meregulasi csr

8
REFLEKSI 1 MEREGULASI CSR: Keluar Dari Jebakan "Mengepul Uang"* Oleh Ashari Cahyo Edi Peneliti IRE Yogyakarta Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Wonogiri Suharno pernah mengeluh (Suara Merdeka, 31/5/2011). Katanya, belum semua perusahaan di wilayah eks Karesidenan Surakarta peduli memberikan CSR (Corporate Social Responsibility). Kegelisahan serupa diungkapkan aktivis Blora Center Amin Farid: komitmen terkait jumlah nominal dana CSR berikut penggunaannya juga tidak jelas (Suara Merdeka, 16/9/2011). Sementara itu, guna mendorong praktik CSR yang lebih sinergis dengan program pemerintah daerah serta menciptakan ketaatan perusahaan terhadap regulasi, Bupati Kendal Widya Kandi berencana menyusun peraturan daerah yang mengatur CSR (Suara Merdeka, 10/8/2011). Gayung bersambut, DPRD Kabupaten Kendal pun mendukung rencana tersebut. "Dengan adanya perda tersebut, ke depan program CSR dari perusahaan bisa berjalan selaras dengan program yang dicanangkan pemerintah," kata Widya Kandi. “Dana itu masuk dalam komponen pendapatan. Saya rasa itu tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Di beberapa daerah ada juga yang seperti itu,'' timpal Amin Farid. Beragam kegelisahan di atas kiranya mewakili aspirasi daerah kaya sumber daya alam atau kabupaten/kota di mana indsutri berlokasi. Untuk memastikan bahwa perusahaan patuh, sejumlah dana CSR mengucur tiap tahun, dan mengeliminir program CSR dan pemda tumpang tindih, akhir- akhir ini wacana tentang "Perda CSR" tengah menjadi isu hangat. Kiranya, merujuk sejumlah kajian, CSR memang jauh lebih efektif dan bermanfaat ketika antar pihak selaras, bekerjasama, saling melengkapi dan mendukung satu sama lain (lihat misalnya, Calder & Culverwell, 2004). _____________________________ *Dimuat di rubrik REFLEKSI http://www.ireyogya.org/id/article/artikel/meregulasi-csr-keluar-dari- jebakan-mengepul-uang-.html.

Upload: ashari-edi

Post on 22-Mar-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Regulasi CSR seharusnya diarahkan untuk mainstreaming agenda seperti poverty reduction dan kesetaraan gender. Penguatan pemerintah hendaknya tidak dimaknai sebagai "birokrasisasi" CSR.

TRANSCRIPT

Page 1: Meregulasi CSR

REFLEKSI

1

MEREGULASI CSR: Keluar Dari Jebakan "Mengepul Uang"*

Oleh Ashari Cahyo EdiPeneliti IRE Yogyakarta

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Wonogiri Suharno pernah mengeluh (Suara

Merdeka, 31/5/2011). Katanya, belum semua perusahaan di wilayah eks Karesidenan Surakarta

peduli memberikan CSR (Corporate Social Responsibility). Kegelisahan serupa diungkapkan aktivis

Blora Center Amin Farid: komitmen terkait jumlah nominal dana CSR berikut penggunaannya juga

tidak jelas (Suara Merdeka, 16/9/2011).

Sementara itu, guna mendorong praktik CSR yang lebih sinergis dengan program

pemerintah daerah serta menciptakan ketaatan perusahaan terhadap regulasi, Bupati Kendal

Widya Kandi berencana menyusun peraturan daerah yang mengatur CSR (Suara Merdeka,

10/8/2011). Gayung bersambut, DPRD Kabupaten Kendal pun mendukung rencana tersebut.

"Dengan adanya perda tersebut, ke depan program CSR dari perusahaan bisa berjalan selaras

dengan program yang dicanangkan pemerintah," kata Widya Kandi. “Dana itu masuk dalam

komponen pendapatan. Saya rasa itu tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Di beberapa daerah

ada juga yang seperti itu,'' timpal Amin Farid.

Beragam kegelisahan di atas kiranya mewakili aspirasi daerah kaya sumber daya alam atau

kabupaten/kota di mana indsutri berlokasi. Untuk memastikan bahwa perusahaan patuh, sejumlah

dana CSR mengucur tiap tahun, dan mengeliminir program CSR dan pemda tumpang tindih, akhir-

akhir ini wacana tentang "Perda CSR" tengah menjadi isu hangat. Kiranya, merujuk sejumlah kajian,

CSR memang jauh lebih efektif dan bermanfaat ketika antar pihak selaras, bekerjasama, saling

melengkapi dan mendukung satu sama lain (lihat misalnya, Calder & Culverwell, 2004).

_____________________________*Dimuat di rubrik REFLEKSI http://www.ireyogya.org/id/article/artikel/meregulasi-csr-keluar-dari-jebakan-mengepul-uang-.html.

Page 2: Meregulasi CSR

REFLEKSI

2

Menimbang Resiko

Setelah hampir 5 tahun Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas

disahkan, hingga kini klausul tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan (corporate social responsibility) dalam UU ini belum juga dijabarkan ke dalam

peraturan pemerintah (PP).

Bab tentang CSR secara khusus diatur dalam ini Pasal 74. Ayat 1 Pasal ini mengatur bahwa

hukum CSR adalah wajib. Ayat 2 mempertegas dengan mengatakan bahwa tanggung Jawab Sosial

dan Lingkungan "dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran." Jika tidak mentaati, Ayat (3)

mengancam perusahaan dengan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tak kunjung hadirnya PP telah mendorong beberapa daerah "potong-kompas" dengan

membuat peraturan daerah tentang CSR. Tujuannya tak lain untuk memastikan bahwa perusahaan

patuh, sejumlah dana CSR mengucur tiap tahun, dan mendorong agar program CSR dan pemda

sinergis. Perda ini mengatur hingga nominal dana yang harus disetorkan perusahaan ke pemda dan

menjadi bagian dari APBD.

Hanya saja, ada sejumlah resiko jika rumusan peran pemerintah untuk mewadahi

kemitraan diaktualisasikan dengan memposisikan pemerintah sebagai “pengepul” dana CSR dan

memasukkannya kedalam APBD. Pertama, tegas Atje, Rosser dan Edwin (2008), pilihan ini beresiko

memperburuk praktik rent seeking di kalangan elit politik maupun birokrasi. Saat budaya dan

praktik politik-kebijakan masih lemah dari sisi akuntabilitas, dana CSR rentan disalahgunakan.

Lahirnya perda justru akan melegitimasi bentuk-bentuk baru korupsi. Akibatnya, misi awal

meningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi

masyarakat melalui program CSR gagal tercapai. Atje, Rosser dan Edwin (2008) mencontohkan

kasus dana reboisasi di era Orde Baru yang disetorkan perusahaan ke pemerintah, yang

disalahgunakan untuk kepentingan segelintir elit.

Page 3: Meregulasi CSR

REFLEKSI

3

Kedua, jika tujuannya adalah mengoptimalkan keterkaitan (alignment), keselarasan

(coherence), harmonisasi, dan kerjasama antar pihak, maka pilihan memasukkan dana CSR kedalam

APBD justru akan “membirokratisasi” program CSR. Ketimbang “birokratisasi”, merujuk

Brinkerhoff (2002), semangat perda hendaknya lebih ditujukan untuk memfasilitasi hadirnya

kelembagaan kemitraan yang dicirikan kolaborasi dan bebas dominasi, di mana masing-masing

pihak tetap memiliki dan bisa menggunakan kapasitasnya, berpedoman pada tujuan-tujuannya,

guna menjawab kebutuhan para target group-nya (Soplop et.al, 2009).

Isu birokratisasi ini juga mengemuka saat Kementerian Dalam Negeri menyusun rancangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang "Pedoman Dukungan Pemerintah daerah dalam

Pembentukan Forum Kemitraan Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat" (Fokedum).

Kepengurusan forum di mana dinas-dinas duduk di komisi-komisi atau seksi-seksi dengan tujuan

koordinasi dan sinkronisasi malah merumitkan struktur, mempertebal hirarki, dan membuat

kelembagaan kemitraan tidak gesit (Jaweng, 2010).

Ketiga, ketika menjadi bagian APBD maka CSR akan kehilangan fleksibilitasnya untuk

berfungsi meningkatkan kualitas pelayanan publik atau pembangunan yang belum optimal

dijalankan pemerintah daerah (suplementary function). Fleksibilitas CSR untuk menjangkau dan

menjawab kebutuhan di wilayah atau sektor tertentu (targeted) yang tidak mampu dipenuhi

kebijakan dan anggaran daerah (complementary function), pun beresiko hilang. Padahal, peran

suplementer dan komplementer (Young, 2006) ini penting untuk melengkapi nature atau karakter

dari kebijakan, perencanaan, penganggaran dan program pemerintah yang lebih bersifat

komprehensif dan mengutamakan aspek pemerataan (equity).

Berdayakan Civil Society

Ide soal akuntabilitas administrasi dan politis jika dana CSR menjadi bagian dari APBD

memang bernilai strategis. Betapa tidak, program akan diaudit oleh instansi pemerintah, bila ada

Page 4: Meregulasi CSR

REFLEKSI

4

penyelewengan maka birokrat akan ditindak, dan tidak itu saja, tujuan-tujuan program juga akan

diuji oleh anggota dewan. Dua tipe akuntabilitas yang bekerja bersamaan tampak sedemikian

"bertenaga" dan menjanjikan.

Faktanya, di tengah masih lemahnya representasi politik serta pengakuan, perlindungan

dan pemenuhan hak-hak sosial dasar oleh negara (DEMOS, 2004), dua jenis akuntabilitas ini masih

belum efektif berlaku. Sebaliknya, penguatan kapasitas regulasi Negara yang sekadar menumpuk

otoritas di tangan pemerintah daerah melalui "perda CSR" justru berpotensi memperunyam

keadaan: rent seeking subur, kolusi eksekutif-legislatif makin marak, sementara suara komunitas

yang selama ini termarjinalkan tetap tidak terakomodasi.

Tanpa landasan perda yang melegitimasi pemda mengepul dana CSR ke APBD pun, lazim

terjadi kasus di mana elit politik “menggunakan” dana hibah perusahaan untuk program yang tidak

langsung dinikmati masyarakat. Ketika persepsi masyarakat tentang pembangunan didominasi oleh

pembangunan fisik, elit politik kerap menggunakan dana dari perusahaan untuk membangun

stadion olah raga atau sproyek mercusuar lainnya, yang rentan untuk dikorupsi. Contoh lain, ketika

Newmont Nusa Tenggara memberi dana hibah senilai Rp. 144 miliar, yang muncul justru konflik

legislatif-eksekutif (www.tambangnews.com, 23/11/2011). Masing-masing pihak mempertanyakan

alokasi dana tersebut, yang antara lain digunakan untuk membeli mobil dinas bupati.

Kita tidak menutup mata bahwa ada perbedaan konteks antara asal konsep CSR (terutama

di AS dan Eropa) dan developing countries. Misalnya, community related factors (Newell & Garvey,

2004) dalam implementasi CSR yang tipikal di Amerika adalah tingginya kesadaran konsumen akan

praktik bisnis yang betanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Baru-baru ini di NPR Review

muncul isu hangat berkaitan dengan perubahan definisi produk organik yang memasukkan produk

organik produsen berskala besar dari sebelumnya yang hanya memasukkan produksi petani

berskala kecil. Tingginya kehirauan konsumen menjadikan isu kebijakan ini sedemikian ramai

didiskusikan. Keaktifan lembaga nonprofit (elemen civil society) yang senantiasa menguatkan

Page 5: Meregulasi CSR

REFLEKSI

5

kesadaran konsumen, melakukan pressure kepada perusahaan yang 'nakal', serta menguatkan

perspektif dalam regulasi-regulasi pemerintah juga menjadi ciri CSR di Amerika. Dan justru itulah,

peran-prean regulasi pemerintah hendaknya memfasilitasi dan mengondisikan situasi agar

masyarakat berdaya ketika berhadapan dengan korporasi.

Alfirdaus (2011) menjelaskan dengan gamblang betapa dalam kasus konflik perebutan

tanah di Kebumen antara petani, TNI, dan investor, entitas negara dalam hal ini pemerintah daerah

dan DPRD justru berhati mendua, tidak tegas dalam memastikan perlindungan hukum,

keselamatan hidup, dan hajat hidup (tanah sebagai lahan pencaharian). Argumen yang muncul:

penambangan pasir besi untuk PAD, dan PAD untuk pembangunan daerah. Berpijak dari kasus di

Kebumen, regulasi CSR di level local hendaknya melangkah lebih dari sekadar memobilisr dana CSR

masuk ke APBD, melainkan lebih diorientasikan untuk mendesain kelembagaan, mekanisme-

mekanisme perencanaan dan implementasi program CSR yang memfasilitasi community

empowerment. Sebab, merujuk kasus Kebumen, Kulonprogo, dan daerah lain, ketika pemerintah

melempem dan "takluk" dengan godaan suap dan politik uang, masyarakat acap harus berdiri

sendiri.

Yang mesti diingat, pilihan empowerisasi bukan berarti melulu menyemai benih konflik.

Dalam konteks tertentu, tentu konflik menjadi "resolusi" yang tak terhindarkan. Tapi dalam

perspektif jangka panjang dan situasi normal, empowerisasi bisa dimaknai dalam bentuk pilihan

kebijakan yang mendorong lahirnya program CSR berbasis kemitraan yang memberikan peluang

untuk melakukan inovasi kelembagaan serta menciptakan relasi dan mekanisme-mekanisme

pembuatan kebijakan yang menempatkan masyarakat di tempat utama. Dengan demikian,

meregulasi CSR butuh lebih dari sekadar memasukkan dana perusahaan ke APBD.

Dokumen Persatuan Bangsa-Bangsa "UN Global Compacts", misalnya, menggariskan bahwa

perusahaan hendaknya juga mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia, melindungi hak-hak

buruh, melestarikan lingkungan dan turut memerangi korupsi didalam operasi produksinya (Bader,

Page 6: Meregulasi CSR

REFLEKSI

6

2008). Untuk mewujudkan idealitas ini, ujar Ward, Fox, dan Wilson (2007), regulasi daerah

hendaknya tidak hanya defensif dengan menerima apa saja program CSR yang diberikan

perusahaan. Selain esensi perlindungan HAM dan anti korupsi, pemerintah daerah melalui

regulasinya juga mesti proaktif dengan menggariskan prinsip nilai, pendekatan, dan mainstreaming

agenda-agenda pembangunan, misalnya penanggulangan kemiskinan, kedalam program CSR

perusahaan.

Di samping pengarusutamaan dan penajaman perspektif tersebut, melalui regulasi daerah,

pemerintah daerah perlu menciptakan kondisi yang kondusif (enabling environment) bagi

kemitraan perusahaan dengan lembaga non-profit atau lembaga swadaya masyarakat. Merujuk

Knorringa dan Helmsing (2008), di tengah makin semaraknya wacana dan praktik CSR dalam

pembangunan, peran sektor nonprofit dalam kemitraan CSR ini krusial untuk menguatkan

perspektif penanggulangan kemiskinan, kesetaraan gender, hingga partisipasi warga. Yang penting

diingat, aktif dalam kemitraan CSR bukan berarti menjadi "penyemir" agar citra perusahaan makin

mengkilat, melainkan secara langsung terlibat secara kritis dan asertif dalam relasi yang

konstruktif.

Sebagaimana hasil studi Bobenrieth dan Stibbe (2008), perwakilan 15 perusahaan

multinasional dan nasional di Belanda seperti Nike, DHL, Pricewaterhousecooper, dan Danone

menyatakan bahwa kemitraan perusahaan-LSM menjadi wahana pembelajaran, pertukaran ide dan

pengalaman, mensinergikan kelebihan (perspektif dan keahlian) sektor privat dengan nonprofit

didalam inovasi pelaksanaan program CSR dan pelayanan masayarakat.

Pemerintah Tetap Kuat

Memang, fakta menunjukkan, menyerahkan implementasi CSR sepenuhnya pada itikad baik

perusahaan untuk sukarela berkomitmen pada CSR adalah sesuatu yang naïf. Di Amerika, misalnya,

perusahaan-perusahaan yang terbukti memiliki best practices dalam CSR adalah industri di sektor

Page 7: Meregulasi CSR

REFLEKSI

7

di mana agensi-agensi Federal terkait memiliki regulasi yang tegas. Rating tahunan dari KLD

Research & Analytics dari sekian ratus perusahaan di AS mengkonfirmasi hal tersebut (Davis,

Whitman & Zald, 2008). Perusahaan yang paling banyak terlibat dengan pengembangan komunitas,

khususnya melalui corporate philanthropy, adalah industri keuangan dimana kontribusinya

digariskan oleh Community Reinvestment Act 1977. Korporasi dengan rekor lingkungan terbaik

adalah industri yang paling banyak menjalin kontak dengan Environmental Protection Agency. Dan

Industri dengan kebijakan ketenagakerjaan yang baik adalah industri yang umumnya pekerjanya

memiliki serikat buruh. Ilustrasi ini membuktikan, peran-peran regulatif pemerintah menentukan

hitam-putih perilaku perusahaan.

Apakah dengan “hanya” memperkuat kapasitas regulatif pemerintah berarti publik

kehilangan kontrol atas sumber daya? Jawabnya: tidak. Kita tidak boleh lupa bahwa praktik kolusi

dan suap yang membajak proses kebijakan telah sedemikian rupa menimbulkan persepsi bahwa

posisi sebagai "regulator" bersinonim dengan "macan ompong"; yang selanjutnya menguatkan

persepsi bahwa pemerintah "harus menguasai" untuk menjamin agar hasil sumberdaya dinikmati

publik. Dengan kata lain, menjadi regulator bukan berarti berarti kehilangan control.

Setelah menakar sejumlah resiko, peran daerah sebagai regulator lebih tepat jika ditujukan

untuk mempertajam perspektif, menguatkan agenda pembangunan, dan "mengubah imbangan

relasi" antar pihak agar CSR sungguh-sungguh bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan,

menanggulangi kemiskinan, dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya.

Page 8: Meregulasi CSR

REFLEKSI

8

Referensi

Alfirdaus, L.K. (2011). “The political economy of state-society conflict: a case study in iron mining policy of Kebumen Regency, Central Java Province, Indonesia.” Research Report, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.

Bader, C. (2008). "Beyond CSR, How companies can respect human rights". Stanford Social Innovation Review, Fall (31-32).

Bobenrieth, M. E. & Stibbe, D. (2010, July). "Changing trends in Business-NGO partnerships: A Netherlands perspective”. The Partnering Initiative &. SOS Kinderdorpen. Retrieved from http://thepartneringinitiative.org/w/wp-content/uploads/2012/04/ChangingTrends_BizNGO_Partnerships_2010-2.pdf.

Calder, F. & Culverwell, M. (2004, Jan. 30). “Following up the World Summit on Sustainable Development Commitments on Corporate Social Responsibility”. Interim Report of Sustainable Development Programme, Royal Institute of International Affairs, Chatham House.Retrieved from www.chathamhouse.org.uk.

Davis, G.F, Whitman, M.V.N, & Zald, M.N. (2008). “The responsibility paradox!” Stanford Social Innovation Review, Winter 2008 (6, 1), 31-37.

Garvey, N. & Newell, P. (2005, June). "Corporate accountability to the poor? Assessing the effectiveness of community-based strategies." Development in Practice, Volume 15, Numbers 3 & 4, (389-404).

Jaweng, R.A. (2010, June 26). “CSR dan Ide Pembentukan Fokpedum.” Retrieved from http://suaradaerahonline.com/rubrik_daerah2.php?id=1840.

Knorringa, P., & Helmsing, A.H.J. (2008). "Beyond an Enemy Perception: Unpacking and Engaging the Private Sector." Development and Change 39(6), 1053–1062.

Rosser, A. Atje, R., & Edwin, D. (2007). "Defining corporate social responsibility in Indonesia." Policy Brief 7, Australia Indonesia Governance Research Partnership, Crawford School of Economics and Government, ANU College of Asia and the Pacific, The Australian National University. Retrieved from http://www.aigrp.anu.edu.au/docs/projects/1023/atje_brief.pdf.

Soplop, J.C., Wetterberg, A., Indriartoto, I., De León Pellecer, M.J., Ligorría Goicolea, T., and Roman-Lacayo, M.A. (2009). Increasing Development Impact: Channeling Corporate Social Responsibility Funds Through Public-Private Partnerships. RTI Press publication No. OP-0002-0909. Research Triangle Park, NC: RTI International. Retrieved from http://www.rti.org/pubs/op-0002-0909-wetterberg.pdf.

Suara Merdeka. (2011, Mei 31). “Belum semua perusahaan peduli CSR”. Retrieved from http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/31/87096.

Suara Merdeka. (2011, September 16). “Dimungkinkan CSR masuk komponen penerimaan APBD”. Retrieved from http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/09/16/96495.

Ward, H., Fox, T., & Wilson. (2007, February). CSR and Developing Countries: What scope for government action? Sustainable Development Innovation Briefs, Issue 1, UNited Nations Department of Economic and Social Affairs. Retrieved from http://www.un.org/esa/sustdev/publications/innovationbriefs/no1.pdf.