mengendus tsunami dengan sensor laser
DESCRIPTION
JAECKTRANSCRIPT
Mengendus Tsunami dengan Sensor Laser
Bambang Widyatmoko (Pusat Penelitian Fisika LIPI)
Teknologi pendeteksi gelombang tsunami tak mesti terlalu canggih. Teknologi
laser sederhanapun bisa digunakan untuk mengendusnya.
Gempa dahsyat disertai gelombang tsunami yang terjadi di Sumatera Utara dan
Aceh beberapa waktu yang lalu memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi
bangsa Indonesia betapa hebatnya daya lumat gelombang tsunami. Namun, kita
semuapun tercengang manakala tahu bahwa sebetulnya tsunami perlu waktu
beberapa menit hingga beberapa puluh menit untuk mencapai daratan. Diantara
waktu itu, sesungguhnya sangat memungkinkan digunakan untuk memberi
peringatan kepada penduduk di sekitar pantai akan adanya bahaya, sehingga
mereka bisa menjauh secepatnya,. Sayangnya ini yang tidak terjadi.
Pengalaman pahit itu menuntut kita mencari cara menghindarkan diri dari
pengalaman serupa. Salah satunya barangkali kita bisa menengok pada Jepang,
negeri rawan sekaligus berpengalaman menangani gempa dan tsunami.
Jepang yang juga merupakan negara rawan gempa telah memasang alat
pendeteksi gempa, baik di darat maupun di laut. Alat yang dipasang di laut juga
dilengkapi dengan pendeteksi tsunami. Alat inipun dilengkapi dengan komputer
super cepat beserta sarana komunikasinya. Dengan demikian, ketika tsunami
terjadi, hanya dalam hitungan 2-5 menit, seluruh data komplet tentang ancaman
tsunami itu tersiar ke publik melalui jaringan televisi. Mekanisme peringatan dini
inilah yang dikembangkan di Jepang kini.
Sebenarnya ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi adanya
tsunami yang dikembangkan. Salah satunya adalah seperti yang dikembangkan
Dr. Sakata, peneliti ahli tsunami dari The National Research Institute for Earth
Science and Disaster Prevention (NIED). Jepang, telah menciptakan metode baru
dengan memakai laser. Metode ini sangat sederhana dan sangat sensitif sebagai
sensor tsunami ataupun sensor pergeseran / tekanan. Disamping itu, alat ini
terbebas dari suara bising karena yang dikirim ke sensor yang berada jauh dari
pantai adalah cahaya laser melalui fiber optik sedang seluruh perangkat elektronik
diletakkan di darat.
sistem pendeteksi tsunami dengan laser. Ada dua bagian yang terpisah, yaitu
bagian sensor utama yang diletakkan di dasar laut beberapa kilometer dari pantai
dan bagian monitoring atau kontrol yang berada di darat (ruang kontrol / monitor).
Dua laser diode digunakan sebagai sumber cahaya sekaligus sebagai slave
oscillator. Dari masing-masing laser dibagi menjadi dua bagian dengan
perbandingan 9:1. Bagian yang 90 persen dikirim ke bagian sensor melalui fiber
optik, demikian pula cahaya balik dikirim melalui fiber optik ke tempat penerima
(ruang kontrol). Cahaya balik dari sensor akan dideteksi oleh photo detector dan
kemudian sinyal dipakai untuk mengunci frekuensi laser terhadap transmisi
puncak dari resonator. Bagian lain disatukan memakai fiber coupler untuk
membangkitkan beat signal dan diukur frekuensinya.
Sensor utama yang diletakkan di dasar laut berupa dua buah Fabry-Perot
resonator dengan free spectral range (FSR) yang sama. Masing-masing cavity ini
terbentuk dari dua buah cermin yang terpisahkan dengan jarak Lc dan dipasang
bersilang (sumbu x dan y). FSR didefinisikan sebagai FSR = C/(2 n Lc), dengan C
adalah kecepatan cahaya (m/detik), n adalah indeks bias medium (= 1) dan Lc
adalah jarak antara dua cermin. Cavity ini hanya akan memberikan transmisi
puncak bila frekuensi laser bersesuaian (beresonansi) dengan FSR dari cavity.
Kemudian cavity dimasukkan ke dalam tabung silinder yang terbuat dari bahan
antikarat yang masing-masing cermin dikunci dengan dinding tabung. Bentuk
bagian dalam dibuat sedemikian rupa sehingga ada beda tebal dari dinding silinder
pada arah x dan y (lihat gambar).
Apabila dinding tabung terkena tekanan akibat gelombang tsunami, Lc akan
berubah yang mengakibatkan FSR dari cavity berubah. Perbedaan tebal dinding
juga mengakibatkan perbedaan perubahan panjang dari cavity 1 dan cavity 2.
Gambar A menunjukkan grafik transmisi puncak dari resonator sebagai fungsi
sweep frekuensi laser. Seperti digambarkan dalam grafik bahwa dengan tekanan
yang sama ada perbedaan perubahan FSR dari resonator 1 dan 2. Perubahan ini
yang dideteksi lebih lanjut dengan beat frekuensi dari dua laser yang masing-
masing frekuensinya terkunci pada dua cavity tersebut. Locking laser terhadap
peak transmisi dari sensor dilakukan dengan rangkaian sederhana berupa auto-
lock circuit. Gambar B menggambarkan transmisi puncak dari sensor dilihat
menggunakan oscilloscope, sedangkan gambar C menunjukkan sinyal setelah
laser dikunci. Terlihat bahwa daya transmisinya sama dengan puncak dari sensor,
yang berarti laser terkunci dengan baik terhadap sensor. Kecepatan sistem kontrol
adalah 10 KHz, kecepatan ini cukup untuk mengantisipasi kecepatan perubahan
sensor.
Sensor bekerja bila kedua laser terkunci dengan baik ke masing-masing pasangan
resonator. Kemudian dari sebagian cahaya laser yang digabungkan dideteksi beat
sinyalnya memakai photo detector.
Sumber cahaya beserta kelengkapannya yang diletakkan di darat. Dari alat ini
dapat dimonitor perubahan frekuensi laser yang bersesuaian dengan dengan tinggi
tsunami dan seterusnya disalurkan ke pusat pengamatan gempa memakai saluran
telepon. Perubahan beda frekuensi 12 MHz dideteksi untuk setiap perubahan
tsunami 1 cm. Untuk jarak antara dua cermin 10 cm, FSR dari resonator kira-kira
6 GHz, sehingga akan bisa mendeteksi tsunami yang tingginya mencapai 5 meter.
Besarnya tsunami yang dapat dideteksi bisa diperbesar dengan memperbesar jarak
dua cermin atau mempertebal dinding tabung. Jarak sensor ke darat dapat
mencapai 50-100 km tergantung pada daya laser yang dipakai. Dengan jarak
sensor 100 km dari pantai juga memungkinkan untuk memberi peringatan dini
lebih dari puluhan menit ke darat bila di bagian sensor terjadi tsunami.
Sejauh ini sensor tsunami bukan merupakan produk yang banyak terjual di pasar
karena biasanya pemakai adalah pemerintahan (badan penelitian), sehingga
harganya cukup mahal. Namun, dari segi teknologi sensor ini bukanlah hal yang
susah didapat sehingga 100 persen bisa dibuat (dirakit) di Indonesia. Tentu hal ini
membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk semaksimal mungkin
memanfatkan potensi SDM dalam negeri dan menjalin kerjasama dengan pakar
penemunya di Jepang. Masalahnya kini, maukah kita melakukannya ?