materi neurovaskuler

26
BAB I PENDAHULUAN Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif jarang terjadi tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Lesi terjadi umumnya akibat kelainan kongenital, biasanya dikenali setelah terdapat perdarahan. Seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi unruptured AVM semakin sering ditemukan. Arterio-Venous Malformation (AVM) atau malformasi pada pembuluh darah arteri dan vena dengan banyak pirau yang saling berhubungan tanpa pembuluh darah kapiler sehingga rentan terjadi penyumbatan di otak. AVM merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan kematian. Penyakit AVM umumnya adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala apapun dan baru diketahui setelah terjadi perdarahan intrakranial atau subarahnoid. Penyakit ini biasanya memberikan gejala berupa sakit kepala dan kejang tanpa sebab. AVM merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan

Upload: wahyu-adhitya-prawirasatra

Post on 09-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

materi neurovaskuler

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif

jarang terjadi tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Lesi terjadi umumnya

akibat kelainan kongenital, biasanya dikenali setelah terdapat perdarahan. Seiring

dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi unruptured AVM semakin

sering ditemukan. Arterio-Venous Malformation (AVM) atau malformasi pada

pembuluh darah arteri dan vena dengan banyak pirau yang saling berhubungan

tanpa pembuluh darah kapiler sehingga rentan terjadi penyumbatan di otak. AVM

merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun

berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada

vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan kematian. Penyakit AVM

umumnya adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala apapun dan baru

diketahui setelah terjadi perdarahan intrakranial atau subarahnoid. Penyakit ini

biasanya memberikan gejala berupa sakit kepala dan kejang tanpa sebab.

AVM merupakan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi

namun berpotensial memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada

vaskularisasi otak dan bahkan berisiko menimbulkan kematian.

AVM dapat terjadi di area lobus otak manapun, dapat di pembuluh darah besar

ataupun kecil. Tekanan dari darah yang melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk

diterima oleh vena dan ini menyebabkan vena mengembang . Pengembangan ini

mampu menyebabkan vena itu pecah dan berdarah. Saat pembuluh darah

mengalami perdarahan, biasanya darah yang dikeluarkan terbatas, tidak sebanyak

pada perdarahan hipertensif atau stroke.

Hilangnya fungsi neurologis tergantung pada lokasi AVM dan banyaknya

pendarahan. Pada sebagian kecil kasus, anak yang dilahirkan dengan AVM pada

pembuluh darah besar juga menderita gagal jantung karena malformasi yang

menyebabkan beban kerja jantung ikut bertambah.Penyakit AVM umumnya

adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala apapun dan baru diketahui setelah

terjadi perdarahan intrakranial atau subarahnoid. Penyakit ini biasanya

memberikan gejala berupa sakit kepala dan kejang tanpa sebab.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Malformasi arteriovena (arteriovenous malformation, AVM) ialah satu

keabnormalan pada pembuluh darah di mana arteri bersambung terus dengan vena

tanpa melalui jaringan kapilari terlebih dahulu. Arteriovenous Malformation

adalah kelainan kongenital dimana arteri dan vena pada permukaan otak atau di

parenkim saling berhubungan secara langsung tanpa melalui pembuluh kapiler.

2.2. Epidemiologi

Insidens dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara pasti;

berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi vaskular

pertahunnya sekitar 11 hingga 21 kasus dalam 100.000 populasi. Jumlah

malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang dibandingkan dengan

insidens aneurisma intrakranial.

2.3. Etiologi

a. Faktor idiopatik

b. Faktor simtomatik

Faktor Ektrinsik, berupa: tekanan daerah sistemik, kemampuan jantung

memompa daerah ke sirkulasi sistemik, kualitas pembuluh darah kortico vertebral

dan kualitas darah yang menentukan viskositasnya.

Faktor Intrinsik, berupa: autoregulasi arteri cerebral, faktor biokimiawi

regional (konsentrasi asam laktat dan ion hidrogen) dan peran susunan saraf

otonom (tetapi hanya sedikit).

2.4. Patofisiologi

AVM umumnya terbentuk akibat malfungsi diferensiasi pembuluh darah

primitive pada embrio berusia 3 minggu, dapat terbentuk di bagian otak manapun

dan melibatkan regio permukaan otak dengan substansia alba. Pada gestasi

minggu ke-3, mulai tampak sistem vaskuler yang terdiri dari jaringan yang

menjalin ruang-ruang darah pada mesenkim primitif. Saat ini darah belum

bersirkulasi dan pembuluh arteri dan vena belum dapat diidentifikasi.Selanjutnya

sistem vaskuler berkembang secara bertahap dengan proses penggabungan dan

diferensiasi seluler dan sebagai klimaks terjadi pemisahan arteri-vena. Menurut

Wallard (1922) proses ini terjadi melalui tiga tahapan:

1. Undifferentiated Stage (Stage I)

Ruang-ruang darah yang ada pada mesenkim primitif bergabung menjadi

jaringan kapiler yang lebih terorganisir. Arteri dan vena belum bisa dikenali.

2. Retiform Stage (Stage II)

Jaringan kapiler yang terbentuk pada Undifferentiated Stage bergabung

menjadi struktur jalinan atau pleksus yang lebih besar yang menjadi progenitor

dari arteri dan vena.

3. Maturation Stage (Stage III)

Struktur vaskuler tampak matur secara histologis, dan batang utama arteri

telah tampak. Jaringan kaplier yang ada bertahan hingga saat dewasa diperkirakan

berasal dari sisa-sisa ruang darah pada Undifferentiated Stage.

Berdasarkan teori Wallard, dapat disimpulkan pada Stage I terjadi

malformasi kapiler dan vena perifer, sedangkan Stage II terjadi mikrofistula

malformasi arteri vena (AVM) dan vena embrional, dan Stage III terjadi

makrofistula AVM beserta cabang-cabangnya, aneurisma v. poplitea, dan kelainan

persisten sciatic artery.

Gambar 1. Malformasi kapiler, mikrofistul malformasi arteri vena, dan

makrofistul arteri vena

AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arterti, nidus dan draining vein.

Nidus disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit –

belit. Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein

cenderung mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya.

Beberapa orang lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung

melebar karena tekanan yang besar pada pembuluh arteri tidak dapat

dikendalikan oleh vena yang mengalirkannya. Mengakibatkan kumpulan

pembuluh darah besar yang tampak seperti cacing dapat mengalami perdarahan

di masa yang akan datang.

Macrofistulous AV malformation

Microfistulous AV malformation

Capillary malformation

Gambar 2. Perbedaan antara aliran darah pada AVM dan yang normal

Gambar 3. Nidus, draining vein, feeding arteries

AVM mengakibatkan disfungsi neurologis melalui 3 mekanisme utama.

Yang pertama, perdarahan terjadi di ruang subarahnoid, ruang intraventrikular

atau yang paling sering pada parenkim otak. Jika ruptur atau pendarahan terjadi,

darah mungkin berpenetrasi ke jaringan otak (cerebral hemorrhage) atau ruang

subarachnoid (subarachnoid hemorrhage) yang terletak di antara meninges yang

menyelaputi otak. Sekali pendarahan AVM terjadi, kemungkinan terjadinya

pendarahan berulang menjadi lebih besar. Perdarahan umumnya muncul pada usia

55 tahun. Kira-kira 40% kasus dengan AVM cerebral diketahui melalui gejala

pendarahan yang mengarah ke kerapuhan struktur pembuluh darah yang abnormal

di dalam otak.

Kedua, pada pasien yang tidak mengalami perdarahan mungkin akan

mengalami kejang. Sekitar 15-40 % pasien mengalami kejang. AVM yang tidak

mengalami pendarahan menyebabkan gejala langsung dengan menekan jaringan

otak atau menurunkan aliran darah ke jaringan sekitar (iskemia). Faktor mekanik

maupun iskemik dapat menyebabkan kerusakan sel saraf (neuron) secara

permanen.

Namun, beberapa penderita juga ada yang asimtomatik atau hanya

merasakan keluhan minor akibat kekusutan pembuluh darah lokal. Defisit

neurologis progresif dapat muncul pada 6-12 %. Defisit neurologis yang lambat

ini dikaitkan dengan tersedotnya aliran darah menjauh dari jaringan otak (the

"steal phenomenon"). Defisit ini juga terjadi dikarenakan efek masa dari AVM

yang membesar dan hipertensi vena pada draining veins.

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan alirannya, MV digolongkan menjadi dua kelompok:

High flow malformation: apabila MV terjadi pada arteri dan arteri-vena

Low flow malformation: apabila MV terjadi pada vena, kapiler, atau limfe

2.6. Gejala

Masalah yang paling banyak dikeluhkan penderita AVM adalah nyeri

kepala dan serangan kejang mendadak dimana setidaknya 15% dari populasi tidak

menunjukan gejala apapun. Gejala lain yang sering ditemukan berupa vertigo,

pulsing noise dikepala, tuli progresif, penurunan penglihatan, confusion, dementia

dan halusinasi. Dan jika AVM terjadi pada lokasi kritis maka AVM dapat

menyebabkan sirkulasi cairan otak terhambat, yang dapat menyebabkan

akumulasi cairan di dalam tengkorak yang beresiko hidrosefalus. Kaku kuduk

mungkin terjadi akibat penikatan tekanan intracranial dan rangsangan pada

meningen. Pada kasus yang lebih berat dapat berupa ruptur pembuluh darah

sehingga menimbulkan intracranial hemorrhage. Setidaknya lebih dari setengah

pasien dengan AVM menunjukan gejala hemorrhage sebagai penyebab utama

sehingga menimbulkan gejala klinik lain berupa kehilangan kesadaran, sakit

kepala yg tiba-tiba dan hebat, nausea, vomiting, incontinence dan gangguan

penglihatan. Kerusakan lokal pada jaringan otak akibat perdarahan mungkin

terjadi yang dapat menyebabkan kelemahan otot, paralysis, hemiparesis, afasia

dan lainnya. Perdarahan minor tidak menunjukan gejala yang berarti.

Umumnya pasien mengalami pendarahan yang sedikit namun sering.

Biasanya penderita mengalami kejang sebelum mengetahui bahwa mereka

menderita AVM. Sebagian pasien menderita nyeri kepala, yang tidak

dihubungkan dengan AVM sebelum diperiksa dengan CT Scan atau MRI.

Pendarahan intrakranial tersebut dapat menyebabkan hilang kesadaran, nyeri

kepala hebat yang mendadak, mual, muntah, ekskresi yang tidak dapat

dikendalikan misalnya defekasi atau urinasi, dan penglihatan kabur. Kaku leher

yang dialami dikarenakan peningkatan tekanan antara tengkorak dengan selaput

otak (meninges) yang menyebabkan iritasi. Perbaikan pada jaringan otak lokal

yang pendarahan mungkin saja terjadi, termasuk kejang, kelemahan otot yang

mengenai satu sisi tubuh (hemiparesis), kehilangan sensasi sentuh pada satu sisi

tubuh, maupun defisit kemampuan dalam memproses bahasa (aphasia). Variasi

gejala ini sejalan dengan tipe kerusakan cerebrovaskular. Secara umum, nyeri

kepala yang hebat yang bersamaan dengan kejang atau hilang kesadaran,

merupakan indikasi pertama adanya AVM pada daerah cerebral.

2.7. Diagnosis

Diagnosa AVM ditegakkan dengan menggunakan neuroimaging setelah

pemeriksaan terhadap saraf dan pemeriksaan fisik dilakukan. Terdapat 3 teknik

utama untuk menegakkan diagnosa AVM yaitu Computed Tomography (CT),

Magnetic Resonance Imaging (MRI), Cerebral Angiography. CT-scan kepala

biasanya merupakan pemeriksaan awal yang dilakukan karena dapat menunjukan

perkiraan dari lokasi perdarahan. Namun MRI lebih sensitif dari CT-scan karena

dapat memberikan informasi yang lebih baik tentang lokasi dari malformasi

tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih spesifik dari pembuluh darah

AVM dapat menggunakan zat kontras radioaktif yang disuntikkan ke dalam

pembuluh darah yang disebut Computed Tomography Angiogram dan Magnetic

Resonance Angiography. Gambaran terbaik untuk AVM melalui Cerebral

Angiography.

Imaging Recommendation

a. Imaging terbaik : DSA dengan superselective catherization

b. Saran prosedur : Standard MR (termasuk contrast-enhanced MRA, GRE

sequences)

Pencitraan resonansi magnetik (MRI) sangat sensitif, menunjukkan

hilangnya sinyal pada area korteks, umumnya dengan hemosiderin yang

menujukkan adanya perdarahan sebelumnya. MRI juga dapat memberikan

informasi penting mengenai lokalisasi dan topografi dari AVM bila intervensi

akan dilakukan.

Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan anatomi

arteri dan vena, sebagai tambahan, angiografi yang sangat selektif dapat memberi

data penting mengenai fungsi dan fisiologi untuk analisis klinis tindakan.

CT scan dengan kontras dan didapatkan gambaran malformasi arteri vena pada

daerah parietal kiri, kemudian untuk mengetahui anatominya dilakukan

angiografi.

2.8. Penatalaksanaan

1. Farmakologis

Pengobatan farmakologis dilakukan untuk mengatasi gejala yang dialami

pasien seperti sakit kepala atau kejang. Terapi ini juga diberikan pada pasien yang

tidak dapat melakukan terapi operatif karena resiko yang terlalu besar. Fenitoin

dapat diberikan untuk mengontrol kejang.

2. Non Farmakologis

a. Operasi Reseksi

Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada AVM yang ruptur dan

diperkirakan memberikan hasil yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan

unruptured AVM. Intervensi bedah merupakan terapi definitif pada AVM.

Ukuran, lokasi, perlekatan dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular

menentukan pertimbangan perlunya intervensi bedah.

b. Embolisasi

Untuk menghindari pendarahan, vasodilatasi lokal (aneurisma) harus

dihilangkan. Embolisasi merupakan penyumbatan pembuluh darah yang AVM.

Dengan x-ray, kateter dikendalikan dari arteri femoralis di daerah paha atas ke

daerah AVM yang diobati. Namun, embolisasi sendiri juga jarang dengan

sempurna memblok aliran darah ke daerah AVM.

c. Radiosurgery

Radiosurgery dilakukan dengan mengunakan alat yang disebut dengan

gamma-knife, efektif pada AVM yang berukuran < 2 cm, sedangkan pada lesi

yang lebih besar terapi ini kurang responsif. Paling tidak, malformasi dapat hilang

selama dua tahun.

d. Terapi konservatif

Bila alternatif terapi tidak dapat dilakukan atau risiko terapi terlalu besar,

tindakan konservatif dengan mengobati gejala yang timbul dapat dilakukan pada

pasien. Berbagai keluhan non-hemoragik, seperti sakit kepala ataupun kejang,

umumnya berespons baik terhadap terapi medikamentosa.

Terapi dengan gamma-knife pada pasien ini juga tidak memungkinkan

karena ukuran lesi yang besar (> 3 cm). Dengan terapi konservatif (dan terapi

simptomatik), risiko ruptur AVM akan menurun seiring pertambahan usia. Terapi

bergantung pada lokasi dan besar AVM serta adakah perdarahan atau tidak.

2.9. Prognosis

Risiko kejadian ruptur pada kasus AVM yang belum pecah berkisar antara

1 dan 2% setiap tahunnya, dan sekitar 10% perdarahan intrakranial akibat ruptur.

Semua AVM di otak sangat berbahaya. Resiko terjadinya hemoragi

pertama adalah seumur hidup, meningkat sesuai usia (2-4% per tahun, kumulatif).

Sebagian besar akan menimbulkan gejala seumur hidup pasien.

Sembuh spontan sangat jarang terjadi (< 1% kasus). 75 % merupakan lesi

kecil (< 3cm) aliran vena tunggal dan 75 % memiliki ‘spontanneous’ ICH.

BAB III

KESIMPULAN

Arteriovenous malformation atau AVM merupakan kelainan kongenital

pada intrakranial yang relatif jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan.

Insidens dan prevalensi malformasi vaskular tidak diketahui secara pasti;

berdasarkan studi antara tahun 1980 dan 1990, insidens malformasi vaskular

pertahunnya sekitar 1.1 hingga 2.1 kasus dalam 100 000 populasi.Jumlah

malformasi arterio-vena (AVM) hampir 90% lebih jarang dibandingkan dengan

insidens aneurisma intrakranial. Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat

diagnostik unruptured AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun,

pemeriksaan CT scan tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah.

Pemeriksaan ini memberikan gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi

anatomisnya. Pilihan terapi untuk pasien harus mempertimbangkan risiko yang

akan terjadi pada setiap pilihan terapi.

Carotico cavernous fistula

A. PENDAHULUAN

Carotico cavernous fistula adalah suatu tipe khusus dari fistula arterivena

dural, yang ditandai dengan shunting abnormal pada arterivena pada sinus

cavernosus. Laporan kasus fistula arterivena dural pertama kali dipublikasikan

pada tahun 1930. Manifestasi klinik dikenal, tetapi patofisiologi masih belum

dipahami dengan baik. Barrow dan rekannya mengembangkan sistem klasifikasi

tertentu pada carotico cavernous fistula pada tahun 1985.

Carotico cavernous sinus fistula (CCF) adalah suatu hubungan yang

abnormal antara arteri karotis dengan sinus cavernosus dan diklasifikasikan secara

angiografi sampai pada duramater ataupun secara langsung. CCF spontan adalah

suatu fistula arteri-vena pada sinus cavernosus di duramater yang dibedakan dari

CCF traumatik atau CCF yang berhubungan dengan suatu ruptur aneurisma pada

cavernosa arteri karotis interna.

Suatu carotico cavernous fistula mengakibatkan tekanan yang tinggi pada

darah arterial yang masuk pada vena sinus cavernosus yang memiliki tekanan

yang rendah. Ada 4 tipe CCF yaitu: tipe A : arteri karotis interna; tipe B: cabang

dural dari arteri karotis interna; tipe C : cabang dural pada arteri karotis eksterna;

tipe D : bentuk kombinasi.

B. ETIOLOGI

Carotico cavernous fistula dapat disebabkan oleh trauma, cidera kepala

tumpul dan luka tembus juga dapat mengakibatkan suatu carotico cavernous

fistula. Penyakit ini dapat pula terjadi secara spontan. Kebanyakan carotico

cavernous fistula terjadi secara spontan dan dengan etiologi yang tidak diketahui.

Namun banyak pula manifestasi klinisnya melibatkan kelainan ophtalmologi.

CCF traumatik hampir selalu terjadi secara langsung dan

disebabkan karena terjadinya laserasi arteri karotis interna

dengan sinus kavernosus, atau rupture cabang intrakavernosus

duramater. Arteri karotis interna kavernosus melekat pada

duramater pada dasar cranium, pergerakannya terbatas

sehingga cenderung mengalami cedera. Shunting arteri vena

mengakibatkan arterilisasi sinus kavernosus dan vena yang

tersalurkan kedalam atau keluar. Tergantung pada jumlah dan

arah drainase vena dari sinus kavernosus, nervus kranialis atas

dapat dipengaruhi. Ketika shunt drain ke bagian posterior

kedalam sinus pertrosa, kelumpuhan nervus okulomotor, nervus

troklearis, atau nervus abdusen yang tersekat dapat terjadi.

Pembesaran vena oftalmika superior, meskipun sering

dipertimbangkan sebagai suatu tanda CCF, dapat ditemukan

dengan penyakit lain seperti oftalmopati Graves, pseudotumor

orbita, dan meningioma parasellar, namun aliran arterilisasi

pada suatu vena oftalmika superior yang mengalami dilatasi

ditemukan hanya pada CCF.

C. EPIDEMIOLOGI

Suatu caroticocavernous fistula mengakibatkan tekanan yang tinggi pada

darah arterial yang masuk pada vena sinus cavernosus yang memiliki tekanan

yang rendah. Carotico cavernous fistula terjadi sekitar 12 % dari semua fistula

arterivena dural. Di mana pada tipe A lebih sering pada laki-laki muda. Tipe B, C,

dan D lebih sering pada wanita yang berumur lebih dari 50 tahun, dengan rasio

antara wanita : laki-laki adalah 1 : 7, hal ini di mungkinkan karena besarnya

insiden trauma pada laki-laki.

D. PATOFISIOLOGI

Cidera tumpul pada kepala dapat mengakibatkan pemotongan arteri

intrakavernosa, menyebabkan terjadinya suatu fistula. Luka tembus pada kepala

dapat menyebabkan pembentukan fistula akibat laserasi langsung pada pembuluh

darah intrakavernosa.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler. Edisi keempat.

Jakarta: Balai Penerbit FKUi; hal. 18-20, 25-7

2. Rutherford, RB. 2005. Arteriovenous Fistulas, Vascular Malformations,

and Vascular Tumors. In: Rutherford RB: Vascular Surgery 6th edition.

Philadelphia: Elsevier sanders. pp: 1597-1601. Diunduh pada tanggal 23

Juli 2015.

3. Lestiono Djoko, L. DR., Ilmu Bedah Saraf, Anatomi dan Fisiologi

Susunan Saraf, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

4. Richard Collin, and Geoffrey Rose, Plastic and Orbital Surgery, BMJ

Books, Available from: http:// Fundamentals of Clinical Ophthalmology

/pdf.

5. Jack J kanski, Mannual of Eye Emergencies, London, New York, Oxford,

Toronto, 2004, Available from: http://Diagnosis and Management/pdf.

Pembentukan fistula secara spontan berkaitan dengan (1) ruptur aneurisma

intrakavernosus, (2) fibromuskuler dysplasia, (3) penyakit vaskuler kolagen

lainnya, (4) penyakit vaskuler aterosklerosis, (5) kehamilan.

Beberapa tipe Carotica Covernosa Fistula menurut letak fistulanya, yaitu:

1. Fistula tipe A terdiri dari suatu hubungan langsung antara arteri karotis

interna intrakavernosus dan sinus kavernosus. Fistula ini biasanya memiliki

aliran dan tekanan yang tinggi. komunikasi langsung antara segmen luas dari

arteri karotis intracavernous dan sinus kavernosus.

2. Fistula tipe B terdiri dari suatu shunt dural antara cabang intrakavernosus

pada arteri karotis interna dan sinus kavernosus.

3. Fistula tipe C terdiri dari suatu shunt dural antara cabang mening pada arteri

karotis eksterna dan sinus kavernosus.

4. Fistula tipe D adalah suatu kombinasi antara tipe B dan tipe C, dengan shunt

dural antara cabang arteri karotis interna dan eksterna dan sinus kavernosus.

Tipe B, C, dan D cenderung menjadi fistula dengan aliran dan tekanan

yang rendah dengan suatu tanda dan gejala yang berlangsung lebih lambat. Suatu

caroticocavernous fistula, mengakibatkan tekanan yang tinggi pada darah arterial

yang masuk pada vena sinus kavernosus yang memiliki tekanan yang rendah.

Percampuran ini dengan pola drainase vena yang normal dan aliran darah yang

terjadi pada sinus kavernosus dan pada mata. (1)

Suatu carotico cavernosus fistula bukan penyakit yang mengancam jiwa.

Risiko kebutaan dan tingkat keparahan dari gejala yang berhubungan harus

dievaluasi untuk menentukan tingkat dan waktu intervensi yang sesuai. Fistula

tipe A jarang pulih secara spontan. Penanganan yang direkomendasikan untuk

bruit yang tidak dapat ditoleransi, kebutaan yang progresif, dan pengaruh

kosmetik akibat proptosis. Fistula tipe B, Caroticocavernous fistula dan D

memiliki insidens yang lebih tinggi untuk pulih secara spontan.

Tekanan yang tinggi, hubungan aliran yang tinggi secara

umum tampak dengan proptosis yang akut, pembengkakan

kelopak mata, kemosis dengan pembesaran pembuluh darah

episklera, peningkatan tekanan intraokuler; perdarahan retina

dan iskemik okuler, pada beberapa kasus terjadi kelumpuhan

pada nervus kranialis ketiga dan keenam. Kejadiannya

meningkat secara spontan pada seseorang dengan banyak

lemak (atheromatous) dengan ruptur pada arteri karotis interna

intrakavernosa ke dalam sinus venosa, atau terjadi setelah

cedera kepala hebat.

Gambar 4: Diagram yang meliputi 4 jenis caroticocavernous fistula. ICA adalah internal artery carotid; ECA adalah eksternal artery carotid

E. MANIFESTASI KLINIK

Tanda dan gejala fistula langsung (tipe A) memiliki onset akut dan lebih

terbuka daripada fistula tidak langsung (tipe B, C, dan D). Manifestasi dari CCF

langsung sering terjadi dalam beberapa hari atau minggu setelah cedera kepala

tertutup. Kadang-kadang fistula langsung terjadi pada pasien dengan gangguan

jaringan ikat. (1)

Gejala pada mata termasuk hipertensi vena oftalmika dan kongesti vena

pada mata, proptosis, paparan pada kornea, kemosis, dan arterilisasi dari vena

episklera. Manifestasi pada mata yang lain termasuk diplopia, kebutaan,

kelumpuhan nervus kranialis (III, IV, V, VI), Oklusi vena retina sentralis,

retinopati, dan glaucoma. Bruit dan sakit kepala dapat pula terjadi sebagai gejala

klinik. (1)

Gambaran gejala klinik

- Jarang dan kondisi yang dramatis dari fistula antara arteri karotis interna

dan sinus kavernosus

- Edema konjungtiva bilateral dan eksoftalmus yang pulsatil karena outflow

vena yang dikompensasi dengan inflow arteri

- Terjadi secara spontan pada orang tua akibat aterosklerosis atau setelah

trauma pada orang muda.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Angiografi serebral dibutuhkan untuk membedakan kondisi ini, dilaporkan

suatu kasus CCF traumatik, yang pada pemeriksaan sonografi Doppler pada vena

oftalmika superior sesuai dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)

dan magnetic resonance angiography (MRA).

G. PENATALAKSANAAN

Banyak CCF akan menutup secara spontan. Ini umumnya terjadi pada tipe

fistula tidak langsung. Luka dengan proptosis yang memburuk, pial venous

drainage, penglihatan memburuk, epitaxis, tekanan intracranial meningkat,

glaukoma, dan ophthalmoplegia memerlukan perhatian mendesak atau semi-

urgent. Terapi tekanan carotid bisa dicoba menjadi lebih efektif dengan CCF tidak

langsung. Transarterial embolisasi yang menggunakan coil atau balon silisium

dapat dipisahkan biasanya disediakan untuk fistula langsung di mana bagian arteri

carotis interna (ICA) yang penuh dengan cekung dapat dimasukkan kateter ke

dalam saluran tubuh sedemikian sehingga alat ini dapat disimpan pada sisi atas

pembuluh darah ke occlude lubang di dalam nadi. Transvenous seperti yang

diuraikan pada kasus diatas atau dengan dengan memilih catheterizing vena

ophthalmic superior (SOV) melalui pembedahan atau pendekatan

transfemoral/transfacial dapat digunakan untuk yang manapun CCF tidak

langsung atau langsung. Transarterial embolisasi untuk fistula tidak langsung

tidaklah direkomendasikan. Tanpa menghilangkan supply arterial baru dimana

sering kali diperrumit dan lebih kompleks dibandingkan suplay awal CCF.

Terapi P embedahan

Manajemen pasti dari carotico cavernous fistula adalah menghilangkan

koneksi fistulous dengan rekonstruksi arterial normal dan arus pembuluh darah.

Ini dicapai paling sering melalui pendekatan endovascular. Setelah penggambaran

lengkap menyangkut bidang fistulous, suatu pendekatan dapat direncanakan untuk

menutup fistula itu.

H. KONTRAINDIKASI

Tiap-tiap pasien harus dievaluasi secara perseorangan. Secara umum, lesi

sebaiknya ditangani seagresif sesuai dengan dibutuhkan untuk mengurangi tanda

dan gejala. Teknik penanganan dapat menjadi kontraindikasi jika pasien tidak

dapat mentoleransi komplikasi yang mungkin pada penanganan.(1)

I. PROGNOSIS

Pasien dengan carotico cavernous fistula biasanya mempunyai prognosis

yang baik. Fistula ini dihubungkan dengan tingginya kejadian resolusi secara

spontan. Luka mampu merespon baik pengobatan. Resiko dari komplikasi

nonophthalmoganic neurological tidak signifikan. Bagaimanapun, luka yang

tidak diobati dengan baik dapaat menimbulkan komplikasi yang dapat terlihat.