melihat banda lebih dekat.docx

23
MELIHAT LEBIH DEKAT LAUT INDONESIA (POTENSI, ANCAMAN, DAN TINDAKAN BENCANA LAUT DI INDONESIA) OLEH : DIVA SAODA ILYAS K1A1 13 015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

Upload: div-saoda-ilyas

Post on 27-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

MELIHAT LEBIH DEKAT LAUT INDONESIA

(POTENSI, ANCAMAN, DAN TINDAKAN BENCANA LAUT DI INDONESIA)

OLEH :

DIVA SAODA ILYAS

K1A1 13 015

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2014/2015

1. POTENSI SUMBERDAYA KELAUTAN

Potensi sumberdaya laut Indonesia tergolong sangat melimpah. Namun demikian

potensi tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan yang memadai bagi seluruh

masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Dalam

konteks pemanfaatan untuk tujuan pembangunan nasional terdapat tiga wilayah perairan laut

di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara baik, yaitu perairan ZEEI, Perairan Kawasan

Timur Indonesia dan wilayah laut perbatasan (Dahuri, 2006). Berbeda halnya dengan

Kawasan Barat Indonesia (KBI), Kawasan Timur Indonesia (KTI) didominasi oleh laut. Luas

laut menurut kawasan dan potensi peruntukannya seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Dari data

tersebut menunjukkan bahwa KTI didominasi oleh wilayah laut, dengan berbagai potensi

peruntukannya seperti perikanan, perhubungan, pertambangan dan energi. Dalam makalah ini

pembahasan lebih ditonjolkan padapemanfaatan sektor perikanan sebagai salah satu potensi

sumberdaya laut yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan

pelaku ekonomi yang terkait dengannya.

1.1 Potensi Fisik

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari

Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0.3 juta km2. Perairan Nasional

seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0 juta km2,

luas ZEE (Exlusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai lebih dari

81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau.

Tabel. 1 Kawasan Timur Indonesia (KTI) Dominan Laut (Dahuri, 2002)

No Kawasan Luas (km2) Potensi pembangunan

1 Laut Arafura 143.500 perikanan,Perhubungan,Pertambangan

dan Energi

2 Selat Makassar,

Laut Sulawesi

594.000 perikanan,Perhubungan,Pertambangan

dan Energi

3 Laut Flores 100.000 perikanan,Perhubungan,Pertambangan

dan Energi

4 Laut Banda 100.000 perikanan,Perhubungan,Pertambangan

dan Energi

5 Maluku dan Irian 900.000 perikanan,Perhubungan,Pertambangan

dan Energi

1.2 Potensi Pembangunan

Potensi Wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi Pembangunan adalah

sebagai berikut:

(a) Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan

Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan Pulau-

pulau kecil.

(b) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti; Minyak bumi dan Gas, Bahan

tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.

(c) Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal

Energy Conversion).

(d) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhanan serta

Penampung (Penetralisir) limbah.

1.3 Potensi Sumberdaya Pulih (Renewable Resource)

Potensi wilayah pesisir dan lautan lndonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi;

Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar

4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut,

ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai

US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000,

secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang

baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. Potensi tersebut belum termasuk

hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi,

pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan.

Gambar 1. Potensi perikanan laut Indonesia

1.4 Potensi Sumberdaya Tidak Pulih (Non Renewable Resource)

Pesisir dari Laut Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas, mineral dan bahan

tambang yang besar. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang

terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut.

Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian,

sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan

106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti,

7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel

berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu

diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau

sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi,

cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki

Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya

sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti

aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan

lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan

teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.

Gambar 2. Tambang minyak chevron di Indonesia

1.5 Potensi Geopolitis

Indonesia memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan Negara-negara

ekonomi maju, posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai

jalur ekonomi, misalnya beberapa selat strategis jalur perekonomian dunia berada di wilayah

NKRI yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-

Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam

percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.

Gambar 3. Peta perairan Indonesia

1.6 Potensi Sumberdaya Manusia

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi SDM adalah sekitar

60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan

perekonomian seperti: Perdagangan, Perikanan tangkap, Perikanan Budidaya, Pertambangan,

Transportasi laut, dan Pariwisata bahari. Potensi penduduk yang berada menyebar di pulau-

pulau merupakan aset yang strategis untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau

sekaligus pertahanan keamanan negara.

2. ANCAMAN LAUT DI INDONESIA

Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang

melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Sumatera sampai ujung timur Pulau Papua, yang berupa kekayaan barang tambang, potensi

pertanian, kekayaan bawah laut, dan masih banyak lagi. (Sukara,Tobing;2008). Kekayaan

alam Indonesia ditunjang oleh kondisi geologi Indonesia yang merupakan pertemuan

lempeng-lempeng tektonik menjadikan kawasan Indonesia ini kaya akan sumber daya alam,

salah satu konsekuensi logis kekompleksan kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah-

daerah sering mengalami bencana yang merupakan ancaman dari laut itu sendiri,dan yang

bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah Tsunami. Tsunami didefinisikan

sebagai gelombang laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif pada laut. Gangguan

impulsif tersebut terjadi akibat adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba dalam

arah vertikal (Pond and Pickard, 1983) atau dalam arah horizontal (Tanioka and Satake,

1995).

Perubahan bentuk tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempa tektonik,

letusan gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut (Ward, 1982). Pada kasus yang

spesifik, tsunami juga dapat ditimbulkan karena jatuhnya meteor raksasa di laut. Dari

keempat sumber tersebut, gempa tektonik lebih dominan merupakan penyebab utama tsunami

di Indonesia (Puspito dan Triyoso, 1994).

Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 misalnya muncul sebagai akibat terjadinya

pergeseran lempeng samudera Indonesia yang menyebabkan gempa tektonik 9,4 skala richter.

Tsunami ini melanda 10 negara di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Timur Afrika,

menyebabkan lebih dari 283.100 orang tewas, 11.000 masih masuk daftar orang hilang, serta

1.126.900 orang kehilangan tempat tinggal. Korban terbesar adalah Indonesia. Korban tewas

di Aceh saja tercatat tidak kurang dri 165.000 orang.

pergerakan gelombang tsunami aceh 26 Desember 2004

Sedangkan gempa karena letusan gunungapi Krakatau pada 27 Agustus 1883 menjadi pemicu

munculnya tsunami setinggi 30 meter di Selat Sunda, yang menewaskan sekitar 36.000 orang

ketika itu.

Pergerakan gelombang Tsunami Krakatau 27 Agustus 1883

Gelombang tsunami yang terjadi akibat deformasi di dasar laut memiliki karakteristik sebagai

berikut:

• Memiliki panjang gelombang sekitar 100-200 km atau lebih.

• Memiliki perioda 10-60 menit

• Kecepatan perambatan gelombang bergantung pada kedalaman dasar laut.

Pembentukan tsunami dilihat dari satelit

dimana : v = kecepatan gelombang ; g = percepatan gravitasi ; h = kedalaman laut

Gempa pembangkit tsunami biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

• Lokasi episenter terletak di laut.

• Kedalaman pusat gempa relatif dangkal, kurang dari 70 km.

• Memiliki magnitudo besar M > 7.0 SR

• Mekanisme pensesarannya adalah sesar naik (thrusting fault) dan sesar turun (normal fault)

Mekanisme pembentukan tsunami

Kedatangan tsunami sebenarnya dapat dikenali secara visual. Jika pantai

mengalami surut tiba-tiba, segera setelah terjadi gempa, maka dipastikan akan terjadi

tsunami. Maka tindakan yang harus dilakukan adalah segera menyelamatkan diri ke

arah bukit terdekat atau zona evakuasi yang ditetapkan Pemerintah, jika ada.

Dari arah pantai, gulungan ombak laut yang datang, tidak bisa dibedakan antara gelombang

karena angin dan gelombang karen tsunami. Hal ini yang menyebabkan kedatangan tsunami

seringkali tidak cepat disadari.

3. MITIGASI BENCANA DI LAUT

Bencana mempunyai definisi yang bermacam-macam. Ongkosongo (2004)

mendefinisikan bencana sebagai sebuah dampak kegiatan yang memberikan efek negatif

terhadap manusia. UU No 27 Tahun 2007 menjelaskan secara umum bencana pesisir

adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang

menimbulkan perubahan sifat fisik dan atau hayati pesisir yang

mengakibatkan korban jiwa, harta, dan kerusakan di wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil.

Berbagai bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa kurun

waktu terakhir ini telah melahirkan kebijakan baru dalam konteks manajemen bencana.

Dalam lingkaran manajemen bencana terdapat tiga komponen besar yang dilakukan yaitu

kegiatan prabencana, tanggap darurat saat terjadi bencana dan kegiatan pasca bencana. Jika

selama ini manajemen bencana lebih menitikberatkan pada aspek penanganan tanggap

darurat dan pasca bencana yang ternyata terdapat banyak kelemahan, maka ke depannya

manajemen bencana lebih menitikberatkan kegiatan prabencana yaitu kegiatan mitigasi

bencana dalam kerangka mengurangi risiko dan dampak bencana (Zakaria, 2009).

Gambar 4. Siklus Manajemen Bencana

Beberapa bentuk kerusakan yang kemudian di kategorikan sebagai bencana di

wilayah pesisir menurut Mihardja (2004) adalah: pencemaran, kerusakan hutan mangrove,

kerusakan terumbu karang dan lamun, abrasi, perubahan tata guna lahan, algae blooming,

kematian ikan. Penyebab kerusakan tersebut adalah: penebangan hutan mangrove,

pengeboman ikan di sekitar karang, buangan limbah di kawasan perairan,

pembangunan yang menyebabkan degradasi lingkungan, Bencana alam.

UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana pasal 35d dan 39

mengamanatkan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. UU

No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang penjelasan pasal 5 ayat (2) menjelaskan penataan

ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, lebih lanjut UU No. 27 tahun 2007 pasal 7

ayat 3 mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah

pesisir yang berbasis mitigasi bencana.

3.1 PRINSIP MITIGASI UNTUK WILAYAH PESISIR

Mitigasi bencana merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif dalam

penanggulangan bencana, karena kegiatan ini dilakukan sebelum terjadinya bencana yang

dimaksudkan agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi (Nurhasanah dan Aprizal,

2007). Masyarakat sangat besar perannya dalam penanggulangan bencana sehingga perlu

ditingkatkan kesadaran, kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup

serta kedisiplinannya terhadap peraturan yang ada. Selain itu juga perlu dipikirkan penerapan

pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana.

Pendekatan ini ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya dan daya dukung lingkungan

suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan,

pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir

(Pratikto, 2004).

Aktifitas mitigasi bencana sesungguhnya adalah upaya untuk mengeliminasi

kemungkinan terjadinya bencana, atau mengurangi efek dari bencana yang tidak dapat

dicegah kejadiannya (Warfield, tanpa tahun). Selanjutnya disebutkan bahwa efektifitas

tindakan mitigasi bencana tergantung pada ketersediaan informasi tentang bencana, resiko

keadaan darurat (emergency risks), dan tindakan tanggapan (counter measures) yang diambil.

Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar resiko yang ada dapat

diminimalisir.

Menurut Ongkosongo (2004) ternyata daerah pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil

merupakan bagian yang dinamik, karena berhubungan dengan kondisi lingkungan yang juga

dinamik. Dinamika tersebut dapat terjadi karena gerakan massa air, serta akibat bencana alam

yang sering terjadi di wilayah lepas pantai seperti gempa, banjir pasang, dan angin besar.

Tahapan untuk melakukan deteksi, mitigasi dan pencegahan degradasi akibat bencana dapat

dilakukan dengan mempertimbangkan akar masalah penyebab degradasi, komponen utama

yang menjadi pokok pendeteksi, satuan upaya deteksi dan tindakan umum deteksi bencana.

Menurut Clarks (1996) prinsip mitigasi bencana di suatu wilayah mencakup:

1. Peningkatan antisipasi kerusakan adalah bentuk mitigasi yang menunjukkan

‘peningkatan penanganan’ kerusakan sederhana dari sebuah ekosistem.

2. Mereduksi dampak adalah sebuah model dari mitigasi untuk mengurangi dampak

kegiatan pengerukan dan penambangan pasir demi melindungi habitat pemijahan dan

menghindari gangguan terhadap benih dan sumberdaya

3. Kompensasi juga salah satu bentuk dari mitigasi yang berimplikasi pada upaya untuk

melindungi agar tidak ada sumberdaya yang hilang. Seperti perlindungan waduk.

4. Replacement sebagai sebuah bentuk melindungi sumberdaya dengan memanfaatkan

ruang yang ada kemudian melakukan relokasi keruang lainnya.

3.1.1 UPAYA MITIGASI KERUSAKAN DI WILAYAH PESISIR

Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilakukan melalui upaya struktural

dan non struktural:

3.1.1.1 Upaya Struktural.

Bentuknya berupa pembangunan infrastruktur seperti rumah, jalan, dan sarana

prasarana budidaya yang lebih terpadu dan bersifat antisipatif terhadap kemungkinan

bencana. Upaya mitigasi bencana tsunami, misalnya, secara structural (upaya teknis yang

bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan

pantai) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (i) alami, seperti penanaman hutan

mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang; (ii) buatan, seperti

pembangunan pemecah gelombang (seawall, breakwater, Groin) sejajar pantai untuk

menahan tsunami, memperkuat desain bangunan dan infrastruktur.

3.1.1.2 Upaya Non Struktural

Upaya mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah

upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia

agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya: kebijakan

tentang tata guna lahan kawasan pantai yang rawan bencana; kebijaksanaan tentang

standarisasi bangunan serta infrastruktur sarana dan prasarana; kebijakan tentang eksplorasi

dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai; pelatihan dan simulasi mitigasi

bencana tsunami, misalnya; penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana;

pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya bencana. Menurut Pratikto (2004), jika

sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa

bumi pada sistem pengamatan dapat berjalan dengan baik maka dampak korban jiwa dapat

diminimalisasi.

Gambar 5. Sistem peringatan dini pada mitigasi bencana tsunami

Penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk

mitigasi bencana memerlukan keterpaduan dan dukungan baik dari aspek kelembagaan

maupun IPTEK yang berwawasan lingkungan. Mitigasi dan antisipasi perlu dilakukan terkait

dengan satuan manusianya. Misalnya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan

bencana perlu mengambil langkah berjaga-jaga untuk menghadapi bencana tersebut. Rumah

dan bangunan lainnya dibuat dengan model tahan gempa. Penduduk di kawasan bencana juga

perlu memiliki alat-alat “darurat gempa” seperti lampu senter, obat-obatan, dan lain-lain.

Mereka juga perlu mengetahui apa yang harus diperbuat saat menghadapi bencana. Misalnya,

saat terjadi air surut sejauh 2 km maka jangan ke pantai. Sebab, hal ini salah satu tanda

tsunami.

3.2 MITIGASI BERBASIS EKOSISTEM

Upaya minimalisasi dan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pendekatan

terhadap ekosistem. Ekosistem yang erat kaitannya dan perannya dalam mitigasi bencana di

pesisir adalah terumbu karang, lamun dan mangrove. Terumbu Karang terutama jenis soft

koral yang termasuk sebagai biota pesisir dan laut daerah dataran pantai mampu menahan

laju air sebesar 0,041 m. Dengan kemampuan ini, maka koral selain memiliki tingkat

produktivitas yang tinggi juga berpotensi sebagai media untuk menahan gerak dan lajunya

gelombang (Weber, 1993). Fenomena tsunami, badai dan berbagai bentuk masukan dari darat

juga dapat di toleransi oleh terumbu karang secara baik.

Gambar 3. Mangrove Sebagai Pelindung Bagi Wilayah Pesisir

Model mitigasi lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengatasi abrasi

adalah dengan melalui penanaman kembali hutan mangrove dilokasi-lokasi yang sesuai

setelah mempertimbangkan kondisi lingkungan setempat. Namun, secara umum model

mitigasi dengan cara ini mengikuti tahapan sebagai berikut:

(1) Survei kondisi bio-fisik lingkungan dan penentuan lokasi percontohan

Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendukung

maupun yang tak mendukung dilakukannya penanaman mangrove dan gambaran kondisi

bio-fisik lingkungan.

(2) Partisipasi masyarakat

Dengan pembentukan kelompok masyarakat peduli mangrove Pembentukan kelompok ini

dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam program

Mitigasi Lingkungan.

(3) Penanaman mangrove

Sebelum penanaman mangrove dilakukan maka dibuat terlebih dahulu alat penahan

ombak (APO) agar pertumbuhan mangrove terlindung dari hantaman gelombang.

Gambar 4. Penanaman Kembali Pohon Mangrove

(4) Pemeliharaan Terumbu Karang.

Terumbu karang menjadi penting dalam antisipasi bencana akibat kerusakan yang di

timbulkan oleh gelombang pasang.

(5) Melakukan Pemugaran Daerah pantai.

Langkah mitigasi yang bersifat cepat, tapi tidak mampu bertahan lama adalah dengan

melakukan pemugaran di sekitar bagian pantai yang sangat beresiko.

Hutan mangrove juga menjadi salah satu komponen yang mampu menghambat laju

gelombang laut menuju darat. Beberapa daerah di timur sumatera seperti di Lampung Timur,

Sumatera Selatan, Riau mengalami tekanan gelombang yang kuat saat musim timur. Namun

berkat adanya mangrove lokasi tersebut relatif tahan terhadap abrasi pantai. Makin tebal

mangrove yang ada di kawasan tersebut, maka makin tinggi juga kekuatan untuk menahan

laju pergerakan gelombang, arus, dan sedimen. Pratikto (2004) mengatakan, ekosistem

mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian

yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan adanya

ekosistem mangrove telah mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi

gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule. Kehadiran sistem pertahanan pantai alamiah dapat

mengurangi kekuatan gelombang tsunami yang melanda ke daratan, sehingga dapat

mempersempit luas areal yang terganggu. Pengamatan di Taman Nasional Yala dan Bundala

di Sri Lanka menunjukkan bahwa terumbu karang, mangrove, bukit pasir dan berbagai

ekosistem lain seperti rawa gambut dapat memberikan perlindungan terhadap daratan pesisir

dari gelombang tsunami dengan mengurangi energi gelombang tsunami (Setyawan,2008) .

3.2.1 Urgensi Berbasis Ekosistem

Secara nasional, kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil diupayakan

terlindungi dari dampak negatif kegiatan pembangunan. Selain itu, perbaikan kualitas

ekosistem terus dilakukan seperti tertuang melalui Program Mitra Bahari Indonesia (Sea

Partnership Program). Terkait dengan upaya tersebut, mitigasi kerusakan lingkungan pesisir

merupakan salah satu aspek keseimbangan yang harus dicapai. Hal ini penting karena

kegiatan pemanfaatan sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir akan rusak apabila tidak

terdapat konsep dan langkah untuk antisipasi terjadinya kerusakan.

kerusakan di wilayah pesisir dapat diakibatkan oleh alam (seperti tsunami, gempa,

abrasi, dan banjir) atau dampak aktivitas manusia. Kerusakan tersebut tentu saja akan

menimbulkan kerugian yang tidak sedikit seperti investasi yang telah ditanam, kegagalan

budidaya, menurunnya produksi, perbaikan sarana-prasarana produksi, dan pemulihan

kerusakan sumberdaya pesisir. Hal ini semestinya dapat diminimalisasikan seandainya semua

pihak mempunyai pemahaman dan informasi yang jelas tentang mitigasi kerusakan

lingkungan di wilayah pesisir.

Dampak kerusakan lingkungan pesisir ini perlu disadari urgensinya. Hal ini

dikarenakan:

Sebagian besar dari kota-kota metropolitan di Indonesia terletak di wilayah pesisir

Sumberdaya penting, khususnya hayati dan jasa lingkungan terletak di pesisir

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil relatif

lebih terbelakang dalam hal ekonomi dan sarana-prasarana sosial sehingga kerusakan

lingkungan pesisir akan memperburuk kondisi tersebut.

KESIMPULAN

Menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba diperlukan sikap waspada berupa

deteksi bencana dan mitigasi. Pengelolaan ekosistem amat penting untuk mewujudkan

kelestarian lingkungan, selain itu juga berguna untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana

ditujukan untuk meminimalkan dampak yang diterima manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Mihardja, A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami. Diunduh dari http://geocity. com. [Akses:8 juni 2014]

Ongkosongo, O., 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.

UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI

UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI

UU No. 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara RI