memetakan posisi indonesia di laut tiongkok...

10
32 ABSTRAK Secara resmi, Indonesia mengakui sepuluh negara tetangga yang dengannya diperlukan batas maritim. Negara tersebut adalah India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Indonesia memerlukan delimitasi batas maritim di Laut Tiongkok Selatan dengan Malaysia dan Vietnam. Sementara itu, Indonesia tidak menganggap Tiongkok sebagai tetangga yang dengannya diperlukan batas maritim. Meskipun Indonesia menegaskan tidak ada isu maritim dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, perkembangan beberapa tahun terakhir mengindikasikan hal sebaliknya. Insiden di perairan sekitar Kepulauan Natuna yang melibatkan kapal nelayan Tiongkok, petugas patroli Indonesia dan “kapal administrasi perikanan Tiongkok” tahun 2010, misalnya, menegaskan hal ini. Selain itu, garis putus-putus atau nine-dashed line yang diklaim Tiongkok, jika divisualisasi menggunakan pendekatan tertentu,berpotensi menimbulkan kawasan tumpang tindih dengan klaim Indonesia dan terutama dengan batas maritim yang sudah disepakati Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam. Tulisan ini pada dasarnya mengkaji posisi dan sikap Indonesia di Laut Tiongkok Selatan, terutama terkait dengaTiongkok. Pertimbangan utama kajian ini adalah cakupan geospasial klaim Indonesia dan Tiongkok serta perjanjian batas maritim yang sudah disepakati di Laut Tiongkok Selatan. Kata kunci: Laut Tiongkok Selatan, batas maritim, nine-dashed line, Indonesia, nelayan. 1. Dosen Teknik Geodesi, peneliti bidang aspek teknis/geospasial hukum laut internasional, terutama batas maritim antarnegara. MEMETAKAN POSISI INDONESIA DI LAUT TIONGKOK SELATAN: SEBUAH TINJUAN GEOSPASIAL DAN LEGAL 1 I Made Andi Arsana Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada [email protected] JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4 MEMETAKAN POSISI INDONESIA DI LAUT TIONGKOK SELATAN: SEBUAH TINJUAN GEOSPASIAL DAN LEGAL

Upload: trinhnhu

Post on 14-Jul-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

32

ABSTRAKSecara resmi, Indonesia mengakui sepuluh negara tetangga yang dengannya diperlukan batas maritim.

Negara tersebut adalah India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Indonesia memerlukan delimitasi batas maritim di Laut Tiongkok Selatan dengan Malaysia dan Vietnam. Sementara itu, Indonesia tidak menganggap Tiongkok sebagai tetangga yang dengannya diperlukan batas maritim. Meskipun Indonesia menegaskan tidak ada isu maritim dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, perkembangan beberapa tahun terakhir mengindikasikan hal sebaliknya. Insiden di perairan sekitar Kepulauan Natuna yang melibatkan kapal nelayan Tiongkok, petugas patroli Indonesia dan “kapal administrasi perikanan Tiongkok” tahun 2010, misalnya, menegaskan hal ini. Selain itu, garis putus-putus atau nine-dashed line yang diklaim Tiongkok, jika divisualisasi menggunakan pendekatan tertentu,berpotensi menimbulkan kawasan tumpang tindih dengan klaim Indonesia dan terutama dengan batas maritim yang sudah disepakati Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam. Tulisan ini pada dasarnya mengkaji posisi dan sikap Indonesia di Laut Tiongkok Selatan, terutama terkait dengaTiongkok. Pertimbangan utama kajian ini adalah cakupan geospasial klaim Indonesia dan Tiongkok serta perjanjian batas maritim yang sudah disepakati di Laut Tiongkok Selatan.

Kata kunci: Laut Tiongkok Selatan, batas maritim, nine-dashed line, Indonesia, nelayan.

1. Dosen Teknik Geodesi, peneliti bidang aspek teknis/geospasial hukum laut internasional, terutama batas maritim antarnegara.

MEMETAKAN POSISI INDONESIADI LAUT TIONGKOK SELATAN: SEBUAH TINJUAN GEOSPASIALDAN LEGAL 1I Made Andi Arsana

Jurusan Teknik Geodesi,Fakultas Teknik,Universitas Gadjah [email protected]

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

MEMETAKAN POSISI INDONESIADI LAUT TIONGKOK SELATAN: SEBUAH TINJUAN GEOSPASIALDAN LEGAL

33

PENDAHULUAN Tiongkok Selatan belum disepakati dengan negara Indonesia adalah negara kepulauan yang sudah tetangga, Indonesia memiliki klaim sepihak (unilateral

meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut claim) yang juga dijadikan dasar bagi batas wilayah (UNCLOS). Karena lokasi geografis dan kewenangan pengelolaan perikanan di kawasan tersebut . kawasan maritim Indonesia menurut UNCLOS, Menurut Peraturan Menteri KKP Nomor 1 tahun Indonesia memiliki setidaknya sepuluh tetangga 2009, kawasan perairan Laut Tiongkok Selatan yang dengan kesemuanya perlu ditetapkan batas termasuk dalam WPP-711 . WPP ini diperkirakan maritim. Kesepuluh tetangga tersebut adalah India, memiliki produksi sebesar 1.059.000 ton per tahun . Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste . sepuluh WPP lainnya. Ini menegaskan bahwa potensi S a m p a i O k t o b e r 2 0 1 5 , I n d o n e s i a b e l u m perikanan di Laut Tiongkok Selatan sangat besar menyelesaikan perbatasan dengan kesepuluh sehingga ini menjadi kawasan yang penting bagi tetangga itu secara tuntas, meskipun telah berhasil Indonesia.menyepakati setidaknya 19 perjanjian batas maritim Salah satu masalah utama di Laut Tiongkok dengan delapan tetangga . Dari kesepuluh tetangga Selatan adalah belum tuntasnya kedaulatan dan hak itu, Indonesia juga memiliki perbatasan darat, selain berdaulat atas wilayah dan kawasan laut. batas maritim, dengan Malaysia, Papua Nugini dan Pulau/karang/elevasi pasut di sana masih menjadi Timor Leste . sengketa antara banyak negara, demikian pula

Salah satu kawasan yang memerlukan penetapan kawasan maritimnya. Tiongkok, misalnya, batas maritim adalah Laut Tiongkok Selatan yang mengklaim hampir seluruh kawasan dengan merupakan kawasan laut setengah tertutup (semi- mengeluarkan peta yang memuat garis putus-putus enclosed sea). Laut Tiongkok Selatan dikelilingi oleh melingkupi Laut Tiongkok Selatan. Garis itu dikenal beberapa negara atau entitas yaitu Tiongkok, dengan nine-dashed line karena terdiri dari sembilan Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, segmen garis putus-putus . Klaim Tiongkok ini sejak Filipina dan Taiwan (lihat Gambar 1). awal tidak diterima oleh negara-negara di sekitar

Indonesia berhak atas zona maritim di Laut Laut Tiongkok Selatan yang juga memiliki klaim Tiongkok Selatan yang diukur dari garis pangkal di sepihak terhadap pulau/karang/elevasi pasut dan sekitar Kepulauan Natuna. Meskipun batas kawasan maritim .kewenangan Indonesia atas kawasan air laut di Laut Meskipun Indonesia tidak terlibat dalam sengketa

5

6

7

2

3

8

4

9

10

2. Oegroseno, AH., 2009. Indonesia's Maritime Boundaries, in Cribb, R. and Ford, M. 2009, Indonesia beyond the water's edge- Managing an archipelagic state, Indonesian Update Series, RSPAS Australian National University, ISEAS, Singapore. hal. 49-58.

3. Arsana, I M. A. 2015. Indonesia's Maritime Boundaries and Its Maritime Ambitions, RSIS Workshop on Indonesia's World Maritime Fulcrum: Challenges and Trajectory, Singapore 23 Juli 2015.

4. Arsana, I M. A. dan Lokita, S. 2011. Reviewing Indonesia's new approach to border management, dalam Zein, S. dan Arsana, I M. A. (eds) Contribution Matters 2.0, PPI Australia, Canberra.

5. Seperti yang terlihat misalnya pada Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 2009, 2010, 2011. Lihat misalnya, Badan Informasi Geospasial, 2015. Peta NKRI, Cibinong.

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) nomor 1 tahun2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Terakhir diakses dari <> tanggal 21 Oktober 2015.

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) nomor 45 tahun2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Perikanan di Indonesian Wilayah Perngelolaan Perikanan Indonesia. Terakhir diakses dari tanggal 21 Oktober 2015.

8. Definisi pulau dan karang diatur pasal 121 UNCLOS. Elevasi pasut (low-tide elevation) menurut pasal 13 UNCLOS adalah fitur yang muncul ketika air surut dan tenggelam ketika air pasang.

9. Klaim ini dipublikasikan pertama kali tahun 1947 oleh Departemen Geografi Menteri Dalam Negeri Republik China Taipei (Taiwan) dan disebut ”The Location Map of the South China Sea Islands” atau Nanhai zhudao weizhi tu dalam Bahasa China. Lihat, Li Jinming dan Li Dexia, 2003. “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note,” Ocean Development & International Law, 34.

10. Lihat catatan kaki 9.

http://kapi.kkp.go.id/files/download/79

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

34

pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia Dengan demikian Indonesia tentu berharap akan tetap memiliki hak atas kawasan maritim di sana berurusan dengan kedua negara tersebut yaitu termasuk sumberdaya di dalamnya . Dalam Vietnam atau Malaysia dalam kompetis i perspektif Indonesia, belum jelasnya kedaulatan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Apa yang dilakukan hak berdaulat atas kawasan maritim di Laut Tiongkok nelayan Tiongkokmungkin bisa mengubah Selatan disebakan oleh setidaknya dua hal yaitu pandangan Indonesia yang selama ini tidak karena kedaulatan atas pulau, karang dan fitur menganggap Tiongkok sebagai salah satu tetangga geografis lain di kawasan tersebut masih yang memerlukan delimitasi batas maritim.disengketakan, dan karena belum tuntasnya Tulisan ini berusaha untuk memetakan kembali delimitasi batas maritim. Indonesia sendiri belum kedudukan geografis dan geostragtegis Indonesia di menetapkan batas ZEE dengan Vietnam dan Malaysia Laut Tiongkok Selatan yang secara formal melibatkan sehingga pembagian kawasan air belum jelas secara Vietnam dan Malaysia.Interaksi Indonesia dengan legal. Sementara itu, Tiongkok sendiri bersikukuh Tiongkok secara geospasial juga dibahas, terutama dengan klaimnya berdasarkan nine-dashed line. terkait klaim maritim oleh Tiongkok dan kaitannya

Meskipun kedaulatan dan hak berdaulat belum dengan kedudukan Indonesia saat ini.Tulisan ini jelas, aktivitas penangkapan ikan sudah dan tetap menyajikan analisis geospasial terhadap klaim dilakukan oleh nelayan dari negara-negara di maritim di Laut Tiongkok Selatan dan simulasi kawasan Laut Tiongkok Selatan. Umumnya, aktivitas delimitasi batas maritim. Semua itu dengan dilakukan di kawasan Laut Tiongkok Selatan mempertimbangkan ketentuan legal (UNCLOS) dan berdasarkan klaim masing-masing. Belakangan ini teknis (geospasial). Data yang digunakan adalah Tiongkok melakukan penangkapan ikan di perairan British Admiralty Chart (BAC) yang relevan dan data dekat Kepulauan Natuna yang menurut Indonesia geospasial seperti koordinat dan peta perjanjian yang adalah bagian dari perairan Indonesia (lihat tersedia pada domain publik. Dalam proses kajian penjelasan di bagian selanjutnya). Insiden yang teknis digunakan perangkat delimitasi batas maritim terjadi pada tahun 2009, 2010, tahun 2013 dan 2015 yang sesuai.adalah contoh aktivitas nelayan Tiongkok yang

Indonesia dan Laut Tiongkok Selatanmenurut Indonesia sebagai tindakan yang menyalahi Perlu ditegaskan bahwa Indonesia hanya ketentuan hukum internasional. Kedatangan nelayan

mengklaim kawasan laut dan tidak mengklaim Tiongkok ini tidak bisa dilihat hanya sebagai aktivitas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia ekonomi terkait perikanan tetapi labih dari itu, bukanlah claimant State untuk sengketa wilayah di berupa penegasan bahwa Tiongkok bersikukuh Laut Tiongkok Selatan. Klaim Indonesia atas kawasan dengan klaimnya atas kawasan laut di Laut Tiongkok maritim di Laut Tiongkok Selatan ini didasarkan pada Selatan. kenyataan bahwa Kepulauan Natuna adalah bagian Di satu sisi, Indonesia menganggap hanya ada dua dari kedaulatan Indonesia secara sah. Indonesia yang negara di kawasan tersebut yang memiliki/ berhak menarik garis pangkal kepulauan di sekitar memerlukan batas maritim dengan Indonesia.

11

12

11. Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS, Indonesia berhak atas zona maritim di Laut Tiongkok Selatan yang diukur dari garis pangkal di sekitar Kepulauan Natuna.

12. Delimitasi adalah penetapan batas maritim antarnegara. Menurut Spehen B. Jones (1945 ada empat langkah dalam pembuatan batas (boundary making yaitu alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi. Alokasi adalah kesepakatan politik pembagian teritori antara dua kekuatan atau penguasa. Delimitasi adalah penetapan garis batas di atas peta berdasarkan kesepakatan politik sebelumnya. Proses selanjutnya adalah demarkasi yaitu penegasan batas di lapangan dengan mendirikan patok atau pilar berdasarkan garis delimitasi di atas peta. Admistrasi adalah tahap akhir yang terkait dengan pengelolaan batas yang sudah diselesaikan. Dalam batas maritim, istilah umum yang dipakai adalah delimitasi karena pada dasarnya batas maritim hanya ada di peta, tidak diwujudkan di lapangan berupa patok atau pilar sehingga tidak umum digunakan istilah demarkasi.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

35

delimitasi dengan Malayasia dan Vietnam. Meski demikian, harus diperhatikan bahwa cara 'menyambung' nine-dashed line tentu saja bisa beragam. Menyambung nine-dashed line dengan metode seperti yang disampaikan di Gambar 2 hanya salah satu cara. Bisa saja penyambungan dilakukan dengan garis lurus atau garus yang acak. Intinya secara legal, tidak ada kewajiban untuk menyambung nine-dashed line dan tidak ada ketentuan untuk menggunakan metode tertentu dalam penyambungan itu.

M e n g i n g a t kedudukannya sebagai negara Kepulaun Natuna juga berhak atas kawasan maritim

yang tidak turut mengklaim teritori d di Laut yang lebarnya ditentukan dari garis pangkal tersebut. Tiongkok Selatan, Indonesia mengambil langkah baik Gambar 1 mengilustrasikan kedudukan geografis dengan menginisiasi lokakarya Laut Tiongkok Laut Tiongkok Selatan dengan potensi klaim dari Selatan. Prof. Hasjim Djalal, pakar hukum laut dan masing-masing negara di kawasan tersebut.mantan diplomat Indonesia, menjadi penggagas sekaligus pelaku utama lokakarya Laut Tiongkok Gambar 1 menunjukkan pulau-pulau kecil yang Selatan tersebut . Pada dasarnya Indonesia berusaha disengketakan dan klaim masing-masing negara di memediasi berbagai negara yang berkonflik tersebut kawasan atas zona maritim. Indonesia sudah dan membantu mencari jalan keluar. Indonesia menyepakati batas maritim untuk landas kontinen berusaha mendorong terciptanya situasi yang bisa dengan Malaysia pada tahun 1969 dan dengan mengubah potensi konflik menjadi peluang Vietnam pada tahun 2003 . Dengan ditetapkannya kerjasama. batas maritim ini, kewenangan Indonesia atas dasar

Isu klaim maritim tumpang tindih dan perlunya laut di Laut Tiongkok Selatan sudah tuntas dan jelas. delimitasi maritim antara Tiongkok dan negara di Meski demikian, batas ZEE belum ditetapkan kawasan Laut Tiongkok Selatan, terutama Indonesia, sehingga pembagian kawasan air laut belum tuntas. sesungguhnya bukanlah hal baru. Misalnya, pada Sementara itu, klaim Tiongkok berupa nine-dashed tahun 1993 delegasi Tiongkok dalam Lokakarya Laut line, jika dibuat menjadi garis tersambung maka ada Tiongkok Selatan di Surabaya untuk pertama kalinya potensi tumpang tindih klaim maritim antara nine-menampilkan sebuah peta klaim “perairan sejarah” dashed line dengan dasar laut Indonesia hasil dari

15

13

14

Gambar 1. Kedudukan geografis Laut Tiongkok Selatan

13. Untuk dokumentasi lengkap perjanjian ini, lihat Park, Choon-ho, “Indonesia- Malaysia (Continental Shelf),” dalam Jonathan I. Charney dan Lewis M. Alexander (eds) International Maritime Boundaries (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher, 1993), 1025-1027.

14. Lihat catatan kaki 2.15. Komunikasi Pribadi dengan Prof. Hasjim Djalal, Manila, 29 January 2012. Informasi tentang ini juga bisa ditemukan di jurnal dan buku

ilmiah terkait Laut Tiongkok Selatan.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

36

(historic waters). Klaim Tiongkok tersebut tumpang aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan Tiongkok di tindih dengan klaim ZEE Indonesia yang diklaim dari perairan dekat Natuna yang dipercaya merupakan garis pangkal di Kepulauan Natuna. Ini semacam yurisdiksi Indonesia.penegasan bahwa Indonesia sesungguhya diseret ke

Klaim Maritim di Laut Tiongkok Selatandalam sengketa Laut Tiongkok Selatan .Kawasan geografis yang relevan bagi Indonesia Untuk menanggapi tindakan Tiongkok ini,

adalah bagian baratdaya Laut Tiongkok Selatan yang Indonesia mengirimkan nota protes melalui Menteri dibingkai oleh daratan utama Indonesia, Malaysia Luar Negeri Ali Alatas segera setelah lokakarya di dan Vietnam. Selain itu, di Laut Tiongkok Selatan Surabaya. Selanjutnya Indonesia meminta terdapat pulau/karang/elevasi pasut yang pemerintah Tiongkok mengklarifikasi klaimnya di tergabung dalam Kepulauan Spratly dan berpotensi Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok menanggapi mengklaim kawasan maritim. Bagian ini membahas dengan menawarkan penyelesaian masalah lewat klaim maritim di Laut Tiongkok Selatan baratdaya negosiasi . Meski demikian, Indonesia menolak dari daratan utama atau garis pangkal negara pantai bernegosiasi perihal isu tersebut dan sebagai gantinya maupun dari Kepulauan Spratly.Indonesia menggelar latihan militer di sekitar Natuna

pada tahun 1996. Nampaknya, latihan ini Klaim Maritim dari Negara Pantaidimaksudkan untuk mengirimkan pesan yang tegas

Salah satu unsur geografis penting di Laut bahwa Indonesia t idak kompromi dalam Tiongkok Selatan adalah kelompok pulau yaitu mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulatnya. Kepulauan Natuna di sebelah barat daya, dan Indonesia nampaknya tidak menanggapi isu dengan Kepulauan Spratly di timurlaut (lihat Gambar 1). Tiongkok ini dengan sangat serius karena tidak ingin

m e n i m b u l k a n k e s a n memberikanlegitimasi pada klaim maritim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan . Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Alatas ketika itu, pengulangan hal-hal yang tidak benar secara terus menerus pada akhirnya bisa menimbulkan kesan bahwa ketidakbenaran itu menjadi kebenaran .

Lepas dari posisi resmi Indonesia, perkembangan terkini menunjukkan terjadi kontradiksi dengan posisi resmi Indonesia. Telah terjadi beberapa insiden terkat

16

17

18

19

Gambar 2. Klaim maritim di Laut Tiongkok Selatan Barat Daya

16. Douglas Johnson, 1997. “Drawn into the Fray: Indonesia's Natuna Islands meet China's Long Gaze South,” Asian Affairs, Vol. 24, No. 3, Fall.

17. John McBeth, 1995. “Oil Rich Diet,” Far Eastern Economic Review, 27 April 1995, 28.18. Lihat catatan kaki nomor 15, hal. 155.19. McBeth, 28; Paul Jacob, 1995. “Alatas Downplays China's Claims in Natuna Islands Map,” Straits Times, 4, hal. 2.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

37

Klaim maritim dari Kepulauan SpratlyBerbeda dengan Kepulauan Spratly yang Kepulauan Spratly terletak di Laut Tiongkok kepemilikannya menjadi sengketa, kedaulatan atas

Sealatan bagian selatan dan melingkupi kawasan Kelompok Kepulauan Natuna, yang terdiri lebih dari 2seluas kurang lebih 240,000 km . Meskipun 200 pulau, tidak menjadi sengketa dan secara

informasi jumlah pulau/karang yang membentuk meyakinkan memang bagian dari Indonesia. Meski Kepulauan Spratly tidak bisa dipastikan, sebagian kedaulatan atas Natuna tidak bermasalah, klaim besar ahli dan akademisi memperkirakan jumlahnya maritim Indonesia dari Natuna tetap memerlukan berkisar antara 150 hingga 180. Ada beberapa alasan interaksi dengan negara lain di sekitarnya. terjadinya ketidakpastian ini, salah satunya adalah Persaingan klaim dan potensial klaim maritim di bahwa Kepulauan Spratly terdiri dari banyak jenis sekitar Kepulauan Spratly ditunjukkan pada Gambar fitur insular mulai dari pulau kecil, karang, elevasi 2.surut dan terumbu bahkan gosong yang telah Pada Gambar 2 bisa dilihat klaim dari negara dibanguni sesuatu atau bahkan direklamasi. Selain pantai di sekitar Laut Tiongkok Selatan yang itu, banyak pulau di Kepulauan Spratly yang menyebabkan berbagai potensi tumpang tindih. memperoleh nama lebih dari satu dengan bahasa Khusus untuk Tiongkok, klaimnya dinyatakan berbeda. Hal ini menambah ketidakpastian jumlah dengan nine dashed line yang dalam hal ini disambung pulau.dengan garis yang membentuk huruf “U” meskipun

Dari sekian banyak fitur geografis di Kepulauan s e p e r t i y a n g d i s a m p a i k a n s e b e l u m n y a , Spratly, Pulau Spratly merupakan obyek yang penyambungannya tidak harus meggunakan berukuran cukup besar sehingga relevan dalam pendekatan ini. Sementara itu, Indonesia juga menentukan batas terluar zona maritim di Laut memiliki klaim ZEE unilateral yang bisa dipandang Tiongkok Selatan baratdaya. Pulau Spratly sebagai posisi depan (foward position) Indonesia merupakan sebuah pulau kecil yang membentuk terkait batas maritim di Laut Tiongkok Selatan. Kepulauan Spratly. Pulau inilah yang akhirnya Meskipun usulan Indonesia akan batas ZEE yang menjadi nama gugusan pulau yang disengketakan di berbeda dengan batas landas kontinen nampaknya Laut Tiongkok Selatan itu. Jadi, perlu dipahami akan menimbulkan konsekuensi rumit dalam bahwa Pulau Spratly mengacu pada satu pulau pengelolaan kelautan, hal ini bukanlah sesuatu yang tertentu sedangkan Kepulauan Spratly merupakan tidak mungkin. Kenyataannya, pendekatan ini sudah gugusan pulau yang terdiri dari sekitar 200 pulau, pernah diterapkan pada batas maritim antara karang dan elevasi pasut. Indonesia dengan Australia di Laut Timor.

Pulau Spratly berlokasi di koordinat 8° 38'.98 LU Sementara itu belum ada kejelasan apakah Malaysia 111° 54'.69 BT. Pulau ini berbentuk seperti segitiga dan Vietnam menginginkan batas ZEE dan landas alas berorientasi timurlaut-baratdaya dengan kontinen berhimpit. Perlu ditegaskan bahwa klaim panjang 750 meter. Pulau Spratly berukuran sekitar 13 ZEE yang berbeda dengan batas landas kontinen hektar dengan sisi pendek selebar 350 meter. Pulau itu adalah hal yang tidak melanggar ketentuan hukum biasanya muncul di atas permukaan air saat pasang laut internasional.dengan ukuran tinggai 2,4 meter dan diokupasi oleh

21

22

23

20

20. Herriman, M. and Tsamenyi, M., 1998. “The 1997 Australia-Indonesia Maritime Boundary Treaty: A Secure Legal Regime for Offshore Resource Development?” Journal of Ocean Development and International Law, 29, hal. 361-396.

21. Lihat, Daniel J. Dzurek, 1996. The Spratly Islands: Who's On First?, (International Boundaries Research Unit, Durham), hal. 122. Dzurek berpendapat bahwa terdapat lebih dari 170 fitur dengan nama berbahasa Inggris di Kepulauan Spratly.” Lihat catatan kakinomor

20, hal.1.23. Clive Schofield, 2009. 'Dangerous Ground – A geopolitical overview of the South China Sea', hal.7-25 dalam S. Bateman dan R.

Emmers (eds) The South China Sea: Towards a Cooperative Management Regime, London: Routledge, hal.9-10.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

38

Vietnam. Berdasarkan kondisi ini dan ditambah itu bisa menguasai kawasan laut yang sangat luas pengamatan dari citra satelit Pulau Spratly, sehingga mempengaruhi batas terluar zona maritim nampaknya pulau tersebut memenuhi syarat untuk serta batas maritim di kawasan tersebut. Dengan mendukung kehidupan manusia atau kriteria demikian, terjadi potensi tumpang tindih dengan dukungan kehidupan ekonomi seperti yang landas kontinen yang merupakan hasil delimitasi disyaratkan dalam Pasal 121 UNCLOS sehingga bisa dengan Malaysia dan Vietnam dan dengan klaim mengklaim ZE dan landas kontinen. Adanya ZEE Indonesia (lihat Gambar 3). Sementara itu ada pemukiman dan landasan pacu pesawat terbang pandangan bahwa sebuah pulau kecil sebaiknya menambah keyakinan akan anggapan ini. Pulau tidak mengklaim kawasan laut lebih dari garis tengah Spratly diklaim oleh Tiongkok, Taiwan dan dengan tetangga terdekatnya (median line). Meskipun Vietnam. Pulau Spratly hanya mengklaim ZEE hingga garis

Dengan pertimbangan pada bagian sebelumnya, tengah dengan tetangga terdekat, akan ada potensi bisa dikatakan bahwa Pulau Spratly berhak atas tumpang tindih dengan klaim ZEE Indonesia (lihat kawasan laut lebih dari 12 mil laut lalut teritorial Gambar 3). Meski demikian, bobot yang diberikan mengingat pulau tersebut memenuhi semua kriteria pada Pulau Spratly dalam delimitasi batas maritim sebuah pulau. Seandainya Pulau Spratly memang tentu saja masih belum jelas dan akan menentukan bisa mengklaim ZEE hingga 200 mil laut maka pulau hasil dilemitasi, jika ada, di masa depan.

Meski Gambar 3 menunjukkan adanya potensi tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, ter lalu dini untuk m e m a s t i k a n s e c a r a a k u r a t besarnya luasan tumpang tindih antara klaim maritim Tiongkok dan Indonesia di kawasan Laut T iongkok Se la tan . Anal i s i s geospasial yang dilakukan untuk tulisan ini menggunakan beberapa a s u m s i y a n g b e r p e n g a r u h terhadap hasil kajiannya. Asumsi pertama adalah bahwa nine-dashed line 'disambung' menjadi garis yang utuh.Hal ini dilakukan secara

24

28

25 29

26

27

Gambar 3. Klaim maritim di Laut Tiongkok Selatan Barat Daya

24. David Hancox dan Victor Prescott. 1995,A Geographic Description of the Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys amongst Those Islands. IBRU Maritime Briefing, hal. 14-15.

25. UNCLOS, Pasal 121.26. Scott Davidson, 1988. The Spratly Islands, International Journal of Estuarine & Coastal L. hal. 345-353. Filipina menyebutnya

Kalantiyaw Cay, China menamai An Po Na Sha Zhou. Vietnam sendiri menyebutnya An Bang serta Malaysians menamai Pulau Kecil Ambyona.

27. Lihat catatan kaki nomor 24.

28. Lihat catatan kaki 2. Naskah lengkap UU No 18 tahun 2007 tersedia di

.29. Lihat, Badan Informasi Geospasial, 2015. Peta NKRI, Cibinong.

http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/2007/UU_NO_18_2007.pdf

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

39

grafis dengan menghubungkan bagian garis putus- perhatian dan bersiap dengan baik agar pengelolaan putus pada peta yang dipublikasikan Tiongkok di kawasan maritim dapat dilakukan dengan baik untuk dokumen note verbale yang diajukan kepada kepentingan nasional.Sekretaris Jendral PBB dalam menanggapi pengajuan

KESIMPULAN DAN SARANlandas kontinen ekstensi Malaysia dan Vietnam. Kesimpulan'Penyambungan' dilakukan dengan pendekatan

Indonesia adalah negara kepulauan yang tertentu yaitu menganggap garis akhir berupa garis memandang laut sebagai bagian penting dari wilayah dengan orientasi yang 'mulus' dan itu tentu bukan dan yurisdiksi negara. Indonesia juga menganggap satu-satunya cara 'menyambung' garis tersebut. sumberdaya lautsebagai bagian yang sangat penting Asumsi kedua adalah bahwa klaim Tiongkok melalui untuk kelangsungan hidup masyarakat. Maka dari nine-dash line dimaksudkan untuk mengklaim itu, usaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil kawasan maritim selain untuk mengklaim pulau-sumberdaya lautdengan memperhatikan kelestarian pulau di Laut Tiongkok Selatan. Asumsi ketiga adalah menjadi sangat penting bagi Indonesia. Pengelolaan dimungkinkannya klaim maritim lebih dari 12 mil sumberdaya laut bisa dioptimalkan, salah satunya, laut oleh beberapa pulau kunci di Laut Tiongkok dengan memastikan kewenangan Indonesia atas Selatan seperti Pulau Spratly.wilayah dan yurisdiksi maritim Indonesia yang Secara geospasial, kemungkinan adanya tumpang ditandai dengan kejelasan batas maritim antarnegara.tindih klaim maritim antara Indonesia dan Tiongkok Secara resmi Indonesia mengakui sepuluh negara di Laut Tiongkok Selatan baratdaya mungkin saja tetangga yang memerlukan delimitasi batas maritim. terjadi. Jika hanya mengandalkan pertimbangan Salah satu kawasan yang menjadi perhatian teknis/geospasial, adalah hal yang wajar dan rasional Indonesia adalah Laut Tiongkok Selatan yang jika Indonesia memikirkan secara serius adanya padanya Indonesia mengakui dua tetangga yaitu urusan terkait maritim dengan Tiongkok di Laut Malaysia dan Vietnam. Sementara itu, beberapa Tiongkok Selatan. Sebagian pihak mungkin negara/pihak di kawasan Laut Tiongkok Selatan, berpandangan bahwa peluang delimitasi batas seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Taiwan, maritim antara Indonesia dan Tiongkok tidak perlu Malaysia dan Brunei memiliki klaim sepihak baik atas dibahas karena posisi Indonesia sudah jelas. Meski pulau-pulau kecil maupun kawasan maritim di Laut demikian, perkembangan terkini, terutama dengan Tiongkok Selatan. Klaim ini menimbulkan sengketa terjadinya insiden penangkapan ikan oleh nelayan yang berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga Tiongkok belakangan ini merupakan indikasi saat tulisan ini dipublikasikan. perlunya perhatian ke arah sana. Yang jelas, Laut

Khusus untuk Tiongkok, klaimnya diwujudkan Tiongkok Selatan merupakan kawasan yang dengan nine-dashed line yang melingkupi hampir menjanjikan dan penting bagi sumberdaya perikanan semua kawasan Laut Tiongkok Selatan. Dalam dan mineral bagi Indonesia. Sementara itu, beberapa tahun terakhir, banyak pihak mengakui persaingan untuk memanfaatkan sumberdaya bisa bahwa Tiongkok menjadi lebih agresif dalam hal diamati dari kegiatan negara-negara di sekitar Laut klaim maritim. Hal ini ditunjukkan, salah satunya, Tiongkok Selatan. Sebagai negara yang berada di dengan aktivitas di Laut Tiongkok Selatan berupa kawasan Laut Tiongkok Selatan dengan hak atas penangkapan ikan. kawasan maritim di sana, Indonesia perlu memberi

30

30. Note Verbal Republik Rakyat China kepada Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 7 Mei 2009 nomor CML/17/2009.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

40

Analisis teknis geospasial terhadap Laut Tiongkok itu, analisis yang menganggap nine-dashed line sebagai Selatanbaratdaya menunjukkan adanya potensi sebuah keniscayaan, sebaiknya bersifat internal saja tumpang tindih klaim maritim. Tumpang tindih ini dan tidak menjadi dasar bagi posisi Indonesia secara jelas memerlukan delimitasi, terutama antara formal dan dipahami oleh publik.Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Sementara itu, ada

Saranpotensi tumpang tindih dengan Tiongkok dengan Berdasarkan kesimpulan dalam tulisan ini, berbagai asumsi,meskipun hal itu masih bisa

penting bagi pihak berkepentingan di Indonesia diperdebatkan dan tergantung persepsi kita terhadap untuk meneruskan kajian rinci tentang potensi nine-dashed line. Meski demikian, hasil kajian ini, tumpang tindih maritim dan delimitasi batas maritim dengan segala kelemahannya, menunjukkan perlu di Laut Tiongkok Selatan baratdaya. Kajian dalam adanya perhatian lebih dari Indonesia di Laut tulisan ini bersifat awal dan perlu dilengkapi Tiongkok Selatanbaratdaya dalam konteks batas pertimbangan lain, terutama politis, sehingga maritim. Meskipun Indonesia tetap kukuh dengan hasilnya menjadi lebih komprehensif. Pihak terkait di pendiriannya bahwa tidak ada isu kelautan dengan Indonesia perlu tetap menjaga sikap tegasnya terkait Tiongkok, insiden yang terjadi dalam beberapa tahun klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan dan terakhir di perairan yang diklaim Indonesia mendorong secara diplomatis agar Tiongkok bisa menunjukkan hal sebaliknya. Artinya, batas maritim mengklarifikasi klaimnya sehingga menjadi jelas antara Indonesia dan Tiongkok yang tadinya perlu tidaknya delimitasi batas maritim.dipandang sebagai sesuatu yang maya atau bahkan

Bagi pemerintah Indonesia, secara hukum tidak adamungkin tidak selamanya demikian. mungkin nine-dashed line bisa dianggap tidak ada Penegasan klaim dan kewenangan kawasan namun tidak bisa dianggap begitu secara realitas. maritim di Laut Tiongkok Selatan penting dilakukan Tindakan Tiongkok yang semakin agresif di nine-negara-negara di kawasan, terutama Tiongkok yang dashed line tentu harus membuat Indonesia waspada. selama ini memiliki klaim yang tidak jelas secara Instrumen diplomasi tentu harus diperkuat dan geospasial. Hal ini pada akhirnya mungkin akan kekuatan militer juga tidak bisa diabaikan. Indonesia memerlukan adanya delimitasi batas maritim yang tentu tidak akan melakukan tindakan provokatif sangat penting untuk memfasilitasi negara-negara terkait klaim dan situasi maritim di Laut Tiongkok kawasan dalam memanfaatkan sumberdaya laut di Selatan dan akan mengedepankan ketentuan hukum Laut Tiongkok Selatan.laut internasional dalam bersikap. Meski demikian, Meski Indonesia harus waspada, perlu kembali tindakan agresif dan asertif dari pihak lain tentu harus diingat bahwa nine-dashed line secara hukum tidak ada membuat Indonesia waspada. Peningkatan kekuatan bagi Indonesia. oleh karena itu, dalam perundingan militer merupakan salah satu langkah penting yang atau diskusi formal, posisi Indonesia hendaknya tentu harus dilakukan dan dikelola dengan bijaksana. selalu sama dan tegas bahwa Indonesia tidak Seperti ajaran sebuah ungkapan penting: si vis pacem, mengakui adanya nine-dashed line sebagai klaim para bellum,bahwa untuk bisa hidup damai, sebuah maritim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. negara harus siap berperang.Indonesia tentu tidak bisa mengakui sebuah klaim

maritim yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum internasional, dalam hal ini UNCLOS. Oleh karena itu, secara formal, garis nine-dashed line memang tanpa Dasar hukum yang jelas. Sementara

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4

41

DAFTAR PUSTAKA

Arsana, I M. A. dan Lokita, S. 2011. Reviewing Indonesia's new approach to border management in Zein, S. dan Arsana, I M. A. (eds) Contribution Matters 2.0, PPI Australia, Canberra.

Badan Informasi Geospasial, 2015. Peta NKRI, Cibinong.

Davidson, Scott. 1988. The Spratly Islands, International Journal of Estuarine & Coastal L. hal. 345-353.

Douglas Johnson, 1997. “Drawn into the Fray: Indonesia's Natuna Islands meet China's Long Gaze South,” Asian Affairs, Vol. 24, No. 3, Fall.

Dzurek, Daniel J. 1996. The Spratly Islands: Who's On First?, (International Boundaries Research Unit, Durham), hal. 1.

Herriman, M. dan Tsamenyi, M., 1998. “The 1997 Australia-Indonesia Maritime Boundary Treaty: A Secure Legal Regime for Offshore Resource Development?” Journal of Ocean Development and International Law, 29, hal. 361-396.

Hancox, D dan Prescott. 1995. A Geographic Description of the Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys amongst Those Islands. IBRU Maritime Briefing, hal. 14-15.

Jinming, Li dan Dexia, Li. 2003. “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note,” Ocean Development & International Law, 34.

John McBeth, 1995. “Oil Rich Diet,” Far Eastern Economic Review, 27 April 1995, 28.

Jones, S. B. (1945). Boundary-making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners. Washington DC, Carnegie Endowment for International Peace.

McBeth, 28; Paul Jacob, 1995. “Alatas Downplays China's Claims in Natuna Islands Map,” Straits Times, 4, p. 2.

Note Verbal Republik Rakyat China kepada Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 7 Mei 2009 nomor CML/17/2009.

Oegroseno, AH., 2009. Indonesia's Maritime Boundaries, in Cribb, R. and Ford, M. 2009, Indonesia beyond the water's edge- Managing an archipelagic state, Indonesian Update Series, RSPAS Australian National University, ISEAS, Singapore. hal. 49-58.

Park, Choon-ho, “Indonesia- Malaysia (Continental Shelf),” dalam Jonathan I. Charney dan Lewis M. Alexander (eds) International Maritime Boundaries (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher, 1993), 1025-1027.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) nomor 1 tahun2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Diakses dari<http://www.infohukum.kkp go.id/index.php/hukum/download/590/?type_id=1>.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Perikanan di Indonesian Wilayah Perngelolaan Perikanan Indonesia.

Schofield,C. 2009. 'Dangerous Ground – A geopolitical overview of the South China Sea', hal.7-25 dalam S. Bateman dan R. Emmers (eds) The South China Sea: Towards a Cooperative Management Regime, London: Routledge, hal.9-10.

United Nations (1982a) The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective). Diakes dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements

United Nations (1982b). United Nations Convention on the Law of the Sea. Diakses dari <http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf> tanggal 10 Agustus 2010.

UNLaw of the Sea Bulletin 7 (April 1986), hal. 111.

Undang-Undang No 18 tahun 2007<http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/2007/UU_NO_18_2007.pdf>

Zona maritim dan daftar koordinat Indonesia <http://www.un.org/Depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/STATEFILES/IDN.htm>

*BIOGRAFI

I Made Andi Arsana adalah dosen dan peneliti di Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, UGM. Andi meraih PhD dari University of Wollongong dan gelar master dari University of New South Wales, Australia. Hasil penelitiannya terkait aspek teknis hukum laut yang telah dipublikasikan dalam 200an tulisan di berbagai forum di Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Andi juga memenangkan berbagai lomba penulisan dan presentasi di Indonesia, Australia, Belanda, dan Perancis.

JURNAL MARITIM INDONESIA November 2015 Edisi-4