mentahan 1

14
Perempuan Islam dan Kesetaraan Gender oleh Ulil dan Mansur Pendahuluan Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah. Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan. Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil. Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1] Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2] Rumusan Masalah a. Mengetahui Islam dan Kesetaraan Gender b. Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di Mesir

Upload: ananti-nurhayati

Post on 21-Dec-2015

236 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

pp

TRANSCRIPT

Page 1: Mentahan 1

Perempuan Islam dan Kesetaraan Gender oleh Ulil dan Mansur

Pendahuluan

   Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang,  bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan.  Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.

     Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan  mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.

     Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.

            Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]            Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2]

     Rumusan Masalaha.       Mengetahui Islam dan Kesetaraan Genderb.      Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di

Mesirc.        Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan  Kesetaraan Gender di

Irand.      Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan kesetaraan Gender di

Turki

Pembahasan:

Islam dan Kesetaraan Gender

Page 2: Mentahan 1

            Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Oleh karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji dari sisi historis, framework feminis muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya.

Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.

Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya, pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah gagasan Pan-Islamisme sebagai gagasan persatuan Islam sedunia yang disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M).

Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan Islam sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan dalam perjuangannya.

Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang pengikut al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik rakyat,meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam al-Islam). Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu yang bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan berorientasi pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia modern. Meskipun

Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar negeri dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-

Page 3: Mentahan 1

Gazali memimpinnya dan menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam dan bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktivis feminis yang tergabung dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda Sha’rawi.

Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami (the personal satus law), persamaan akses pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.

Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan hak-hak perempuan.

Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk  memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan.

Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare). Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[3]

Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno tampaknya telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat perkotaan  dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya. Bertolak belakang dengan  teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita didasarkan  pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan, sudah ada selma dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di hormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para sering kali mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman  Neolitik di Asia kecil yang berasal dari sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan  dan tertinggi wanita ( sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas menggambarkan  sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya kebudayaan awal di

Page 4: Mentahan 1

kawasan itu yang memberikan bukti tentang posisi  luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan temuan arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan  diseluruh Timur Tengah menghormati dewi Ibu dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno  di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi  sosok  dewi  dan status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa  yunani, phoenicia, dan lain-lainya.[4]

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir              Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.

             Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[5]

                 Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.                  Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya. 

Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia

Page 5: Mentahan 1

akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.

                  Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.

                  Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.

                  Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.                  Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.

                  Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.[6]

                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya.

Page 6: Mentahan 1

Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.

                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[7]

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan  Kesetaraan Gender di Iran

Persoalan perjuangan hak-hak perempuan muslim (Islam Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di Timur Tengah dan lebih khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran dapat di jadikan ilustrasi perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan ungkapan-ungkapan paradoksal yang berhubungan dengan patriarkhi keagamaan (religious patriarchy) di era modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan dunia internasional dan untuk menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi Arabia.

Pemerintah Arab Saudi melakukan kerjasama dengan CEDAW (the Convention on Elimination of All formsof Discrimination Againts Women) sebagai bentuk formalitas dan hypocrit karena masih banyak penerapanyang berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun resistansi patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.

Sebagai contoh, sampai dewasa ini, Saudi Arabia mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi, hak-hak sipil dan politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir mobil.

Adapun perempuan Iran bernasib lebih baik dibandingkan dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak sosial dan politiknya berupa aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir dalam tujuh parlemen (majlis); tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan kekuasaan patriarkhis, serta menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi ulama Shi’ah adalah suatu jabatan yang harus dipertahankan).30 Kondisi politik patriarkhis parlemen menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis Islam di Iran.

Nahid Mutee mengkritisi feminis Barat mempertimbangkan persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki, tetapi sejak kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem patriarkhi,kondisi perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya persamaan tersebut berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual, bisexual, dan

Page 7: Mentahan 1

keluarga yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi feminis Islam, maka pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalamkonteks masyarakat perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana pendapat Mutee.[8]

Yogyakarta-Tiga perempuan dari Iran membagi cerita mereka tentang perempuan, hak asasi, dan dunia Islam dengan masyarakat Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari, dan Shayesteh Khuy.

Mereka bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.

Ketiga perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak asasi perempuan.

Iran, yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan. "Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran karena mampu bertahan dari tekanan Barat.

Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka. Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, terutama di Iran.

Lalu Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama saat penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak imperialis.[9]

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Turki

Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan  antara kekuatan Islam dan sekuleris  berlangsung sangat keras. Sampai perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris, yang diwakili oleh militer. Bangunan  sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan, dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke dalam konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai negara sekuler. Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi kehidupan bernegara.

Page 8: Mentahan 1

Perjuangan pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris, yang berlangsung selama beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika Erdogan dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah, dan mulai menampakkan wujudnya. Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini berubah total. Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak temaram. Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru saja meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di Turki yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur, dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris. Ekonomi Turki terbesar keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua digit. Income perkapita rakyatnya, sudah diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, terus mengalami surplus.

Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi, dan perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia itu merasa senang berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak ada yang kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun sekarang masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi, Erdogan perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai Keadilan dan Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan diberikan seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan maju  ekonomi, dan kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di zona Eropa, kini menjadi salah satu  negara yang mengenakan pajak tertinggi di dunia terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan merokok di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang kantongnya tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan rokok. Akan tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah kehilangan kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi. Sekulerisme masih memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan kegagalannya di  Turki, serta mulai redup, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan maju menggantikan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan bahwa wacana publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan internal demokratis atas kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai masalah ini, Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.

Mustafa Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey, melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi Republik Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah, universitas dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang mengenakan jilbab di universitas-universitas. Dan hal

Page 9: Mentahan 1

itu merupakan kekecewaan dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi kelas menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.

Konflik internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam  tidak hanya minoritas tetapi sering terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan masa depan yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain yang menyedihkan yakni Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan merupakan perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah sebuah penghinaan dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,” kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad (3/6).

Sementara itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The Ecumenical Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami ingin Haghia Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip Republik Turki,” ujar juru bicara Patriarchate, Pastor Dositheos Anagnostopulos. Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdo’a di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan.[10]

                                         Daftar Pustaka :

  Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.

  Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.

  El-Tahawy, Kantor berita Commound Ground (CG.News) 6 Juli 2012.

  Patrick Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press,

Surabaya : 1994.

  Sadli Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995.

  Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis, (15/12).

  http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/eksistensi-islam-di-tengah-sekulerisme-

turki.htm.

Page 10: Mentahan 1

               [1] Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.)Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.14

               [2]  Kirk Patrick, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT. Danur Wijaya Press, Surabaya, 1994, hal. 76

              [3] E- book,  Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto) “Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal. 1-2

                     [4] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam ,  Lentera  Jakarta : 2000, hal. 3-4                      [5] Ibid, Leila Ahmed , Wanita dan Gender dalam Islam, hal. 45-46            [6] Randa El-Tahawy, Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012, www.commongroundnews.org

             [7] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, hal. 39-40             [8] E- book, Sulkhan Chakim, hal.6-7              [9] Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis (15/12).                   [10]  http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/eksistensi-islam-di-tengah-sekulerisme-turki.htm