masalah gizi

Upload: hellositty

Post on 08-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sosiologi antropologi

TRANSCRIPT

Mata Kuliah Sosiologi Antropologi GiziFaktor-faktor Pendukung Terjadinya Masalah Gizi

Kelas: D III B- GIZIKelompok 4:1) Desi Anggarini Pratiwi2) Henna Listia Hidayat3) Isti Wulandari4) Rina Wahyuningsih5) Theodosia Dwita Natalia P6) Tsalitsa Deliasari

Jurusan GiziPoliteknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta IIJalan Hang Jebat III/F3 P.O.Box 6007 KBYB. Kebayoran Baru, Jakarta 12120Tahun Akademik 2013/2014Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, telah terdapat kerja sama yang menguntungkan antara para ahli gizi dan para antropolog dalam pengembangan penelitian, khususnya dalam studi konsumsi pangan dan masalah gizi masyarakat melalui pendekatan ekologi.Dalam Jurnal Ekologi Pangan dan Gizi seperti Jurnal Manusia dan Antropologi Kedokteran, menunjukkan banyaknya kaitan yang menuntungkan antar berbagai displin. Dalam berbagai studi seperti Arkeologi, Biologi, Manusia dan Ekologi Budaya, telahh diintegrasikan aspek pangan dan gizi dalam penelitian mereka. Di lain pihak para ahli gizi, dalma upaya mengembangkan penelitian mereka, banyak memakai berbagai variabel trasdisional yang termasuk di dalam bidang antropologiDewasa ini, meskipun hubungan antropologi, pendidikan gizi dan penelitian gizi saling berkaitan, namun belum ada suatu penelaahan yang menunjukkan hubungan kerja sama yang positif. Penilitian kebiasaan makan yang penting dan evaluasi penyuluhan gizi telah menekankan bahwa kegiatan evaluasi harus merupakan bagian yang menyati dengan kegitan penyuluhan gizi.Dalam studi kebiasaan makan, aspek penting dalam bidang penyuluhan gizi, disebutkan oleh Maretski Studi ilmiah tentang kebiasaan makan manusia, harus menempatkan pengetahuan dasar tentang penyuluhan gizi dalam masyarakat atau dalam kelas. Barangkali, pada tahapawal, bidang gizi belum dapat menembus bidang-bidang ilmu sosial, namun kenyataannya pengetahuan gizi memberikan sumbangan pengertian tentang Apa yang kita makan, mengapa kita makan,dan bagaimana hubungan makan dengan kesehatan dan kesejahteraan, baik secara perorangan ,masyarakat atau menyeluruh. Pernyataann ini merupakan kemajuan penting dalambidang penyuluhan gizi dewasa ini.Dalam editorial Journal of Nutrition Educatiin (JNE) Ultrich mengemukakan: Sewaktu JNE mulai dipublikasikan, sangat sedikit sekali teknik-teknik evaluasi yang digunakan untuk mengukur hasil guna program-program penyuluhan gizi. Para ahli gizi cenderung merasa puas dengan pertunjukkan bonekanya atau hanya sekadar membaca label-label saja. Dewasa ini,harapan akan hasil guna dari programtelah semakin meningkat Metodologi riset penyuluhan gizi cenderung meluas. Demikian pula penelitian tentang kebisaan makan dan perubahan perilaku cenderung meningkat, seakan-akan penyuluhan gizi merupakan bidang yang menemukan dimensi-dimensi baru.Sumbangan metode dan teori antropologi dalam bidang penyuluhan gizi sangat penting, satu sama lain berbeda dengan sumbangsih ilmu-ilmu sosial lainnya. Ilmu sosial dan perilaku mempunyai riwayat komunikasi yang cukup panjang, saling isi-mengisi, dan berkembang satu sama lain, dalam metode maupun teori.Kepentingan antropologi dalam kaitannya dengan kebutuhan pangan dan gizi sudah terlihat sejak abad 19 atau sebelumnya, meskipun hanya sedikit sekali penelitian penelitian yang diselenggarakan, sampai ditemukannya teori-teori yang berguna dalam tahun 1920 dan 1930-an.Kepentingan antropologi dalam pelaksanaan perspektif terapan studi perilaku makan (penelitian yang bertujuan untuk intervensi perubahan perilaku,dengan penekanan pada pencatatan dan analisa data) dijumpai selama Perang Dunia II. Komite studi kebiasaan makan ini diketuai oleh Margaret Mead, telah menghasilkan petunjuk Studi tentang Food Habits. Hasil penelitian J.W. Bennet, juga mengemukakan data penting untuk pelaksanaan program perubahan perilaku. Sesudah Perang Dunia II, penerapan kepentingan antropologi dalam Pangan dan Kesehatan dapat membantu penerimaan masyarakat secara langsung terhadap pelayanan kesehatan dan gizi di Amerika Serikat.Perkembangan teori ekologi, menarik perhatian antropolog dalam upaya menggali masalah pangan dan gizi, meskipun kepentingan antropologi cenderung diutamakan pada sistem pangan dan perilaku makan perorangan. Walaupun jumlah studi masih sedikit, penelitian antropologi dalam perilaku makan (dalam tahun 1970), menghasilkan beberapa pokok-pokok pikiran, kerangka teoritis dan metode antropologi dalam studi perilaku makan.Dalam berbagai laporan dietary behaviour (perilaku makan) lebih banyak dipergunakan daripada istilah food habits (kebiasaan makan). Food habits lebih banyak dipergunakan dalam penelitian beberapa tahun yang lalu dalam kepentingan penelitian, dan mempunyai konotasi sesuatu yang stabil dan cenderung memberikan arti suatu kebiasaan. Sementara itu istilah dietary behaviour mempunyai makna yang dinamis.

1. Pendekatan Holistik Terhadap Kebiasaan MakanPada awalnya, kerangka antropologi merupakan konsep holistik yang menekankan pendekatan multidisiplin dalam upaya mempelajari dan mambahas tentang perilaku manusia dan masyarakat. Faktor-faktor sosial, kultural, ekonomi, politik, lingkungan dan perilaku adalah dimensi-dimensi dari keberadaan manusia. Jelas bahwa ada satu atau lebih komponen yang perlu dipentingkan dalam penelitian. Sedikit sekali studi antropologi dapat dilakukan secara holoistik.Dengan berkembangnya teori-teori tentang sistem dan model-model ekologi yang kompleks, maka, pengertian holistik dijelaskan dalam bentuk model dan sistem . Penerapan ide-ide ini, meskipun terpusat pada hubungan antar aktivitas manusia, pada hakikatnya adalah sama. Beberapa ahli menerapkan pendekatan sistem dalam studi gizi kurang.Jeroma, Plato dan Kendal, telah membuat sebuah model ekologi sederhana yang menggambarkan tentang sistem pangan, berdasarkan interaksi antar lingkungan fisik, lingkungan sosial, teknologi, organisasi, masyarakat dan kebudayaan. Pendekatan holistik, penelitian ekologi merupakan gambaran dan analisis komponen komponen yang berhubungan dengan kebutuhan psikologis manusia.Salah satu keuntungan dari penggunaan sistem adalah peningkattan pemahaman mengenai faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku sebagai masalah utama. Kegunaan lebih jauh, adalah memudahkan dalam memberi arti dari masalah yang diteliti, mengingatkan kekurangan-kekurangan yang mungkin ada dalam mencapai hasil penelitian.Kegunaan lain pendekatan holistik adalah memudahkan pengamatan diberbagai tingkat, mulai dari peorangann, rumah tangga dan masyarakat, terus ke tingkat nasional dan selanjutnya ketingkat internasional.marchione, menggambarkan pentingnya keguanaan analisis di tingkat mikro dan makri dalam penelitian perilaku makan hubungannya dengan penyuluhan gizi.Dalam evaluasi program kesehatan dan penyuluhan gizi di Jamaika, Marchione mengemukan bahwa anak-anak adalah sebagai target adanaya peningkatan status gizi (berat badan menurut umur dan tinggi badan menurut umur) setelah terkena program.Dari kerangka pre-test dan post-test, menunjukkan bahwa kelompok kontrol keadaan gizinya sama dengan kelompok yang berhubungan dengan para penyuluh gizi. Dari analisis itu, Marchione menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh dari luar program dalam peningkatan gizi. Diperkiraan ada pengaruh kekuatan ekonomi internasional, yang berdampak positif pada keadaan gizi. Fluktuasi harga internasional dan tanggapan nasional terhadap fluktuasi itu dapat berpengaruh pada perubahan pola tanaman pangan di suatu daerah. Penduduk setempat mau tidak mau menaikkan konsumsi makanan anka-anak mereka. Perubbahan polatanam berpengaruh langsung dalam kegiatan penyuluhan pada tingkat mikro, dan bukan merupakan faktor utama dari perubahan.Dari contoh diatas, tidak ditonjolkan argumentasi dari program kesehatan gizi pada tingkat lokal, tetapi lebih digambarkan kebuutuhan kebutuhan program tingkat lokal dan hubungannya dengan tingkat makro. Pendidikan gizi harus dirancang sedemikian rupa, sehingga mempunyai efek langsung pada masyarakat, keluarga dan perorangan serta mempunyai pengaruh di tingkat makro.

2. Perbedaan Antar Budaya dan Perilaku MakanPara ahli gizi menjadi lebih tertarik pada pengaruh keadaan sosial terhadap perilaku makan. Mereka mulai menaruh perhatian pada sifat-sifat masyarakat luas, yang membentuk struktur kehidupan masyarakat. Sifat-sifat ini termasuk status sosial ekonomi dan sifat etnik atau budaya dan rasial anggota kelompok.Dari segi lain, banyak peneliti dan pembuat keputusan mempelajari berbagai kegiatan kelompok etnik yang berbeda-beda keadaan social-ekonominya, menemukan bahwa dari segi budaya tampak adanya suatu homogenitas. Hal ini memberi petunjuk bahwa keluarga-keluarga dari etnik tersebut memiliki kesamaan gaya hidup (life style).Tendensi yang mempengaruhi antropolog dalam membentuk kerangka teori, adalah adanya asumsi dasar dalam hal homogenitas kognitif dan persamaan perilaku. Dalam kenyataannya bahwa antropologi berkembang sebagai bidang studi kebudayaan yang unik, yang berorientasi pada homogenitas kognitif dan perilaku tersebut. Perbedaan gaya hidup penduduk yang menerapkan teknologi dan ideologi Euro-America dengan penduduk primitif tergambar sangat nyata. Oleh petugas lapangan keadaan tersebut dianggap sebagai suatu kegagalan bagi masyarakat yang disebut belakangan.Berbagai studi yang luas tentang perilaku makan telah dilakukan pada grup etnik di Amerika Utara. Salah satunya dilakukan oleh Jerome, yang meneliti tentang berbagai aspek gaya hidup masyarakat kulit hitam yang tinggal di tengah kota Midwest.Penelitian tersebut dilakukan tahun 1960, dengan melibatkan secara intensif 24 keluarga dari keluarga miskin dan mempunyai latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang sama. Dalam membatasi sikap dan perilaku, Jerome membedakan empat kelompok mikro kultural. Perbedaan itu adalah kelompok yang mempunyai latar belakang pertanian dari daerah Selatan, status san riwayat perkawinan, pola migrasi, lamanya tinggal di Midwest, pemilihan rumah, tingkat ketergantungan dengan dana masyarakat untuk bantuan keluarga, keanggotaan dalam gereja, kegiatan belajar dan kebiasaan membaca. Karakteristik ini digunakan dalam mengklasifikasikan responden dalam empat kelompok, jelas menunjukkan perbedaan dalam tingkat optimis tentang masa depan, besar keluarga dan dalam memberikan inspirasi bagi anak-anaknya. Yang lebih penting lagi adalah perbedaan dalam kebiasaan makan.Jerome, menemukan bahwa jumlah uang belanja untuk makanan erat kaitannya dengan serentetan karakteristik masyarakat daripada dengan pendapatan keluarga. Jerome juga menemukan perbedaan dalam konsumsi pangan dan perbedaan yang berarti tampak pada konsumsi jeruk dan sayuran hijau. Demikian pula, pendatang dari Selatan cenderung memelihara dan mempertahankan kebiasaan makannya yang sesuai dengan latar belakang pertanian. Setiap kelompok juga berbeda dalam tingkat konsumsi terhadap anjuran kecukupan.Dari analisisnya, Jerome menyimpulkan bahwa pendapatan bukan sebagai faktor penentu dalam perilaku konsumen penduduk kulit hitam yang bukan pendatang, tetapi faktor-faktor gabungan antara pendapatan dan gaya hidup dapat member andil bagi perilaku kelompok yang kebudayaannya cenderung berubah.Migrasi dan lamanya tinggal di lingkungan perkotaan juga berpengaruh pada kebiasaan makan, misalnya pada gadis remaja Puerto Riko, seperti ditunjukkan oleh hasil studi Duyff, Sanjur dan Nelson. Dengan mengambil contoh 75 orang gadis Puerto Riko di Chicago, ditemukan adanya hubungan intik besi dengan lamanya tinggal di Chicago. Gadis-gadis yang lebih lama tinggal mempunyai intik Fe lebih rendah daripada yang baru datang. Gadis yang lahir di Puerto Riko cenderung mengkonsumsi jumlah susu yang kurang daripada yang lahir di daratan.Pengetahuan gizi juga berpengaruh positif pada intik makanan, gadis yang mendapat pengetahuan gizi ternyata menunjukkan intik vitamin A dan C yang cukup tinggi. Pencatatan makan selama tiga hari, menunjukkan hasil perbedaan dalam intik zat gizi. Gadis lebih dewasa mempunyai intik tinggi dalam vitamin A, kalsium dan besi, akan tetapi kurang bervariasi dalam hal jenis pangan yang dikonsumsi dibandingkan dengan gaids remaja. Status kerja biasanya menunjukkan adanya hubungan dengan mutu makanan yang lebih baik. Bagi ibu-ibu yang bekerja menunjukkan adanya kecenderungan makanan yang lebih baik. Pada anak perempuan yang mempunyai ibu yang bekerja di luar rumah menunjukkan intik vitamin C dan zat besi yang lebih rendah dibanding dengan anak-anak perempuan yang mempunyai ibu yang tinggal di rumah.Penelitian lain yang dilakukan oleh Hessler dkk, menemukan sekurang-kurangnya empat perbedaan sub kelompok dalam studi pelayanan kesehatan pada masyarakat Cina di Boston. Penelitian rumah tangga dengan mengategorikana) Bukan Asli Barat,b) Asli Cina,c) Bukan Asli Cina, dand) CampuranDimana kelompok-kelompok tersebut dibedakan atas dasar respons mereka terhadap serangan flu, tanggapan mereka terhadap petugas kesehatan masyarakat Cina di Puskesmas , dan sikap mereka terhadap penggunaan sinar X dan pemeriksaan fisik. Dalam penelitian ini didapati perbedaan yang berarti bagi masing-masing kelompok.Ketiga studi diatas, menggambarkan hubungan yang berarti antara budaya dengan kelompok-kelompok yang bermacam-macam gaya hidupnya. Perbedaan antar kelompok etnik yang tampak adalah dalam hal konsumsi pangan, gizi dan kesehatan. Pada kenyataannya, pada studi perbandingan antar etnik atau kelompok social ekonomi, bermacam-macam variabel sosio-kultural diperhitungkan antara lain kesehatan, perilaku makan, hubungan antar petugas kesehatan dan institusi kesehatan, pekerjaan, pendidikan dan pendapatan. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang kompleks dalam model yang akan memantu kita dalam penelitian.

3. Gaya HidupKonsep gaya hidup sangat berguna dalam penelitian perilaku makan, jika digabungkan dengan perbedaan antar budaya dan pendekatan holistik. Gaya hidup adalah merupakan konsep yang membingungkan, yang selalu diucapkan setiap hari, yang dapat diartikan sebagai cara hidup masyarakat.Dari kacamata antropologi, gaya hidup adalah merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan. Beberapa masukan yang merupakan variabel utama dalam penelitian adalah : pendapatan, pendidikan, tempat pemukiman pertanian, perkantoran dan sebagainya. Masukan lainnya seperti struktur keluarga, jumlah anggota RT, umur, jarak antar anak, jenis kelamin, pembagian kerja anggota rumah tangga dan juga pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Pelto (1981) menyajikan kerangka model gaya hidup perilaku makan (Gambar 4.1) dengan beberapa hal pokok sebagai berikut :

Gaya HidupStruktur Rumah TanggaPengetahuan GiziPengetahuan GiziIdentitass SukuPengetahuan KesehatanPendidikanPengetahuan GiziKarakteristik FisiologisKarakteristik FisiologisPekerjaanKarakteristik FisiologisPendapatanSistem Sosial Ekonomi PolitikProduksi Pangan dan Sistem Distribui

Perilaku Konsumsi

Gambar 4.1. Model Perilaku Konsumsi Pangan (Pelto, 1981) Faktor-faktor gaya hidup yang terdiri atas proses di tingkat makro dan proses politik yang berpengaruh pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Variabel-variabel yang membentuk gaya hidup termasuk pendapatan, pekerjaan, pendidikan, suku, lokasi, agama, pengetahuan gizi dan kesehatan dan karakteristik psikologis. Kedua variabel sosial dan biologis mempunyai keterkaitan yang kuat. Pada model ini rumah tangga merupakan pusat pengaruh dari berbagai variabel.Gaya hidup merupakan hasil pengaruh beragam variabel bebas yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga. Berbagai faktor saling berkaitan dan berpengaruh terhadap individu dalam keluarga, misalnya dalam upaya pengambilan keputusan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan serta penyaluran aspirasi keluarga. Dapat dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga merupakan faktor utama dalam pembentukan pola perilaku makan dan juga dalam pembinaan kesehatan keluarga. Beberapa variabel yang kuat dalam peramalan kesehatan dan perilaku makan dalam keluarga atau rumah tangga, meliputi unsur-unsur pekerjaan kepala keluarga, jumlah anak, pendidikan dan sebagainya.Kemampuan dalam proses memilih dan mengambil keputusan di rumah tangga banyak memanfaatkan faktor-faktor eksternal, misalnya pendapatan dan tipe masyarakat. Karena tidak ada keluarga atau rumah tangga yang mempunyai identitas dan nilai-nilai yang sama, maka masing-masing akan mempunyai gaya hidup dan keunikan tersendiri. Namun demikian masih terlihat adanya kesamaan dalam cara hidup yang berhubungan dengan kebiasaan makan dan perilaku kesehatan.

4. Kepercayaan dan Pengetahuan Sebagai Aspek Gaya HidupKepercayaan dan pengetahuan ditempatkan dalam rentetan faktor-faktor yang berhubungan dengan makanan. Dalam dua dasawarsa terakhir para antropolog telah sepakat mengkategorikan penelitiannya kedalam teori idealist dan behaviorist-materialist terutama hal perilaku manusia. Menjelang abad ke-20 , teori antropologi dan terapannya dititik beratkan pada terjadinya kebudayaan , kebudayaan sebagai pusat suatu ide, merupakan bentuk kehidupan. Dalam hal ini semua masyarakat mempunyai suatu sistem ide dan mempunyai pengertian tersendiri tentang budaya dalam perilaku manusia. Sistem ide ini merupakan tentang perbedaan perilaku kelompok sosial dan masyarakat.Pandangan atau ide dalam kebudayaan berperan terhadap penulisan tentang kebiasaan makan, seperti yang digambarkan oleh margaret mead, dalam menguraikan kebiasaan makan orang Yunani. Adat Yunani, menyatakan bahwa makanan adalah bukan gizi. Makanan yang baik, tidak baik untukmu. Di kota-kota, ibu-ibu merasakan suatu tekanan pikiran terhadap pandangan tentang nilai gizi, dan merasakan seolah-olah konsumsi anak nya seperti dijadwalkan, padahal adat kebiasaan mengharuskan mereka memelihara makan keluarga. Soal makan mereka anggap sudah tahu, apalagi di desa masalah ini bukan suatu soal yang merisaukan. Soal makan tidak begitu penting bagi anak-anak, dan tidak perlu harus diberikan makanan khusus . Jika mereka tidk suka akan telur, sebaiknya diberikan roti. Siapapun tahu bahwa anak-anak umumnya menyukai roti. Akibat dari perbedaan arti budaya dan sebab terjadinya budaya, timbul pendapat bahwa jika kita ingin mengubah perilaku makan suatu masyarakat maka kita harus mengubah budaya mereka termasuk cara-cara berpikir. Baru-baru ini diperkenalkan suatu ide yang dapat menunjukan ethos semacam kebiasaan yang dilatarbelakangi oleh berbagai pola perilaku didalam suatu kebudayaan. Dalam buku Cultural Patterns andtecnical change, Margaret Mead, mengemukakan kebijakan tentang cara pendekatan budaya. Sebagai cotoh dalam memperkenalkan produk makanan baru kepada masyarakat tradisional, setelah perang dunia II, dia menulis : jangan membanggakan makanan yang diperkenalkan dengan maksud agar masyarakat tersebut mengikuti kebiasaan makan orang amerika. Di setiap negara terdapat makanan lokal, yang sudah biasa dikonsumsi dan mempunyai nilai-nilai kepercayaan. Jika diberi dukungan dan kebebasan dalam menerapkan makanan baru, sebaiknya harus ditinjau kembali tentang tingkat pengetahuan masyarakat dan nilai busaya pangan, untuk mempertimbangkan perlu tidaknya diubah. Dengan pendidikan dapat ditingkatkan konsumsi pangan dan keadaan gizi.Pentingnya arti budaya, dalam memperkenalkan teknologi baru yang sedang berkembang perlu diketahui. Anggota-anggota kelompok masyarakat yang akan menggunakan teknologi baru, sebaiknya membuat perencanaan untuk mereka sendiri, kemudian baru merka mengadaptasikan teknologi tersebut dengan kepercayaan, pengertian dan perikehidupan mereka sendiri. Contoh ini adalah salah satu pandangan antropologi yang dinyatakan oleh Margaret Meaddalam Cultural Pattern and Technical Change yang telah banyak menjadi kenyataan dan merupakan hal peting dalam segi-segi perilaku manusia. Pada masa lampau, sumbangsih antropologi tercermin dlam program kesehatan dan gizi serta dalam pelaksanaan program lainnya, disamping mengungkapkan tentang pentingnya faktor-faktor penyebab perilku masyarakat seperti misalnya dalam keadaan kritis, penggunaan sumber daya alam, pengaruh faktor-faktor teknologi dan biologi. Juga membantu mengungkapkan perubhan-perubahan pandangan mental dan pandangan material dalam suatu kurun waktu tertentu. Makin meluasnya keengganan terhadap susu sapi (susu hewan lainnya) di negari cina dan beberapa tempat lainnya di dunia, adalah merupakan contoh tentang kuatnya kepercayaan dlam sistem budaya. Tahun 1970, terjadi kejuta dalam hal kekurangan laktase pada orang dewasa di beberapa tempat di dunia, hal ini merupakan contoh tentang sikap perilaku penduduk dalam penggunaan susu pada orang dewasa. Contoh yang paling terkenal tentang kuatnya kepercayaan (pandangan budaya yang telah menjadi semacam hal yang irasional sebagai suatu tabu yang non ekonomis, terjadi pada masyarakat hindu yang tidak makan atau membunuh sapi. Tahun 995, Margaret Med, mengemukakan contoh tentang pengruh tabu agama dalam penggunaan sumberpangan. Setelah, berkembangannya teori ekologi, pada permulaan tahun 1960, ilmu antropologi meninjau kembali tentang hipotesis sapi yang suci. Selanjutnya debat antara yang pro dan kontra tetang sapi suci terus berlanjut, tetapi nyatanya penduduk india tidak terpengaruh untuk memakan daging sapi, tetapi memilih makanan lain yang kaya akan energi. Selam tahun 1960-197, pandangan teori materialistik mendesak pandangan teori kepercayaan budaya yang dipimpin oleh ahli ekologi. Penelitian pada bidang ekologi tahun 1970, menyatakan bahwa faktor material memainkan peranan penting dalam perubahan perilaku masyarakat dibandingkan dengan anjuran atau pandangan teori budaya. Kesimpulan utama dalam pembicaraan ini adalah bahwa pandangan dan kepercayaan penduduk, termasuk juga pengetahuan mereka tentang ilmu gizi, harus dipertimbangkan sebagai bagian dari berbagai faktor penyebab yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan mereka. Dalam suatu wawasan mungkin pandangan dan kepercayaan menjadi salah satu faktor yang sangat kuat,tetapi sebaliknyadalam wawasan lain mungkin tidak berperan sama sekali. Dalam penelitian, sebaiknya lebih banyak mempertimbangkan kepercayaan individu tentang makanan dan gaya hidup yang satu sama lain saling berinteraksi.

5. Pendekatan Antropologi Dalam PenelitianBeberapa tahun belakangan ini, keinginan meluaskan penelitian semakin meningkat, khusus dalam bidang penyuluhan. Keinginan ini, cenderung untuk mempergunakan analisis holistic yang komperhensif. Metode metode riset antropologi telat digunakan oleh para peneliti di Center of New School di Chicago, terutama untuk melihat kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan etnografi penyuluhan sebagai kerangka dasar penelitian.Penelitian bertujuan untuk mengkaji usaha usaha pengumpulan data melalui pengamatan partisipasi; konsep ini pertama kali digunakan oleh Malinowski 60 tahun yang lalu. Malinowski menekankan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengamati masyarakat, disamping memerlukan partisipasi mereka untuk dapat mengerti keadaan dan masalah masalah mereka. Ia tinggal dalam jangka waktu yang lama di Omarakana Trobiand Island, ia mulai berpatisipasi dalam kehidupan masyarakat didesa, mencari peristiwa penting, mencari keinginan keinginan pribadi dalam bentuk isu isu serta perkembangan yang terjadi didesa. Untuk itu dia harus bangun lebih awal daripada penduduk setempat.Di lapangan, peneliti etnografi membutuhkan lebih banyak pengamatan terhadap kegiatan kegiatan penduduk. Dalam pengamatan perilaku, peneliti lapangan harus dapat memecahkan persoalan tentang kesulitan yang pertama kali dia jumpai. Ia harus dapat melakukan penggalian data dan mencari bahan bahan yang berguna dalam melakukan pengamatan. Apabila peneliti mendapat kesulitan dalam mencari berbagai informasi, maka ia harus dapat menentukan data yang objektif di masyarakat. Kemudian menggali dan menghubungkannya dengan kerangka teoritis melalui wawancara untuk dapat memecahkan masalahnya.Secara ilmiah pengamatan partisipasi dapat dilakukan secara langsung pada waktu melakukan evaluasi proses dan sewaktu melakukan evaluasi hasil program. Kita menggunakan berbagai tingkatan dalam melakukan evaluasi, tergantung dari jenis penelitian. Untuk evaluasi proses yang digunakan sewaktu program dilaksanakan untuk mendapat umpan balik dari proses yang sedang berjalan, digunakan tipe evaluasi formatif. Sementara itu evaluasi hasil, merupakan tipe evaluasi dapak untuk melihat hasil yang dicapai oleh program.Dalam tahun 1973 dan 1974, Wilson dan kawan kawan dari Center for New School, membuat sebuah proyek di Cleveland Hights Ohio, mereka mencoba mengembangkan pendekatan etnografi dalam evaluasi formatif. Sebagai orang diluar tim evaluasi, mereka bekerjasama dengan komite guru dan murid dari sekolah. Topic yang dibahas difokuskan pada evaluasi, terutama dalam pengamatan. Pengumpulan data dilakukan dengan questioner dan pengamatan. Petugas sekolah turut berpatisipasi dalam pengumpulan dan menganalisis data. Sepanjang diperlukan, diadakan rapat atau pertemuan sebagai forum umpan balik.Penulis menyimpulkan bahwa etnografi sangat membantu dalam mencapai tujuan evaluasi. Proyek Cleveland Hight merupakan suatu contoh penelitian yang menggunakan konsep partisipasi penelitian, yang banyak membicararakan segi antropologi. Juga merupakan suatu bukti bahwa dengan pengamatan partisipasi yang melibatkan masyarakat langsung, bukan suatu hal yang menambah kesulitan.M.I. Swans, dan kawan kawan mengembangkan pengamatan partisipasi jangka panjang diTanzania, dalam program Gizi dan kesehatan, termasuk evaluasi penyuluhan gizi dalam merehabilitasi kekurangan gizi pada anak anak.MASSISI, menggunakan penelitian partisipasi dalam proyek penyuluhan gizi di Chiwanda, Tanzania. Dalam upaya pelaksanaan program gizi ia bekerja sama dengan masyarakat, terutama dalam menggali kebutuhan kebutuhan mereka dan mengembangkan upaya proyek untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Proyek dilaksanakan dalam lima tahap, dengan mengevaluasi perkembangan setiap tahap. Ini merupakan suatu hal yang menarik, meskipun pada dasarnya proyek ini merupakan upaya penyuluhan gizi. Komponen materi penyuluhan banyak menggunakan milik masyakarat. Pengamatan partisipasi tidak saja dapat dilakukan dalam penyuluhan gizi, tetapi juga berguna dalam penyusunan kebijaksanaan intervensi Jerome, memberikan contoh pada penelitian penduduk Amerika yang berpenghasilan rendah di Kansas dan Wish Consin, diamana pengumpulan data dilakukan dengan mengikut sertakan pengamat lain yang kemudian menganjurkan adanya program distribusifortifikasi pangan. Dalam hal ini terdapat hubungan kerjasama timbal-balik antara perusahaan, pengamat dan masyarakat, terutama didalam usaha mengataasi timbulnya hambatan. Jerome menyimpulakan bahwa anjuran ini tidak dapat hanya dikembangkan dari meja dengan menggunakan mode3l sosio demografik saja, tetapi haruas diambil langsung dimasyarakat dengan wawancara dan pengamatan. Dalam pengamatan partisipasi (sebagai metode antropologi) yang difokuskan pada konteks karakter yang luas 9sebagai orientasi teori) fungasi konsep teori yang manifest dan yang latent juga berguna dalam penelitian evaluasi. Evaluasi hasil akhir dari program pendidikan gizi, tergantung pada apa yang telah dipelajari dari murud (dapat dilaksanakan dengan semacam tes yang singkat), atau khususnya pada bagaimana mereka menerapkan apa yang telah mereka peroleh selama belajar dibuktikan dengan perubahan perilaku.Ada beberapa alas an mengapa evaluasi dapat mempunyai dampak negative, padahal program sudah berjalan dengan sebaiknya, antara lain.Waktu pelaksanaan evaluasi sangat singkat, sehingga perubahan yang mungkin terjadi belum jelas kelihatan.Alat pengukur yang digunakan salam penelitian perubahan yang terjad tidak tepat.Fokus dalam evaluasi terlalu dangkal sehingga kehilangan hubungan dengan dampak program, tidak mencapai target perubahan perilaku dan pengetahuan.Dengan mempertimbangkan 3 hal diatas, maka fungsi konsep manifest dan latent praktis sangat berguna. Sosiolog dan antropolog telah menggunakan batasan ini, dalam mencari hubungan yang berarti pada kejadian social, dimana seolah olah tujuan yang akan dicapai sudah merupakan perubahan perilaku atau budaya, padahal asegi segi fungsinya tidak diterima oleh kelompok masyarakat.Dalam beberapa hal, hasil hasil yang tersembunyi boleh jadi lebih positif, akibat dari dangkalnya focus tujuan program, sehingga berakibat kurangnya kesimpulan yang diperoleh.

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masalah GiziPenyebab timbulnya masalah gizi ada dua, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung adalah rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta adanya penyakit-penyakit infeksi. Kedua faktor ini, saling sinergistik, artinya yang satu memperkuat yang lain. Seseorang yang kurang gizi cenderung menderita penyakit infeksi, karena kurangnya masukan energi dan zat gizi menyebabkan rendahnya kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit. Sedangkan orang yang menderita penyakit, cenderung menderita kekurangan gizi, karena nafsu makan yang menurun. Akibatnya asupan energi dan zat gizinya juga menurun.Penyebab tidak langsung terhadap rendahnya konsumsi pangan dan gizi adalah tidak atau kurang tersedianya pangan di tingkat rumah tangga dan pola pengasuhan anak yang kurang baik. Sedangkan timbulnya penyakit infeksi disebabkan oleh keadaan higiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik juga.Ketersedian pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, keragaman dan mutu pangan yang dikonsumsi, ketersediaan pangan di pasar serta sektor pertanian khususnya produksi pangan. Timbulnya masalah gizi sangat terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Menurut BPS (2009) jumlah penduduk sangat rawan pangan (asupan kalori