memberantas korupsi dengan memvonis ringan pelaku

15
Mengkritisi Penuntasan Kasus Korupsi di Indonesia Melalui Kasus Korupsi Hambalang Menggunakan Paradigma Critical Theory et al” Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas matakuliah Filsafat Hukum oleh : HANNY AINUR ROFIQ (11010110174003) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2012

Upload: hanny

Post on 13-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hambalang

TRANSCRIPT

Mengkritisi Penuntasan Kasus Korupsi di IndonesiaMelalui Kasus Korupsi HambalangMenggunakan Paradigma Critical Theory et al

Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas matakuliah Filsafat Hukum

oleh :HANNY AINUR ROFIQ(11010110174003)

Fakultas HukumUniversitas Diponegoro2012

Bab IPendahuluan

1.1 Latar BelakangKorupsi sudah digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat luar biasa atauan extraordinary crime di Indonesia. Itu bisa dilihat adanya peraturan atau undang-undang yang dibuat secara khusus mengenai tindak pidana korupsi, bahkan cara beracaranyapun diatur secara khusus termasuk dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam cara beracaranya salah satunya mengatur tentang dapat dikenakannya beban pembuktian terbalik dalam pemeriksaan. Selain itu turut campurnya KPK pada penanganan kasus korupsi yang merugikan negara dengan nominal satu milyar rupiah menambah aksen kekhususan itu semakin melekat. Kekhususan ini yang membuat korupsi dianggap sesuatu yang sangat jahat bila dilakukan. Tidak heran jika diberlakukan secara khusus pula dalam pelaksanaan penerapan sanksi pidananya. Sebuah tindak pidana yang bukan main-main memang.Dalam arti umum korupsi diartikan beragam. Namun dalam sistem hukum Indonesia tindakan korupsi kuncinya ada pada perbuatan merugikan negara yang kemudian disebut sebagai unsur tindak pidana korupsi. Kemudian undang-undang mengaturnya lebih sempit sehingga rumusan tindak pidana khusus korupsi ini diejawantahkan lagi secara lebih mendetail. Semuanya tertulis dengan jelas dan sangat tekstual melalui aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, berisi nilai dan norma dan tentu saja dilekati sanksi.Permasalahan korupsi di Indonesia bisa saya katakan sudah teramat mengakar di berbagai tingkat ekonomi masyarakat dan pemberitaannya baik dari masalah korupsinya, pelakunya, aparat penegaknya hingga proses penegakkan hukumnya sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mulai dari Korupsi yang nominalnya kecil hingga ke nominalnya besar yang melibatkan orang-orang penting di negeri ini.Sejarah tentang korupsi di Indonesia sudah dikenal sejak zaman kerajaan, zaman penjajahan, zaman orde lama dan orde baru hingga era demokrasi sekarang ini. Pada masa orde baru korupsi jugalah yang menjadi penyebab utama runtuhnya rezim suharto. Namun seiring beberapa pergantian kepemimpinan di negeri ini korupsi juga tidaklah hilang bahkan cara-cara untuk korupsi semakin tersistem. Peraturan Perundangan-undangan tentang tindak pidana korupsi, lembaga peradilannya serta KPK pun seakan semakin tak berdaya menanganinya.

1.2 PermasalahanSeperti yang sudah disinggung diatas korupsi merupakan permasalahan serius yang harus segera ada solusi nyatanya tidak hanya janji-janji para petinggi negeri ini untuk memberantasnya. Saya melihat pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini masih setengah hati karena upaya yang dilakukan pemerintah jauh dari kata maksimal. Kita lihat saja pada salah satu kasus korupsi yang sedang hangat menjadi perbincangan di berbagai media, kalangan birokrat, kalangan praktisi hingga masyarakat umum yaitu kasus korupsi mega proyek hambalang. Kasus yang melibatkan beberapa pejabat tinggi ini tak kunjung menunjukkan progres penuntasan yang memuaskan sekalipun KPK sudah menetapkan mantan Menpora Andi Mallarangeng sebagai tersangka.Kepentingan politik terlalu banyak mengintervensi penuntasan kasus korupsi hambalang sehingga keadilan maupun kepastian hukum hanya akan jadi nyanyian para penegak hukum yang hendak menuntaskannya. Untuk itu melalui makalah ini saya akan mengupas mengenai bagaimana cara penuntasan kasus hambalang yang sudah terlalu banyak di intervensi oleh unsur kepentingan politik? Lalu Apa yang seharusnya dilakukan aparat masrakat, pemerintah dan penegak hukum untuk bisa menyelesaikannya serta Bagaimana menghilangkan belenggu-belenggu unsur kepentingan politik yang menghambat proses penuntasan kasus korupsi termasuk kasus hambalang ini?

Permasalahan diatas akan dikaji dan ditelaah lebih jauh lewat sebuah pemikiran paradigma critical theory et al yang melalui pemikirannya menawarkan suatu cara untuk menyelesaikan permasalahan diatas yang mana hukum yang berlaku sekarang jauh dari kata mampu untuk menyelesaikannya. Cara itu adalah dengan melakukan perubahan di berbagai aspek yang berkaitan dengan penuntasan kasus korupsi di Indonesia khususnya kasus hambalang yang mana perubahan itu memuat kesepakatan-kesepakatan yang timbul didalam elemen masyarakat.

Bab IIPembahasan

2.1 Paradigma dan Paradigma Critical Theory et alSebelum membahas dan menganilisis tentang penuntasan kasus korupsi hambalang akan di jelaskan secara singkat apa itu paradigma dan apa itu paradigma critical theory et al. Paradigma menurut Guba dan Lincoln merupakan suatu sistem filosofis 'payung' yang meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu. Masing-masingnya terdiri dari serangkaian 'belief dasar' atau worldview yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan dengen "belief dasar" atau worldview dari ontologi, epistemologi dan metodologi paradigma lainnya.[footnoteRef:2] [2: Indarti, Erlyn. DISKRESI DAN PARADIGMA: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. (Semarang :Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2010). Halaman. 16]

Dalam kaitannya dengan paradigma ini, menurut Guban & Lincon paradigma dibagi menjadi 4 paradigma utama, yaitu positivism, postpositivism, critical theory et al, constructivis. Yang mana dalam membedakan ke empat paradigm yang dikemukakan oleh Guban & Lincolnvtersebut dilihat dari pertanyaan - pertanyaan dasar yang dalam hal ini meliputi pertanyaanvOntologis, Epistemologis, dan Metodologisnya. Dari keempat macam paradigma ini hanya akan diambil satu jenis paradigma yang penulis anggap sejalan dengan pikiran penulis, yaitu paradigma critical theory et al berkaitan dengan sebuah kasus yang akan penulis angkat juga dalam menganalisa kasus dalam makalah ini.Dalam critical theory et al ini, hukum dianggap sebagai sesuatu yang historis atau wujud dari kenyataan, sesuatu yang bersejarah dan dalam wujud yang bisa dimengerti atau dipercaya, namun hukum bisa juga dianggap sebagai kesadaran yang melenceng. Ciri-ciri hukum dari konsep pemahaman hukum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) serangkaian struktur sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, budaya, etnik, gender dan agamab) sebagai instrument hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif dan eksploitatif c) setiap saat terbuka bagi kritik, revisi dan transformasi, guna menuju emansipasi.[footnoteRef:3] [3: Ibid. Halaman. 36]

2.2 Awal mula kasus hambalangProyek Hambalang dimulai sekitar tahun 2003. Proyek yang dikabarkan ada dugaan korupsi seperti nyanyian M. Nazaruddin ini ditargetkan selesai akhir tahun 2012 ini. Proyek pusat olahraga di Hambalang, Bogor- Jawa Barat menjadi sorotan, apalagi dua bangunan di sana ambruk karena tanahnya ambles. Secara kronologi, proyek ini bermula pada Oktober Tahun 2009. Saat itu Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olah Raga) menilai perlu ada Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional.Lanjutan pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional mulai dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Untuk membangun semua fasilitas dan prasarana sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran mencapai Rp 1,75 triliun. Ini sudah termasuk bangunan sport science, asrama atlet senior, lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan voli pasir.Ini berdasarkan hasil perhitungan konsultan perencana. Seiring dengan nyanyian Nazaruddin mengenai adanya dugaan korupsi dalam proyek hambalang, KPK pun bertindak untuk menindaklanjuti nyanyian tersebut. Dalam penyelidikan proyek senilai Rp1,52 triliun itu, KPK sudah memeriksa lebih dari 60 orang yang disebut-sebut mengetahui, mendengar, atau melihat dugaan penyimpangan proyek itu. Mereka yang dimintai keterangan antara lain dari pihak pemerintah seperti dari Badan Pertanahan Nasional, Kementrian PU, Kemenkeu, rekanan atau perusahaan pelaksana proyek, bahkan anggota DPR RI seperti Muhammad Nazaruddin.[footnoteRef:4] [4: Dikutip dari www.centroone.com KPK belum juga belum tentukan tersangka]

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang baru menetapkan dua tersangka, yakni mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar dan Menpora Andi Mallarangeng. Namun KPK memastikan akan terus mengembangkan kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 243 miliar tersebu Masalah ini perlu terus ditelusuri untuk membuka secara jelas dan gamblang siapa sebenarnya yang terlibat kasus Hambalang ini, termasuk membongkar siapa aktor intelektual yang mengendalikan serta pembongkaran terhadap pelaksanaan tender dan siapa yang menerima pembagian penghargaan jasa melicinkan kenaikan anggaran dan pemenangan kontraktor pada proses tender.[footnoteRef:5] [5: Dikutip dari http://www.jambi-independent.co.id tersangka hambalang akan bertambah]

Dalam perkembangannya banyak pihak berpendapat bahwa dalam waktu dekat Anas Urbaningrum dan Agus Martowardoyo bahkan Edhie Baskoro akan jadi tersangka juga. Dari illustrasi mengenai perjalanan kasus hambalang ini yang bisa di ambil adalah kasus ini banyak sekali menyeret para pejabat Negara. Sungguh ironis memang ketika para pejabat negara tersebut yang dikenal lantang menyerukan Anti-Korupsi justru terlibat kasus korupsi. Lalu dengan melihat pejabat-pejabat negara terlibat dalam kasus korupsi hambalang tentu banyak pihak akan berpendapat upaya penuntasannya akan memakan waktu lama dan tidak netral.2.3 Upaya pemerintah dan penegak hukum dalam menuntaskan kasus korupsi hambalang dari kacamata paradigma critical theory et al.Seperti yang sudah diketahui pihak-pihak yang menjadi tersangka maupun terindikasi melakukan korupsi dalam proyek hambalang termasuk pejabat-pejabat tinggi negara maupun elit politik. Dengan demikian pemerintah jelas perlu memutar otak untuk menuntaskan kasus ini karena tentu unsur-unsur kepentingan maupun politik akan masuk dan mengintervensi upaya penuntasan kasus hukumnya. Saya meyakini penuntasan kasus ini akan berlarut-larut dan jauh dari unsur netral. Seperti yang di ungkapkan Friedrich bahwa hubungan antara hukum dan politik, yang menemukan ekspresinya dan juga perbedaannya dalam interdependensi hukum dan keadilan menciptakan problema kekuasaan.[footnoteRef:6] [6: Carl Joachim Friedrich, The Philospohy of Law in Historical Perspective, Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, The University of Chicago Press, 1969, hal. 251.]

Berkaitan dengan pendapat friedrich diatas maka dengan adanya pihak-pihak yang diduga terlibat maupun sudah menjadi tersangka kasus ini beberapa adalah kalangan pejabat dan elite politik maka pastilah pihak penguasa akan masuk dan mengintervensi penuntasan kasus ini yang nantinya akan membuat penuntasannya akan jauh dari rasa adil, berlarut-larut, serta terjadi tarik ulur kepentingan terutama kepentingan politik. Sedikit keluar dari topik korupsi hambalang, masih teringat jelas dalam ingatan kita beberapa waktu lalu tentang konflik antara Polri dengan KPK mengenai siapa yang paling berhak menangani kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan salah seorang perwira tinggi Polri. Di sini terlihat jelas bahwa unsur kepentingan mendominasi penanganan kasusnya sehingga Peraturan Perundang-Undangan yaitu UU Tindak Pidana Korupsi, UU KPK dan UU Polri pun akhirnya menunjukkan ketumpang tindihannya sehinggap membuat Presiden sampai turun tangan untuk menyelesaikan saling keberwanangan KPK dan Polri dalam menangani kasus Simulator SIMBerkacamata dari upaya yang dilakukan pemerintah dan penegak hukum untuk menuntaskan kasus korupsi Simulator SIM tak kunjung menunjukkan hasil nyatanya bahkan di media pun pemberitaannya seakan sudah menguap. Maka kita patut menduga bahwa penuntasan kasus hambalang juga akan bernasib sama seperti kasus simulator SIM atau kasus yang lebih berlarut-larut lagi penyelesaiannya yaitu kasus Century. Buruknya penanganan kasus-kasus hukum di Indonesia tak terkecuali kasus korupsi tidak lain adanya warisan nenek moyang kita yang paling berharga, yaitu budaya ewuh-pekewuh. Untuk menjaga keharmonisan suatu hubungan, maka budaya ewuh-pekewuh ini sudah merupakan hukum tidak tertulis yang harus selalu dipegang teguh, dan dilakoni agar tidak terjadi disharmonis.[footnoteRef:7] Budaya ini memang mempunyai nilai positifnya namun dalam hal penegakan hukum jelas akan menimbulkan dampak negatif. Masyarakat sekarang harus mulai sadar bahwa budaya ini sudah merambah ke kawasan penegakan hukum dan praktek kenegaraan ini. Kita bisa melihat sekarang jika ada orang yang berani memprotes ketidakadilan, pelanggaran HAM, mengajukan protes dalam persidangan, berani mengungkapkan kebobrokan, serigkali hal itu dinilai sebagi sikap liberal yang tidak sesuai dengan Pancasila. [7: Jeremias Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Galangpress, 2007), halaman 2. ]

Masyarakat harus segera sadar bahwa hal diatas yang sedang coba diterapkan penguasa dalam hal ini pemerintah dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabatnya maupun elite politik pendukungnya. Mereka mencoba memperkosa hati nurani dan pikiran masyarakat bahwa tindakan-tindakan tersebut diatas tidaklah dibenarkan. Ini membuat pemikiran masyarakat yang berpikir kritis yang menganggap bahwa kewibawaan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus-kasus hukum seperti kasus hambalang sudah hilang menjadi terbelenggu karena rasa takut dianggap kaum liberal.Dalam audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahap pertama soal Hambalang tidak tercantumnya nama Andi Mallarangeng yang kini sudah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam audit BPK jelas menimbulkan pertanyaan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, tidak ada nama Andi Mallarangeng dalam audit BPK namun kemudian KPK menetapkannya? Jelas dalam audit yang dilakukan BPK tersebut besar kemungkinan ada upaya intervensi dari pemerintah yang mana saat itu Andi Malaranggeng masih menjabat sebagai Menpora dan salah satu Elite Partai Politik yang sedang berkuasa di Indonesia yang artinya menunjukkan unsur politik sudah mengintervensi penanganan dalam tahap audit ini. Kini Audit Hambalangtahap II yang masih disusun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpeluang kembali diintervensi. Salah satu anggota BPK yang menangani audit ini yakni Agung Firman Sampurna ternyata adalah anak dari anggota Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran Komisi X, Kahar Muzakir. Padahal, Pokja Anggaran adalah salah satu pihak terperiksa BPK.[footnoteRef:8] [8: Lihat http://nasional.kompas.com Lagi, Audit Hambalang Tahap II Terancam Intervensi]

Intervensi dan intervensi itulah yang terjadi ketika kepentingan kelompok baik itu kepentingan eksekutif, legislatif dan yudikatif dipertaruhkan dalam sebuah kasus dan itu juga yang terjadi dalam kasus hambalang. Kini mencuat nama Agus Martowardoyo yang tidak lain adalah Menteri Keuangan yang dianggap bertanggung jawab atas penandatangan persetujuan nilai proyek hambalang dan anak bungsu Presiden Edhie Baskoro yang juga dianggap terlibat korupsi proyek hambalang bersama Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Sekali lagi orang-orang besar negeri ini terlibat sebuah kasus hukum yang bernama proyek hambalang. Beranikah aparat penegak hukum kita menuntaskannya seperti janji-janjinya selama ini? Unsur Kekuasaan[footnoteRef:9] dalam melakukan intervensi akan sangat mendominasi penuntasan kasus hambalang nantinya. [9: Baca Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum edisi lengkap (dari klasik sampai postmodernisme), (Yogyakarta : Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2011), halaman 352.]

Sebagai pemerhati masalah hukum dan guna menyikapi permasalahan korupsi hambalang saya setuju dengan pernyataan Von Savigny dalam tesisnya yang intinya ialah bahwa semua hukum asal mulanya terbentuk dengan cara, walau tidak seluruhnya tepat, seperti kaidah kebiasaan, bahasa dibentuk, yaitu mula-mula melalui kebiasaan dan keyakinan rakyat kemudian ilmu hukum; jadi dimana-mana oleh kekuatan intern yang bekerja diam-diam, bukanlah melalui kemauan sewenang-wenang dari pembuat Undang-undang.[footnoteRef:10] [10: Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkutullah, Ilmu Hukum dan filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum sepanjang Massa), (Yogyakarta , Penerbit : Pustaka Pelajar, 2011), halaman 156.]

Inti ajaran Savigny dan pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut[footnoteRef:11] : [11: Ibid, halaman 156-177.]

a)Hukum Tidak Dibuat Melainkan Ditemukan Hukum bersifat organis, hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, karena hukum bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.b)Undang-undang Tidak Berlaku Secara Universal Undang-undang merupakan representasi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (suku) dan pada kurun waktu tertentu. Savigny berpendapat, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas.c)Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist). Terdapat hubungan yang dinamis antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut.

Apa yang disampaikan Savigny diatas menurut saya akan sangat cocok bila diterapkan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang sudah menjadi extraordinary crime di Indonesia. Tentu saja juga akan sangat pas diterapkan untuk menuntaskan kasus hambalang. Kodifikasi Hukum Indonesia yang menangani korupsi di Indonesia sudah sangat tidak mampu digunakan untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi terutama kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan dan elite politik negeri ini. Undang-undang tersebut sudah tidak Netral lagi padahal harus kita ketahui semua Undang-undang merupakan produk hasil pembahasan DPR dan Presiden yang mana di dalamnya berisi orang-orang politik dan sudah tentu menghasilkan peraturan yang berunsurkan politik. Dengan begitu ketika Undang-undang itu diterapkan untuk menegakkan hukum dan sekali lagi pemerintah mengintervensinya untuk melindungi kepentingannya yang dalam makalah ini dicontohkan dalam proses penuntasan kasus hambalang jelas Undang-undang tersebut akan semakin jauh dari sifat Netralnya. Jika terus dibiarkan hanya akan menimbulkan kasus-kasus korupsi baru dengan motif dan metode yang baru pula. Kepentingan penguasa maupun golongan tertentu akan bisa membuat penegakan hukum menjadi lemah dan apa yang ada termuat dalam Asas equality before the law hanya sebuah asas yang tak bermakna karena begitu kasus korupsi menimpa pejabat pemerintahan dan elite politik seperti dalam kasus hambalang yang mana kepentingan pemerintah ada di dalamnya hukum akan menjadi tumpul dan penuntasan akan terus berlarut-larut.Dari uraian diatas mengenai kasus korupsi Hambalang dilihat dari kacamata paradigma critical theory et al muncul pertanyaaan pembangunan dan pembentukan hukum macam apakah yang dikehendaki yang mampu menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan dan elite politik? Pertama-tama sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat, yang saat ini sudah sangat jenuh dengan tumpulnya hukum dan alat penegaknya ketika menghadapi kasus korupsi yang dalam makalah ini dibahas mengenai korupsi hambalang. Adalah membuat Undang-undang tindak pidana korupsi yang baru yang benar-benar mencerminkan Hukum yang Netral, yang tidak memihak pada kepentingan sesaat, kepentingan golongan tertentu dan kepentingan penguasa sesaat, tetapi pembuatan hukum itu mngikuti dialektika perkembangan dari masyarakat yang diatur oleh hukum itu bukan melalui tawar menawar pasal dalam Undang-undang antara pihak-pihak yang berkepentingan. Kedua membuat hanya ada satu lembaga yang berwenang untuk menangani tindak pidana korupsi karena selama ini ada tiga lembaga yang berwenang menangani korupsi yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Adanya tiga lembaga justru membuat saling tumpang tindih kewenangan dan membuat penuntasan kasus korupsi semakin tidak netral terutama apabila ditangani Kepolisian atau Kejaksaan yang langsung bertanggung jawab pada pemerintahan pasti Pemerintah lebih mudah melakukan intervensi. KPK pun juga tidak jauh berbeda, kita lihat saja dalam penaganan kasus Hambalang ini meskipun KPK sudah menetapkan Andi Malaranggeng sebagai tersangka KPK masih sangat lamban menanganinya. Yang perlu kita ingat KPK meskipun merupakan lembaga yang independen namun Pimpinan KPK adalah seorang yang dipilih oleh DPR yang calonnya diusulkan dari Presiden yang berasal dari seleksi. Dari ketentuan itu kita juga perlu menaruh perhatian bagaimana bisa KPK sebagai lembaga yang independen dan bebas dari kekuasaan manapun bisa benar-benar independen sedangkan pimpinannya adalah pilihan dari lembaga tinggi negara yang mana didalamnya terdapat berbagai macam kepentingan yang pada saat proses penyeleksiaannya mungkin saja terjadi tawar menawar kesepakatan antara lembaga tinggi negara tersebut dengan para calon pimpinan KPK. Belum lagi kita juga tahu bahwa orang-orang yang bekerja sebagai penyidik KPK sebagian berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam kasus Hambalang KPK sudah memanggil lebih dari 60 Saksi namun hasilnya baru beberapa nama yang ditetapkan sebagai tersangka dan belum ada satupun yang masuk ke proses pengadilan. KPK hanya selalu memberi janji akan menuntaskannya tapi sepertinya KPK ragu menetapkan tersangka baru yang berasal dari pihak yang mempunyai kekuaasan di negeri ini padahal sudah banyak pihak yang memberi kesaksian bahwa mereka terlibat korupsi hambalang.Langkah ketiga yaitu melibatkan secara langsung para ahli hukum di Indonesia dalam menangani permasalahan hukum sehingga tidak hanya sebagai narasumber dan pembicara di berbagai forum. Karena mereka di didik untuk mengerti persoalan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi para ahli hukum ataupun sarjana hukum yang berkompeten libatkan secara langsung untuk melakukan investigasi, penyelidikan maupun penyidikan karena mereka jauh lebih independen dari aparat penegak hukum yang ada sekarang. Dalam kasus hambalang seperti yang sudah dibahas sudah terlalu banyak intervensi dan kepentingan masuk dari berbagai pihak maka penuntasannya dirasa akan sangat lamban, banyak terjadi tarik ulur kepentingan bahkan banyak fakta yang dihilangkan demi kepentingan tersebut. Untuk itu Kodifikasi Hukum tentang Korupsi sudah jelas harus diubah lalu dibentuk aparat penegak hukum yang benar-benar independen yang proses pengangkatannya terbebas dari praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme serta tawar menawar kepentingan. Dengan begitu ketika mereka melalukan upaya penuntasan sebuah korupsi mereka tidak memiliki rasa ewuh-pekewuh maupun balas budi.Bagaimana proses pemilihannya? Pemilihannya yaitu adalah rekomendasi dari rakyat, diseleksi oleh rakyat dan dipilih oleh rakyat sehingga penegakan hukum terhadap kasus korupsi merupakan perwujudan hukum hasil dialektika didalam masyarakat. Dengan begini masyarakat juga dituntut selalu memahami persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat yang kemudian digunakan untuk memberikan kritikan-kritikan guna pembagunan hukum yang diinginkan yaitu hukum yang tidak tumpul dan tidak memihak pada siapapun. Dan itu artinya akan sesuai dengan pandangan Savigny bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Jadi masyarakat lah yang menentukan tolak ukur sesuatu yang dianggap adil karena selama ini apa yang dilakukan pemerintah untuk memberantas serta menuntaskan kasus korupsi dirasa masyrakat masih jauh dari rasa keadilan.

Bab IIIPenutup

3.1 KesimpulanDari pembahasan diatas mengenai penuntasan kasus korupsi Hambalang dapat ditarik kesimpulan bahwasannya penuntasannya bakal banyak kepentingan yang masuk utamanya kepentingan politik. Dengan begitu akan membuat penuntasannya berjalan lambat serta tidak netral mengingat orang-orang yang diduga terlibat kasus korupsi proyek ini adalah orang-orang penting di negeri ini. Tarik ulur kepentingan akan senantiasa menaungi proses penuntaan kasus hambalang dan hukum akan menjadi tumpul ketika berhadapan dengan orang-orang yang punya kekuasaan. Butuh perubahan dalam semua sektor baik Undang-undangnya dan aparat penegak hukumnya guna memperoleh hasil penanganan maupun penuntuasan kasus korupsi di Indonesia tak terkecuali kasus Hambalang ini Perubahan tersebut dimaksudkan agar dalam penanganan dan penuntasan kasus korupsi benar-benar berjalan netral, bebas dari kekuasaan manapun serta tidak ada budaya ewuh-pekewuh yang selama ini serimg terjadi dalam penuntasan kasus korupsi di Indonesia.

3.2 SaranProses menuju perubahan yang dimaksud dalam bab pembahasan maupun kesimpulan tentulah membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu dalam proses menuju kesana nantinya masyarakat harus senantiasa mengawalnya melalui tekanan-tekanan melalui opini publik pada aparat penegak hukum agar menuntaskan setiap kasus korupsi dengan netral dan tidak pandang bulu siapapun pelakunya karena selama ini aparat penegak hukum dalam menangani korupsi cenderung barulah bersikap dan bergerak ketika sudah muncul opini publik yang mengisyaratkan sudah muak dengan aparat yang lamban dan tidak netral dalam menangani sebuah kasus korupsi.DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004).Indarti, Erlyn. DISKRESI DAN PARADIGMA: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010).Joachim, Friedrich, Carl, FILSAFAT HUKUM : Persepektif Historis, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung : Nusamedia, 2004).M, Urger, Roberto, TEORI HUKUM KRITIS : Posisi Hukum Dalam Masyartakat Modern, diterjemahkan oleh Dariyanto dan derta Sri Widowatie, (Bandung : Nusamedia, 2008).Rhiti, Hyronimus, FILSAFAT HUKUM : Dari Klasik Sampai Postmodernisme, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2011).Teguh Prasetyo dan Abdul Kadir Barkatullah, ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM : Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011).