medan sosial seni rupa
DESCRIPTION
dsdsdTRANSCRIPT
![Page 1: Medan Sosial Seni Rupa](https://reader030.vdokumen.com/reader030/viewer/2022020708/563db92b550346aa9a9ab179/html5/thumbnails/1.jpg)
7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa
http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 1/3
Medan sosial seni rupaMengenal seni rupa, identitas individu, infrastruktur & suprastruktur yang terbangun.
Berkait dengan masalah tempat dan pola pikir yang “anti-kemapanan” dalam mengkaji masalahseni rupa dengan berbagai jenis karya seni rupa dan seluk-beluknya, akhirnya takkan terlepas dan sampai
pula pada medan kajian seni yang lain atau apa yang disebut dengan art world . Kritikus seni rupa Sanento
Yuliman (alm) sering menggunakan istilah “medan sosial seni” untuk memadankan istilah art world .
Medan kajian seni rupa ini mengaitkan hubungan antara berbagai pihak-pihak yang ada dalam
rangkaian besar seni rupa. Hal ini cukup penting dikaji sebab bagaimanapun juga karya seni dan
senimannya tidak dapat berdiri sendiri. Apalagi bila karya seni tersebut dipamerkan, ia tak bisa lepas dari
nilai-nilai yang lain. Secara singkat pengertian art world adalah semacam “jaringan” organisasi sosial yangmendukung dan berpartisipasi dalam “produksi” dan “konsumsi”.1
Sebagai contoh saja misalnya, jika melihat perkembangan seni rupa di Indonesia (seperti pada awal
tulisan dalam bab ini), jaringan atau art world yang telah terbentuk selama ini sesungguhnya telah dinilai
lengkap, di sana ada seniman, karya seni, kolektor, art dealer , editor jurnal/media massa, kritikus,
sejarawan, (direktur) museum, galeri, dewan kesenian, taman budaya, balai lelang, ruang (komunitas) seni,
lembaga dokumentasi, dan kurator.
Berbagai jenis seni rupa & perkembangannyaSeni rupa yang akan menjadi pijakan dalam pembahasan kali ini adalah seni rupa yang plural, seni
rupa yang berkembang di masa kini dan kadang-kadang memiliki kecenderungan pemikiran dan media
yang progresif. Memiliki kekhasan mulai yang biasa sampai yang luar biasa, sehingga mereka (perupa)
terkadang hanya membutuhkan ruang yang berbatas hingga tak berbatas, dari ruang kecil (dan maya)
sampai yang membutuhkan ruang besar (dan global).
Untuk itu bila menunjuk karya mana yang akan dipamerkan atau dijadikan contoh dalam seni rupamisalnya, adalah berbagai karya seni yang memiliki karakter mulai dari konvensional (seperti seni lukis,
patung, seni cetak grafis) hingga non-konvensional secara teknis (percampuran berbagai teknik di atas atau
di luar itu semua), maupun dari karya yang berpretensi untuk melakukan terobosan teknis hingga yang
hanya menggulirkan konsep tema semata.
Apalagi bila bicara lebih lanjut tentang seni rupa kontemporer, ada yang merujuk dari sudut teknis(yang non-konvensional), seperti menguatnya seni-seni dengan identitas lokal (indegenous art ), munculnya
seni instalasi (atau yang bersifat instalatif, multimedia seperti video art , web art , new media art, proces art,
site specific installation), ada pula yang mengartikan sebagai karya seni yang merupakan jawaban atas
masalah-masalah yang muncul dalam praktik dan perilaku artistik yang menyimpang dari konvensi
sebelumnya (Modernisme).Jika dahulu muncul karya seni tradisional yang sekarang banyak dimuseumkan (sehingga
pembahasan manajemennya dalam lingkup manajemen museum), atau wacana Modernisme yang
melahirkan kecenderungan yang mapan (sehingga cukup pameran di ruang yang mapan seperti galeri dan
museum atau art shop) — sebut saja kedua kecenderungan tersebut adalah bentuk kemapanan — kini seni
rupa kontemporer lebih banyak dikerjakan dengan berbagai cara dan pola (mulai dikerjakan di luar ruang
yang mapan hingga yang alternatif, seperti indoor , virtual atau media masa cetak/visual).
Oleh karena itu perlu sistem untuk mensiasati bagaimana menggagas dan memanajemen pameranyang terkadang di luar kemapanan yang telah digariskan sebelumnya. Di sini memerlukan keterlibatan
pikiran dan tenaga yang lebih dari biasanya. Seni rupa menjadi sedemikian ramai dengan berbagai jenis dan
problematikannya.
Dapat diambil contoh, bagaimana para perupa yang dahulunya hanya memamerkan lukisan digaleri atau ruang toko untuk diperjual-belikan pada mereka yang lewat dan berekreasi di sana (bayangkan
1Howard S. Becker, Art Worlds, via Asmudjo J. Irianto, “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni
Rupa Kontemporer Yogyakarta Era 90-an”, Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia
(Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000), p. 88.
![Page 2: Medan Sosial Seni Rupa](https://reader030.vdokumen.com/reader030/viewer/2022020708/563db92b550346aa9a9ab179/html5/thumbnails/2.jpg)
7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa
http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 2/3
pula bila Anda ke ke studio seniman, atau ke Ancol untuk melihat dan menawar lukisan, Kasongan yang
memamerkan gerabah/keramik, atau di beberapa tempat di Pekalongan dengan kain batiknya), atau mereka
yang sering berpameran di galeri/museum terkenal, kini para perupa juga merambah pada tempat yang tak biasa.
Tempat-tempat itu bisa berupa ruang yang tidak ada batasnya, seperti di koran, di pegunungan, di
gua, di laut, website (cyberspace) atau disajikan dengan cara yang khas, seperti dengan cara berjalan-jalan,
hidup dalam kotak kaca atau bersama-sama saling merantai tangan sang seniman atau pula bekerja samadengan para aktivis lingkungan, dan lain-lain.
Semua itu adalah hal-hal yang harus dipahami sebagai bagian dari perkembangan seni rupa yang
mengimbas pada manajemen seni rupa yang akan dipelajari.
Infrastruktur & SuprastrukturLahirnya berbagai asosiasi dan ruang aktivitas seni yang digalang oleh seniman (artist initiative)
atau oleh kurator. Beberapa ruang seni misalnya kelompok-kelompok perupa, kurator-penulis, dan pecinta
seni adalah gambaran dari begitu ramai dan kayanya keinginan akan pemikiran seni rupa dewasa ini. Di
samping itu di Indonesia juga telah mulai bermunculan kolektor, dari yang sifatnya coba-coba hingga yang
tergila-gila.
Karena bermunculannya banyak seniman, karya seni, dan kolektor, tak bisa dipungkiri hadir pula
mereka yang mencoba memerankan diri sebagai art dealer , kritikus, galeri, balai lelang dan kurator, yang juga dari tahun ke tahun terlihat meningkat kuantitasnya. Sayangnya keramaian ini masih terlihat hanya
pada beberapa daerah (terutama di Jawa (Jakarta, Jogja, Bandung, Magelang, Semarang, Surabaya), Bali,
dan sebagian kecil Sumatera), tidak merata di seluruh Indonesia.
Di sisi lain yang perlu dicermati adalah mulai ramainya pula keinginan perusahaan-perusahaanbisnis untuk merambah seni rupa sebagai media promosi. Beberapa perusahaan nasional dan multinasional
mulai berani menanamkan citranya pada seni rupa, seperti munculnya kompetisi seni rupa oleh perusahaan
Indofood, grup Phillip Moris, grup Ciputra (kompetisi seni patung Anugerah Adirupa), atau dukungan
terhadap sebuah pameran oleh Bank Indonesia, jasa asuransi UBS, atau perusahaan rokok Sampoerna pada
acara penayangan seni rupa di televisi, dan sebagainya. Hal ini turut menambah informasi dan dedikasi para
pekerja seni untuk terus berjuang, minimal untuk menggalang dana/sponsor ( fundraising).
Sayangnya bila dilihat secara komprehensif, beberapa jaringan tersebut memang telah mulai tampil
menggelora, tetapi ada pula yang menurut banyak pihak belum tampil secara maksimal, misalnyainfrastruktur museum/ galeri nasional, (editor) jurnal seni, dan sejarawan seni serta belum sinerginya
kondisi suprastruktur di Indonesia. Peranan mereka belum cukup kuat menopang, membentuk, dan
memfasilitasi kehidupan wacana seni di Indonesia. Selain disebabkan pula karena jumlahnya dan kehadiran
mereka amat minim.
Sedangkan masalah suprastruktur yang menopang art world di Indonesia, tampaknya juga bukan
pekerjaan yang mudah untuk lebih diseimbangkan. Sekalipun suprastruktur di Indonesia, misalnya UU Hak
Cipta memang telah ada, sistem lelang (misalnya pada balai lelang) yang diberlakukan di Indonesia juga
telah berjalan, sistem transaksi dan perlindungan karya (sertifikasi) bagi kolektor, sistem kontrak galeri-
seniman-penulis-kurator juga telah termanifestasikan, namun tampak seperti berjalan sendiri-sendiri.
Terbukti sampai saat ini masih saja ada kolektor yang lesu karena karya koleksinya palsu, galeri
dan kurator yang kecewa dengan tindakan dan janji seniman, seniman yang kecewa dengan perilaku art
dealer dan kolektor, atau belum sinerginya berbagai sistem honorarium dan asuransi para pekerja seni(seperti kurator, penulis, teknisi, desainer, manager seni) yang diberikan oleh galeri maupun seniman.Kesadaran untuk saling terbuka, berperilaku profesional, serta setidaknya mengelaborasikan antara satu
aturan ke aturan lain dan sistem-sistem, sekalipun mungkin bukan jalan pemecahan utama, tetapi untuk
sementara memiliki sisi positif dan baik dalam mengatasi hal di atas.
Beginilah gambaran secara singkat dan umum yang menunjukkan betapa belum berimbangnya
peran infrastruktur dan suprastruktur yang ada di Indonesia. Kemauan untuk belajar dan sadar ataspengelolaan serta manajemen internal masing-masing infrastruktur tampaknya menjadi pertimbangan dan
tugas pertama yang harus segera ditangani. Anehnya, sekalipun situasi yang “pincang” ini berjalan,
rupanya di sana-sini juga memunculkan kondisi-kondisi kreatif yang dilakukan oleh perupa maupun
![Page 3: Medan Sosial Seni Rupa](https://reader030.vdokumen.com/reader030/viewer/2022020708/563db92b550346aa9a9ab179/html5/thumbnails/3.jpg)
7/17/2019 Medan Sosial Seni Rupa
http://slidepdf.com/reader/full/medan-sosial-seni-rupa 3/3
penggerak pameran seni rupa. Terbukti sampai saat ini pun tetap terselenggara berbagai pameran dan
aktivitas yang unik, fenomenal, dan menggegerkan (karya yang sold out , terjual nyaris sebanding harga
lukisan masterpiece dunia, buku-buku monografi perupa yang lux dan mahal, munculnya museum pribadimilik kolektor, maupun proyek/pameran seni rupa akbar, berhadiah besar dan internasional yang cukup
menghebohkan).
Perlu dicatat secara khusus di sini, bahwa situasi tentang belum berimbangnya peran yang
disandang oleh beberapa infrastruktur dan belum sinerginya suprastruktur di Indonesia ini anggap sajasebagai sebuah contoh dalam upaya memahami, mengerti, dan kemudian dimanfaatkan untuk menyiasatiberbagai tindakan yang akan dilakukan dalam memanajemen pameran yang akan diselenggarakan. Belum
lagi bila menghadapi persoalan yang lebih spesifik yang dihadapi setiap daerah/kota/provinsi di Indonesia
misalnya. Tetapi kondisi belum berimbangnya art world semacam ini masih sangat memungkinkan untuk
pulih, sehat, dan seimbang. Bergantung pada para pelakunya.
Masalah infrastruktur dan suprastruktur dalam medan kajian seni rupa di Indonesia semacam inidalam beberapa rujukan memang telah melahirkan perdebatan dan polemik panjang. Banyak penulis yang
mencoba mengkaji kejutan-kejutan baru (misalnya tumbuhnya komunitas/ kelompok baru perupa-penulis-
pecinta seni, boom lukisan, temuan kreatif perupa, even-even khas dan internasional) dalam seni rupa
Indonesia, namun juga memunculkan kekecewaan baru (misalnya banyak tulisan yang hanya melahirkan
syakwasangka serta tuduhan-tuduhan yang tak mencerdaskan, tak karuan, dan tanpa memberi solusi yang
menarik, serta cenderung terlalu rewel). Tak dapat dielakkan, karena semua memang sedang berjalan.Kajian art world semacam ini juga penting untuk terus dilakukan secara lebih intensif oleh banyak
pengamat seni dan/atau yang berkepentingan dengan hal itu, karena kajian tersebut dapat dipakai sebagai
atau “semacam” rujukan bagi mereka yang juga bergerak dalam manajemen pameran seni rupa.Bagaimana kabar terbaru tentang karya seniman, galeri nasional, museum pribadi seniman, atau
perseteruan wacana antara galeri A dan B, kurator – pengamat A dan B dapat diberitakan secara berimbang
dan menjadi informasi yang terus-menerus mudah dilacak. Sehingga kabar, referensi, dan tulisan, baik yang
ada pada media massa, buletin khusus, jurnal seni rupa (yang dianggap sebagai wacana tertulis) dapat
mengimbangi berkembangnya gosip-gosip yang beredar sebagai wacana lisan.
Oleh sebab itu, dalam mempelajari manajemen pameran seni rupa — selain perihal teknis dan seluk-
beluk/ jenis dan ragam seni rupa — alangkah baiknya tak melepaskan pula dari upaya mempelajari medan
kajian (sosial) seni rupa (yaitu infrastruktur dan suprastruktur) yang ada di dalamnya, baik yang
berkembang di dalam maupun di luar negeri . Manajer pameran, pemilik galeri (museum), kurator — misalnya yang paling dekat dengan hal ini — setidaknya memiliki pengetahuan dan informasi terbaru dari
segala perkembangan yang ada pada medan kajian seni rupa ini. Untuk itulah perangkat-perangkat teknis
perlu diberikan.