memetakan komunitas sastra indonesia di jawa timur

17
100 MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR Mapping Indonesian Literary Community in East Java Yulitin Sungkowati Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo 61252, Telepon/Faks. 031-8051752, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 20 September 2009—Revisi tanggal 1 Mei 2010) Abstrak: Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan peta komunitas sastra Indonesia di Jawa Timur dan melihat jaringan antarkomunitasnya dengan perspektif makro sastra. Berdasarkan latar belakang kelahirannya, komunitas sastra di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu komunitas yang lahir sebagai perlawanan terhadap hegemoni pusat, sebagai pernyataan ekspresi dan eksistensi diri, sebagai wadah kreativitas dan komunikasi, dan sebagai gerakan lite- rasi. Berdasarkan basisnya, komunitas sastra Indonesia di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu komunitas berbasis kampus, nonkampus, dan pondok pesantren. Mereka membangun jaringan dengan komunitas di Jawa Timur dan di luar Jawa Timur Kata-Kata Kunci: komunitas, latar belakang, basis, jaringan Abstract: This paper is aimed to describe Indonesia literary community map in East Java and to see intercommunity networking with macroliterary perspective. Based on background of birth, literary community in East Java can be devided in to four grups: community that was born as resistance to hegemony of center, as statement they are expression and self existence; as creativity and communication media; and as literacy movement. Based on its basis, Indonesian literary community in East Java can be devided in to three groups, they are literary community based on campus, literary community based on noncampus, and literary community based on pondok pesantren. They construc intercommunity networking in and out of East Java. Key Words: community, background, base, networking PENGANTAR Sastra Indonesia tidak hanya ada di Ja- karta, tetapi juga berkembang di daerah- daerah. Hal itu antara lain dapat dilihat dari keberadaan komunitas sastra, surat kabar lokal yang menerbitkan karyanya, aktivitas bersastra para sastrawannya, pembaca, dan lembaga-lembaga penga- yom yang ada di daerah (Hutomo, 2000:480). Oleh karena itu, untuk melihat kehidupan atau perkembangan sastra di suatu wilayah harus diperhati- kan berbagai unsur di luar karya sastra yang menjadi bagian dalam sistem makro sastra, yaitu pengarang, pembaca sastra, media massa yang memberikan ruang untuk sastra, pengayom-pengayom acara sastra, pendidikan sastra di sekolah dan perguruan tinggi, penerbitan buku- buku sastra, acara-acara sastra (seminar, lokakarya, workshop, lomba, sarasehan, festival, bengkel, pelatihan, pertunjukan, dsb.), dan komunitas-komunitas sastra. Jawa Timur merupakan daerah yang telah memberikan sumbangan ti- dak sedikit bagi sastra Indonesia (nasio- nal). Beberapa hasil penelitian telah me- nunjukkan hal itu. Dalam buku Wajah Sastra Indonesia di Surabaya (1995), Hutomo mencatat bahwa sejak peralihan abad ke-20, kehidupan sastra Indonesia di Jawa Timur, khususnya Surabaya,

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

100

MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIADI JAWA TIMUR

Mapping Indonesian Literary Community in East Java

Yulitin Sungkowati

Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo 61252,Telepon/Faks. 031-8051752, Pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 20 September 2009—Revisi tanggal 1 Mei 2010)

Abstrak: Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan peta komunitas sastra Indonesia di Jawa Timurdan melihat jaringan antarkomunitasnya dengan perspektif makro sastra. Berdasarkan latarbelakang kelahirannya, komunitas sastra di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi empat,yaitu komunitas yang lahir sebagai perlawanan terhadap hegemoni pusat, sebagai pernyataanekspresi dan eksistensi diri, sebagai wadah kreativitas dan komunikasi, dan sebagai gerakan lite-rasi. Berdasarkan basisnya, komunitas sastra Indonesia di Jawa Timur dapat dikelompokkanmenjadi tiga, yaitu komunitas berbasis kampus, nonkampus, dan pondok pesantren. Merekamembangun jaringan dengan komunitas di Jawa Timur dan di luar Jawa Timur

Kata-Kata Kunci: komunitas, latar belakang, basis, jaringan

Abstract: This paper is aimed to describe Indonesia literary community map in East Java and tosee intercommunity networking with macroliterary perspective. Based on background of birth,literary community in East Java can be devided in to four grups: community that was born asresistance to hegemony of center, as statement they are expression and self existence; ascreativity and communication media; and as literacy movement. Based on its basis, Indonesianliterary community in East Java can be devided in to three groups, they are literary communitybased on campus, literary community based on noncampus, and literary community based onpondok pesantren. They construc intercommunity networking in and out of East Java.

Key Words: community, background, base, networking

PENGANTARSastra Indonesia tidak hanya ada di Ja-karta, tetapi juga berkembang di daerah-daerah. Hal itu antara lain dapat dilihatdari keberadaan komunitas sastra, suratkabar lokal yang menerbitkan karyanya,aktivitas bersastra para sastrawannya,pembaca, dan lembaga-lembaga penga-yom yang ada di daerah (Hutomo,2000:480). Oleh karena itu, untukmelihat kehidupan atau perkembangansastra di suatu wilayah harus diperhati-kan berbagai unsur di luar karya sastrayang menjadi bagian dalam sistemmakro sastra, yaitu pengarang, pembacasastra, media massa yang memberikan

ruang untuk sastra, pengayom-pengayomacara sastra, pendidikan sastra di sekolahdan perguruan tinggi, penerbitan buku-buku sastra, acara-acara sastra (seminar,lokakarya, workshop, lomba, sarasehan,festival, bengkel, pelatihan, pertunjukan,dsb.), dan komunitas-komunitas sastra.

Jawa Timur merupakan daerahyang telah memberikan sumbangan ti-dak sedikit bagi sastra Indonesia (nasio-nal). Beberapa hasil penelitian telah me-nunjukkan hal itu. Dalam buku WajahSastra Indonesia di Surabaya (1995),Hutomo mencatat bahwa sejak peralihanabad ke-20, kehidupan sastra Indonesiadi Jawa Timur, khususnya Surabaya,

Page 2: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

101

Malang, dan Kediri telah berlangsungmarak. Buku Kronik Sastra di Malang(Hutomo, 1994) mengungkap kehidupansastra Indonesia dan daerah di Malangdan sekitarnya. Wahyudi Siswanto, et al.(1999) dalam laporan penelitiannya,“Pertumbuhan dan Perkembangan SastraIndonesia di Jawa Timur”, telah membi-carakan pengarang-pengarang Jawa Ti-mur dan daerah kelahirannya. DjokoSaryono, et al. dalam “Karakteristik Sas-tra Indonesia Karya Penulis Jawa Timur”(1998) membicarakan pengarang-penga-rang Jawa Timur dan sumbangannya ba-gi sastra Indonesia. Buku Sastra Indone-sia di Madura: Tinjauan Pengarang,Hasil Karya, dan Media oleh Setiawan,et al. membicarakan sastra Indonesiayang berkembang di Madura dan secarakhusus membahas tiga pengarang yangdianggap mewakili, yaitu Abdul HadiWM, D. Zawawi Imron, dan M. FudholiZaini.

Akan tetapi, sampai dengan tahun1999, pembicaraan tentang sastra Indo-nesia di Jawa Timur tersebut belummenjangkau peran komunitas sastra se-bagai salah satu aspek yang penting un-tuk melihat perkembangan sastra di dae-rah. Padahal, pada tahun 1993, gerakanRevitalisasi Sastra Pedalaman (RSP)yang dimotori oleh sastrawan JawaTimur telah membuka kesadaran bersa-ma bahwa di luar Jakarta ternyatabanyak sekali sastrawan dengan berbagaiaktivitasnya yang luput dari perhatian.RSP berhasil menarik pemerhati sastrauntuk memperhitungkan peran komuni-tas-komunitas sastra dalam mengem-bangkan sastra Indonesia.

Komunitas Sastra Indonesia (KSI)Jakarta mengawali pendataan dan pendo-kumentasian komunitas sastra di seluruhIndonesia pada bulan Maret 1998.Dengan bantuan sastrawan dan senimandi berbagai daerah, Medy Loekito danDiah Hadaning berhasil mendata 167 ko-munitas sastra Indonesia yang muncul diberbagai daerah, 33 di antaranya terdapat

di Provinsi Jawa Timur. Narasumber wi-layah Jawa Timur adalah Budi Darmadan D. Zawawi Imron dengan hasil leng-kap sementara seperti yang tercantumpada Tabel 1. Komunitas sastra Indone-sia hasil pendataan sementara KSI terse-but kini banyak yang sudah tidak berak-tivitas atau mati suri, namun tidak sedikitpula komunitas baru lahir seiring denganterbukanya keran kebebasan berekspresidi era reformasi. Di Jawa Timur, perankomunitas pun mulai mendapat perhati-an serius.

Pada tanggal 13—14 Juni 2005,Balai Bahasa Surabaya menyelenggara-kan Temu Komunitas Sastra Tiga Kotayang dihadiri oleh komunitas Teater Ga-pus, Kostela, dan Forasamo serta sastra-wan dari wilayah Gerbang Kertosusila.Dalam pertemuan itu terungkap bahwasastrawan tidak wajib bergabung dengansuatu komunitas sehingga komunitashendaknya bersifat terbuka, fleksibel,dan lebih banyak bergerak dalam duniakreatif daripada terlibat dalam per-saingan yang tidak sehat. Di samping itu,Balai Bahasa Surabaya juga melakukanpenelitian terhadap komunitas-komuni-tas sastra, baik sastra Jawa maupun sas-tra Indonesia. “Komunitas Sastra Teater‘Persada’ di Ngawi” (Tohar, 2007)mengungkap kehidupan komunitas sastraIndonesia di Kabupaten Ngawi. “Komu-nitas Sastra Indonesia di Mojokerto”(Santosa, 2007) mengungkap keberadaankomunitas sastra Forum Sastra Mojo-kerto (Forasamo). Tahun 2008, timsastra yang terdiri atas YulitinSungkowati, Mashuri, dan AnangSantosa melakukan penelitian “Komuni-tas Sastra Indonesia di Jawa Timur”yang sebagian hasilnya tertuang dalamtulisan ini.

Pada tanggal 14 Maret 2008, ForumLingkar Pena (FLP) cabang Surabayamenyelenggarakan silaturahim komuni-tas sastra se Jawa Timur di kampus Uni-versitas 17 Agustus Surabaya mengha-dirkan pembicara Ayu Sutarto, Sirikit

Page 3: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

102

Syah, dan Mashuri. Komunitas yang ha-dir dalam silaturahim bertema “Mengin-tip Peran Komunitas Sastra di Kesusaste-raan Indonesia” adalah komunitas NasiPutih, Komunitas Cak Die Rezim, Ko-munitas Rebo Sore, Komunitas Emperan

Sastra Cok, dan FS3LP. Dari pertemuanitu terungkap berbagai persoalan yangdialami komunitas sastra mulai daripersoalan manajemen, pendanaan, pe-nyebarluasan hasil karya, hingga regene-rasi.

Tabel 1: Komunitas Sastra Indonesia di Jawa Timur Hasil Pendataan KSI Tahun 1998

No. Nama Alamat Ketua1. Persada Blambangan d.a. RPKD Jl. Ikan Cakalang

Banyuwangi2. Studio Seni Sastra (HP3N) Jl. Abdul Jali13 B Batu Taufan Aminudin3. Komunitas Kecamatan Kecil Jl. Panglima Sudirman 19, Batu Tan Tjing Siong4. Kelompok Pencinta Sastra Blitar P.O. Box. 141 Blitar Bagus Putu Parto5. Sanggar Anak Bangsa Kalitidu, Bojonegoro Saiful Hadjar6. Kelompok Cager Jl. Setia Budi 16 Gresik 61113 HU.Mardi Luhung7. Kelompok Cemara Biru Jl. Melati G 15, Jember8. Kelompok Pencinta Sastra Lumajang Jl. Linduboyo Gg. Buntu,

Klakah LumajangSurasono Rashar

9. Sanggar Pranawa Jl. Gunung Ringgit 01 Klakah,Lumajang

A'ak Abdullah Al Kudus

10. Forum BIAS Jl. Berlian 3C Sumenep 69457 Syaf Anton WR11. Sanggar Sastra ADINDA Pasongsongan Sumenep 69457 Ayu Gumelar12. Kelompok Pencinta Sastra Kampus

TMI Al-AmienPrenduan, Sumenep Robbani Hidayat

13. Teater Genta Jl. Stadion V-1 7BPamekasan

14. Teater Idiot Jl. Gede, Malang Muhammad Sinwan15. Kelompok Nyanyian Anak Negeri Jl. Sukun Gempol Tr 02109

Malang 65147Yusdi Imansyah

16. Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jl. Jombang UB/15D Malang65145

Dimas Arika Miharja

17. Sanggar Sastra IKIP Malang Jl. Bendungan Sutami 2 Malang65145

Retno Dwi Hutabari

18. Balai Pustaka Mojopahit Depan Pasar Dung Maling ,Mojokerto

19. Komunitas Seni Kampungan Depan Pasar Brangkal 94,Kedungmaling, Sooko

20. Sanggar Saraswati Mojokerto21. Forum Penyair Mojokerto Jl. H. Nawawi 46 Mojokerto Yoyok SP22. Teater Kaca Studio Fine Art Jl. Joko Tole 23 Mojokerto Ki Gatot Sableng23. Teater Hayam Wuruk Mojokerto Ayu Gumelar24. Lingkar Studi Sastra Ngawi (Pencinta

Sastra Ngawi)Jl. Hasanudin 18 Ngawi Cahyono Widiyanto

Cahyono Widarmanto25. Komunitas Teater Magnit Gg. Janggrangan 24

NgawiKuspriyantoNamma

26. Kalimas Perum YKP KMS RK VI/37Rungkut Kidul, Surabaya

Tengsoe Tjahjono

27. FASS (Forum Apresiasi SastraSurabaya)

YPIA (Yayasan PendidikanIndonesia Amerika) Jl.Dharmawangsa Indah Surabaya

Aming Aminudin

28. Paguyuban Studi Sastra Ketintang d.a. Jurusan Bahasa dan SastraIndonesia IKIP Surabaya,Kampus Ketintang, Surabaya

Henricus Supriyanto,Setya Yuwana Sudikan,Tengsoe Tjahjono

29. Bengkel Muda Surabaya Jl. Pemuda 15 Surabaya Dindi Saiful Hadjar30. Sanggar Seni Februari Mojokerto31. Sanggar Bambu Runcing Jl. Asem IV/20 Surabaya Dalnoto32. Sanggar Lukis Aksera Dukuh Kupang XXVI U 20

Surabaya33. Teater Kendi Jl. Diponegoro III/2 Tamanan

Tulungagung

Page 4: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

103

Pasar Sastra Jawa Timur menyele-nggarakan diskusi komunitas sastra diTaman Budaya Jawa Timur pada tanggal23 Agustus 2008 dengan tema“Membaca Arus Besar Sastra di Indone-sia”. Diskusi dihadiri oleh enam komuni-tas, yaitu Masyarakat Sastra Sumekar(Sumenep), Komunitas Sastra Teater La-mongan, Forum Apresiasi Sastra Mojo-kerto, Bengkel Imajinasi (Malang), Ko-munitas Rebo Sore (Surabaya), dan Fo-rum Sastra dan Seni Luar Pagar (Sura-baya) dengan mengusung subtema “Reli-giositas Sastra”, “Mempersoalkan Ideo-logi Komunitas”, dan “Sastra Pembebas-an”. Dalam diskusi itu terungkap bahwaperkembangan sastra Indonesia di JawaTimur tergolong sangat pesat dan capai-an itu tidak lepas dari peran komunitassastra yang tersebar di berbagai kota.Biro Sastra Dewan Kesenian Surabayapun menyambut kehadiran komunitas-komunitas baru sebagai wadah ekspresisastrawan muda dengan memberikan ru-ang diskusi dan ekspresi bertajuk HalteSastra (Pujayanto, 2009). Umar Fauzidari komunitas Rebo Sore dan ArifJunianto dari komunitas Cak Die Reziemdidaulat sebagai pembicara mewakilikomunitas berbasis kampus, yaitu Unesadan Unair. Dalam diskusi itu terungkapbahwa Jawa Timur memiliki sastrawanmuda yang cukup banyak dan potensial,tetapi belum memiliki daya dobrak dandaya kritis. Komunitas sastra seharusnyamenjadi titik penting dalam pemben-tukan iklim kreatif, tetapi sayangnyabelum ada jaringan komunikasi dan kerjasama yang baik antarkomunitas.

Dari berbagai pertemuan itu terung-kap bahwa Jawa Timur memiliki banyakkomunitas sastra yang berperan pentingdalam menggairahkan kehidupan sastradi Jawa Timur. Akan tetapi, belum adaupaya untuk memetakan keberadaannyasecara luas. Untuk mengatasi ketim-pangan itulah, penelitian ini dilakukandengan fokus pada masalah: (1) bagai-

mana latar belakang kelahiran komunitassastra Indonesia di Jawa Timur; (2) ba-gaimana basis-basis komunitas; dan (3)bagaimana jaringan antarkomunitas. Ha-sil penelitian ini diharapkan dapatmemberikan gambaran tentang latar be-lakang kelahiran, basis-basis komunitas,dan jaringan antarkomunitas sastra Indo-nesia yang ada di Jawa Timur. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuanmenunjukkan peran komunitas dalammengembangkan sastra Indonesia didaerah dan memberikan sumbangan bagipenyusunan sejarah sastra Indonesia diJawa Timur.

KONSEP DAN TEORIKonsep komunitas atau kelompok dapatmemiliki berbagai macam makna. Secaraetimologi, community ‘komunitas’ ber-asal dari bahasa Latin cum ‘bersama-sa-ma, di antara satu dan lainnya’ dan mu-nus ‘pemberian, memberi, berbagi’.Dengan demikian, esensi komunitas ada-lah kebersamaan atau berbagi(Venayaksa, 2007). Budianta (Gunadi,2004) mendefinisikan komunitas sastrasebagai kelompok pencinta sastra yangdidirikan secara sukarela oleh penggiatdan pengayom sastra atas inisiatif sen-diri, yang tujuannya sesuai dengan minatdan perhatian anggota kelompok, bukanuntuk mencari laba. Komunitas sastramenurut Herfanda (2007:14) adalah se-jumlah orang yang secara sukarela ber-himpun dan bersama-sama mengapresi-asi dan mengembangkan sastra. Secarasederhana, komunitas didefinisikan se-bagai kelompok penulis dan pencintasastra.

Shiho Sawai (2008) melihat keha-diran komunitas sastra di Indonesia yangmenandai pola menikmati sastra secarakolektif sebagai hal yang unik di tengahmudahnya mencari buku dan menikmati-nya secara individual. Meskipun komu-nitas sastra sebagai wadah untuk mem-baca dan membahas buku secara bersa-

Page 5: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

104

ma-sama telah berkembang di Indonesiasejak era kolonial, istilah komunitas barumulai dipakai pada akhir tahun 1980-andan tahun 1990-an ditengarai sebagaimasa lahir dan berkembangnya berbagaikomunitas sastra Indonesia yang menjadimotor penggerak kegiatan bersastra diberbagai daerah di tanah air.

Dalam pembentukan komunitas sas-tra di Indonesia ada beberapa hal yangmenjadi landasan, antara lain ideologikomunitas dan basis komunitas sebagairespon terhadap lingkungan sosial. Basiskomunitas sastra masa kini adalah lem-baga pendidikan, nonlembaga pendidik-an, koran atau majalah, penerbit, milis,dan gerakan literasi. Ideologi komunitasbelum tentu merupakan kesepakatan se-mua anggota, tetapi memungkinkan ide-ologi masing-masing anggota mempe-ngaruhi komunitas (Sawai, 2008). Ko-munitas sastra di Indonesia pada umum-nya tidak mengumumkan ideologi kesas-traannya. Meskipun demikian, dari kar-ya-karyanya dapat diketahui, seperti Ko-munitas Utan Kayu yang mengusungagenda liberalisme, Forum Lingkar Penaislami, dan Komunitas Sastra Indonesiayang mengibarkan bendera realisme so-sialis (Herfanda, 2008).

Escarpit (2008:3) mengemukakanbahwa semua fakta sastra menyiratkanadanya pencipta atau penulis, buku ataukarya, dan publik atau pembaca. Ketigaunsur itu memiliki komponen-komponensendiri yang saling terkait, sepertibagaimana pengarang dalam masyarakat,pengarang dengan zamannya, karya,publikasi, distribusi, dan publikpembaca. Dengan kata lain, sastramerupakan suatu sistem yang terdiri atasberbagai subsistem yang komplekskarena tidak hanya berbicara tentangkarya sastra, tetapi juga mencakupipengarang, pembaca, masyarakat,penerbit, pasar, dan pengayom. Karyasastra tidak lahir dari ruang hampa, teta-pi hadir di hadapan pembaca setelah me-lewati proses rumit dan panjang yang

melibatkan berbagai institusi (Tanaka,1976:1). Sebagai bagian dari dunia sastrayang kompleks, unsur-unsur yang mem-bangun dunia sastra, yang dapat dike-lompokkan menjadi unsur-unsur luarsastra (makro sastra) dan unsur-unsur da-lam (mikro sastra), masing-masing tidakhanya memiliki sistem yang mengaturdirinya sendiri, tetapi saling berhubung-an dan mendukung (Ackoff dlm.Tanaka,1976:8—11).

METODEPenelitian ini merupakan penelitian kua-litatif karena data yang digunakan beru-pa kata-kata, kalimat, wacana, baik tulismaupun lisan. Pengumpulan data dilaku-kan dengan teknik dokumentasi, wawan-cara, perekaman, dan pencatatan. Wa-wancara dilakukan dengan sebagianpengurus dan anggota komunitas. Teknikdokumentasi dilakukan untuk menjaringdata dalam berbagai tulisan, baik laporanpenelitian, surat kabar, majalah, maupundokumen-dokumen lain yang dimilikioleh komunitas. Penelitian ini dilakukandengan langkah-langkah sebagai berikut:(1) studi kepustakaan awal; (2) pembuat-an proposal dan pedoman wawancara;(3) pengumpulan data yang dilakukandengan teknik wawancara, pencatatan,dan dokumentasi; (4) pentranskripsianhasil wawancara; (5) pengklasifikasiandata sesuai dengan masalah; (6) klari-fikasi data kepada narasumber dan infor-man; dan (7) deskripsi dan analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASANLatar Munculnya Komunitas SastraKomunitas sastra sebagai wadah kegiat-an bersastra tidak lahir dari ruang ham-pa, tetapi dibentuk oleh individu-indivi-du yang terlibat di dalamnya atas desak-an dan dorongan berbagai faktor. Sete-lah dilakukan pengklasifikasian, komu-nitas sastra di Jawa Timur dapat dike-lompokkan menjadi empat berdasarkanlatar belakang kelahirannya.

Page 6: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

105

Pertama, komunitas sastra yang la-hir sebagai bentuk perlawanan terhadaphegemoni pusat, antara lain KomunitasRevitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) danForum Studi Sastra, Seni Luar Pagar(FS3LP), komunitas Dewan KesenianBlambangan Reformasi. Bila sebelumtahun 1990-an komunitas sastra muncullebih sebagai keinginan untuk membuatwadah kreativitas bersastra, pada tahun1990-an menjamurnya komunitas sastraterutama dilatarbelakangi oleh dua hal,yaitu sebagai perlawanan terhadap hege-moni pusat dan sebagai konsekuensiadanya perubahan sosial politik padatahun 1998 dengan tumbangnya rezimOrde Baru yang sentralistik meskipunbanyak pula komunitas sastra yang lahirtanpa pretensi melakukan perlawananterhadap siapa pun. Munculnya gerakanperlawanan terhadap hegemoni pusat initidak lepas dari berhembusnya anginposmodern dalam pemikiran dan kebu-dayaan di Indonesia. Posmo telah meng-hadirkan pemahaman untuk menghargaiyang marginal, terpinggirkan, yang di-anggap tidak penting dan diabaikandengan mendekonstruksi pusat-pusat ke-kuasaan dan merayakan perbedaan.

Kekecewaan Barisan Seniman Mu-da Blitar yang dimotori Bagus PutuParto terhadap sastrawan Surabaya yangdianggap memarginalkan sastrawan dikota-kota kecil kabupaten menggelin-ding bak bola salju liar menjadi gerakanmelawan pusat-pusat kekuasaan denganmelibatkan seniman dari berbagai kota.Kegelisahan terhadap kehidupan sastradi Jakarta dengan representasi TamanIsmail Marzuki sebagai arena penye-lenggaraan kegiatan-kegiatan sastra dan“pembaptisan” sastrawan yang dinilaikurang mengakomodasi sastrawan didaerah “pedalaman” itu mendorong Ba-risan Seniman Muda Blitar “menerbit-kan” antologi Nyanyian Pedalaman I(1993), Nyanyian Pedalaman II (1994),dan antologi Sastra Tiga Kota (1994).Komunikasi dalam rangka “menerbit-

kan” antologi itu mengkristal menjadikomunitas Revitalisasi Sastra Pedalamandengan agenda utama melakukan pentaskeliling ke berbagai daerah sambilmenyosialisasikan tiga konsep yangmenjadi landasan gerakannya, yaitumembangkitkan penyebaran kehidupansastra agar tidak terpusat di pusat-pusatkekuasaan, tetapi dapat berkembang dimana-mana, membuat media alternatifsebagai media penyebaran karya sastrakarena media massa bukanlah satu-sa-tunya wadah penyebaran karya sastra,dan membangun jaringan komunikasiantardaerah. Gerakan yang dilakukanoleh komunitas RSP ini berhasil meng-getarkan wacana sastra Indonesia, me-mancing diskusi yang melibatkan sastra-wan dan kritikus sastra di forum-forumdiskusi serta di media massa cetaksepanjang tahun 1994, bahkan hingga ta-hun 1996.

Penggerak revitalisasi sastra peda-laman itu setidaknya telah berhasil me-nunjukkan bahwa di luar Jakarta ternyatabanyak sekali sastrawan Indonesia de-ngan berbagai aktivitasnya yang mung-kin luput dari perhatian (Tranggono,1994). Faruk (1994) melihat revitalisasisastra pedalaman yang digerakan olehsastrawan di daerah pada dasarnya ber-tujuan untuk (1) membangun sastra yanglebih membumi, (2) membuka jalan bagipengakuan eksistensi sastra di daerah,dan (3) menghidupkan iklim kesenian diberbagai daerah. Munculnya gerakan ter-sebut mencerminkan harapan sastrawandi daerah untuk diakui eksistensinya olehlingkungan yang lebih luas. Hutomo(2000:484) mencatat bahwa “gerakan”revitalisasi sastra pedalaman merupakanreaksi daerah atas dominasi pusat danmerupakan satu bukti bahwa daerahmempunyai hak untuk bersuara dan di-perhitungkan di tingkat nasional. Merekabereaksi karena semakin menipisnya pe-luang dan kemungkinan media-mediamassa berskala nasional mengakomodasiekspresi artistiknya (Dahana, 1994).

Page 7: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

106

Forum Studi Sastra dan Seni LuarPagar (FS3LP) didirikan pada tahun1998 oleh Agus Hari Santoso, WHaryanto, Imam Muhtarom, IndraTjahyadi, Ribut Wijoto, dan MuhammadAris. Kehadirannya bersamaan denganmerosotnya aktivitas komunitas sastrayang sebelumnya telah lama mapan diSurabaya, seperti Bengkel MudaSurabaya, Paguyuban Studi SastraKetintang, Kalimas, dan ForumApresiasi Sastra Surabaya (FASS).FS3LP semula dibentuk atas desakanketidakpuasan beberapa mahasiswaterhadap pengajaran di kampus yangdianggap stagnan. “Perlawanan” itukemudian berkembang menjadi perla-wanan terhadap Komunitas Utan Kayudengan jurnal Kalam-nya yang menjadipusat pemikiran sastra ketika itu sertamajalah sastra Horison yang dianggapelitis. Anggota FS3LP sering mengguna-kan beberapa nama komunitas, sepertiKomunitas Sastra Epik, Lepass, Komu-nitas Iqra, Sanggar Kopi dan Rokok,Surabaya Poetry Society, dan KomunitasAnarki ketika menulis di surat kabaragar yang menulis di media massatampak banyak. Meskipun sama-samamelakukan perlawanan terhadap hege-moni pusat, perlawanan FS3LP berbedadengan RSP.

Anggota FS3LP adalah para maha-siswa sastra dengan bekal teori danpengetahuan sastra yang relatif lebihbaik. Melalui teknologi internet, FS3LPyang lahir di awal era keterbukaaninformasi ini dapat mengikuti perkem-bangan sastra tidak hanya di Indonesia,tetapi juga di dunia internasional. Disamping itu, mereka juga sering mela-kukan diskusi intens dengan parapemikir kebudayaan. Oleh karena itu,mereka tidak sekadar beraktivitas, tetapimampu berinovasi dengan membawatawaran estetika melalui karya-karyanya.Untuk melakukan perlawanan terhadapkomunitas Utan Kayu, mereka mempela-jari estetika dan ideologi kreatifnya

melalui Kalam. Hasil inovasi kreatifmereka tidak hanya “menguasai” medialokal seperti Surabaya Post, tetapi jugamuncul di berbagai media nasional,antara lain Kalam, Kompas, MediaIndonesia, dan Republika. Di sampingitu, mereka juga menerbitkan beberapamedia alternatif, seperti Jejak (edisifotokopi dan terbatas), Epik (edisiinternet, 2000), dan Anarki. Oleh karenaitu, S Yoga (2008) mengatakan bahwasetelah era 2000-an, perpuisian nasionaldiwarnai oleh puisi gelap yang berasaldari Jawa Timur, khususnya dari komu-nitas FS3LP Universitas Airlangga.

Komunitas Dewan Kesenian Blam-bangan Reformasi (DKBR) juga dapatdikelompokkan ke dalam komunitasyang lahir sebagai perlawanan terhadaphegemoni pusat dan sebagai bentuk keti-dakpuasan sebagian sastrawan terhadapDewan Kesenian Blambangan (DKB)“resmi”. Anggota DKBR pada umumnyaadalah sastrawan yang tergabung dalamPusat Studi Budaya Banyuwangi(PSBB), sedangkan sastrawan DKB padaumumnya tergabung dalam komunitasKelompok Selasa. Pada era BupatiSyamsul Hadi, di kalangan seniman dansastrawan Banyuwangi terdapat perbeda-an pandangan dalam menyikapi hubung-an antara kesenian dan kekuasaan. PSBBdan DKBR kecewa melihat “Usingisasi”Banyuwangi yang dilakukan oleh DKBkarena menurutnya Banyuwangi adalahdaerah yang multikultur. SastrawanDKB ingin mengembangkan sastra yangberakar dari tradisi sastra Using sebagaiidentitas dan kekayaan Banyuwangiyang mampu memberikan sumbanganbagi sastra nasional, sedangkan sastra-wan DKBR menginginkan sastra “uni-versal” atau berorientasi pada sastraIndonesia, tanpa didasari oleh sekat-sekat etnis. Komunitas DKB/KelompokSelasa yang dimotori oleh HasnanSingodimayan dan Andang Cy kemudianlebih banyak bergelut dengan sastra etnisUsing, sedangkan DKBR/PSBB yang

Page 8: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

107

dimotori HAK Armaya, Endro Willis,dan Fatah Yassin Noor bergerak kewilayah yang lebih luas, antara lainterlihat dari terbitan-terbitannya dalambahasa Using, Indonesia, dan Inggris,seperti Antologi Puisi Tiga Bahasa:Banyuwangi (2004). Antologi inimemuat 134 puisi dari 30 penyairBanyuwangi, antara lain Abdullah Fauzi,Fatah Yasin Noor, Akhmad Aksoro,Bonang Prasunan, Dasuki Noer, EndroWilis, Fatrah Abal, dan Iwan AziezSiswanto. Di samping menerbitkan ma-jalah budaya Jejak, Pusat Studi BudayaBanyuwangi juga menerbitkan antologipuisi secara rutin setiap tahunnya, baikantologi bersama yang melibatkansastrawan dari daerah lain di Jawa Timurmaupun antologi puisi sendiri.

Kedua, komunitas yang dibentuk se-bagai pernyataan ekspresi dan eksisitensidiri, antara lain tampak pada Kostela,Komunitas Musik Limbah Cager, Komu-nitas Lembah Pring, dan Komunitas Sas-tra Gunung Lumajang. Alang Khoirudin(2007) menjelaskan bahwa lahirnya Kos-tela berawal dari kegelisahan pecinta se-ni teater Lamongan yang ingin mem-punyai wadah berkesenian yang inde-penden sebagai upaya menunjukkanekspresi dan eksistensi diri. Komunitasini semula mulanya merupakan komuni-tas seni teater yang dibentuk oleh seni-man teater Lamongan saat berkumpuldalam perhelatan Temu Karya TeaterLamongan yang diadakan oleh Himpun-an Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesiadan Teater Roda Unisda (UniversitasIslam Darul Ulum) pada tahun 1999.Kegiatan Kostela, antara lain melakukanpertemuan tiap minggu, acara candrakirana tiap bulan, penerbitan antologitunggal dan bersama, penerbitan majalahIndupati, dan menjalin kerja samadengan komunitas lain.

Komunitas Musik Limbah Cagerdidirikan pada tahun 1994/1995 dengankredo “Bermula dari musik ilustrasiteater dan musikalisasi puisi kemudian

berkembang menjadi pencarian yangintens akan sumber bunyi dalampencarian suasana sebagai tuntutanawal”. Dengan kredo itu, komunitasyang diketuai oleh L. Machalli inimenunjukkan ekspresi dan eksistensidirinya melalui ide keterkaitan karyadengan lingkungannya secara nyata.Komunitas ini selanjutnya secara intensbergelut dengan dunia kerja lingkunganindustri yang menghasilkan limbah danpolusi di Gresik. Komunitas SastraGunung di Lumajang yang didirikanoleh Surasono Rashar juga mewadahikreativitas anggotanya dalam bidangmusik dan sastra.

Ketiga, komunitas sastra sebagaiwadah kreativitas, komunikasi, dan pela-tihan tampak pada Forasamo, Teater Per-sada Ngawi, Kelompok Lingkar SastraTanah Kapur, Teater Gapus, FLP JawaTimur, dan komunitas-komunitas sastraberbasis pesantren pada umumnya. Fora-samo yang didirikan pada tahun 1998oleh Hardjono WS, Aming Aminoedhin,dan Suyitno Ethexs memfokuskan ke-giatan utamanya pada apresiasi dan dis-kusi sastra setiap bulan, menerbitkan an-tologi puisi untuk menampung hasil kar-ya anggota, mengadakan pelatihan penu-lisan bekerjasama dengan Dinas Pendi-dikan Kabupaten, dan menyelenggara-kan lomba cipta-baca puisi.

Komunitas Teater Persada Ngawimerupakan wadah kreativitas alumniSMA I Ngawi. Pengarang dan senimanyang aktif di komunitas ini pada periodetahun 1980-an adalah MH. Iskan,Anwaroedin, Soewandi Black, UmmiHanich, Rodiyah, Sutomo Ete, Gisman,Rosyid Hamidi, Wahab Asyhari,Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, M.Har Haryadi, Heru, Aming Aminoedhin,Djoko Mulyono, Ratih Ratri, AlinaEvawanti, Susilowati, dan Agnes MariaSarjono. Kegiatan yang dilakukan, anta-ra lain “penerbitan” antologi puisi danpentas teater. Antologi puisi yang telahdihasilkan adalah ”Tanah Persada”

Page 9: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

108

(1983, stensilan) berisi 28 puisi karyaMH. Iskan, M. Har Harjadi, AmingAminoedhin, LH. Irmawanti S dan“Tanah Kapur” (1986, fotokopian) berisi45 puisi karya Aming Aminoedhin, MH.Iskan, dan M. Har Harjadi. Pada tahun1990-an, Teater Persada berubah namamenjadi Teater Sampar dengan anggotayang sama. Pada tahun 1994, komunitasini menerbitkan antologi puisi ”SulukHitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam”yang memuat puisi karya penyair dariempat kota, yaitu Ngawi, Solo, Sura-baya, dan Malang. Pada tahun 1998 ter-bit antologi puisi ”Tanah Rengkah” (fo-tokopian) berisi 41 puisi karya MH.Iskan, M. Har Harjadi, dan AmingAminoedhin. Di samping menerbitkanantologi puisi, Teater Persada atau Tea-ter Sampar juga melakukan pentas teaterkeliling tidak hanya di Ngawi, tetapi ju-ga di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah(PKJT), Taman Budaya Jawa Tengah(TBJT), Persatuan Pelajar IndonesiaAmerika (PPIA), Taman Budaya JawaTimur, dan Taman Budaya Yogyakarta(Tohar, 2005). Semangat membuat wa-dah kreativitas juga mendasari dibentuk-nya komunitas Kelompok Lingkar SastraTanah Kapur yang dimotori olehTjahjono Widarmanto di Ngawi. Komu-nitas ini telah “menerbitkan” antologi 9penyair Ngawi dengan judul ”Surat dariNgawi” yang memuat 59 puisi karyaMH. Iskan, Junaidi Haes, AmingAminoedhin, Tjahjono Widarmanto,Tjahjono Widiyanto, M. Har Haryadi,Anas Yusuf, Agus Honk, dan Setyono.Pada tahun 2001, komunitas ini me-nerbitkan antologi puisi 12 penyair asalJakarta, Surakarta, Surabaya, Mojokerto,Madiun, dan Ngawi dengan judul ”Se-cangkir Kopi Buat Kota Ngawi”.

Komunitas Teater Gapus Universi-tas Airlangga dibentuk pada awal-awalmunculnya jurusan Sastra Indonesia diFISIP Unair pada tahun 1988 sebagaiwadah kreatif para mahasiswa. Padaawalnya, komunitas yang menjadi

embrio FS3LP ini fokus pada pementas-an seperti ludruk dan pembacaan puisi digardu satpam fakultas setempat. Padatahun 1994, teater Gapus terpecah men-jadi dua, beberapa aktivis melakukan“ngamen budaya” dan “manggung” dibeberapa hotel dan stasiun televisi, se-dangkan aktivis lainnya, seperti Panji K.Hadi bergerak di jalur teater modern.Panji K. Hadi dianggap sebagai peletakdasar perpuisian di Gapus, kemudian di-lanjutkan oleh W Haryanto. Karya yangtelah dihasilkan, antara lain antologiRefleksi (1995), Mimpi Mawar (antologipuisi tunggal Panji K. Hadi, 1997). Sebe-lum berdirinya Fakultas Sastra (1998),teater Gapus sering berkolaborasi deng-an Teater Puska dalam pementasan tea-ter. Dari Teater Puska dikenal beberapapenulis, seperti S. Yoga dan MuhammadAnsor.

Komunitas Nasi Putih di Jembermerupakan sebuah wadah untuk menam-pung kreativitas seniman dan sastrawandi Jember dan sekitarnya. Mereka tidakhanya bergerak di wilayah sastra, tetapimenampung dan merambah ke bentukseni-seni lainnya. Komunitas yang dimo-tori oleh Gunawan dan Sinung Pambudiini menegaskan tujuan komunitasnya se-bagai tempat pemberdayaan masyarakatseni tanpa terlalu berharap pada bantuanpatron-patron sastra atau sastrawan-sas-trawan mapan dan media massa denganmenerbitkan bulletin-bulletin berukurankecil yang kreatif.

Keempat, kehadiran komunitas se-bagai gerakan literasi terlihat dalam ko-munitas Selasar (Kesasar) UK Petra. Ko-munitas ini pada awalnya muncul dalambentuk pamflet politik bernama GemaPetra yang diterbitkan oleh aktivis ma-hasiswa UK Petra karena kampus tidakmengakomodasi kepentingan mahasis-wa, bahkan cenderung melakukan pem-bodohan. Selanjutnya, Selasar (Kesasar)berubah menjadi gerakan kultural mela-lui kegiatan diskusi, bedah buku hinggaacara terbuka seperti diskusi umum,

Page 10: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

109

pembacaan puisi, dan pembentukanmedia.

Basis-Basis KomunitasDalam kajiannya tentang komunitas sas-tra di Indonesia, Shiho Sawai (2008)mengidentifikasi komunitas sastra yangada di tengah-tengah masyarakat sastraIndonesia ke dalam enam jenis berdasar-kan basisnya, yaitu komunitas berbasislembaga pendidikan, komunitas berbasisnonlembaga pendidikan, komunitas ber-basis koran atau majalah, komunitasberbasis milis, komunitas berbasis pener-bit, dan komunitas berbasis gerakanliterasi. Shiho Sawai tampaknya kurangmelihat komunitas sastra yang tumbuh dipondok-pondok pesantren. Padahal, ko-munitas yang terakhir itu barangkalijustru merupakan “keistimewaan” danpotensi kekayaan sastra Indonesia diJawa Timur dibandingkan dengan dae-rah-daerah lainnya di tanah air.

Pertama, komunitas sastra berbasiskampus. Komunitas ini pada umumnyaberada di kampus-kampus perguruantinggi yang memiliki jurusan bahasa dansastra sehingga diperkirakan usianya sa-ma dengan usia kampus tertua di JawaTimur, IKIP Malang. Pada tahun 1950—1960-an, di kampus IKIP Malang telahada komunitas sastra yang aktif melaku-kan pembacaan puisi, pementasan teater,dan diskusi sastra dengan aktivisnya,antara lain Rahmat Ali, Suripan SadiHutomo, dan Umar Junus. Kampussebagai laboratorium pemikiran terbukaterhadap berbagai wacana, tidak terke-cuali wacana kebudayaan yang menem-patkan sastra sebagai bagiannya. DiJawa Timur cukup banyak perguruantinggi, baik negeri maupun swasta yangmemiliki jurusan sastra. Komunitas sas-tra berbasis kampus yang telah eksis,antara lain FS3LP (Universitas Airlang-ga), Teater Rosda/Kostela (UniversitasIslam Darul Ulum/Unisda Lamongan),Komunitas Kesasar (UK Petra Suraba-ya), Komunitas Rebo Sore (Universitas

Negeri Surabaya), Komunitas Selasar(UK Petra), Komunitas Sastra UINMalang, Komunitas Teater O/TeaterLingkar dan Komunitas Arisan Reboan(Universitas Braw-jaya), KomunitasTeater Cengkir (Universitas Wijayakusu-ma), Komunitas Sastra Untag’45 Banyu-wangi, dan Lentera (STKIP Sumenep).

Para penggerak komunitas sastraberbasis kampus ini pada umumnya ada-lah mahasiswa yang memiliki bekal ilmusastra dan memiliki akses ke buku-bukusastra atau sumber informasi lainnyayang relatif baik sehingga mereka punmemiliki pengetahuan dan pemahamansastra yang relatif baik pula. Kegiatanmereka tidak hanya mementaskan karyasastra dan “menerbitkan” buku antologifotokopi, tetapi terutama adalah men-diskusikan berbagai pemikiran dalam bi-dang kebudayaan, khususnya sastra. Ko-munitas menjadi tempat penggodokandan perdebatan berbagai pemikiran yangtidak mungkin tertampung dan ter-akomodasi dalam perkuliahan atau men-jadi arena untuk mengimplementasikanteori-teori sastra yang mereka dapatkan.Teater Gapus/FS3LP barangkali merupa-kan komunitas sastra berbasis kampusyang paling eksis dan menonjol saat inidilihat dari aktivitas dan karya-karyayang dilahirkannya. Dalam perjalanan-nya, anggota FS3LP tidak hanya telahmenerbitkan buku atau stensilan esei ha-sil karyanya yang sudah tersebar ke ber-bagai media lokal, nasional, dan inter-nasional, tetapi juga menghasilkan karyailmiah kajian sastra berupa skripsi yangdapat memberikan sumbangan bagi ilmusastra, khususnya di bidang kritik sastraIndonesia. Mereka juga aktif menuliskritik/esai sastra di media massa, baik lo-kal maupun nasional hingga kini.

Komunitas sastra berbasis kampustidak hanya menjadi roda penggerak ke-giatan bersastra di kampus-kampus, na-mun tidak jarang mereka ke luar wilayahkampus untuk menjangkau masyarakatyang lebih luas seperti yang dilakukan

Page 11: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

110

Komunitas Lentera yang berbasis dikampus STKIP Sumenep. Komunitasyang dibentuk oleh gabungan mahasiswadengan sastrawan di luar kampus, sepertiSyaf Anton, pada pertengahan tahun1990-an setelah Forum BIAS yang di-motorinya tidak aktif lagi, komunitas itumasih eksis hingga kini dengan sistemregenerasi. Di samping melakukan dis-kusi setiap hari Jumat dan menerbitkanbuletin Tera, mereka juga aktif menjadipenggerak atau “provokator” kegiatansastra di Sumenep. Komunitas Lenterajuga berupaya melakukan inovasi dalampenciptaan karya sastra, melepaskan diridari “estetika Zawawi Imron”, penyairSumenep yang telah mapan, baik ditingkat nasional maupun regional.

Kedua, komunitas berbasis nonkam-pus. Termasuk di dalam jenis ini, di an-taranya adalah Bengkel Muda Surabaya(BMS), Forum Apresiasi Sastra Suraba-ya (FASS), Kalimas, Kelompok PencintaSastra Blitar, Teater Idiot Malang, Ko-munitas Lembah Pring Jombang, ForumSastra Mojokerto (Forasamo), Komuni-tas Kayutangan Malang, Lingkar StudiSastra Ngawi, Teater Magnit Ngawi, Ko-munitas Cak Die Reziem Surabaya, Ko-munitas Lumpur Bangkalan, ForumBIAS Sumenep, HP3N, FLP, KomunitasNasi Putih Jember, Komunitas MusikLimbah Cager Gresik, Forum SastraBersama Surabaya, Sanggar Dian Luma-jang, Alam Ruang Sastra Sidoarjo, Sang-gar Sastra SD Jombatan Jombang, Ko-munitas Lingkar Sastra Junok Bangkal-an, Forum Penyair Muda Malang,Kostela, Kelompok Selasa, ForumKemisan, DKBR Banyuwangi, dan PusatStudi Budaya Banyuwangi. Sebagaikomunitas seni yang dianggap palingawal di Surabaya, Bengkel MudaSurabaya, bisa dikatakan sebagai komu-nitas berbasis nonkampus yang palingawal pula. Komunitas sastra berbasisnonkampus keanggotaannya memilikilatar belakang strata sosial, pendidikanseni, dan profesi beragam, seperti pelu-

kis, teatrawan, guru, buruh, penulis, pe-nikmat sastra, pembaca, wartawan, pe-nerbit, dan penggembira.

Ketiga, komunitas berbasis pondokpesantren. Ribuan pondok pesantren diJawa Timur merupakan ladang subur ba-gi tumbuhnya komunitas sastra dan kehi-dupan sastra mengingat sejarahnya yangpanjang. Pondok Pesantren Al-Amiinmulai menggeliatkan sastra Indonesiamodern setelah berdirinya TarbiyatulMu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amiin, Prenduan. Sanggar Sastra Al-Amiin berdiri tanggal 1 Oktober 1983oleh Akhmadi Thaha, Amiin MZ, danJamal D. Rahman. Komunitas ini untukpertama kalinya menerbitkan antologipuisi AH disusul kemudian antologi Sa-jak-Sajak Satu Malam. Tahun 1984 ber-diri Teater Hilal sebagai komunitas yangbergerak di wilayah sastra pertunjukan dibawah pembinaan D. Zawawi Imron(Imron, 2002). Selain AH dan Sajak-Sa-jak Satu Malam, komunitas Al-Amiin ju-ga telah menerbitkan antologi DeruI’tikaf (1989), Tiga Belibis, dalam Arus(1989), Luka Susup Mimpi (1991), Pen-jajahan Bisu (1995), Gempa (1996),2009 Bergerak (1997), Air Mata Rindu(1991), dan Cahaya Kata (2002).

Pondok Pesantren Annuqayah dapatdikatakan sebagai pondok pesantrenyang paling banyak menaungi dan mem-bina komunitas sastra. Meskipun terletakdi desa terpencil, kegiatan sastra dan se-mangat bersastra para santrinya luarbiasa. Kehidupan seni sastra sangat di-perhatikan dan hal itu dapat dilihat darimaraknya komunitas sastra yang lahir dipondok ini, seperti Sanggar Kreasi SeniIslami (SaKSI-putra), Sanggar Andalas(putra), Sanggar Padi, Sanggar SaksiMata Saksi, Bengkel Puisi Annuqayah,Sanggar Alam, Sanggar Nurani (putra),Sanggar Al-Zalzalah (putri), SanggarPajjer Laggu (putri), dan Sanggar Jejak(putri). Komunitas sastra di pondok pe-santren ini juga ada yang memiliki wila-yah binaan secara spesifik, seperti Sang-

Page 12: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

111

gar Sukma yang membina para santri da-ri Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, Sang-gar Arlent Aksi membina santri dari Ke-camatan Lenteng, Sanggar Rembulanmembina santri dari daerah Bluto danSaronggi, Sanggar Hagayo membinasantri dari Pamekasan dan Sampang,Sanggar Nadi membina para santri yangberasal dari Desa Bandingi, sanggar As-bak membina ikatan para santri putraputri yang berasal dari Desa Pakanbarudan sekitarnya, Sanggar Bibir membinaikatan para santri putra ulama Madura,Sanggar Pelangi membina ikatan santriAnnuqayah yang meliputi KecamatanGuluk-Guluk, dan Sanggar Apokpakmembina ikatan santri cinta damai yangmeliputi Desa Pragaan dan sekitarnya.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukanmasing-masing komunitas sangat bera-gam, seperti pementasan teater, pelatihanpenulisan, perlombaan menulis puisi, se-minar, simposium, diskusi, dan bedahbuku. Kegiatan mereka pun tidak sebataspada lingkungan pondok, tetapi telahmeluas dengan menjalin kerja samadengan berbagai instansi pemerintah dankomunitas-komunitas sastra lainnya. Da-ri komunitas-komunitas tersebut, lahirlahpenulis-penulis yang cukup potensial.Antarkomunitas atau sanggar saling ber-kompetisi secara sehat dengan cara me-nerbitkan buku antologi puisi atau cer-pen. Antologi yang dihasilkan oleh ko-munitas-komunitas itu kemudian didis-kusikan, dibahas, dan dikritik bersama-sama atau dalam bentuk semacam “pe-ngadilan karya”. Dengan cara demikian,anggota komunitas akan mendapat ma-sukan dan bahan pemikiran untuk mem-perbaiki karyanya.

Komunitas sastra pondok pesantrenSidogiri, Kraton, Pasuruan mengawalikegiatan bersastranya melalui pelatihanpenulisan, penyediaan perpustakaan, danmajalah dinding hingga kemudian ber-muara pada penerbitan dan penyebar-luasan hasil-hasil karyanya, antara lain“Di Pojok Kitab: Catatan Unik Dari

Khasanah Pesantren” karya M. MahbubAli, dkk. “Ngetren Yuk, Sobat” karyaAde Hamzah, dan “Ali, Santri....:Kum-pulan Esai dan Puisi” karya DwiSadoellah.

Pondok pesantren Darul UlumBanyuanyar yang terletak di DesaPoto’an Daya, Palengaan, Pamekasan te-lah menerbitkan jurnal Al-Ikhwan secararutin. Jurnal tersebut memuat masalah-masalah keislaman, masalah-masalahberkaitan dengan dunia pesantren, dankesusasteraaan. Pengembangan minat,bakat, dan potensi santri secara khususditangani oleh Departemen Pengem-bangan yang kemudian menjalin kerjasama di bidang penulisan dengan ForumLingkar Pena (FLP). Untuk lebih me-realisasikan pembinaan terhadap parasantri yang memiliki bakat dan berminatpada sastra, kemudian dibentuk SanggarSastra dan Teater Kertas. Di samping ke-giatan kegiatan penerjemahan, santri disanggar itu juga melakukan kegiatan pe-nulisan puisi, cerpen, dan novel. Merekatelah menghasilkan Antologi Puisi TafsirCinta Tafsir Para Remaja, AntologiCerpen Musim Gugur Kurengkuh Cinta-mu, dan Antologi Puisi Aku. Nama-namapenulis yang muncul dari Sanggar SastraTeater Kertas ini adalah NoerHamdiansyah, Abdi Gunawan, Ach.Sudali, Mujiburrahman, Zainullah el-Zain, dan Didik Permadi.

Sanggar Simurg yang berbasis di PPMatholi’ul Anwar, Simo KaranggenengLamongan memiliki penerbit La Rose.Aktivitas di komunitas ini dibimbingoleh Javed Paul Syatta/Iful Mudzuk/-Syaiful Anam. Pengajar bahasa dansastra Indonesia di MA Matholiul Anwaritu masih tergolong keluarga dalampondok. Kegiatan sastra di pondokpesantren ini cukup menonjol terlihatdari para alumninya yang sering berge-rak dalam ruang kreatif. Buku ter-bitannya adalah kumpulan cerpen Ma-war Putih (2007), Kristal Bercahaya da-ri Surga (2008), Tamasya Langit (2003),

Page 13: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

112

dan Melintasi Jalan Cinta (2007). SelainPesantren Simo, di pesantren SunanDrajat Paciran, juga terdapat komunitassastra. Meskipun belum terdata secaralengkap, komunitas sastra Indonesiatampaknya juga ada di pondok-pondokpesantren lainnya yang tersebar di selu-ruh Jawa Timur.

Karya yang dihasilkan oleh anggotakomunitas berbasis pondok pesantren initidak hanya bertutur tentang dunia pe-santren dengan nilai-nilai Islam yang ke-tat, tetapi menggambarkan dunia remajapada umumnya serta masalah-masalahsosial kemanusiaan yang menjadi isu ha-ngat di luar pondok pesantren. Meskipunnilai-nilai keislaman dan gambaran du-nia pesantren menjadi ciri yang menon-jol, adanya gambaran kehidupan duniaremaja pada umumnya mengungkapkanberagam dan kayanya karya para ang-gota komunitas berbasis pesantren ini.Di samping itu, juga menunjukkan kianterbukanya kehidupan pondok pesantrenterhadap dunia luar.

Jaringan AntarkomunitasSelain sebagai arena berlatih ataupersemaian pengarang-pengarang muda,fungsi terpenting komunitas sastramenurut Eka Budianta (2003:43—44)adalah sebagai penerbit dan jaringankomunikasi. Dari komunitas sastraIndonesia yang ada di Jawa Timur telahlahir ratusan, bahkan mungkin ribuankarya sastra, baik berupa puisi, prosa,drama maupun esai sastra-budaya, baikyang terbit dalam antologi sendirimaupun antologi bersama dan darikomunitas berbasis kampus lahir pulakarya-karya ilmiah kajian sastra dalambentuk skripsi. Setiap tahun komunitassastra yang masih aktif di berbagaidaerah di Jawa Timur pada umumnyamelahirkan antologi, baik yang diterbit-kan secara “fotokopi” maupun oleh pe-nerbit “resmi” seperti Dewan Kesenian.Sebagai contoh, sejak tahun 1998—2008, Komunitas Sastra Teater Lamong-

an (Kostela) telah menerbitkan 56 bukuantologi puisi, cerita pendek, dan esaibudaya (Sungkowati, et al, 2008:85—89). Penerbitan dan penyebarluasan bu-ku-buku sastra melalui komunitas dan ja-ringannya itu merupakan satu solusipemasaran karya sastra yang murah,tanpa perlu melewati tahapan pemasaranbuku tradisional yang harus melaluipenerbit, distributor, dan toko buku(Escarpit, 2008:106).

Tidak sedikit karya anggota komu-nitas sastra di Jawa Timur yang dinilaiikut mewarnai kesusastraan Indonesiasecara nasional, seperti kumpulan puisiLabirin dari Mata Mayat (2003) karyaW. Haryanto, Pengantin Lumpur (2004)karya Mashuri, dan Ekspedisi Waktu(2004) karya Indra Tjahyadi. Bahkan,novel Hubbu karya Mashuri memenangisayembara roman Dewan KesenianJakarta. Di samping ketiga karya “puisigelap” yang lahir dari anggota komunitasFS3LP, lahir pula karya-karya yangkental nuansa lokal sesuai dengan daerahkeberadaan komunitas itu, seperti puisi-puisi bernuansa Using dari komunitasKelompok Selasa dan Pusat StudiBudaya Banyuwangi, puisi-puisibernuansa lokal Surabaya dari FASS danFBSS, serta puisi-puisi beraroma Madu-ra dari komunitas-komunitas sastra didaerah Madura. Karya-karya tersebutpada umumnya disebarluaskan melaluijaringan yang mereka bangun di antarapara penggiat sastra di berbagaikomunitas sastra.

Oleh karena itu, membangun ja-ringan dan komunikasi antarkomunitasmerupakan hal yang penting. Denganmembangun jaringan, antarkomunitasdapat saling berbagi informasi dan ber-bagi karya sehingga tidak tergantung pa-da media massa cetak dalam upaya pub-likasinya. Dalam merajut tali komunikasiitu, masing-masing komunitas memilikipola jaringan tersendiri. Daerah-daerahdi Jawa Timur pada umumnya tidakhanya memiliki satu komunitas, tetapi

Page 14: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

113

cukup banyak (seperti di Sumenep) se-hingga terjadi dinamika di dalam kehi-dupan sastra di daerah. Sumenep, Sura-baya, Malang, Ngawi, Banyuwangi, danBlitar adalah daerah yang dinamikakomunitas sastra Indonesianya menarikuntuk dicermati. Komunitas-komunitasitu tidak hanya menjalin komunikasidengan komunitas di Jawa Timur, tetapijuga dengan komunitas di daerahlainnya.

Himpunan Pengarang, Penyair, danPenulis Nusantara (HP3N) Jawa Timuryang menonjol berpusat di Batu dan di-motori oleh Taufan Aminudin. Pada ta-hun 1993, HP3N menerbitkan buletinKreatif yang memuat cerpen, kritik, esai,dan berita budaya karya penulis dari ber-bagai daerah di Indonesia. MenurutSuripan Sadi Hutomo (1994:12), padamasanya, HP3N merupakan komunitassastra di Jawa Timur yang memiliki jari-ngan paling luas. Kini, posisi itu dipe-gang oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ja-wa Timur yang telah memiliki 18 cabangdan 9 ranting hingga ke kota-kota keca-matan.

Jaringan yang baik juga pernah di-bangun oleh Barisan Seniman MudaBlitar dan Komunitas Revitalisasi SastraPedalaman. Pada awal bergulirnya, Ko-munitas Revitalisasi Sastra Pedalamanhanya melibatkan seniman dan sastra-wan di sekitar wilayah Blitar dan wila-yah Jawa Timur lainnya melalui kun-jungan budaya, seperti Temu Teater Pe-dalaman di Kediri, Sepekan Sastra Nga-wi, komunitas sastra di Gresik, komuni-tas sastra di Lamongan, Forum BIAS,dan komunitas sastra di Tulungagung.Selanjutnya menjalin kerja sama denganseniman-seniman di luar Jawa Timur, se-perti Bambang Karno (Wonogiri),Sosiawan Leak dan Marsudi WD (Solo),Beno Siang Pamungkas dan TriyantoTiwikromo (Semarang), serta ArifZayyin (Salatiga) untuk menyosialisasi-kan konsep perlawanan mereka terhadaphegemoni pusat. Komunitas Revitalisasi

Sastra Pedalaman juga membangun ja-ringan dengan komunitas sastra di berba-gai daerah di Indonesia melalui penerbit-an Jurnal RSP. Jurnal RSP memuatpuisi, cerita pendek, dan esai oleh penu-lis dari daerah-daerah, seperti Bali, Su-matra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan,dan Sulawesi. Jurnal RSP disebarluaskanke berbagai komunitas sastra di Indo-nesia melalui sistem fotokopi atau ‘cetakjarak jauh’ dan menjadi corong para sas-trawan pedalaman untuk menyuarakangagasan-gagasannya. Mereka yang ber-suara di dalam Jurnal RSP mungkin na-manya belum pernah didengar sebelum-nya oleh publik sastra Indonesia yang‘berorientasi’ Jakarta. Kemunculan sas-trawan dalam Jurnal RSP tersebut me-nunjukkan bahwa memang ada “matarantai tak terputus” dalam kehidupansastra di seluruh Indonesia yang “selamaini” luput dari perhatian (Derks,2006:436).

Komunitas FS3LP menjalin komu-nikasi dan kerja sama dengan komunitas-komunitas berbasis kampus dan nonkampus. Pada mulanya hanya dengankomunitas di Jawa Timur, kemudianmeluas hingga ke Yogyakarta, JawaTengah, dan Jawa Barat. KomunitasTeater Gapus menjalin kerja samadengan komunitas Cager. KomunitasCager juga membuat jaringan denganBengkel Muda Surabaya. Komunitas Ke-sasar (Selasar) membina jaringan dengankomunitas Mulyorejo Surabaya melaluiacara ‘Puisi Bawah Tangga’ dan denganAkademi Kebudayaan Yogyakartamelalui pentas dan peluncuran buku.Kostela membangun jaringan tersendiridengan komunitas sastra di Mojokerto,Bojonegoro, Gresik, dan Surabaya.Pertemuan diadakan dalam rangka temukarya yang biasa digelar tiap tahun diLamongan.

SIMPULANDari pembahasan dapat disimpulkanbahwa maraknya kehidupan sastra di Ja-

Page 15: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

114

wa Timur tidak dapat dilepaskan dari pe-ran komunitas-komunitas sastra yangsudah mulai muncul pada akhir tahun1950-an. Latar kemunculannya yang ber-agam menandai dinamika kehidupan sas-tra di Jawa Timur, baik secara internalmaupun eksternal yang tujuannya tidaklepas dari keinginan untuk menghi-dupkan dan membangun kehidupan sas-tra Indonesia yang lebih baik. Basis-ba-sis komunitas sastra yang menonjol ada-lah kampus, nonkampus, dan pondok pe-santren. Komunitas-komunitas di JawaTimur tidak hanya membangun dan me-ngembangkan jaringan antarkomunitassastra di Jawa Timur, tetapi juga dengankomunitas-komunitas sastra di luar JawaTimur, baik melalui pementasan, diskusi,maupun penerbitan bersama sehinggaterjalin komunikasi yang baik antarko-munitas sastra Indonesia. Pada umum-nya, dalam komunitas sudah tercakupfakta sastra sebagaimana dikemukakanEscarpit, yaitu terdiri atas unsur penga-rang, karya, dan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Eka.2003. “Komunitas Sastradan Sosiologi Pengarang: Sisi LainSelembar Daun.” Dalam SastraKota: Bunga Rampai Esai TemuSastra Jakarta. Ahmadun YosiHerfanda, et al (Ed.). Yogyakarta:Dewan Kesenian Jakarta dan Ben-tang Budaya

Dahana, Radhar Panca. 1994. “MencariPedalaman Sastra Indonesia”. Da-lam Kompas Minggu, 18 Septem-ber.

Escarpit, Robert.2008. Sosiologi Sastra.Tejemahan Ida Sundari Husen.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Derks, Will.2006. “Sastra Pedalaman:Pusat-Pusat Sastra Lokal dan Regi-onal di Indonesia”. Dalam Clear-ing A Space: Kritik Pascakolonialtentang Sastra Indonesia Modern.

Keith Foulcher dan Tony Day(Ed.). Jakarta: Yayasan Obor danKITLV-Jakarta.

Faruk, HT. 1994. “Kabut Sastra Peda-laman”. Dalam Kompas Minggu, 25September.

Gunadi, Iwan.2004.”Kualitas KomunitasSastra” dalam Republika, 4 Juni.

Hutomo, Suripan Sadi.1994. Kronik Sas-tra Indonesia di Malang. Surabaya:Pusat Dokumentasi Suripan SadiHutomo.

______. 1995. Wajah Sastra Indonesiadi Surabaya. Surabaya: Pusat Doku-mentasi Suripan Sadi Hutomo.

______.2000.“Pemberdayaan KomunitasSastra Indonesia di Daerah”. Dalambuku Bahasa Indonesia dalam EraGlobalisasi: Pemanfaatan PeranBahasa sebagai Sarana Pem-bangunan Bangsa. Jakarta: PusatPembinaan dan PengembanganBahasa.

Herfanda, Ahmadun Yosi. 2007. “Repo-sisi dan Pergeseran Peran Komuni-tas Sastra”. Dalam Horison, Maret.

Khoirudin, Alang. 2007. “Dinamika Ko-munitas Sastra di Lamongan”. Da-lam Lamongan Art, September.

Pujayanto,Risang Anom.2009.”Mendo-brak Kebuntuan Sastra”. DalamSurabaya Post, Minggu, 19 Juli.

Santosa, Anang. 2007. “Komunitas Sas-tra Indonesia di Mojokerto”. Lapo-ran Penelitian Balai Bahasa Suraba-ya.

Sawai, Shiho.2008. “Jeda: KomunitasSastra Kolektif”. Dalam Media In-donesia, Minggu, 27 Januari.

Saryono, Djoko, et al. 1998. “Karakteris-tik Sastra Indonesia Karya PenulisJawa Timur”. Laporan PenelitianProyek Pembinaan Bahasa danSastra Indonesia dan Daerah JawaTimur.

Setiawan, et al. 1998. Sastra Indonesiadi Madura: Tinjauan Pengarang,Hasil Karya, dan Dunia. Jakarta:

Page 16: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

115

Pusat Pembinaan dan Pengembang-an Bahasa.

Siswanto, Wahyudi, et al. 1996. “Per-tumbuhan dan Perkembangan SastraIndonesia di Jawa Timur”. LaporanPenelitian Proyek Pembinaan Baha-sa dan Sastra Indonesia dan DaerahJawa Timur

Sungkowati, Yulitin et al. 2008.“Komunitas Sastra Indonesia diJawa Timur”. Laporan PenelitianBalai Bahasa Surabaya.

Tanaka, Roland. 1976. Systems Modelsfor Literary Macro Theory. Lisse:The Peter de Ridder Press.

Tohar, M. Amir.2007. “Komunitas Sas-tra Teater ‘Persada’ di Ngawi”. La-

poran Penelitian Balai Bahasa Sura-baya.

Tranggono, Indra. 1994. “Indonesia Kri-sis isu Sastra: Rapuhnya ‘Gerakan’Sastra di Daerah” dalam MingguPagi Kedaulatan Rakyat, No. 34Th. Ke-48, Minggu Ke-3 Novem-ber.

Yoga, S. 2008. “Taman Puisi Gelap Ja-wa Timur”. Dalam Kompas, 2 Juli

Venayaksa, Firman. 2007. “KomunitasRumah Dunia dan Regenerasi Kesu-sasteraan di Banten”. MakalahKongres Himpunan Sarjana Kesu-sasteraan Indonesia, UniversitasIndonesia 6—8 Agustus.

Page 17: MEMETAKAN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA DI JAWA TIMUR

116

Lampiran:

Persebaran Jumlah Komunitas Sastra yang Tercatat Pernah Muncul danBeraktivitas di Jawa Timur