menyelaraskan penurunan emisi ke dalam perencanaan...

8
BRIEF NO. 32 Konteks Menyelaraskan penurunan emisi ke dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat nasional dan sub nasional di Indonesia 1. Indonesia merupakan penghasil emisi karbon yang besar, terutama dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (land use, land-use changes and forestry - LULUCF), khususnya dari lahan gambut 2. Potensi penurunan emisi dari LULUCF di Indonesia cukup besar, hal ini juga diiringi oleh keinginan politis yang kuat disertai dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden di tahun 2009 untuk secara swadaya mengurangi emisi sebesar 26%, dengan tambahan 15% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Akan tetapi komitmen ini juga dibarengi dengan target untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Komitmen ini sering disebut sebagai pembangunan ekonomi yang rendah emisi karbon. 3. Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam bentuk kerja sama bilateral untuk membangun skema penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta pengelolaan hutan secara lestari (REDD + ), telah memacu percepatan berjalannya komitmen tersebut 4. Penurunan emisi dari LULUCF di seluruh Indonesia selayaknya dibangun berdasarkan keragaman kondisi yang berbeda secara geografis dan didanai melalui meknisme yang berbeda-beda pula (Gambar 1) 5. Adanya kebutuhan akan lahan yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan pada saat yang sama juga mengurangi emisi Gambar 1. Sasaran penurunan emisi sesuai tingkat emisi acuan yang disepakati di tingkat nasional dengan berbagai mekanisme pendanaan (kiri) yang diterjemahkan menurut sektor dan letak geografis sektor LULUCF: unilateral 14% propinsi kabupaten Rencana Jangka Menengah dan Jangka Panjang

Upload: others

Post on 29-Dec-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BRIEF NO. 32

Konteks

Menyelaraskan penurunan emisi ke dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat nasional dan

sub nasional di Indonesia

1. Indonesia merupakan penghasil emisi karbon yang besar, terutama dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (land use, land-use changes and forestry - LULUCF), khususnya dari lahan gambut

2. Potensi penurunan emisi dari LULUCF di Indonesia cukup besar, hal ini juga diiringi oleh keinginan politis yang kuat disertai dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden di tahun 2009 untuk secara swadaya mengurangi emisi sebesar 26%, dengan tambahan 15% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Akan tetapi komitmen ini juga dibarengi dengan target untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Komitmen ini sering disebut sebagai pembangunan ekonomi yang rendah emisi karbon.

3. Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam bentuk kerja sama bilateral untuk membangun skema penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta pengelolaan hutan secara lestari (REDD+), telah memacu percepatan berjalannya komitmen tersebut

4. Penurunan emisi dari LULUCF di seluruh Indonesia selayaknya dibangun berdasarkan keragaman kondisi yang berbeda secara geografis dan didanai melalui meknisme yang berbeda-beda pula (Gambar 1)

5. Adanya kebutuhan akan lahan yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan pada saat yang sama juga mengurangi emisi

Gambar 1. Sasaran penurunan emisi sesuai tingkat emisi acuan yang disepakati di tingkat nasional dengan berbagai mekanisme pendanaan (kiri) yang diterjemahkan menurut sektor dan letak geografis

sektor LULUCF: unilateral 14%

propinsi kabupaten

Rencana Jangka Menengah dan Jangka Panjang

2

REDD+, REALU dan pembangunan yang berkelanjutanSumbangan perekonomian berbasis lahan (termasuk kehutanan, perkebunan dan pertanian) pada Pendapatan Nasional Bruto (PNB) Indonesia adalah sebesar 15% di tahun 2005, sementara kontribusi emisi land use, land-use change and forestry (LULUCF) dari pertanian, perubahan penggunaan lahan, kehutanan dan kebakaran gambut adalah sebesar 55–79% (terbesar di antara semua sektor) pada periode 2000 - 2005 (Gambar 2). Disi lain, sektor industri, yang menyumbang 28% dari PNB hanya menimbulkan 2,7% emisi nasional. Emisi sektor LULUCF per unit PNB hampir lima puluh kali lebih besar dibandingkan sektor industri dan hal ini menunjukan rendahnya produktivitas sektor LULUCF. Oleh karena itu, merupakan pertimbangan yang rasional pada tingkat nasional untuk mengurangi emisi dari LULUCF tanpa menimbulkan kerugian ekonomi yang terlalu besar.

Akan tetapi, walaupun PNB merupakan suatu indikator yang penting, terutama di tingkat nasional, indikator lainnya seperti ketersediaan pangan dan lapangan pekerjaan yang dihasilkan oleh LULUCF (baik dalam bentuk finansial ataupun non-finansial) merupakan hal yang cukup signifikan bagi Indonesia, terutama di tingkat lokal. Sayangnya, data seperti bagian pendapatan dari sektor LULUCF dan jumlah penghidupan masyarakat yang tergantung pada sektor ini tidak tersedia pada skala sub-nasional. Dalam mengembangkan strategi untuk mitigasi perubahan iklim melalui penurunan emisi—melalui mekanisme unilateral, multilateral ataupun pasar—pemerintah harus memprioritaskan kebutuhan rakyat untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Skema REDD+ yang melibatkan pengelolaan lahan gambut direncanakan sebagai mekanisme utama bagi penurunan emisi dari LULUCF di Indonesia. Namum demikian, cakupan dari mekanisme ini masih belum jelas; walaupun lahan non hutan belum pasti tidak diikutsertakan, strategi dan rencana implementasinya tidak dibahas secara mendalam. Dalam kajian sebelumnya (Ekadinata et al., 2010), menunjukkan bahwa jika emisi total dari setiap kawasan tidak diperhatikan dan strategi penurunan tidak dikembangkan (‘reducing emissions from all land uses’ atau REALU), maka akan ada kemungkinan bahwa emisi tidak akan dapat diturunkan.

Dibutuhkan adanya kerangka kerja untuk menyelaraskan REALU dalam rencana pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat nasional dan sub nasional. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi lima ‘modal’ (finansial, sosial, manusia, alam and fisik), telah diterima secara global. Tujuan pembangunan ditetapkan secara nasional dan juga secara lokal. Dalam rencana pembangunan, sasaran sektoral juga ditetapkan, yaitu, seberapa besar perkembangan yang perlu dicapai oleh tiap sektor.

1. Keberhasilan tindakan mitigasi perubahan iklim diukur dari jumlah emisi yang berhasil dikurangi. Pemenuhan komitmen Presiden Indonesia mengenai pengurangan swadayasebesar 26% ditambah 15% melalui bantuan internasional hanya dapat dinilai dari jumlah emisi yang berhasil dikurangi di tahun 2020 dan pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

2. Pengurangan emisi yang dicapai harus dikaitkan dengan sumber pendanaan yang tersedia yang juga terkait dengan implikasi sosial politik. Keberhasilan mencapai pengurangan emisi tanpa bantuan internasional akan menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hasil dari pengurangan emisi dengan bantuan internasional akan berimplikasi pada mekanisme internasional mengenai pengurangan emisi yang dapat diperdagangkan, hal ini akan membawa keuntungan ekonomis yang signifikan.

3. Produk hutan dan sumberdaya lahan adalah sumber penghasilan dan penghidupan masyarakat di pedesaan. Sejumlah sasaran pembangunan berkelanjutan tingkat nasional dan sub nasional bergantung pada produk hutan dan/atau sumberdaya lahan.

4. Terdapat kondisi yang disebut sebagai “low-hanging-fruit”, yaitu yang berkaitan dengan praktek-praktek pembangunan yang tidak berkelanjutan yang menghasilkan emisi yang besar akan tetapi mempunyai keuntungan ekonomis yang rendah. Keadaan tersebut merupakan kesempatan untuk dapat menurunkan emisi secara significant tanpa berpengaruh negative terhadapa sumber penghidupan masyarakat malahan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. Selain itu juga terdapat kondisi dimana sebagian emisi berkaitan dengan aktifitas keuntungan ekonomi dan sebagian kecil emisi berkaitan dengan aktifitas ekonomi yang sangat menguntungkan. Perbedaan kondisi tersebut menyebabkan keragaman dalam pengurangan emisi di berbagai lokasi.

5. Alokasi pengurangan emisi untuk setiap tingkat sub nasional (provinsi, kabupaten) selayaknya mengikuti prinsip ‘keadilan dan efisiensi’. ‘Efisiensi’ dalam arti seberapa besar penurunan emisi yang mungin dilakukan dan ‘keadilan’ dalam arti adanya imbalan bagi mereka yang betul-betul melindungi hutan.

Isu Pokok

3

Untuk sektor LULUCF, dapat diperkirakan emisi yang terkait dengan sasaran pembangunan tersebut. Sasaran pembangunan yang berkelanjutan (seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah pengentasan kemiskinan, indikator layanan ekosistem, pembangunan prasarana, index pembangunan manusia) dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan tingkat acuan atau skenario dasar untuk kondisi ‘business as usual’(tanpa perubahan apapun), dipadukan dengan factor pemicu di kondisi masa lalu dan saat ini . Investasi dan hasil yang diharapkan harus dapat dimodelkan dan diperkirakan (dalam ukuran finansial, populasi penduduk, cadangan karbon, tingkat keragaman hayati).

Dari skenario “baseline”, sasaran dan strategi penurunan emisi dapat ditetapkan melalui proses negosiasi dengan pemangku kepentingan dengan menggunakan prinsip kesepakatan yang bebas, terdahulu dan terdidik (free, prior and informed consent); semua biaya harus diperkirakan, kebocoran yang mungkin terjadi diantisipasi dan rencana aksi diformulasi dalam kaitannya dengan lokasi, cakupan dan kegiatan di lapangan. Kegiatan-kegiatan proyek ini harus dilaporkan dan dicatat secara lengkap, dalam hal implementasi keuangan dan di lapangan, kemungkinan besar melalui suatu struktur baru yang dibentuk di bawah kepemimpinan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau UKP4 atau misalnya melalui RAD-GRK (rencana aksi daerah penurunan gas rumah kaca) ditingkat local dan RAN-GRK (rencana aksi nasional penurunan gas rumah kaca) di tingkat nasional- Pengawasan dan

evaluasi terhadap dampak agenda pembangunan secara keseluruhan, di mana REALU menjadi bagiannya, dapat membentuk lingkaran umpan balik dalam proses perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yang dipimpin oleh pemerintah setempat. Pengawasan, pelaporan dan verifikasi (monitoring, reporting and verification - MRV) penurunan emisi dapat dilaksanakan oleh lembaga yang ditugaskan dalam RAD-GRK dan disusun oleh lembaga RAN-GRK .

RAD-GRK akan dapat mengaitkan sumber pendanaan, melalui laporan implementasi proyek terkait, dengan penurunan emisi yang sesungguhnya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh proyek tersebut dan juga MRV emisi. Penyusunan rencana penurunan emisi pada tingkat nasional akan dimungkinkan melalui alur data dan informasi yang dirancang dengan baik.

• Penghitungan pada tingkat nasional hingga Tingkat 2+ sedemikian rupa sehingga emisi dapat diperkirakan untuk setiap daerah geografis di Indonesia; Dengan demikian penurunan emisi di luar wilayah percontohan atau lokasi proyek akan bisa dimonitor

• Dalam wilayah yang mengimplementasikannya, pengawasan Tingkat 3 secara mandiri dapat dilaksanakan dan hasilnya di sinkronkan dengan penghitungan akunting nasional Tingkat 2+

• Indikator keragaman hayati harus ditetapkan dan dilakukan pengawasan di wilayah-wilayah pelaksanaan proyek

Gambar 2. Kiri: Produk nasional bruto, 2005 (sumber: BPS 2006). Kanan: Emisi menurut sektor, 2005 (sumber: SNC 2010)

4

• Pada saat yang bersamaan, semua mekanisme pendanaan harus dicatat dan dipilah hingga tingkat kabupaten sedemikian rupa sehingga perhitungan ganda dapat dihindari.

• Walaupun sasaran penurunan emisi nasional telah ditetapkan, begitu juga dengan bagian yang berasal dari sektor LULUCF, tetapi alokasi ke sub national belum dilakukan

• Penurunan emisi lokal harus dihitung dan disusun untuk dapat mencapai tingkat penurunan nasional dan kebocoran harus sudah diserap.

Variasi geografis, potensi dan batasan penyelarasan REALU dan pembangunan yang berkelanjutanCara termudah untuk mengalokasikan sasaran penurunan emisi pada tingkat sub nasional—atau tingkat emisi referensi (reference emission level – REL)—adalah dengan menggunakan data emisi historis. Akan tetapi, ini akan menciptakan ketidakadilan bagi beberapa provinsi yang memiliki wilayah hutan alami yang luas dan tingkat penebangan hutan yang rendah,

misalnya dalam hal ini Papua. Di lain pihak, provinsi dengan tingkat penebangan hutan yang tinggi seperti Riau, akan lebih mudah untuk mencapai sasaran penurunan emisi di masa depan. Alokasi sasaran emisi di tingkat sub nasional perlu mengikuti prinsip efisiensi dan keadilan.

Penelitian ini mengajukan suatu metode yang berbeda dalam menetapkan REL yang dalam hal ini dikaitkan dengan tahapan transisi hutan di berbagai kondisi dan lokasi. Di seluruh Indonesia, terdapat variasi yang besar antara kondisi kabupaten dalam kaitannya dengan tingkat pembangunan (Gambar 4, kiri) dan tingkat transisi hutan (keadaan penggunaan lahan saat ini dan komposisi penutup lahan termasuk pergerakan penggunaan dan penutup lahan di masa lalu, yang akhirnya akan berujung pada tingkat emisi LULUCF) (Gambar 4, kanan). Perlu dipertimbangkan adanya variasi dalam hal kebutuhan, potensi dan batasan dalam menyelaraskan REALU ke dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Gambar 5 menunjukkan berbagai tingkatan transisi hutan di beberapa kabupaten di Indonesia yang didapat dari komposisi penggunaan dan penutup lahan terkini (2005), dan alur perubahan penggunaan dan penutup

Gambar 3. Menyelaraskan REALU (REDD+, lahan gambut dan semua jenis penggunaan lahan lainnya) dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan

Kepatu

han

, pengatu

ran secara tekn

is dan

kelemb

agaan

Ko

nd

isi yang m

emu

ngkin

kan, p

roses m

ul

pih

ak, p

emb

uku

an u

ntu

k aksi pen

dan

aanPengurangan emisi

• Dibuk�kan melalui sistem MRV• Data Kegiatan • faktor emisi• pilot inventori (semua C diperhitungkan)• permodelan biomassa• kalibrasi

Tingkat referensi

• sejarah emisi• Tahapan hutan transisi• Pemodelan berdasarkan pemicu dan proyeksi• Pemodelan Tata Ruang dan proyeksi• kepunahan keanekaragaman hayati

Pembangunan Berkelanjutan

• Strategi pembangunan berkelanjutan• Pilihan mata pencaharian • Penanggulangan/ pengurangan Kemiskinan• Pertumbuhan dan kesetaraan• Rencana pengembangan • Rencana tata ruang

Strategi dan Target Pengurangan

• target Pengurangan • Target pengurangan• (Anti)-kebocoran• Biaya, efektifitas

Sektor strategi, Rencana dan Pelaksanaan

C

C

$, ES,penduduk

$, ES,penduduk

$, ES, penduduk

praktek standarisasi yang baik

5

lahan di masa lampau (1990, 2000 and 2005), yang dihasilkan oleh proyek penelitian ALLREDDI (Ekadinata et al. 2010). Idealnya, peta yang terbaru seharusnya lebih mendekati periode waktu saat kebijakan sedang dikembangkan, akan tetapi, dalam kajian ini, hal tersebut tidak dimungkinkan karena belum tersedianya data penutupan lahan tahun 2010.

Tahapan-tahapan ini tidak terlepas dari factor demografi, interaksi antara faktor pemicu internal dan eksternal, sistem pengelolaan hutan dan kondisi fisik yang yang menentukan akses atas pasar. Diusulkan lima kategori transisi hutan di Indonesia.

1. Forest core: merupakan bagian hutan alam dalam blok besar, dengan sejumlah kecil lahan pertanian yang menyediakan penghidupan berupa makanan pokok dan kegiatan penebangan hutan di daerah dataran rendah. Kepadatan populasinya rendah dan kehadiran pemicu perubahan penutup lahan eksternal terbatas, terdapat interaksi minimum antara pendorong eksternal dan internal.

2. Forest frontier 1: sebagian besar wilayahnya masih tertutup hutan, walaupun sudah terfragmentasi dengan hutan campuran atau dalam kondisi rusak karena adanya penebangan liar. Sudah terdapat usaha konversi bagian hutan yang rusak menjadi perkebunan danhutan tanaman industri ) dan juga terdapat areal pertanian bagi penghidupan petani kecil. Kepadatan populasinya rendah, dengan pendorong eksternal perubahan penggunaan lahan cukup mendominasi, termasuk adanya pekerja dari luar wilayah. Interaksi antara pendorong eksternal dan internal dikendalikan oleh pendorong eksternal.

3. Forest frontier 2: wilayah hutan alami kurang dari setengah wilayah total dan sangat terfragmentasi; sebagian besar sisa hutan yang ada terletak di medan yang sulit. Konversi hutan skala besar dan kecil menjadi produk komoditi ekspor sering dilakukan. Kepadatan penduduknya sedang, pendorong eksternal mendominasi tapi tidak sebesar Forest frontier 1. Interaksi antara pendorong eksternal dan internal lebih seimbang.

4. Forest mosaic 1: wilayah hutan alami sangat kecil dan hanya ditemukan di medan yang paling sulit ditempuh; terdapat sejumlah areal dengan penutupan pohon tetapi berada di dalam lansekap yang didominasi oleh lahan pertanian. Kepadatan penduduk lebih besar dari 100 orang/km2. Penggunaan lahan dan pemukiman dalam intensitas yang lebih tinggi mendominasi perubahan penggunaan dan penutup lahan. Kepadatan penduduk dan persaingan untuk mendapatkan lahan meningkat dan mengarah pada nilai lahan yang lebih tinggi.Terdapat banyak masalah dan ketidak jelasan terkait dengan penguasaan lahan; pasar bagi produk pertanian lokal mudah dicapai.

5. Forest mosaic 2: beberapa wilayah tampak mirip dengan Mosaik hutan 1 dalam hal hutan alami dan kepadatan penduduk, tapi jumlah penutup lahan pepohonan (perkebunan, perkebunan hutan dan agroforestri) lebih besar daripada hutan alami. Peluang mendapatkan penghasilan dari sektor berbasis lahan meningkat. Penguasaan lahan lebih jelas dan pasar untuk ekspor komoditi mudah dicapai.

Dalam setiap tahapan transisi, skema pembangunan rendah emisi dapat ditetapkan, termasuk didalamnya penentuan sasaran, strategi dan biaya investasi, bersama-sama dengan tingkat emisi yang diharapkan. Keadilan dan efisiensi harus menjadi prinsip yang menuntun penetapan tingkat emisi referensi. Kelompok-kelompok kabupaten sesuai dengan tahapan transisi hutan dapat digunakan untuk menentukan emisi acuan sebagai bagian dari suatu pendekatan REALU ke arah pembangunan yang berkelanjutan.

1. Perkiraan ke depan (“Forward Looking”) untuk Forest core: mengurangi deforestasi dan degradasi hutan

2. Pemodelan faktor pemicu perubahan lahan bagi Forest frontier 1: mengurangi deforestasi dan degradasi hutan

3. Emisi historis terkoreksi bagi Forest frontier 2: rehabilitasi, mengurangi deforestasi dan degradasi hutan

Emisi historisTingkat emisi historis dihitung selama paling tidak dua periode sehingga proyeksi linear akan didapat dari tingkat emisi pada dua periode tersebut. Dibedakan antara Forest frontier 1 dan Forest mosaic 1 dan 2 karena dalam Forest frontier 2, emisi sedang berada di titik tertinggi sehingga mengambil nilai ini sebagai tingkat emisi acuan akan menghasilkan tingkat emisi referensi yang terlalu tinggi. Puncak emisi dalam Forest mosaic 1 dan 2 telah dicapai di masa lalu. Dalam Forest frontier 2, ada potensi besar untuk mencapai keuntungan ganda dalam menurunkan tingkat emisi dari semua jenis penggunaan lahan. Sebagai contoh, wilayah hutan yang rusak dapat direhabilitasi untuk mencapai pemeliharaan keragaman hayati dan juga penyerapan karbon. Faktor diskon dapat dirundingkan antara pemerintah kabupaten dan nasional.

Pemodelan faktor pemicuFaktor pemicu internal dan eksternal dari perubahan penggunaan lahan harus disertakan dalam pemodelan ini sehingga tingkat emisi masa depan dapat diperkirakan. Kepadatan penduduk, kemiskinan, produk daerah bruto, tahap transisi hutan, akses pasar dan perkebunan yang ada dapat diambil sebagai variabel independen dalam model ekonometrik spasial LULUCF di tingkat kabupaten .

6

Emisi historis bagi Forest mosaic 1 dan 2: penghutanan kembali, penanaman kembali dan rehabilitasi

Faktor penggerak internal LULUCF

Emisi dari LULUCF

Pembangunan yang berkelanjutan (5 modal: Manusia, Alam, Sosial,

Faktor penggerak eksternal LULUCF

Gambar 4. Variasi lokal dalam pembangunan yang berkelanjutan dan emisi LULUCF yang terkait dengan interaksi antara pendorong internal dan eksternal LULUCF

Kepadatan Penduduk Deforestasi

Kemiskinan Degradasi

Produk Domestik Regional Bruto Emisi setara CO2

+ faktor internal lainnya + emisi dari kebakaran gambut dan pembu-sukan, pupuk, dll

7

Gambar 5. Tahapan transisi hutan di kabupaten di Indonesia berdasarkan kondisi penggunaan dan penutup di tahun 2005 dan pergerakan penggunaan dan penutup di tahun 1990, 2000 dan 2005 (atas) dalam kurva transisi hutan (bawah)

Alokasi lahan di masa yang akan datangDengan pendekatan ini, pemerintah setempat dapat mempertimbangkan skenario pembangunan dalam rencana penggunaan lahan yang ada sekarang untuk mencapai sasaran pembangunan berdasarkan peluang dan kemampuan untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Emisi di masa yang akan datang diperkirakan berdasarkan skenario-skenario tersebut. Misalnya, konversi 300.000 ha dari sisa hutan alami dalam area penggunaan lain (APL) menjadi kelapa sawit dalam waktu lima tahun ke depan.

Kesimpulan dan rekomendasiMenyelaraskan REALU ke dalam pembangunan yang berkelanjutan dan pada saat yang sama memperhatikan keadan setempat adalah sangat penting untuk menghindari tidak tercapainya penurunan emisi, untuk tidak mempengaruhi layanan ekosistem lain, dan tidak menyebabkan beberapa elemen pembangunan yang berkelanjutan menjadi korban dan harus membayar dampak dari pengaruh negative. Dalam hal ini kemungkinan besar adalah petani

Dalam menetapkan tingkat emisi referensi, prinsip keadilan dan efisiensi harus dipertahankan; proyeksi emisi historis dan di masa depan dalam ‘business as usual’ harus memperhatikan kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan dan tahap transisi hutan

Pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan terpadu di tingkat lokal dapat mengarah pada keuntungan ganda seperti mitigasi perubahan iklim, adaptasi, pemeliharaan keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis yang lebih bermutu, yang seluruhnya akan bergantung pada tahapan transisi hutan, kemampuan lokal dan pengelolaan lahan serta tingkat ancaman. Penting sekali adanya proses perencanaan yang terpadu, inklusif, dan informatif;

Pembentukan lapisan kelembagaan yang saling terkoneksi melalui suatu kumpulan aturan dan peraturan mengenai alur data dan informasi dalam pemerintah pusat dan lokal, lembaga REDD+ dan RAD/RAN GRK dan implementasi rencana pengurangan emisi penting artinya untuk mengukur penurunan emisi dan dampak langsung dan tak langsungnya pada pembangunan dengan rezim pendukung dana

Untuk informasi lebih lengkap silakan hubungi:Sonya Dewi ([email protected])

World Agroforestry Centre – ICRAFJl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16115

PO Box 161, Bogor 16001, IndonesiaTel: +62 251 8625415; Fax: +62 251 8625416

www.worldagroforestrycentre.org/sea

Layout: Sadewa

Ucapan terima kasihUcapan terima kasih kepada M. Thoha Zulkarnain, Nur Ikhwan Khusaini, Dwi Astuti Sayekty dan Zuraidah Said atas bantuan dalam proses interpretasi citra dan Jusupta Tarigan atas sumbangan diskusi dan masukan yang diberikan.

SitasiDewi S, Suyanto S, van Noordwijk M. 2012. Melembagakan penurunan emisi sebagai bagian perencanaan pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat nasional dan sub nasional di Indonesia. Brief No 31. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 6p.

RujukanEkadinata A, van Noordwijk M, Dewi S, Minang

PA. 2010. Reducing emissions from deforestation, inside and outside the ‘forest’. ASB PolicyBrief 16. Nairobi: ASB Partnership for the Tropical Forest Margins.

Ekadinata A, Widayati A, Dewi S, Rahman S. 2010. Indonesia’s land-use and land-cover changes and their trajectories (1990, 2000 and 2005). ALLREDDI Brief 1. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

Ekadinata A, Dewi S. (in press).” Estimating losses in aboveground carbon stock from land use/cover change in Indonesia 1990-2000-2005”, ALLREDDI Brief, World Agroforestry Centre-ICRAF Southeast Asia, Bogor.

Harja D, Dewi S, Heryawan FX, van Noordwijk M. 2010. Forest carbon-stock estimates based on National Forest Inventory data. ALLREDDI Brief 2. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Program.

Sumber DataLand-cover maps 1990, 2000 and 2005 produced by the

ALLREDDI project in a collaboration between the World Agroforestry Centre and Direktorat Jendral Planologi

Gross National and Regional Products 2005, Biro Pusat Statistik

Emissions by sectors 2005, SNC (Second National Communication)

Sangkalan

Pendapat yang disampaikan dalam terbitan ini merupakan pendapat para penulis dan belum tentu sejalan dengan pandangan organisasi-organisasi yang tersebut di dalamnya.

ALLREDDI

Akuntabilitas dan Inisiatif Tingkat Lokal untuk Mengurangi Emisi dari Penebangan dan Perusakan Hutan (Accountability and

Local Level Initiative to Reduce Emission from Deforestation and Degradation - ALLREDDI) adalah proyek penelitian yang didanai oleh Uni Eropa dan dilaksanakan secara bersama oleh World Agroforestry Centre dan Badan Planologi Kehutanan serta melibatkan kemitraan dengan Universitas Brawijaya dan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Garis besar tujuan proyek penelitian ini adalah untuk membantu Indonesia mempertanggungjawabkan emisi gas rumah kaca berbasis penggunaan lahan dan mempersiapkan diri bagi insentif ekonomi internasional ‘REDD’ untuk penurunan emisi melalui pengambilan keputusan di tingkat lokal dan nasional.

Ada beberapa tujuan spesifik yang diharapkan dapat tercapai dalam implementasi tiga tahun ALLREDDI (2009–2012).

• Mengembangkan sistem penghitungan karbon nasional yang sesuai dengan petunjuk Intergovernmental Panel on Climate Change Tingkat 3 dalam konteks pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, agar dapat melengkapi dan memaksimalkan usaha-usaha yang sekarang sedang dilakukan

• Memperkokoh kemampuan nasional dan sub-nasional dalam penghitungan dan pengawasan karbon

• Merancang mekanisme operasional dalam lima tatanan untuk REDD