menjauhkan orang muda dari desa
TRANSCRIPT
Menjauhkan Orang Muda dari Desa
Oleh:
Nurhady Sirimorok
Situsweb: pindai.org | Twitter:@pindaimedia | Surel: [email protected]
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Menajuhkan Orang Muda dari Desa
H a l a m a n 2 | 6
Menjauhkan Orang Muda dari Desa
oleh Nurhady Sirimorok
“Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi
halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah.”
DALAM RANGKAIAN ACARA tujuhbelasan tahun lalu, desa itu berhenti mengadakan pertandingan
sepakbola. Jumlah pemuda terlalu sedikit untuk membentuk satu tim sekalipun. Tradisi tahunan itu
berakhir oleh kepergian para pemuda dari Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan—entah
untuk sekolah atau bekerja.
Ini bukan fenomena unik atau baru. Di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, lebih satu dekade
lalu, saya menyaksikan sebuah desa tiba-tiba ramai oleh anak muda. Sebuah lapangan voli baru dibuat
khusus untuk menyalurkan energi muda mereka, pria maupun wanita, setiap sore. Mereka baru saja
pulang dari Malaysia, kebanyakan bekerja di Kuala Lumpur, ketika kebijakan pekerja migran baru
berlaku segera setelah Abdullah Ahmad Badawi menggantikan Mahathir Mohamad. Tetapi keramaian itu
hanya berlangsung beberapa bulan. Begitu mereka bisa kembali lagi ke negeri tetangga, lapangan voli dan
desa itu segera lengang. Desa itu kembali didominasi kakek-nenek dan cucu.
Fenomena perginya anak muda dari desa dan pertanian dapat kita lihat di mana-mana, bahkan dalam skala
seluruh dunia. Cerita-cerita anekdotal seperti di atas sangat mudah kita temui ketika berkunjung ke desa
atau membaca berita dan penelitian-penelitian studi kasus.
Remaja muda desa itu kian menganggap hidup di desa dan bekerja sebagai petani adalah hidup yang tidak
menjanjikan. Desa berubah tempat bertumbuh sebagai anak-anak untuk kemudian ditinggalkan ketika
beranjak remaja atau menjelang dewasa. Sebagaimana narasi kisah hidup Ikal dalam rangkaian novel laris
Andrea Hirata.
Mereka tidak keliru. Serangan terhadap (ekonomi dan budaya) desa dan pertanian skala kecil berlangsung
sudah lama di Indonesia—dan masih berlanjut. Serangan itu seperti bekerja untuk menjauhkan orang
muda desa dari kampung mereka.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Menajuhkan Orang Muda dari Desa
H a l a m a n 3 | 6
SEJAK AWAL 1980-an, Revolusi Hijau meluas di Indonesia. Revolusi ini membawa perubahan sistem
budidaya tanaman pangan yang pada dasarnya berarti pengadaan bibit padi ‘verietas unggul’ (high yield
variety), input kimia (pupuk, pestisida dan herbisida), dan mekanisasi (traktor). Semua barang ini harus
dibeli petani dengan harga semakin mahal. Revolusi ini tentu saja melambungkan ongkos produksi petani
dan membuat banyak petani gurem sulit memulai musim tanam tanpa mengutang. Mayoritas petani ini
akhirnya kehilangan tanah setelah tak mampu melunasi utang, entah karena gagal panen atau menghadapi
kebutuhan mendadak dalam jumlah besar. Banyak dari mereka kemudian bekerja sebagai buruh tani atau
pekerja migran, sebagian lagi mengalir ke kota-kota besar untuk menjadi pekerja informal atau buruh
murah dan tinggal di perkampungan kumuh.
Dengan ongkos produksi meroket bersama harga kebutuhan sehari-hari, Nilai Tukar Petani (NTP) sulit
membaik. NTP adalah rasion antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah
satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas,
lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian. Data BPS 2014 menyebutkan,
NTP petani tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini
menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal. Angka ini pun masih rata-rata, belum
memilah antara petani kecil, menengah dan besar; juga antara petani pemilik tanah dan tunakisma (tak
punya tanah). Sebagai gambaran, sebuah studi kasus di Jember, Jawa Timur misalnya, mencatat tinggi
rendahnya NTP petani tanaman pangan di kabupaten itu paling ditentukan oleh luasan lahan garapan.
Masalah lain yang menghadang generasi muda tani adalah harga tanah pertanian yang melambung. Ini
seiring beragam program apa yang disebut ‘individuasi lahan’—memastikan hak kepemilikan tanah
pribadi sekaligus menyulap tanah menjadi komoditas siap jual, yang ujungnya menjadi sasaran para
spekulan. Sebuah penelitian di 12 desa dari empat provinsi menyebutkan, harga satu hektar sawah
beririgasi bervariasi antara Rp 100 juta – Rp 1,5 milyar. Sulit membayangkan anak-anak muda dari
keluarga petani gurem dan tunakisma menyanggupi harga setinggi itu.
Pemerintah Orde Baru memang pernah membagi-bagikan tanah kepada petani kecil lewat program
transmigrasi. Tetapi ada pelbagai soal yang mengiringi, termasuk lahan pembagian yang tidak subur dan
masih di bawah klaim pihak lain dengan beragam sistem tenurial (penguasaan lahan). Transmigrasi juga
mengharuskan petani meninggalkan tanah yang sudah mereka akrabi, dengan demikian juga
meninggalkan pengetahuan tentang tanah itu sendiri. Banyak yang gagal dan tetap menjadi petani
tunakisma di tanah rantau. Tetapi jumlah lahan yang didistribusi program ini kepada petani kecil kalah
jauh ketimbang lahan yang dilepas untuk perusahaan besar.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Menajuhkan Orang Muda dari Desa
H a l a m a n 4 | 6
Setelah sekian dekade transmigrasi, Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi dalam Enam Dekade
Ketimpangan membeberkan gambaran kontras mengenai penguasaan lahan. Pada 2003, lebih 24 juta
keluarga petani pengguna tanah hanya menguasai sekitar 21 juta hektar lahan pertanian. Lebih 13 juta
keluarga petani lainnya adalah petani tunakisma yang bekerja sebagai buruh tani. Bandingkan dengan 555
perusahaan tambang besar yang menguasai lebih dari 260 juta hektar pada 1999; sementara luas daratan
Indonesia hanya sekitar 190 juta hektar. Atau, 285 unit pemegang konsesi hutan yang menguasai 28 juta
hektar pada 2005. Artinya, setiap perusahaan tambang raksasa itu rata-rata menguasai setengah juta
hektar, masing-masing perusahaan konsesi mengangkangi rata-rata nyaris 100 ribu hektar, sementara
setiap keluarga petani pengguna tanah hanya menguasai rata-rata 0,84 hektar.
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan angka ini belum beranjak jauh. Keluarga petani rata-rata hanya
menguasai 0,89 hektar (khusus untuk sawah, rata-rata cuma 0,39 hektar), sekalipun jumlah keluarga
petani berkurang dengan kecepatan setengah juta setiap tahun sejak 2003.
Lahan pertanian seluas rata-rata 0,89 hektar/ keluarga inilah yang diperebutkan oleh sekitar 30 juta
keluarga petani Indonesia. Banyak generasi muda petani harus mencari uang dengan merantau demi
mendapatkan lahan garapan pada masa tua. Jika satu keluarga berhasil mendapatkan lebih dari angka rata-
rata itu—seringnya lewat “penggusuran orang-orang dekat” menurut istilah Tania Li, keluarga lain akan
tergusur. Ini terjadi ketika banyak tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar malah menganggur.
Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi
halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah.
PANDANGA TENTANG SURAMNYA masa depan profesi petani tidak didominasi generasi muda desa.
Di sebuah desa di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, terjadi fenomena menarik. Para orangtua yang
berusia akhir 20-an atau 30-an, nyaris seluruhnya putus sekolah, dengan serius menyekolahkan anak
setinggi mungkin. Mereka adalah generasi yang menikmati masa produktif kakao dan menikmati
harganya yang melambung karena lemahnya rupiah pada dekade 1990-an. Karena itu mereka merasa
tidak perlu bersekolah hanya untuk mendapatkan kerja kantoran bergaji rendah.
“Waktu itu, kalau kami ke kota, kami dihormati,” kenang seorang bapak muda. Martabat mereka sebagai
petani tidak kalah dengan pekerja kantoran.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Menajuhkan Orang Muda dari Desa
H a l a m a n 5 | 6
Kini, setelah produktivitas kakao ambruk, mereka ramai-ramai mengantarkan anak masuk sekolah agar
bisa mendapatkan kerja kantoran. Bagi mereka, menjadi petani sudah sulit menjanjikan prospek
penghidupan layak, seperti mereka dulu.
Tetapi sekolah—sekolah tinggi sekalipun—tidak selalu menjamin kemudahan mendapatkan kerja
kantoran di kota-kota (besar atau kecil). Penciptaan lapangan kerja tidak mendapatkan perhatian serius di
Indonesia. Deindustrialisasi yang bisa membuka banyak lapangan kerja sudah terjadi sejak dekade lalu.
Sementara kursi di kantor-kantor pemerintahan sulit bertambah secara signifikan karena keterbatasan
dana pemerintah.
Pemerintah tampak lebih serius mengurusi kampanye ala ‘ciptakan-pekerjaanmu-sendiri’ lewat beragam
program kewirausahaan atau entrepreneurship. Salah satunya mengajak orang-orang muda
mengembangkan ‘industri kreatif.’ Seolah anak-anak muda kreatif itu tak akan terbentur pelbagai soal
struktural seperti akses terhadap kredit permodalan, akses terhadap infrastruktur, akses pasar, persaingan
terbuka dengan pemodal besar, dan seterusnya. Akhirnya, sulit membayangkan generasi muda dari
keluarga petani gurem dan tunakisma, dengan segala keterbatasan struktural mereka, bisa berpartisipasi
secara signifikan di dalamnya.
Kita pun mulai menemui banyak anak-anak muda desa yang telah menghabiskan belasan tahun
bersekolah—juga menghabiskan pendapatan bahkan kadang alat produksi orangtua—pulang ke desa
untuk memulai hidup mandiri. Mereka telah bersekolah lebih lama daripada orangtua mereka dan menjadi
lebih terdidik. Sebagian tidak ingin bekerja seperti orangtua mereka dan kadang orangtua pun berharap
demikian. Tetapi bagi yang masih bersedia menjadi petani akan berhadapan dengan deretan persoalan di
atas. Mereka pun sudah lama meninggalkan desa dan mungkin telah kehilangan sebagian keterampilan,
pengetahuan, dan jaringan yang dapat menyokong mereka sebagai petani.
NAMUN DI DESA-DESA yang karena proses historis tertentu mampu mempertahankan lahan, terjadi
hal sebaliknya. Mereka dapat melakukan redistribusi lahan—baik berbasis keluarga maupun komunitas—
sehingga sanggup mempertahankan generasi petani muda mereka. Anak-anak muda yang saya temui di
pelbagai desa seperti itu, dari Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) hingga Kabupaten Merangin
(Jambi), dengan bangga menyebut diri sebagai petani. Mereka betah tinggal di desa, mengembangkan
pelbagai inovasi bertani dan memenuhi seluruh kebutuhan secara layak.
Melihat itu, harapan untuk mempertahankan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja terbesar di
wilayah pedesaan masih terlihat. Bila diurus dengan baik, pertanian, terutama dalam skala kecil yang
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Menajuhkan Orang Muda dari Desa
H a l a m a n 6 | 6
padat karya, bisa terus menyerap angkatan kerja muda dalam jumlah besar. Saat ini, dalam hingar-bingar
‘bonus demografi’ Indonesia (sekitar setengah populasi berusia di bawah 30 tahun), perhatian terhadap
generasi muda desa harus diberi tempat khusus. Bonus ini bisa menjelma ‘tragedi demografi’ berupa
ledakan surplus orang muda desa yang mengalir ke negeri-negeri tetangga.
Selain itu, orang muda desa tidak hidup hanya untuk masa depan—sebagaimana sering kita dengar dalam
pelbagai bentuk ceramah. Negeri ini butuh mereka untuk segera terlibat dalam derap ekonomi pedesaan,
untuk mulai membangun pondasi pertanian yang kokoh untuk masa depan generasi mereka.
Dalam pidato perpisahannya sebagai guru besar Sosiologi Pedesaan di Institute Social Studies, Den Haag,
Ben White menyampaikan pertanyaan yang sangat menantang: bila orang-orang muda tidak lagi mau
bertani dan keluarga petani kecil akan hilang, lantas bagaimana mempertahankan argumen akan
pentingnya peran pertanian skala kecil, dan membantah para pengusung pertanian dan perkebunan skala
besar?[]
Nurhady Sirimorok, peneliti isu-isu pedesaan, menulis sejumlah buku termasuk Membangun Kesadaran
Kritis: Kisah pembelajaran partisipatif orang muda (INSISTPress, 2010), serta menerjemahkan kajian-
kajian Sulawesi Selatan, salah satunya Kuasa Raja, Syeikh dan Ambtenaar karya Thomas Gibson
(Penerbit Ininnawa, 2009). Blog: https://nurhadysirimorok.wordpress.com/ | Twitter: @nurhadys