan listrik, sarana dan

Page 126: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

105 prasarana perghubungan yang kurang memadai, kurangnya daya tarik investasi,

dan faktor-faktor lainnya menjadi kendala bagi pertumbuhan jumlah dan jenis

industri baru.

(K11). Belum adanya jenis industri di tingkat lokal yang dapat dijadikan sebagai

industri jangkar. Salah satu jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar

adalah industri portland cement. Jenis industri ini biasanya akan menghasilkan

“ekses panas” yang dapat digunakan oleh industri lain disekitarnya sebagai

sebagai sumber energi untuk mengeringkan produk, misalnya. Atau, industri

tersebut dapat menggunakan abu yang dihasilkan oleh industri di sekitarnya

menjadi bahan baku aktivitas produksinya.

(K12). Pasokan energi listrik mulai terkendala. Keterbatasan pasokan energi

listrik telah menjadi fenomena di Indonesia di tahun 2009. Fenomena tersebut

juga dialami oleh masyarakat dan industri di Provinsi Sulawesi Utara pada

musim kemarau 2009. Fenomena tersebut terjadi karena kerusakan pembangkit

listrik tenaga panas bumi dan berkurangnya debit air Danau Tondano sehingga

mengurangi kemampuannya menggerakkan turbin. Kendala tersebut perlu

diantisipasi dengan cara reboisasi lahan-lahan pertanian di sekitar Danau

Tondano dan pembangkitan energi listrik menggunakan sumber-sumber energi

terbarukan.

(K13). Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil. Relatif

kecilnya pasar di wilayah ini terkait dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit.

Dengan demikian maka orientasi ekspor perlu menjadi pilihan bagi aktivitas

industri manufaktur di wilayah ini.

(B). Hubungan Konteksual Antar Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual

antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:

• V: apabila sub-elemen (1) menyebabkan sub-elemen (2), tetapi tidak

sebaliknya.

• A: apabila sub-elemen (2) menyebabkan sub-elemen (1), tetapi tidak

sebaliknya.

• X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling menjadi penyebab.

• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling menjadi

penyebab.

Page 127: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

106

Hubungan kontekstual antar sub-elemen Kendala Utama Program

dicantumkan di dalam Lampiran 6a dan Lampiran 6b.

(C). Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor

Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program di dalam Empat Sektor diperlihatkan di dalam Gambar 6.4. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa sub-

12

3

4

5

6

7

8, 9, 10

11

12, 13

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 6.4. Posisi sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor

sub elemen, yaitu: Konsep EIP belum dipahami dengan baik (K3), Dukungan

kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tida konsisten (K7),

Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5), dan

Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4), berada pada Sektor 4

(independent). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan terhadap ke-empat

kendala utama dari program tersebut akan menimbulkan multiplier effect

terhadap tercapainya penanganan kendala utama dari program lainnya.

(D). Diagram Model Struktural Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung

Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub-

elemen Kendala Utama Program, tersusun diagram model struktural Kendala

Utama Program, seperti pada Gambar 6.5. Dari gambar tersebut diketahui

bahwa terdapat lima hirarki Kendala Utama dari Program. Berdasarkan

peringkat daya dorong (driver power) maka Konsep EIP belum dipahami dengan

Sektor I

Ketergantungan

Daya Dorong

Sektor IV Sektor III

Sektor II

Page 128: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

107 baik (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur

(K5)) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu ditangani dalam

pengembangan AEIP Bitung. Sub-sub elemen Kendala Utama Program lainnya,

yaitu Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4) dan Dukungan

kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak konsisten (K7)

juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat

dibandingkan dengan sub-sub elemen kendala utama program lainnya dan

memiliki keterkaitan yang kuat satu dengan lainnya.

1 2 11

8 9 10

6 12 13

4 7

3 5

Gambar 6.5. Diagram Model Struktural Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung

(E). Elemen Kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung

Elemen-elemen kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP

Bitung adalah:

1. Konsep EIP belum dipahami dengan baik

2. Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.

6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas Untuk mengetahui Model AEIP prioritas maka dilakukan analisis dengan

menggunakan Teknik AHP. Fokus/tujuan dari struktur AHP adalah Alternatif

AEIP Bitung. Sedangkan yang menjadi kriteria penilaian terhadap alternatif

adalah ke-empat faktor-faktor penentu pengembangan AEIP yang telah

diperoleh berdasarkan hasil analisis sebelumnya (Gambar 6.6).

Page 129: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

108

Gambar 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP

Keterangan:

A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industri

(merujuk pada Model Kalundborg, Denmark)

B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi

dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan

(RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan

fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP).

C. Model AEIP dengan konsentrasi pada upaya penyediaan informasi

khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada

Model Burnside, Nova Scotia, Kanada).

D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan

dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi

tenan di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME,

Perancis).

E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas

bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan

industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus

industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow

Chemical, Jerman).

Hasil analisis terhadap data hasil penelitian (Lampiran 8) yang dilakukan

dengan menggunakan Program Decision Plus Version 3 diperlihatkan di dalam

Alternatif AEIP Bitung

Membangkitkan energi listrik dari

sumber terbarukan

Meningkatkan kerjasama

antar industri secara

sukarela

Konsep AEIP belum

dipahami dengan baik

Rencana lokasi KI

adalah lahan pertanian

subur

A C D B E

Sasaran

Kriteria

Alternatif

Page 130: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

109 Tabel 6.1. dan Gambar 6.7. Secara keseluruhan, nilai konsistensi rasio (CR)

menunjukkan bahwa jawaban dari tenaga ekspert yang disurvei adalah

meyakinkan dengan tingkat kepercayaan di atas 90%. Hasil analisis di dalam

Tabel 6.1. menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria prioritas adalah Konsep

EIP belum dipahami dengan baik dan diikuti oleh Meningkatnya kerjasama antar

industri secara sukarela.

Tabel 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP

Kriteria Penilaian

Nilai konsis-tensi ratio (CR)

Model AEIP Nilai tertim-bang dari kriteria

A B C D E Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan

0,006 0.289 0.289 0.053 0.08 0.289 0.109

Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela

0,056 0.293 0.381 0.094 0.117 0.115 0.361

Konsep AEIP belum dipahami dengan baik

0,237 0.137 0.419 0.076 0.19 0.178 0.480

Rencana lokasi Kawasan Industri adalah lahan pertanian subur

0,028 0.109 0.387 0.083 0.108 0.312 0.050

Hasil (Alternatif) 0,006 0.209 0.390 0.081 0.147 0.174 -

Diagram nilai-nilai keputusan terhadap alternatif pengembangan AEIP

diperlihatkan dalam Gambar 6.7. Diagram tersebut menunjukkan bahwa Model

AEIP (Model B) yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, ker-

Gambar 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP Bitung

jasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam,

Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber

Page 131: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

110 energi terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan Model AEIP

prioritas yang dapat dikembangkan menjadi AEIP Bitung.

Kegiatan-kegiatan berbasis agro-kompleks di dalam model prioritas di atas

membutuhkan lahan terbuka yang memiliki karakteristik alami. Dengan demikian

maka sebagian dari lahan rencana kawasan industri perlu dipertahankan sesuai

dengan kondisinya saat ini. Keberadaan lahan dengan kondisi alami tersebut

dapat berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan hidup.

6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas (A). Sub-sub Elemen Tahapan Implementasi AEIP Prioritas

Hasil identifikasi terhadap elemen-elemen yang diperlukan untuk

Implementasi AEIP Prioritas (Model B) adalah sebagai berikut (kalimat yang

ditulis dengan huruf miring):

(P1). Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau

penyertaan sebagai pemegang saham. Lahan bagi peruntukan kawasan industri

telah tersedia di Kelurahan Tanjung Merah dengan luas 98 ha yang merupakan

lahan ex-HGU yang izinnya tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah Daerah.

Lahan ini dapat diperluas menjadi sekitar 512 ha apabila dilakukan pembebasan

lahan masyarakat, atau dengan cara menyertakan pemilik sebagai pemegang

saham kawasan industri. Hal yang disebut terakhir merupakan salah satu solusi

yang dianjurkan di dalam Keppres No. 41 Tahun 1996 dan peraturan

penggantinya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan

Industri.

(P2). Penyusunan masterplan kawasan industri. AEIP Bitung akan merujuk

pada masterplan Kawasan Industri Bitung yang telah dipersiapkan oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian tahun 2009.

Namun, perlu dilakukan penyesuaian merujuk pada Lowe, EA (2001).

(P3). Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP. POKJA dibentuk untuk

mempersiapkan lahan, masterplan dan desain bangunan, sosialisasi program,

pengurusan perijinan, dan pendirian perusahan pengelola kawasan industri.

(P4). Sosialisasi AEIP. Lingkup kegiatan dalam rangka memperkenalkan konsep

AEIP serta program-program yang akan dilakukan dalam rangka penyiapan

lahan kawasan dan rekruitmen investor kawasan serta tenant.

(P5). Pendirian perusahan pengelola kawasan industri. Perusahan pengelola

merupakan salah satu komponen yang wajib dimiliki oleh Kawasan Industri.

Page 132: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

111 (P6). Perumusan tata tertib kawasan industri. Perumusan dilakukan oleh

Perusahan Pengelola. Untuk mencapai kinerja industri dan lingkungan yang

optimal maka Tata Tertib Kawasan Industri harus dijalankan dan ditaati secara

konsekuen.

(P7). Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara

sukarela. Kerjasama secara sukarela perlu mendapat penekanan utama karena

model kerjasama yang demikian yang bisa berjalan dengan baik sehingga target

yang ditetapkan dapat dicapai secara efektif.

(P8). Penyiapan sistem rekruitmen tenant. Suatu kawasan industri perlu

menetapkan jenis tenant yang menjadi prioritas untuk direkrut. Khusus untuk

wilayah Sulawesi Utara, tenant yang paling sesuai untuk direkrut adalah yang

terkait dengan perikanan laut atau kelapa. Prioritas rekruitmen perlu

mempertimbangkan trend global.

(P9). Penetapan pola harga kapling industri. Hal ini perlu dilakukan terutama

oleh Pemerintah karena harga kapling industri dinilai terlalu mahal bagi pihak

industriawan. Pemerintah perlu menetapkan berapa kali kelipatan harga kapling

industri terhadap harga lahan awal yang diizinkan untuk dikenakan kepada

tenant, sehingga dapat merangsang investasi.

(P10). Pembangunan infrastruktur kawasan industri. Infrastruktur yang memadai

merupakan faktor penentu dalam menarik investasi. Salah satu keterbatasan

Kota Bitung Bitung saat ini adalah belum adanya akses jalan bebas hambatan ke

Kota Manado, maupun yang menghubungkan rencana lokasi kawasan industri

dengan Pelabuhan Samudera Bitung. Karena tingkat kepentingannya yang

besar maka pembangunan infrastruktur perlu menjadi prioritas pembangunan,

yang dapat dilakukan dengan sistem kerjasama antar Pemerintah dan Investor.

(P11). Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.

Kekurangan pasokan energi listrik merupakan salah satu faktor penghambat

pembangunan industri di Kota Bitung. Pasokan listrik menjadi semakin

bermasalah pada musim kemarau, seperti yang terjadi pada bulan Juli-

November 2009. Musim kemarau panjang menyebabkan debit air Danau

Tondano menurun sehingga tidak dapat memasok listrik secara optimal. Kondisi

tersebut menyebabkan pemadaman listrik secara bergiliran, termasuk bagi

industri manufaktur. Permasalahan ini diduga akan terjadi setiap musim

kemarau. Oleh karena itu, pembangunan Kawasan Industri perlu didukung oleh

Page 133: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

112 pembangkitan listrik dengan sumber energi terbarukan seperti angin, surya, dan

arus laut. Kota Bitung memiliki ketiga potensi alam tersebut.

(P12). Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat. Pengolahan limbah cair

secara terpusat akan berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan secara

siknifikan. Salah satu contoh kawasan industri yang telah menerapkan metode

ini adalah PT. Kawasan Industri Makassar. Air limbah organik diolah secara

tersentral di Pusat Pengolahan Limbah Cair, untuk selanjutnya dibuang ke badan

air penerima. Air buangan yang tercampur dengan air kali selanjutnya

digunakan oleh masyarakat untuk budidaya tambak. Penggunaan air buangan

secara terus-menerus oleh petani merupakan bukti bahwa pengolahan air limbah

telah dilakukan dengan baik sehingga memenuhi baku mutu limbah cair.

(P13). Pembangunan fasilitas daur ulang. Fasilitas daur ulang perlu dibangun

untuk mengolah limbah padat yang dihasilkan oleh industri, seperti plastik,

stirofoam, kertas, dll.

(P14). Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk. Adanya fasilitas

pusat penyimpanan produk (gudang maupun cold storage) akan sangat

menguntungkan bagi tenant. Cold stortage dengan kapasitas besar akan sangat

bermanfaat terutama pada saat puncak musim panen ikan laut. Pembangunan

fasilitas ini oleh masing-masing industri tidak menguntungkan.

(P15). Pembangunan perumahan karyawan. Pembangunan perumahan bagi

karyawan akan menguntungkan dalam hal ketepatan waktu kerja dan

mengurangi biaya ekonomi dan sosial dari lalu lalang orang.

(P16). Pembangunan klinik kesehatan. Pembangunan pusat klinik kesehatan

akan bermanfaat bagi pemeliharaan kesehatan karyawan dan keluarganya.

(P17). Pembangunan fasilitas riset. Adanya fasilitas riset di dalam kawasan

industri akan berguna dalam melakukan penelitian-penelitian terapan yang

secara langsung menyentuh kebutuhan industri. Aktivitas pusat riset ini dapat

dikembangkan melalui kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Riset

di daerah.

(P18). Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa. Fasilitas perbaikan dan

rekayasa diperlukan untuk mendukung secara langsung aktivitas industri.

(P19). Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian. Fasilitas laboratorium

pengujian saat ini semakin diperlukan mengingat semakin ketatnya standar

Page 134: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

113 kualitas produk yang diberlakukan oleh konsumen, terutama konsumen di Luar

Negeri.

(P20). Pembangunan fasilitas training. Fasilitas training diperlukan sebagai

tempat pelatihan dan pengembangan kemampuan SDM.

(P21). Pembangunan pusat promosi dan bisnis. Setiap kawasan industri

memerlukan fasilitas promosi dan bisnis. Promosi perlu dilakukan untuk

memperkenalkan kawasan industri dan produk-produk yang dihasilkan.

Kegiatan bisnis diperlukan untuk memasarkan produk industri dan juga sebagai

sarana pendukung aktivitas industri manufaktur.

(P22). Penyiapan sistem transportasi bersama. Sistem transportasi bersama

akan berkontribusi pada pengurangan biaya ekonomi dan sosial lalu lalang

orang, termasuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.

(P23). Penyusunan Program CSR. Program-program tanggung jawab sosial

masyarakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak

pelaku industri. Penerapan program ini secara baik akan mendapatkan umpan

balik positif dari masyarakat.

(B). Hubungan Kontekstual Implementasi AEIP Prioritas

Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual

antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:

• V: apabila sub-elemen (1) mendukung sub-elemen (2), tetapi tidak

sebaliknya.

• A: apabila sub-elemen (2) mendukung sub-elemen (1), tetapi tidak

sebaliknya.

• X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mendukung.

• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mendukung.

Hubungan kontekstual antar sub-elemen dari Implementasl AEIP Bitung

Prioritas dicantumkan di dalam 7a dan Lampiran7b.

(C). Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di dalam Empat Sektor Posisi sub-elemen plot ke dalam empat sektor dari Implementasi AEIP

Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Struktur sub-elemen dari

Implementasi AEIP Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Dari gambar

Page 135: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

114

1

2

34

5

67, 8

910

11

12, 14

13, 17, 18, 19, 20, 21

1516

2223

0123456789

1011121314151617181920

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Gambar 6.8. Posisi Sub-elemen Program Pengembangan AEIP Prioritas dalam Empat Sektor

tersebut diketahui bahwa sub-sub elemen, yaitu: Pendirian perusahan pengelola

kawasan industri (P5), Penyusunan masterplan kawasan industri (P2),

Perumusan tata tertib kawasan industri P6), Pembangunan pembangkit listrik

dengan sumber energi terbarukan (P11), Perumusan sistem kerjasama

pertukaran materi dan limbah secara sukarela (P7), dan Penyiapan sistem

rekruitmen tenan (P8), berada pada Sektor IV (independent). Hal ini

menunjukkan pencapaian ke-lima program tersebut akan menimbulkan multiplier

effect terhadap pencapaian program lainnya.

(D). Diagram Model Struktural Elemen Implementasi AEIP Prioritas

Berdasarkan daya dorong dan ketergantungan masing-masing sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas, tersusun diagram model struktural, seperti terlihat

pada Gambar 6.9. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa terdapat sembilan

hirarki Implementasi AEIP Prioritas. Berdasarkan peringkat daya dorong (driver

power) maka Penyusunan masterplan kawasan industri (P2), dan Pembentukan

POKJA Pengembangan AEIP (P3) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu

dijadikan sebagai patokan dalam Implementasi AEIP Prioritas. Sub-elemen

program lainnya, yaitu Sosialisasi AEIP (P4) juga perlu diperhatikan karena

memiliki daya dorong yang lebih kuat dibandingkan dengan sub-elemen program

lainnya.

Daya Dorong

Ketergantungan

Sektor IV

Sektor I Sektor II

Sektor III

Page 136: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

115

12 14 15

16

23

13 17 18 19 20 21 22

7 8 10 11

6 9

1 5

4

2 3

Gambar 6.9. Diagram Model Struktural elemen Implementasi AEIP Prioritas

(E). Elemen Kunci dari Implementasi AEIP Prioritas

Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari program

Implementasi AEIP Prioritas adalah:

1. Penyusunan masterplan kawasan industri.

2. Pembentukan POKJA pengembangan AEIP Bitung.

Hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa model prioritas

adalah Model AEIP yang terdiri atas aktivitas industri manufaktur yang didukung

oleh kegiatan-kegiatan pertukaran material dan limbah, industri agro-kompleks

seperti penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan

pengolahan limbah cair, dan fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan.

Pembahasan selanjutnya mengenai Perancangan Model Dinamik AEIP Bitung

merupakan penjabaran dari model ini.

(F). Tahapan Pelaksanaan Implementasi AEIP Prioritas

Berdasarkan hasil analisis terhadap sub-sub elemen Implementasi AEIP

Prioritas maka urutan tahapan program yang perlu dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Penyusunan masterplan kawasan industri.

2. Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP.

Page 137: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

116 3. Sosialisasi AEIP.

4. Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau

penyertaan sebagai pemegang saham.

5. Pendirian perusahan pengelola kawasan industri.

6. Perumusan tata tertib kawasan industri.

7. Penetapan pola harga kapling industri.

8. Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela.

9. Penyiapan sistem rekruitmen tenant.

10. Pembangunan infrastruktur kawasan industri.

11. Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.

12. Pembangunan fasilitas daur ulang.

13. Pembangunan fasilitas riset.

14. Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa.

15. Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian.

16. Pembangunan fasilitas training.

17. Pembangunan pusat promosi dan bisnis.

18. Penyiapan sistem transportasi bersama.

19. Penyusunan Program CSR.

20. Pembangunan klinik kesehatan.

21. Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat.

22. Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk.

23. Pembangunan perumahan karyawan.

6.1.4. Rangkuman

Rangkuman dari hasil bahasan di atas adalah sebagai berikut:

1. Sub-sub elemen kunci Tujuan Pengembangan AEIP adalah: (a)

Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan, (b) Meningkatkan

kerjasama antar industri secara sukarela.

2. Sub-sub elemen kunci Kendala Utama Pengembangan AEIP adalah: (a)

Konsep AEIP belum dipahami dengan baik, (b) Rencana lokasi kawasan

industri adalah lahan pertanian subur.

3. Hasil analisis menunjukkan bahwa Model AEIP yang meliputi kegiatan-

kegiatan: industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah,

penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH),

pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan fasilitas

Page 138: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

117

pengolahan limbah cair merupakan alternatif model AEIP prioritas yang

dapat dikembangkan di Kota Bitung.

4. Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari Implementasi

AEIP Prioritas adalah: (a) Penyusunan masterplan kawasan industri, (b)

Pembentukan POKJA pengembangan AEIP.

6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan AEIP Bitung

6.2.1. Penyusunan Model Dinamik Model dinamik Pengembangan AEIP Bitung disusun dengan

mempertimbangkan kondisi pasokan bahan baku, kondisi aktual industri

manufaktur, persepsi masyarakat terhadap aktivitas industri manufaktur, pola

keterkaitan antar industri, kondisi lingkungan, dan tahapan Implementasi AEIP

Prioritas. Dalam membangun model, parameter-parameter tersebut di atas

didekati dengan variabel-variabel, yaitu: limbah cair dan bahan ikutan, bahan

baku, jumlah industri manufaktur/industri agro, tenaga kerja, nilai produksi, dan

pembangkitan energi terbarukan. Penerapan prinsip-prinsip ekologi industri

dilakukan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara industri

(simbiosis) dan pola jaringan tertutup (closed loop), seperti di dalam Gambar

6.10.

Model dibangun dengan asumsi bahwa bahan baku, baik perikanan laut

maupun kelapa, tersedia secara lokal dan atau tersedia melalui pasokan impor

dari lokasi/daerah lain, dan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah yang

menjamin pasokan bahan baku (misalnya melalui penegakan hukum terhadap

penjualan ikan di tengah laut secara ilegal dan atau pemberantasan praktek

illegal fishing).

Model dibangun dengan mempertimbangkan “kawasan” sebagai faktor

pembatas sehingga yang menjadi komponen penyusun aliran informasi dalam

setiap “flow” adalah jumlah industri, kapasitas produksi, dan akumulasi produksi.

Dengan demikian maka kebutuhan bahan baku dalam model ini diketahui

melalui pendekatan produksi.

Page 139: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

118

IndustriBerbasis

Perikanan Laut IndustriBerbasisKelapa

LimbahPadat

LimbahCair

BahanIkutan

TPA

kaleng

ProdHortikultura

Minyakkedelai

PusatPengolahanLimbah Cair

IndustriBiodiesel

IndustriNata de

CocoInd Pakan Pengara

Tempu

INPUTLINGKUNGAN

AGRO-EIP

PenyerapanTK

Pembangkit Tenaga Su

Pembangkit Tenaga An

PenggemukanSapi

PeternakanAyam

ProdukIndustriKelapa

Produk IndustriPerikanan Laut

NilaiProduksi

ArmadaPenangkap

Ikan

PengomposanBhn Organik

Taman/RTH

PusatPenyimpanan

dingin

RPH

IndVCO

Industturunakelapalainnya

Gambar 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung

Keterangan: Struktur Model AEIP Bitungterdiri atas variabel-variabel yang terdapat di dalam kotak dengan garis terputus, sedangkan variabel-variabel di luarnya merupakan input lingkungan.

Page 140: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

119 Berdasarkan hasil analisis terhadap status industri manufaktur/agro yang

meliputi kinerja industri agro, persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas

industri agro, pola keterkaitan antar industri, dan model alternatif prioritas, maka

disusun Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung (AEIP Bitung),

Provinsi Sulawesi Utara yang disingkat MP-AEIP Bitung. Model tersebut terdiri

atas sub-sub model, yaitu: (1) Sub-model Industri Berbasis Perikanan Laut, (2)

Sub-model Industri Berbasis Kelapa, (3) Sub-model Industri Agro-Kompleks, dan

(4) Sub-model Sumber Energi Terbarukan (5) Sub-Model Limbah dan Bahan

Ikutan (Gambar 6.13 s/d Gambar 6.20.). Struktur Model MP-AEIP Bitung

disajikan di dalam Lampiran 10, sedangkan Koefisien dan Persamaan masing-

masing variabel disajikan di dalam Lampiran 12.

Di dalam model ini, kegiatan-kegiatan industri seperti peternakan ayam,

penggemukan sapi, pengomposan, dan pengarangan tempurung, secara

optional dapat terletak di sekitar atau di luar kawasan AEIP Bitung, tapi secara

legal formal menjadi bagian dari AEIP Bitung. Tujuan utama dibangunnya model

adalah untuk menunjukkan output berkaitan dengan waktu dari Kawasan AEIP

Bitung, baik dalam bentuk Nilai Produksi, Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja, dan

Pengelolaan Lingkungan khususnya terhadap penurunan limbah industri dan

peningkatan penggunaan bahan ikutan perikanan laut dan kelapa.

Data dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan Sub-Model Industri

Berbasis Perikanan Laut diperlihatkan dalam Tabel 6.2. Penjumlahan dari semua

Kebutuhan Bahan Baku dari semua jenis industri berbasis Perikanan Laut

memberikan informasi mengenai Kebutuhan Bahan Baku (Ikan Segar) dari AEIP

Bitung. Kebutuhan bahan baku tersebut selanjutnya dibandingkan dengan

Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara. Apabila nilainya adalah positif

maka terdapat peluang untuk mengekspor, sebaliknya bila nilainya adalah

negatif maka untuk memenuhi kebutuhan industri perlu dilakukan upaya pasokan

bahan baku melalui import dari daerah lain, khususnya dari wilayah Indonesia

Bagian Timur.

Page 141: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

120 Tabel 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam

Pemodelan

No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan

1 Rendemen dari ikan segar (%) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Ikan Asap

0,6 0,6 0,2 0,6

Pajow (2009)

Industri Besar Ind Besar, Sedang, Kecil Industri Besar Industri Kecil

1) Idem Idem Idem

2 Rendemen Tepung Ikan dari ikan segar,%

0,15 Data Prediksi Diturunkan dari data bahwa berat bersih ikan (fillet) adalah 60% dr berat ikan segar (dengan kadar air 60%), kemudian dikeringkan menjadi tepung dengan kadar air 10%.

2 Kapasitas Produksi (kg/unit/hari) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Tepung Ikan

9.585 5.838 14.771 4.054

Disperindag Kota Bitung (2008)

- Total produksi dibagi jumlah industri per hari (jumlah hari dalam setahun: 360 HOK)

- Total 5 unit usaha existing - Total 20 unit usaha existing - Total 5 unit usaha existing - Total 2 unit usaha existing

3 Harga Produk (Rp/kg): - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Asap - Ikan Kayu - Tepung Ikan

15000 12000 12500 25000 6.250

Pajow (2009)

1)

Idem Idem Idem Idem

4 Isi Ikan per Kaleng (kg) 1,298 PT. Deho Canning Co. (2009)

Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch

5 Air Tawar (kg) 0,386 PT. Deho Canning Co. (2009)

Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch

6 Minyak Kedelai (kg) 0,325 PT. Deho Canning Co. (2009)

Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch

7 Air Garam (kg) 0,0035 PT. Deho Canning Co. (2009)

Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch dengan prediksi konsentrasi garam sebanyak 2%.

8 Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut (kg)

181.451.000 Sulut Dalam Angka 2008

Y = -0,845x6 + 31,526x5 – 388,76x4 + 1355,8x3 + 4960,6x2 - 21270x + 127195 R2

9 = 0,9422

Rasio Tenaga Kerja IB 13.349 kg/ TK/Thn

Dinas Perindag Kota Bitung (2008)

-

Keterangan: 1)

Grafik produksi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007

diperlihatkan di dalam Gambar 6.11. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui

bahwa persamaan fungsi produksi perikanan laut adalah Y= -0,845x

Komunikasi pribadi (2009).

6+31,526x5-

388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefisien determinasi (R2)

Page 142: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

121 adalah 0,9422. Grafik menunjukkan bahwa produksi perikanan laut di Provinsi

Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan

penurunan produksi secara gradual.

Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007

y = -0.845x6 + 31.526x5 - 388.76x4 + 1355.8x3 + 4960.6x2 - 21270x + 127195

R2 = 0.9422

0

50000

100000

150000

200000

250000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Tahun

Prod

uksi

(ton

)

Series1Poly. (Series1)

Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.

Gambar 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007

Grafik produksi kelapa (setara kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-

2007 disajikan dalam Gambar 6.12. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui

bahwa persamaan fungsi produksi kelapa adalah Y=-1,1229x6 +54,399x5-

981,5x4+8275,5x3-4621x2+68849x+251736 dengan nilai koefisien determinasi

(R2) adalah 0,801. Grafik menunjukkan bahwa produksi kelapa di Provinsi

Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan

penurunan produksi secara gradual.

Pembangunan jenis-jenis industri dan kegiatan lainnya di AEIP Bitung

dilakukan secara bertahap, sebagaimana yang diperlihatkan di dalam Tabel 6.3.

Waktu keseluruhan pembangunan diasumsikan selama 15 tahun dengan

beberapa pertimbangan, yaitu: lama waktu realisasi investasi, ketersediaan

bahan baku, selesai dibangunnya dan beroperasinya industri pemasok bahan

baku, ketersediaan pasar, dan faktor lainnya.

Page 143: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

122

Produksi Kelapa (Setara Kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007

y = -1.1229x6 + 54.399x5 - 981.5x4 + 8275.5x3 - 34621x2 + 68849x + 251736

R2 = 0.801

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Tahun

Prod

uksi

(ton

)

Series1Poly. (Series1)Poly. (Series1)

Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.

Gambar 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007

6.2.1.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut

Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut terdiri atas Produksi Ikan

Kaleng; Ikan Beku, Ikan Kayu, Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak.

“Flow” dari ikan kaleng, ikan beku, dan ikan asap terdiri atas jumlah industri,

kapasitas produksi setiap unit industri, pertumbuhan produksi, dan akumulasi

produk. Sedangkan ”flow” dari ikan asap, tepung ikan, dan pakan ternak terdiri

atas tambahan industri, pertumbuhan industri, dan jumlah industri, yang mana

informasi jumlah industri tersebut bersama-sama dengan kapasitas produksi

industri menentukan pertumbuhan produksi, yang akhirnya menentukan

akumulasi (level) dari produksi. Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan

pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis produk industri

tertentu dilakukan secara bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai

lima belas tahun. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan

dalam bentuk Fungsi DELAYPPL, IF, dan PULSE.

Page 144: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

123

Tabel 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP Bitung

No Jenis Industri Tahun Pembangunan (20..) Jumlah (Unit) 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

1 Ikan Kaleng x 1 2 Ikan Beku x 1 3 Ikan Kayu x 1 4 Minyak Kelapa x 1 5 Kelapa Parut

Kering (KPK) x 1

6 Arang Aktif x 1 7 Ikan Asap x x x x 4 8 Tepung Ikan xx xx 4 9 Pakan Ternak xx

x xx

x 6

10 Minyak Kelapa dari Paring

x x x x 4

11 Biodiesel x 1 12 VCO x x x x 4 13 Arang Tempurung x x x x 4 14 Nata de Coco x x x x x 5 15 Coco Vinegar x x x x x x 6 16 Kecap Kelapa x x x x x x 6 17 Minuman Ringan x x x 3 18 Santan x x 2 19 Bahan Kosmetik x x 2 20 Peternakan Ayam x 1 21 Penggemukan Sapi x 1 22 RPH x 1 23 Pengomposan x x 2 24 Pembangkit Listrik

Tenaga Angin x 1

25 Pembangkit Listrik Tenaga Surya

x 1

Jumlah 64

Produksi Ikan Kaleng, Ikan Beku, dan Ikan Kayu dalam sub-model Industri

Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai

berikut:

PPpl = KPpl*JIpl PIpl = PPpl *Waktu

Dimana: PPpl = Pertumbuhan produksi Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau

Ikan Kayu (kg/hari) PIpl = Produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu

(kg) KPpl = Kapasitas produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau

Ikan Kayu (kg/unit/hari). JIpl

Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing

industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:

= Jumlah industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (unit).

Page 145: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

124 Nilai Produksipl = Produksipl*Harga Produk Industripl

Dimana: pl = jenis-jenis industri perikanan laut

Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg

Produksi Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak dalam sub-model

Industri Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik

sebagai berikut:

Pertumbuhan Indpl = PULSE(Tambahan Industripl, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)

Dimana:

Pertumbuhan Indpl = pertumbuhan industri perikanan laut.

STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)

Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)

Tambahan Jlh Indpl = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industripl <<hari>>, penambahan jumlah Industripl <<unit>>, 0<<unit>> )

Dimana: Tambahan Jlh Indpl = tambahan jumlah industri perikanan laut

Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri

akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran masa dari

setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing

produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah

bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri

tertentu dalam berat tertentu.

Kebutuhan Bahan Bakupl = 1/(Produksipl*Rendemenx)

Dimana: Kebutuhan Bahan Bakupl = kg Rendemenpl

= % (angka pecahan positif).

Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut

di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis

Perikanan Laut, seperti Gambar 6.15.

Page 146: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

125 6.2.1.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa

Sub-Model Industri Berbasis Kelapa terdiri atas Produksi Minyak Kelapa;

Kelapa Parut Kering (KPK), Arang Aktif, Biodiesel, Arang Tempurung, VCO,

Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan

Kosmetik, dan Santan. Aliran masa dari produksi Minyak Kelapa, KPK, dan

Arang Aktif terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri,

pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Aliran masa dari Biodiesel, Arang

Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman

Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan terdiri atas: Tambahan Industri,

Pertumbuhan Industri, Jumlah Industri, Kapasitas Produksi, Pertumbuhan

Produksi, dan Akumulasi Produksi.

Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan pasokan bahan baku maka

pembangunan industri untuk jenis produk industri tertentu dilakukan secara

bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai lima belas tahun. Dalam

model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya

DELAYPPL , IF, dan PULSE.

Produksi Minyak Kelapa, KPK, dan Arang Aktif dalam sub-model Industri

Berbasis Kelapa dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:

PPk = KPk*JIk PIk = PPk *Waktu

Dimana:

PPk= Pertumbuhan produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/hari)

PIk = Produksi industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg)

KPk = Kapasitas produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/unit/hari).

JIk = Jumlah industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (unit).

Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing

industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:

Nilai Produksik = Produksik*Harga Produk Industrik

Dimana: k = jenis-jenis industri berbasis kelapa

Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg

Page 147: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

126

Produksi Biodiesel, Arang Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco

Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan dalam

sub-model Industri Berbasis Kelapa dibangun berdasarkan persamaan

matematik sebagai berikut:

Pertumbuhan Indk = PULSE(Tambahan Industrik, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)

Dimana:

k = jenis-jenis industri berbasis kelapa.

Pertumbuhan Indk = pertumbuhan industri kelapa.

STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)

Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)

Tambahan Jlh Indk = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industrik <<hari>>, penambahan jumlah Industrik <<unit>>, 0<<unit>> )

Dimana:

Tambahan Jlh Indk = tambahan jumlah industri kelapa.

Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri

akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari

setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing

produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah

bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri

tertentu dalam berat tertentu.

Kebutuhan Bahan Bakuk = 1/(Produksik*Rendemenk)

Dimana: Kebutuhan Bahan Bakuk = kg Rendemenk = % (angka pecahan positif).

Data dasar yang digunakan dalam penyusunan model industri berbasis

kelapa adalah seperti pada Tabel 6.4. Dinamika yang terbentuk sebagai hasil

integrasi berbagai elemen tersebut di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir

Sub-Model Industri Berbasis Kelapa (Gambar 6.16.).

Page 148: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

127 Tabel 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam

Pemodelan No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan 1 Potensi Kelapa

(Setara Kopra) Provinsi Sulut

229.613.000 (kg)

Sulut Dalam Angka 2008

Y= -1,1229x6 + 54,399x5-981,5x4 + 8275,5x3 - 4621x2 + 68849x + 251736 R2 = 0,801

2 Rasio Tenaga Kerja IB

199.500 kg produk kelapa/TK/ tahun

Dinas Perindag Kota Bitung (2008)

Rasio diperoleh dengan membandingkan kapasitas produksi total dengan jumlah tenaga kerja

3 Rendemen: Arang aktif 75% PT. Mapalus

Makawanua (2009) Terhadap arang tempurung

Arang Tempurung

30% Patandung (2009) Terhadap batok kelapa 1)

Biodiesel 90% Wikipedia (2010) Terhadap minyak kelapa Bungkil Kopra 58,4% Dinas Perindag Kota

Bitung (2008) Terhadap kopra

KPK 20% Pojoh dkk. (2000) Terhadap kelapa segar Bahan Kosmetik 20% Data prediksi

dibandingkan dengan rendemen minyak kelapa

Terhadap kelapa segar

Minyak Kelapa 60% Dinas Perindag Kota Bitung (2008)

Terhadap kopra

Minyak dari Paring

25% Lumingkewas (2009) Terhadap paring 2)

Paring dari KPK 25% Pojoh dkk. (2000) Terhadap kelapa segar Santan 30% Lumingkewas (2009) Terhadap kelapa segar 2) VCO 15% Lumingkewas (2009) Terhadap kelapa segar 2)

Keterangan: 1) 2)

Aliran masa dari Industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan

Rumah Potong Hewan (RPH) dalam Sub-Model Agro-Kompleks dibangun

berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:

Komunikasi Pribadi (2009).

6.2.1.3. Sub-Model Industri Agro-Kompleks

Sub-Model Industri Agro-Kompleks terdiri atas Penggemukan Sapi;

Peternakan Ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan Pengomposan. Aliran

masa industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan Rumah Potong

Hewan (RPH) terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri,

pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Untuk mengantisipasi adanya

keterbatasan pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis ini

dilakukan secara bertahap. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut

dinyatakan dalam bentuk adanya “DELAYPPL.”

Page 149: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

128

Prod Ikan Kaleng

Prod Ikan Beku

PProd Ikan Kaleng

PProd Ikan Beku

Prod Ikan Kayu

PProd Ikan Kayu

Kebut Ikan SegarAgro-EIP

KP Ikan Kaleng

Jlh Ind Ikan Kaleng

Jlh Ind Ikan Beku

KP Ikan Beku

Kebut Kaleng

Isi per KalengKebut Minyak kedelaiMinyak Kedelai perkaleng

BB Ikan Kaleng

BB Ikan Beku

BB Ikan Asap

Bahan Baku Ikan Kayu

Rend Ikan Kaleng

Rendemen Ikan BekuRendemen IkanAsap

Rendemen Ikan Kayu

NP Pakan Ternak

Harga Pakan

Harga Ikan Kaleng

NP Ikan Kaleng

Harga Ikan BekuNP Ikan Beku

Harga Ik Asap

NP Ikan Asap

Harga Ikan Kayu

NP Ikan Kayu

Prod Ind Tepung Ikan

PProd Tepung Ikan

KP Ind Tepung Ikan

NP Ind Tepung Ikan

Harga Tepung Ikan

Potensi PerikananLaut Provinsi

Sulawesi Utara

Kebut Total Ikan Segar

Eksport Ikan SegarSecara Langsung

Import Ikan Segardari Luar Sulut

Kebut Air TawarPengisi Ikan KalengAir Tawar per

Kaleng

Kebut Garam

Garam per Kaleng

Kebut Eksisting dariInd Perikanan Laut

Rendemen Rata-rata Ind Perikanan

Laut

Prod Eksisting IndPerikanan Laut

Jlh Ind Ikan Asap

Tambahan Ind IkanAsap

KP Ikan Asap

Pertmb Ind IkanAsap

Prod Ind Ikan Asap

PProd Ikan Asap

Prod Pakan Ternak

PProd Pakan Ternak

Jlh Ind Pakan Ternak

Pertmb Ind PakanTernak

Jlh Ind Tepung Ikan

Pertmb Ind TepungIkan

Tambahan Jlh IndTepung Ikan

Jlh TK Ind Ikan Asap

Jlh TK per Ind IkanAsap

Jlh TK Ind TepungIkan

Jlh TK per IndTepung Ikan

N B

Gambar 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut

Page 150: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

129

Gambar 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa

Page 151: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

130

Gambar 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks

Page 152: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

131

Gambar 6.16. Sub-Model Sumber Energi Terbarukan Gambar 6.17. Luasan Lahan yang Dibutuhkan

Page 153: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

132

Gambar 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan

Page 154: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

133

Gambar 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja Gambar 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi AEIP Bitung

.

Page 155: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

134

PPak = KPak*JIak PIak = PPak *Waktu

Dimana:

PPak= Pertumbuhan produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor/hari)

PIak = Produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor) KPak = Kapasitas produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (kg/unit/hari).

JIak = Jumlah industri penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (unit).

Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing

industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:

Nilai Produksiak = Produksiak*Harga Produk Industriak

Dimana: ak = jenis-jenis industri agro kompleks Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg

Produksi Kompos dalam Sub-model Industri Agro-Kompleks dibangun

berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:

Pertumbuhan Indak = PULSE(Tambahan Industriak, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)

Dimana:

Pertumbuhan Indak = pertumbuhan industri agro-kompleks.

STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)

Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)

Tambahan Jlh Indak = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industriak <<hari>>, penambahan jumlah Industriak <<unit>>, 0<<unit>> )

Dimana:

Tambahan Jlh Indak = tambahan jumlah industri agro-kompleks

Page 156: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

135

Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri

akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari

setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing

produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah

bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan produk dari jenis industri

tertentu dalam berat tertentu.

Kebutuhan Bahan Bakuak= 1/(Produksiak*Rendemenn)

Dimana: Kebutuhan Bahan Bakuak = kg

Rendemenak

No

= % (angka pecahan positif).

Data dasar yang digunakan dalam penyusunan Sub-model Industri Agro-

Kompleks adalah seperti pada Tabel 6.5.

Tabel 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Pemodelan

Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan Rendemen 1 Kompos 75% Data asumsi Terhadap feces, urine

dan darah ikan 2 Urine sapi 5 ltr/ekor/hari Suharyanto dan

Rinaldy (2009) -

3 Air cuci kandang 25 ltr/ekor/hari Data asumsi - 4 Feces ternak sapi 10 kg/ekor/hari Nugroho (2008) - 5 Feces ayam 0,01 kg/ekor/hari Suharyanto dan

Rinaldy (2009) -

Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut di

atas direpresentasikan dalam Diagram alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks

(Gambar 6.15.).

6.2.1.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan

Sub-model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan dibangun

berdasarkan hasil kajian mengenai potensi sumber energi terbarukan dan

keterkaitan beberapa elemen. Struktur Sub-Model adalah seperti pada Gambar

6.16., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam

Lampiran12.

Dalam Sub-Model ini, pembangunan kedua jenis pembangkit listrik ini

dilakukan pada tahun ke-sebelas setelah kawasan industri dibangun. Dalam

model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya

DELAYPPL.

Page 157: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

136

Potensi sumber energi terbarukan terdiri atas tenaga angin dan radiasi

matahari yang diprediksi secara kumulatif menggunakan data dasar rata-rata

tahunan menjadi tenaga alam, total produksi listrik, serta nilai produksi listrik.

Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Pembangkit Listrik Energi

Terbarukan disajikan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan No Peubah Data Dasar Sumber Data Ket 1 Intensitas radiasi

matahari (w/m2800

) Rostyono, 1988 -

2 Konversi tenaga angin 4000 w/knots Rostyono, 1988 - 3 Simpul angin 5 1) Data asumsi - 4 Kecepatan angin rata-rata 19,85 knots BPS Bitung (2008) - 5 Lama Penyinaran 64,5% BPS Bitung (2008) -

Ket: 1)Tempat pemusatan angin yang berpotensi menggerakkan turbin

Sub-Model Sumber Energi Terbarukan dibangun berdasarkan persamaan

matematik sebagai berikut:

TA = KA*KTA*JSA

Dimana:

TA = Tenaga angin KA = Kecepatan angin KTA = Konversi Tenaga Angin JSA = Jumlah simpul angin

TM = LP*IRM

Dimana:

TM = Tenaga matahari LP = Lama penyinaran IRM = Intensitas radiasi matahari

6.2.1.5. Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan

Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan salah satu pokok

perhatian di dalam MP-AEIP Bitung, karena tujuan dari model ini adalah untuk

meningkatkan nilai tambah dari bahan ikutan dan limbah dengan cara

memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan

tersebut berpotensi menguntungkan dari sisi ekonomi dan dari sisi berkurangnya

beban limbah yang harus diolah. Berkurangnya beban limbah yang harus diolah

berarti menurunkan biaya perlakuan terhadap limbah serta mengurangi biaya

lingkungan dan sosial dari limbah cair industri.

Page 158: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

137 Limbah dan Bahan Ikutan yang dihasilkan oleh semua jenis industri adalah:

limbah air cucian bahan baku serta alat dan mesin, darah ikan, darah ternak,

urine, feces ternak, dan air pemasakan ikan. Bahan ikutan yang dihasilkan oleh

semua jenis industri adalah: air kelapa, tempurung kelapa, paring kelapa, kepala

ikan, sirip, ekor, daging coklat, dan isi perut.

Dari keseluruhan limbah dan bahan ikutan tersebut di atas, hanya limbah

air cucian bahan baku serta alat dan mesin saja yang belum diolah lebih lanjut

menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis. Di dalam AEIP Bitung, limbah air

cucian ini dikumpulkan secara terpusat dan diolah di Pusat Pengolahan Limbah

Cair Terpusat, yang selanjutnya dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan oleh

petani tambak ikan.

Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan kesatuan yang utuh

dengan sub-model lainnya. Parameter-parameter penyusun sub-model ini

adalah:

1. Limbah Padat Industri = Merupakan penjumlahan dari limbah padat semua

jenis industri.

2. Air Cucian Alat dan Mesin= Merupakan penjumlahan dari semua air cucian

alat dan mesin dari semua jenis industri

3. Limbah Cair Ikan= Merupakan hasil perkalian dari jumlah ikan segar yang

dibutuhkan dengan pemakaian air bersih dari industri perikanan laut.

4. Bahan Ikutan Air Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah air kelapa

per butir kelapa segar dengan jumlah kelapa segar yang dibutuhkan.

5. Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut= Merupakan hasil perkalian dari

kebutuhan bahan ikutan dengan rendemen bahan ikutan ikan.

6. Paring Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah kelapa segar yang

dibutuhkan dengan rendemen paring kelapa dalam industri KPK.

7. Tempurung Kelapa= Merupakan perkalian antara jumlah kelapa segar yang

dibutuhkan dengan rendemen tempurung kelapa.

8. Limbah Cair Industri Total= Merupakan hasil penjumlahan dari limbah cair

industri kelapa, industri perikanan laut, dan industri agro-kompleks.

Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan

disajikan pada Tabel 6.7.

Page 159: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

138

Tabel 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan 1 Kandungan darah ikan 1% Data asumsi Terhadap berat

ikan segar 2 Konversi limbah padat

industri berbasis kelapa 5000kg/m Data asumsi 3 -

3 Konversi limbah padat industri berbasis perikanan laut

1500kg/m Data asumsi 3 -

4 Konversi limbah padat industri agro-kompleks

1500kg/m Data asumsi 3 -

5 Konversi ternak sapi potong ke ternak ayam potong

50 ekor ayam/1 ekor sapi

Data asumsi Dari sisi tingkat kesulitan pemotongan ternak

6 Faktor air cucian Ind KPK 2 ltr/kg kelapa Data asumsi - 7 Faktor air cucian Ind

lainnya 0.1 ltr/kg bahan

-

Struktur Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan adalah seperti pada Gambar

6.18., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam

Lampiran 12.

6.2.1.6. Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan Tenaga Kerja merupakan satu kesatuan dengan parameter-

parameter lainnya dari Model AEIP Bitung. Dengan demikian, penyerapan

tenaga kerja merupakan penjumlahan dari tenaga kerja masing-masing jenis

industri yang terdapat di dalam AEIP Bitung.

Salah satu komponen penting dari Parameter Penyerapan Tenaga Kerja

adalah Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%.

Datum persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar

industri eksisting berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan.

Berdasarkan datum ini maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤

23,64% maka jumlah penyerapan tenaga kerja merupakan gabungan dari:

'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Asap'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak.

Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka jumlah penyerapan

tenaga kerja merupakan gabungan dari:

Page 160: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

139

'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Nata'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Penggemukan Sapi'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Peternakan Ayam'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri VCO'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Tempurung'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Biodiesel'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak dari Paring'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minuman Ringan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Coco Vinegar'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Kecap Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Bhn Kosmetik'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Santan.'

Diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung diperlihatkan

dalam Gambar 6.19. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari

jenis-jenis industri, maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap

penyerapan tenaga kerja. Di dalam diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja,

pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk Fungsi Delay, yang secara visual

terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link” yang menghubungkan ”auxiliary,”

dan Fungsi IF dan PULSE.

6.2.1.7. Nilai Produksi AEIP Bitung

Nilai Produksi merupakan satu kesatuan dengan parameter-parameter

lainnya dari Model AEIP Bitung. Dengan demikian, Nilai Produksi merupakan

penjumlahan dari nilai produksi masing-masing jenis industri yang terdapat di

dalam AEIP Bitung.

Salah satu komponen penting dari Parameter Nilai Produksi adalah

Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%. Datum

persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar industri

berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan. Berdasarkan datum ini

maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤ 23,64% maka jumlah Nilai

Produksi merupakan gabungan dari:

'Nilai Produksi Arang Aktif'+' Nilai Produksi Industri Ikan Asap'+' Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+' Nilai Produksi Industri KPK'+' Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+' Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+' Nilai Produksi Industri Pakan Ternak

Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka Nilai Produksi

merupakan gabungan dari:

Page 161: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

140

”Nilai Produksi Industri Arang Aktif'+''Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+''Nilai Produksi Industri KPK'+''Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Nata'+''Nilai Produksi Industri Penggemukan Sapi'+''Nilai Produksi Industri Peternakan Ayam'+''Nilai Produksi Industri Pakan Ternak'+''Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+''Nilai Produksi Industri VCO'+''Nilai Produksi Industri Arang Tempurung'+''Nilai Produksi Industri Biodiesel'+''Nilai Produksi Industri Minyak dari Paring'+''Nilai Produksi Industri Minuman Ringan'+''Nilai Produksi Industri Coco Vinegar'+''Nilai Produksi Industri Kecap Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Bhn Kosmetik'+''Nilai Produksi Industri Santan.'

Diagram alir dari Nilai Produksi AEIP Bitung diperlihatkan dalam Gambar

6.20. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari jenis-jenis industri,

maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap Nilai Produksi AEIP Bitung.

Di dalam diagram alir dari Nilai Produksi, pentahapan tersebut dinyatakan dalam

Fungsi Delay, yang secara visual terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link”

yang menghubungkan ”auxiliary,” dan Fungsi IF dan PULSE.

6.2.1.8. Pengujian Model

Pengujian model dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan dari

model yang dibangun. Mengingat bahwa model AEIP Bitung yang akan

dibangun merupakan model yang belum nyata atau belum ada realitas di

lapangan, khususnya di Kota Bitung, maka pengujian model hanya akan

dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model, yaitu: (a)

apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar dan (b) apakah

prosedur perhitungan sudah sesuai. a. Apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar.

Persamaan-persamaan fungsi yang digunakan dalam membangun model

antara lain adalah persamaan fungsi potensi perikanan laut dan persamaan

fungsi potensi kelapa Provinsi Sulawesi Utara. Kedua persamaan adalah fungsi

polinominal, yaitu:

a.1. Hasil Tangkapan Perikanan Laut

Persamaan fungsi hasil tangkapan perikanan laut Provinsi Sulut adalah Y=

-0,845x6+31,526x5-388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefi-

sien determinasi (R2) adalah 0,9422. Ploting fungsi hasil tangkapan dan hasil

simulasi diperlihatkan pada Gambar 6.21.

Page 162: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

141

0

50000

100000

150000

200000

250000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Tahun

Prod

uksi

(ton

)

Series1 Series2

Gambar 6.21. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara secara grafis

Ket: Series 1: Potensi faktual; Series 2: Hasil Simulasi

Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi

produksi perikanan laut memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktual.

Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,9442.

a.2. Produksi Kelapa

Persamaan fungsi potensi kelapa Provinsi Sulut: adalah Y= -1,1229x6 +

54,399x5-981.5x4 + 8275,5x3 - 4621x2 + 68849x + 251736 dengan koefisien

determinasi (R2

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Tahun

Prod

uksi

(ton

)

Series1 Series2

)= 0,801.

Gambar 6.22. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi kelapa

Provinsi Sulawesi Utara secara grafis Ket: Series 1: Potensi faktual; Series 2: Hasil Simulasi

Page 163: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

142 Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi

produksi kelapa memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktualnya. Hal

ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,801.

b. Apakah prosedur perhitungan sudah sesuai

Prosedur-prosedur perhitungan yang digunakan dalam menyusun model

diperlihatkan dalam Koefisien dan Persamaan-persamaan Model AEIP Bitung

(Lampiran 12). Koefisien dan persamaan yang digunakan telah disesuaikan

dengan kebutuhan realistis penyusunan model dan cara-cara perumusan model

yang sesuai dengan program komputer yang digunakan. Sebagai contoh,

apabila pendirian unit industri tertentu dilakukan pada tahun tertentu setelah

AEIP Bitung dibangun maka persamaannya menggunakan Fungsi Delay

(tenggat waktu). Jika pendirian suatu unit industri tertentu dilakukan pada

kondisi tertentu maka digunakan Fungsi IF. Selanjutnya, model telah dibangun

dengan menggunakan data dasar yang merujuk pada referensi dan atau

informasi dari pakar dalam bidang yang bersesuaian.

6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam AEIP Bitung Hasil analisis terhadap Pola Keterkaitan Antar Industri Agro (C) di dalam

Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun dicantumkan pada Lampiran

11. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai C dari MP-AEIP Bitung adalah

0,3667 atau 36,67%. Sedangkan nilai keterkaitan antar industri Manufaktur/Agro

yang saat ini sedang beroperasi di Kota Bitung adalah C=0,2364 atau 23,64%

atau dengan kenaikan sebesar 13,03%. Walaupun terjadi peningkatan, namun

nilai C ini masih di bawah Nilai C Median, yaitu 42,3% (Hardy dan Graedel

2002). Nilai C dari MP-AEIP Bitung diduga akan meningkat apabila pola

keterkaitan antar industri manufaktur/agro di dalam kawasan industri semakin

diperkuat dan atau keterkaitan dengan industri yang berada di luar AEIP

dibentuk.

Beberapa pola keterkaitan antar industri agro di dalam MP-AEIP Bitung

maupun dengan industri lain di luar AEIP Bitung potensial untuk dibangun.

Pertama, air rebusan ikan (pre-cooking) yang kaya akan nilai gizi mempunyai

peluang untuk dibeli oleh perusahan lain untuk diolah lebih lanjut, atau langsung

di ekspor. Peluang keterkaitan lain adalah dalam memanfaatkan karbon cair

yang dihasilkan oleh industri pembuatan arang tempurung, pemanfaatan daging

ikan berwarna coklat, kepala ikan untuk pasar lokal, dan lain-lain.

Page 164: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

143 6.2.3. Simulasi Model Simulasi model ditujukan untuk melakukan proyeksi terhadap variabel yang

merupakan indikator utama dalam Model Pengembangan AEIP Bitung sesuai

dengan dinamika model. Berikut ini dikemukakan hasil proyeksi pengembangan

AEIP Bitung untuk kurun waktu lima belas tahun kedepan, yaitu Tahun 2009 s/d

Tahun 2024.

6.2.3.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut

Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan industri berbasis perikanan

laut disajikan dalam Tabel 6.8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah unit

usaha yang dirancang untuk didirikan dalam AEIP Bitung dalah sejumlah tujuh

belas unit usaha. Kurun waktu yang diperlukan untuk membangun jenis industri

ini adalah tiga belas tahun. Lamanya waktu tersebut dirancang untuk

mengantisipasi kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku

perikanan laut.

Tabel 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun Industri Besar

Perikanan Laut (unit)

Industri Menengah dan Kecil Perikanan Laut (unit)

Jumlah Industri Perikanan Laut (unit)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 1 1 2013 1 1 2 2014 1 1 2 2015 1 7 8 2016 1 7 8 2017 1 7 8 2018 2 8 10 2019 2 8 10 2020 2 10 12 2021 2 14 16 2022 2 14 16 2023 3 14 17 2024 3 14 17

Hasil simulasi yang dilakukan dengan kondisi jumlah unit usaha dan

kapasitas produksi sesuai dengan model yang dibangun menunjukkan bahwa

total kebutuhan bahan baku sudah berada dalam kategori kekurangan pasokan

dengan kisaran angka ± 240.000 ton s/d 297.000 ton per tahun (Tabel 6.9.).

Kondisi ini tentu saja akan semakin buruk bilamana industri-industri berbasis

perikanan laut yang baru didirikan di kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa upaya

yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, seperti pemberantasan

illegal fishing, penegakan hukum penjualan ikan di tengah laut, dan lain-lain.

Upaya-upaya tersebut akan didiskusikan secara detail pada bagian akhir bab ini.

Page 165: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

144

Tabel 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut

Tahun Produksi Perikanan

Laut Provinsi Sulut (kg)

Kebutuhan Terkini

Provinsi Sulut (kg)

Kebutuhan AEIP

Bitung(kg)

Kebutuhan Total (kg)

Potensi Impor (kg)

2010 127.195.000 412.301.400 0 412.301.400 285.106.400 2011 111.883.321 412.301.400 0 412.301.400 300.418.079 2012 110.078.392 412.301.400 7.180 412.308.580 302.230.188 2013 120.192.253 412.301.400 14.380 412.315.780 292.123.527 2014 137.554.744 412.301.400 3.216.580 415.517.980 277.963.236 2015 156.675.625 412.301.400 6.425.960 418.727.360 252.051.735 2016 172.898.296 412.301.400 9.635.360 421.936.760 249.038.464 2017 183.445.117 412.301.400 12.844.760 425.146.160 241.701.043 2018 187.854.328 412.301.400 16.061.340 428.362.740 240.508.412 2019 187.808.569 412.301.400 19.763.940 432.065.340 244.256.771 2020 186.355.000 412.301.400 23.466.540 435.767.940 249.412.940 2021 186.517.021 412.301.400 27.176.320 439.477.720 252.960.699 2022 189.297.592 412.301.400 30.886.120 443.187.520 253.889.928 2023 191.074.153 412.301.400 34.595.920 446.897.320 255.823.167 2024 180.385.144 412.301.400 64.893.520 477.194.920 296.809.776

Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku hasil

tangkapan perikanan laut untuk AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri

dalam bangun Model AEIP Bitung adalah relatif kecil (Tabel 6.10.). Data

menunjukkan bahwa persentasi tersebut berkisar antara 0% s/d 13,60%. Ini

mengindikasikan bahwa selama ini industri kelapa di Provinsi Sulawesi Utara

sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. Kekurangan kebutuhan

tersebut selama ini dipasok dari luar Kota Bitung, seperti Kabupaten

Tabel 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP Bitung

Tahun Kebutuhan Ikan Laut dari AEIP

Bitung

Kebutuhan Total Ikan Laut Segar dari Industri

Berbasis Perikanan Laut di Provinsi Sulawesi Utara

Persentasi Kolom 2

Terhadap Kolom 3

1 2 3 4 2010 0 412.301.400 0 2011 0 412.301.400 0 2012 7.180 412.308.580 0,002 2013 14.380 412.315.780 0,035 2014 3.216.580 415.517.980 0,77 2015 6.425.960 418.727.360 1,53 2016 9.635.360 421.936.760 2,28 2017 12.844.760 425.146.160 3,02 2018 16.061.340 428.362.740 3,75 2019 19.763.940 432.065.340 4,57 2020 23.466.540 435.767.940 5,39 2021 27.176.320 439.477.720 6,18 2022 30.886.120 443.187.520 6,97 2023 34.595.920 446.897.320 7,74 2024 64.893.520 477.194.920 13,60

Sitaro, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud, dan Provinsi Maluku Utara.

Adanya peningkatan persentasi dari tahun ke tahun disebabkan oleh

bertambahnya jumlah unit usaha industri berbasis perikanan laut yang dibangun

dan beroperasi.

Page 166: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

145

Tabel 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun Industri Besar

Perikanan Laut (Rp) Industri Menengah

dan Kecil Perikanan Laut (Rp)

Jumlah Industri Perikanan Laut (Rp)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 44.875.000 44.875.000 2013 0 89.875.000 89.875.000 2014 28.755.000.000 134.875.000 28.889.875.000 2015 57.510.000.000 2.468.500.000 59.978.500.000 2016 86.265.000.000 4.808.500.000 91.073.500.000 2017 115.020.000.000 7.148.500.000 122.168.500.000 2018 143.775.000.000 9.533.375.000 153.308.375.000 2019 176.029.200.000 11.918.375.000 187.947.575.000 2020 208.283.400.000 15.200.875.000 223.484.275.000 2021 240.537.600.000 19.877.000.000 260.414.600.000 2022 272.791.800.000 24.557.000.000 297.348.800.000 2023 305.046.000.000 29.237.000.000 334.283.000.000 2024 470.239.200.000 33.917.000.000 504.156.200.000

Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut dicantumkan

dalam Tabel 6.11. Hasil simulasi menunjukkan bahwa industri berbasis

perikanan laut mulai memberikan hasil tahun ke-4 setelah Kawasan AEIP Bitung

selesai dibangun. Pada tahun ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan

AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp 504.156.200.000.

6.2.2.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa

Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan unit usaha industri berbasis

kelapa disajikan dalam Tabel 6.12. Unit usaha yang akan dibangun di dalam

AEIP Bitung berjumlah 40 unit usaha dan dibangun dalam kurun waktu 15 tahun.

Kurun waktu yang cukup panjang tersebut dirancang untuk mengantisipasi

kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku kelapa.

Tabel 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa Tahun Industri Besar

Kelapa (unit)

Industri Menengah Kecil Kelapa (unit)

Jumlah Industri Kelapa (unit)

2010 0 4 4 2011 0 4 4 2012 1 5 6 2013 1 5 6 2014 1 7 8 2015 2 13 15 2016 3 14 17 2017 3 18 21 2018 3 21 24 2019 3 24 27 2020 3 25 28 2021 3 30 33 2022 3 30 33 2023 3 35 38 2024 3 37 40

Hasil simulasi menunjukan bahwa total kebutuhan bahan baku sudah

berada dalam kategori kekurangan pasokan dengan kisaran antara 184.724 ton

s/d 269.089 ton per tahun (Tabel 6.13.). Kondisi ini tentu saja akan semakin

Page 167: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

146 buruk bilamana industri-industri berbasis kelapa yang baru mulai didirikan di

kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

Tabel 6.13. Hasil Simulasi Ketersediaan dan Kebutuhan Kelapa (Setara Kopra) Tahun Produksi Kelapa

Provinsi Sulut (kg) Kebutuhan

Terkini Provinsi Sulut

(kg)

Kebutuhan AEIP

Bitung (kg)

Kebutuhan Total (kg)

Import Kelapa Provinsi Sulut

(kg)

2010 251.736.000 486.791.667 0 486.791.667 235.055.666 2011 293.311.276 486.791.667 18.000 486.809.667 193.498.390 2012 303.118.902 486.791.667 40.787 486.832.453 183.713.550 2013 303.031.363 486.791.667 963.587 487.755.253 184.723.890 2014 302.669.178 486.791.667 2.006.053 488.797.720 186.128.542 2015 303.907.563 486.791.667 3.053.640 489.845.307 185.937.744 2016 304.574.602 486.791.667 4.101.240 490.892.907 186.318.305 2017 301.340.931 486.791.667 5.688.840 492.480.507 191.139.575 2018 291.800.934 486.791.667 7.281.227 494.072.893 202.271.958 2019 275.745.452 486.791.667 8.873.627 495.665.293 219.919.841 2020 255.626.000 486.791.667 10.466.027 497.257.693 241.631.693 2021 236.210.502 486.791.667 12.063.213 498.854.880 262.644.377 2022 223.430.534 486.791.667 13.660.413 500.452.080 277.021.545 2023 222.420.081 486.791.667 15.275.563 502.067.230 279.647.149 2024 234.745.802 486.791.667 17.042.830 503.834.497 269.088.695

mengatasi masalah tersebut yang akan didiskusikan secara detail pada bagian

akhir dari bab ini.

Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku kelapa untuk

AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri dalam bangun Model AEIP Bitung

adalah relatif kecil (Tabel 6.14). Persentasi tersebut berkisar antara 0,0037 s/d

3,38%. Ini mengindikasikan bahwa selama ini industri kelapa di Provinsi

Tabel 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa AEIP Bitung Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut

Tahun Kebutuhan Bahan Baku Kelapa dari AEIP Bitung(ton)

Kebutuhan Bahan BakuTotal dari Industri Berbasis Kelapa di

Provinsi Sulawesi Utara (ton)

Persentasi Kolom 2 Terhadap Kolom 3

1 2 3 4 2010 0 486.791.667 0 2011 18.000 486.809.667 0,0037 2012 40.787 486.832.453 0,0084 2013 963.587 487.755.253 0,20 2014 2.006.053 488.797.720 0,41 2015 3.053.040 489.845.307 0,62 2016 4.101.240 490.892.907 0,84 2017 5.688.840 492.480.507 1,16 2018 7.281.227 494.072.893 1,47 2019 8.873.627 495.665.293 1,79 2020 10.466.027 497.257.693 2,10 2021 12.063.213 498.854.880 2,42 2022 13.660.413 500.452.080 2,73 2023 15.275.563 502.067.230 3,04 2024 17.042.830 503.834.497 3,38

Sulawesi Utara sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. Kekurangan

kebutuhan tersebut selama ini dipasok dari luar daerah, seperti Provinsi

Page 168: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

147 Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Adanya peningkatan persentasi simulasi

dari tahun ke tahun disebabkan oleh bertambahnya jumlah unit usaha industri

berbasis kelapa yang dibangun dan yang selanjutnya beraktivitas.

Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa dicantumkan dalam

Tabel 6.15. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi industri berbasis

kelapa mengalami peningkatan yang siknifkan pada tahun ke-empat setelah

Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-10 setelah selesainya

pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp

2.908.342.279.100,-

Tabel 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa Tahun Jumlah Industri

Kelapa (unit) Nilai Produksi

Industri Kelapa (Rp)

2010 4 0 2011 4 0 2012 6 0 2013 6 6.300.000.000 2014 8 12.600.000.000 2015 15 18.900.000.000 2016 17 28.800.000.000 2017 21 52.725.600.000 2018 24 76.651.200.000 2019 27 100.576.800.000 2020 28 124.502.400.000 2021 33 148.428.000.000 2022 33 172.353.600.000 2023 38 196.279.200.000 2024 40 220.204.800.000

6.2.2.3. Sub-Model Industri Berbasis Agro-Kompleks

Unit usaha agro-kompleks yang akan dibangun di dalam AEIP Bitung

berjumlah 3 buah, yakni industri peternakan ayam, industri penggemukan sapi,

dan RPH yang dibangun pada tahun ke-8 setelah AEIP Bitung dibangun.

Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi terhadap ketersediaan

pakan yang dihasilkan oleh industri pakan ternak. Hasil simulasi terhadap

jumlah ternak ayam, ternak sapi (setara ayam), dan RPH diperlihatkan pada

Tabel 6.16.

Page 169: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

148

Tabel 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, RPH Tahun Penggemukan

Sapi (ekor) Peternakan

Ayam (ekor) Produksi

RPH (ekor)

Sisa Ternak Tersedia (ekor)

2010 0 0 0 0 2011 0 0 0 0 2012 0 0 0 0 2013 0 0 0 0 2014 0 0 0 0 2015 0 0 0 296.250 2016 0 0 0 539.250 2017 360 7.200 25.200 355.650 2018 720 14.400 50.400 172.050 2019 1.080 21.600 75.600 -11.550 2020 1.440 28.800 100.800 -195.150 2021 1.800 36.000 126.000 -109.500 2022 2.160 43.200 151.200 -23.100 2023 2.520 50.400 176.400 63.300 2024 2.880 57.600 201.600 149.700

Hasil simulasi terhadap kebutuhan total pakan industri agro-kompleks per

tahun diperlihatkan pada Tabel 6.17. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada

Tabel 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks Tahun Kebutuhan

Total Pakan (kg)

Produksi Pakan (kg)

Sisa Pakan Tersedia (kg)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 0 0 0 2014 0 0 0 2015 0 269.250 269.250 2016 0 539.250 539.250 2017 453.600 809.250 355.650 2018 907.200 1.079.250 172.050 2019 1.360.800 1.349.250 -11.550 2020 1.814.400 1.619.250 -195.150 2021 2.268.000 2.158.500 -109.500 2022 2.721.600 2.698.500 -23.100 2023 3.175.200 3.238.500 63.300 2024 3.628.800 3.778.500 149.700

Tahun 2019 s/d 2022 kebutuhan pakan tidak dapat dipasok secara penuh oleh

industri pakan yang ada di dalam AEIP Bitung. Sejak tahun 2023 pasokan

pakan menjadi positif (surplus) sehingga industri pakan dapat mengekspor ke

luar AEIP Bitung. Surplus pasokan pakan ternak juga dapat diantisipasi dengan

cara meningkatkan jumlah ternak pada industri agro-kompleks.

Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Agro-Kompleks dicantumkan dalam

Tabel 6.18. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan industri tersebut

mulai terealisasi sejak tahun 2017 atau tujuh tahun setelah Kawasan AEIP

Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-lima belas setelah selesainya

Page 170: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

149 pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp

6.951.500.000.,-

Tabel 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks Tahun Peternakan

Ayam (Rp) Penggemukan

Sapi (Rp) RPH (Rp) Industri

Pengomposan (Rp)

Industri Agro-Kompleks (Rp)

2010 0 0 0 0 0 2011 0 0 0 0 0 2012 0 0 0 0 0 2013 0 0 0 0 0 2014 0 0 0 0 0 2015 0 0 0 0 0 2016 0 0 0 0 0 2017 90.000.000 720.000.000 25.200.000 17.950.000 853.150.000 2018 180.000.000 1.440.000.000 50.400.000 53.900.000 1.724.300.000 2019 270.000.000 2.160.000.000 75.600.000 89.900.000 2.595.500.000 2020 360.000.000 2.880.000.000 100.800.000 125.900.000 3.466.700.000 2021 450.000.000 3.600.000.000 126.000.000 161.900.000 4.337.000.000 2022 540.000.000 4.320.000.000 151.200.000 19.900.000 5.209.000.000 2023 630.000.000 5.040.000.000 176.400.000 233.900.000 6.080.300.000 2024 720.000.000 5.760.000.000 201.600.000 269.900.000 6.951.500.000

6.2.2.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan

Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan yang direncanakan untuk

dibangun di dalam AEIP Bitungberjumlah 2 unit, yakni satu unit Pembangkit

Listrik Tenaga Angin dan satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Kedua

pembangkit listrik tersebut direncanakan dibangun pada tahun ke-11 setelah

AEIP Bitung dibangun. Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi

terhadap ketersediaan dana untuk membangun fasilitas tersebut.

Tabel 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun Potensi

Tenaga Angin (watt)

Potensi Tenaga

Surya (watt)

Produksi Listrik Tenaga Angin

(watt)

Produksi Listrik Tenaga Surya

(watt)

Produksi Listrik Total

(watt) 2010 396.600 516.000 0 0 0 2011 396.600 516.000 0 0 0 2012 396.600 516.000 0 0 0 2013 396.600 516.000 0 0 0 2014 396.600 516.000 0 0 0 2015 396.600 516.000 0 0 0 2016 396.600 516.000 0 0 0 2017 396.600 516.000 0 0 0 2018 396.600 516.000 0 0 0 2019 396.600 516.000 0 0 0 2020 396.600 516.000 28.555.200 0 28.555.200 2021 396.600 516.000 28.555.200 7.523.280 36.078.480 2022 396.600 516.000 28.555.200 15.046.560 43.601.760 2023 396.600 516.000 28.555.200 22.569.840 51.125.040 2024 396.600 516.000 28.555.200 30.093.120 58.648.320

Hasil simulasi Produksi Total Listrik dari kedua pembangkit listrik tersebut

dicantumkan dalam Tabel 6.19. Hasil simulasi menunjukkan bahwa produksi

Page 171: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

150 pembangkit listrik dimulai pada Tahun 2020 dan meningkat terus pada tahun-

tahun selanjutnya.

Hasil simulasi terhadap total produksi listrik tenaga angin dan tenaga surya

pada Tahun 2024 adalah sebesar 58.648.320 watt. Bila dibandingkan, total

kapasitas produksi tersebut hanya sekitar 0,36% dari penggunaan energi listrik

oleh industri manufaktur yang saat ini beroperasi di Kota Bitung. Angkanya

masih sangat kecil, namun hal ini lebih disebabkan oleh kapasitas

pembangkitan listrik yang dibangun yang masih kecil (merujuk pada yang sudah

dibangun di P. Nusa Penida, Bali). Studi terhadap penerapan EIN (Eco-industrial

Networks) di Vancouver, Canada memprediksi adanya penghematan konsumsi

daya listrik dan sekaligus biaya listrik sebesar 37,40% (Anonim 2002).

Peluang untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas produksi

lebih besar sangat terbuka karena dukungan potensi radiasi sinar matahari dan

tenaga angin yang memadai. Juga, terdapat peluang untuk membangun

pembangkit listrik energi gelombang seperti yang telah dibangun di Pantai

Parang Rucuk Tanjungsari Gunung Kidul (Nugrohoadi 2007).

Hasil simulasi terhadap Nilai Produksi listrik sumber energi terbarukan

diperlihatkan dalam Tabel 6.20. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi

pembangkit listrik sumber energi terbarukan mulai terealisasi sejak tahun 2020

atau sebelas tahun setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun

ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi

dari pembangkit listrik ini berjumlah Rp 56.888.870,-

Tabel 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun Nilai Produksi Listrik

(Rp) 2010 0 2011 0 2012 0 2013 0 2014 0 2015 0 2016 0 2017 0 2018 0 2019 0 2020 27.698.544 2021 34.996.126 2022 42.293.707 2023 49.591.289 2024 56.888.870

Page 172: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

151 6.2.2.5. Sub-Model Bahan Ikutan, Limbah Padat, Limbah Cair, dan Kompos (A). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan

Laut Bahan ikutan industri perikanan laut berupa kepala, sirip, ekor, tulang, isi

perut, dan daging coklat dimanfaatkan oleh industri pembuatan tepung ikan dan

industri pakan ternak. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ada industri

tertentu yang menjual bahan ikutan tersebut, namun ada juga yang

memberikannya secara cuma-cuma kepada industri pengguna.

Data hasil simulasi di dalam Tabel 6.21. menunjukkan bahwa pada tahun

2011, 2012, 2013 dan tahun 2022 dan 2023 terjadi kekurangan pasokan bahan

ikutan industri perikanan laut. Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi

dengan beberapa cara seperti import ikan segar dari daerah lain, pembangunan

cold storage skala besar untuk mengantisipasi musim panen besar, penegakan

hukum atas illegal fishing dan penjualan ikan di tengah laut kepada nelayan

asing.

Tabel 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut

Tahun Bahan Ikutan Industri

Perikanan Laut (kg)

Penggunaan Bahan Ikutan

Perikanan Laut (kg)

Sisa Tersedia Bahan Ikutan

Perikanan Laut (kg)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 2.872 0 2.872 2013 5.752 0 5.752 2014 1.286.632 0 1.286.632 2015 2.570.384 1.705.250 865.134 2016 3.854.144 3.415.250 438.894 2017 5.137.904 5.125.250 12.654 2018 6.424.536 6.835.250 -410.714 2019 7.905.576 8.545.250 -639.674 2020 9.386.616 10.614.250 -1.227.634 2021 10.870.528 14.030.500 -3.159.972 2022 12.354.448 17.450.500 -5.096.052 2023 13.838.368 20.870.500 -7.032.132 2024 25.957.408 24.290.500 1.666.908

(B). Limbah Cair Kelapa dan Perikanan Laut Serta Limbah Padat

Hasil simulasi kuantitas limbah cair dan limbah padat dari AEIP Bitung

diperlihatkan dalam Tabel 6.22. Limbah cair Industri Kelapa merupakan

akumulasi dari air cucian alat dan mesin (yang merupakan bagian yang

dominan) dan sisa air kelapa yang tidak termanfaatkan oleh industri pengguna

bahan ikutan air kelapa. Pada tahun 2024, limbah padat industri kelapa dan

perikanan laut berjumlah 27.433 m3.

Page 173: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

152

Tabel 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat AEIP Bitung Tahun Limbah Cair dari

Industri Kelapa (ltr) Limbah Cair dari

Industri Perikanan Laut (ltr)

Limbah Cair Total (ltr)

Limbah Padat (m3)

2010 0 0 0 0 2011 -57.300 0 -93.300 126 2012 -109.095 143.600 -37.136 255 2013 2.539.125 287.600 2.719.444 564 2014 5.379.045 64.331.600 69.727.474 2.151 2015 7.958.809 128.519.200 136.619.307 3.852 2016 10.537.849 192.707.200 203.510.817 5.552 2017 12.926.869 256.895.200 270.257.307 7.507 2018 15.320.614 321.226.800 337.116.581 9.489 2019 17.463.514 395.278.800 413.469.611 11.680 2020 19.619.994 469.330.800 489.836.221 13.967 2021 21.501.999 543.526.400 566.072.315 16.271 2022 23.520.855 617.722.400 642.445.661 18.612 2023 25.279.820 691.918.400 719.405.116 21.143 2024 27.433.396 1.297.870.400 1.329.844.572 27.234

Limbah cair Industri Perikanan Laut merupakan akumulasi dari air bersih

yang digunakan untuk mencuci ikan, memasak, dan mencuci alat dan mesin,

sebesar 20 liter/kg ikan segar. Data menunjukkan bahwa kuantitas limbah cair

tersebut sangat besar, dimana pada tahun 2024 berjumlah 1.297.870 m3 atau

dengan jumlah aliran materi sebesar sekitar 3.605 m3/hari. Dengan kata lain,

jenis industri ini memerlukan pasokan air bersih per hari sekurang-kurangnya

sebesar jumlah di atas. Bila dibandingkan dengan pasokan air bersih Kota

Bitung Tahun 2005 sebesar 8.021.537 m3

Untuk mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus

meningkatkan nilai tambah produk perikanan laut maka dapat dilakukan upaya

penampungan terhadap air pemasakan ikan, yang memiliki kandungan protein

yang tinggi. Hasil survei lapangan tahun 2009 menunjukkan bahwa telah ada

industri perikanan laut di Kota Bitung yang mengekspor air sisa pemasakan ikan

ke Jepang, namun belum dilakukan secara kontinu. Disamping dengan cara

mengekspor ke luar negeri, air sisa pemasakan ikan tersebut dapat digunakan

sebagai bahan baku oleh industri pakan ternak yang berada di dalam AEIP

Bitung.

, jumlah tersebut merupakan 16,17%

dari pasokan air bersih Kota tersebut. Data ini menunjukkan bahwa industri

berbasis perikanan laut mengkonsumsi air bersih dalam jumlah yang besar.

Limbah cair dalam Model AEIP Bitung, yaitu darah ikan serta urine dan

feces ternak sapi, dan feces di RPH merupakan faktor input Industri Pakan

Ternak. Ketersediaan faktor input dan penggunaannya tersebut disajikan pada

Tabel 6.23.

Page 174: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

153

Tabel 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces Ayam dan Sapi dan Urine Sapi

Tahun Darah Ikan (kg)

Penggunaan Darah Ikan

(kg)

Feces Ayam

(kg)

Feces Sapi (kg)

Feces di

RPH (kg)

Penggunaan Feces (kg)

Urine Sapi (kg)

Penggunaan Urine Sapi

(kg)

2010 0 0 0 0 0 0 0 0

2011 0 0 0 0 0 96.000 0 0

2012 72 0 0 0 0 192.000 0 0

2013 144 0 0 0 0 288.000 0 0

2014 32.166 0 0 0 0 384.000 0 0

2015 64.260 0 0 0 0 480.000 0 0

2016 96.354 0 0 0 0 576.000 0 0

2017 128.448 18.000 72.000 194.400 504 672.000 324.000 18.000

2018 160.613 36.000 144.000 388.800 1.008 863.733 648.000 36.000

2019 197.639 54.000 216.000 583.200 1.512 1.055.733 972.000 54.000

2020 234.665 72.000 288.000 777.600 2.016 1.247.733 1.296.000 72.000

2021 271.763 90.000 360.000 972.000 2.520 1.439.733 1.620.000 90.000

2022 308.861 108.000 432.000 1.166.400 3.024 1.631.733 1.944.000 108.000

2023 345.959 126.000 504.000 1.360.800 3.528 1.823.733 2.268.000 126.000

2024 648.935 161.950 576.000 1.555.200 4.032 2.015.733 2.592.000 161.950

Akumulasi dari limbah cair industri berbasis kelapa dan limbah cair industri

berbasis perikanan laut sebesar 3.681 m3/hari di dalam AEIP Bitung akan diolah

secara tersentral pada Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke

lingkungan. Pada kondisi eksisting, industri perikanan laut yang beroperasi di

Kota Bitung diduga membuang limbah cair ke lingkungan dalam jumlah yang

jauh lebih besar dibanding jumlah di atas. Hasil survei lapangan dan

penelusuran literatur menunjukkan bahwa setiap industri perikanan laut memiliki

fasilitas pengolahan limbah cair, namun dari informasi yang diperoleh diketahui

bahwa pengolahan tersebut sedang dilakukan secara tidak optimal. Bahkan,

ada pihak industriawan tertentu yang beranggapan bahwa membuang limbah

cair industri perikanan ke laut akan berkontribusi secara positif pada

perkembangbiakan biota laut.

(C). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa

Data dalam Tabel 6.24. menunjukkan bahwa dengan beroperasinya

industri pengguna bahan ikutan air kelapa, yaitu: nata de coco, coco vinegar,

kecap kelapa, dan minuman ringan maka bahan ikutan air kelapa yang saat ini

hampir semuanya dibuang ke ingkungan, dapat termanfaatkan dengan baik.

Page 175: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

154

Tabel 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa

Tahun Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)

Penggunaan Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)

Sisa Tersedia Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)

2010 0 0 0 2011 18.000 144.000 -126.000 2012 40.787 288.000 -247.213 2013 963.587 432.000 531.587 2014 2.006.053 647.000 1.358.253 2015 3.053.640 1.151.000 1.902.640 2016 4.101.240 1.655.000 2.446.240 2017 5.148.840 2.446.200 2.702.640 2018 6.201.227 3.238.200 2.963.027 2019 7.253.627 4.317.400 2.936.227 2020 8.306.027 5.469.200 2.836.827 2021 9.363.213 6.908.400 2.454.813 2022 10.420.413 8.348.400 2.072.013 2023 11.495.563 10.075.600 1.419.963 2024 12.690.430 11.803.600 886.830

Pemanfaatan bahan ikutan air kelapa tersebut disamping akan meningkatkan

nilai tambah kelapa dan menciptakan lapangan kerja, juga akan berkontribusi

pada penurunan biaya pengolahan dan peningkatan kualitas lingkungan.

(D). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Paring Kelapa

Data dalam Tabel 6.25. menunjukkan bahwa hampir di semua tahun

simulasi setelah industri pembuatan minyak kelapa dari paring daging kelapa

didirikan, ada kelebihan bahan ikutan yang berkisar antara 225.000-693.600 kg.

Pada Tahun 2024, keberadaan industri minyak kelapa dari paring daging kelapa

dapat memanfaatkan bahan ikutan sampai dengan 90,64%.

Tabel 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa

Tahun Paring Kelapa (kg) Penggunaan Paring Kelapa (kg)

Sisa Tersedia Paring Kelapa (kg)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 225.000 0 225.000 2014 450.000 0 450.000 2015 675.000 71.800 603.200 2016 900.000 215.600 684.400 2017 1.125.000 431.400 693.600 2018 1.350.000 719.200 630.800 2019 1.575.000 1.007.200 567.800 2020 1.800.000 1.295.200 504.800 2021 2.025.000 1.583.200 441.800 2022 2.250.000 1.871.200 378.800 2023 2.475.000 2.159.200 315.800 2024 2.700.000 2.447.200 252.800

Page 176: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

155 (E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Tempurung Kelapa

Data dalam Tabel 6.26. menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah

pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung) tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif.

Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang

tempurung) adalah sebesar 1.512 ton.

Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara.

Pertama, seperti yang diusulkan oleh pelaku usaha industri arang aktif di Kota

Bitung (Wawancara pribadi dengan Perera 2009), untuk meningkatkan pasokan

arang tempurung maka Pemerintah dapat membuat regulasi yang melarang atau

menetapkan pungutan yang mahal terhadap ekspor bahan baku arang

tempurung keluar daerah/ke luar negeri. Ekspor bahan baku arang tempurung

berpotensi menghilangkan nilai tambah produk dalam jumlah yang relatif besar.

Sebagai pembanding, nilai ekspor bahan baku arang tempurung di awal tahun

2009 adalah US $ 250-300/ton, sedangkan nilai ekspor arang aktif adalah sekitar

US $ 900/ton (Perera 2009).

Tabel 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa

Tahun Tempurung Kelapa (setara arang

tempurung kelapa) (kg)

Penggunaan untuk Industri

Arang Aktif (kg)

Sisa Tempurung Setara arang

tempurung kelapa (kg)

2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 54.000 0 54.000 2014 108.000 0 108.000 2015 162.000 0 162.000 2016 216.000 240.000 -24.000 2017 270.000 480.000 -210.000 2018 324.000 720.000 -396.000 2019 378.000 960.000 -582.000 2020 432.000 1.200.000 -768.000 2021 486.000 1.440.000 -954.000 2022 540.000 1.680.000 -1.140.000 2023 594.000 1.920.000 -1.326.000 2024 648.000 2.160.000 -1.512.000

Cara lainnya untuk meningkatkan pasokan arang tempurung adalah

dengan melakukan sosialisasi secara luas dan kontinu kepada petani kelapa

tentang cara-cara memproduksi arang tempurung kelapa yang berkualitas dan

jaminan pembelian produk dengan harga yang kompetitif oleh produsen arang

aktif. Sosialisasi dapat diperluas ke wilayah-wilayah penghasil kelapa yang

Page 177: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

156 selama ini belum menjadi pemasok arang tempurung kelapa, seperti Kabupaten

Sitaro, Kabupaten Sangihe, dan Kabupaten Talaud.

(E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Darah Ikan dan Feces Ternak

Ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces dan urine ternak sapi serta

darah ikan disajikan dalam Tabel 6.27. Data menunjukkan bahwa ketersediaan

feces dan urine ternak adalah 4.861.508 kg sedangkan yang dimanfaatkan oleh

industri pengomposan adalah 2.771.633 kg. Sisa feces dan urine ternak sebesar

1.511.800 kg merupakan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi

kompos.

Tabel 6.27. Ketersediaan dan Penggunaan Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos

Tahun Ketersediaan Feces, Urine,

dan Darah (kg)

Penggunaan Feces, Urine,

dan Darah Ikan (kg)

Produksi Kompos

(kg)

2010 0 0 0 2011 0 96.000 72.000 2012 359 192.000 144.000 2013 719 288.000 216.000 2014 160.829 384.000 288.000 2015 321.298 480.000 360.000 2016 481.768 576.000 432.000 2017 909.646 708.000 504.000 2018 1.337.883 935.733 647.800 2019 1.790.421 1.163.733 791.800 2020 2.242.959 1.391.733 935.800 2021 2.695.856 1.619.733 1.079.800 2022 3.148.754 1.847.733 1.223.800 2023 3.601.652 2.075.733 1.367.800 2024 5.383.940 2.339.633 1.511.800

6.2.2.6. Luas Lahan yang Dibutuhkan

Hasil simulasi perkiraan kebutuhan lahan AEIP Bitung diperlihatkan pada

Tabel 6.28. Data menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2024, dimana telah

dibangun sejumlah enam unit industri besar dan 56 unit industri menengah dan

kecil, kebutuhan lahan industri adalah 260.000 m2. Luas lahan industri apabila

ditambah dengan lahan fasilitas pendukung akan menjadi 520.000 m2.

Selanjutnya, ditambah dengan lahan untuk 2 (dua) unit pembangkit listrik tenaga

angin dan surya yang masing-masing diasumsikan membutuhkan lahan seluas

5000 m2 maka luas keseluruhan lahan yang dibutuhkan adalah 530.000 m2

.

Page 178: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

157

Tabel 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP Bitung Tahun Jumlah Industri

Besar (unit) Jumlah Industri Menengah dan

Kecil (unit)

Kebutuhan lahan Industri Besar dan Industri Menengah

dan Kecil (m3

Luas lahan yang Dibutuhkan (lahan

industri+ fasilitas pendukng) (m) 2)

2010 0 5 12.500 25.000 2011 0 5 12.500 25.000 2012 1 7 37.500 75.000 2013 2 7 57.500 115.000 2014 2 9 62.500 125.000 2015 3 21 112.500 225.000 2016 4 24 140.000 280.000 2017 4 28 150.000 300.000 2018 5 33 182.500 365.000 2019 5 36 190.000 380.000 2020 5 39 197.500 395.000 2021 5 48 220,000 440.000 2022 5 49 222.500 445.000 2023 6 54 255.000 510.000 2024 6 56 260.000 520.000

Keterangan: Belum termasuk lahan untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya.

Karena alokasi lahan untuk Kawasan Industri di Kota Bitung (yang

diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) adalah seluas 980.000 m2 (98 ha)

maka sisa lahan yang masih tersedia pada tahun 2024 adalah seluas 450.000

m2

Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut

menunjukkan bahwa konsumsi bahan baku bagi 3(tiga) unit industri besar dan

14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut hanya merupakan

. Dengan demikian, sampai dengan tahun 2024, masih terbuka kemungkinan

untuk melakukan perluasan industri atau mendirikan jenis industri baru, terutama

untuk jenis industri yang tidak mengandalkan bahan baku perikanan laut dan

kelapa lokal karena adanya keterbatasan pasokan bahan baku tersebut.

6.2.2.7. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung

Penyerapan tenaga kerja AEIP Bitung meningkat dari tahun ke tahun

dimana jumlah maksimum tercapai pada tahun 2024 sebanyak 1.526 orang

(Tabel 6. 29). Jumlah tenaga kerja maksimum tercapai pada saat semua unit

industri telah terbangun di kawasan industri tersebut. Trend penyerapan tenaga

kerja dalam bentuk grafik dicantumkan di dalam Gambar 6.23. Data hasil

simulasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja hasil

simulasi relatif rendah dan relatif tidak sebanding dengan luasan lahan yang

digunakan. Ketimpangan ini terjadi oleh karena kecilnya skala usaha industri

besar perikanan laut dan kelapa di dalam simulasi model karena masalah

pasokan bahan baku.

Page 179: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

158 ±13,60 persen dari total kebutuhan bahan baku. Selanjutnya, hasil kajian

terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan bahwa konsumsi

Tabel 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung

Tahun Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung

2010 70 2011 70 2012 176 2013 376 2014 416 2015 564 2016 714 2017 760 2018 836 2019 872 2020 910 2021 980 2022 1.020 2023 1.496 2024 1.526

bahan baku bagi 3 (tiga) unit industri besar dan 37 unit industri menengah dan

kecil berbasis kelapa hanya merupakan ±3,38 persen dari total kebutuhan bahan

baku. Dengan demikian maka rata-rata penyerapan bahan baku adalah 8,49%.

Bila data rata-rata penyerapan bahan baku ini diproyeksikan kepada tingkat

penyerapan tenaga kerja eksisting oleh industri manufaktur di Kota Bitung yang

berjumlah 22.545 orang, maka diprediksi penyerapan tenaga kerja pada tingkat

kapasitas produksi tersebut berjumlah sekitar 1.913 orang. Jumlah ini lebih tinggi

dibandingkan dengan angka penyerapan tenaga kerja hasil simulasi sebanyak

1.526 orang.

Rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja ini diduga disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, data dasar penyerapan tenaga kerja didasarkan pada

data statistik penyerapan tenaga kerja dari beberapa industri yang diduga tidak

mencantumkan penyerapan tenaga kerja harian lepas yang jumlahnya cukup

siknifikan. Kedua, penggunaan pendekatan prediksi berdasarkan data dasar

tingkat produksi mengandung kelemahan karena tanpa berproduksipun,

perusahan harus mempekerjakan sejumlah tenaga kerja.

Page 180: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

159

Penyerapan Tenaga Kerja

500

1,000

1,500

orang

Pe

nye

rap

an

Te

na

ga

Ke

rja

Gambar 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung

6.2.2.8. Nilai Produksi MP AEIP Bitung

Nilai Produksi MP AEIP Bitung diperlihatkan pada kolom 2 dari Tabel 6.30.

Nilai produksi MP AEIP Bitung meningkat sejalan dengan bertambahnya tahun.

Bila dibandingkan maka peningkatan Nilai Produksi dari MP AEIP Bitung dan

kuantitas pemanfaatan air kelapa, tempurung kelapa/arang tempurung, paring,

feces dan urine (ternak ayam dan sapi), dan darah ikan berkorelasi secara

positif.

Tabel 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi MP AEIP Bitung dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri

Tahun Nilai Produksi MP AEIP Bitung

Pemanfaat-an Air

Kelapa (ltr)

Pemanfaatan Arang

Tempurung (kg)

Pemanfaatan Paring

Kelapa (kg)

Pemanfaatan Feces dan

Urine (Ayam dan Sapi)

(kg)

Pemanfaatan Darah Ikan

(ltr)

2010 0 0 0 0 0 0 2011 1.332.000.000 144.000 0 96.000 0 0 2012 2.709.593.000 288.000 0 192.000 0 0 2013 10.387.313.000 288.000 0 288.000 0 0 2014 49.903.833.000 432.000 0 384.000 0 0 2015 93.660.483.500 647.000 0 480.000 71.800 0 2016 140.525.523.500 1.151.000 240.000 576.000 215.600 0 2017 203.105.913.500 1.655.000 480.000 708.000 431.400 18.000 2018 265.948.946.500 2.446.200 720.000 935.000 719.200 36.000 2019 332.861.056.500 3.238.000 960.000 1.163.733 1.007.200 54.000 2020 400.681.865.044 4.317.400 1.200.000 1.391.733 1.295.200 72.000 2021 471.550.403.125 5.469.200 1.440.000 1.619.733 1.583.200 90.000 2022 542.427.480.707 6.908.400 1.680.000 1.847.733 1.871.200 108.000 2023 614.722.608.288 8.348.400 1.920.000 2.075.733 2.159.200 126.000 2024 825.617.565.870 10.075.600 2.160.000 2.339.633 2.447.200 161.950

Page 181: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

160

VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Perancangan Model

Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” (MP-AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi

Utara. Hasil yang diperoleh berupa diagram alir model dan simulasi terhadap

variabel-variabel dominan dari model. Berdasarkan informasi yang diperoleh

tersebut, pada bab ini akan dibahas secara deskriptif implikasi dan rekomendasi

kebijakan dalam rangka penerapan model.

7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung Diasumsikan bahwa MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari

Kawasan Industri Bitung yang saat ini sedang dalam tahapan perencanaan.

Apabila industri yang akan dibangun di Kawasan Industri tersebut adalah industri

berbasis perikanan laut dan kelapa maka dengan berdirinya MP-AEIP Bitung

kondisi kekurangan pasokan bahan baku kedua komoditas tersebut akan

semakin besar. Tetapi, karena MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari

Kawasan Industri tersebut maka dapat diasumsikan bahwa hal itu tidak akan

memperparah kondisi pasokan bahan baku.

MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri atas sub-model

industri berbasis perikanan laut, sub-model industri berbasis kelapa, sub-model

industri berbasis agro-kompleks, sub-model pembangkit listrik sumber energi

terbarukan, dan sub-model limbah dan bahan ikutan, dibangun dalam rangka

memberikan gambaran tentang prospek pengembangan industri agro dalam

kerangka ekologi-industri, yaitu suatu konsep yang mengintegrasikan aspek

ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengembangan industri. Model ini dibangun

dengan tujuan untuk memperlihatkan potensinya dalam rangka menurunkan

limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan.

Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut

menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3(tiga) unit industri besar dan 14 unit

industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut maka kekurangan pasokan

bahan baku ikan segar di Provinsi Sulawesi Utara akan menjadi ±240.000 s/d

297.000 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang

diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar

±13,60 persen. Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sebagian besar

kebutuhan bahan baku perikanan laut dipasok dari luar provinsi.

Page 182: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

161

Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis

perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas

produksi. Kondisi juga terjadi di hampir semua industri berbasis perikanan laut di

Indonesia (Nikijuluw 2008). Diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis

perikanan laut sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi

(Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Hal ini mengundang keprihatinan

pihak-pihak yang terkait karena sangat menghambat investasi dalam bidang

usaha tersebut.

Fakta ini tidak sejalan dengan karakteristik Wilayah Pengelolaan Perikanan

(WPP)-714 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau

Halmahera, yang merupakan wilayah tangkap yang kaya akan jenis ikan pelagis

besar sehingga termasuk ke dalam wilayah yang banyak disebut sebagai golden

fishing ground (Anonim 2009). Sebagai contoh, pada tahun 2008, produksi

tangkap perikanan laut Sulawesi Utara adalah 204.169,9 ton atau meningkat

5,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Lalu, Harian Manado Post 29

Januari 2009). Dari jumlah tersebut, yang diekspor ke luar negeri adalah 17,53%

dengan nilai US $ 94,68, selebihnya dikonsumsi secara lokal dan dalam negeri.

Untuk Kota Bitung sendiri, produksi perikanan tangkap tahun 2000 adalah

119.896 ton dengan nilai Rp 692,7 juta atau merupakan 60 persen dari produksi

Provinsi Sulawesi Utara (Anonim 2001). Potensi hasil tangkap tersebut di atas

dapat diupayakan untuk ditingkatkan.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkap

perikanan laut adalah menekan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported,

unregulated) (Nikijuluw 2008) dan sekaligus penegakan hukum terhadap

penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. Aktivitas perikanan IUU

menyebabkan kehilangan produksi tangkapan perikanan laut yang sangat besar.

Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) menduga jumlah devisa yang hilang

akibat perikanan IUU di Indonesia berkisar Rp 19 trilyun/tahun. Karena jumlah

kerugian tersebut sangat besar maka pengorbanan besar yang harus

dikeluarkan untuk mengatasinya mendapat legitimasi yang kuat.

Nikijuluw (2008) menulis bahwa ada tujuh strategi yang dapat dilakukan

untuk memerangi perikanan IUU, yaitu: (1) pengembangan perikanan rakyat, (2)

pengembangan industri perikanan terpadu, (3) kerjasama internasional, (4)

regionalisasi pengelolaan perikanan, (5) perbaikan sistem perizinan, (6)

pengembangan sistem pengawasan, dan (7) pengembangan sistem peradilan

Page 183: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

162

perikanan. Pengembangan perikanan rakyat dimaksudkan agar nelayan lokal

memiliki kemampuan perkapalan penangkap ikan yang lebih baik sehingga

aktivitasnya dapat sekaligus berperan sebagai pengawas laut dari illegal fishing.

Pengembangan industri perikanan terpadu dimaksudkan untuk melawan

sistem yang sama tapi yang dipasok dengan bahan baku dari perikanan IUU.

Melalui sistem ini maka harga produk perikanan laut legal akan menjadi semakin

kompetitif sehingga dapat mengurangi pangsa pasar produk perikanan dari

perikanan IUU.

Kerjasama internasional harus dilakukan mengingat IUU merupakan

kejahatan lintas negara. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan efektif oleh

Indonesia. Kerjasama tersebut terutama perlu dilakukan dengan negara

tetangga yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan. Dilain pihak,

regionalisasi pengelolaan perikanan diperlukan mengingat luasnya wilayah

perairan Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga perlu berperan dalam

menekan perikanan IUU yang sangat merugikan keberlanjutan aktivitas sektor

industri manufaktur di daerah.

Fakta menunjukkan bahwa selama ini, orientasi pemberian izin

penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sistem

perizinan tersebut perlu dirubah sehingga sesuai dengan tujuan pembangunan

dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Sistem pengawasan terhadap IUU sangat tergantung pada dua hal utama,

yaitu peralatan pengawasan dan manusia sebagai pengawas. Peralatan

pengawasan dapat berupa kapal patroli atau pengawasan melalui sarana satelit

dan elektronik yang dikenal dengan vessel monitoring system (VMS).

Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat nelayan.

Dalam rangka mengefektifkan peradilan terhadap pelaku IUU maka sesuai

dengan UU No. 31/2004 tentang Perikanan maka peradilan khusus perikanan

telah dibangun di lima tempat, yaitu: Belawan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung,

dan Tual. Salah satu sasaran dari peradian ini adalah peradilan yang cepat dan

sanksi hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera.

Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan (Catch Certification) dari

Masyarakat Uni Eropa sejak 1 Januari 2010 perlu mendapat dukungan semua

pihak. Regulasi ini menguntungkan dan memperkuat upaya Indonesia dalam

memerangi praktek “IUU Fishing” (Nikijuluw 2008). Mekanisme yang dibangun

Page 184: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

163

dalam Regulasi tersebut adalah dengan melarang masuknya produk perikanan

yang berasal dari kegiatan “IUU Fishing” ke pasar Uni Eropa.

Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan

bahwa dengan dibangunnya 3 (tiga) unit industri besar berbasis kelapa dan 37

unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa maka kekurangan pasokan

bahan baku kelapa (setara kopra) di Provinsi Sulawesi Utara akan berkisar

antara 184.724 ton s/d 269.089 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar,

namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut

relatif kecil, yaitu sekitar ±3,38 persen. Dengan kata lain, kondisi kekurangan

pasokan bahan baku juga sedang dialami oleh industri berbasis kelapa yang

sedang beraktivitas di Provinsi Sulawesi Utara dan selama ini sebagian besar

kebutuhan bahan baku dipasok dari luar provinsi.

Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis

perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas

produksi. Sama seperti pada industri berbasis perikanan laut, diperkirakan

bahwa saat ini industri berbasis kelapa sedang beroperasi pada level 70% dari

kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009).

Tidak seperti sektor perikanan laut yang dapat meningkatkan ketersediaan

bahan baku ikan segar dengan mengimport dan atau menekan IUU dan

penjualan ikan di tengah laut, kekurangan pasokan kelapa secara siknifikan

hanya dapat diatasi dengan cara mengimpor kelapa dari luar Provinsi. Upaya-

upaya lainnya seperti intensifikasi produksi dapat dilakukan tapi hanya akan

memberikan peningkatan produksi yang tidak siknifikan. Upaya ekstensifikasi

usaha sulit dilakukan karena keterbatasan lahan yang dapat dikonversi menjadi

perkebunan. Kontradiktif, saat ini banyak lahan perkebunan kelapa yang

mengalami konversi penggunaan menjadi permukiman dan bisnis karena

tuntuan kebutuhan.

Karena pertimbangan kondisi pasokan bahan baku kelapa tersebut maka

orientasi industri berbasis kelapa perlu diubah ke arah industri produk non-

konvensional, yaitu industri yang dapat memanfaatkan produk turunan kelapa

menjadi produk kesehatan atau perawatan tubuh. Jenis industri ini tidak

mengandalkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar. Produk-produk

demikian dapat meningkatkan nilai tambah kelapa beberapa kali lipat. Sebagai

contoh, konversi arang tempurung menjadi arang aktif memberikan peningkatan

Page 185: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

164

nilai tambah tiga sampai empat kali lipat (Wawancara pribadi dengan Perera

2009).

Dari hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Agro-Kompleks diketahui

bahwa Industri Peternakan Ayam dan Penggemukan Sapi menyerap pakan

ternak yang dipasok oleh industri pakan ternak yang terdapat di dalam MP-AEIP.

Keterkaitan ini potensial menguntungkan kedua pihak industri karena

berkurangnya biaya transportasi dan biaya sosial terhadap lingkungan karena

dimanfaatkannya bahan-bahan ikutan di dalam pembuatan pakan ternak.

Sebagai pembanding, studi tentang penerapan Eco-Industrial Networks (konsep

yang sama seperti EIP) di Vancouver, Canada memprediksi bahwa lalu lalang

kendaraan untuk semua keperluan kawasan industri (angkutan produk, peralatan

dan mesin, tenaga kerja, dan lain lain) akan berkurang sebesar 25% (Anonim

2002). Penurunan lalu lalang kendaraan tersebut akan meningkatkan efisiensi

kawasan industri dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Selanjutnya,

eksistensi Rumah Potong Hewan (RPH) sangat potensial meningkatkan nilai

tambah produk dan jaminan atas tingkat keamanan ternak potong serta dapat

menciptakan peluang ekspor.

Industri pengomposan juga memberikan kontribusi pada pemeliharaan

lingkungan karena pemanfaatannya terhadap kotoran dan urin yang dihasilkan

oleh Industri Peternakan Ayam, Industri Penggemukan Sapi, serta limbah cair,

yaitu darah ikan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut. Kompos

yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau

dan Taman yang terdapat di dalam kawasan industri. Kelebihan pasokan

kompos yang diproduksi dapat dijual kepada petani palawija, hortikultura, atau

kepada rumah tangga-rumah tangga untuk budidaya dan atau pemeliharaan

tanaman pekarangan. Industri pengomposan memiliki prospek yang cerah

karena meningkatnya kecenderungan penggunaan pupuk organik, sebagai

susbtitusi terhadap pupuk sintetis yang telah terbukti kurang ramah lingkungan.

Hasil kajian terhadap Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi

Terbarukan menunjukkan bahwa potensi alam, seperti tenaga angin dan tenaga

surya di Kota Bitung, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik

terbarukan yang ramah lingkungan. Namun demikian, beberapa kajian terakhir

menunjukkan bahwa pembangkitan energi tersebut belum menguntungkan

secara finansial, seperti yang dilaporkan oleh Ardana (2009) yang meneliti

pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Nusa Penida, Bali. Juga, Negara

Page 186: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

165

China yang sementara membangun beberapa pembangkit dengan kapasitas 1,5

MW per kincir angin mengalami hal yang sama (Prabowo 2009). Walaupun saat

ini belum menguntungkan namun dalam jangka panjang, prospek pembangkit

listrik tenaga angin dan surya akan menjadi lebih baik. Ini akan terjadi pada saat

bahan bakar fosil menjadi langka sehingga akan memicu peningkatan harganya.

Disamping itu, pembangunan pembangkit listrik terbarukan merupakan

pernyataan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena secara nyata

akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), seperti NOx, COx, dan SOx

Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa bahan ikutan

tempurung kelapa menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan

.

Hasil simulasi terhadap Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan memberikan

beberapa informasi penting yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan bahan

ikutan serta potensi manfaat lingkungan yang dihasilkan. Hasil simulasi terhadap

Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut

menunjukkan bahwa bahan ikutan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis

Perikanan Laut dapat memenuhi hampir semua kebutuhan untuk pembuatan

tepung ikan dan pakan ternak. Bahkan, di tahun 2024 ketika semua industri

berbasis perikanan laut telah selesai dibangun, sisa pasokan bahan ikutan yang

tidak terserap oleh industri pengguna adalah sekitar 11 ribu ton. Informasi ini

menunjukkan bahwa pada tahun itu, kapasitas produksi industri tepung ikan dan

pakan ternak dapat ditingkatkan.

Hasil simulasi terhadap produksi darah ikan dan urine ternak sapi

menunjukkan bahwa tingkat penggunaannya masih rendah. Hal ini dapat diatasi

dengan cara meningkatkan penggunaannya pada Industri Pakan Ternak. Namun

jumlah penggunaannya pada Industri Pakan Ternak sangat tergantung pada

kuantitas bahan ikutan yang dihasilkan oleh industri berbasis perikanan laut dan

industri berbasis kelapa. Darah dan urine yang tidak termanfaatkan harus diolah

terlebih dahulu di Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke

lingkungan.

Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air

Kelapa menunjukkan bahwa di tahun-tahun akhir dari simulasi, penggunaan

bahan ikutan air kelapa melampaui ketersediaan air kelapa yang dihasilkan oleh

industri Kelapa Parut Kering (KPK). Namun, kekurangan pasokan ini dapat

disuplai oleh industri KPK yang terletak di sekitar MP-AEIP Bitung yang belum

memanfaatkan bahan ikutan air kelapa secara optimal.

Page 187: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

166

tempurung kelapa (setara arang tempurung) tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di

tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung)

adalah sebesar 1.512 ton. Namun, kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi

dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif kepada petani

kelapa untuk memasok tempurung kelapa. Sosialisasi yang baik yang disertai

dengan jaminan pembelian bahan baku dengan harga yang kompetitif akan

meningkatkan secara siknifikan pasokan bahan baku dari petani kelapa.

Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces ternak

sapi dan ayam dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa pasokannya untuk

industri pengomposan lebih kecil dari kebutuhan, dengan kisaran antara 132 ton

s/d 395,3 ton per tahun. Sisa feces dan urine ternak untuk produksi kompos

menjadi positif mulai tahun 2023. Kekurangan pasokan feces dan urine tersebut

dapat diatasi dengan cara menyesuaikan kapasitas produksi kompos atau

mendatangkannya dari luar MP-AEIP Bitung. Pemanfaatan limbah tersebut

secara siknifikan akan menurunkan biaya penanganan limbah dan sekaligus

meningkatkan kualitas lingkungan.

Secara keseluruhan penerapan MP-AEIP Bitung akan menurunkan limbah

dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan seperti yang tercantum pada Tabel

7.1.

Tabel 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam MP-AEIP

No Komponen Peningkatan Penggunaan bahan ikutan

Penurunan limbah cair

Ket

1 Darah ikan - 161.950 ltr (24,96%)

-

2 Urine ternak sapi - 161.950 ltr (6,25%) - 3 Feces ternak sapi dan

ayam - 2.015.733 kg

(94,40%) -

4 Limbah cair total - 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total)

-

5 Bahan ikutan perikanan laut

24.290.500 kg (93,59%)

- -

6 Bahan ikutan air kelapa 11.803.600 liter (93,01%)

- -

7 Bahan ikutan tempurung kelapa

2.160.000 kg (>100%)

- Perlu pasokan dari luar

Page 188: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

167

Data di dalam Tabel 7.1. menunjukkan bahwa walaupun penurunan limbah

cair dan peningkatan penggunaan bahan ikutan cukup siknifikan namun secara

keseluruhan hanya berkontribusi pada penurunan limbah cair total sebesar 1%

dari kuantitas limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri. Kecilnya

persentasi penurunan limbah cair tersebut disebabkan oleh sangat besarnya

kuantitas limbah cair yang dihasilkan terutama oleh industri perikanan laut.

Sebagai contoh, setiap kilogram ikan segar membutuhkan air cuci sebanyak 20

liter.

Data hasil simulasi Tahun 2024 menunjukkan bahwa total limbah cair yang

dihasilkan oleh kawasan industri adalah 1.329.844 m3 atau sebesar 3.594

m3/hari. Data ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan limbah cair yang

dihasilkan Eco-industrial networks (EIN) di Vancouver, Canada, yaitu sebesar

740.915 m3

Sesuai dengan prinsp-prinsip ekologi industri maka keberlanjutan aktivitas

industri dapat diupayakan dengan beberapa cara. Pertama, kerjasama antar

perusahan dalam hal pertukaran materi dan limbah sehingga produksi limbah

industri dan bahan ikutan dapat diupayakan seminimal mungkin. Hasil simulasi

MP-AEIP Bitung menunjukkan bahwa kerjasama antar industri berpotensi

menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan secara

siknifikan. Kedua, sistem produksi industri di dalam MP-AEIP Bitung yang

mempertimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga akan

/tahun (Anonim 2002). Limbah cair di EIN tersebut diprediksi dapat

diturunkan sampai sebesar 25% atau jauh lebih besar dibandingkan dengan

hasil simulasi dalam MP-AEIP Bitung. Ini berarti perlu dilakukan upaya untuk

menurunkan penggunaan air cuci atau memanfaatkan limbah cair sebelum atau

sesudah diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair. Upaya tersebut dapat berupa

inovasi teknologi untuk menurunkan penggunaan air per satuan berat bahan

baku dan atau pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan tertentu.

7.2. Implikasi terhadap Keberlanjutan Aktivitas Industri Agro Tingkat keberlanjutan aktivitas industri agro di Kota Bitung dapat dilihat dari

beberapa segi. Dari segi pasokan bahan baku dapat dinilai bahwa aktivitas

industri agro sedang beroperasi pada kondisi kekurangan pasokan bahan baku.

Hal itu ditunjukkan oleh hasil simulasi MP-AEIP Bitung. Untuk industri eksisting,

kekurangan pasokan bahan baku tersebut diantisipasi dengan cara menurunkan

kapasitas produksi dan atau mendatangkan bahan baku dari luar wilayah

Provinsi Sulawesi Utara.

Page 189: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

168

berperan bagi keberlanjutan aktivitas industri. Dari sisi ekonomi, aktivitas industri

menguntungkan, dari segi sosial mendapatkan dukungan masyarakat sekitar

karena melibatkan masyarakat secara siknifikan, dan dari segi lingkungan

memberikan kontribusi pada pemeliharaan kualitas lingkungan.

7.3. Rekomendasi Kebijakan

7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung Berdasarkan hasil kajian mengenai keterkaitan antara sub-sub elemen

tujuan program, maka prioritas tujuan program adalah Membangkitkan energi

listrik dengan sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar

industri secara sukarela (T13). Berdasarkan tujuan tersebut, serta dengan

mempertimbangkan adanya kendala kunci berupa: Pemahaman terhadap

konsep AEIP yang masih kurang (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri

adalah lahan pertanian subur (K5), maka implementasi AEIP Bitung dapat

dicapai melalui tahapan-tahapan program sebagai berikut:

A. Program Persiapan: (1) Penyusunan master plan kawasan industri; (2)

Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; (3) Sosialisasi AEIP; (4)

Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau

penyertaan sebagai pemegang saham; (5) Pendirian perusahan pengelola

kawasan industri; (6) Perumusan tata tertib kawasan industri; (7) Penetapan

pola harga kapling industri; dan (8) Penyiapan sistem rekruitmen tenant.

B. Program Penyiapan Fasilitas Pendukung: (9) Pembangunan infrastruktur

kawasan industri; (10) Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber

energi terbarukan; (11) Pembangunan fasilitas daur ulang; (12)

Pembangunan fasilitas riset; (13) Pembangunan fasilitas perbaikan dan

rekayasa; (14) Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; (15)

Pembangunan fasilitas training; (16) Pembangunan pusat promosi dan

bisnis; (17) Penyiapan sistem transportasi bersama; (18) Pembangunan

klinik kesehatan; (19) Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; (20)

Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan (21) Pembangunan

perumahan karyawan.

C. Keterkaitan antar industri: (22) Program kerjasama pertukaran materi dan

limbah.

D. Keterkaitan dengan masyarakat sekitar: (23) Program pengembangan

masyarakat (CSR).

Page 190: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

169

7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan MP-AEIP

Bitung, Provinsi Sulawesi Utara adalah:

1. Realisasi pembangunan Kawasan Industri (KI) di Kelurahan Tanjung Merah,

Kota Bitung. Saat ini (pada saat survei lapangan), rencana pembangunan

tersebut sudah sampai pada tahap Penyiapan Masterplan dan Studi AMDAL

yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri,

Kementerian Perindustrian. Tahapan selanjutnya dari rencana tersebut akan

dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pihak Pengembang. Pada tahapan

ini, peran aktif dari Pemerintah Daerah sangat krusial. Hal itu dapat

dinyatakan dalam bentuk alokasi dana dalam APBD dan segenap daya dan

upaya untuk merealisasikan KI tersebut, melalui sosialisasi program.

Langkah strategis yang perlu ditempuh Pemda adalah mewujudkan KI pada

lahan 98 ha terlebih dahulu, sehingga perluasan KI menjadi sekitar 512 ha

akan menjadi relatif lebih mudah. Cara ideal untuk menyiapkan lahan

industri di wilayah ini, dengan tipikal adanya kelangkaan lahan, adalah

dengan menyertakan pemilik lahan sebagai pemegang saham KI, seperti

yang diamanatkan oleh PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.

2. Penetapan Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang saat

ini sedang diperjuangkan di tingkat Pemerintah Pusat. Salah satu

persyaratan bagi suatu wilayah untuk ditetapkan sebagai KEK adalah

tersedianya lahan seluas minimal 500 ha. Penetapan sebagai KEK akan

memberi insentif yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan lahan

tersebut.

3. Peningkatan kesadaran lingkungan dari pelaku industri dan pemberian

tekanan untuk meningkatkan kinerja lingkungan KI baik dari Pemerintah

maupun masyarakat. Juga, meningkatkan kerjasama antar industri secara

sukarela, yang saat ini tergolong masih rendah, yaitu 23,64% menjadi

sekurang-kurangnya 42,3%, sesuai dengan nilai median kerjasama antar

industri yang disarankan oleh Hardy dan Graedel (2002). Hal ini sejalan

dengan yang disampaikan oleh Li (2005) yang menulis bahwa konsep EIP

dapat membantu meningkatkan keuntungan kompetitif KI apabila kendala-

kendala seperti kurangnya kesadaran lingkungan dari pelaku industri serta

lemahnya kerjasama antar industri dapat dihilangkan.

Page 191: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

170

4. Fasilitasi oleh Badan Pemerintah yang sengaja dibentuk untuk itu. Badan

Pemerintah tersebut dapat diisi oleh para pakar dalam bidang

pengembangan industri manufaktur, pelaku industri yang berpengalaman,

ahli hukum, dan tenaga ahli bidang lainnya yang relevan. Badan ini dapat

bekerja sama secara harmonis dengan Perusahan Kawasan Industri atau

Perusahan Pengelola Kawasan Industri yang memiliki fungsi operasional di

dalam kawasan industri.

5. Pemberian kesempatan dan insentif dari Perusahan Pengelola AEIP Bitung

kepada tenan untuk bertindak seirama (Ayres and Ayres 2002). Tindakan

seirama tersebut terdiri atas dua hal, yaitu:

(a) Perencanaan Kawasan Industri (KI) yang merangsang kinerja lingkungan

yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan. Ini menyangkut lay out fisik

yang harmonis dengan bentang alam, perencanaan infrastruktur untuk

pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia, pendirian bangunan-

bangunan yang hemat energi, penyediaan sumber energi yang tepat

(termasuk energi yang terbarukan), perencanaan posisi dari perusahan-

perusahan yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah,

pembangunan pusat daur ulang, dan menyisakan lahan kosong untuk

habitat alami;

(b) Mempromosikan prosedur organisasi untuk memfasilitasi manajemen

lingkungan yang lebih baik pada level pabrik, membangun mekanisme

untuk pertukaran kelebihan energi dan limbah, dan membangun sistem

informasi dan komunikasi untuk perusahan sehingga mereka dapat

menemukan penyelesaian masalah lingkungan sendiri. Fasilitas ini

dibangun untuk mempercepat terjadinya sinergi antara pabrik-pabrik,

didasarkan pada kerjasama sukarela bukan karena tekanan. Tanpa

mekanisme tersebut maka pengaturan sinergi dan simbiotik akan lambat

terjadi. Percepatan adopsi MP-AEIP Bitung dapat digambarkan sebagai

berikut (Gambar 7.1.).

Page 192: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

171

Gambar 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri (Ayres dan Ayres 2002).

Gambar 7.1. menunjukkan keterkaitan antar perencanaan KI dengan

prosedur kawasan industri yang dapat menghasilkan kerjasama antar perusahan

secara sukarela sehingga adopsi terhadap konsep ekologi industri dapat terjadi

bagi peningkatan kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan.

7.3.3. Rekruitmen Tenan Jenis dan karakteristik tenan yang akan direkrut perlu direncanakan secara

matang terlebih dahulu. Proses perencanaan melibatkan Badan Pemerintah

(point 4 di atas), Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Litbang. Tenan yang

direkrut akan memberikan “warna” bagi kawasan industri. Sebagai contoh,

mengingat mulai terkendalanya pasokan bahan baku, terutama pada industri

berbasis kelapa, rekruitmen dapat dilakukan terhadap tenan yang menguasai

teknologi modern dari industri kelapa. Kriteria yang dapat digunakan untuk

proses rekruitmen adalah: (1) rekrut tenan yang mempraktekan produksi bersih,

PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI:

(1) Lay out yang harmonis dengan bentang alam

(2) Infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia dan bahan baku serta bahan penolong

(3) Bangunan yang di desain hemat energi

(4) Sumber energi terbarukan

(5) Posisi pabrik yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah

(6) Fasilitas umum (daur ulang, penanganan limbah, kantin, pusat kesehatan, pusat penyimpanan, pusat pendidikan/pelatihan)

(7) Habitat alami

PROSEDUR KAWASAN INDUSTRI: (1) Fasilitasi

manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik

(2) Membangun mekanisme pertukaran kelebihan energi dan limbah

(3) Membangun sistem informasi dan komunikasi

Adopsi konsep Ekologi Industri

Memba-

ngun

kerjasama

antara

perusahan

secara

sukarela

bukan

karena

tekanan

atau

intimidasi

Kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara

keseluruhan

Page 193: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

172

HACCP, atau ISO (2) rekrut tenant yang mau bekerjasama di dalam program

pemanfaatan bahan ikutan/limbah industri, (3) bangun visi menciptakan

keberagaman industri supaya dapat saling terkait dalam memanfaatkan bahan

ikutan dan limbah industri, (4) selaraskan sumberdaya alam (pasokan bahan

baku, energi, air, dan ketersediaan lahan industri) dengan jumlah tenan dan

jumlah produksi.

7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP Bitung Kelembagaan atau institusi merupakan “batasan-batasan buatan manusia

yang memberi struktur pada interaksi politik, ekonomi dan sosial“ (North 1991).

Institusi yang efektif, menurut North, adalah institusi yang “meningkatkan faedah

bagi solusi-solusi kooperatif atau meningkatkan biaya dari tidak-bekerja-sama

(defection).” Sesuai dengan bahasan sebelumnya maka kelembagaan yang

diperlukan untuk menerapkan MP-AEIP Bitung adalah:

1. Pokja AEIP Bitung atau Badan Khusus yang dibentuk oleh

Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk mempromosikan penerapan MP-AEIP.

2. Perusahan Pengelola AEIP.

3. Tata tertib AEIP.

4. Sistem kerjasama antar industri dalam pemanfaatan materi dan limbah.

5. Sistem rekruitmen tenan, dan

6. Program pengembangan masyarakat (CSR).

7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung

A. Kebijakan Strategis

1. Konsistensi penerapan peraturan perundangan dalam bidang

pengembangan industri dan lingkungan, seperti Peraturan Pemerintah

tentang Kawasan Industri atau AMDAL.

2. Penegakan hukum yang konsekuen bagi perikanan IUU (illegal,

unreported, unregulated) seperti illegal fishing, penangkapan ikan dengan

teknologi yang tidak sah, dan penjualan ikan ditengah laut kepada

nelayan asing.

3. Mendorong dan atau mendukung penerapan ketentuan Uni Eropa bagi

Sertifikasi Tangkapan Ikan (Catch Certification) untuk memerangi IUU.

4. Menerapkan hambatan ekspor bahan baku ikan laut segar dan kelapa.

5. Pengembangan industri turunan kelapa non-konvensional.

Page 194: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

173

B. Kebijakan Operasional

1. Program insentif bagi tenan Agro-Eco-Industrial Park (AEIP), yang dapat

berupa keringanan pajak, harga lahan industri yang terjangkau,

penyediaan sarana dan prasarana penunjang, dan kemudahan

pengurusan dokumen usaha industri.

2. Pengembangan budidaya perikanan laut, seperti pertambakan dan

budidaya rumput laut.

3. Menghilangkan hambatan-hambatan investasi dan menerapkan sistem

investasi terpadu, yang dapat menjamin bahwa prosedur investasi tidak

dilakukan secara berbelit-belit, misalnya dengan menerapkan sistem

investasi satu atap/terpadu.

4. Mempertahankan dan atau meningkatkan tingkat produksi Kelapa Dalam.

5. Penetapan ”ceiling price” yang logis dari lahan industri untuk merangsang

investasi.

6. Penetapan sistem sewa lahan industri atau pelibatan pemilik lahan

pertanian sebagai pemegang saham kawasan industri.

7. Pengkajian tentang penurunan penggunaan air bersih pada industri

perikanan laut dan kelapa untuk menurunkan beban limbah cair yang

harus diolah pada pusat pengolahan limbah cair.

Page 195: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

174

VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan

Dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerja industri agro di Kota

Bitung dinilai cukup baik. Dengan demikian aktivitas industri agro dan rencana

pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat

penilaian positif dari pemangku kepentingan. Analisis terhadap kerangka kinerja

lingkungan dari rencana lokasi kawasan industri dimaksud memberikan

legitimasi terhadap penilaian positif tersebut.

Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung yang terwujud dalam bentuk

kerjasama antar industri dalam hal pertukaran materi dan limbah masih rendah

sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatannya potensial terjadi di dalam MP-AEIP

Bitung.

Variabel-variabel dominan dari MP-AEIP Bitung adalah: Sub-Model Industri

Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model

Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan

Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa

penerapan model potensial menurunkan limbah industri dan meningkatkan

penggunaan bahan ikutan. Disamping itu, terdapat korelasi positif antara

meningkatnya nilai produksi dengan pemanfaatan limbah cair dan bahan ikutan

di dalam model. Dengan demikian maka model yang dibangun dapat

berkontribusi pada pembangunan industri yang berkelanjutan. Potensi

penurunan limbah dan peningkatan nilai produksi yang sejalan dengan

peningkatan pemanfaatan limbah tersebut di atas dapat berkontribusi pada

perubahan paradigma berpikir untuk melihat limbah industri dan bahan ikutan

bukan sebagai beban tapi sebagai peluang usaha.

Faktor-faktor eksternal yang dapat mempercepat penerapan MP-AEIP

adalah upaya mengatasi masalah kekurangan pasokan bahan baku, realisasi

pembangunan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah, penetapan

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung, dan penyiapan kelembagaan

eksternal pendukung. Sedangkan faktor-faktor internal berupa percepatan

adopsi konsep ekologi industri, rekruitmen tenan dengan jenis dan karakteristik

sesuai perencanaan, dan penyiapan kelembagaan internal pendukung.

Page 196: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

175

8.2. Saran Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun masih mengandung

kelemahan sehingga terbuka untuk dikembangkan dan atau disesuaikan dengan

dinamika kondisi lapangan. Pertama, apabila kawasan industri yang legal formal

telah dibangun di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung maka model yang

dibangun akan semakin absah. Kedua, apabila industri manufaktur di lokasi

tersebut mulai beroperasi maka akan diperoleh data yang semakin akurat

sebagai masukan bagi pemodelan. Ketiga, pelibatan tenan secara aktif dalam

perumusan kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela akan

memberikan informasi yang akurat tentang kegiatan-kegiatan yang disepakati

untuk dilakukan secara bersama, yang nantinya merupakan elemen penyusun

dalam pemodelan.

Page 197: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

176

DAFTAR PUSTAKA Anex R. 2004. Something New Under the Sun? [Editorial]. Journal of Industrial

Ecology Volume 7, Number 3-4.

Anonim. December 2002.. Mark Jeffrey Consultants and Eco-industrial Solutions Ltd. Identification of Eco-industrial Networking Opportunities in Greater Vancouver. Demand Side Management Benefits. Submitted to GVRD, Policy and Planning Division.

----------. 1998. Metode FaST (facility synergy tool). Industrial Economics, Inc., Cambridge, MA.

----------. 2001. Kota Bitung. [email protected]. Aug 31, 2001.

----------. Kalundborg. Business and Sustainable Development: A Global Guide. BSD.Global. Com. http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77. Diakses tanggal 29 Januari 2010 jam 15:28.

----------. 2009. Rencana Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (Catch Certification) oleh Uni Eropa. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. http://home.speedbit.com/search.aspx?q= sertifikasi +hasil+tangkap+perikanan+laut&site=web&aff=107&btn=Search. [9 Januari 2010].

Ardana IK. 2009. Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau-

Pulau Kecil. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Ayres RU and Ayres LW. 2002. A Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham, UK. Edward Elgar.

Berkel RV. 1996. Cleaner Production in Practice: Methodology Development for Environmental Improvement of Industrial Production and Evaluation of Practical Experience. [Abstract of Dissertation]. University of Amsterdam, the Netherlands. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007].

Bitung Dalam Angka Tahun 2007. Kantor Statistik Kota Bitung. Bitung.

Bourgeois R. dan F Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor.

Breeze P. 2005. Power Generation Technologies, Newnes, Great Britain.

Brundtland, GH. 1987. Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Development. United Nations. http://www.un-documents. net/ocf-cf.htm

Buen J. 2001. Industrial Ecology-only needed in the north? International Journal of Economic Development. 3, 2.

Chertow 1988. Eco-industrial park model reconsidered. Journal of Industrial Ecology 2 (3), 8-10.

Page 198: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

177

Chertow MC. 2007. Uncovering Industrial Symbiosis. Journal of Industrial Ecology Volume 11, number 1.

Chiu ASF. 2002. Ecology, Systems, and Networking. Walking the Talk in Asia. Journal of Industrial Ecology Volume 5, Number 2.

Chiu ASF dan Yong G. 2004. On the Ecology Potential in Asian Developing Countries. Journal of Cleaner Production 12;1037-1045.

Cote RP and Cohen-Rosenthal E. 1998. Designing Eco-Industrial Park: a synthesis of some experiences. Journal of Cleaner Production 6;181-188.

Cunningham R and Lamberton G. Industrial Ecology and the development of Eco-Industrial Estate. [artikel tidak dipublikasikan, diakses dari internet].

[Depkimpraswil] Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Sulawesi.

[Deperind] Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Jakarta.

Desrochers P. Winter 2001. Eco-Industrial Parks: the Case of Private Planning. The Independence Review, volume V, nomor 3, pp 345-371.

Deutz P and Gibbs D. 2004. Eco-Industrial Development and Economic Development: Industrial Ecology or Place Promotion? Business Strategy and the Environment 13, 347-362.

[Dinas Capil dan Kependudukan Kota Bitung]. 2008. Data Kependudukan Kota Bitung.

[Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulut]. 2009. Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab. Website Dinas Perikanan dan Kelautan Prov Sulut.

Dirdjojuwono RW. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Sebuah Konsep Perencanaan dan Aplikasinya. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.

Ehrenfeld J. 2004. Industrial Ecology: a New Field or only a Metaphor? Journal of Cleaner Production, 12;825-831.

Ehrenfeld JR. 2006. Advocacy and Objectivity in Industrial Ecology. Journal of Industrial Ecology. Volume 10, Number 4.

Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor.

Frosch RA dan Gallopoulos NE. 1989. Strategies for Manufacturing. Scientific American, 261:3, pp 144-152.

Gibbs D. August 2003. Trust and Networking in inter-firm relations: the Case of Eco-Industrial Development. Local Economy vol 18, no. 3, 222-236.

Gibbs D dan Deutz P. 2005. Implementing Industrial Ecology? Planning for Eco-Industrial Park in the USA. Geoforum 36;452-464.

Page 199: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

178

Hardy C and Graedel TE. 2002. Industrial Ecosystems as Food Webs. Journal of Industrial Ecology volume 6, Number 1.

Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Hayward T. 1994. Ecological Thought: An Introduction. Polity Press. Cambridge.

Heeres RR, Vermeulen WJV and Walle de FB. 2004. Eco-Industrial Park initiatives in the USA and the Netherlands: first lessons. Journal of Cleaner Production 12;985-995.

Hewes AK. 2005. The Role of Championss in Establishing Eco Industrial Parks. [Abstract of Dissertation]. Antioch New England Graduate School. International Society for Industrial Ecology. [23 Maret 2007].

[IEI] Industrial Economics, Incorporated. March 1998. Applying Decision Support Tools for Eco-Industrial Park Planning: a Case Study in Burlington, Vermont. Cambridge, MA.

[In-Cites]. An Interview with Dr. David Tilman. 2001. http://www.in-cites.com/scientists/dr-david-tilman.html

[ID] Indigo Development. 2005. Defining Industrial Ecology. [Diakses pada Juli 2007].

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change 2001. The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge University Press. Cambridge. UK. 2001.

Jelinski LW, Graedel TE, Landise RE, McCall DW and Patel CKN. February 2002. Industrial Ecology: Concepts and Approaches. Proceeding of National Academy of Science Volume 89, pp 793-797.

Kassinis GI. 1997. Industrial Reorganization and Inter-Firm Networking: In Search of Environmental Co-location Economies. [Abstract of Dissertation]. Princeton University. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].

Kates RW, Parris TM, dan Leiserowitz AA. What is Sustainable Development? Goals, Indicators, and Practice. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, Vol 47, Number 3, pages 8-21.

Kim KS and Gallent N. 2002. Industrial Park Development and Planning in South Korea. Regional Studies.

Kodrat KF. 2006. Analisis Sistem Pengembangan Kawasan Industri Terpadu Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus: PT. Kawasan Industri Medan). [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Koenig A. 2005. Quo Vadis Eco-Industrial Park? How Eco-Industrial Parks are Evolving. Journal of Industrial Ecology volume 9, number 3.

Page 200: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

179

Korhonen J. Industrial Ecology in the Strategic Sustainable Development Model: Strategic Application of Industrial Ecology. Journal of Cleaner Production, 12 (2004), 809-823.

Korhonen J, Huisingh D and Chiu ASF. 2004. Introduction: Application of Industrial Ecology - an Overview of the Special Issues. Journal of Cleaner Production 12;803-807.

Korhonen J. 2001. Regional industrial ecology: examples from regional economic systems of forest industry and energy supply in Finland. Journal of Environmental Management 63;367-375.

-----------------. 2001. Two paths to Industrial Ecology: Applying the Product-based and Geographical Approach. Journal of Environmental Planning and Management 45 (1), 39-57.

-----------------. 2002. Industrial Ecosystem-Using the Material and Energy Flow Model of an Ecosystem in an Industrial System. [Abstract of Dissertation]. University of Jyvaskyla, Finland. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].

Kristanto P. Ekologi Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. 2002.

Lambert AJD and Boons FA. 2002. Eco-Industrial Parks: Stimulating Sustainable Development in Mixed Industrial Parks. Technovation 22;471-484.

Lowe EA. 2001. Eco-Industrial Park Handbook for Asia Developing Countries. August 2001.

Lowe EA and Evans LK. 1995. Industrial Ecology and Industrial Ecosystem. Journal of Cleaner Production, volume 3, number 1-2, pp 47-53.

Manetsch TJ and Park GL. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social System Science. Michigan State University.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Martin SA. et al. October 1996. Eco-Industrial Parks: A Case Study and Analysis of Economic, Environmental, Technical, and Regulatory Issues. Final Report.

Mitchel B, Setiawan B dan Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta.

Nadin V. Environmental Suatainability and Spatial Planning Systems. Center for Environment and Planning. University of the West of England, Bristol, UK. http://www.uwe.ac.uk/fbe/ spectra/publication.html [23 Februari 2007].

Nikijuluw VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Blue Water Crime. Cetakan Pertama. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

North, DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives 5 (1).

Page 201: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

180

Nugroho. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Nugrohoadi. 2 Juli 2007. Listrik Energi Gelombang. http://www.ristek.go.id/ index.php? mod= News&conf=v&id=1961

Odom S. 2001. The Sustainable Systems Analysis Algorithm: A Decision-Support and Evaluation Methodology Applied to Promote Sustainable Industrial Development. [Abstract of Dissertation]. University of South Carolina. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].

Park HS and Won JY. 2007. Ulsan Eco-Industrial Park. Challenges and Opportunities. Journal of Industrial Ecology volume 11, number 3.

Peck S. 2002. When is an Eco-Industrial Park not an Eco-Industrial Park? Journal of Industrial Ecology Volume 5, number 3.

Peck SW. 1996. Industrial Ecology: From Theory to Practice. http://newcity.ca/Pges/industrial_ ecology.html. [22 Maret 2007]. This paper was originally presented at the Environmental Studies Association of Canada meeting at the 1996 Learned Societies Conference in St. Catherines, Ontario.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.

Pereira AA. March 2004. State Enterpreneurship and Regional Development: Singapore Industrial Park in Batam and Suzhou. Enterpreneurship and Regional Development 16;129-144.

Pojoh B., dkk. 2000. Pengembangan Pembuatan Tepung Kelapa (Dessiccated Coconut). Komunikasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Manado.

Roberts BH. 2004. The Application of Industrial Ecology Principles and Planning Guidelines for the Develoment of Eco-Industrial Parks: an Australian Case Study. Journal of Cleaner Production 12;997-1010.

Sagala A., et al. 2004. Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Industri. Penerbit BPPT Jakarta.

Saaty TL. 1983. Decision Making for Leaders: the Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.

Shi H, Moriguichi Y and Yang J. 2003. Industrial Ecology in China, Part I. Research. Journal of Industrial Ecology, Volume 6, Number 3-4.

Sinclair P, Papathanasopoulou E, Mellon W, and Jackson T. 2005. Towards and Integrated Regional Material Flow Accounting Model. Journal of Industrial Ecology Volume 9, Number 1-2.

Singhal S and Kapur A. 2002. Industrial Estates Planning and Management in India-an Integrated Approach Towards Industrial Ecology. Journal of Environmental Management 66;19-29.

Page 202: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

181

[SSBGW] Sustainable South Bronx and Green Worker Cooperatives with David M. Muchnick, Stephen A. Hammer, Joan Byron, and E. Gail Suchman Esq. 2007. The Oak Point Eco-Industrial Park: A Sustainable Economic Development Proposal for the South Bronx.

Suharyanto dan Rinaldy J. Estimasi Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang di Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(18)%20soca-suharyanto%20dkk-estimasi %20potensi(1).pdf . [8 Januari 2010].

Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.

Ditetapkan pada tanggl 14 Oktober 2009. Bogor. http://www.bktrn.org/peraturan /file/UU_No_39_Tahun_2009_Tentang_KEK.pdf

[UN] United Nations. Indonesia: Environment and Development. 1994. A World

Bank Country Study. Washington, D.C.

Turangan DJ. 1999. Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Lain di Kota Bitung. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

[Wikipedia]. Biodiesel. http://en.wikipedia.org/wiki/Biodiesel#Technical_stand-ards. [5 Januari 2010].

Wei L. 2005. Managing and Facilitating Eco-Industrial Development of an Industrial Park: A Case Study of Dalian DD Port, China. [Thesis]. University of Waterloo, Waterloo, Ontario, Canada.

Yarime M. 2007. Promoting Green Innovation or Prolonging the Existing Technology. Regulation and Technical Change in the Chlor-Alkali Industry in Japan and Europe. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 4.

Yiping F, Cote RP and Rong Q. 2007. Industrial Sustainability in China: Practice and Prospects for Eco-Industrial Development. Journal of Environmental Management 83;315-328.

Yong G. 2004. Integrated Water Resources Planning and Management at the Industrial Park Level. [Abstract of Dissertation]. Dalhousie University, Canada. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007].

Zhu Q, Lowe EA., Wei Y and Barnes D. 2007. Industrial Symbiosis in China. A Case Study of the Guitang Group. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 1.

Page 203: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

219

Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dan Penulisan Disertasi

No Kegiatan 2007 2008 2009 2010 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6

1 Draft Proposal Disertasi

2 Sidang Komisi I 3 Perbaikan proposal 4 Ujian kualifikasi

Doktor

5 Kolokium 6 Pengesahan

proposal

7 Pengumpulan data 8 Kompilasi data dan

informasi

9 Analisis dan interpretasi data

10 Draft Disertasi I 11 Sidang Komisi II 12 Draft Disertasi II 13 Seminar 14 Sidang Komisi III 15 Draft Disertasi III 16 Ujian Tertutup 17 Draft Disertasi IV 18 Ujian Terbuka 19 Final Touch Disertasi

Page 204: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

183

Lampiran 2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air di Lokasi Rencana Kawasan Industri

Kali yang melintasi lokasi rencana Kawasan Industri yang menjadi tempat pengambilan sampel air

Pengukuran pH air kali

Sumur warga tempat pengukuran dan pengambilan sampel air

Page 205: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

184

Lampiran 3. Foto-foto Survei Lapangan

Surat Izin Penelitian yang dicap oleh Kantor Bappeda dan Dinas Perindag Kota Bitung, Dinas Perindag Provinsi Sulut, dan BP-KAPET Manado-Bitung

Konsultasi dengan aparat Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Utara

Page 206: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

185

Maket Kota Bitung

Kantor Bappeda Kota Bitung

Gerbang Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung

Page 207: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

186

Konsultasi dengan Kepsek SMA Negeri 1 Kota Bitung

Konsultasi dan pengumpulan data dengan Lurah Tanjung Merah, Kota Bitung

Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat

Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat

Page 208: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

187

Lampiran 4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah

Page 209: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

188

Sambungan Lampiran 4.

Page 210: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

189

Sambungan Lampiran 4.

Page 211: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

190

Sambungan Lampiran 4:

Page 212: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

191

Lampiran 5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil

Pengolahan ISM VAXO) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 4 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 6 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 9 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 10 1 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 11 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 12 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 13 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 No. Sub Elemen 1 Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru 2 Meningkatkan peluang kerja 3 Meningkatkan daya saing usaha industri 4 Meningkatkan pendapatan industri 5 Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan 6 Meningkatkan nilai tambah bahan baku dan produk industri 7 Menurunkan jumlah limbah industri 8 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat 9 Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi 10 Memasok energi dari sumber terbarukan 11 Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat 12 Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan 13 Meningkatkan kerjasama antara industri secara sukarela

Page 213: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

192

Lampiran 5b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Drv 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 2 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 3 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 4 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 5 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 6 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 11 8 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 9 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12 11 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 12 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 12 Dep 13 13 13 13 6 13 3 13 6 1 13 6 1 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence

Page 214: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

193

Lampiran 6a. Hubungan Konstekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama

Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 7 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 No. Sub Elemen 1 Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri 2 Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri 3 Kurangnya pemahaman terhadap konsep Agro-EIP 4 Terbatasnya luasan lahan untuk pembangunan kawasan industri 5 Rencana tapak proyek kawasan industri adalah lahan pertanian subur 6 Meroketnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan kawasan industri 7 Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung kurang konsisten 8 Kurangnya pasokan tenaga kerja terampil 9 Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa 10 Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah 11 Belum adanya jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar 12 Pasokan energi listrik mulai terkendala 13 Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil

Page 215: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

194

Lampiran 6b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Kendala Utama

Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Drv 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 10 4 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 6 5 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 7 6 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 5 7 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 9 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 10 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 12 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 5 13 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 5 Dep 3 1 1 2 1 5 2 10 10 10 11 3 3 Keterangan:

Drv = driver power Dep = dependence

Page 216: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

195

Lampiran 7a. Hubungan kontekstual antara sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 3 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

Keterangan: No. Sub Elemen 1 Program penyiapan lahan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai

pemegang saham 2 Penyusunan Master Plan kawasan industri 3 Penyiapan desain "green building" untuk pabrik, kantor, dan bangunan lainnya 4 Pembentukan POKJA Pengembangan Agro-EIP 5 Sosialisasi Agro-EIP 6 Pendirian perusahan pengelola kawasan industri 7 Pembangunan Pusat Informasi Lingkungan 8 Perumusan tata tertib kawasan industri 9 Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela 10 Penyiapan sistem rekruitmen tenant 11 Penetapan pola harga kapling industri 12 Pembangunan infrastruktur kawasan industri 13 Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan 14 Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat 15 Pembangunan fasilitas daur ulang 16 Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk 17 Pembangunan perumahan karyawan 18 Pembangunan klinik kesehatan 19 Pembangunan fasilitas riset 20 Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa 21 Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian 22 Pembangunan fasilitas training 23 Pembangunan pusat promosi dan bisnis 24 Penyiapan sistem transportasi masal 25 Penyusunan program CSR (Corporate social responsibility)

Page 217: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

196

Lampiran 7b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Drv 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 7 2 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 23 3 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 21 4 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 9 5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 8 6 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 10 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 6 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 5 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 12 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 2 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 4 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 3 Dep 5 1 2 1 4 1 4 4 7 7 7 8 3 15 14 15 23 22 14 14 14 14 14 9 21 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence

Page 218: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

197

Lampiran 8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas

Struktur AHP Alternatif AEIP Bitung

Keterangan:

A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industria

(merujuk pada Model Kalundborg, Denmark)

B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi

dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan

(RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan

fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP).

C. Model AEIP dengan konsentrasi pada upaya penyediaan informasi

khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada

Model Burnside, Nova Scotia, Kanada).

D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan

dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi

tenant di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME,

Perancis).

E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas

bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan

industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus

industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow

Chemical, Jerman).

Alternatif AEIP Bitung

Membangkitkan energi listrik dari

sumber terbarukan

Meningkatkan kerjasama

antar industri secara

sukarela

Kurangnya pemahaman

terhadap Konsep Agro-

EIP

Rencana lokasi KI

adalah lahan pertanian

subur

A C D B E

Sasaran

Kriteria

Alternatif

Page 219: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

198

----------------------Memilih prioritas dari Kriteria Penilaian-------------------------- Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing KRITERIA dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut:

Nilai Skor Keterangan

1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting

3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya.

5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria yang lainnya

7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya

9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

Dari segi sasaran, Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing kriteria pada tabel berikut:

Kolom kiri

Diisi jika kriteria di kolom kiri lebih penting dibanding kriteria

di kolom kanan

Diisi bila

sama penting

Diisi jika kriteria di kolom kanan lebih penting dibanding kriteria

di kolom kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K1 v K2

K1 v K3

K1 v K4

K2 v K3

K2 v K4

K3 v K4

Keterangan: K1. Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan K2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela K3. Kurangnya pemahaman terhadap Konsep AEIP K4. Rencana lokasi KI adalah lahan pertanian subur

----------------------Memilih prioritas dari Alternatif Agro-EIP--------------------------- Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing ALTERNATIF dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut:

Nilai Skor Keterangan

1 Alternatif yang satu dengan yang lainnya sama penting

3 Alternatif yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Alternatif yang lainnya.

5 Alternatif yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Alternatif yang lainnya

7 Alternatif yang satu sangat penting dibanding Alternatif yang lainnya

9 Alternatif yang satu ekstrim pentingnya dibanding Alternatif yang lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

Page 220: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

199

1. Dari segi kriteria “Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:

2. Dari segi kriteria “Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:

3. Dari segi Kriteria “Kurangnya pemahaman terhadap Konsep Agro-EIP.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:

Kolom kiri

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding

Alternatif di kolom kanan

Diisi bila

sama penting

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding

Alternatif di kolom kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E

Kolom kiri

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting

dibanding Alternatif di kolom kanan

Diisi bila

sama penting

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting

dibanding Alternatif di kolom kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E

Kolom kiri

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting

dibanding Alternatif di kolom kanan

Diisi bila

sama penting

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding

Alternatif di kolom kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E

Page 221: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

200

4. Dari segi Kriteria “Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:

Kolom kiri

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding

Alternatif di kolom kanan

Diisi bila

sama penting

Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting

dibanding Alternatif di kolom kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E

Page 222: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

201

Lampiran 9. Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi di dalam Expert Survey

A. Nama Lengkap : Ir. James Philip Alan Rompas, MSi Jabatan : Kepala Bappeda Kota Bitung Pendidikan : S1 : Teknik Sipil dan Perencanaan Unsrat, 1988.

S2 : Pasca Sarjana Manajemen Perkotaan, Unsrat Manado/2003

Training: 1. Kursus Manual Pendapatan Daerah di Bitung thn 1990 2. Kursus Pemimpin Proyek di Manado thn 1990 3. Kursus Penyusunan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu di

Ujung Pandang thn 1990 4. Pelatihan Tenaga Pelatih (TOT) Penyuluh Bidang Perumahan dan

Permukiman di Manado thn 1991 5. Kursus Project Management System di Manado thn. 1992. 6. Kursus Planning of Regional Development Program (PRDP) thn 1995 di

Manado 7. Kursus TOT of PRDP di Ujung Pandang thn 1996. 8. Kursus Manajement Proyek Kabupaten/Kota Master Trainning Program

(KRMTP) –I di Manado thn 1996. 9. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-II di Manado thn 1996 10. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-III di Manado thn 1997 11. Kursus Adminitrasi Bantuan Luar Negeri di Manado thn 1997 12. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat Dasar

(TMPP-D) di Ujung Pandang thn 1998 13. Penataran P- 4 (Pola B2) di Bitung thn 1997 14. Kursus Bimbingan Teknis bidang Kecipta karyaan di Manado thn 1998 15. Pendidikan Komputer TMPP di Ujung Pandang thn 1998 16. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat

Lanjutan di Ujung Pandang thn 1999 17. Pelatihan Administrasi Bantuan Luar Negeri (ABLN) IISP-II Loan ADB

1296-INO di Manado thn 1999. 18. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam di Manado thn 2000 19. Pelatihan Manajemen Perkotaan di Sanur Bali thn 2000 20. Kursus English for Academic purposes course for Urban Development

staff di Manado thn 2000 21. Pelatihan Urban Environmental Management di Kuta Bali thn 2001 22. Diklat Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa, di Jakarta thn 2003. 23. Pelatihan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah

(RIPPDA) di Yogyakarta thn 2004. 24. Diklat Kepemimpinan Bagi Eselon II dengan Pendekatan “System

Thinking” di Jakarta thn 2004 25. Latihan MARPOLEX (Marine Polution Exercise) di Cebu Philippina thn

1995 26. Kursus Method and Tehnique of Project Planning (MTPP) dan TOT of

MTPP di Berlin Jerman thn 1997 27. Field Study of Urban Management Program di Urban Development

Authority (URA) Singapore thn 2000 28. Short Term Trainning in Tourism Development Planning di Nagoya

Jepang thn 2000 29. Professional Technical of Urban Management Assistance di Coos Bay,

Oregon USA. thn 2001

Page 223: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

202

30. Reducing the Cost of Conflict in Local Government di Philadelphia, Pensylvania, USA. thn 2002.

31. Study Democratic Principle and Urban Management Development, di Coos Bay, Oregon, USA thn 2003

32. Study Humanitarianism Understanding, di Coos Bay, Oregon USA.thn 2003

33. Study Ecotourism development, US Forest Service, Business Development Center, di Oregon USA. thn 2004.

34. Local Government & Higher Education Development Training, di Southwestern Oregon Community College, Coos Bay OR, USA,thn 2004.

Seminar: 1. Apresiasi Penataan Ruang Propinsi Sulawesi Utara di Manado tgl 5-6

Desember 2000 2. Revitalisasi Pembangunan Sulawesi Utara Menuju Indonesia Baru di

Manado tgl 29 Pebruari 2000 3. Revitalisasi Kawasan dan Rencana Induk Sistem Air Bersih di Manado tgl

12-14 Juni 2001. 4. Seminar Nasional Pembangunan Perkeretaapian Sulawesi di Manado tgl

15 Juli 2002 5. Seminar Nasional Pengelolaan Pelabuhan laut dalam era Otonomi

Daerah, di Jakarta tgl 12 Pebruari 2003 6. Konferensi Nasional Praktek Inovatif Program Kemitraan Sumberdaya

Kota Indonesia-Amerika di Jakarta 1 – 2 Juli 2003

B. Nama : Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh, MS. Kelamin : Pria Umur : 59 Thn

Pendidikan akademik(1) Doktor, Ekonomi Institusional, IPB-Bogor.

:

(2) Magister Sains, Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor.

Jabatan fungsional/profesional (sedang berjalan(1) Guru Besar dalam Manajemen Agribisnis, Unsrat Manado

):

(2) Dosen Fakultas Pertanian dan Pascasarjana Unsrat Manado.

(3) Pembantu Dekan Fakultas Pertanian Unsrat Manado Bidang “Kerja Sama, Perencanaan, dan Evaluasi Kinerja”

(4) Sekretaris Tim Penyelenggara Program Tridharma PT Terpadu, Fakultas Pertanian Unsrat Manado.

(5) Ketua Pokja Ahli, Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Sulawesi Utara.

(6) Ketua Komisi Penyuluhan, Provinsi Sulawesi Utara.

Page 224: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

203

Lampiran 10. Struktur MP-AEIP Bitung

Lampiran 11. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung Industri 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Jumlah

Page 225: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

204

1 - 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 2 0 - 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 3 0 0 - 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4 0 0 0 - 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 5 0 0 0 0 - 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 5 6 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 4 7 0 0 0 0 0 1 - 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 7 8 0 0 0 0 0 1 1 - 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 12 9 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 6 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 14 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 1 1 19 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 - 0 0 0 0 0 1 3 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 - 0 1 1 1 1 24 21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 - 1 1 1 1 24 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 1 1 2 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 1 1 2 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 - 1 Jumlah 110

Ket: 1=Ikan Kaleng; 2=Ikan Asap; 3=Ikan Beku; 4=Ikan Kayu; 5=Tepung Ikan; 6=Pakan Ternak; 7=Minyak Kelapa; 8=Kelapa Parut Kering; 9=Arang Aktif; 10=VCO; 11=Biodiesel; 12=Nata de Coco; 13=Arang Tempurung; 14=Minyak dari Paring; 15=Coco Vinegar; 16=Kecap Kelapa; 17=Minuman Ringan; 18=Bahan Kosmetik; 19=Santan Kelapa; 20=Pembangkit Listrik Tenaga Surya; 21=Pembangkit Listrik Tenaga Bayu; 22=Peternakan Ayam; 23=Penggemukan Sapi; 24=RPH; dan 25=Pengomposan. Simbol: 1 = ada keterkaitan antar ke-dua industri;

0 = tidak ada keterkaitan antar ke-dua industri. Nilai keterkaitan antar industri (C) = (2x110) / [25x(25-1)] = 220 / 600 = 0,3667 atau 36,67%.

Page 226: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

205

Lampiran 12. Koefisien dan Persamaan-persamaan dari MP-AEIP Bitung

Page 227: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

206

Sambungan Lampiran 12

Page 228: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

207

Sambungan Lampiran 12

Page 229: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

208

Sambungan Lampiran 12

Page 230: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

209

Sambungan Lampiran 12

Page 231: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

210

Sambungan Lampiran 12

Page 232: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

211

Sambungan Lampiran 12

Sambungan Lampiran 12

Page 233: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

212

Page 234: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

213

Sambungan Lampiran 12

Page 235: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

214

Sambungan Lampiran 12

Page 236: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

215

Sambungan Lampiran 12

Page 237: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

216

Sambungan Lampiran 12

Page 238: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

217

Sambungan Lampiran 12

Page 239: MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK ... … · Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif,

218

Sambungan Lampiran 12