masyarakat dan kesadaran budaya
TRANSCRIPT
KESADARAN MEMPERTAHANKAN BUDAYA INDONESIA DI
ERA GLOBALISASI
Makalah
Tujuan
Disusun Guna memenuhi tugas mata kuliah Tekhnik Penulisan Karya Ilmiah
Dosen Pengampu
1. Drs. Suharso, M.Pd, Kons. 2. Zakki Nurul Amin, S.Pd.
Oleh:
1. Nurul Azizah Zain (1301414118)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang pantas saya ucapkan kepada
Allah SWT, yang karena bimbingan-Nya maka saya dapat menyelesaikan sebuah
makalah Tekhnik Penulisan karya Ilmiah dengan judul “Kesadaran Budaya”,
merupakan satu kata yang pantas saya ucapkan kepada Allah SWT, yang karena
bimbingan-Nya maka saya dapat menyelesaikan Sebuah makalah yang berjudul
Kesadaran Budaya
Saya ucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu Saya
dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.Saya
menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu Saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih dan semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih positif
bagi kita semua.
Semarang,13 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Belakang........................................................................................................ 1
1.2Rumusan masalah........................................................................................... 1
1.3Tujuan Penulisan............................................................................................ 1
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................... 5
2.1Masyarakat dan Kesadaran Budaya................................................................ 5
2.2Tingkat Kesadaran Budaya............................................................................. 8
2.3Kesadaran Budaya Masyarakat Saat ini........................................................ 11
2.4Pentingnya Kesadaran Budaya...................................................................... 11
2.5Membangun kesadaran budaya..................................................................... 13
BAB 3 PENUTUP............................................................................................. 23
Kesimpulan......................................................................................................... 23
Saran................................................................................................................... 23
Daftar Pustaka.....................................................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sosiologi Antropologi
Pendidikan. Selain itu, makalah ini digunakan untuk memperkaya wawasan
dan pengetahuan tentang konsep dasar Kesadaran budayasecara khusus untuk
mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling semester pertama.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa Diharapkan memahami tentang konsep budaya
2. Mahasiswa diharapkan memelajari tentang kesadaran budaya
1.3 MANFAAT
Agar Mahasiswa mengetahui tentang kesadaran budaya
BAB 2PEMBAHASAN
2.1MASYARAKAT DAN KESADARAN BUDAYA
Budaya merupakan suatu hal yang dihasilkan masyarakat dari kebiasaan-
kebiasaan yang akhirnya mengkristal atau mendarah daging. Budaya dengan
masyarakat memang tidak bisa dipisahkan. Karena manusialah yang menghasilkan
budaya. Sosiologi yang mengkaji masyarakat, juga menjadikan budaya sebagai sub
kajian dari masyarakat itu sendiri. Budaya yang berkembang dimasyarakat sejak dulu
membuat masyarakat indonesia pada saat ini harus sadar bahwa mereka mempunyai
budaya yang berbeda dan kaya. Dan masyarakat seharusnya juga menyadari bahwa
tidak selamanya budaya yang mereka miliki itu baik, seperti budaya korupsi dan
sebagainya.
2.1.1Definisi Budaya Dan Wujud Budaya
Dalam perspektif antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia adalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Dalam buku kebudayaan
mentalitas dan pembangunan juga disebutkan konsep budaya dalam arti luas yaitu
seluruh total pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada
nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia yang sesudah
suatu proses belajar. Definisi ini hampir sama dengan definisi berdasarkan perspektif
antropologi. Namun definisi ini terlampau luas karena mencakup seluruh aktivitas
manusia.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia
meliputi:
a. Kebudayaan materiil (bersifat jasmaniah yang meliputi benda-benda
ciptaan manusia
b. Kebudayaan non materiil (bersifat rohaniah) yaitu semua hal yang tidak
dapat diraba
2. Kebudayaan tidak diwariskan secara (biologis) melainkan hanya diperoleh
dengan belajar
3. Kebudayaan diperoleh sebagai anggota masyarakat. Tanpa
masyarakat,kemungkinan sangat kecil untuk membentuk kebudayaan.
Oleh karena itu, maka guna keperluan analisa konsep kebudayaan itu perlu
dipecah lagi kedalam unsure-unsurnya.unsure ini sering disebut dengan tujuh unsure
kebudayaan universal atau iniversal categories of culture yang diuraikan oleh c.
Kluckhohn.
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Tujuh unsur ini merupakan isi dari budaya itu sendiri. Susunan tata-urut dari
unsure unsur kebudayaan universal seperti tercantum diatas merupakan urutan dari
unsure yang paling sulit berubah hingga unsure yang paling mudah berubah. Sistem
religi dan upacara keagamaan sangat lambat untuk diubah tidak seperti sistem
teknologi dan peralatan yang dengan cepat dapat berubah sesuai dengan kebutuhan
manusia.
Wujud Kebudayaan
Dari unsure-unsur budaya diatas mewujudkan tiga wujud kebudayaan
menurut j.j honigman dalam bukunya yang berjudul the world of man membedakan
gejala kebudayaan menjadi tiga, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Dan
wujud dari kebudayaan sendiri yaitu,
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatukompleks akitivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
2.1.2 Kesadaran Budaya (Cultural awareness)
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya
sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk.
Selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima
pada budayanya atau mungkin tidak lazin atau tidak dapat diterima di budaya lain.
Oleh karena itu perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan
menyadari kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya.
(Vacc et al, 2003). Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural
awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya
terhadap nilai nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap
pemahaman kebutuhan untuk mempertimbangkan budaya, faktor-faktor penting
dalam menghadapi situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya
merupakan informasi, memberikan makna tentang kemanusian untuk mengetahui
tentang budaya. Prinsip dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran
budaya adalah mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentranformasikannya
melalui penambahan dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu
pemahaman terhadap budaya.
Pantry (dalam Sturges, 2005) mengidentifikasikan 4 kompetensi yang dapat
terhindari dari prejudis, miskonsepsi dan ketidakmampuan dalam menghadapi kondisi
masyarakat majemuk yaitu: Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan,
menyimpulkan, berinteraksi), Kemampuan proses (negosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi),
Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia), Kemampuan
memiliki kesadaran dalam informasi, cara mengakses informasi, dan menggunakan
informasi. Keempat kompetensi tersebut memberikan peran penting dalam
menghadapi masyarakat yang multikultural dan juga penting bagi konselor dalam
kesadaran budaya.
Fowers & Davidov (Thompkins et al, 2006) mengemukakan bahwa proses
untuk menjadi sadar terhadap nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan meliputi
eksplorasi diri pada budaya hingga seseorang belajar bahwa perspektinya terbatas,
memihak, dan relatif pada latar belakang diri sendiri.Terbentuknya kesadaran budaya
pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan tetapi melalui
berbagai hal dan melibatkan beragam faktor diantaranya adalah persepsi dan emosi
maka kesadaran (awareness) akan terbentuk.
Berdasarkan hal di atas, pentingnya nilai-nilai yang menjadi faktor penting
dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi kesadaran budaya (terhadap
nilai-nilai yang dianut) seseorang dan memaknainya. Penting bagi kita untuk
memiliki kesadaran budaya (cultural awareness) agar dapat memiliki kemampuan
untuk memahami budaya dan faktor-faktor penting yang dapat mengembangkan nilai
nilai budaya sehingga dapat terbentuk karakter bangsa.
2.2. Tingkat Kesadaran Budaya (Cultural Awareness)
Wunderle (2006) mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya yaitu:
a. Data dan information. Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi
secara kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui
proses komukasi antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistim, atau rasa yang
berasal dari lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini penting
untuk memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan yang ada. Dengan
adanya data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran
proses komunikasi.
b. Culture consideration. Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang
suatu budaya maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap budaya dan
faktor apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan
memberikan pertimbangann tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu
budaya secara umum dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada.
Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk memperkuat proses
komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
c. Cultural knowledge. Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang
tidak mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun,
pentingnya pengetahuan budaya merupakan faktor penting bagi seseorang untuk
menghadapi situasi yang akan dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya
pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga penting untuk mengetahui
budayanya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap budaya dapat dilakukan
melalui pelatihan-pelatihan khusus. Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman
terhadap sejarah suatu budaya. Ini termasuk pada isu-isu utama budaya seperti
kelompok, pemimpin, dinamika, keutaman budaya dan keterampilan bahasa agar
dapat memahami budaya tertertu.
d. Cultural Understanding. Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya
dan juga budaya orang lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar
dapat memahami dinamika yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu,
penting untuk terus menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan. Adapun
tujuannya adalah untuk lebih mengarah pada kesadaran mendalam pada kekhususan
budaya yang memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir, faktor-faktor yang
memotivasi, dan isu lain yang secara langsung mendukung proses pengambilan suatu
keputusan.
e. Cultural Competence. Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi
budaya. Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil suatu
keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan pemahaman
terhadap kelenturan budaya (culture adhesive). Dan hal ini penting karena dengan
kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan
pengambilan keputusan pada suatu situasi tertentu. Implikasi dari kompetensi budaya
adalah pemahaman secara intensif terhadap kelompok tertentu.
Gambar 1. Piramid Cultural Awareness
Sumber: Wunderle, 2006
Selain itu, Robert Hanvey menyebutkan 4 tingkat cross-cultural awareness (Yan-li,
2007) yaitu:
a. Awareness of superficial or visible cultural traits. Pada tingkat ini informasi yang
diperoleh oleh seseorang berasal dari media atau saat dia mengunjungi suatu Negara
atau daerah atau dari pelajaran di sekolah. Yan-li (2007) menyatakan pada level ini
pemahaman mereka hanya terlihat dari cirri yang nampak dan mereka jadikan sebagai
pandangan streotipe terhadap budaya yang tidak benar-benar mereka pahami.
b. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are different and
therefore problematic. Pada level ini seseorang mulai memahami dengan baik tentang
signifikansi dan ciri budaya yang sangat berbeda dengan caranya sendiri. Hal ini
terkadang menimbulkan frustrasi dan kebingungan sehingga terjadi konflik dalam
dirinya.
c. Awareness of significant and subtle cultural traits that others are believable in an
intellectual way. Pada level ini seseorang sudah memahami secara signifikan dan
perbedaan budayanya dengan orang lain, namun pada level ini seseorang sudah
mampu untuk menerima budaya lain secara utuh sebagai manusia.
d. Awareness of how another culture feels from the standpoint of the insider. Level
ini adalah level yang tertinggi dari cross-cultural awareness. Pada level ini seseorang
mengalami bagaimana perasaan yang dirasakan oleh budaya lain melalui pandangan
dari dalam dirinya. Hal ini melibatkan emosi dan juga perilaku yang dilakukannya
melalui pengalaman-pengalaman langsungnya dengan situasi dan budaya tertentu
seperti belajar bahasa, kebiasaan, dan memahami nilai-nilai yang ada dalam budaya
tersebut.
Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya di atas, perlu bagi konselor
untuk memiliki pemahaman dalam menggunakan tingkatan-tingkatan tersebut untuk
memahami budaya. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat digunakan untuk
menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur kunci pada perbedaan budaya.
Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan teknik-teknik yang tepat untuk
memahami dalam pelaksanaan konseling.
2.3.Kesadaran Budaya Masyarakat Saat Ini
Jika kita mendengar kata budaya, maka yang terpikir dibenak kita adalah seni
seperti tari-tarian daerah, dan adat istiadat. Padahal makna dari budaya sangat luas.
Korupsi yang merupakan suatu tindakan yang haram dilakukan, namun sekarang
menjadi budaya karena banyak orang yang melakukan hingga seperti menjadi suatu
hal yang biasa dilakukan. Tawuran pelajar yang sering terjadi seperti sudah menjadi
“ikon” yang melekat pada pelajar. Seperti inilah kesadaran budaya masyarakat saat
ini. Sesuatu hal yang tidak patut menjadi biasa dan mengkristal didalam masyarakat
sehingga menjadi budaya.
Dari sudut pandang yang berbeda, yaitu budaya yang berkaitan dengan seni
dan adat. Adanya globalisasi membuat masyarakat berubah. Budaya yang merupakan
warisan leluhur dan merupakan suatu hal yang patut kita jaga dan lestarikan lama
kelamaan menjadi lenyap. Budaya barat dengan mudahnya masuk kedalam
kehidupan masyarakat melalui internet dan mempengaruhi gaya hidup pemuda.
Pandangan hidup yang moderat yang menimbulkan munculnya pandangan bahwa
kebudayaan yang ada tidak lagi relevan dengan jaman yang modern ini.
Ketika budaya milik negeri ini sudah diklaim oleh negara lain, baru masyarakat ingat
dan sadar bahwa budaya yang dimiliki bangsa ini kaya dan tak ternilai harganya.
2.4.Pentingnya Kesadaran Budaya pada Masyarakat
Masyarakat menghasilkan suatu kebudayaan melalui proses sosialisasi.
Kebudayaan selalu mengikuti keberadaan masyarakat. Tidak ada satupun masyarakat
yang tidak menghasilkan kebudayaan dan tidak akan pernah tercipta suatu wujud
kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Namun, meskipun budaya diciptakan oleh
masyarakat, budaya tersebut dapat pula mengendalikan masyarakat itu sendiri.
Sehingga masyarakat haruslah pandai dalam mengatur arah gerak dari kebudayaanya.
Kesadaran budaya merupakan sikap positif manusia dalam menyikapi perbedaan-
perbedaan yang ada dalam masyarakat. Kesadaran budaya sangatlah dibutuhkan
dalam mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang ada. Hal ini dikarenakan oleh
seringnya perbedaan budaya yang menimbulkan konflik-konflik di dalam masyarakat.
Masyarakat terkadang lupa bahwa pada dasarnya setiap masyarakat memiliki pola
dan corak kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga mereka cenderung
memperlakukan sama pada setiap bentuk kebudayaan. Padahal budaya itu sendiri
terbentuk sesuai dengan corak masyarakat yang bersangkutan. Sikap semacam inilah
yang sering sekali memicu kesalahpahaman yang berujung konflik etnis. Dengan
kesadaran yang di terapkan oleh anggota masyarakat, maka diharapkan integrasi
sosial akan tetap terjaga.
Arus globalisasi dan modernisasi, memicu unsur-unsur budaya asing masuk
dan bersanding dengan kebudayaan lokal. Hal ini akan menimbulkan masalah, jika
unsur-unsur budaya asing tersebut tidak sesuai dengan kebudayaan lokal, apabila
masyarakat kurang selektif dalam
menerima dan memakai budaya luar yang tidak sesuai dengan kebudayaan lokal dan
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan yang telah dimilikinya, maka
kebudayaan lokal yang merupakan identitas atau jati diri tersebut lambat laun akan
pudar. Sebagai contoh Budaya dan bahasa Jawa saat ini semakin terdesak oleh arus
perkembangan zaman atau globalisasi, perubahan masyarakat Jawa juga terjadi
sangat signifikan dari perubahan pola bahasa hingga tingkah laku, padahal jati diri
orang Jawa penuh dengan ajaran kebaikan, kebijaksanaan, narima ing pandum
(menerima apa yang telah digariskan oleh Tuhan). Maka dari itu, kesadaran budaya
perlu ditumbuhkan di dalam benak anggota masyarakat, kesadaran budaya
menciptakan masyarakat menerapkan kearifan lokal dalam menghadapi perubahan
zaman khusunya dalam globalisasi dan modernisasi, tanpa kearifan lokal proses
modernisasi tidak akan berjalan dengan baik karena kearifan budaya lokal menjadi
filter dari modernisasi dalam masyarakat. Sehingga, dengan adanya kesadaran
mengenai pentingnya arti kebudayaan bagi masyarakat maka upaya-upaya pelestarian
budaya bukanlah hal yang sulit untuk dicapai.
2.5.1Membangun Kesadaran Budaya Dimasyarakat
Kebudayaan mengisi dan menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun
hal tersebut jarang disadari oleh manusia sendiri. Hal tersebut merupakan penjelasan
singkat bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia. Akan tetapi, tidak
mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaanya. Betapa
sulitnya bagi individu untuk menguasai seluruh unsur kebudayaan yang didukung
oleh masyarakat sehingga seolah-olah kebudayaan dapat dipelajari secara tepisah dari
manusia yang menjadi pendukungnya. Maju mundur atau pasang surutnya
kebudayaan (culture) sepanjang sejarah kemanusiaan secara mendasar ditentukan
oleh bagaimana kebudayaan itu dijadikan sebagai kerangka acuan oleh sebuah
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Akan tetapi melihat realita sekarang ini
dengan banyaknya kebudayaan asing yang masuk kenegeri ini, kebudayaan lokal
mulai tergeser oleh kebudayaan pendatang. Berikut merupakan cara-cara yang dapat
dijadikan sebagai alternatif dalam menumbuhkan kesadaran budaya bagi masyarakat:
1. Penanaman sikap multikulturalisme secara dini
Penanaman sikap toleransi terhadap beragam budaya hendaknya dilakukan sejak dini
ini dimaksudkan untuk menciptakan kesiapan mental seseorang dalam menyikapi
perbedaan yang ada. Dengan bekal kesiapan mental ini, seseorang tidak akan
menganggap remeh budaya orang lain. Ia akan lebih memahami pentingnya
mengharai dan menghormati kebudayaan yang dimiliki orang lain, sehingga integrasi
sosial dapat tercapai dengan baik.
2. Sosialisasi budaya melalui lembaga pendidikan.
Kebijakan budaya lokal untuk dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan
merupakan salah satu cara yang kritis untuk mengatasi degradasi budaya pada
generasi muda. Sebagai contoh seni bahasa, tari dan seni musik telah dijadikan
sebagai muatan local yang harus ditempuh oleh para peserta didik di sekolah.
Tindakan ini secara langsung memberikan bimbingan kepada para siswa bahwa
kebudayaan yang kita miliki sudah selayaknya kita lindungi. Kebudayaan tersebutlah
yang menjadi aset kekayaan kita.
3. Penyelenggaraan beragam budaya sebagai upaya pelestarian budya.
Penyelenggaraan seni tari atau seni musik dalam pertunjukan-pertunjukan
merupakan salah satu cara yang bijak dalam usaha mengingatkan kembali kepada kita
semua bahwa kitalah yang seharusnya senantiasa melestarikan kebudayaan yang kita
miliki. Usaha ini sedikit banyak kembali mengingatkan kita semua akan pentingnya
pelestarian budaya. Pertunjukan ini dapat ditemui dalam agenda hajatan masyarakat
yang sering menggunakan pertunjukan ini sebagai upacara perayaan hajatnya. Seni
budaya yang digunakan meliputi kebudayaan yang tradisional maupun modern.
Bahan tidak menutup kemunginan pula perpaduan diantara keduanya.
4. Mencintai dan menjaga budaya yang dimiliki.
Mencintai dan menjaga kelestarian budaya sangat penting dalam hal ini.
Tanpa rasa cinta dan peduli terhadap kebudayaan mustahil kita dapat menjaga
eksistensi budaya yang kita miliki.
Globalisasi adalah sebuah babakan baru dalam proses perkembangan bangsa.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana kesiapan bangsa ini dalam memasuki era baru
itu. Apakah secara psikologis anak anak bangsa ini telah benar-benar dipersiapkan
untuk menyongsong datangnya zaman industrialisasi dan revolusi informasi dengan
segala konsekuensinya? Sebab, seperti pernah diungkapkan Prof. Sartono Kartodirjo
di depan peserta lokakarya nasional managemen sumber daya manusia di Hotel
Ambarukmo Yogyakarta (Kompas,5/03/1988) Proses industrialisasi dengan
penerapan teknologi modern memaksa manusia atau masyarakat melakukan berbagai
adaptasi agar penghayatan teknologi serta pemakaian produknya dapat berjalan
lancar. Kalaupun ada hambatannya, itu karena struktur pribadi dan sistem nilai.
Sikap mental yang irasional, orientasi kepada status, prinsip
partikularisme,semuanya itu merupakan hambatan. Kata Prof.Sartono lebih lanjut,
untuk mendukung proses industrialisasi, dituntut penghayatan nilai-nilai baru yang
lebih relevan bagi proses rasionalisasi dan produktifitas, tanpa terjebak dalam proses
institusionalisasi ketat sehingga mengakibatkan dehumanisasi. Dengan
demikian,yang perlu diupayakan adalah mempersiapkan anak-anak bangsa ini
menjadi manusia yang berkualitas dengan kepribadian yang benar-benar cocok
dengan dinamika industrialisasi.
2.5.2Strategi menghadapi tantangan globalisasi:
Nils A. Shapiro,editor Gallery Magazine, berpendapat bahwa ada enam kiat sukses
menghadapi tantangan globalisasi
1. Perencanaan cermat
Dalam kehidupan yang semakin kompetitif, perencanaan yang cermat
merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. Dengan perencanaan,
keberhasilan menjadi lebih mudah ter
aih. Tanpa perencanaan hidup berjalan seperti tanpa arah.
2. Latihan dan pengalaman
Latihan dan pengalaman akan meningkatkan profesionalisme seseorang dalam
berbagai bidang kehidupan seseorang dikatakan profesional dibidangnya
setidaknya harus memiliki keahlian,komitmen,dan skill yang relevan dalam
bidang pekerjaannya.
3. Bersedia belajar dari orang lain
Sumber belajar,menurut teori pendidikan, tidaklah terbatas pada guru dalam
arti pengajar formal di sekolah. Kita dapat pula belajar dari banyak buku. Dan
buku yang paling banyak memberikan pelajaran berharga sebenarnya adalah
pengalaman orang lain
4. Bersedia bekerjasama selama dan sekeras diperlukan
Kerja keras adalah ciri utama orang sukses. Peluang dan kesempatan hanya
akan datang kepada pekerja keras. Orang harus memiliki motivasi yang kuat
untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki,agar dapat meraih
keberhasilan dalam hidup
5. Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran
Tiada kehidupan tanpa kesalahan,kekalahan dan kegagalan. Keberhasilan
biasanya membuat orang merasa puas dan nikmat, tetapi kegagalan dapat
membuat orang biasa saja, atau dapat memberikan kepahitan yang
berkepanjangan, tergantung bagaimana ia mensikapinya.
6. Kemampuan Bersikap Jujur
Kesuksesan yang bertahan lama adalah kesuksesan yang dikembangkan diatas
landasan kejujuran. Tanpa kejujuran, keberhasilan yang diraih bersifat semu
dan sementara.
2.5.3 Konselor dan Kesadaran budaya
Peran konselor dalam proses memandirikan individu merupakan peran yang
sangat penting dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu dalam proses layanan
konseling yang diberikannya, konselor tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang
mendalam terhadap konselinya. Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada
dalam dirinya sendiri dan juga konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki
antara keduanya menjadi salah satu cara yang penting untuk menjaga hubungan dan
interaksi dalam proses konseling.
Ekspektasi kinerja konselor dalam memberikan layanan konseling akan selalu
digerakkan oleh motif altruistic dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang
empatik, menghormati keberagaman, serta mengedepannya kemashalatan pengguna
pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka
panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga
pelayanan professional ini dinamakan “the reflective practitioner”(Depdiknas, 2008).
Penting bahwa konselor memahami budaya mereka sendiri dalam rangka
untuk bekerja dengan klien tanpa memaksakan nilai-nilai mereka, menyinggung
klien, atau perilaku nonverbal klien yang salah diinterpretasikan. Untuk menghindari
terjadinya kesalahapahaman atau ketidakmengertian maka konselor harus memiliki
kesadaran akan perbedaan yang terjadi tersebut agar klien dapat merasa nyaman.
Kesadaran akan perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat membantu dan
mendidik tidak hanya konselor namun juga klien terkait dengan budaya masing-
masing. Sehingga hal tersebut dapat membantu keduanya untuk bekerjasama dalam
mengatasi masalah klien atau dalam lingkungan yang lebih kondusif bagi
pertumbuhan klien. Berkaitan dengan hal diatas, penting bagi konselor memiliki
kompetensi yang akan memberikan arah dalam pelaksanan konseling dengan
keberagaman budaya konselinya. Refleksi terhadap praktek konseling tentu akan
melibatkan pemahaman dan kesadaran konselor terhadap budaya yang dimilikinya
dan konselinya.
Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan salah satu dimensi yang
penting untuk dimiliki oleh konselor. Dimensi ini perlu dimiliki oleh konselor agar
dapat memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa faktor budaya yang dimilikinya
(ras, jender, nilai-nilai, kelas sosial, dan lain-lain) akan mempengaruhi perkembangan
diri dan pandangan terhadap dirinya. Oleh karena itu perlu baginya untuk mengetahui
bahwa nilai dan perilaku yang dimilikinya akan berpengaruh kepada orang lain. Hal
tersebut secara substansial akan berdampak pada perkembangan manusia dan proses
konseling(Geilen et al, 2008).
Kartadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagai pendidik psikologis, konselor
harus memiliki kompetensi dalam hal ini:
a. Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam kontesk sosial
budaya. Ini berarti seorang konselor haru mempu mengakses, mengintervensi, dan
mengevaluasi keterlibatan dinamis dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial
dan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu di
dalam sistem.
b. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun intra pribadi dan
lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik-teknik treatmen tradisional yang terdiri
atas konseling individual dan kelompok harus diperluas ke arah penguasaan teknik-
teknik konsultasi, pelatihan dan pengembangan organisasi.
c. Menguasai strategi dan teknik asesmen yang memungkinkan dapat difahaminya
keberfungsian psikologis individu dan interaksinya dengan lingkungan.
d. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun secara sosial.
Sebagai seorang professional, konselor harus mampu mengkonseptualisasikan dan
mefasilitasi proses pertumbuhan melalui pengembangan interaksi optimal antara
individu dengan lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep static
tentang “kecocokan individulingkungan” kea rah “alur individu-lingkungan” yang
menekankan kepada keterikatan pengayaan pertumbuhan antara individu dengan
suatu lingkungan belajar.
e. Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam kekuatan etik
profesi yang mempribadi.
f. Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktek pendidikan. Berdasarkan
penjelasan diatas terkait dengan kompetensi yang penting bagi seorang konselor agar
mampu memahami perkembangan manusia, kompleksitas manusia yang memiliki
keragaman baik dari konteks individu maupun sosial budayanya. Oleh karena itu,
penting bagi konselor secara umum (tidak hanya untuk konselor multikultural) dapat
memiliki kesadaran budaya perlu memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan
pemahaman individu dan lingkungan. Kesadaran budaya yang perlu dimiliki konselor
tentu diawali juga dengan pemahamannya terhadap perbedaan budaya konseli.
Patterson (2004) menyebutkan bahwa terdapat 2 jenis perbedaan konseli yaitu
accidential dan essential. Perbedaan budaya, etnik dan ras merupakan suatu hal yang
terjadi dengan tidak sengaja (misalnya tempat dilahirkan). Namun, konseli juga
memiliki kesamaan pada hal-hal yang utama atau hal yang pokok (essential) sebagai
manusia. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kualitas dasar dalam pelaksanaan
konseling. Rogers(Patterson, 2004) menyebutkan 5 kualitas dasar konselor yaitu:
a. Respect. Menghargai klien merupakan hal yang penting bagi konselor. Hal ini
termasuk memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien
memiliki kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri
(termasuk selama proses konseling berlangsung), klien memiliki kemampuan untuk
menentukan pilihan dan memutuskan dan memecahkan masalahnya.
b. Genuinenes. Konseling merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu untuk
memiliki kesungguhan dalam memberikan konseling dan juga adalah sosok yang
nyata. Selain itu konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini
berarti konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan.
c. Empathic understanding. Pemahaman yang empati lebih dari sekedar pengetahuan
tentang klien. Akan tetapi pemahaman yang melibatkan dunia dan budaya klien
secara mendalam. Ibrahim (Patterson, 2004) mengemukakan bahwa kemampuan
untuk menunjukkan empati pada budaya secara konsisten dan hal-hal yang memiliki
makna merupakan variabel penting untuk melibatkan klien.
d. Communication of empathic, respect and genuineness to the client. Kondisi ini
penting untuk dipersepsi, diakui, dan dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan
mengalami kesulitan jika klien berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial
ekonomi, umur, dan jender. Oleh karena itu penting bagi konselor untuk memahami
perbedaan tersebut. Sue (Patterson, 2004) menyatakan bahwa pemahaman terhadap
perbedaan budaya baik secara verbal maupun nonverbal akan sangat membantu
dalam proses konseling.
e. Structuring. Salah satu elemen penting yang terkadang tidak disadari oleh konselor
adalah struktur atau susunan dalam proses konseling. Vontress (Patterson, 2004)
menyebutkan bahwa hubungan dengan seorang professional yang menempatkan
tanggung jawab utama kepada individu untuk memecahkan masalahnya sangat
sedikit. Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya memiliki susunan dan
mengartikan perannya pada klien. Konselor sebaiknya menyatakan bahwa apa,
bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan konseling. Kegagalan untuk
memberikan pemahaman peran konselor di awal proses konseling dapat
menghasilkan ketidakpahaman antara keduanya.
Beberapa kualitas konselor di atas, memang memiliki dasar yang utama
(essential) dalam menghadapi klien secara umum, namun ada hal-hal yang secara
budaya tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Misalnya, terkait dengan
elemen yang terakhir yaitu structuring, bagi beberapa budaya di Indonesia pentingya
seorang professional dalam memberikan bantuan melalui proses konseling masih
sangat terbatas sehingga untuk melakukan sesuai dengan criteria tersebut perlu
penggalian lebih mendalam bagi seorang konselor. Selanjutnya, kesadaran budaya
konselor dalam menghadapi perbedaan nilainilai menjadi faktor penentu efektifitas
proses konseling yang diberikannya. Bishop (Kertamuda, 2009) menyebutkan
pedoman (guidelines) yang perlu dimiliki konselor terkait dengan perbedaan nilai-
nilai yaitu:
a. Konselor membantu klien agar merasakan bahwa nilai-nilai yang dimilikinya dapat
diterima selama proses konseling berlangsung. Peran konselor adalah menyakinkan
konseli bahwa perasaan klien terkait dengan nilai-nilai yang dimilikinya dapat
diterima oleh konselor.
b. Konselor memberikan pandangan kepada klien bahwa nilai-nilai, dalam hal ini
nilai keagamaan, yang dimiliki sebagai bagian dalam memecahkan masalah yang
dihadapi klien, tidak hanya sebagai bagian dari masalah. Konselor perlu memiliki
pemahaman bahwa nilai-nilai keagamaan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap kesehatan mental klien sama dengan dukungan sosial yang diberikannya.
c. Konselor harus meningkatkan diri dan memiliki pendidikan tentang budaya,
nilainilai keagamaan, keyakinan, dan mempraktekkan; berusaha untuk mengerti
bagaimana isu-isu terkait dengan hal tersebut diintegrasikan melalui teori psikologi
dan praktek konseling.
d. Konselor mengikuti aktifitas-aktifitas di masyarakat yang dapat meningkatkan
interaksinya dengan orang-orang yang berbeda secara budaya maupun agama.
e. Konselor mampu mengeskplor dan mengevaluasi nilai-nilai personal yang
dianutnya. Penilaian diri (self-examination) merupakan hal penting karena (1) setiap
orang memiliki kelemahan-kelemahan (blind spots) yang dapat menimbulkan bias
terkait dengan nilai, (2) kita perlu menyadari terhadap biasbias yang dimiliki saat
menghadapi klien, (3) proses klarifikasi terhadap nilai-nilai personal dapat membantu
konselor mengidentifikasi masalah atau nilai-nilai yang dimiliki klien, (4) perjuangan
konselor untuk memahami nilai-nilainya dapat memberikan pemahaman yang baik
dan menghargai proses konseling bersama klien.
f. Konselor harus hati-hati dengan perlawanan atau penolakan (resistance) yang
dimilikinya terhadap permasalahan klien. Konselor yang tidak bersedia terbuka untuk
berdiskusi dan berintegrasi dengan nilai-nilainya maka proses konseling dapat
beresiko dalam penyampaian pesan kepada klien. Klien akan mulai mempercayai
konselor diawal proses konseling. Oleh karena itu konselor perlu memberikan kesan
bahwa memang dia dapat dipercaya oleh klienya.
g. Konselor perlu mengembangkan bahasa yang sederhana dan jelas agar dapat
berkomunikasi dengan klien tentang nilai-nilai keagamaan baik itu yang dimiliki
konselor maupun klien.
Segala kompetensi, kualitas dan guidelines tidak akan efektif dalam proses
konseling jika konselor tidak memiliki metode dan pendekatan yang sesuai dalam
menghadapi klien yang multikultural. Patterson (2004) menyampaikan kritikan
bahwa konselor tidak membutuhkan kompetensi konselor untuk konseli
multikultural. Namun yang dibutuhkan adalah metode dan pendekatan efektif untuk
semua klien dan sifatnya sebagai sistem yang universal dalam konseling. Berdasarkan
hal tersebut, penting bagi konselor untuk memiliki kesadaran budaya dan
menempatkannya secaratepat dalam interaksinya dengan klien adalah hal yang
penting. Untukmengembangkan kesadaran budaya (cultural awareness), konselor
sebaiknya meningkatkan penghargaan diri terhadap perbedaan budaya. Konselor
harus menyadari stereotipe yang ada dalam dirinya dan mempunyai persepsi yang
jelas bagaimana pandangannya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kesadaran
ini dapat meningkatkan kemampuannya untuk menghargai secara efektif dan
pemahaman yang sesuai untuk tentang perbedaan budaya (Brown & Williams, 2003).
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan
belajar. Saat ini kesadaran budaya masyarakat berkurang karena adanya globalisasi.
Oleh karena itu,sebagai agent of change kita harus berupaya meningkatkan kesadaran
masyarakat agar budaya yang baik akan terpelihara dan tetap lestari sedangkan
budaya yang kurang baik bisa digantikan budaya baru yang lebih baik lagi.
3.2SARAN
Apabila makalah ini jauh dari kesempurnaan saya mohon maaf karena kami
masih mempelajari tentang konsep kesadaran budaya
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahfud,Choirul.2014.Pendidikan Multikultural.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Basrowi.2005.Pengantar Sosiologi.Bogor: Ghalia Indonesia
sosiologibudaya.wordpress.com
http://lokajaya.blog.uns.ac.id/buday/tgl27-02-2012.pkl:21.32.
http://koleksihalim.blogspot.com/2012/01/kesadaran-akan-budaya.html/tgl27-02-
2012.pkl:21:29