maria elisabeth gruyters - cbsisters.net filetanggal 26 juni 2015 ini, kita memperingati wafat...
TRANSCRIPT
1
2
Maastricht, Juni 2015
Para Suster yang terkasih di: Amerika, Belgia, Brasil, Filipina,
Indonesia, Indonesia Timur, Kenya, Nederland, Norwegia, Tanzania,
Timor Leste dan Vietnam.
Tanggal 26 Juni 2015 ini, kita memperingati wafat Pendiri, Bunda
Elisabeth, yang ke-151. Peringatan ini menjadi kesempatan bagi kita
untuk sejenak merefleksikan karya ajaib Tuhan melalui dia dan
Kongregasi yang didirikannya. Dengan memperingati kematiannya,
kita diajak untuk menghidupkan perjalanan dan perannya dalam
Gereja, masyarakat dan Kongregasi. Untuk itu tepatlah kalau kita
semakin mendalami kisah hidupnya yang sangat inspiratif, termasuk
tekad dan juga mimpi besarnya. Perjalanan hidup dan terutama
panggilannya adalah sebuah kisah mukjijat Allah. Kongregasi sangat
terberkati dengan kharisma, visi, dan misinya yang selalu memberi
inspirasi, sumber hidup Spiritualitas kita.
Perjalalan spiritualitasnya dimulai dari cara pandang Bunda Elisabeth
tentang siapa dirinya. Meskipun dia mengatakan bahwa dia tidak
terpelajar dan bodoh, akan tetapi apa yang dia tuliskan mengenai
relasinya dengan Tuhan, membuat kita sulit untuk percaya bahwa dia
tidak berpendidikan. Sebaliknya, kita menganggap bahwa ungkapan
itu hanyalah merupakan kerendahan hatinya. Kita merasa bersyukur
memiliki warisan tulisan tangan yang mengisahkan perjalan
hidupnya. Melalui tulisan tangan tersebut, Bunda Elisabeth membuat
kita terkejut dengan berbagai aspek dari kedalaman relasinya dengan
Tuhan. Mari kita simak puisi yang dia tulis berikut ini.
3
“Maria Elisabeth Gruyters
adalah namaku.
Untuk melayani Allah aku mampu
untuk melayani Allah aku lahir
jika aku berbuat demikian, maka aku akan selamat.
Maastricht, 28 Februari 1836”
Kita dapat merasakan dalamnya relasi Bunda Elisabeth dengan
Allah. Dia merasa sangat percaya diri ketika menjabarkan
hubungannya dengan Allah; kedekatan dan intimasinya dengan
Tuhan, cara dia melihat dirinya dihadapan Allah. Dalam puisi ini dia
menulis identitas dirinya, pemahamannya tentang Allah. Pertama-
tama dia sadar betapa berharganya dia dimata Allah. Dia memahami
dan menerima bahwa ia diciptakan sesuai gambar dan citra-Nya (bdk
Kejadian 1, 27). Oleh karena itu dengan lantang dia dapat berseru;
‘Maria Elisabeth Gruyters’ adalah namaku. Nama yang bukan
sembarang nama. Nama ini mengandung kesadaran diri dan harga
dirinya, martabatnya sebagai manusia yang memahami untuk apa dia
diciptakan.
Poin yang kedua, dia menguraikan cita-cita hidupnya. Perempuan
yang bernama Elisabeth Gruyters ini lahir untuk melayani Tuhan.
Kedalaman relasi intimnya dengan Allah membuatnya mampu untuk
melihat makna terdalam dari hidup ini. Dia lahir dari Allah dan
ditakdirkan untuk melayani-Nya. Akan tetapi kita tahu ternyata
sangatlah tidak mudah bagi Bunda Elisabeth untuk mengabdikan diri
seutuhnya kepada Tuhan seperti yang dia dambakan. Dia bercita-cita
untuk melayani Tuhan di biara yang dalam angan-angannya adalah
tempat yang tepat untuk mengabdi-Nya. Maka tidaklah
mengherankan kalau dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari
4
komunitas religius sebagai tempat yang tepat untuk melayani Tuhan
secara tulus dan sempurna (Bdk EG 5).
‘Untuk melayani Allah aku mampu’. Itulah keyakinan dirinya. Akan
tetapi, kepercayaan diri yang tinggi ini dihadapkan pada kenyataan
bahwa dia harus mengalami perjuangan panjang untuk mewujudkan
mimpinya melayani Tuhan dalam sebuah biara di kota Maastricht.
Kebanggaan dirinya bahwa dia mampu harus diuji dan dimurnikan.
Disini kita dapat melihat proses pertumbuhannya menuju
kedewasaan hidup rohani. Bunda Elisabeth mengalami proses
transformasi. Allah membiarkan dia memasuki jalan panjang
pencarian akan kehendak-Nya. Jalannya tidaklah mudah. Jalan yang
harus dia lalui tidak selalu rata dan halus melainkan keras dan
berliku.
Rupanya Tuhan sendiri yang mencelikkan mata Bunda Elisabeth
agar dia tidak menjadi tinggi hati. Dengan perjalanan yang amat
panjang, Tuhan menunjukkan jalan-Nya, dan bukan pilihan
Elisabeth. Sepertinya Tuhan mau mendidik bahwa bukan dia yang
mampu tetapi Tuhan yang memampukan dia. Kita membaca apa
yang dialaminya ketika kerinduan yang besar untuk masuk biara ia
ungkapkan kepada para pastor. Jawaban mereka sangat tidak sesuai
dengan harapannya. Salah satu pastor mengatakan bahwa usianya
sudah lanjut, dan ia tidak masuk dalam daftar yang diharapkan
karena pasti akan ada banyak calon-calon lain yang lebih memenuhi
persyaratan (bdk. EG 19). Atau jawaban pastor lain yang
menganjurkan dia untuk terus berdoa karena dia tidak melihat satu
biara pun yang mungkin akan menerimanya (bdk EG 12). Beberapa
biara yang dihubungi oleh pastor pengakuannya pun tidak ada yang
5
memberinya kesempatan (bdk EG 3). Sebuah kenyataan yang pahit
bagi seorang Elisabeth yang percaya bahwa dia mampu.
Alangkah tak terjajagi jalan Tuhan dan pertimbangan-Nya tidak
terpahami. Kenyataan ini sangat diyakini oleh Bunda Pendiri. Bunda
Elisabeth yang dengan tekun dan setia berdoa bertahun-tahun. harus
melewati waktu panjang dan menggelisahkan, bahkan dia harus
bergumul dengan perasaan kosong, sia-sia, tanpa harapan dan
penolakan-penolakan. Kepercayaan dirinya seperti dihancurkan.
Sampai pada satu titik dimana Tuhan mau memutarbalikkan keadaan.
Justru ketika dia sampai pada penyerahan diri yang total pada
kehendak Tuhan, Tuhan mengisi kekosongannya dengan rahmat
yang mengejutkan. Bunda Elisabeth tidak lagi merasa diri cakap atau
mampu untuk mengabdi Tuhan, tetapi melepaskan keinginan dan
kerinduan yang besar kepada kehendakNya. Tidak penting lagi
bagaimana dan siapa yang akan terlibat, asal Tuhan diabdi secara
tulus ikhlas. Dia sampai pada pengosongan diri, bukan lagi
keinginannya yang harus terwujudkan, tetapi nama Tuhan yang
dimuliakan dan diabdi (bdk EG 4). Sikap batinnya pun tidak lagi
‘aku’ mampu, tetapi berubah menjadi buatlah aku cakap … (EG 39).
Dari puisinya Bunda Elisabeth mewariskan sebuah pelajaran hidup
rohani yang sangat bermakna kepada kita. Bukan pertama-tama apa
yang kita mampu kerjakan atau persembahkan kepada Tuhan yang
terpenting. Bukan doa-doa yang berkanjang dan penuh semangat kita
daraskan yang harus dikabulkan. Bukan. Seperti Bunda Pendiri,
kitapun harus belajar untuk megosongkan diri. Sebuah pemberian
diri yang tulus tanpa syarat, sebuah disposisi batin yang membiarkan
Roh Tuhan membawa ke mana dia mau. Sebuah kerendahan hati
yang rela melepas impian dan ambisi pribadi sehingga akhirnya
6
Tuhan sendiri yang memakai kita untuk melaksanakan rencana-Nya.
Bunda Elisabeth melewati semua proses ini sehingga pada akhirnya
dia mengalami Tuhan sendiri yang menunjukkan rencananya yang
tersembunyi. Bunda Elisabeth harus mengalami apa yang dialami
oleh Yesus, Sang Pencinta hatinya yang manis yang berdoa kepada
Bapa, bukan kehendak-Ku yang terjadi tetapi kehendak-Mu ketika
berada dalam situasi yang membuat Dia tidak berdaya, situasi yang
nampaknya sia-sia dan ingin Dia hindari (bdk Lk 22,42).
Para suster yang terkasih, kiranya kita pun perlu belajar dari Bunda
Elisabeth dalam mengejar perkembangan hidup rohani. Kita
menimba darinya sebuah transformasi sikap batin, dari merasa diri
mampu sampai kepada tahap identifikasi diri dalam Yesus Sang
tersalib yang taat dan hanya melakukan kehendak Bapa-Nya.
Kedewasaan rohaninya ditandai dengan kemampuan untuk membalik
arah tujuan dari keinginan yang berpusat pada diri sendiri kepada
kehendak untuk menyenangkan Tuhan dan mentaati kehendak-Nya.
Pertumbuhan menuju kedewasaan rohani ini semata-mata merupakan
rahmat Tuhan. Akan tetapi, seperti kita ketahui, bukan berarti Bunda
Elisabeth tidak berbuat apa-apa. Bertahun-tahun ia berusaha untuk
senantiasai dekat dengan Tuhan. Dalam upaya memelihara hidup
rohaninya Bunda Elisabeth membangun disiplin diri yang kentara
dalam ketekunan berdoa yang seringkali disertai tetesan airmata,
mati raga, setia pada penerimaan sakramen-sakramen Gereja,
pelayanan kepada yang menderita, dan seringkali merenungkan
sabda dalam Kitab Suci serta berkontemplasi didepan salib. Semua
latihan-latihan rohani tersebut dilakukan dengan setia oleh Bunda
Elisabeth. Tetapi kita tahu bahwa sekeras apapun usahanya akan sia-
sia apabila Tuhan tidak berkenan. Akhirnya Tuhan sendiri yang
menangkapnya.
7
Dewasa ini kita hidup ditengah-tengah dunia yang kurang lebih
identik dengan dunia Bunda Elisabeth. Bunda Elisabeth
menceritakan bahwa dia hidup dalam suasana duniawi dimana
seringkali terdengar fitnah terhadap Allah, percabulan dan mabuk-
mabukan (bdk EG 101 -102). Hidup rohani kurang mendapat
perhatian dan orang lebih tertarik pada hal-hal duniawi. Hidup
membiara kurang menarik, bahkan pada awalnya berdirinya Biara
CB pertama mendapat olok-olok dari banyak orang yang mengira
biara ini tidak akan bertahan (bdk EG 53 & 55). Komunitas CB
pertama menghadapi kelimpahan panenan, namun kekurangan
pekerja karena tidak ada penuainya. Bukankah suasana ini tidak
berbeda dengan suasana dunia dan Kongregasi kita saat ini?
Paus Fransiskus dalam suratnya dalam rangka Tahun Hidup Bakti
menyebut bahwa hidup religius mengalami masa yang sulit. Beliau
menyebutkan tentang penurunan jumlah anggota, meningkatnya usia
para suster, situasi ekonomi, masalah-masalah internasionalisasi dan
globalisasi, dll. Semua permasalahan ini bukanlah hal yang baru
untuk kita. Kongregasi kita juga mengalami hal yang sama. Bahkan
dalam masa Bunda Elisabeth pun, permasalahan yang disebutkan ini
juga sudah terjadi. Bunda Elisabeth menghadapi ketidakpastian sejak
berdirinya komunitas yang pertama. Bahkan ketika mengakhiri kisah
panggilannya dia menulis bahwa ‘hambatan-hambatan masih ada
juga dan sampai sekarang pun keadaanya belum dapat dikatakan
lancar’ (Bdk EG 158).
Ada banyak hal baik dan mengagumkan yang terjadi di Kongregasi.
Namun, kata-kata Bunda Elisabeth secara tepat menggarisbawahi
situasi saat ini. Hambatan-hambatan masih ada juga dan sampai
8
sekarang. Kita pun menghadapi ketidakpastian sebagaimana yang
dihadapi olehnya.
Ditengah-tengah ketidakpastian ini Bapa Paus mengajak kita untuk
tetap beriman, menyongsong masa depan dengan penuh harapan, dan
tidak takut karena Allah menyertai kita. Kita mungkin
mempertanyakan ajakan ini apakah masuk akal. Bagaimana kita tetap
berharap kalau melihat situasi Kongregasi yang nampaknya sudah
kehilangan pamornya? Ketika jumlah anggota berkurang sementara
calon yang masuk hanya sedikit? Sementara dilain pihak tuntutan
pelayanan kerasulan semakin berat dan dunia modern terus
menawarkan tantangan?
Bunda Elisabeth meneguhkan kita dengan kepercayaannya ‘Jika aku
berbuat demikian, maka aku akan selamat’. Hendaknya kita
mempunyai iman yang kuat seperti dia dalam menghadapi masa ini
dan menyongsong masa depan. Kita harus terus menghidupi
spiritualitasnya dengan setia. Fondasi yang kokoh dari Kongregasi
ini adalah hidup spiritualnya, karya Roh Allah yang dialami oleh
Bunda Elisabeth. Fondasi kuat ini merupakan karya Allah, bukan
melulu usaha manusia. Adalah tanggung jawab kita untuk membawa
dan meneruskan kehidupan spritualitas ini kepada generasi penerus,
generasi yang akan datang. Hidup Spiritualitas ini yang
memampukan dan mendorong kita untuk melayani Allah dalam
ketulusan dan kesempurnaan. Jika kita melakukan demikian; maka
seperti Bunda Elisabeth, kita akan selamat. Dia sudah melewati
masa-masa sulit dan banyak percobaan. Namun karena dia tidak
pernah kehilangan iman dan harapan Allah dapat mengerjakan
mukjijatnya. Kita percaya bahwa Allah yang sama terus melakukan
9
mukjijat-mukjijat di Kongregasi. Maka janganlah takut, Allah
menyertai kita.
Kami beharap semoga peringatan wafat bunda Elisabeth menjadi
rahmat bagi suster semua. Tuhan memberkati kita.
SELAMAT PESTA
KEANGGOTAAN
Pada tanggal 9 Augstus 2015, tiga suster dari Provinsi Indonesia
akan mengucapkan Kaul Kekal
Mereka ialah :
1. Sr. Chrismerry Merry Darmiati CB
lahir, di Labasa, Muna pada 28 Februari 1988
dari Paroki St. Mikael, Labasa, Sulawesi
2. Sr. Laurisa Anastasia Helena Pujawati CB
lahir, Bandung, 22 Januari 1983
dari Paroki St. Mikael, Waringin, Bandung
3. Sr. Melina da Costa Santos CB
Lahir di Dili, pada tanggal 24 May 1988,
dari Paroki Maria Bunda Hati Tersuci , Oe’ekam, Timor
Leste.
Kami mengucapkan Selamat dan Profisiat kepada ketiga suster ini.
Kita mengiringi mereka dengan doa-doa supaya mereka tetap setia
kepada panggilannya.
Dimuliakanlah nama Tuhan untuk selama-lamanya.
10
In memoriam
Seperti rusa merindukan sungai yang berair, demikian jiwaku
merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada
Allah yang hidup. Bilakah aku datang melihat Allah?
(Mz. 42:2-3)
Sr. Philomène Cornelissen lahir pada tanggal 27 Mei 1919 di Cuijk
Nederland. Mengucapkan kaul sementara dalam Kongregasi pada
tanggal 15 Mei 1943 dan meninggal pada tanggal 30 Mei 2015, di
Kloosterhof Maastricht.
Berakar kuat dalam iman, hidup dari ‘kehadiran Tuhan yang kuat’
dalam dirinya, Sr. Philomène menyerahkan diri seutuhnya untuk
menghayati hidup religius. Dengan hati dan jiwa sepenuhnya, ia
melaksanakan tugas perutusannya selama 30 tahun lebih sebagai
perawat di Indonesia. Bagi Sr. Philomène berdoa, bekerja dan hidup
berkomunitas merupakan kidung pujian kepada Tuhan. Semoga dia
kini hidup bersama Allah.
Regio Filipina
Perluasan sekolah taman kanak-kanak di Tagaytay sebanyak 6
ruangan, termasuk lapangan olah raga, sudah selesai dan siap untuk
digunakan pada pembukaan tahun ajaran baru bulan Juni 2015.
Perluasan bangunan ini telah diberkati pada 1 Juni. Pemberkatan
tersebut dihadiri oleh para suster. Kami ucapkan profisiat kepada
para suster di Regio. Kami berharap semoga melalui sekolahan ini
para suster dapat menanamkan benih-benih baik dalam hati anak-
anak sebagaimana yang dilakukan oleh Bunda Elisabeth.
11
Sekolahan Logo
Ruang serbaguna
12
Vietnam
Sr. Kadien, suster Yunior dari Vietnam yang sudah mengikuti
pembinaan awal di Regio Filipina kembali ke Vietnam pada tanggal
15 Juni 2015. Setelah menyelesaikan masa novisiatnya, dia mendapat
kesempatan untuk studi di bidang katekese. Dia akan memperkuat
komunitas dan kerasulan di Vietnam. Kita doakan semoga bersama
para suster yang lain, dia dapat membagikan spiritualis Kongregasi
di negaranya sendiri.
Regio Indonesia Timur
Pada hari peringatan wafat Bunda Elisabeth, 26 Juni 2105, Regio
Indonesia Timur akan mengadakan acara pemberkatan Rumah Sakit
Santo Carolus Borromeus. Rumah sakit ini diawali dari sebuah klinik
kecil hanya untuk pasien rawat jalan saja. Secara perlahan karena
melihat kebutuhan masyarakat, klinik ini berkembang menjadi
sebuah klinik dengan 27 tempat tidur untuk meneriama pasien rawat
inap. Saat ini klinik tersebut dikembangkan menjadi sebuah Rumah
Sakit tipe D dengan 50 tempat tidur. Perkembangan ini terjadi karena
tuntutan dari departemen kesehatan yang menerapkan standard
minimal untuk rumah sakit.
Kami mengucapkan selamat kepada para suster di Regio Indonesia
Timur atas keberanian, kerja keras, ketekunan dan iman mereka
sehingga mereka dapat membangun rumah sakit ini. Semoga para
suster dapat melayani masyarakat dengan lebih baik melalui fasilitas
rumah sakit ini. Semoga nama Tuhan dimuliakan melalui pelayanan
tulus mereka.
13
Tampak dari depan Kamar emergency
Bangsal
14
Kamar operasi
ORIENTASI
Sr. Kadien dan Sr. Phuong, Suster Yunior dari Vietnam akan
mengadakan orientasi di Provinsi Indonesia. Mereka akan tiba di
Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2015. Melalui orientasi in mereka
akan menimba pengalaman di berbagai pelayanan kerasulan dan
komunitas. Pada saat yang sama mereka juga akan memperdalam
hidup rohani serta berbagi spiritualitas kepada sesama suster di
Indonesia. Semoga orientasi ini bermanfaat bagi mereka.
Teriring salam hangat atas nama
Dewan Pimpinan Umum
Sr. Rosaria Nur Hardiningsih
Pemimpin Umum