medan sosial seni rupa

3
Medan sosial seni rupa Mengenal seni rupa, identitas individu, infrastruktur & suprastruktur yang terbangun. Berkait dengan masalah tempat dan pola pikir yang “anti -kemapanan” dalam mengkaji masalah seni rupa dengan berbagai jenis karya seni rupa dan seluk-beluknya, akhirnya takkan terlepas dan sampai pula pada medan kajian seni yang lain atau apa yang disebut dengan art world . Kritikus seni rupa Sanento Yuliman (alm) sering menggunakan istilah “medan sosial seni” untuk memadankan istilah art world . Medan kajian seni rupa ini mengaitkan hubungan antara berbagai pihak-pihak yang ada dalam rangkaian besar seni rupa. Hal ini cukup penting dikaji sebab bagaimanapun juga karya seni dan senimannya tidak dapat berdiri sendiri. Apalagi bila karya seni tersebut dipamerkan, ia tak bisa lepas dari nilai-nilai yang lain. Secara singkat pengertian art world adalah semacam “jaringan” organisasi sosial yang mendukung dan berpartisipasi dalam “produksi” dan “konsums i”. 1 Sebagai contoh saja misalnya, jika melihat perkembangan seni rupa di Indonesia (seperti pada awal tulisan dalam bab ini), jaringan atau art world yang telah terbentuk selama ini sesungguhnya telah dinilai lengkap, di sana ada seniman, karya seni, kolektor, art dealer , editor jurnal/media massa, kritikus, sejarawan, (direktur) museum, galeri, dewan kesenian, taman budaya, balai lelang, ruang (komunitas) seni, lembaga dokumentasi, dan kurator. Berbagai jenis seni rupa & perkembang annya Seni rupa yang akan menjadi pijakan dalam pembahasan kali ini adalah seni rupa yang plural, seni rupa yang berkembang di masa kini dan kadang-kadang memiliki kecenderungan pemikiran dan media yang progresif. Memiliki kekhasan mulai yang biasa sampai yang luar biasa, sehingga mereka (perupa) terkadang hanya membutuhkan ruang yang berbatas hingga tak berbatas, dari ruang kecil (dan maya) sampai yang membutuhkan ruang besar (dan global). Untuk itu bila menunjuk karya mana yang akan dipamerkan atau dijadikan contoh dalam seni rupa misalnya, adalah berbag ai karya seni yang m emiliki karakter mulai dari konvensional (seperti seni lukis, patung, seni cetak grafis) hingga non-konvensional secara teknis (percampuran berbagai teknik di atas atau di luar itu semu a), maupun dari karya y ang berpretensi untu k melakukan terob osan teknis hing ga yang hanya menggulirkan konsep tema semata. Apalagi bila bicara lebih lanjut tentang seni rupa kontemporer, ada yang merujuk dari sudut teknis (yang non-konvensional), seperti menguatnya seni-seni dengan identitas lokal (indegenous art ), munculnya seni instalasi (atau yang bersifat instalatif, multimedia seperti video art , web art , new media art, proces art, site specific installation), ada pula yang mengartikan sebagai karya seni yang merupakan jawaban atas masalah-masalah yang muncul dalam praktik dan perilaku artistik yang menyimpang dari konvensi sebelumnya (Modernisme). Jika dahulu muncul karya seni tradisional yang sekarang banyak dimuseumkan (sehingga pembahasan manajemennya dalam lingkup manajemen museum), atau wacana Modernisme yang melahirkan kecenderungan yang mapan (sehingga cukup pameran di ruang yang mapan seperti galeri dan museum atau art shop)   sebut saja kedua kecenderungan tersebut adalah bentuk kemapanan   kini seni rupa kontemporer lebih banyak dikerjakan dengan berbagai cara dan pola (mulai dikerjakan di luar ruang yang mapan hingga yang alternatif, seperti indoor , virtual atau media masa cetak/visual). Oleh karena itu perlu sistem untuk mensiasati bagaimana menggagas dan memanajemen pameran yang terkadang di luar kemapanan yang telah digariskan sebelumnya. Di sini memerlukan keterlibatan pikiran dan tenaga yang lebih dari biasanya. Seni rupa menjadi sedemikian ramai dengan berbagai jenis dan problematikannya. Dapat diambil contoh, bagaimana para perupa yang dahulunya hanya memamerkan lukisan di galeri atau ruang toko untuk diperjual-belikan pada mereka yang lewat dan berekreasi di sana (bayangkan 1 Howard S. Becker,  Art Worlds, via Asmudjo J. Irianto, “Konteks Tradisi dan Sosial-Poli tik dal am Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era 90- an”, Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000), p. 88.

Upload: fandy-hadamu

Post on 08-Jan-2016

612 views

Category:

Documents


71 download

DESCRIPTION

dsdsd

TRANSCRIPT

Page 1: Medan Sosial Seni Rupa

7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa

http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 1/3

Medan sosial seni rupaMengenal seni rupa, identitas individu, infrastruktur & suprastruktur yang terbangun.

Berkait dengan masalah tempat dan pola pikir yang “anti-kemapanan” dalam mengkaji masalahseni rupa dengan berbagai jenis karya seni rupa dan seluk-beluknya, akhirnya takkan terlepas dan sampai

pula pada medan kajian seni yang lain atau apa yang disebut dengan art world . Kritikus seni rupa Sanento

Yuliman (alm) sering menggunakan istilah “medan sosial seni” untuk memadankan istilah art world .

Medan kajian seni rupa ini mengaitkan hubungan antara berbagai pihak-pihak yang ada dalam

rangkaian besar seni rupa. Hal ini cukup penting dikaji sebab bagaimanapun juga karya seni dan

senimannya tidak dapat berdiri sendiri. Apalagi bila karya seni tersebut dipamerkan, ia tak bisa lepas dari

nilai-nilai yang lain. Secara singkat pengertian art world adalah semacam “jaringan” organisasi sosial yangmendukung dan berpartisipasi dalam “produksi” dan “konsumsi”.1

Sebagai contoh saja misalnya, jika melihat perkembangan seni rupa di Indonesia (seperti pada awal

tulisan dalam bab ini), jaringan atau art world yang telah terbentuk selama ini sesungguhnya telah dinilai

lengkap, di sana ada seniman, karya seni, kolektor, art dealer , editor jurnal/media massa, kritikus,

sejarawan, (direktur) museum, galeri, dewan kesenian, taman budaya, balai lelang, ruang (komunitas) seni,

lembaga dokumentasi, dan kurator.

Berbagai jenis seni rupa & perkembangannyaSeni rupa yang akan menjadi pijakan dalam pembahasan kali ini adalah seni rupa yang plural, seni

rupa yang berkembang di masa kini dan kadang-kadang memiliki kecenderungan pemikiran dan media

yang progresif. Memiliki kekhasan mulai yang biasa sampai yang luar biasa, sehingga mereka (perupa)

terkadang hanya membutuhkan ruang yang berbatas hingga tak berbatas, dari ruang kecil (dan maya)

sampai yang membutuhkan ruang besar (dan global).

Untuk itu bila menunjuk karya mana yang akan dipamerkan atau dijadikan contoh dalam seni rupamisalnya, adalah berbagai karya seni yang memiliki karakter mulai dari konvensional (seperti seni lukis,

patung, seni cetak grafis) hingga non-konvensional secara teknis (percampuran berbagai teknik di atas atau

di luar itu semua), maupun dari karya yang berpretensi untuk melakukan terobosan teknis hingga yang

hanya menggulirkan konsep tema semata.

Apalagi bila bicara lebih lanjut tentang seni rupa kontemporer, ada yang merujuk dari sudut teknis(yang non-konvensional), seperti menguatnya seni-seni dengan identitas lokal (indegenous art ), munculnya

seni instalasi (atau yang bersifat instalatif, multimedia seperti video art , web art , new media art, proces art,

site specific installation), ada pula yang mengartikan sebagai karya seni yang merupakan jawaban atas

masalah-masalah yang muncul dalam praktik dan perilaku artistik yang menyimpang dari konvensi

sebelumnya (Modernisme).Jika dahulu muncul karya seni tradisional yang sekarang banyak dimuseumkan (sehingga

pembahasan manajemennya dalam lingkup manajemen museum), atau wacana Modernisme yang

melahirkan kecenderungan yang mapan (sehingga cukup pameran di ruang yang mapan seperti galeri dan

museum atau art shop) — sebut saja kedua kecenderungan tersebut adalah bentuk kemapanan — kini seni

rupa kontemporer lebih banyak dikerjakan dengan berbagai cara dan pola (mulai dikerjakan di luar ruang

yang mapan hingga yang alternatif, seperti indoor , virtual atau media masa cetak/visual).

Oleh karena itu perlu sistem untuk mensiasati bagaimana menggagas dan memanajemen pameranyang terkadang di luar kemapanan yang telah digariskan sebelumnya. Di sini memerlukan keterlibatan

pikiran dan tenaga yang lebih dari biasanya. Seni rupa menjadi sedemikian ramai dengan berbagai jenis dan

problematikannya.

Dapat diambil contoh, bagaimana para perupa yang dahulunya hanya memamerkan lukisan digaleri atau ruang toko untuk diperjual-belikan pada mereka yang lewat dan berekreasi di sana (bayangkan

1Howard S. Becker, Art Worlds, via Asmudjo J. Irianto, “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni

Rupa Kontemporer Yogyakarta Era 90-an”, Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia

(Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000), p. 88.

Page 2: Medan Sosial Seni Rupa

7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa

http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 2/3

pula bila Anda ke ke studio seniman, atau ke Ancol untuk melihat dan menawar lukisan, Kasongan yang

memamerkan gerabah/keramik, atau di beberapa tempat di Pekalongan dengan kain batiknya), atau mereka

yang sering berpameran di galeri/museum terkenal, kini para perupa juga merambah pada tempat yang tak biasa.

Tempat-tempat itu bisa berupa ruang yang tidak ada batasnya, seperti di koran, di pegunungan, di

gua, di laut, website (cyberspace) atau disajikan dengan cara yang khas, seperti dengan cara berjalan-jalan,

hidup dalam kotak kaca atau bersama-sama saling merantai tangan sang seniman atau pula bekerja samadengan para aktivis lingkungan, dan lain-lain.

Semua itu adalah hal-hal yang harus dipahami sebagai bagian dari perkembangan seni rupa yang

mengimbas pada manajemen seni rupa yang akan dipelajari.

Infrastruktur & SuprastrukturLahirnya berbagai asosiasi dan ruang aktivitas seni yang digalang oleh seniman (artist initiative)

atau oleh kurator. Beberapa ruang seni misalnya kelompok-kelompok perupa, kurator-penulis, dan pecinta

seni adalah gambaran dari begitu ramai dan kayanya keinginan akan pemikiran seni rupa dewasa ini. Di

samping itu di Indonesia juga telah mulai bermunculan kolektor, dari yang sifatnya coba-coba hingga yang

tergila-gila.

Karena bermunculannya banyak seniman, karya seni, dan kolektor, tak bisa dipungkiri hadir pula

mereka yang mencoba memerankan diri sebagai art dealer , kritikus, galeri, balai lelang dan kurator, yang juga dari tahun ke tahun terlihat meningkat kuantitasnya. Sayangnya keramaian ini masih terlihat hanya

pada beberapa daerah (terutama di Jawa (Jakarta, Jogja, Bandung, Magelang, Semarang, Surabaya), Bali,

dan sebagian kecil Sumatera), tidak merata di seluruh Indonesia.

Di sisi lain yang perlu dicermati adalah mulai ramainya pula keinginan perusahaan-perusahaanbisnis untuk merambah seni rupa sebagai media promosi. Beberapa perusahaan nasional dan multinasional

mulai berani menanamkan citranya pada seni rupa, seperti munculnya kompetisi seni rupa oleh perusahaan

Indofood, grup Phillip Moris, grup Ciputra (kompetisi seni patung Anugerah Adirupa), atau dukungan

terhadap sebuah pameran oleh Bank Indonesia, jasa asuransi UBS, atau perusahaan rokok Sampoerna pada

acara penayangan seni rupa di televisi, dan sebagainya. Hal ini turut menambah informasi dan dedikasi para

pekerja seni untuk terus berjuang, minimal untuk menggalang dana/sponsor ( fundraising).

Sayangnya bila dilihat secara komprehensif, beberapa jaringan tersebut memang telah mulai tampil

menggelora, tetapi ada pula yang menurut banyak pihak belum tampil secara maksimal, misalnyainfrastruktur museum/ galeri nasional, (editor) jurnal seni, dan sejarawan seni serta belum sinerginya

kondisi suprastruktur di Indonesia. Peranan mereka belum cukup kuat menopang, membentuk, dan

memfasilitasi kehidupan wacana seni di Indonesia. Selain disebabkan pula karena jumlahnya dan kehadiran

mereka amat minim.

Sedangkan masalah suprastruktur yang menopang art world di Indonesia, tampaknya juga bukan

pekerjaan yang mudah untuk lebih diseimbangkan. Sekalipun suprastruktur di Indonesia, misalnya UU Hak 

Cipta memang telah ada, sistem lelang (misalnya pada balai lelang) yang diberlakukan di Indonesia juga

telah berjalan, sistem transaksi dan perlindungan karya (sertifikasi) bagi kolektor, sistem kontrak galeri-

seniman-penulis-kurator juga telah termanifestasikan, namun tampak seperti berjalan sendiri-sendiri.

Terbukti sampai saat ini masih saja ada kolektor yang lesu karena karya koleksinya palsu, galeri

dan kurator yang kecewa dengan tindakan dan janji seniman, seniman yang kecewa dengan perilaku art 

dealer  dan kolektor, atau belum sinerginya berbagai sistem honorarium dan asuransi para pekerja seni(seperti kurator, penulis, teknisi, desainer, manager seni) yang diberikan oleh galeri maupun seniman.Kesadaran untuk saling terbuka, berperilaku profesional, serta setidaknya mengelaborasikan antara satu

aturan ke aturan lain dan sistem-sistem, sekalipun mungkin bukan jalan pemecahan utama, tetapi untuk 

sementara memiliki sisi positif dan baik dalam mengatasi hal di atas.

Beginilah gambaran secara singkat dan umum yang menunjukkan betapa belum berimbangnya

peran infrastruktur dan suprastruktur yang ada di Indonesia. Kemauan untuk belajar dan sadar ataspengelolaan serta manajemen internal masing-masing infrastruktur tampaknya menjadi pertimbangan dan

tugas pertama yang harus segera ditangani. Anehnya, sekalipun situasi yang “pincang” ini berjalan,

rupanya di sana-sini juga memunculkan kondisi-kondisi kreatif yang dilakukan oleh perupa maupun

Page 3: Medan Sosial Seni Rupa

7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa

http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 3/3

penggerak pameran seni rupa. Terbukti sampai saat ini pun tetap terselenggara berbagai pameran dan

aktivitas yang unik, fenomenal, dan menggegerkan (karya yang sold out , terjual nyaris sebanding harga

lukisan masterpiece dunia, buku-buku monografi perupa yang lux dan mahal, munculnya museum pribadimilik kolektor, maupun proyek/pameran seni rupa akbar, berhadiah besar dan internasional yang cukup

menghebohkan).

Perlu dicatat secara khusus di sini, bahwa situasi tentang belum berimbangnya peran yang

disandang oleh beberapa infrastruktur dan belum sinerginya suprastruktur di Indonesia ini anggap sajasebagai sebuah contoh dalam upaya memahami, mengerti, dan kemudian dimanfaatkan untuk menyiasatiberbagai tindakan yang akan dilakukan dalam memanajemen pameran yang akan diselenggarakan. Belum

lagi bila menghadapi persoalan yang lebih spesifik yang dihadapi setiap daerah/kota/provinsi di Indonesia

misalnya. Tetapi kondisi belum berimbangnya art world semacam ini masih sangat memungkinkan untuk 

pulih, sehat, dan seimbang. Bergantung pada para pelakunya.

Masalah infrastruktur dan suprastruktur dalam medan kajian seni rupa di Indonesia semacam inidalam beberapa rujukan memang telah melahirkan perdebatan dan polemik panjang. Banyak penulis yang

mencoba mengkaji kejutan-kejutan baru (misalnya tumbuhnya komunitas/ kelompok baru perupa-penulis-

pecinta seni, boom lukisan, temuan kreatif perupa, even-even khas dan internasional) dalam seni rupa

Indonesia, namun juga memunculkan kekecewaan baru (misalnya banyak tulisan yang hanya melahirkan

syakwasangka serta tuduhan-tuduhan yang tak mencerdaskan, tak karuan, dan tanpa memberi solusi yang

menarik, serta cenderung terlalu rewel). Tak dapat dielakkan, karena semua memang sedang berjalan.Kajian art world semacam ini juga penting untuk terus dilakukan secara lebih intensif oleh banyak 

pengamat seni dan/atau yang berkepentingan dengan hal itu, karena kajian tersebut dapat dipakai sebagai

atau “semacam” rujukan bagi mereka yang juga bergerak dalam manajemen pameran seni rupa.Bagaimana kabar terbaru tentang karya seniman, galeri nasional, museum pribadi seniman, atau

perseteruan wacana antara galeri A dan B, kurator – pengamat A dan B dapat diberitakan secara berimbang

dan menjadi informasi yang terus-menerus mudah dilacak. Sehingga kabar, referensi, dan tulisan, baik yang

ada pada media massa, buletin khusus, jurnal seni rupa (yang dianggap sebagai wacana tertulis) dapat

mengimbangi berkembangnya gosip-gosip yang beredar sebagai wacana lisan.

Oleh sebab itu, dalam mempelajari manajemen pameran seni rupa — selain perihal teknis dan seluk-

beluk/ jenis dan ragam seni rupa — alangkah baiknya tak melepaskan pula dari upaya mempelajari medan

kajian (sosial) seni rupa (yaitu infrastruktur dan suprastruktur) yang ada di dalamnya, baik yang

berkembang di dalam maupun di luar negeri . Manajer pameran, pemilik galeri (museum), kurator — misalnya yang paling dekat dengan hal ini — setidaknya memiliki pengetahuan dan informasi terbaru dari

segala perkembangan yang ada pada medan kajian seni rupa ini. Untuk itulah perangkat-perangkat teknis

perlu diberikan.