mem anda - kelasinspirasiyogyakarta.org · minggu ini saya akan mengikuti kelas inspirasi di salah...

10
mem anda ng ke las ins pi ra SI

Upload: lamkien

Post on 16-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

mem

anda

ng

ke

las

ins

pi

ra

SI

Foto di atas saya jepret 5 September 2013, sekitar dua tahun lalu. Saat itu saya dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Lombok (BIL). Tampak dari jendela pesawat layer-layer terbentuk dari barisan bukit yang mengepung Gunung Rinjani. Sontak saya teringat kalimat Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya. Maka biar mirip ala-ala quote di Instagram saya tambahkan kalimat yang ada di bagian atas foto. Budy Anindita, seorang yang pernah menjadi relawan pengajar dan panitia KI Yogyakarta, mungkin tiap dua bulan sekali menikmati kenampakan alam seperti foto ini. Bedanya, Budy melintas di langit Lombok dalam rangka dia bekerja. Entah secara sukarela atau terpaksa, dia berangkat dari Jogja kemudian tinggal sementara di tanah Sumbawa. Selain bekerja, dia juga akrab dengan urusan tambang, dan berdekatan dengan Soa-soa. Sedangkan dua tahun silam, saya juga pergi pulang menuju dan dari Lombok sekitar sepuluhan kali, tapi lebih dominan untuk liburan daripada untuk bekerja.

Mungkin yang dirasakan oleh Budy dan saya agak berbeda. Ini tentang cara kita memandang. Rinjani tampak betul-betul memancarkan kharismanya bagi siapa saja yang sedang traveling dalam rangka melepas kepenatan karena kerja rutin tiap minggunya. Mungkin beda ceritanya dengan guru atau pegawai negeri yang ditempatkan di Lombok yang ingin sekali dimutasi ke Jawa, agar lebih dekat dengan keluarganya. Analogi ini kemudian saya coba simulasikan saat memandang Kelas Inspirasi

(KI), khususnya KI Yogyakarta (KIY). Bagaimana kita melihat KI? Apakah KI adalah sebuah rangkaian, proses, atau hasil? Setidaknya jawaban kita tergantung dari sisi mana kita memandang. KI mungkin telah iingar bingar dan tersebar gaungnya di berbagai penjuru negeri. Pola telah terbentuk, simpul-simpul telah ditemukan. Garis kegiatan pun sudah mafhum dilakukan di beberapa regional. Di Jogja, sudah tiga kali KI diselenggarakan. Bahkan, KI sudah berkembangbiak melahirkan beberapa kegiatan-kegiatan turunan yang diprakarsai oleh orang-orang yang awalnya dipertemukan melalui KI. Kemudian terpikirkan, apakah betul bahwa kita semua sudah siap untuk berpikir lebih luas dan berlari lebih jauh? Jika mindset KIY bukan lagi sebagai kepanitiaan (yang ketika acara selesai diselenggarakan panitianya dibubarkan), menjadi sebuah kepengurusan (yang memiliki program dan kegiatan secara terstruktur)

berarti semangatnya bukan lagi sprint, melainkan marathon. Setidaknya KIY punya kronologis sejak dia muncul ke permukaan Jogja hingga sekarang. Kapan dia dilahirkan? Berapa orang yang terlibat? Institusi dan atau organisasi apa saja yang pernah diajak berkolaborasi? Sebaran lokasinya di mana saja? Pernah melakukan kegiatan apa saj? Dan seterusnya, yang menjadi pengisi curriculum vitae KIY. Perlukah KIY mengidentifikasi kemudian mengumpulkannya menjadi sebuah portofolio/rekam jejak? Itu jika memandang KIY dari sekarang ke belakang. PR besarnya adalah apa yang kita lihat saat memandang KIY ke depan? Akan ada apa saja turunan dari aktivitas KIY? Apakah berupa program kerja? Beragam kegiatan? Apa saja? Apakah perlu merumuskan tema besar secara periodik? Katakanlah setahun kita akan mengadakan satu kali kegiatan hari inspirasi, jagongannya berapa kali, pentas gamelan, pameran, dan seterusnya. Kemudian, ketika KIY mengadakan kegiatan A, apakah kegiatan A itu berhubungan dengan kegiatan berikutnya? Masih ada kaitan tema? Atau bagaimana? Satu hal penting yang perlu kita refleksikan bersama adalah tentang tujuan yang hendak kita capai, baik secara pribadi maupun secara KIY. Apa sih tujuan kita kok mau-maunya direpotkan KIY? Apa sih tujuan KIY? Apakah tujuan KIY sudah tepat dan match dengan tujuan pribadi kita? Kemudian, apakah KIY sesuai dengan ekspektasi kita? Terakhir, KIY mau dijadikan seperti apa? Salam, Agen Selo Chapter Kepatihan Arif L. Hakim

Semalam, saya berkomunikasi dengan seseorang, kira-kira begini kutipannya:

Galih (G) : lagi apa? Someone (S): streaming game G: hah streaming gimana sih? S: youtube G: trs diapain? S: ditonton G: Oh. Apa serunya? S: Yah sama kali kaya kamu jadi volunteer-volunteer gitu. G: -------cuma bisa diam

Begitulah kira-kira percakapan kami. Jangan dilihat absurdnya obrolan kami ya, tapi cobalah dicermati dan dipahami. Yang saya tangkap adalah setiap orang punya "suka"-nya masing-masing dan kadang rasa suka itu tidak bisa (atau bahkan tidak perlu) untuk dijelaskan. Dan tidak perlu memaksakan orang lain untuk menyukai apa yang kita sukai.

Volunteer is priceless dan untuk mau menjadi volunteer itu menurut saya sih asalnya dari lubuk hati yang paling dalam. Kalau asalnya dari dalam hati pasti semua langkah akan terasa lebih ringan.

Di lain hari, saya juga pernah ditanya, "Apa sih yang kamu dapat dari kegiatan kerelawanan?" Dan saya memilih untuk menjawab dengan senyuman. Bagi saya, rasanya itu luar biasa dan saking luar biasanya sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin mirip sama puisinya Sapardi Djoko Damono, "aku mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu". Mungkin seperti itu rasanya. Cukup dirasakan dan tak perlu diungkapkan.

Tamparan yang begitu keras juga saya dapatkan ketika minggu ini saya akan mengikuti Kelas Inspirasi di salah satu kota. Ada rasa bersalah yang kurang karena saya hanya bisa berkontribusi di Hari Inspirasi. Awalnya saya sudah merencanakan untuk melakukan sesuatu disana, tetapi diluar dugaan ternyata pekerjaan di kampus sedang menggunung sehingga saya hanya bisa hadir saat Hari Inspirasi. Lalu saya mencoba merefleksikan diri, "Terus ngapain kamu ke sana kalau cuma datang pas hari

inspirasi? Terus apa yang bisa kamu lakukan? Terus bisa apa cuma sehari saja?"

Jawabannya: Tidak Ada!

Nah dari situlah, mungkin saya bisa memulai dengan di Jogja yang relatif bisa terjangkau dari sisi jarak dan waktu. Saya berpikir bahwa KIY bisa melakukan lebih. Mungkin akan ada banyak relawan yang seperti saya, cuma datang pas hari inspirasi saja dan tidak bisa berkontribusi lebih. Entah tidak mampu atau tidak mau. Tetapi saya meyakini satu hal, saya punya teman-teman

yang

mempunyai "energi" yang luar biasa untuk meneruskan langkah KIY, yaitu KALIAN SEMUA yang membaca tulisan ini. Tidak perlu menunggu banyak orang–kalau banyak orang nyatanya justru tidak efektif–tetapi mari kita mulai

nyalakan kembali api semangat kita dari kerumunan kecil ini.

“Memulai langkah kecil tetapi kelihatan hasilnya akan lebih bermanfaat daripada hanya terus membayangkan langkah besar tanpa ada kelanjutan”.

Mari kita mulai teman-teman, Seperti halnya kegiatan-kegiatan yang sudah kita rintis semoga bisa terus berkelanjutan dan muncul embrio kegiatan yang lain. Jagongan—yang sudah lama tidak dilaksanakan—mari kita rutinkan kembali. Ini bukan hanya pekerjaan Lima Pilar saja tetapi kita semua bisa

berkontribusi. Saat-saat ini menurut saya adalah waktu yang tepat dimana banyak relawan baru untuk KIY 2016. Lalu pernah mendengar juga bahwa sudah ada rencana dari beberapa orang untuk melakukan pendampingan di salah satu SD. Mari kita bahas

bersama. Dan masih banyak PR kita yang belum terlaksana, misalnya adanya pembicaraan untuk

melaksanakan KIY yang tidak hanya sehari sehingga dapat berinteraksi lebih intens dengan anak-anak, orang tua, masyarakat, dan lain-lain. Masih banyak PR yang belum kita lakukan teman.

Masih semangat kan? Semoga terus bersemangat untuk menebarkan energi positif.

Salam, Galih Prabaningrum

Empat tahun yang lalu, di sela-sela ‘ngamen’ pada sebuah program nasional, tiba-tiba jari manis kaki kiriku memberikan signal untuk berhenti sejenak dari segala ritual kegiatan padat yang kulakukan. Saat itu ada banyak kegiatan yang sedang aku lakukan dari mulai menjadi seorang TA di program nasional tersebut, menjadi mitra beberapa perusahaan Swasta di Jakarta untuk menyalurkan Dana CSR mereka di berbagai kota/pulau, serta kegiatan hobi lain yang masih aku kerjakan. Alhasil setiap Senin aku berangkat Jakarta, Kamis sore loncat ke Padang sampai Sabtu sore, dan ke Yogya untuk bertemu anak istriku. Oh ya Anaku berusia 3 tahun saat itu sehingga setiap Minggu kami pasti akan bermain menghabiskan waktu karena Senin pagi aku harus berangkat lagi ke Jakarta. Lalu kenapa dengan jari manis kaki kananku? Ternyata telah ribuan kilo jarak kulangkahkan dalam kondisi seperti cerita di atas. Mungkin aku jadi absen

dan kurang perhatian dengan kaki-kaki yang menopangku melangkah. Pada suatu sore di tempat kost di Jakarta, tiba-tiba kurasakan sakit yang menekan di seputar jari manis kaki kananku, rasahnya nyeri tak tertahan. Awalnya kukira asam urat mulai menghampiri, mengingat segala makanan yang enak selalu menemaniku saat itu. Dengan berbagai cara aku mencoba meredakan namun tetap tak berhasil. Bahkan di minggu berikutnya terjadi luka di lapisan kulit meninggalkan bengkak yang cukup besar di seluruh kaki kananku. Bayangkan saja, sandal gunung yang biasa kupakai

sampai tidak bisa kukancingkan dengan benar. Namun dalam kondisi seperti itu kesombongan masih menyelimuti. Dengan langkah tertatih karena bengkak, masih pula terbang ke Bandung untuk melakukan training bagi teman-teman wilayah Sumatera dan Jawa Barat yang sedang menjalankan programku. Rencananya setelah training di Bandung akan berlanjut ke Lombok untuk aktifitas yang sama. Singkat cerita di Bandung kakiku semakin parah dan bengkak sehingga kutunda keberangkatan ke Lombok dan pulanglah ke Yogya untuk konsultasi dengan dokter. Terpaksa aku menantang debat dengan dokter

tersebut lebih kurang 1 jam. Bagaimana tidak? Dokter hanya memberi dua pilihan bagi kakiku. Pilihan pertama amputasi, memotong beberapa bagian kaki yang ternyata membusuk, atau pilihan kedua menjalani proses pengobatan baru dengan mencabut seluruh daging yang membusuk sampai bertemu daging segar yang sehat. Jangan bayangkan proses ini dilakukan dengan dibius kawan, proses ini dilakukan dengan memotong sedikit demi sedikit daging busuk tersebut sampai keluar darah dan aku teriak kesakitan sebagai tanda bahwa daging sehat sudah terlihat. Alatnyapun hanya dua; pinset dan gunting, tanpa obat

bius. Rasanya? Banyak pertanyaan seperti itu dilayangkan, dan aku hanya bisa menjawab seperti potongan adegan dalam film G30SPKI yang dulu selalu diputar. Ada satu adegan seorang perempuan menyilet lawannya sambil berkata “darah itu merah Jendral”. Aku menjalani proses tersebut di tempat tidur sekitar tiga bulan, sampai akhirnya daging sehat tumbuh dan menutup segala luka di kaki. Bonusnya sampai sekarang kakiku masih lengkap tanpa diamputasi. Dan pada saat terkapar itulah aku belajar mengenai tubuh ini. Jari manis di kaki sering tidak terlalu dihiraukan. Ukurannya kecil, tempatnya di bawah, tertutup kaos kaki dan sepatu yang pengap. Tak jarang terpaksa menginjak kerikil maupun telek. Sangat kontras dengan wajah, mulut, maupun bibir

kita yang selalu bertemu wajah cantik ganteng (saat cipika-cipiki), menikmati hidangan yang enak menyegarkan dan segala kenikmatan dunia yang lain. Namun ternyata ketika si jari manis di kaki sampai pada batas kemampuannya dan jatuh sakit, maka bibirpun tak akan mampu menikmati segala kenikmatan tadi. Hanya kesakitan yang terlontar pada saat itu. Jari manis yang kecil, nyempil sederhana namun berperan besar dalam mendukung dan menopang, ternyata juga perlu diperhatikan sama karena jika melewati batas kemampuannya maka ketiadaannya ternyata akan mengganggu seluruh sistem yang ada. Lalu apa hubungannya dengan kegiatan Kelas Inspirasi kita saat ini? Apalah artinya kegiatan yang hanya sehari bertemu anak-anak, bercerita

sebagaimana lazimnya? Jangan-jangan hari itu adalah hari laknat karena hanya sibuk pamer kepada anak didik tanpa mampu menyampaikan pesan moral yang baik bagi mereka? Ah tidak, aku masih meyakini ada nilai kebaikan yang sedang dilakukan, walau masih perlu perhatian yang cukup serius, sebagaimana cerita jari manis kakkiku yang ternyata memiliki peran yang besar pula dalam sistem tubuhku. Walaupun kecil, kegiatan KI pasti punya arti di dalam mata rantai pendidikan, pengajaran, dan kehidupan bebangsa bernegara kita, selama diniatkan

untuk kebaikan. Kehadiran yang cuma sehari, namun dibingkai sebagai mata rantai program yang berkesinambungan pasti akan berarti. Memang untuk itu dibutuhkan rantai-rantai pengikat, sebagaimana sebuah liontin tidak akan terlhat indah di leher wanita cantik jika tidak ada rantai kalung yang mengikat dan melingkarkannya. Maka biarkanlah yang liontin berlaku sebagai liontin dan yang lainnya dapat berperan sebagai rantai kalung yang melingkarkannya di leher jenjang nan anggun. Dan bukankah orkestrasi gamelan yang Kelompok Pathing Krompyang mainkan telah mengajarkan kebersamaan dan kesahajaan bunyi instrumen yang saling mengisi menenggang, menyemangati mengendalikan lagu dan irama, tanpa perlu ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Kendang bonang saron kempul gong kenong yang menyatu di dalam harmoni yang saling berkontribusi. Tidak ada Senior, tidak ada Junior, tidak ada yang paling hebat maupun yang hanya pengikut, karena Kelas Inpisrasi Yogyakarta hanyalah alat bagi kita semua untuk ikut berkontribusi kecil di dalam orkestra besar yang sedang dimainkan. Tabiikkk. Wijang WIjanarko

Assalamulaikum Wr. Wb.

Gelisah itu dimulai ketika open recruitment menerima pertanyaan kurang lebih "masa jabatan panitia KI sampai kapan ya?" yang dengan otomatis saya jawab "Satu tahun, hingga terbentuk kepengurusan tahun selanjutnya".

Setelah itu hening di kepala.

Satu tahun??? Apa yang sudah kulakukan satu tahun kepengurusan KI menjadi fasilitator?

Agak merasa bersalah menjawab pertanyaan tadi.

Wong kemarin "cuma" kegiatan sampai hari inspirasi saja kok. PIY (Pekan Inspirasi Yogyakarta) yang katanya bagian dari KI saja cuma jadi tim hore-hore, beberapa orang panitia malah curhat dan

merasa asing di acaranya sendiri, "Seperti menghadiri acara komunitas lain", katanya.

(mungkin dia sedang sensitif, wkwkwkwk)

Untuk tahun ini bolehlah berbangga hati karena kita sudah berhasil membuat ikatan kekeluargaan di antara kita, melahirkan bermacam kegiatan yang sudah berjalan dengan manajemen yang cukup baik, seperti karawitan dan jagongan yang justru idenya keluar dari

angkringan, ataupun kebersamaan di warung SS.

Miris ketika beberapa kali berkumpul dengan mantan relawan di cafe-cafe mahal, ide yang lahir di sana justru arisan dan beauty demo (bagaimana membuat alis contohnya) wkwkwkwkkkkkk

*intermezzo guys, banyak yang kita obrolin kok. Hanya saja ketika diajak membuat action plan ke SD sepertinya masih berat ya, masih banyak banget “TAPI”-nya.

Beberapa relawan lain SD juga mengeluhkan tidak kompaknya rekan satu tim.

Jika menggabungkan curhat Mbak Galih dan Mas Wijang, anggaplah 1 relawan aktif di 1 SD adalah 1 jari, jika ada 10 orang saja dari 10 SD, maka sudah bisa menjadi 10 jari, yang artinya sepasang

kaki siap melangkah (wkwkwkk mekso banget analogine) tidak perlu menunggu banyak orang—kalau banyak orang nyatanya justru tidak efektif.

Tahun ini, marilah kita membuat "ikatan keluarga" dengan sekolah, anak-anak, guru, dan orang tua. Marilah mulai merencanakan kegiatan selama 1 tahun penuh kepengurusan kita

Curhat :

Terasa agak absurd ketika beberapa kali mendapat pertanyaan seperti ini; "Mbak Karin kok semangat banget?"

Mau jawaban jujur?

“Karena aku punya Alifia. Aku percaya nanti akan ada seseorang yang sama semangat dengan saya untuk ngopeni Alifia ketika aku sedang tidak mendampinginya.”

Kebaikan untuk diteruskan, teman.

Wassaalamualaikum, Wr. Wb. Memi Karina

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Surat cinta untuk KIY

*berasa nulis surat buat seseorang

#ehhhbaperr

Aku terharu, sekaligus merinding baca tulisan-tulisan dari sesepuh, orang-orang yang

sudah berpengalaman banyak di bidang kerelawanan di atas. Duh, cerita Pak Wijang

tentang kaki aku ikutan merinding membacanya sampai terbayang-bayang. Tulisan

Mas Arif juga memantik, membuat gatel dan ingin menuliskan sesuatu juga. Dan

ternyata Mbak Karina juga sosok keibuan banget demi Alifia ya Mbak (halah ini malah

mengomentari tulisan satu-satu).

Ya, walaupun tulisanku ini dari segi linguistik dan ide mungkin belum ada apa-

apanya, pada intinya kalau buat aku pribadi aku sendiri sudah jatuh cinta sama KIY.

Sama halnya seperti Mbak Galih yang bilang perasaan itu tidak bisa dideskripsikan. Di

sini, di KIY, aku ingin belajar untuk menjadi relawan yang tulus, tulus melakukan dan

berkontribusi dari hati. Kalau dulu awal ikut KI niatnya cuma sekedar cari

pengalaman saja (seperti tim hore-hore begitu), tetapi semakin ke sini memang

merasa seperti ada yang kurang. Sehari di hari inspirasi saja memang tidak cukup

untuk melakukan suatu perubahan. Bisa saja anak-anak SD yang katanya kita beri

inspirasi dengan beragam profesi, tidak menutup kemungkinan mereka sudah lupa di

hari berikutnya. Kalau ditanya cita-cita mereka apa, kebanyakan masih di profesi itu-

itu saja; dokter, guru, pilot, pemain sepak bola, dll. Hanya sedikit mungkin yang

tergerak hatinya untuk bercita-cita dengan profesi yang baru atau namanya aneh dan

sulit diucapkan yang mereka dapat dari relawan pengajar pas di hari inspirasi itu.

Huru-hara hari inspirasi seolah lenyap ketika hari inspirasi sudah usai.

Iya sih memang terasa sekali, setelah hari inspirasi mungkin hanya bertahan

beberapa hari atau minggu saja grup di whats app kelompok SD aktif. Habis itu lenyap

lagi dan kembali ke rutinitas masing-masing. Mungkin banyak dari para relawan yang

cuma menganggap kelas inspirasi pas hari inspirasi saja, ya tapi memang begitu

kenyataannya kalau mencari dimana-mana, deskripsi tentang kelas inspirasi itu

kegiatan mengajar para profesional dalam sehari di SD.

Memang sangat disayangkan, kontribusi ke sekolah-sekolah itu jadinya cuma sehari

saja tanpa ada kelanjutan lagi. Mungkin untuk selanjutnya bisa dibuat komitmen bagi

para relawan untuk membuat program berkelanjutan selama setahun untuk sekolah

yang didatangi, sambil nantinya kita lihat apakah setahun itu cukup atau tidak.

Melakukan pendampingan ke SD saya juga setuju, dan pelaksanaan kelas inspirasi

yang tidak cuma satu hari kalau bisa biar lebih dekat dengan warga atau anak-anak

seperti usul teman-teman kemarin saya juga setuju.

Sekadar usul saja, mungkin semisal melakukan program seminar parenting ke para

orang tua bisa menjadi salah satu option untuk program keberlanjutan KI. Karena

bagaimanapun juga orang tua adalah yang paling dekat dan banyak bertemu langsung

dengan anak-anak. Seringkali kesadaran orang tua masih kurang tentang pendidikan

dan cara mendidik anak apalagi di desa-desa.

Selain itu, pendampingan ke para relawan juga perlu untuk tahu dan mencari

relawan-relawan yang benar-benar ingin melakukan perubahan terhadap KIY agar

KIY bukan cuma event sehari.

Mungkin itu saja uneg-uneg sekaligus curhatan dari aku. Tata bahasanya morat-marit

tapi semoga bisa dipahami. hehee...

Jujur aku sendiri senang bisa menjadi bagian dari KIY karena aku bertemu dengan

kalian semua orang-orang hebat yang rasanya sudah seperti keluarga. Tak perlu

banyak kata terucap, yang penting hati ini cukup berbicara. Kalau sudah hati yang

berbicara, apa mau dikata. #ehh

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

With love,

Devi Murti Prakastiwi

Kawan- kawan,

Berhubung saya disuruh untuk menulis oleh beberapa

teman di whats app group, yo wes aku tak nulis, ben

kekinian.

Sebenarnya saya ingin cerita banyak tetapi malas

mengetiknya. Jadi saya bikin per-point.

Kalau masalah KI, saya kira teman-teman lebih

banyak yang paham seluk beluk dari sejarahnya

sampai yang belakangan ini terbentuk panitia KI

2016.

Saya pribadi melihat KI sebagai ‘pelarian’ dari

pekerjaan saya yang cukup menguras pikiran.

Intinya saya cuma mau berbagi pengalaman

karena tidak ada yang lain yang bisa saya

tawarkan, karena waktu terbatas, uang

terbatas. Yo wis mung duwe kui. Ada kepuasan

ketika bisa berbagi, dan cara untuk berbagi yang

paling baik menurut saya adalah berbagi

pengalaman bagi siapapun yang mau

mendengarkan, karena pengalaman adalah

sebaik-baik guru yang bisa jadi ilmu.

Nah, kalau saya membicarakan motif/

kepentingan saya menjadi relawan/volunteer KIY

2 yang kata Kakang Patih itu kata yang “sakral”,

jelas saya tidak mampu jika saya tidak memiliki

motif tertentu. Seorang ibu pun akan menuntut

kepatuhan anaknya kelak, ketika ibu tersebut

menyapih anaknya diwaktu bayi. Saat sang ibu

mengandung selama 9 bulan, Sang ibu pun ingin

disayangi oleh anaknya nanti.

Saya pun sama tetap menginginkan timbal balik

serupa, saya ingin berkumpul dan mendengar

pengalaman dari dengan panjenengan-

panjenengan yang (saya anggap) hebat dalam

bidangnya masing-masing. Karena memang

berkumpul itu adalah kodrat manusia untuk

menjadi makhluk sosial. Saya ingin belajar dari

‘guru-guru’ anda yang belum pernah saya kenal

sebelumnya meskipun dengan segala

keterbatasan saya.

Nyata memang kebenaranya kalau membaca artikel

Butet Manurung terakhir yang di share mbak Dannis

mengenai teori “TAPI” namun rasanya saya kurang

sepaham. “Saya ingin berkontribusi di KI tapi saya

harus bekerja”, klausa terakhir mematahkan

semangat dari klausa pertama karena kata

“tapi”. Kalau memang memungkinkan saya balik

klausanya dan saya ganti kata penghubungnya “saya

bekerja dan saya tetap ingin berkontribusi di KI”

seperti kawan-kawan lain yang saya sebutkan

sebelumnya.

Ingin sekali rasanya mematahkan banyak stigma dari

beberapa teman kuliah dan teman kerja dimana

orang-orang yang bekerja di ujung negeri tidak dapat

lagi melakukan kegiatan sosial karena menyerah

terhadap waktu dan jarak.

Tuhan tidak pernah bermain

dadu dengan siapa kita akan

bertemu.

Iya, Karena keluarga adalah teman yang telah Tuhan

pilih untuk kita, dan teman adalah keluarga yang kita

pilih sendiri untuk kita temui.

Salam,

Agen Selo, jual explosive partai besar

jika sakit berlanjut hubungi dokter.

Budyanung Anindita

Teman-teman yang saya cinta, Mohon maaf baru bisa menulis, berhubung kemarin sedang road trip (baca: piknik, red.), otak berpikirnya diistirahatkan, heeeu. Saya pribadi sih sangat setuju dengan apa yang telah ditulis Pak Wijang, tapi karena dikirimi pesan via whatsapp diminta menulis, maka menulislah saya :D Siap-siap, saya mau nggambleh :p KIY itu menurut saya merupakan sebuah rangkaian proses yang mana tiap tahapannya memiliki tujuan/hasil/output-nya sendiri-sendiri. Yakinlah bahwa setiap hasil pun akan melahirkan proses-proses berkelanjutan. Jadi ketika saat ini keberadaan KIY masih sebagai pelopor, penelur ide/gagasan, penggerak, maka ketika semua pihak sudah bergerak bersama, posisi KIY dapat naik level: pembina, pengawas, pendamping, pengayom, penginspirasi. Pun tugas-tugasnya tak pernah ada kata selesai jika sudah bersinggungan dengan masyarakat—para penerima manfaat KIY.

Kegelisahan saya ada banyak sebetulnya, tapi yang terbesar pada dua hal:

Dengan alat apa kita bisa mengukur efektivitas program Hari Inspirasi bagi para penerima manfaat? Dan apa sesungguhnya motivasi para relawan yang kembali/tidak kembali ke sekolah

setelah Hari Inspirasi?

Saya berpikir jika kita bisa mengukur dua hal tersebut, kita dapat menentukan langkah dan strategi lebih baik untuk ke depannya. Untuk saat ini sih yang terpikir teknisnya menggunakan angket dan dikirimkan ke para relawan pengajar untuk mendapatkan feedback. Dan jelas butuh effort untuk "ngoyak-oyak" alias tak bosan-bosan mengingatkan. Yang tidak kalah penting juga, meminta feedback dari para penerima manfaat KIY; guru, sekolah, dan murid. Kegelisahan lainnya seputar teknis "SOP" KI secara nasional. Jika kebijakan tiap-tiap daerah berbeda-beda, apakah itu akan mempengaruhi motivasi para relawan pengajar? Bagaimana peran fasilitator sebetulnya? Saya rasa ada beberapa hal yang harus disepakati secara nasional, termasuk penginterpretasian dari 7 prinsip dasar KI itu sendiri. Perlukah KIY membuat tema besar secara periodik? Katakanlah program kerja satu tahun. Ini dapat dilakukan dan akan sangat baik karena kegiatan akan lebih terarah. Lebih baik lagi jika ada timeline-nya. Sebagai permulaan, kita sudah punya Jagongan yang sungguh sangat baik semangatnya (ayo diaktifkan lagi). Jagongan ini dapat menjadi cikal bakal kegiatan besar kalau diseriusi. Bisa memperbincangkan isu-isu seksi pendidikan dengan mengundang nara sumber relawan pengajar KIY yang kece-kece itu (yang database-nya kita punya), dan kelebihannya, acara ini gratis, tis, tis. Tinggal diperbaiki manajemennya, perbaharui konsepnya, dipersegar tema-temanya, dikencangkan publikasinya, maka insyaallah banyak peminatnya. Pun teman-teman penyelenggara Jagongan tidak sekedar menjadi EO karena juga harus banyak membaca dan berdiskusi untuk membuat ToR (Term of Reference) dan memperbincangkan isu yang akan dipilih. Lalu kelas Karawitan, Bahasa Inggris, dan Tari. Apakah Karawitan dan Tari ada hubungannya dengan pendidikan? Jelasssssssss ada. Tetapi lebih dari itu, kegiatan tersebut merekatkan ide dan gagasan yang kadang muncul di sela-sela obrolan kelas Karawitan dan Tari. Pun proses berkesenian itu sesungguhnya merangsang otak kreatif kita untuk berputar lebih cepat dan anti-mainstream. Ke depannya, dapat kita pikirkan bersama kegiatan apa lagi yang dapat kita kerjakan—dan kegiatan berpikir (sambil nongkrong ngopi-ngopi) ini akan sangat baik jika melibatkan para relawan-relawan baru kita, untuk regenerasi dan memastikan api KIY tetap menyala. Satu hal yang perlu kita semua pahami, bahwa relawan itu adalah sukarela. Tidak dapat dipaksa. Pun kontribusi yang dapat diberikan juga bervariasi. Kita sebaiknya tidak begitu saja menilai kontribusi si A kecil dan kontribusi si B besar, karena mungkin, sampai di situlah kemampuan dan ketersedian waktunya. Belajar menerima bahwa kadar kerelawanan setiap orang bisa berbeda-beda, dan jangan lupa apresiasilah setiap kontribusi yang diberikan, karena - menurut yang selama ini saya percaya—tidak ada yang percuma, dan tidak ada yang sama sekali tidak berguna,

tinggal dari sudut mana kita menyikapinya. Ini juga yang selalu saya tekankan pada setiap relawan baru di Rifka Annisa, yang hasilnya malah melebihi ekspektasi. Dari situ kita bisa belajar memetakan, ke relawan mana kita bisa meminta tolong jika membutuhkan bantuan A, ke relawan mana kita bisa meminta tolong jika membutuhkan bantuan B, dst. Pun, setiap orang juga punya karakter yang berbeda-beda, dan melahirkan gaya kontribusi yang berbeda dan membutuhkan perlakuan yang berbeda. Misal relawan A suka eksis, maka KIY bisa memberikan dia "panggung" supaya dia bisa berkontribusi sesuai kemampuannya. Nah, tugas KIY di sini adalah bagaimana cara menciptakan tempat yang nyaman untuk para relawan, di mana dia bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuannya tanpa merasa kecil hati. Ingat, KIY bukan perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk datang 8 jam sehari selama 5 atau 6 hari. Tidak ada tuntutan yang harus dipenuhi, hanya komitmen di tiap-tiap individu. Nah, mengenai komitmen, beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca tulisan yang di share oleh Adrian, bahwa relawan itu memerlukan komitmen. Itu sangat betul, tapi apakah kita bisa mengontrol komitmen seseorang? Tentu saja tidak bisa. Kita juga tidak bisa memaksa karena yang dipaksakan itu hasilnya pasti tidak baik *tsaaaahhh*. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan tempat dan suasana yang dapat merebut hati dan komitmen mereka. PR besar, kawan-kawan ;) Mengapa saya menjadi relawan di KIY? Ada satu falsafah Jawa yang saya suka, dan saya yakin teman-teman juga sudah mengetahui: Migunani Tumraping Liyan. Sebelas dua belas lah sama yang ditulis Butet. Langkah saya menjadi lebih ringan dan senyum saya lebih lebar ketika saya berhasil membantu orang lain. Seperti saat masih bekerja

di Jakarta, dalam perjalanan ke kantor setiap pagi saya selalu berusaha membantu orang lain, sekecil apapun. Entah memberikan tempat duduk, menjawab pertanyaan mengenai arah, menjadi pendengar yang baik untuk ibu-ibu pedagang kaki lima di halte, atau membeli sesuatu dari anak kecil—yang sebetulnya sih barangnya saya nggak perlu-perlu amat. Tapi mendengar mereka mengucapkan terima kasih dan tahu bahwa kita sudah membantu itu membuat hari saya menjadi lebih ceria. Seperti senyum anak-anak di Hari Inspirasi, it is priceless. Saya menginginkan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia—terutama mereka yang tidak memiliki banyak pilihan dan hidup dalam keterbatasan. Dengan menjadi bagian dari KIY, saya meyakini bahwa saya berada dalam bagian kecil dari orkestra besar yang sedang dimainkan—meminjam istilah Pak Wijang—dan tugas kita meyakinkan teman-teman relawan baru bahwa mereka pun demikian. Namun jika ada satu, dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh yang tidak berhasil, ya apa mau dikata, mungkin memang komitmennya bukan di sini bersama KIY, atau terbagi-bagi dengan yang lain. Namun apresiasilah kontribusi mereka, apapun bentuknya. Tetap semangat teman-teman. Jangan lupa jatuh cinta dan bahagia. Sincerely, Nurina W