menjaga hutan, menghidupkan adat - lestari-indonesia.org · seni ukir yang tersohor. produk ukiran...

4
MENJAGA HUTAN, MENGHIDUPKAN ADAT USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Oleh: Wahyudin Opu Bagi Suku Asmat, mengukir kayu bukanlah sekadar seni, namun merupakan bagian dari spiritualitas hidup dan kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur. Hubun- gan masyarakat terhadap leluhurnya antara lain diwu- judkan melalui hutan sebagai media dialog spiritual yang terus terjaga. Suara kokok ayam dan kicau burung memecah ke- heningan pagi di Kampung Yepem, Distrik Agats, As- mat. Sebelum fajar menyingsing, aktivitas warga mu- lai menggeliat di sudut-sudut kampung. Bunyi mesin perahu menderu terdengar dari sungai tak jauh dari pemukiman warga, diselingi suara riuh anak-anak bermain dan mandi di sungai. Beberapa nelayan ter- lihat mendayung sampan menuju hutan. Jarak Kampung Yepem dari Kota Agats, ibukota As- mat terbilang tidak terlalu jauh. Hanya perlu waktu tempuh sekitar 20 menit menggunakan perahu mo- tor dari Agats. Akses yang relatif dekat dengan pusat kabupaten ini justru menorehkan dilema tersendiri. Disatu sisi, akses masyarakat untuk memasarkan ha- sil tangkapan seperti ikan, karaka (kepiting bakau), udang dan hasil hutan lainnya cukup mudah. Namun disisi lain, pesatnya pembangunan dan tingginya ting- kat populasi penduduk karena faktor migrasi turut berkontribusi terhadap lunturnya nilai-nilai adat dan budaya masyarakat Suku Asmat. “Hutan ini sangat banyak memberi manfaat bagi kehidu- pan masyarakat sejak jaman leluhur. Mengukir adalah cara kami menghormati leluhur dan hutan. Jadi kalau mengambil kayu sebagai bahan baku tidak boleh sembarangan.Untuk bahan baku kami memilih kayu besi dari hutan yang benar- benar sudah layak untuk di- ukir, agar roh-roh leluhur tetap memberikan keberuntungan kepada kami,” ujarnya. USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Upload: dodat

Post on 10-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MENJAGA HUTAN, MENGHIDUPKAN ADAT

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Wahyudin Opu

Bagi Suku Asmat, mengukir kayu bukanlah sekadar seni, namun merupakan bagian dari spiritualitas hidup dan kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur. Hubun-gan masyarakat terhadap leluhurnya antara lain diwu-judkan melalui hutan sebagai media dialog spiritual yang terus terjaga.

Suara kokok ayam dan kicau burung memecah ke-heningan pagi di Kampung Yepem, Distrik Agats, As-mat. Sebelum fajar menyingsing, aktivitas warga mu-lai menggeliat di sudut-sudut kampung. Bunyi mesin perahu menderu terdengar dari sungai tak jauh dari pemukiman warga, diselingi suara riuh anak-anak bermain dan mandi di sungai. Beberapa nelayan ter-lihat mendayung sampan menuju hutan.

Jarak Kampung Yepem dari Kota Agats, ibukota As-mat terbilang tidak terlalu jauh. Hanya perlu waktu tempuh sekitar 20 menit menggunakan perahu mo-tor dari Agats. Akses yang relatif dekat dengan pusat kabupaten ini justru menorehkan dilema tersendiri. Disatu sisi, akses masyarakat untuk memasarkan ha-sil tangkapan seperti ikan, karaka (kepiting bakau), udang dan hasil hutan lainnya cukup mudah. Namun disisi lain, pesatnya pembangunan dan tingginya ting-kat populasi penduduk karena faktor migrasi turut berkontribusi terhadap lunturnya nilai-nilai adat dan budaya masyarakat Suku Asmat.

“Hutan ini sangat banyak memberi manfaat bagi kehidu- pan masyarakat sejak jaman leluhur. Mengukir adalah cara kami menghormati leluhur dan hutan. Jadi kalau mengambil kayu sebagai bahan baku tidak boleh sembarangan.Untuk bahan baku kami memilih kayu besi dari hutan yang benar- benar sudah layak untuk di-ukir, agar roh-roh leluhur tetap memberikan keberuntungan kepada kami,” ujarnya.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Keresahan inilah yang kini tengah dirasakan oleh para tetua adat di Asmat. “Generasi sekarang sudah tidak tahu cara memanfaatkan hutan. Mereka seenaknya saja merusak. Padahal rusaknya hutan adalah an-caman bagi kehidupan adat,” kata Primus Osci, tetua adat di Kampung Atsj.

Dengan suara bergetar, Primus menceritakan bagaimana hutan di kampungnya kini rusak akibat dibabat secara massal oleh para pedagang dari luar Asmat. Tak perlu masuk lebih dalam ke hutan untuk melihat kerusakan itu. Dari tepi Sungai Bets yang menjadi pintu masuk ke hutan, dapat dengan mudah ditemukan batangan-batangan kayu bekas tebang yang hanyut terbawa arus.

Menjaga Hutan dengan Mengukir

Hutan dan adat bagi masyarakat Asmat tak ubahnya seperti dua sisi mata uang. Keduanya merupakan aset yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan Suku As-mat. Dalam kepercayaan masyarakat Asmat, pohon diyakini sebagai materi pembentuk orang pertama atau leluhur mereka. Dan para leluhur inilah yang kemudian menghidupkan adat Suku Asmat yang menempati sebagian wilayah Pesisir Selatan Papua. Hikayat ini terus hidup dan termanisfestasi dalam ke-giatan keseharian masyarakat yaitu mengukir teruta-ma yang terbuat dari kayu.

Sebagai wujud penghormatannya terhadap nenek moyang atau leluhur, maka pola seni ukir yang dib-uat oleh Suku Asmat selalu dikaitkan dengan keper-cayaan masyarakat terhadap leluhur. Bagi Suku As-mat, mengukir kayu tidak semata dimaknai sebagai

kegiatan dan karya seni, namun sudah menjadi ba-gian dari spiritualitas kehidupan dan kepercayaan terhadap leluhur. Setiap ukiran diciptakan dan dibuat selalu menceritakan sebuah hubungan manusia dan alam dan atau berkenaan dengan keseharian hidup orang Asmat di masa lalu.

Paskalis Wakat, seorang seniman ukir di Kampung Yepem mengatakan bahwa mengukir merupakan se-buah cara bagi dirinya dan orang Asmat untuk meng-hormati leluhur dan juga alam. “Hutan ini sangat banyak memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat sejak jaman leluhur. Mengukir adalah cara kami meng-hormati leluhur dan hutan. Jadi kalau mengambil kayu sebagai bahan baku tidak boleh sembarangan. Untuk bahan baku kami memilih kayu besi dari hutan yang benar-benar sudah layak untuk diukir, agar roh-roh le-luhur tetap memberikan keberuntungan kepada kami,” ujarnya di Kampung Yepem bulan lalu.

Oleh nenek moyang, lanjut Paskalis, orang Asmat dia-jarkan secara turun temurun untuk menjaga kelestar-ian alam. Kegiatan mengukir sebagai contohnya. Bah-an baku yang digunakan untuk mengukir betul-betul dipilih dari jenis kayu tertentu, yaitu kayu besi. “Pohon besi itu sebenarnya tumbuh alami di hutan. Asalkan ti-dak ditebang habis mereka akan terus ada,” ungkap Paskalis yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Woupits (pengukir) Kabupaten Asmat.

Jenis kayu besi dianggap paling kuat dan tahan lama setelah ukiran selesai dibuat. Untuk menebangnya, usia tumbuh pohon memiliki kriteria sudah cukup tua. “Ciri-cirinya itu dahan dan rantingnya sudah mulai mengering atau patah,” jelasnya. Jika mengambil kayu yang belum cukup umur dianggap percuma. Hasil

Foto: Hutan dan adat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan suku asmat.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

ukiran tidak akan bertahan lama dan mudah patah. “Bisa-bisa ukiran itu belum selesai dikerjakan sudah rusak. Itu tandanya roh leluhur tidak senang,” kata Pas-kalis seraya melontarkan canda.

Menghidupkan Adat di Jew

Selain mengukir, persentuhan adat Suku Asmat den-gan hutan dapat disaksikan melalui ritual pembangu-nan Jew, rumah bujang Suku Asmat. Disebut sebagai rumah bujang karena umumnya yang tinggal di ru-mah itu adalah kaum laki-laki yang belum menikah. Namun demikian, rumah panjang tersebut dapat di-gunakan oleh seluruh warga di sekitarnya, terutama oleh kaum pria karena dianggap sebagai pemimpin dalam keluarga masing-masing.

Setiap kampung di Suku Asmat umumnya mempu-nyai satu Jew di kampungnya yang dibangun di tepi sungai. Bangunan rumah berbentuk persegi panjang berukuran mencapai sekitar 10 x 80 meter. Atap ru-mah terbuat dari daun nipah dan daun sagu, dengan dinding anyaman terbuat daun sagu. Sementara un-tuk pondasi dari Jew menggunakan kayu besi yang kuat dan tahan air, mengingat Suku Asmat hidup di daerah rawa dan pesisir pantai.

“Berdiri tegaknya Jew adalah pertanda masih hidupnya adat istiadat di dalam kampung itu,” kata Felix Owom, kepala kampung sekaligus Ketua Adat Kampung Syuru. Biasanya, Jew atau rumah bujang ini menjadi tempat berkumpul bagi para pemuka adat dan pemi-mpin kampung untuk mengadakan rapat, mengatur strategi perang, pesta adat, penyambutan tamu sam-pai penyelesaian konflik.

Di dalam Jew, terdapat beberapa tungku yang jum-lahnya menyesuaikan jumlah keluarga yang ada di da-lam sebuah kampung. Bila di dalam kampung terse-but memiliki 10 keluarga, maka jumlah tungku api

dalam Jew tersebut berjumlah 10 buah. Tungku ini akan menjadi tempat tiap keluarga berkumpul (men-gelompok) apabila ada rapat besar kampung yang dilakukan dalam Jew.

Dalam proses pembangunan Jew, maka ritual adat yang dilakukan berbeda-beda menurut masing-mas-ing rumpun Suku Asmat dan ketersediaan kayu di dalam hutan. Di Kampung Yepem misalnya, ritual pembangunan Jew mensyaratkan sejumlah jenis kayu tertentu seperti Pow (pohon mangrove dari jenis Bruguiera), Juam (pohon perahu atau kayu putih) dan kayu Pit. Kayu Pit memiliki diameter cukup be-sar yang sering dipakai sebagai umpak atau pilar/tiang penyangga. Sedangkan Pow merupakan bahan utama yang digunakan untuk menyusun rangka Jew mulai dari lantai, dinding sampai atap.

Untuk memperkokoh bangunan, Juam digunakan se-bagai rangka tengah yang melintang dari ujung kiri sampai kanan. Semua bahan kayu disambung dan diikat dengan menggunakan tali rotan, tanpa paku besi sama sekali untuk menyusun struktur rangka bangunan. Kemampuan masyarakat Asmat dalam rekayasa konstruksi rumah dianggap luar biasa. Den-gan pengalaman dan teknik turun temurun dari ne-nek moyang, daya tahan konstruksi bangunan Jew mampu berdiri kokoh sekalipun badai menerjang dan tahan gempa. Beberapa peristiwa gempa di Pap-ua, tidak merobohkan bangunan Jew yang ada.

Setelah seluruh rangka Jew terbentuk, giliran bagian lantai, dinding dan atap mulai dikerjakan. Lantai Jew dibuat menggunakan kulit kayu Juam yang telah dik-upas sebelumnya. Konsep menggunakan semaksimal mungkin apapun yang diambil dari alam diterap-kan disini. Sementara untuk dinding dan atap harus menggunakan daun sagu atau biasa disebut daun rumbia. Rangkaian proses pembangunan sebuah Jew memerlukan waktu sekitar satu bulan.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

Foto: Mengukir di rumah adat Jew atau sanggar seni menjadi rutinitas keseharian bagi laki-laki Asmat

Ketika sebuah Jew selesai dibangun, maka peresmi-annya dilaksanakan dalam sebuah ritual pesta yang sakral dengan mengundang seluruh warga kampung serta rekan dan tamu dari luar kampung. Peresmian diawali dengan ritual ketua adat setempat yang naik ke dalam Jew dan meminta restu para leluhur melalui mantra-mantra layaknya nyanyian. Kemudian dilanjut-kan dengan Pesta Goyang oleh kaum perempuan atau mama-mama, diiringi bunyi-bunyian tifa. Tak lama berselang, para lelaki dan anak-anak pun turut gabung bergoyang menandai puncak peresmian Jew baru. Hidangan ulat sagu pun disediakan sebagai pelengkap sebelum berakhirnya pesta.

Proses pembangunan Jew merupakan kekayaan bu-daya dan adat istiadat Suku Asmat yang masih ter-pelihara hingga sekarang dan telah mendapat pen-gakuan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pada Febru-ari 2011, UNESCO menetapkan Kabupaten Asmat sebagai situs warisan dunia. Pengakuan ini memba-wa nama Asmat ke mata dunia, khususnya melalui seni ukir yang tersohor. Produk ukiran Suku Asmat diakui memiliki kekayaan intelektual yang unik dan sekaligus kaya dengan nilai seni. Harapan bagi para pengukir seperti Paskalis, Asmat akan terus dikenal secara global tanpa kehilangan unsur lokal. “Harapan terbesar kami, Asmat dikenal dunia internasional tanpa kehilangan jadi diri,” tandas Paskalis.

Untuk menjaga warisan leluhur tetap hidup, para to-koh dan tetua adat di Asmat mengupayakan berag-am cara untuk meneruskan kesadaran adat kepada generasi muda. Diantaranya dengan mengajarkan seni mengukir, ritual adat di Jew dan memberikan pemahaman kepada anak-anak melalui cerita-cerita kearifan para leluhur dalam berinteraksi dengan alam. Sehingga sumberdaya alam (hutan) tetap terpelihara. Masyarakat Suku Asmat menyadari bahwa kerusakan hutan sama dengan mematikan seni ukir dan pem-bangunan Jew.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 4