menangkal radil~alisme -...

2
Pikiran Rakyat Menangkal Radil~alisme mendapatkan akses tersebut. Radikalisme akhirnya menjadi pilihan untuk melawan rezim . yang berkuasa. Cara-cara kekerasan acap kali menjadi pilihan mereka.lni yang disayangkan dari radikalisme. Di samping kon- flik elite yang akan meluas ke tingkat bawah, persoalan disin- tegrasi bangsa, sebenarnya problem kebangsaan kita tidak bisa dilepaskan dengan krisis ekonomi, krisis moralitas poli- tik (etika politik), dan etika sosial yang sangat dalam telah menjangkiti bangsa ini. Akibat krisis moralitas politik dan eti- ka sosial, antara satu anggota masyarakat dan anggota masyarakat yang lain seakan- akan tidak ada lagiikatan sosial yang mampu mengikat dalam satu keluargabesar yangberna- ma Indonesia. Antarsuku, an- tarwarga negara tidak segan- segan saling mencurigai, saling bermusuhan, dan saling bunuh-bunuhan. Apayang pernah terjadi pas- careformasi di negeri ini de- ngan banyaknya konflik ke- kerasan di beberapa daerah seperti Ambon, Maluku Utara, Sampit, Sambas, Pontianak, dan Aceh merupakan bukti- bukti sulit untuk dibantah bah- wa ikatan dan kohesi sosial bangsa ini telah mengalami kri- sis. Munculnya konflik agama . di Indonesia tersebut sebagai dampak dari hiper politisasi- agama sebagai instrumen . kekuasaan rezim Orde Baru di masalalu. Konflik di level struktur kekuasaan dapat dengan mu- dah dialihkan ke dalam medan konflik di dalam masyarakat derigancara mengobarkan sen- timen agama. Masyarakat yang mengalami fragmentasi sosial kehilangan daya tahannya un- tuk meredam konflik yang dimunculkannya. Dalam kaitan dengan hal tersebut negara mengalami kegagalan dalam memfasilitasi secara adil be- ragam kelompok keagamaan dengan multiwaeana yang di- milikinya, sebab negara tidak steril dari kepentingan subjek- tifnya, yang dalam banyak ka- sus justru mengambil keun- tungan atas perbedaan "ideolo- gi"kelompok keagamaan. Begitu pula lahirnya kelom- pok-kelempok keagamaan, terutama yang radikal dalam konteks yang lain juga sebagai res ons dari kekecewaan ter- J AWA Barat merupakan provinsi dengan tingkat tindak radikal atau aksi intoleransi tertinggi di Indone- sia (berita utama Harian Piki- ran Rakyat, 13/6/2012). Isu radikalisme yang diberitakan tersebut disampaikan saat ra- pat koordinasi pencegahan terorisme di Provinsi Jawa Barat yang diadakan oleh Badan Nasional Pe- nanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai simpulan penelitian The Wahid Institute (WI) sejak 2010. Sejatinya, se- cara teoretis, radikalisme tidak identik dengan kekerasan, ter- masuk penyandingannya de- ngan kelompok agama terten- tu. Fenomena radikalisme aga- ma bukanlah fenomena yang lahir saat ini saja. Radikalisme agama telah lahir sejak abad 16-19 M, dimana perebutan hegemoni agama antara Islam dan Kristen sangat kentara di masa itu. Fenomena radikalisme agama juga bukan hanya milik Islam ataupun Kristen, tetapi juga dalam Hindu dan Yahudi, demikian Karen Amstrong dalam The Battle for God, 2000. Kaum radikal dalam ber- agama bisa jadi memang memiliki pandangan hidupnya sendiri yang barangkali berbe- da dengan lainnya. Dengan cara pandang sendiri, mereka tidak jarang melihat gejala sosial yang terjadi sesuai de- ngan cara pandangnya. Jika tidak sesuai akan sangat mungkin ditolak, bahkan di- lawan. Perlawanan inilah yang kadang menjadi bentuk nyata dari kaum radikal. Kaum radikal melawan siapa saja yang dianggap berada di luar atau berbeda dengan pandangan hidupnya. Panda- ngan dan gaya hidup yang tidak sama dengan kelom- poknya akan dengan mudah di- anggap sebagai "musuh" paling nyata sehingga tidak segan- segan untuk dimusnahkan. Dari sini kemudian berkem- banglah cara pandang- yang sangat intoleran, tertutup, dan memutlakkan apa yang menja- di pandangannya. Klaim akan kebenaran akhirnya tidak bisa dipisahkan dari kaum radikal. Munculnya klaim ini di samping karena cara pandang kaum radikal yang berbeda dengan kaum nonradikal, juga disebabkan karena cara beragama yang sangat tekstual-skriptural. Cara pandang sangat menentukan bagaimana kaum radikal bersikap dan bertindak dalam beragama. Kaum radikal ber- anggapan bahwa keberaga- maan yang paling benar dan sempurna adalah yang sesuai dengan keberagamaan tekstual pada zaman para nabi dan ra-.. suI dulu kala, bukan melakukan kontekstualisasi. Kontekstualisasi agama dipan- dang sebagai rekayasa manusia yang tidak lagi menghargai keagungan Tuhan dan para nabi yang telah diturunkan ke muka bumi. Kontekstualisasi inilah yang paling ditentang oleh kaum radikal. Mereka berpedoman hendak mengem- balikan ajaran agama ke ajaran zaman para nabi dan rasul. Selain disebabkan adanya cara pandang yang tekstual- skriptual seperti itu, radikalisme agama diduga tumbuh subur karena adanya proses peminggiran yang ber- jalan secara sistematis baik oleh kekuasaan politik tertentu maupun rezim agama tertentu. Proses peminggiran yang sis- tematis jelas menempatkan kelompok tertentu tidak dapat mendapatkan akses atas kekua- saan politik ataupun rezim aga- ma, sehingga menjadikan mar- ginalnya kelompok tersebut. Marginalisasi menjadi alasan sosial tersendiri atas muncul- nya radikalisme agama yang belakangan marak di negeri- negeri miskin dan negeri- negeri yang terjerat utang seperti Indonesia. Radikalisme agama muncul karena mereka merasa tidak mendapatkan apa yang diharapkan, karena ditu- tupnya seluruh jalan untuk 1(lIplnt Humas Unpad 2012

Upload: dinhkiet

Post on 23-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menangkal Radil~alisme - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/pikiranrakyat...Sampit, Sambas, Pontianak, ... dampak dari hiper politisasi- ... kekuasaan

Pikiran Rakyat

Menangkal Radil~alismemendapatkan akses tersebut.Radikalisme akhirnya menjadipilihan untuk melawan rezim .yang berkuasa.Cara-cara kekerasan acap

kali menjadi pilihan mereka.lniyang disayangkan dariradikalisme. Di samping kon-flik elite yang akan meluas ketingkat bawah, persoalan disin-tegrasi bangsa, sebenarnyaproblem kebangsaan kita tidakbisa dilepaskan dengan krisisekonomi, krisis moralitas poli-tik (etika politik), dan etikasosial yang sangat dalam telahmenjangkiti bangsa ini. Akibatkrisis moralitas politik dan eti-ka sosial, antara satu anggotamasyarakat dan anggotamasyarakat yang lain seakan-akan tidak ada lagi ikatan sosialyang mampu mengikat dalamsatu keluarga besar yang berna-ma Indonesia. Antarsuku, an-tarwarga negara tidak segan-segan saling mencurigai, salingbermusuhan, dan salingbunuh-bunuhan.Apa yang pernah terjadi pas-

careformasi di negeri ini de-ngan banyaknya konflik ke-kerasan di beberapa daerahseperti Ambon, Maluku Utara,Sampit, Sambas, Pontianak,dan Aceh merupakan bukti-bukti sulit untuk dibantah bah-wa ikatan dan kohesi sosialbangsa ini telah mengalami kri-sis. Munculnya konflik agama

. di Indonesia tersebut sebagaidampak dari hiper politisasi-agama sebagai instrumen .kekuasaan rezim Orde Baru dimasalalu.Konflik di level struktur

kekuasaan dapat dengan mu-dah dialihkan ke dalam medankonflik di dalam masyarakatderigan cara mengobarkan sen-timen agama. Masyarakat yangmengalami fragmentasi sosialkehilangan daya tahannya un-tuk meredam konflik yangdimunculkannya. Dalam kaitandengan hal tersebut negaramengalami kegagalan dalammemfasilitasi secara adil be-ragam kelompok keagamaandengan multiwaeana yang di-milikinya, sebab negara tidaksteril dari kepentingan subjek-tifnya, yang dalam banyak ka-sus justru mengambil keun-tungan atas perbedaan "ideolo-gi" kelompok keagamaan.Begitu pula lahirnya kelom-

pok-kelempok keagamaan,terutama yang radikal dalamkonteks yang lain juga sebagaires ons dari kekecewaan ter-

J AWA Barat merupakanprovinsi dengan tingkattindak radikal atau aksi

intoleransi tertinggi di Indone-sia (berita utama Harian Piki-ran Rakyat, 13/6/2012). Isuradikalisme yang diberitakantersebut disampaikan saat ra-pat koordinasi pencegahanterorisme di Provinsi JawaBarat yang diadakan olehBadan Nasional Pe-nanggulangan Terorisme(BNPT) sebagai simpulanpenelitian The Wahid Institute(WI) sejak 2010. Sejatinya, se-cara teoretis, radikalisme tidakidentik dengan kekerasan, ter-masuk penyandingannya de-ngan kelompok agama terten-tu.Fenomena radikalisme aga-

ma bukanlah fenomena yanglahir saat ini saja. Radikalismeagama telah lahir sejak abad16-19 M, dimana perebutanhegemoni agama antara Islamdan Kristen sangat kentara dimasa itu. Fenomenaradikalisme agama juga bukanhanya milik Islam ataupunKristen, tetapi juga dalamHindu dan Yahudi, demikianKaren Amstrong dalam TheBattle for God, 2000.Kaum radikal dalam ber-

agama bisa jadi memangmemiliki pandangan hidupnyasendiri yang barangkali berbe-da dengan lainnya. Dengancara pandang sendiri, merekatidak jarang melihat gejalasosial yang terjadi sesuai de-ngan cara pandangnya. Jikatidak sesuai akan sangatmungkin ditolak, bahkan di-lawan. Perlawanan inilah yangkadang menjadi bentuk nyatadari kaum radikal.Kaum radikal melawan siapa

saja yang dianggap berada diluar atau berbeda denganpandangan hidupnya. Panda-ngan dan gaya hidup yangtidak sama dengan kelom-poknya akan dengan mudah di-anggap sebagai "musuh" palingnyata sehingga tidak segan-segan untuk dimusnahkan.Dari sini kemudian berkem-banglah cara pandang- yang

sangat intoleran, tertutup, danmemutlakkan apa yang menja-di pandangannya.Klaim akan kebenaran

akhirnya tidak bisa dipisahkandari kaum radikal. Munculnyaklaim ini di samping karenacara pandang kaum radikalyang berbeda dengan kaumnonradikal, juga disebabkankarena cara beragama yangsangat tekstual-skriptural. Carapandang sangat menentukanbagaimana kaum radikalbersikap dan bertindak dalamberagama. Kaum radikal ber-anggapan bahwa keberaga-maan yang paling benar dansempurna adalah yang sesuaidengan keberagamaan tekstualpada zaman para nabi dan ra-..suI dulu kala, bukanmelakukan kontekstualisasi.Kontekstualisasi agama dipan-dang sebagai rekayasa manusiayang tidak lagi menghargaikeagungan Tuhan dan paranabi yang telah diturunkan kemuka bumi. Kontekstualisasiinilah yang paling ditentangoleh kaum radikal. Merekaberpedoman hendak mengem-balikan ajaran agama ke ajaranzaman para nabi dan rasul.Selain disebabkan adanya

cara pandang yang tekstual-skriptual seperti itu,radikalisme agama didugatumbuh subur karena adanyaproses peminggiran yang ber-jalan secara sistematis baikoleh kekuasaan politik tertentumaupun rezim agama tertentu.Proses peminggiran yang sis-tematis jelas menempatkankelompok tertentu tidak dapatmendapatkan akses atas kekua-saan politik ataupun rezim aga-ma, sehingga menjadikan mar-ginalnya kelompok tersebut.Marginalisasi menjadi alasan

sosial tersendiri atas muncul-nya radikalisme agama yangbelakangan marak di negeri-negeri miskin dan negeri-negeri yang terjerat utangseperti Indonesia. Radikalismeagama muncul karena merekamerasa tidak mendapatkan apayang diharapkan, karena ditu-tupnya seluruh jalan untuk

1(lIplnt Humas Unpad 2012

Page 2: Menangkal Radil~alisme - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/pikiranrakyat...Sampit, Sambas, Pontianak, ... dampak dari hiper politisasi- ... kekuasaan

hadap peran negara yang "ga-gal" memayungi dan rnem-berikan perlindungan terhadapwarganya. Dengan demikian,antara negara dan jugamasyarakat keduanya seolahsaling 'menopang tumbuhnyabibit-bibit radikalisme. Dalamarti, negara gagal rnengimple-mentasikan keadilan hukumsebagai upaya melindungi war-ganya, radikalisme keagamaantidak lain sebagai upaya perlin-dungan diri akibat kegagalannegara tersebut. Meskipunsinyalemen ini masih menyim-pan kedangkalan makna, kare-na sifat tafsirnya yang sektariandan kurang mengedepankankepentingan yang lebih umum,dan inklusif dalam mencip-takan hubungan sosial ke-masyarakatan.

Jalan terbaik yang perludikedepankan guna ° meng-hadapi keberagamaan yangradikal dan intoleran, yaknipertama, melakukan upayapengkritisan terhadap tafsirkeagamaan yang bersifat ek-

° strem dengan melihat kembalirnakna-makna substantif aga-ma. Upaya untuk mendorongsecara lebih lebar atau luas la-gi debat publik tafsir agama da-pat meminimalisasi adanyakontradiksi penafsiran atas su-atu ayat atau teks agama. Caraini pula dapat menyingkap ke-pentingan terselubung di baliktafsir yang lebih mengobarkan·semangat permusuhan daripa-dajalinan persaudaraan.

Kedua, perlu pula lebihmenghidupkan kembali tradisikeagamaan yang lebih menge-depankan semangat antike-kerasan, toleran, sekali puntetap disertai dengan sikapyang kritis.

Ketiga, negara juga harus da-° pat memainkan peran fasilitasi,mediasi, dan perlindunganhukum secara adil di dalam ke-hidupan sosial masyarakat.Se-hingga kesadaran keagamaandan ekspresi keberagamaanyang begitu beragam dapatmemperkaya khazanah sosialdan ruang: kreativitas, selaindapat menebarkan : pesonakeindahan daripada aroma per-musuhan dan kekerasan. .-

Begitu pula negara, janganpula menjadi bagian yang men-dorong adanya politisasi agamamelalui pengobaran simbol-simbol agama yang dapat me-mancing sentimen dan bang-kitnya radikalisme keberaga-maan. Oleh karena itu, ke de-

pan perlu melakukan reorien-tasi hubungan negara dan aga-ma di dalam konteks ke-In-donesiaan.

Dikotomi negara dan agamaharus dihindarkan. Spirit parapendiri ° negara Indonesiaadalah kebersamaan, spiritkeberagaman dalam kesatuan(Bhinneka Tunggal Ika). Men-jadi sangat relevan, untuk kitamemahami sekaligus mengak-tualisasikan kembali nilai-nilaiPancasila sebagai dasar negaradi dalam kehidupan bernegara,berpemerintahan, danbermasyarakat dalam kontekskeindonesiaan. Tentu, spirit iniharus tercermin di dalam prak-tik politik dan ekonomi, yangtampaknya akhir-akhir ini kitatelah terlalu jauh menyimpangdari spirit Pancasila dan Kon-stitusi UUD 1945 hasil aman-demen kelima sekalipun. °

Semoga dapat tumbuh ke-sadaran baru untuk memper-baiki berbagai regulasi berupaperaturan perundang-undang-an bidang politik, sosial, dan °

ekonomi yang lebih berpihakkepada kepentingan nasional,kepentingan ,bangsa Indonesia,sehingga kemakmuran dan ke-sejahteraan bersama dapat di-wujudkan secara adil dan me-rata. Apabila ini dapat diwujud-kan, paling tidak dapat mengu-rangi bahkan menghilangkan °

tindakan radikal kelompok aga-ma tertentu yang dipicu olehmarginalisasi politik clanekonomi. ***