membaca ulil

161
Ulil Membaca Ulil Dari Depan Abshar-Abdalla 2011

Upload: idul-choliq

Post on 27-May-2015

1.034 views

Category:

Education


21 download

DESCRIPTION

This paper is taken and collected based on the the search results of several writings by Ulil Abshar-Abdalla on the site 'Liberal Islam Network (JIL) and sorted by the date of writing displayed earlier and later - because of piracy, of course, the collection of these writings without the consent of the author and the site adminstrator.

TRANSCRIPT

Uli

lMembaca Ulil Dari Depan

Abshar-Abdalla2011

Uli

lMembaca Ulil Dari Depan

Abshar-Abdalla2011

— 3 —

«Pengantar BajakanTulisan ini diambil dan dikumpulkan berdasarkan hasil pencarian dari beberapa tulisan Ulil Abshar-Abdalla di situs Jaringan Islam Liberal (JIL) dan diurut berdasarkan dari tulisan yang terkini ditampilkan lebih awal dan selanjutnya — karena bajakan, tentunya pengumpulan tulisan ini tanpa sepengetahuan dari penulis maupun pengelola situs.

Judul ‘Membaca Ulil Dari Depan’, tidak dengan maksud khusus, semua didasarkan hanya sekedar urutan tanggal/tahun penulisan. Tetapi, pembaca diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memberikan arti yang lebih bermakna dan dalam semampu-batas imajinasi pembaca.

Seperti dijelaskan diatas bahwa tulisan ini dikumpulkan tanpa adanya ijin, sudah sepantasnya bila ada pihak yang berkeberatan atas pengumpulan tulisan ini nantinya. Apapbila hal ini terjadi, setiap keberatan/klaim/protes atau sekedar ingin memaki, harap dikirimkan ke alamat email: [email protected], sesuai dengan ketersediaan waktu, pembaca akan segera medapatkan tanggapan yang mencukupi.

Tetapi, besar harapan saya sebagai pengumpul tulisan ini sejalan dengan keinginan penulis yang menginginkan tulisannya lebih terbaca secara luas oleh semua kalangan yang setuju maupun yang tidak terhadap pemikiran penulis, atau bahkan yang membenci secara individu-emosional maupun secara intelektual.

Apappun jadinya, pembukuan tulisan sudah terjadi, maka untuk selanjutnya saya serahkan pada ‘nanti!’.

Semoga pengumpulan ini bermanfaat.

Jakarta Juli 2011

I. C.

— 4 —

«Daftar Isi

Pengantar Bajakan 3

Merawat Agama dengan Penafsiran 6

Radikalisasi dan Deradikalisasi 9

Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya 13

Membunuh “Tersangka” Terorisme? 21

Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn Hazm al-Andalusi 26

Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir 33

Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal 38

Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing 49

Kontradiksi dalam Cara Berpikir Abu Bakar Ba’asyir 54

Citra Keliru tentang Bahasa Arab 60

Mengapa Justifikasi Agama 65

Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas 68

Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya 72

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam 84

NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan 88

— 5 —

«Amran dan Beberapa Kekeliruan 94

Meninjau Ulang Teori Kenabian 99

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”? 102

Sekularisme Sukarela 105

Uluran Tangan Watt 109

Masjid dan Peradaban yang Merosot 111

Bush, Israel, dan Hezbollah 114

Nasib Demokrasi di Timur Tengah 116

Alquran Sebagai Wahyu dan Data Sejarah 120

Kenapa Kajian Islam Mandeg? 123

Masih Tentang Ahmadiyah 126

Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah 129

Ujian untuk Konstitusi Kita 133

Hamas dan Era Islam Politik 137

Nabi, Dukun, dan Penyair 141

Genealogi Gerakan Islam di Indonesia 145

Tentang Iman 149

In Memoriam: Masykur Maskub: Penggerak “Silent Transformation” di NU 151

Tentang Penulis 160

— 6 —

«12/07/2011

Merawat Agama dengan PenafsiranOleh Ulil Abshar-Abdalla

“Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.”

Assalamu’alaikum, selamat malam,

Malam ini kita akan mendengarkan pidato kebudayaan yang akan disampaikan oleh teman saya Dr. Abdul

Moqsith Ghazali, berjudul “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”. Ini adalah acara tahunan yang digagas oleh Forum Pluralisme Indonesia. Ini adalah pidato seri kedua. Saya berharap setiap tahun pidato seperti ini terus bisa diselenggarakan dan menjadi tradisi yang terawat hingga di masa depan yang jauh.

Apa tujuan sebuah pidato seperti ini? Bukankah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukan pidato, tetapi sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah?

Menurut saya, baik orasi dan aksi, teori dan aksi, keduanya sama penting. Saya kurang begitu suka untuk memperlawankan teori dan aksi. Mengikuti pandangan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Sina dan Al-Farabi, kebahagiaan manusia diperoleh karena kombinasi yang seimbang antara teori dan aksi, antara ilmu-ilmu teoritis (al-‘ulum al-nazariyyah) dan ilmu-ilmu praktis (al-‘ulum al-‘amaliyyah). Baik kehidupan kontemplatif (vita contemplativa) dan kehidupan aktif (vita activa), keduanya sama-sama penting untuk mencapai –meminjam istilah dalam filsafat Yunani—eudemonia, kehidupan yang bahagia.

Gagasan tentang perkawinan antara teori dan aksi sebetulnya

— 7 —

«tak asing bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an, kata iman kerap disebut secara berbarengan dengan amal –alladzina amanu wa ‘amilu al-shalihat. Suatu tindakan sosial akan memiliki bobot moral yang tinggi jika didorongkan oleh motivasi mendalam; jika disertai niat yang menyokongnya. Itulah iman. Innama ‘l-a’mal bi ‘l-niyyat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang terkenal: tindakan haruslah dilandasi oleh niat. Jika tindakan sosial dikerjakan tanpa suatu landasan motivasional yang kuat di baliknya, tanpa dasar-dasar teoritis yang kokoh, ia hanyalah menjadi pekerjaan arbitrer: sembarang dan semena-mena, yang tak bernilai apa-apa.

Perkembangan sosial-politik yang cepat saat ini memaksa umat Islam, juga umat-umat agama lain, untuk melakukan pembacaan kembali atas tradisi panjang yang mereka warisi dari generasi yang lalu. Pembacaan ulang adalah kata kunci di sini.

Kenapa kita memakai kata “membaca” di sini? Sebab, setiap agama, termasuk Islam, pada akhirnya terlembagakan dalam sebuah tradisi, yakni tradisi penafsiran. Sementara setiap tradisi selalu berwatak tekstual. Ia pada akhirnya adalah sebuah teks, tekstur yang terdiri dari jalinan gagasan yang terkait dengan situasi tertentu. Setiap teks selalu membuka diri pada kegiatan mental yang disebut dengan membaca. Sementara itu, kegiatan membaca bukanlah tindakan yang sekali terjadi sesudah itu mati dan berhenti. Membaca adalah tindakan mental dan intelektual yang tak pernah berhenti –kegiatan yang sifatnya perenial, abadi, non-stop. Oleh karena itu, setiap teks, termasuk teks-teks yang terbentuk melalui tradisi Islam, akan selalu terbuka terhadap pembacaan dan pembacaan ulang secara terus-menerus.

Kegiatan membaca atau membaca ulang pada dasarnya adalah tindakan teoritis (al-‘amal al-nadzari). Tradisi intelektual Islam sangat kaya dengan tindakan teoritis semacam ini. Setiap pembaharuan (tajdid) dalam sejarah Islam juga selalu dimulai dari tindakan teoritis dalam bentuk membaca dan menafsir kembali tradisi tekstual yang ada. Sejarah agama menjadi menarik karena adanya tradisi membaca dan menafsir ulang seperti itu. Suatu agama di mana di dalamnya kita jumpai kehidupan menafsir yang terus-menerus tanpa henti, pertanda bahwa ia adalah agama yang hidup, bukan dead religion, agama yang mati, agama yang telah menjadi mumi.

Di sinilah letak pentingnya sebuah “pidato” seperti yang akan kita dengarkan dari Sdr. Abdul Moqsith Ghazali malam ini.

— 8 —

«Pidato semacam ini adalah sarana untuk menyatakan suatu kegiatan membaca ulang kepada publik luas.

Kegiatan membaca ulang memang mengandung resiko, dan biasanya kurang disukai oleh kalangan yang menjaga tradisi atau kaum ortodoks. Sebab, setiap pembacaan ulang memang biasanya berujung pada evaluasi atas status quo. Sementara itu, evaluasi akan berujung pada perubahan. Dan setiap perubahan biasanya kurang disukai oleh power that be, kekuasaan yang ada. Ini bukan hal yang aneh. Ini adalah hukum besi perubahan (iron law of change) yang lazim kita jumpai di mana-mana. Dalam setiap tradisi akan selalu ada dua impetus atau dorongan –dorongan ke arah perubahan dan penolakan atas perubahan itu.

Saya ingin menutup pengantar saya ini dengan menegaskan kembali pentingnya usaha memperluas secara terus-menerus “ruang mental/intelektual” dalam umat. Apa yang saya sebut sebagai ruang mental di sini adalah ruang di mana tersedia kesempatan yang cukup bagi umat untuk melakukan penafsiran dan penafsiran ulang. Perubahan-perubahan ke arah yang positif dalam level kehidupan riil biasanya dimungkinkan karena adanya ruang mental yang cukup dalam sebuah masyarakat/umat untuk memperdebatkan sejumlah alternatif penafsiran dan pembacaan.

Ruang mental semacam ini hanya bisa hidup jika ada orang-orang yang mau mendedikasikan dirinya pada kehidupan teoritis –kelompok yang oleh al-Qur’an disebut sebagai kelas sosial yang melakukan tindakan “yatafaqqahu fi al-din”, mendalami dan merefleksikan soal-soal keagamaan. Inilah kelas kaum terpelajar yang hidupnya didedikasikan untuk menelaah dan membaca ulang tradisi; kaum yang menjalani vita contemplativa. Kawan saya Abdul Moqsith Ghazali adalah contoh orang yang menjalani hidup kontemplatif dan teoritis semacam ini. Sialnya, memang, dalam setiap masyarakat, kelas yang menjalani vita contemplativa semacam ini akan selalu berhadapn dengan status quo. Dan ini tampaknya memang kutukan tak terhindarkan bagi setiap kelas terpelajar di manapun. Dan ini pula tampaknya kutukan yang dihadapi para nabi di masa lampau.

Malam ini, kita sejenak akan menikmati kehidupan kontemplatif itu. Besok, anda bisa kembali menjalani vita activa, kehidupan aktif yang normal, kehidupan yang penuh dengan gebalau dan kebisingan. Sekian.

— 9 —

«03/05/2011

Radikalisasi dan DeradikalisasiOleh Ulil Abshar-Abdalla*

Dimuat di Jurnal Nasional, 3 Mei 2011

.... dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan potensial berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras melawan mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri.

Jihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus. Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan

terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan “wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua, pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham yang toleran.

ADA beberapa rangkaian peristiwa yang mengejutkan kita akhir-akhi ini. Yang pertama, sejumlah bom buku yang dikirim kepada sejumlah orang, termasuk saya sendiri, 15 Maret. Kemudian, sebulan kemudian, bom meledak di kantor Mapolresta Cirebon, 15 April.

Beberapa saat setelah itu, sebuah bom diletakkan di dekat sebuah gereja di Serpong dan berhasil digagalkan oleh pihak kepolisian, 21 April. Keberhasilan polisi untuk menggagalkan bom Serpong itu dimungkinkan karena ada 19 terduga pelaku bom buku yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Dari merekalah rencana pemboman gereja di Serpong itu terungkap, persis sehari sebelum upacara Paskah.

Apa yang bisa kita pelajari dari rangkaian peristiwa ini? Sekurang-kurangnya ada dua pelajaran penting. Pertama, seberhasil apa pun usaha pemerintah untuk memerangi terorisme dan jaringannya selama ini, sumber terorisme belum bisa “dikeringkan” secara menyeluruh. Munculnya generasi baru dalam kelompok ini, seperti diperlihatkan oleh 19 orang (beberapa di antaranya adalah lulusan dari Universitas Islam Negeri [UIN] Jakarta), menunjukkan bahwa regenerasi di kalangan para teroris terus berjalan. Kedua, meski tidak secepat yang kita harapkan, pihak

— 10 —

«kepolisian akhirnya berhasil menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat dalam tiga pemboman terakhir.

Keberhasilan kepolisian ini menepis sejumlah skeptisisme masyarakat tentang kemampuan pihak kepolisian untuk mengungkap “otak” tiga aksi pemboman terakhir.

Kita tentu patut memberikan apresiasi yang tinggi pada pihak kepolisian karena pada akhirnya berhasil menangkap para tersangka tersebut. Ini memperlihatkan bahwa negara hadir untuk memastikan terciptanya keamanan bagi masyarakat luas. Kita tentu berharap, pemerintah akan melakukan tindakan yang cepat dan tegas dalam kasus-kasus lain, secepat dalam menangani masalah pemboman tersebut.

Perayaan Paskah tahun ini, akhirnya, bisa diselenggarakan dengan aman—keadaan yang tentu sangat diharapkan oleh umat Kristiani yang selama ini mengalami banyak kesulitan di beberapa tempat untuk membangun rumah ibadat. Kita tidak bisa membayangkan apa keadaan yang terjadi jika “bom Paskah” di Serpong itu gagal diungkap dan akhirnya meledak saat upacara Paskah pada esok harinya. Sudah pasti hal ini akan menimbulkan kepanikan di kalangan umat Kristiani, dan juga hilangnya rasa percaya masyarakat pada kemampuan pemerintah untuk menyediakam rasa aman bagi masyarakat.

Kritik beberapa pihak terhadap penerapan Siaga I setelah terjadinya beberapa rentetan bom beberapa waktu lalu sebetulnya kurang beralasan. Ancaman bom jelas sangat nyata akhir-akhir ini. Jika tidak ditangani secara serius, hal ini akan menimbulkan implikasi dan ramifikasi masalah yang rumit, baik dari sudut keamanan yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi kita, atau dari segi jaminan bagi kehidupan keagamaan yang plural dan damai.

Penerapan Siaga I menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam menangani masalah terorisme, lebih khusus lagi masalah pemboman. Fakta bahwa pada akhirnya perayaan Paskah bisa berlangsung dengan aman tidak bisa dilepaskan dari kesungguhan pemerintah dalam menangani masalah ini. Kesungguhan dengan kualitas Siaga I inilah yang sebetulnya kita harapkan dari pemerintah untuk menangani kasus-kasus kekerasan lain yang menimpa sejumlah kaum minoritas di negeri ini. Jika kesungguhan semacam ini ditunjukkan oleh pemerintah dalam menangani kasus tersebut, maka jelas “reputasi politik” pemerintahan Presiden SBY akan meroket kembali, baik secara domestik

— 11 —

«maupun internasional.

DeradikalisasiSumber terorisme jelas kompleks dan bermacam-macam. Tetapi, jika kita mau memerasnya dalam satu kata kunci, masalah pokoknya ada pada satu hal: yaitu indoktrinasi melalui ideologi radikal-teroristik. Indoktrinasi ini dipermudah, antara lain, karena ideologi tersebut memakai bahasa agama yang dengan mudah bisa memukau kalangan anak muda yang sedang dalam fase pecarian jati-diri dan pancaroba. Kita melihat gejala radikalisasi di kalangan sejumlah anak muda.

Data terakhir yang dilakukan LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) baru-baru ini sangat mengejutkan: 48,9 persen pelajar di tingkat SMP dan SMA di DKI Jakarta menyatakan bersedia melakukan kekerasan terkait dengan isu agama dan moral. Meski survei ini bisa dipersoalkan dari segi metodenya, tetapi kita harus menjadikan data ini sebagai wake-up call, sebagai peringatan dini mengenai tren yang harus diwaspadai yang tengah menggejala di kalangan pelajar kita: yakni tren radikalisme yang diilhami oleh pandangan keagamaan.

Gejala radikalisasi ini bisa menjadi ladang subur untuk rekrutmen bagi kader-kader yang siap melakukan tindakan pemboman di kemudian hari. Saya tidak menyatakan bahwa seseorang yang terpapar ideologi keagamaan yang radikal dengan sendirinya akan menjadi seorang “pengantin” yang siap meledakkan diri. Tidak. Saya hanya mengatakan bahwa radikalisme ini potensial menjadi bumi subur untuk perekrutan kader-kader kekerasan di masa depan.

Menurut saya, tren radikalisme merupakan salah satu ancaman keamanan yang utama yang dihadapi pemerintah kita. Apalagi jika kita ingat magnet agama begitu besar dalam masyarakat kita. Ideologi kekerasan yang dilandasi argumen keagamaan bisa dengan mudah menyediakan daya tarik bagi anak-anak muda. Pemerintah tidak bisa main-main menghadapi gejala ini. Baik masa depan falsafah kebhinnekaan kita, bentuk negara Pancasila, juga keamanan yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi kita, sangat tergantung pada kesungguhan pemerintah untuk mengatasi masalah radikalisasi di kalangan sejumlah anak muda kita ini.

Pendekatan keamanan tok tidak cukup. Dibutuhkan

— 12 —

«pendekatan budaya terhadap masalah radikalisasi ini, yaitu melalui apa yang selama ini sering disebut deradikalisasi. Inti deradikalisasi adalah gagasan yang dengan efektif bisa mengimbangi gagasan-gagasan yang menyuburkan kekerasan.

Di sini, dibutuhkan “jihad intelektual” yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang toleran, pluralistik, dan berwawasan terbuka. Sikap keagamaan yang tertutup dan membenci perbedaan potensial berkembang lebih jauh menjadi sikap mengeras melawan mereka yang dianggap “di luar” kelompok sendiri.

Jihad ini membutuhkan topangan dari dua pihak sekaligus. Pertama, dari pihak pemerintah dalam bentuk dukungan terhadap golongan-golongan keagamaan yang moderat, serta tindakan tegas bagi mereka yang hendak mengembangkan “wacana kebencian” terhadap kelompok yang berbeda. Kedua, pihak tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat. Mereka juga mempunyai peran penting untuk menyediakan lahan subur bagi berkembangnya paham yang toleran.

Kita tahu, wacana kebencian selama ini kerap dimulai dan bersumber dari elit keagamaan, bukan dari masyarakat. Elit yang berwawasan toleran dan terbuka sangat penting untuk menangkal penyebaran ideologi radikal, terutama elit keagamaan yang selama ini menjadi kiblat umat.

Kita mempunyai kepentingan besar agar Indonesia benar-benar menjadi contoh yang kemilau untuk “Islam yang moderat” di gelanggang dunia saat ini.

* Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK) DPP Partai Demokrat

— 13 —

«14/07/2010

Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas BudayaOleh Ulil Abshar-Abdalla

Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.

ISLAM adalah agama yang bisa kita kategorikan sebagai “agama berkitab suci” (scriptured religion). Semula kitab

suci ini bersifat oral atau teks lisan yang tidak dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi pada perkembangan belakangan kitab suci itu “diresmikan” dalam bentuk dokumen tertulis. Apa yang disebut dengan “kitab suci” umumnya adalah teks tertulis, dan karena itulah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “scripture” atau tulisan.

Dalam Islam, kitab suci utama, sebagaimana kita tahu semua, adalah Quran, istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “bacaan. Di samping Quran, ada kitab suci lain yang keududukannya bisa disebut sebagai tafsir atau penjelasan atas Quran, dan disebut hadis atau sunnah. Hadis adalah istilah Arab yang secara harafiah artinya adalah “omongan” atau “ujaran”. Sementara “sunnah” artinya tindakan yang dibiasakan sehingga menjadi suatu tradisi. Baik hadis atau sunnah adalah ujaran, tindakan atau penetapan (taqrir, confirmation) yang berasal dari Nabi Muhammad.

Kalau mau, kita bisa menyebut Quran sebagai Kitab Suci Perdana (primary Scripture), sementara Hadis atau Sunnah adalah Kitab Suci Kedua. Sebagai teks, jelas hadis lebih banyak jumlahnya ketimbang Quran. Dari segi isi dan tema, hadis memiliki cakupan pembahasan yang jauh lebih luas ketimbang Quran. Oleh karena itu, penggambaran bahwa hadis atau sunnah semata-mata sebagai “penjelas teks Quran” sebetulnya tidak tepat. Hadis dan sunnah tidak sekedar menjelaskan Quran. Dalam banyak hal, hadis juga membuka

— 14 —

«tema baru yang sama sekali tidak ada dalam Quran.

Contoh yang sederhana, dalam Quran tidak kita temukan pembahasan tentang jenis-jenis kegiatan manusia dalam perdagangan atau sejenisnya. Yang kita baca dalam Quran hanyalah penegasan umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang terkenal, “wa ahallal-Lahu al-bai’a wa harrama al-riba”, Tuhan membolehkan perdagangan, dan mengharamkan riba. Dalam Quran tidak disebutkan sejumlah transaksi-transaksi lain yang kita kenal melalui hadis dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam disiplin pengetahuan yang disebut fiqh atau hukum Islam. Transaksi itu misalnya: syirkah (kongsi dagang), mudarabah (permodalan), musaqah/muzara’ah (penggarapan tanah), salm (biasa diterjemahkan sekarang sebagai “future trading”), hawalah (penjualan surat hutang), dsb.

Itu hanya contoh-contoh transaksi yang disebutkan dalam hadis tetapi tidak kita temukan dalam Quran. Contoh-contoh itu saya pakai untuk menunjukkan bahwa hadis atau sunnah tidak semata-mata menjelaskan Quran, tetapi juga membawa tema baru yang tidak disebutkan di sana. Cakupan hadis lebih luas ketimbang Quran.

BAIK Quran dan sunnah bisa dikategorikan sebagai “foundational text”, teks dasar yang menjadi fondasi Islam. Karena kehidupan umat Islam terus berkembang, dan isu-isu baru yang dihadapi oleh mereka juga terus bermunculan, sementara itu tidak semua hal dan isu ada jawabannya dalam Quran dan sunnah, maka dibutuhkan “teks baru”. Teks itu, untuk mudahnya, kita sebut saja sebagai “interpretational text”, teks-teks tafsiran yang tentu didasarkan pada kedua teks fondasi di atas. Ribuan teks diproduksi atau ditulis oleh ulama, sarjana, dan intelektual Muslim sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang. Selama umat Islam ada, kegiatan untuk memproduksi teks-teks tafsiran ini tak akan berhenti.

Tafsir Quran, misalnya, ditulis oleh sarjana Islam sejak dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bahasa, dan dengan berbagai ragam pendekatakan. Imam Ghazali, salah satu sarjana besar Islam dari abad ke-12 Masehi, menganalogikan Quran dengan samudera luas yang tak pernah kering. Analogi ini, sebetulnya, bisa kita pakai pula untuk kitab-kitab suci agama lain. Semua kitab suci dalam agama-agama manapun adalah seperti samudera luas yang tak bertepi. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi sumber inspirasi dan tafsiran yang tak kering-keringnya. Dalam agama Yahudi atau Kristen,

— 15 —

«teks-teks tafsiran atas kitab suci kedua agama itu terus diproduksi hingga sekarang. Dalam setiap agama, kitab suci selalu menjadi “foundational text”, teks dasar yang kemudian melahirkan sejumlah “interpretational text” yang jumlahnya terus berkembang, nyaris tanpa henti. Selama agama bersangkutan masih menjadi “a living religion” atau agama yang hidup, bukan “dead religion” (agama yang sudah mati), maka kegiatan memproduksi teks-teks tafsiran itu tak akan pernah berhenti.

Jika kegiatan penafsiran dalam suatu agama yang kemudian dituangkan dalam “interpretational text” itu terus berjalan, maka itu pertanda bahwa agama bersangkutan masih merupakan agama yang hidup dan aktif. Begitu kegiatan penafsiran berhenti, atau malah dihalang-halangi karena dikhawatirkan akan melahirkan pandangan-pandangan baru yang “menyimpang”, maka itu pertanda adanya perkembangan yang tak sehat dalam agama bersangkutan.

SALAH satu gagasan yang populer di kalangan umat Islam adalah konsep tentang Quran sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna . Konsep “kesempurnaan/kelengkapan” ini menjadi kian penting pada saat umat Islam merasakan adanya semacam “ancaman peradaban” yang datang dari luar saat ini. Kalau kita telaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), sebetulnya konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, sebagai sebuah peradaban, Islam sedang naik daun dan kemudian mencapai titik apek tertinggi. Karena sebagai peradaban Islam berada pada posisi yang dominan, maka konsep kelengkapan dan kesempurnaan tidak terlau ditonjol-tonjolkan oleh sarjana Islam ketika itu. Sebagai peradaban, Islam memang sudah unggul, jadi, kenapa pula mesti dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan Quran adalah kitab yang lengkap?

Abad ke-20 menyaksikan perkembangan yang lain sama sekali. Umat Islam mundur dalam semua lapangan kehidupan. Sebagai peradaban, dunia Islam kalah jauh di banding dengan peradaban Barat. Dengan kata lain, sebagai peradaban, Islam disalip oleh peradaban lain. Bahkan, belakangan, ada perasaan bahwa umat Islam berada dalam ancaman dari luar. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim Mesir, Dr. Muhammad Husain Mu’nis,

— 16 —

«menyandang judul seperti ini, Hushununa Muhaddah Min Dakhiliha (Benteng Kita Terancam Dari Dalam). Pada periode sebelum revolusi Iran pecah pada 1979 dulu, salah satu istilah yang populer adalah “gharb zadegi” atau “west-toxification” atau keracunan kebudayaan Barat. Di kalangan umat Islam revivalis (contoh yang bagus adalah PKS atau golongan tarbiyah), ada istilah populer, yaitu “al-ghazw al-fikri” atau serbuan pemikiran.

Istilah-istilah itu menandakan satu hal: bahwa dunia Islam merasa diancam oleh suatu “musuh besar” yang datang dari luar. Musuh dari luar itu kemudian “meracuni” pemikiran anak-anak Islam sehingga dalam tubuh umat Islam muncul juga apa yang sering disebut sebagai “musuh-musuh dalam selimut”. Ancaman dari dalam inilah yang dengan baik digambarkan oleh judul buku yang ditulis oleh Dr. Mu’nis di atas. Keadaan ini menciptakan mentalitas-serangan atau “siege mentality” yang ciri-cirinya, antara lain, adalah menguatnya dorongan untuk menegaskan identitas diri. Penegasan identitas terjadi karena adanya dorongan untuk menciptakan semacam “benteng” sebagai perlindungan diri dari serangan luar. Di sinilah, konsep tentang “kesempurnaan dan kelengkapan” Islam dan Quran muncul ke permukaan sebagai sarana simbolik untuk melindungi identitas umat.

Tak ada yang mengherankan dalam proses tersebut. Itu adalah proses yang wajar dalam semua masyarakat umat manusia. Di mana-mana, saat suatu masyarakat terancam, tentu mereka akan membuat “self-defense mechanism,” mekanisme pertahanan-diri. Pertahanan itu bisa bersifat inderawi, misalnya pertahanan militer, tetapi juga bisa simbolik, dalam bentuk pertahanan budaya. Konsep tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran adalah salah satu bentuk “pertahanan budaya” yang dimobilisasi oleh umat Islam untuk menangkal serangan budaya dari luar.

MESKIPUN wajar, ada beberapa akibat negatif dari dari gagasan tentang kelengkapan dan kesempuraan itu. Salah satunya adalah sikap-sikap eksklusivistik atau tertutup terhadap golongan-golongan di luar agama sendiri, bahkan golongan dalam agama yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Kenapa konsep tentang kelengkapan ini kemudian membuahkan sikap ketertutupan? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Esai pendek ini jelas tidak memadai untuk menejelaskan gejala kejiwaan semacam itu. Mungkin butuh artikel tersendiri yang

— 17 —

«panjang dan mendalam untuk menjelaskan kecenderungan tersebut.

Namun, secara umum dan mungkin agak spekulatif, dapat dikatakan bahwa anggapan tentang kelengkapan dan kesempurnaan suatu budaya bisa membawa akibat lain, yaitu rasa superior budaya. Perasaan superior atau unggul bisa menyebabkan seseorang atau golongan tertentu memiliki rasa “cukup diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari sanalah, sikap tertutup itu muncul ke permukaan.

Tidak dalam semua kasus tentunya rasa superior membuat seseorang atau golongan tertutup dan eksklusif. Dalam kasus lain, seseorang atau golongan dengan penuh keyakinan membuka diri pada dunia luar justru karena dia merasa unggul dan di atas angin. Ini terjadi pada periode Islam klasik, saat peradaban Islam mencapai titik apek atau puncak. Pada periode itulah, umat Islam dengan tanpa khawatir dan was-was membuka diri pada peradaban lain, menyerapnya, dan mengolahnya kembali menjadi budaya milik sendiri, tanpa merasakan adanya ancaman yang datang dari luar.

Pada zaman di mana umat Islam merasakan ancaman dari luar di segala sektor kehidupan, terutama sektor kebudayaan, perasaan superior itu bukan mendorong keterbukaan, sebaliknya ketertutupan. Ini tercermin dalam hal-hal kecil seperti larangan untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada golongan dari agama lain, atau bahkan ketakutan bahkan untuk sekedar mengucapkan “al-salamu ‘alaikum” kepada mereka.

Literatur polemis yang mencoba membuktikan keunggulan Islam dan kesalahan ajaran-ajaran agama lain juga banyak bermunculan akhir-akhir ini. Yang kadang terjadi dalam perjumpaan antara umat Islam dengan umat lain adalah bukan perjumpaan dialogis, tetapi perjumpaan polemis. Yang saya maksud dengan perjumpaan polemis adalah perjumpaan yang hanya ditandai oleh usaha untuk “self-justification” atau menjustifikasi diri sebagai lebih benar dari sistem kepercayaan lain. Dalam konteks inilah kita berhadapan dengan “fenomena Deedat”, yakni fenomena debat Islam-Kristen yang dilakukan oleh seorang polemis kondang dari Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Sikap serupa juga muncul dari kalangan di luar Islam, seperti kita saksikan dari sejumlah literatur polemis yang ditulis oleh kalangan Kristen evangelis

— 18 —

«di Amerika, misalnya.

Pandangan lain yang menurut saya kurang sehat yang muncul dari gagasan tentang kelengkapan/kesempuraan Quran ini adalah gagasan tentang “kemanunggalan tafsir” (uniformity of interpretation). Pandangan ini menganggap bahwa Quran adalah teks yang tembus pandang, transparan, jelas sekali, sehingga maknanya tidak mengandung ambivalensi. Quran dianggap sebagai kitab dengan tafsir tunggal, tidak mengandung kemungkinan banyak tafsir. Jika suatu ayat dikutip dalam sebuah diskusi, maka ayat itu diandaikan akan menghentikan perbedaan dan menyelesaikan masalah sebab tafsirnya satu dan tidak mengandung kemungkinan tafsir lain.

Pandangan semacam ini berbahaya, sebab ujungnya adalah memaksanakan satu tafsir yang diikuti oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain. Secara historis, gagasan ini juga tidak benar dan tidak terbukti sama sekali, sebab dalam sejarah tafsir kitab suci Islam, tidak pernah kita temui ketunggalan tafsir. Sarjana Islam sejak dahulu mendekati Quran dengan berbagai pendekatan, dan setiap pendekatan membawa tafsir yang berbeda. Pendekatan filsafat terhadap Quran akan membawa tafsir yang berbeda dengan pendekatan mistik, hukum, teologi, atau kesejarahana. Dalam sejarah tafsir Quran, kita mengenal berbagai corak tafsir beragam.

Karena Quran dipandang sebagai teks dengan tafsir yang tunggal, maka kecenderungan lain juga muncul, yaitu menyesatkan tafsir yang dianggap berbeda dari tafsir ortodoks yang telah dianggap baku, pakem, dan mencerminkan satu-satunya kebenaran. Fenomena “menyesatkan” yang akhir-akhir ini sering kita lihat di kalangan umat Islam, menurut saya, akibat lanjutan dari cara gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan Quran itu.

JIKA demikian, apakah gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan itu salah? Jelas tidak. Hanya saja, konsep tentang kelengkapan/kesempurnaan itu harus ditafsir ulang agar tidak menimbulkan sikap-sikap keagamaan yang kurang tepat. Apakah yang dimaksud dengan kelengkapan dan kesempurnaan di sana? Apakah Quran dianggap sebagai kitab suci yang sempurna dalam pengertian memuat segala hal, dan memberikan jawaban atas segala-rupa masalah? Ataukah kelengkapan di sana artinya adalah kelengkapan dalam aspek akidah, etika pokok, dan norma umum?

— 19 —

«Dalam pandangan saya, jika konsep kelengkapan Quran dipahami dalam pengertian yang pertama, yaitu Quran memuat segala hal dan menjawab segal hal, jelas tidak benar . Dengan membaca Quran secara sekilas saja, kita akan tahu bahwa banyak hal yang tidak dimuat dalam Quran. Contoh yang sederhana adalah perdebatan soal status rokok: boleh atau tidak, haram, halal, atau makruh (tidak dianjurkan)? Fatwa terakhir yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa merokok adalah haram. Tetapi, di lingkungan Muhammadiyah sendiri, fatwa itu tidak disetujui oleh semua kalangan, apalagi di luar Muhammadiyah.

Kalau kita merujuk kepada Quran, jelas tidak ada jawaban mengenai status rokok. Yang ada hanyalah norma umum yang tertuang dalam sebuah ayat yang populer, “wa la tulqu bi aidikum ila al-tahlukah,” jangan menjerumuskan diri kalian ke dalam tindakan yang membawa kerusakan. Ayat ini hanya memuat norma umum saja, dan tidak bisa langsung dan serta-merta dipahami sebagai deklarasi tentang haramnya merokok. Contoh ini hanya untuk memperlihatkan bahwa Quran tidak memuat semua hal, dan tidak menjawab semua masalah. Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan gagasan kelengkapan Quran adalah bahwa kitab suci itu memuat segala hal, sempurna dalam pengertian yang harafiah, maka jelas anggapan itu tidak benar. Contoh status rokok di atas adalah ilustrasi yang baik.

Kesempurnaan Quran harus dipahami dengan cara lain, yakni kesempurnaan pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Islam menjadi norma khusus. Salah satu contoh bagus sebagai ilustrasi adalah ayat yang sering dikutip, yaitu “wa amruhum shura bainahum,” dan urusan mereka dibicarakan secara musyawarah di antara mereka sendiri. Ayat ini hanya mengandung norma umum tentang pujian terhadap tindakan musyawarah. Ayat ini tidak secara khusus mendukung atau menolak, misalnya, konsep demokrasi, terutama demokrasi parlementer. Quran sendiri tidak memuat jawaban yang sifatnya khusus tentang demokrasi. Karena itu, ada banyak perbedaan di kalangan Islam sendiri, apakah demokrasi sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ada kalangan, jumlahnya sangat sedikit, yang berpandangan bahwa demokrasi tidak Islami. Salah satu yang berpandangan seperti ini adalah pemikir asal Pakistan, Abul Ala al-Maududi. Kalangan aktivis Hizbut Tahrir juga

— 20 —

«mempunyai pandangan yang serupa.

Tetapi, sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, bahkan demokrasi dianggap sebagai perwujudan dari etika musyawarah (syura) yang dengan tegas disebut dalam Quran di atas.

Pemahaman tentang kelengkapan yang kedua ini lebih bersifat terbuka dan juga membuka diri pada perbedaan. Kelengkapan Quran bukan pada aspek norma khusus, tetapi norma umum. Sementara itu, terjemahan norma umum yang terdapat dalam Quran pada situasi kongkrit harus dilakukan sendiri oleh sarjana Muslim. Proses penerjemahan itu disebut dengan ijtihad atau penalaran berdasarkan akal, konteks, dan kerangka etika umum Quran/sunnah, berikut tradisi penalaran/penafsiran yang sudah berkembang sejauh ini dalam Islam. Dalam proses penerjemahan itu, jelas akan terjadi perbedaan di kalangan umat Islam sendiri. Norma umum dalam Quran hanyalah panduan umum saja; terjemahannya dalam situasi yang kongkret tidak serta merta mudah, dan juga tidak serta merta menimbulkan kesatuan pandangan. Dalam contoh rokok dan demokrasi di atas kita melihat bagaimana norma umum dalam Quran dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai-bagai kalangan dalam Islam saat mereka harus menjawab suatu kasus atau situasi kongkrit.

Selebihnya, yang harus dibangun adalah etika perbedaan (adab al-ikhtilaf ). Karena perbedaan dalam menerjemahkan etika umum Quran tidak terhindarkan, maka tidak selayaknya masing-masing pihak yang berbeda saling “adu” kleim kebenaran, dan menyesatkan pihak lain yang berbeda. Sikap saling-menyesatkan, bahkan lebih jauh lagi meng-kafir-kan, jelas tidak sehat dalam rangka membangun iklim pemikiran-kebudayaan yang dialogis dalam tubuh umat Islam. Etika syura atau musyawarah yang dianjurkan dalam Quran mengajarkan agar perbedaan disikapi secara positif. Terjemahan sikap yang positif terhadap perbedaan adalah “diskursus” atau saling bercakap dan bertukar pikiran dan ujaran. Itulah yang disebut dengan praktek syura atau musyawarah sebagaimana dikehendaki oleh Quran. Sudah tentu, dalam diskursus itu, bisa terjadi proses saling kritik, koreksi, oto-kritik, dan sebagainya.

Inilah tafsiran tentang kelengkapan dan kesempurnaan Quran yang menurut saya lebih sehat, sebab tidak mengandaikan rasa superioritas yang pada akhirnya mengarah kepada sikap tertutup.****

— 21 —

«12/10/2009

Membunuh “Tersangka” Terorisme?Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah.

Dengan ramainya berita para teoris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat

kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti dibunuh? Bukankah mereka belum tentu sunguh-sungguh teroris? Bukankah keputusan mereka sebagai teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan? Sebelum ada ketuk palu Pak Hakim yang memutuskan bahwa Saifuddin Jaelani, “tersangka” terorisme yang tewas Jumat (9/10) yang lalu di Ciputat, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris? Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai “tersangka.”

Bukankah dalam dunia hukum kita kenal asas praduga tak bersalah yang beraku universal? Apakah polisi tidak melanggar ini saat membunuh tersangka terorisme?

Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya dengan sembunyi-sembunyi sudah mengarahkan kita kepada kesimpulan tertentu: seseorang yang masih dalam status “tersangka teroris” belum atau tidak boleh dibunuh. Karena itu, tindakan Densus 88 membunuh Saifuddin Jaelani dan Syahrir salah sama sekali dari segi hukum.

Kalau dibaca secara sekilas, logika atau cara berpikir di atas seolah-olah benar dan masuk akal. Mereka yang tak berpikir kritis, akan langsung “manggut-manggut” meng-iya-kan cara berpikir seperti itu. Tetapi, kalau kita mau berpikir sedikit lebih jauh, maka akan terlihat sejumlah bolong-bolong di dalamnya. Marilah kita lihat di mana-mana bolong-bolongnya itu. Saya berharap anda sabar membaca tulisan saya ini hingga tuntas.

Marilah kita ambil contoh yang sekarang sedang populer di masyarakat, yaitu pengadilan mantan Ketua KPK, Antasari

— 22 —

«Azhar. Sebelum ada keputusan dari pengadilan yang bersifat definitif (maksudnya sampai ke tingkat terakhir, yaitu pengadilan tingkat kasasi), maka Antasari belumlah bisa disebut bersalah melakukan tindakan melawan hukum atau kejahatan (dhi. pembunuhan). Saat polisi menangkap Antasari, itu bukanlah pertanda bahwa yang bersangkutan sudah pasti bersalah. Dia ditangkap oleh pihak aparat penegak hukum bukan karena sudah pasti bersalah, tetapi semata-mata karena akan disidik guna diajukan ke pengadilan. Asas praduga tak bersalah tak dilanggar di sini.

Keputusan salah-tidaknya yang bersangkutan akan ditentukan di Pengadilan Negeri. Jika dia tak puas dengan keputusan di tingkat pengadilan pertama, ada hak pada dia untuk mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua. Kalau masih tak puas, dia bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di sanalah keputusan hukum terakhir ditentukan.

Andaikan saja Antasari melawan saat hendak ditangkap oleh pihak kepolisian untuk tindakan penyidikan, entah dengan cara lari atau bahkan mengancam nyawa aparat, maka menurut prosedur hukum yang berlaku, pihak aparat diberikan otoritas untuk melumpuhkannya. Jika saja Antasari mengancam akan menembak polisi saat hendak ditangkap, maka polisi boleh membela diri dengan cara melumpuhkan atau—dalam situasi terdesak—membunuh yang bersangkutan. Walaupun Antasari masih berstatus “tersangka”, tetapi dia boleh ditembak, karena mengancam dan melawan aparat hukum. Ini andaian saja.

Tindakan polisi, dalam hal ini, sah secara hukum. Polisi tidak bisa disebut sebagai “membunuh” orang yang sedang dalam status “tersangka”. Tujuan polisi bukanlah hendak membunuh yang bersangkutan, tetapi menangkap si tersangka untuk disidik dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan bisa saja menganggap bahwa data yang diajukan polisi dan selanjutnya jaksa untuk mendukung tuduhan atas si tersangka lemah sama sekali, sehingga yang terakhir itu dinyatakan tak bersalah.

Tentu saja istilah “tersangka” di sini tidak bisa kita maknai dalam pengertian sehari-hari kata itu. Kata “tersangka” di sini tak sama kedudukannya dengan, misalnya, sangkaan saya bahwa tetangga saya di sebelah rumah adalah maling. Seorang polisi tidak bisa sembarangan melakukan “sangkaan” dan menangkap seseorang.

— 23 —

«Saat polisi menyangka seseorang berbuat kejahatan, dia haruslah memiliki data yang cukup, dan kemudian setelah itu dia menangkap. Seseorang juga tidak bisa ditangkap dan disidik dalam waktu yang tak terbatas. Polisi hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menyidik. Setelah lewat batas waktu itu, si tersangka haruslah dilepaskan. Mereka yang belajar hukum acara pidana, tentu paham mengenai soal ini.

Apa relevansi semua ini dengan soal pembunuhan “tersangka” teroris Saifuddin Jaelani dan Syahrir di Ciputat kemaren?

Saat menggrebek dua tersangka teroris, jelas pihak kepolisian sudah memiliki data yang cukup untuk menyangka dua orang itu sebagai teroris. Tujuan pertama polisi adalah menangkap keduanya untuk disidik dan kemudian diajukan ke pengadilan. Keputusan terakhir apakah Saifuddin Jaelani dan Syahrir benar-benar teroris atau tidak tentu ada di pengadilan.

Jika dua orang itu tak melawan saat hendak ditangkap oleh Densus 88, sudah pasti keduanya akan selamat, hidup, dan tidak dibunuh. Mereka dibunuh karena melawan aparat. Jika mereka bertindak “kooperatif ” seperti dalam kasus Antasari Azhar, sudah pasti polisi tak akan membunuh mereka berdua. Membunuh bagi polisi adalah tindakan “the last resort”, alternatif terakhir setelah alternatif yang lain buntu.

Dalam kasus pembunuhan dua tersangka teroris yang terakhir kemaren, kita mendapatkan informasi dari pihak Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Sukarna, bahwa dua orang itu mengancam polisi dengan cara melemparkan bom. Sesuai dengan prosedur yang berlaku, polisi berhak untuk melumpuhkan dan membunuh yang bersangkutan.

Kasus para teroris yang melawan dengan cara menyerang polisi saat mau ditangkap sudah sering kita dengar. Pertanyaan saya adalah: jika Saifuddin Jaelani, Syahrir, atau Ibrohim (aka Boim) dalam kasus penyergapan di Temanggung dulu, benar-benar merasa tidak bersalah, kenapa mereka tak menyerah saja? Kenapa mereka melawan?

Banyak teroris lain yang langsung menyerah saat ditangkap polisi, dan karena itu mereka tidak ditembak. Contoh yang baik adalah Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi—para pelaku bom Bali pertama. Ketiganya tidak dibunuh oleh polisi, karena saat ditangkap tidak melawan dengan cara menembak balik aparat hukum. Akhirnya ketiganya dihukum mati, tetapi setelah melalui proses pengadilan.

— 24 —

«Oleh karena itu, cara berpikir yang terselip dalam pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini tidak bisa dibenarkan. Saat membunuh Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, polisi telah melakukan langkah yang benar. Polisi tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Pertanyaan berikutnya: apakah informasi polisi bahwa tersangka teroris itu melawan saat mau ditangkap, benar? Apakah polisi tidak berbohong dalam hal ini?

Sangkaan bahwa polisi berbohong bisa saja benar. Tetapi mereka yang meragukan informasi polisi, haruslah menunjukkan bukti yang kuat. Berdasarkan itu, mereka bisa menuntut polisi ke PTUN, misalnya.

Dalam pandangan saya, informasi polisi itu benar adanya. Pertama, setiap tersangka teroris dibunuh di sebuah tempat, selalu ditemukan senjata, bom, dan amunisi lain yang siap diolah menjadi bom. Artinya, mereka memang sudah mempunyai “niat jahat” sejak awal. Kedua, dalam beberapa kasus penangkapan tersangka teroris, seperti di Temanggung, beberapa media elektronik melaporkan langsung dari lapangan, dan kita bisa melihat sendiri terjadinya baku-tembak antara polisi dan tersangka terorisme.

Ketiga, taruhlah laporan media itu kita ragukan kebenarannya. Pertanyaannya: kasus perlawanan terhadap polisi tidak hanya berlangsung di Temanggung saja, tetapi juka di Jatiasih, di Solo saat penangkapan Noordin M Top, di Batu (Malang) saat penangkapan Dr. Azahari, dan terakhir di Ciputat kemaren. Ratusan (kalau malah tak ribuan) orang di sekitar perumahan Dr. Azahari di Batu menyaksikan terjadinya baku-tembak antara dia dan polisi, sebab penangkanpan ketika itu berangsung pada waktu siang hari, dan karena itu banyak yang menonton.

Dengan kata lain, ada pola yang berlangsung dengan konsisten di sini: tersangka terorisme itu membawa senjata saat mau ditangkap dan melawan. Sekali lagi, tidak semua tersangka terorisme melawan saat ditangkap. Tetapi yang melawan jelas ada, dan kasusnya berlangsung berkali-kali. Artinya, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tanpa bukti empiris.

Memang banyak yang tak suka pada Densus 88 karena mereka bertindak tegas dan keras pada pelaku terorisme. Mereka yang tak suka ini bisa digolongkan ke dalam dua kategori.

— 25 —

«Pertama, mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, sehingga mereka was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok pertama ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah.

Kedua, mereka yang sebetunya dari awal setuju dengan ideologi, doktrin, dan ajaran para pelaku terorisme itu, atau lebih spesifik ajaran jihad ala Abu Bakar Ba’asyir. Mereka ini menunggangi isu HAM untuk menyembunyikan simpati dan dukungan mereka terhadap ideologi terorisme. Inilah “musang berbulu ayam” yang harus diwaspadai!

Semoga tulisan ini bermanfaat. In uridu illa ‘l-islah wa taufiqi illa bi l-Lah.

— 26 —

«17/08/2009

Teks dan Kontradiksi: Kasus Ibn Hazm al-AndalusiOleh Ulil Abshar-Abdalla

Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah. Pendapat Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat serupa yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan manusia tentang agama (al-khithab al-dini, discourse on religion). Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat absolut (tentu bagi mereka yang mempercayainya), sementara pembicaraan/ penafsiran/ pemahaman mengenai agama oleh manusia bersifat relatif, dan karena itu bisa keliru.

APA yang terjadi ketika seseorang menulis sebuah teks? Apakah yang terjadi saat proses “tekstualisasi” (yakni

menjadikan sesuatu yang a-tekstual menjadi tekstual) berlangsung? Jawabannya sederhana: saat kita mengubah sesuatu yang semula a-tekstual menjadi tekstual, maka di sana terjadi sebuah proses yang, agar sedikit keren, sebut saja “strukturasi”—proses memberikan struktur/bentuk kepada sesuatu yang semula tak berbentuk. Dalam tekstualisasi, kita berjumpa dengan suatu proses di mana sebuah peristiwa prabentuk berubah menjadi ber-bentuk. Hasil yang muncul pada fase pascabentuk itu biasa kita sebut teks atau narasi tekstual. Prosesnya sendiri kita sebut tekstualisasi dengan elemen-elemen sebagai berikut: peristiwa-prabentuk =>bentuk=>pascabentuk.

Kalimat di atas seolah-olah abstrak dan mengerikan, tetapi kalau kita letakkan dalam ilustrasi yang kongkret, sebetulnya sederhana saja maknanya. Bayangkanlah keadaan berikut ini. Saat berhadapan dengan suatu peristiwa, seorang wartawan sebetulnya berjumpa dengan keadaan yang tanpa bentuk. Peristiwa yang ia jumpai itu tak memiliki struktur, cair, sebuah bahan mentah yang bisa ia tulis dengan banyak sudut-pandang. Saat menulis laporan mengenai peristiwa itu, si wartawan haruslah bergulat dengan sebuah proses yang kadang mudah, tetapi seringkali juga tidak: yakni menjadikan

— 27 —

«peristiwa pra-bentuk itu menjadi berbentuk dalam sebuah laporan yang bisa dinikmati oleh pembaca.

Saat menulis laporan, si wartawan sebetulnya sedang melakukan proses “tekstualisasi” atas peristiwa tersebut – proses strukturasi (ingat konsep Paul Ricoeur tentang waktu dan narasi). Bentuk bisa dicapai karena si wartawan menuliskan peristiwa itu berdasarkan sudut pandang tertentu. Masing-masing wartawan biasanya akan menuliskan peristiwa yang sama dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hasilnya sudah bisa kita duga: dari peristiwa yang sama, muncul laporan yang berbagai-bagai. Dari bahan mentah yang sama, muncul sejumlah bentuk yang beragam.

Itulah yang kita baca dalam setiap berita di koran atau majalah. Kita membaca peristiwa yang sama, misalnya ihwal meninggalnya Mbah Surip. En toch demikian, masing-masing koran memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Yang muncul adalah berita yang meski bahan mentahnya sama, tetapi menyuguhkan informasi yang beragam, persis karena sudut pandang yang dipakai dalam setiap laporan itu tidak sama.

Dalam setiap proses “tekstualisasi/strukturasi”, biasanya berlangsung sejumlah proses lain yang bersifat ikutan. Misalnya, dalam tekstualisasi, biasanya akan kita jumpai proses pencocokan—proses di mana elemen-elemen dalam peristiwa yang semula tak berbentuk itu menjadi saling cocok satu dengan yang lain. Dengan kata lain, membuat sesuatu menjadi koheren dan logis. Dalam tekstualisasi juga kita jumpai proses penyelarasan atau harmonisasi antara unsur-unsur yang semula tak saling bersesuaian menjadi saling sesuai.

Kedua proses itu seolah-olah sama, tetapi tidak. Proses pencocokan secara spesifik berkaitan dengan usaha menjadikan beberapa elemen menjadi saling berkaitan secara logis. Jika elemen-elemen dalam suatu narasi tekstual tidak saling cocok, maka narasi itu menjadi tak masuk akal. Sementara proses harmonisasi lebih umum sifatnya, tidak terbatas pada pelogisan elemen-elemen yang berserakan.

Dengan kata lain, proses tekstualisasi adalah usaha untuk menghindar dari kontradiksi. Suatu narasi tekstual disebut sebagai sebuah “narasi” manakala ia koheren dan harmonis, terhindar dari unsur-unsur yang tak logis, kontradiktoris, dan janggal (lawan harmoni).

— 28 —

«Itulah sebabnya, teks yang mengandung kontradiksi biasanya akan diejek sebagai teks jelek. Sementara teks yang logis dan koheren dipandang sebagai teks baik. Para polemikus Muslim, entah dari masa klasik (seperti Ibn Hazm) atau modern (seperti Ahmad Deedat), misalnya, biasa menyerang Injil karena mereka memandang teks itu mengandung sejumlah kontradiksi yang parah. Sebaliknya, kalangan polemikus Kristen juga menyerang balik dengan menunjukkan bahwa justru Qur’an lah yang mengandung kontradiksi (Quran adalah teks gado-gado, “jumble-mumble”, istilah para orientalis awal). Kedua belah pihak sebetulnya memiliki kesamaan—mereka sama-sama berpandangan bahwa suatu teks yang baik, apalagi suci, haruslah bersih sebersih-bersihnya dari suatu kontradiksi. Teks yang mengandung kontradiksi tak mungkin dianggap sebagai teks yang baik, apalagi suci. Teks yang mengandung kontradiksi adalah teks di mana proses tekstualisasi di dalamnya gagal.

TETAPI, apakah ambisi untuk membuat suatu narasi tekstual menjadi sepenuhnya koheren itu bisa tercapai dalam semua kasus? Saya khawatir jawabannya: tidak. Seringkali saya menjumpai suatu narasi tekstual yang secara sadar ingin membangun suatu bentuk yang koheren, tetapi nyatanya gagal sama sekali. Alih-alih mampu seluruhnya koheren, narasi itu tiba-tiba saja memuat hal-hal yang membatalkan klaimnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya koheren dan logis. Saya akan mengambil sebuah teks yang menarik dari Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) sebagai sebuah contoh.

Ibn Hazm adalah seorang alim dan sarjana fikih dari Andalusia (nama untuk Spanyol saat negeri itu di bawah kekuasaan Islam) yang hidup pada abad ke-12 Masehi. Nama lengkapnya: Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi. Sarjana ini dikenal karena kritik-kritiknya yang tajam atas sejumlah pandangan yang sudah mapan di lingkungan ortodoksi Sunni. Gaya berargumen dia memang lugas, tangkas, dan kadang nylekit. Dia juga seorang polemikus ulung yang gemar berdebat dengan kalangan Kristen. Kritik literer dia atas Injil, konon menurut seorang sarjana, menjadi inspirasi untuk munculnya Biblical literary criticism di Barat. Meskipun pernah mengikuti mazhab Maliki dan Syafii, tetapi ia pada akhirnya dikenal sebagai salah satu ikon penting dari mazhab zahiri atau mazhab tekstualistis. Ia menulis sejumlah buku, antara lain yang dikenal luas adalah al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (dalam bidang teori hukum Islam, ushul al-fiqh), al-Fishal fi al-Ahwa’ wa al-Milal wa al-Nihal (tentang sejarah

— 29 —

«kemunculan sekte-sekte dalam Islam), dan al-Muhalla (dalam bidang fikih).

Contoh yang akan saya jadikan ilustrasi di sini diambil dari karya Ibn Hazm yang terakhir itu, al-Muhalla, terutama pada bagian pembukaan dalam jilid pertama (karya itu sendiri terdiri dari 11 jilid dalam edisi yang dikerjakan oleh Ahmad Muhammad Shakir). Dalam pembukaan buku itu, kita jumpai pembahasan yang menarik mengenai dua pokok masalah: pertama di bidang teologi dan terangkum dalam pasal yang diberi tajuk “Masa’il al-Tauhid” (pembahasan mengenai tauhid atau teologi), dan kedua, pembahasan yang berkenaan dengan teori hukum Islam dengan tajuk “Masa’il min al-Ushul” (Pembahasan tentang Pokok-Pokok) . Dalam pembahasan yang kedua itu, Ibn Hazm berusaha meletakkan semacam dasar-dasar metodologis untuk proyek intelektual dia di bidang hukum Islam sebagaimana tercermin dalam karyanya itu.

Salah satu fondasi dari ijtihad dia adalah penolakan yang begitu gigih terhadap metode qiyas atau analogi (Contoh qiyas yang sering dipakai dalam literatur fikih biasanya mengikuti pola ini: A diharamkan/dibolehkan karena mengandung unsur B; C mengandung unsur B, maka ia juga haram/boleh) . Empat mazhab hukum Islam di lingkungan Sunni hampir seluruhnya sepakat memperlakukan qiyas/analogi sebagai fondasi keempat dalam perumusan hukum setelah Quran, sunnah dan ijma’ (konsensus). Ciri-ciri kelompok Sunni biasanya ditengarai oleh cara berpikir di bidang hukum yang bertopang pada empat fondasi di atas.

Kritik Ibn Hazm terhadap metode qiyas jelas bertentangan dengan fondasi intelektual kalangan Sunni ortodoks. Pada bagian berikut ini, saya akan mencoba meringkaskan argumen-argumen Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas. Setelah itu, saya akan mencoba menunjukkan sejumlah kontradiksi dalam argumen-argumen Ibn Hazm tersebut. Dari sana, saya hendak memperlihatkan bahwa ambisi tekstualisasi yang mencoba mengoherenkan semua elemen dalam narasi tekstual kadang bisa “mrucut” (elusive).

Sekurang-kurangnya ada tiga argumen utama yang dikemukakan Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas. Pertama, saat terjadi perselisihan dalam suatu soal, Quran memberikan petunjuk yang jelas, yakni kembali kepada Tuhan dan rasul-Nya (QS 4:59). Tidak ada perintah untuk merujuk kepada qiyas sebagai metode untuk menyelesaikan

— 30 —

«perselisihan pendapat. Kedua, dalam Quran, Tuhan menegaskan bahwa semua hal bisa dijumpai di sana, tak ada satupun yang terlewat (QS 6:38). Dengan kata lain, semua hal ada jawabannya dalam Kitab Suci, dan karena itu sama sekali tak dibutuhkan lagi metode lain, misalnya qiyas. Ketiga, Ibn Hazm, dengan sikap yakin yang agak berlebihan, menunjukkan bahwa dalam semua qiyas yang diajukan oleh para sarjana fiqh yang lain, ia bisa menunjukkkan qiyas lain yang lebih unggul. Dengan kata lain, qiyas sebetulnya tidak menyodorkan jawaban yang tunggal, sebab masing-masing sarjana fikih bisa mengajukan qiyas yang berbeda-beda untuk kasus yang sama. Dengan mangajukan qiyas yang lebih baik dari qiyas fuqaha yang lain, bukan berarti Ibn Hazm setuju dengan metode itu. Dia hanya ingin memakai teknik “mematahkan lawan dengan senjata mereka sendiri”.

Ibn Hazm menutup kritiknya atas metode qiyas dengan sebuah pernyataan menarik berikut ini. Katanya, “Jika para pendukung metode qiyas menunjukkan teks tertentu (nass, teks dalam Quran atau sunnah) yang menyokong pendapat mereka, maka jawaban saya adalah jelas: teks itu benar, tetapi pendapat yang hendak kalian tambahkan/lekatkan (adlaftum) pada teks tersebut melalui sebuah penafsiran sama sekali keliru.” Dengan kata lain, dalam pandangan Ibn Hazm, sejumlah ayat atau hadis yang kerap dipakai oleh para pendukung qiyas untuk menyokong pendapat mereka adalah benar, sebab tak mungkin ada kekeliruan dalam Quran dan sunnah. Yang keliru adalah penafsiran atas ayat dan hadis tersebut.

Yang menarik di sini, Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi pemahaman/penafsiran atas teks itu bisa salah. Pendapat Ibn Hazm ini mengingatkan kita pada pendapat serupa yang juga pernah dikemukakan oleh sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd. Yang terakhir ini membedakan antara agama (din, religion) dan wacana atau pembicaraan manusia tentang agama (al-khithab al-dini, discourse on religion). Agama, dalam pendapat Abu Zayd, bersifat absolut (tentu bagi mereka yang mempercayainya) , sementara pembicaraan/ penafsiran/ pemahaman mengenai agama oleh manusia bersifat relatif, dan karena itu bisa keliru.

Pernyataan Ibn Hazm ini, dalam pandangan saya, sangat mengagetkan, persis karena pernyataan itu ia kemukakan sebagai semacam “statemen pamungkas” yang

— 31 —

«bisa memukul pihak lawan. Alih-alih menjadi senjata pamungkas, pernyataan itu justru menjadi boomerang yang merontokkan seluruh argumen yang telah susah-payah ia bangun sebelumnya. Mengikuti dari awal seluruh argumen yang dibangun oleh Ibn Hazm untuk menolak qiyas, kita akan menjumpai suatu arsitektur argumentasi yang logis dengan elemen-elemen yang koheren dan harmonis. Tetapi, pernyataan dia yang terakhir itu justru membuat arsitektur tersebut menjadi berantakan. Bagaimana?

Ibn Hazm membedakan antara teks dan penafsiran yang dilekatkan (idlafah, istilah yang dipakai oleh Ibn Hazm) atas teks. Teks (maksudnya ayat atau hadis) akan selalu benar, sementara penafsiran mungkin keliru. Teks bersifat ilahiah dan karena itu absolut, sementara penafsiran/pemahama n bersifat insaniah dan karena itu mungkin meleset. Jika demikian halnya, maka pertanyaan yang harus diajukan adalah: Apakah Ibn Hazm juga tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh lawan-lawannya? Bukankah Ibn Hazm juga memakai sejumlah ayat untuk mendukung penolakannya atas qiyas, sebagaimana lawan-lawan dia juga memakai ayat untuk mendukungnya? Apakah ayat yang ia kutip itu dengan tegas menolak qiyas? Bukankah Ibn Hazm hanya menafsirkan saja ayat-ayat yang ia kutip itu untuk mendukung pendapatnya, persis seperti yang dilakukan oleh lawan-lawan yang ia kritik? Jika penafsiran lawan-lawannya ia anggap keliru, bukankah penafsiran dia juga mungkin keliru?

“Kesalahan” Ibn Hazm, jika boleh disebut demikian, adalah menganggap bahwa semua ayat yang ia kutip untuk mendukung penolakannya atas qiyas mempunyai pengertian yang unifokal, artinya memiliki satu pengertian saja, yaitu pengertian sebagaimana yang ia pahami (ingat prinsip perspicuitas dalam memahami Kitab Suci sebagaimana dianut oleh umumnya kalangan fundamentalis) . Kalau kita telaah ayat-ayat yang ia pakai untuk menolak qiyas, jelas sekali tak mengandung penegasan yang eksplisit tentang hal itu. Tak ada satu ayat pun yang menegaskan, misalnya, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian memakai qiyas.” Seluruh ayat yang dikutip Ibn Hazm hanya berisi penegasan yang bersifat umum, ekwifokal, dan sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan perdebatan mengenai soal qiyas. Sebagaimana lawan-lawan polemiknya, Ibn Hazm juga melakukan penafsiran atas ayat yang bersifat umum, sementara ayat itu sendiri tak secara eksplisit mendukung pendapat dia.

— 32 —

«Lawan-lawan Ibn Hazm bisa saja mengatakan hal yang sama kepada dia, “Ayat yang anda (maksudnya Ibn Hazm) pakai jelas benar adanya, tetapi pengertian dan penafsiran yang anda lekatkan pada ayat tersebut untuk mendukung pendapat anda sendiri, jelas keliru.” Senjata Ibn Hazm bisa balik menyerang dirinya sendiri.

Contoh ini saya pakai sekedar untuk menunjukkan bahwa dalam proses tekstualisasi, seringkali ada momen-momen “kepleset” di mana seseorang gagal mengontrol semua elemen dalam proses tersebut agar seluruhnya koheren dan harmonis. Momen itulah yang menyebakan timbulnya sebuah kontradiksi dalam sebuah teks. Tekstualisasi justru berubah menjadi de-tekstualisasi. Dengan mengatakan ini, bukan berarti saya menolak adanya sebuah teks-baik yang seluruhnya konsisten dan koheren. Yang hendak saya katakan adalah ada momen tak terkontrol yang justru bisa menggagalkan keinginan untuk menjadikan sebuah teks seluruhnya koheren. Yang menarik, momen kepleset seperti itu kerap tak disadari oleh si penyusun teks. Apakah ini bisa disebut sebagai “efek Freudian” dalam proses penulisan teks? Saya tak tahu. Yang saya cemaskan, jangan-jangan efek itu juga ada dalam teks yang saya tulis ini. []

— 33 —

«31/08/2008

Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut TahrirOleh Ulil Abshar-Abdalla

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.

SAYA kerap mendengar pernyataan aktivis Hizbut Tahrir (HT), gerakan Islam yang dikenal dengan “mimpi besar”

untuk menegakkan negara Islam internasional itu (dikenal dengan negara khilafah), bahwa fakta sosial tak bisa menjadi dasar landasan penetapan hukum.

Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, saat saya dan dia berbicara dalam sebuah diskusi di Bogor sekitar enam tahun yang lalu. Belakangan, aktivis HTI kerap mengulang-ulang argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam “refrain” di kalangan mereka.

Bagi yang kurang akrab dengan ilmu ushul fikih (teori hukum Islam), mungkin statemen ini kurang begitu jelas. Supaya sederhana dan mudah dipahami, saya akan berikan contoh kecil berikut ini.

Kita tahu, bahwa Sunan Kudus membangun masjid dengan menara yang berbentuk seperti pura Hindu. Taruhlah, anda terlibat dalam sebuah diskusi tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama lain. Misalkan saja anda berpendapat bahwa hal itu boleh. Saat lawan diskusi anda bertanya, apa “hujjah” atau argumen anda, anda menjawab, “Tuh, buktinya Sunan Kudus membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama Hindu.”

Ini hanya contoh anekdotal yang sangat sederhana. Anda bisa mengembangkan contoh ini dengan kasus-kasus lain.

Menurut aktivis HTI, cara berargumen seperti ini mereka anggap salah, sebab fakta sosial, yaitu tindakan Sunan Kudus,

— 34 —

«tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan gaya arsitektur yang mirip tempat ibadah agama lain. Hukum, menurut mereka, hanya bisa disandarkan atas dalil agama (dalil syar’i). Dalil atau teks agama mengatasi segala-galanya. Tindakan Sunan Kudus atau tokoh manapun, selain Nabi Muhammad, tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa menjadi standar hanyalah teks agama.

Apakah argumen aktivis HTI ini tepat, terutama dilihat dari tradisi teori hukum Islam klasik sendiri? Esei pendek ini saya tulis untuk memberikan kritik atas cara berpikir aktivis HTI yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum “tekstualis” di manapun.

Dalam pandangan saya, argumen semacam ini sama sekali tak tepat. Memang, dalam teori hukum Islam, dikenal empat sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ (konsensus sarjana hukum Islam atau “juris”) dan qiyas atau analogi (dalam tradisi fikih Syiah, sumber keempat bukan qiyas tetapi akal).

Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada sumber-sumber lain yang kedudukannya memang diperselisihkan oleh para sarjana Islam (al-adillah al-mukhtalaf fiha). Statemen aktivis HTI bahwa fakta sosial tidak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar empat sumber utama di atas, ada sumber-sumber lain yang diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta sosial sebagaimana akan saya tunjukkan nanti.

Argumen kalangan HTI ini sengaja mereka pakai untuk menepis sanggahan yang diajukan oleh para pengkritik teori negara khilafah yang antara lain disandarkan pada fakta-fakta historis dalam sejarah Islam.

Para pengkritik teori negara khilafah, antara lain, mengatakan praktek negara khilafah tidak “secemerlang” yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain.

Terhadap kritik semacam ini, aktivis HTI akan mengatakan bahwa fakta sejarah tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan hukum. Menurut mereka, negara khilafah adalah satu-satunya bentuk negara yang sah menurut dalil

— 35 —

«agama; fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bentuk negara khilafah tak seideal yang dibayangkan, menurut mereka, tak bisa dijadikan argumen untuk menyanggah dalil agama.

Dalam pandangan aktivis HTI, dalil agama sudah cukup dalam dirinya sendiri; fakta sosial harus tunduk pada dalil agama, bukan sebaliknya.

DALAM standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala HT ini jelas sama sekali salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial jelas bisa menjadi dasar penetapan hukum. Karena itulah ada kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan tempat.

Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan konteks sosial di mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai mazhab ahl al-ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup di Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita jumpai warisan dari banyak peradaban besar sebelum Islam.

Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada “sunnah” penduduk Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl al-Madinah) karena memang itulah kota tempat Nabi dan sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah dianggap sebagai norma.

Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup untuk menetapkan sebuah hukum dalam pandangan teori hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus ditimbang berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks juga dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan sosial yang ada. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara teks dan konteks sosial. Dengan demikian, argumen aktivis HTI itu jelas sama sekali tak benar.

Seorang ulama mazhab Hanafi, Najm al-Din al-Thufi (w. 1324 M), malah berpendapat lebih jauh lagi. Dalam kitabnya yang kurang banyak dibaca luas, “Kitab al-Ta’yin fi Sharh al-Arba’in” (komentar atas kumpulan empat puluh hadis karya Imam Nawawi), al-Thufi melontarkan sebuah pendapat yang menjadi kontroversi dari dulu hingga sekarang, bahwa jika terjadi pertentangan antara maslahat atau kepentingan umum dengan teks atau dalil agama, maka maslahat harus didahulukan.

Saya kutipkan teks Thufi yang langsung berkaitan dengan hal

— 36 —

«ini:

“Wa in khaalafaaha wajaba taqdim ri’ayat al-masalahati ‘alaihima bi thariq al-takhsis wa al-bayan lahuma, la bi thariq al-iftiyat ‘alaihima wa al-ta’thil lahuma, kama tuqaddam al-sunnah ‘ala al-Qur’an bi thariq al-bayan” (hal. 238, edisi yang diedit oleh Ahmad Haj Muhammad ‘Uthman, 1998).

Secara ringkas, teks itu menegaskan, jika terjadi pertentangan antara teks (nass) dan konsensus ulama (ijma’) dengan maslahat, maka kemaslahatan umum harus didahulukan di atas teks dan ijma’.

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.

Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah belajar ushul fikih, penjelasan ini mungkin terlalu teknis dan kurang jelas. Intinya adalah: jika dalil dalam Quran atau hadis mengatakan A, lalu konteks sosial justru menunjukkan B, maka teks Quran/hadis itu bisa “dispesifkasi” atau “diterangkan” oleh konteks itu. Dengan kata lain, konteks didahulukan atas teks.

Pendapat al-Thufi ini memang banyak diserang oleh ulama-ulama lain, karena dianggap terlalu berani. Dia bahkan diisukan sebagai seorang penganut sekte Syi’ah rafidah (Syi’ah yang ekstrim). Biasa, ini adalah semacam “black campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka pendapatnya otomatis salah.

Apapun, pendapat al-Thufi ini sangat menarik dan memperlihatkan bahwa di kalangan ulama fikih dan ushul fikih klasik sendiri sudah ada pendapat yang menyatakan tentang kedudukan penting dari konteks sosial. Sekali lagi, pernyataan kalangan aktivis HTI bahwa fakta sosial tak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak mengatakan keliru sama sekali.

Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih yang digantungkan pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal kaidah yang sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa

— 37 —

«menjadi sumber hukum.

Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab harus ditimbang berdasarkan parameter teks agama. Tetapi, teks agama juga tak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan adat sosial. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara adat dan teks agama. Adat dan teks agama, dua-duanya menjadi sumber hukum.

Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.

Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak dilengkapi dengan konteks sosial.

Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren NU tentu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa hukum bisa berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa beberapa kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan konteks sosial. Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak kiai yang berfatwa bahwa memakai celana dan jas hukumnya haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah pendapat dan bisa menerima “baju kolonial” itu, karena konteksnya sudah berbeda.

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh aktivis HT itu sama sekali keliru![]

— 38 —

«25/08/2008

Menjadi Muslim dengan Perspektif LiberalOleh Ulil Abshar-Abdalla

PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

SEJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama

Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata “jil” selain enak diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang artinya “generasi”. JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama.

Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting.

Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh

— 39 —

«konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda.

JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.

Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Misalnya, saat saya kecil di kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam khutbah.

Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara kiai-kiai NU cenderung konservatif.

Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi, tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat juga menjadi tidak sah pula.

— 40 —

«Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat: apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat? Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak? Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang sama sekali tak dipahami?

Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah yang cukup “liberal” dalam kasus khutbah Jumat, umumnya bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini.

Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata cara ibadah bersifat “fixed” alias harga mati. Jumlah rakaat salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya. Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat ta’abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan.

Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, “al-salah mukh-kh al-’ibadah”, salat atau berdoa adalah “the crux” atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia, berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan.

Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan yang penting dalam keislaman yang saya pahami. Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam, maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus.

Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious

— 41 —

«Experience” itu, beragama yang “genuine” ditandai oleh semacam gejala seperti “flu berat” (acute fever). Beragama yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai pengalaman yang menyerupai “baju bekas”, (istilah yang dipakai oleh James adalah second hand religious life).

Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali.

PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti “budak” yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah.

Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali-kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir.

Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut ini, “inna syarra al-dawabbi ‘inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya’qilun.” (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka.

Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang

— 42 —

«secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat.

Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba’ana kazalika yaf ’alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya.

Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang “ngotot” merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat “tipikal” pada semua masyarakat manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman.

Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran.

Itulah “tuli” dan “bisu” yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang-orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.

Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai “syarr al-dawabb”, binantang melata yang paling buruk.

— 43 —

«Kata “dabbah” (bentuk tunggal dari kata “dawabb”) secara harafiah berarti “kullu ma yadibbu ‘ala al-ard”, segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata “dabbah” biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka.

Dengan bersembunyi di balik alasan “tunduk pada perintah Tuhan”, orang-orang yang disebut “syarr al-dawabb” itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama.

Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama.

DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya zaman.

Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini.

Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan “petuah” dan “fatwa” ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen, “ma aflaha qawmun wallau amrahum imra’atan.” Terjemahan bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal.

Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan berikut ini.

Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin?

— 44 —

«Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu?

Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk pada perintah Tuhan bukan seperti “budak bego” yang sama sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk kategori “syarr al-dawabb”, “the ugliest animal“, binatang yang teramat buruk.

Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan, cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini, muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce melalui aparat pemerintah.

Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia? Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek-prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat

— 45 —

«kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek-praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak perlu meninjau “hukum Tuhan” itu? Bukankah yang penting adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum?

Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana.

Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan.

Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang jelas.

Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja, alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib.

Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu, meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tida empat, kenapa tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja. Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata

— 46 —

«saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah anda bisa menghayati spiritualitas yang “genuine” dengan cara ibadah yang anda ikuti itu atau tidak.

Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama: membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber, Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama memiliki cara ibadah yang “arbitrer”. Tak ada alasan yang substansial di balik tata-cara ibadah itu.

Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan; yakni beragama yang secara individual menekankan spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah pelajari waktu duduk di madrasah ibtida’iyah (setara dengan SD) puluhan tahun yang lalu.

Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja’a bihi Muhammadun SAW li sa’adat al-insani fi al-’ajili wa al-ajili.

Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui pengembangan spirtualitas yang mendalam. Sementara itu, kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama: yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada kata “kebahagiaan”.

Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M), kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa’adah al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan praktis (al-sa’adah al-’amaliyyah) yang diajarkan oleh para nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang

— 47 —

«bahagia.

Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara “kebajikan” (arete) dan “pengetahuan” (episteme). Dalam konsepsi ini, kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan kebajiikan atau “virtue“. Istilah “virtue” ini diterjemahkan dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai “akhlaq”. Sementara itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat Islam klasik sebagai “malakah” atau “habitus”, yakni kebiasaan yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau “virtue” dalam pengertian “malakah” adalah semacam “etika yang tertubuhkan” (embodied ethics).

Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak bahagia.

Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak bahagia.

Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan “teoretis” dan “praktis” semacam itu.

Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis, sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang, seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau sa’adah.

Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan. Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya,

— 48 —

«pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir “diteror” oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat, atau khawatir kehilangan “posisi sosial” tertentu.[]

— 49 —

«19/08/2008

Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade BeijingOleh Ulil Abshar-Abdalla

Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Koran Tempo, 16 Agustus 2008

PADA tahun 80an, setelah hancurnya Uni Soviet, banyak kalangan ideolog gerakan Islamisme yang meramal bahwa

kapitalisme di mana Amerika menjadi simbol utamanya akan segera rontok. Dari reruntuhan dua “ideologi” dan kekuatan besar itu, mereka meramalkan (atau “wishful thinking”?) bahwa Islam akan tampil sebagai kekuatan baru yang menggantikan keduanya.

Apakah mimpi mereka itu sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud? Marilah kita tengok dunia sekitar. Yang paling gampang adalah dengan melihat event yang sekarang sedang digelar di Cina, yaitu Olimpiade Beijing 2008. Pembukaan Olimpiade di Beijing pada 8/8/08 yang lalu begitu megah sekali, seolah-olah negeri Cina hendak mendeklarasikan diri bahwa kami adalah kekuatan baru di panggung dunia. Apa yang dikatakan oleh negeri Cina itu bukan sekedar mimpi atau “wishful thinking”, tetapi kata-kata yang disokong dengan sebuah bukti nyata.

Sekarang kita lihat sendiri, kekuatan baru yang akan menjadi pesaing utama Amerika Serikat tampaknya bukan negeri-negeri Islam atau “Islam” secara umum. Pesaing baru itu datang dari dua negeri yang jauh dari tradisi Islam, yakni Cina dan India.

Fareed Zakaria menulis buku baru (yang tampaknya kurang

— 50 —

«terlalu sukses), “Post American World”, dunia paska-Amerika. Menurut dia, konstelasi kekuatan dunia saat ini pelan-pelan mulai memperlihatkan gejala baru, yaitu merosotnya peran Amerika, dan dari sanalah lahir dunia baru, dunia paska-Amerika. Tetapi, dunia baru ini bukan ditandai dengan merosotnya peran Amerika secara total, atau “the declining West”. Yang terjadi adalah munculnya beberapa kekuatan baru dalam bidang-bidang tertentu atau “the emerging rest”. Dunia tidak lagi uni-polar, tetapi multipolar.

Visi dunia yang dibayangkan kalangan Islamis masih “old-fashioned”, alias kuno dan antik, yaitu dunia dengan kekuatan tunggal yang dominan di semua bidang. Kalangan Islamis bermimpi Islam atau “negeri Islam” memerankan kekuatan hegemonik seperti yang diperankan oleh Amerika sekarang. Dengan kata lain, dengan seluruh kebencian mereka terhadap Amerika, mereka sebetulnya “kesengsem” atau jatuh cinta pada peran yang dimainkan Amerika saat ini, dan karena itu mereka bermimpi suatu saat Islam akan menggantikan peran itu.

Saya kira, mimpi seperti itu menjadi tidak relevan dalam jangka panjang. Pertama, mimpi itu sendiri jelas “mimpi”, sebab hingga sekarang kita belum melihat tanda-tanda sedikitpun bahwa negeri-negeri Islam akan menjadi kekuatan baru, entah dalam bidang militer, teknologi, kebudayaan, apalagi ekonomi, terlebih-lebih olah-raga.

Hingga sekarang, negeri seperti Saudi Arabia masih bergelut dengan pertanyaan utama: bolehkah perempuan ikut olah-raga? Dalam Olimpiade Beijing saat ini, kontingen olah-raga Saudi Arabia sama sekali tak menyertakan perempuan. Alasannya jelas karena masalah agama: menurut Islam versi mereka, perempuan tak layak, atau tepatnya diharamkan ikut olah-raga.

Dalam bidang ekonomi, tak ada satu negeri Islampun yang bisa disebut sebagai kekuatan yang signifikan saat ini. Negeri-negeri Arab teluk seluruhnya menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sumber alam, yaitu minyak, bukan karena kerja keras penduduknya sendiri. Secara budaya, kita juga jarang melihat produk-produk budaya “populer” yang meng-global yang berasal dari dunia Islam. Dalam bidang sastra misalnya, karya-karya yang mampu menembus pasar dunia yang muncul dari luar tradisi kesusasteraan Barat umumnya berasal dari para penulis India. Penulis Muslim yang mampu menembus pasar itu adalah Orhan Pamuk yang berasal dari

— 51 —

«Turki, negeri Muslim yang sekuler yang justru dibenci oleh kalangan Islamis di mana-mana.

Dalam pandangan saya, visi dunia ke depan yang lebih masuk akal dan realistis adalah dunia yang multi-polar, dunia dengan sejumlah kekuatan yang menyebar. Hingga saat ini, Amerika masih menjadi kekuatan utama dalam hampir semua bidang. Tetapi, kekuatan-kekuatan baru mulai pelan-pelan muncul ke permukaan. Dalam jangka panjang, kekuatan-kekuatan baru yang lain tentu akan bermunculan. Setelah Cina dan India, mungkin akan muncul kekuatan-kekuatan lain dari kawasan Amerika Latin. Begitu seterusnya.

Dalam konstelasi dunia yang cenderung multi-polar itu, kita belum belihat negeri-negeri Islam muncul ke permukaan sebagai calon “kekuatan baru”. Jangankan menjadi calon kekuatan “tunggal”, bahkan kekuatan yang setara dengan Cina atau India sekarang pun tidak sama sekali. Oleh karena itu, ramalan kaum Islamis bahwa Islam akan menggantikan komunisme dan kapitalisme sebagai satu-satunya kekuatan baru di panggung dunia hanyalah mimpi yang mendekati “wishful thinking”.

Ada dua tantangan besar yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini sebelum berharap menjadi kekuatan atau “kutub” baru dalam konstelasi kekuatan dunia. Pertama di sektor ekonomi. Pelajaran yang bisa kita ambil dari Cina dan India –keduanya saat ini berhasil menjadi contoh kesuksesan baru di bidang ekonomi– adalah keduanya berhasil mengintegrasikan diri dalam pasar globar, merebut peluang-peluang baru di sana, tanpa kehilangan kemandirian sebagai suatu entitas politik yang memiliki kepentingan nasionalnya sendiri.

Saya belum melihat model Amerika Latin yang menempuh suatu eksperimen baru melalui apa yang disebut dengan “neo-sosialisme” –model yang beberapa hari lalu dipuji oleh harian Kompas itu– sebagai model yang “workable” dan masih terlalu dini untuk dinilai. Terus terang, saya skeptis dengan model Amerika Latin itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh Venezuela melalui figur utamanya Hugo Chavez, model sosialisme (entah lama atau baru) selalu membutuhkan kekuatan negara yang besar untuk mengontrol arah kebijakan ekonomi yang dipaksa mengikuti jalur tertentu.

Dengan kata lain, dalam sosialisme (sekali lagi, entah lama atau baru) selalu ada kecenderungan kepada “planisme” atau peran negara yang besar sekali sebagai “perancang utama”.

— 52 —

«Kekuatan negara di sini secara empiris tentu diterjemahkan melalui kekuatan yang besar yang diberikan kepada kepala negara. Itulah yang menjelaskan kenapa tahun lalu Hugo Chavez meminta kekuasaan yang lebih besar melalui serangkaian amandemen atas konstitusi. Kekuatan negara yang besar semacam ini, sebagaimana kita ketahui dari pengalaman selama ini, akan berujung kepada hal yang sederhana: korupsi. Petuah lama dalam dunia politik berlaku di sini: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely!

Contoh yang diperlihatkan oleh Cina dan India sekali lagi memperlihatkan bahwa kedua negara itu sukses sebagai kekuatan ekonomi bukan karena memerankan diri sebagai “trouble maker” dalam pergaulan ekonomi global. Mereka menjadi sahabat yang baik, membuka diri pada pasar global, merebut peluang di sana, seraya tak kehilangan independensi. Dengan kata lain, mereka sukses bukan dengan memusuhi pasar, tetapi justru mengintegrasikan diri di dalamnya. Model Cina dan India patut dipertimbangkan oleh negeri-negeri Islam.

Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Tantangan kedua adalah di bidang politik. Dunia Islam cepat atau lambat harus membangun suatu sistem yang demokratis. Sistem otoriter yang sekarang ini ada di hampir semua negeri-negeri Islam menjadi batu sandungan yang amat serius yang merintangi gerak mereka untuk tampil kekuatan yang dipertimbangkan dalam dunia internasional.

Meskipun Cina sukses sebagai kekuatan ekonomi, saya masih menyimpan keragu-raguan, karena negeri itu masih diperintah oleh satu partai, dan karena itu sistem politik mereka masih berwatak otoriter.

Saya sendiri berpandangan bahwa kebebasan ekonomi tak

— 53 —

«bisa terus-menerus ditegakkan dalam sistem politik yang tak bebas. Kebebasan hanya bisa hidup dalam sebuah sistem politik yang bebas. Oleh karena itu, kapitalisme tidak bisa tidak kecuali hidup dalam sistem demokrasi. Sebab, keduanya mewakili ide dan cita-cita yang sama, yaitu kebebasan. Kapitalisme adalah lambang kebebasan ekonomi, sementara itu demokrasi adalah lambang kebebasan politik. Kedua kebebasan itu seharusnya dilengkapi dengan kebebasan lain di bidang ekpresi budaya. Itulah sebabnya ide tentang multikulturalisme menjadi sangat penting (meskipun ide ini di beberapa negeri Barat mendapat serangan hebat karena menimbulkan sikap-sikap “political correctness” yang cenderung relativis).

Dalam tesis saya, ketiga sistem itu saling sejalan dan “kongruen”. Oleh karena itu, kesuksesan ekonomi di Cina saat ini adalah model yang tak seimbang, karena kebebasan ekonomi tak disertai dengan kebebasan politik. Cepat atau lambat, kebebasan ekonomi yang sekarang diterapkan di tanah Cina akan membawa dampak yang tak terhindarkan, yaitu tuntutan untuk membuka kebebasan di sektor politik. Jika seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sudah tentu daftar kebutuhan dia akan bertambah lagi, termasuk kebutuhan untuk memiliki kebebasan di sektor politik.

Seorang teman saya dari Malaysia beberapa tahun lalu bilang bahwa justru karena masyarakat sudah kenyang perutnya, mereka tidak peduli pada hal-hal yang lain; mereka justru menjadi apatis dan apolitis. Perkembangan politik di Malaysia sekarang, saya kira, menolak apa yang ia katakan itu. Setelah Malaysia secara relatif berhasil mencapai kemakmuran, masyarakat di sana mulai menuntut sistem politik yang lebih longgar.

Saya menunggu fase baru di Cina, yaitu geliat demokrasi yang tak bisa dihindarkan justru karena mereka sukses secara ekonomi. Sambil menunggu fase itu, negeri-negeri Islam tetaplah layak menengok Cina sebagai suatu model yang sukses di bidang ekonomi. Tentu bukan model yang ditiru mentah-mentah, tetapi model yang bisa menjadi bahan perbandingan.

Yang jelas, tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi menjadi masalah utama yang harus mereka pecahkan. Meminjam istilah yang populer di Amerika, “It’s economy, stupid!”[]

— 54 —

«08/08/2008

Kontradiksi dalam Cara Berpikir Abu Bakar Ba’asyirOleh Ulil Abshar-Abdalla

Kalau kita amati kelompok-kelompok Islam yang meneriakkan semboyan ingin hidup sesuai dengan sunnah dan teladan Nabi, ada semacam pola yang menarik. Pola ini terjadi di tanah Arab sendiri, dan terjadi pula (atau tepatnya ditiru?) di Indonesia dan negeri-negeri lain di luar Arab. Yaitu, mereka cenderung terlibat dalam pertengkaran internal yang tak pernah selesai. Persoalannya sepele: masing-masing kelompok menuduh yang lain sebagai menyimpang dari atau kurang konsisten dengan sunnah, dan menganggap merekalah yang paling konsisten mengikutinya.

BARU-baru ini, kita membaca berita di sejumlah media tentang mundurnya Abu Bakar Ba’asyir dari

organisasi di mana selama ini dia menjabat sebagai amir atau komandan, yaitu Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Alasan mundurnya Ba’asyir menarik sekali. Dia berpandangan bahwa sistem kepemimpinan yang dianut oleh MMI makin melenceng dari sunnah atau teladan Nabi Muhammad.

Dia mengatakan bahwa MMI selama ini memakai sistem kepemimpinan kolektif dan demokratis. Sistem itu, di mata Ba’asyir, tidak Islami. Dia memandang demokrasi sebagai kafir, tidak Islami, tidak sesuai dengan sunnah Nabi.

Ba’asyir berencana mendirikan jama’ah atau organisasi baru yang di mata dia lebih sesuai dengan sunnah Nabi. Dalam organisasi baru itu, dia akan memakai sistem kepemimpinan yang lebih Islami, bukan sistem kepemimpinan demokratis yang pelan-pelan mulai diadopsi oleh MMI.

Ada beberapa alternatif nama untuk organisasi baru yang hendak ia dirikan itu, misalnya: Jamaah Ansharussunah, Jamaah Ansharullah, Jamaah Muslimin Ansharullah, dan Jamaah Ansharuttauhid. Kalau kita jeli mengamati model-model gerakan Islam di berbagai negara Muslim saat ini, nama-nama itu sangat khas pada kelompok-kelompok yang sering disebut sebagai salafi, yaitu kelompok yang dengan gigih sekali ingin mencontoh teladan dan sunnah Nabi secara konsisten, bahkan fanatik sekali.

— 55 —

«Saya menulis esei pendek ini bukan karena saya menganggap fenomena MMI atau Ba’asyir sebagai hal penting. Esei ini ingin menunjukkan kontradiksi dalam cara berpikir dan “mindset” orang-orang seperti Abu Bakar Ba’ayir. Saya berpendapat, metode gerakan yang dipakai oleh Ba’asyir mengandung kontradiksi yang akut. Kalau tidak bersikap apologetik dan pura-pura tak tahu, mereka mestinya menyadari sejumlah kontradiksi yang akan saya tunjukkan di bawah ini.

Metode gerakan seperi dipakai Ba’asyir itu juga rapuh dari dasarnya, sehingga cepat atau lambat, gerakan itu akan rontok sendiri. Ba’asyir hidup dengan sebuah “delusi” yang tak dia sadari.

Ba’asyir mengkleim ingin mendirikan organisasi baru yang lebih sesuai dengan sunnah Nabi. Betulkah kleim semacam itu? Apakah mungkin mendirikan organisasi baru dalam era modern ini tanpa melanggar prinsip mengikuti sunnah Nabi?

Organisasi baru yang akan didirikan oleh Ba’asyir itu, di mata saya, sudah pasti tidak akan sesuai dengan sunnah Nabi. Sebab pada zaman Nabi, tidak kita kenal sebuah entitas bernama organisasi seperti yang akan dia dirikan itu. Pada zaman Nabi semua masyarakat hidup sebagai komunitas tunggal tanpa organisasi atau pengelompokan apapun (dalam pengertian modern yang kita kenal sekarang). Begitu Ba’asyir mendirikan jamaah atau organisasi baru, persis pada saat itu dia meninggalkan sunnah Nabi.

Kalau mau lebih ekstrim lagi, kita bisa berkata bahwa eksperimen mendirikan pesantren Ngruki di Solo pun –yakni pesantren yang didirikan oleh beberapa tokoh Islam termasuk Ba’asyir itu– juga tidak sesuai dengan sunnah Nabi jika dilihat secara cermat, sebab pada masa Nabi tidak ada sekolah seperti dipraktekkan oleh pesantren dan madrasah di Ngruki. Tidak ada sistem kelas, tidak ada sistem ujian, tidak ada sistem ijazah, tidak ada sistem pendaftaran seperti kita saksikan dalam semua praktek sekolah modern saat ini.

Orang-orang seperti Ba’asyir ini memakai logika dan cara berpikir yang aneh dan nyaris tak masuk akal.

Terhadap kritik ini, Ba’asyir boleh jadi menjawab: bahwa sistem pendidikan ala madrasah yang mengenal kelas-kelas itu tidak bisa dikatakan bertentangan dengan sunnah Nabi, sebab sistem itu menyangkut urusan duniawi, bukan masalah ibadah.

— 56 —

«Persis di sini soalnya: bukankah soal pemilihan pemimpin, atau soal kepemimpinan secara umum, adalah masalah duniawi pula? Kenapa dia keluar dari MMI karena menganggap bahwa sistem kepemimpinan dalam organisasi itu tidak sesuai dengan sunnah Nabi? Kenapa dia tak membubarkan pesantren Ngruki saja, sebab pesantren itu juga memakai sistem yang tak ada pada atau dicontohkan oleh Nabi?

Ba’asyir mungkin beranggapan bahwa masalah kepemimpinan bukan soal duniawi, tetapi masalah keagamaan. Pertanyaannya, apakah Nabi memberikan petunjuk yang detil mengenai soal kepemimpinan ini dengan seluruh aspek-aspeknya? Kalau jelas ada petunjuk, kenapa para sahabat bertengkar hebat saat Nabi wafat, persis untuk memperebutkan jabatan kepemimpinan?

Bahkan jenazah Nabi tak sempat dikuburkan selama tiga hari, karena sahabat sibuk bertengkar tentang siapa yang menjadi pengganti Nabi dan bagaimana pula cara memilihnya.

PARADOKS lain yang menggelikan adalah bahwa Ba’asyir menolak mentah-mentah sistem demokrasi, tetapi, anehnya, dia menikmatinya sejak pertama kali menginjak bumi Indonesia setelah kembali dari pengasingan di Malaysia selama bertahun-tahun (karena diusir oleh pemerintahan Presiden Suharto yang tak demokratis itu). Demokrasi di Indonesialah yang memungkinkan dia mendirikan organisasi seperti MMI, dan demokrasi itu pulalah yang menjamin hak dia nanti untuk mendirikan organisasi baru yang konon lebih sesuai dengan sunnah Nabi itu.

Kampanye dia selama ini untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tak pernah diganggu oleh aparat keamanan justru karena di Indonesia ada sistem demokrasi. Dengan demikian, Ba’asyir mengecam demokrasi, seraya diam-diam menikmati “roti” demokrasi setiap saat tanpa memberi kredit apapun. Dalam hal ini, Ba’asyir tidak melaksanakan hadis yang terkenal, “man lam yasykur al-nas lam yasykur al-Lah”, barangsiapa tak mensyukuri manusia (yang telah berbuat baik pada dia), maka dia sama saja tak mensyukuri Tuhan.

Ba’asyir menikmati roti demokrasi, tetapi dia tak pernah memberi kredit apapun pada sistem yang memberinya kebebasan itu. Dia malah mengecam sistem itu sebagai sistem kafir karena berasal dari Barat. Tindakan dia ini bertentangan dengan sunnah Nabi sebagaimana tercermin dalam hadis di

— 57 —

«atas.

Kalau konsisten dengan perlawanannya atas demokrasi, kenapa Ba’syir tak pindah ke negara Arab Saudi saja yang sama sekali tak menerapkan demokrasi? Saat dia diusir dari Indonesia pada awal 80an dulu, mestinya pada saat itu dia punya kesempatan untuk pindah ke negeri yang sama sekali tak menerapkan demokrasi. Eh, dia malah mengungsi ke Malaysia yang juga, dalam tingkat tertentu, menerapkan demokrasi.

Setelah Indonesia makin demokratis paska tergulingnya Presiden Soeharto pada 1998, dia malah dia kembali ke Indonesia. Kenapa dia kembali ke negeri yang justru makin intensif mengalami proses demokratisasi? Apakah diam-diam Ba’asyir mencintai demokrasi, walau di mulut meluapkan kecaman pada sistem itu?

Mungkin Ba’asyir akan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya ini dengan mengatakan: Saya balik ke Indonesia karena saya mau menegakkan negara syari’ah! Saya mau mendirikan kekuasaan Tuhan, sistem yang ia sebut dengan istilah yang aneh sekali, yaitu “Allah-krasi”, yakni kekuasaan Allah sebagai lawan dari “demokrasi”, kekuasaan rakyat.

Pertama, sistem yang ia sebut sebagai Allah-krasi itu sendiri tidak pernah ada dalam sunnah atau dikatakan secara tegas oleh Nabi sendiri. Dalam hal ini, dia telah melanggar prinsip yang ia anut dengan gigih itu, yaitu hendak hidup sesuai seluruhnya dengan sunnah. Nabi sendiri tak pernah menyebut kekuasaan yang ia praktekkan di Madinah dulu sebagai Allah-krasi.

Kenapa dia menciptakan sesuatu yang tak ada dalam agama? Bukankah ini bid’ah, dan setiap bid’ah, sebagaimana ajaran yang diyakini oleh orang-orang semacam Ba’asyir, akan membawa seseorang masuk neraka (kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi al-nar)? Akankah Ba’asyir masuk neraka karena menciptakan bid’ah Allah-krasi itu? Wallahu a’lam! Hanya Tuhan yang tahu.

Kedua, agar dia bisa memperjuangkan sistem Allah-krasi di Indonesia, dia tak bisa tidak butuh sebuah lingkungan politik yang memungkinkan perjuangan itu; dan itu, sekali lagi, adalah sistem demokrasi. Sebab, jika dia hidup di negeri yang tidak demokratis, sudah tentu dia akan akan mengalami kesuitan untuk memperjuangkan idenya tersebut, persis karena tiadanya kebebasan di sana.

— 58 —

«Jika Ba’asyir, misalnya, menetap di Saudi Arabia, dia sudah ditangkap dari sejak awal dan tak akan pernah keluar dari penjara, sebab dia mengampanyekan sistem yang menentang kekuasaan yang ada di sana. Hanya di negeri demokratis seperti Indonesialah dia bisa bergerak dengan leluasa. Bagaimana dia bisa mengecam sistem demokrasi yang telah memberinya hidup selama ini?

Paradoks yang lebih parah lagi dan mendasar adalah keinginan Ba’asyir mendirikan sebuah negara syari’ah, negara yang berlandaskan sistem Allah-krasi itu. Konsep negara itu sendiri tak dikenal secara eksplisit pada zaman Nabi. Nabi sendiri tak pernah menyebut komunitas di Madinah sebagai “daulah” atau negara. Dalam Piadam Madinah yang terkenal itu, komunitas di Madinah hanya disebut sebagai “ummah” saja. Kata ummah di sana tidak terbatas pada umat Islam, tetapi juga umat-umat lain di luar Islam, termasuk Yahudi.

Kalau hendak konsisten mengikuti sunnah Nabi, tindakan Ba’asyir untuk menciptakan nama “negara” itu sendiri untuk menyebut sebuah komunitas yang hendak ia dirikan jelas tidak sesuai dengan teladan atau sunnah Nabi.

Kalau kita amati kelompok-kelompok Islam yang meneriakkan semboyan ingin hidup sesuai dengan sunnah dan teladan Nabi, ada semacam pola yang menarik. Pola ini terjadi di tanah Arab sendiri, dan terjadi pula (atau tepatnya ditiru?) di Indonesia dan negeri-negeri lain di luar Arab. Yaitu, mereka cenderung terlibat dalam pertengkaran internal yang tak pernah selesai. Persoalannya sepele: masing-masing kelompok menuduh yang lain sebagai menyimpang dari atau kurang konsisten dengan sunnah, dan menganggap merekalah yang paling konsisten mengikutinya.

Inilah yang kita lihat pada kasus perpecahan dalam tubuh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sekarang. Perpecahan ini juga kita lihat dalam kelompok-kelompok salafi yang lain di sejumlah kota di Indonesia. Pengalaman ini sudah pernah kita saksikan pada Partai Komunis dulu; masing-masing faksi menganggap dirinya paling “ortodoks” dan menuduh yang lain “revisionis”.

Ba’asyir keluar dari MMI karena merasa organisasi itu dikelola dengan prinsip yang tak seusai dengan sunnah Nabi. Saya memprediksi, kelompok baru yang akan didirikan oleh Ba’asyir itu, suatu saat juga akan pecah lagi karena pada gilirannya nanti akan ada kelompok yang merasa

— 59 —

«lebih konsisten pada sunnah ketimbang yang lain. Begitu seterusnya.

Deskripsi yang tepat untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengkleim paling mengikuti sunnah ini adalah sebuah ayat dalam Quran, tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta; engkau melihat mereka seolah-olah bersatu (di bawah ide mengikuti sunnah Nabi), tetapi hati mereka sesungguhnya saling terpecah-belah. Dengan kata lain, gerakan ini sebenarnya rapuh di dalam, persis karena terlalu menekankan “kesucian” gerakan, purifikasi, dan tidak belajar untuk kompromi dan akomodatif terhadap keadaan yang terus berubah.

Watak gerakan puritan di mana-mana selalu mengandung resiko perpecahan internal. Jika kita mau belajar lebih jauh lagi, perpecahan dalam tubuh umat Islam selama ini terjadi persis karena dorongan “puritan” itu, yakni masing-masing kelompok merasa paling sesuai dengan Quran dan sunnah. Dengan sikap “sok benar” sendiri itu, mereka dengan mudah menuduh gerakan yang lain kafir, sesat, murtad, syirik, dsb.

Paradoks seperti dihadapi oleh Ba’asyir ini semestinya menjadi pelajaran bagi kelompok-kelompok Islam yang lain. Di mata saya, metode perjuangan Islam ala Ba’asyir sudah mentok dan tak akan membawa umat Islam ke mana-mana. Sangat keterlaluan jika ada orang-orang yang masih percaya atau “terkelabui” oleh tokoh dan metode perjuangan seperti ini.

Penangkal paling manjur agar umat Islam tak terkecoh oleh retorika orang-orang semacam Ba’asyir ini adalah nalar yang sehat dan kritis. Umat seharusnya diajarkan bagaimana berpikir secara kritis dan berani mempertanyakan kleim-kleim kosong yang diajukan oleh tokoh seperti Abu Bakar Ba’asyir itu.[]

— 60 —

«15/07/2008

Citra Keliru tentang Bahasa ArabOleh Ulil Abshar-Abdalla

Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Saat belajar bahasa Arab di pesantren dulu, saya mengira bahwa yang “sah” disebut dengan bahasa Arab adalah

bahasa Arab standar yang sering disebut sebagai “bahasa Arab fusha”, atau “literary Arabic”. Bahasa Arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Arab saat ini tidak pernah kami (para santri di pesantren dulu) anggap sebagai bahasa Arab “sungguhan”.

Bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai “penyimpangan” karena tidak memakai kaidah bahasa Arab yang standar. Misalnya, bahasa Arab pasaran sama sekali, atau minimal sekali memakai “declensional case” atau “i’rab”. Bahasa Arab pasaran bisa disebut sebagai “I’rab-less Arabic”. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari dari bahasa Arab standar, maka pelanggaran atau apalagi penghapusan sama sekali i’rab dianggap sebagai “abomination” , atau sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, kami di pesantren dulu tak pernah menganggap bahasa Arab pasaran sebagai sesuatu yang serius. Orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di tanah Arab kemudian menguasai bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai orang yang tak mampu berbahasa Arab dengan benar.

Kami dulu juga beranggapan bahwa bahasa Arab standar sebagaimana kami temui dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari di zaman klasik. Bahkan kami juga mengira bahwa bahasa Arab “fusha” ini dipakai oleh Nabi serta para sahabat pada zamannya. Dengan kata lain, kami membayangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Nabi serta para sahabatnya memakai bahasa Arab standar, lengkap dengan i’rab-nya. Anggapan semacam ini diperkuat karena adanya koleksi hadis-hadis Nabi yang kesemuanya memakai bahasa

— 61 —

«Arab fusha yang standar.

Lebih jauh dari itu, kami dulu juga mengira bahwa para ulama klasik Islam yang mengarang buku-buku berbahasa Arab “fusha” itu juga memakai bahasa Arab standar dalam komunikasi sehari-hari mereka. Imam Nawawi, misalnya, salah satu ulama penting dalam mazhab Syafii yang hidup pada abad 13 Masehi, kami anggap berbicara dalam bahasa Arab “fusha” dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, bahasa Arab sebagaimana dalam kitab kuning itu kami anggap sebagai satu-satunya bahasa Arab yang hidup, “a living language”. Bahasa Arab kami anggap sebagai bahasa yang statis, tak pernah berubah.

Pertanyaannya, apakah anggapan semacam ini benar? Setelah “bergumul” dengan bahasa Arab selama ini, baik bahasa Arab “arkaik” sebagaimana dalam kitab-kitab klasik, atau bahasa Arab “modern” yang dipakai dalam kehidupan masyarakat Arab saat ini, saya akhirnya berkesimpulan bahwa anggapan-anggapan yang kami punyai di pesantren dulu banyak mengandung kekeliruan.

Apakah bahasa Arab yang dipakai pada zaman generasi Nabi dahulu? Apakah bahasa Arab standar seperti yang kita kenal dalam hadis itu? Atau sebetulnya, pada zaman itu sudah muncul bahasa Arab “pasaran” yang sama sekali tak memakai i’rab?

Penelitian sarjana linguistik modern tidak mencapai kata sepakat mengenai hal ini. Tetapi, apa yang disebut sebagai bahasa Arab standar yang kita kenal selama ini sebetulnya adalah salah satu varian dialek yang ada pada zaman Nabi. Fenomena penghilangan i’rab sebetulnya sudah dikenal sejak masa pra-Islam. Ada banyak sekali dialek yang berkembang di masyarakat Arab pada zaman pra-Islam. Karena Qur’an lebih banyak memakai dialek Hijaz (yakni kawasan sebelah barat jazirah Arab yang meliputi Mekah dan Madinah), maka dialek inilah yang kemudian dijadikan standar sebagai “cara berbahasa yang benar”.

Sebagian sarjana linguistik modern juga berkesimpulan bahwa bahasa Arab standar yang lengkap memakai i’rab itu hanyalah dipakai secara ketat dalam syair. Setelah Islam datang, bahasa Arab “puitik” ini dipakai dan kemudian dilestarikan dalam Qur’an. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Arab sebetulnya memakai jenis bahasa yang sama sekali berbeda, sekurang-kurangnya mereka berbahasa sesuai dengan dialek

— 62 —

«yang dominan dalam suku-suku bersangkutan.

Setelah kekuasaan Islam mengalami ekspansi yang begitu agresif ke luar jazirah Arab, banyak terjadi perkembangan yang luar biasa dalam bahasa Arab. Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Perkecualian ada pada bahasa Persia (atau Farsi) yang berhasil mempertahankan diri dari “gempuran” bahasa Arab sehingga tetap bertahan (hingga sekarang) sebagai bahasa resmi. Belakangan, bahasa Turki (melalui kekuasaan Usmani) berhasil memantapkan diri sebagai “lingua franca”, terutama di kawasan Asia Kecil dan Asia Tengah.

Sejak zaman klasik (yakni masa ketika proses pertumbuhan ilmu-ilmu Islam berlangsung [abad 2 hingga 3 Hijriyah]), sekurang-kurangnya sudah kita jumpai dua fenomena berbahasa yang saling berdampingan, yakni bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama atau sarjana; dengan kata lain bahasa kaum literati. Di pihak lain, juga ada bahasa Arab “pasaran” atau “semi-pasaran” yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan saya waktu di pesantren dulu bahwa Imam Shafi’i, misalnya, memakai bahasa Arab standar yang rumit sekali seperti ia pakai dalam kitab-kitab yang ia karang (al-Risalah atau al-Umm, misalnya) dalam percakapan sehari-hari, saya kira sama sekali tak tepat.

Salah satu “atestasi” atau bukti yang menarik mengenai hal ini adalah kisah “Alfu Lailah wa Lailah” atau 1001 malam yang terkenal itu. Dalam edisi asli kisah legendaris ini yang dilakukan oleh Prof. Muhsin Mahdi, kita jumpai corak bahasa Arab “non-fusha” yang menarik. Edisi Muhisn Mahdi mencoba mempertahankan bahasa Arab asli yang dipakai dalam kisah itu, tanpa “intervensi” apapun agar sesuai dengan bahasa Arab standar. Edisi-edisi kisah 1001 malam yang kita jumpai sekarang di toko-toko Arab banyak yang sudah mengalami revisi. Dalam edisi Muhsin Mahdi, saya menjumpai bahasa Arab yang sama sekali lain dengan bahasa Arab yang dipakai dalam puisi atau pun dalam karya-karya kesarjanaan standar. Salah satu aspek yang menarik adalah bahwa atauran-aturan berkenaan dengan i’rab kurang secara konsisten diikuti di sana. Jika kita bisa membuat hipotesa

— 63 —

«bahwa bahasa Arab yang dipakai dalam 1001 malam adalah bahasa non-kesarjanaan, atau non-standar, maka kita bisa membuat suatu dugaan bahwa bahasa semacam inilah yang lebih luas dipakai dalam kehidupan sehari-hari pada saat itu. Sebagaimana kita tahu, bahasa literer atau standar biasanya hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah. Dalam konteks percakapan sehari-hari, biasanya masyarakat di manapun cenderung memakai bahasa “pasaran”, atau “al-lughah al-darijah”.

Sebagai informasi, kisah 1001 malam muncul kira-kira pada periode antara abad 9 hingga 10 Masehi, atau abad 2 dan 3 Hijriyah. Dengan kata lain, dalam masa yang masih sangat dini dalam sejarah Islam pun, corak berbahasa yang non-standar sudah muncul.

Salah satu data menarik yang saya jumpai baru-baru ini adalah sebuah naskah karya al-Tufi, salah seorang sarjana fikih dalam lingkungan mazhab Hanbali. Ia hidup pada abad 14 Masehi. Ia mengarang buku berjudul Alam al-Jadzal fi ‘Ilm al-Jadal. Dalam buku itu, saya menemukan suatu kasus yang menarik. Dalam halaman halaman 209 (edisi Wolfhart Heinrichs), saya menjumpai kata-kata berikut ini: “Ish ma’na hadza?” (Maksudnya: Apakah artinya ini?)

Kata “ish” seringkali kita jumpai dalam bahasa Arab pasaran yang dipakai saat ini. Artinya “apakah”, kependekan dari “ayyu shai’in”. Waktu di pesantren dulu, saya mengira bahwa bahasa Arab pasaran adalah praktek yang muncul belakangan sekali pada masa modern. Jika kata pasaran ini sudah dipakai pada zaman al-Thufi yang merupakan murid dari Ibn Taymiyyah itu, maka kita bisa beranggapan bahwa pada zaman itu pun bahasa Arab pasaran sebagaimana kita jumpai saat ini sudah dipakai secara luas. Sebagaimana kita tahu, salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah hilangnya fenomena i’rab yang merupakan inti bahasa Arab standar itu.

Salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah makin dominannya penggunaan “klausa nominal” atau “al-jumlah al-ismiyyah” yang terdiri dari subyek dan predikat atau mubtada’ dan khabar. Sebagaimana kita tahu, dalam bahasa Arab literer-standar, kita mengenai dua jenis klausa, yakni klausa nomina (seperti “Umar berdiri”/“Umar qa’imun”) atau klausa verbal atau “al-jumlah al-fi’liyyah” (seperti “Berdiri Umar”/“Qama Umar”). Dalam bahasa Arab pasaran, bentuk klausa verbal kurang banyak dipakai.

— 64 —

«Kalangan sarjana Arab sekarangpun sebetulnya kurang terlalu bersemangat menyambut fenomena dialek Arab pasaran. Meskipun dialek itulah yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka kurang memperhatikan fenomena ini secara sungguh-sungguh. Ini terjadi baik pada masa klasik maupun sekarang. Oleh karena itu, kita jarang sekali menjumpai karya-karya sarjana Muslim berkenaan dengan fenomena bahasa pasaran yang berlaku pada masa mereka. Yang mereka tulis selama ini adalah bahasa Arab standar yang sama sekali tak mencerminkan bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

— 65 —

«24/03/2008

Mengapa Justifikasi AgamaOleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Salah satu ciri khas manusia yang sangat menarik adalah adanya kecenderungan untuk memberikan justifikasi

kepada sebagian besar tindakan yang ia lakukan. Tentu kecenderungan semacam ini tidak seluruhnya bersifat eksplisit. Biasanya kenderungan ini akan muncul pada saat orang yang bersangkutan berhadapan dengan (meminjam istilah yang sering dipakai dalam filsafat eksistensialisme) “situasi batas”.

Pada umumnya, orang bertindak setiap hari tanpa mempersoalkan apakah yang ia lakukan justifiable atau tidak. Pertanyaan soal justifikasi biasanya tidak muncul dalam konteks tindakan rutin sehari-hari. Misalnya, seorang guru sekolah melakukan kegiatan rutin setiap hari: berangat pagi-pagi ke sekolah, mengajar, menyelesaikan tugas-tugas pendidikan yang lain, sore pulang ke rumah, berlibur dengan keluarga pada akhir minggu, dsb. Pak Guru melakukan semua kegiatan rutin itu secara alamiah saja tanpa mempersoalkan justifikasi untuk tindakan-tindakan tersebut.

Tetapi, pertanyaan tentang justifikasi akan muncul saat kita berhadapan dengan situasi tak normal. Dalam kasus Pak Guru tadi, pertanyaan tentang justifikasi baru muncul manakala dia berada pada situasi yang tak lazim. Andaikan saja, dia menghadapi situasi berikut ini. Ada dua murid yang ingin mendaftar di sekolah tempat ia mengajar. Murid pertama sangat pintar tetapi datang dari keluarga miskin. Murid kedua pas-pasan dari segi kecerdasan, tetapi berasal dari keluarga kaya. Keluarga murid yang kedua menjanjikan untuk memberikan bantuan yang cukup besar untuk memperbaiki fasilitas di sekolah tersebut, dengan anak mereka diterima di sekolah tersebut. Sementara itu, Pak Guru, karena satu dan lain hal, tak bisa menerima kedua murid itu sekaligus.

— 66 —

«Ini hanya situasi artifisial yang saya andaikan saja sekedar untuk memberi gambaran tentang situasi batas yang kadang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi semacam ini, Pak Guru berhadapan dengan sebuah dilema. Untuk memutuskan menerima entah murid pertama atau kedua, dia membutuhkan justifikasi yang masuk akal, agar dia bertindak dengan tenang dan tak terganggu oleh nuraninya.

Justifikasi biasanya dicapai melalui sebuah proses yang saya sebut reasoning atau penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus berhadapan dengan situasi-situasi baru yang kerap membutuhkan penalaran untuk mencapai justifikasi tertentu. Ini berlaku baik pada level kehidupan pribadi atau sosial.

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Misalnya, kita mengandaikan bahwa norma keadilan adalah standar yang mengatur semua tindakan manusia. Atau seorang Muslim beranggapan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan Hadis adalah norma dasar yang menjadi landasan mereka untuk bertindak secara moral. Penalaran biasanya kita lakukan berdasarkan norma-norma semacam itu. Melalui penalaran itu, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa tindakan tertentu memenuhi standar norma tertentu, dan karena itu justifiable .

Ada dua jenis justifikasi. Pertama adalah justifikasi tradisional, dan kedua justifikasi rasional. Yang pertama adalah justifikasi yang diperoleh dengan bersandar pada sebuah otoritas tradisi tertentu, entah dalam bentuk kitab suci, adat, kebiasaan sosial, dsb. Yang kedua adalah justifikasi yang dicapai berdasarkan proses individual dengan memakai rasio kita sendiri.

Secara empiris, jarang sekali seseorang semata-mata memakai satu model justifikasi. Yang terjadi pada umumnya adalah seseorang memakai penalaran berdasarkan norma tradisional dan norma yang bersifat rasional secara serentak. Dengan kata lain, baik justifikasi tradisional dan rasional berlangsung secara simultan dalam proses yang sifatnya dialektis.

— 67 —

«Justifikasi tradisional biasanya cenderung bersifat sosial, sementara justifikasi rasional bersifat individual. Tetapi, saya harus memberikan caveat di sini. Meskipun justifikasi rasional bersifat individual, secara empiris tidak lah demikian keadaanya. Apa yang kita sebut sebagai rasio pada dasarnya bukan sebuah wujud yang terisolasi dari proses sosial di luar dirinya. Rasio juga terbentuk dan dibatasi oleh keadaan-keadaan dalam masyarakat. Dengan demikian, saat seseorang melakukan penalaran rasional, dia bukanlah seorang individu yang secara otonom bekerja dengan rasionya, karena pada momen yang sama masyarakat juga bekerja dalam dirinya.

Di atas semua itu, sebuah justifikasi pada akhirnya bekerja dalam konteks tertentu. Justifikasi dibatasi oleh horison sosial dan individual sekaligus. Tentu batas di situ bukan sesuatu yang bersifat statis. Batas terus bergerak, dan bersamaan dengan itu justifikasi bergerak pula.

Saya hanya bisa memakai istilah yang sama sekali bersifat umum dan sangat ambigu di sini, yakni horison. Saya sendiri belum bisa menjelaskan dengan detail apa bentuk horison itu. Saya hanya membayangkan bahwa setiap justifikasi selalu bergerak dalam horison semacam itu. Justifikasi tidak bisa bekerja sepenuhnya secara transendental dan melampui horison tersebut. []

— 68 —

«05/03/2008

Poligami, Monogami, dan Kontradiksi ModernitasOleh Ulil Abshar-Abdalla

Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.

Apa yang saya tulis ini sebetulnya sudah menjadi diksusi secara pribadi dengan sejumlah teman waktu saya masih

di Jakarta dulu. Agar tak menimbulkan salah paham, saya akan mengemukakan posisi moral saya sejak awal. Saya tidak setuju terhadap praktek poligami. Dalam pandangan saya, perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.

Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.

Mungkin perlu semacam riset yang lebih mendalam mengenai asal-usul sosial dan historis yang bisa menjelaskan kenapa monogami menjadi norma utama dalam masyarakat modern. Saya percaya bahwa norma ini tidak datang “ujug-ujug” dari langit. Ia terbentuk melalui proses historis tertentu. Dengan kata lain, kaum pejuang keadilan jender perlu melakukan “analisa historis” atas munculnya norma keluarga dengan satu isteri itu. Historisitas tidak saja berlaku pada perkembangan ajaran dan doktrin agama, tetapi juga berlaku pada norma-

— 69 —

«norma yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini.

Ada satu paradoks dalam modernitas yang jarang kita sadari. Paradoks ini layak kita pikirkan dengan baik-baik, sebab entah pengutuk atau pemuja modernitas sama-sama tidak bisa menghindarkan diri dari gejala modernitas itu sendiri.

Di satu pihak, modernitas mengandung suatu impuls atau dorongan ke arah asketisisme, yakni hidup dengan etos kerja keras, tepat waktu, kalkulasi, efektivitas, dsb. Saya memandang, norma monogami mungkin berasal dari impuls ini. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan hubungan antara monogami dengan etos asketisme dalam modernitas. Saya hanya menduga saja, bahwa bentuk keluarga kecil dengan isteri satu lebih sesuai dengan etos masyarakat modern yang menghendaki segala bentuk kepraktisan, efisiensi, kerja keras, dsb. Selain itu, keluarga kecil juga lebih memenuhi kebutuhan masyakarat modern untuk melindungi hak-hak milik pribadi. Konsep “hak milik” sangat penting kedudukannya dalam kesadaran masyarakat modern, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan masyarakat pra-modern.

Tetapi ada impuls lain dalam modernitas yang jarang sekali kita sadari, padahal kita lihat gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dorongan untuk selalu mencobai hal-hal baru. Saya ingin menyebutnya sebagai impuls advonturisme. Penjelajahan Columbus untuk mencari “dunia baru” ternyata bukan saja melambangkan suatu kegiatan ekonomi dalam masyarakat modern untuk mencari tanah baru untuk dieksploitasi. Lebih dari itu, penjelajahan itu juga berlangsung pada kehidupan pribadi, termasuk dalam kehidupan seksual.

Dua kecenderungan ini jelas tidak “klop” satu dengan yang lain. Kecenderungan asketik medorong ke arah etos kehidupan yang menekankan semangat “menahan diri”, sementara kecenderungan yang kedua mendorong ke arah “pelampiasan nafsu”. Yang satu bersifat “frugal” atau “ugahari”, yang lain bersifat boros.

Paradoks ini paling kelihatan dalam konteks kehidupan keluarga. Di satu pihak, modernitas menekankan norma monogami: keluarga dengan satu isteri dan sedikit anak. Di pihak lain, kita menyaksikan bagaimana eksperimentasi dengan pengalaman seks meledak dalam masyarakat modern. Kita semua tahu bagaimana modernitas mengekspose segala kemungkinan yang ada pada tubuh, baik laki-laki atau, terutama, perempuan. Dengan berkembangnya teknologi

— 70 —

«audio-visual seperti televisi dan film, kecenderungan itu sekarang mengalami radikalisasi yang sangat ekstrem.

Paradoks ini selalu saya rasakan saat saya menonton televisi di Amerika (juga di Jakarta, sebetulnya). Saya menonton peragaan tubuh yang erotis di TV, begitu rupa sehingga saya berpikir dalam hati, “Kenapa saya tak bisa menikmati pengalaman erotisme seperti diperagakan dalam televisi itu? Bukankah kesempatan untuk itu terbuka lebar?” Tetapi di pihak lain, bagaimana saya mendamaikan antara “keinginan” mencobai erotisme itu dengan norma lain yang juga dijunjung tinggi dalam masyarakat modern, yakni norma hidup dengan satu isteri?

Dengan kata lain, di satu pihak saya dituntut, entah oleh modernitas atau juga oleh agama sebagaimana saya pahami, untuk hidup asketis dengan satu isteri, begitu pula isteri saya harus hidup dengan satu suami. Tetapi di pihak lain, saya (dan juga isteri saya) berada dalam suatu habitus sosial di mana erotisme hampir meresap ke segala pori-pori.

Tentu ada banyak solusi untuk paradoks seperti ini. Pertama, solusi yang “legal”, yakni saya akan gonta-ganti pasangan. Kalau saya bosan dengan isteri saya, atau isteri saya bosan dengan saya, kita sepakat untuk cerai, untuk mencobai pasangan baru yang lebih menggairahkan. Solusi ini sangat sulit berlaku dalam konteks masyarakat Kristen di mana perceraian ditabukan. Bukan hanya itu, solusi ini, secara praktis, juga sangat tak menguntungkan, dan dilihat dari sudut kepentingan melindungi hak milik yang sangat penting dalam masyarakat modern, sangat tidak menarik. Yang lebih masuk akal dalam konteks masyarakat modern adalah hidup dengan satu pasangan, terutama karena hal itu lebih menjamin keamanan dan perlindungan hak milik.

Kedua, solusi yang “tak legal”. Solusi ini memiliki banyak bentuk, misalnya “selingkuh”, dengan akibat yang juga pada akhirnya tak menguntungkan dari segi kebutuhan menjaga hak milik, selain merugikan hak-hak perempuan. Bentuk yang lain adalah “membeli” kebutuhan seksual di “pasar bebas”. Solusi ini jelas tak bisa diterima, sekurang-kurangnya dari sudut agama. Juga tak bisa diterima dari sudut norma monogami.

Ketiga, solusi keagamaan. Inilah solusi yang ditawarkan oleh kalangan konservatif. Solusi ini sama sekali tertutup dalam masyarakat Barat, tetapi masih terbuka dalam masyarakat di

— 71 —

«luar Barat, seperti masyarakat Islam. Tetapi, solusi ini juga bukan tanpa cacat. Kalau poligami dibolehkan dengan alasan untuk “menampung” gairah seksual laki-laki, kenapa hanya dibatasi empat. Kalau gairah dibiarkan, sudah tentu

empat tidak cukup. Dalam habitus sosial di mana erotisme meresap begitu dalam, seseorang akan terdorong untuk mencobai kegiatan seksual tanpa batas.

Solusi terakhir yang juga diam-diam mulai banyak menarik masyarakat modern adalah hidup lajang, seraya membuka diri untuk mencobai segala bentuk kemungkinan seks. Solusi ini hanya menarik buat kelas menengah yang memiliki surplus penghasilan yang memadai untuk mendukung segala kemungkinan ke arah “advonturisme”. Alternatif melajang tentu bukan semata-mata didorong oleh adventorisme seksual, tetapi juga oleh keinginan untuk memburu karir dan pekerjaan yang lebih baik. Tampaknya yang terakhir ini lebih banyak terjadi dalam praktek sehari-hari.

Saya mengetengahkan paradoks ini bukan untuk “diselesaikan” dengan cara sim-salabim dan sekali pukul dengan tongkat Musa. Saya tak percaya paradoks ini bisa diselesaikan dengan mudah. Bahkan agama pun tak bisa menyelesaikan paradoks ini dengan mudah. Saya mengetengahkan paradoks ini hanya untuk membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan modern yang tak mudah untuk diringkus dalam satu-dua jenis solusi, dengan satu bentuk justifikasi.

— 72 —

«15/01/2008

Ibn Khaldun dan Sejumlah ObservasinyaOleh Ulil Abshar-Abdalla

Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Karya Ibn Khaldun (w. 1406 M) yang sudah “kanonik”, Mukaddimah, memuat banyak observasi yang masih

terasa segar dan relevan hingga saat ini.

Saya tak habis-habisnya mengagumi karya satu ini; karya yang nyaris mengagetkan bisa muncul dari kalangan sarjana Islam pada era tatkala peradaban Islam sedang pelan-pelan mengalami kemunduran di segala bidang, terutama di bidang pemikiran. Yang lebih mengagetkan lagi, karya ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari kalangan Islam sendiri yang lebih banyak “terpukau” oleh kajian fikih.

Terus terang, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain, adalah para orientalis di Barat yang bekerja dengan gigih untuk membongkar “lumbung” intelektual Islam yang kaya sekali ini, tetapi tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali.

Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi baru meninggal bulan Juli, 2007 dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibn Khaldun, antara lain, diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss, seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga dikenal karena penelitiannya atas al-Farabi.

Terjemahan “akademis” atas karya ini belum pernah sekalipun dikerjakan di Indonesia. Yang kita punya adalah terjemahan “komersial” (kalau boleh memakai istilah ini) yang dibuat Ahmadi Taha pada pertengahan 80-an dan diterbitkan oleh

— 73 —

«Pustaka Firdaus, Jakarta. Usaha Ahmadi Taha, bagaimanapun, layak kita hargai di tengah kelangkaan sarjana Muslim Indonesia yang bersedia “belepotan” untuk menerjemahkan karya-karya kanon Islam ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya yang tak ada sangkut-pautnya dengan kajian fikih.

Mukaddimah karya Ibn Khaldun memuat banyak sekali observasi atas “masyarakat manusia” yang, menurut saya, masih terus layak dibaca dan dikaji hingga sekarang. Buku ini adalah salah satu hasil “jenius” dalam sejarah Islam yang sangat mengagumkan.

Sangat disayangkan bahwa karya besar ini sama sekali tak memperoleh perhatian di kalangan pesantren. Kajian Islam di pesantren atau umumnya lembaga-lemabaga pendidikan Islam yang cenderung berpusat pada “ilmu-ilmu ortodoks” (fikih, hadis, tafsir) layak diperluas dengan melibatkan karya-karya “non-ortodoks” seperti karya Ibn Khaldun ini.

Membaca buku ini, menurut saya, sangat nikmat dan lezat bukan sekedar karena di sana kita bisa menjumpai analisis Ibn Khaldun yang tajam terhadap sejumlah gejala sosial pada zamannya, tetapi terlebih lagi karena mutu bahasanya yang sangat baik dan cemerlang.

Karena urusan penulisan paper kelas, saya dipaksa membaca kembali Mukaddimah karya Ibn Khaldun. Saya terpukau dengan sejumlah observasi cemerlang yang saya temukan dalam buku ini. Dalam tulisan ini, saya ingin membagi apa yang saya baca dengan teman-teman yang kebetulan memiliki minat terhadap pemikiran Islam klasik.

Salah satu observasi Ibn Khaldun yang menarik adalah mengenai hubungan antara “ulama” dan “politik”. Kata ulama di sini sebaiknya tak usah dikaitkan dengan istilah “ulama” dalam, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab yang dimaksud Ibn Khaldun dengan istilah ini jauh lebih luas. Dalam pemakaian modern, istilah ulama sebagaimana kita jumpai dalam karya Ibn Khaldun, terutama dalam bab yang saya bahas ini, paralel dengan isitlah “intelektual”, “cendekiawan”, atau “philosophe” sebagaimana dipakai di dalam tradisi Prancis.

Yang menarik adalah judul bab yang membahas mengenai masalah ini, “Fasal ke-34, perihal bahwa ulama, di antara manusia yang lain, adalah mereka yang paling jauh dari politik dengan seluruh cabang-cabangnya” (Fi anna al-ulama’ min bain al-basyar ab’ad ‘an al-siyasah wa madhahibiha).

— 74 —

«(Mukaddimah, cetakan Kairo, tanpa tahun, hal. 542).

Menurut Ibn Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan) cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide, dan refleksi intelektual (mu’tadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus ‘ala al-ma’ani). Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empirik yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai “umur kulliyyah ‘ammah”.

Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan, suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum. Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat pada kerja seorang ulama.

Sementara itu, politik, menurut Ibn Khaldun, menuntut sesuatu yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang “politisi” (istilah ini saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibn Khaldun, “shahib al-siyasah”), “dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi akibatnya (mura’at ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa yatba’uha).

Yang menarik adalah bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, setiap peristiwa dalam dunia politik adalah unik, dan karena itu menuntut perlakuan yang khusus. Oleh karena itu, “qiyas” atau “analogi fikih”, cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. Seorang ulama/intelektual yang biasa bekerja dengan “qiyas”, pola-pola umum, teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana.

Selain “qiyas”, Ibn Khaldun juga memakai istilah “muhakah” (harafiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita terjemahkan sebagai “ekstrapolasi”, atau memproyeksikan suatu hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus

— 75 —

«lain. Kerja intelektual para ulama biasanya bertumpu pada “qiyas” dan “muhakah”. Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian. Saya kutip kalimat Ibn Khaldun yang menarik:

“Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan.” (hal. 542, baris 14-17).

Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibn Khaldun berikut ini. Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan “qiyas”, “muhakah”, abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang “einmalig” atau unik. Mereka, orang-orang awam itu, lebih mudah terhindar dari kecenderungan “meng-qiyas-kan” satu gejala dengan gejala yang lain. Sikap “intelektual” kaum awam, kata Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan “lepas” ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam.

Analisis Ibn Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap perbedaan yang mendasar antara dunia “intelektual” dan dunia “politik”. Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda. Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan “la trahison des clercs” atau pengkhianatan kaum “klerk” alias ulama.

Pengamatan Ibn Khaldun ini juga menarik karena sama sekali meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai wiayah kerja “raja-filosof” seperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik.

Dalam fasal ke-17, Ibn Khaldun mengulas suatu gejala menarik yang muncul dalam setiap peradaban yang telah

— 76 —

«mencapai suatu taraf kematangan.

Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun memakai istilah “‘umran” yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai “peradaban”. Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai ‘umran oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.

Judul fasal ini adalah, “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme” (hal. 400-401).

Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.

Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).

Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek yang kedua ini biasanya lebih mendesak, dan karena itu harus didahulukan, ketimbang tuntutan aspek yang pertama. Makin berkembang dan canggih perkembangan ‘umran atau urbanisme suatu masyarakat, makin pesat pula perkembangan bidang-bidang profesi dalam masyarakat bersangkutan.

Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i’”, bentuk plural dari “shani’ah” yang dalam tulisan ini saya terjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah

— 77 —

«itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-‘ulum” atau ilmu. Penggunanaan dua istilah ini secara serentak menandakan bahwa Ibn Khaldun sadar mengenai dua aspek dalam ilmu, yakni aspek teoritik dan terapan. Ilmu murni mungkin paralel dengan istilah “al-‘ulum”, sementara ilmu terapan adalah sepadan dengan istilah “al-shana’i’”.

Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-‘ulum” dan “al-shana’i’”. Begitu pula saat ‘umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula.

Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang berasal dari “awan”, tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia pada “up” dan “down” dari peradaban Islam sendiri. Berdiri pada abad ke-14, Ibn Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold Toynbee atau, yang lebih populer, Will Durant.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuh-bangunnya peradaban Islam ini kepada “kehendak Tuhan”, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim.

Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara selintas, semacam “state of the art” dari peradaban Islam pada saat Ibn Khaldun hidup. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun hidup dalam rentangan antara 1332 M hingga 1406.

Pada saat itu, sekurang-kurangnya ada dua dinasti besar Islam. Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250-1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, riak-riak pencerahan mulai muncul

— 78 —

«di Eropa, terutama di Italia. Ibn Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam agama Kristen.

Contoh urbanisme yang maju pesat yang disebut oleh Ibn Khaldun dalam bukunya ini adalah apa yang ia lihat di Kairo, Mesir, ibu kota dari dinasti Mamluk. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya “jazzar”, yakni profesi penyembelihan hewan, “dabbagh”, yakni penyamakan atau pengolahan kulit, “kharraz”, yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian, “sha’igh”, yakni “jewellery” atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan, “dahhan”, pembuatan parfum, “shaffar”, yakni pengolahan kuningan, “al-hammami”, yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu), “al-tabbakh”, yakni usaha restoran, “shamma’”, yakni kerajinan lilin, “al-harras”, usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.

Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, jika memakai bahasa sekarang, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’). Istilah “qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’” layak mendapat perhatian khusus di sini. Secara harafiah, istilah itu berarti menabuh perkusi sesuai dengan nada nota atau nada musik tertentu. Ini, antara lain, memperlihatkan bahwa ketrampilan memainkan alat musik dengan memakai nota tertentu merupakan bidang yang digemari masyarakat pada saat itu sehingga muncul profesi khusus untuk mengajarkannya.

Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun”, yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam. Peran penting dalam penyebaran ini dimainkan oleh seorang “warraq” yang melakukan penyalinan naskah secara manual. Pekerjaan “warraq” bukan sekedar menyalin naskah (intisakh), tetapi juga “editing” (tashih) dan penjilidan (tajlid). Dengan kata lain, profesi “warraq” adalah apa yang sekarang berkembang menjadi “publishing house” atau penerbitan. “Warraq” pada zaman Ibn Khaldun adalah semacam Mizan atau Gramedia pada masa kita saat ini.

Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai “al-taraf fi al-

— 79 —

«madinah” atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu, kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai berkembang.

Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu.

Apa yang bisa kita simpulkan dari pengamatan Ibn Khaldun ini? Tentu ada sejumlah hal menarik yang bisa kita simpulkan dari pengamatan ini. Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Era keemasan peradaban Islam itu juga mengenal sirkus!

Bangsa-bangsa taklukan ( al-maghlub) biasanya akan meniru kebudayaan dan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang menaklukkan mereka (al-ghalib).

Ini adalah adalah salah satu “hukum sosial” yang dirumuskan dengan sangat menarik oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, “Muqaddimah”. Ia mengutarakan observasi ini dalam bab kedua, fasal ke-23.

Judul fasal itu adalah: “Perihal bahwa mereka yang kalah selalu “tergila-gila” untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka” (fi anna al-maghluba mula’ abadan bi al-iqtida’ bi al-ghalibi fi shi’arihi wa ziyyihi wa nihlatihi).

Marilah kita ikuti bagaimana Ibn Khaldun memberikan penjelasan atas fenomena ini. Jiwa (al-nafs) bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya “alamiah”. Ketundukan mereka pada bangsa yang menang sama sekali tak dipandang sebagai sesuatu yang timbul karena adanya “penaklukan alamiah”

— 80 —

«(ghalbun thabi’iyyun).

Dengan kata lain, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang bukan karena adanya “paksaan”, tetapi karena adanya keyakinan pada bangsa yang kalah tersebut bahwa bangsa yang menang, secara “natural”, lebih unggul ketimbang mereka. Jika boleh memakai istilah yang sangat terkenal dari Gramsci, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang karena adanya semacam “persetujuan” atau “consent”. Gramsci menyebutnya sebagai “hegemoni”.

Anggapan pada pihak bangsa yang kalah tentang keunggulan “alamiah” bangsa yang menang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “mughalathah” atau anggapan yang keliru. Saya kira, di sini Ibn Khaldun melihat dengan cermat bagaimana proses penundukan atas bangsa-bangsa berlangsung. Pada tingkat pertama, penundukan itu berlangsung pada level “fisik” yang biasanya melibatkan kekekerasan, entah melalui perang atau agresi. Setelah penundukan lewat sarana kekerasan fisik ini tercapai (oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “ghalbun thabi’iyyun”), muncullah penundukan pada level mental.

Di sinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan bahwa bangsa yang menang memiliki “keunggulan” secara alamiah atas mereka. Ibn Khaldun memandang bahwa hal semacam ini tidak benar, sebab ketundukan mental hanya merupakan selubung untuk ketundukan pada level fisik.

Peniruan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kalah ini berlangsung pada pelbagai aspek, mulai dari pakaian (malbas), kendaraan (markab), senjata (silah), dsb. Ibn Khaldun memberikan contoh atas keadaan yang terjadi di Spanyol. Bangsa Galisia yang beragama Kristen dan tinggal di kawasan barat laut semenanjung Iberia (Spanyol) cenderung meniru adat kebiasaan bangsa Muslim di Andalusia yang saat itu menjadi bangsa yang unggul atau menang. Dalam teks Ibn Khaldun, istilah yang dipakai untuk menyebut bangsa Galisia adalah “al-Jalaliqah”.

Orang-orang Galisia meniru bangsa Muslim dalam banyak hal, mulai dari mode pakaian, pembuatan lukisan mural (rasm al-tamatsil fi al-judran), hingga lukisan biasa yang dipajang di rumah, begitu rupa sehingga siapapun yang melihat keadaan itu akan tahu bahwa mereka “ditaklukkan” (secara mental) oleh bangsa Muslim.

Ibn Khaldun menyebut suatu peribahasa yang dikenal luas dalam masyarakat saat itu, “al-‘ammah ‘ala din al-malik”,

— 81 —

«orang-orang awam biasanya mengikuti “din” atau kebiasaan para raja-raja yang menundukkan mereka.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun melakukan observasi ini dengan “dingin” tanpa memberikan suatu penilaian yang sifatnya normatif. Saya membaca observasi Ibn Khaldun ini sebagai semacam “hukum sosial” yang bisa berlaku kepada siapa saja, baik bangsa Muslim atau non-Muslim. Jika yang unggul adalah umat Islam, maka umat lain akan cenderung meniru mereka. Begitu pula sebaliknya, saat bangsa di luar Islam unggul, tak pelak bangsa-bangsa Muslim akan meniru mereka pula.

Yang patut mendapat perhatian kita dalam observasi Ibn Khaldun ini adalah bahwa ketundukan bangsa yang kalah mula-mula terjadi karena “kekerasan” fisik yang dipakai oleh bangsa yang menang. Tanpa kekerasan ini, maka ketundukan mental atau “hegemoni” tak akan berlangsung. Seperti Machiavelli, Ibn Khaldun melihat “kekuasaan fisik” sebagai fakta sosial yang harus dilihat dan dianalisis dengan dingin.

Apa implikasi dari observasi Ibn Khaldun ini? Saya menangkap suatu implikasi yang sama sekali mengagetkan dari observasi ini. Yakni, jika bangsa Galisia atau bangsa non-Muslim lain meniru kebiasaan orang Islam yang kebetulan menjadi bangsa pemenang saat itu, maka hal itu bukanlah karena mereka melihat adanya keunggulan pada Islam sebagai suatu agama, tetapi karena pertama-tama bangsa Muslim memakai kekerasan fisik untuk menundukkan mereka.

Jangan lupa hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun: ketundukan mental dimungkinkan karena adanya kekerasan fisik atau “ghalbun thabi’iyyun”.

Ibn Khaldun bukan saja seorang sejarawan yang bekerja dengan konsep dan kategori besar, tetapi juga sangat “rajin” melihat hal-hal yang sangat kecil. Pada Ibn Khaldun kita melihat kombinasi yang menarik antara studi sejarah dan sosiologi, suatu pendekatan yang, kita tahu semua, pernah dikembangkan dengan amat baik di Indonesia oleh alm. Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkenal dari UGM.

Dalam bab kelima, fasal ke-22, Ibn Khaldun mengemukakan suatu obeservasi yang menarik berkenaan dengan perkembangan profesi (shina’ah) yang ada pada zamannya.

Judul fasal itu adalah “Perihal bahwa seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang tertentu, amat jarang bahwa orang

— 82 —

«yang sama akan memiliki kecakapan dalam tingkat yang sama di bidang yang lain” (fi man hashalat lahu malakah fi shina’ah fa qalla an yujida ba’du fi malakah ukhra).

Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah”, yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.

Kecapakan, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah semacam “warna”. Jika jiwa manusia boleh kita analogikan dengan sebuah kanvas, maka jiwa tersebut tak bisa menerima sejumlah warna secara serentak. Kalaupun ada sejumlah warna dituangkan di sana, maka salah satu akan tampak menonjol, sementara yang lain hanyalah menjadi semacam latar belakang.

Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “‘umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih.

Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya, dan menggantinya dengan kecakapan baru.

Hal ini, menurut Ibn Khaldun, bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.

— 83 —

«Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual. Harus kita ingat, “ambisi intelektual” yang ingin dicapai oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, “Muqaddimah”, adalah untuk membangun suatu “hukum” yang berlaku umum, bukan kasus-kasus terbatas yang sporadik—sesuatu yang tentu amat mencengangkan dilakukan oleh seorang sarjana Muslim di abad ke-14 M.

Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya—tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam “‘umran” atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.

Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.

— 84 —

«07/01/2008

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam IslamOleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu.

Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?

— 85 —

«Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal

— 86 —

«al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.

Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih

— 87 —

«proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’. []

— 88 —

«03/12/2007

NU, Ru’yah, dan Reformasi PenanggalanOleh Ulil Abshar-Abdalla

Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang berpegang pada metode ru’yah dalam penentuan awal

dan akhir bulan Ramadan. Sementara Muhammadiyah dikenal mengikuti metode hisab. Fenomena ini agak janggal, sebab, secara logis, mestinya Muhammadiyah mengikuti metode ru’yah, karena itulah yang jelas-jelas sesuai dengan makna literal sebuah hadis yang terkenal, “shuumuu li ru’yatihi, wa afthiruu li ru’yatihi, fi in ghumma ‘alaikum fa-akmilu ‘l-‘iddata tsalaatsiina”. Bukankah selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang mengumandangkan ide kembali kepada Qur’an dan Sunnah? Metode ru’yah, sebaliknya, justru diikuti oleh NU yang selama ini lebih dikenal mengikuti fikih mazhab, ketimbang kembali langsung kepada sunnah.

Tetapi, sikap NU dalam mengikuti ru’yah ini juga tak lepas dari semacam kontradiksi, atau tepatnya inkonsistensi. Penentuan awal bulan dengan ru’yah hanya diikuti oleh NU dalam kasus awal dan akhir Ramadan, tetapi tidak dalam bulan-bulan lain sepanjang tahun. Di PBNU sendiri ada lajnah falakiyyah yang salah satu tugasnya adalah membuat penanggalan atau kalender seluruh bulan dalam setahun, tentu dengan metode hisab. Dengan kata lain, dalam kasus bulan Ramadan, NU memakai metode ru’yah, sementara untuk bulan-bulan yang lain, memakai metode hisab. Ini yang saya sebut sebagai sikap yang inkonsisten.

Selain berpatokan pada fikih mazhab, argumen NU untuk memakai metode ru’yah jelas adalah berpegangan pada hadis terkenal di atas. Secara harafiah, hadis di atas memang hanya berbicara tentang bulan Ramadan. Tetapi apakah ru’yah atau melihat bulan hanya dipakai oleh Nabi dalam

— 89 —

«kasus awal Ramadan saja? Jelas jawabannya tidak. Pada masa Nabi belum ada ilmu falak untuk menentukan penanggalan dengan hisab. Dengan kata lain, metode penanggalan dalam masa Nabi adalah ru’yah dan ini berlaku sepanjang tahun. Setiap menjelang akhir bulan, para sahabat selalu mengintip bulan di cakrawala. Jika mereka melihat bulan, maka tahulah mereka bahwa bulan baru telah tiba. Jika tidak, mereka menyempurknakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Itulah adat yang berlaku di masyarakat Arab dan kemudian dieskplisitkan oleh Nabi melalui statemen di atas.

Tetapi, satu hal mestilah ditambahkan di sini sebagai semacam warning. Sebagaimana sudah saya sebut, metode ru’yah adalah tradisi yang berlaku dalam masyarakat Arab pada zaman itu, dan bukan sesuatu yang bersifat khas Islam. Dengan memakai ru’yah, Nabi hanya melanjutkan tradisi yang sudah ada. Kalender Hijriyah yang berdasarkan sistem lunar atau rembulan, bukan solar atau matahari seperti dalam sistem Gregorian, adalah tradisi masyarakat Arab. Sistem lunar ini juga diikuti dalam sistem penanggalan Yahudi.

Kembali kepada soal NU dan ru’yah: mestinya, jika NU mengikuti sunnah yang diajarkan Nabi secara kurang lebih konsisten, maka sistem penanggalan harus memakai ru’yah untuk bulan-bulan sepanjang tahun, bukan hanya untuk bulan Ramadan sahaja. Kenapa NU hanya memakai ru’yah untuk bulan Ramadan saja, dan tidak bulan-bulan lain, tidak pernah jelas alasannya. Saya sendiri tak pernah mendengar argumennya secara langsung dari para pakar falak dalam NU. Informasi mengenai ini juga tidak saya temukan dalam sebuah risalah pendek tentang ru’yah yang ditulis oleh Allah Yarham Kiai Rodli Soleh, salah satu pemikir falak dalam Lajnah Falakiyyah NU dulu. [Mohon dikoreksi, jika saya keliru].

Saya menduga, alasannya adalah berkaitan dengan kepraktisan saja. Tentu sangat mahal dan tidak praktis jika metode ru’yah dipakai sepanjang tahun. Karena penentuan awal Ramadan berkaitan dengan soal ibadah puasa, maka metode ru’yah ditempuh untuk tujuan ihtiyath, atau hati-hati, sebuah konsep yang sangat luas dikenal dalam lingkungan mazhab Syafi’i. Sementara metode hisab dipakai untuk bulan-bulan lain sebab di sana tidak ada peristiwa ritual atau peribadatan.

Yang kurang jelas bagi saya adalah bulan Dzul Hijjah atau Bulan Besar dalam istilah santri Jawa: apakah penentuan bulan itu memakai ru’yah atau tidak, sebab jelas dalam

— 90 —

«bulan itu ada peristiwa penting, yakni wuquf di Arafah dan Idul Adha, dua ritual yang sangat penting dalam Islam karena berkaitan dengan rukun atau pilar Islam yang kelima. Setahu saya, NU sendiri jarang—untuk tak mengatakan tak pernah—menempuh ru’yah untuk penentuan awal bulan Dzul Hijjah. Dalam hal ini, alasannya juga kurang jelas, kenapa demikian. Dugaan saya, mungkin karena even haji tidak berlangsung di Indonesia, maka tugas ru’yah kurang urgen dilakukan di negeri ini. Mungkin ru’yah dipandang sebagai tugas pemerintah Saudi ketimbang ormas-ormas atau pemerintah Islam di negeri lain.

Pada tahun-tahun awal berdirinya NU hingga beberapa dekade setelah itu, masalah ru’yah dan hisab memang menjadi bagian dari semacam politik identitas dan karena itu juga merupakan semacam titik selisih antara NU dan Muhammadiyah. Masalah ini menjadi bagian dari sejumlah masalah lain yang dipertengkarkan antara kedua ormas itu selama bertahun-tahun, antara lain soal ziarah kubur, talqin, tahlil, qunut, dll.

Setelah berlalu sekian generasi, saya melihat telah terjadi pergeseran sosial dan generasional yang cukup penting. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sudah tidak tajam lagi, dan mood di lingkungan aktivis kedua ormas itu justru menunjukkan keinginan untuk saling mendekat dan membangun hubungan yang harmonis. Corak berpikir yang dominan di dalam dua ormas itu dalam memandang masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan juga sama sekali tak menunjukkan perbedaan yang tajam. Dengan kata lain, garis demarkasi antara dua ormas itu tidak lagi setajam pada masa-masa lampau.

Dengan melihat perkembangan ini, saya memandang bahwa di lingkungan NU perlu ada upaya untuk meninjau masalah ru’yah. Dalam pandangan saya, metode ru’yah sudah sama sekali tak relevan dipakai saat ini, dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, metode ini sama sekali tak berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya “Islami”, meskipun metode itu diperintahkan secara eksplisit dalam sebuah hadis. Sebagaimana saya katakan di atas, tradisi ru’yah hanyalah tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada zaman itu. Karena itu, metode ini tak usah disucikan sebagai semacam doktrin keagamaan. Akan lebih proporsional jika ru’yah dipandang sebagai salah satu perkembangan dalam teknik penanggalan yang

— 91 —

«berlaku dalam sejarah penanggalan umat manusia. Karena ini hanyalah menyangkut soal teknik, maka ru’yah juga sebaiknya dipandang sebagai metode yang relevan dalam batas-batas waktu tertentu. Karena teknik penanggalan berkembang terus, maka ada baiknya jika metode baru dipertimbangkan, apalagi jika metode baru itu lebih baik dan bermanfaat, sesuai dengan prinsip yang berlaku di kalangan NU, “al-muhaafadzah ‘ala ‘l-qadiim al-shaalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadiid al-ashlah”.

Kedua, metode ru’yah memang dimantapkan sebagai metode standar dalam lingkungan mazhab Syafi’i, dan juga sebagian besar mazhab-mazhab lain. Dalam lingkungan mazhab Syafi’i, metode ru’yah dipandang sebagai satu-satunya cara yang bisa dipakai sebagai dasar penentuan tangggal oleh pemerintah Islam, sementara hisab hanya boleh diikuti oleh haasib atau pakar hisab secara pribadi, dan tidak boleh dikampanyekan kepada masyarakat. Inilah yang terjadi dulu pada Kiai Turaihan Kudus, salah satu ulama falak penting di lingkungan NU. Kiai Turaihan seringkali berlebaran tidak bersamaan dengan masyarakat NU lain, karena berpegangan “ijtihad hisab” yang ia percayai. Ulama-ulama NU yang lain dapat menolerir sikap Kiai Turaihan itu dengan berpegangan pada konsep fikih Syafi’i tersebut di mana haasib diberikan kelonggaran untuk mengikuti hisab yang ia percayai.

Tetapi, dalam pandangan saya, pendapat dalam mazhab bukan sesuatu yang suci. Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

Ketiga, metode ru’yah sangat rentan terhadap kemungkinan perpecahan dalam tubuh umat Islam, meskipun metode hisab juga mengandung kemungkinan yang sama. Tetapi kemungkinan perpecahan itu lebih kuat ada pada metode ru’yah. Karakter metode ru’yah adalah kemendadakan. Kemungkinan ru’yah hanya berlangsung beberapa saat saja di akhir bulan. Waktu untuk memverifikasi ru’yah juga berlangsung dengan singkat, sebab keputusan untuk mulainya tanggal baru harus segera diambil pada hari yang sama. Jika terjadi ru’yah yang berbeda-beda di sejumlah tempat dalam negara yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk menilai

— 92 —

«hasil ru’yah itu juga tidak cukup lama.

Bayangkanlah situasi berikut ini: Pada tanggal 29 Sya’ban, tim A, B dan C dikirim ke sejumlah tempat dan ditugasi untuk melakukan ru’yah. Meskipun tidak sering, tetapi kemungkinan adanya perbedaan hasil ru’yah tetap ada. Tim A melihat bulan, sementara tim B dan C tidak melihatnya. Hasil itu akan dibawa ke pusat untuk didiskusikan. Tetapi, waktu diskusi jelas tidak cukup lama, sebab keputusan harus diambil malam itu juga. Di sinilah kemungkinan lain bisa terjadi: sekelompok masyarakat yang mendengar bahwa tim A telah melihat bulan di sebuah tempat, boleh jadi mengikuti hasil ru’yah tim itu, walaupun keputusan di pusat tidak memakai hasil ru’yah tim tersebut. Yang terjadi akhirnya adalah perbedaan awal bulan Ramadan atau Syawwal. Kejadian ini berlangsung berkali-kali sepanjang pengetahuan saya. Waktu kecil dulu, tidak satu kali saya mendengar bahwa ru’yah sudah terjadi di Cakung, atau Aceh, atau Madura, sehingga sebagian masyarakat di daerah bersangkutan sudah berlebaran, sementara di tempat saya, Pati, lebaran belum terjadi. Peristiwa ini bahkan masih saja terjadi tahun lalu, di mana PWNU Jawa Timur berlebaran secara berbeda dengan keputusan resmi PBNU yang dikukuhkan oleh Depag RI.

Kemungkinan perselisihan ini lebih bisa dieliminir dalam kasus hisab, sebab hasil hisab sudah bisa didiskusikan jauh-jauh hari, bahkan sejak awal tahun, dan keputusan pun bisa diambil sejak awal, sehingga prediksi awal dan akhir Ramadan sudah bisa dilakukan sejak awal. Karakter kehidupan modern adalah adanya prediktabilitas untuk tujuan kepraktisan. Metode hisab lebih bisa menjamin prinsip prediktabilitas ini ketimbang ru’yah.

Keempat, dalam konteks masyarakat Amerika, bahkan masalah ru’yah atau dikenal di lingkungan masyarakat Muslim Amerika sebagai “moon sighting”, bisa menimbulkan masalah yang agak serius. Masyarakat Muslim di Amerika berjuang untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur nasional, atau sekurang-kurangnya menjadi hari libur di negara bagian di mana koloni masyarakat Islam cukup besar, seperti misalnya negara bagian Michigan. Tetapi upaya ini menghadapi sejumlah kendala, antara lain tidak adanya kepastian tanggal awal bulan Syawwal karena menunggu adanya bulan. Hari libur nasional di Amerika harus ditetapkan minimal setengah tahun sebelum kalender tahun baru dimulai, demi keperluan penanggalan di lingkungan

— 93 —

«kantor-kantor pemerintah, sekolah dan institusi pendidian, dan, tentu, bisnis. Jika tidak ada kepastian kapan Idul Fitri berlangsung, jelas hal ini akan menyulitkan pihak pemerintah untuk menyusun kalender kegiatan tahunan yang jelas membutuhkan semacam kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang tak bisa diberikan oleh metode ru’yah.

Kelima, Idul Fitri, dalam pandangan saya, adalah ritual keagamaan yang lebih mempunyai dimensi sosial dan karnaval, karena melibatkan perayaan sosial yang dalam konteks masyarakat Indonesia mempunyai makna yang sangat penting, bukan saja secara keagamaan, tetapi lebih-lebih lagi secara kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, keseragaman tanggal dalam merayakan event sosial itu sangatlah penting. Perbedaan tanggal Idul Fitri, walau bisa ditolerir oleh sebagian masyarakat Islam, jelas menimbulkan rasa saling curiga, kadang terpendam, kadang meledak keluar menjadi perselisihan publik yang mengganggu karnaval sosial dan kegembiraan masyarakat.

Dalam hal ini, saya rasa, kita tak bisa atau kurang relevan memakai argumen pluralisme, yakni pluralisme lebaran, dalam pengertian perbedaan tanggal Idul Fitri. Meskipun, tentu, saya tetap bisa menghargai pihak-pihak yang memakai argumen itu. Alasan-alasan yang saya kemukakan di atas jauh lebih kuat, dalam pandangan saya, ketimbang alasan pluralisme.

Dengan pertimbangan- pertimbangan ini, saya hendak mengatakan bahwa saatnya NU menempuh suatu reformasi penanggalan dengan mengadopsi metode hisab secara konsisten, atau metode penanggalan modern lain yang lebih bisa menjamin asas kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern. Toh, metode hisab tersebut sudah dipakai selama bertahun-tahun dalam menentukan awal bulan-bulan lain di luar Ramadan sepanjang tahun.[]

— 94 —

«26/11/2007

Amran dan Beberapa KekeliruanOleh Ulil Abshar-Abdalla

Kata-kata yang selalu saya ingat dari Roger Williams, seorang pejuang gigih kebebasan beragama di Amerika, adalah “iman yang dipaksakan akan terasa “bau” di hidung Tuhan”. Masyarakat tidak bisa dicegah untuk memeluk keyakinan apapun, asal keyakinan itu tidak menimbulkan kerusakan fisik yang melanggar hukum sipil yang ada. Inilah prinsip kebebasa beragama yang menurut saya konsisten dengan deklarasi Qur’an, “la ikraha fil al-din”.

Seseorang mengirimkan sebuah artikel yang ditulis oleh Amran Nasution, bekas wartawan Tempo dan Gatra,

tentang aliran sesat di Indonesia. Artikel ini dimuat oleh Majalah Hidayatullah edisi November 23. Secara keseluruhan, artikel Amran ini memperlihatkan cara berpikir yang sangat rancu. Ada tiga hal yang ingin saya kemukakan terhadap artikel ini. Pertama, Sdr. Amran menyebut sejarah kelam Eropa berkenaan dengan persekusi agama yang dilakukan oleh gereja Katolik. Menurut dia, sikap agama Katolik terhadap sekte-sekte yang menyimpang lebih kejam. Dia lalu mengatakan bahwa fatwa mati yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie adalah sesuatu yang sudah dikenal dalam sejarah Eropa.

Argumen ini tentu amat menggelikan. Sejarah kelam gereja Katolik justru menjadi pemantik lahirnya reformasi besar-besaran dalam agama itu dan akhirnya melahirkan agama Protestan. Sejarah kelam ini pula yang melahirkan sejumlah traktak filsafat politik penting mengenai pentingnya toleransi agama seperti yang ditulis oleh John Locke, John Stuart Mill, atau Roger William (di Amerika).

Eropa belajar dari sejarah kelam itu hingga sekarang. Hasilnya tentu bukan main: lahirnya negara sekuler yang melindungi kebebasan beragama. Atau tepatnya:melindungi agama dari intervensi negara (versi Roger William), dan melindungi negara dari intervensi agama (versi Thomas Jefferson). Kedua intervensi itu sangat buruk akibatnya baik bagi agama atau negara sendiri. Saat ini, di seluruh negeri Eropa dan Amerika (juga Kanada dan Australia) nyaris “mustahil”, sekali lagi nyaris mustahil, kita jumpai kasus sebuah sekte diberangus

— 95 —

«atau dirusak propertinya karena membawa ajaran yang menyimpang. Semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa berkembang bebas di negeri-negeri Barat. Di Amerika Serikat, misalnya, ada sebuah sekte besar dalam agama Kristen bernama Mormon yang jelas dari sudut ortodoksi Kristen bisa dianggap menyimpang jauh. Tetapi agama ini berkembang bebas, terutama di negara bagian Utah. Bahkan salah satu pengikutnya, yaitu Mitt Romney, pernah menjadi gubernur di negara bagian Massachusetts. Romney saat ini malah ikut menjadi calon presiden Amerika dari Partai Republik.

Sejarah kelam Eropa mestinya menjadi pelajaran bagi siapapun. Yang menyedihkan, umat Islam, sekurang-kurangnya seperti kita lihat di Indonesia saat ini, pelan-pelan justru sedang mengulang sejarah “buruk” itu. Pada saat umat Katolik dan Kristen sudah mulai meninggalkan sejarah “sesat-menyesatkan” itu, sekarang malah umat Islam mulai belajar mengulangi kembali. Tentu ini amat menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi bahwa hal ini terjadi pada agama yang selalu membanggakan diri dengan ayat “la ikraha fi al-din”, tidak ada paksaan dalam agama. Sikap yang selalu “dilantunkan” oleh Depag dan MUI bahwa Jamaah Ahamadiyah harus kembali ke jalan yang benar, yakni mengikuti ajaran Islam “mainsream”, misalnya, adalah jelas bentuk dari pemaksaan keyakinan, dan jelas pula berlawanan dengan ayat yang selalu dibanggakan oleh umat Islam itu. Sudah tentu, kalangan “ortodoks” Islam akan mengatakan bahwa kebebasan beragama seperti dikemukakan oleh ayat itu tidak berlaku “seenaknya” saja. Tafsiran ortodoks inilah yang dipakai sebagai salah satu argumen oleh Sdr. Amran. Mengenai ini, saya akan menanggapi dalam poin kedua berikut ini.

Kedua, Sdr. Amran mengemukakan sesuatu yang menarik. Saya akan kutip pernyataan dia selengkapnya: “Kalau Moshaddeg membuat agama baru yang tak dia kaitkan dengan Islam, apakah namanya Progresif, Liberal, atau Neocon, lalu dia susun ajarannya sesuka hati, pasti tak ada yang keberatan, apalagi membuat fatwa. Paling dia dianggap gila, atau orang salah jalan yang harus didakwahi. Sebenarnya, keberatan, protes, atau marah, ketika agama yang dia muliakan dihina, bukan monopoli ummat Islam, apalagi ummat Islam Indonesia”. Pandangan Amran ini, saya duga, merupakan cara berpikir standar kalangan Islam konservatif di Indonesia. Ada “kerancuan” dalam cara berpikir seperti ini:

— 96 —

«[a] Kita tak bisa mencegah siapapun untuk mengemukakan tafsiran atas agama Islam, termasuk mengubah syahadat, jumlah rakaat salat, dsb. Saya sendiri jelas tak setuju dengan tindakan seperti ini. Kalangan ortodoks bisa mengeluarkan “fatwa” bahwa tindakan semacam itu adalah salah dari sudut pandang ajaran Islam “mainstream”. Kalangan ulama berhak pula memberikan peringatan kepada umat agar hati-hati terhadap ajaran seperti ini.

Tetapi MUI atau siapapun tidak berhak melarang “sekte” seperti itu, atau memaksa mereka kembali kepada ajaran yang menurut MUI benar. Hak sekte tersebut untuk berkeyakinan seperti itu, tak bisa dicegah, karena dilindungi oleh konstitusi. Kata-kata yang selalu saya ingat dari Roger Williams, seorang pejuang gigih kebebasan beragama di Amerika, adalah “iman yang dipaksakan akan terasa “bau” di hidung Tuhan”. Masyarakat tidak bisa dicegah untuk memeluk keyakinan apapun, asal keyakinan itu tidak menimbulkan kerusakan fisik yang melanggar hukum sipil yang ada. Inilah prinsip kebebasa beragama yang menurut saya konsisten dengan deklarasi Qur’an, “la ikraha fil al-din”.

(b) Kalau kita mau sedikit menoleh sejarah ke belakang, pernyataan Amran ini juga amat janggal. Dilihat dari kaca mata Kristen, jelas agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saat itu melakukan “tampering” atau mencomot dari ajaran Kristen “dengan seenaknya” (memakai istilah Sdr. Amran) dan mengubahnya sesuai dengan keyakinan Nabi. Dari kaca mata Kristen, tindakan itu tak beda jauh dengan tindakan Ahmad Mushaddeq saat ini: mengubah ajaran agama lain dan menambahi atau mengurangi dengan seenaknya. Kalangan Kristen saat itu saya bayangkan akan mengatakan hal serupa seperti dikatakan oleh Amran saat ini terhadap aliran al-Qiyadah al-Islamiyah: “Wahai Muhammad, kalau kamu mau bikin agama baru silahkan, tetapi jangan mencampuri keyakinan kami.”

Karena alasan inilah, hingga jauh di abad pertengahan, dan bahkan mungkin di kalangan tertentu yang “fundamentalis” mungkin masih bertahan hingga saat ini, kalangan Kristen memandang Nabi Muhammad sebagai “impostor” atau nabi palsu. Mereka juga melihat agama Islam sebagai “versi yang distortif ” dari agama Kristen. Pandangan yang lebih positif melihat Islam sebagai “reformed Christianity”, sebagaimana agama Kristen sendiri merupakan “reformed Judaism”. Cara pandang Amran dan kalangan Kristen abad pertengahan itu

— 97 —

«berdiri atas asumsi yang sama.

Ketiga, isu terakhir dalam tulisan Amran yang ingin saya tanggapi adalah berkaitan dengan masalah “blasphemy” atau penghinaan atas agama. Amran mengatakan bahwa penghinaan atas agama juga tak diperbolekan dalam hukum positif yang berlaku di negeri-negeri Eropa dan Amerika. Artikel tentang “blasphemy”, kata dia, ada dalam hukum yang berlaku di negeri Inggris, misalnya. Pernyataan Amran ini memang benar. Memang, pasal tentang blasphemy ada dalam hukum yang berlaku di sejumlah negara-negara Barat. Sebagaimana kita tahu, sejarah hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang dianggap sebagai menghina agama Kristen di Eropa sangat brutal. Sejarah seperti ini tak perlu dicontoh di negeri Islam.

Tetapi, apa yang dikatakan oleh Sdr. Amran barulah separoh dari cerita. Di negeri-negeri Barat, pasal blasphemy itu hanyalah pasal ompong. Secara formal memang ada dalam hukum mereka, tetapi semkain lama semakin jarang dipakai. Ini terjadi, antara lain, karena suksesnya perjuangan kelompok-kelompok kebebasan berpendapat di sana.

Di Inggris sendiri, kalau saya tak salah, pasal soal blasphemy ini dipakai terakhir kali pada tahun 1977 dalam kasus Mary Whitehouse, seorang aktivis yang dengan gigih ingin menegakkan moralitas Kristen dalam ruang publik. Dia menuntut majalah Gay News yang menyiarkan sebuah puisi karya James Kirkup yang ia anggap melecehkan figur Yesus. Pengadilan akhirnya memenangkan Mary. Keputusan pengadilan ini mendapat tentangan yang keras dari kalangan “humanis” dan pejuang kebebasan sipil di Inggris. Setelah kasus itu, isu blasphemy tak pernah muncul kembali. Kalangan Islam hendak memakai pasal itu untuk melawan Salman Rushdie, seperti diceritakan dengan benar oleh Sdr. Amran dalam artikelnya. Usaha itu gagal karena perlawanan dari kalangan pejuang kebebasan sipil, seperti kelompok Article 19. Perlawanan ini jelas bukan diarahkan semata-mata kepada Islam, tetapi juga kepada agama Kristen, sebagaimana kita lihat dalam kasus Mary Whitehouse.

Di Amerika Serikat sendiri, pasal tentang blasphemy juga masih bertahan di UU beberapa negara bagian, antara lain negara bagian Massachusetts. Pasal ini dipakai untuk terakhir kali di Massachusetts pada tahun 1838 dalam kasus Commonwealth v. Kneeland. Setelah itu, pasal ini tak lagi dipakai. Kasus ini muncul untuk terakhir pada level

— 98 —

«pengadilan federal pada tahun 1952 dalam kasus Joseph Burstyn, Inc. v. Wilson. Dalam kasus itu, Mahkamah Agung menolak memakai pasal “blasphemy” karena melanggar prinsip kebebasan berpendapat.

Pasal penghinaan agama ini juga ada dalam KUHP kita. Kita, terutama para aktivis yang bergerak dalam isu kebebasan beragama, perlu dengan sungguh-sungguh memikirkan masalah definisi penghinaan agama ini. Pasal seperti ini persis seperti “hatzaai artikelen” atau artikel kebencian yang dulu kerap dipakai oleh rezim otoriter Suharto untuk memberangus kritik. Pasal seperti ini bisa dipakai oleh kalangan konservatif Islam untuk memberangus tafsiran-tafsiran yang dianggap melawan tafsiran kaum ortodoks.[]

— 99 —

«03/09/2007

Meninjau Ulang Teori KenabianOleh Umdah El-Baroroh

Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

“Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar.” Demikian pernyataan Ulil Abshar-Abdalla, mahasiswa Phd Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, 5 Juli 2007 lalu. Mantan kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengaku prihatin dengan kemandekan pembahasan soal ini. Menurutnya, wacana kenabian terakhir kali yang ditulis secara akademis oleh sarjana muslim adalah pada tahun 1980-an, oleh Fazlur Rahman. Setelah itu nyaris tak ada lagi peninjuan ulang tentang topik ini.

Sementara itu, dampak dari perdebatan tentang wacana ini telah menarik umat Islam dalam pertikaian yang berkepanjangan dan tak jarang berujung pada benturan fisik. Kasus terakhir yang membuat Ulil termotivasi untuk mendalami wacana ini adalah peristiwa kekerasan fisik terhadap Jamaah Ahmadiyah dalam beberapa tahun terakhir. Kelompok yang berasal dari Pakistan ini mengaku bahwa kenabian tidaklah berakhir dengan Nabi Muhammad. Kenabian terus berlangsung, meski tidak membawa syariat baru. Lantaran berpendapat seperti ini, kelompok Ahmadiyah menjadi bulan-bulanan massa yang mengaku dirinya Islam yang paling benar di Indonesia. Keprihatinan Ulil atas kasus tersebut juga mendorongnya untuk menulis topik ini dalam tugas akhir kuliah masternya di Universitas Boston.

Dalam diskusi yang digelar untuk mempresentasikan hasil tesisnya itu, Ulil menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan klasik soal kenabian. “Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas tema ini adalah Ibnu Sina”, jelasnya. “Dalam sejarah Islam, perdebatan

— 100 —

«tentang wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.”

”Wujud fisik ini tidak mungkin ada tanpa Nabi”, tandas Ulil menjelaskan pandangan kelompok kedua itu. Ibnu Sina, misalnya, mensinyalir adanya tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi.

Masih mengutip Ibnu Sina, Ulil menyatakan bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya,” jelas Ulil.

Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber dari wahyu Tuhan. Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya

— 101 —

«bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil, tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Bahkan agama Kristen yang nota bene sesama agama samawi pun tidak seserius Islam dan Yahudi dalam memperbincangkan soal kenabian.

Karena itu, dalam menulis tema kenabian ini, Ulil pun melakukan perbandingan antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam agama Yahudi. Salah satu tokoh Yahudi yang menarik perhatian Ulil adalah Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa. Setelah itu tidak ada lagi Nabi, kecuali kenabian-kenabian minor. Kenabian minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa Musa. Dan kenabian minor dalam pandangan Maimonedes ini bisa dicapai oleh siapa saja. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut dan siapapun bisa menjadi Nabi.

Tidak seperti biasanya, diskusi malam itu hanya menghadirkan nara sumber tunggal. Meski demikian, diskusi tetap mampu menarik perhatian audiens. Ruangan Teater Utan Kayu, tempat dilangsungkannya diskusi yang berkapasitas lebih kurang seratus orang, malam itu pun penuh sesak dipadati oleh peserta dari berbagai kalangan. Bahkan hingga sesi dialog berakhir, sebagian besar audiens tetap sabar mengikuti acara.

— 102 —

«06/05/2007

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.

Para ideolog Islam revivalis seringkali menggambarkan Islam sebagai agama “jalan tengah”, agama wasath, agama

moderat. Mereka memahami “jalan tengah” di sini sebagai berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem.

Yang menarik, kedua titik ekstrem itu, menurut mereka, diwakili oleh agama Kristen dan Yahudi. Yahudi mewakili satu titik ekstrem, yaitu kecenderungan formalisme-legalisme dalam beragama, sementara Kristen dipandang sebagai wakil dari titik ekstrem yang lain, yakni keberagamaan yang didasarkan atas ide cinta kasih, dan sama sekali mengabaikan aspek legal-formal dalam agama.

Pandangan semacam ini dikemukakan antara lain orang-orang seperti Sayyid Qutb dan diikuti oleh banyak sarjana Islam lain. Posisi yang ada di tengah-tengah ini mereka pandang sebagai salah satu keunggulan agama Islam mengatasi agama-agama lain.

Saya ragu apakah penggambaran semacam ini tepat mengenai sasaran. Selama ini, ayat yang selalu dipakai sebagai sandaran adalah surah al-Baqarah (2:143). Dalam ayat itu, istilah “ummatan wasathan” sering dimaknai sebagai “bangsa yang ada di tengah-tengah”. Dalam perkembangan terakhir, frasa itu malah langsung dikaitkan dengan istilah “Islam moderat”.

Menurut saya, pemaknaan semacam ini tampak anakronis, dalam pengertian memaksakan pengertian modern kedalam ayat Qur’an yang belum tentu sesuai dengan makna asal dari ayat bersangkutan.

Hal itu sama saja dengan memaknai kata “hizb” yang ada dalam Qur’an sebagai “partai”, sesuatu yang sama sekali tidak bisa diterima, karena istilah partai adalah istilah modern yang sama sekali asing dalam konteks pewahyuan Qur’an.

— 103 —

«Lepas dari itu, hal yang menarik adalah pengertian Islam sebagai agama yang ada di antara dua ekstrimitas, Yahudi dan Kristen. Pengertian ini kurang meyakinkan dengan pelbagai pertimbangan:

(1) Jika Islam disebut sebagai jalan tengah, tentu pertanyaan yang patut diajukan adalah Islam yang mana yang memenuhi citra seperti itu. Kita tahu bahwa Islam mengejawantah dalam pelbagai bentuk. Meskipun umat Islam selalu dengan gigih mengatakan bahwa Islam adalah satu, tetap saja secara empiris Islam memiliki pelbagai bentuk.

Jadi, Islam sebagai agama “wasath” atau jalan tengah itu Islam yang mana? Jika memakai contoh yang karikatural, jelas sekali Islam sebagaimana dicontohkan oleh Osamah bin Ladin sangat sulit disebut sebagai agama jalan tengah.

(2) Lebih jauh lagi patut juga dipersoalkan Kristen dan Yahudi yang mana yang dianggap mewakili dua titik ekstrem itu. Sebab, kita semua tahu, sebagaimana Islam mempunyai banyak wajah, begitu juga dalam kedua agama tersebut juga terdapat banyak kecenderungan. Corak keberagamaan yang legal-formalistis bukan saja terdapat dalam Yahudi, tetapi juga ada Kristen.

(3) Yang lebih penting lagi adalah juga mempertanyakan kembali: apakah betul Islam benar-benar berada di antara dua titik ekstrem? Jika agama Yahudi dianggap sebagai representasi dari agama yang secara keras menerapkan hukum, bukankah Islam pelan-pelan juga menjadi agama yang makin mirip seperti itu, yakni makin cenderung “halakhic”, maksudnya makin legalistis?

Bukankah kajian fikih mendapatkan porsi yang terlalu besar dalam Islam? Bukankah diam-diam fikih menjadi standar kesalehan dalam beragama di kalangan umat Islam saat ini?

Jika dilihat secara lebih cermat, kajian atas hukum/fikih Islam jauh lebih rumit dan bertakik-takik dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Dengan kata lain, tekanan atas dimensi hukum dalam modus keberagamaan jauh lebih kuat di dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Jika demikian, mana yang lebih ekstrem, Yahudi atau Islam?

(4) Contoh yang selalu dipakai untuk menunjukkan sikap moderat Islam adalah soal hukum cerai. Dalam masalah ini selalu dikatakan bahwa Islam mengambil jalan tengah: tidak melarang cerai sama sekali, seperti dalam Kristen, tidak

— 104 —

«pula membolehkan cerai secara sembarangan seperti dalam sebagian tradisi pra-Islam di Arab. Cerai diperbolehkan oleh Islam tetapi dengan “caveat” bahwa hal itu adalah tindakan halal yang paling dibenci Tuhan.

Meskipun Islam patut diberikan apresiasi karena mengambil sikap yang realistis dalam soal cerai ini, tetapi mengambil kasus cerai sebagai contoh menunjukkan moderasi Islam jelas kurang proporsional, sebab “corpus” hukum Islam begitu kaya dan rumit, dan tidak seluruh hukum Islam bisa dikatakan “moderat”.

Beberapa, atau bahkan banyak sekali hukum Islam yang bersifat ekstrem dan kaku. Inilah yang menjadikan alasan kenapa sejumlah kelompok Islam bersikap kaku. Contoh yang sederhana adalah soal hukum jabat tangan dengan seorang perempuan. Meskipun saya menghormati pandangan sebagian kalangan Islam yang beranggapan bahwa menurut Islam laki-laki tidak diperbolehkan berjabat-tangan dengan perempuan non-muhrim (bukan kerabat dekat yang masih ada hubungan waris), tetapi saya tetap tidak bisa memahami sikap seperti itu.

Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.

Hadis yang melarang jabat tangan seorang perempuan sama saja dengan hadis yang mengatakan bahwa yang layak menjadi menjadi imam (kepala negara) adalah suku Quraish: dua-duanya harus ditafsirkan secara kritis dalam konteks zaman ini.

Masalah haramnya jabat tangan dengan perempuan ini memang kelihatan sepele, tetapi menjadi masalah yang serius karena sekarang tampaknya makin banyak umat Islam yang mengikuti pandangan tersebut. Tak kurang Ketua Umum MPR kita adalah pengikut pandangan ini. Bahkan kesalehan seorang Muslim juga cenderung diukur dengan standar yang seperti ini.

Jika contoh cerai menunjukkan komoderatan Islam, contoh jabat tangan justru menunjukkan keekstriman Islam. Jadi, betulkah Islam agama jalan tengah?

— 105 —

«26/02/2007

Sekularisme SukarelaOleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang mengherankan, di tengah bangkitnya kesadaran beragama kalangan Islam saat ini, “sekularisme sukarela” justru makin luas berkembang. Adalah suatu paradoks yang mencengangkan kalau di satu pihak umat Islam “gembar-gembor” bahwa Islam agama yang memberi solusi atas semua hal, lengkap (syamil, kamil, mutakamil), tapi di pihak lain justru mengabaikan soal-soal publik yang sangat mendesak seperti soal penanganan kota.

Dalam kenyataan, kita seringkali melihat kesenjangan antara apa yang diucapkan umat Islam dengan apa yang

mereka lakukan. Ini bukan informasi baru sama sekali. Yang baru adalah contoh yang akan saya berikan.

Selama ini, umat Islam mencurigai konsep sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama dari politik, atau lebih luas lagi, antara agama dan kehidupan publik. Tapi jika kita melihat tindakan umat Islam sendiri, mereka justru mempraktekkan sekularisme itu tanpa mereka sadari. Tindakan ini dilakukan bukan saja oleh kalangan awam, tetapi kalangan elit Islam, lewat retorikanya dalam membenci sekularisme.

Marilah kita tengok contoh berikut. Karena masih hangat dalam ingatan publik, saya akan mengambil contoh yang berkaitan dengan soal banjir. Penanganan banjir jelas mengandaikan adanya pelbagai faktor yang saling berkaitan, mulai soal tata kota, kebijakan kependudukan, rancangan pemukiman, peruntukan lahan, hingga aspek-aspek yang menyangkut dimensi mental dan kebudayaan.

Sikap-sikap mental masyarakat dalam menghadapi soal ruang, misalnya, tak kalah menentukan dalam penanganan banjir. Legislasi saja tak memadai. Sebab kota adalah pemukiman berbudaya, bukan sekadar tempat tinggal untuk mencari nafkah. Kota bukan sekadar “sapi perah”, tetapi “al-madinah” atau polis yang beradab.

Yang menarik adalah sikap tokoh-tokoh Islam terhadap masalah kota ini. Selama ini, jika perdebatan menyangkut soal jilbab atau perjudian, mereka begitu semangat menanggapinya, sebab dua hal itu memang jelas-jelas masuk wilayah “Islam”, dalam pengertian adanya aturan tekstual

— 106 —

«kitab suci mengenai masalah tersebut.

Tapi begitu menyangkut masalah yang sama sekali tak disinggung Kitab Suci (Quran atau Hadis), misalnya soal rancang bangun kota yang baik dan “nggenah” sehingga anti-banjir, kita tak mendengar suara tokoh-tokoh Islam. Secara tak langsung, mereka mengatakan bahwa ada wilayah yang jelas berkenaan dengan agama (baca: Islam), dan ada wilayah yang sama sekali di luar pembicaraan Islam.

Soal jilbab adalah soal Islam sebab ada aturan yang jelas (menurut mereka) dalam Kitab Suci, sementara penanganan banjir adalah di luar wilayah agama, sebab tak ada ketegasan mengenai hal itu dalam Kitab Suci. Jika pun ada hal yang berkenaan dengan soal itu di dalam Kitab Suci, maka sifatnya tak langsung, hanya tersurat.

Sikap semacam ini adalah sekularisme itu sendiri, dalam bentuknya yang lain. Saya menyebutnya sebagai “sekularisme sukarela” (untuk mengartikan “self-secularizing”). Sikap tokoh-tokoh Islam yang kurang menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap soal tata-kota dengan anggapan kurang langsung berkenaan dengan Islam, jelas mengandaikan adanya wilayah agama dan non-agama. Dengan kata lain, ada wilayah di mana agama punya wewenang, dan wilayah lain di mana agama sama sekali tak punya wewenang yang bersifat langsung.

Dualisme wilayah semacam ini terjadi pada banyak kasus, dan kesadaran mengenai hal ini bukan tak ada di kalangan intelektual Muslim. Contoh yang kerapkali didiskusikan adalah dualisme antara ilmu-ilmu agama dan ilmu sekuler. Menyadari bahwa dualisme itu sama sekali tak ideal, banyak intelektual Muslim yang mengusahakan integrasi antara kedua wilayah itu. Saya sendiri punya kritik mendasar atas “proyek integrasi” itu, tetapi hal itu di luar pokok pembicaraan ini.

Yang ingin saya tunjukkan adalah kemenduaan sikap umat Islam dalam menghadapi sebuah konsep. Suatu konsep kadangkala disangkal pada level retorika, tapi diterima tanpa suatu keberatan dalam praktek.

Yang mengherankan, di tengah bangkitnya kesadaran beragama kalangan Islam saat ini, “sekularisme sukarela” itu justru makin luas berkembang. Adalah suatu paradoks yang mencengangkan kalau di satu pihak umat Islam “gembar-gembor” bahwa Islam agama yang memberi solusi atas semua hal, lengkap (syamil, kamil, mutakamil), tapi di pihak lain

— 107 —

«justru mengabaikan soal-soal publik yang sangat mendesak seperti soal penanganan kota.

Sumber utama masalah, saya kira, karena lemahnya dimensi kemanusiaan dalam pemahaman Islam yang berkembang saat ini. Hilangnya dimensi kemanusiaan itu menimbulkan sikap yang amat mengherankan, yakni bahwa ajaran agama ditaati semata-mata kerena ia adalah perintah Tuhan. Jika suatu masalah tak punya ketentuan jelas dari Tuhan, meski menyangkut kepentingan kemanusiaan yang luas, maka umat Islam diam saja. Jika pun ikut bicara, tapi tidak dengan derajat semangat yang sama seperti dalam kasus-kasus yang jelas-jelas bersifat “Islam”.

Untuk mengatasi sikap mendua ini, sejumlah langkah penting harus dilakukan. Pertama, umat Islam harus berani melakukan “lompatan paradigmatik” dengan memandang seluruh ajaran agama yang berkaitan dengan wilayah sosial adalah terkait dengan pertimbangan kemanusiaan. Ajaran-ajaran itu menjadi penting bukan semata-mata karena Tuhan mengatakan demikian, tapi karena secara kemanusiaan ajaran itu relevan.

Jika karena suatu perkembangan sejarah, pertimbangan kemanusiaan berubah, maka ajaran itu juga harus diubah. Hanya Tuhan sendiri yang tak berubah. Ajaran-ajaran Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri, sehingga tak kebal terhadap hukum perubahan. Dalam perubahan itu, yang menjadi pokok pertimbangan adalah kepentingan kemanusiaan. Karena kepentingan kemanusiaan terus berubah, dengan sendirinya ajaran juga harus berubah.

Kedua, sudah tentu perubahan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Suatu perubahan mengarah kepada cita-cita sosial tertentu. Yang tetap dalam suatu agama adalah cita-cita yang menjadi semacam pemandu arah perubahan dalam masyarakat itu. Hukum atau ketentuan legal-formal harus ditundukkan kepada cita-cita itu, bukan sebaliknya. Cita-cita utama Islam, dalam pandangan saya, ada dua: terciptanya keadilan pada level masyarakat dan terlindunginya aspek kebebasan pada level individu.

Kecenderungan agama dalam masyarakat yang kian berorientasi pada hukum dan fikih sekarang ini jelas membahayakan masa depan Islam sendiri. Yang mengherankan, “fikihisme” atau kecenderungan legalistik dalam beragama yang dahulu berkembang luas di kalangan

— 108 —

«yang disebut “Islam tradisional” itu, dulu pernah menjadi sasaran kritik tajam kaum pembaharu Muslim awal abad ke-20. Fikihisme itu sekarang justru berkembang lagi di kalangan Muslim perkotaan, termasuk kalangan yang selama ini disebut “modernis”. Ini jelas kemunduran dilihat dari segi cita-cita kaum reformis Islam dahulu.

Ketiga, jika pada level masyarakat kita perlu menganjurkan pendekatan keagamaan yang makin mengaitkan antara ajaran agama dengan konteks kemanusiaan, maka pada level individual, penghayatan agama yang mendalam dan “genuine” juga perlu dikembangkan. Sebagaimana dikatakan oleh banyak sarjana Muslim, masyarakat Muslim adalah masyarakat etis (al-mujtama’ al-akhlaqi/al-qimi) dalam pengertian kesadaran nilai-nilai moral yang diajarkan Islam tertanam dengan mendalam di sanubari mereka.

Masyarakat etis mengahayati agama bukan karena “paksaan hukum”, tapi karena keinsafan mendalam dan bersifat sukarela. Saya dulu pernah melontarkan gagasan pentingnya “hukum nurani”, bukan hukum legal-formal dalam beragama. Hukum legal-formal yang bersifat positif berlaku pada wilayah publik. Dalam wilayah agama, yang berlaku adalah “hukum nurani” yang mengandaikan adanya kedewasaan nurani dan akal sehat.

Jika titik tumpu keberagamaan dalam Islam terus-menerus diletakkan pada level hukum (fikih), maka yang timbul adalah “infantilisme moral” atau sikap etis kekanak-kekanakan. Umat Islam harus didorong menuju “kedewasaan moral” melalui penghayatan agama yang mendalam, penuh integritas, mandiri, dan bertanggungjawab.

Dalam agama, hukum pada akhirnya harus diletakkan pada nurani, bukan ditanyakan kepada otoritas eksternal seperti ulama atau ustad. Itulah agama yang “genuine”. Sekian, semoga bermanfaat.

— 109 —

«13/11/2006

Uluran Tangan WattOleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya baru dengar kalau Prof. Montgomery Watt meninggal, sebagaimana antropolog Amerika, Clifford Geertz, dari seorang teman. Saya sedih mendengar kabar ini. Sudah lama saya ingin menulis sebuah buku tentang pendekatan yang dipakai oleh Montgomery Watt dalam mengkaji Islam. Entah kapan keinginan itu terlaksana, saya tidak tahu.

Saya baru dengar kalau Prof. Montgomery Watt meninggal, sebagaimana antropolog Amerika, Clifford Geertz, dari

seorang teman. Saya sedih mendengar kabar ini. Sudah lama saya ingin menulis sebuah buku tentang pendekatan yang dipakai oleh Montgomery Watt dalam mengkaji Islam. Entah kapan keinginan itu terlaksana, saya tidak tahu. Saya menggemari buku-buku Watt sejak lama. Studinya terhadap sirah atau biografi Nabi sangat menarik. Sebagai seorang Muslim, saya melihat Watt menulis sejarah kehidupan Nabi dengan semangat bersahabat.

Seluruh buku tentang Islam yang ditulis Watt terbit dari semangat yang sama, yakni ingin mengulurkan tangan persahabatan ke dunia Islam. Watt melihat Islam dengan semangat ekumenis, kalau istilah ini boleh dipakai. Salah satu kalimat yang selalu saya ingat dari Watt adalah ketika ia mengatakan di What is Islam?: jika Islam berarti ketundukan kepada suatu kebenaran ultim, kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran itu, maka anda boleh menyebut saya sebagai Muslim (tentu dalam esensi). Saya tak ingat persis kalimatnya, tetapi kira-kira begitu.

Kajian Islam di Barat memang terus berkembang. Semula berkembang sebagai bagian dari polemik melawan Islam, kemudian berkembang menjadi salah satu “alat” untuk mendukung dominasi atas dunia Islam pada masa kolonialisme, dan sekarang berkembang lebih jauh sebagai bagian dari usaha masyarakat Barat untuk membangun saling pengertian antar kebudayaan umat manusia.

Watak kajian Islam di Barat kian lama kian simpatik terhadap dunia Islam, sementara konsepsi populer di dunia Islam tentang “orientalisme” (yaitu kesarjanaan Barat tentang dunia Timur, terutama Islam) stagnan, tetap tak berkembang.

Saya sungguh sedih melihat kontras antara dua hal ini:

— 110 —

«Sementara Barat maju dengan pesat lewat kajian tentang Islam dengan semangat yang kian simpatik, di dunia Islam sendiri nyaris tak ada perkembangan apapun berkaitan dengan usaha umat Islam untuk secara akademik mengkaji kebudayaan dan agama Kristen dengan semangat serupa.

Pada level yang sedikit populer, kontras ini kian menyedihkan. Sementara di pihak Barat lahir “penulis populer” seperti Karen Armstrong yang menulis beberapa buku yang simpatik tentang Islam dan sejarah Nabi Muhammad, di pihak Islam sendiri kita tak menemuka upaya serupa. Sementara banyak umat Islam yang riang-gembira karena melihat ada seorang mantan biarawati (yakni Armstrong) menulis dengan simpatik tentang Islam, mereka sendiri lupa bahwa dari kalangan Islam tak ada upaya yang setimpal terhadap Kristen.

Saya sedih karena karya tentang Kristen dari pihak Islam yang populer di level akar rumput adalah buku-buku “polemik murahan” tulisan Ahmad Deedat dan buku-buku sejenis lainnya.

Tentu, sikap-sikap yang sinis terhadap Islam di Barat masih ada dan tetap bertahan. Sebagaimana sikap itu juga masih mengakar kuat di kalangan Islam. Tetapi, upaya-upaya untuk mengulurkan tangan dari pihak Barat terhadap dunia Islam kurang mendapat perhatian yang cukup, antara lain seperti karya-karya Montgomery Watt ini.

Dengan mengatakan ini, bukan berarti Watt tidak mengemukakan observasi yang kritis terhadap Islam. Watt terlibat dalam penerjemahan sirah Nabi yang termuat dalam karya raksasa Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Dalam pengantar atas terjemahannya itu, Watt mengemukakan pandangan yang kritis terhadap sumber-sumber awal sejarah Nabi (baca “The History of al-Tabari: Muhammad at Mecca”, vol. VI). Tetapi kritisisme Watt ini tetap dalam semangat besar untuk mengkaji Islam secara simpatik.

Harapan saya, semoga uluran tangan Watt ini disambut dengan rintisan yang setimpal dari pihak Islam. Selamat jalan, Prof. Watt. []

— 111 —

«04/09/2006

Masjid dan Peradaban yang MerosotOleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Kalau mendengar khutbah di gereja-gereja Amerika yang disiarkan melalui TV (dikenal dengan istilah

“televangelisme”), saya merasa, mutu khutbah orang-orang “kafir” itu secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah di masjid-masjid kita di Indonesia. Retorika mereka sungguh sangat memukau.

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Sedih melihat masjid kita seperti itu. Rupanya penyakit itu bukan hanya menjangkiti Indonesia. Di Boston pun, ceramah dan khutbah Jumat sangat tidak bermutu. Sama saja.

Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban Islam, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jumat.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

— 112 —

«Saya tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jumat yang sarat demagogi dan caci-maki; apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot?

Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan?

Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Dengan Qur’an dan hadis, umat Islam merasa telah “unggul” di atas umat-umat lain. Kitab Suci kita anggap kanon atau

— 113 —

«Kanon dengan “K” besar. Padahal setiap bangsa mempunyai kanon-nya sendiri-sendiri. Bangsa yang sehat dan maju adalah mereka yang terus-menerus melahirkan kanon, tanpa henti, tidak melulu mengandalkan kanon yang mereka anggap “suci” dan menutup segala kanon. []

— 114 —

«30/07/2006

Bush, Israel, dan HezbollahOleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini.

Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk mempertahankan diri

dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini.

Pertama, statemen itu seolah-olah mengandaikan bahwa Israel adalah negeri lemah yang terancam oleh negeri-negeri kuat di sekitarnya. Kita semua tahu, kekuatan militer Israel, plus dengan arsenal nuklir yang dimilikinya sekarang (dan tak pernah dipersoalkan oleh Amerika atau negeri-negeri Barat yang lain), tidak mungkin dikalahkan oleh seluruh negara Arab saat ini. Seluruh perang Arab-Israel selama ini selalu dimenangkan oleh Israel. Seluruh diplomasi tentang konflik Palestina-Israel, entah dalam forum PBB atau forum-forum lain, selalu menguntungkan Israel. Pihak pecundang selalu adalah bangsa Palestina dan Arab. And with all this in mind, how could the President say that Israel has a right to defend itself as if Israel is at the losing end in the race?

Kedua, kalau Israel sebagai “super power” di Timur Tengah mempunyai hak untuk membela diri, bagaimana dengan bangsa Palestina yang lemah? Statemen Presiden Bush itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita harus memahami tindakan “brutal” Israel, sebab negara ini sedang dalam posisi diserang. Jika logika ini dipakai, maka mestinya logika serupa harus dipakai untuk memahami tindakan bangsa Palestina yang selama ini secara tidak adil disebut sebagai “terorisme”. Kalau negeri Anda dicuri dan diduduki bangsa lain, dan anda tidak punya kekuatan untuk melawan, apakah Anda harus diam? Jika Israel yang mempunyai kekuatan militer luar biasa boleh melakukan serangan brutal ke sebuah negaara (baca: Lebanon) hanya karena dua tentaranya diculik oleh kekuatan kecil seperti Hezbollah, kenapa bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh Israel tidak mempunyai hak serupa? Apakah keadilan hanya milik Israel? Bukankah metode yang disebut “terorisme” yang dipakai oleh bangsa Palestina dalam dua intifadah juga pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi

— 115 —

«menjelang berdirinya negara Israel di 1948?

Ketiga, jika Hezbollah selama ini dituduh sebagai “proxy” Suriah dan Iran untuk berperang melawan Israel, bukankah Israel juga semacam “proxy” dari AS untuk mempertahankan kepentingannya di Timur Tengah? Kenapa yang boleh punya “proxy” hanya Amerika? Kenapa keududukan Israel sebagai “proxy” tidak pernah disebut-sebut? Kalaulah Hezbollah dituduh menerima pasokan senjata dari Iran, bukankah Israel selama ini menerima pasokan senjata yang nyaris tanpa batas dari Amerika? Baru-baru ini, setelah konflik Lebanon pecah, “tiba-tiba” Israel memperoleh pasokan “misil dengan presisi tinggi” dari Amerika, dengan alasan bahwa itu adalah realisasi dari perjanjian penjualan senjata antara AS dan Israel yang sudah diteken sebelumnya. Tetapi, kenapa “delivery”-nya persis pada saat Israel terlibat dalam konflik sekarang ini? Bukankah ini menunjukkan bahwa AS memberikan bahan bakar buat konflik di kawasan ini?

Keempat, jika Hezbollah dikritik karena menculik dua pasukan Israel, kenapa tindakan Hezbollah ini tidak dikaitkan dengan “retaliasi” atas tindakan Israel yang menawan sejumlah politisi Lebanon selama bertahun-tahun tanpa “due legal process”? Samir Qunthar, salah satu politisi Lebanon itu, ditawan oleh Israel selama 27 tahun tanpa proses peradilan. Memang kita boleh tidak setuju dengan cara yang dipakai oleh Hezbollah, tetapi siapapun tahu, Israel selalu tidak mau tunduk pada bahasa diplomasi. Dia hanya tahu bahasa senjata. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini?

Saya mengagumi Amerika sebagai bangsa dan peradaban, sebagai negeri yang men-champion nilai-nilai kebebasan. Tetapi saya tak tahan melihat hipokrisi yang dipraktekkan oleh pemerintah AS dalam menyelesaikan masalah di Timur Tengah saat ini. []

— 116 —

«28/07/2006

Nasib Demokrasi di Timur TengahOleh Ulil Abshar-Abdalla

Dalam kasus serangan Israel yang terakhir ke Lebanon, Presiden Bush menyatakan di sela-sela pertemuan negara-negara G-8 di Rusia, Israel mempunyai hak untuk mempertahankan diri atas serangan Hezbollah. Pernyataan itu dilihat dari rentang waktu yang panjang jelas amat aneh.

Opini ini dimuat di Kompas tanggal 26 Juli 2006

Proyek pendemokrasian Timur Tengah yang secara ambisius dilontarkan Presiden George W Bush dengan

menggulingkan Saddam Hussein dan menduduki Irak saat ini jelas gagal. Keadaan di Irak kian tidak terkontrol.

Alih-alih menjadi model untuk demokrasi seperti dikehendaki Amerika Serikat, kini Irak justru menjadi bumi semai yang subur untuk lahirnya “teroris”. Polarisasi antara Syiah dan Sunni jauh lebih rumit dari yang diperkirakan Washington.

Para pengambil kebijakan di Washington berbicara tentang remapping the Middle East, persis seperti kolonial Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 saat mereka melihat dunia seperti lembar peta yang bisa digaris-garis dan dibagi-bagi seenaknya.

Kenyataannya, “pendemokrasian” dan remapping itu melibatkan ribuan nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Bagi pengambil kebijakan di Washington, ribuan korban sipil itu dengan santai disebut collateral damage, korban tak disengaja, suatu eufimisme dalam kosakata militer AS sejak Perang Vietnam.

Serangan Israel atas Lebanon yang membabi buta (menurut pejabat militer Israel, serangan itu amat well-calibrated, terukur tepat), kiranya membuat sebagian besar warga Arab kian skeptis pada proyek pendemokrasian Timur Tengah. Yang dikehendaki AS tampaknya bukan sekadar pemerintahan yang “demokratis” di Timur Tengah. Mereka menginginkan nice guy seperti Kerajaan Saudi dan negeri-negeri teluk lain, “anak manis” yang mau tunduk pada kemauan AS dan Israel.

— 117 —

«Pemboikotan Israel dan AS atas pemerintahan Hamas yang memenangkan (saya tak suka istilah “memenangi”) pemilu yang demokratis di Palestina jelas menunjukkan Pemerintah AS dan Israel tidak sekadar ingin demokrasi.

Saya ragu apakah bagi Presiden Bush atau pejabat PM Ehud Olmert demokrasi di Timur Tengah adalah prinsip yang benar-benar mereka bela. Sebagaimana demokrasi bisa melahirkan pemerintahan yang mendukung gagasan-gagasan yang illiberal (sebagaimana dibahas Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, 2004), begitu juga, ia tidak mesti melahirkan pemerintah yang mau “tunduk manis” pada AS. Hamas adalah contoh yang amat baik. Pemerintah AS tampaknya tidak menghendaki hal ini terjadi. Karena itu, demokrasi bagi mereka bukan suatu “kebajikan politik” yang harus dibela tanpa syarat, tetapi hanya alat instrumental yang hanya punya nilai secara sekunder.

Dua syaratDemokrasi di Timur Tengah tidak bisa ditegakkan tanpa dua syarat. Pertama, dukungan populer atau masyarakat bawah. Di sini peran ajaran Islam yang menjadi faktor penting dalam membentuk pandangan publik di sana amatlah vital. Demokrasi sebagai sistem politik harus mempunyai jangkar kultural dalam tradisi agama yang mengakar di masyarakat Timur Tengah. Dengan demikian, demokrasi tidak bisa “ditanamkan” secara paksa dari luar atau “diimpor” dari Barat dan dipajang kepada publik di sana. Demokrasi harus berproses dari “dalam” meski faktor-faktor eksternal dan lingkungan internasional tetap berpengaruh. Home-grown democracy, demokrasi yang tumbuh di kebun sendiri, amatlah penting.

Impian Pemerintah AS untuk “mendemokrasikan” Timur Tengah agaknya sejak awal akan gagal karena dua alasan. Alasan pertama, demokrasi bukan “kebajikan politik” yang penting bagi Pemerintah AS. Ia hanya alat instrumental. Alasan kedua, demokrasi dipaksakan dari luar melalui perang, seperti di Irak. Retorika demokrasi juga datang belakangan setelah publik mulai mengetahui kebohongan argumen “senjata pemusnah massal” (weapon of mass destruction/WMD) yang diteriakkan Presiden Bush guna membenarkan invasi atas Irak.

Jika ditelaah secara mendalam, tak ada kontradiksi yang antitetikal antara Islam dan demokrasi, meski ada sedikit

— 118 —

«umat Islam yang menganggap demokrasi sebagai sistem yang “kafir”. Sebagian besar umat Islam memandang demokrasi sebagai nilai yang selaras dengan ajaran Islam. Karena itu, kurang pada tempatnya Pemerintah AS sibuk berkampanye untuk “menjual” demokrasi ke dunia Islam. Yang menjadi soal adalah sementara Pemerintah AS sibuk memasarkan demokrasi ke Timur Tengah, tindakan mereka selama ini justru tidak mendukung hal itu. Dukungan Pemerintah AS selama ini yang nyaris un-conditional terhadap rezim-rezim despotik di Timur Tengah adalah contoh yang baik. Sikap Pemerintah AS yang tak mau “berhubungan” dengan Hamas sebagai pemenang pemilu yang demokratis di Palestina adalah contoh lain. Sekali lagi, tindakan AS, terutama di bawah Presiden Bush saat ini, jelas menunjukkan, yang mereka kehendaki bukan demokrasi, tetapi sesuatu yang lain.

Konflik Israel-PalestinaMasalah kedua yang amat penting adalah konflik Israel-Palestina. Kampanye untuk memasarkan demokrasi di Timur Tengah akan terganjal terus jika Pemerintah AS tidak menunjukkan sikap yang “adil” terhadap bangsa Palestina. Masalah Palestina akan terus menjadi duri dalam daging dalam hubungan Pemerintah AS dengan dunia Islam. Selama ini, dunia Islam menyaksikan Pemerintah AS selalu memberi dukungan yang seolah tanpa syarat kepada Pemerintah Israel, seraya terus menekan Pemerintah Palestina agar mengikuti kehendaknya. Kemenangan Hamas dalam pemilu terakhir adalah “hukuman politik”, bukan saja bagi PLO dan faksi-faksi sekuler lain di Palestina, tetapi juga terhadap AS dan Israel yang tidak pernah memprediksi sedikit pun kemenangan ini akan terjadi.

Dunia Islam melihat ketidakadilan dipertontonkan setiap saat di Palestina. Sementara warga Yahudi dengan bebas, bahkan dianjurkan, untuk kembali dan tinggal di Israel, jutaan warga Palestina yang mengalami “eksodus” dan “diaspora” di mancanegara sama sekali tak diberi hak untuk kembali. Sementara Pemerintah Palestina terus diserimpung untuk membangun negara yang benar-benar berdaulat, Pemerintah AS memberi sokongan tanpa syarat kepada Israel. Sementara Israel tidak pernah diganggu gugat untuk memiliki arsenal nuklir, Pemerintah AS tanpa lelah memojokkan Iran karena ingin memiliki senjata yang sama (meski dengan demikian, saya tidak dengan sendirinya setuju dengan proyek nuklir di Iran).

— 119 —

«Dalam kasus serangan Israel yang terakhir ke Lebanon, Presiden Bush menyatakan di sela-sela pertemuan negara-negara G-8 di Rusia, Israel mempunyai hak untuk mempertahankan diri atas serangan Hezbollah. Pernyataan itu dilihat dari rentang waktu yang panjang jelas amat aneh. Apakah yang mempunyai hak untuk mempertahankan diri hanya Israel, sementara warga Palestina yang terlempar dari tanah airnya tak mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Masalah serius bagi AS adalah adanya asumsi, Palestina seolah selalu di pihak yang salah dan Israel akan selalu berbuat benar.

Dalam konstelasi semacam ini, saya kian skeptis, proyek pendemokrasian yang dilancarkan Pemerintah AS di Timur Tengah akan berhasil. Yang kini terlihat adalah kombinasi dua hal yang amat menjengkelkan, despotisme pemerintahan Arab yang terus didukung Washington, dan “pemaksaan” proyek demokrasi dari luar yang membuat warga di Timur Tengah kian mencurigai proyek itu sendiri.

Sekali lagi, tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Yang menjadi masalah adalah perasaan diperlakukan secara tidak adil oleh Pemerintah AS yang merata di dunia Islam saat ini. Gap yang lebar antara “dunia Islam” dan “Amerika” tidak bisa ditutup tanpa ada overhaul dan perubahan radikal dalam pola kebijakan luar negeri AS sendiri.

— 120 —

«02/07/2006

Alquran Sebagai Wahyu dan Data SejarahOleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya kira, kita perlu membuat pembedaan antara Alquran sebagai wahyu di satu pihak, dan Alquran sebagai data sejarah di pihak lain.

Saya kira, kita perlu membuat pembedaan antara Alquran sebagai wahyu di satu pihak, dan Alquran sebagai data

sejarah di pihak lain.

Alquran sebagai wahyu adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang tidak bisa diinterogasi secara “ilmiah”. Seorang muslim beriman bahwa Alquran, dengan satu cara: karena diwahyukan oleh Allah. Pada level ini, tampaknya kita relevan memakai perspektif “fideistis” yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard, filsuf Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu “lompatan”. Kita berani “melompat” tanpa didukung oleh bukti-bukti “ilmiah” dan lalu menyimpulkan bahwa benar adanya kitab kami diwahyukan oleh Allah.

Level berikutnya adalah Alquran sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tegah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada level inilah, Alquran bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya.

Kedua level itu selayaknya tidak dicampuradukkan. Interogasi “ilmiah” atas Alquran sudah selayaknya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, dan tidak selayaknya dipandang sebagai “pelecehan” pada iman. Pengkajian ilmiah atas Alquran juga tidak selayaknya dianggap sebagai usaha untuk memudarkan iman. Seorang muslim bisa tetap bertahan sebagai seorang beriman yang baik, tetapi pada saat yang sama melakukan interogasi dan pengkajian ilmiah atas Alquran.

Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengkajian ilmiah bersifat relatif, karena merupakan hasil dari kerja akal manusia yang terbatas. Ia mengandaikan sejumlah asumsi, dan dengan demikian bersifat kondisional dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari sana pun bisa dikoreksi oleh penelitian berikutnya. Sementara iman bersifat sebaliknya. Ia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat.

— 121 —

«Iman adalah unconditional submission (kepatuhan tanpa syarat).

Wilayah iman masuk dalam kajian yang secara longgar disebut sebagai “teologi”, sementara kajian atas agama dan kitab suci agama sebagai data sejarah masuk dalam wilayah yang disebut sebagai kajian agama (religious studies). Lahirnya disiplin “kajian agama” mengubah secara signifikan dan radikal cara pandang modern atas agama. (Untuk ini, ada tiga bahan bacaan penting yang layak dirujuk: Robert Cumming Neville, Religion in Late Modernity, Talal Asad, Genealogies of Religion, dan yang terpenting Tomoko Mauzawa, The Invention of World Religion). Agama, dalam kajian modern, tidak melulu dipandang sebagai sekumpulan dogma yang harus diimani, tetapi juga bisa dilihat sebagai fakta sosial sebagaimana fakta-fakta yang lain.

Sebetulnya, perkembangan semacam ini sudah ada benih-benihnya dalam tradisi Islam klasik. Kita mengenal kajian atas Islam sebagai “doktrin dan keimanan”, sebagaimana kita lihat dalam ilmu-ilmu tradisional: tafsir, hadis, kalam, tasawwuf, falsafah, dan sebagainya Tetapi, kita juga melihat kajian agama sebagai fakta sosial, meskipun kurang begitu berkembang dengan baik dalam sejarah intelektual klasik Islam. Kajian semacam itu bisa kita lihat dalam karya penting Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, misalnya. Al-Syahrastani bisa disebut sebagai perintis religious studies dalam Islam. Sayang sekali, kajian semacam ini kurang berkembang dengan baik di dunia Islam saat ini.

Ada perbedaan yang signifikan antara teologi dan religious studies. Yang pertama hendak menegaskan doktrin agama, sedangkan yang kedua hendak menyelidiki agama sebagai fakta sosial tanpa dibebani oleh iman atau tugas untuk mengkonfirmasi ajaran agama. Kesimpulan-kesimpulan yang muncul dalam religious studies bisa, dan bahkan kerap, berseberangan dengan kepercayaan dalam agama bersangkutan, meski tidak selalu demikian.

Perkembangan semacam ini kadang-kadang tidak diantisipasi oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap-sikap reaksioner yang berlebihan. Misalnya saja pada kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, ilmuwan yang melakukan “interogasi ilmiah” atas Alquran. Ia dituduh “kafir” karena kegiatan ilmiahnya itu. Saya melihat, kasus pengkafiran Abu Zaid paralel dengan sikap Gereja Vatikan yang memberangus pemikiran para perintis sains modern seperti Galileo pada

— 122 —

«zaman lampau. Wallahu a’lam bissawab.

— 123 —

«29/05/2006

Kenapa Kajian Islam Mandeg?Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg. Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan. Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Tetralogi “Kritik Akal Arab”-nya (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa.

Seorang teman meneruskan “undangan untuk makalah” (call for paper) dari International Institute of Islamic

Thought and Civilization (ISTAC), lembaga kajian Islam warisan Prof. Syed Naguib Alatas yang kini berafiliasi dengan International Islamic University, Malaysia. Lembaga ini akan mengadakan seminar internasional tentang warisan intelektual Ibn Khaldun (1332-1406) pada November akhir tahun ini.

Saya ingin sekali universitas Islam Indonesia mengadakan seminar seperti itu, untuk menggali kekayaan tradisi intelektual Islam klasik. Mungkin saya salah, tapi tampaknya kajian serupa di sejumlah universitas Islam dalam negeri kurang bergairah, kurang mencakup spektrum yang luas, dan kurang mengembangkan pendekatan kreatif.

Di Indonesia saat ini, jarang ada sarjana Muslim yang menguasai cabang-cabang tertentu secara mendalam dan konsisten. Di antara yang sedikit itu, ada Dr. Kautsar Azhari Noer (UIN Jakarta) yang konsisten mengkaji Ibn ‘Arabi. Ada lagi Dr. Mulyadi Kertanegara (UIN Jakarta) yang menguasai Ibn Sina dan filsafat Islam klasik. Ada lagi Dr. Muhammad Machasin (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji al-Qadli Abdul Jabbar, pemikir penting Muktazilah. Ada Dr. Amin Abdullah (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji Al-Ghazali, tapi kurang mengembangkan kesarjaan tentang al-Ghazali.

Itu nama-nama yang saya kenal. Mungkin masih banyak yang luput dari perhatian saya. Kita belum mengenal seorang yang mengkaji, misalnya, al-Ghazali dengan dedikasi tinggi dan pengetahuan yang mendalam seperti Dr. Sulaiman Dunya (Mesir) dan Dr. Michael Marmura (Kanada) yang baru-baru ini menerbitkan “Tahafut al-Falasifah” dalam edisi Inggris.

Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg.

— 124 —

«Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan. Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Tetralogi “Kritik Akal Arab”-nya (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa. Al-Jabiri bisa melakukan itu karena mengenal perkembangan teori-teori sosial dan humaniora mutakhir yang berkembang di Perancis. Dia bukan hanya mengerti teori, tetapi secara kreatif memakainya untuk menganalisis sejarah intelektual dan pemikiran serta praktek politik Islam.

Saya ingin menyebut cabang pengetahuan yang penting, yaitu ‘ulum al-Qur’an, ilmu Quran. Pengamatan saya, kajian ilmu Qur’an mandeg pada metode dan pendekatan klasik yang telah dikembangkan Al-Suyuthi dalam “al-Itqan”, al-Zarkasyi dalam “al-Burhan”, dan semacamnya. Karya-karya modern seperti yang ditulis Subhi al-Shalih atau Manna’ al-Qatthan, hanya repetisi dari pendekatan klasik dan tidak mengembangkan metode baru. Sarjana Muslim yang mengembangkan pendekatan baru dan kreatif dalam kajian Qur’an sangat sedikit. Di antaranya Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fareed Essack, Mahmoud Ayoub, dan Abdullah Said (baru-baru ini menerbitkan buku yang cukup penting, “Interpreting Qur’an”). Sayang, orang-orang ini dimusuhi pemikirannya di kalangan perguruan tinggi Islam.

Kemandegan kajian Islam di Indonesia hampir merata di semua cabang. Cabang-cabang “ortodoks” yang mestinya menjadi kajian unggulan pun, tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kajian fikih, ushul fikih, atau tafsir, juga tak ada terbososan yang penting. Baik di pesantren atau di perguruan tinggi, kajian-kajian itu tak menunjukkan perkembangan berarti. Setelah generasi Imam Nawawi Banten dari abad 19, hingga saat ini, belum pernah ada karya penting yang ditulis orang Indonesia, baik di bidang fikih atau ushul fikih. Tapi dalam tafsir, kita melihat geliat cukup menarik. Sekurang-kurangnya ada dua tafsir penting yang ditulis sarjana Indonesia dalam lima dekade terakhir, yakni tafsir al-Azhar Hamka, dan Al-Mishbah Quraish Shihab. Dari keduanya, tafsir Quraish layak dicatat karena sudah mencerminkan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Qur’an.

Di tengah-tengah kemandegan seperti ini, keadaan kian diperburuk oleh kecenderungan menghakimi pendapat yang

— 125 —

«berbeda, kadang-kadang sampai ke tingkat “pengkafiran”. Menurut saya, perkembangan seperti ini hanya akan membunuh kreativitas dalam perguruan tinggi Islam. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat “spesialis” dihakimi secara demagogis melalui “mimbar awam” seperti khutbah Jumat, ceramah-caramah di majelis taklim, atau lewat majalah-majalah populer seperti Sabili dan Hidayatullah.

Padahal, salah satu syarat penting perkembangan suatu kajian adalah otonomi yang cukup serta kebebasan akademik yang memadai. Jika universitas diintervensi oleh tekanan publik “beriman” karena mengembangkan pendekatan yang tidak ortodoks, atau suara-suara sarjana dihakimi semena-mena menurut standar “keimanan”, maka universitas akan mengalami impasse atau kemandegan. []

— 126 —

«08/05/2006

Masih Tentang AhmadiyahOleh Ulil Abshar-Abdalla

Setelah Menag meminta Ahmadiyah membentuk agama baru, sekarang Sekjen Depag, Faisal Ismail, membela pernyataan itu, bahkan terkesan “mengancam”. Departemen Agama, sekali lagi, amat mengecewakan. Dalam pernyataannya yang diceritakan kembali Detik.com, disebutkan, “Karenanya, Faisal khawatir dengan kelompok Ahmadiyah yang menolak membentuk agama baru. Sebab kekerasan dapat saja terjadi di kemudian hari”.

Setelah Menag meminta Ahmadiyah membentuk agama baru, sekarang Sekjen Depag, Faisal Ismail,

membela pernyataan itu, bahkan terkesan “mengancam”. Departemen Agama, sekali lagi, amat mengecewakan. Dalam pernyataannya yang diceritakan kembali Detik.com, disebutkan, “Karenanya, Faisal khawatir dengan kelompok Ahmadiyah yang menolak membentuk agama baru. Sebab kekerasan dapat saja terjadi di kemudian hari”.

Seolah-olah, jika tak membentuk agama baru, Ahmadiyah akan terus mengalami ancaman. Sekjen juga menyinggung Ahamdiyah Pakistan yang konon hidup aman karena mau menerima tawaran pemerintah untuk membentuk agama baru.

Ada sejumlah hal yang patut dipersoalkan di sini:

(1) Apakah perbedaan penafsiran atas suatu ajaran Islam (dalam kasus Ahmadiyah, perbedaan penafsiran atas isu nubuwwah atau kenabian), dengan sendirinya membuat suatu kelompok menjadi “sesat”, dan dengan dengan demikian kafir?

(2) Taruhlah, dalam standar MUI atau Depag, Ahmadiyah sesat dan kafir. Pertanyaan berikutnya: Apakah dengan sendirinya kelompok itu harus mendirikan agama baru yang terpisah dari Islam? Bukankah cara itu, mohon maaf, “lucu” dan tak masuk akal?

Dalam sejarah Islam, banyak kelompok yang dianggap sesat, bahkan dituduh kafir, tetapi mereka tidak pernah diminta mendirikan agama sendiri. Contohnya bertebaran dalam sejarah Islam. Kelompok Qadariyyah (yang percaya akan kebebasan kehendak), dianggap kafir oleh kelompok Suni

— 127 —

«ortodoks. Kelompok Syiah juga dianggap kafir oleh sejumlah kelompok Islam. Tetapi, mereka tidak pernah diminta mendirikan agama yang terpisah dari Islam.

Kaum filsuf juga dikafirkan beberapa kelompok Islam. Imam Ghazali yang hidup pada abad 11 M, mengkafirkan ajaran dua filsuf besar Islam, Al-Farabi dan Ibn Sina dalam tiga isu teologi. Tetapi, Imam Ghazali tidak pernah meminta mereka untuk mendirikan agama sendiri yang terpisah dari Islam.

Saya ingin “mendramatisir” contoh dengan contoh lagi. Dulu, prektek-praktek keagamaan NU dianggap kelompok reformis sebagai bentuk “syirik” atau menyekutukan Tuhan. Dalam Islam, tiada dosa lebih besar dari dosa syirik. Dus, dengan demikian, NU melalui praktek-praktek seperti itu, bisa dianggap terjatuh dalam kesesatan dan juga kekafiran. Jika logika Depag diikuti, maka NU harus mendirikan agama baru, sebab NU telah sesat dan kafir (dalam pandangan kalangan Islam lain).

(3) Tetapi, pertanyaan yang lebih serius adalah: Taruhlah Ahmadiyah mau menjadi agama sendiri (which is most unlikely) di luar Islam, apakah dengan sendirinya mereka bebas dari gangguan dan kekerasan? Apakah tidak ada kemungkinan setelah menjadi agama baru, mereka akan dipersulit untuk mendirikan masjid, seperti yang dihadapi umat Kristen sekarang?

(4) Pertanyaan yang juga perlu diajukan ke Sekjen Depag: Baiklah Pak Sekjen, Ahmadiyah bisa hidup aman di Pakistan karena mau jadi agama terpisah. Tetapi, ada kenyataan lain: Ahmadiyah juga bisa hidup aman di negeri-negeri Barat (Amerika dan Eropa), tanpa harus mengubah statusnya menjadi agama baru. Mereka bisa hidup tenang sebagai bagian dari umat Islam di negeri yang justru bukan Islam. Apa yang salah dengan negeri Islam, atau negeri berpenduduk mayoritas Islam, sehingga tidak bisa memberi perlindungan kepada kelompok-kelompok dalam Islam sendiri?

Saya sendiri bukan orang Ahmadiyah. Tetapi, saya melihat, soal Ahmadiyah menjadi batu ujian yang krusial bagi negeri kita sekarang: apakah betul negeri ini adalah negeri plural yang menjamin dan memberikan perlindungan kepada semua warganya, tanpa melihat paham yang dianutnya? Atau, negeri ini telah menjadi milik suatu “kelompok” yang coba memonopoli penafsiran agama berdasarkan pandangan tertentu, seraya memberangus paham dan penafsiran yang

— 128 —

«lain?

Jika umat Ahmadi tidak bisa hidup aman di Indonesia, logis kalau mereka mencari suaka ke negeri lain. Dengan demikian, mereka mengikuti teladan Nabi Muhammad. Bukankah Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah justru karena di tanah kelahirannya beliau tak menemukan kebebasan untuk berdakwah dan mempraktekkan agamanya sendiri?

Kalau Mekah tak menjamin kebebasan keyakinan, why not pindah ke Madinah? Kalau Indonesia tak menjamin kebebasan keyakinan, why not pindah ke Kanada atau Australia, atau lainnya?

Tapi, keputusan umat Ahmadi untuk mengajukan suaka ke negeri lain adalah tamparan “keras” buat negara, pemerintah, dan masyarakat Indonesia, sebab dengan demikian, terbukti Indonesia tak mampu menjamin kebebasan berkeyakinan warganya.

Saya percaya, kampanye untuk “menghancurkan” Ahmadiyah dilakukan kelompok-kelompok bervisi salafi-Wahabi yang punya pandangan eksklusif dan tidak toleran. Tampaknya, kampanye mereka sudah sedikit mencapai kemajuan. Jika Ahmadiyah bisa disingkirkan dari Indonesia, maka sukses itu akan mereka teruskan pada kelompok-kelompok lain yang selama ini mereka anggap sesat.

Jika pemerintah tunduk pada logika kaum salafi-Wahabi ini, maka itu jelas kemunduran luar biasa buat negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sekedar mengingatkan, barangkali ada yang sudah lupa: Negara Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama, bukan juga negara Islam. Titik. []

— 129 —

«19/03/2006

Kemurtadan yang Niscaya dan Globalisasi DakwahOleh Ulil Abshar-Abdalla

Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.

Pindah agama biasa disebut sebagai konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal. Konversi internal

adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspketif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula “fundamentalis” berubah jadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.

Dengan makin membludaknya pilihan-pilihan “pendekatan” dalam memahami agama (Islam, misalnya) saat ini, maka peristiwa konversi internal hampir merupakan kejadian yang lazim terjadi setiap saat. Seorang sosiolog agama dari Boston University, Peter Berger, bahkan menyebut salah satu ciri modernitas adalah munculnya gejala “heretical imperative”, gejala kemurtadan yang niscaya. Murtad di sini dimaknai menyimpang dari pandangan yang dominan dalam sebuah agama.

Sekarang ini, seseorang bisa dengan mudah menjadi “koki” agama untuk dirinya sendiri. Maksudnya, dia bisa meracik ramuan “agama” dari pelbagai sumber, entah kiai, buku, majalah, koran, atau ceramah di TV dan radio, lalu memasak bahan-bahan itu menjadi “menu” baru yang pas untuk dirinya sendiri.

Dalam satu aspek, dia bisa ambil dari Quraish Shihab, dari aspek lain kulakan dari Kang Jalal, sementara di aspek lainnya lagi bisa mencomot dari MUI, lalu bahan-bahan itu ia olah

— 130 —

«sendiri menjadi “model Islam baru” yang “customized” dan pas benar dengan ukuran hati dan pikiran dia sendiri. Semua orang, sekarang, makin cenderung memiliki agama yang pas buat dirinya sendiri, hasil dari racikan yang ia buat sendiri.

Bentuk-bentuk Islam yang sudah “cutomized” itu tak perlu disuarakan secara publik ke luar, tetapi umumnya tersimpan sebagai rahasia pribadi antara orang berangkutan dengan dirinya sendiri dan Tuhan. MUI tak meungkin berkuasa mendikte jenis Islam apa yang harus diyakini oleh masing-masing individu pada wilayah yang sangat privat ini.

Karena bahan bacaan yang makin meluas, atau pengalaman hidup yang baru, orang bisa mengocok kembali racikan yang ada, menambahkan racikan baru, membuang beberapa racikan lama yang sudah usang, lalu menciptakan Islam baru yang lain lagi dan lebih pas dengan dirinya yang sudah berubah itu. Dalam hal ini, ia telah melakukan proses “swa-murtad”, maksudnya, murtad dan menyeleweng dari “racikan Islam lama” yang ia ciptakan sendiri, menuju racikan baru yang lebih cocok.

Begitulah, proses itu berlangsung terus sepanjang hidup orang modern. Kita memasuki era “customized Islam”, era di mana telah terjadi heretical imperative.

Sementara itu, konversi eksternal terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain. Konversi internal jauh lebih sering terjadi ketimbang konversi eksternal. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam situasi yang sangat khusus.

Saya kira, agama yang paling bersemangat melakukan konversi eksternal saat ini adalah Kristen, terutama Kristen evangelis dengan beragam denominasi. Rangking kedua diduduki Islam, terutama Islam Wahabi yang didanai milyaran petro-dollar Arab Saudi. Rangking berikutnya adalah Budha.

Jarang orang memperhatikan bahwa agama Budha juga salah satu agama yang pesat perkembangannya di Barat saat ini. Yang menarik, penyebaran agama Budha di Barat, terutama di AS, tidak terkait dengan kegiatan proselitisasi yang agresif seperti kita kenal dalam Kristen. Agama Budha dipeluk orang-orang Barat justru sebagai lifestyle baru yang menggairahkan. Sebagaimana orang-orang dengan bergairah menyambut buku Da Vinci Code, begitu pula tingginya entusiasme mereka menyambut agama Budha, Dalai Lama, dan kebijaksanaan timur yang bersumber dari agama itu.

— 131 —

«Kita mengenal gejala yang disebut New Age di mana unsur-unsur agama Budha sangat berpengaruh di sana. Karena kejenuhan orang Barat terhadap agama-agama terorganisir seperti Kristen, agama Budha bisa menjadi alternatif yang menarik buat mereka, sebab agama ini (tidak semuanya, tetapi beberapa sekte di sana) tidak terlalu peduli dengan aspek kelembagaan.

Yang ditekankan adalah proses meditasi personal. Tidak ada “syariat” di sana. Yang ada adalah “laku” atau “tarikat”. Agama ini, diam-diam, berkembang pesat di dunia Barat, dan tampaknya lebih cocok dengan orang modern yang sudah lelah akan “institusi”.

Di negeri-negeri luar Eropa atau Amerika, kegiatan proselitisasi memang jadi masalah besar. Di Cina, dakwah Kristen mendapat rintangan dan tekanan luar biasa dari pemerintah komunis. Di India, reaksi atas Kristenisasi juga luar biasa keras. Di semua negara Timur Tengah, aktivitas Kristenisasi tak bisa berkembang dengan leluasa karena resistensi pemerintah atau masyarakat setempat. Di Asia Tenggara, seperti Burma, Vietnam dan Kamboja, Kristenisasi juga mendapat reaksi yang tak kalah keras dari masyarakat Budhis di sana.

Kristenisasi yang paling sukses di Asia terjadi di Korea Selatan. Bahkan, Korsel telah berhasil melahirkan gereja-gereja baru yang berbasis kultur Korea dan memunculkan genre Kristen baru yang boleh disebut “Koreo-Christianity”.

Secara umum, agama Kristen merosot total di Eropa, tapi mengalami re-invogorasi di negeri-negeri dunia ketiga, terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Agama Islam sendiri, sebetulnya, juga tak kalah agresif dalam kegiatan proselitisasi. Seperti yang telah saya sebut, Arab Saudi adalah negeri yang paling bersemangat mendakwahkan Islam model Wahabi ke seluruh penjuru dunia. Tetapi, banyak orang lupa, ada sejumlah proselitisasi Islam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok “swasta” atau organisasi-organisasi mandiri seperti Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh. Banyak yang tidak tahu, proses Islamisasi di Afrika terjadi dengan sangat sukses berkat dakwah yang dilakukan Jamaah Ahmadiyah dan Jamaat Tabligh.

Jika melihat gejala proselitisasi ini secara global, sesungguhnya kita sedang melihat proses makin intensifnya gejala dakwah agama dalam semua agama di tingkat dunia. Dengan

— 132 —

«mengecualikan sejumlah agama lokal yang sifatnya sangat terbatas, kita melihat semua agama saat ini melakukan proselitisasi dengan satu dan lain cara. Proses proselitisasi makin menjadi fenomena global. Globalisasi dakwah adalah gejala yang makin umum, dan sebetulnya merupakan bagian dari gejala globalisasi dalam makna yang luas.

Sebagaimana kita tak bisa menghindar dari “tempias” berita-berita yang disiarkan CNN; atau lebih tepatnya lagi, sebagaimana kita tak bisa menghindar dari Microsoft, begitu juga kita tak bisa menghindar dari gejala globalisasi dakwah.

Ulil Abshar-Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal

— 133 —

«05/03/2006

Ujian untuk Konstitusi KitaOleh Ulil Abshar-Abdalla

Kini, konstitusi kita sedang dalam ujian, terutama pasal yang menyangkut kebebasan beragama. Ujian itu datang dari kasus Ahmadiyah. Kita tahu, beberapa waktu terakhir ini jemaah Ahmadiyah di sejumlah daerah mengalami ancaman fisik, tempat ibadah mereka dirusak, dan hak-hak mereka untuk menjalankan keyakinan dalam ancaman serius. Nasib jemaah Ahmadiyah kian buruk karena adanya pendapat keagamaan yang dikeluarkan sebuah lembaga Islam yang menyatakan kelompok ini sesat. Aparat keamanan tampaknya kurang berhasil memberikan perlindungan kepada mereka.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 6 Maret 2006

Salah satu berkah besar reformasi adalah bangsa Indonesia kini mempunyai konstitusi baru setelah melalui empat

amandemen; konstitusi yang lebih sesuai dengan semangat demokrasi dan menjamin kebebasan sipil.

Salah satu pasal penting konstitusi itu adalah perlindungan bagi semua kelompok untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Pasal tentang jaminan kebebasan agama, istilah dalam tradisi Islam adalah salah satu qath iyyat atau dasar pokok yang pasti dan tidak boleh diganggu-gugat. Tanpa pasal seperti ini, runtuhlah seluruh alasan untuk membangun sebuah negara bernama Indonesia.

Kini, konstitusi kita sedang dalam ujian, terutama pasal yang menyangkut kebebasan beragama. Ujian itu datang dari kasus Ahmadiyah. Kita tahu, beberapa waktu terakhir ini jemaah Ahmadiyah di sejumlah daerah mengalami ancaman fisik, tempat ibadah mereka dirusak, dan hak-hak mereka untuk menjalankan keyakinan dalam ancaman serius. Nasib jemaah Ahmadiyah kian buruk karena adanya pendapat keagamaan yang dikeluarkan sebuah lembaga Islam yang menyatakan kelompok ini sesat. Aparat keamanan tampaknya kurang berhasil memberikan perlindungan kepada mereka.

Frustrasi karena nasib mereka kian buruk dan tak ada jalan keluar, jemaah Ahmadiyah (dari NTB) menempuh jalur politik dan mengagetkan pemerintah, minta suaka ke luar negeri!

— 134 —

«Ancaman semacam ini tampaknya akan terus berlangsung. Dalam skala berbeda, nasib Ahmadiyah juga dialami kelompok-kelompok agama lain. Beberapa kejadian, seperti perusakan gereja, menandakan jaminan kebebasan keyakinan di negeri kita sedang diuji.

Paradigma yang dipakai pemerintah untuk menangani masalah ini tampaknya out-dated, yaitu paradigma mengganggu keamanan, sementara masyarakat memakai paradigma penyesatan, yang intinya ketidaksediaan menerima kelompok lain yang berbeda pandangan.

Meski demikian, menurut saya, ancaman terhadap Ahmadiyah adalah yang paling serius. Masalah ini harus dipandang bukan sebagai masalah internal umat Islam semata, atau masalah partikular yang menyangkut kelompok Ahmadiyah. Ini adalah masalah besar dan mendasar, yakni perlindungan atas kebebasan keyakinan, karena itu menyangkut sendi-sendi dasar negeri kita.

ApologetikPemerintah tampaknya kurang mempunyai komitmen mendalam untuk menangani masalah kebebasan keyakinan. Nada pernyataan yang diberikan pemerintah selama ini cenderung apologetik atau defensif. Setiap ada kasus penyerangan atas jemaah Ahmadiyah, pihak keamanan dan pejabat selalu menyatakan, mereka telah berusaha maksimal, tetapi tak kuasa menangkal massa yang anarki. Dalam sejumlah kasus, pihak setempat bahkan, secara tak langsung, ikut dalam proses persekusi atas jemaah Ahmadiyah, misalnya ikut menandatangani surat kesepakatan yang diusulkan kelompok tertentu untuk menegaskan kesesatan jemaah Ahmadiyah.

Yang lebih serius adalah pernyataan sejumlah pejabat negara yang menegaskan, masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini kembali ke jalan yang benar atau mendirikan agama sendiri secara terpisah.

Pernyataan itu amat serius dan berdampak luas dalam kehidupan sosial-keagamaan di masa datang. Pernyataan itu bermasalah minimal dari dua sisi.

Pertama, negara turut campur dalam menentukan corak keyakinan warganya, sesuatu yang jelas berlawanan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan agama dan keyakinan. Visi negara Indonesia yang dikehendaki pendiri

— 135 —

«negara ini adalah menegakkan negara yang melindungi agama dan keyakinan seluruh warga. Dengan kata lain, negara harus bersikap netral terhadap keyakinan warganya. Tak selayaknya negara mempunyai preferensi terhadap keyakinan tertentu. Sebab, jika negara bersikap favoritis terhadap keyakinan tertentu, dengan sendirinya ia akan melakukan tekanan terhadap keyakinan lain yang kebetulan tak disukainya. Karena itu, pernyataan pejabat itu jelas politically incorrect.

Kedua, seolah-olah masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini mendeklarasikan diri sebagai agama baru, asumsi yang perlu diuji kebenarannya. Pertanyaan berikut, jika Ahmadiyah menjadi agama sendiri, terpisah dari Islam, apakah kelompok ini bisa hidup aman dan bebas mendirikan masjid? Kita tahu, izin mendirikan tempat ibadah bagi sejumlah kelompok yang jelas-jelas memiliki agama sendiri pun mengalami banyak kesulitan. Ada kemungkinan jemaah Ahmadiyah akan dilarang memakai simbol- simbol Islam, seperti masjid, atau beribadah dengan cara Islam, seperti shalat, puasa, haji, dan lainnya. Ini adalah simbol khas milik umat Islam yang tidak bisa dipakai kelompok agama lain.

Dua tantanganAda dua tantangan penting di masa datang. Pertama ada di pihak pemerintah. Opsi untuk meminta suaka ke luar negeri adalah tamparan serius bagi pemerintah. Di tingkat internasional, masalah kebebasan agama dan keyakinan di Indonesia menjadi sorotan kian serius. Reputasi yang pelan-pelan ingin dibangun pemerintah untuk menegakkan citra Indonesia sebagai negeri Muslim yang demokratis (salah satu unsur pokoknya perlindungan atas kebebasan agama) runtuh pelan-pelan. Begitu pula citra Indonesia sebagai negara Muslim yang moderat mengalami ancaman. Tidak ada opsi lain bagi pemerintah kecuali menangani kasus Ahmadiyah, juga kasus-kasus serupa lainnya, dengan sungguh-sungguh. Pernyataan sejumlah pejabat negara yang politically incorrect itu menandakan, di kalangan pemerintah sendiri belum ada kesadaran seriusnya masalah ini. Lebih buruk lagi, masalah ini dipandang dalam kerangka paradigmatik yang berlawanan dengan konstitusi.

Tantangan kedua ada di pihak masyarakat, yakni mengembangkan pemahaman keagamaan yang dapat menghargai perbedaan tafsir, faham, dan orientasi yang beragam di masyarakat. Amat disayangkan, kini

— 136 —

«muncul kecenderungan yang mengarah pada sikap-sikap antiperbedaan. Pandangan yang dikeluarkan lembaga agama tertentu yang menyesatkan kelompok atau faham tertentu jelas kurang positif dilihat dari usaha membangun etos penghargaan atas perbedaan.

Sikap-sikap anti-Ahmadiyah itu semula dikembangkan kelompok-kelompok Islam yang mempunyai orientasi salafi-wahabi. Tampaknya kampanye mereka, untuk sebagian, berhasil menguasai opini masyarakat. Amat disayangkan pemerintah ikut terpeleset dalam orientasi keagamaan kelompok-kelompok seperti ini. Logika menyesatkan seperti yang berkembang dalam sebagian kelompok Islam itu tidak akan berhenti pada Ahmadiyah. Jika berhasil dengan Ahmadiyah, mereka akan bergerak ke kelompok-kelompok lain yang selama ini mereka anggap sesat. Jika ini tidak distop, dikhawatirkan kita akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sosial-keberagamaan.

Sekadar mengingatkan, Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama, bukan negara sekuler. Dalam wadah itu, semua agama dan keyakinan seharusnya memperoleh hak dan perlakuan sama. Negara seharusnya netral terhadap semua keyakinan warganya, tidak pilih kasih. Inilah raison detre berdirinya negara kita.

Ulil Abshar-Abdalla Peneliti di Freedom Institute, Jakarta

— 137 —

«06/02/2006

Hamas dan Era Islam PolitikOleh Ulil Abshar-Abdalla

Bagi saya, tiap keberhasilan sebuah pemilu di dunia Islam saat ini, apa pun hasil yang muncul dari sana, harus diberi applause dan dipandang sebagai aset politik yang penting untuk konsolidasi demokrasi di masa datang. Saya selalu menarik napas lega tiap mendengar berita tentang pemilu yang sukses di negeri-negeri Islam.

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, Sabtu, 28 Januari 2006

Perkembangan menarik terjadi di Palestina. Hamas, kelompok yang selama ini dianggap radikal, pasti akan

memenangi pemilu legislatif di Palestina yang berlangsung Rabu (25/1). Hasil sementara menunjukkan, Hamas meraih 76 kursi dari 132 kursi parlemen.

Partai Fatah warisan Yasser Arafat hanya memperoleh 43 kursi. Oleh banyak warga Palestina, kekalahan Fatah dianggap ”tsunami politik” karena mengakhiri 40 tahun dominasi Fatah yang nyaris tak tertandingi selama ini.

Kemenangan Hamas melengkapi kemenangan serupa yang dicapai kelompok Islamis di Iran beberapa waktu sebelumnya dengan naiknya Presiden Ahmadinejad. Di Mesir, meski gagal memenangkan pemilu kepresidenan, kelompok Ikhwanul Muslimin juga mendapat suara cukup signifikan. Prediksi yang selama ini dikemukakan banyak kalangan bahwa manakala keran demokrasi dibuka di negeri-negeri Timur Tengah yang selama ini diperintah rezim despot, maka kelompok Islamis akan menang, untuk sebagian sudah terjadi.

Reaksi AS sangat berlebihanKita kini sedang menjelang tibanya era baru, era Islam politik. Intelektual Mesir, Said al-Asymawi, menyebut fenomena naik daunnya Islam politik sebagai al-Islam al-Siyasi.

Kemenangan Hamas langsung disambut reaksi amat negatif oleh Presiden Bush dan Pemerintah Israel. Presiden Bush menyatakan, AS tidak akan melakukan negosiasi untuk perdamaian dengan Hamas kecuali jika yang terakhir ini menyatakan diri untuk meninggalkan metode kekerasan dan ”terorisme” sebagai alat perjuangan dan niatnya untuk menghancurkan Israel.

— 138 —

«Menurut saya, reaksi Washington ini tidak mengagetkan, bahkan sudah bisa diduga. Meski, bagi saya, reaksi itu amat berlebihan. Prospek negosiasi perdamaian di Palestina tidak serta-merta berhenti karena Hamas berkuasa di Palestina. Kiranya, tokoh-tokoh Hamas, berhasil masuk kekuasaan, akan lebih banyak memakai bahasa negosiasi ketimbang bahasa bom bunuh diri.

Dalam jangka panjang, sukses Hamas amat positif untuk memaksa aneka kelompok Islam yang selama ini dianggap radikal agar masuk proses politik normal. Hamas, setelah kemenangan ini, tidak bisa lagi menggunakan metode kekerasan seperti sebelumnya. Hamas, dengan sendirinya, akan dipaksa memakai bahasa diplomasi yang normal.

Kiranya, bahasa ”kekerasan” yang selama ini dipakai kelompok-kelompok Islam yang sering disebut ”radikal” di Timur Tengah, sebetulnya resultante dari buntunya proses demokrasi yang normal. Perubahan politik melalui proses yang ”normal” nyaris mustahil terjadi di banyak negara di kawasan itu. Jalur kekerasan ditempuh sebagai alternatif terakhir, meski bahasa itu, dalam banyak kasus, tidak menghasilkan apa-apa selain frustrasi berkepanjangan. Agaknya kemenangan Hamas, jika tidak terganjal force majeure, akan mengakhiri siklus kekerasan yang selama ini membuat proses perdamaian di Palestina buntu.

Negara-negara Barat, terutama AS, sebaiknya memberi the benefit of doubt kepada Hamas untuk memanfaatkan kemenangan ini sebaik-baiknya, dan tidak mencoba melakukan intervensi dalam proses politik yang berlangsung pascapemilu.

Didorong political exigency yang sesaat, kadang pemerintah AS kurang sabar melihat proses demokrasi yang berlangsung di sejumlah negara, hanya karena hasilnya kurang menguntungkan dilihat dari segi kepentingannya sendiri. Saya kira, ketidaksabaran seperti ini menghambat proses demokrasi di dunia Islam. Jika retorika AS untuk ”menyebarkan” demokrasi di negeri-negeri Muslim adalah genuine, proses yang terjadi di Palestina kini harus disambut baik. Keberhasilan pemilu Palestina telah melengkapi keberhasilan pemilu-pemilu lain di Iran, Irak, Mesir, dan Afganistan, negeri-negeri yang kini menjadi hot spots diplomasi AS di dunia Islam.

Memang masalahnya tidak sesederhana itu. Perkembangan

— 139 —

«di Iran, misalnya, adalah salah satu contoh menarik. Presiden Ahmadinejad menang melalui prosedur demokratis. Kemenangan ini tidak menyenangkan negara-negara Barat, terutama AS, karena sikap Ahmadinejad yang amat konfrontatif terhadap Barat. Hal itu kini terbukti. Rencana pengembangan senjata nuklir Iran menjadi isu dilomasi rumit AS-Iran. Posisi Ahmadinejad yang amat konfrontatif dan anti-Barat membuat negosiasi tentang hal ini menjadi amat susah.

Lebih pragmatisApakah ”kebuntuan negosiasi” antara Barat dan Iran akan terulang di Palestina usai kemenangan Hamas, jika, nanti Hamas menempuh metode konfrontatif seperti Iran? Kita tidak bisa memprediksi. Namun, pernyataan sejumlah calon legislatif Hamas setelah kemenangan dalam pemilu menunjukkan perubahan taktik yang cenderung lebih pragmatis. Mereka tidak lagi menggembar-gemborkan tujuan penghapusan negeri Israel dalam retorika politik.

Bahkan, Hamas mulai sadar, untuk memperbaiki citranya yang berlumuran ”darah” dengan mengembangkan citra baru yang lebih ”damai”. Mereka mulai menyewa konsultan media untuk memperbaiki citra di panggung internasional.

Dalam jangka panjang, yang dibutuhkan negeri-negeri Timur Tengah adalah kepala negara atau pemerintahan yang mempunyai visi yang kurang lebih pragmatis sehingga dapat mengatasi masalah-masalah nyata. Bukan para ”demagog” yang hanya mengeksploitasi sentimen massa jalanan yang anti-Barat guna mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah domestik.

Era Islam politik sedang naik daun. Tidak seluruh cita-cita kelompok-kelompok Islam politik bersesuaian dengan konsep negara demokrasi. Namun, selama cita-cita itu diperjuangkan dalam kerangka demokrasi, justru jauh lebih baik ketimbang kelompok-kelompok itu dicurigai dan diempaskan ke luar arena politik yang normal. Proses marjinalisasi politik semacam inilah yang memaksa aneka kelompok itu memakai bahasa kekerasan.

Bagi saya, tiap keberhasilan sebuah pemilu di dunia Islam saat ini, apa pun hasil yang muncul dari sana, harus diberi applause dan dipandang sebagai aset politik yang penting untuk konsolidasi demokrasi di masa datang. Saya selalu menarik napas lega tiap mendengar berita tentang pemilu

— 140 —

«yang sukses di negeri-negeri Islam. Memang, pemilu hanya tangga pertama, tetapi itu adalah tangga yang niscaya untuk tahap-tahap politik yang normal berikutnya.

Penyakit otoritarianisme sudah begitu kronis menjangkiti banyak negara Islam. Pemerintah- pemerintah Barat, untuk kenyamanan politik jangka pendek, kerap kali bekerja sama dengan, dan akibatnya melanggengkan, pemerintah-pemerintah otoriter itu. Kanker politik ini hanya bisa ”dibunuh” dengan pemilu.[]

— 141 —

«22/01/2006

Nabi, Dukun, dan PenyairOleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang menarik buat saya, persis setelah pembahasan tentang nubuwwah atau kenabian itu, ada bab lain tentang sihir, penyihir, dan dukun. Al-Razi membahas rinci, mendalam, dan detil tentang fenomena perdukunan dan sihir. Sebetulnya, pembahasan ini sebagian besar merupakan pengulangan dari pembahasan serupa yang pernah dilakukan Ibn Sina. Pertanyaan saya dalam hati: kenapa bahasan tentang perdukunan dan sihir diletakkan setelah bahasan tentang kenabian?

Gejala kenabian selalu menantang untuk dibahas, bukan saja buat para ilmuwan modern, tapi juga filosof klasik

Islam. Saya bisa mengatakan, “prophecy is among the most puzzling phenomenon” atau gejala kenabian, adalah fenomena yang paling mengundang teka-teki. Yang lebih menantang juga adalah menerangkan gejala pewahyuan; bagaimana mungkin Tuhan yang “speaking wordlessly” berkomunikasi dengan “lower world” dengan cara yang “wordly”.

Pertanyaan sederhana dan mengganggu: apakah benar bahasa Tuhan adalah bahasa Arab? Apakah Tuhan punya bahasa? Apakah mamang ada “sacred language” (in the true sense of the word)? Isn’t it that any language belong in the last analysis to human being?

Masalah ini rumit sekali, dan saya tak berpretensi menguasai seluk-beluk soal ini secara baik, apalagi memberi jawaban. Saya menikmati saja teori-teori yang dikemukakan para filosof dan teolog Islam klasik mengenai masalah ini. Saya baru membaca karya klasik Fakhr al-Din al-Razi, Al-Mathalib al-‘Aliyah. Karya ini, buat saya, luar biasa dahsyat dan mendalam, meskipun secara keseluruhan nadanya apologetik.

Dalam buku itu ada bab khusus tentang argumen untuk membuktikan kebenaran kenabian Muhammad. Masalah pewahyuan tentu disinggung. Al-Razi meminjam analisis kaum filosof emanasionis seperti Ibn Sina dan Al-Farabi untuk menjelaskan martabat dan hierarki akal manusia yang berpuncak pada “akal kenabian” (al-`aql al qudsi, al-nafs al-qudsiyyah). Inti argumen ini secara implisit adalah: wahyu tak bisa turun secara random pada semua orang. Penerima wahyu haruslah memenuhi kualifikasi tertentu. Orang yang secara

— 142 —

«kognitif tidak kompeten, tidak akan pernah menerima wahyu.

Dengan kata lain, wahyu adalah proses dua belah pihak: Tuhan dan manusia sekaligus. Walaupun Tuhan Maha Kuasa, tetapi Dia tak akan memperlakukan wahyu seperti permainan rolet: diputar serrrrrrr, lalu siapa saja, secara acak, bisa dapat rejeki nomplok yang namanya wahyu. Argumennya sangat ndakik, dan rasanya saya tak ada waktu untuk menuliskannya di sini.

Yang menarik buat saya, persis setelah pembahasan tentang nubuwwah atau kenabian itu, ada bab lain tentang sihir, penyihir, dan dukun. Al-Razi membahas rinci, mendalam, dan detil tentang fenomena perdukunan dan sihir. Sebetulnya, pembahasan ini sebagian besar merupakan pengulangan dari pembahasan serupa yang pernah dilakukan Ibn Sina. Pertanyaan saya dalam hati: kenapa bahasan tentang perdukunan dan sihir diletakkan setelah bahasan tentang kenabian?

Saya kira alasannya jelas: perdukunan adalah gejala yang hampir menyerupai kenabian. Dengan kata lain, perdukunan dan kenabian adalah “gejala mental” yang masih satu keluarga. Itulah sebabnya, dulu Nabi pernah dituduh sebagai dukun (kahin) atau penyihir oleh masyarakat Mekah. Tuduhan ini tak mungkin terjadi kalau tak ada kedekatan antara kedua gejala itu. Tetapi, tentu perdukunan mempunyai sifat-sifat yang secara kategoris berbeda dengan kenabian. Kenabian bersumber dari Tuhan, perdukunan dari Setan; meskipun pembuktian sesuatu berasal dari Tuhan dan yang lain berasal dari setan bukan perkara mudah.

Dalam seluruh sejarah kenabian, selalu ada masalah para “impostor”, yakni nabi-nabi gadungan yang hanya mengaku-ngaku nabi tanpa bukti yang meyakinkan (ingat kisah Joan of Arc dalam tradisi Katolik). Tetapi, anyway, baik dukun ataupun nabi, keduanya punyai klaim telah menerima “inspirasi” dari sumber yang gaib. Soal sumber yang satu bersifat baik, yang lain jahat, itu perkara lain.

Yang menarik lagi, coba perhatikan sejumlah hadis yang mengecam keras orang-orang yang datang ke dukun. Sebuah hadis menyebutkan, seseorang yang mendatangi dukun, pahala ibadahnya akan hangus semua dalam kurun waktu 40 hari (tidak masuk dalam leger amal yang dipegang malaikat). Di sini, tampak adanya kontestasi antara kenabian dan perdukunan. Perdukunan adalah semacam “dunia gelap” yang

— 143 —

«bisa merongrong wibawa kenabian. Kenabian selalu keep an eye atas dunia perdukunan, sebab kalau tidak, otoritasnya dapat disubversi.

Para teolog Islam pun berusaha menghancurkan wibawa perdukunan, sebab ia memang mengancam kenabian. Tak heran kalau bahasan tentang perdukunan langsung menyusul bahasan tentang kenabian.

Pesaing kenabian yang lain adalah penyair. Sebagaimana Nabi, seorang penyair juga mengklaim mendapat inspirasi. Karena itu, dulu Nabi juga dituduh sebagai penyair. Wahyu menyangkal keras tuduhan ini. Para teolog Islam pun menyangkal kalau Alqur’an adalah puisi, sebab, jika dikatakan demikian, ada kekhawatiran Alqur’an adalah sama dengan puisi para penyair yang merupakan pesaing Nabi itu. Padahal, secara literer, beberapa ayat Alqur’an jelas menyerupai puisi, terutama puisi bebas (bukan puisi taf ’ilah dalam istilah Ilmu ‘Arudl atau ilmu tentang puisi klasik Arab –yakni puisi yang memakai meter atau ukuran/wazan).

Dengan demikian, kita telah melihat persaingan yang sengit antara Nabi, Dukun, dan Penyair.

Kalau kita lihat ketiga jenis manusia itu, akan tampak bahwa ketiganya bergerak pada level kognitif dan mental yang hampir serupa; ketiganya bergerak pada level inspirasi-intuisi. Dalam menegakkan klaimnya, ketiganya tidak menyandarkan diri pada bukti rasional, tetapi sejenis “keajaiban” yang datang dari dunia eksternal. Dalam kasus Nabi, keajaiban itu disebut “mukjizat”; pada dukun “istidraj”; dan pada penyair, “keajaiban kata-kata” atau mantra/thalâsim.

Ketiganya tidak pernah memakai argumen rasional untuk mendukung klaimnya masing-masing, meskipun Alqur’an, sebagai bukti kenabian Muhammad, telah diklaim mengajukan bukti-bukti rasional juga oleh para teolog Islam (menurut saya, klaim ini kurang begitu meyakinkan).

Dengan kata lain, baik Nabi, Dukun, dan Penyair mewakili suatu jenis artikulasi mental tertentu dalam sejarah peradaban manusia. Yaitu, artikulasi peradaban yang bersifat ekspresif-performatif. Inilah peradaban yang diwariskan oleh nabi-nabi Israel (Islam masuk juga dalam kategori ini).

Di seberang peradaban ini, ada jenis peradaban lain yang sumbernya bukan wahyu atau inspirasi, tapi penalaran rasional yang dingin, analitis, dan cenderung individualistik.

— 144 —

«Itulah peradaban yang lahir di Yunani, dengan “nabi-nabi”-nya yang tak kalah mengagumkan, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka berangkat dari pengandaian yang berbeda, yaitu “skeptisisme”.

Kaidah dasar dalam peradaban analitis-rasional adalah “ragu dulu, berpikir, baru percaya”, yang berseberangan dengan etos peradaban ekspresif yang bersumber dari Ibrahim, “percaya dulu, baru berpikir”. Dasar agama memang “percaya”, sementara dasar filsafat adalah “ragu”. Etos yang berkembang dalam kedua bidang itu sangat berjauhan.

Saya tahu, ini hanya simplifikasi dari fenomena yang sangat ruwet dan kompleks. Tetapi, tipologi peradaban ekspresif dan analitik bukan tidak mengandung kebenaran. Dengan kata lain, kita menyaksikan persaingan antara Peradaban Yerusalem vs Peradaban Yunani; antara Nabi di satu pihak dan filosof di pihak lain. Di dalam peradaban Yerusalem sendiri ada persaingan antara Nabi, Dukun, dan Penyair. []

— 145 —

«17/01/2006

Genealogi Gerakan Islam di IndonesiaOleh Umdah El-Baroroh

Kelengahan Yudi melihat dinamika internal ini juga telah menjebaknya dalam melihat fenomena anak muda NU di akhir abad 20. Ia dengan serta merta memasukkan mereka dalam barisan liberalisme Islam. “Kalau ada Rumadi atau Baso di sini, pasti mereka akan keberatan untuk dimasukkan dalam Islib”.

Baru-baru ini dosen muda Universitas Paramadina,Yudi Latif, kembali meluncurkan sebuah buku yang cukup

menarik, “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Abad ke-20”. Buku setebal 700-an halaman ini konon merupakan buah karya doktoralnya yang ia sabet dari Australian National University, Australia. Buku inilah yang menjadi bahan diskusi Jaringan Islam Liberal (JIL) Rabu, 21/12 lalu. Sebagai pembicara, dihadirkan dua tokoh muda, Burhanudin, aktivis Jaringan Islam Liberal sekaligus calon mahasiswa Australian National University, serta Edwin Arifin dari Reform Institute yang juga merupakan alumni dari Universitas yang sama.

Menurut Edwin karya Yudi ini merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam bidang sosiologi politik dan sejarah. Ia telah berhasil memetakan corak pemikiran ke-Islaman di Indonesia dalam rentang waktu kurang lebih satu abad (abad XX). Aktivis Reform Institute ini juga menilai buku Yudi mempunyai kekuatan teoritis yang sangat bagus. Melalui metode genealogis ala Foucault, Yudi berusaha memerhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi dari intelegensia muslim Indonesia. Tujuan metode genealogis bagi Edwin adalah mencatat kekahasan (singularity) peristiwa-peristiwa di luar maklumat yang itu-itu saja (monotonous finality). “Karena sejarah, mengutip Foucault, tidak hanya melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau, tetapi yang lebih penting adalah mendiagnosa situasi sekarang serta menawarkan kritik dan preskripsi penyakit masa kini dengan melongok masa lampau”, tegasnya lebih lanjut.

Di samping membaca sejarah, metode ini juga digunakan oleh penulis buku untuk melihat relasi kuasa yang terjadi

— 146 —

«pada domain pendidikan, ruang publik, praktek wacana, dan permainan kuasa. Penulis merasa perlu untuk melongok wilayah pendidikan. Karena wilayah ini baginya merupakan ruang kontestasi kekuasaan dan sumber legitimasi intelegensia. Sementara praktek wacana mentransmisikan dan memproduksi kuasa yang akan diekspresikan dalam arena publik.

Selain keunggulan metode yang diungkapkan oleh pembicara awal, pemetaan intelegensia muslim di Indonesia serta pembedaan terminologi intelektual dan intelegensia juga menjadi perhatian kedua pembicara malam itu. “Bagi Yudi intelegensia itu merujuk pada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu ‘respon kolektif ’ dari sistem nilai, habitus dan ingatan kolektif tertentu”, jelas aktivis JIL, Burhanudin. “Sementara intelektual pada awalnya adalah merujuk pada ‘individualitas’ dari para pemikir dan mengindikasikan respon indiviual dari para pemikir terhadap sebuah ‘panggilan’ historis atau fungsi sosial tertentu.”

Bagi calon mahasiswa ANU ini, definisi Yudi atas dua term di atas tampak berlawanan dengan definisi Dawam Raharjo atas keduanya. Menurut cendekiawan yang membidani lahirnya Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) ini, sebagaimana ditulis dalam bukunya “Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim”, intelektual adalah golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan (drop outs), yang peranannya tidak mesti berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang ditekuninya. “Mereka biasanya berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris, dan kerapkali bersifat politis”, lanjut Burhan mengutip tulisan Dawam. Sementara inteligensia adalah kaum terpelajar yang menggunakan disiplin ilmunya secara profesional, dan karena itu peranan yang mereka jalankan selalu berkaitan erat dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari.

Terlepas dari perbedaan term yang diusung, Yudi dengan cukup cerdas juga memetakan arah gerakan intelegensia muslim di Indonesia. Modernisasi pemikiran Islam yang dihembuskan oleh Abduh di Mesir, banyak memengaruhi arah gerakan Islam saat itu. Masuknya modernisme Islam ke Indonesia, disinyalir berasal dari para mahasiswa Indonesia yang belajar ke Timur Tengah pada masa itu.

Di samping modernisme, ada pula wacana lain yang saat itu menjadi tren gerakan anak-anak muda. Yudi secara

— 147 —

«lebih singkat membagi orientasi pemikiran ini ada pada tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif ”, jelas Burhan. Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.

Berangkat dari tiga orientasi besar ini, Yudi kemudian membagi-bagi cendekiawan muslim itu berdasar masanya. Paling tidak ada enam generasi intelegensia muslim yang berkembang hingga sekarang. Masa pertama diawali oleh generasi Agus Salim, Cokroaminoto dan kawan-kawan. Disusul oleh generasi kedua dengan tokohnya Wahid Hasyim, Kafrawi, dari kelompok tradisional. Sementara generasi ketiga diwakili oleh generasi Mukti Ali, Deliar Noer, Zakiah Darajat dll. Generasi ketiga ini disinyalir oleh Yudi telah mempelopori lahirnya organisasi semacam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan GPII (Gabungan Pelajar Islam Indonesia).

Selanjutnya disusul generasi ke empat dengan tokohnya Imadudin Abdul Rahim, Ismail Hasan Metareum, dan Cak Nur. Generasi kelima diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahri Ali, Masdar F. Masudi dan Marwah Daud Ibrahim. Sementara dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid, Nurmahmudi Ismail, Ismail Mutammimul Ula. Generasi empat dan lima ini telah berhasil melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Dari seluruh generasi yang telah dipaparkan, yang menarik perhatian peserta diskusi malam itu adalah generasi terakhir. Mereka adalah para aktivis yang selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Burhanudin, dan Nong Darol Mahmada. Mereka bukan saja mewakili generasi ke enam, tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi Intelegensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.

Pemetaan intelegensia muslim ini mampu menjelaskan gelombang sejarah pemikiran dan intelektual di Indonesia yang tidak monofonik dan tidak satu arah. Namun menurut Burhan, Yudi masih lebih banyak melihat aspek eksternal yang berpengaruh pada pembentukan embrio intelegensia muslim Indonesia. “Sementara dinamika internal customary

— 148 —

«Islam yang terjadi di tanah air pada saat itu cenderung dilupakan oleh Yudi”, ucap Burhan.Hal itu tampak ketika Yudi lebih banyak melihat aspek gerakan reformisme di Timur Tengah dan politik etis Hindia Belanda yang dinilai telah mendorong tumbuhnya gerakan modernisme dan reformisme Islam di Indonesia. “Padahal gerakan reformis-revivalis Islam di Indonesia, seperti Muhamadiyah atau Persis, bukan semata-mata hasil injeksi oleh pengaruh jaringan internasional semata, tetapi juga karena kejengahan sebagian ulama atas praktek lokal yang dianggap masuk dalam TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat).”

Kelengahan Yudi melihat dinamika internal ini juga telah menjebaknya dalam melihat fenomena anak muda NU di akhir abad 20. Ia dengan serta merta memasukkan mereka dalam barisan liberalisme Islam. “Kalau ada Rumadi atau Baso di sini, pasti mereka akan keberatan untuk dimasukkan dalam Islib”, seloroh Burhan.

Meski alumni UIN Jakarta ini banyak mengkritik buku Yudi, tetapi ia tetap apresiatif atas karya monumental Yudi. “Sulit untuk menampik kenyataan bahwa buku ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Bahkan ketika membaca buku ini saya merasa kesulitan untuk mencari celah. Karena hampir semuanya telah dibahas tuntas”, paparnya.

Diskusi yang berlangsung di padepokan Teater Utan Kayu ini juga dihadiri oleh penulis buku, Yudi Latif. Pada sesi akhir, oleh moderator, ia diberi kesempatan untuk memberikan komentar. Dalam komentarnya, ia berterima kasih pada Burhan yang telah membaca karyanya dengan sangat kritis, termasuk juga membuat resensinya di Media Indonesia.[]

— 149 —

«08/01/2006

Tentang ImanOleh Ulil Abshar-Abdalla

Ada iman lain yang lebih konkret bentuknya, karena ia berhubungan dengan situasi tertentu, yaitu iman sebagaimana dihayati oleh kelompok masyarakat tertentu, di tempat tertentu, di suatu masa tertentu; misalnya iman orang-orang Jawa, di Wonogiri, pada awal abad 20. Menurut saya, inilah iman yang jauh lebih memikat untuk ditelaah, sebab ia lebih berbentuk.

Saya rasa akan amat sulit untuk merumuskan bagaimana wujud dan bentuk iman itu pada masing-masing

perorangan. Untuk mempermudah pembahasan, saya ingin meminjam tiga istilah yang sering dipakai dalam pendekatan semiotika atau strukturalisme, yaitu “langage”, “langue” dan “parole”. Langage adalah bahasa sebagai sistem yang abstrak; langue adalah bahasa sebagai mana dipakai oleh kelompok tertentu; parole adalah cara berbahasa orang-perorang. Saya ingin memakai tiga istilah untuk untuk mencoba mendekati masalah iman ini; tentu peminjaman istilah dari bidang kajian ke kajian yang lain bukan tanpa masalah; tapi ini sekedar peminjaman untuk mempermudah agar suatu telaah bisa bekerja.

Iman biasanya ditakrifkan sebagai “percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan ketentuan Tuhan, entah ketentuan yang mujur atau malang”. Takrif semacam itu tentu mudah diajarkan, mudah diikuti, dan sebagai rumus juga mudah untuk dikaji. Tetapi, saya rasa, takrif iman semacam itu tidak berkata apa-apa kalau kita menjumpai orang-perorang. Setiap orang tentu punya caranya sendiri iman kepada Allah dan yang lain-lain itu. Iman seperti dalam takrif itu adalah mirip bahasa sebagai “langage” dalam konsepsi Saussurean. Seluruh umat Islam di dunia melaksanakan iman dalam cara yang “umum”, universal, abstrak dan lazim seperti dalam takrif di atas. Tapi iman yang universial seperti itu adalah iman yang tidak konkret karena tidak berpijak pada penghayatan masing-masing masyarakat, masing-masing perorangan dalam keadaan tertentu yang nyata. Iman sebagai “langage” adalah iman yang tidak terkait dengan konteks.

Ada iman lain yang lebih konkret bentuknya, karena ia berhubungan dengan situasi tertentu, yaitu iman sebagaimana

— 150 —

«dihayati oleh kelompok masyarakat tertentu, di tempat tertentu, di suatu masa tertentu; misalnya iman orang-orang Jawa, di Wonogiri, pada awal abad 20. Menurut saya, inilah iman yang jauh lebih memikat untuk ditelaah, sebab ia lebih berbentuk. Masyarakat Islam dalam sejarahnya yang panjang menakrifkan iman dalam cara yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Konsepsi tentang Allah dalam pikiran Imam Asy’ari terasa tidak begitu konkret bagi orang-orang Minang di Sumatera Barat; konsepsi ketuhanan a la Mu’tazilah tentu sangat asing dari cita rasa seorang Jawa Muslim setengah abangan di Gunung Kidul. Setiap masyarakat, secara diam-diam, merumuskan caranya sendiri-sendiri untuk iman, dan dari sanalah muncul cara beriman yang mungkin sejajar dengan bahasa dalam pengertian “langue”.

Tentu ada iman dalam pengertian yang sejajar dengan bahasa sebagai “parole”, dan inilah iman pada level perorangan. Beberapa hadis mengindikasikan bahwa iman itu “mulur mungkret” (yazidu wa yanqushu), serupa karet yang mengembang dan mengkerut, up-and-down. Pada tingkatan ini, iman nyaris mustahil bisa dirumuskan dengan jelas. Iman dalam pengertian yang personal ini, bagi saya, sifatnya cenderung eksklusif, licin, dan menghindar dari rumusan yang serba baku.

Tentu ada orang-orang tertentu yang pura-pura ingkar bahwa imannya terus-menerus mengalami proses “mengembang-dan-mengkerut” dengan cara mengikatkan diri pada rumus-rumus yang pasti yang dibuat oleh kaum teolog. Orang-orang fundamentalis biasanya mencoba untuk mencari bentuk iman yang serba pasti, positivistis, dan dapat menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial yang mencakup bidang-bidang kehidupan yang luas. Tetapi usaha kaum fundamentalis ini akan sia-sia belaka. Iman sebagai “parole”, sebagai dialek pribadi orang perorang, menurut saya, tidak bisa dibuat rampat, persis, sebangun untuk semua orang. Ambisi kaum fundamentalis ke arah itu bisa menjadi ancaman yang besar. Iman sebagai “parole” adalah wilayah di mana pribadi-pribadi muslim menemukan kebebasan untuk merumuskan cara mereka masing-masing untuk memahami siapa itu Allah. Kalau iman pada level ini hendak ditata rapi agar sesuai dengan iman sebagai “langage”, maka yang timbul adalah pengingkaran atas iman sebagai tindak-kebebasan. Bagi saya, iman adalah tindak pembebasan dan kebebasan sekaligus.

— 151 —

«02/01/2006

In Memoriam: Masykur Maskub: Penggerak “Silent Transformation” di NUOleh Ulil Abshar-Abdalla

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit “mewah”.

Tokoh yang pendiam itu telah meninggal dalam insiden kendaraan bermotor di kawasan Pancoran, pada 30

Desember 2005. Pak Masykur, guru, teman, dan sahabat yang sangat saya hormati dan cintai itu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…..

Masykur Maskub, atau Pak Masykur—begitu kawan-kawan muda NU kerap menyapanya—bukanlah tokoh yang “cemlorot” dan terkenal. Dia nyaris tak pernah muncul di TV, pernyataan-pernyataannya jarang dikutip media, dan kehadirannya mungkin hanyalah dirasakan “bermakna” buat kalangan terbatas yang mengenalnya dari dekat. Dia bukanlah Gus Dur yang kehadirannya nyaris “pervasive” dan ada di mana-mana. Pak Masykur mung tampak hadir hanya buat segelintir orang, tetapi, believe me, kehadirannya yang terbatas itu mempunyai makna yang mendalam, bukan saja buat teman-temannya, tetapi lebih besar lagi buat NU. Dialah orang yang, di mata saya, melakukan “silent transformation” (perubahan diam-diam). Jika tak khawatir menimbulkan efek berbihan, saya hampir saja mengatakan “revolusi diam-diam”.

Usahanya, tentu bersama kawan-kawannya yang lain, untuk menegakkan institusi lembaga riset, kajian dan pengembangan sumber daya manusia NU, yakni Lakpesdam-NU, serta membangun sistem yang kredibel dan bermartabat dalam lembaga itu, jarang dikenal oleh banyak orang, bahkan di lingkungan NU sendiri. Tetapi, berkat usahanya itu, Pak Masykur telah menjadikan Lakpesdam-NU sebagai salah satu lembaga NU yang berjalan normal sebagaimana laiknya sebuah institusi modern. Dia bekerja dari balik layar, wajahnya jarang, atau nyaris tak pernah, disorot oleh kamera, dan sosoknya hanya disadari oleh sejumlah orang di

— 152 —

«NU dalam kesempatan yang terbatas. Tentu dia hadir dalam setiap event besar NU, tetapi jarang orang menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang “besar” buat NU. Dan saya kira, figur-figur yang bekerja dengan diam-diam untuk NU semacam ini bertebaran di seluruh daerah, dari mulai PB hingga ke pengurus ranting. Orang jarang mengenal mereka, dan mereka tentu tak risau jika tak banyak orang mengetahui apa yang telah mereka kerjakan untuk institusi yang mereka cintai lahir-batin, Nahdlatul Ulama. Saya kira, umur NU bisa panjang karena “tangan dingin” dan keikhlasan yang nyaris tanpa pamrih dari orang-orang semacam Pak Masykur ini.

Di kalangan anak-anak muda NU, terutama teman-teman yang sering mendefinisikan diri mereka sebagai “NU kultural”, Pak Masykur dianggap sebagai pelindung dan pengayom. Meskipun jarang atau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran Pak Masykur sangat berarti buat teman-teman itu. Dia, mungkin seperti garam: tidak terlihat di mangkuk waktu Anda menyantap bakso, tetapi jika bahan itu tak ada di sana, Anda merasa ada sesuatu yang hilang. Tak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa Pak Masykur adalah semacam “mursyid” untuk teman-teman muda NU yang bergerak di jalur kultural.

Perkenalan saya dengan Pak Masykur berlangsung secara pelan-pelan, dan itu terjadi mula-mula pada 1983 di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati. Madrasah ini dipimpin oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau Kiai Sahal, sebagaimana kami dulu sering menyebut beliau. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Pada pandangan pertama, penampilan Pak Masykur sebagai seorang guru tak begitu meyakinkan. Pembawaannya terlalu “lembut” untuk mata pelajaran yang dia pegang saat itu, yakni “Kewarganegaraan Indonesia”. Kami dulu menyebutnya “pelajaran civic”. Dia mempunyai sifat yang agak unik, yaitu sulit mengatakan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dia kerapkali tampak seperti terengah-engah untuk melontarkan sesuatu yang berkecamuk di benaknya. Saat menerangkan sesuatu di kelas, Pak Masykur kelihatan seperti tergagap-gagap. Tak aneh, jika pada bulan-bulan pertama mengikuti kelas dia, saya tak terlalu terkesan.

Tetapi, pelan-pelan, kesan saya berubah total saat pelajaran sudah berjalan jauh. Meskipun Pak Masykur bukanlah seorang guru yang pandai berbicara, tetapi cara dia membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan murid luar

— 153 —

«biasa. Salah satu momen yang paling tidak saya lupa adalah saat dia menjelaskan secara detil, walaupun dengan terengah-engah, sejarah sekitar kemerdekaan Indonesia. Tentu, keterangan tentang peristiwa di sekitar proklamasi sudah kerap saya dengar di kelas dari guru-guru lain. Tetapi, keterangan Pak Masykur sangat tidak “konvensional”. Dia banyak menjelaskan detil-detil peristiwa penculikan Sukarno oleh Sukarni dan anak-anak muda “revolusioner” saat itu ke Rengasdengklok. Tentu, detil-detil itu tidak ada dalam buku teks pelajaran. Dia juga menjelaskan dengan menarik sekali rumitnya perdebatan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan RI, serta debat di konstituante yang berakhir dengan dead-lock. Sejarah, di tangan dia, menjadi begitu hidup buat saya saat itu. Yang menarik adalah, dia juga menyebutkan sumber-sumber yang dia rujuk. Ketika membahas soal debat di konstituante tentang dasar negara itu, dia menyebut buku karangan Syafii Maarif terbitan LP3ES yang, belakangan saya ketahui, ternyata menjadi bahan pembicaraan luas, yaitu “Islam dan Masalah Kenegaraan”. Dia antara lain menyebut jurnal Prisma sebagai salah satu sumber rujukannya. Seperti kita tahu, dekade 80-an awal adalah masa-masa kejayaan jurnal yang diterbitkan oleh LP3ES itu. Di sana, saya tahu ini belakangan, ada rubrik “tokoh” yang selalu memuat biografi sejumlah tokoh terkenal dalam sejarah Indonesia. Pak Masykur, saya kira, satu-satunya guru di madrasah saya yang membaca jurnal itu, bahkan berlangganan. Buat saya sebagai seorang santri dusun saat itu, nama-nama buku dan jurnal yang datang nun jauh dari kota tampak seperti barang “luks” yang nyaris tak terjangkau. Tetapi, believe me or not, Pak Masykur lah yang membuat barang-barang mewah itu bisa saya sentuh.

Belakangan saya kemudian tahu bahwa Pak Masykur rupanya bekerja sebagai seorang “social volunteer” untuk program pengembangan pesantren yang dilakukan oleh LP3ES, dan karena itulah dia mendapat kiriman rutin jurnal Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES yang lain. Dari segi bacaan, Pak Masykur saat itu mendahului ratusan langkah dari guru-guru lain di madrasah saya. Karena cara dia mengajar yang hidup inilah saya menjadi tertarik dengan kelas dia. Setiap masuk kelas, selalu ada hal baru yang dia bawa yang tak ada dalam buku teks pelajaran. Dia selalu membawa hal-hal baru yang segar. Dunia saya sebagai seorang murid madrasah kampung yang sempit saat itu seperti diperluas cakrawalanya oleh penjelasan-penjelasan dia yang bersumber dari bahan bacaan

— 154 —

«yang kaya. Ada salah satu kebiasaan mengajar pada dia yang unik. Dia akan selalu mengakhiri kelas dengan mendaftar sejumlah bahan bacaan yang menjadi bahan rujukan dia. Tentu dia tak menuntut kami untuk membaca buku-buku itu. Sebab, semua bahan bacaan yang dia sebutkan itu tak ada di perpustakaan madrasah saya yang isinya sebagian besar adalah kitab kuning dan sejumlah buku “drop-dropan” (istilah yang dikenal waktu itu) dari pemerintah. Tetapi, ini uniknya, dia selalu mempersilakan murid-muridnya untuk datang ke rumahnya untuk meminjam buku-buku bacaan yang dia anjurkan. Dia hanya ingin memperlakukan kami, murid madarasah Tsanawiyah, seperti seorang mahasiswa.

Udangan ini langsung saya sambut dengan suka cita. Jarak antara rumah saya dan rumah Pak Masykur yang berada di desa Sumerak (sekitar 7 kilo ke arah selatan dari kota Kawedanan Tayu) sekitar 5 kilo. Saya selalu naik sepeda “onthel” (istilah yang lazim dipakai di desa saya) ke rumah dia; sekitar 45 menit. Pertama kali saya berkunjung ke rumahnya, saya terkesima. Untuk pertama kali saya melihat koleksi jurnal Prisma yang dibundel dengan rapi dan bagus. Buku-buku terbitan LP3ES juga ada di sana, dengan beragam topik dan tema: politik, ekonomi, sosial-budaya, agama, dll. Saya tak pernah menyaksikan bahan bacaan seperti itu sebelumnya, bahkan di perpustakaan madrasah pun tidak. Dalam hati, saya berkata, “Pantesan kelas Pak Masykur kaya dengan informasi-informasi baru, abis bacaannya keren kayak gini.” Saya masih ingat, buku pertama kali yang saya pinjam dari koleksi pribadi Pak Masykur adalah dua buku bunga rampai tulisan seorang intelektual Indonesia yang paling dihormati saat itu, Soedjatmoko. Dua buku itu adalah: Dimensi Manusia dalam Pembangunan dan Etika Pembebasan. Tidak seluruh tulisan Soedjatmoko yang rumit itu bisa saya cerna. Tetapi, membaca buku-buku itu, saya merasa ada sesuatu yang “lain” di luar pelajaran keagamaan a la pesantren yang saya terima selama ini. Saya juga mulai meminjam beberapa edisi jurnal Prisma. Dari sanalah saya mulai mengenal sejumlah inetelektual Indonesia yang terkenal pada saat itu: Abdurrahman Wahid, Ignas Kleden, Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Juwono Sudarsono, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, Lukman Sutrisno, Prof. Sajogjo (yang ahli pergizian itu), Sediono Tjondronegoro, Rahman Tolleng, Burhan D Magenad, YB Mangunwijaya, Soetjipto Wirosardjono, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, dll. Tentu perkenalan

— 155 —

«saya dengan tokoh-tokoh ini tidak terjadi sekaligus. Dalam rentang waktu empat tahun, sejak kelas 3 Tsanawiyah hingga 3 Aliyah, saya tak pernah henti-hentinya diajar oleh Pak Masykur, dan tak henti-hentinya pula saya melahap koleksi pribadi dia. Belakangan, setelah terbit majalah Pesantren oleh P3M, lembaga yang sekarang dipimpin oleh Masdar F. Masudi, daftar pinjaman saya tentu mencakup jurnal itu. Majalah lain yang saya pinjam adalah Pesan yang juga diterbitkan oleh LP3ES dan dikhususkan sebagai bacaan untuk para santri (‘Pesan’ adalah kependekan dari ‘Pesantren’).

Di samping mengajar di madrasah asuhan Kiai Sahal itu, Pak Masykur juga terlibat dalam sebuah LSM yang berada di bawah naungan Pesantren Maslakul Huda, asuhan Kiai Sahal. Nama LSM itu adalah BPPM, Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. BPPM adalah salah satu mitra kerja LP3ES, dan belangan P3M, dalam program pengembangan pesantren dan masyarakat. Dekade 80-an adalah periode “romantis” LSM di Indonesia. Saat itu, banyak kalangan kritis yang merintis sejumlah LSM di Jakarta percaya bahwa perubahan sosial bisa terjadi lewat jalur yang non-developmentalis, yakni di luar jalur pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah dengan ciri utamanya adalah pendekatan “top down”: pemerintah memutuskan, rakyat tinggal manut saja. Pendekatan itu dikritik sebagai sumber kegagalan pembangunan saat itu. Oleh karena itu, harus dicari alternatif perubahan sosial yang lain. Timbullah gagasan tentang perubahan yang “bottom-up”, dari bawah ke atas, dengan pendekatan yang saat itu dikenal sebagai metode partisipatoris. Karena pesantren dianggap sebagai lembaga pribumi yang berkembang dari bawah, maka banyak kalangan percaya bahwa perubahan sosial alternatif bisa ditempuh lewat peran pesantren. Ramailah orang menoleh ke pesantren, dan disertasi Zamakhsyari Dhofier yang diterbitkan oleh LP3ES saat itu dengan judul “Tradisi Pesantren” menjadi bacaan yang populer. Ada optimisme bahwa pesantren menjadi semacam “jalan ketiga” dalam melaksanakan perubahan sosial. Romantis memang.

Sebagai seorang santri madrasah, saya tak sepenuhnya memahami konsep-konsep yang rumit itu. Saya membacai banyak buletin dan terbitan-terbitan yang dikelola baik oleh LP3ES atau P3M yang dikirim ke BPPM. Semuanya mungkin karena kedekatan saya dengan Pak Masykur. Saat itu, saya bukan santri Maslakul Huda, sebab saya mondok di pesantren yang dikelola oleh ayah saya sendiri, Pesantren

— 156 —

«Mansajul Ulum di desa Cebolek. Tetapi, kedekatan saya dengan Pak Masykur memungkinkan saya untuk mengakses sumber-sumber bacaan yang dimiliki oleh BPPM yang berafiliasi dengan Pesantren Maslakul Huda itu.

Buat saya, dan saya kira juga buat murid-murid lain yang seangkatan dengan saya di Madrasah Mathali’ul Falah saat itu, Pak Masykur adalah layaknya sebuah “jendela” dari mana kami bisa menjenguk ke dunia luar. Bagi kami, Pak Masykur persis menempati posisi yang pada dekade 80-an dikenal sebagai “cultural broker”—istilah yang dikenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dan sangat populer di kalangan sarjana yang mengamati pesantren saat itu. Pak Masykur adalah “jembatan budaya” yang menghubungkan kami di madrasah dengan dunia luar yang tak kami kenal dengan baik saat itu.

Tahun 1987, kalau tak salah, Pak Masykur pindah ke Jakarta, karena diminta oleh Gus Dur untuk bergabung dengan teman-teman di Lakpesdam NU Pusat di Jakarta. Pertama kali saya bertemu dengan dia adalah pada 1988, di kantor Lakpesdam di Jl. Supomo, Pancoran. Sejak itu, saya makin dekat dengan dia, dan akhirnya, pelan-pelan, terlibat secara tak langsung dalam kegiatan di Lakpesdam yang saat itu di bawah kepemimpinan Pak Said Budairi, salah satu wartawan NU senior yang pernah terlibat di koran Duta Masyarakat milik NU. Sifat Pak Masykur tidak pernah berubah: dia tetap seorang pendiam, murah senyum, dan mengayomi. Tentu, interaksi saya dengan Pak Masykur sekarang berubah sifatnya: saya tak lagi menjadi murid dia, tetapi sebagai sesama teman di sebuah kantor; sebagai kolega. Meskipun, hingga akhir hayatnya, saya selalu menganggap Pak Masykur sebagai guru yang saya hormati. Ada kualitas-kualitas pribadi Pak Masykur yang mulai terkuak setelah saya bergaul dengan dia bukan semata-mata sebagai seorang murid, tetapi juag kolega. Dia adalah tipe orang yang “get-thing-done”, yang selalu berusaha berpikir bagaimana segala sesuatu bisa terlaksana. Pak Masykur bukanlah seorang “idealis-pemimpi” yang suka berbicara tentang konsep-konsep besar dan gigantik, tetapi dia adalah orang yang sadar, bahwa bagaimanapun konsep besar harus bisa jalan di bumi. Dia juga orang yang sadar tentang pentingnya organisasi modern bagi NU. Oleh karena itu, sistem dan aturan main adalah faktor penting yang di mata dia sangat menentukan mati-hidupnya sebuah lembaga modern.

— 157 —

«Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur NU, tentu Pak Masykur sangat menghormati figur kiai. Bahkan, sebagaimana ia kisahkan secara pribadi pada saya, beberapa keputusan penting dalam hidupnya selalu ia ambil setelah berkonsultasi dengan seorang kiai sepuh yang sangat dia hormati, yakni allah yarham KH. Abdullah Salam, Kajen, yang di daerah kami dikenal dengan Mbah Dullah. Pak Masykur menaruh hormat yang dalam dan tulus pada kiai-kiai sepuh di NU. Tetapi, dia juga sadar bahwa NU harus ditegakkan bukan semata-mata atas dasar kharisma kiai sepuh. Sebagai lembaga modern, NU harus membangun sistem dan manajemen organisasi yang baik dan berjalan dengan normal. Dalam hal ini, Pak Masykur mengagumi figur lain dalam NU yang, secara kebetulan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dia: yakni kesederhanaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya sistem dan manajemen. Tokoh itu tak lain adalah almarhum Fahmi Saifuddin, putera dari mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dalam istilah yang dikenal selama ini di kalangan NU, Pak Masykur menghendaki agar NU tidak berhenti sebagai ‘jama’ah’ atau kumpulan biasa, tetapi juga meningkat sebagai ‘jam’iyyah’, yakni organisasi yang ditegakkan atas dasar aturan main dan sistem yang kokoh. Dedikasi Pak Masykur yang berlangsung lebih dari 15 tahun di Lakpesdam dikerahkan, antara lain, untuk membangun “jam’iyyah” itu, lewat institusi Lakpesdam. Bersama teman-teman lain seperti Lukman Saifuddin, Mufid A. Busyairi, Helmi Ali, Muntajid Billah, Yahya Ma’shum, Pangcu Driantoro, Masrur Ainun Najih, Lilis N. Husna, dan senior-senior lain sepeti MM Billah dan Said Budairi, Pak Masykur telah menjadi bagian dari arus penting untuk men-jam’iyyahkan NU.

Saya tahu, cinta pertama dan terakhir Pak Masykur adalah NU dan kiai. Oleh karena itu, seluruh orbit kehidupan dia berputar di sekiar pesantren, NU dan kiai. Dia tak pernah lepas dari dunia para kiai itu. Salah satu etos yang begitu menonjol dan dilihat secara mencolok oleh teman-teman NU pada figur Pak Masykur, dan terutama di Lakpesdam, adalah etos kesederhanaan dan kejujuran—salah satu etos yang diajarkan di pesantren. Pertama kali saya bertemu dengan dia di luar kantor adalah di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pancoran. Rumah kontrakan itu hanya mempunyai dua kamar yang sempit, dengan keadaan bangunan yang sangat sederhana. Lokasi rumah agak menjorok ke dalam, dinaungi oleh pohon sawo yang rimbun. Selama bertahun-

— 158 —

«tahun Pak Masykur tinggal di rumah sederhana itu. Baru beberapa tahun belakangan, Pak Masykur memutuskan untuk membeli rumah sendiri—rumah kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Rumah yang ia beli sendiri ini jauh dari kesan mewah, dan letaknya agak jauh dari jalan utama. Untuk mencapai ke sana kita harus melewati gang kelinci yang agak menikang-nikung. Selama hidupnya, Pak Masykur tidak memiliki mobil. Sejak pertama kali saya melihat dia di madrasah Mathali’ul Falah hingga akhir hayatnya, dia hanya memakai sepeda motor. Kami, muridnya saat itu, selalu mengenali dia lewat sepeda motor Yamaha bebek merah keluaran tahun 70-an. Saat di Jakarta, dia mempunyai sepeda motor yang agak sedikit lebih baik, yaitu Honda seri lebih baru (saya sudah lupa). Tetapi, hingga akhir hayatnya, dia selalu “istiqamah” memakai sepeda motor. Bahkan, tragisnya, dia harus meninggal dalam insiden sepeda motor.

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit “mewah”. Meskipun tak ada sesuatu yang sepenuhnya salah dalam perkembangan seperti ini, tetapi perubahan gaya hidup di kalangan tokoh-tokoh agama semacam itu tentu menimbulkan “gunjingan” di kalangan masyarakat. Pak Masykur tentu ikut risau dengan keadaan semacam ini. Dalam pembicaraan pribadi, dia selalu mengingatkan saya pada kesederhanaan hidup yang diteladankan oleh Mbah Dullah di Kajen. Dalam salah satu momen pembicaraan via telepon yang sangat menyentuh, bahkan dia nyaris menangis menceritakan kembali teladan kehidupan Mbah Dullah kepada saya. Saat dia menjabat sebagai Direktur Lakpesdam selama 10 tahun, dia sempat menikmati fasilitas mobil kantor. Tetapi, dia tak pernah membawa mobil itu ke rumah, karena tentu hal itu tak mungkin. Dia sendiri tak mempunyai areal parkir. Rumahnya berada di kawasan yang “crowded” dan berhimpit dengan rumah-rumah lain. Setelah usai menjadi Direktur Lakpesdam beberapa bulan sebelum dia meninggal, dia kembali “istiqamah” dengan kendaraan lamanya: sepeda motor. Dia tak pernah berubah: hidup dengan sederhana.

Ada satu hal yang selalu dia kisahkan kepada saya dengan penuh kebanggaan dan rasa puas, yaitu pendidikan putera-puteranya. Dia selalu bilang bahwa dia bersyukur pada Allah

— 159 —

«karena sebagai orang yang berpenghasilan tak terlalu besar, dia berhasil menyekolahkan putera-puteranya ke UGM, UI, dan ITB. Ini karunia besar yang selalu dia syukuri. Dia selalu mengatakan pada saya bahwa ini semua terjadi bukan semata-mata karena usaha keras dia dan isterinya, tetapi juga berkat restu kiai sepuh yang tak lain adalah Mbah Dullah. Dia mengisahkan bahwa keberangkatan dia ke Jakarta bukanlah tanpa suatu dilema. Dia akhirnya bisa memecahkan dilema itu setelah mendapat restu dari Mbah Dullah. Dia berangkat dengan hati yang tenang dan mantap setelah mendapat izin dari kiai yang dia sangat hormati.

Setelah usai menjabat sebagai Direktur Lakpesdam, dia aktif di lembaga baru yang didirikan oleh sejumlah anak-anak muda NU, di bawah asuhan Kiai A Mustofa Bisri, atau lebih dikenal dengan Gus Mus, yaitu “Mata Air” yang kantornya terletal di kawasan Tebet. Lagi-lagi, Pak Masykur tidak bisa bergerak jauh dari dunia kiai. Kantor lembaga itu memang tak terlalu jauh dari rumah dia, kira-kira 15 menit. Dia sering berangkat, pulang-pergi, ke kantor baru itu dengan mengendarai sepeda motor. Dia tampaknya menjadi salah satu tumpuan Gus Mus untuk menjalankan lembaga baru itu. Kesederhanaan dan kejujuran Pak Masykur nyaris seperti “mata air” di NU.

Walau nama dia tak hingar-bingar dikenal oleh kalangan luas, baik di NU atau di luarnya, tetapi Pak Masykur telah menjaid ilham untuk beberapa anak muda di NU, sekurang-kurangnya buat saya dan teman-teman saya sekelas di Mathali’ul Falah dan teman-teman muda lain di Lakpesdam. Dengan caranya sendiri, dan dengan pembawaannya yang sangat halus, dia telah melakukan transformasi diam-diam dalam tubuh pesantren dan NU.

Mari kita bacakan al-Fatihah untuk arwahnya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah dan segala kekhilafannya diampuni olehNya.

Boston, 30/12/2005

— 160 —

«Tentang Penulis

Ulil Abshar-Abdalla (lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967; umur 44 tahun) adalah seorang tokoh Islam

Liberal di Indonesia. Ulil berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

PendidikanUlil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994-1999). Pernah nyantri di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari’ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saat ini ia sedang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, AS.

KeorganisasianUlil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid).Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Uli

lUlil

2011