materi utama kegiatan belajar 2 -...

30
MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 2 Pembelajaran yang efektif dapat dicapai apabila guru menguasai berbagai teori belajar sebagai landasan dalam mengimplementasikan pembelajarannya. Teori belajar merupakan hasil pemikiran para ahli pendidikan berupa deskripsi temuan tentang bagaimana individu belajar. Terdapat beberapa aliran teori belajar diantaranya aliran Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme dan Konstruktivisme. Persepsi awal yang harus dimiliki oleh seorang guru ketika memilih salah satu aliran untuk diimplementasikan dalam pembelajaran adalah bahwa tidak ada satupun aliran yang paling baik. Implementasi keempat aliran teori belajar tersebut sangat bergantung pada karakteristik siswa, materi pembelajaran dan lingkungan belajarnya. A. Teori Belajar Aliran Behaviorisme Behaviorisme secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu behave yang berarti berperilaku dan isme yang berarti aliran. Dengan demikian, behaviorisme merupakan salah satu aliran yang mendeskripsikan bahwa belajar merupakan aktivitas yang dapat mengubah perilaku individu, dan perilaku tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah sebagai respon terhadap stimulus yang diberikan. Aliran ini memfokuskan pada munculnya berbagai respon individu sebagai akibat berbagai stimulus yang diberikan. Tokoh-tokoh yang menekuni dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap aliran ini adalah Edward L. Thorndike, B.F. Skinner, Gagne, Baruda, Ivan Pavlov, John B. Watson dan David Ausubel. Berikut merupakan deskripsi teori belajar menurut para tokoh di atas beserta implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dasar. 1. Teori Belajar Edward L. Thorndike Edward L. Thorndike merupakan pakar psikologi yaang tidak setuju dengan pernyataan bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Pernyataannya tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Animal Intelligence setelah Ia melakukan eksperimen terhadap beberapa hewan diantaranya anjing, ikan, kera, kucing dan ayam untuk membuktikan bahwa hewan-hewan tersebut juga memiliki kecerdasan. Gagasannya tersebut

Upload: phamkhuong

Post on 08-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 2

Pembelajaran yang efektif dapat dicapai apabila guru menguasai berbagai

teori belajar sebagai landasan dalam mengimplementasikan pembelajarannya.

Teori belajar merupakan hasil pemikiran para ahli pendidikan berupa deskripsi

temuan tentang bagaimana individu belajar. Terdapat beberapa aliran teori belajar

diantaranya aliran Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme dan

Konstruktivisme. Persepsi awal yang harus dimiliki oleh seorang guru ketika

memilih salah satu aliran untuk diimplementasikan dalam pembelajaran adalah

bahwa tidak ada satupun aliran yang paling baik. Implementasi keempat aliran

teori belajar tersebut sangat bergantung pada karakteristik siswa, materi

pembelajaran dan lingkungan belajarnya.

A. Teori Belajar Aliran Behaviorisme

Behaviorisme secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu behave yang

berarti berperilaku dan isme yang berarti aliran. Dengan demikian, behaviorisme

merupakan salah satu aliran yang mendeskripsikan bahwa belajar merupakan

aktivitas yang dapat mengubah perilaku individu, dan perilaku tersebut dapat

dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah sebagai respon terhadap stimulus yang

diberikan. Aliran ini memfokuskan pada munculnya berbagai respon individu

sebagai akibat berbagai stimulus yang diberikan. Tokoh-tokoh yang menekuni dan

memberikan pengaruh yang kuat terhadap aliran ini adalah Edward L. Thorndike,

B.F. Skinner, Gagne, Baruda, Ivan Pavlov, John B. Watson dan David Ausubel.

Berikut merupakan deskripsi teori belajar menurut para tokoh di atas beserta

implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dasar.

1. Teori Belajar Edward L. Thorndike

Edward L. Thorndike merupakan pakar psikologi yaang tidak setuju dengan

pernyataan bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya.

Pernyataannya tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Animal

Intelligence setelah Ia melakukan eksperimen terhadap beberapa hewan

diantaranya anjing, ikan, kera, kucing dan ayam untuk membuktikan bahwa

hewan-hewan tersebut juga memiliki kecerdasan. Gagasannya tersebut

menginisiasi munculnya teori koneksionisme yang mendeskripsikan tentang

keterkaitan antara stimulus tertentu dengan respon berupa perilaku yang

disadari (Operant Conditioning). Terkait pembelajaran, menurut Edward L.

Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus

dan respon. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu

stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau

kepuasan pada diri siswa bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian

atau ganjaran dari gurunya. Selanjutnya Thorndike menamakan kondisi

tersebut sebagai hukum efek (Law of Effect).

Percobaan Thorndike dilakukan dengan menggunakan kotak teka-teki (puzzle

box) berupa ruangan kecil tempat hewan-hewan yang menjadi subjek

penelitiannya diletakkan di dalamnya atau bisa kita sebut sebagai kandang.

Kotak tersebut dilengkapi dengan pintu yang dapat dibuka dengan cara menari

tali, mendorong tuas dan/atau mendaki tangga. Pada awal percobaannya

dengan meletakan makanan di luar kotak sebagai stimulus, hewan-hewan

tersebut kesulitan memberikan respon berupa aktivitas memecahkan masalah

dalam membuka pintu kotak untuk bisa keluar dan menikmati makanannya di

luar kotak. Namun demikian, setelah beberapa kali dilakukan percobaan,

akhirnya hewan-hewan tersebut dapat memecahkan masalah tersebut dalam

waktu yang semakin singkat.

Menurutnya, hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa hewan

memecahkan masalah tidak menggunakan nalurinya tetapi menggunakan

kecerdasannya melalui proses trial and error yang merupakan salah satu

strategi untuk memecahkan masalah. Hal ini dikuatkan dengan kurva waktu

yang telah dicatatnya setiap kali percobaan berlangsung yang menunjukkan

penurunan secara gradual. Ia menyimpulkan dari percobaannya bahwa hewan

dapat memecahkan masalah melalui aktivitas yang disebut sebagai belajar.

Hasil penelitiannya menghasilkan beberapa dalil atau hukum yang melandasi

pembelajaran di sekolah dasar yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum

latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).

a. Hukum kesiapan

Hukum kesiapan ini menerangkan tentang bagaimana kesiapan siswa untuk

beraktivitas dalam belajar. Menurut hukum ini, seorang siswa akan lebih

berhasil belajarnya jika siswa tersebut telah siap secara fisik dan psikis untuk

melakukan aktivitas apapun dalam belajar.

Dalam pembelajaran di sekolah sesuai dengan standar proses pendidikan, pada

kegiatan pendahuluan guru wajib mengondisikan siswa secara fisik dan psikis

untuk mengikuti pembelajaran di kelas, menyampaikan cakupan materi yang

hendak disampaikan, menyampaikan tujuan pembelajaran, dan memberikan

apersepsi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menyiapkan siswa

untuk belajar.

b. Hukum latihan

Hukum latihan ini menerangkan bahwa siswa akan berhasil belajarnya apabila

hubungan antara stimulus yang diberikan dengan respon siswa terjadi dan

diperkuat dengan kegiatan latihan dan pengulangan. Jika pengulangan sering

dilakukan maka akan memberikan dampak positif terhadap keberhasilan siswa

dalam belajar. Semakin sering pengulangan dilakukan, akan semakin kuat

konsep tertanam dalam ingatan siswa. Tentunya pengulangan yang dimaksud

adalah pengulangan dengan frekuensi teratur dan disajikan dengan cara yang

menarik.

Dalam pembelajaran di sekolah sesuai dengan standar proses pendidikan, pada

kegiatan inti guru wajib memfasilitasi aktivitas siswa dalam melakukan

eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Khususnya pada fase elaborasi, guru

harus memfasilitasi siswa dalam berlatih untuk mengembangkan materi ajar

yang telah digalinya pada fase eksplorasi dan menguatkan pengetahuan yang

telah didapatkannya sebagai hasil dari belajar melalui fase konfirmasi.

Penguatan tersebut dapat berupa pengulangan, pengembangan dan

penyempurnaan hasil kerja dengan berbagai teknik penguatan.

c. Hukum akibat

Hukum akibat menerangkan bahwa seseorang dalam melakukan suatu tindakan

akan menimbulkan pengaruh terhadap dirinya. Jika seorang siswa melakukan

suatu tindakan yang dianggap benar, kemudian mendapatkan ganjaran berupa

pujian dari gurunya, tentunya hal ini akan memberikan kepuasan bagi siswa

tersebut, dan siswa tersebut cenderung untuk berusaha melakukan tindakan

yang lebih baik lagi.

Dalam pembelajaran di sekolah, pada saat siswa dapat mengerjakan tugas

dengan baik, menjawab soal dengan benar atau berperilaku positif, guru selalu

memberikan penghargaan kepada siswa dengan berbagai cara seperti kata-kata

pujian cerdas, juara, bagus, pandai, hebat dan lain-lain. Penghargaan tersebut

diharapkan dapat memotivasi siswa untuk melakukan hal yang lebih baik lagi

pada pembelajaran berikutnya.

Implementasi teori belajar menurut Edward L. Thorndike dalam pembelajaran

di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang

berlandaskan pada pemikiran Edward L. Thorndike berdasarkan ketiga hukum

di atas yang terdiri dari fase kesiapan, latihan dan pemberian ganjaran atau

penghargaan.

1. Fase kesiapan

a) Guru mengondisikan siswa secara fisik dan psikis untuk mengikuti

pembelajaran

b) Guru menyampaian tujuan pembelajaran

c) Guru menyampaikan cakupan materi yang akan dipelajari

d) Guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan materi ajar yang akan

dipelajari dengan materi sebelumnya atau dengan kehidupan sehari-hari

siswa.

2) Fase latihan

a) Guru menjelaskan materi ajar yang akan dipelajari

b) Guru memberikan tugas secara individu atau kelompok untuk dikerjakan

siswa

c) Siswa berlatih mengerjakan tugas-tugas individu atau kelompok

d) Siswa berlatih mengerjakan tugas-tugas lain yang sejenis sebagai

penguatan

e) Guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa

3) Fase pemberian ganjaran atau penghargaan

a) Guru memberikan penghargaan atas hasil kerja siswa

b) Guru bersama siswa merefleksi pembelajaran

c) Guru memberikan evaluasi

d) Guru menutup pembelajaran dengan kata-kata motivasi

2. Teori Belajar Burhus Frederic Skinner

Burhus Frederic Skinner adalah seorang pakar psikologi lulusan Universitas

Harvard Amerika Serikat dan mengabdikan diri untuk menjadi dosen pada

almamaternya. Penelitiannya secara berkelanjutan terhadap belajar dan

perilaku selama bertahun-tahun menghasilkan teori belajar yang dikenal

dengan Operant Conditioning (pengondisian yang disadari). Seperti hanya

penelitian yang dilakukan oleh Edward L. Thorndike, subjek penelitian Skinner

adalah beberapa hewan diantaranya tikus dan merpati.

Percobaan Skinner dilakukan dengan menggunakan kotak khusus yang disebut

kotak Skinner. Kotak Skinner berupa ruang kosong tempat hewan dapat

memperoleh makanan dengan melakukan usaha terlebih dahulu berupa respon

sederhana seperti menekan atau memutar tuas. Skinner menggunakan alat

perekam yang dapat merekam seluruh aktivitas hewan dalam memperoleh

makanannya yang diletakkan di dalam kotak Skinner. Berbeda dengan

percobaan Thorndike, pada percobaan Skinner, makanan diletakkan di dalam

kotak yang hanya cukup untuk setiap respon yang hanya membutuhkan upaya

yang ringan sehingga seekor hewan dapat melakukan responnya ratusan kali

dalam setiap jamnya.

Menurutnya, ganjaran dan penguatan dalam proses pembelajaran mempunyai

peranan yang sangat penting bagi siswa. Ganjaran merupakan respon yang

sifatnya menggembirakan siswa misalnya tepuk tangan apabila siswa mampu

menjawab pertanyaan dari gurunya. Sedangkan penguatan merupakan sesuatu

yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon misalnya

memberikan hadiah pensil bagi siswa yang mampu menjawab pertanyaan dari

gurunya.

Menurutnya, hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa perubahan pola

pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan. Hasil

penelitiannya menghasilkan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran di

sekolah yaitu prinsip penguatan (reinforcement), prinsip hukuman

(punishment), prinsip pembentukan (shaping), prinsip penghapusan

(extinction), prinsip diskriminasi (discrimination), dan prinsip generalisasi

(generalization).

a. Prinsip penguatan

Penguatan merupakan suatu proses yang dapat memperbesar kesempatan

supaya perilaku positif tersebut terjadi lagi dan memperkuat perilaku positif

tersebut. Penguatan terdiri dari penguatan positif yang dapat memperkuat

perilaku positif melalui stimulus yang menyenangkan contoh dengan

memberikan pujian atau penghargaan ketika siswa dapat mengerjakan tugasnya

dengan baik dan penguatan negatif yang dapat memperkuat perilaku positif

dengan cara menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan misalnya saja

dengan melarang siswa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kontrak

belajar yang telah disepakati bersama atau memberikan bantuan terhadap siswa

yang mengalami kesulitan dalam belajar.

b. Prinsip hukuman

Berbeda dengan penguatan yang dapat memperkuat perilaku positif, hukuman

merupakan suatu proses yang dapat memperbesar kesempatan supaya perilaku

negatif tersebut tidak terjadi lagi dan memperlemah perilaku negatif. Terdapat

dua jenis hukuman yaitu hukuman positif dan negatif. Hukuman positif dapat

mengurangi perilaku negatif dengan memberikan stimulus yang tidak

menyenangkan jika perilaku negatif itu terjadi. Contoh hukuman positif dari

guru adalah menghukum siswa yang melanggar tata tertib kelas untuk berdiri

di depan kelas dengan mengangkat salah satu kakinya supaya siswa pelaku

jera. Hukuman negatif dapat mengurangi perilaku negatif dengan

menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku negatif itu terjadi.

Contoh hukuman negatif dari guru adalah menghukum siswa yang melanggar

aturan permainan dalam pembelajaran di kelas dengan cara tidak

mengikutsertakan siswa pelaku dalam permainan kelas berikutnya.

c. Prinsip pembentukan

Pembentukan merupakan suatu proses untuk mengajar perilaku individu yang

belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Contoh penerapan prinsip

pembentukan dalam pembelajaran menulis permulaan pada siswa baru kelas 1

SD adalah pada saat siswa mulai menulis tegak bersambung, guru

memfasilitasinya dengan buku siswa yang di dalamnya terdapat titik-titik yang

membentuk huruf tegak bersambung untuk dilengkapi siswa, selanjutnya pada

pembelajaran berikutnya siswa mulai menulis tegak bersambung dibantu oleh

guru dengan cara memegangi pensil siswa untuk diarahkan, berikutnya siswa

menulis tegak bersambung secara mandiri.

d. Prinsip penghapusan

Penghapusan merupakan suatu proses menarik kembali penguat dari perilaku

individu. Contoh penerapan prinsip penghapusan dalam pembelajaran di

sekolah adalah pada saat guru memberikan scaffolding terhadap siswa pada

saat siswa menulis tegak bersambung. Pertama guru memberikan bimbingan

yang maksimal, kemudian bimbingan tersebut berangsur-angsur dikurangi

bahkan dihilangkan agar siswa dapat melakukannya sendiri.

e. Prinsip diskriminasi

Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat

dalam suatu situasi dan tidak berlaku dalam situasi lainnya. Contoh penerapan

prinsip diskriminasi dalam pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika guru

mengajar di pagi hari dengan gaya kharismatik atau tegas, kemudian pada

siang hari ketika siswa mulai lelah maka guru mengajar dengan penuh humor

dan permainan.

f. Prinsip generalisasi

Generalisasi merupakan proses bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam

suatu situasi dan berlaku juga dalam situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip

generalisasi dalam pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika suatu hari guru

mengajar dengan menerapkan metode permainan dan pada saat refleksi

pembelajaran siswa memberikan testimoni positif, maka pembelajaran pada

hari berikutnya guru akan menerapkan metode permainan kembali dengan

harapan siswa akan termotivasi untuk belajar.

Implementasi teori belajar menurut Burhus Frederic Skinner dalam

pembelajaran di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan

sintaks yang berlandaskan pada pemikiran Skinner berdasarkan keenam prinsip

di atas yang terdiri dari fase pembentukan, fase penguatan dan hukuman, fase

penghapusan, dan fase generalisasi dan diskriminasi.

1) Fase pembentukan

a) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan secara individual

b) Guru memberikan bimbingan kepada siswa secara individual dalam

mengerjakan tugasnya

2) Fase penguatan dan hukuman

a) Siswa secara individual mengumpulkan hasil kerjanya dan guru

memberikan penilaian

b) Guru memberikan penghargaan berupa pujian untuk siswa yang dapat

mengerjakan tugasnya dengan baik

c) Guru memberikan hukuman berupa pemberian tugas yang lebih berat

kepada siswa yang tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik

3) Fase penghapusan

a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara

individual

b) Siswa secara individual dan mandiri mengerjakan tugas yang diberikan

oleh guru

4) Fase generalisasi dan diskriminasi

a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran

b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung

c) Guru memberikan evaluasi

d) Guru menutup pembelajaran

3. Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov

Ivan Petrovich Pavlov adalah seorang Rusia yang menemukan teori belajar

pengondisian klasik (Clasical Conditioning) sebelum ditemukan teori

pengondisian yang lebih maju seperti teori Operant Conditioning dari Skinner.

Perbedaan antara teori Pavlov dan Skinner adalah pada bentuk

pengondisiannya, teori belajar Pavlov dengan clasical conditioning lebih

menekankan bentuk pengondisian secara refleks atau ditemukan secara

kebetulan dari percobaannya, sedangkan teori belajar Skinner dengan operant

conditioning lebih menekankan bentuk pengondisian secara disadari melalui

percobaan yang dilakukannya.

Teori belajar Pavlov ini ditemukan secara kebetulan ketika Ia sedang

mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan.

Kegiatan percobaan dilakukan menggunakan bunyi lonceng untuk memanggil

dan memberi makan anjing yang menjadi subjek penelitiannya dan mengukur

volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Dalam percobaannya,

Pavlov menemukan beberapa temuan lainnya diantaranya ternyata setelah

anjing melalui prosedur yang sama beberapa kali, anjing tersebut mulai

mengeluarkan air liur setelah lonceng dibunyikan dan sebelum menerima

makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa bunyi lonceng telah diasosiasikan oleh

anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respon keluarnya air

liur. Bunyi lonceng tersebut merupakan stimulus dengan pengondisian dan

keluarnya air liur anjing merupakan respon dengan pengondisian.

Hasil penelitiannya menghasilkan proses belajar yang terdiri dari empat fase

yaitu fase akuisisi (acquisition), fase eliminasi (extinction), fase generalisasi

(generalization), dan fase diskriminasi (discrimination).

a. Fase akuisisi

Fase akuisisi merupakan fase belajar awal dari pengondisian respon yang

menggunakan stimulus kondisi selain stimulus utama dengan memperhatikan

urutan stimulus tersebut dan selang waktu antara stimulus kondisi dan stimulus

utama. Stimulus kondisi dari percobaan Pavlov adalah bunyi lonceng,

sedangkan stimulus utamanya adalah makanan. Contoh implementasi fase

akuisisi dalam pembelajaran di sekolah adalah ketika guru mengiming-imingi

siswa dengan hadiah kalau siswa dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan

tepat. Sehingga dalam pembelajaran siswa aktif dan tekun membaca buku

supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru. Stimulus utama pada kegiatan

pembelajaran tersebut adalah pemberian pertanyaan dari guru, sedangkan

stimulus kondisinya adalah iming-iming hadiah dari guru. membaca buku

dengan aktif dan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan

selalu tepat merupakan respon kondisi.

b. Fase eliminasi

Fase eliminasi merupakan fase belajar yang secara berangsur-angsur

mengurangi bahkan menghilangkan stimulus kondisi sehingga yang tersisa

adalah stimulus utama supaya respon tetap terjadi meskipun tanpa stimulus

kondisi. Contoh implementasi fase eliminasi dalam pembelajaran di sekolah

adalah ketika setelah beberapa kali pembelajaran guru mengiming-imingi

hadiah jika siswa dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat,

kemudian pertemuan berikutnya siswa tidak diiming-imingi hadiah tetapi

langsung diberikan tugas oleh guru. Karena motivasi belajar mulai tumbuh

meskipun tidak diiming-imingi hadiah, siswa tetap membaca buku dengan aktif

dan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat.

c. Fase generalisasi

Fase generalisasi pada teori belajar Pavlov hampir sama dengan prinsip

generalisasi pada teori belajar Skinner. Generalisasi merupakan proses bahwa

suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi dan berlaku juga dalam

situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip generalisasi dalam pembelajaran di

sekolah dasar adalah ketika suatu hari semua siswa aktif dan tekun membaca

buku karena diiming-imingi hadiah kalau mereka dapat menjawab pertanyaan

dari guru dengan tepat. Pada pertemuan berikutnya, supaya semua siswa aktif

dan bersungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan rumahnya maka guru

mengiming-imingi hadiah bagi siswa yang mengerjakan pekerjaan rumahnya

dengan bersungguh-sungguh.

d. Fase diskriminasi

Fase diskriminasi pada teori belajar Pavlov hamir sama dengan prinsip

diskriminasi pada teori belajar Skinner. Diskriminasi merupakan proses belajar

bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi dan tidak berlaku

dalam situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip diskriminasi dalam

pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika guru mengiming-imingi hadiah

pensil kalau siswa dapat menjawab pertanyaannya dengan tepat. Pada

pembelajaran awal, siswa yang tidak memiliki pensil masih termotivasi untuk

membaca buku dengan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru

dengan tepat dan mendapatkan hadiah pensil, tetapi pada pembelajaran

berikutnya setelah siswa memiliki pensil maka siswa tidak termotivasi lagi

untuk membaca buku dengan tekun. Perubahan situasi pembelajaran terjadi

dari situasi dimana siswa tidak memiliki pensil menjadi situasi pembelajaran

dimana siswa telah memiliki pensil.

Implementasi teori belajar menurut Ivan Petrovich Pavlov dalam pembelajaran

di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang

berlandaskan pada pemikiran Pavlov yang terdiri dari fase akuisisi, fase

eliminasi, fase generalisasi, dan fase diskriminasi.

1) Fase akuisisi

a) Guru membentuk kelompok secara heterogen

b) Guru dan siswa membuat kesepakatan belajar bahwa kelompok yang

dapat melakukan percobaan dengan tepat sesuai dengan langkah kerja

pada LKS dan waktu yang telah ditentukan akan diberikan bintang (*)

sesuai dengan banyaknya anggota kelompok

c) Setiap anggota kelompok membaca langkah kerja pada LKS dengan

seksama

d) Setiap kelompok melakukan percobaan kelompoknya

e) Setiap kelompok mengumpulkan LKS kelompoknya sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan

f) Guru memberikan penilaian

g) Guru memberikan bintang (*) kepada kelompok sebanyak anggota

kelompok yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat sesuai

dengan langkah kerja pada LKS dan waktu yang telah ditentukan.

2) Fase eliminasi

a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara

kelompok

b) Siswa secara berkelompok mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru

c) Siswa secara berkelompok mengumpulkan hasil kerjanya

d) Guru memberikan penilaian kelompok

3) Fase generalisasi

a) Guru merefleksi pembelajaran dengan cara membandingkan proses

pembelajaran pada fase 1 dan 2

b) Guru memberikan penghargaan berupa bintang (*) pada kelompok yang

masih aktif dan tepat dalam melakukan percobaan.

4) Fase diskriminasi

a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran

b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung

c) Guru bersama siswa menentukan kesepakan belajar untuk pertemuan

berikutnya terkait jenis penghargaan kelompok yang diharapkan oleh

siswa ketika kelompoknya dapat mengerjakan tugas dengan baik dan

tepat

d) Guru memberikan evaluasi

e) Guru menutup pembelajaran

4. Teori Belajar John Watson

John Watson merupakan pakar psikologi berkebangsaan Amerika Serikat yang

banyak meneliti perilaku berbagai jenis hewan dan membandingkan perilaku

adaptasi berbagai jenis hewan terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, John

Watson dijuluki sebagai pakar teori belajar Stimulus-Respons (S-R).

Subjek penelitian John Watson adalah seorang balita bernama Albert yang

pada awal eksperimennya tidak takut terhadap tikus. Pada percobaannya,

ketika balita tersebut memegang tikus, Watson mengeluarkan suara keras

dengan tiba-tiba yang menyebabkan balita tersebut menangis karena kaget dan

takut. Akhirnya, balita tersebut menjadi takut dengan tikus meskipun tidak ada

suara keras sekalipun.

John Watson menyimpulkan bahwa stimulus khusus tertentu dapat dihadirkan

untuk mengeliminasi stimulus kondisi yang menyebabkan respon kondisi

tertentu berubah. Stimulus khusus tersebut mengasimilasi sebagian besar atau

seluruh fungsi dari refleks.

Seperti halnya Skinner, hasil penelitiannya menghasilkan proses belajar yang

terdiri dari empat fase yaitu fase akuisisi (acquisition), fase eliminasi

(extinction), fase generalisasi (generalization), dan fase diskriminasi

(discrimination). Perbedaannya adalah pada fase eliminasi, John Watson

menghadirkan stimulus khusus tertentu untuk mengeliminasi stimulus kondisi

dalam rangka mengubah respon kondisi semula. Contoh implementasi teori

belajar Watson dalam pembelajaran di sekolah adalah ketika guru bertanya

pada salah satu siswa, kemudian siswa tersebut selalu tidak berani

mengemukakan pendapat atau jawabannya. Kemudian guru menggunakan

strategi undian menggunakan kartu nama siswa yang dikocok dengan

kesepakatan bahwa yang namanya muncul harus menjawab pertanyaan dari

guru. Guru dengan sengaja telah menuliskan nama siswa yang tidak memiliki

keberanian menyampaikan pendapatnya tersebut pada banyak kartu supaya

kesempatan untuk mendapat giliran menjawabnya besar. Ketika kartu nama

siswa tersebut muncul, maka siswa tersebut terpaksa untuk menyampaikan

jawaban dari pertanyaan guru, sehingga pada pertemuan berikutnya siswa

tersebut menjadi berani menyampaikan pendapatanya. Stimulus kondisi dari

ilustrasi di atas adalah pemberian pertanyaan dari guru, respon kondisi semula

adalah siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya, stimulus khusus dari

ilustrasi di atas berupa giliran seketika hasil undian untuk menjawab

pertanyaan dari guru, respon kondisi akhir setelah stimulus khusus diterapkan

berupa keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat atau jawaban atas

pertanyaan guru.

Implementasi teori belajar menurut John Watson dalam pembelajaran di

sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang

berlandaskan pada pemikiran Pavlov dan Skinner yang terdiri dari fase

akuisisi, fase eliminasi, fase generalisasi, dan fase diskriminasi.

1) Fase akuisisi

a) Guru membentuk kelompok secara heterogen

b) Guru dan siswa membuat kesepakatan belajar bahwa kelompok yang

dapat melakukan percobaan dengan tepat sesuai dengan langkah kerja

pada LKS dan waktu yang telah ditentukan akan diberikan bintang (*)

sesuai dengan banyaknya anggota kelompok

c) Setiap anggota kelompok membaca langkah kerja pada LKS dengan

seksama

d) Setiap kelompok melakukan percobaan kelompoknya

e) Setiap kelompok mengumpulkan LKS kelompoknya sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan

f) Guru memberikan penilaian

g) Guru memberikan bintang (*) kepada kelompok sebanyak anggota

kelompok yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat sesuai

dengan langkah kerja pada LKS dan waktu yang telah ditentukan.

2) Fase eliminasi

a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara

kelompok

b) Siswa secara berkelompok mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru

c) Guru memberikan hukuman positif atau negatif kepada siswa yang tidak

bersungguh-sungguh mengerjakan tugas kelompoknya

d) Siswa secara berkelompok mengumpulkan hasil kerjanya

e) Guru memberikan penilaian kelompok

3) Fase generalisasi

a) Guru merefleksi pembelajaran dengan cara membandingkan proses

pembelajaran pada fase 1 dan 2

b) Guru memberikan penghargaan berupa bintang (*) pada kelompok yang

masih aktif dan tepat dalam melakukan percobaan.

4) Fase diskriminasi

a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran

b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung

c) Guru bersama siswa menentukan kesepakan belajar untuk pertemuan

berikutnya terkait jenis penghargaan kelompok yang diharapkan oleh

siswa ketika kelompoknya dapat mengerjakan tugas dengan baik dan

tepat

d) Guru memberikan evaluasi

e) Guru menutup pembelajaran

5. Teori Belajar Robert M. Gagne

Gagne mengemukakan bahwa dalam belajar terdapat dua hal yang dapat

diperoleh siswa, yaitu; objek langsung dan objek tidak langsung. Objek

langsung adalah fakta, keterampilan, konsep dan aturan, sedangkan objek tidak

langsung antara lain ialah kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah,

belajar mandiri, bersikap positif, dan tahu bagaimana semestinya belajar.

Belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang dapat menghasilkan sejumlah

kemampuan berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai sebagai akibat

dari stimulus yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan

oleh pebelajar. Menurutnya, kegiatan belajar meliputi tiga tahapan yaitu tahap

persiapan, tahap pemerolehan dan unjuk kinerja, serta tahap pengulangan dan

evaluasi. Ketiga tahapan tersebut dapat diurai menjadi sintaks yang spesifik

sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

1) Guru mengarahkan perhatian melalui kegiatan mengkondisikan siswa

secara fisik dan psikis contoh dengan menayangkan masalah yang tidak

terstruktur (ill-structured problem)

2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

3) Guru memberikan apersepsi dengan merangsang siswa untuk mengingat

kembali materi pembelajaran sebelumnya

b. Tahap pemerolehan dan unjuk kinerja

1) Guru menugaskan siswa untuk mengerjakan tugas

2) Guru membimbing siswa dalam mengerjakan tugas

3) Setiap siswa mempresentasikan hasil kerjanya

4) Guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa

c. Tahap pengulangan dan evaluasi

1) Guru memberikan penilaian terhadap proses dan hasil kerja siswa

2) Guru memberikan penguatan terhadap materi yang dipelajari siswa

melalui tanya jawab (pengulangan)

3) Guru menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan

berikutnya

B. Teori Belajar Aliran Kognitivisme

Aliran kognitivisme muncul sebagai kritik terhadap aliran behaviorisme yang

lebih memfokuskan pada stimulus dan respon serta perubahan perilaku

individu. Aliran ini menganggap bahwa penyimpanan dan pemrosesan

informasi sangat penting dalam proses belajar yang melibatkan proses mental

yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep dan

pemecahan masalah. Tokoh dari aliran kognitivisme ini terdiri dari Jeans

Piaget, Edward C. Tollman, Jerome Bruner, Lev Vygotsky, dan Noam

Chomsky.

1. Teori Belajar Jeans Piaget

Jeans Piaget merupakan pakar psikologi dari Universitas Jenewa, Swiss. Piaget

berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu melalui interaksi terus-

menerus dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi untuk

menghasilkan pengetahuan dengan tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pengetahuan awal sebelumnya yang telah tersimpan pada skemata

siswa. Pemrosesan informasi dalam skemata siswa terdiri dari asimilasi yang

merupakan proses masuknya informasi baru kedalam skemata siswa dan

akomodasi yang merupakan proses bergabungnya informasi baru dengan

informasi awal dalam skemata siswa membentuk struktur kognitif atau skema

yang lebih tinggi tingkatannya (ekuilibrasi). Dengan kata lain, struktur kognitif

yang lebih tinggi akan terbentuk ketika terjadi keseimbangan (ekuilibrasi)

antara proses asimilasi dan akomodasi. Piaget membagi empat tahap tingkat

perkembangan kognitif individu menurut umur rata-rata yaitu: 1) Tahap

Sensori Motor (0-2 tahun); 2) Tahap Pre Operasional (2-7 tahun); 3) Tahap

Operasi Konkret (7-11 tahun); Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas). Pada

tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik

dan motorik menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan,

dan gerakan. Pada tahap pra-operasional anak belum mengenal operasi atau

pikiran logis tetapi lebih mengandalkan persepsi realitas dengan menggunakan

simbol, bahasa, konsep sederhana, gambar, dan pengelompokan. Pada tahap

operasional konkret anak mulai mengenal operasi atau pikiran logis melalui

benda-benda konkret. Sedangkan pada tahap operasional formal anak mulai

berpikir secara abstrak dan menggunakan konsep yang rumit atau kompleks.

Dengan demikian menurut Piaget, siswa sekolah dasar tergolong pada tahap

operasional konkret. Sehingga dalam pembelajaran di sekolah dasar,

penyampaian materi yang abstrak hendaknya dimulai dengan objek yang

konkret untuk menjembataninya.

Teori belajar Jeans Piaget menghasilkan tiga fase pembelajaran yaitu fase

eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep.

a. Fase eksplorasi

Fase eksplorasi merupakan fase pembelajaran dimana siswa aktif menggali

pengetahuan dengan cara mengamati struktur materi pembelajaran berupa

pengetahuan faktual (fakta) yang terdiri dari peristiwa, fenomena, simbol,

dan fakta lainnya.

b. Fase pengenalan konsep

Fase pengenalan konsep merupakan fase dimana siswa aktif melakukan

konseptualisasi dari fakta yang diamatinya sehingga pada fase ini akan

terbentuk struktur materi ajar berupa pengetahuan konseptual yang terdiri

dari konsep dan prinsip.

c. Fase aplikasi konsep

Fase aplikasi konsep merupakan fase dimana siswa mengaplikasikan atau

menggunakan konsep yang telah dipelajarinya untuk mengeksplorasi

gejala lain yang ada kaitannya dengan konsep yang telah dipelajari tersebut.

Contoh implementasi teori belajar Piaget dalam pembelajaran di sekolah dasar

dengan menerapkan ketiga fase di atas adalah sebagai berikut:

1) Tahap eksplorasi

a) Guru memberikan apersepsi dengan menayangkan video tentang suatu

fenomena

b) Siswa mengamati tayangan video tentang fenomena di atas

c) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-

hal yang belum dan ingin dipahaminya tentang fenomena yang terdapat

pada tayangan video

2) Tahap pengenalan konsep

a) Guru menjelaskan materi ajar yang akan dipelajari

b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang

materi ajar yang tidak dipahaminya

c) Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber tentang materi

yang sedang dipelajari

d) Setiap siswa mempresentasikan hasil pengumpulan informasinya

e) Guru memberikan penguatan terhadap presentasi siswa

3) Tahap aplikasi konsep

a) Guru memberikan evaluasi untuk menguji pemahaman siswa

b) Guru menyampaikan materi ajar dan rencana kegiatan belajar pada

pertemuan berikutnya dengan mengaitkannya dengan materi ajar yang

telah dipelajari siswa

2. Teori Belajar Jerome Bruner

Jerome Brunner merupakan guru besar di Universitas Harvard di Amerika

Serikat dan Universitas Oxford di Inggris. Melalui bukunya yang berjudul A

Study in Thinking, Ia mendefinisikan proses kognitif sebagai alat bagi individu

untuk memperoleh, menyimpan, dan mentransformasikan informasi. Bruner

yang merupakan pelopor utama teori konstruktivisme menyatakan bahwa

belajar adalah proses pembentukan kategori-kategori. Bruner mengemukakan

tahapan proses belajar siswa, yaitu tahap enaktif dengan melibatkan tindakan

siswa secara langsung dalam memanipulasi objek, tahap ikonik dengan

mengamati gambar dari objek yang diamatinya, dan tahap simbolik yang

melibatkan notasi, simbol, atau lambang-lambang tanpa terikat dengan objek.

Pembelajaran di sekolah dasarpun seyogyanya dimulai dengan objek real

(konkret), dilanjutkan dengan gambar dari objeknya (semi konkret), menuju

notasi atau lambang dari objek tersebut (abstrak).

a. Tahap enaktif

Tahap enaktif melibatkan tindakan siswa dalam memanipulasi objek

konkret, mengamati suatu fakta berupa gejala alam, fenomena, peristiwa dan

fakta lainnya secara langsung. Pada tahap ini siswa berinteraksi dengan

objek konkret untuk menggali berbagai informasi tentang objek tersebut.

b. Tahap ikonik

Tahap ikonik melibatkan aktivitas siswa dalam mengamati gambar dari

objek yang diamatinya baik gambar yang semi konkret maupun gambar

yang semi abstrak. Tahap ini merupakan tahap yang menjembatani antara

objek konkret pada tahap enaktif dan objek abtrak pada tahap simbolik.

c. Tahap simbolik

Tahap simbolik melibatkan aktivitas siswa dalam mengenal atau membuat

notasi, simbol, atau lambang-lambang tanpa terikat dengan objek konkret,

semi konkret atau semi abtrak. Objek tersebut telah diwakili oleh notasi,

simbol atau lambang-lambang yang bersifat abstrak. Pada tahap ini

dilakukan proses konseptualisasi yang menghasilkan konsep-konsep yang

bersifat abstrak.

Contoh implementasi teori belajar Bruner dalam pembelajaran di sekolah dasar

dengan menerapkan ketiga tahap di atas adalah sebagai berikut:

1) Tahap enaktif

a) Guru menyiapkan berbagai benda konkret untuk diamati siswa

b) Siswa mengamati benda konkret tersebut dan menuliskan berbagai

informasi tentang benda tersebut dari hasil pengamatannya

c) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-

hal yang belum dan ingin dipahaminya tentang benda tersebut.

2) Tahap ikonik

a) Guru menayangkan gambar benda-benda lain yang tidak disediakan

untuk diamati siswa

b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-

hal yang belum dipahaminya dari benda-benda yang terdapat pada

gambar

c) Guru menugaskan siswa untuk mengumpulkan insformasi dari berbagai

sumber tentang benda-benda yang terdapat dalam gambar dan

mencatatnya dalam LKS

d) Setiap siswa mempresentasikan hasil kerjanya

e) Guru memberikan penguatan terhadap proses dan hasil kerja siswa

3) Tahap simbolik

a) Guru menjelaskan informasi tentang benda-benda yang telah diamati

siswa baik benda konkret maupun benda dalam gambar mulai dari

pengertian dan ciri-cirinya.

b) Guru memberikan evaluasi untuk menguji pemahaman siswa

3. Teori Belajar Lev Vygotsky

Lev Vygotsky merupakan pakar psikologi dari Institut Psikologi Moskow

Rusia. Vygotsky menyatakan bahwa proses kognitif tingkat tinggi individu

merupakan hasil dari perkembangan sosial dan interaksi dengan

lingkungannya. Teori belajar Vygotsky disebut sebagai teori sosio-kultural

yang melatar belakangi munculnya pendekatan pembelajaran kooperatif dalam

dunia pendidikan. Menurutnya, interaksi anak-anak dengan orang dewasa

berkonstribusi dalam pengembangan berbagai keterampilannya. Anak tidak

mampu melakukan suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat

melakukannya secara baik di bawah bimbingan orang dewasa. Interaksi

tersebut dapat meningkatkan kemampuan potensialnya yaitu kemampuan siswa

setelah berinteraksi dengan lingkungan dibandingkan dengan kemampuan

aktualnya yang merupakan kemampuan siswa melalui belajar secara mandiri

tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Perbedaan atau selisih antara

kemampuan potensial dengan kemampuan aktualnya menandakan adanya zona

perkembangan kognitif siswa yang selanjutnya dalam teori belajar Vygotsky

disebut Zone of Proximal Development (ZPD). Implementasi teori belajar

Vygotsky dalam pembelajaran di sekolah terdiri dari tahap-tahap pembelajaran

kooperatif sebagai berikut:

a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran

b. Menyampaikan informasi

c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

d. Membantu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok

e. Evaluasi atau memberikan umpan balik

f. Memberikan penghargaan kelompok.

Contoh implementasi teori belajar Vygotsky dalam pembelajaran di sekolah

dasar dengan menerapkan tahap-tahap di atas adalah sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai

b. Guru menjelaskan kelengkapan belajar yang dibutuhkan

c. Guru menjelaskan langkah pembelajaran yang akan dilakukan

d. Guru menjelaskan materi ajar

e. Guru mengelompokkan siswa secara heterogen terdiri dari 4 s.d. 6 orang

setiap kelompoknya

f. Guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa secara berkelompok

g. Siswa belajar, berbagi tugas dan bekerjasama dalam kelompok

h. Setiap kelompok mengumpulkan hasil kerja kelompoknya

i. Guru memberikan penilaian terhadap proses dan hasil kerja kelompok

j. Guru memberikan penguatan terhadap proses dan hasil kerja kelompok

k. Guru memberikan reward atau penghargaan kepada kelompok terbaik

l. Guru memberikan evaluasi

m. Guru menutup pembelajaran

4. Teori Belajar Gestalt

Gestalt secara etimologis berasal dari bahasa Jerman berarti bentuk yang utuh,

pola, kesatuan, dan keseluruhan. Teori belajar Gestalt ini menganut aliran

kognitivisme yang menganggap bahwa belajar merupakan aktivitas mengetahui

atau mencari tahu (knowing) bukan aktivitas menghubungkan antara stimulus

dan respon seperti anggapan para pakar behaviorisme. Teori belajar Gestalt ini

lahir di Jerman pada tahun 1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max

Wertheimer. Pakar-pakar lainnya yang mengembangkan teori Gestalt ini antara

lain Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Kurt Lewin.

Penelitian Kohler difokuskan pada mentalitas Simpanse di pulau Canary.

Kohler dan pakar lainnya menyatakan bahwa belajar adalah proses yang

didasarkan pada insight yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap

hubungan antar bagian dalam suatu situasi permasalahan. Implementasi dari

teori belajar Gestalt ini dalam pembelajaran adalah bahwa belajar harus melalui

pemahaman dan pemecahan masalah. Dalam belajar melalui pemahaman siswa

harus memahami makna hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya

sehingga belajar penuh dengan keterkaitan antarkonsep, keterkaitan antarmata

pelajaran, dan keterkaitan antara konsep yang dipelajari dengan kehidupan

siswa sehari-hari. Dalam belajar melalui pemecahan masalah siswa mencoba

menggabungkan seluruh pengetahuan dan pemahamannya untuk

menyelesaikan masalah tersebut.

Contoh implementasi teori belajar ini berupa langkah-langkah pembelajaran di

sekolah dasar sebagai berikut:

a. Guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan materi pelajaran yang akan

dipelajari dengan materi ajar sebelumnya atau dengan pengalaman siswa

b. Guru menjelaskan materi pembelajaran

c. Guru memberikan masalah terkait materi pembelajaran yang telah

dijelaskan guru untuk dipecahkan siswa

d. Siswa memahami masalah yang diberikan guru dengan menuliskan apa

yang diketahui dan ditanyakan

e. Siswa merencanakan solusi untuk masalah tersebut

f. Siswa menyelesaikan masalah menggunakan konsep-konsep atau

pengetahuan yang telah dipelajarinya

g. Siswa memeriksa kembali hasil kerjanya

h. Guru memberikan penilaian dan penguatan

i. Guru memberikan evaluasi

j. Guru menutup pembelajaran

C. Teori Belajar Aliran Humanisme

Aliran humanisme lebih memusatkan perhatian pada psikologis sifat dasar

manusia untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam

cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri. Aliran ini merupakan aliran

alternatif selain behaviorisme dan kognitivisme yang selanjutnya disebut

sebagai kekuatan ketiga. Pakar dari aliran humanisme ini adalah Carl Rogers

dan Abraham Maslow.

1. Teori Belajar Carl Rogers

Carl Roger merupakan pakar psiko-terapi yang mengembangkan person-

centered therapy, suatu pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak

memberi arahan yang membantu klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa

dirinyasebagai suatu upaya fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Dalam

praktiknya, Carl Rogers memberikan kebebasan kepada kliennya untuk

mengeluarkan segala isi hatinya sepuas-puasnya, yang baik maupun yang

buruk dengan menerapkan metode non-directive counseling. Rogers mencoba

memahami dan merasakan jiwa kliennya dan menjauhkan diri dari segala

macam penilaian normatif tentang ucapan, pikiran, perasaan, atau perbuatan

kliennya. Dengan demikian, klien tersebut akan lebih mengenal dirinya,

menerima dirinya sebagaimana adanya dan akhirnya merasa bebas untuk

memilih dan berbuat menurutnya dengan penuh tanggung jawab. Dengan

demikian, menurut teori belajar Rogers, manusia yang lahir sudah membawa

dorongan untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam

cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri.

Implementasi teori belajar ini dalam dunia pendidikan adalah bahwa guru

sebaiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-

tugas belajar secara bebas, tanpa dipaksa, dan penuh tanggung jawab.

Selanjutnya, teori ini dinamakan teori belajar bebas. Rogers mengemukakan

prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran sebagai berikut:

a. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya

b. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya

c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan

ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa

d. Belajar bermakna berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan

belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan

diri terus menerus

e. Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara

bertanggung jawab dalam proses belajar

f. Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa

mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang

untuk belajar kreatif, penilaian diri (self evaluation), dan kritik diri.

g. Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-

sungguh.

Berdasarkan prinsip di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar akan efektif

apabila dilakukan secara bermakna dan siswa mengalami langsung untuk terlibat

dalam pembelajaran. Rogers mengemukakan langkah-langkah pembelajaran

sesuai dengan teori belajarnya sebagai berikut:

a. Guru memberikan kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara

tersetruktur

b. Guru dan siswa membuat kontrak belajar

c. Guru menggunakan metode inkuiri atau diskoveri

d. Guru menggunakan metode simulasi

e. Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan

dan berpartisipasi dengan kelompok lain

f. Guru bertindak sebagai fasilitator belajar

g. Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang

bagi siswa untuk timbulnya krativitas.

Berikut merupakan contoh implementasi teori belajar Rogers ini dalam

pembelajaran di sekolah dasar.

a. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan

b. Guru bersama siswa membuat kontrak belajar

c. Guru mengelompokkan siswa kedalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4

s.d. 6 orang

d. Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok

e. Guru menjelaskan langkah kerja pada LKS

f. Siswa secara berkelompok melakukan penyelidikan dan penemuan sesuai

dengan langkah-langkah kerja pada LKS dan menuliskan hasilnya

g. Wakil dari setiap kelompok mempresentasikan proses dan hasil kerja

kelompoknya dan guru memberikan penguatan

h. Guru bersama siswa menyimpulkan dan merefleksi pembelajaran

i. Guru menjelaskan cakupan materi yang akan dipelajari pada pertemuan

berikutnya dan bertanya kepada siswa tentang harapan pada pembelajaran

berikutnya.

j. Guru menutup pembelajaran

2. Teori Belajar Abraham Maslow

Maslow mengemukakan teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk

memenuhi kebutuhannya yang bersifat hierarkis mulai dari hierarki terbawah

sebagai berikut:

a. Kebutuhan-kebutuhan fisik seperti rasa lapar dan haus.

b. Kebutuhan akan rasa aman

c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta

d. Kebutuhan akan status dan pencapaian

Ketika berbagai kebutuhan di atas terpenuhi, individu akan meraih aktualisasi

diri, suatu dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh. Menurut

teori belajarnya, setiap individu memiliki potensi untuk dikembangkan.

Implementasi teori belajar Maslow dalam pendidikan adalah bahwa guru harus

memahami karakteristik setiap siswa dan memahami kebutuhannya, sehingga

setiap siswa mempelajari apa yang dia butuhkan berdasarkan lintasan belajar

dan potensinya masing-masing. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh

seorang guru untuk mengimplementasikan teori belajar Maslow dalam

pembelajaran adalah:

a. Guru mengidentifikasi kebutuhan belajar dan potensi setiap siswa

b. Guru memberikan tugas yang beragam kepada setiap siswa sesuai dengan

kebutuhan dan potensinya

c. Guru memfasilitasi proses belajar dan memberikan bimbingan kepada setiap

siswa yang mengalami kesulitan belajar

d. Guru memberikan penghargaan kepada setiap siswa sesuai dengan

kinerjanya

D. Teori Belajar Aliran Konstruktivisme

Aliran ini merupakan pengembangan dari aliran kognitivisme, sehingga pakar-

pakar pada aliran ini merupakan pakar pada aliran kognitivisme. Menurut

aliran ini, belajar merupakan proses dimana pembelajar secara aktif

mengkonstruksi atau membangun pengetahuan, gagasan-gagasan, atau konsep-

konsep baru didasarkan atas pengetahuan awal yang telah dimilikinya.

Implementasi teori belajar ini dalam pembelajaran di sekolah melahirkan

prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:

1. Siswa telah memiliki pengetahuan awal

2. Belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengatahuan berdasarkan

pengetahuan yang telah dimiliki siswa

3. Belajar adalah perubahan konsepsi siswa

4. Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu konteks

sosial tertentu

5. Siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.

Tahapan pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme terdiri dari

empat tahap yaitu:

1. Tahap eksplorasi pengetahuan awal siswa

Pada tahap ini siswa didorong untuk mengungkapkan pengetahuan awal

tentang konsep yang akan dipelajari. Bila perlu guru memancing dengan

memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang

sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.

Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan

pemahaman tentang konsep tersebut.

2. Tahap pemberian pengalaman langsung

Pada tahap ini siswa diajak untuk menemukan konsep melalui penyelidikan,

pengumpulan data, dan penginterpretasian data melalui suatu kegiatan yang

telah dirancang oleh guru. Pemberian pengalaman langsung dapat berupa

pengamatan, melakukan percobaan, demonstrasi, mencari informasi melalui

buku atau surfing di internet secara berkelompok. Pada tahap ini dirancang

agar rasa ingin tahu siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya dapat

terpenuhi secara keseluruhan. Pada tahap ini guru memberi kebebasan pada

siswa untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya melalui pengalaman dan

kegiatan belajar siswa.

3. Tahap pengaktifan interaksi sosial

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan

guru maupun temannya secara berkelompok untuk melakukan tanya jawab

maupun diskusi hasil observasi atau temuannya dalam kegiatan

pembelajaran atau pengalamannya.

4. Tahap pencapaian kepahaman

Pada tahap ini guru memberikan penguatan bukan memberi informasi.

Dengan demikian siswa sendiri yang membangun pemahaman baru tentang

konsep yang sedang dipelajari. Bila konsepsinya/ pengetahuan awalnya

benar, maka siswa menjadi tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya. Bila

pengetahuan awalnya salah, maka eksplorasi akan merupakan jembatan

antara konsepsi siswa dengan konsep baru. Dengan demikian diharapkan

konsep yang dipelajarinya akan menjadi bermakna.

Contoh implementasi teori belajar konstruktivisme ini berupa langkah-langkah

dalam pembelajaran di sekolah dasar sebagai berikut:

1. Guru memberikan apersepsi dengan menggali pengetahuan awal siswa

melalui bertanya menggunakan pertanyaan-pertanyaan eksploratif dikaitkan

dengan materi yang akan dipelajari

2. Guru mengelompokkan siswa secara heterogen terdiri dari 4 s.d. 6 orang

3. Guru membagikan LKS, alat dan bahan kepada setiap kelompok dan

menjelaskan langkah kerja pada LKS serta alat dan bahan yang tersedia

4. Siswa secara berkelompok melakukan percobaan sesuai dengan langkah

kerja pada LKS dengan bimbingan guru

5. Siswa secara berkelompok mendiskusikan temuan-temuan pada saat

percobaan berlangsung dan menuliskannya pada LKS

6. Siswa secara berkelompok menyimpulkan hasil percobaannya dan

menuliskan kesimpulannya pada LKS dengan bimbingan guru

7. Wakil dari setiap kelompok mempresentasikan proses dan hasil kerja

kelompoknya dan guru memberikan penguatan

8. Guru memberikan evaluasi

9. Guru menutup pembelajaran

E. Teori Belajar Sosial

Teori belajar ini merupakan perluasan dari teori konstruktivisme yang lebih

memfokuskan pada pembelajaran kolaboratif dan sosial. Teori ini menyatakan

bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain

sebagai model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut. Pakar pada teori

belajar sosial ini adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.

Albert Bandura melakukan pengamatan terhadap subjek penelitiannya yaitu

seorang anak prasekolah yang sedang mengerjakan tugas melukis sementara di

depannya terdapat sebuah televisi yang menayangkan film tentang seorang

dewasa yang dengan agresifnya sedang memalu, menendang, melempar,

menduduki, menggigit dan memukuli boneka Bobo berbentuk badut bertubi-

tubi. Anak tersebut kemudian beranjak ke ruangan lain yang penuh boneka

termasuk boneka Bobo. Bandura mengamati bahwa anak tersebut cenderung

meniru perbuatan orang dewasa sebagai model pada tayangan televisi dengan

perilaku yang lebih agresif terhadap boneka Bobo dibandingkan boneka

lainnya. Bandura menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa seorang anak yang

mengamati perilaku orang lain cenderung akan meniru perilakunya tersebut.

Berdasarkan penelitiannya tersebut, selanjutnya teori belajar sosial ini disebut

sebagai teori belajar imitasi. Implementasi teori belajar sosial ini dalam

pembelajaran di sekolah melahirkan empat fase pembelajaran yaitu:

1. Tahap memperhatikan (attention)

Pada tahap ini siswa harus menaruh perhatian pada detail-detail yang

penting dari perilaku model. Guru harus dapat mengarahkan pengamatan

siswa pada hal-hal penting yang menjadi fokus pengamatan. Guru dapat

memberikan pertanyaan-pertanyaan pengarah untuk memeriksa fokus

pengamatan siswa.

2. Tahap mengingat (retention)

Pada tahap ini siswa harus dapat mengingat atau menyimpan semua

informasi dalam memorinya. Guru harus memfasilitasi supaya model dapat

memberikan pengulangan-pengulangan perilaku supaya perilaku tersebut

mudah diingat oleh siswa.

3. Tahap memotivasi (motivation)

Pada tahap ini siswa harus memiliki motivasi untuk menirukan model. Guru

dapat mengiming-imingi hadiah atau memberikan penguatan agar siswa

termotivasi untuk menirukan model.

4. Tahap mereproduksi (reproduction)

Pada tahap ini siswa harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang

dibutuhkan. Guru dapat melatih siswa secara berulang-ulang supaya mereka

dapat melakukan perilaku sesuai dengan model yang diamatinya

Contoh implementasi teori belajar sosial berupa langkah-langkah pembelajaran

di sekolah dasar sebagai berikut:

1. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan

2. Guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari

4 s.d. 6 siswa

3. Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok

4. Guru menjelaskan langkah kerja, alat dan bahan yang dibutuhkan

5. Guru mendemonstrasikan setiap percobaan dalam LKS yang harus

dilakukan oleh setiap kelompok supaya mereka dapat melakukan setiap

percobaannya dengan baik

6. Guru bertanya kepada siswa untuk menguji pemahamannya terhadap

demonstrasi yang telah dilakukan

7. Guru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk bertanya tentang

hal-hal yang belum dipahaminya

8. Guru memanggil satu orang siswa berkemampuan tinggi untuk

mendemonstrasikan ulang setiap percobaan sesuai dengan demostrasi yang

telah dilakukan oleh guru

9. Guru memotivasi siswa untuk melakukan setiap percobaan sesuai dengan

langkah kerja pada LKS dan demonstrasi yang telah dilakukan dengan cara

menyampaikan bentuk hadiah yang akan diberikan kepada setiap kelompok

yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat

10. Siswa secara berkelompok melakukan setiap percobaan sesuai dengan

langkah kerja pada LKS dan demonstrasi yang telah dilakukan

11. Setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya

12. Guru memberikan penilaian dan hadiah kepada setiap kelompok yang

melakukan percobaannya dengan tepat

13. Guru menutup pembelajaran