saya putih maka saya ada

72
SAYA PUTIH MAKA SAYA ADA: Menyibak kehidupan sosial masyarakat Eropa di Indonesia Hatib Abdul Kadir Dosen Antropologi Budaya-FIB-UB

Upload: besthio-arsa

Post on 22-Feb-2016

253 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Saya Putih Maka Saya Ada, Hatib Abdul Kadir

TRANSCRIPT

Page 1: Saya Putih Maka Saya Ada

SAYA PUTIH MAKA SAYA ADA:Menyibak kehidupan sosial masyarakat Eropa di Indonesia • Hatib Abdul Kadir • Dosen Antropologi Budaya-FIB-UB

Page 2: Saya Putih Maka Saya Ada

Perubahan-perubahan sosial di Hindia Belanda

• Pasca 1870 dibukanya terusan suez• Komersialisasi tanaman global (kopi, teh, vanilla, kina, tebu)• Munculnya klas menengah Belanda yang terdidik dan kaum

profesional dan perempuan kolonial • Munculnya societiet (gelembung kolonial baru) di bioskop,

lapangan tennis, kolam renang biliard dll• Munculnya makna leisure time, middle class profesional, city

and real estate (Fakih, 2007).

Page 3: Saya Putih Maka Saya Ada

• Munculnya municipality (batas tata pemerintahan

kota): drainase, kolam, sanitasi, tembok, sewerage (selokan), tugu (kesadaran tentang batas dan perbatasan), buildings kontrol terhadap tanah.

• Insinyur2 berlebihan dari Delft yang dikirim membangun arsitektur konsep garden city (Thomas Karsten, Ponty), memisahkan dengan kampoong

Page 4: Saya Putih Maka Saya Ada

Rancangan Kota-kota Kolonial

• Empat zona modernitas kulit putih: - Industrial zone- A housing zone (meant for social housing): Ijen, Darmo - A villa zone (for middle to upper class housing) whereby lands

were allocated for building companies: Lembang, Tretes. - A sport zone complete with an airstrip (Abdurrahman Saleh)

• Zona-zona pemukiman berdasarkan ras: Kampung Arab, Cina dan Jawa (Solo, Malang, Bandung, Semarang, Surabaya; Jakarta)

Page 5: Saya Putih Maka Saya Ada

(1935) Mevrouw R. Bijleveld-Visser met haar dochters Koosje (r.) en Reina (Malang)Perempuan Pemreproduksi kebersihan dan disiplin,

Page 6: Saya Putih Maka Saya Ada

Seorang Babu dengan La Reina dan Koosje Bijleveld di Malang (1934)

Page 7: Saya Putih Maka Saya Ada

.

A. Babu penerus tradisi kebersihan, makan pagi, makan malam, sanitasi, pakaian rapi dllb. Gambar pembantu dengan kulit putih bukan menunjukkan “kolonisasi” tapi perhatian dan kecintaan terhadap “kulit putih” kolonial c. Different child rearing, instead of holding/gendong is by carriage, not intimacy but controlled contact. To avoid sweat and smell.

Page 8: Saya Putih Maka Saya Ada

• Munculnya akhir pekan di kota2 pegunungan, fenomena awal abad 20. Menggantikan coastal cities. Mis: Puncak, Lembang, Bandungan, Tosari, Tretes, Batu, Nongkojajar, Kaliurang, Tawangmangu, Baturaden.

• Pada tahun 1940an jumlah kunjungan orang Eropa ke Bandung mencapai 200 ribu/tahun.

• Konsep vakansi/liburan tidak terjadi pada orang Cina yang sibuk berbisnis, dan priyayi jawa yang masih miskin, meski bekerja di kantor

Page 9: Saya Putih Maka Saya Ada

Malang & Bandung: Kota yang dibangun untuk Orang Eropa• Malang: Akhir abad 19 penduduk kurang dari 15 ribu. Pada tahun 1890, 12,040

orang, sekitar 10,000 Indonesian, 1.500 China, dan kurang 500 European. • 1914, penduduk Malang mencapai 50,000, 40,000 Indonesian, 5,000 Chinese dan

2.500 European. Penduduk Cina meningkat dari 4.325 di 1920 ke 8.466 pada 1930. Pada saat yang sama penduduk Eropa di Surabaya meningkat populasinya dari 17.497 ke 25.900,.

• Menjelang tahun 1940, penduduk Malang meningkat ke 169,000, dengan 142,000 Indonesians and lebih dari 13.000 Europeans. Penduduk Eropa meningkat tajam.

• Bandung: sekitar 11,000 orang dengan hanya 9 Europeans pada tahun 1846. • Bahkan pada tahun 1889 hanya ada 300 Europeans dan 1,000 Chinese. Pada tahun

1905 European 2,200 and Chinese 3,800 dari total penduduk 47,500. • Orang Eropa di Bandung meningkat menjadi 2000 European pada 1900 ke 30.000

menjelang tahun 1940. Sedangkan orang Chinese 27.000. • Bandung pada tahun 1930an mempunyai rasio tertinggi orang Eropa, yang mencapai

12% dari total penduduk. Sedangkan kota-kota seperti Semarang rasionya menurun dibandingkan dengan jumlah total penduduk pribumi. Rasio orang Eropa ke non Eropa dari tahun 1920 ke 1930, dari 6.42% ke 5.78%.

• Kota-kota di gunung, Malang & Bandung=“kota-kota Eropa di selatan Perancis dan Italia” menggantikan kota di pantai.

Page 10: Saya Putih Maka Saya Ada

• Walikota pertama Malang, H. I. Bussemaker, “Malang adalah sebuah kota orang Eropa, yang akan menjadi pusat untuk pendidikan, perkembangan kebudayaan, dan pemukiman, didukung oleh alamnya, pengorbanan masyarakat pribuminya, kesehatan udaranya, tempat yang nyaman untuk hidup dan bercinta, dimana orang menjadi enggan untuk mati”

Page 11: Saya Putih Maka Saya Ada

Sebuah perahu dayung perjalanan di dekat Danau Wendit Malang, 1910

Page 12: Saya Putih Maka Saya Ada

Kesadaran terhadap lingkungan yang dinginKesadaran terhadap lingkungan yang dingin: : William dan Harry Hirsch William dan Harry Hirsch ((pasangan insinyur pertanianpasangan insinyur pertanian) ) menunggang kuda Poedjon di Jawamenunggang kuda Poedjon di Jawa, , foto foto diambil masa resesidiambil masa resesi, , 1930-01-041930-01-04Ciri khas pasangan pasca indies, 1920, adalah dengan perempuan Ciri khas pasangan pasca indies, 1920, adalah dengan perempuan Eropa, bukan dengan gundikEropa, bukan dengan gundik

Page 13: Saya Putih Maka Saya Ada

Harry (pertama dari kiri) dan Willy Hirsch (kedua dari kiri) membangun rumahnya di Batu: dalam sebuah pesta, 1938-06-12

Page 14: Saya Putih Maka Saya Ada

Kolam renang, selecta, Juli, 1934

Page 15: Saya Putih Maka Saya Ada

Kolam renang yang rasis di Tretes: Khusus kulit putih dan tempat sosialisasi orang2 Eropa, September 1931

Page 16: Saya Putih Maka Saya Ada

Teknologi untuk memisahkan (Mrazek): Bus kapasitas 20 orang milik Oost Java Stoomtram Maatschappij dari Malang menuju Tumpang. Hilangnya transportasi sungai, dan munculnya transportasi publik untuk pribumi, 1928

Page 17: Saya Putih Maka Saya Ada

Jalur kereta api Malang-Blitar dibuka, 1900

Page 18: Saya Putih Maka Saya Ada

Bandoeng: De Ideale Woon en Vacantiestad Perjalanan menuju Bandung di tahun 1930-an dengan jalan aspal

mengimajinasikan modernitas (Fakih, 2007)

Page 19: Saya Putih Maka Saya Ada

Gaya hidup orang Eropa yang modern. Munculnya imajinasi eksotik, kartupos, baliho (Fakih. 2007)

Page 20: Saya Putih Maka Saya Ada

Source: De Indische Post, 1936 via Fakih 2007Tretes: Alpen di Jawa Timur Iklan ini menggambarkan sebuah masyarakat yang merindukan alam tetapi pada saat yang sama menuntut hal kenyamanan seperti listrik modern dan air PAM.. Gambar anak laki-laki dengan pakaian Gunung Swiss dan Jerman

Page 21: Saya Putih Maka Saya Ada

Bandung: Surga untuk anak-anak totok , 1930

Page 22: Saya Putih Maka Saya Ada

Orang-orang Indo yang terkutuk: Indo-Europese families te Malang, 1936

Page 23: Saya Putih Maka Saya Ada

Orang-Orang Eropa Pascakolonial

Page 24: Saya Putih Maka Saya Ada

• Istilah 'ekspatriat' telah menjadi terkenal sehubungan dengan 'Generasi yang Hilang pada para penulis Amerika yang tinggal di Paris setelah Perang Dunia I, yang meliputi Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald dan Gertrude Stein. Mereka menderita keletihan, keterasingan dan alkohol, seperti yang digambarkan dalam novel dan cerita pendek Anthony Burgess, Joseph Conrad dan Somerset MaughamSebuah kutipan dari novel Hemingway, The Sun Also Rises, menggambarkan kiasan kemerosotan moral yang terkait dengan eksistensi kaum ekspatriat: "Anda seorang ekspatriat. Anda telah kehilangan kontak dengan tanah air. Meski anda mendapatkan hal yang berharga yakni standar orang Eropa yang palsu telah menghancurkan mu. Anda minum sampai mati. Anda menjadi terobsesi ddengan seks. Anda menghabiskan seluruh waktu Anda berbicara, tidak bekerja. Anda adalah ekspatriat“ (periksa, Hemingway 1926, Bab 12).

Page 25: Saya Putih Maka Saya Ada

1. Survei menunjukkan, biaya hidup tahunan untuk ekspatriat dan pasangan di Jakarta diperkirakan 102.184 USD pada tahun 1995 (PT Price Waterhouse Sutanto 1995). 2. Dua kelompok, mereka yang bisa disebut ‘ekspatriat berkeluarga' dan 'profesional muda'.

“kesulitan ideologis” = pendapatan berbeda

dengan masyarakat sekitar, namun tetap dijalani. Mis: pekerja Indonesia di Tim-Tim

Page 26: Saya Putih Maka Saya Ada

mayoritas dari 58.070 warga asing di Jakarta sementara terdaftar pada tahun 1995 (Statistik Indonesia 1995: 45-46) orang Asia (34779), dibandingkan dengan 11.787 orang Eropa dan 7.579 orang Amerika. Australia merupakan penduduk asing yang cukup besar di Jakarta (3.731 pada tahun 1995)

Mereka bekerja di daerah dengan investasi asing yang cukup besar, seperti industri minyak dan gas, pertambangan dan penebangan, perdagangan, manufaktur, perbankan, konsultasi manajemen, dan industri perhotelan, tetapi juga dalam pembangunan, pendidikan, dan lembaga kebudayaan.

Page 27: Saya Putih Maka Saya Ada

“the others”

1. Dalam tulisan-tulisan tentang orang Kulit putih mencerminkan ketidakhadiran orang Indonesia dari kehidupan ekspatriat

2. Terdapat sejumlah penceritaan dalam interaksi yang berulang, dan stereotipe tentang orang Indonesia: orang Jawa biasanya digambarkan sebagai orang yang bersikap sopan, tapi 'salah tempat', malas dan lambat dalam belajar, sedangkan etnis Tionghoa dianggap serakah; pengendara jalanan yang agak sembrono dan egois

Page 28: Saya Putih Maka Saya Ada

Lingkungan perkotaan khususnya Jakarta, dengan lalu lintas intens-nya, panas, bising, polusi udara, dan kurangnya daerah pejalan kaki, transportasi publik yang nyaman dan ruang hijau menimbulkan serangkaian praktik spasial tertentu.

Ini memaksakan ekspatriat keluar dari keadaan spasial Indonesia, tetapi pada saat yang sama menawarkan kemungkinan, dengan adanya perumahan yang eksklusif, penyediaan ruang ber-AC dan penggunaan sopir untuk membantu melarikan diri lingkungan ini, dan meminimalkan kontak dengan orang Indonesia.

Kehidupan yang Kontras:

Page 29: Saya Putih Maka Saya Ada

Clifford dan Marcus (1986) berkenaan dengan kekuatan representasi dalam penulisan etnografi, secara luas tidak ada perubahan mendasar dalam kecenderungan kegemaran antropolog untuk 'meneliti hal-hal yang dihilir/bawah'. Dalam mode komplementer, pemahaman terhadap 'komunitas miskin' hanya dapat sepenuhnya dicapai melalui meneliti strata masyarakat kaya. Karena itu, sarannya, adalah lebih baik mempelajari 'penjajah daripada dijajah' (1972:289)

Page 30: Saya Putih Maka Saya Ada

• Ekspatriat tidak sama dengan wisatawan dan tidak sama dengan peneliti antropolog.

• Malinowski misalnya menghina orang kulit Putih yang ditemuinya di lapangan penelitian Kepulauan Trobriand sebagai 'laki-laki yang yang telah hidup selama bertahun-tahun di suatu tempat dan mempunyai peluang untuk mengamati pribumi dan berkomunikasi dengan mereka, namun tidak tahu tentang satu hal pul tentang mereka dengan benar-benar baik ', meskipun ia tidak menyebutkan beberapa temannya sebagai pengecualian (Malinowski 1922:5-6).

• Ekspatriat hidup dalam masyarakat dengan sepenuhnya tidak terkait dengan budaya lokal yang nyata di mana terletak kepentingan para antropolog

Page 31: Saya Putih Maka Saya Ada

• Kehidupan global tidak cair.• Kecenderungan yang signifikan dalam literatur

transnasionalisme dan globalisasi adalah untuk merayakan munculnya 'arus global'.

• Antusiasme tersebut didorong oleh pemahaman bahwa globalisasi terdiri dari pergerakan modal, barang dan orang serta ideologi dan budaya, sehingga menentang konsep tradisional dari budaya sebagai sesuatu yang dibatasi (Appadurai 1996).

Page 32: Saya Putih Maka Saya Ada

• Kritik terhadap wacana arus (flow) didasakan pada ketidaksetaraan yang dipertahankan. Appadurai cenderung merayakan karakter pembebasan praktik transnasional dengan melupakan dominasi dan resistensi yang membutuhkan analisis lebih bernuansa daripada hanya menekankan pada visi perayaannya.

• Kritik terhadap flow bertujuan untuk membawa kembali ke fokus dominasi asimetri yang abadi, ketidakadilan, rasisme, seksisme, konflik kelas, dan tidak meratanya pembangunan di mana praktik transnasional tertanam dan yang kadang-kadang mereka abaikan '(Smith dan Guarnizo 1998:6)

Page 33: Saya Putih Maka Saya Ada

Hannerz menggambarkan ekspatriat yang sering bergerak secara global dan yang 'ingin membenamkan diri mereka dengan budaya lain sebagai penikmat kosmopolitan (Hannerz 1996:105), mereka mampu dan berpikiran terbuka, merasa bebas untuk melakukan atau melepaskan diri dalam skenario lokal serta menambah atau menghapus bagian dari 'budaya lain' dari mempunyai repertoar pribadi pada pilihan mereka sendiri. Hannerz menyebut mereka

sebagai 'kelas baru', yang pada umumnya berkarakteristik mendekontekstualisasikan modal budayanya (1996:108).

Micklethwait dan Woolridge mengidentifikasi orang-orang ini sebagai 'cosmocrats', dimana sikap dan gaya hidup dari mereka lebih sekedar rekening bank yang dimilikinya'(2001:230).

Page 34: Saya Putih Maka Saya Ada

Latar Belakang Teori • Ekspatriat dapat juga dianggap sebagai korban

dari munculnya batas, meskipun mereka sendiri yang membangunnya, memelihara, dan bernegosiasi. Batas-batas yang dimaksud di sini adalah terutama ras, kebangsaan dan gender

• Batas ditentukan oleh identitas etnis, sedangkan identitas etnis lebih sering mengacu bukan pada budaya, melainkan hal-hal yang bersifat relasional dan teritoris.

Page 35: Saya Putih Maka Saya Ada

• Meyer dan Geschiere, bahwa arus (flows) dan batas-batas (boundaries) tidak bersifat berlawanan. Batas bersifat terbuka dan tertutup

• Konjungsi dan Disjungsi (De Certeau)• Pengertian tentang batas identitas selalu didasarkan

pada gagasan perbedaan, liyan, atau apa yang ada di luar batas. Hall menggambarkan ini sebagai ‘perlunya liyan terhadap diri '(Hall 1991:48)

• Purity and Danger (1966), Mary Douglas:Batas bersifat fisik dan simbolik

• Ekspatriat mengeluarkan energi yang cukup besar untuk mempertahankan batas-batas ini, kebocoran adalah sesuatu yang tidak diinginkan.

Page 36: Saya Putih Maka Saya Ada

Literature Review• Penciptaan dari sebuah 'gelembung' Ke-Eropa an

dalam masyarakat koloni atau masyarakat tuan rumah. Konteks dari studi kolonial, seperti karya Stoler tentang kolonial Eropa di Sumatera, menyediakan cukup bukti dari praktek-praktek tersebut (Stoler 2002:22-40).

• 'gaya hidup ekspatriat sering menyerupai - Sadar atau tidak sadar - para pejabat kolonial. Namun, ada juga beberapa perbedaan penting antara komposisi sosial dan sikap masyarakat kolonial berkulit putih ini dan orang-orang dari komunitas ekspatriat baru pasca-kolonial' (Cohen 1977:8).

Page 37: Saya Putih Maka Saya Ada

Gender: Perempuan Ekspatriat• Perempuan kolonial berkulit putih memegang posisi

ambigu sebagai anggota kelompok Barat yang kuat di satu sisi, sementara di sisi lain ia dirugikan sebagai perempuan di kebanyakan sistem patriarkal.

• “Incorporated Wife” seorang perempuan bagian implisit dari kontrak antara suami dan majikannya. Kumpulan artikel dalam koleksi termasuk studi kasus Memsahibs (perempuan Inggris yang tinggal di wilayah Jajahan, penerj) di wilayah jajahan Melayu (Brownfoot 1984), serta istri-istri karyawan di perusahaan minyak internasional Shell (Tremayne 1984), menunjukkan model 'Incorporated Wife'

Page 38: Saya Putih Maka Saya Ada

• Memsahibs di India telah disalahkan sifat 'keangkuhan, pemanjaan diri, kesembronoan dan kelambanan' (Knapman 1986:15). Perempuan Australia di Papua New Guinea dipandang sebagai: 'munafik, rasis, otoriter, serta cemburu (Bulbeck 1992:238). Walaupun perempuan Belanda di Hindia Timur (Indonesia) memiliki reputasi yang lebih baik daripada perempuan Inggris, mereka juga dikritik karena menganut paham rasisme (Locher-Scholten 2000:121).

• perempuan Eropa menghancurkan hubungan ras yang seharusnya dibangun secara bagus antara laki-laki Eropa dan perempuan lokal, dan mereka bertanggung jawab atas runtuhnya kerajaan kolonilialisme (menyuruh suami korupsi

Page 39: Saya Putih Maka Saya Ada

• Tuhan, berilah kami kekuatan untuk tersenyum pada pembantu kami,yang mengambil pemutih untuk membersihkan karpet Persia kami yang mengagumkan.

Berilah kami kesabaran ya Tuhan, ketika kita menjelaskan untuk keseratus kalinya

• Ya Tuhan, lindungilah kami dari apa apa yang disebut 'tawar-menawar' kami tidak perlu atau tidak mampu.

• Bapa Mahakuasa, jagalah suami kami dari melihat perempuan asing dan membandingkannya mereka kepada kami.

(Sumber: Anonymous, www.expat.or.id, diakses Agustus 2006)

Page 40: Saya Putih Maka Saya Ada

• Karya Stoler adalah cukup relevan khususnya di sini, karena beberapa argumen-nya tentang kehidupan Hindia Belanda sangat sesuai dengan situasi ekspatriat kontemporer, terutama tesisnya yang mengatakan bahwa arena domestik (back stage) merupakan pusat berpotensi untuk membuat dan tidak membuat terjadinya proyek kerajaan (front stage). Hubungan politik dominasi yang diulangi dalam 'dapur, kasur, dan pengasuhan (Stoler 2001:829).

Page 41: Saya Putih Maka Saya Ada

Stoler mengeksplorasi, misalnya, teknologi dan gender menegakkan ketatnya rezim Eropa tentang kebersihan juga bermaksud untuk mempertajam perbedaan antara penjajah dan dijajah, dengan mereproduksi sifat borjuisme Eropa di luar negeri, sebenarnya juga memperluas kepatuhan kepada konvensi ketat tentang kebersihan dan memasak yang paling banyak ditekankan perempuan kolonial dan orang-orang yang melayani mereka "(Stoler 2002:71).

Page 42: Saya Putih Maka Saya Ada

• Istri mengalami regressive activities, kembali ke pekerjaan domestik

• Praktek migrasi transnasional dapat melanggengkan berdirinya hirarki gender

• Orientalisme, khususnya di Asia Tenggara, hubungan antara ras dan gender sering dikonseptualisasikan dalam bentuk feminitas Timur dan maskulinitas Barat. Manderson and Jolly (1997): subjek kolonial biasanya dibayangkan sebagai laki-laki dalam kiasan maskulinis yang mempenetrasi ruang gelap atau perpanjangan anggota laki-laki yang jantan ke dalam tempat yang asing (1997:7).

• Said (1978) mengenai 'Timur yang digambarkan sebagai pasif dan perempuan, dan rentan terhadap penetrasi maskulin Barat'. Lantas bagaimana dengan perempuan yang ke daerah Timur? Ambigu!!

Page 43: Saya Putih Maka Saya Ada

• Perempuan Barat juga penjajah, memberikan mereka sebuah keunggulan yang dirasakan sehubungan dengan ‘liyan’ yang terjajah, tapi pada saat yang sama, status ini terfragmentasi, karena mereka sendiri tunduk pada aturan patriarki.

• Perempuan Barat berada di ranah keduanya antara penjajah dan terjajah, dominan dan patuh: sama seperti laki-laki di Barat dalam hal ras, tetapi berbeda dalam hal gender. Perempuan Barat, seperti masyarakat Oriental, adalah ‘diliyankan’ dalam wacana laki-laki, sedangkan sementara ‘liyan yang diorientaliskan’ dilemparkan sebagai feminin,

Page 44: Saya Putih Maka Saya Ada

Callan menunjukkan istri diplomatik merupakan model instansi tertentu yang ia sebut sebagai 'istri yang disertakan' (Incorporated Wifes) (Callan, 1984). Model ini tidak terbatas, sebagai istilah yang dapat diterapkan pada dunia secara luas, termasuk militer, kepolisian, dan fenomena ini juga muncul di kalangan misionaris serta kalangan akademik Cambridge dan Oxford (Callan dan Ardener 1984).

• Karena ekspatriat berusia 35-55 tahun, anak masih kecil dan posisi istri mencerminkan pangkat dan omset suami (posisi kursi di Coffee Morning etc)

• Tidak ada perempuan dalam 'rumah tangga yang berkarir ganda', yang juga bekerja di luar negeri. Meskipun jumlah mereka meningkat

• Hidup seperti di sangkar emas (kolam renang, hotel bintang 5, apartemen, tapi kesepian)

Page 45: Saya Putih Maka Saya Ada

• Dua kerugian perempuan: pertama, sebagai seorang profesional, kedua, sebagai ibu rumah tangga dengan cara mereka sebelumnya; dan ketiga, sebagai orang yang terputus dari ikatan keluarga dan jaringan sosial di negara asal mereka. Beberapa perempuan menggambarkan kepindahan mereka ke luar negeri sebagai 'kemusnahan' identitas profesional

• Brenda, seorang istri ekspatriat pendatang baru ke Jakarta, menjelaskan, ia merasa terganggu ketika dia disambut oleh tetangga Indonesia mereka dan menyebutnya sebagai 'Nyonya Thomas', Thomas adalah nama suaminya. Dia ingat reaksinya: 'Aku tersenyum kembali, lantas aku beranya, apakah aku bukan menjadi diriku lagi? Apakah ini aku sekarang?

Page 46: Saya Putih Maka Saya Ada

Beth, perempuan Amerika berusia empat puluhan, menekankan “Email adalah garis hidupku- ini telah membuat hidup di Jakarta menjadi lebih mungkin

kujalani. Dan hal ini terus menjaga kewarasanku, dan itu lebih murah daripada psikiater. Tanpa Email, aku bisa benar-benar pulang ke rumah dan hilang“ (teknologi

sebagai pembatas dan pemecah rasa terisolasi)

Karin, seorang perempaun Jerman berusia lima puluhan, mengungkapkan: "Aku tidak bisa berjalan-jalan di jalan, karena panas dan kotor. Dan aku tidak pergi keluar setelah gelap, karena terlalu berbahaya“.

Page 47: Saya Putih Maka Saya Ada

“ADA RASA BENAR-BENAR TERISOLASI PADA TAHUN 1989. JIKA SESEORANG DI NEGARA ASAL KAMI SAKIT, BISA MEMAKAN WAKTU SEMINGGU UNTUK MENGHUBUNGIKU. SEMUA ITU

TELAH BERUBAH. AKU BISA MEMBACA SUNDAY TIMES SEKARANG-AKU BISA MELIHAT KOLOM

GOSIP DAN MELIHAT APA YANG DILAKUKAN OLEH FERGIE MISALNYA“.

Menariknya, para ekspatriat yang lebih tua, perempuan tampaknya mulai menggunakan Internet lebih dari rekan-rekan pria mereka yang justru bekerja. Perbedaannya, kurang terkait dengan kecenderungan umum di masyarakat dalam menggunakan internet, tetapi lebih berhubungan dengan kebutuhan pribadi mereka: korelasi antara pindah ke Indonesia dan mulai menggunakan Internet jauh lebih tinggi terjadi para perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dimana hal ini mungkin lebih berhubungan dengan hal pekerjaan.

Page 48: Saya Putih Maka Saya Ada

• Perempuan ekspatriat yang menjalin hubungan dengan orang laki-laki Indonesia tampaknya mengambil peran sebagai pemberi nafkah, yang sering dianggap menjadi domain laki-laki dalam hubungan di Barat. Kemandirian perempuan ekspat menikah dengan laki-laki Indonesia membawa perubahan pribadi mungkin tidak terjadi seandainya dia tinggal dalam hubungan yang aman di Eropa

Page 49: Saya Putih Maka Saya Ada

• Donna telah bekerja sebagai seorang sukarelawan di Yogyakarta pada akhir tahun tujuh puluhan, dan datang kembali untuk tinggal di Indonesia sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dia mengingat kembali:

Ini sangat berbeda dengan ketika aku pertama kali datang ke Jakarta. Kami punya telepon, tetapi anda harus menunggu

sampai setengah jam sampai nadanya muncul! Ketika aku masih di Yogyakarta pada tahun 1979, aku pergi sebulan sekali ke wartel [telepon kios], dan berbicara mungkin selama sepuluh menit. Jika Anda menulis surat, Anda dapat menghabiskan berjam-jam untuk menulisnya. Butuh waktu dua minggu untuk sampai ke sana, dan

dua minggu untuk mendapatkan balasan. Ibuku bilang kepada teman-temannya, ketika Donna pergi ke Indonesia, pada waktu

itu seolah-olah ia pergi ke bulan, kita seperti kehilangan dia. Ketika dia mendapat telepon, baru terasa dia seperti pindah ke

luar negeri. Ketika dia punya Email, seolah-olah dia hanya seperti pindah ke Seattle – yang berada dua jam dari tempat kami

tinggal.•

Page 50: Saya Putih Maka Saya Ada

• claustropobhic, (ketakutan yang irasional terhadap tempat yang dianggap mempunyai fasilitas terbatas, seperti Jakarta, pener), baik fisik tempat tinggal mereka maupun komunitas asing sebagai kelompok sosial.

• Janet misalnya, ekspatriat Inggris yang telah tinggal lama, menggambarkan kehidupan awalnya di tahun 1970-an di kompleks milik perusahaan minyak dengan kata-kata berikut: 'Ketika aku berpikir kembali tinggal di Malaysia, Aku akan mengatakan itu seperti dalam suasana bunker. Itu adalah lingkungan yang sangat tertutup'

Page 51: Saya Putih Maka Saya Ada

• “Pandangan dari Liyan memperbaiki mereka (orang kulit hitam) dalam sebuah identitas” (Hall 1996:345). Ini menyiratkan anggapan bahwa identitas adalah inheren yang sifatnya relasional.

• Hall mengungkapkan tentang 'perlunya orang lain pada diri kita sendiri’ (Hall 1991:48), dengan alasan bahwa identitas selalu dibangun vis-à-vis a (ras) Dalam hal ini, tidak ada identitas yang tanpa hubungan dialogis terhadap “liyan“ (Hall 1996:345). ‘Tatapan terhadap liyan', sebenarnya memperbaiki lawannya dalam identitas

Page 52: Saya Putih Maka Saya Ada

• Menciptakan Distansiasi Tubuh: 'hidup dalam gelembung'. - Rudolf Mrazek: Engineers of Happy Land (2002) menjelaskan upaya periode akhir kolonial Belanda, dengan konsep “floating society” melalui pembangunan jalan, got, dan rel kereta api dan arsitektur rumah dan kota-kota, untuk menyekat diri dari lingkungan Indonesia aneh dan asing. Upaya ekspatriat untuk menjauhkan diri dari lingkungannya sangat mirip dengan beberapa dari praktek-praktek kolonial masa lalu ini. Menghindari “Gaze of others” - Penjarakan antara ruang Barat yang: tertib, terkontrol dengan Tinggal di apartemen terutama di daerah Menteng, Senayan dan Kuningan. Dalam apartemen, jendela-jendela besar berbingkai panorama kota, sekelompok rumah berjajar, dengan kampung-pemukiman di antara, sejauh mata melihat, tertutup oleh kabut debu dan asap. Dingin, tenang, bersih, dan luas. Apartemen berisi mebel bergaya Barat, dapur lengkap

Page 53: Saya Putih Maka Saya Ada

• The others: Pengemis cacat dan anak jalanan bergerak menuju mobil, menekan wajah mereka ke jendela. Gelombang penjual kaki lima berjejer melalui jalur kendaraan yang menunggu, penjual koran, tisu, rokok atau barang antik kayu palsu di tengah-tengah asap yang menyedak, panas dan debu. others yang: liar, bau,. rumah-rumah bobrok dan toko yang melapisi jalan-jalan, panggilan dari vendor gerobak; skuter butut, gerobak tangan yang ditarik dan motor becak; barang dagangan yang berbaris di jual di tanah berdebu, dan kesibukan kerumunan orang di perkampungan padat, penggilingan, dan orang-orang yang duduk di warung-warung di pinggir jalan.

Page 54: Saya Putih Maka Saya Ada

• De Certeau “dorongan melihat sesuatu dari ketinggian yang jauh” mode gaze baru:

de Certeau dalam catatannya mengenai, panorama kota, juga merupakan fiksi total (1984:93) dalam artian bahwa hal itu mengaburkan beragam praktik yang terjadi terjadi di tingkat jalanan.

• Ketika meninggalkan bangunan apartemennya, orang bisa menderita semacam ‘shock exit', karena tiba-tiba berada terendam oleh gelombang panas, kebisingan, bau dan orang banyak yang mewarnai jalan.

• Demikian pula villastyle di di bilangan Kemang, Pondok Indah dan Cilandak. Bukan kawasan padat dan kumuh

Page 55: Saya Putih Maka Saya Ada

• Rumah-rumah mereka memberikan kenyamanan, namun juga melindungi mereka dari hal-hal yang merepresentasi tentang ‘keliyanan‘.

• William Glover, dalam studinya tentang bungalow kolonial di India, mengklaim bahwa 'dalam pengaturan rumah kolonial, rumah Anglo-Eropa dipandang sebagai ... tempat berlindung dari hal yang aneh dan dunia luar yang asing (Glover 2004:62). Ekspatriat sering melihat kehidupan jalanan Jakarta sebagai perwujudan dari kekacauan, kemiskinan, dan kebalikan dari apa yang mereka anggap sebagai peradaban.

Page 56: Saya Putih Maka Saya Ada

Kebocoran Gelembung: atap bocor selama musim hujan, saluran telepon dapat rusak, dan peralatan elektronik yang canggih dapat mengalami gangguan listrik, kecoa, semut, nyamuk, tikus, ular, tokek, dan kadal berukuran besar, ASAP PEMBAKARAN, ADZAN YANG BISING secara terus-menerus merambah pada bagian dalam rumah dan harus dienyahkan secara terus-menerus.

• “Setiap kali aku pergi untuk bekerja atau pulang ke rumah, anak-anak di jalan itu berteriak padaku, "Mister, Mister!" Mereka tampaknya tidak pernah terbiasa denganku, dan itu benar-benar membuat aku kesal. Jadi ketika aku punya lebih banyak uang untuk menyewa tempat, aku pindah ke apartemen ini, karena menghemat itu menyelematkan saya dari semua hal“

Page 57: Saya Putih Maka Saya Ada

• Menghindari Gaze:• berjalan di jalan membuat mereka sangat mencolok dan

rentan, ruang kota untuk berjalan tidak begitu banyak karena tidak adanya zona pejalan kaki

• Dalam konteks seperti praktik pariwisata, Urry menunjukkan bahwa, ' kita memandang pada apa yang kita temukan’. Dan tatapan ini secara sosial terorganisasi dan tersistematis sebagaimana dalam tatapan petugas medis (Foucault).

• Baratlah yang biasanya melakukan “gaze” • Bagi Indonesia, pandangan terhadap bule, bukan “gaze”

melainkan budaya tontonan/cultural spectacle (nggumunan, the birth of “latah”) terhadap kulit putih yang mencolok

Page 58: Saya Putih Maka Saya Ada

"SUATU HARI, AKU PULANG DARI PEKERJAAN, DALAM PERJALANAN KE RUMAH, SESEORANG BERTERIAK, ‘OHHH, BULE! AKU MERASA BAHWA INI ADALAH RUMAHKU, AKU SUDAH TINGGAL DI SINI SELAMA LEBIH DARI 8 TAHUN, BISAKAH ANDA TIDAK BERTERIAK BULE DI HADAPANKU?"

“Orang-orang Indonesia menatapku seolah-olah saya adalah seorang yang aneh, tapi aku tidak! Tulan telah menciptakanku seperti ini dan ini bukan kesalahan genetik. Aku memberitahu mereka: di mana aku berasal, ada jutaan orang hanya seperti aku!”

Page 59: Saya Putih Maka Saya Ada

• Rudolf Mrazek, dalam studinya mengenai teknologi dan nasionalisme, berpendapat bahwa salah satu tujuan utama Belanda untuk menerapkan teknologi seperti sistem pembuangan limbah dan kanal tidak hanya secara harfiah karena mengandung cairan yang kotor, tetapi juga untuk sekaligus untuk mengontrol 'fluiditas' dalam arti kiasannya. Dia menunjukkan bahwa 'ancaman, terutama karena kota-kota modern yang muncul di Hindia Belanda, adalah sesuatu yang bersifat cair... Untuk mengatur masyarakat koloni ini, untuk menjadi modern di wilayah koloni, untuk tinggal, berarti membatasi arus yang cair tersebut (Mrazek 2002:56). '

Page 60: Saya Putih Maka Saya Ada

• orang Eropa yang tinggal di daerah koloni

dalam menjauhkan diri dari 'pribumi', karena dengan demikian menyatakan dan memelihara Identitas Eropa mereka. Dalam situasi ini, Stoler khusus hadir untuk menjelaskan apa yang ia sebut 'teknologi setiap hari yang mengafirmasi diri' yang dikembangkan oleh orang Eropa (Stoler, 1995:113). Teknologi ini tremasuk instruksi dalam perawatan rumah, pengasuhan anak, dan isu-isu yang berkenaan dengan higienitas domestik.

Page 61: Saya Putih Maka Saya Ada

“BATAS” dalam MAKANAN: Makanan Indonesia, adalah secuil racun!(Lizzy, ekspatriat Inggris, pendatang baru dalam sebuah acara Coffee Morning)

• Bakhtin yang secara terkenal mendeklarasikan bahwa ‘dengan melakukan kegiatan makan dan menyerap makanan, kita menjadi apa yang kita makan’ (Bakhtin, 1984: 281).

• Levi Strauss (1970) serupa juga tertarik dengan makanan sebagai sebuah penanda. Ia mengajukan tentang konsep mentah (nature) dan masak (culture)

• Douglas menunjukkan bahwa sebuah aspek krusial konsumsi makanan adalah penghindaran terhadap polusi, yang menghasilkan dalam tabu tentang makanan

Page 62: Saya Putih Maka Saya Ada

“Tuhan, tolong bawa kita ke restoran yang murah dan baik di mana anggur termasuk di dalam makanan dan makanan yang tidak menyebabkan disentri. Kasihanilah kami, Tuhan, jika itu yang terakhir, tuntunlah kaki kami untuk buang air di waktu yang tepat dan lutut yang kuat ketika harus jongkok di toilet”

Page 63: Saya Putih Maka Saya Ada

• “Di pagi itu, aku hanya makan pisang untuk sarapan. Kemudian aku pergi keluar untuk belanja dan bertemu teman-teman untuk makan siang di Chatterbox (Sebuah kafe yang berlokasi di sebuah pusat perbelanjaan). Aku sangatlah lapar pada waktu itu, kemudian aku memutuskan untuk makan keripik kentang dan ikan. Makan tersebut datang sangat cepat, yang seharusnya membuatku curiga, namun aku mencoba makan saja, dan makanan tersebut tampak baik-baik saja. Kemudian aku melakukan belanja sedikit dan pulang ke rumah menjelang pukul empat sore, tiba-tiba sesuatu terasa ganjil. Menjelang pukul setengah lima, aku terjatuh di tempat tidur dan kemudian aku menghabiskan waktu tiga hari di rumah sakit, aku mendapatkan infus, karena tidak bisa bergerak. Suamiku sangatlah marah karena sebelumnya pernah mengingatkan. Ia mengatakan, negara macam apa ini dimana kamu tak dapat mendapatkan keripik kentang dan ikan tanpa harus berakhir di rumah sakit selama tiga hari! Namun sekarang ia sudah tenang”.

Page 64: Saya Putih Maka Saya Ada

Identitas: • Identitas menjadi masalah dan terbentuk ketika dalam

keadaan krisis(Mercer); Identitas bersifat relasional (Hall) • Daftar organisasi masyarakatnya berbasis minat dan

nasionalitas, seperti komunitas 'Wine and Spirits Circle' atau 'Jakarta Offshore Sailing Club', Kelompok berbasis nasional atau regional , seperti masyarakat St Andrew Skotlandia, Inggris Royal St George's masyarakat, Singapore Association, Nederlandsche Club, Nordic Club, dan Uni des Francais de l'Etranger. Banyak organisasi nasional yang berorientasi adalah kelompok perempuan, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Kanada, India dan asosiasi perempuan Korea

• Perempuan memproduksi batas (Coffee Morning, kegiatan amal, fashion show di Shangri-La, The Regent atau Kempinski.

Page 65: Saya Putih Maka Saya Ada

Esensialisasi Identitas • Rasa KeJermanan: dalam Hari Persatuan Jerman [Tag

der Deutschen Einheit], dirayakan pada hari ketiga Oktober, menandai reunifikasi Jerman pada tahun 1990.

• Setiap stan menawarkan hidangan 'tradisional' daging Jerman, seperti Schweinebraten (daging babi panggang), Schweinshaxe (daging babi beruas) Gulasch (daging sapi potong dadu), dan berbagai macam sosis, bersama dengan lauk pauk seperti Sauerkraut (kol putih rendam), Rotkraut (kol merah) dan Kartoffelsalat (salad kentang), dan makanan khas daerah seperti mustard manis Bavaria. Ini menyerupai museum

Page 66: Saya Putih Maka Saya Ada

Praktik Identitas• Kristin, Amerika tinggal di Jakarta sebelas tahun, setelah menjalankan

Sebaliknya, banyak artefak yang mengingatkan hidupnya di AS, kota kelahirannya, dan terkait dengan identitasnya sebagai seorang Kristen. Sebagai contoh, di dinding di atas meja makan dapur tergantung buatan tangan, berbingkai silang-jahitan yang dibaca 'God Bless America'. Di ruang tamu, ada piring kuningan dengan berukir pemandangan kampung halamannya di Texas, tempat ibunya tinggal, dan salib Kristen yang ditampilkan di berbagai tempat di sekitar rumah.

• Dagmar, Jerman, menikah dengan seorang Indonesia dan tinggal di Jakarta selama hampir satu dekade. Pasangan ini memiliki dua anak usia sekolah. Banyak benda-benda di rumahnya membangkitkan rasa 'Jerman' miniatur yang terlalu tinggi di ruang tamu lengkap dengan karangan bunga dan piala biru. Banyak buku-buku berbahasa Jerman, termasuk buku klasik anak-anak di rak, majalah dan rak dengan tumpukan yang sedikit memyembul keluar, majalah wanita Jerman, Brigitte. Di dinding tergantung beberapa lukisan minyak yang menggambarkan adegan bergaya Eropa, seperti pemandangan Alpen dan kapal yang tengah berlayar.

Page 67: Saya Putih Maka Saya Ada

Lukisan Ken Pattern mencerminkan 'gelembung' ekspatriat, kontras antara bagian dalam dan luar

Page 68: Saya Putih Maka Saya Ada
Page 69: Saya Putih Maka Saya Ada

• Menciptakan zona kontak (Pratt): daerah yang aman antara identitas Barat dan Indonesia, atau berinteraksi dengan orang Indonesia dengan cara yang dia tidak mungkin coba sendirian via Indonesia heritage society .

• Keinginan meninggalkan “gelembung” namun tetap agar identitas kosmpolitannya terjaga

• Explorer: penjelajahan pada gaze yang telah ditentukan (museum, kunjungan ke galeri pameran seperti ke Ken Pattern) dan desa wisata.

Page 70: Saya Putih Maka Saya Ada

Gaya HidupGabi telah memperoleh gelar dari universitas di Amerika Serikat dan kemudian bekerja selama beberapa tahun di New York sebelum datang ke Jakarta. Dia sering menekankan betapa ia menikmati suasana internasional tempat kerjanya dan kota New York. Ia berkata: 'salah satu bosku dari Togo, yang lain dari Swedia, dan gaya kerja mereka sama sekali berbeda. Aku punya teman-teman dari seluruh, dari India, Hungaria, Amerika Serikat, dan pacarku adalah orang Spanyol”. Di Jakarta, Gabi dengan cepat membentuk kelompok kenalan yang termasuk orang Australia serta Amerika dan Eropa, tapi hampir tidak ada orang Indonesia .

Page 71: Saya Putih Maka Saya Ada

“Bule” Di Jogja • Orang asing juga dianggap lebih rendah dalam banyak hal,

karena mereka kurang begitu menjadi Jawa, kurangnya kompetensi terhadap budaya dan bahasa, tidak mempunyai kekuatan spiritual dan moralitas, serta kesopanan dan kontrol diri pribadi yang kurang begitu ditahan. Mereka kadang-kadang dianggap sebagai 'anak' yang berperilaku tidak tepat tetapi tidak dapat diharapkan untuk berperilaku lebih baik. Meskipun ada banyak sikap orang Jawa terhadap orang asing, mereka menganggap unggul dalam beberapa hal dan rendah pada beberapa hal lain

• Modal ekonomi kurang, menguatkan di bidang modal budaya (Bourdieu)

• Bukan “bubble” tapi “gap”

Page 72: Saya Putih Maka Saya Ada

Thanks