menjadi anak indonesia modern: analisis buku cerita anak

161
MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: MARIA PUSPITASARI 156322003 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:

ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

MARIA PUSPITASARI

156322003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:

ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

MARIA PUSPITASARI

156322003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Maria Puspitasari Munthe

NIM : 156322003

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya

Universitas : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:

Judul : Menjadi Anak Indonesia Modern: Analisis Buku Cerita Anak Seri

Pengenalan Profesi

Pembimbing : Dr. Katrin Bandel

Tanggal diuji : 19 Juni 2019

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan

orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian

kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa

memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru

tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima

sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi

dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar

Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 19 Juni 2019

Yang memberi pernyataan

Maria Puspitasari Munthe

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Maria Puspitasari Munthe

NIM : 156322003

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada

perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:

ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media

lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin kepada saya atau

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta

Tanggal : 10 Juni 2019

Yang membuat pernyataan

Maria Puspitasari Munthe

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

vi

KATA PENGANTAR

Pilihan untuk menempuh kuliah S2 dulu jadi cita-cita yang saya tunggu-tunggu

sekaligus waspadai. Dan hampir semua ekspektasi dan kekhawatiran itu saya alami

sepanjang empat tahun terakhir. Tesis yang saya susun ini menjadi kenang-

kenangan yang amat berkesan bagi saya secara pribadi. Ketertarikan saya pada

cerita anak dapat ruang untuk dibagikan dan diuji. Proses menulisnya pun tak kalah

berkesan, sebab menghabiskan waktu yang cukup panjang, namun pada akhirnya

melegakan.

Untuk itu semua, saya mau mengucapkan terima kasih kepada IRB, yang

berarti kepada semua orang yang ada di dalamnya atau pernah jadi bagian darinya,

karena telah membantu saya merawat minat untuk belajar, sekaligus meyakinkan

bahwa minat semacam itu selalu tidak sia-sia. Pengalaman belajar yang sangat

menyenangkan. Utamanya, terima kasih karena lewat proses itu, saya belajar

bersabar memahami kerumitan dan tidak buru-buru ingin tahu ujungnya. Dan hal

ini, sungguh-sungguh membantu saya lebih optimis menjalani hidup.

Saya sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada segenap staf pengajar

dan administrasi yang mendampingi perjalanan saya di IRB. Terlebih, untuk (Mbak)

Dr. Katrin Bandel atas semua kesempatan bertukar pikiran, perhatian sepanjang

penulisan tesis saya, dan kesabaran menunggui saat irama saya melambat atau

bahkan berhenti.

Terima kasih pula untuk kawan-kawan seperjalanan dari angkatan 2015 dan

seabrek angkatan lainnya. Semangat dan dukungan kalian sangat berarti. Terima

kasih atas cerita-cerita hidup yang kalian bawakan ke ruang obrolan, dari sana saya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

vii

belajar banyak. Juga untuk teman-teman di mediasastra.com yang memperkenalkan

IRB dan menemani saya latihan tekun membaca. Terbukti, latihan itu menolong saya

melewati kelas-kelas teori yang butuh kerja keras. Terima kasih juga buat Mas

Wahmuji, kawan diskusi yang turut menunggui tesis ini jadi.

Saya menyampaikan terima kasih pula pada teman-teman di tempat kerja

yang dengan sabar memahami kebutuhan saya untuk sekolah: teman-teman di Indie

Book Corner, pintu perkenalan saya dengan dunia penerbitan, yang mengizinkan

saya punya jam kerja fleksibel selama dua semester; dan teman-teman di Translexi,

yang turut menyemangati dan mendukung proses penyelesaian tesis ini.

Terakhir, terima kasih pula untuk keluarga saya yang memberi kepercayaan

untuk melanjutkan studi sesuai pilihan saya; dan terima kasih buat Sakha Widhi

Nirwa, kawan baik yang menemani menjalani semua pengalaman ini.

Tesis ini jelas tidak sempurna, barangkali tidak memuaskan. Saya hanya

berharap tulisan ini jadi bagian dari perjalanan besar kawan-kawan yang sama-

sama belajar. Yang jelas, saya bersyukur saya “tidak mati karena tesis”.

Yogyakarta, 10 Juni 2019

Maria Puspitasari Munthe

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

viii

ABSTRAK

Bacaan anak adalah bagian dari semesta besar instrumen pendidikan untuk anak di Indonesia. Penelitian ini mencoba mendalami salah satu konten populer dalam cerita anak Indonesia, yakni buku cerita seri pengenalan profesi. Ada sepuluh judul seri profesi idaman yang saya gunakan sebagai objek utama dan tiga judul pelengkap sebagai data pembanding. Karya ini didekati dengan kerangka berpikir pendidikan kritis, dan secara khusus konsep pedagogi publik, yang disusun oleh Henry Giroux. Secara sederhana, penelitian ini ingin menelusuri wacana dominan apa yang dihadirkan teks semacam itu dan bagaimana wacana tersebut diproduksi.

Dengan pembacaan mendalam, saya mendapati dua wacana dominan yang disuguhkan dalam sepuluh buku cerita yang saya teliti, yakni modernitas dan nasionalisme. Keduanya diimajinasikan sebagai beberapa nilai utama yang perlu dilihat, dikenali, dan diperjuangkan oleh pembaca anak Indonesia. Aspek-aspek yang menjadi turunan dua narasi besar itu meliputi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tren individualisasi, dan kontras dengan pekerjaan di sektor tradisional.

Pengetahuan yang didistribusikan ini bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ada otoritas yang menyusunnya sedemikian rupa dan situasi masyarakat tertentu yang memungkinkan pengetahuan semacam itu lahir. Dalam konteks penelitian saya, otoritas yang secara langsung berkontribusi pada dua narasi utama tersebut adalah wacana kolonial. Modernitas, demokrasi, dan hak asasi manusia adalah tiga isu utama yang kini mewakili suara wacana pemberadaban kontemporer.

Kata kunci: buku cerita anak, pengenalan profesi, wacana kolonial, anak Indonesia, pendidikan kritis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

ix

ABSTRACT

Children’s literature is part of the vast universe of instruments of children’s education in Indonesia. This research tried to delve into one of popular contents in Indonesian children’s stories, i.e. stories about occupation. There are ten titles on ideal profession which I used as the main object of the research, along with three secondary titles as comparative data. These works were approached with critical pedagogy, and particularly the concept of public pedagogy, proposed by Henry Giroux. To put it simply, this research aims to investigate the dominant discourses implied within those texts and how such discourses were produced.

Through close reading, I found two dominant discourses presented within the layers of the ten works of children’s literature I worked on, namely modernity and nationalism. Both were imagined as the main values Indonesian children need to set their eyes to, identify, and try to achieve. The derivative aspects of the two dominant narrations include the advancement of science and technology, trend of individualization, and contrast with traditional occupations.

The distributed knowledge is not value-free. There is a certain authority that constructed it and certain social circumstances that allowed such knowledge to be generated. In this research, the authority that directly contributed to both primary narrations are the colonial discourse. Modernity, democracy, and human rights are the three main issues that currently represent the voice of contemporary discourse of civilization.

Keywords: children’s stories, ideal profession, colonial discourse, Indonesian children, critical pedagogy

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ....................................................................................................... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS .................................................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................................................................... viii

ABSTRACT .................................................................................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1

B. Tema ................................................................................................................................................ 8

C. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 8

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................................................ 9

E.1. “Sastra Anak sebagai Genre, Sebuah Utopia?” ............................................................ 9

E.2. Ideologi dalam Sastra Anak .............................................................................................. 12

E.3. “Berdamai” dengan Narasi Populer yang Dikonsumsi Anak .............................. 15

E.4. Sastra Anak Balai Pustaka: Corong Ideologi Pembangunan Orde Baru ........ 17

E.5. Anak Indonesia Tumbuh Jadi Modern ......................................................................... 19

F. Kerangka Teoretis ................................................................................................................... 22

F.1. Public Pedagogy oleh Henry Giroux .............................................................................. 24

F.2. Wajah Baru Standar Pemberadaban oleh Brett Bowden ..................................... 27

G. Metode Penelitian .................................................................................................................... 31

H. Sistematika Penulisan ............................................................................................................ 33

BAB II ANAK INDONESIA: SEBUAH KONSTRUKSI KELUARGA DAN NEGARA ............. 35

A.1. Literasi Anak dan Peran Keluarga ................................................................................. 39

B. Anak di Sekolah ........................................................................................................................ 44

B.1. Tut Wuri Andayani: Hakikat Pendidikan untuk Anak ........................................... 45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

xi

B.2. Sekolah Orde Baru ............................................................................................................... 53

BAB III MODERNITAS DALAM CERITA ANAK INDONESIA .................................................. 61

A.1. Tokoh dan Penokohan ....................................................................................................... 67

A.2. Latar .......................................................................................................................................... 75

A.3. Plot ............................................................................................................................................. 81

B. Menjadi Manusia Modern ..................................................................................................... 88

B.1. Pendidikan Formal dan Profesionalisasi .................................................................... 88

B.2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ............................................................ 91

B.3. Individualisasi ....................................................................................................................... 94

B.4. Kontras dengan Yang-Tradisional ................................................................................ 96

C. Negara dan Nasionalisme .................................................................................................. 101

BAB IV INDIVIDU MODERN SEBAGAI HASIL PROYEK PEMBERADABAN

MASA KINI .............................................................................................................................................. 105

A.1. Spesialisasi dan Keahlian ............................................................................................... 111

A.2. Bahasa, Keberpihakan, dan Hilangnya Intensi Pribadi ..................................... 114

B. Modernitas dan HAM: Wajah Baru Wacana Pemberadaban............................... 119

B.1. Orientasi pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ............................................... 122

B.2. Keadilan dan Hukum di Negara Demokrasi ........................................................... 125

C. Anak Indonesia yang Modern .......................................................................................... 131

BAB V KESIMPULAN .......................................................................................................................... 135

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 139

LAMPIRAN .............................................................................................................................................. 143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Children’s literature is an amorphous, ambiguous creature; its relationship

to its audience is difficult; its relationship to the rest of literature,

problematic”(Hunt, 1992: 1).

Membicarakan sastra anak di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Literatur yang

menyediakan informasi mengenai diskusi atau pembicaraan soal sastra anak tidak

hadir dengan cukup memadai. Sebagai genre tersendiri dalam sastra di Indonesia

pun, posisinya masih—seperti kutipan di atas—problematis. Ketiadaan

penyebutannya dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia membuat pencarian

rujukan untuk membaca kondisinya dalam rentang waktu mana pun makin sukar.

Bila menilik lebih jauh bagaimana sastra anak dibicarakan di Indonesia, genre ini

tampaknya “semu” saja. Buku-buku sejarah tradisi sastra Indonesia jarang sekali

menyebutkan sastra anak sebagai salah satu bagian yang memiliki karakteristik

khususnya sendiri untuk dibicarakan.

Istilah “sastra anak” sendiri punya debat teoretisnya yang belum dapat

dikatakan usai hingga saat ini. Dalam bagian kerangka teoretis penelitian ini, saya

memaparkan persoalan definisi yang saling tumpang tindih dan berpotensi

menimbulkan kebingungan. Dalam penelitian ini, saya tidak akan memasuki

perdebatan tersebut lebih jauh. Saya memilih menggunakan buku cerita fiksi anak

sebagai objek penelitian saya. Maka, untuk seterusnya, saya akan menggunakan

istilah “buku cerita anak” untuk menyebut ragam pustaka anak khusus yang saya

teliti.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

2

Permasalahan yang ingin saya angkat dalam penelitian ini berawal dari

pengamatan bahwa angka penjualan buku anak melejit. Buku cerita anak yang kini

beredar melalui tangan industri perbukuan diproduksi secara massal dan

dikonsumsi secara besar-besaran pula. Portal berita daring Tempo.co melansir data

angka penjualan buku anak pada salah satu jaringan toko buku terbesar di

Indonesia, Gramedia, menduduki posisi teratas di antara jenis buku lainnya pada

tahun 2012 dan 2013.1 Pada masing-masing tahun tersebut, Gramedia menjual

sekitar 10,9 juta eksemplar buku anak setiap tahunnya. Selisih jumlah penjualannya

dengan jenis buku yang menduduki peringkat kedua—buku religi—amat jauh, yakni

terpaut sekitar 7,2 juta eksemplar (angka penjualan buku religi pada periode itu

adalah 3,7 juta eksemplar).

Genre karya ini juga sempat dicibir dan diremehkan oleh penerbit lainnya,

Mizan, yang tidak melihat prospek penjualan yang baik. Akan tetapi, setelah

penerbitan karya pengarang anak, Sri Izzati, pada tahun 2003, Mizan mulai

mempertimbangkan prospek lini bisnis ini dengan lebih serius. Penerbit ini lalu

membentuk kelompok Kecil-Kecil Punya Karya (KPKK) yang mewadahi para penulis

anak pemula Indonesia. Lini ini kemudian dikabarkan mampu meraup keuntungan

penjualan sekitar 15% dari keseluruhan angka penjualan Mizan.2

Fenomena kedua yang menuntun saya melakukan penelitian ini adalah

pemosisian buku cerita anak sebagai genre yang banyak dimuati kepentingan

pendidikan. Meskipun kontennya beragam, namun selalu ada tendensi muatan

pendidikan dalam tiap-tiap karya. Sebagai medium pendidikan, tentunya ada

1 Hadriani. (Minggu, 1 Juni 2014). Masa Berjayanya Buku Anak dan Penulis Cilik. http://m.tempo.co/read/news/2014/06/01/109581609/Masa-Berjayanya-Buku-Anak-dan-Penulis-Cilik, diakses pada tanggal 5 Juni 2016. 2 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

3

“mekanisme” tertentu yang merumuskan dan mengontrol pedagogi macam apa yang

ditawarkan di dalamnya. Salah satu pihak yang turut ambil bagian dalam

mekanisme ini adalah produsen buku cerita anak (dalam konteks ini dapat merujuk

pada pengarang dan industri perbukuan anak). Di sisi lain, buku cerita anak

memang memiliki dimensi hiburan. Karya ini dibaca dengan tujuan memberikan

kesenangan pada pembaca dengan kisah-kisah yang cenderung lebih sederhana

dibanding karya sastra jenis lain. Akan tetapi, meski dimensi ini adalah salah satu

fungsi tak terpisahkan dari sastra secara umum, ada tendensi untuk meletakkan

edukasi sebagai fungsi yang dominan dalam buku cerita anak.

Kondisi di atas menjelaskan bahwa anak-anak dalam masyarakat Indonesia

masa kini mempunya interaksi yang cukup intensif dengan buku cerita anak. Oleh

karena itu, gagasan yang dibawa dalam buku cerita anak menjadi perhatian penting.

Gagasan itu turut menentukan proses belajar subjek anak dan cara pandangnya

dalam memahami realitas di kemudian hari. Terkait dengan kemampuan anak

memahami bacaan, ada satu kritik tajam yang dialamatkan pada para akademisi

yang berfokus pada sastra anak, yakni kecenderungan untuk menganggap anak

sebagai subjek yang inferior. Meski memang ada keterbatasan tertentu dalam diri

anak terkait rujukan pengetahuan dan pengalaman untuk memahami suatu hal,

namun mereka selalu punya kemungkinan untuk mempertanyakan atau mengkritisi

sesuatu berdasarkan rasio tentang dunia mereka sendiri.3 Pengalaman dan

pengetahuan yang terus bertambah seiring waktu menjadi salah satu faktor penentu

dalam proses membangun makna teks dalam membaca.

3 Marsh, Jackie dan Elaine Millard. (2000). Literacy and Popular Culture: Using Children’s Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company, hal. 80.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

4

Sebagai karya yang punya peran mengajari anak-anak akan nilai-nilai, buku

cerita anak tentunya bukanlah sesuatu yang otonom dari realitas. Ia adalah salah

satu produk budaya yang dapat menjadi representasi cara pikir tertentu dalam

masyarakat di mana ia diciptakan. Cerita anak tidak selalu dapat diasumsikan

sebagai sesuatu yang secara esensial mengajarkan “kebaikan” hanya karena ia

ditujukan untuk pembaca anak.

Saya ingin memaparkan sebuah ilustrasi untuk menunjukkan bagaimana

sebuah buku cerita anak membawa gagasan yang menjadi perwakilan imajinasi

masyarakat tentang budaya tertentu. Sewaktu kecil, saya memfavoritkan cerita

karangan penulis Inggris, Roald Dahl, yang berjudul Charlie dan Pabrik Cokelat

Ajaib4. Deskripsi mengenai sebuah tempat besar yang menjadi pusat pembuatan

beragam jenis kudapan cokelat buat saya sebagai anak-anak adalah ladang subur

latihan mengimajinasikan hal-hal di luar kemungkinan realitas sehari-hari. Charlie

dan Pabrik Cokelat Ajaib menghadirkan perjalanan lima orang anak yang

memenangkan Tiket Emas untuk berkunjung ke pabrik cokelat milik Tuan Willy

Wonka. Dari kelima anak ini, hanya satu yang berhasil menyelesaikan perjalanan,

yakni Charlie Bucket yang didampingi kakeknya. Empat anak lainnya harus

tersandung masalah di tengah perjalanan sebab perilaku mereka tidak sesuai

dengan apa yang disyaratkan oleh Tuan Willy Wonka. Mereka melakukan kesalahan

dengan memakan produk yang belum selesai diuji coba atau rakus atau terlalu

menuntut sehingga mereka mendapatkan musibah yang menghalangi perjalanan

keliling pabrik. Sementara Charlie Bucket yang digambarkan kalem dan kagum

4 Judul aslinya dalam bahasa Inggris adalah Charlie and the Chocolate Factory, diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1964 oleh penerbit Alfred A. Knopf Inc., kemudian diterbitkan di Inggris tahun 1967 oleh George Allen & Unwin. Terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia pertama kali pada tahun 2002. Kisah ini juga pernah diangkat dua kali ke layar lebar dengan judul Willy Wonka and the Chocolate Factory (1971) dan Charlie and the Chocolate Factory (2005).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

5

sebagaimana anak-anak yang bersemangat dan tetap patuh berhasil menyelesaikan

tur pabrik bersama Tuan Willy Wonka. Sebagai hadiahnya, Tuan Willy Wonka

mewariskan pabrik cokelat ajaib itu kepada Charlie untuk dikelolanya ketika sudah

dewasa nanti.

Sekilas, tidak ada hal aneh dalam cerita anak di atas. Anak diajari untuk tetap

sopan dan menjaga perilakunya demi kebaikannya sendiri. Akan tetapi, ketika saya

membaca kembali cerita ini saat sudah dewasa, ada satu hal yang langsung kentara

mengganggu. Dalam pabrik cokelat yang dikelola Willy Wonka tersebut, ia

mempekerjakan sejenis makhluk seperti kurcaci yang disebut Oompa-Loompa.

Tidak ada seorang pun pekerja manusia. Para Oompa-Loompa ini mengoperasikan

seluruh pabrik, mulai dari meneliti rancangan produk baru, memproduksi massal

kudapan-kudapan cokelat, dan melakukan pemeliharaan terhadap sumber daya

pabrik. Dalam narasinya, Willy Wonka menceritakan kepada peserta tur pabrik

cokelat bahwa Oompa-Loompa diimpornya langsung dari sebuah negeri bernama

Loompaland. Tempat itu berupa hutan belantara dengan makhluk-makhluk yang

berbahaya. Para Oompa-Loompa kesulitan mencari makan oleh karena ancaman

bahaya tersebut, maka mereka bertahan di rumah pohon dengan memakan ulat bulu

hijau yang rasanya tidak enak. Mereka sebenarnya sangat suka makan biji kakao,

namun jika mereka harus turun dari rumah pohonnya, mereka bisa disergap

makhluk penghuni hutan yang lain.

Mengetahui hal itu, Willy Wonka melakukan pendekatan kepada para Oompa-

Loompa dengan memanfaatkan kegilaan mereka terhadap biji kakao.

Dan begitulah, anak-anak, begitu aku mengetahui bahwa para Oompa-Loompa tergila-gila pada makanan tertentu ini, aku memanjat ke desa mereka di atas pohon dan mengintip ke dalam pintu rumah kepala suku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

6

mereka. ... ‘[D]engar, kalau kau dan orang-orangmu mau ikut ke negeriku dan tinggal di pabrikku, kau boleh makan semua biji kakao yang kau mau! ... Kau boleh makan biji kakao setiap kali makan! ... Aku bahkan akan membayar gajimu dengan biji kakao kalau kau mau!

... “Jadi aku mengapalkan mereka semuanya ke sini, semua pria, wanita, dan anak suku Oompa-Loompa. Caranya mudah sekali. Aku menyelundupkan mereka semua dalam kotak besar yang dilubangi, dan mereka semua tiba dengan selamat. Sekarang semuanya bisa berbahasa Inggris. Mereka suka sekali menari dan bermain musik. ... Mereka masih memakai pakaian yang dulu mereka pakai di hutan. Mereka ngotot begitu.”5

Relasi Willy Wonka dan suku Oompa-Loompa mengingatkan saya pada relasi tuan

dan jajahan dalam wacana kolonialisme. “Tuan” mengambil mereka yang dianggap

terasing dan masih tradisional untuk dibawa mencapai kemajuan. Dalam hal ini,

warga Loompaland dijadikan pekerja di industri besar yang dikelola Willy Wonka.

Mereka pun diajari berbahasa Inggris, namun tetap diizinkan memelihara tradisi

mereka dalam bentuk pakaian yang sejak tinggal di hutan tetap mereka pakai.

Oompa-Loompa menjadi tenaga kerja yang tampak sangat strategis sebab tidak

perlu dibayar mahal, hanya sekadar diizinkan makan biji kakao dan cokelat

sepuasnya—yang tentu jumlahnya tidak sebanding dengan produksi massal pabrik

cokelat Willy Wonka.

Gagasan kolonialisme dan eksploitasi pekerja ini hadir dalam buku cerita anak

yang begitu terkenal. Bukan tidak mungkin—bahkan terbilang wajar—apabila anak

meyakini nilai-nilai yang dikandung teks tersebut hingga seterusnya meskipun nilai

itu melanggengkan dominasi kekuasaan tertentu yang mengontrol realitas

kehidupannya. Penyajian gagasan semacam ini dapat bersifat sangat implisit dalam

sebagian teks, sementara pada sebagian yang lain amat kasatmata. Oleh sebab itu,

5 Dahl, Roald. (2010). Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib. Terj. Ade Dina Sigarlaki. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, hal. 94–96.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

7

pengalaman membaca dengan pendekatan yang kritis diharapkan akan mampu

mengenali ide-ide yang mungkin diselubungi di dalam teks buku-buku anak.

Dalam kaitan dengan peran cerita anak sebagai medium pendidikan, saya

sebagai peneliti menaruh ketertarikan pada upaya membaca kecenderungan

gagasan yang ditampilkan dalam buku cerita anak yang beredar di Indonesia.

Pendidikan adalah salah satu topik yang kerap sekali diangkat, namun dalam

konteks ekonomi-sosial-politik tertentu yang terjadi di masyarakat, tentunya ada

pengaruh yang ikut menentukan bagaimana pendidikan diimajinasikan di dalamnya.

Dalam sejumlah kesempatan pengamatan awal, saya memerhatikan bahwa ada

gestur yang cukup kentara dalam buku-buku cerita anak di Indonesia untuk

mendefinisikan beberapa aspek kehidupan masyarakat dalam imajinasi yang

bertendensi mendukung sistem ekonomi neoliberal. Salah satu contohnya saya

temukan dalam buku cerita anak seri pengenalan profesi yang menghadirkan

contoh-contoh pelaku kerja profesional versi wacana modernitas. Sepilihan

pekerjaan direpresentasikan sebagai perbendaharaan cita-cita yang dapat

diimpikan anak untuk dijalani nanti ketika dewasa. Dalam seri ini, tidak hadir kisah

orang-orang yang bekerja di sektor nonformal, misalnya petani, seniman, dan

sejumlah pekerjaan lain yang domainnya mungkin belum dianggap profesional.

Narasi tentang mereka justru dihadirkan dalam seri terpisah, dibingkai sebagai

realitas yang sama sekali terpisah dari keseharian anak, dan dibicarakan seperti

sesuatu yang seakan-akan datang dari masa lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

8

B. Tema

Imajinasi modernitas terkait pekerjaan yang dihadirkan dalam buku-buku

cerita anak seri pengenalan profesi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencoba menjawab

beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana subjek anak dimaknai dan dikonstruksi di Indonesia?

2. Apa saja wacana dominan yang disuguhkan dalam narasi buku cerita anak

seri pengenalan profesi yang terbit di Indonesia?

3. Subjek anak seperti apa yang ingin dibangun lewat narasi semacam itu?

D. Tujuan Penelitian

Proses analisis dalam menjawab rumusan masalah di atas akan membantu saya

untuk mencapai tujuan penelitian yang mencakup hal-hal berikut:

1. Melacak sejumlah konsep dan gagasan tentang anak di Indonesia, baik itu di

ranah domestik maupun di ranah lain yang dapat diintervensi oleh institusi

lain, misalnya negara.

2. Dengan mengacu pada teks buku cerita anak dan ideologi yang terkandung

di dalamnya, penelitian ini berupaya melihat wacana dominan yang muncul

dalam percakapan terkait pekerjaan di dunia bacaan anak Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

9

3. Memeriksa elemen apa saja yang dipresentasikan sebagai tiang-tiang yang

menyusun narasi dominan tersebut dan bagaimana elemen ini

membayangkan subjek anak Indonesia yang diinginkannya.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. “Sastra Anak sebagai Genre, Sebuah Utopia?”6

Artikel oleh Widyastuti Purbani ini mengambil latar yang kurang lebih serupa

dengan rencana penelitian saya. Purbani memperhatikan bahwa sastra anak di

Indonesia tidak mampu berkembang dengan maksimal sebaik kelompok sastra

lainnya (“sastra orang dewasa”). Ia menyebutkan bahwa dalam segi minat baca,

sebenarnya ada harapan, mengingat jumlah penjualan buku anak yang menjulang.

Namun, ketiadaan fungsi kritik sastra untuk mendampingi jalannya penciptaan

menyebabkan beberapa masalah mendasar yang pada akhirnya menghambat

kefasihan para pemerhati dalam membicarakannya.

Masalah awal yang diangkat Purbani adalah perubahan pola manusia dalam

“mengonsumsi” atau membaca karya sastra anak. Ia mempermasalahkan

kecenderungan orang Indonesia untuk mengidentifikasi sastra anak selalu sebagai

dongeng. Ia membaca perbedaan kondisinya demikian: di masa lalu, orang tua

sering membacakan dongeng untuk anak (menjelang tidur, untuk mengajar, dsb.),

sementara kini kebiasaan itu luntur dan tergantikan oleh media lain, seperti televisi

dan komik. Anak masa kini dianggap jauh lebih tertarik dengan media-media yang

terakhir disebutkan oleh karena pengaruh perubahan zaman. Bagi Purbani, jenis

6 Purbani, Widyastuti. (1999). Sastra Anak Indonesia sebagai Genre: Sebuah Utopia?. Yogyakarta: Makalah HISKI III UNY.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

10

relasi kuasa antara orang tua (dewasa) dengan anak-anak pada masa dongeng

berjaya dan kini amat berbeda. Dulu, relasi kuasa itu sederhana, lalu kini beranjak

jadi lebih rumit. Anak-anak sebelumnya dilihat lebih patuh ketimbang anak-anak

masa kini.

Ketidakmampuan dongeng (dan orang dewasa) untuk menyesuaikan diri

dengan perubahan ini disinyalir Purbani sebagai permasalahan utama yang turut

menyetir selera pembacanya—anak-anak. Dongeng dengan pola alur yang

cenderung seragam dan terlalu hitam-putih tidak menarik lagi bagi anak-anak yang

telah terpapar beragam jenis narasi lain. Itulah sebabnya, kartun, komik, televisi,

cerita pahlawan super, dan sebagainya bisa lebih memikat. Narasi-narasi ini

menghadirkan dinamika karakter dan alur yang lebih beragam (misalnya ada

kenakalan, kekalahan, kejahatan; tidak melulu hal-hal baik). Akan tetapi, menurut

saya ada dua kemungkinan yang menyebabkan Purbani berpikir demikian. Pertama,

pola hitam-putih dan seragam itu merujuk pada sekelompok dongeng sejenis saja;

Purbani mungkin melakukan generalisasi. Kedua, apabila dilakukan pembacaan

yang lebih cermat terhadap teks, pembaca biasanya menemukan makna yang

melampaui makna literal (misalnya ideologi) yang tidak sesederhana label “hitam-

putih” dan “mudah ditebak” itu.

Penyebab kedua kemiskinan wacana sastra anak menurut Purbani adalah

pemosisian anak sebagai subjek pembaca yang inferior. Orang-orang yang terlibat di

dalam geliat sastra anak sering memandang sebelah mata pemahaman dan

kecerdasan khusus anak; hal yang sama juga menyebabkan monotonnya karya.

Dengan pertimbangan posisi seperti itu, karya sastra anak sering mengambil peran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

11

yang menggurui dan kurang memperhatikan kemampuan anak untuk memahami

sesuatu dengan caranya sendiri.

Masih dalam konteks perlakuan yang sama, kecenderungan orang dewasa

untuk melindungi anak secara berlebihan punya pengaruh pada konten. Karya

sastra dapat memuat beragam topik terkait aspek kehidupan manusia secara umum.

Anak juga perlu mengerti tentang kejahatan, kematian, kehilangan, dan hal-hal lain

yang menimbulkan perasaan sedih; bukan melulu mendapatkan cerita yang

berakhir bahagia selamanya. Mursini7, dalam artikelnya yang berjudul “Kontribusi

Sastra bagi Anak-Anak”, mengutarakan poin yang sama, namun persisnya dengan

kebutuhan untuk menyesuaikan kadar kerumitan peristiwa bagi beberapa kategori

usia pembaca anak.

Persoalan yang lain datang dari kelompok yang menekuni sastra dan kritik

sastra. Purbani menyebutkan bahwa ada diskriminasi dalam dunia sastra sendiri

terhadap genre sastra anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

dianggap kurang memiliki nilai kesastraan yang memadai dan ada kesan “kekanak-

kanakan”. Kurangnya perhatian dan bahkan keengganan untuk membicarakan inilah

yang saya pikir jadi masalah utama dari miskinnya wacana tentang sastra anak di

Indonesia. Sementara, masalah terakhir yang diangkat Purbani menyoroti

kurangnya partisipasi dunia akademis dalam pewacanaan sastra anak. Pada level

perguruan tinggi, hanya sedikit sekali fakultas sastra di Indonesia yang menaruh

fokus pada topik ini. Purbani bahkan sempat menudingnya sebagai aksesori saja.

7 Mursini. 2009. “Kontribusi Sastra bagi Anak-Anak” dalam Bahas Vol. 18 No. 2. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

12

Artikel dari Purbani ini memang terhitung kurang mendalam. Bahkan saya

mendapatkan kesan ada generalisasi dalam banyak aspek. Selain itu, permasalahan

utama yang saya temukan dalam tulisan ini adalah tidak adanya data yang dirujuk

oleh Purbani untuk mendukung argumennya. Meski tulisan ini setidaknya memberi

bantuan bagi saya untuk memetakan beberapa hal yang dianggap menjadi

permasalahan dalam wacana sastra anak di Indonesia, secara keseluruhan tulisan

ini terdengar seperti sekadar ratapan atas kondisi yang tidak ideal menurut Purbani.

Tidak tampak ada celah terbuka untuk mencoba memulai membicarakan

pewacanaan sastra anak di Indonesia. Nada semacam ini sering kali malah bersifat

kontraproduktif bagi pengembangan topik yang dibahas.

E.2. Ideologi dalam Sastra Anak

Bacaan dengan topik ideologi saya kira berguna dalam konteks berupaya

memahami imajinasi pedagogis macam apa yang diharapkan dipahami oleh anak.

Pendekatan pada teks yang memerhatikan aspek ideologi juga pada dasarnya akan

menjadi jalan masuk untuk membaca relasi kuasa yang terjadi dalam proses

pembentukan wacana yang disisipkan dalam karya.

Ideologi ini bisa saja dibaca melalui ketidaksadaran teks maupun juga melalui

kesengajaan yang dimasukkan oleh pengarang. Pembahasan mengenai ideologi

dalam teks karya sastra anak saya temukan dalam artikel oleh Peter Hollindale.8 Hal

yang menarik dalam tulisan ini adalah secara konsisten (hampir hingga penghujung

tulisannya), Hollindale mencoba mendeskripsikan cara memahami beberapa

kelompok orang berkenaan dengan sastra anak. Kelompok-kelompok orang ini

8 Hollindale, Peter. (1992) “Ideology and the Children’s Book”. Literature for Children Contemporary Criticism. Hunt, Peter (ed.). London: Routledge.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

13

secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: child people dan book people. Dalam

pemahaman saya akan teks ini, child people merujuk pada orang-orang yang

menikmati karya sastra anak dari segi seberapa menyenangkan karya itu “melayani”

kebutuhan akan hasrat kanak-kanak dalam diri orang (baik anak-anak maupun juga

orang di luar kategori itu yang dipercaya masih tetap punya “sisi kanak-kanak”

dalam jiwanya). Sementara kelompok book people adalah mereka yang menaruh

perhatian lebih besar pada apresiasi karya tersebut dengan menggunakan kerangka

estetika karya sastra secara umum.

Salah satu contoh yang digunakan Hollindale untuk menggambarkan

bagaimana kedua jenis kelompok orang itu berbeda dalam memandang karya sastra

anak adalah mengenai tujuan penulisan karya itu sendiri. Child people akan

berpendapat bahwa karya sastra anak yang bagus adalah yang mampu

menyesuaikan cerita yang ditulis si pengarang dengan anak yang menjadi objek

penceritaan tersebut. Sebaliknya, orang-orang dalam kategori book people punya

kriteria yang berbeda dalam memandang estetika karya sastra anak. Mereka bisa

saja memuja sejumlah karya sastra anak sebagai karya yang bagus, akan tetapi

malah sebenarnya tidak pernah dibaca oleh anak-anak! Ada beberapa pengarang

yang menulis karya sastra anak “to please themselves” atau “for the child I once was”9.

Dengan demikian, objek anak-anak yang mereka tuju dalam penceritaan itu

sebenarnya malah absen. Tidak ada “anak” itu. Kisah sastra anak itu jadi sekadar

“bentuk seni terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikan”,

demikian kata C.S. Lewis—pengarang Alice’s Adventure in Wonderland.10

9 Ibid. hal. 22. 10 Ibid. hal. 22.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

14

Terkait dengan asumsi bahwa dalam karya sastra anak juga terkandung

ideologi tertentu, pertanyaan yang lahir kemudian adalah: siapa yang akan

menyadari keberadaan ideologi tersebut?; untuk kepentingan apa ideologi itu ditulis

dan dipahami?; siapakah yang memainkan peran lebih besar dalam hal ini, orang

dewasa atau anak-anak? Hollindale meyakinkan pembacanya (khususnya peneliti)

bahwa prioritas dalam hal ini bukanlah mempromosikan ideologi tertentu,

melainkan untuk memahaminya dan menemukan cara untuk membantu orang lain

memahaminya, termasuk anak-anak.

Dalam rangka memahami ideologi dalam teks karya sastra anak itu, Hollindale

membantu pembacanya dengan merumuskan kemungkinan letak keberadaan

ideologi. Ia menyebutkan ada tiga level ideologi dalam karya sastra. Level pertama

hadir sebagai yang paling kasatmata, yakni melalui pandangan/kepercayaan sosial,

politik, dan moral pengarang. Ideologi jenis ini dibuat tampak sangat eksplisit sebab

pengarang “merekomendasikan” nilai-nilai itu kepada anak-anak melalui ceritanya.

Ideologi pada level kedua hadir melalui asumsi-asumsi pengarang yang belum

diperiksa lebih jauh (baik oleh pembaca maupun kritikus). Asumsi ini biasanya

hadir tanpa disadari oleh pengarang, akan tetapi bahasa atau struktur yang

digunakannya untuk mengekspresikan asumsi tersebut tidak dapat memungkiri

nilai-nilai yang dibawanya (semacam ketidaksadaran pada teks). Nilai-nilai ini

merefleksikan nilai yang taken for granted bagi pengarang, dan anak-anak yang

membaca karyanya juga akan beranggapan demikian kecuali mereka berhasil

menyadari nilai-nilai itu bersifat ideologis. Asumsi dan nilai semacam itu tentunya

lahir dari konteks sosial tertentu yang dihidupi pengarang. Nah, inilah ideologi pada

level ketiga. Menurut Hollindale, yang memainkan peran paling besar dalam

membentuk karya adalah justru bukan pengarang itu sendiri, melainkan dunia di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

15

mana ia tinggal. Di sinilah letak wacana soal sastra anak. Ia menjadi salah satu

bagian dalam lingkungan yang mestinya bisa berfungsi mengkritisi dan (kemudian)

melahirkan isi dan bentuk sastra anak.

E.3. “Berdamai” dengan Narasi Populer yang Dikonsumsi Anak

Percakapan tentang karya sastra anak di Indonesia dalam beberapa kesempatan

membingkai keprihatinan akan minimnya diskursus kritis yang mendampingi

pertumbuhannya. Nada ratapan semacam ini biasanya lahir dari pembacaan bahwa

karya-karya sastra anak yang dianggap bermutu (dalam standar tertentu, biasanya

didominasi kepentingan edukasi dan kemampuan mengakomodasi perasaan senang

bagi pembacanya) di Indonesia berkurang jumlahnya. Orang tua pada khususnya,

atau orang dewasa pada umumnya, pun sering kali menunjukkan resistensi mereka

pada media-media selain bacaan yang dianggap sesuai untuk anak, di antaranya

televisi, permainan digital, dan internet.

Sebuah penelitian oleh Jackie Marsh dan Elaine Millard (2000) mencoba

menunjukkan pentingnya memerhatikan bentuk narasi apa saja yang dikonsumsi

anak, baik itu yang “dikanonisasi” sebagai narasi atau karya bermutu maupun

narasi-narasi populer. Penelitian yang dibukukan dengan judul Literacy and Popular

Culture ini mengulik bagaimana narasi populer yang mendampingi kehidupan anak

di luar kelas (sekolah) juga punya peran penting dalam pembentukan diri dan

kepribadian mereka. Dan ini bukan selalu berarti buruk. Penelitian Marsh dan

Millard mencoba melakukan semacam advokasi pada kebutuhan anak

bersinggungan dengan budaya populer yang dapat mendampingi proses bertumbuh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

16

mereka. Dan bahwa bentuk-bentuk populer ini punya potensi untuk dimanfaatkan

dalam membantu proses belajar di sekolah.

Argumen yang mendasari penelitian tersebut adalah bahwa media-media

baru ini mewujud sebagai narasi kontemporer yang dihidupi manusia, sebagaimana

bentuk-bentuk yang lebih awal (misalnya mitos, cerita fantasi, epos, legenda, dan

lain-lain) membawakan narasi zamannya pada generasi sebelum saat ini. Marsh dan

Millard membatasi penelitian mereka pada signifikansi media populer konsumsi

anak dalam pembelajaran di sekolah. Keduanya berpendapat bahwa pertama-tama,

orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas ini harus membangun kesadaran

tertentu bahwa media yang kontemporer ini membawa pesan-pesan ideologis

tertentu. Kesadaran ini akan berfungsi sentral dalam merancang keterlibatan dan

perkenalan anak (dalam konteks penelitian mereka, murid) dengan beragam “suara”

yang ada di sekitar mereka.

Penelitian mereka dikerjakan dengan dua tujuan utama, yakni a)

berkontribusi dalam perdebatan tentang peran budaya populer dalam pendidikan

anak dan membangkitkan kesadaran akan isu-isu penting yang terletak dalam

pilihan dan penyajian teks; dan b) mengkritisi kurikulum literasi sekolah dasar masa

kini, sembari memberikan saran praktis terkait pengembangan kemampuan baca

dan tulis.11

Menurut saya, penelitian Marsh dan Millard membawa nada yang lebih

optimis dalam persinggungan antara narasi “kanon” dan populer dalam ranah

konsumsi anak. Semangat semacam ini saya rasa lebih relevan untuk diduplikasi

11 Marsh, Jackie dan Elaine Millard. (2000) Literacy and Popular Culture: Using Children’s Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

17

dalam konteks penelitian yang akan saya kerjakan. Pemeriksaan ini terkait

kehadiran beragam karya sastra anak di Indonesia dewasa ini dan potensi apa yang

dimilikinya untuk kebutuhan literasi anak.

E.4. Sastra Anak Balai Pustaka: Corong Ideologi Pembangunan Orde Baru

Sebagaimana telah disebutkan bahwa cerita anak selalu punya kaitan erat dengan

latar kehidupan masyarakat tempat ia diproduksi, artikel ilmiah Partiningsih yang

disarikan dari penelitian tesisnya ini mengutarakan salah satu contohnya. Penelitian

berjudul Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai Pustaka Tahun

80-an12 ini menyoroti karya sastra anak terbitan Balai Pustaka yang diwakili oleh

empat karya, yakni Penyelamat Desa (Muhd. Yacob), Taman Sekolah (Manto DG),

Bunga-Bunga Hari Esok (Sasmito), dan Pandu Cucu Seorang Pejuang (A. Malik

Thachir).

Balai Pustaka adalah badan penerbitan dan percetakan milik negara

Indonesia. Pada tahun 1980-an, di bawah rezim pemerintahan Orde Baru, ia menjadi

bagian dari strategi pemerintah untuk menyuarakan dukungan kepada ideologi

pembangunan. Sastra dan lembaga pendidikan dilihat sebagai sarana yang efektif

untuk melakukan tugas itu. Maka, Balai Pustaka menerbitkan sejumlah buku sastra

anak yang mendukung gagasan pembangunan pemerintah Orde Baru. Karya-karya

yang dimaksud Partiningsih dalam penelitiannya mendefinisikan gambaran manusia

berkualitas versi Pancasila, “yakni memiliki kualitas spiritual, moral, dan etika, dan

12 Partiningsih. (2016). “Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai Pustaka Tahun 80-an” dalam Atavisme Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, hal. 29-44.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

18

mampu mencukupi kebutuhan ekonominya dengan cara bekerja keras dan

mandiri.”13

Dalam konteks ini, anak-anak diposisikan sebagai objek pembangunan.14

Itulah sebabnya, karya sastra anak ini diposisikan untuk menanamkan nilai-nilai

yang sesuai dengan gagasan Orde Baru tentang hidup kebangsaan. Dengan

demikian, diharapkan anak sejak dini telah menginternalisasi nilai tersebut dan

untuk seterusnya setia pada negara. Topik-topik yang banyak ditemukan dalam

karya sastra anak era ini adalah “kesetiaan pada masyarakat dan negara, rela

berkorban untuk masyarakat, membangun desa terpencil, menjadi abdi negara yang

patuh dan setia, dan menjunjung wibawa pemerintah”15.

Sebagai bagian dari upaya promosi ideologi tersebut, Partiningsih

menjabarkan bahwa Balai Pustaka sebagai corong pemerintah juga melakukan

sejumlah strategi untuk mempertahankan hegemoninya. Mitra utamanya ialah

lembaga pendidikan, beserta para tenaga pendidik di dalamnya. Pada masa itu, Balai

Pustaka menyelenggarakan lomba penulisan sastra anak untuk para pendidik.

Strategi ini dilengkapi dengan upaya lain untuk menyeragamkan estetika sastra

anak menjadi suara dukungan untuk Orde Baru, dengan tidak mengakui atau

menyingkirkan estetika sastra anak jenis lainnya, baik yang lahir pada masa

sebelumnya16 maupun di luar lingkaran Balai Pustaka. Kedua strategi ini beroperasi

secara sinergis melalui institusi pendidikan formal (sekolah). Para guru yang

13 Ibid. hal. 34. 14 Ibid. hal. 35. 15 Ibid. hal. 35. 16 Estetika kesastraan yang coba digagalkan oleh Balai Pustaka (dan maka juga, Orde Baru) dari masa sebelumnya itu, disebutkan Partiningsih, mencakup “estetika realisme sosialis dari Partai Komunis Indonesia ataupun gagasan estetika tentang sastra yang dikembangkan oleh aliran kebudayaan yang berafiliasi dengan agama Islam, misalnya Lembaga Kebudayaan Seniman Muslimin Indonesia” (Partiningsih, 2015: 39).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

19

mengikuti lomba menulis sastra anak akan mengikuti estetika pilihan pemerintah

agar dapat menang. Setelah itu, karya-karya yang dianggap baik berdasarkan

kriteria estetika hegemonik itu akan didistribusikan secara massal dan terstruktur,

contohnya ke perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia dan melalui pengajaran

dalam kelas.

Penelitian Partiningsih ini menunjukkan salah satu operasi wacana dalam

buku-buku cerita anak di Indonesia, secara spesifik pada tahun 1980-an. Pada

penelitian ini, periode waktu yang saya ambil jauh berbeda. Saya ingin membaca

kecenderungan yang lebih kontemporer mengingat latar politik dan historis

Indonesia sudah mengalami perubahan sejak dari periode waktu penerbitan sastra

anak yang diteliti Partiningsih.

E.5. Anak Indonesia Tumbuh Jadi Modern

Melani Budianta, dalam tulisannya yang diterbitkan dalam bunga rampai analisis

pascakolonial atas sastra Indonesia modern17, melihat bahwa serial televisi Si Doel

Anak Sekolahan bicara banyak tentang modernitas yang dipahami sebagian besar

masyarakat Indonesia pada periode tahun 1990-an. Dengan lebih kompleks dalam

tulisannya, Melani menilik ulang inspirasi teks Si Doel Anak Betawi yang ditulis oleh

Aman Datuk Madjoindo sebagai sebuah cerita anak dan tiga versi adaptasi

audiovisualnya—dua film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja (Si Doel Anak Betawi

[1973] dan Si Doel Anak Modern [1976]) dan serial televisi Si Doel Anak Sekolahan

(1994-2006), serta satu teks lain oleh penulis yang sama dengan judul Tjerita

17 Lihat Budianta, Melani. 2002. “In the margin of the capital: From ‘Tjerita Boedjang Bingoeng’ to ‘Si Doel anak sekolahan’” dalam Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

20

Boedjang Bingoeng18. Melani mendekati kelima teks ini dengan kacamata

pascakolonial untuk melihat bagaimana masyarakat tradisional Indonesia, secara

khusus Melayu dan Betawi, berhadap-hadapan dengan intervensi modernitas dalam

kehidupan mereka.

Melani melacak modernitas dalam teks-teks itu lewat sejumlah aspek, yakni

sistem (ke)uang(an) dan pasar, nilai pendidikan, dan identitas sosio-kultural

(mencakup etnis, kelas, dan gender). Terlihat jelas bahwa terjadi dinamika respons

masing-masing pengkarya, baik penulis maupun sutradara, terhadap wacana

modernitas yang terwakili dalam ketiga aspek tersebut. Tjerita Boedjang Bingoeng

menampakkan resistensi yang kuat terhadap sistem keuangan modern lewat

penolakan tokoh Boedjang Bingoeng atas uang sebagai alat tukar untuk

mengapresiasi kerjanya. Sementara keempat teks Si Doel menampilkan tanggapan

yang lebih bernuansa atas ide modernitas; kadang modernitas dirayakan secara

kurang kritis, sementara di lain waktu juga dijadikan olok-olok untuk menunjukkan

banalnya motivasi masyarakat menilai sesamanya lewat, misalnya, kepemilikan

gelar akademis. Meski demikian, ada satu hal yang selalu menjadi pusat percakapan

dalam kisah Si Doel, yaitu pendidikan formal. Tokoh Doel yang lahir dari keluarga

Betawi tradisional selalu punya hasrat besar atas kesempatan bersekolah yang

diyakini menjadi jalan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Pendidikan

ditempatkan sebagai ‘prasyarat untuk memasuki kompetisi ekonomi di tingkat

global, meskipun tidak menjamin keberhasilan’19.

Selain isu pendidikan, Si Doel dan keluarganya juga tak pernah luput dari

tarik-ulur antara tradisi dan kehidupan urban modern yang berjalan beriringan.

18 Tjerita Boedjang Bingoeng disebut-sebut sebagai terbitan Balai Pustaka yang kurang terkenal dan tidak termasuk kategori kanon; dalam tulisan Melani Budianta, karya ini tercatat diterbitkan pada tahun 1935. 19 Ibid., 256, terjemahan lepas oleh saya sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

21

Dalam keempat teks Si Doel, penggunaan bahasa Betawi terbilang dominan; hanya

sejumlah tokoh yang digambarkan bukan orang Betawi asli yang bercakap-cakap

dengan bahasa Indonesia atau Melayu. Keluarga Doel tinggal tak jauh dari pusat kota

yang ingar-bingar; aktivitas Doel pergi-pulang kerja membuatnya berpindah latar

dan situasi dari kampung ke kota dan sebaliknya bahkan dalam rentang satu hari

saja. Orang tua Doel setiap harinya mengenakan pakaian yang identik dengan tradisi

Betawi (sarung, kaus longgar, kopiah), sementara jika bekerja Doel harus

berpakaian formal modern (celana panjang, kemeja, dasi). Bahkan dalam serial

televisinya, sempat dikisahkan ketika Si Doel bimbang memilih antara berangkat ke

Swiss untuk menerima beasiswa pelatihan kerja atau tetap tinggal di Jakarta.

Mendiang ayahnya sempat melarang keras ia pergi ke luar negeri, padahal

kesempatan itu diperlukan untuk memuluskan jalan kariernya di kantor.

Pertemuan wajah yang-tradisional dan yang-modern dalam serial televisi Si

Doel yang laku keras pada tahun 1990-an sedikit banyak menunjukkan bentuk

interaksi umum dan ideal yang dibayangkan masyarakat audiensnya kala itu. Si Doel

adalah anak kampung teladan yang mampu melampaui keterbatasan ekonomi dan

kultural untuk merampungkan kuliah sarjana. Meski telah menyandang gelar

akademis dan bekerja di kantor besar, “kerjaannye sembahyang mengaji”20 serta

senantiasa berlaku sopan pada orang yang lebih tua. Tampak jelas bahwa figur ideal

yang diharapkan haruslah mampu memenuhi standar pendidikan dan keterampilan

masyarakat urban modern, namun tak lupa menjalankan nilai-nilai luhur yang

diwariskan lewat keluarga. Tak jarang, “pelestarian” tradisi itu ditempuh dengan

cara rasialisasi para tokoh dan kesehariannya agar tampak tradisional.

20 Frasa ini adalah potongan lirik lagu tema pembuka dan penutup serial televisi Si Doel Anak Sekolahan. Lagu yang sama telah digunakan sejak film adaptasi pertama oleh Sjuman Djaja, Si Doel Anak Betawi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

22

Analisis Melani membantu saya membaca satu dari sekian persepsi

masyarakat Indonesia dalam rentang 30 tahun terakhir atas modernitas yang

tengah berlangsung. Persepsi ini saya tempatkan sebagai latar yang semacamnya

cukup relevan pula dengan pembacaan saya atas narasi utama sepuluh buku seri

pengenalan profesi yang telah dijabarkan sebelumnya.

* * *

Kelima bacaan yang saya sarikan dalam bagian ini merupakan referensi

kerangka pikir yang menjadi pijakan saya dalam merancang penulisan di bagian

selanjutnya. Tulisan Purbani menunjukkan cuplikan situasi dunia bacaan anak

Indonesia, dengan sedikit informasi tentang apa yang ideal. Tulisan Peter Hollindale

memberi landasan bahwa bacaan anak adalah produk ideologis dan kultural.

Sementara tulisan Marsh dan Millard memberi gambaran tentang perdebatan antara

yang-kanon dengan yang-populer dalam semesta ini. Persisnya, semangat penelitian

merekalah yang ingin saya duplikasi dalam penelitian ini, yakni merangkul yang-

populer sebagai ranah yang perlu dipertimbangkan, sebab di sinilah justru terjadi

interaksi yang masif antara anak dan produk budaya yang dikonsumsinya. Dua

bacaan terakhir, dari Partiningsih dan Melani Budianta, merupakan contoh

pembacaan ideologis yang kontekstual dalam masyarakat Indonesia pada periode

waktu yang berbeda.

F. Kerangka Teoretis

Untuk menganalisis rumusan masalah yang disarikan dari latar dinamika sastra

anak di Indonesia saat ini, secara khusus dalam kerangka wacananya, diperlukan

perangkat berpikir yang akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

23

tersebut. Untuk membaca dan menempatkan buku cerita anak sebagai sebuah

aparatus politik tertentu yang mempromosikan gagasan wacana dominan dalam

masyarakat, saya menggunakan teori public pedagogy yang dikemukakan oleh

Henry Giroux dengan pendekatan pendidikan kritis.

Untuk mendukung pembacaan dengan pendekatan tersebut, saya juga

memilih beberapa konsep pendukung lain yang dapat membantu memperdalam

temuan yang dihasilkan. Secara umum, teori pendukung yang memayungi beragam

pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pascakolonial. Pilihan

pendekatan ini dibutuhkan untuk memahami mengapa dan bagaimana profesi

tertentu dicitrakan sebagai sesuatu yang modern, sementara yang lain tradisional.

Dengan pendekatan pascakolonial, penelitian ini berupaya membaca adanya

ketimpangan dalam persepsi umum masyarakat saat menilai jenis pekerjaan yang

identik dengan modernitas dan yang sebaliknya. Keduanya ditempatkan secara

hierarkis dengan pekerjaan “modern” sebagai model superiornya. Sebaliknya,

pekerjaan di sektor nonformal, tak peduli seberapa fundamental perannya dalam

menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari, selalu dilihat sebagai sesuatu yang

terbelakang dan tidak difavoritkan. Hal ini senada dengan narasi kolonial yang

senantiasa menjunjung modernitas ala Barat dan melabeli sisanya sebagai

“tradisional” dan oleh sebab itu perlu ditinggalkan.

Literatur utama yang saya rujuk sebagai konsep pascakolonialitas yang

kontekstual dalam penelitian ini adalah kronik perkembangan wajah wacana

pemberadaban yang ditulis oleh Brett Bowden. Identifikasi Bowden atas standar

pemberadaban yang lebih kontemporer saya gunakan untuk membaca bagaimana

narasi dominan dalam buku cerita anak mencerminkan hal serupa. Konsep

pendukung lainnya saya jabarkan pada masing-masing bagian yang relevan di bab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

24

dua dan empat. Di antaranya, metafora relasi anak dan orang dewasa dalam wacana

kolonial yang diutarakan oleh Ashis Nandy, juga rumusan pendidikan awal bangsa

Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara yang menjadikan pengalaman kolonialisme

pertimbangan penting. Pada bab empat, saya juga meminjam substansi ceramah

Edward Said terkait representasi intelektual modern yang ternyata serupa dengan

temuan bab tiga.

F.1. Public Pedagogy oleh Henry Giroux

Henry Giroux, seorang pemikir teori pendidikan kritis, mengajukan konsep public

pedagogy sebagai respons atas cenderung abainya para pemikir dan praktisi

pendidikan pada aspek pedagogi di luar institusi formal seperti sekolah. Ia

mendefinisikannya sebagai sebuah kerangka kerja yang menjelaskan praktik

pedagogis yang bekerja dalam aparatus budaya (cultural apparatus).21 Perhatian

pada ranah ini didasari pada keadaan bahwa aparatus budaya telah dibajak secara

besar-besaran oleh kekuatan neoliberalisme, misalnya dalam bentuk logika

komodifikasi. Dalam tulisannya yang lain, Giroux mengkritisi bahwa banyak

penelitian tentang pendidikan ternyata hanya berfokus pada institusi formal, dan

malah tidak melirik sama sekali peran aparatus budaya (terutama budaya populer)

sebagai bagian dari sistem besar pendidikan.22

Dalam masyarakat neoliberalisme Amerika Serikat, wacana neoliberal

dipandang Giroux telah menjadi public pedagogy. Dalam konteks ini, public pedagogy

merujuk pada serangkaian kekuatan ideologis dan institusional yang bertujuan

21 Giroux, Henry. (2011). “Critical Pedagogy in Dark Times” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group, hal. 7. 22 Lihat Giroux, Henry. (2005). “Popular Culture as a Pedagogy of Pleasure and Meaning” dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education, Second Edition. New York: Routledge, hal. 157-184.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

25

membentuk individu yang kompetitif dan mengutamakan kepentingan pribadi yang

berlomba-lomba meraih pendapatan material dan ideologisnya sendiri.23 Wacana ini

disebarkan tidak hanya melalui kelas-kelas di sekolah, melainkan juga lewat

berbagai bentuk media yang lebih populer, seperti televisi, periklanan, film, dan lain

sebagainya.

Meski kondisinya demikian, Giroux berpendapat bahwa public pedagogy

adalah jalan yang dapat dimanfaatkan untuk “memperbaiki” iklim pedagogis dalam

masyarakat, tentunya dengan kebutuhan menghadirkan wacana tandingan yang

mengkritisi wacana dominannya (neoliberalisme-pen.). Konsep ini

menggarisbawahi pentingnya kedua ranah pendidikan, baik itu formal maupun

populer, dengan tujuan membangun kapasitas, mode literasi, pengetahuan, dan

keterampilan kritis yang membantu warga untuk melihat dunia secara kritis dan

sekaligus berperan serta dalam membentuk dan mengatur kondisi itu.24

Mengapa penting membicarakan aparatus budaya? Giroux melihat budaya

sebagai sebuah medan penting untuk berteori dan mengejawantahkan aspek politis

sebagai sebuah artikulasi dan intervensi atas aspek sosial. Dalam ruang ini, politik

tumbuh jamak dan bentuknya beragam. Singkatnya, budaya adalah ladang

kontestasi sekaligus wadah tampung berbagai kekuatan politik dalam masyarakat.

Ia menjadi ranah utama di mana masyarakat (baik sebagai individu maupun

kelompok) terlibat untuk menerjemahkan berbagai relasi yang menjembatani

kehidupan pribadi dengan keprihatinan (atau perhatian) publik.25

23 Giroux, Henry. (2011). “Neoliberalism and the Politics of Public Pedagogy” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group, hal. 135. 24 Ibid. hal. 137. 25 Ibid. hal. 138.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

26

Dalam perspektif ini, pendidikan atau pedagogi secara luas dilihat sebagai

unsur penting dalam kebudayaan yang selalu punya posisi strategis untuk

membangun subjek-subjek manusia dalam masyarakat. Menurut Giroux, pedagogi

adalah praktik politis dan moral. Sebagai praktik politis, pedagogi berfungsi

menjelaskan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan ideologi. Sementara

sebagai praktik moral, pedagogi mesti diiringi kesadaran bahwa segala jenis

pengetahuan yang diproduksi melahirkan konsekuensi tertentu. Lebih jauh lagi, ia

menekankan bahwa agensi individu adalah hal penting yang harus hadir dalam

praktik pedagogi ini. Artinya, individu punya kesadaran bahwa ia adalah elemen

yang turut menentukan bagaimana praktik politik tersebut ia tafsirkan. Pedagogi

adalah tindak performatif; bukan hanya perkara mendekonstruksi teks, melainkan

menempatkan politik itu sendiri dalam rangkaian relasi kekuasaan yang lebih

besar.26

Tantangan besar yang dihadapi dalam kaitannya dengan tarik-ulur dengan

kekuatan dominan dalam masyarakat adalah memunculkan bahasa baru yang tidak

terkontaminasi oleh hal itu. Giroux melihat bahwa salah satu medium beroperasinya

wacana kekuasaan adalah bahasa. Maka, hal penting yang harus dilakukan dalam

kerangka ini adalah menganalisis bahasa tidak secara sinkronis, melainkan

diakronis. Dua istilah dikemukakan bahasawan Ferdinand de Saussure untuk

membedakan pendekatan dalam analisis bahasa. Sederhananya, pendekatan

sinkronis menganalisis bahasa dengan hanya memperhatikan keadaannya pada satu

waktu (biasanya sekarang) dan tidak memperhitungkan sejarah yang

membentuknya. Sebaliknya, pendekatan diakronis menaruh perhatian khusus pada

perkembangan historis bahasa. Artinya, praktik analisis diakronis menegasi asumsi

26 Ibid. hal. 144.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

27

bahwa bahasa kekuasaan dominan lahir secara alamiah. Alih-alih demikian, bahasa

adalah hasil dari perjuangan dan konflik historis tertentu. Giroux mengadvokasi

para pemikir kajian budaya untuk melahirkan sebuah “bahasa kemungkinan”

(language of possibility). Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan pengetahuan baru

dan menawarkan cara baru untuk membaca sejarah atau kondisi masyarakat pada

konteks umumnya.27

Teori public pedagogy dengan pendekatan pendidikan kritis ini akan saya

gunakan untuk melihat cerita anak sebagai aparatus budaya yang mengusung nilai-

nilai tertentu yang mewakili kondisi masyarakatnya. Dengan sudut pandang ini,

cerita anak dipahami sebagai sebuah medan kontestasi wacana. Pemeriksaan dalam

aspek bahasa akan menjadi peranti untuk menentukan gagasan apa yang menjadi

kekuatan dominan dalam kontestasi tersebut.

F.2. Wajah Baru Standar Pemberadaban oleh Brett Bowden

Secara sederhana, tulisan Bowden28 menyelidiki sejarah wacana pemberadaban dan

memuat perincian tentang perubahan atau perkembangan makna dan fungsi yang

berputar di sekitar kata “peradaban” (civilization). Pada awal kemunculannya,

wacana misi pemberadaban disebarkan dalam tubuh yang sama dengan

kolonialisme (dan imperialisme). Wacana ini hadir sebagai wajah santun bagi

intensi perluasan kekuasaan yang mengikutinya. Gagasan tentang menjadi

“beradab” pun terkait erat dengan gagasan tentang kemajuan (idea of progress),

27 Giroux, Henry. 2005. “Cultural Studies, Resisting Difference, and the Return of Critical Pedagogy” dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education. New York: Routledge, hal. 137-155. 28 Bowden, Brett. (2009). The Empire of Civilization: The Evolution of an Imperial Idea. Chicago: The University of Chicago Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

28

bahkan oleh Georg Iggers, seorang sejarawan Amerika, disebut sebagai “bentuk

representasi teori modernisasi yang pertama”.29

Wacana pemberadaban setidaknya melibatkan dua pihak berkarakteristik

bertentangan: “yang-beradab” dan “yang-tertinggal”. Gagasan ini mengasumsikan

bahwa mereka yang beradab memiliki ciri masyarakat yang lebih modern, lebih

maju (misalnya punya sistem keadilan dan tata negara yang lebih kompleks,

menerapkan pemanfaatan teknologi yang lebih terdepan). Sementara itu, mereka

yang tertinggal dianggap belum memenuhi standar itu dan “perlu dibantu” untuk

mencapainya. Secara spesifik, wacana pemberadaban diposisikan sebagai

rasionalisasi untuk melegitimasi praktik kolonialisme Eropa. Posisi yang-beradab

jelas dimiliki oleh kolonial, dan yang-tertinggal adalah masyarakat di belahan dunia

lain yang diokupasi oleh pihak yang pertama (dalam banyak kesempatan, dua pihak

ini kerap dirujuk sebagai “the West and the rest”; hanya Barat yang bernama [diawali

dengan huruf kapital pula!], sementara belahan lain dianggap tanpa wajah dan

seakan-akan dapat dikelompokkan jadi satu tanpa masalah).

Dalam tulisannya, Bowden juga sempat mengutip pernyataan Edward Shils

untuk menekankan bahwa proyek modernisasi, secara khusus, berarti proses

‘menjadi seperti Eropa’. Orang-orang barangkali lebih suka melakoni proses ini

tanpa harus tergantung kepada Barat, namun Shils menyatakan bahwa modern

merupakan karakter alamiah Barat, datang “dari sananya”.30 Maka, dalam relasi

semacam ini, tidak akan pernah ada situasi di mana masyarakat jajahan menyejajari

atau bahkan melampaui Barat.

29 Ibid., hal. 69. 30 Ibid., hal. 72. Bowden mengutip pernyataan Shils, “[I]t has become part of their (Western’s, red.) nature to be modern and indeed what they (the West, red.) are is definitive of modernity.” Lih. Shils, E. (1970). “Political Development in the New States—The Will to Be Modern,” dalam Readings in Social Evolution and Development. S. N. Eisenstadt (ed.). Oxford: Pergamon, hal. 379-382.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

29

Wacana pemberadaban jelas menimbulkan banyak masalah. Mengasumsikan

bahwa Barat lebih maju dari yang lain adalah yang pertama. Persoalan lain,

mengklaim bahwa ada tugas yang harus diemban Barat untuk memajukan

masyarakat lainnya pula (the white man’s burden). Dan praktiknya, menunjukkan

ambivalensi yang amat kentara: demi mengajari bangsa lain untuk jadi beradab,

kolonial malah kerap kali menggunakan cara-cara yang tidak beradab. Mereka

mencaplok kepemilikan wilayah, menundukkan masyarakat agar mengikuti aturan

main mereka, mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam daerah jajahan, dan

lain sebagainya.

Kolonialisme klasik barangkali sudah berlalu (tapi, jamak dibicarakan bahwa

kolonialisme sebenarnya belum usai hingga kini, hanya beralih bentuk [atau kerap

disebut neokolonialisme]), namun nyatanya gagasan yang dibawa wacana

pemberadaban masa itu tampaknya laten. Inilah landasan argumen Bowden.

Wacana yang dimaksud terus direproduksi, hanya saja telah berubah bentuk.

Bowden menyarikan pernyataan Gerrit W. Gong dengan tesis yang sederhana, yakni

bahwa standar modernitas dan standar hak asasi manusia (HAM) kini menjadi

standar global baru yang menggantikan standar pemberadaban31. Kedua standar

inilah wajah baru norma yang asumsinya diamini secara universal oleh warga dunia

tanpa batasan administratif negara. Akan tetapi, kedua standar ini bukanlah muncul

dari udara kosong. Gong menekankan bahwa nilai-nilai tentang hidup modern dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan versi bentukan Eropa.

Artinya, lagi-lagi keduanya menjadi perpanjangan tangan bagi “misi pemberadaban”

masa kini dengan wajah yang sama sekali berbeda dari misi pemberadaban klasik

31 Ibid., hal. 166. Pernyataan ini dimuat Gerrit W. Gong dalam bukunya yang berjudul The Standard of “Civilization” in International Society terbitan Clarendon tahun 1984.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

30

(kolonialisme). Cara yang ditempuh bukan lagi okupasi dan opresi. Sebaliknya,

kedua standar ini umumnya dianggap sebagai nilai bersama yang secara alami perlu

kita pegang.

Tesis penting Bowden setelah ia merangkum beberapa pendapat pemikir

terkait wajah baru pemberadaban ini adalah bahwa standar modernitas, hak asasi

manusia, serta gagasan dan praktik demokrasi telah bercampur jadi kesatuan tak

terpisahkan.32 Dalam pembahasannya tentang perpaduan modernitas, hak asasi

manusia, dan demokrasi ini, Bowden mengutip tulisan ilmuwan politik Amerika,

Francis Fukuyama, bertajuk “Natural Rights and Human History”33. Fukuyama

mengelaborasi definisi hak asasi manusia (HAM) sebagai “aspirasi moral dan

prioritas masyarakat modern, yakni masyarakat yang secara sistematis

memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi memenuhi kebutuhan

manusia”34. Fukuyama mengamini bahwa modernitas dan HAM hadir satu paket

dengan sistem pemerintahan demokrasi. Maka, penerapannya di masyarakat yang

nondemokratis atau setidaknya menganut sistem politik yang bertentangan dengan

demokrasi sering kali bersifat kontraproduktif.

Meski demikian, Bowden mengambil sikap yang berbeda dari Fukuyama

terkait “perbedaan” sistem politik serta pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang diterapkan oleh tiap-tiap negara. Fukuyama menuturkan bahwa

HAM menjadi aspirasi yang eksplisit utamanya pada masyarakat yang telah maju

baik dalam kategori ekonomi maupun politik. Bowden merasa, tidak ada bukti kuat

yang berhasil menunjukkan mengapa HAM tidak cocok untuk masyarakat yang tidak

32 Dalam tulisannya, Bowden menggunakan kata “conflating”. 33 Fukuyama, Francis. (2001). “Natural Rights and Human History” dalam National Interest 64, hal. 17-30. 34 Lih. Bowden, op. cit., hal. 173. Terjemahan oleh saya sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

31

mengikuti ideal Barat itu. Sama halnya dengan negara yang dengan sengaja tidak

memprioritaskan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka tidak

perlu dilabeli sebagai negara “tertinggal”.35

Dalam lingkungan yang melazimkan demokrasi, HAM, dan modernitas sebagai

nilai fundamental kehidupan sosial dan politiknya, negara atau bangsa lain yang

berpegang pada nilai berbeda dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, mereka

yang berbeda ini perlu diseragamkan agar membawa nilai yang sama. Nilai-nilai ini

pun perlu disebarkan dalam bingkai spesifik, yakni kapitalisme (atau

neoliberalisme). Modernitas, HAM, dan demokrasi yang akan ditegakkan bukanlah

sesuatu yang boleh lahir dengan “unik” dalam konteks tiap-tiap bangsa. Akan tetapi,

ketiganya mesti mendorong negara tersebut untuk dapat bergabung dalam

masyarakat pasar bebas. Upaya imperialisme ini dibayangkan sebagai sesuatu yang

“saling menguntungkan”. Dengan membuat negara tetangganya lebih demokratis,

adil, dan modern, negara “maju” merasa aman karena berhasil mengeliminasi

ancaman. Sementara di sisi yang lain, negara “tertinggal” ini dianggap memperoleh

berkah berupa kehidupan yang lebih demokratis, adil, dan modern.

G. Metode Penelitian

Salah satu kendala mayor yang saya hadapi di awal penelitian datang ketika

menyadari betapa besarnya semesta bacaan anak, bahkan setidaknya dalam lingkup

Indonesia saja. Literatur mengenai kategorisasinya pun terbilang belum memadai

sehingga bersandar pada kategorisasi yang masih tumpang tindih tidak jadi pilihan

saya. Alih-alih berangkat dari jenis bacaan, saya mencoba mendalami tendensi

35 Ibid., hal. 173.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

32

umum untuk menempatkan bacaan anak sebagai instrumen pendidikan. Temuan

dari pencarian awal menuntun saya ke pertanyaan penting yang mendasari

penelitian ini: pendidikan macam apa yang dimuat di sana?

Saya lalu memilih untuk menyoroti fenomena cetak biru pendidikan

Indonesia yang disusun dalam kerangka visi ekonomi global, utamanya terkait

industrialisasi. Produk pendidikan diidealkan mesti siap kerja dan dapat diserap

oleh dunia industri (meski kenyataannya tidak sesederhana ini). Landasan seperti

itu, saya duga, mendorong arah pendidikan jadi lebih vokasional. Dari sinilah

persisnya, saya mulai melakukan pembacaan umum pada salah satu tema populer

dalam buku bacaan anak, yakni pekerjaan profesional.

Buku cerita anak seri profesi bukan barang langka. Hampir semua penerbit

buku anak merilis bacaan jenis ini. Maka, saya menyisir satu seri dari penerbit Tiga

Serangkai dan memilih tujuh buku dari seluruh seri profesinya. Ketujuh buku

dengan profesi yang diwakilinya sedikit banyak menggambarkan sebaran dunia

kerja profesional yang kerap muncul dalam percakapan kasual masyarakat

Indonesia. Menariknya, saya menemukan seri lain yang sama-sama bicara tentang

pekerjaan, namun dihadirkan dengan penggambaran yang sangat kontras dengan

seri sebelumnya. Perbedaan ini amat kentara. Maka, saya pilih pula tiga buku dari

seri pekerjaan nonformal ini untuk ditempatkan sebagai data pembanding.

Saya melakukan pembacaan mendalam (close reading) pada sejumlah buku

cerita anak Indonesia sebagai representasi semestanya yang lebih luas dalam

industri perbukuan anak di Indonesia. Pembacaan mendalam terhadap teks

dilakukan untuk melihat imajinasi modernitas seperti apa yang dibawanya dan

bagaimana wacana itu diproduksi dan disisipkan ke dalam karya. Selain itu,

pembacaan ini akan dilengkapi dengan observasi atas kondisi sosial masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

33

dalam rangka memahami konteks yang melahirkan gagasan modernitas dalam

cerita anak Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Secara sederhana, penelitian ini membicarakan buku cerita anak seri pengenalan

profesi dengan dua topik utama:

1. Apa wacana dominannya?

2. Bagaimana wacana tersebut diproduksi?

Tesis saya dipaparkan dalam lima bagian. Bab pertama berisi pendahuluan

tentang latar belakang saya mengambil topik penelitian produksi wacana

modernitas dalam buku cerita anak seri pengenalan profesi, rumusan masalah, dan

metode serta teori yang diaplikasikan untuk membaca data yang dikumpulkan.

Bab kedua menjadi presentasi serangkaian gagasan yang berkaitan dengan

konstruksi subjek anak di Indonesia. Sepilihan konsep ini saya susun dengan

perspektif tertentu yang menampilkan pergulatan wacana soal individu anak di

ranah domestik keluarga dan campur tangan negara dalam pembentukannya. Latar

ini menyajikan dunia kecil dan khusus tempat saya mendalami salah satu aparatus

budaya yang bekerja di dalamnya.

Pada bab tiga, saya memaparkan hasil pembacaan mendalam pada sepuluh

buku cerita anak yang mengangkat topik pengenalan profesi. Saya menempatkan

teks-teks itu sebagaimana menganalisis karya dengan teori sastra. Ada beberapa

elemen intrinsik yang saya pilih untuk mewakili isu penting yang menandai

kecenderungan narasi dominan di dalamnya. Bagian ini menghasilkan beberapa

poin penting yang menjadi tiang penyangga analisis di bab selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

34

Bab empat adalah pemeriksaan lapis berikutnya dengan bekal hasil

pembacaan mendalam di bab tiga. Pada bagian ini, saya menggunakan beberapa

konsep pendukung yang merupakan turunan dari teori pascakolonial untuk

menempatkan narasi dominan buku cerita anak tersebut dalam peta sosial-politik

masyarakat pembacanya, yakni anak-anak Indonesia. Setidaknya, saya mencoba

menelusuri bagaimana narasi dominan itu lahir dan bagaimana situasi nyata di

sekelilingnya. Sebagai penutup bab empat, saya mencoba mendaftar hal-hal terkait

subjek pembaca anak yang diimajinasikan dan diharapkan oleh produsen buku

cerita itu.

Bab lima berisi kesimpulan yang menautkan semua hasil pencarian di bagian

sebelumnya untuk menggambarkan bagaimana subjek anak diposisikan dan

dibayangkan. Selain itu, bagian ini juga menjembatani lagi pembahasan di bab tiga

dan empat terkait individu anak yang modern dengan konsep alternatif yang pernah

diusulkan Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana dipaparkan dalam bab dua. Keduanya

mewakili ekspektasi substansi pendidikan yang diterapkan untuk anak-anak

Indonesia. Akan tetapi, dalam konteks masyarakat pascakolonial, tawaran Ki Hadjar

terbilang radikal dan menjadi catatan penting dalam perjalanan memaknai dan

menyusun (ulang) substansi pendidikan anak di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

35

BAB II

ANAK INDONESIA: SEBUAH KONSTRUKSI KELUARGA DAN NEGARA

Dalam banyak perdebatan, baik akademis maupun nonakademis, mengenai buku

bacaan anak secara umum, posisi subjek anak mulai diproblematisasi. Pertanyaan-

pertanyaan yang banyak mengemuka adalah seputar apakah anak telah

dipertimbangkan sebagai pribadi tersendiri dalam sekian banyak penelitian dengan

topik-topik terkait anak, ataukah mereka diposisikan sebagai objek yang perlu

didefinisikan dari kacamata orang dewasa. Dalam tesis ini, saya merasa perlu

mencari tahu lebih tentang bagaimana gagasan tentang anak dipahami, secara

khusus di Indonesia yang menjadi cakupan penelitian ini. Bab ini akan

menggambarkan hasil penelusuran saya terkait bagaimana anak dikonstruksi di

tengah masyarakat Indonesia berdasarkan aspek-aspek yang saya anggap signifikan

untuk membaca kecenderungan gagasannya.

A. Anak dalam Keluarga

Di masa awal perumusan gagasan penelitian tesis ini, saya dihadapkan pada

sejumlah kebingungan mengenai siapakah yang dimaksud sebagai “anak” itu.

Berbagai rujukan memberikan jawaban yang berbeda. Sebagian besar dari sumber-

sumber itu menggunakan kategori usia biologis untuk mengidentifikasi tahapan

perkembangan manusia yang mencakup fase kanak-kanak; sebagian lainnya

memperhatikan proses pertumbuhan mental; dan sebagian lain menggunakan

variabel yang lebih beragam. Perbedaan pendapat ini mengindikasikan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

36

konsep tentang anak dan masa kanak-kanak itu sendiri bukanlah sesuatu yang

pakem dan tidak akan berubah.

Dari waktu ke waktu, di berbagai tempat berbeda, dan di beragam

kebudayaan yang ada, masyarakat memiliki konsepsi yang dinamis terkait anak dan

masa kanak-kanak. Studi tentang topik ini bukanlah semata-mata penting sebagai

salah satu aspek yang signifikan dalam sejarah, melainkan juga menjadi cermin di

mana kita bisa melihat refleksi dari sebagian hal terkait perkembangan masyarakat

itu sendiri. Meski demikian, kebutuhan untuk secara khusus memberi perhatian

pada wacana tentang anak dan masa kanak-kanak sendiri ternyata terbilang

“baru”—namun hal ini juga dapat diperdebatkan, sebagaimana akan saya jelaskan

secara singkat kemudian.

Fokus yang mulai dialihkan kepada anak-anak ini mewujud dalam sejumlah

gerakan ilmu pengetahuan (sains) dalam berbagai upaya untuk meningkatkan

kualitas hidup anak, misalnya mengurangi angka kematian bayi serta memperbaiki

kondisi kesehatan dan kepribadian anak. Sejak saat itu, berbagai cabang disiplin

ilmu, seperti psikologi dan medis, mulai mempertimbangkan anak sebagai entitas

yang berbeda dari orang dewasa dengan sekian karakteristik khususnya.36

Beberapa literatur yang saya rujuk sebagai bacaan dalam penelitian ini

menyebutkan nama Philippe Ariès sebagai pionir tertua yang kerap tercatat dalam

sejarah studi tentang anak atau masa kanak-kanak. Ariès ialah sejarawan awal abad

20 yang fokus mempelajari Abad Pertengahan dan topik-topik seputar keluarga dan

masa kanak-kanak. Tulisannya diterbitkan dengan judul Centuries of Childhood pada

36 Montessori, Maria. (1966). The Secret of Childhood. Terj. M. Joseph Costelloe, SJ. New York: Ballantine Books, hal. 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

37

tahun 1962 dan di kemudian hari memantik percakapan akademis tentang anak dan

masa kanak-kanak. Penelitian Ariès mengambil latar kehidupan masyarakat Eropa

Abad Pertengahan. Peter N. Stearns dalam bukunya Childhood in World History

menyatakan bahwa tulisan tersebutlah yang pertama kali menjadi gerbang yang

mengantar menuju pencarian historis yang lebih mendalam soal topik anak.37

Stearns menyarikan argumen utama Ariès sebagai pernyataan bahwa masyarakat

Eropa Abad Pertengahan tidak menaruh perhatian khusus pada anak-anak maupun

masa kanak-kanak. Dalam keseharian orang Eropa tradisional ini, masa kanak-

kanak tidak dipahami sebagai tahapan yang berbeda dalam perkembangan hidup

manusia dan cenderung meminggirkan mereka dari aktivitas keluarga. Kondisi ini

mulai berubah, diawali oleh masyarakat kelas atas, pada sekitar abad 17 atau 18.38

Argumen Ariès dibantah oleh sejumlah akademisi lain yang mempelajari

masyarakat Inggris pada awal Abad Pertengahan. Mereka menemukan bahwa pada

masa itu terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan anak.

Hal ini berarti, masyarakat yang dianggap Ariès tidak menaruh perhatian khusus

pada anak-anak sebenarnya telah memiliki kesadaran tertentu mengenai masa

kanak-kanak sebagai tahapan tersendiri dalam perkembangan manusia. Stearns

lebih jauh menganalisis bahwa Ariès dan rekan-rekan sezamannya yang mengawali

studi tentang anak keliru dalam membandingkan persepsi masyarakat Eropa

tentang hal itu pada masa pramodern dan modern. Ariès melihatnya sebagai sebuah

progres linier yang mengasumsikan bahwa masyarakat Eropa pramodern tidak

memedulikan keberadaan anak sebagai entitas yang punya karakteristik berbeda

dari manusia dewasa; sementara itu, bergesernya kehidupan mereka ke masa

37 Stearns, Peter N. (2011). Childhood in World History, Second Edition. Oxon: Routledge, hal. 10. 38 Ibid., hal. 11.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

38

modern membawa kesadaran yang lebih terkait perlakuan dan perhatian khusus

yang perlu diberikan kepada persoalan ini. Stearns berpendapat bahwa cinta

manusia dewasa kepada anak bukanlah temuan atau hasil dari modernitas,

melainkan hal yang alamiah dan universal.39

Maria Montessori, seorang pedagog berkebangsaan Italia yang memiliki

pengaruh besar dalam wacana pendidikan anak usia dini, mengutarakan

pendapatnya terkait upaya-upaya yang dilakukan orang dewasa untuk melindungi

atau mencipta subjek anak ini. Ia menganggapnya sebagai tindakan yang sering kali

dengan tidak sengaja bersifat artifisial. Maksudnya, tindakan semacam itu malah

menghalangi perkembangan kepribadian anak yang semestinya alamiah. Dengan

meminjam terminologi disiplin psikoanalisis, Montessori melihat bahwa sebagai

manusia baru/muda, anak mengalami banyak sekali peristiwa represi yang

bersumber dari pengaruh orang dewasa—biasanya yang terdekat dengannya,

misalnya ibu, bapak, atau pengasuh.40 Represi ini hadir dalam bentuk aturan

(misalnya larangan atau kewajiban) yang ditujukan agar anak tumbuh dan

berkembang mengikuti konvensi norma masyarakat di sekitarnya.

Dalam posisinya yang serbalemah dan kurang pengalaman inilah, anak kerap

mendapatkan kedudukan yang cenderung inferior dibanding orang dewasa. Orang

dewasa selalu merasa punya urgensi untuk mengarahkan dan mengajari anak-anak

agar dapat melanjutkan hidup sebagai manusia. Dalam berbagai aspek hidup anak-

anak, masih diperlukan campur tangan orang dewasa yang banyak melakukan tafsir

39 Ibid, hal. 11. 40 Di bagian awal bukunya yang berjudul The Secret of Childhood, Montessori menjabarkan secara ringkas kontribusi besar dari pengembangan disiplin psikoanalisis terhadap studi tentang anak-anak. Psikoanalisis membukakan pintu pada kesadaran tentang signifikansi memori masa kanak-kanak yang ditelusuri melalui ketidaksadaran. Memori tersebut punya dampak yang penting terhadap kondisi psikis seseorang ketika dewasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

39

atas “apa yang diinginkan” anak-anak dan mengambil keputusan atasnya. Meski hal

ini lebih sering dianggap lazim dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, ada

pula pendapat lain yang mulai mempertanyakan seberapa besar anak mendapatkan

kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal berdasarkan naluri

alamiahnya.

Meski demikian, intervensi atau campur tangan orang dewasa dalam

kehidupan anak-anak adalah sesuatu yang niscaya. Secara biologis, bayi yang baru

lahir membutuhkan air susu ibunya untuk bertahan; ia juga perlu dilindungi dan

dijaga sebab kondisinya amat rentan selepas “pindah dunia” dari dalam rahim ke

luar rahim. Seiring usianya bertambah, kebutuhan untuk menyediakan

pendampingan baik dalam bentuk pengasuhan maupun pendidikan juga terus ada.

Namun, satu hal yang penting dicatat adalah kesadaran macam apa yang dibawa

oleh orang dewasa yang mendampingi proses tumbuh-kembang anak tersebut. Jika

selalu melakukan represi, sebagaimana disebutkan Maria Montessori, tentunya ada

aspek tertentu dalam pertumbuhan alami anak yang akan mengalami dampaknya.

Demikian pula pendampingan yang bersifat membebaskan anak untuk menjelajahi

lingkungan dengan lebih leluasa punya signifikansi yang berbeda.

A.1. Literasi Anak dan Peran Keluarga

Buku cerita anak adalah salah satu bentuk literasi yang bersinggungan dengan

subjek anak sejak dini. Meskipun belum bisa membaca, sebagian orang tua memilih

mengenalkan anak-anak mereka dengan buku cerita, baik untuk tujuan edukasi

maupun hiburan. Nyatanya, buku cerita penting dan penggunaannya masih

bertahan dalam tradisi pengenalan literasi dalam keluarga. Keluarga punya peran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

40

signifikan sebagai medium bertemunya anak dengan buku cerita (serta tradisi

membaca/tidak membaca di kemudian hari). Maka, dalam sub-bab ini saya

mengulas beberapa aspek literasi yang ada dalam unit keluarga.

Dalam banyak kesempatan, melalui sejumlah media publik yang beredar di

Indonesia, saya menemukan adanya keresahan besar tentang minimnya minat baca

anak (dan orang dewasa secara umum) Indonesia. Semua pihak mengutarakan

keprihatinannya—tak jarang secara bombastis41—dan mendorong agar unsur ini

mulai menjadi perhatian bersama. Berbagai upaya ditempuh, termasuk dukungan

dari infrastruktur negara42. Pembicaraan yang terus-menerus, dan bernada prihatin

ini, menggugah saya untuk sedikit memeriksa apa yang sebenarnya diperlukan

dalam membangun budaya membaca anak, dan mungkin sekaligus apakah memang

budaya membaca sepenting itu.

Minat baca harus “lahir” dengan sendirinya. Artinya, hal ini bukan sesuatu

yang dipaksakan dari luar, namun bukan berarti lepas dari pengaruh sekitar. Josette

Frank, seorang pemerhati bacaan anak dan editor berbagai antologi untuk anak,

berargumen bahwa hal utama yang membuat seorang anak terus membaca adalah

ia menemukan kepuasan dalam bacaannya.43 Seiring dengan bertambahnya

pengalaman dan kemampuan membaca, seseorang dapat membentuk dirinya jadi

pembaca yang baik. Situasi ini tidaklah ditentukan oleh keinginan orang lain (secara

khusus orang tua dalam kasus anak), melainkan tiga hal, yakni keinginan pribadinya

41 Misalnya makalah Taufik Ismail yang berjudul “Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang”. Di dalamnya terdapat pemaparan mengenai perbandingan volume tugas membaca buku dan mengarang tulisan yang diberikan oleh sekolah di beberapa negara; dan menemukan bahwa jumlah untuk kedua tugas itu adalah nol (0) di Indonesia. 42 Salah satu yang diprakarsai belum lama ini adalah layanan pengiriman buku gratis via Pos Indonesia pada tanggal 17 setiap bulannya. 43 Frank, Josette. 1984. Orangtua, Anak dan Buku. Diterjemahkan dari beberapa bab pertama Your Child’s Reading Today (1953) secara kolektif oleh A. Bandi Raharja, Willy A. Pasti, Ronitua Harahap, C.Z. Doepe, da M.S. Hadisubrata. Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal. 1.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

41

sendiri, tersedianya buku untuk memenuhi keinginan tersebut, dan kemampuan

membaca.44

Dalam unit keluarga, orang dewasa atau orang tua dapat memperluas

kesempatan anak untuk menyukai bacaan dengan cara memperkenalkan mereka

kepada buku dan membantu meningkatkan apresiasi atau perhatian mereka

terhadap bacaan tersebut.45 Hal itu semestinya dilakukan dengan wajar dan tanpa

paksaan, sebab paksaan untuk membaca berisiko menghancurkan kesenangan anak

pada membaca itu sendiri.46 Selain itu, faktor lain yang dapat turut merintangi

proses membaca anak adalah harapan berlebih para orang tua agar bacaan-bacaan

itu memberikan nilai-nilai baik untuk pembaca anak. Tentunya, untuk memastikan

anak-anak hanya membaca buku yang dianggap baik menurut orang tuanya

bukanlah perkara mudah, sebab ada sekian banyak buku beredar di luar sana; juga,

anak-anak adalah subjek dinamis yang terus berubah dari waktu ke waktu.47 Alih-

alih memelihara ekspektasi semacam itu, Frank mendorong para orang tua untuk

menyadari bahwa tugas mereka “hanya” mempertemukan anak dengan buku yang

baik, namun biarlah anak sendiri yang menentukan unsur apa saja yang akan

diambilnya untuk kehidupannya.48 Imbauan ini saya artikan sebagai indikasi adanya

independensi proses membaca pada individu anak. Orang dewasa memang punya

campur tangan besar dalam proses interaksi anak dengan buku, akan tetapi, hal

tersebut tidak serta-merta menentukan bagaimana seorang anak mempersepsi

bacaannya dan menilai seberapa mengasyikkan pengalaman membaca itu.

44 Ibid., hal. 14. 45 Ibid., hal. 20. 46 Ibid., hal. 19. 47 Ibid., hal. 10 & 15. 48 Ibid., hal. 11.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

42

Dalam konteks penelitian saya, perdebatan (kebingungan?) soal independensi

anak dari pengaruh orang dewasa ini juga menjadi salah satu pertimbangan.

Berbagai hasil studi mengenai sastra/cerita anak mulai mengemukakan kegusaran

atas dibatasinya peran anak dalam percakapan akademis tersebut. Sampai-sampai

lahir gugatan atas kebenaran keberadaan anak dalam sastra/cerita anak akibat

terus-menerus orang dewasa berbicara dengan sudut pandang pribadinya dengan

mengabaikan perspektif anak itu sendiri.

Penekanan terhadap rasa senang dan puas yang ditemukan anak dalam proses

membaca adalah suatu hal yang serius dan menentukan tumbuhnya rasa haus

membaca di kemudian hari.

“Jika seorang anak baru membaca sebuah buku tapi sudah merasa sangat tergugah; maka itu adalah jauh lebih berharga daripada membaca banyak “buku bermutu” tapi samasekali tak tergugah oleh satu pun di antaranya [sic].”49

Melalui kutipan tersebut, Frank menunjukkan bahwa hal yang lebih penting

bukanlah apa yang dibaca oleh anak, melainkan apa yang diperolehnya. Pengalaman

membaca yang menggugah dapat menjadi titik berangkat yang mendorong anak

menjelajahi bacaan-bacaan lainnya dengan suka hati.

Rumah dan keluarga adalah suatu ruang penting untuk mewadahi aktivitas

membaca yang bertujuan mendapatkan kesenangan. Mengapa demikian? Frank

menengarai bahwa meski anak-anak diajari membaca di sekolah, lembaga yang satu

ini tidak menempatkan bacaan dan kegiatan membaca sebagai suatu hal yang

menyenangkan. Bacaan yang dipilihkan oleh sekolah biasanya merupakan bacaan

wajib yang terus-menerus dipakai lintas generasi. Kesempatan untuk memilih

49 Ibid., hal. 21.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

43

sendiri bacaan di dalam ruang kelas amat kecil.50 Buku-buku yang dipilihkan untuk

anak pun secara tidak disadari membentuk pribadi anak mendekati model yang

diidam-idamkan orang tua (dan bertujuan meningkatkan kecerdasan anak).51 Jika

anak menyadari bahwa dirinya merasa dipaksa untuk membaca, menerima terlalu

banyak larangan, atau perkenalannya dengan buku tidak menyenangkan, tak heran

ia enggan menyentuh bacaan. Di samping itu, hal lain yang dapat jadi kendala bagi

anak adalah penguasaan bahasa yang belum memadai.52

Keriuhan percakapan tentang upaya banyak orang (tua) untuk memacu anak-

anak gemar membaca ini hadir sebagai latar depan situasi di mana komersialisasi

dan persaingan dagang buku juga sama riuhnya. Kondisi ini menimbulkan efek yang

berbeda pada kedua kutub. Oleh karena makin kompetitif, para produsen buku

berlomba-lomba menyajikan buku dengan presentasi sebaik dan semenarik

mungkin. Di sisi lain, masifnya produksi buku juga melahirkan berjubel buku yang

tidak bermutu sebab diproduksi semata-mata untuk alasan bisnis.53 Situasi

semacam ini menimbulkan satu tanggung jawab lagi bagi para orang tua, yakni

berjaga-jaga, membantu anak dengan penafsiran suatu bacaan, dan mengupayakan

komunikasi yang baik dengan anak demi menanggulangi banjirnya buku bacaan dari

segala jenis.

Bersikeras menyajikan buku-buku terbaik untuk anak bukanlah pilihan yang

bijaksana di tengah luas dan sesaknya peredaran berbagai macam buku bacaan.

Selalu ada kesempatan bagi anak bertemu dengan bacaan dan bentuk-bentuk narasi

lainnya yang barangkali memuat nilai yang amat berbeda daripada harapan orang

50 Ibid., hal. 5. Frank juga mengutarakan penyesalannya bahwa mestinya sekolah juga berfungsi merangsang anak untuk menyukai bacaan, tidak sekadar belajar dari bacaan. 51 Ibid., hal. 17. 52 Ibid., hal. 44-48. 53 Ibid., hal. 8.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

44

tua. Resistensi terhadap media nonbacaan—misalnya televisi (yang kerap membuat

resah orang tua, namun mereka sendiri tidak bisa lepas dari itu), film, permainan

digital, internet—juga sukar diakui sebagai upaya yang sesuai untuk “melindungi”

anak dari pengaruh buruk. Sebaliknya, media-media tersebut adalah juga potensi

pengalaman untuk anak yang mesti digunakan secara tepat.

B. Anak di Sekolah

Dalam memahami posisi anak di keluarga, saya menyadari satu hal, yakni adanya

dorongan untuk memberikan bimbingan kepada anak dalam berbagai bentuk. Salah

satu bentuk yang paling lazim kita temui tentunya pendidikan formal. Berbagai

literatur yang saya telusuri manakala menyiapkan tulisan bab ini menunjukkan

betapa eratnya percakapan tentang dunia anak dengan pendidikan. Di Indonesia,

konstitusi menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan,

pemerintah mengejawantahkan hal itu lewat berbagai program pendukung wajib

belajar54 yang mengharuskan setiap anak mengenyam pendidikan di bangku

sekolah. Dalam pandangan saya, masifnya dorongan dan gerakan untuk bersekolah

ini tentunya menjadikan sekolah punya peran signifikan dalam membentuk subjek

anak.

Pada bagian ini, saya memilih untuk mengulas dua topik utama terkait

pendidikan dalam konteks Indonesia. Pertama, saya menunjukkan bagaimana

gagasan pendidikan ideal bangsa Indonesia awal diformulasi oleh Ki Hadjar

54 Periode wajib belajar awalnya sembilan (9) tahun; peserta didik wajib menyelesaikan pendidikan enam tahun di sekolah dasar (SD) dan tiga tahun di sekolah menengah pertama (SMP). Sejak Juni 2015, periode ini diperpanjang hingga dua belas (12) tahun dalam program yang dicanangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang menjabat kala itu, Puan Maharani. Dengan program ini, peserta didik diupayakan dapat menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) selama tiga tahun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

45

Dewantara. Dengan perhatian penuh pada situasi bangsa yang tengah memulihkan

diri dari pengalaman kolonialisme, Ki Hadjar memodifikasi berbagai pengaruh yang

diterimanya untuk dikontekstualisasi di situasi Indonesia. Di sub-bagian kedua, saya

mengemukakan bagaimana praktik pendidikan formal Indonesia pada masa Orde

Baru lewat tulisan Saya Siraishi. Saya bermaksud mendudukkan idealisasi dan

praktik ini secara berdampingan, sehingga akan terlihat bagaimana keduanya

terhubung, atau malah tidak terhubung.

B.1. Tut Wuri Andayani: Hakikat Pendidikan untuk Anak

Klise. Tapi nyatanya tidak setelah mengulik langsung dari pencetus gagasannya.

Kalimat tut wuri andayani bukanlah sesuatu yang asing terdengar di Indonesia.

Dengan mudah ditemukan di setiap emblem seragam para murid sekolah formal di

negara ini, pun jadi semboyan yang didengungkan berulang kali jika sedang

berbicara tentang pendidikan. Saya pribadi tidak banyak menaruh perhatian pada

semboyan ini, sampai pada akhirnya memeriksa apa yang diutarakan Ki Hadjar

Dewantara (yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia) ketika

mengajukan konsep itu sebagai prinsip yang mendasari gerakan kependidikannya

lewat institusi Taman Siswa55.

55 Taman Siswa dipersiapkan sejak 1921 dan secara resmi didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini lahir karena adanya kebutuhan akan pendidikan yang semakin luas, sementara pemerintah belum dapat mengusahakannya secara merata. Taman Siswa adalah salah satu dari beberapa gerakan rakyat lainnya yang berinisiatif membangun sekolah mandiri tanpa subsidi pemerintah, seperti sekolah dan asrama yang didirikan dari Dana Belajar Darmo Woro (Darmo Woro Studiefonds), kelompok Pasundan, Muhammadiyah, dan perkumpulan Adidharmo yang mendirikan Adhidharmo-Onderwijs-Instituut (Lembaga Pengajaran Adhidharmo). Bentuk perguruan Taman Siswa adalah paguron (‘rumah’ guru) dan pawiyatan (sekolah). Di sini, murid dan guru tinggal bersama dalam sebuah asrama dan melakukan kegiatan selayaknya keluarga. Di pagi hari, anak-anak mengikuti pelajaran di sekolah, sementara di luar aktivitas belajar-mengajar di kelas, mereka akan melakukan aktivitas sosial lainnya yang juga didampingi oleh para gurunya. Dari sinilah semboyan tut wuri andayani yang berarti mengikuti di belakang dengan wibawa berasal. Sebagai satu kesatuan utuh, para

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

46

Dalam sub-bab ini, saya ingin mengemukakan beberapa catatan penting yang

saya kumpulkan dari tulisan Ki Hadjar Dewantara. Pertama-tama pemilihan pemikir

ini mungkin saja terdengar seperti “otomatis”, sebab ialah nama yang paling kerap

dirujuk (baik secara serius maupun sepintas lalu) untuk persoalan seputar

pendidikan di Indonesia. Tak disangka, pilihan ini amat tepat dalam konteks

penelitian tesis saya yang berfokus secara khusus pada cerita anak, serta secara

umum (dan tak terelakkan) pada dunia anak-anak itu sendiri. Menariknya, ketika

mengulas topik pendidikan secara umum, Ki Hadjar sendiri langsung

menempatkannya sebagai sebuah usaha tuntunan yang ditujukan bagi subjek “anak-

anak”. Selanjutnya akan saya paparkan bagaimana Ki Hadjar merumuskan hal-hal

mendasar yang semestinya dijadikan pegangan dalam mendidik (anak).

Ki Hadjar Dewantara ialah tokoh pendidikan nasional Indonesia yang banyak

menyumbangkan pemikirannya dalam hal pendidikan dan pengajaran untuk

diterapkan di tingkat nasional. Berkarya di tengah “zaman peralihan”56 membuatnya

merumuskan prinsip dan konsep pendidikan yang mengarahkan manusia Indonesia

pada satu tujuan: menjadi manusia merdeka.57 “Mendidik anak itulah mendidik

rakyat.”58 Bagi Ki Hadjar, kehidupan manusia pada masa mana pun merupakan hasil

dari didikan semasa kanak-kanak. Itulah sebabnya, penting sekali memerhatikan

bagaimana pendidikan untuk anak diselenggarakan.

Terkait tujuan untuk menjadi manusia merdeka, lebih jauh Ki Hadjar

menguraikan bahwa pendidikan dan pengajaran adalah dua hal penting yang

menentukannya. Dalam kehidupan bersama (baca: berbangsa), kedua hal tersebut

guru menemani murid-muridnya melakukan berbagai kegiatan di bawah tujuan pendidikan secara bersama-sama, bukan memerintah/mendikte mereka saja. 56 Ki Hadjar Dewantara menamai masa transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan Indonesia sebagai “zaman peralihan”. 57 Dewantara, Ki Hadjar. (1977). Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan Cetakan Kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, hal. 1. 58 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

47

berfungsi memerdekakan manusia sebagai anggota dari rakyat. Secara khusus,

pengajaran bertujuan memerdekakan hidup lahiriah manusia; sementara

pendidikan adalah peranti yang memerdekakan batinnya.59 Dalam konteks ini,

merdeka dimaknai sebagai tidak tergantung kepada orang lain, melainkan bertumpu

pada kekuatannya sendiri. Cita-cita ini dapat dipahami lahir di tengah situasi

Indonesia yang baru saja lahir sebagai bangsa baru. Dengan masih adanya pengaruh

dan campur tangan pemerintahan kolonial, ada kebutuhan untuk merumuskan dan

menyebarluaskan gagasan tentang menjadi merdeka dari bentuk-bentuk belenggu

itu. Semangat ini tercermin dalam upaya Ki Hadjar untuk merumuskan prinsip dan

dasar pendidikan yang khusus dan sesuai untuk hidup bangsa Indonesia. Hal ini

akan saya bahas kemudian.

Ki Hadjar membedakan “pendidikan” dari “pengajaran”, meski keduanya

kerap digunakan untuk menggantikan satu sama lain. Pengajaran (diterjemahkan

dari kata bahasa Belanda onderwijs) adalah bagian dari pendidikan, yakni kegiatan

memberi ilmu/pengetahuan/kecakapan yang berfaedah secara lahir dan batin

kepada anak. Sementara pendidikan (diterjemahkan dari kata bahasa Belanda

opvoeding) berarti tuntunan dalam hidup pertumbuhan anak-anak.

Adapun maksudnya pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.60

Kutipan di atas adalah tujuan ideal dari pendidikan menurut konsep yang diajukan

oleh Ki Hadjar Dewantara. Tujuan semacam ini lahir dari persepsi bahwa ada hal-hal

yang bersifat kodrati pada pribadi tiap anak dan tugas pendidikan adalah hanya

menuntun dalam proses tumbuh-kembang anak.

59 Ibid. 60 Ibid., hal. 20. Cetak miring dari naskah asli.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

48

Gagasan tentang maksud pendidikan tersebut saya tempatkan sebagai

respons atas perdebatan terkait independensi anak dan intervensi orang dewasa

dalam soal-soal seputar dunia kanak-kanak seperti yang sempat saya singgung di

sub-bab pertama. Rincian maksud tersebut menunjukkan adanya kesadaran bahwa

anak adalah individu yang memiliki bakat tersendiri. Persisnya “bakat” inilah yang

perlu ditemukan dalam jalannya proses pendidikan; dan di titik itulah tugas utama

pendidikan dimulai, yakni untuk menuntun anak menyadari dan membina bakatnya.

Sebagai konsekuensinya, tindakan represi yang banyak dikenakan kepada anak-

anak dalam proses tumbuh kembang mereka (misalnya lewat institusi sekolah)

adalah justru suatu hambatan dan mestinya sebisa mungkin diminimalisasi.

Pendidikan bertugas mengarahkan saja “dari belakang” (artinya tidak mendikte dari

semula) agar bakat dalam diri anak-anak itu membantu mereka mendapatkan

kemerdekaannya.61

Dengan demikian, Ki Hadjar dalam pemikirannya tidak sepakat dengan sistem

“paksaan – hukuman – ketertiban”62 yang sering ada di kebanyakan sekolah. Hal

tersebut menyalahi prinsip kemerdekaan yang menjadi tujuan dari pendidikan.

Lebih dari itu, ia bahkan menganjurkan dalam salah satu poin yang menjadi asas

dari perguruan Taman Siswa bahwa dalam praktik pendidikannya, “Kita tidak

meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang

Anak.”63 Dalam konsep yang diusungnya ini, Ki Hadjar menempatkan subjek anak

sebagai pusat dari segala bentuk praktik pendidikan yang menjadi turunannya.

Tentu saja ada kepentingan yang dipahami orang dewasa berguna bagi kehidupan

anak-anak, akan tetapi kepentingan itu bukanlah yang utama. Hal pertama yang

61 Ibid., hal. 21. 62 Ibid., hal. 48. 63 Ibid., hal. 49.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

49

harus dikedepankan dalam proses pendampingan anak adalah subjek anak itu

sendiri dan bakat yang dibawanya.

Selain subjek anak memang berada dalam kondisi serba kurang pengalaman

dalam menghadapi hidup (jika dibandingkan orang dewasa), Ki Hadjar

menyebutkan bahwa ada dorongan lain yang menyebabkan orang dewasa ingin

punya andil dalam proses pendidikan anak. Ia menyebutnya sebagai paedagogis

instinct64, yang dimaknai sebagai keinginan dan kecakapan tiap orang untuk

mendidik anak-anaknya dengan tujuan mereka selamat dan bahagia.65 Hal inilah

yang membuat tiap-tiap keluarga mengupayakan praktik pendidikan meski

bentuknya tidak teratur.66

Dalam sekumpulan tulisannya yang secara khusus membicarakan pendidikan

kanak-kanak, Ki Hadjar Dewantara menjabarkan beberapa pengaruh dari para

pemikir yang mendorongnya untuk merumuskan prinsip pendidikan yang secara

khusus sesuai untuk kehidupan kanak-kanak di Indonesia. Dalam institusi Taman

Siswa, ada sub-lembaga tersendiri yang dikhususkan bagi anak-anak di bawah usia 7

tahun. Di lembaga lain, bagian ini disebut sebagai “Taman Kanak-Kanak”67, juga

sebagaimana kita kenal di masa sekarang. Sementara di Taman Siswa, Ki Hadjar

menggunakan nama “Taman Indria”. Alasannya: pertama, sub-lembaga ini tidak

bertujuan untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak, melainkan

64 Naluri ini disebabkan oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct) yang berarti keinginan untuk kekalnya keturunan (Dimuat dalam salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara yang pada awalnya dipublikasikan dalam terbitan Keluarga Th. I No. 1, 2, 3, 4 pada tahun 1936-1937. Saya membacanya dalam kumpulan tulisan Ki Hadjar Dewantara yang disusun dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa). 65 Ibid., hal. 27. 66 Pendidikan dalam bentuk yang teratur, menurut Ki Hadjar Dewantara, lahir umumnya di luar institusi keluarga. Keteraturan itu dicapai lewat perumusan yang sungguh-sungguh untuk menentukan syarat dan alat pendidikan (misalnya seperti yang dilakukan oleh institusi sekolah). 67 Nama ini adalah terjemahan harfiah dari kindergarten, sebuah institusi sekolah untuk anak usia dini yang dicetuskan oleh Friedrich Frӧbel, seorang pedagog berkebangsaan Jerman.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

50

semata-mata melatih kematangan berpikir mereka lewat pancaindra; kedua, nama

“Taman Anak” di Taman Siswa digunakan untuk kelas I, II, dan III dari bagian

sekolah rendah; dan ketiga, untuk membedakan diri dan melepas keterikatan dari

inspirasinya, yakni kindergarten68.

Nama “Indria” dalam institusi pendidikan untuk anak usia dini tersebut

diambil dari kata “indra”, yang menjadi pusat medium belajar anak-anak peserta

didik di lembaga ini. Menurut Ki Hadjar, pancaindra adalah jalan masuk untuk

“menyempurnakan rasa fikiran”69 anak, yang merupakan esensi dari pendidikan

untuk anak-anak itu sendiri (alih-alih mendidik untuk memberikan pengetahuan).

Cara ini dianggap paling sesuai dengan kodrat anak untuk bermain. Ki Hadjar

percaya bahwa aktivitas utama anak adalah bermain. Hampir sepanjang waktu

dalam hidupnya, anak-anak bermain. Panggilan tidur siang atau makan atau mandi

oleh orang tuanya dianggap sebagai gangguan, yang dengan terpaksa atau gusar

mereka patuhi.70

Mengapa anak tak henti-hentinya bermain? Untuk menjawab ini, Ki Hadjar

merujuk pada Herbert Spencer yang mengajukan teori bahwa di dalam jiwa kanak-

kanak, terdapat kelebihan atau sisa kekuatan yang selalu mendesak pribadi si anak

dan mendorongnya untuk mengeluarkan kekuatan itu. Jika sisa kekuatan ini tidak

dikeluarkan, si anak justru akan merasa tidak enak dan bahkan menjadi sakit.71

Selain memelihara kesehatan dan kekuatan tubuh anak, bermain juga mengasah

68 Lihat catatan kaki nomor 67. 69 Ibid., hal. 241. 70 Ibid., hal. 243. 71 Ibid., hal. 246.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

51

ketajaman berpikir, kehalusan rasa, dan kekuatan kemauan. Dan pada akhirnya,

dengan bermain, anak mempertebal rasa kemerdekaan dalam dirinya.72

Gerakan kependidikan Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa adalah

manifestasi dari berbagai gagasan pendidikan yang ia kumpulkan dan modifikasi.

Dua pemikir pendidikan yang utama menginspirasinya ialah Friedrich Frӧbel (1782-

1852) dan Maria Montessori. Frӧbel ialah pedagog Jerman yang mendirikan

kindergarten untuk pertama kalinya pada tahun 1840 di Kota Blankenburg.

Perhatiannya yang besar terhadap anak membuatnya berpikir untuk juga mendidik

para calon ibu agar nantinya dapat mengasuh anak-anak mereka; pendidikan ini

disediakannya dalam Frӧbelweekschool atau “taman ibu”. Akan tetapi, sekolah ini

tidak sesukses taman kanak-kanak karena kurang mendapatkan perhatian. Setelah

berkembang cepat dalam beberapa tahun pertamanya, kindergarten sempat ditutup

pemerintah pada tahun 1848 karena Frӧbel menerima tuduhan keliru bahwa ia

menjalankan suatu aliran politik di sana.73 Pada saat dibuka lagi setelah penarikan

keputusan pemerintah itu, Frӧbel sendiri sudah meninggal dunia.74

Sekolah Frӧbel mengutamakan sifat atau tabiat anak yang terus bergerak dan

berfantasi. Dalam kindergarten, segala kegiatannya harus bersifat menyenangkan

untuk anak-anak, memberi mereka kesempatan untuk berfantasi, tidak terlalu

mudah agar anak-anak dapat belajar cakap menyelesaikannya, memuat unsur

kesenian, dan mengarahkan kepada ketertiban yang menjadi pokok sikap

kemanusiaan dan kemasyarakatannya di kemudian hari.75 Bagi Ki Hadjar, konsep ini

72 Ibid., hal. 247-248. 73 Putusan pemerintah itu kemudian ditemukan keliru sebab Frӧbel yang terkenal sebagai “revolusioner”—yang diincar pemerintah—adalah saudara dari Friedrich Frӧbel, bukan ia sendiri. 74 Ibid., hal. 251. 75 Ibid., hal. 253.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

52

mengutamakan kegembiraan anak-anak dalam proses belajar; namun sayangnya,

anak-anak masih berada dalam situasi terperintah.

Sementara itu, konsep pendidikan anak lainnya yang lebih mengutamakan

kemerdekaan ditemukan Ki Hadjar melalui pemikiran Montessori. Maria Montessori

ialah seorang dokter berkebangsaan Italia yang pada suatu waktu memutuskan

untuk menghentikan praktik kedokterannya dan beralih ke studi mendalam tentang

kejiwaan anak. Sekolah pertama yang dirancang dan dipimpinnya adalah lembaga

yang ditujukan untuk anak-anak dari pekerja sebuah pabrik di Roma pada tahun

1907. Sekolah ini dinamai Casa deibambini, yang berarti rumah untuk merawat

anak-anak. Selama orang tuanya bekerja, rumah sekolah ini menampung dan

merawat anak-anak tersebut76 (pada masa kini, lebih kita kenal dengan semacam

taman penitipan anak). Di lembaga inilah, Montessori mengembangkan gagasannya

tentang signifikansi pancaindra dalam proses belajar anak. Akan tetapi, bagi Ki

Hadjar, pilihan Montessori tersebut mengurangi unsur permainan dalam pendidikan

anak.

Dari kedua gagasan tersebut, Ki Hadjar meramu ulang idenya sendiri untuk

diterapkan di Taman Indria (dan Taman Siswa secara umum). Ia tidak memisahkan

pelajaran yang diresepsi melalui pancaindra dan permainan yang menyenangkan.

Hal ini disebabkan oleh kepercayaan Ki Hadjar dan rekan-rekannya bahwa dalam

tiap diri anak, secara kodrati (diisi oleh Sang Maha Among) telah tersedia segala

peranti yang dapat membantunya belajar dan bersifat mendidik.77 Taman Indria,

76 Ibid., hal. 266-267. 77 Ibid., hal. 242.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

53

dengan semboyan tut wuri andayani, memberi anak-anak kebebasan yang luas

selama tidak menimbulkan bahaya.78

Uraian dari konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara

sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini membuat saya menilik lagi apa

yang terjadi pada tahun-tahun belakangan. Pemaparan Ki Hadjar, bagi saya,

mengindikasikan adanya kesadaran akan wacana kolonial yang lama memengaruhi

pendidikan di Indonesia; dan dalam semangat berdiri sebagai bangsa baru saat itu,

ia menyuarakan urgensi untuk menyusun sendiri rumusan pendidikan yang sesuai

dengan kondisi Indonesia. Ki Hadjar tetap belajar dan terinspirasi dari para pemikir

“Barat”, namun mengupayakan sebuah reformulasi dan penyesuaian supaya lebih

cocok untuk menjawab kebutuhan bangsa alih-alih menguntungkan kepentingan

bangsa asing.79

B.2. Sekolah Orde Baru

Penelitian Saya Siraishi yang dibukukan dengan judul Pahlawan-Pahlawan Belia80

tersebut dilakukan pada tahun 1989 di Indonesia dengan fokus pada keluarga

Indonesia sebagai produk sejarah pendidikan nasional yang menjadi cerminan

perumusan identitas bangsa Indonesia.81 Penelitian ini memang berupaya membaca

situasi politik dan identitas kebangsaan Indonesia pada masa Orde Baru dengan

mendekatinya melalui analogi sebuah struktur keluarga. Pendekatan inilah yang

78 Ibid., hal. 276. 79 Ibid., hal. 50. 80 Diterjemahkan dari terbitan dengan judul asli Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Tulisan aslinya diterbitkan pada tahun 1997 oleh Cornell Southeast Asia Program. 81 Siraishi, Saya. (2001). “Pengantar Edisi Indonesia” dalam Pahlawan-Pahlawan Belia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal. vii.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

54

memungkinkan saya mendapatkan sejumlah petunjuk tentang bagaimana anak

dikonstruksi pada masa itu dalam kehidupan berkeluarga di Indonesia.

Siraishi mengutarakan bahwa anak kecil adalah sumber kebahagiaan utama

bagi sebagian besar keluarga Indonesia. Hal ini ditunjukkan lewat bagaimana

senangnya orang dewasa menjadikan anak sebagai “barang mainan”. Kenakalan atau

pelanggaran norma yang dilakukan anak-anak dapat ditoleransi oleh orang dewasa

karena mereka dianggap belum mampu mengontrol tindakannya.82 Meski demikian,

pernyataan terkait toleransi terhadap tindakan anak ini memiliki paradoksnya, yang

juga dijabarkan Siraishi dalam tulisan yang sama. Seiring bertambahnya usia

mereka, pemakluman itu akan berkurang; anak-anak diwajibkan tumbuh dalam

ketertiban dan kedisiplinan.

Di dalam keluarga, ibu menjalani peran sebagai pusat sekaligus penopang

keluarga.83 Meski sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dengan nilai

patriarkis yang lebih dominan, ibu adalah figur yang ditempatkan dengan segudang

peranan penting dalam keluarga dengan aktivitas yang bersifat menjaga roda

kehidupan internal keluarga tetap berjalan. Siraishi melihat bahwa keibuan dan

kekanak-kanakan (baca: sifat-sifat anak) adalah dua hal yang selalu bersifat sublim

dalam keluarga Indonesia.84 Relasi antara kedua entitas ini digambarkan demikian:

pemberian dari ibu wajib diterima oleh anak; pemberian ini memang bersifat tulus

dan tanpa pamrih, namun anak berkewajiban membalasnya. Oleh karena pemberian

tersebut terlalu besar, maka pembalasan sang anak tidak akan pernah cukup.85

Dalam konteks penelitiannya, Siraishi menggunakan jenis relasi ini untuk membaca

82 Ibid., hal. 81. 83 Ibid., hal. 99. 84 Ibid., hal. 100. 85 Ibid., hal. 101.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

55

hubungan antara negara (Indonesia) dan rakyatnya. Dengan negara yang

dipadankan dengan sosok ibu dan rakyat yang dipadankan dengan anak, relasi

antara keduanya dimaknai menjadi pemberian oleh negara yang harus dibalas oleh

rakyat dengan loyalitas.86 Sementara itu, dalam kepentingan penelitian saya, hasil

analisis Siraishi tersebut mengafirmasi intervensi orang dewasa dalam banyak

aspek kehidupan anak. Intervensi itu dianggap bernilai tak terhingga, sehingga

semua upaya subjek anak untuk membalas budi tersebut tidak akan sanggup

menandinginya.

Signifikannya peran struktur keluarga dalam kehidupan anak-anak tidak

hanya berhenti sampai lingkaran keluarga itu sendiri saja. Struktur ini mendapatkan

perpanjangannya dalam institusi yang bernama sekolah. Siraishi mencatat bahwa

“masa kanak-kanak di sekolah” sebagai pengalaman dan konsep telah berkembang

di Indonesia sejak kehadiran kolonialisme.87 Sekolah melakukan perannya untuk

memisahkan sekaligus menyiapkan anak-anak agar dapat menghadapi kedewasaan

dan hidup di tengah masyarakat.88 Akan tetapi, meski anak-anak dipisahkan dari

keluarganya untuk dapat menjalani aktivitas belajar di sekolah, nyatanya di dalam

kelas mereka kembali menemukan keluarga, sesuatu yang dekat dalam keseharian

mereka. Sebagaimana sebagian besar warga negara Indonesia yang pernah duduk di

sekolah dasar ketahui, interaksi pertama anak dalam pelajaran baca-tulis adalah

dengan kata-kata yang mencerminkan figur-figur dalam keluarga (“Ini Budi”; “Ini

ibu Budi”; “Ini bapak Budi”; dst.). Dengan segera, anak-anak dalam kelas sekolah

86 Ibid., hal. 113. 87 Ibid., hal. 195. 88 Ibid., hal. 196.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

56

pada masa Orde Baru mengenali bahwa keluarga adalah dasar dari kehidupan

mereka.89

Kelahiran konsep masa kanak-kanak dalam dunia modern Eropa, pengalaman

kolonialisme, dan pendisiplinan negara lewat keluarga dan ruang kelas pada masa

Orde Baru90 merupakan beberapa hal yang memengaruhi bagaimana anak

dikonstruksi di Indonesia. Dari pemaparan mengenai ketiga hal tersebut, dapat

disimpulkan bahwa anak memang telah menempati posisi penting yang cukup

diperhatikan oleh masyarakat dewasa ini. Akan tetapi, posisi penting itu tidak lantas

membuat anak berada di kedudukan paling atas. Anak tetap diperhitungkan sebagai

subjek yang cenderung inferior dan oleh sebab itu membutuhkan campur tangan

orang dewasa melalui pendampingan. Selain menjadi harapan baru yang

membahagiakan, anak-anak di Indonesia harus mengalami masa persiapan agar

dapat tumbuh dan hidup di tengah masyarakat yang “dewasa”.

Tugas persiapan tersebut banyak dibebankan kepada aktivitas pendidikan,

baik itu yang dibina dalam lingkaran kehidupan keluarga maupun yang

diselenggarakan oleh institusi formal seperti sekolah. Inilah sebabnya, pendidikan

menjadi topik yang amat lekat berputar di sekitar isu-isu tentang anak.

* * *

Spirit awal berdirinya Bangsa Indonesia ini nyatanya kontradiktif dengan

praktik yang ditemukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Praktik institusi

89 Ibid., hal. 213. 90 Meski rezim pemerintahan Indonesia telah berganti beberapa kali, dan dengan itu pula mengubah sejumlah kebijakan dan regulasi terkait anak (dan pendidikannya), rasa-rasanya pembacaan mengenai pengaruh kepemimpinan Orde Baru dalam konstruksi gagasan tentang anak punya signifikansi tersendiri (salah satunya ditentukan oleh panjangnya masa pemerintahan ini, yakni tahun 1966-1998). Banyak aspek dalam pendidikan Indonesia yang belum mengalami perubahan berarti, meski sebagian lainnya juga telah banyak berubah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

57

pendidikan formal pada masa itu terkesan amat berupaya mendisiplinkan subjek

anak agar tunduk pada kepentingan negara. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan

paling populer saat itu, malah menjadi ruang yang mengunci kebebasan anak dan

mendiktekan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Pengaruhnya pun masih

terasa hingga kini. Artinya, apa yang dicita-citakan Ki Hadjar lewat gerakan Taman

Siswa malah jauh panggang dari api.

Praktik semacam itu ternyata malah merepetisi apa yang digambarkan Ashis

Nandy dalam The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism terkait

hubungan antara penjajah dan masyarakat jajahan. Kolonialisme menjadikan

konsep tentang progres sebagai asumsi dasar untuk membenarkan tindak

penguasaan dan pemberadaban terhadap masyarakat daerah jajahan. Progres

diletakkan dalam satu garis lurus di mana masyarakat tertentu bergerak menitinya

ke satu arah: menuju kemajuan. Pada garis tersebut, masyarakat Barat yang

bertindak sebagai pihak kolonial menganggap dirinya menempati titik yang

beberapa langkah lebih maju dibandingkan masyarakat jajahannya. Oleh sebab itu,

praktik kolonialisme pada hampir semua kesempatan menggunakan dalih

memperadabkan masyarakat jajahan agar menjadi lebih ‘rasional, maskulin, dan

dewasa’ sebagaimana para tuan-nyonya kolonial ini sendiri.

Praktik pemberadaban merupakan aspek penting yang harus ada dalam tubuh

kolonialisme. Hanya dengan inilah konsensus antara penjajah dan masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

58

jajahan tentang superioritas penjajah akan tetap terpelihara.91 Pemberadaban

memungkinkan masyarakat jajahan memahami dirinya sebagai manusia yang lemah

dan tertinggal, sehingga keberadaan penjajah yang merasa diri lebih dalam segala

hal akan “membantu” mereka mencapai kemajuan.

Ashis Nandy menyebutkan bahwa gagasan tentang progres yang linier dalam

hubungan antara penjajah dan masyarakat jajahan ini kerap disejajarkan dengan

relasi yang terjalin antara manusia dewasa dan anak-anak. Secara ringkas,

masyarakat jajahan kerap kali diidentikkan sebagai anak-anak, dianggap

pengetahuannya kurang dan perilakunya tidak dewasa. Oleh sebab itu, muncul

urgensi bagi orang dewasa untuk mengajari anak-anak ini agar lebih bermoral, siap

untuk tumbuh dewasa, dan mulai meninggalkan sifat suka bermain-main, spontan,

dan tidak bertanggung jawab.92 “The white man’s burden” disandingkan dengan

tanggung jawab yang dibebankan kepada orang dewasa untuk ‘menyelamatkan’

anak-anak dari proses tumbuh kembang yang tidak ideal.

Wacana kolonial yang menggunakan analogi relasi orang dewasa dan anak ini

menyiratkan persepsi umum manusia tentang posisi anak dalam kehidupan. Ketika

karakteristik kekanak-kanakan dilekatkan pada masyarakat jajahan yang dianggap

lemah dan tertinggal ini, maka artinya secara umum anak dipahami sebagai subjek

yang lemah dan tertinggal pula! Pandangan semacam ini melahirkan konsekuensi

91 Nandy, Ashis. (1983). The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism. New Delhi: Oxford University Press. Ashis Nandy memetakan kondisi yang akan terjadi jika konsensus antara penjajah dan masyarakat jajahan tidak tercapai. Penjajah akan amat takut apabila masyarakat jajahannya menemukan logika lain yang menjelaskan bahwa diri mereka tidak lemah dan tertinggal. Itulah sebabnya, pemberadaban menjadi salah satu hal yang memelihara kelanggengan kolonialisme. “Colonialism minus a civilizational mission is no colonialsm at all. It handicaps the colonizer much more than it handicaps the colonized” (Nandy, 1983). 92 Ibid., hal. 15.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

59

yang membuat orang dewasa sering kali dilihat sebagai pribadi angkuh yang

mengasumsikan diri sebagai “pencipta” dan “pelindung” bagi anak.93

* * *

Anak Indonesia adalah subjek bentukan institusi keluarga dan negara. Kedua

institusi ini memiliki metode pendisiplinannya masing-masing yang mengatur atau

mengarahkan bagaimana seorang anak harus berlaku dan menjadi. Negara

Indonesia dengan segala aparatusnya mendapatkan pengaruh dari sejarah

kolonialisme; dan pergantian rezim dari waktu ke waktu mencampuri proses

pembentukan subjek anak melalui perangkat pendidikan formal, yakni sekolah.

Melalui lembaga ini, anak mulai dibawa keluar dari ranah keluarga dan

diperkenalkan dengan berbagai hal agar siap menghadapi masa dewasa serta

menjadi warga masyarakat yang sesuai dengan norma dan aturan.

Sementara itu, keluarga tetap menjadi unit kolektif pertama yang

mengenalkan anak kepada kehidupan dalam domain yang privat. Keluarga

memanfaatkan berbagai peranti, salah satunya buku bacaan, untuk mendidik anak-

anak. Buku bacaan bukanlah perangkat budaya bebas nilai. Ia lahir dan jadi cermin

dari suatu nilai yang hidup di masyarakat. Lewat perangkat ini pula, anak secara

tidak sadar dibentuk jadi pribadi model tertentu, dan persisnya peranan inilah yang

secara khusus ingin saya dalami lewat penelitian tesis ini.

Dari dinamika percakapan ide di atas, saya mencatat setidaknya dua hal

penting. Pertama, setiap narasi yang berinteraksi dengan subjek anak selalu dapat

dibaca sebagai medium komunikasi ideologis yang merefleksikan (atau dalam

93 Montessori, Maria. (1966). “The Accused” dalam The Secret of Childhood. Terj. M. Joseph Costelloe, SJ. New York: Ballantine Books, hal. 13-16.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

60

kesempatan lain juga dapat secara eksplisit terlihat menyampaikan) nilai-nilai

tertentu yang dihidupi masyarakat. Akan tetapi, situasi ini tidak dapat serta-merta

dilihat sebagai upaya terstruktur yang selalu berhasil “menciptakan” anak dengan

karakteristik tertentu. Alasannya adalah catatan penting kedua, yakni fakta bahwa

independensi dalam proses membaca itu tetap ada. Meski didampingi dan

diarahkan, subjek pembaca anak punya rekaman pribadi tentang pengalaman

membaca dan memahami gagasan tertentu dari suatu bacaan. Menyadari poin yang

terakhir saya sebutkan ini, penelitian ini tidak diarahkan untuk menilai seberapa

jauh pesan-pesan ideologis itu diamini oleh anak. Alih-alih demikian, saya akan

fokus memeriksa apa isi pesan tersebut dan mengapa lahir pesan semacam itu

dalam semesta bacaan anak Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

61

BAB III

MODERNITAS DALAM CERITA ANAK INDONESIA

“Kalau sudah besar, mau jadi apa?”

Hampir setiap orang pernah berhadapan dengan pertanyaan tersebut, umumnya di

masa kanak-kanak. Kalimat itu hadir dalam berbagai kesempatan, misalnya

percakapan di ruang kelas, pertemuan dengan kerabat dan keluarga, atau bahkan

perkenalan acak dengan orang asing. Kita dibiasakan punya proyeksi tentang masa

depan, secara khusus bagi anak-anak, tentang menjadi dewasa.

Beberapa kali, saya menemukan sejumlah cerita lucu terkait pertanyaan itu

dan jawaban yang diutarakan untuk menanggapinya. Orang tua saya pernah

menceritakan bahwa abang saya sempat bercita-cita menjadi sopir truk—ia sendiri

tidak ingat pernah mengatakannya. Bapak dan ibu saya menceritakan kisah itu

sembari tertawa geli lantaran cita-cita abang saya yang tidak lazim itu. Di

kesempatan lainnya, seorang teman juga membagikan kelakar serupa. Ia ingat

pernah menyatakan bahwa ia bercita-cita menjadi seorang tukang cat. Orang

tuanya—juga sambil tertawa—“mengoreksi” cita-cita itu, “Jadi arsitek dong, masa

tukang cat.”

Meski terkesan remeh, cita-cita adalah salah satu topik pembicaraan yang

hadir secara berulang-ulang di keseharian anak-anak. Melalui percakapan ini, anak-

anak dapat membayangkan dirinya dalam versi dewasa dengan aktivitas spesifik

sesuai dengan pekerjaan yang dipilihnya. Berkaca dari dua anekdot tentang cita-cita

yang saya kisahkan sebelumnya, pengalaman anak adalah faktor yang menentukan

bagaimana ia akan menjawab pertanyaan tentang masa depan itu. Abang saya yang

ingin jadi sopir truk itu semasa kecil memang punya ketertarikan lebih pada

kendaraan, terutama mobil. Ia senang duduk di muka saat menumpang bus umum

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

62

untuk mudik. Pun teman yang bercita-cita jadi tukang cat itu menjawab demikian

karena dalam beberapa hari sebelumnya ia kerap memperhatikan aktivitas seorang

tukang cat di sekitar rumahnya.

Jika sepenuhnya bergantung pada pengalaman langsung berhadapan dengan

orang-orang yang melakukan aktivitas tertentu, tentunya cita-cita yang dibayangkan

anak-anak tidak akan jauh-jauh dari segala macam pekerjaan yang ada di sekitar

mereka. Maka, sebenarnya “tukang cat”, “sopir truk”, atau “penjual sayur” bukanlah

jawaban yang tidak lazim sehingga mengundang tawa para orang tua. Namun

ternyata, tidak demikian harapannya. Sejak masuk bangku sekolah (bahkan di

jenjang Taman Kanak-Kanak), saya dan teman-teman mulai punya jawaban yang

relatif seragam untuk pertanyaan soal cita-cita: dokter, insinyur, pilot,

polisi/tentara. Ketika membagikan kisah itu dalam proses penelitian tesis ini di

ruang kuliah, teman-teman dari berbagai tempat dan kalangan usia pun menyatakan

punya pengalaman yang sama. Dari pengalaman saya pribadi, pertemuan dengan

insinyur atau pilot bukanlah peristiwa umum dalam keseharian sebagai anak-anak

dari keluarga kelas menengah yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri

sipil.

Ini artinya, ada momen yang secara tidak disadari mengarahkan kami sebagai

anak-anak untuk punya proyeksi masa depan jenis tertentu. Momen ditertawakan

ketika menyatakan cita-cita semacamnya jadi salah satu faktor yang membuat kami

sebagai anak-anak berpikir ulang tentang apa artinya cita-cita. Respons “tertawa”

menunjukkan bahwa bukan itu semestinya yang dibayangkan jadi proyeksi masa

depan. Memang benar orang-orang yang bekerja sebagai sopir truk dan tukang cat

itu ada dan bahkan secara nyata membantu keseharian keluarga lewat kerja yang

amat bermanfaat. Akan tetapi, anak-anak diharapkan tidak jadi demikian. Ada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

63

banyak pekerjaan lain yang dianggap lebih pas untuk dijadikan aktivitas rutin di

masa depan.

Selain itu, ada referensi yang disodorkan pada kami sehingga dengan mantap

memilih ingin jadi pelaku pekerjaan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dari

mana persisnya referensi itu datang? Setelah mengorek beberapa kenangan, saya

teringat pada salah satu sinetron yang dikenal luas semasa saya sekolah, Si Doel

Anak Sekolahan.94 Cerita yang dihadirkan adalah keseharian sebuah keluarga Betawi

tradisional yang hidup bersisian dengan modernitas kota Jakarta. Keluarga ini

identik dengan mobil opelet tua berwarna biru yang digunakan sebagai angkutan

umum setiap harinya. Anak laki-laki keluarga itu, Kasdullah alias Doel (diperankan

oleh Rano Karno), melanjutkan pendidikannya di jurusan teknik mesin di sebuah

universitas. Salah satu adegan ikonik terkait tokoh Doel adalah ketika ia pulang ke

rumah, membawa berita bahwa ia telah lulus jadi sarjana. Dari halaman rumahnya,

Babe Sabeni (diperankan oleh Benyamin Sueb) dengan sukacita meneriakkan, “Hei

orang kampung, anak gue lulus jadi sarjana! Hei orang kampung, si Doel ude jadi

tukang insinyur! ... Siapa bilang anak Betawi kagak bisa jadi sarjana? Buktinya anak

gue!”

Istilah “tukang insinyur” amat membekas. Babe Sabeni tengah membahasakan

bentuk modernitas yang asing itu—insinyur—lewat simbol yang akrab di

telinganya—tukang. Bagi orang yang familier dengan atribut insinyur maupun

tukang, tentu penyebutan itu terdengar menggelikan karena membuat karakteristik

yang biasanya bertentangan jadi bersanding satu sama lain. Keluarga berjerih payah

menyekolahkan si Doel agar ia bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik dari

94 Sinetron ini pertama kali ditayangkan di stasiun RCTI pada tahun 1994. Kisah ini terinspirasi dari novel Si Doel Anak Betawi karangan Aman Datuk Madjoindo, terbitan Balai Pustaka tahun 1932, dengan sejumlah penyesuaian agar jadi versi yang lebih modern. Saking populernya, cerita ini telah digarap ulang dengan berbagai judul dan bentuk, termasuk film layar lebar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

64

pada sekadar jadi sopir opelet. Berbekal pengalaman bolak-balik memperbaiki

opelet tua yang rajin mogok itu, Doel memilih belajar di jurusan teknik mesin. Ia

pernah jadi “tukang” reparasi opelet; lalu pada akhirnya jadi “insinyur” yang bekerja

di perusahaan besar.

Cerita si Doel tak jauh berbeda dengan percakapan antara orang tua dan anak

yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dalam keseharian, kita memang menemui

sekian orang dewasa melakukan sekian pekerjaan yang menunjang aktivitas harian

kita; mereka pun dapat penghasilan dari pekerjaan itu. Akan tetapi, selalu tumbuh

imajinasi untuk jadi sesuatu yang lebih daripada sekadar melakukan kerja-kerja

“biasa” itu tadi. Alih-alih jadi sopir opelet, apa salahnya jika bisa jadi insinyur mesin?

Alih-alih jadi tukang cat, mengapa tidak sekalian jadi arsitek? Apa persisnya hal yang

menentukan suatu pekerjaan dianggap idaman sementara pekerjaan yang lain

cenderung dikesampingkan?

Kegelisahan yang sama saya temukan pula dalam kesempatan berjalan-jalan

melirik rak-rak khusus bacaan anak di toko buku. Terdapat sejumlah bacaan yang

memotret jenis-jenis profesi yang dilakukan orang dewasa. Bacaan ini biasanya

dihadirkan sebagai buku berseri, dengan masing-masing judul mengisahkan satu

jenis pekerjaan. Dari pengamatan sekilas, sepertinya buku-buku ini berada dalam

pusaran gagasan yang sama dengan kisah si Doel. Dengan pilihan konsep

pendekatan yang saya pakai dalam tesis ini, bermacam media pembawa pesan ini

ditempatkan sebagai aparatus budaya. Dalam konsep pedagogi publik yang

dikemukakan oleh Henry Giroux, aparatus budaya ini punya peran sebagai “teaching

machine” atau perangkat pengajaran/pendidikan yang menjalankan praktik

pedagogis tertentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

65

Dalam penelitian ini, saya mendalami secara khusus sepuluh buku bacaan seri

pengenalan profesi untuk anak. Kesepuluh judul ini ditulis oleh pengarang yang

sama dan diterbitkan oleh penerbit yang sama di bawah dua label seri berbeda. Seri

yang pertama bertajuk “Seri Mengenal Profesi”; sementara seri kedua “Seri Profesi

Idamanku”.95 Semua buku dari kedua seri tersebut ditulis oleh Rae Sita Patappa dan

diterbitkan oleh Penerbit Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai, yang

berbasis di Solo, Jawa Tengah.

Untuk memaparkan sepilihan data terkait objek material penelitian ini, saya

menerapkan paradigma pendidikan kritis yang diusung Giroux yang menaruh

perhatian pada, salah satunya, cara (aparatus) budaya mengandung “kekuasaan”

dan siapa yang berkuasa atas produksi pengetahuan, nilai, dan praktik pendidikan.96

Bab ini menghadirkan pembacaan atas sepuluh teks cerita anak yang saya teliti

secara lebih dekat untuk mengurai sejumlah aspek baik terkait bentuk maupun

makna (atau pesan) yang menerangi kecenderungan wacana dominan yang tersirat

di dalamnya.

A. Mengenal Profesi lewat Fiksi

Dalam semesta bacaan (atau literatur) anak, dikenal beberapa bentuk narasi yang

lazim. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bab awal tesis ini, ada sejumlah

diskusi konseptual terkait beberapa istilah berbeda yang digunakan untuk merujuk

95 “Seri Mengenal Profesi” diterbitkan pertama kali pada April 2016 oleh Penerbit Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai. Seri ini terdiri dari 16 judul, yakni Dokter Gigi, Akuntan, Pengacara, Sutradara, Dokter Anak, Tentara, Perawat, Presiden, Astronaut, Ilmuwan, Bankir, Jaksa, Dokter Kandungan, Masinis, Insinyur, dan Kapten Kapal. Beberapa judul diterbitkan ulang dengan label “Seri Profesi Impianku” yang rilis pertama kali pada Januari 2018. Seri ini mencakup tujuh judul, yaitu Asyiknya Menjadi Sutradara, Asyiknya Menjadi Presiden, Asyiknya Menjadi Tentara, Asyiknya Menjadi Dokter Anak, Asyiknya Menjadi Astronaut, dan Asyiknya Menjadi Ilmuwan. 96 Lihat Giroux, Henry. (2011). “Critical Pedagogy in Dark Times” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

66

pada gagasan tentang bacaan anak (misalnya, sastra anak). Terlepas dari tantangan

yang muncul dari upaya pendefinisian dan penamaan itu, ada satu bentuk narasi

yang dapat dikatakan mengambil porsi paling besar dalam ragam bacaan anak, yaitu

fiksi.

Secara sederhana, fiksi dapat dikenali melalui beberapa elemen intrinsik

berupa tokoh (karakter), latar, dan peristiwa yang “diciptakan”97, alih-alih mengacu

pada satu tokoh, latar, dan peristiwa tertentu yang sungguh-sungguh ada dalam

kehidupan nyata. Dalam banyak rujukan, fiksi umumnya digunakan untuk menyebut

bentuk narasi prosa, baik cerita pendek maupun novel.98 Dalam dunia bacaan anak

yang punya fungsi menumbuhkan kemampuan pembaca untuk berimajinasi, fiksi

merupakan format yang amat potensial untuk mewadahi kepentingan tersebut.

Namun demikian, ada faktor pembeda yang cukup kentara jika

membandingkan fiksi untuk pembaca anak dengan fiksi untuk pembaca yang secara

umum diasumsikan sebagai orang dewasa. Faktor tersebut adalah penyederhanaan

(simplifikasi) cerita. Keduanya dapat saja memotret peristiwa yang sama, namun

tingkat kerumitan dalam penggambaran situasinya tentu berbeda. Selain itu,

informasi implisit tentang moral yang dihadirkan dalam bacaan anak juga condong

bersifat hitam-putih, artinya apa yang baik adalah baik, dan yang buruk adalah

buruk. Meski tidak semua bacaan anak mengambil bentuk dan karakteristik ini99,

97 Lihat Abrams, M.H. 1999. A Glossary of Literary Terms Seventh Edition. Boston: Heinle & Heinle, hal. 94-96. 98 Elemen serupa juga umum ditemukan dalam bentuk karya drama. 99 Dalam sejumlah bentuk fiksi yang lebih kompleks, atau ditujukan untuk pembaca anak dengan usia yang lebih tua, ada kesempatan untuk menghadirkan plot yang lebih kompleks, misalnya dengan mendeskripsikan lebih banyak tokoh beserta pandangan/tindakannya yang berbeda-beda terkait satu peristiwa. Implikasinya, “moral” yang tersirat dalam cerita tidak lagi sehitam-putih narasi yang lebih sederhana. Timbul pertimbangan semacam “ini memang tidak menyenangkan (buruk), tapi demi kebaikan” atau “niatnya baik, tapi hasilnya malah memperburuk situasi” dan lain sebagainya. Artinya, ada “ruang abu-abu” yang membuat pembaca berhadapan dengan kerumitan tertentu sehingga membuat penilaian atau pengambilan keputusan tidak lagi semudah biasanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

67

sebagian besar bacaan anak memang dikondisikan untuk mempermudah pembaca

anak memahami suatu peristiwa dengan cara yang sederhana.

Melalui pendalaman singkat, kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang

saya rangkum di bagian sebelumnya dapat dikategorikan sebagai fiksi. Akan tetapi,

kategorisasi tersebut tidaklah tanpa tantangan. Dengan mengamati sejumlah unsur

intrinsik dalam sepuluh narasi tersebut, saya mengidentifikasi adanya kerumitan

yang muncul dari konsekuensi pengelompokannya ke dalam kelas fiksi. Untuk

menggambarkan kerumitan itu, saya akan mengulas tiga unsur intrinsik dari

sepuluh cerita tersebut, yakni tokoh dan penokohan, latar, serta plot (alur).

A.1. Tokoh dan Penokohan

Tiap-tiap buku bacaan anak seri pengenalan profesi yang saya teliti memuat sebuah

kisah yang diperankan oleh satu tokoh utama, yakni masing-masing pelaku

pekerjaan dalam tiap judul. Semua tokoh tersebut diberi nama untuk memberikan

kesan bahwa ia individu spesifik yang tengah diceritakan kisah hidupnya. Selain itu,

tiap individu ini digambarkan memiliki sifat-sifat tertentu yang rupanya identik

dengan stereotipe karakteristik pekerjaan yang mereka jalani. Dalam bagian ini,

saya akan merangkum bagaimana para tokoh tersebut dideskripsikan.

Dalam buku Ilmuwan, tokoh utamanya bernama Bu Silvi. Ia tercatat sebagai

pegawai Badan Konservasi Sumber Daya Alam100 yang telah bekerja di unit Cagar

100 Dalam struktur perangkat pemerintahan, lembaga ini bernaung di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Tugasnya adalah mengelola kawasan konservasi (khususnya hutan suaka alam dan taman wisata alam), mengawasi tumbuhan dan satwa yang dilindungi dalam wilayah tersebut, serta memantau upaya penangkaran dan pemeliharaan tumbuhan dan satwa oleh perorangan, perusahaan, atau lembaga konservasi terkait. (Lihat Sejarah Organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan RI dalam http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

68

Alam Hijau selama lima tahun. Terkait pekerjaannya sebagai peneliti tanaman

langka, Bu Silvi resah dengan kondisi jarang ditemukannya sejumlah spesies

tanaman. Ia khawatir spesies itu akan punah, padahal tanaman tersebut punya

potensi membantu memenuhi kebutuhan hidup manusia; misalnya pohon

tengkawang yang dapat menghasilkan minyak nabati dan di masa lampau batangnya

kerap digunakan sebagai bahan pembuatan rumah. Bu Silvi digambarkan sebagai

sosok yang tekun dan teliti. Ia mencatat hasil penelitian yang ia lakukan dalam

jangka waktu yang cukup panjang. Itu semua dilakukan demi menemukan cara

paling efektif untuk memelihara kelestariannya.

Kerja panjang sebagai ilmuwan membutuhkan seseorang yang visioner. Bu

Silvi membayangkan betapa bahagianya jika sejumlah jenis tanaman yang tengah ia

teliti itu suatu hari berkembang lebih banyak sehingga manusia dapat memetik

manfaat dari hasil tanaman itu. Selain kelangkaan tanaman, hal lain yang acap kali

membuatnya sedih adalah maraknya penebangan pohon dan pembakaran hutan.

Menarik untuk dilihat bahwa pekerjaan sebagai ilmuwan mendorong Bu Silvi untuk

punya kontribusi terhadap masalah tertentu yang secara luas dihadapi masyarakat.

Para ilmuwan digambarkan mengupayakan langkah-langkah agar kehidupan

manusia menjadi lebih baik.

Lain halnya dengan Bu Silvi yang mencemaskan kondisi hutan Indonesia

sebagai paru-paru dunia, Kak Oka sang Dokter Gigi digambarkan lebih tenang dan

tidak banyak khawatir dalam keseharian kerjanya. Kak Oka bekerja di sebuah

rumah sakit dan setiap harinya menangani para pasien yang memiliki masalah atau

ingin berkonsultasi seputar kesehatan gigi dan mulut. Ia kerap bertemu dengan

pasien yang takut atau tegang ketika masuk ruang periksa, contohnya pasien anak-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

69

anak. Namun, Kak Oka tetap berupaya menenangkan para pasien. Ia melakukan

pemeriksaan dengan teliti untuk mengetahui masalah dan tindakan pengobatan

yang diperlukan. Suatu kali seorang pasien protes padanya karena tidak diizinkan

mencabut gigi yang sakit. Menghadapi komplain semacam itu, Kak Oka tersenyum

sembari menjelaskan mengapa gigi yang sakit tidak boleh dicabut. Dengan sikap

tenang dan berbagai informasi yang ia berikan itu, para pasien selalu dapat

memahami langkah-langkah pengobatan yang diperlukan untuk kesehatan gigi

mereka. Tak lupa, di setiap akhir kunjungan, Kak Oka selalu berpesan agar para

pasien senantiasa menjaga gigi mereka dengan baik. Ia amat bahagia saat melihat

pasiennya dapat tersenyum lagi.

Tiap-tiap pekerjaan digambarkan menimbulkan kebahagiaan yang beragam.

Cerita Pak Haris menunjukkan betapa berbedanya kebahagiaan yang dicapai lewat

kerja seorang Jaksa. Dalam sistem hukum dan peradilan Republik Indonesia,

seorang jaksa bertugas membuktikan kesalahan yang dilakukan seorang terdakwa

lewat proses pengadilan. Untuk menjalankan tugas itu, Pak Haris harus bekerja

sama dengan personel lembaga lain, yakni para penyidik dari Kepolisian. Sebagai

jaksa, Pak Haris merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar

siapa pun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka, ia

tak ragu mengupayakan agar semua hal yang diperlukannya dalam persidangan

nanti dipersiapkan secara lengkap. Pak Haris juga dideskripsikan sebagai seseorang

yang antisipatif, sebab ia berhasil menunjukkan bukti kuat yang secara telak

mematahkan semua bantahan terdakwa. Keberhasilan kerjanya tercapai setelah

hakim memutuskan bahwa terdakwa kasus korupsi penggelapan dana bantuan

untuk masyarakat miskin itu dinyatakan bersalah serta harus menjalani hukuman

dan membayar ganti rugi. Namun kerja tak usai di sini, Pak Haris masih harus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

70

menyelesaikan banyak kasus lainnya dengan tujuan membela kebenaran dan

keadilan.

Beralih ke judul lainnya, dalam Akuntan, tokoh Kak Tara dihadirkan sebagai

sosok yang cermat dan analitis. Ia bekerja di sebuah kantor akuntan publik yang

menyediakan layanan jasa bidang keuangan. Dalam satu hari, ia dapat mengerjakan

beberapa jenis tugas dan menemui lebih dari satu klien. Ia tampak sibuk dan

memiliki mobilitas yang tinggi. Klien-klien yang ditemuinya pun bukan orang

sembarangan; dengan kemampuannya di bidang akuntansi, Kak Tara berhasil

menolong Pak Syam, pemilik perusahaan perumahan, dan Bu Siska, pemilik restoran

besar yang kondang hingga luar negeri. Oleh karena berurusan dengan

kelangsungan finansial usaha para kliennya, Kak Tara harus teliti memeriksa

berbagai hal yang diperlukan untuk membaca situasi unit usaha tersebut dan

memastikan semua itu tercatat dengan rapi. Setelah itu, ia harus menganalisis apa

yang terjadi agar dapat memberi saran yang tepat dan meyakinkan untuk

memperbaiki situasi di tiap unit usaha kliennya.

Kembali ke dunia hukum, hadir Bu Hana sang Pengacara yang tugasnya

mengharuskan ia berhadap-hadapan dengan jaksa. Berbeda dari Pak Haris, dalam

persidangan Bu Hana justru harus membantu terdakwa agar terbukti tidak bersalah.

Sosok pengacara dalam buku pengenalan profesi ini digambarkan memiliki

kesadaran untuk membantu orang awam menyampaikan pembelaan mereka dalam

bahasa hukum. Bu Hana sendiri terbiasa menangani kasus para artis atau pejabat

ternama yang kaya raya. Namun, ketika ia bertemu dengan Nenek Ara, seorang

lansia yang tertuduh mencuri sekantong wortel, Bu Hana langsung tersentuh dengan

kesederhanaan beliau dan memutuskan untuk membantu secara cuma-cuma. Berkat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

71

bantuan Bu Hana, hakim memutuskan bahwa Bu Hana tidak bersalah. Ternyata,

simpati Bu Hana tak hanya berhenti di persidangan; ia bahkan mengantarkan Nenek

Ara pulang ke gubuknya yang sederhana. Peristiwa membantu Nenek Ara ini

menggerakkan hati Bu Hana untuk berjanji memperjuangkan keadilan bagi orang-

orang kecil yang dicurangi seperti Nenek Ara.

Lima kisah pengenalan profesi di atas menggambarkan para pelakunya yang

melakukan aktivitas kerja di kantor. Kali ini, dalam buku Asyiknya Menjadi

Astronaut, tokoh utama tidak pergi ke kantor untuk bekerja. Kak Alfa dikisahkan

harus menempuh jalan panjang hingga akhirnya dapat memulai kerjanya sebagai

astronaut. Karakteristik penting yang membuat ia berhasil melewati semua proses

seleksi dan persiapan itu adalah rajin belajar dan membaca, serta memelihara tubuh

yang ideal dengan berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Ia juga

mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan alam untuk mendukung

pekerjaannya, misalnya matematika, astronomi, dan meteorologi. Kak Alfa adalah si

gemilang. Ia dideskripsikan mampu memenuhi semua persyaratan untuk bukan

sekadar jadi astronaut, bahkan jadi komandan astronaut! Ketika melakukan misi

pertama ke bulan, ia tampak gagah dengan pakaian khusus. Misinya pun berjalan

lancar dan perjalanan ke angkasa luar membuatnya bangga sebab bisa menyaksikan

keindahan ciptaan Tuhan yang megah.

Selain bekerja di dunia hukum dan penelitian saintifik, rupanya boleh juga

bekerja di dunia industri kreatif. Buku Asyiknya Menjadi Sutradara memotret sebuah

deskripsi pekerjaan orang-orang dari wilayah pembuatan film. Kak Delis ialah

seorang sutradara yang telah banyak menelurkan karya film; kali ini ia mau

membuat film petualangan untuk anak-anak. Dari keseluruhan cerita, Kak Delis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

72

utamanya tampak sebagai seseorang dengan sifat-sifat kepemimpinan. Ia memantau

dan mengarahkan tiap-tiap proses dalam pembuatan film tersebut. Meski tiap

tahapan dikerjakan secara khusus oleh orang dengan kemampuan spesifik

(misalnya pengambilan gambar oleh juru kamera, penyuntingan oleh editor,

penataan ilustrasi musik oleh penata musik), Kak Delis selalu hadir mendampingi

orang-orang tersebut untuk melakukan pengawasan dan pengarahan. Film itu

mendapatkan apresiasi yang baik dari para penonton anak dan keluarganya; lebih-

lebih juga membuat Kak Delis dianugerahi penghargaan sebagai sutradara terbaik.

Keberhasilan ini menumbuhkan tekadnya untuk terus membuat film bermutu.

Barangkali, cita-cita tertinggi yang dapat dibayangkan seorang anak adalah

menjadi presiden, pemimpin sebuah negara. “Profesi” presiden adalah salah satu

jawaban yang juga lumrah disuarakan oleh anak-anak di Indonesia ketika ditanyai

tentang cita-cita. Kali ini tokoh Presiden Republik Indonesia diperankan oleh Pak

Arya. Ia digambarkan punya tanggung jawab yang amat besar dan pekerjaannya

serbapenting, sehingga sebelum mengawali kerjanya, ia harus mengucapkan

sumpah. Ini artinya, konsekuensi dari pelanggaran dalam tugas amatlah serius. Pak

Arya juga amat sibuk; dalam satu hari ia dapat melakukan berbagai pertemuan dan

mengurusi segala macam hal. Dalam posisinya sebagai presiden, Pak Arya

dideskripsikan memiliki kecenderungan untuk kerap melakukan intervensi,

contohnya menyurati Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menentang

peperangan yang terjadi di negara tetangga Indonesia, serta mengunjungi secara

langsung lokasi bencana alam di wilayah pimpinannya. Selain itu, ia juga tampil

sebagai sosok yang instruktif karena posisinya sebagai pemimpin. Cita-citanya

adalah rakyat Indonesia sejahtera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

73

Beralih ke judul Asyiknya Menjadi Perawat, penggambaran tokoh Kak Dalia

cenderung mirip dengan Kak Oka si dokter gigi. Kak Dalia adalah sosok yang selalu

tenang dan ceria. Meski setiap hari bertemu dengan orang-orang yang sakit, ia selalu

hadir dengan ceria dan berkomunikasi dengan ramah. Selain itu, karakteristik yang

menonjol dari Kak Dalia adalah sifat keibuannya; ia selalu lemah lembut dan penuh

kasih sayang dalam melayani para pasiennya. Ia bahkan dikisahkan terlibat secara

emosional dengan kondisi sejumlah pasien; ia merasa bahagia jika para pasien itu

berangsur-angsur pulih dan turut merasakan sedihnya anggota keluarga pasien

yang harus menghadapi kesulitan atau ketegangan (misalnya sebelum menjalani

operasi).

Terakhir, cerita Asyiknya Menjadi Tentara memotret sosok Kak Riga yang

tangkas, cekatan, dan selalu siaga. Untuk menjalankan tugasnya, ia harus selalu

memelihara fisik yang kuat dan sehat. Kak Riga dideskripsikan sebagai tentara yang

heroik dan patriotik sebab ia bertugas melindungi rakyat Indonesia dari bahaya dan

harus mengabdi sepenuhnya demi kecintaan pada negara. Meski mungkin

bertentangan dengan tugas-tugas keras yang harus dijalaninya, Kak Riga dan rekan-

rekan tentaranya ternyata dekat dengan rakyat. Ia senang jika masyarakat dapat

menjalankan aktivitas sehari-hari dengan tenang dan aman. Begitu pula ketika ia

bertugas menjaga garis perbatasan antara negara Indonesia dan Malaysia di daerah

Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Regunya tinggal berdampingan

dengan tentara Malaysia yang juga memiliki tugas serupa dan melakukan aktivitas

sehari-hari bersama mereka meski bertugas untuk negara yang berbeda.

Sepuluh tokoh pelaku profesi di atas adalah potret ideal karakteristik orang

dewasa yang melakukan pekerjaan spesifik dalam kesehariannya. Penggambaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

74

tokoh tersebut menampilkan sifat apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang

ilmuwan, dokter gigi, jaksa, akuntan, pengacara, astronaut, sutradara, presiden,

perawat, dan tentara. Deskripsi karakteristik ini mau tidak mau mengarahkan

pembaca untuk mengasosiasikan sifat-sifat tersebut dengan tuntutan tiap-tiap

pekerjaan yang dilakoni para tokoh; misalnya, untuk jadi ilmuwan dibutuhkan

ketekunan dan ketelitian, untuk jadi akuntan pun harus cermat dan analitis, jika

ingin jadi tentara maka harus tegas dan punya fisik yang kuat, dan seterusnya.

Idealisasi juga ditampilkan dalam bentuk kerja individual. Para tokoh yang

diangkat dalam tiap judul digambarkan sebagai pelaku profesi yang mumpuni.

Mereka memang bekerja bersama banyak orang lainnya di sekitar, entah itu sesama

anggota batalion, rekan kerja, asisten, atasan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, pada

akhirnya “kemenangan” atau keberhasilan mereka adalah milik mereka sendiri, atau

setidaknya disebabkan oleh kegigihan individual mereka. Bantuan atau kerja sama

rekan sejawat tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang signifikan, bahkan terkadang

para tokoh utama tampak bekerja sendiri tanpa bantuan tim.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah peruntukan buku ini bagi pembaca

anak dengan deskripsi karakter yang sepenuhnya dewasa. Bagaimana pengalaman

mereka, yang dalam banyak hal amat berbeda, dijembatani? Semua tokoh utama

dalam tiap judul memang digambarkan sebagai orang dewasa, dengan keseharian

dan tanggung jawab khas orang dewasa. Hanya ada beberapa judul yang

menghadirkan karakter anak yang turut berperan dalam jalannya cerita, yakni

Dokter Gigi, Sutradara, Presiden, dan Perawat. Pada judul yang lain, memang ada

beberapa karakter anak dalam ilustrasi, namun tidak diceritakan sebagai bagian

dari kisah itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

75

Meski demikian, anak-anak tidak serta-merta dibuat absen dari penceritaan.

Pertama, hal itu tampak melalui gaya tutur yang cenderung sederhana, meski dalam

beberapa kesempatan juga tetap rumit, misalnya ketika menjelaskan kecemasan

tentang situasi hidup yang terkait dengan orang banyak (penegakan keadilan dan

kebenaran dalam cerita Jaksa dan Pengacara). Kedua, secara khusus para tokoh

disapa dengan panggilan yang menunjukkan adanya relasi tertentu dengan pembaca

anak. Para tokoh dipanggil dengan beragam sebutan seperti “Ibu”, “Bapak”, atau

“Kak”. Narator dalam tiap cerita adalah orang ketiga, yang memaparkan perjalanan

para tokoh kepada pembaca (anak). Walau anak yang menyimak cerita tidak

ditampilkan secara eksplisit, narator menyapa para tokoh sebagaimana seorang

anak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa deskripsi karakteristik para

tokoh dalam setiap judul adalah representasi karakteristik ideal tiap-tiap profesi

yang dijalani. Pembaca anak diperkenalkan dengan dunia kerja profesional orang

dewasa melalui kisah para tokoh tersebut. Dunia pekerjaan yang semacam itu

ternyata memang tidak banyak melibatkan subjek anak; kalaupun ada, mereka

selalu didampingi oleh orang dewasa lainnya (misalnya Fea, pasien anak yang

diantar ayahnya untuk memeriksakan kesehatan gigi).

A.2. Latar

Tak hanya lewat sifat-sifat yang perlu diupayakan jika ingin mencapai cita-cita,

buku-buku seri pengenalan profesi ini juga mendeskripsikan bagaimana situasi

tempat kerja bagi masing-masing profesi. Dari penggambaran latar ini, nantinya kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

76

dapat melihat preferensi tertentu yang mendefinisikan bagaimana semestinya

bekerja secara profesional itu.

Dari sepuluh judul yang saya teliti, tujuh di antaranya menggambarkan

aktivitas kerja yang dilakukan di tempat yang sama setiap harinya. Tempat kerja

yang dimaksud pun digambarkan sebagai kantor, atau setidaknya dapat disebut

sebagai kantor. Pak Haris sang jaksa, Bu Hana sang pengacara, Kak Tara sang

akuntan, dan Pak Arya yang menjabat sebagai presiden melaksanakan pekerjaan

mereka di kantornya masing-masing. Meski pekerjaannya tetap menuntut mereka

untuk berpindah ke latar yang lain, namun keempat tokoh ini utamanya

digambarkan melakukan pekerjaan belakang meja.

Dalam kisah jaksa dan pengacara, kedua tokoh digambarkan melakukan

pekerjaan hariannya di kantor, baik itu ketika berurusan dengan penyidik

Kepolisian maupun klien kasus hukum. Pada momen tertentu, mereka akan

menjalankan tugas di ruang pengadilan dengan mengenakan pakaian khusus

persidangan yang disebut toga. Sementara itu, Kak Tara sang akuntan juga

dikisahkan bekerja di sebuah kantor akuntan publik. Sebagai bagian dari tugasnya,

sesekali ia perlu bertemu dengan klien yang menggunakan jasanya. Kadang kala,

klien yang mendatangi Kak Tara ke kantornya, namun ada pula kesempatan ketika

Kak Tara menemui kliennya di lokasi unit usaha milik klien, misalnya restoran

besar. Sama halnya dengan Pak Presiden Arya, ruang kerjanya begitu megah,

dipenuhi berbagai perabot cantik berukir yang terlihat istimewa. Selain di kantor,

Pak Arya juga menemui para pejabat di ruang pertemuan resmi. Dalam satu

peristiwa ketika ia keluar dari istana negara, Pak Arya berkunjung ke lokasi bencana

alam yang melanda salah satu wilayah di Indonesia. Hanya pada kesempatan itulah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

77

ia tampak mengenakan pakaian yang lebih santai; sepanjang hari selama di istana ia

diilustrasikan selalu mengenakan setelan jas lengkap dan kopiah.

Tiga tokoh lainnya juga diceritakan bekerja di kantor dengan fungsi khusus

yang membedakannya dari jenis pekerjaan lain. Kak Oka sang dokter gigi dan Kak

Dalia sang perawat sama-sama bekerja di rumah sakit. Kak Oka bekerja di ruang

periksa gigi, khusus diperuntukkan bagi aktivitas dokter gigi. Di ruang itulah ia

berinteraksi dengan para pasien, baik dalam bentuk konsultasi maupun

pengambilan tindakan medis. Beda halnya dengan Kak Dalia, ia tidak selalu berada

di satu ruangan sepanjang melakukan pekerjaannya. Ruang jaga perawat digunakan

ketika para perawat yang bertugas ingin beristirahat atau berkumpul. Selain waktu

tersebut, Kak Dalia berkeliling ke kamar rawat inap untuk melakukan tugasnya.

Sementara itu, Bu Silvi sang ilmuwan juga bekerja di kantor milik Badan

Konservasi Sumber Daya Alam. Persisnya, ia memiliki dua tempat kerja khusus,

yakni laboratorium dalam kantor dan sebuah cagar alam tempat ia meneliti dan

memelihara tanaman langka. Dalam buku Ilmuwan ini memang tidak disebutkan

secara eksplisit lokasi cagar alam tempat Bu Silvi bekerja. Meski demikian, hal itu

dapat diidentifikasi melalui informasi spesies tanaman langka yang tengah

ditelitinya, yakni pohon tengkawang. Sebagaimana disebutkan dalam ceritanya,

tengkawang adalah tanaman endemik Kalimantan yang dapat menghasilkan minyak

nabati yang berguna bagi manusia. Oleh karena letaknya yang dikelilingi hutan dan

jauh dari hunian manusia, cerita Ilmuwan tidak menghadirkan ilustrasi tokoh selain

Bu Silvi, seorang rekan kerjanya, dan pembalak hutan yang muncul dalam angan-

angannya. Pekerjaan ini seperti dilakukan dalam hening dan jauh dari interaksi

dengan masyarakat luas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

78

Jika ketujuh tokoh utama yang telah digambarkan di atas bekerja di tempat

yang sama hampir setiap harinya, tak demikian dengan tiga profesi yang tersisa. Kak

Alfa sang astronaut mungkin jadi tokoh dengan tempat kerja paling tak terjangkau

yang dapat dibayangkan pembaca: angkasa luar. Ketika menjalani persiapan

menjadi astronaut, Kak Alfa sibuk beraktivitas di berbagai simulator kendaraan dan

peralatan yang diperlukannya untuk menuju ke dan bertahan hidup di angkasa luar.

Ruang dan peralatan semacam itu tentunya dapat diasumsikan berada di suatu

tempat khusus bernama badan antariksa yang biasanya dimiliki oleh negara. Selepas

terpilih jadi astronaut, ia harus melakukan perjalanan selama berbulan-bulan di

dalam pesawat yang mengantarnya menuju bulan. Tempat kerja Kak Alfa tentu saja

lain dari yang lain. Tidak ada oksigen sebagaimana di bumi, tidak ada gravitasi

sehingga harus melayang ke sana kemari, jaraknya amat sangat jauh dan butuh

waktu lama untuk mencapainya, serta risiko yang membayangi juga amat besar.

Tak hanya Kak Alfa, Kak Delis sang sutradara pun tak perlu pergi ke kantor.

Untuk melakukan aktivitas kerjanya, ia berpindah-pindah dari sekian tempat

seperti, ruang pertemuan dengan para kru dan aktor, berbagai lokasi pengambilan

gambar, ruang kerja para pendukung produksi (editor, penata musik, dan lain-lain),

ruang pemutaran bioskop, bahkan hingga podium penganugerahan penghargaan. Ia

digambarkan berpenampilan santai sepanjang bekerja. Kak Riga sang tentara pun

berpindah-pindah lokasi kerja, namun pakai seragam sepanjang hari. Ia harus

menempuh berbagai latihan fisik di ruang terbuka; sesekali mengikuti upacara

bersama rekan tentaranya yang lain. Di pertengahan cerita, Kak Riga bahkan harus

meninggalkan rumah untuk menjalankan tugas negara. Dengan penugasannya ke

garis perbatasan Indonesia dan Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau,

Kalimantan Barat, tempat kerja bukan lagi suatu lokasi khusus bagi Kak Riga. Alih-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

79

alih memiliki rutinitas “berangkat kerja”, di barak jaga itulah Kak Riga melakukan

segala hal, baik yang masuk dalam kategori pekerjaan maupun bukan pekerjaan

(misalnya istirahat, rekreasi, dan lain-lain).

Latar masing-masing cerita yang saya jabarkan di atas saya maksudkan untuk

membaca bagaimana pekerjaan dipersepsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian

besar profesi yang ditampilkan dalam penelitian ini digambarkan membutuhkan

ruang kerja khusus yang dikondisikan untuk melakukan aktivitas kerja, sebut saja

kantor (dengan segala fungsi umum maupun khususnya). Kantor menjadi tanda

yang menunjukkan adanya pemisahan antara rutinitas kerja dan nonkerja. Di

kantorlah para pelaku profesi mengurusi berbagai macam hal terkait tugas dan

pekerjaan mereka, dengan sekali waktu memenuhi tugas lainnya di tempat berbeda.

Selama berada di kantor, para pelaku profesi fokus mengerjakan tugasnya.

Menariknya, setiap tokoh diilustrasikan memiliki ruang kerja individual. Hal ini

mengindikasikan bahwa pekerjaan yang dilakukan di kantor diatur dengan

pembagian kerja yang cukup ketat, di mana tiap pekerja perlu menjalankan

tugasnya secara individual dan sesekali berkoordinasi dengan pekerja lainnya.

Selain memisahkan aktivitas kerja dari nonkerja, kantor juga menjadi penanda

modern yang menunjukkan bahwa pekerjaan tertentu tidak lagi dapat dilakukan di

rumah atau lingkungan tempat tinggal. Kesan semacam ini juga timbul dalam

julukan “pekerjaan kantoran” sebagaimana sering terdengar dalam percakapan

masyarakat Indonesia. Julukan itu bermakna pekerjaan yang mengharuskan

seseorang melakukan aktivitas kerja sesuai dengan jam yang telah ditentukan

(cenderung tetap setiap harinya), dengan mengenakan pakaian tertentu (biasanya

diasumsikan sebagai seragam atau busana formal), dan memiliki penghasilan tetap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

80

yang diterima dalam periode tertentu (biasanya bulanan). Representasi paling

umum dari karakteristik tersebut adalah aparatur sipil negara (dulu: pegawai negeri

sipil); namun julukan yang sama juga digunakan untuk menyebut karyawan yang

bekerja di pihak swasta.

Berbeda dari rutinitas pekerja kantoran, penggambaran dua profesi lainnya

yang tidak mengharuskan pekerjanya berkantor menunjukkan gagasan yang sedikit

berbeda. Pekerjaan sebagai astronaut dan tentara digambarkan sebagai jenis

pekerjaan dengan aktivitas amat spesifik yang memerlukan tempat kerja khusus

yang tidak hanya terdiri atas meja, kursi, dan komputer. Pekerjaan astronaut harus

disokong dengan peralatan serbacanggih dan teknologi yang menjamin keselamatan

semua orang yang terlibat. Sementara itu, berprofesi sebagai tentara menuntut

seseorang untuk terbiasa melakukan aktivitas fisik berat di alam terbuka sebagai

persiapan menghadapi ancaman yang dapat menggoyahkan stabilitas negara.

Dari kesepuluh judul seri pengenalan profesi tersebut, barangkali pekerjaan

Kak Delis sang sutradaralah yang terlihat paling tak biasa. Ia tidak perlu pakai

seragam khusus selama bekerja dan selalu berpindah tempat sepanjang proses

bekerja. Ia pulalah yang diilustrasikan berinteraksi dengan paling banyak orang

(aktor, kru lapangan, tim produksi di studio, dan lain-lain). Bahkan dari keseluruhan

buku pengenalan profesi yang diterbitkan dalam seri yang sama101, sutradara adalah

satu-satunya profesi yang bergerak di ranah kerja kreatif, dalam hal ini secara

khusus produksi film. Dari komposisi tersebut, terlihat bahwa kerja dalam ranah

kreatif belum jadi preferensi profesi yang diterima masyarakat. Tuntutan kerja yang

ada dalam kerja kreatif digambarkan berbeda dari kerja lain di luar ranah itu. Aspek

101 Lihat catatan kaki nomor 2.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

81

formalitas dan format kerja yang cenderung tetap tidak jadi yang utama, sebab

diasumsikan kreativitaslah yang mestinya mendorong seluruh proses kerja tersebut

(meski demikian, proses berpikir/bekerja mengolah kreativitas itu sendiri tidak

banyak dielaborasi).

A.3. Plot

Secara sederhana, plot dapat dimengerti sebagai rangkaian peristiwa yang

menyusun jalannya sebuah cerita. Ragam plot sendiri amat beragam; terus

berkembang dari waktu ke waktu. Namun, salah satu rumusan plot klasik yang

kerap jadi rujukan (baik untuk membaca karya, maupun menilai plot lainnya)

adalah plot versi Aristotelian. Rumusan plot yang ditulisnya itu awalnya ditujukan

untuk bentuk naratif drama, namun di kemudian hari model itu menjadi semacam

fondasi bagi terbangunnya versi plot lain.102 Aristoteles hanya menyertakan tiga

istilah sederhana dalam plot versinya: awal, tengah, akhir (a beginning, a middle, an

end). Ketiga hal yang menjadi struktur dasar plot karya sastra itu harus dirangkai

dalam konsep kesatuan/keutuhan (unity) yang berdasarkan prinsip kausalitas

(notion of causality). “Awal” plot harus menjadi sumber dari semua aksi yang

kemudian akan muncul. Bagian “awal” inilah yang akan menyebabkan terjadinya

peristiwa-peristiwa dalam bagian “tengah” yang selanjutnya akan menuntun kepada

102 Aristoteles menuliskan rumusan plotnya itu dalam Poetics, salah satu tulisan kritik sastra paling tua yang dikenal sejarah; buku ini ditulisnya sekitar abad ke-4 SM. Poetics amat monumental karena inilah karya pertama dan tertua yang memuat teori drama dan filsafat yang berfokus pada teori sastra. Karya ini merupakan perluasan wilayah studi filsafat yang ditawarkan di Lyceum (sekolah yang didirikan Aristoteles). Sebagian dari motivasi penulisannya adalah melawan kritik Plato yang begitu kuat atas sastra. Konten Poetics sendiri di kemudian hari jadi warisan penting dalam tradisi kritik sastra dan menjadi fondasi bagi berbagai teori sastra yang dikenal saat ini, misalnya pemisahan karya sastra berdasarkan genre, metode kritik yang evaluatif dan tidak hanya didaktis, dan penekanan lebih pada elemen tindakan (action) yang dianggap Aristoteles jauh lebih penting dalam menggerakkan cerita ketimbang elemen tokoh (character)—poin yang disebut terakhir inilah yang menjadi dasar teori plot Aristotelian. (Lihat Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Oxford: Blackwell Publishing.)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

82

“akhir” di mana tidak ada lagi hal-hal yang menggantung. Semua sudah

terselesaikan.

Teori plot Aristotelian ini turut menjadi dasar dari teori plot yang selanjutnya

dikembangkan oleh Gustav Freytag, seorang kritikus asal Jerman. Dalam bukunya

Technique of Drama (1863), ia memperkenalkan teori plotnya yang kemudian

dikenal dengan nama Piramida Freytag. Piramida ini membagi plot naratif menjadi

lima bagian: exposition, rising action (dalam teori Aristoteles disebut complication),

climax, falling action, dan denouement/resolution.103 Elemen tersebut dapat

dikatakan menjabarkan elemen teori plot Aristotelian dengan lebih mendetail.

Umumnya, cerita digerakkan mengikuti perjalanan tokoh protagonis “mencapai”

suatu tujuan tertentu, dengan berbagai hambatan yang datang dari tokoh lain

maupun situasi tak menguntungkan di sekitarnya. Exposition merupakan bagian

awal narasi yang umumnya berfungsi memperkenalkan berbagai unsur dalam

cerita, misalnya tokoh dan latar. Rising action ditandai dengan peristiwa yang

memicu adanya konflik. Climax adalah titik kulminasi konflik, puncak dari gesekan

antara misi tokoh protagonis dengan berbagai hambatan. Falling action disusun dari

peristiwa pascakonflik dengan tegangan yang mulai turun. Elemen ini menuntun ke

bagian denouement/resolution di mana tindakan dan intrik pada akhirnya selesai,

entah sebagai keberhasilan maupun kegagalan.

Dengan dasar pengertian semacam itu, bagian ini akan memeriksa plot yang

menggerakkan narasi buku-buku seri pengenalan profesi ini, sekaligus poin inilah

yang akan menunjukkan mengapa kategorisasinya sebagai fiksi agak rumit

sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. Secara garis besar, konten

103 Abrams, op. cit., hal. 227.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

83

narasi sepuluh buku ini berpusat pada dua hal, yakni penggambaran rutinitas kerja

dan informasi teknis dalam keseharian kerja para tokoh. Informasi teknis ini

ditandai dengan pembedaan format penulisan, yakni dicetak tebal. Istilah-istilah

bercetak tebal ini dimuat kembali di halaman isi paling belakang dari tiap judul

buku dalam bentuk glosarium. Istilah yang dipilih menjadi informasi teknis

umumnya bersifat sangat spesifik dalam kaitannya dengan jenis pekerjaan yang

diceritakan.

Dari sepuluh judul cerita yang saya dalami, hanya dua di antaranya yang dapat

dengan jelas dikatakan memiliki plot yang (hampir) utuh. Kedua judul itu sama-

sama memotret aktivitas kerja orang-orang yang bergelut di dunia hukum, yakni

Jaksa dan Pengacara. Kedua cerita ini disetir oleh sebuah kasus (atau dugaan)

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang warga negara dan diperlukan

proses pengadilan untuk menentukan keputusan hukumnya. Rutinitas kerja jaksa

dan pengacara dijabarkan melalui proses persiapan pengadilan dan proses

pengadilan itu sendiri, hingga diakhiri dengan vonis hakim yang selalu

memenangkan pihak yang diposisikan sebagai yang benar.

Dalam kisah Jaksa, kasus yang diangkat adalah penggelapan dana bantuan

untuk rakyat miskin. Pak Haris sang jaksa bersama para penyidik Kepolisian

mengumpulkan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa kasus tersebut

memang telah melakukan korupsi. Berbagai bukti itu kemudian menjadi dasar

untuk menyusun surat dakwaan yang dibacakan Pak Haris di pengadilan. Terdakwa,

dengan bantuan penasihat hukumnya, membantah tuduhan jaksa. Namun, Pak Haris

berhasil menghadirkan bukti jitu yang langsung membuktikan yang sebaliknya,

yakni rekaman percakapan terdakwa dengan penerima uang hasil penggelapan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

84

tersebut. Terdakwa tak lagi dapat mengelak. Hakim akhirnya menjatuhkan vonis

bersalah beserta hukuman penjara dan denda kepada terdakwa.

Jalan cerita yang kurang lebih serupa terjadi pula dalam kisah Pengacara. Bu

Hana menerima pengaduan dari Nenek Ara yang dituduh mencuri sekantong wortel.

Kali ini, Bu Hana membantu kliennya secara cuma-cuma (pro bono). Proses yang

sama dijalani, yakni pencarian bukti-bukti untuk memperkuat pembelaan Nenek Ara

di pengadilan. Dalam persidangan, pemilik kebun wortel sempat menuding Nenek

Ara dengan marah sembari menuduhnya mencuri. Namun, Bu Hana telah siap

dengan saksi yang akan memberikan keterangan sebenarnya. Pak Adin, salah

seorang pedagang sayur di pasar, membeberkan kronologi peristiwa Nenek Ara

datang ke kiosnya untuk membeli sebuah wortel sebab uangnya hanya cukup untuk

itu. Akan tetapi, karena kiosnya sudah hampir tutup, Pak Adin memberikan

sekaligus satu kantong wortel untuk dibawa pulang Nenek Ara. Kesaksian Pak Adin

ini menjadi kunci kemenangan Nenek Ara di pengadilan. Berkat bantuan Bu Hana,

Nenek Ara yang tidak bersalah itu dapat terbebas dari gugatan hukum, sebagaimana

seharusnya.

Kedua cerita tersebut diakhiri dengan janji dalam batin kedua tokoh (jaksa

dan pengacara) selepas mereka memenangkan kasus masing-masing di pengadilan,

bahwa mereka akan terus bekerja untuk menegakkan keadilan dan membela

kebenaran. Menariknya, meski telah digambarkan secara implisit bahwa kedua

profesi ini tentu saja saling berhadap-hadapan di pengadilan, masing-masing cerita

tidak dengan jelas menunjukkan demikian. Tokoh utama selalu diposisikan

bertentangan dengan klien hukum dari pihak lawan: pengacara melawan penggugat;

dan jaksa melawan terdakwa. Tidak dideskripsikan secara eksplisit bahwa kedua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

85

profesi ini membela dua pihak berbeda, yang tentu saja di mata pengadilan nantinya

akan dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, dan tidak mungkin sekaligus

keduanya. Artinya, sebenarnya bisa saja jaksa maupun pengacara harus menjadi

wakil hukum dari pihak yang bersalah, tidak melulu menolong mereka yang justru

jadi korban ketidakadilan.

Absennya problematisasi tersebut bisa saja dipahami sebagai upaya

penyederhanaan yang wajar untuk bentuk bacaan anak. Barangkali, pesan yang jauh

lebih penting diterima adalah janji jaksa dan pengacara di penghujung cerita untuk

menegakkan keadilan dan membela orang-orang yang berlaku benar. Akan tetapi,

hilangnya problematisasi ini sepenuhnya dapat menghadirkan persepsi yang

membingungkan bagi pembaca. Niat luhur untuk menegakkan keadilan dan

kebenaran memang benar adalah prinsip yang mesti mendasari keseluruhan sistem

hukum negara. Akan tetapi, pada kenyataannya dengan mudah diidentifikasi bahwa

tidak demikian situasinya. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kalimat ini

cukup lazim terdengar sebagai tanggapan atas kejanggalan proses peradilan

maupun keputusan hukum atas suatu kasus pelanggaran peraturan di Indonesia.

Selain cerita profesi jaksa dan pengacara, delapan judul lainnya justru dapat

dikatakan tidak memiliki plot. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan

pernyataan tersebut. Pertama, delapan cerita itu berfokus sepenuhnya pada

deskripsi rutinitas kerja tiap-tiap pelaku profesi. Meskipun kesannya kronologis dari

segi waktu, rangkaian peristiwa dalam aktivitas kerja delapan pelaku profesi

tersebut tidak tersusun di atas prinsip kausalitas. Tiap-tiap peristiwa tidak saling

menyebabkan atau disebabkan. Kedua, tidak ada tujuan spesifik yang tengah

diupayakan untuk dicapai oleh tokoh utama. Kalaupun ada “semacam” tujuan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

86

bentuknya adalah keinginan abstrak dan universal yang tidak secara langsung

terkait dengan berbagai karakteristik maupun latar belakang tokoh utama.

Alasan ketiga saya gunakan pula untuk membaca dua judul pertama yang

sebelumnya saya sebut memiliki plot, namun tetap problematis. Aspek penting

tersebut adalah konflik. Dalam delapan cerita selain jaksa dan pengacara, hampir-

hampir tidak terjadi climax yang menandai tumbuhnya suatu konflik. Delapan

pelaku profesi tersebut tidak pernah mengalami kendala berarti dalam perjalanan

pekerjaan mereka. Semua tugas dapat terselesaikan dengan baik, keberhasilan

selalu tercapai, tidak ada perselisihan maupun gesekan kontra dengan pihak lain,

dan setiap hari kerja selalu berakhir bahagia. Sementara itu, dalam kisah jaksa dan

pengacara, konflik sebenarnya tidak terjadi pada diri mereka sebagai tokoh utama.

Pihak yang mengalami masalah adalah Nenek Ara (dalam kisah Pengacara) dan

terdakwa kasus penggelapan uang (dalam kisah Jaksa). Pak Haris sebagai jaksa dan

Bu Hana sebagai pengacara tidak menjadi pusat dalam pusaran konflik kasus hukum

tersebut. Keduanya berfungsi sebagai pendamping bagi pihak yang berperkara. Itu

artinya, sebenarnya konflik utama terjadi di luar diri mereka; dan hal ini mungkin

merupakan konsekuensi dari pilihan konten cerita yang berfokus pada rutinitas

kerja tiap profesi.

* * *

Upaya mendalami sepuluh judul seri pengenalan profesi melalui elemen

intrinsiknya sebagai narasi merupakan langkah awal untuk membaca bentuk dan

kecenderungan makna yang mungkin lahir dari narasi semacam ini. Kategorisasinya

sebagai fiksi menemukan kerumitannya karena satu elemen penting ternyata tidak

sepenuhnya berfungsi dalam semua cerita. Plot, yang menjadi instrumen penggerak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

87

jalannya cerita, tidak hadir dalam delapan kisah (Ilmuwan, Dokter Gigi, Akuntan,

Astronaut, Sutradara, Presiden, Perawat, dan Tentara).

Melalui pendalaman lewat tiga elemen di atas (tokoh, latar, dan plot), saya

mencatat beberapa poin penting yang memberi gambaran bagaimana dunia kerja

orang dewasa dipersepsikan dalam buku-buku ini. Pertama, tokoh dalam cerita

adalah bentuk idealisasi pelaku profesi. Mereka digambarkan memiliki sifat-sifat

tertentu yang diidentikkan dengan sifat pekerjaannya. Deskripsi semacam ini

berpotensi menjadi acuan bagi pembaca untuk memahami bahwa tiap-tiap profesi

menuntut sifat khas yang perlu dimiliki orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Kedua, bekerja digambarkan sebagai aktivitas inividual. Meskipun memiliki rekan

kerja di kantor atau sepanjang proses kerja, para tokoh “seakan-akan” mencapai

keberhasilan dengan kerja keras yang dilakukannya sendiri. Ketiga, latar kantor

berfungsi sebagai penanda adanya pemisahan antara aktivitas kerja dan nonkerja,

sekaligus penanda modernitas yang membedakan suatu profesi dari jenis-jenis

pekerjaan tradisional lainnya. Keempat, profesi dalam ranah kerja kreatif belum

menjadi preferensi pekerjaan dalam lingkungan orang-orang yang diasumsikan

sebagai pembaca. Kelima, aktivitas kerja seakan-akan menyamaratakan visi tiap-tiap

orang dan hampir meniadakan tujuan pribadi tiap individu. Terakhir, sebagian besar

cerita meniadakan problematisasi yang dalam realitanya cenderung tidak hitam-

putih. Demikian pula dengan berbagai tantangan dan proses jatuh-bangun yang

sewajarnya dialami semua orang dalam proses bekerja; semua tokoh selalu berhasil

dengan gemilang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

88

B. Menjadi Manusia Modern

Pada bagian sebelumnya telah dideskripsikan rutinitas dunia kerja dan situasi yang

melingkunginya sebagaimana diceritakan dalam sepuluh buku cerita anak. Meski

tak luput dari kerumitan kategorisasi dan kompleksitas narasi yang (dibuat) absen,

penggambaran itu cukup bisa ditempatkan sebagai salah satu versi persepsi

masyarakat Indonesia mengenai dunia kerja orang dewasa. Lewat beberapa poin

yang saya rangkum di penghujung bagian sebelumnya, saya ingin menelusuri lebih

jauh apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh persepsi semacam itu. Bagian ini

akan mengelaborasi wacana dominan apa yang beroperasi di tengah maupun di

balik cara kita memahami kerja, profesi, dan bahkan bercita-cita.

B.1. Pendidikan Formal dan Profesionalisasi

Kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang saya baca secara mendalam

menampilkan tokoh-tokoh yang berperan sebagai pekerja profesional dalam

bidangnya masing-masing. Untuk memperjelas dan tidak memahami “profesional”

dengan terlalu beragam, saya akan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI); demikian pengertiannya: (1) a bersangkutan dengan profesi; (2) a

memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3) a mengharuskan

adanya pembayaran untuk melakukannya. Ketiga definisi tersebut rasanya cukup

tepat untuk memahami bagaimana dunia profesi yang digambarkan dalam buku

cerita anak tersebut beroperasi. Pekerjaan spesifik yang mereka lakukan itu disebut

profesi; mereka harus menempuh serangkaian pendidikan atau setidaknya

pembekalan keterampilan khusus agar menguasai segala hal dalam bidangnya; dan

mereka menerima sejumlah apresiasi yang umumnya berbentuk materi sebagai nilai

tukar untuk kerja mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

89

Ilmuwan, dokter gigi, jaksa, akuntan, pengacara, astronaut, perawat, dan

tentara adalah profesi yang mewajibkan pelakunya menempuh jenjang pendidikan

tertentu sebelum akhirnya mendapatkan lisensi untuk melakukan kerjanya.

Pendidikan itu semuanya disediakan melalui institusi formal sekolah dan perguruan

tinggi, baik yang berbentuk universitas maupun akademi. Tanpa melalui prosedur

sekolah formal, seseorang tidak dapat memenuhi persyaratan untuk menjadi pelaku

profesi tersebut. Seseorang yang belajar melakukan tindakan pertolongan pertama

pada kecelakaan (P3K) secara autodidak tidak serta-merta boleh bekerja sebagai

perawat. Seseorang yang tidak memiliki lisensi advokat akan melanggar hukum jika

melakukan praktik kerja sebagai pengacara.

Dari sepuluh judul buku seri pengenalan profesi yang saya dalami, setidaknya

hanya ada dua profesi yang dalam praktik riilnya tidak selalu mengharuskan

pelakunya menjalani pendidikan formal spesifik, yakni presiden dan sutradara.

Lazim kita dengar seorang sutradara yang menimba ilmu dan pengalaman melalui

berbagai metode selain belajar di sekolah film formal. Fenomena ini cukup jamak

terjadi dalam lingkup kerja kesenian (atau dalam konteks terkini juga kerap dirujuk

sebagai “kerja kreatif”). Meskipun tidak menempuh jenjang kuliah di jurusan

perfilman, seseorang mungkin saja tertarik pada bidang film, belajar secara

autodidak, dan mulai memproduksi karya filmnya sendiri. Ketiadaan gelar akademis

jarang sekali memengaruhi ketersediaan kesempatan bagi calon sutradara. Sedikit

berbeda dengan jabatan presiden, pelakunya bisa saja merupakan lulusan sekolah

formal bidang/jurusan apa pun. Akan tetapi, ia mesti punya karier politik yang dititi

dengan mekanisme tertentu (menjadi anggota partai atau membangun basis

pendukung nonpartai).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

90

Meski menjadi syarat mutlak untuk menjalani profesi, kesepuluh teks yang

saya teliti tidak secara eksplisit menyertakan deskripsi tentang pendidikan formal

yang harus ditempuh para tokohnya. Hal ini diasumsikan begitu saja sebagai

kewajaran yang, kecuali dalam situasi khusus, niscaya dialami pula oleh pembaca,

mengingat isu pemerolehan pendidikan sendiri telah diatur sebagai hak sekaligus

kewajiban warga negara dalam konstitusi. Alih-alih memberi penjelasan tentang

jenjang pendidikan tersebut, teks-teks ini mencoba meletakkan karakteristik rajin

belajar dan tekun sebagai latar muka. Semua profesi ini mengharuskan seseorang

menamatkan pendidikan, maka ia harus memupuk semangat untuk tekun belajar

dan melampaui segala rintangan semaksimal mungkin.

Nada ini amat kentara hadir pada kisah Asyiknya Menjadi Astronaut. Tokoh

Kak Alfa harus menjalani serangkaian tes dan pelatihan sebelum akhirnya siap

menjadi astronaut. Akan tetapi, kisah ini sekaligus hadir sebagai profesi yang

barangkali paling tidak masuk akal yang dapat dicapai oleh pembaca anak-anak di

Indonesia. Saya terangkan sedikit mengapa demikian. Indonesia belum pernah

benar-benar memiliki astronaut. Calon astronaut pertama Indonesia, bernama

Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan Taufik Akbar, batal terbang ke angkasa luar

akibat kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger tahun 1986. Menyusul musibah

tersebut, NASA (National Aeronautics and Space Administration—badan antariksa

independen Amerika Serikat) membatalkan serangkaian misi angkasa luar selama

dua tahun, termasuk misi STS-61-H yang akan melibatkan kandidat astronaut

Indonesia itu. Selain itu, pelatihan menjadi astronaut tidak dapat dilakukan di

Indonesia. Pelatihan itu hanya dapat dilakukan di badan antariksa yang bekerja

sama dengan NASA. Jika negara asal calon astronaut tidak memiliki institusi

semacam itu, maka calon peserta pelatihan harus berkewarganegaraan Amerika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

91

Serikat. Dengan serangkaian rintangan ini, tentunya menjadi astronaut di Indonesia

masih sukar sekali dibayangkan perwujudannya. Akan tetapi, persoalan yang

kompleks ini tidak hadir dalam cerita pengenalan profesi astronaut. Dorongan untuk

rajin belajar dan berprestasi dapat untuk sementara menutupi batu sandungan itu.

Pengetahuan dan keterampilan khusus yang menjadi prasyarat wajib bagi

calon pelaku profesi dilembagakan dalam sistem pendidikan formal. Meski

demikian, dalam berbagai praktik kerja profesional, pengetahuan yang sifatnya lebih

organik dan tidak disistematisasi ala perundang-undangan juga memainkan peran,

misalnya dalam pemanfaatan pengobatan tradisional dan medis konvensional dalam

waktu bersamaan. Pelembagaan pengetahuan dalam sekolah formal punya sejumlah

implikasi yang tak terelakkan, salah satunya standarisasi. Praktik pengetahuan yang

tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dengan mudah dikategorikan sebagai

malapraktik atau ilegal. Untuk memastikan tiap-tiap pelaku profesi memiliki

integritas dalam pekerjaannya, sebagian besar profesi tersebut bahkan melibatkan

proses sumpah jabatan. Artinya, pelanggaran atas sumpah akan berbuntut pada

konsekuensi yang serius.

B.2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam kesepuluh buku cerita anak seri pengenalan profesi yang saya amati, isu

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah aspek yang dengan eksplisit

dibicarakan, dan mungkin sekaligus dirayakan. Beberapa judul cerita menyertakan

percakapan tentang bagaimana masyarakat dan negara menempatkan kemajuan

teknologi sebagai arah masa depan yang ingin diupayakan. Berikut beberapa hal

yang saya catat sebagai bukti perhatian tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

92

Sebagian besar profesi yang dikisahkan memang berinteraksi langsung

dengan pemanfaatan teknologi modern yang dihasilkan dari perkembangan ilmu

pengetahuan modern. Mereka yang bekerja di bidang medis, misalnya dokter gigi

dan perawat, jelas-jelas bekerja dengan sejumlah alat dan perlengkapan penunjang

yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan medis modern. Ibu Silvi sang

ilmuwan juga memanfaatkan teknologi yang dikembangkan beriringan dengan

kebutuhan ilmu biologi. Sutradara seperti Kak Delis juga bersinggungan dengan

serangkaian alat produksi audiovisual yang canggih untuk produksi film. Bahkan

Kak Riga sang tentara pun mengenal dan kadang harus menggunakan teknologi

persenjataan perang. Jaksa, pengacara, dan akuntan juga pekerjaan yang setidaknya

akrab dengan penggunaan komputer dalam kerja hariannya di masa kini.

Saya menemukan dua judul dari seri ini yang secara gamblang menyertakan

ide tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keseharian kerja

profesi spesifik mereka dan bahkan dalam kehidupan masyarakat luas, yakni dalam

kisah Presiden dan Astronaut. Cerita Kak Alfa menapaki jalan perjuangannya demi

menjadi astronaut adalah salah satu kisah yang bergelimang percakapan tentang

topik ini. Pertama-tama, menjelajahi angkasa luar sendiri adalah aktivitas yang

dimungkinkan setelah kerja panjang pengembangan ilmu pengetahuan yang

dilakukan manusia. Sejak dari persiapan, para astronaut harus berinteraksi dengan

teknologi yang canggih; dalam kisah Kak Alfa misalnya mesin pemutar sentrifugal

dan simulator pesawat angkasa luar. Sepanjang menjalani tugas di angkasa luar, Kak

Alfa pun harus selalu mengenakan alat yang menyediakan oksigen dan pakaian

antiradiasi, serta berkomunikasi lewat radio; makanan mereka selama perjalanan

pun disajikan dalam bentuk yang khusus. Hal ini adalah konsekuensi logis dari

kebutuhan untuk bertahan hidup selama beberapa waktu di luar bumi. Manusia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

93

tentu harus menyesuaikan dan mendukung dirinya dengan sejumlah teknologi

untuk membantu menghadapi habitat yang sama sekali lain dari habitat aslinya.

Narasi tentang pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

juga dibicarakan dalam kisah Pak Arya sang Presiden. Dalam satu adegan ketika

Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Indonesia, Pak Arya

menyempatkan berbincang tentang pengiriman pelajar Indonesia untuk belajar

teknologi di Jepang. Jepang memang dikenal sebagai negara dengan pengembangan

teknologi modern yang pesat. Percakapan Pak Arya seakan menggambarkan

peluang emas bagi pelajar Indonesia untuk belajar langsung dari negara penghasil

teknologi serbacanggih ini.

Tak hanya itu, pemanfaatan teknologi modern dalam pekerjaan harian

presiden pun tergambarkan lewat aktivitas Pak Arya di dunia maya. Suatu kali ia

diceritakan memantau perkembangan berita terkini melalui internet. Saat

menggulir layar akun Facebook-nya, Pak Arya menemukan kiriman berisi foto surat

yang ditulis oleh seorang anak di suatu daerah di Indonesia. Surat itu menceritakan

keluh kesah sang anak karena tempat tinggalnya hancur akibat letusan gunung

berapi dan membuat warga harus mengungsi. Pak Arya dengan sigap

menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk

bertindak lebih cepat memitigasi dampak bencana. Ia sendiri mengunjungi daerah

bencana beberapa waktu setelahnya untuk memantau kondisi warga dan performa

kerja jajarannya. Potongan adegan ini memang terdengar sedikit menggelikan,

mengingat Pak Arya malah mengetahui situasi bencana di wilayah negaranya

melalui akun media sosial, alih-alih dari para staf khusus, sekretaris, dan ajudan

yang pada bagian awal cerita disebutkan bertugas untuk menyampaikan kabar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

94

terbaru tentang Indonesia dan dunia. Meski demikian, hal ini menunjukkan bahwa

pemanfaatan teknologi modern merupakan sumber informasi penting dalam

pelaksanaan roda pemerintahan di masa sekarang.

Selain menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan modern dan

teknologi modern telah, sedang, dan akan banyak mengintervensi kehidupan

masyarakat, penyajian topik ini dalam buku seri pengenalan profesi untuk anak juga

memberikan gambaran tentang karakteristik profesi yang ditempatkan sebagai

kemungkinan idaman. Ilmu pengetahuan modern terlembagakan melalui institusi

pendidikan formal. Pemanfaatan teknologi yang lahir dari perkembangan ilmu itu

juga tak terhindarkan dalam keseharian kerja. Karakteristik ini dapat dikatakan

kontras dengan jenis-jenis pekerjaan lain yang mengadopsi ilmu pengetahuan dan

teknologi modern dengan kadar yang lebih kecil. Mengenai hal ini, saya akan

mengelaborasinya lebih jauh dalam bagian B.4.

B.3. Individualisasi

Kesepuluh cerita yang dihadirkan dalam seri pengenalan profesi ini memang

diperankan oleh masing-masing satu tokoh spesifik. Itulah sebabnya, penggambaran

rutinitas kerja dan dinamika di dalamnya dinarasikan dengan cara mengikuti si

tokoh sepanjang perjalanannya dan menempatkannya sebagai pusat dari cerita.

Para tokoh ini pun dihadirkan sebagai bentuk idealisasi karakter pelaku masing-

masing profesi. Maka, tidak aneh memang jika pengalaman membaca seri ini

mengarahkan pembaca untuk berfokus pada tokoh tunggal yang tengah bekerja

tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

95

Meski demikian, pada bagian A saya mencatat bahwa imajinasi tentang dunia

kerja yang dihadirkan dalam seri ini menampilkan lingkungan yang cenderung

individual. Ada unsur pembagian kerja yang kentara. Satu profesi mengerjakan satu

pekerjaan spesifik, sementara pekerjaan yang lain harus dikerjakan oleh pelaku di

bidang lainnya. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam kisah Kak Delis sang sutradara.

Meski memiliki fitur tugas memimpin dalam keseluruhan proses produksi filmnya,

pekerjaan spesifik dalam tiap fase digarap oleh personel khusus, misalnya juru

kamera, penata suara, dan editor. Tiap-tiap personel ini menguasai keterampilan

khusus sesuai dengan kerja yang diembankan kepadanya. Hal ini sejalan dengan

aspek profesionalisasi yang telah dibahas sebelumnya.

Dalam kisah profesi yang lain, juga tidak ditemukan tokoh yang menyambi

pekerjaan atau aktivitas lain yang porsinya kurang dari atau mendekati rutinitas

kerja utama. Mereka semua digambarkan memiliki identitas profesional yang

tunggal serta sesuai dengan pendidikan dan persiapan lain yang sangat spesifik

untuk tiap profesi itu. Penggambaran semacam ini mengindikasikan bahwa dunia

kerja profesional yang dihadirkan bagi pembaca anak melalui seri ini beroperasi

lewat pembagian kerja yang tegas dan terkonsentrasi.

Selain itu, nada individualisasi ini dipertebal dengan cerita keberhasilan tiap

tokoh yang seakan-akan dicapai secara perseorangan. Menariknya, dalam beberapa

judul, para pelaku profesi ini digambarkan bekerja bersama tim, baik yang

beranggotakan pelaku profesi yang sama maupun personel ahli bidang lain yang

menunjang kerja mereka. Akan tetapi, tidak semua cerita menghadirkan adegan

kerja sama tim. Sebagian tokoh seperti bekerja sendirian untuk membereskan

semua tugasnya. Keberhasilan yang dicapai di akhir cerita pun dibingkai sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

96

pencapaian pribadi si tokoh, alih-alih buah baik dari kolaborasi keseluruhan

perangkat kerja.

B.4. Kontras dengan Yang-Tradisional

Bagian sebelumnya telah menunjukkan bahwa profesi “idaman” yang diperkenalkan

lewat buku cerita anak ini mengandung elemen pendidikan formal, ilmu

pengetahuan modern, dan teknologi modern. Elemen yang bersifat modern ini dapat

dengan mudah diidentifikasi ketika dihadap-hadapkan dengan elemen lain dengan

karakteristik berbeda. Dalam cerita Si Doel, hal itu tampak melalui perbedaan antara

pakaian harian yang dikenakan Si Doel dan keluarga selama berkegiatan domestik di

rumah dan kostum Si Doel saat bekerja di kantor serta penyebutan “tukang

insinyur” yang menyandingkan dua gelar berbeda begitu saja. Hal yang serupa saya

temukan pula ketika mencari tahu buku cerita anak lainnya yang berbicara tentang

pekerjaan orang dewasa. Bagian ini akan menjabarkan bahwa ada karakteristik

yang berbeda antara apa yang dikategorikan sebagai “profesi idaman” dan yang

sebaliknya.

Kontras ini saya temukan ketika membaca tiga buku cerita anak yang juga

berkisah tentang tiga jenis pekerjaan, akan tetapi tidak disertakan dalam Seri

Mengenal Profesi maupun Seri Profesi Impianku. Tiga buku yang saya sebutkan ini

dirilis oleh penerbit yang sama dengan waktu terbit yang hanya berselisih satu

bulan dari Seri Profesi Impianku.104 Demikian judulnya: Sehari Menjadi Nelayan,

Sehari Menjadi Petani, dan Sehari Menjadi Peternak. Saya akan mengelaborasi

104 Ketiga buku pembanding ini tidak dilabeli dengan satu nama seri khusus meski diterbitkan bersamaan pada bulan Februari 2018 dan dikemas sebagaimana buku berseri, dengan penulis yang sama, Fadila Hanum, S.P. Seri ini mencakup tiga judul: Sehari Menjadi Nelayan, Sehari Menjadi Petani, dan Sehari Menjadi Peternak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

97

elemen instrinsik teks yang sama dengan uraian sepuluh cerita lainnya (tokoh, latar,

dan plot) yang nantinya menerangi bagaimana ketiga cerita ini menampilkan dunia

kerja orang dewasa yang sangat berbeda dari dua seri sebelumnya.

Tokoh utama dalam cerita diperankan oleh anak-anak yang sekaligus

berperan sebagai narator. Kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang saya

paparkan sebelumnya tidak memilih jalan ini; alih-alih demikian, tokoh orang

dewasalah yang dipakai dengan menempatkan anak-anak sebagai figur yang

seakan-akan mengikuti aktivitas mereka sepanjang hari. Cerita Nelayan, Petani, dan

Peternak secara langsung menghadirkan tokoh anak yang—sama seperti seri

lainnya—mengikuti kegiatan orang dewasa bekerja. Pilihan narator semacam ini

menimbulkan efek kedekatan yang lebih dengan pembaca sasarannya karena punya

ruang tambahan untuk mengekspresikan emosi tokoh anak sebagaimana lazimnya,

misalnya merasa jijik ketika membersihkan kandang kambing, mengantuk karena

begadang saat melaut, atau lelah karena harus ikut menanam bibit padi.

Ketiga cerita mengambil latar di desa semasa liburan sekolah. Latar ini amat

tipikal dalam dunia pendidikan formal Indonesia. Setiap hari pertama sekolah

selepas libur panjang, para guru biasanya akan meminta murid menulis karangan

tentang liburan mereka. Anak-anak dapat melihat contoh karangan semacam itu

dalam buku paket pelajaran Bahasa Indonesia yang nyaris pasti berkisah tentang

liburan di rumah nenek di desa. Cerita Nelayan, Petani, dan Peternak melakukan hal

yang sama. Semua tokoh utama dalam cerita digambarkan tidak tinggal di

perdesaan dan dengan demikian tidak begitu akrab dengan kehidupan desa. Mereka

pergi mengunjungi saudara (nenek, kakek, paman, bibi, dan sepupu) di desa untuk

menghabiskan liburan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

98

Setibanya di desa, para tokoh utama ini diajak menimba pengalaman bekerja

sebagaimana orang desa bekerja selama satu hari penuh, menjadi nelayan, petani,

atau peternak. Mereka dengan gembira menyambut undangan itu. Karena tidak

terbiasa tinggal di desa, segala hal yang mereka temui sepanjang hari itu terdengar

amat baru sekaligus menarik. Kakek, paman, atau sepupu yang lebih tahu tentang

seluk-beluk pekerjaan tersebut dengan sabar menjelaskan banyak hal yang

membuat para tokoh utama ini tercengang. Tak jarang tokoh utama ditertawakan

karena masih canggung dan terlalu terpukau pada hal-hal yang dianggap biasa saja

oleh warga sekitar.

Dalam hal plot, sebenarnya ketiga cerita ini juga sama problematisnya. Tidak

ada tujuan spesifik yang menggerakkan jalannya narasi. Alur cerita dinarasikan

secara kronologis sepanjang satu hari. Di bagian awal cerita, semua tokoh utama

antusias dan sangat penasaran dengan aktivitas yang akan dikerjakannya hari itu. Di

penghujung hari, sekaligus untuk menutup cerita, semua tokoh mengutarakan hal

yang sama: bahwa pekerjaan hari itu melelahkan namun sangat menyenangkan. Jika

diperhatikan lebih saksama, kondisi capek atau lelah selepas bekerja tidak pernah

dibicarakan dalam dua seri sebelumnya. Perasaan ini mungkin muncul karena

dibahasakan lewat tokoh anak yang umumnya diasumsikan memiliki ketahanan

fisik yang tidak sebesar orang dewasa.

Ketiga buku yang sama-sama menceritakan rutinitas bekerja ini menampilkan

gambaran dunia kerja yang sama sekali berbeda. Nelayan, petani, dan peternak tidak

perlu mengenakan seragam atau, setidaknya, pakaian khusus sebagaimana para

pelaku profesi dalam dua seri sebelumnya. Mereka bisa tampil dengan gaya

berpakaian yang kurang lebih serupa dengan keseharian di luar waktu bekerja.

Kadang kala, pekerjaan bahkan bisa dilakukan di sekitar rumah, misalnya dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

99

cerita Peternak yang memelihara hewan ternaknya di kandang di pekarangan

rumah. Lingkungan kerja mereka pun tampak jauh lebih terbuka untuk kehadiran

anak-anak; rasanya tak asing kita dengar bahwa bermain di sawah, di pinggir pantai,

dan di kandang ternak adalah aktivitas menyenangkan bagi anak-anak. Tentunya hal

ini tidak dapat dengan mudah dilakukan di kantor.

Nelayan, petani, dan peternak memang bukan pekerjaan yang masuk dalam

kategori sektor formal. Pekerjaan semacam ini sering kali diidentikkan sebagai

pekerjaan tradisional yang tidak membutuhkan pendidikan atau penguasaan

keterampilan khusus melalui jalur formal. Meski pekerjaan tradisional juga

dilangsungkan di daerah urban, seri ini memilih bentuk paling stereotipikal dengan

meletakkannya di latar perdesaan. Pelakunya pun digambarkan sebagai anggota

keluarga besar yang sepertinya hidup di desa sepanjang umur hidupnya. Kakek,

nenek, paman, bibi, dan para sepupu dari desa ini menimbulkan kesan bahwa

kehidupan rural dan pekerjaan tradisional yang mereka jalani seakan-akan sesuatu

yang datang dari masa lalu. Sementara para tokoh utama beserta keluarga intinya

tidak lagi tinggal di desa dan menjalani pekerjaan yang sama sekali berbeda,

sehingga apa yang dialami di desa terasa serbabaru dan mengherankan.

Pilihan judul ketiga cerita ini juga menggelitik saya: Sehari Menjadi .... Coba

bandingkan dengan judul pada dua seri lainnya: Asyiknya Menjadi .... Judul kedua

memberi kesan bahwa melakoni pekerjaan keren seperti astronaut, presiden,

perawat, dan tentara bisa terasa sangat mengasyikkan. Belum lagi seri tersebut

dilabeli sebagai Seri Profesi Idamanku. Kentara ditunjukkan bahwa pekerjaan yang

diangkat dalam seri itu adalah sesuatu yang pantas dicita-citakan dan lebih

bergengsi daripada versi tradisionalnya, sebagaimana menjadi insinyur lebih baik

daripada tukang dan arsitek lebih mentereng daripada tukang cat. Sejalan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

100

itu di sisi yang lain, judul cerita pada seri pekerjaan tradisional mengisyaratkan

bahwa pekerjaan semacam ini ada di dunia dan perlu kita hargai. Untuk itu, cobalah

bekerja bersama mereka sehari saja!

* * *

Melalui pemaparan dalam bagian ini, saya menemukan bahwa empat poin

yang saya catat, yakni pendidikan formal dan profesionalisasi, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, individualisasi, dan presentasi yang kontras dengan

pekerjaan tradisional menampilkan kecenderungan imajinasi yang dibangun dalam

sepuluh cerita pengenalan profesi yang saya teliti. Upaya untuk menampilkan

kehidupan urban modern dengan pekerjaan yang karakteristiknya makin

profesional mengindikasikan adanya preferensi yang ingin coba dibangun dalam

persepsi pembaca anak. Sementara pekerjaan yang dikategorikan tradisional

ditempatkan sebagai sesuatu yang tetap ada tapi tidak perlu jadi “idaman”.

Pembacaan ini menunjukkan bagaimana wacana modernitas105 beroperasi

dalam teks-teks ini. Pembaca anak mendapati bahwa ada pekerjaan yang lebih

disukai dan mendapatkan penghargaan lebih dalam masyarakat, yakni pekerjaan

yang membutuhkan pendidikan atau keterampilan khusus yang didapatkan lewat

sekolah (dan bahkan perguruan tinggi), dilakukan di kantor atau laboratorium, dan

dibayar secara reguler dalam periode tertentu (biasanya bulanan) dengan jumlah

yang memadai. Di sisi yang lain, mereka mesti tetap diperkenalkan dengan jenis-

jenis pekerjaan tradisional yang sebenarnya fundamental. Petani, nelayan, dan

peternak menyediakan bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari semua orang.

105 Wacana yang sama ditemukan pula, bahkan dengan lebih gamblang, dalam adaptasi audiovisual cerita Si Doel sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

101

Walau demikian, rupanya membayangkan hidup dan bekerja sebagai petani,

nelayan, atau peternak dianggap tidak perlu didorong atau dipaparkan lebih jauh

pada pembaca anak. Mereka perlu mengetahuinya agar tetap menghargai jerih

payah orang-orang yang bertahan di sektor tradisional.

Pekerjaan tradisional dianggap sebagai masa lalu, terlepas dari fungsinya yang

senantiasa relevan hingga sekarang. Anak-anak didorong untuk merencanakan masa

dewasa yang dijalani di tengah masyarakat modern, dengan bekerja profesional di

sektor formal, dan dengan demikian diterima sebagai warga yang modern pula.

C. Negara dan Nasionalisme

Selain membayangkan masa depan sebagai individu modern, ada narasi lain yang

juga kerap muncul dalam sebagian besar buku cerita anak seri pengenalan profesi

ini. Narasi tersebut memang tidak sedominan deskripsi tentang modernitas dalam

dunia kerja sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, akan tetapi

kehadiran narasi ini menunjukkan bahwa ia memainkan peran yang cukup

signifikan. Bagian ini akan mendeskripsikan bagaimana topik tentang negara dan

nasionalisme dibicarakan dalam buku-buku ini. Hal ini akan membantu kita untuk

nantinya melihat bagaimana negara dan ide tentang nasionalisme berkelindan

dengan gagasan modernitas yang dikenal masyarakat Indonesia.

Negara adalah bagian integral dari seluruh jenis profesi yang dipaparkan

dalam buku cerita anak ini. Negara dapat memainkan peran sebagai institusi yang

menaungi atau memberi izin penyelenggaraan kerja. Peran ini dapat ditemukan

misalnya dalam kisah Ilmuwan yang bekerja di Badan Konservasi Sumber Daya

Alam, Tentara yang jelas tergabung dalam Tentara Nasional Indonesia, dan Jaksa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

102

yang berkantor di Kejaksaan. Ketiga lembaga yang menaungi kerja profesi tersebut

adalah institusi negara. Sementara itu, di lain pihak, para pelaku profesi ini bisa saja

bekerja dengan pihak swasta, akan tetapi penyedia kerjanya harus mendapatkan

izin operasi terlebih dahulu dari pemerintah, misalnya kantor akuntan publik dalam

cerita Akuntan.

Potret penyelenggaraan negara sendiri dihadirkan sebagai sesuatu yang

kompleks. Kisah Pak Arya sang Presiden menceritakan beberapa tugas utama

pemimpin negara. Negara digambarkan bertanggung jawab atas kehidupan seluruh

penduduk yang dinaunginya dengan tujuan utama mengupayakan rakyat sejahtera.

Selain itu, negara juga perlu menjalin hubungan dengan negara lainnya untuk

sejumlah kepentingan, misalnya kerja sama perdagangan dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Ada banyak sekali elemen yang menentukan jalannya roda

pemerintahan. Oleh sebab itu, seorang presiden tidak dapat bekerja sendiri.

Pemimpin harus dibantu dengan serangkaian fungsi kerja yang diperankan oleh

individu lainnya.

Kehidupan negara yang kompleks ini juga disokong oleh salah satunya unsur

keamanan. Cerita Kak Riga sang Tentara menunjukkan bagaimana negara menaruh

perhatian khusus pada isu keamanan dan stabilitas. Tugas utama Kak Riga adalah

“menjaga negara dan melindungi rakyat Indonesia dari bahaya, baik yang datang

dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri.”106 Keberadaan tentara dalam

lembaga negara mengindikasikan bahwa ada imajinasi tentang musuh atau ancaman

yang senantiasa membayangi negara. Elemen tentara menjadi pihak yang

berwenang untuk mengendalikan sumber ancaman atau bahaya tersebut (meski

dalam banyak kesempatan lain justru jadi sumber ancaman itu sendiri). Dalam

106 Patappa, Rae Sita. 2018. Asyiknya Menjadi Tentara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai, hal. 4.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

103

profesi tentara, negara diposisikan sebagai alasan dilakukannya pekerjaan. Tentara

menjadi representasi semangat patriotisme sebab mereka harus “melindungi rakyat

Indonesia dengan segenap jiwa dan raganya.”107

Tak hanya soal lembaga administratif yang memiliki kewenangan atas teritori

Indonesia, buku-buku seri pengenalan profesi ini juga menghadirkan percakapan

tentang ide nasionalisme. Menariknya, percakapan tetang nasionalisme dalam

cerita-cerita ini memungkinkan pemaknaan yang berbeda terkait tujuan seseorang

melakukan pekerjaannya. Jika Tentara dan Presiden berkutat dengan

penyelenggaraan institusinya, profesi lainnya punya tujuan yang sifatnya lebih

horizontal atau dalam konteks ini berkaitan langsung dengan masyarakat yang

hidup bersama dalam satu negara. Kisah Jaksa dan Pengacara, misalnya, memuat ide

tentang keadilan yang mestinya berlaku dalam keseharian kita. Lewat pekerjaannya,

mereka berupaya membuat pihak yang bersalah dan merugikan sesamanya

bertanggung jawab atas kecurangan itu. Keduanya mendambakan tegaknya keadilan

dan kebenaran, serta ingin mengupayakannya lewat tugas profesionalnya. Di sisi

yang lain, kisah Ilmuwan menghadirkan bayangan tentang alam Indonesia yang

lestari. Kerja penelitian dan konservasi para ilmuwan ditujukan untuk kesejahteraan

manusia dan generasi yang akan datang.

Semangat nasionalisme ini juga diwujudkan sebagai sebuah bentuk

pencapaian yang dianggap membanggakan bagi Indonesia sebagai negara sekaligus

bangsa. Ide semacam ini dapat dilihat dalam kisah Sutradara dan Astronaut.

Kemenangan film anak-anak yang diproduksi Kak Delis sebagai sutradara adalah

pencapaian yang menjadikan pembuat film Indonesia menerima pengakuan dan

apresiasi dari sekitarnya. Sementara itu, kisah Astronaut menunjukkannya dengan

107 Ibid., hal. 23.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

104

simbolisasi yang kentara. Di penghujung misinya mengambil sampel batuan bulan

untuk penelitian geologi, Kak Alfa memasang bendera Indonesia di bulan.

Penancapan bendera merupakan gestur yang cukup lazim kita temui, misalnya di

puncak gunung atau di lokasi tertentu yang sukar dicapai. Dalam banyak situasi,

tindakan ini dimaknai sebagai bentuk penaklukan atas suatu teritori, atau setidak-

tidaknya mencatatkan jejak kedatangan. Bendera mewakili kekuasaan tertentu yang

menandai bahwa kekuasaan itu ada atau pernah ada di tempat pemasangannya.

Dalam kisah Astronaut, bendera Indonesia yang ditancapkan Kak Alfa di bulan

menjadi penanda pencapaian yang dapat dibanggakan oleh Indonesia sebab berhasil

mengirim angkasawannya menjelajah angkasa luar.

Kehadiran percakapan tentang negara dan nasionalisme dalam buku cerita

pengenalan profesi ini tentunya merupakan versi yang dikonstruksi dengan cara

tertentu untuk kepentingan penyampaian pesan ceritanya. Konstruksi inilah yang

akan saya lihat lebih jauh dalam bab berikutnya dalam keterkaitannya dengan ide

menjadi manusia modern lewat pekerjaan. Meski topik ini terbilang minor dalam

cerita yang saya teliti, penggambaran kehadiran negara dan ide tentang

nasionalisme menemukan tempatnya dalam pembahasan lebih jauh tentang gagasan

modernitas yang dihadirkan buku-buku ini sebagai salah satu faktor yang turut

menentukannya. Nasionalisme dapat ditafsirkan dengan banyak jalan berbeda dan

berdampak pada cara negara menyusun imajinasi dan aplikasi pendidikan bagi

anak-anak yang dinaunginya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

105

BAB IV

INDIVIDU MODERN SEBAGAI HASIL PROYEK PEMBERADABAN MASA KINI

Dalam bab sebelumnya, saya telah memaparkan hasil pembacaan mendalam

terhadap sepuluh teks cerita anak seri pengenalan profesi dengan kerangka utama

menelusuri pengetahuan dominan yang dibawanya. Pencarian itu menunjukkan

bahwa gagasan yang paling menonjol dari teks-teks tersebut adalah kehidupan

masyarakat modern Indonesia. Secara spesifik hal tersebut dihadirkan melalui kisah

rutinitas kerja sejumlah tokoh cerita yang mewakili bagaimana keseharian orang

dewasa dicitrakan. Sebagian besar aspek kesamaan yang muncul dalam sepuluh

kisah tersebut memberi petunjuk tentang bayangan kehidupan modern masyarakat

Indonesia dalam versi ideal.

Meski demikian, modernitas bukanlah satu-satunya narasi yang dihadirkan.

Gagasan lain yang juga muncul adalah percakapan seputar negara dan semangat

kebangsaan (nasionalisme). Walaupun bukan narasi yang dominan, isu ini

mengambil peran yang saya anggap penting dalam sebagian besar cerita. Sebabnya,

negara, terkadang melalui nasionalisme, tampak diposisikan sebagai salah satu

variabel yang turut andil menentukan jalannya cerita. Ia dapat hadir sebagai

representasi kekuasaan administratif maupun alasan abstrak nan luhur yang

mendorong sejumlah orang melakukan sesuatu dalam hidupnya.

Kedua narasi ini saya catat sebagai wacana dominan yang hadir melalui lapis-

lapis narasi cerita anak seri pengenalan profesi tersebut. Kedua wacana ini pula

yang akan saya dalami lebih jauh lewat pemaparan di bab IV ini. Secara garis besar,

terdapat dua pertanyaan umum yang ingin saya jawab lewat bagian ini. Pertama,

berbekal pembacaan intrinsik yang dijabarkan dalam bab III, bagaimana sebenarnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

106

konsep modernitas dibentuk dalam teks tersebut? Secara (harapannya) sederhana

(namun mungkin pula akan kompleks), saya akan menunjukkan elemen modernitas

apa yang kentara disajikan dalam teks serta cara menyajikannya. Aspek ini mewakili

apa yang dibahasakan Giroux sebagai “cara produksi otoritas, pengalaman, dan

kekuasaan dalam kondisi belajar tertentu”. Kedua, saya ingin menelusuri situasi

masyarakat macam apa yang melahirkan wajah modernitas seperti itu. Kurang

lebihnya, penelusuran ini semoga dapat menerangi otoritas mana yang membangun

legitimasi atas imajinasi masyarakat modern semacam itu.

A. Profesi: Representasi Intelektual Masa Kini

Judul sub-bab ini memang dengan sengaja saya pinjam dari istilah yang dilahirkan

oleh Edward Said dalam sekumpulan ceramahnya yang diterbitkan di bawah tajuk

Representations of the Intellectual108. Secara umum, ceramah Said tersebut

membahas bagaimana profesionalisme lahir sebagai bentuk representasi yang kerap

kali diambil dan digunakan oleh orang-orang yang dikategorikannya sebagai

intelektual. Di bagian awal, Said membagikan sejumlah definisi yang digunakan

beberapa pemikir untuk mendeskripsikan kriteria kategorisasi intelektual. Saya

akan bagikan secara ringkas agar impresi yang dijabarkan Said tertangkap.

Sebagai dasarnya, Said merujuk dua pemikir untuk membicarakan

kategorisasi intelektual, yakni Antonio Gramsci dan Julien Benda. Dalam definisi

Gramsci, kini semua orang yang bekerja di bidang apa pun serta pekerjaannya

melibatkan produksi dan distribusi pengetahuan adalah intelektual.109 Gramsci

108 Said, Edward. (1996). Representations of the Intellectual. New York: Vintage Books. 109 Ibid., hal. 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

107

membedakan intelektual menjadi dua jenis: (a) intelektual tradisional, yakni mereka

yang berada di domain yang sama dan melakukan pekerjaan yang cenderung tak

berubah sepanjang generasi (misalnya guru dan pemuka agama), dan (b) intelektual

organik, yakni mereka yang terafiliasi dengan dan dimanfaatkan oleh kelas atau

pihak tertentu demi mengelola kepentingan serta meraih kekuasaan dan kendali

yang lebih besar. Jenis yang kedua ini, dalam masyarakat, umumnya lebih aktif dan

bergejolak; mereka mengubah pola pikir secara terus-menerus.110

Konsep tentang intelektual yang diusung Gramsci terkesan lebih dekat dan

manusiawi ketimbang gagasan Benda. Oleh Julien Benda, intelektual didefinisikan

sebagai persona yang agak bersifat ilahiah, jumlahnya sedikit dan langka. Intelektual

adalah mereka yang menyampaikan kebenaran dan lewat kebenaran itu

membangun conscience (suara hati) manusia lainnya. Orang-orang ini melakukan

tugasnya bukan semata-mata untuk keperluan praktis, melainkan menemukan

kebahagiaannya sendiri dalam praktik kesenian dan pengetahuannya.111

Sederhananya, intelektual dalam definisi Benda selayaknya nabi. Ia bahkan tak

segan menyebutkan bahwa kebenaran yang disampaikan para intelektual ini

bersifat nonduniawi (atau dengan frasa yang lebih alkitabiah, “tidak berasal dari

dunia ini”). Kebenaran yang disampaikan itu dianggap mengusung nilai-nilai yang

berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebenaran yang tidak berpihak pada

kepentingan siapa pun, mengutuk praktik korup, melawan kekuasaan opresif, dan

membela yang lemah.112 Deskripsi ini melahirkan gagasan tentang intelektual yang

berbeda jauh dari penggambaran oleh Gramsci sebelumnya.

110 Ibid., hal. 4. 111 Ibid., hal. 4-5. 112 Ibid., hal. 6.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

108

Meneruskan pekerjaan kedua pemikir abad ke-19 tersebut, pemikir abad ke-

20 menunjukkan bahwa ada kecenderungan tertentu yang meliputi dunia

intelektual. Gramsci dan Benda secara umum mengesankan bahwa intelektual

terlibat langsung dalam praktik keseharian masyarakat dan segala sesuatu yang

mereka kerjakan juga menyertakan kepentingan umum semua orang (atau

setidaknya masyarakat di mana mereka tinggal dan berkarya). Dua pemikir abad ke-

20 yang selanjutnya dikutip Said, yakni Alvin Gouldner dan Michel Foucault,

mengutarakan tren bergesernya intelektual yang ‘universal’ ke arah intelektual yang

‘spesifik’. Istilah ini memang sangat umum dan berarti luas, namun dalam konteks

yang dijabarkan Said, kita bisa melihat apa yang persisnya dimaksud oleh keduanya.

Mengutip Said, dengan menyebut ‘intelektual spesifik’ Foucault merujuk pada

orang-orang yang hanya bergulat dalam satu disiplin saja, namun tetap mampu

mendayagunakan keahliannya. Saat ini, barangkali apa yang dikatakan Foucault

tersebut tak lagi terdengar aneh di telinga kita. Seseorang yang mendalami suatu

disiplin ilmu diasumsikan semakin ahli dan biasanya semakin besar otoritasnya

dalam bidang tersebut. Situasi serupa juga digambarkan Gouldner dengan

menyatakan bahwa intelektual adalah kelas baru dalam masyarakat abad ke-20.

Jumlah dan (mungkin) signifikansinya bahkan mengungguli kelas pemilik modal.

Seiring dengan naiknya peran mereka di masyarakat, ternyata intelektual malah

tidak lagi banyak mendedikasikan kerja mereka untuk publik luas, melainkan

menyempitkan lingkarannya, salah satunya lewat bahasa. Para intelektual ‘spesifik’

ini berkomunikasi dengan sesamanya dengan bahasa yang amat khusus dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

109

terkadang hanya dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Dengan demikian, akses

kelompok lain terhadap kelas intelektual jadi terbatas.113

Kecenderungan umum dalam kelas intelektual abad ke-20 ini saya angkat

karena kedekatan topiknya dengan pembahasan dalam bab 3. Objek penelitian saya,

sepuluh buku cerita anak seri pengenalan profesi, ternyata beresonansi dengan tren

ini: profesionalisme. Percakapan tentang cita-cita, sebagaimana saya deskripsikan

dalam pengantar bab 3, memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam masa

tumbuh kembang semasa kanak-kanak, entah itu sebagai gurauan saja maupun

motivasi/ambisi sungguh-sungguh yang dikejar di kemudian hari. Menariknya,

pertanyaan tentang cita-cita kerap kali dijawab dengan nama pekerjaan, khususnya

lagi yang bersifat profesional. Tak lazim jadinya kalau seorang anak menyatakan

cita-citanya dalam bentuk kehendak yang abstrak, meskipun dengan melongok

definisinya, kata ‘cita-cita’ sebenarnya bisa mengakomodasi hal itu.

Buku-buku cerita anak yang memuat konten pengenalan profesi juga bukan

hal asing dalam dunia bacaan anak. Di banyak negara, bentuk buku seperti ini jamak

terlihat dengan pilihan narasi dan intensi penulisan yang tentunya bisa beragam.

Artinya, profesi yang dihadirkan sebagai gagasan tentang pekerjaan yang dilakukan

manusia demi memperoleh penghidupan lewat mekanisme kerja dan pembayaran

upah tertentu adalah citra umum yang jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan

masyarakat modern. Tren ini berlaku massal dan global.

Dengan menjadi salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat yang berlaku

hampir universal ini, profesi (dan profesionalisme) sudah barang tentu kerap

diamini begitu saja sebagai sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, Said menentang

kecenderungan umum ini dalam konteks representasi intelektual. Untuk melawan—

113 Ibid., hal. 9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

110

atau barangkali mengusulkan alternatif bagi—gerakan besar ini, Said membawa ide

‘amatirisme’ ke muka. Ia menghadap-hadapkannya secara langsung dengan

profesionalisme. Alih-alih melakukan pekerjaan sebagai moda utama dalam

mengumpulkan nafkah, amatirisme mendorong seseorang (dalam konteks tulisan

Said secara khusus dialamatkan pada para intelektual) untuk melakukan sesuatu

dengan dasar “cinta dan kasih sayang, alih-alih profit dan spesialisasi pekerjaan

yang sempit dan egoistis”114.

Bagi Said, amatirisme dapat mentransformasi rutinitas profesional jadi lebih

hidup dan radikal. Seseorang (dalam konteks tulisan Said, intelektual) diharapkan

memiliki kesadaran kritis tentang mengapa pekerjaan ini perlu dilakukan, siapa

yang diuntungkan, dan bagaimana pekerjaan tersebut dapat terhubung kembali

dengan intensi diri dan pemikiran pribadinya.115 Alasan kuat lainnya yang membuat

Said mengusung tren alternatif ini adalah peluang yang dibawa amatirisme yang

memungkinkan seseorang berpikir dan berbicara dalam cakupan yang lebih luas

karena tidak terbatas pada satu karier profesional sempit saja.116

Tawaran amatirisme ini menggelitik saya. Di tengah gempuran dorongan

untuk jadi semakin ahli dalam satu bidang yang didalami, Said malah berupaya

membalik arus itu dan bermain-main dengan kata ‘amatir’. Selain melakukan

sesuatu atas dasar kesenangan, kata ‘amatir’ juga dapat berarti “orang yang

melakukan sesuatu dengan hasil yang kurang baik”117. Dalam konteks penelitian

saya, amatirisme mungkin tidak secara langsung relevan. Oleh karena itu, bukanlah

amatirisme yang akan saya jelajahi lebih lanjut pada bagian ini. Persisnya, kehadiran

amatirisme sebagai tren yang secara antonimi mengiringi gelombang besar

114 Ibid., hal. 82, diterjemahkan bebas oleh saya sendiri. 115 Ibid., hal. 83. 116 Ibid., hal. 88. 117 Lih. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/amatir, definisi 3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

111

profesionalisme menunjukkan bahwa ada masalah dalam profesionalisme sehingga

harus “dilawan” dengan gerakan lainnya.

Tulisan Said pulalah yang membantu saya memetakan jenis-jenis persoalan

dalam tubuh profesionalisme itu. Dengan bekal poin-poin sorotan itu, saya mencoba

meletakkan sejumlah wacana temuan dalam bab 3 di dalam percakapan yang sama.

Berikut saya coba elaborasi satu per satu.

A.1. Spesialisasi dan Keahlian

Pernyataan Gouldner dan Foucault yang disitir Said dalam bab pertama kumpulan

ceramahnya telah mengawali keresahan tersebut. Kedua pemikir ini melihat bahwa

dorongan untuk membicarakan isu yang lebih luas dan melibatkan kemaslahatan

publik tampaknya tidak lagi jadi prioritas dalam dunia intelektual yang beranjak

mengerucutkan fokusnya pada ketertarikan atau keterampilan khusus masing-

masing. Said lebih lanjut mempersoalkan kecenderungan ini dengan memaparkan

sejumlah risiko yang dibawanya.

Dalam dunia pendidikan formal kita, semakin tinggi seseorang bersekolah,

biasanya semakin sempit dan dalam domain pengetahuannya. Di dunia kerja pun,

kompensasi yang diberikan kepada mereka yang memperoleh sertifikat atas

spesialisasi pekerjaan juga cenderung lebih tinggi. Para pelaku profesi harus

tersertifikasi oleh otoritas tertentu, bicara dengan bahasa tertentu yang sesuai

dengan bidangnya, dan memiliki teritori kerja yang jelas.118 Secara sekilas, tak ada

yang salah dengan itu. Namun, konsekuensi yang dipaparkan Said punya bunyi yang

perlu kita dengarkan pula.

118 Ibid., hal. 77.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

112

Spesialisasi, selain memperdalam dan membuat domain penguasaan

pengetahuan makin fokus, juga menimbulkan risiko hilangnya kesadaran seseorang

bahwa pengetahuan tersebut juga dikonstruksi oleh dan melalui disiplin lainnya.

Akibatnya, pengetahuan hanya diperlakukan sebagai teori atau metodologi semata.

Orang akan jadi “jinak” dan kehilangan daya dorong untuk menemukan kesenangan

dan terus melakukan pencarian dalam kerja-kerja yang dilakukannya. Alih-alih

demikian, ia akan jadi malas karena hanya berakhir melakukan apa yang disuruh

oleh orang dengan otoritas lebih tinggi dalam bidang itu.119 Saya tahu bahwa

kekhawatiran Said ini barangkali terdengar berlebihan, atau setidaknya pada

praktik belajar di institusi pendidikan formal, tidak semua ‘spesialis’ jadi pribadi

yang hilang kendali atas gairahnya sendiri dalam melakukan pekerjaan.

Dalam dunia kerja, spesialisasi ini muncul salah satunya dalam bentuk

pembagian kerja. Dengan sistem yang cenderung mapan, satu orang biasanya hanya

diperbolehkan melakukan satu jenis pekerjaan; dan dalam sistem ini, seluruh fungsi

mestinya saling mendukung. Hal ini tampak jelas dalam penggambaran profesi yang

dimuat dalam buku cerita anak objek penelitian saya. Tiap-tiap tokoh utama cerita

adalah pelaku profesi yang setiap harinya mengerjakan hal yang relatif sama dalam

konteks pekerjaannya. Di kantor, atau tempat kerja lainnya, mereka selalu punya

tim yang bekerja bersama dalam sistem dan alur tertentu. Tetapi, fungsi yang satu

dengan yang lain tidak boleh tumpang-tindih karena diasumsikan sudah ada

pembagian kerja yang jelas.

Berbekal pembacaan mendalam yang saya paparkan dalam bab 3,

kekhawatiran Said tentang tekanan yang ditimbulkan oleh spesialisasi dalam dunia

profesional mewujud dalam idealisasi pelaku profesi dan tendensi untuk jadi

119 Ibid., hal. 77.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

113

individualistis. Oleh karena pembagian kerja yang amat spesifik, dengan serentetan

kualifikasi khusus yang diperlukan untuk pekerjaan itu (yang umumnya mencakup

riwayat pendidikan formal tertentu), asumsi bahwa ada karakteristik tertentu yang

identik dengan dan semestinya dimiliki oleh pelaku profesi tersebut makin kentara

(misalnya, perawat mesti lembut dan keibuan; tentara harus tegas dan berfisik

sehat). Dalam praktiknya pun, sejumlah profesi tersebut punya prosedur tetap yang

umumnya tidak memungkinkan seseorang mangkir dari tugasnya dan

mengharapkan praktik kerja standar. Inilah yang dimaksud Said sebagai hilangnya

kreativitas dalam bekerja dan hanya mendengarkan perintah atasan.

Dalam bentuk yang lain, spesialisasi pekerjaan dalam sepuluh buku cerita

anak tersebut dihadirkan sebagai percakapan sentral. Pilihan intensi penulisan

semacam ini menimbulkan konsekuensi lahirnya karakter yang cenderung tampak

individualistis dalam pekerjaannya. Cerita selalu berpusat pada diri tokoh utama

dan pekerjaan yang dilakoninya, namun hanya ada sedikit sekali ruang yang

diberikan untuk tokoh lain sesama rekan kerja. Akibatnya, segala pekerjaan tampak

diselesaikan oleh tokoh utama seorang. Semua keberhasilan diklaim olehnya.

Dukungan lain yang secara logis mestinya diberikan oleh rekan kerja yang lain

diluputkan dari penceritaan.

Secara umum, dorongan untuk makin spesifik dan tersertifikasi dalam dunia

kerja mengarahkan preferensi masyarakat ke sektor formal. Alasannya, sektor inilah

yang menuntut sekaligus mengakomodasi sistem yang demikian. Kewajiban warga

negara untuk menempuh pendidikan formal, persyaratan kualifikasi khusus untuk

melamar pekerjaan atau menempati posisi tertentu, pemisahan kerja yang cukup

tegas adalah beberapa elemen yang makin mewajarkan imajinasi tentang pekerjaan

profesional. Kita menerimanya begitu saja sebagai ‘seolah-olah’ keniscayaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

114

Sayangnya, sistem ini makin meminggirkan struktur yang relatif lebih

tradisional, yang tidak seketat itu dalam kualifikasi kerja dan tidak mewajibkan

sertifikasi formal oleh otoritas tertentu. Pembahasan dalam bab 3 telah sedikit

menunjukkan bagaimana pekerjaan di sektor tradisional direpresentasikan dengan

cara yang sama sekali berbeda dari pekerjaan di sektor formal. Secara vulgar,

pekerja sektor tradisional (diwakili oleh profesi petani, peternak, dan nelayan)

digambarkan sebagai masyarakat dengan struktur sederhana yang tinggal di

wilayah rural. Tidak seorang pun diceritakan menempuh pendidikan formal apa pun

untuk melakoni pekerjaan tersebut. Mereka bahkan diposisikan sebagai karakter

yang bukan bagian dari tokoh utama anak sekaligus narator cerita. Orang-orang di

sektor tradisional ini dipotret dengan mata yang terkagum-kagum justru karena

amat terasing dari asumsi kehidupan wajar yang dimiliki tokoh utama anak tersebut

di kota, bukan karena keahlian dan kecekatan mereka dalam bekerja.

A.2. Bahasa, Keberpihakan, dan Hilangnya Intensi Pribadi

Semua orang (dalam konteks tulisan Said, intelektual) lahir dari, ke, dan dalam

bahasa. Bahasa menjadi medium aktivitas intelektualnya.120 Intelektual umumnya

menggunakan bahasa nasionalnya untuk mengemukakan pikirannya demi

kenyamanan, keakraban, serta ekspresi suara dan perspektif yang sangat khas

dirinya. Masalahnya, bahasa nasional yang ada berfungsi untuk, salah satunya,

melanggengkan status quo dan menjaga agar tidak ada yang berubah atau

dipertanyakan.121 Mengantisipasi tendensi itu, Said menganjurkan agar perlu ada

120 Ibid., hal. 27. 121 Ibid., hal. 27. Said juga menambahkan bahwa bahasa nasional punya rasa makna khusus untuk kata/konsep ‘kita’/’kami’ (dalam tulisan versi bahasa Inggris, ‘we’ dan ‘us’) yang sangat spesifik dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

115

kesadaran bahwa bahasa nasional tidak bisa serta-merta dipakai mentah-mentah,

melainkan harus diapropriasi.122

Mengapa bahasa nasional ini jadi bahasan penting dalam representasi

intelektual yang dibicarakan Said? Ia merujuk pada argumen Matthew Arnold

tentang identitas nasional atau diri dan sepakat bahwa salah satu tugas intelektual

adalah membuat warga bangsa makin merasakan identitas bersama. Said

menengarai bahwa argumen Arnold tersebut berlandaskan sebuah kekhawatiran

bahwa semakin demokratis suatu masyarakat, makin susah mereka diatur. Maka,

intelektual perlu membantu masyarakat untuk meredam gesekan dan menunjukkan

cara hidup berbangsa yang semestinya. Hal ini sejalan dengan gagasan Said bahwa

tugas lain yang mesti diemban intelektual adalah ‘menguniversalisasi krisis’. Secara

sederhana, ia mencoba mengangkat lagi konsep tentang intelektual ‘universal’ yang

pernah dibicarakan Foucault. Apa yang direpresentasikan intelektual semestinya

bertaut langsung dengan kepentingan umum yang lebih luas, agar jadi perhatian

bersama yang lebih besar.123

Persoalan ini merupakan salah satu topik yang berulang-ulang disentil Said

dalam sekujur tulisannya: keberpihakan. Ia percaya bahwa intelektual mestinya

mewakili, berbicara, dan menyampaikan suara masyarakat, utamanya yang

termarginalkan. Demi melakukan ini, intelektual perlu kritis terhadap norma mapan

yang ada yang kerap kali sangat kental berpihak pada kelas dominan dan bersifat

kaitannya dengan memelihara konsepsi bersama tentang itu. Kosakata ini siap pakai dan amat populer. Sementara, bagi Said, intelektual semestinya menunjukkan bahwa identitas kolektif/nasional bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan dikonstruksi sedemikian rupa dan memiliki sejarah perjuangan tersendiri di baliknya (lih. ibid., hal. 32). 122 Ibid., hal. 33. 123 Ibid., hal. 44.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

116

selalu ingin menang, berkuasa, serta menuntut kesetiaan dan kepatuhan (pada

negara/bangsa, pen.).124

Saya akan coba letakkan tekanan kedua ini dalam konteks narasi buku cerita

anak yang saya teliti. Di bab sebelumnya, saya memaparkan bahwa dalam sepuluh

buku cerita tersebut terkandung wacana yang relatif kalah dominan jika

dibandingkan dengan wacana modernitas, yakni negara dan nasionalisme. Negara

hadir lewat serangkaian regulasi yang perlu dipatuhi oleh semua pelaku profesi

yang diceritakan, baik mereka yang bekerja di institusi formal milik negara

(ilmuwan, jaksa, pengacara, tentara, presiden, astronaut) maupun di ragam institusi

lainnya (dokter gigi, perawat, sutradara, akuntan). Izin operasional dan setumpuk

prosedur juga jadi bagian tak terpisahkan dalam praktik kerja sektor formal

tersebut. Secara faktual, sebagian dari regulasi itu memang ditujukan untuk

melindungi hak individu maupun kolektif pekerja. Di sisi lain, hal ini juga

menyuratkan tuntutan untuk patuh dan tidak melangkahi sistem yang berlaku.

Dalam narasi beberapa profesi tertentu, kelangsungan negara bahkan bisa

hadir sebagai visi besar yang ingin dicapai dalam melakukan pekerjaan, misalnya

sebagaimana kita lihat dalam kisah Presiden dan Tentara. Dalam dua profesi ini,

tokoh utama dalam cerita meletakkan kepentingan negara mendahului kepentingan

pribadi mereka. Situasi serupa juga tergambarkan dalam tiga kisah profesi lainnya,

yakni Pengacara, Jaksa, dan Ilmuwan. Ketiganya secara rutin juga bersinggungan

dengan institusi negara (pengadilan dan badan konservasi lingkungan). Meski

demikian, artikulasi visi mereka dalam pekerjaan tidak semata-mata berorientasi

pada kelangsungan negara. Justru dalam aspek tertentu, tiga tokoh pelaku profesi ini

124 Ibid., hal. 36, 43.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

117

berhasil menautkan intensi pribadinya dengan visi yang lebih luas dan melibatkan

kemaslahatan publik sebagaimana yang diharapkan Said.

Di penghujung kisah Pengacara dan Jaksa, keduanya mengutarakan niat

pribadi untuk terus bekerja keras menegakkan keadilan di tengah masyarakat.

Sebagai orang yang terlibat langsung dalam praktik peradilan negara, keduanya

digambarkan mampu memosisikan diri sebagai individu yang memiliki kesadaran

akan keadilan, dan bukan semata-mata menjalankan tugas proseduralnya. Bu Silvi

sang tokoh ilmuwan pun demikian. Pekerjaannya dipersepsinya sebagai cara untuk

memberi sumbangsih pada kehidupan masyarakat yang lebih baik. Ia terus

melakukan penelitian dan mendorong sikap dan kebijakan yang menaruh perhatian

lebih pada kelestarian alam dan signifikansinya pada kelangsungan hidup

masyarakat Indonesia.

Meski demikian, narasi ketiga profesi itu mengasumsikan penyelenggaraan

negara yang ideal sehingga dalam proses menyelesaikan tugas demi keadilan dan

mencapai situasi hidup yang lebih layak tidak melibatkan gesekan apa pun dengan

regulasi negara. Tokoh jaksa misalnya, tidak mempersoalkan sistem korup yang

memungkinkan terjadinya kasus penggelapan dana bantuan untuk masyarakat

miskin yang ditanganinya itu. Terdakwa diposisikan sebagai oknum terpisah yang

seakan-akan bekerja sendiri, atas niat buruknya sendiri, melanggar aturan hukum

yang berlaku. Tokoh ilmuwan juga tidak memproblematisasi situasi pembukaan

lahan besar-besaran yang juga dieksekusi atas izin pemerintah (baik untuk

kepentingan industri perkebunan, maupun agenda pembangunan lainnya).

Fenomena pembalakan hutan dikisahkan sebagai praktik pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh masyarakat awam yang seakan-akan bebas dari campur tangan

pemerintah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

118

Dalam pemahaman saya, persisnya persoalan inilah yang membahasakan

kekhawatiran Said tentang risiko yang ditimbulkan oleh bahasa yang sebenarnya

telah dikooptasi untuk kepentingan status quo, atau dalam hal ini penguasa

dominan. Berkurangnya kemampuan intelektual dalam mengenali bahasa tersebut

dan mengapropriasinya untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat luas

membuatnya kurang kritis terhadap regulasi mapan kelas dominan.

Sementara itu, karakteristik profesionalisme yang digambarkan dalam

sepuluh buku cerita anak ini juga menampakkan paradoks. Di bab 3 dan sub-bab

sebelumnya tentang spesialisasi pekerjaan, salah satu karakteristik yang muncul ke

permukaan adalah individualisasi. Tiap-tiap orang terasa makin terpisah dari

sesama rekan kerjanya dan mengupayakan keberhasilan tunggal untuk dirinya.

Tetapi, di saat yang bersamaan, aktivitas kerja seakan-akan menyamaratakan visi

tiap orang dan hampir meniadakan tujuan pribadi tiap individu. Ada tujuan tunggal

yang dipasang sebagai sasaran pencapaian itu, entah itu kelangsungan negara,

profit, dan lain sebagainya. Dalam situasi demikian, tokoh pelaku profesi terasa jadi

hambar sebab seperti tidak punya semangat individual yang mendorongnya

bertahan melakukan pekerjaan itu.

Deskripsi mengenai detail-detail pekerjaan yang dikategorikan dalam dua

kutub, modern dan tradisional, juga tampak membangun preferensi tertentu. Buku

cerita anak “seri profesi idamanku” memotret situasi kerja yang relatif aman dan

tanpa tantangan besar, kecuali mungkin dalam kisah Tentara. Kestabilan dan

ketiadaan kendala yang berarti ditempatkan sebagai kewajaran dalam dunia kerja

sektor formal. Sementara di lain pihak, kisah Petani, Nelayan, dan Peternak

menampilkan kerja-kerja fisik yang diasumsikan lebih keras, kotor, dan secara

umum tidak mengenakkan. Tiap karakter anak yang menghabiskan hari bersama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

119

ketiga pekerja tradisional ini, di akhir cerita, dinasihati untuk selalu menghargai

kerja keras tersebut. Penghargaan ini diberikan sebagai sesuatu yang menjaga

mereka agar tetap terpisah dari realitas kerja tradisional. Secara tak langsung,

petani, nelayan, dan peternak ini diletakkan di posisi yang lebih rendah. Biar

bagaimanapun, anak-anak yang datang dari kota ini semacamnya dikisahkan tetap

ingin jadi bagian dari kelas sosial mereka dengan imajinasi cita-cita yang cenderung

sejalan dengan buku cerita seri profesi idaman.

Apa yang sebenarnya dibawa oleh kecenderungan profesionalisme ini? Selain

beberapa problem yang saya pilih untuk soroti pada bagian ini, beberapa elemen

yang kentara muncul dalam deskripsi cita-cita idaman di buku cerita anak ini

mengisyaratkan persoalan lain yang lebih luas. Pada bagian selanjutnya, saya akan

coba memeriksa lapis berikutnya dari fenomena ini untuk mencari tahu imajinasi

umum apa yang sesungguhnya menaungi tendensi profesionalisme ini.

B. Modernitas dan HAM: Wajah Baru Wacana Pemberadaban

Penelusuran pada bagian ini secara erat mengaitkan dua wacana utama yang

muncul dalam narasi buku cerita anak seri pengenalan profesi, sebagaimana telah

dijabarkan dalam bab 3. Secara ringkas, dua wacana utama tersebut adalah

modernitas dan nasionalisme (negara). Kemunculannya bukanlah sebagai dua hal

terpisah. Keduanya saling berjalin dan menjadi wajah satu gagasan penting yang

memayunginya. Untuk mengurai peran keduanya, saya meminjam konsep “standar

pemberadaban” (standards of civilization) kontemporer yang dirangkum dan

disusun ulang oleh Brett Bowden. Dari penelusurannya, Bowden mengajukan

argumentasi bahwa setidaknya ada dua standar yang kini menggantikan versi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

120

wacana misi pemberadaban klasik (kolonialisme), yakni standar modernitas

(standards of modernity) dan standar hak asasi manusia (standards of human

rights)125.

Ada beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi dari (atau juga

mengidentifikasi) wajah baru standar pemberadaban. Bowden menyitir poin-poin

yang disebut David Fidler sebagai “standar pemberadaban global liberal”126.

Karakteristik tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Penghargaan terhadap hak sipil dan politik yang asasi.

b. Penghargaan terhadap pentingnya masyarakat sipil dalam politik baik

dalam maupun luar negeri.

c. Komitmen pada tata kelola pemerintahan yang demokratis.

d. Komitmen pada “peraturan perundang-undangan” baik di dalam

maupun luar negeri.

e. Komitmen pada ekonomi pasar bebas di ranah domestik serta pada

perdagangan bebas dan investasi di ranah internasional.

f. Komitmen pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam menanggapi tantangan politik, hukum, ekonomi, dan

sosial.127

Poin-poin di atas adalah turunan dari gagasan tentang modernitas, HAM, dan

demokrasi yang berpilin jadi satu. Sebagian besar, utamanya yang terkait HAM dan

pengembangan pengetahuan, ditujukan untuk mencapai perbaikan kualitas hidup

125 Bowden, op. cit. 126 Fidler, David P. (2000). “A Kinder, Gentler System of Capitulations? International Law, Structural Adjustment Policies, and the Standard of Liberal, Globalized Civilization” dalam Texas International Law Journal 35, no. 3, hal. 187-413. 127 Bowden, op. cit., hal. 174. Terjemahan oleh saya sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

121

manusia. Secara lebih terperinci, Bowden mengutip John Rawls yang menekankan

bahwa hak asasi manusia adalah kategori hak khusus yang diberlakukan secara

universal dan—salah satu karakteristik pembedanya—memiliki intensi umum yang

kecil sekali kemungkinannya bersifat kontroversial, atau dengan kata lain nyaris

berterima secara luas oleh siapa pun dalam situasi apa pun.128 Demokrasi sendiri

saat ini tampil sebagai preferensi ideal sistem politik negara, khususnya setelah

dikomparasi dengan pengalaman otoritarianisme atau feodalisme yang umumnya

tak lebih mengenakkan.

Persoalannya, isu HAM dan demokrasi ini dikooptasi oleh wacana kolonial

masa kini. Premisnya masih sama: negara-negara di belahan Barat telah berhasil

mengaplikasikan demokrasi dan sistem hukum yang lebih adil, mengakui dan

melindungi hak asasi manusia, serta memanfaatkan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan meningkatkan kualitas hidup

manusia. Sementara itu, negara-negara di belahan bumi lain belum berhasil

melakukannya. Oleh karena itu, Barat merasa perlu menuntun masyarakat lain yang

mereka anggap belum seadil dan semodern mereka untuk mencapai standar-

standar tersebut. Lagi-lagi, landasan berpikir macam ini digunakan sebagai

legitimasi untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan bangsa lain. Kali ini,

dengan menggodoknya jadi satu ramuan: proyek modernisasi, demokratisasi, dan

bahkan pengaturan kebijakan agar membuka akses bagi pasar bebas dan investasi

asing.

Dalam konteks penelitian ini, saya ingin memeriksa beberapa hal yang terkait

dengan elemen wacana pemberadaban kontemporer itu. Setidaknya, ada dua hal

128 Ibid., hal. 169.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

122

yang telah muncul ke permukaan berdasarkan pembahasan di bab 3, yakni

pembicaraan tentang modernitas dan nasionalisme yang dihadirkan dalam buku

cerita anak seri pengenalan profesi ini. Untuk menjabarkannya dengan lebih

terperinci, pembahasan akan saya bagi jadi dua bagian yang masing-masing

menyoroti karakteristik standar pemberadaban versi Fidler di atas. Setelahnya, saya

akan berupaya menyimpulkan apa peran karakteristik ini dalam membangun narasi

dominan dalam percakapan tentang profesi idaman.

B.1. Orientasi pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Karakteristik ini barangkali jadi yang paling dominan muncul dalam buku cerita

anak seri pengenalan profesi. Setidaknya delapan dari sepuluh buku yang saya baca

secara mendalam menampilkan interaksi langsung para pelaku profesi dengan hasil

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerja harian mereka. Dua

profesi yang terkecualikan itu adalah Jaksa dan Pengacara, yang lebih menonjol

dalam karakteristik bagian kedua.

Meski menjadi topik yang hadir secara cenderung universal, delapan cerita itu

memosisikan teknologi secara berbeda. Tujuh cerita lainnya membahasakan

teknologi sebagai elemen yang relatif akrab dan nyaris diterima sebagai kewajaran

saja. Sutradara bekerja dengan berbagai alat canggih untuk produksi film. Tentara

memanfaatkan teknologi persenjataan dan perang dalam menjalankan tugasnya.

Dua profesi di bidang medis, Perawat dan Dokter Gigi, tentunya bekerja dengan

beragam alat bantu medis yang dihasilkan dari kerja panjang pengembangan

teknologi kedokteran. Berbagai macam operasi yang rumit dan canggih beserta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

123

seperangkat alat penunjang untuk menjaga keselamatan pasien dimungkinkan dan

bahkan disebarluaskan secara massal demi meningkatkan kualitas hidup manusia.

Terkait pengembangan ilmu pengetahuan secara spesifik, profesi Ilmuwan

punya peran tersendiri. Pekerjaannya sangat berhubungan erat dengan iklim

disiplin keilmuan biologi yang mengupayakan pengembangan terus-menerus demi

kelangsungan alam yang lestari. Profesi Akuntan pun pada penggambarannya hanya

mampu melayani kepentingan pengusaha yang berada dalam ekosistem ekonomi

yang lebih kompleks. Pedagang sayur atau pegiat usaha kecil menengah (UKM) tidak

dimungkinkan hadir dalam narasi kerja profesional akuntan sebab jumlah

perputaran modalnya, sistem administrasi keuangannya, serta sejumlah elemen lain

belum menuntut peran akuntan. Maka, klien dalam kisah Akuntan ialah para

pengusaha bermodal besar yang mengelola unit usaha berlaba besar pula.

Selain di ranah praktik dan terapan langsung, ilmu pengetahuan dan teknologi

juga menjadi unsur yang terintegrasi dalam visi penyelenggaraan negara. Di kisah

Presiden, negara yang datang berkunjung ke Indonesia adalah Jepang, negara yang

memimpin gerakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Asia. Para

pemimpin politik kedua negara tersebut tak luput membicarakan topik ini dalam

pertemuan mereka, lewat rencana pertukaran pelajar dan sebagainya.

Hanya ada satu cerita yang masih memotret kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan nada kagum, yakni kisah si Astronaut. Berbagai alat rumit dan

canggih yang namanya kadang masih asing bertaburan di sepanjang cerita dan

disertakan dalam glosarium di bagian akhir buku. Narasi kagum ini sesungguhnya

tak mengherankan. Sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam bab 3, menjadi

astronaut di Indonesia masih terbilang mustahil hingga saat ini karena infrastruktur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

124

administratifnya (dan tentu teknologinya) belum memungkinkan. Maka, sementara

ini, cerita tentang astronaut baru bisa dibaca sebagai pengandaian. Berbeda dengan

tujuh profesi lainnya yang sungguh-sungguh ada dalam dunia kerja Indonesia.

Teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan dalam pekerjaan mereka

cenderung kasatmata dan lazim dikenal masyarakat.

Percakapan terkait delapan cerita profesi ini sejalan dengan argumen Bowden

yang menunjukkan mengapa standar modernitas berpotensi besar menggantikan

standar pemberadaban klasik. Dua kemungkinan bentuk modernitas yang

dibahasnya hadir dalam cerita anak yang saya teliti. Pertama, mendukung asumsi

bahwa hukum sains yang berlaku universal menjadi landasan kokoh bagi kosmologi

rasional yang akan membawa ‘berkat kemajuan peradaban’ bagi semua orang.

Kedua, modernitas dapat hadir dalam bentuk budaya kosmopolitan kontemporer

yang mengamini adanya nilai, norma moral, dan pengalaman bersama lintas

kebudayaan.129 Mari kita lihat manifestasinya dalam narasi cerita anak tersebut.

Bentuk pertama dengan jelas terlihat dalam kerja profesi tenaga medis dan

ilmuwan seperti dijelaskan di atas. Signifikansi utama pengembangan ilmu

pengetahuan sangat berkaitan dengan standar atau kualitas hidup manusia yang

diupayakan dapat dinikmati secara universal. Terapannya secara langsung tertuju

pada isu kesehatan, gizi, dan sejumlah elemen lain di sekitarnya. Pengembangan

teknologi medis sudah jelas berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup manusia

(meski tentu saja ada persoalan privilese kelas tertentu yang bisa mengakses lebih

banyak). Sementara dalam kerja ilmuwan, kontribusi ilmu pengetahuan itu

dihadirkan lewat tujuan luhur memelihara kelangsungan alam dan lingkungan

129 Ibid., hal. 167.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

125

hidup yang eksis bersama manusia. Tujuan ini juga mengasumsikan bahwa ada

kehidupan bersama umat manusia yang perlu dilindungi keberlangsungannya.

Gelagat ini ditunjukkan lewat penyebutan fungsi hutan Kalimantan sebagai paru-

paru dunia. Menjaga hutan ini berarti turut menjaga kehidupan bersama manusia

lainnya di penjuru lain dunia.

B.2. Keadilan dan Hukum di Negara Demokrasi

Karakteristik ini tampak kentara dalam kisah Jaksa dan Pengacara. Keduanya secara

langsung bertugas dan bekerja di sektor penegakan hukum. Sebagaimana telah

ditampilkan dalam pembahasan di bab 3, kisah kedua profesi ini dengan cukup kuat

menonjolkan adanya kesadaran individual akan pentingnya kepatuhan terhadap

hukum dan tegaknya keadilan di masyarakat. Meski fokus cerita tetap tertuju pada

detail-detail langkah kerja keduanya, kisah Jaksa dan Pengacara memosisikan

karakter utamanya sebagai manusia yang secara pribadi menginginkan hukum

diterapkan secara adil bagi kepentingan bersama.

Narasi keberpihakan pada yang lemah dihadirkan dalam kisah Pengacara

lewat ekspresi empati tokoh Bu Hana yang tertuju pada kliennya, Nenek Ara.

Sementara dalam kisah Jaksa, narasi semacam ini tidak secara eksplisit dinyatakan,

tetapi tetap terlihat melalui jenis kesalahan terdakwa yang dituntut oleh Pak Haris

itu, yakni menggelapkan dana bantuan untuk rakyat miskin. Kedua kasus hukum

yang mereka tangani melibatkan kecurangan yang merugikan masyarakat miskin

dan awam hukum. Tentunya, kedua kisah ini merupakan bentuk idealisasi,

mengandaikan sistem hukum yang sempurna dan dengan demikian pelaksanaannya

akan senantiasa berpihak pada kebenaran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

126

Perlakuan sama di hadapan hukum merupakan salah satu hak yang tercantum

dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human

Rights) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1948. Demikian pula dengan

hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika menjadi korban pelanggaran. Dan

perlindungan terhadap HAM, menurut John Rawls yang dikutip Bowden, merupakan

salah satu syarat minimal yang wajib dipenuhi negara agar dapat diakui sebagai

anggota penuh dalam masyarakat internasional.

Selain penegakan hukum di meja pengadilan, salah satu elemen yang hampir

selalu ada dalam sistem negara adalah militer. “Profesi” ini pun tak luput dari jajaran

pekerjaan idaman, barangkali karena tawaran gengsi dan penghormatan yang

biasanya diberikan kepada anggota militer. Dalam pembahasan Bowden, militer

sendiri tidak bebas dari wacana pemberadaban kontemporer. Ia memperlawankan

militer yang “beradab” dengan “barbarisme”. Apa rupanya arti beradab dalam

konteks militer? Masyarakat beradab diasumsikan memiliki kapabilitas untuk

membela diri serta paham dan bersedia mematuhi tata cara perang yang “beradab”

(tapi, tetap saja perang). Pertentangan dengan barbarisme setidaknya

memperlihatkan imajinasi “perang beradab” yang dimaksudkan.

The “military horizon” was a figurative line drawn in the sand to distinguish “civilized” European warfare, which was supposedly organized, constrained, and chivalrous, from the chaotic nature of the undisciplined and opportunistic “primitive” warfare practived by savages and barbarians.130

Militer adalah armada perang yang diklaim mematuhi tata cara perang yang

“teratur, disiplin, dan bersifat ksatria”, dibedakan dari orang-orang praperadaban

yang diklaim berperang demi meladeni nafsu hewani saja. Militer berperang untuk

130 Ibid., hal. 179.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

127

membela diri dan mencapai perdamaian; orang barbar berperang untuk

menghancurkan. Saya sendiri tak tahan menulis kalimat barusan.

Pada kenyataannya, tentu saja perang tak pernah benar-benar membawa

perdamaian. Segudang peristiwa menunjukkan bagaimana militer menjadi

representasi barbarisme itu sendiri. Dan mengerikannya, tindakan barbar itu

dilakukan atas nama negara, yang mestinya melindungi hak asasi rakyatnya. Namun,

kisah Tentara dalam seri pengenalan profesi menarasikan versi ideal tersebut.

Tokoh Kak Riga si tentara selalu menginginkan situasi di mana orang-orang dapat

bekerja dan beraktivitas dengan tenang, bebas dari ancaman. Ditambah lagi ketika ia

harus bertugas di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kak Riga dan rekan-rekan

tentaranya “menjalin hubungan baik dengan warga agar bisa saling membantu”.

Menariknya lagi, saat mendeskripsikan situasi bahwa di masing-masing sisi garis

perbatasan itu tentara kedua negara tinggal berdampingan, ilustrasi menunjukkan

tokoh Kak Riga dan seorang tentara Malaysia saling melambaikan tangan. Mereka

tampak bersahabat. Tetapi, jika situasi berubah jadi mengancam bagi salah satu

pihak, maka keduanya harus siap melawan satu sama lain.

* * *

Dua karakteristik umum di atas adalah elemen menonjol dalam buku cerita

objek penelitian saya yang memiliki keterkaitan erat dengan nilai modernitas dan

HAM yang disoroti Bowden sebagai wajah baru pemberadaban. Secara bersamaan,

wacana modernitas dan nasionalime dihadirkan sebagai dua hal yang sejalan dan

dapat diterapkan tanpa konflik. Akan tetapi, pada pembacaan yang lain, dua wacana

itu bisa saja penuh pertentangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

128

Modernitas yang hadir dalam buku-buku cerita anak seri pengenalan profesi

ini direpresentasikan lewat profesionalisme, peran ilmu pengetahuan dan teknologi

yang signifikan, serta fokus pada kemampuan individu. Modernitas siapakah ini?

Dalam rangkuman Bowden, jawabannya: modernitas yang dicapai lewat wacana

pembangunan ala Barat. Modernitas ini melibatkan proses transformasi dari

“tertinggal” (underdeveloped) menjadi maju (developed). Gagasan ini identik dengan

argumen wacana kolonial bahwa kemajuan dicapai lewat satu garis linier.

Transformasi ini meliputi bergesernya sumber daya minimal untuk bertahan hidup

(means of subsistence) yang tadinya tradisional (sandang, pangan, papan) ke arah

penerapan metode saintifik dalam hampir semua aspek kehidupan.131

Melihat kecenderungan ini, maka tak heran bahwa imajinasi pekerjaan

modern yang hadir dalam sepuluh buku cerita anak yang saya teliti mengandaikan

kontras yang kentara dengan tiga pekerjaan sektor tradisional dalam seri lainnya.

Petani, peternak, dan nelayan adalah orang-orang yang memproduksi sumber daya

bertahan hidup yang sifatnya tradisional. Mereka utamanya memproduksi pangan

bagi masyarakat luas. Sementara sepuluh cerita pelaku profesi yang lain tidak lagi

berkutat di sekitar pemenuhan kebutuhan dasar tradisional itu. Mereka berupaya

memenuhi standar modern lainnya, yakni taraf hidup yang lebih baik (lewat bidang

kesehatan dan lingkungan hidup), keamanan, keadilan, dan bahkan kesenian.

Standar modern ini tidaklah diimplementasikan secara individual atau dalam

kelompok kecil. Ia terlembagakan melalui negara. Negaralah salah satu pihak yang

turut membentuk imajinasi itu. Bowden sempat merangkum bahwa meski standar

ini dapat terus berubah, saat ini setidaknya ada beberapa prinsip yang menentukan

131 Ibid., hal. 172.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

129

keanggotaan penuh sebuah negara dalam masyarakat internasional yang terdiri atas

negara-negara beradab. Prinsip-prinsip tersebut meliputi hak asasi manusia dan

peraturan perundang-undangan, penerapan demokrasi perwakilan dalam tata

kelola pemerintahan, liberalisme ekonomi dan pasar bebas yang terbuka bagi

perdagangan internasional dan investasi asing, pluralisme agama dan budaya, serta

keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi.132

Pelembagaan modernitas lewat penyelenggaraan negara ini menunjukkan

bagaimana kedua wacana itu hadir dan beroperasi secara sinergis dalam kehidupan

masyarakat. Menariknya, sebagian besar elemen modernitas itu telah kita terima

begitu saja sebagai bagian keseharian dan bahkan tak jarang dianggap sebagai

sesuatu yang alamiah alih-alih bentukan. Situasi inilah yang barangkali membuat

penceritaan tentang struktur masyarakat yang lebih tradisional (misalnya dalam

konteks penelitian saya, kisah Petani, Nelayan, dan Peternak) sering kali disuguhkan

sebagai sesuatu yang cenderung “asing” atau langka. Respons terhadap yang asing

ini pun beragam, bisa jadi penolakan atau bahkan penghargaan yang sebenarnya

malah mempertegas pemisahan itu. Struktur tradisional mungkin dipotret dengan

penuh kekaguman karena dalam keseharian tidak dikenali sebagai kewajaran. Yang

wajar adalah menyelesaikan pendidikan formal dengan gemilang, bekerja di kantor,

meraih prestasi/penghargaan individual, dan hidup tenang.

Meski demikian, modernitas yang diadopsi dari standar ideal Barat ini

bukannya tak menyimpan persoalan dalam eksistensinya bersama nasionalisme.

Nasion atau negara bangsa itu sendiri memang salah satu produk modernitas. Meski

praktiknya dapat serupa satu sama lain, nasionalisme mengasumsikan adanya

132 Ibid., hal. 186.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

130

kepentingan spesifik tiap-tiap negara bangsa yang diperjuangkan lewat ideologi

tersebut. Paradoksnya, demi menjadi negara bangsa yang diterima di tengah

masyarakat internasional, ada penyeragaman standar yang harus dipenuhi tiap

negara bangsa. Dan, menurut Bowden, standar itu dikonstruksi dengan wacana

pembangunan ala Barat. Persoalan globalisasi standar pemberadaban ini membawa

implikasi tersendiri. Mengutip argumen Mehdi Mozaffari dalam tulisan Bowden,

globalisasi telah banyak memangkas perbedaan atau keragaman visi tentang dunia

(yang tentunya saling berkontestasi).133

Dalam konteks penelitian saya, kehadiran wacana modernitas dan

nasionalisme semacam ini menunjukkan bahwa buku-buku cerita anak seri

pengenalan profesi tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial masa kini.

Kisah-kisahnya membangun imajinasi tentang menjadi warga negara yang berhasil

memenuhi standar modernitas spesifik dengan mengedepankan peran individual

masing-masing orang. Dan dengan menjadi demikian, seseorang dapat menyumbang

kebanggaan tertentu, dalam taraf mana pun, terhadap upaya negara memenuhi

persyaratan menjadi warga dunia yang diterima.

Kebutuhan bertahan hidup di level tradisional, seperti pangan, sandang, dan

papan, diasumsikan senantiasa tersedia begitu saja. Struktur masyarakat dan

pekerjaan tradisional diasumsikan tetap ada, di wilayahnya sendiri, dan beroperasi

untuk terus menopang kebutuhan dasar manusia lainnya. Dan berkarya di sektor ini

bukanlah jadi idaman. Anak-anak pembaca buku-buku tersebut disodori bayangan

tentang cita-cita profesional yang melampaui tuntutan pemenuhan kebutuhan

133 Ibid., hal. 176. Argumen tersebut dikutip Bowden dari tulisan Mozaffari berjudul “The Transformationalist Perspective and the Rise of a Global Standard of Civilization” yang diterbitkan di jurnal International Relations of the Asia-Pacific I, no. 2 tahun 2001, halaman 247-264.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

131

dasar. Buah yang mesti dipetik digambarkan sebagai kebanggaan, prestasi kerja,

keadilan, kelangsungan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

C. Anak Indonesia yang Modern

Setelah sedikit mengelaborasi bagaimana narasi cerita anak tentang pengenalan

profesi membawa wacana modernitas dan nasionalisme, pada bagian ini saya ingin

merangkum sejumlah kerumitan yang ikut serta bercampur di dalamnya.

Pembacaan ini harapannya menerangi jalan saya untuk membayangkan, kira-kira

subjek anak seperti apa yang ingin dibentuk melalui narasi semacam itu.

Giroux dalam paparannya mengenai pedagogi publik mengajak kita untuk

menaruh perhatian yang sama besarnya pada peran aparatus budaya yang

beroperasi di sekitar kehidupan kita. Dalam konteks penelitian saya, aparatus

budaya yang tengah saya perhatikan dan coba dalami adalah buku cerita anak di

Indonesia, utamanya yang membicarakan cita-cita atau pekerjaan idaman. Narasi

seperti ini terbilang cukup jamak adanya dan dihadirkan dalam beragam rupa

lainnya pula, misalnya iklan televisi, materi pelajaran di buku paket sekolah, produk

audiovisual populer seperti sinetron atau film, dan lain sebagainya. Buku cerita anak

adalah salah satu bagian dari semesta itu.

Secara sederhana, pendekatan yang diusulkan Giroux mengasah kemampuan

kita untuk “menaruh curiga” pada beberapa hal yang tampaknya diterima begitu

saja selama ini. Selalu ada otoritas pengetahuan yang bekerja di baliknya.

Kemampuan kritis untuk mengenali otoritas itu dan cara ia membahasakan

gagasannya lewat aparatus budaya adalah kunci dari semangat pendidikan kritis.

Dalam penelitian ini, saya berusaha mengorek lapis-lapis percakapan yang secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

132

inheren ternyata ikut hadir dalam pembicaraan mengenai cita-cita pekerjaan di

dunia anak-anak Indonesia. Keinginan menjadi dokter, pilot, astronaut, insinyur, dan

berbagai pekerja modern lainnya ternyata bukan sesuatu yang lahir begitu saja.

Nama-nama ini adalah bahasa yang mewakili otoritas pengetahuan yang beroperasi

di belakangnya.

Pembahasan dalam bab 3 menunjukkan beberapa elemen penting yang

muncul dalam buku cerita pengenalan profesi itu. Para tokoh orang dewasa yang

bekerja di dunia profesional ini menampilkan sosok yang mandiri, mampu

membereskan persoalan sendiri, profesional dalam bekerja, berorientasi pada

kebenaran dan kemaslahatan publik, serta bahkan menyumbangkan kebanggaan

bagi negara dan bangsa.

Selanjutnya, dua sub-bab pertama yang saya bagikan di bab 4 ini berusaha

melihat lebih jauh, suara siapa sebenarnya yang tengah berbicara lewat narasi

menjadi profesional itu. Pencarian dengan pendekatan pascakolonial menunjukkan

bahwa percakapan tentang pekerjaan modern itu berpangkal pada bentuk baru

wacana pemberadaban masa kini. Dari perspektif wacana kolonial, Indonesia

dengan sejarah penjajahannya tentulah jadi bagian dari “the rest” dalam istilah “the

West and the rest”. Secara de jure, Indonesia memang telah diakui sebagai negara

yang berdaulat. Akan tetapi, ada narasi implisit yang terkandung dalam buku cerita

anak yang saya dalami terkait posisi Indonesia di peta relasi kuasa global.

Dengan mengacu pada standar pemberadaban baru yang dituturkan oleh

Bowden, wacana kolonial pada umumnya menempatkan negara jajahan (atau bekas

jajahan, atau negara-negara non-Barat pada umumnya) sebagai masyarakat yang

kurang maju, kurang demokratis, atau secara umum kurang modern. Pilihan buku

cerita pengenalan profesi ini untuk menggambarkan modernitas di dunia kerja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

133

Indonesia dengan begitu menonjol sebetulnya hadir sebagai ideal yang ingin dicapai.

Sebagaimana yang dijabarkan Bowden, modernitas yang dibayangkan itu hadir

bersama dengan ide tentang demokrasi, penghormatan terhadap HAM, serta

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam versi yang diidealisasi pula.

Indonesia yang diceritakan dalam buku-buku itu adalah Indonesia yang adil,

demokratis, dan modern. Sistem hukumnya relatif sempurna sehingga dapat

mengakomodasi keberpihakan kepada masyarakat lemah; narasi tentang sistem

pemerintahan yang korup hampir tak ada, sekalinya ada, oknumnya dihukum lewat

sistem peradilan yang sesuai. Indonesia pun tampil sebagai negara maju sebab

mampu mengintegrasikan pemanfaatan ilmu pengetahuan mutakhir dan teknologi

canggih dalam dunia kerja profesionalnya. Tak segan-segan, salah satu cerita bahkan

menampilkan sosok astronaut Indonesia yang berprestasi, mengesampingkan

sejumlah kendala yang sesungguhnya membuat profesi astronaut tak mungkin

dijalani saat ini. Dan hanya lewat fiksilah hal itu dimungkinkan.

Kehidupan Indonesia yang modern juga diletakkan sebagai latar umum dalam

sepuluh kisah itu. Setiap tokoh punya akses pendidikan yang memadai, sehingga

berhasil menyelesaikan pendidikan khusus yang menjadi syarat utama bergabung di

dunia kerja profesional. Masyarakat yang tradisional jarang dibicarakan, sesekali

hanya ditampilkan lewat ilustrasi, misalnya sebagai sekumpulan pedagang pasar

yang melatarbelakangi adegan Kak Riga sang tentara berangkat ke markas atau

sebagai warga sekitar perbatasan yang bahkan dengan stereotipikal digambarkan

mengenakan pakaian adat. Di kisah yang lain, ketika dibicarakan, warga masyarakat

yang hidup di struktur tradisional malah tampil sebagai subjek yang saling bertikai

dan seakan-akan tak berdaya di hadapan hukum. Penggambaran ini muncul di kisah

Pengacara yang menangani kasus tuduhan pencurian sekantong wortel. Kesannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

134

kasus yang amat remeh, namun karena keras kepalanya si penggugat, sampai harus

berujung ke meja pengadilan.

Semua pembicaraan ini mengandaikan pembaca anak yang akrab dengan

struktur masyarakat modern. Mereka barangkali tinggal di kota, punya akses

pengetahuan yang baik untuk belajar dan melakukan eksplorasi lainnya, serta

bersemangat dalam belajar, utamanya mempelajari sains dan teknologi. Kebutuhan

dasar dan pendidikan formal cenderung tidak lagi jadi masalah, masyarakat tampak

sejahtera. Lewat mata yang sama, konsekuensinya, kehidupan yang lebih tradisional

tampak sebagai sesuatu yang terpisah, namun bukan berarti tidak dapat diakses.

Justru interaksi dengan struktur tradisional inilah yang secara parsial

membahasakan premis wacana kolonial yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa

ada masyarakat yang inferior terhadap kelompok masyarakat yang lain. Dalam hal

ini, masyarakat desa jadi representasi mereka yang tertinggal. Sementara anak-anak

dari daerah urban modern adalah mereka yang “berhasil” mengupayakan gaya

hidup yang lebih maju, modern, dan demokratis. Anak-anak inilah yang bisa

menghasrati jenis-jenis pekerjaan profesional seperti yang ditampilkan dalam buku

cerita itu. Anak-anak semacam inilah yang mampu menyumbangkan kebanggaan

bagi Indonesia yang berhasil memenuhi standar pemberadaban baru itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

135

BAB V

KESIMPULAN

Dalam dunia pendidikan anak, buku bacaan adalah salah satu elemen penting.

Keluarga, sekolah awal, dan kelompok membaca merupakan beberapa unit

komunitas yang mendorong konsumsi bacaan di kalangan anak-anak. Dalam

kerangka pikir pedagogi publik Giroux, buku bacaan ini menjadi salah satu aparatus

budaya yang berinteraksi dengan anak serta menjadi instrumen pendidikan yang

signifikan. Dan tentunya, sebagai instrumen pendidikan, aparatus ini memiliki visi

tertentu yang dibagikan kepada anak melalui proses membaca.

Serangkaian pembahasan yang saya muat di tiga bab sebelumnya adalah

upaya untuk memeriksa bagaimana aparatus budaya tersebut bekerja di lingkungan

pembaca anak di Indonesia dan nilai-nilai apa yang dibawanya. Dari semesta bacaan

anak yang luas, saya memilih secara khusus buku cerita yang menampilkan

deskripsi tentang pekerjaan yang dilabeli sebagai profesi idaman. Konten

pengenalan kehidupan orang dewasa semacam ini merupakan salah satu konten

populer dalam bacaan anak. Buku cerita seri pengenalan profesi jadi bagian dari

percakapan luas tentang cita-cita yang juga tak asing beredar di kalangan anak-anak.

Secara ringkas, saya mendapati dua wacana dominan yang disuguhkan dalam

sepuluh buku cerita yang saya teliti, yakni modernitas dan nasionalisme. Keduanya

diimajinasikan sebagai beberapa nilai utama yang perlu dilihat, dikenali, dan

diperjuangkan oleh pembaca anak Indonesia. Aspek-aspek yang menjadi turunan

dua narasi besar itu meliputi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tren

individualisasi, dan kontras dengan pekerjaan di sektor tradisional. Nilai-nilai

modern ini pun terlembagakan dalam penyelenggaraan negara dengan penarasian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

136

yang memosisikan negara sebagai bagian inheren dalam aktivitas kerja profesional

itu. Dan hanya lewat kerja sektor formal itulah, seseorang punya kesempatan

memberi kontribusi yang membanggakan untuk bangsa.

Sebagaimana yang dipaparkan Giroux, pengetahuan yang didistribusikan ini

bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ada otoritas yang menyusunnya sedemikian

rupa dan situasi masyarakat tertentu yang memungkinkan pengetahuan semacam

itu lahir. Dalam konteks penelitian saya, otoritas yang secara langsung berkontribusi

pada dua narasi utama tersebut adalah wacana kolonial. Masyarakat pascakolonial

Indonesia pernah mengalami kolonialisme klasik sebelum kemerdekaan dan kini

wacana pemberadaban yang digunakan untuk melegitimasi keberadaan penjajahan

berganti wajah menjadi nilai-nilai tersebut. Modernitas, demokrasi, dan hak asasi

manusia adalah tiga isu utama yang kini mewakili suara wacana pemberadaban

kontemporer.

Lewat buku-buku cerita itu, anak Indonesia dideskripsikan sebagai individu

yang berhasil meniti garis imajiner penanda kemajuan itu. Indonesia yang hadir

dalam latarnya adalah Indonesia yang setara dengan negara maju lainnya: adil,

modern, dan demokratis. Hanya saja, narasi ini tetap tampak ambivalen. Alih-alih

mengasumsikan bangsanya sebagai pihak yang inferior terhadap Barat

(sebagaimana lazimnya dinyatakan dalam wacana pemberadaban), Indonesia yang

adil, modern, dan demokratis ini malah memakai kacamata yang sama untuk

memandang sesamanya, secara khusus struktur masyarakat tradisionalnya.

Indonesia yang ada dalam cerita itu memisahkan dua kutub: Indonesia modern dan

Indonesia tradisional. Masyarakat yang tradisional ini dijadikan representasi pihak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

137

yang belum maju, belum adil, dan belum demokratis, serta di saat bersamaan

menampilkan wajah Indonesia modern yang berhasil melampaui struktur pertama.

Sikap ini mungkin tampak lazim dalam masyarakat pascakolonial. Namun,

sikap yang berbeda sebenarnya pernah ditunjukkan oleh Ki Hadjar Dewantara

dalam gagasan kependidikannya di Taman Siswa. Ki Hadjar sendiri adalah sosok

yang mengalami dua fase penting dalam sejarah masyarakat pascakolonial

Indonesia: kolonialisme dan kemerdekaan. Ia bahkan menamai waktu-waktu ketika

ia bekerja itu sebagai zaman peralihan. Ki Hadjar jelas individu modern; ia produk

pendidikan formal yang saat itu belum dapat diakses bebas oleh semua warga

Hindia Belanda, para pemikir yang menginspirasinya juga datang dari Barat. Hal

yang menarik dari upaya dekolonisasi yang dikerjakannya adalah usaha apropriasi

dan reformulasi yang memungkinkan ia menempatkan nilai-nilai itu jadi lebih

kontekstual bagi situasi masyarakat Indonesia yang tengah berjuang menegakkan

kedaulatannya sebagai bangsa.

Ada perbedaan substansi yang signifikan pada cara Ki Hadjar menempatkan

subjek anak, amat lain dari cara narasi buku cerita anak pengenalan profesi itu

dalam melakukan hal yang sama. Dalam buku-buku yang dimaksud, tendensi untuk

membangun citra pekerjaan profesional yang modern amatlah menonjol. Pilihan

narasi semacam ini menunjukkan bahwa gagasan itu seperti disodorkan begitu saja,

tanpa proses yang lebih dialogis. Anak-anak diposisikan sebagai individu yang perlu

dibentuk sedemikian rupa agar memenuhi karakteristik individu modern yang ideal

itu. Mereka diyakinkan bahwa jalan inilah yang paling baik dan sesuai.

Sementara itu, gagasan kependidikan Ki Hadjar mempersepsi yang persis

sebaliknya. Anak membawa kodrat dalam dirinya. Dan proses pendidikan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

138

memerdekakan mestinya membantu ia mencari ke dalam diri untuk menemukan

kodrat itu. Bukan berarti anak tidak bisa mendapatkan pengaruh dari luar diri,

persepsi yang diusung Ki Hadjar ini mengandaikan bahwa individu anak bukanlah

subjek yang kosong, ia punya kehendak yang dibawanya. Kodrat atau kehendak

yang dimiliki tiap subjek anak itu juga relatif bebas dari penilaian baik-buruk, atau

bahkan derajat yang hierarkis. Tugas pendidikan adalah mendampingi anak

memelihara kodrat itu dan mengejawantahkannya jadi kebermanfaatan bagi

sesamanya.

Penelitian saya memang tidak secara khusus menaruh fokus pada gagasan dan

praktik pendidikan untuk anak di Indonesia. Konsekuensinya, pembahasan yang

saya paparkan terbatas pada satu jenis aparatus budaya yang saya pilih saja. Setelah

sedikit menjelajahi bagaimana aparatus budaya ini bekerja dan berkontribusi dalam

pendidikan anak di ranah informal, bagi saya, temuan yang ada menampilkan

problematika masyarakat pascakolonial Indonesia dalam interaksinya dengan

wacana kolonial itu sendiri. Ternyata, wacana itu terus direproduksi dan dengan

demikian melanggengkan “kolonialisme” itu sendiri. Dalam perbandingan dengan

jenis wacana semacam ini, catatan Ki Hadjar tentang upaya dekolonisasi yang

dilakukannya di sektor pendidikan tampak jadi alternatif yang radikal. Barangkali,

gagasan ini bisa ditilik ulang dan dimanifestasikan dengan lebih sesuai dalam

konteks pendidikan Indonesia masa kini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

139

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel

Abrams, M.H. 1999 A Glossary of Literary Terms Seventh Edition. Boston: Heinle &

Heinle.

Bowden, Brett. (2009). The Empire of Civilization: The Evolution of an Imperial Idea.

Chicago: The University of Chicago Press.

Dahl, Roald. 2010. Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib. Terjemahan Ade Dina Sigarlaki.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan,

Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan Cetakan Kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur

Taman Siswa.

Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.). 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of

Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.

Frank, Josette. 1984. Orangtua, Anak dan Buku. Diterjemahkan dari beberapa bab

pertama Your Child’s Reading Today (1953) secara kolektif oleh A. Bandi

Raharja, Willy A. Pasti, Ronitua Harahap, C.Z. Doepe, da M.S. Hadisubrata.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Giroux, Henry. 2005. Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education,

Second Edition. New York: Routledge.

Giroux, Henry. 2011. On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International

Publishing Group.

Grenby, M.O. dan Andrea Immel (ed.). 2009. The Cambridge Companion to Children’s

Literature. Cambridge: Cambridge University Press.

Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Oxford:

Blackwell Publishing.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

140

Hanum, Fadila. 2018. Sehari Menjadi Nelayan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of

Tiga Serangkai.

———. 2018b. Sehari Menjadi Petani. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga

Serangkai.

———. 2018c. Sehari Menjadi Peternak. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga

Serangkai.

Hunt, Peter (ed.). 1992. Literature for Children Contemporary Criticism. London:

Routledge.

Hollindale, Peter. 1992. “Ideology and the Children’s Book” dalam Literature for

Children Contemporary Criticism. London: Routledge.

Marsh, Jackie dan Elaine Millard. 2000. Literacy and Popular Culture: Using Children’s

Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company.

Montessori, Maria. 1966. The Secret of Childhood. Terjemahan M. Joseph Costelloe, SJ.

New York: Ballantine Books.

Nandy, Ashis. 1983. The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism.

New Delhi: Oxford University Press.

Patappa, Rae Sita. 2016a. Akuntan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga

Serangkai.

———. 2016b. Dokter Gigi. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.

———. 2016c. Ilmuwan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.

———. 2016d. Jaksa. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.

———. 2016e. Pengacara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.

Patappa, Rae Sita. 2018a. Asyiknya Menjadi Astronaut. Solo: Tiga Ananda, Creative

Imprint of Tiga Serangkai.

———. 2018b. Asyiknya Menjadi Perawat. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of

Tiga Serangkai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

141

———. 2018c. Asyiknya Menjadi Presiden. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of

Tiga Serangkai.

———. 2018d. Asyiknya Menjadi Sutradara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of

Tiga Serangkai.

———. 2018e. Asyiknya Menjadi Tentara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of

Tiga Serangkai.

Said, Edward W. (1996). Representations of the Intellectual. New York: Vintage

Books.

Siraishi, Saya. 2001. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik.

Terjemahan Tim Jakarta. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Stearns, Peter N. 2011. Childhood in World History, Second Edition. Oxon: Routledge.

Toha-Sarumpaet, Riris K. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Tesis, Jurnal, dan Makalah

Mursini. 2009. “Kontribusi Sastra bagi Anak-Anak” dalam Bahas Vol. 18 No. 2.

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

Partiningsih. 2016. “Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai

Pustaka Tahun 80-an” dalam Atavisme Vol. 19 No. 1, Edisi Juni, hal. 29-44.

Purbani, Widyastuti. 1999. Sastra Anak Indonesia sebagai Genre: Sebuah Utopia?.

Yogyakarta: Makalah HISKI III UNY.

Sumber Internet

Hadriani. 2014. “Masa Berjayanya Buku Anak dan Penulis Cilik”. Tempo.co, 1 Juni

2014, dilihat 5 Juni 2016. <http://m.tempo.co/read/news/2014/06/01

/109581609/Masa-Berjayanya-Buku-Anak-dan-Penulis-Cilik>.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

142

Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan. “Sejarah Organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistem”. KSDAE, dilihat 8 Oktober 2018.

http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

143

LAMPIRAN

Untuk memberi gambaran mengenai buku bacaan seri pengenalan profesi untuk

anak yang secara khusus saya dekati dalam penelitian ini, saya perlu membagikan

rangkuman singkat isi dari tiap-tiap judulnya. Berikut pemaparannya.

Sinopsis

Ilmuwan

Ibu Silvi ialah seorang ilmuwan yang bekerja di Badan Konservasi Sumber Daya

Alam. Sehari-hari, ia melakukan penelitian di laboratorium yang menjadi bagian dari

Cagar Alam Hijau. Ia meneliti tanaman langka untuk mencari cara agar spesies ini

dapat hidup lebih lama dan tidak punah. Bu Silvi punya kekhawatiran terkait

berkurangnya jumlah pohon di Indonesia akibat penebangan dan pembakaran

hutan, padahal hutan Indonesia dijuluki paru-paru dunia. Data penelitian Bu Slivi

selalu dicatatnya selama bertahun-tahun, sehingga bisa dipantau perkembangannya.

Tanaman yang diteliti dan dikembangkan budidayanya di laboratorium nantiya

akan dipindahkan ke Cagar Alam Hijau agar dapat tumbuh bebas di alam. Bu Silvi

selalu berharap spesies langka yang ada di alam Indonesia dapat lestari.

Dokter Gigi

Kak Oka bekerja sebagai dokter gigi di rumah sakit. Hari ini ia menerima sejumlah

pasien, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Para pasien itu datang untuk

mendapatkan berbagai layanan kesehatan gigi, seperti pemeriksaan rutin dan

perawatan gigi bermasalah (misalnya berlubang). Beberapa pasien merasa tegang

ketika harus memeriksakan atau mengonsultasikan kesehatan giginya pada Kak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

144

Oka. Namun, Kak Oka tetap melakukan tindakan medis yang diperlukan sesuai

kondisi pasien, serta memberikan imbauan untuk selalu merawat gigi. Kak Oka

gembira menjalankan tugasnya sebagai dokter gigi dan berharap orang-orang lebih

memperhatikan kesehatan gigi.

Jaksa

Pak Haris adalah seorang jaksa. Di persidangan, tugasnya adalah membuktikan

kesalahan terdakwa. Kini, ia tengah menangani kasus korupsi. Pak Haris dibantu

oleh para penyidik polisi yang mengumpulkan bukti-bukti. Dari dokumen yang ia

terima, tersangka diduga menggelapkan uang bantuan untuk rakyat miskin. Di

persidangan, Pak Haris menyampaikan kesalahan terdakwa dalam surat dakwaan.

Terdakwa membantah itu semua melalui pengacaranya. Namun, Pak Haris

menghadirkan seorang saksi bernama Pak Iyan yang menjadi bawahan terdakwa di

tempat kerja. Pak Haris juga memutar sebuah rekaman percakapan (hasil

penyadapan penyidik) di mana terdakwa meminta Pak Iyan menutupi

perbuatannya. Di penghujung sidang, hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti

bersalah karena melakukan korupsi. Hukuman dijatuhkan sesuai tuntutan jaksa dan

terdakwa juga harus membayar ganti rugi pada negara. Sidang selesai dengan

lancar. Pak Haris tahu ia harus menangani banyak kasus lainnya. Ia akan berjuang

membela kebenaran dan keadilan.

Akuntan

Kak Tara bekerja sebagai akuntan di sebuah kantor akuntan publik. Kantornya

menyediakan jasa di bidang keuangan, dengan melakukan audit, membuat atau

memperbaiki laporan keuangan, memberi konsultasi keuangan, dan lain-lain. Jasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

145

kantornya diperlukan oleh banyak perusahaan demi kelangsungan usaha mereka,

di antaranya perusahaan properti, produsen es krim dan cokelat, serta restoran

terkenal. Kak Tara membantu mereka dalam berbagai hal, misalnya memberi

nasihat untuk pengelolaan keuangan, menganalisis laporan keuangan, dan

menghitung jumlah pajak yang harus dibayar. Para klien itu amat berterima kasih

atas bantuan sang akuntan. Kak Tara senang bisa membantu orang lain lewat

kemampuan akuntansinya.

Pengacara

Bu Hana adalah seorang pengacara yang bekerja di kantor yang menyediakan jasa

bantuan hukum. Tugasnya sebagai pengacara adalah memberi nasihat atau

mewakili orang yang terlibat dalam kasus hukum sebab tidak semua orang mengerti

istilah dalam dunia hukum. Kasus menarik yang kini menarik perhatian Bu Hana

adalah Nenek Ara yang dituduh mencuri sekantong wortel dari sebuah kebun.

Nenek Ara menangis karena bingung, ia tidak punya uang untuk menyewa

pengacara, padahal ia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Bu Hana,

yang kerap menangani kasus para artis atau pejabat ternama, memutuskan untuk

membantu Nenek Ara secara cuma-cuma. Dengan bantuan teman-temannya di

kantor, Bu Hana mengumpulkan informasi untuk menyusun pembelaan. Di hari

persidangan, jaksa menunjukkan bukti sekantong wortel yang menurut Pak Toni,

pemilik kebun, berasal dari kebunnya. Bu Hana menanyai saksi dari pihak penuntut;

pegawai kebun Pak Toni itu mengaku melihat Nenek Ara lewat di kebun dengan

sekantong wortel. Bu Hana lanjut menanyai Nenek Ara. Nenek Ara mengaku saat itu

ia dari pasar sayur saat melewati kebun Pak Toni. Wortel itu dibelinya di pasar. Pak

Toni menuduh Nenek Ara berbohong. Bu Hana lalu menghadirkan saksi dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

146

pihaknya, yakni Pak Adin, salah seorang pedagang sayur di pasar. Pak Adin

menyatakan bahwa ialah yang menjual wortel kepada Nenek Ara. Ketika itu Nenek

Ara hanya ingin membeli satu wortel, namun karena tokonya sudah mau tutup, Pak

Adin memberikan sekantong wortel yang tersisa meski Nenek Ara hanya sanggup

membayar seharga satu wortel. Nenek Ara dinyatakan tidak bersalah oleh hakim. Ia

sangat berterima kasih kepada Bu Hana. Bu Hana berjanji akan memperjuangkan

keadilan untuk orang-orang seperti Nenek Ara.

Asyiknya Menjadi Astronaut

Kak Alfa ialah seorang astronaut yang mendapatkan misi untuk berangkat ke bulan.

Sebelum menjadi astronaut, ia harus mengikuti serangkaian seleksi melalui tes

akademik dan tes kesehatan. Ia dinyatakan lulus tes dan harus mengikuti pelatihan

lanjutan. Pelatihan ini mencakup pelajaran ilmu pengetahuan dasar dan lain-lain,

misalnya matematika, astronomi, dan meteorologi. Selain itu, ada pula pelatihan

bertahan hidup di darat dan air. Setelah melalui proses panjang, ia terpilih jadi

astronaut bersama dua orang lainnya. Misi mereka adalah mengambil batuan dari

bulan untuk penelitian geologi. Mereka berangkat ke bulan. Meski penerbangan itu

tidak nyaman, mereka tidak merasakan sakit karena sudah mengikuti berbagai

pelatihan dan mengenakan pakaian yang aman. Setibanya di bulan, Kak Alfa dan

timnya memasang bendera Indonesia di bulan. Lalu mengambil batuan yang

dibutuhkan untuk penelitian. Selepas itu, mereka kembali ke bumi.

Asyiknya Menjadi Sutradara

Kak Delis ialah seorang sutradara berpengalaman. Kali ini ia akan membuat sebuah

film petualangan untuk anak-anak. Ia mempelajari naskah skenario film secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

147

cermat, lalu membahasnya bersama produser dan divisi lain dalam rumah produksi.

Ia memilih kru, dilanjutkan dengan audisi pemain. Para pemain terpilih harus

menjalani latihan khusus untuk mengenal tokoh yang diperankan. Kak Delis akan

mengevaluasi penampilan para pemain. Selanjutnya, ia harus memutuskan lokasi

pengambilan gambar bersama penata fotografi, penata artistik, dan penata suara.

Kak Delis kemudian membuat sebuah papan cerita yang memuat sketsa sederhana

tiap adegan. Papan cerita inilah yang menjadi panduan para kru produksi film.

Proses pengambilan gambar dimulai. Para pemain berakting sesuai arahan

sutradara. Setelah pengambilan gambar selesai, materi itu diserahkan kepada

penata musik dan editor agar menjadi sebuah film yang utuh dan sesuai dengan

skenario. Film itu lalu tayang di bioskop, ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Film

tersebut juga mengantarkan Kak Delis menjadi sutradara terbaik dalam sebuah

acara penghargaan.

Asyiknya Menjadi Presiden

Presiden Indonesia bernama Pak Arya. Ia dipilih melalui pemilu secara langsung

oleh rakyat. Saat dilantik, ia mengucapkan sumpah dan janji presiden. Ia harus

menjalankan kewajiban sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pak Arya

tinggal di Istana Negara; di sana ia memiliki Ruang Kerja. Pekerjaannya mencakup

menandatangani surat-surat penting, menerima kabar tentang negara yang

dipimpinnya dan dunia dari para staf khusus, sekretaris, dan ajudannya. Selain itu,

Pak Arya juga kerap kali menerima kunjungan kenegaraan dari pejabat pemerintah

negara lain untuk membicarakan berbagai hal. Di sela-sela tugas itu, ia juga

menyempatkan melihat berita yang beredar di internet. Suatu kali ia menemukan

surat seorang anak yang ditujukan padanya melalui sebuah foto dan disebarkan di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

148

media sosial. Anak itu mengeluhkan kondisi kampungnya yang terkena bencana

gunung meletus. Rumah mereka hancur, sehingga orang-orang harus mengungsi.

Pak Arya lekas memerintahkan BNPB untuk bertindak lebih cepat membantu

korban. Pak Arya juga melakukan kunjungan langsung ke daerah bencana; di sana ia

membicarakan keinginan agar pengungsian dibuat lebih layak kepada gubernur

daerah tersebut. Ia akhirnya bertemu dengan anak yang menulis surat tersebut. Pak

Arya berjanji akan bekerja lebih keras agar rakyat lebih sejahtera dan anak-anak

Indonesia bahagia.

Asyiknya Menjadi Perawat

Kak Dalia, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit, hari ini mendapat giliran

piket siang. Tugas para perawat di pagi hari adalah mengecek kondisi para pasien

rawat inap. Kak Dalia selalu ramah pada pasien yang ditanganinya. Pekerjaannya

meliputi memeriksa aliran dan mengganti botol infus, memeriksa tekanan darah,

serta mengingatkan pasien agar makan yang baik dan minum obat. Ia akan

melaporkan kondisi pasien kepada dokter. Tiba-tiba terjadi keriuhan; datang

seorang pasien anak yang menangis keras karena perutnya amat sakit. Sembari

menunggu dokter, Kak Dalia menenangkan Riyo, si pasien anak itu. Setelah

diperiksa dokter, Riyo dinyatakan terkena gejala usus buntu dan mungkin akan

perlu menjalani operasi. Ibu Riyo sedih, namun Kak Dalia menghiburnya dan

berjanji akan membantu perawatan Riyo. Beberapa hari kemudian, Kak Dalia

bertemu lagi dengan Riyo yang telah menjalani operasi. Selama masa pemulihan,

Riyo dirawat oleh Kak Dalia serta terlihat berangsur sehat dan ceria.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: MENJADI ANAK INDONESIA MODERN: ANALISIS BUKU CERITA ANAK

149

Asyiknya Menjadi Tentara

Kak Riga ialah seorang anggota TNI. Tugasnya adalah menjaga negara dan

melindungi rakyat Indonesia dari bahaya. Ia senang jika orang-orang dapat bekerja

dengan tenang dan aman. Kegiatan keseharian Kak Riga meliputi latihan ketahanan

tubuh rutin agar selalu sehat dan siap bertugas, latihan baris-berbaris agar lebih

disiplin dan kompak, serta latihan halang rintang agar makin tangkas dan cekatan. Ia

dilantik menjadi Bintara dan mengenakan tanda kepangkatan di seragamnya.

Karena harus selalu siaga dan patuh pada panggilan tugas, ia juga harus berpisah

dari orang tuanya saat menerima surat tugas untuk berjaga di perbatasan Indonesia

dan Malaysia. Sembilan bulan lamanya ia akan menjalankan tugas tersebut. Kak

Riga tiba di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Tugasnya adalah menjaga garis

perbatasan negara. Para tentara berkenalan dan harus menjalin hubungan baik

dengan warga sekitar. Mereka tinggal di sebuah pos jaga yang dilengkapi dengan

helipad. Di sisi lain garis batas negara juga ada para tentara Malaysia yang berjaga.

Setiap hari para tentara harus mengikuti upacara bendera. Kak Riga bertekad

menjalankan tugasnya melindungi rakyat Indonesia dengan segenap jiwa dan raga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI