case live 2 hiper ige sindrom.doc

38
TINJAUAN PUSTAKA Hiper- IgE sindrome I. Pendahuluan Hiper-IgE sindroma (HIES) disebut juga sindroma Ayub adalah gangguan komplek imun primer yang ditandai dengan dermatitis atopik seperti dikulit yang berhubungan dengan peningkatan IgE serum yang sangat tinggi, dan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur. Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Peneltian terbaru menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES. 1,2,3,4 Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru- 1

Upload: riko-jumattullah

Post on 26-Nov-2015

150 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKAHiper- IgE sindrome

I. Pendahuluan

Hiper-IgE sindroma (HIES) disebut juga sindroma Ayub adalah gangguan komplek imun primer yang ditandai dengan dermatitis atopik seperti dikulit yang berhubungan dengan peningkatan IgE serum yang sangat tinggi, dan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur. Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Peneltian terbaru menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES.1,2,3,4Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru-paru, dan eksim. Pada laporan kasus ini mengidentifikasi adanya peningkatan IgE serum. Sindrom ini diteliti lebih lanjut oleh Buckley yang menemukan bahwa abses Staphylococcus berulang dan eksim kronis berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan bahwa konsentrasi immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat multisistem dari HIES meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan jaringan tulang dan jaringan ikat, seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma minor, hyperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan bentuk HIES autosomal resesif.2,5Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada pasien HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada sinyal tranduser dan aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi sebagai molekul utama HIES.2,3,4,6Manifestasi Klinis

HIES adalah penyakit multisistem dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Individu yang terkena mungkin memiliki beberapa ciri-ciri dari HIES, tapi tidak semua gejala muncul, tergantung pada usia. Hampir semua pasien dengan HIES menderita infeksi Staphylococcus berulang, dimulai pada watu bayi dan sering melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda dengan penyakit gralumatosis dimana infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai organ, termasuk paru-paru, kelenjar getah bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal dan otak.2,7,8,9

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada pasien HIES namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan bakteri garam negatif juga ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk candidasi mukokutan dan aspegillosi paru, juga sering ditemukan pada HIES. Dermatitis atopi biasanya dimulai selama periode neonatal, sebelum timbulnya dermatits atopik. Pasien dengan HIES menderita dermatitis atopi terkait dengan sangat tinggi tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi biasanya bebas dari manifestasi alergi lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaktis.

Kelainan kraniofasial pada pasien HIES memiliki penampilan wajah yang khas yang berkembang pada masa anak-anak dan remaja, ditandai dengan asimetris, hidung lebar, dan mata cekung dengan dahi menonjol. Kulit wajah sering memiliki tekstur kasar, berpori.7,9

Kelainan muskulosketal berupa skoliosis, patah tulang pada trauma minimal, osteopenia, hiperextensibiltas dan penyakit sendi degeneratif. Skoliosis sering muncul pada masa remaja. Fraktur trauma minimal terjadi pada 50% pasien dengan HIES dimana osteopenia dan osteiporosis juga terjadi. Osteoklas dimediasi reabsorpsi tulang yang tidak normal pada HIES dan kemungkinan berhubungan dengan osteopenia dan patah tulang.

Kelainan gigi pada HIES adalah gigi sulung yang sulit tanggal dan memerlukan ekstaksi pembedahan. Karakteristik variasi mukosa mulut, lidah, langit-langit mulut dan pipi termasuk lidah yang mungkin berhubungan dengan infeksi candida.7,9

Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma arteri koroner mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis arteri serebra, dan kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES dikaitkan dengan tingkat kejadian limfoma non hodgkin yang sebagian besar berasal dari sel B.7,9Klasifikasi

HIES diklasifikasikan menjadi dua kategori:6,7,8,9A. Tipe 1

Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan oleh kasus yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini pneumonia sering diikuti dengan pembentukan kista paru, kelainan pada beberapa sistem dari tubuh, termasuk tulang dan gigi.B. Tipe 2

Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien HIES tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita berulang infeksi virus , seperti moluskum kontangiosum dan herpes simplek virus (HSV). Kebanyakan HIES tipe 2 dijumpai memiliki cacat ringan pada tranduksi sinyal hilir dari reseptor sel T yang kompleks.

Patogenesis

Pengetahuan tentang patogenesis HIES dengan mutasi STAT 3 masih terbatas, meskipun penemuan dari etiologi molekul HIES. Beberapa besar pertanyaan belum terjawab yaitu molekul apa yang mendasari dermatitis atopi dan IgE serum yang tinggi. Sel TH 17 adalah substrat baru diidentifikasi dari sel T helper terkait dengan eksaserbasi autoimun berbagai gangguan termasuk penyakit radang usus, multiple sklerosis, psoriasis, dan rheumatoid arthritis. Sel TH 17 menghasilkan sitokin TH 17, termasuk IL-17 (IL-17A), IL-17F dan IL-22. Fungsinya dalam tubuh manusia belum jelas, tetapi sel TH 17 memainkan peran penting dalam pengambilan neutrofil dan memproduksi peptidaa antimikroba.10,11,12Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kecugiaan klinis, eosinofilia dan peningkatan IgE serum yang sangat tinggi melebihi > 2000 kU/L. Sistem scoring yang diciptakan Gimbacher et al dan telah diterima oleh National Institute of Health (NIH) dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis HIES.

Dari tabel diatas dijelaskan bahwa pasien dengan skor lebih dari 15 mungkin didiagnosis dengan HIES sedangkan skor kurang dari 10 tidak mungkin menderita HIES, namun diagnostik pasti pada HIES dengan pengujian mutasi gen.5,6Terapi

Pilihan terapi untuk HIES saat ini berupa pencegahan dan pengobatan infeksi kulit dan komplikasi lain yang ditimbulkannya. Pentingnya mengetahui jenis bakteri dan jamur secara dini dan pemberian pengobatan, karena tidak banyak yang menunjukkan gejala infeksi.93 Tidak ada pengobatan khusus untuk HIES, apabila terjadi eksim yang luas pada kulit dapat diberikan emolien dan steroid topikal, Profilak terapi dapat diberikan trimethoprim-sulfamethoxazole. Terapi Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan antibiotik yang sesuai. Pemberian immunosupresan seperti kortikosteroid dan siklofofamid dapat diberikan pada pasien HIES. 7,11,12,13Acute Kidney InjuryDefinisi

Defenisi acute kidney injury (AKI) adalah gagal ginjal akut yang secara konseptual menurut Van Biensen (2006) serta Murray dan Palevsky (2007) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak, dalam beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti oleh kegagalan ginjal untuk mengeksresikan sisa metabolisme nitrogen dengan atau tanpa disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kriteria diagnosis AKI menurut Acute Kidney Injury Network (AKIN), 2007 adalah penurunan mendadak fungsi ginjal dalam 48 jam yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebesar > 0,3 mg/dl (26,4 mmol/L) atau kenaikan kreatinin serum lebih dari 1,5 kali (>50%) bila dibandingkan dengan kadar sebelumnya atau penurunan urine output menjadi kurang dari 0,5 cc/jam selama lebih dari 6jam .13,14

AKI mempunyai mortalitas yang tinggi 45-75 %, angka survivalitas tergantung ketepatan diagnosis, terapi, dan manajemen, apapun penyebabnya karena berbeda dengan Chronic Kidney disease (CKD), pada AKI reversibiltas sangat tinggi. Secara garis besar penyebab AKI dapat dibagi menjadi 3 kalsifikasi.Jenis AKIUrianalisisUna (mEq/L)FENa(%)EUN (%)Rasio BUN/Urea

PrerenalBerat jenis tinggi, slinder normal, silinder hialin< 2040

>20

20>1

Bervariasi

1>50>20:1

PostrenalNormal, hematuria, leukosit, kadang dapat dijumpai silinder granuler20:1

Diagnosis AKI menurut Acute Dialisis Quality Initiative (ADQI) berdasarkan kriteria RIFLE dan diperbaiki sebagai kriteria AKIN.Kriteria RIFLE

Pada tahun 2004, kelompok kerja ADQI ( Acute Dialisis Quality Initiative) menetapkan definisi dan sistem klasifikasi AKI yang disingkat menjadi RIFLE yaitu Risk of renal dysfunction, Injury to the renal, Failure atau Loss of Kidney function, dan End stage kidney disease.

RIFLE criteria for diagnosis of AKI based on Acute Dialisis Quality Initiative.

TypeIncreased in creatininUrine output

Risk of renal injury

Injury to the kidney

Failure of kidney function

Loss of kidney function

End stage disease0,3 mg/dl increase

2x baseline

3xbaseline>0,5 mg/dl increase if Cr>4mg/dl

Persistenrenal failure

For>4 week persisten renal failure for >3month

6 hr

12hr

Anuria for >12hr

SEPSIS

Definisi

Sepsis didefinisikan sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Istilah lainnya, sepsis adalah sindrom klinis yang berasal dari respon inflamasi terhadap infeksi. Dalam klinis, sepsis didiagnosis bila adanya infeksi nyata atau curiga infeksi dengan respon sistemik yang disebut Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Sesuai dengan North American Consensus Conference tahun 1991, SIRS didefinisikan dengan adanya paling sedikit 2 dari gejala dibawah ini: 151. Suhu >38OC atau < 36OC

2. HR > 90x/m

3. RR > 20x/m (PaCO2 < 30 torr)

4. Lekosit >12.000 atau < 3000/mm3Manifestasi klinis

Pada penderita sepsis, sel-sel imunokompeten melepas mediator inflamasi yang mempunyai efek terhadap factor XII, sel endotel, monosit-makrofag, netrofil dan sistim komplemen yang menyebabkan terjadinya syok sepsis. Kerusakan endotel akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan cenderung memacu terjadinya kegagalan multi organ. Pada paru-paru dengan manifestasi sindroma gagal pernapasan akut (ARDS) disertai kelelahan kontraksi otot diafragma.Pada ginjal terjadi gagal ginjal akut (GGA).Pada organ jantung terjadi penurunan kontraksi miokard, usus terjadi ulkus dan perdarahan, otak terjadi sindroma otak organic akut dan delirium.Didalam darah terjadi diastasis, thrombosis diikuti diathesis hemoragik.

Respon metabolisme dari sepsis adalah hiperdinamik dengan peningkatan cardiac output, konsumsi oksigen, keton bodi, laktas dan glucose darah. Respon kardiovaskuler berupan vasodilatasi pembuluh darah tepi yang disebabkan oleh proses imunologik dan agen vasoaktif, selain itu juga terjadi penurunan kemampuan kontraksi otot jantung. Sebagai akibat tersebut akan terjadi gangguan perfusi jaringan.16Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi angka mortalitas akibat sepsis berat dan syok sepsis.171. Resusitasi

Resusitasi harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis sepsis tegak.Hal ini dimaksudkan untuk stabilisasi keadaan pasien yang mengancam jiwa.

2. Antibiotik

Antibiotik merupakan terapi utrama pada penderita sepsis. Terapi antibiotik

intravena harus segera diberikan dalam satu jam pertama sejak diagnosis tegak. Pemilihan antibiotik secara empiris yang tepat telah terbukti bermakna menurunkan mortalitas pada pasien sepsis.Antibioti empiris harus yang berspektrum luas dan poten terhadap kuman dugaan penyebab sepsis. Pemberian antibiotik harus disesuikan setelah hasil kultur dan kepekaan keluar, serta mempertimbangkan perbaikan klinis.

3. Obat vasopressor-sympathomimetic amine

Pada keadaan tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja maka perlu diberi obatvasopressor, golongan sympathomimetic amine. Norepinefrin merupakan vasopressor pilihan utama untuk syok sepsis.ILUSTRASI KASUS

Telah di rawat seorang pasien perempuan berumur 48 tahun di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 4 November 2013 dengan:

Keluhan Utama: Kulit seluruh tubuh melepuh sejak 12 hari yang lalu.Riwayat Penyakit Sekarang

Kulit seluruh tubuh melepuh sejak 12 hari yang lalu, kulit melepuh disertai bercak merah kehitaman dengan sisik putih kasar diatasnya, dan berair.

Awalnya pasien mengalami kecelakaan pada 3 bulan yang lalu dan mengalami patah tulang pada tungkai bawah kanan, kemudian pasien menjalani operasi pemasangan plate di RSI Yarsi Padang Panjang, dirawat selama 1 minggu, selama rawatan pasien mendapat obat suntik dan obat tablet tapi keluarga pasien tidak tau nama obatnya, kemudian pasien pulang dan kontrol setiap minggu selama 3 minggu dan mendapat obat tablet tapi keluarga tidak tahu nama obatnya.

Pasien mengalami gatal- gatal, kemerahan, dan bersisik sejak 2 bulan. Gatal, kemerahan, dan bersisik dimulai pada kedua tangan pasien, kemudian timbul pada seluruh badan pasien, disertai muka, kelopak mata sembab, mulut dan lidah pecah-pecah, mual dan muntah, pasien dirawat di RSI Yarsi Padang Panjang selama 1 minggu. Dan telah dilakukan pemeriksaan ANA IF dengan hasil positif. Kemudian pasien pulang atas permintaan sendiri dengan keluhan gatal dan kemerahan sudah bekurang. Pasien mengalami gatal, kemerahan serta bersisik 1 bulan kemudian, dan pasien berobat ke dokter spesialis kulit dianjurkan untuk dirawat, namun pasien hanya dirawat dirumah. 2 minggu kemudian pasien mengalami kulit seluruh tubuh melepuh, disertai bercak merah kehitaman, berair, bernanah dan berbau.

Demam meningkat sejak 12 hari yang lalu, terus menerus, menggigil (-), berkeringat (-), pasien tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari, demam telah dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu.

Nafsu makan menurun sejak 12 hari yang lalu, pasien hanya makan bubur 4-5 sendok sehari, namun sejak 6 hari ini pasien hanya minum susu.

Tukak pada tungkai kiri sebelah luar sejak 6 hari yang lalu, awalnya kulit berwarna kemerahan, kemudian berair dan timbil tukak, tukak tidak berbau.

Pasien tidak bisa menutup kedua matanya sejak 6 hari yang lalu.

Pasien mengalami perubahan kesadaran sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya pasien masih dapat berkontak dengan keluarga, namun dalam 2 hari ini pasien kadang-kadang tidak menyambung berkomunikasi dengan keluarga.

Mual, muntah sejak 1 hari yang lalu, frekuensi > 3x/setiap muntah, banyaknya 2 sendok, berisi apa yang diamakan dan diminum, saat dirumah sakit pasien tidak muntah.

Buang air kecil berkurang sejak 6 hari yang lalu. Buang air besar biasa. Sesak nafas tidak ada.Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit asma tidak ada. Riwayat alergi obat sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi makan tidak ada. Riwayat tranfusi darah tidak adaRiwayat Penyakit Keluarga Tak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini.Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan

Pasien adalah seorang guru SD Belum mempunyai anakPemeriksaan Umum

Kesadaran : apati Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 110 x/menit

Nafas

: 26x/menit Suhu

: 38,9 C Keadaan umum: buruk Keadaan gizi

: kurang Berat badan : 52 kg

Tinggi badan

: 155 cm BMI

: 21,2 (normoweight) Edema

: (+) Ikterik

: (-)

Anemis

: (-)

Sianosis

: (-)

Kulit

: plak hiperpimentasi, skuama, erosi, eksoriasi, pus,

krusta merah kehitaman pada seluruh tubuh. Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB

Kepala

: normocephal, tidak ada benjolan

Rambut

: hitam, alopesia (-)

Mata

: ektropion,konjunctiva hiperemis, sekret (+), sklera

tidak ikterik Telinga

: auricula normal, meatus externa tidak hiperemisHidung

: deviasi septum tidak ada

Tenggorokan

: faring tidak hiperemis

Gigi dan mulut : erosi, eksoriasi, krusta berwarna kemerahan, darah(+), Caries (-)

Leher

: JVP 5 - 2 cmH2O, kelenjar tiroid tak teraba Paru DepanInspeksi : Statis : simetris, kiri = kanan.

Dinamis : pergerakan kiri = kanan.

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : Vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Paru Belakang

Inspeksi

: Statis : simetris, kiri = kanan

Dinamis : pergerakan kiri = kanan.

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: SonorAuskultasi : Vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : iktus tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis Dekstra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M1 > M2, P2 10000 IU/ml ( < 87 )

Eosinofil absolut : 3,30 ( 0,045-0,44) 103/uL

Konsul Konsultan Alergi Imunologi

Kesan: Sindroma Hiper IgE

Terapi: lanjut

7 Desember 2013S/ demam (+) menurun, sesak nafas (-), kulit bersisik (+), nanah (-), darah (-)O/ KU sedang Kesadaran: delirium

TD : 120/90 mmHg

Nadi: 100x /menit reguler Nafas : 24 x/1 Suhu : 37,9oKeluar Hasil Labor : Leukosit

: 23.520 / mm3 Protein total : 5,2 g/dl Albumin

: 2,1 g/dl Globulin

: 3,1 g/dl Na

: 156 mmol/l K

: 3,3 mmol/l Cl

: 127 mmol/l Ca

: 7,9 mg/dl Ureum

: 225 mg/dl Creatinin

: 2,5 mg/dlKeluar Hasil ekspertise rontgen thorak : cor dan pulmo dalam batas normalKesan : Leukositosis

Hipoalbuminemia

Hipernatremia

Hipocalcemia

AKI RIFLE I ec prerenal ec dehidrasi

Advis : Tranfusi albumin 20 % 100cc

Inj. Calcium gluconas 1 amp (ektra)

Rehidrasi cairan

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi

Kesan: AKI RIFLE I ec prerenal ec dehidrasi

Hipernatremia ec dehidrasi

Terapi: Rehidrasi Nacl 0,45 % 6 jam/kolf

Balance cairan9 Desember 2013S/ demam (+), sesak nafas (-), kulit bersisik (+), nanah (-), darah (-)O/ KU sedang Kesadaran: delirium

TD : 110/70 mmHg

Nadi: 98x /menit reguler Nafas : 24 x/1 Suhu : 37,8oKeluar hasil kultur pus : Proteus mirabilis sensitif meropenem

Keluar hasil kultur urin : klebsiella sp sensitif meropenem

Konsul Konsultan Penyakit tropik dan infeksi

Kesan: Sepsis belum teratasi

Terapi: lanjut

Anjuran : Ganti antibiotik sesuai kulturKonsul Konsultan Alergi Imunologi

Kesan: Sindroma Hiper IgE

Terapi: lanjut

Anjuran : Cek faal hemostatis ( APTT/PT/D-Dimer)10 Desember 2013S/ demam (+), sesak nafas (-), kulit bersisik (+), nanah (-), darah (-), pasien meracau dan gelisahO/ KU sedang Kesadaran: delirium

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 98x /menit reguler Nafas : 24 x/1 Suhu : 37,6o Keluar hasil labor :

PT : 12,3 detik

Natrium : 150 mmol/L

APTT: 37,7 detik

Ureum : 167 mg/dlD-Dimer : 0,89 g/ml

Creatinin : 1,7 mg/dl

Keluar hasil kultur darah : sterilKesan : Faal Haemostasis dalam batas normal

Hipernatremia perbaikan

AKI perbaikan

Konsul Konsultan Psikosomatik :

Kesan : Gangguan afek

Anjuran : BDI score11 Desember 2013S/ demam (-), kulit bersisik (+), nanah (-), darah (-), pasien meracau dan gelisahO/ KU sedang Kesadaran: CM tidak kooperatif

TD : 120/70 mmHg

Nadi : 98x /menit reguler Nafas : 24 x/1 Suhu : 37,5oExtremitas : tungkai bawah kanan lebih besar dari tungkai bawah kiri,ukuran tungkai bawah kiri (30 cm), dan ukuran tungkai bawah kanan (23 cm), perabaan panas.

Keluar Hasil Labor : Leukosit

: 26.200 / mm3 Protein total: 5,2 g/dl Albumin

: 2 g/dl Globulin

: 2,3 g/dl Na

: 146 mmol/l K

: 3,5 mmol/l Cl

: 121 mmol/l Ca

: 7,3 mg/dl Ureum

: 96,5 mg/dl Creatinin

: 1 mg/dl

BDI score tidak bisa dilakukan karena pasien tidak kooperatifKesan : Suspek DVT Hipoalbuminemia

Hipocalcemia

AKI perbaikan

Advis : Konsul subbagian hematologi dan onkologi medik

Tranfusi albumin 20 % 100cc

Inj. Calcium gluconas 1 amp (ektra)DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 48 tahun di Bangsal Penyakit Dalam dengan diagnosis :

Sepsis ec eritroderma dengan infeksi sekunder Sindroma hiper IgE

AKI RIFLE I ec prerenal ec dehidrasi Fraktur 1/3 distal cruris (D)Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Awalnya pasien ini dicurigai suatu Sindrom Steven Johnson karena ditandai dengan keluhan kulit yang melepuh, kulit berwarna kehitaman, dan disertai sisik kasar pada seluruh tubuh, sebelum timbul keluhan tersebut pasien mengalami patah tungkai bawah kanan dan telah dilakukan operasi dan pasien dirawat selama 1 minggu, namun pasien tidak tahu obat yang didapatnya selama rawatan dan pada waktu kontrol ke dokter bedah. Namun trias Sindrom Steven Johnson tidak terpenuhi pada pasien ini, pada pasien ini hanya ditemukan kelainan kulit tanpa adanya vesikel dan bula, dan kelainan mata pada pasien ini ektropion yang menyebabkan blefarokonjuctivitis, tidak ditemukannya lesi pada mukosa mulut dan vagina pasien. Dari gejala klinis diatas maka dipikirkan pasien ini suatu sindrom hiper IgE, untuk itu dilakukan pemeriksaan IgE total dengan hasil >10000IU/ml dan eosinofil absolut dengan hasil > 3300 /uL. Diagnosis sindrom hiper IgE didasarkan pada kriteria Grimbacher yang diadopsi oleh National Institute of Health dengan sistem skoring. Skoring pada pasien ini berjumlah 24. Berdasarkan Literatur jika skor > 15 pasien mungkin didiagnosis dengan sindrom hiper IgE. Pengobatan pada pasien ini perawatan kulit dan diberikan kortikosteroid dengan dosis imunosupresan.

Saat masuk ke rumah sakit pasien mengalami sepsis , yang kemungkinan sumber infeksi berasal dari infeksi sekunder pada kulit yang melepuh dan terdaptnya ulkus, dimana ulkus ini terjadi karena kulit pasien yang melepuh, berair memudahkan timbulnya infeksi sekunder. Sepsis pada pasien ini didiagnosis karena terdapat tanda berupa demam 38,90c, nadi 110x/menit, nafas 26x/menit, leukosit 20.000/mm3, pCO2 17 mmHg. Berdasarkan North American Consensus Conference tahun 1991 diagnosis sepsis didasarkan adanya infeksi nyata ditambah 2 dari gejala, Pengobatan sepsis pada pasien ini diberikan resusitasi cairan dan terapi dengan dua antibiotik. Terapi sepsis pada pasien ini didasarkan pada International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock tahun 2012. Dalam perjalannya sepsis pada pasien ini belum teratasi, dan pemberian antibiotik diganti sesuai dengan hasil kultus pus yang sensitif dengan meropenem.

Diagnosis AKI RIFLE I pada pasien ini didasarkan pada jumlah urin pasien yang berkurang sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, dan pasien juga mengalami intake sulit, selama rawatan rata-rata urin pasien 1000cc/24 jam dan nilai kreatinin pasien yang lebih dari normal. Menurut Acute Dialisis Quality Initiative AKI RIFLE I yaitu bila jumlah urin output kurang dari 0,5 cc/kgbb/jam selama 12 jam dan peningkatan kreatinin 2x nilai normal. Pengobatan AKI pada pasien ini diberikan rehidrasi cairan dengan memonitor balance cairan dan pemantauan kreatinin. Cairan yang diberikan pada pasien ini yaitu normal salin (NaCl 0,45%) karena pasien juga mengalami hipernatremia.

Paien ini juga mengalami fraktur cruris dextra yang telah dipasang plat, dan telah dikonsulkan ke bagian bedah ortopedi untuk mengevaluasi keadaan tungkai bawah pasien, pasien dianjurkan untuk rontgen cruris, namun rontgen cruris belum bisa dilakukan karena kondisi pasien belum memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Woellner C, Schaffer A, Puck J (2007) The Hyper-IgE syndrome and

mutations in TYK2. Immunity 26;535.2. Minegishi Y, Saito M, Tsuchiya S, et al. Dominant-negative mutations in the DNA-binding domain of STAT3 cause hyper- IgE syndrome. Nature 2007;448:1058-62.

3. Holland SM, Deleo FR, Elloumi HZ, et al. STAT3 mutation in the hyper IgE

syndrome. N Engl J Med 2007;357:1608-19.4. Scarabelli T Amino acid supplementaton differentially modulates STAT1and STAT3 actication in the myocardium exposed to ischemia/referfusion. Am J Cardiol 2008;101:63E-68E

5. Davis SD, Schaller J, Wedgwood RJ. Job's Syndro m e .R e c u r rent, cold, staphylococcal abscesses. Lancet1966; 1: 1013-5.

6. Minegishi Y, Karasuyama H. Defects in Jak-STATmediated cytokine signals

cause hyper-IgE syndrome: lessons from a primary immunodeficiency. IntImmunol2009;21:105-12. 7.Freeman AF, Holland SM. The hyper IgE syndromes. Immunol Allergy Clin

North Am 2008;28(2):277-278. 8.Minegishi Y, Saito M, Morio T, et al. Human tyrosine kinase 2 deficiency

reveals itsrequisite roles in multiple cytokine signal sinvolved in innate and acquired immunity. Immunity 2006;25:745-55. 9. Young TY, Jerome D, Gupta S. Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome

assciated with coronary artery aneurysms :deficiency of central memory CD4 T cell and expantion of effector memory CD4 T cells. Ann Allergy Asthma Immunol 2007;98:389-392.

10. Kim HJ, Kim JH, Shin YK, Lee SI, Ahn KM : A novel mutation in the linker domain of the signal tranducer and activator of transcrption 3 gene, p.Lys531Glu, in hyper-IgE syndrome. J Allergy Clin Immunol 2009,123:956-958.

11. Eddahri F, Denanglaire S, Bureau F, Spolski S, Leonard WJ, Leo O, Andris F: Interleukin-6/STST3 signaling regulated the ability of naive T cells to acquire the ability to help B cells Blood 2009,113:2426-2433.

12. Becker S, Groner B, Muller CW, Three-dimentional structure of the STAT3

beta hemodimer bound to DNA. Nature 1998;394:145-51.13. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R, The rise of prevalance and the fall of mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two data bases Does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006; 17 :923-5

14. Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: pusat penertibatn Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p27-40.15. H. Guntur. Sepsis. Dalam: SIRS dan Sepsis. Edisi I. Editor Prasetyo Heri, Sutanto Yusup. Surakarta. Sebelas Maret University Press. 2006: 1-16.

16. H. Guntur. Overview Sepsis and Septic Shock. Dalam: Kumpulan Abstrak & Makalah. National Workshop: The 4th Indonesian Sepsis Forum. Editor H Guntur, S Yusup, Reviono. Surakarta. Sebelas Maret University Press. 2011:1-33.

17. Pohan Herdiman. Sepsis Update: pemilihan Terapi Antimikroba. Dalam : Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2010. Editor : Setiyohadi Bambang dkk. Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010: 202-209.

25