maqasid al-shari’ah sebagai filsafat hukum islam
DESCRIPTION
Hukum IslamTRANSCRIPT
MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM SEBUAH PENDEKATAN SISTEM VERSI JASSER AUDA
Oleh Agus Afandi
Abstrak: Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer, bukan justru berseberangan sebagaimna akhir-akhir ini wajah Islam ditampilkan dengan terorisme dan kualitas hidup umat Islam dengan tingkat capaian Human Developmen Indexs (HDI) yang rendah. Oleh karena itu, Jasser Auda membagi pemikiran hukum Islam pada tiga kelompok yaitu Tardisionalis, Modernis, dan Post-modernis. Tiga kelompok ini belum menjawab persoalan kontemporer dengan tepat, sehingga hukum Islam masih bersifat serpihan, tertutup, apologetis, dan terpaku pada dalil verbal. Teori yang dihasilkan dari riset Jasser Auda berupa validasi beberapa metodologi ijtihad yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari’ah. Secara praktis riset ini menghasilkan aturan-aturan Islam yang kondusif terhadap nilai-nilai keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al-shari’ah. Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima, mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam. Kata Kunci: maqasid shari’ah, pendekatan sistem
Pendahuluan
Jasser Auda mempertanyakan tindakan teroris atas nama hukum Islam, ketika
aksi teror pada berbagai kota termasuk di kota London tempat ia bekerja. Jasser
mengangap bahwa hal itu merupakan sebuah tindakan kriminal yang mengatasnamakan
hukum Islam, oleh beberapa orang yang merasa bertanggungjawab atas tindakan
tersebut. Jasser menjadi marah dan mempertanyakan. Apa hukum Islam itu? Apakah
Hukum Islam secara diskriminatif membolehkan membunuh orang pada kota yang
penuh kedamaian ini? Dimanakah Hikmah (wisdom) dan perlindungan bagi setiap
orang (people welfare) yang menjadi landasan dasar hukum Islam? 1
1 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of islamic Law: A Systems Approach, (London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007), xxi.
Ibn al-Qoyyim mengatakan:
Shari’ah is based on wisdom and achieving people welfare in this life and afterlife. Shari’ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does non belong to the shari’ah, even if it is claimed to be so according to same interpretation.2
Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi
setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Shari’ah merupakat keseluruhan dari
keadilan, kedamaian, kebijakan, dan kebaikan. Jadi setiap aturan yang
mengatasnamakan keadilan dengan ketidakadilan, kedamaian dengan pertengkaran,
kebaikan dengan keburukan, kebijakan dengan kebohongan, adalah aturan yang tidak
mengikuti shari’ah, meskipun hal itu diklaim sebagai sebuah interpretasi yang benar.
Dimanakah Hukum Islam diletakkan?
Umat Islam jumlahnya hampir seperempat penduduk dunia, yang terbentang
mulai dari Afika Utara sampai Asia Timur. Demikian juga banyak muslim minoritas
yang tersebar di wilayah Eropa dan Amerika. Akan tetapi jika dilihat dari ukuran
tingkat kemajuan (Human Development Indek, HDI) umat Islam tergolong rendah.
Apalagi faktor-faktor HDI yang menjadi ukuran adalah tingkat melek huruf,
pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, keberdayaan perempuan, yang
menunjukkan masih di bawah standar minimal. Jaseed Auda percaya bahwa Hukum
Islam dapat membawa peningkatan produktifitas, perilaku humanis, spiritualitas,
kebersihan, persatuan, persaudaraan, dan demokrasi masyarakat yang tinggi. Akan
tetapi, dalam perjalanannya ke berbagai negara timbul pertanyaan besar, “Dimana
hukum Islam?, Bagaimana hukum Islam dapat berperan dalam kondisi yang krisis ini?
Dimanakah letak kesalahan dengan hukum Islam? 3
Dia berusaha melalui risetnya untuk menunjukkan bahwa hukum Islam
mampu memberikan jawaban atas krisis tersebut dengan pendekatan multi disiplin yang
terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang relevan dari berbagai bidang, yaitu disiplin
umum tentang hukum Islam, filsafat, dan terori sistem. Disiplin Hukum Islam
dimaksud termasuk Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Hadith, dan Ilmu Tafsir. Sedangkan disiplin 2 Ibid., xxii. 3 Ibid.
filsafat termasuk lapangan logika, filsafat hukum, dan teori pos-modern. Adapun
disiplin teori sistem merupakan disiplin baru yang independen yang mencakup
sejumlah sub-disiplin, antara teori sistem dan analisis sistemik. Sistem teori merupakan
filsafat lain yang anti-modenisme dan mengkritik teori modernisme. Termasuk teori
sistem di dalamnya adalah konsep tentang kesatuan (wholeness), multidimensional,
terbuka, dan mengarah pada tujuan tertentu (purposefulness). 4
Jasser Auda mempersembahkan penelitian multi disiplin yang bertujuan untuk
mengembangkan teori dasar hukum Islam melalui pendekatan sistem. Terapan sekarang
yang tidak tepat dari hukum Islam adalah reduksi terhadap universalitas, satu dimensi
dari multidimensi, dua nilai dari banyak nilai, dekonstruksi terhadap rekontruksi, dan
kausalitas daripada teleologi. Terdapat kehilangan pertimbangan dan fungsi hukum
Islam dari tujuan dan prinsip-prinsipnya sebagai sebuah universalitas. Dan hilangnya
nilai spiritualitas, tidak adanya toleransi, ideologi kekerasan, pemberangusan
kebebasan, dan regim yang otoriter.
Teori yang dihasilkan dari riset ini adalah validasi beberapa metodologi ijtihad
yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari’ah. Secara
praktis akan menghasilkan aturan-aturan islam yang kondusif terhadap nilai-nilai
keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan
berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al-shari’ah.
Jasser Auda diharapkan mampu mengikuti jejak al-Shatibi, meskipun ia juga
mengkritiknya. Al-Shatibi sebagai ‘ulama klasik, tetapi memiliki pandangan yang
modern memiliki kelebihan dibanding dengan ulama-ulama lain. Ibn Ashur
berpendapat bahwa konsep-konsep tentang masalah ibadahnya al-shatibi lebih
sempurna dibanding dengan ‘ulama-‘ulama lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan
efektifitas fatwa-fatwa as-shatibi ketika dia hidup di zaman perubahan di wilayah
Granada, wilayah yang terdiri dari komunitas yang beragam. Bahkan fatwa-fatwanya
telah memberikan dampak perubahan sosial, dari 40 kasus, 34 diantaranya telah efektif
berimplikasi pada perubahan sosial. Diantara jumlah kasus yang berimplikasi pada
perubahan sosial adalah problem teologi 2, keluarga 3, perpajakan 3, ibadah 11, harta
4 Ibid., xxvi.
kekayaan 4, kontrak dan perdagangan 11. Hanya ada dua kasus yaitu masalah
penafsiran dan prosedur peradilan yang tidak memiliki dampak perubahan sosial.5
Latar Pendidikan dan Aktivitas Jasser Auda
Dr Jasser Auda adalah Associate Professor di Qatar Fakultas Studi Islam
(QFIS), dengan Fokus kajian Kebijakan Publik dalam Program Studi Islam. Dia adalah
anggota pendiri Persatuan Ulama Muslim Internasional, yang berbasis di Dublin,
anggota Dewan Akademik Institut Internasional Pemikiran Islam di London, Inggris;
anggota dari Institut Internasional Advanced Systems Research (IIAS), Kanada;
anggota Dewan Pengawas Global Pusat Studi Peradaban (GCSC), Inggris; anggota
Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuwan Muslim Sosial (AMSS), Inggris; anggota Forum
perlawanan Islamofobia dan Racism (FAIR), Inggris, dan konsultan untuk
Islamonline.net. 6
Ia memperoleh gelar PhD dari University of Wales, Inggris, pada konsentrasi
Filsafat Hukum Islam tahun 2008. Gelar PhD yang kedua diperoleh dari Universitas
Waterloo, Kanada, dengan kajian analisis sistem tahun 2006. Master Fiqh diperoleh
dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada tujuan hukum Islam (maqasid al-
syariah) tahun 2004. Gelar BA diperoleh dari Jurusan Islamic Studies pada Islamic
American University, USA, tahun 2001 dan gelar BSc diperoleh dari Engineering Cairo
University, Egypt Course Av. Tahun 1988. Ia memperoleh pendidikan al-Quran dan
ilmu-ilmu Islam di Masjid Al-Azhar, Kairo. 7
Ia merupakan direktur sekaligus pendiri Maqasid Research Center di Filsafat
hukum Islam di London, Inggris, dan menjadi dosen tamu untuk Fakultas Hukum
Universitas Alexandria, Mesir, Islamic Institute of Toronto, Kanada, dan Akademi Fiqh
Islam India. Dia menjadi dosen mata kuliah hukum Islam, filsafat, dan materi yang
terkait dengan isu-isu minoritas Muslim dan kebijakan di beberapa negara di seluruh
dunia. Dia adalah seorang kontributor untuk laporan kebijakan yang berkaitan dengan
minoritas Muslim dan pendidikan Islam kepada Kementerian Masyarakat dan Dewan
Pendanaan Pendidikan Tinggi Inggris, dan telah menulis sejumlah buku, yang terakhir 5 Muhammad Khalid Masud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000) 101. 6 http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 29 Januari 2011 7 Ibid.
dalam bahasa Inggris adalah: Maqasid Al-Syariah sebagai Filsafat Hukum Islam:
Sebuah Pendekatan Sistem, London: IIIT, 2008. Tulisan yang berhasil diterbitkan
sebanyak 8 buku dan ratusan tulisan dalam bentuk jurnal, tulisan media, kontribusi
tulisan di buku, DVD, ceramah umum, dan jurnal online yang tersebar di seluruh
dunia.8
Ia memperoleh 9 penghargaan diantaranya: 1) Global Leader in Law
Certificate, Qatar Law Forum, Qatar, June, 2009. 2) Muslim Student Association of the
Cape Medal, South Africa, August, 2008. 3) International Centre for Moderation
Award, Kuwait, April, 2008. 4) Cairo University Medal, Cairo University, Egypt,
February, 2006. 5) Innovation Award, International Institute of Advanced Systems
Research (IIAS), Baden-Baden, Germany, August, 2002. 6) Province of Ontario,
Canada, Fellowship, 1994-1996. 7) Province of Saskatchewan, Canada, Fellowship,
1993-1994. 8) Quran Memorization 1st Award, Al-Jam’iyyah Al-Shar’iyyah, Abidin,
Cairo, 1991. 9) Memperoleh penghargaan Research Grants (sebagai peneliti utama atau
peneliti pendamping) dari: a) American University of Shar’iah, UAE (2003-2004). b)
Centre for Research in Earth & Space Technology (CresTech), Canada (2000-2003). c).
Natural Sciences & Engineering Research Council of Canada (NSERC), (2000-2003).
d) Communications and Information Technology Ontario (CITO), Canada (2000-2002).
e) Ryerson University, Toronto, Canada (1999-2000). f) North Atlantic Treaty
Organization (NATO), Research Grants Section (1998-1999). 9
Teori Hukum Islam Kontemporer
1. Tingkatan Otoritas (hujjiyyah)
Jasser Auda membagi tingkatan otoritas (hujjiyyah) pada dua level tertinggi
dan terendah. Yang tertinggi adalah hujjah (proof) dan yang terendah adalah kritik
secara radikal atau batil (unsound). Diantara dua level ini terdapat lima tingkatan yang
bertingkat sesuai dengan otoritas level hujjah, yaitu hujjah (proor), penafsiran
apologetik (apologetic interpretation), Penafsiran/ta’wil (interpreted/mu’awwal), dalil
isti’nas (supportive evidence), kritis minor (minor criticism/fihi shai’), dan penafsiran
radikal (radical re-interpretation), dan kritik radikal (void/batil). Tingkatan otoritas
8 Ibid. 9 Ibid.
dalil ini, dengan pendekatan multi dimensional terjadi perubahan dengan dua kategori
biasa dari otoritas hujjah kepada level kategori yang beragam. Perubahan tersebut
secara sistematis menurun dari level hujjah tertinggi kepada radikal kritik. Gambar
berikut mengilustrasikan perubahan tersebut.10
Gambar 1: Spektrum tingkatan nilai otoritas hujjiyah dari hujjah ke batil
a. Perbincangan Terakhir tentang Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam ulama’ tradisional selama ini disbutkan al-Qur’an, al-
Hadith, Ijma’, Qiyas, Maslahah, istihsan, ‘Urf, Shar’u man qablana, fatwa sahabat,
fatwa imam, dan al-istishab. Sekarang ini secara mendasar, para ahli hukum islam
merujuk ayat-ayat al-Qur’an, sunnah, dan fatwa-fatwa yang berhasil dikeluarkan oleh
para fuqaha. Meskipun demikian pesepsi tentang penafsiran al-Qur’an, penumpulan
hadith, dan berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh fuqaha telah dibentuk melalui
manuskrip-manuskrip yang diedit. Hasil karya-hasil karya tersebut diantaranya berupa
kitab-kitab yang sudah beredardi kalangan ulama’ islam selama ini, diantaranya:
a) Tafsir: Ibn Kathir, al-tabary, al-Baydawi, al-Zamakhshari, al-razi, al-Baghawi,
alTusi, al-suyuti, al-Qurtubi, al-Alusi, al-samarqandi, al-kasani, al-San’ani, Ibn
Taymiyah, al-sawkani, al-Mawardi, al-khalili, dll.
b) Hadith: al-Bukhari, Muslim, al-hakim, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, al-bayhaqi, ibn
Majah, Abu dawud, al-darqutni, al-Tabari, ibn Syaibah, dll.
c) Fiqh dan usul fiqh tergantung pada madhab-madhab berikut ini:
- Madhab Hanafi: Abu Hanifah, Abu Yusuf, muhammad ibn Hasan, al-
Sarkhasi, al-Bazdawi, Ibn nujaym, dll.
10 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy..156
Proof (hujjah)
Arah penurunan otoritas hujjah
Apologetic Interpretasion
Interpreted (mu’awwal)
Supportive evidence (isti’nas)
Minor Criticism (fihi Shai)
Radical re-Interpretasion
Void (batil)
- Madhab Maliki, Malik, Ibn wahb, Sahnun, al-Qarafi, al-Mawwaq, al-talabi,
Ibn abdul-Bar, Ibn Rushd, al-Satibi, al-Sanusi dll.
- Madhab Hanbali: Ibn Hanbal, al-Mawarzi, al-Khallal, Ibn Taymiyah, Ibn al-
Qayyim, al-tufi, Ibn Rajb, Ibn battah, al-Zarkashi, dll.
- Madhab Zayyidiyah: Zayd, al-wasti, Ibn Zabarqan, Ahmad Ibn Isa, al-qasim,
al-hadi, Ibn ishaq, dll.
- Madhab Ibadiyah: Jabir bin Zhafi, al-Busaidi, Ibn ja’far al-hawari, al-saqsi,
dll
- Madhab Ja’fariyah: Ja’far, al-Killini, Ibn Babawayh, ibn al-Junaid, al-
taba’tabai, al-Najafi, dll.
- Madhab Al-Shafi’i: al-Shafi’i, al-Qaffi, al-Juwayni, al-ghazali, al-Mawardi,
al-San’ani, al-Nawawi, al-hadrami, al-Haitami, Qulyubi, ‘Umairah, al-
Shirazi, dll.
- Madhab Zahiriyah: Dawud dan ibn Hazm
- Madhab Mu’tazilah: Abdul Jabbar, abu al-Husaini al-basra, Abu Hashim, Ibn
Hudhail, dan Abu Muslim 11
Sumber hukum Islam sekarang menggunakan pendekatan sebagai berikut:
1) Ayat-ayat al-Qur’an, selalu ditafsirkan menurut salah satu penafsiran kitab tafsir di
atas.
2) Sunnah selalu dikutip dalam kumpulan hadith yang disebutkan di atas.
3) Masalih yang diambilkan secara induksi dari nash al-Qur’an dan hadith.
4) Keahlian ulama’ tradisional (fuqaha’) menurut para ahli hukum didasarkan pada
ulama-ulama tersebut di atas.
5) Argumentasi rasional atau rasionalitas, yang bisa berarti beberapa hal,
bagaimanpun kelebihan umum seluruh rasionalitas dalil merupakan kepercayaan
mereka pada akal murni manusia daripada sumber pengetahuan ketuhanan.
6) Nilai-nilai modern dirujukkan kepada deklarasi HAM dan deklarasi nasional dan
internasional yang sama.12
Gambar (2) di bawah mengilustrasikan bagaimana pandangan Jasser Auda
terhadap sumber hukum Islam yang direpresentasikan dalam dimensi pengalaman
11 Ibid. 157-158. 12 Ibid. 159.
kemanusiaan dan ayat-ayat wahyu. Ayat al-Qur’an berada pada posisi spektrum akhir
kanan. Bahkan pemikiran tentang penafsiran menjadi subyek pengalaman kemanusiaan
yang menjadi penjelas bagi penafsiran sains. Hadith mengambil jarak antara ‘murni
menyampaikan pesan tuhan’ dengan ‘murni aturan manusia. Maslahah
merepresentasikan sebagai pikiran manusia dari tujuan tertinggi pewahyuan. Fatwa-
fatwa ulama tradisional (ruling of tradisonal madhahib) sebagai pendapat hukum
(fatwa) yang didasarkan atas konteks geografis dan sejarah. Jadi dengan demikian
dalam spektrum tersebut nampak mereka lebih dekat pada pengalaman kemanusiaan
daripada pewahyuan. Ada beberapa muslim memandang 'norma yang rasional’
merupakan ekspresi dari pengalaman kemanusiaan. Biarpun hal ini juga membentuk
persepsi Islam yang lebih populer. 13
Gambar 2 : Spektrum ragam nilai dari sumber hukum islam sesuai dengan dimensi
pengalaman manusia dan kewahyuan
b. Kecenderungan Terakhir Hukum Islam
Gambar di bawah ini menunjukkan adanya dua dimensi antara klasifikasi yang
menggambarkan kecenderungan sumber hukum Islam dengan kecenderungan tingkatan
otoritas hujjiyyah. Dengan kata lain ayat-ayat al-Qur’an, sunnah, fatwa para fuqaha,
tujuan tertinggi (maqasid/maslahah) rasinalitas, dan nilai-nilaimodern, memberikan
otoritas yang dibawa dari level hujjah sampai kritik radikal (butlan), termasuk berbagai
tingkatan penafsiran dan kritik. Dalam dua ruang dimensi tersebut, Jasser Auda
mengaktegorikan pada tiga ragam kecenderungan teori hukum Islam kontemporer,
13 Ibid. 160.
Nilai-nilai Modern dan HAM
kewahyuan Pengalaman Kemanusiaan
Rasionalitas Fatwa-fatwa madhahib
Tujuan tertinggi (maqasid)/ Maslahah
Sunnah Ayat Al-Qur’an
yaitu Tradisionalisme, Modernisme, dan Post-modernisme. Hepotesa kecenderungan
ini tergambar dalam wilayahnya masing-masing dapat dilihat pada bagan berikut ini.14
ModernValue/righ
Rasionality
Ruling of Tradisional Madhab
Higher maqasid/interests
Prophetich Traditions
Qur’anic Verses
Radicallycriticised
RadicallyRe-interpreted
Minorly criticised
Supportive evidence
Reinterpreted
Apologetic interpretation
Proof (hujjah)
Modernisme ---------- Postmodernisme ------- Traditionalisme
Gambar 3: Ilustrasi dua dimensi dari tujuan kecenderungan antara sumber hukum
Islam dengan level otoritas (hujjiyyah).
1) Tradisionalis
Jasser Auda membagi kelompok Tradisionalis ke dalam beberapa kategori,
yaitu Skolastik Tradisonalis, skolastik neo-tradisionalis, Neo-literalis, dan orientasi
teori idilogis.
a) Skolastik Tradisonalis
14 Ibid.
Kelompok yang dikategorikan ini ulama-ulama yang mengikuti pandangan
‘ulama’ klasik, termasuk Shafi’i, Maliki, Hanafi, Hanbali, Shiah, atau Ibadiyah sebagai
pemegang otoritas pemakna teks al-Qur’an maupun hadith. Seluruh penyelesaian
problem selalu dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad madhab ini. Kelompok ini
melakukan ijtihad, jika problem yang terjadi tidak ditemukan dalam pandangan para
imam madhab ini. Dalam hal ini, Ijtihad dilakukan melalui metode qiyas yang
dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad sebelumnya. 15
Salah satu contoh adalah tentang proses penetapan hukum tentang
Kepemimpinan Perempuan dalam Hukum Islam yang disampaikan oleh Imam
Universitas Islam Saud di Riyad. Proses keputusan hukum dimulai dari penafsiran
Madhab Hanbali, khususnya pendapat Ibn Taymiyah, tentang hadith Bukhary yang
menyatakan; “tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin seorang perempuan”.
Proses penetapan dilakukan tanpa banyak memberikan penjelasan tentang penafsiran
Madhab Hanbali, karena apa yang disampaikan lebih dipengaruhi oleh kepentingan
politik. Sehingga penetapan lebih diarahkan pada wilayah yang diperbolehkan bagi
perempuan untuk menjadi pemimpin, yaitu wilayah-wilayah pendidikan tertentu dan
kesehatan perempuan, atau perempuan menjadi imam shalat bagi sesama jenis.
Sedangkan pada wilayah sosial yang lain, seperti hukum, politik, peradilan, media,
ekonomi, militer, dan pendidikan pada umumnya, perempuan tidak diperkenankan
untuk memimpin.16
b) Skolastik neo-tradisionalis
Menurut Jasser Auda kelompok Neo-Tradisonalis lebih terbuka dibanding
dengan kelompok Tradisionalis, hanya saja masih terpaku pada madhab yang
dianutnya. Mereka menerima berbagai madhab, khususnya madhab empat (Maliki,
Shafi’i, Hanafi, dan Hanbali). Akan tetapi pada pilihan pendapat mereka lebih memilih
pada pendapat yang mayoritas (jumhur) disepakati oleh para imam madhab.17
c) Neo-literalis
Neo-literalis merupakan sebagian aliran dari kelompok tradisionlis yang
disebut dengan aliran Zahiriyah. Meskipun demikian fenomena ini tidak saja terjadi
pada kelompok Sunni, pada kelompok Shia juga demikian. Neo literalis kontemporer 15 Ibid. 162 16 Ibid. 163. 17 Ibid. 164.
lebih menggantungkan pada koleksi-koleksi hadith dari satu ulama, seperti versi
Wahabi dari ulama Hanbali, atau pada Shiah, hadith-hadith koleksi shiah. Ulama’-
ulama literalis lama mendukung metode istishab sebagai kaidah usul yang menjadi
komponen dasar maqasid. Akan tetapi, Neo-letralis menolak maqasid sebagai ligitasi
hukum. Realitas sekarang menunjukkan bahwa neo-literalis radikal mengkritik teori
maqasid yang dianggap sebagai ide sekuler yang menyamar.18
Blocking the means (sadd al-Dhara’i) pada tema yang sering diulang-ulang
pada pendekatan neo-literalis sekarang ini adalah kepentingan otoritas penguasa,
khususnya yang terkait pada hukum tentang perempuan. Seperti perempuan dilarang
mengemudikan mobil, bepergian sendiri, bekerja pada stasion radio dan televisi,
menjadi wakil rakyat, bahkan berjalan di perjalanan. 19
d) Orientasi teori idiologis.
Sebuah aliran tradisionalis yang overlap dengan posmodernis dalam
mengkritisi rasionalitas modern dan nilai-nilai bias Eropa sentris yang kontradiktif.
Fazlur Rahman mengkategorikan aliran ini sebagai ‘Fundamentalis Postmodern’.
Mereka memiliki proyek perlawanan kepada barat dan khususnya demokrasi dan
sistemnya. Argumen utama aliran ini adalah bahwa pemerintah, perundang-undangan,
dan kekuasaan pemerintah adalah hak Tuhan secara mutlak, dan tidak diberikan kepada
manusia sebagai kontrak atau hak.
Gambar (4) berikut memberikan ilustrasi tentang wilayah kelompok
tradisionalis yang berada pada spektrum sumber hukum Islam dan level otoritas.
18 Ibid. 166. 19 Ibid. 167.
ModernValue/righ
Rasionality
Ruling of Tradisional Madhab
Higher maqasid/interests
Prophetich Traditions
Qur’anic Verses
Radicallycriticised
RadicallyRe-interpreted
Minorly criticised
Supportive evidence
Reinterpreted
Apologetic interpretation
Proof (hujjah)
Ideology-Oriented Theories
Neo-Literalis
m
Neo-Literal
ism
Scholastic Traditionalism
Scholastic Neo-Traditionalism
Tradisionlais ----------
Gambar 4: Kecenderungan Aliran Tradisionalis dalam terma yang memberi
kontribusi pada munculnya aliran-aliran
2) Islam Modernis
Istilah Aliran Islam Modern atau Islam Modernitas, akhir-akhir ini telah
digunakan oleh beberapa sarja. Charles Kurzman menggunakannya untuk
mengidentifikasi gerakan yang mencari rekonsiliasi antara kepercayaan Islam dengan
nilai-nilai kemoderenan. Seperti kelompok kebangkitan kembali budaya, nasionalisme,
penafsiran kebebasan beragama, pengkajian sains, pola pendidikan modern, hak-hak
kaum perempuan, dan seberkas teman-tema lain. Ibrahim Moosa menggunakan terma
ini untuk memberi identitas bagi sekelompok sarjana muslim yang sangat dikesankan
oleh idealitas dan realitas modern. Demikian pula sangat percaya bahwa pemikiran
muslim, sebagaimana hal itu diimpikan sebagai ingkarnasi abad pertengahan, cukup
fleksibel mampu membantu perkembangan inovasi dan daptasi untuk meningkatkan
taraf umat Islam sesuai dengan waktu dan keadaan. Ziauddin Sardar menggunakan
term ini untuk mengkategorikan kelompok reformasi di abad 21 yang melakukan ijtihad
secara serius untuk memoderenkan Islam dalam termonologi model pemikiran barat
dan organisasi sosialnya, khususnya untuk kepentingan maslahat. 20
Dua kunci utama kontributor Aliran Islam modern adalah Muhammad Abduh
dan Muhammad Iqbal. Dua sarjana ini dari dua wilayah geografi dua Islam yang
diintegrasikan oleh keislaman dan pendidikan barat mereka yang memberikan inspirasi
bagi proposalnya pemikirannya pada reformasi Islam.
Jasser Auda mengaktegorikan aliran modernis pada terma teori, tidak pada
para ulama’nya. Ia lebih fokus pada diskusi tentang pendekatan Islam modernis dari
sejumlah aliran yaitu reformasi penafsiran baru (reformamist re-interpretation),
Penafsiran apologetik (apologetic re-interpretation), orientasi teori pada maslahah
(maslahah-oriented theories), dan perubahan usul fiqh (usul revisionism)
a) Reformamist Re-Interpretation
Jasser Auda memberikan julukan bagi sebuah pendekatan tafsir yang populer
disebut dengan madrasah al-tafsir al-mawdu’i (sekolah tafsir tematik), madrasah al-
tafsi ral-mihwari (sekolah tafsir kontekstual) yang ekspresikan oleh Fazlur Rahman
secara sistematik. Kontributor awal adalah Abduh, Al-Tabtabai, Ibn Ashur, dan al-Sadr.
Metode ini melalui pembacaan alqur’an secara menyeluruh untuk mencari tema-tema
umum pada keseluruhan, bagian-bagian, dan kelompok-kelompok ayat. Penafsiran
model tradisional mengambil seluruh perhatian mereka pada penjelasan dari satu kata
atau satu ayat, tetapi jarang mereka perhatian pada sekelompok ayat dan konteks
tertentu. Abduh dan Ibn Ashur menekankan pada penafsiran tema-tema penting untuk
mengintrodusir tafsir pada beberapa ayat, untuk dihubungkan antara cerita-cerita al-
Qura’an dengan dan bagian-bagian yang terkait.
Di sisi yang lain kemudian Ayatollah al-Sadr memberikan sebuah seri kuliah
di Najjaf Iraq, dengan sebuah metodologi penafsiran tematik dan penerapannya tentang
bagaimana al-Qur’an mempresentasikan sebuah sejarah dan masyarakat ideal.
Kemudian Muhammad al-Ghazali, Hasan al-Turabi, Fazlur Raham, Abdullah Draz,
Sayyit Qutb, Fathi Osman, dan al-Tijani Hamed mendukung penafsiran baru
berdasarkan atas metodologi baru. 21
b) Apologetic re-interpretation
20 Ibid. 168-169 21 Ibid. 172.
Perbedaan antara reformamist re-interpretation dengan apologetic re-
interpretation adalah bahwa reformamist re-interpretation menyuguhkan tafsir untuk
menciptakan perubahan praktek realitas kehidupan melalui hukum Islam, sedangkan
apologetic re-interpretation memberikan jastifikasi pada kepastian status quo tentang
Islam atau non Islam. Sebagai contoh tema tentang Islam dan politik setelah Ali Abdel
Razeq, yang oleh Jasser Auda diklasifikasikan sebagai apologetic adalah Mahmoud
Muhamed Taha yang mendukung ide ‘sosialisme Islam’, melalui tafsir tentang peran
Muhammad yang tidak memiliki kekuasaan (QS, 88:22), selanjutnya ia menafsirkan
konsep shura dan zakah, sebagai langkah awal menuju ‘masyarakat sosialis’. Sadek
Sulaiman menyimpulkan dari ayat shura ini, bahwa shura dan demokrasi adalah
sinonim, memiliki makna yang sama dalam konsep maupun prinsip. Muhammad
Khalaf-Allah menafsirkan ayat shura ini bahwa implementasi propetik adalah sebuah
otoritas dari konsep ‘mayoritas masyarakat’. Abdulaziz Sachedina menjelaskan bahwa
konsep masyarakat Islam, pluralisme dan demokrasi dalam al-Qur’an dan masyarakat
sipil di Madinah pada masa awal Islam merupakan tatanan yang meligitimasikan
konsep “masyarakat sekuler modern yang ideal” dalam kultur politik muslim. 22
Meskipun penafsiran di atas menggunakan kebahasaan semata dan
memberikan kelenturan secara alami bagi bahasa Arab, akan tetapi penafsiran tersebut
tidak memberikan penjelasan secara khusus bahwa al-Qur’an mendukung sistem politik
tertentu. Rachid Ghannouchi lebih berhati-hati dibanding dengan modernis yang lain
ketika ia mendukung konsep demokrasi, bahwa prinsip-prinsip demokrasi tidak
dilandaskan pada penafsiran ayat, tetapi lebih pada “hakekat hukum Tuhan bisa
diterapkan pada tatanan yang mapan”. Senada dengan Rachid Ghannuchi, Muhammad
Khatami presiden kelima Iran, berargumentasi bahwa demokrasi merupakan pilihan
yang lebih baik daripada konsep diktator atau monarkhi, karena memiliki prinsip-
prinsip yang sama dengan Islam.23
Jasser Auda mengkritik bahwa para apologetic modernis ini hanya lebih
mementingkan makna-makna harfiyah yang terkait dengan term demokrasi dan prinsip-
prinsipnya, tidak pernah menyentuh hakekat demokrasi yang lebih spesifik, seperti
realitas demokrasi yang menjujung tinggi “transparansi, toleransi, volunterisme, tim 22 Ibid. 174. 23 Ibid. 175.
kerja, pertukaran hak, saling bersikap hormat”. Padahal inilah yang harus dikaji
sebagai sebuah tujuan shari’at (maqasid al-shari’ah).
c) Maslahah-oriented theories
Pendekatan maslahah sebagai salah satu model pendekatan yang dilakukan
kaum modernis, merupakan usaha untuk menghindari pola apologetik yang dilakukan
untuk menafsirkan ayat dengan tema maslahah, daripada menyusun kebijakan khusus.
Mohammad Abduh dan al-Tahir Ibn Ashur secara khusus menaruh perhatian terkait
konsep maslahah dan maqasid pada hukum Islam dan mempertimbangkannya untuk
mereformasi konsep usul fiqh. Proposal Ibn Ashur yang diajukan untuk merefilatisasi
hukum Islam berlandaskan pada perhatian yang lebih besar pada disiplin usul fiqh dan
lebih terfokus pada metodologi baru untuk kajian tentang al-maqasid. Dia mengkritik
keras kepada ulama’ tradisional yang menghilangkan unsur maqasid dari konsep
hukum Islam. 24
Kontribusi Al-Sadr pada tingkat metodologi telah meligitimasikan konsep
induksi sebagai sebuah dasar pemapanan untuk sains dan teologi. Dia mempelajari
pemikiran induktif secara luas dalam karyanya al-usus al-mantiqiyyah li al-istiqra’
(logika berbaisis induksi). Al-Sadr menjelaskan bahwa induksi merupakan alat utama
cara berfikir bahwa al-Qur’an telah membuktikan eksistensi Tuhan. Kemudian, dengan
sebuah analisis matematika yang menarik, al-Sadr membuktikan ketidakpastian konsep
induksi, tetapi ia mengemukakan bahwa kekurangan ketidakpastian ini merupakan dalil
empiris yang ditemukan pada teori kemungkinan (probabilitas). Meskipun demikian
menurut Jasser Auda, bahwa kontribusi Ibn Ashur dan al-Sadr pada konsep al-
maqasid, yang menjadi proyek reformasi hukum Islam, merupakan sebuah proyek yang
masih belum lengkap. 25
d) Usul Revisionism
Aliran lain dari Islam modernis mencoba untuk memperbaiki usul fiqh,
meskipun kelompok neo-tardisionalis keberatan untuk mengubah usul fiqh ini dan
secara keras mengatakan dirinya paling Islam. Walaupun demikian, aliran usul
revisionism (perbaikan usul fiqh) mengekpresikan pada fakta tersebut bahwa
24 Ibid. 176. 25 Ibid. 177.
menurutnya tidak akan ada perkembangan yang signifikan dalam hukum Islam yang
dapat dilakukan jika tidak mengembangkan metodologi usul fiqh-nya. 26
Semisal Mohammad Abduh, ketika ditanya tentang ijma’ diantara dua model:
ijma’ atas fatwa dan ijma’ atas teks hadith. Dia mengatakan bahwa untuk sebuah
‘kajian rasional’ bahwa ijma’ dalam fatwa atau teks hadith tergantung pada warisan
literatur hukum. Rasionalitas Abduh memudahkannya untuk mempertanyakan secara
serius tentang validitas hadith ahad. Abduh mengembalikan pada ayat al-Qur’an untuk
mengkontrol teks hadith dan pemahaman praktik fatwa hukum. Dia menyarankan agar
para sarjana fokus pada pesan-pesan al-Qur’an tentang moral, pendidikan, spiritualitas,
pengetahuan, dan petunjuk-petunjuk tetang kehidupan sosial yang baik. Dia
mengatakan bahwa hukum Islam, menurut usul fiqh, adalah realitas hukum.
Ayatulloh al-Sadr juga mengintrodusir beberapa modifikasi untuk konsep
dasar usul fiqh, sebagaimana ijma’ dan ketetapan kontradiktif (hall al-ta’arud). Al-sadr
lagi-lagi menggunakan teori probabilitas, untuk membuktikan bahwa perkembangan
dalam sejumlah fuqaha artinya perubahan dari kemungkinan menjadi kepastian.
Meperhatikan ‘ketetapan yang kontradiktif’ antara dua dalil, al-Sadr mengusulkan
sebuah metode yang menciptakan keseimbangan antara akibat langsung dari satu dalil
dengan tujuan penetapan hukum (maqasid al-shari’) dari dalil kedua. 27
Beberapa kelompok modernis kontemporer mengikuti ide-ide Abduh dan al-
Sadr dalam konsep revisi ijma’ dan konsp usul fiqh yang lain, seperti konsep naskh
ayat-ayat al-Qur’an dan keotentikan teks hadith yang berlandaskan pada seberapa
banyak memiliki kesamaan prinsip dengan al-Qur’an. Mereka juga mengusulkan
perluasan dan penafsiran kembali atas bangunan kunci usul fiqh yang dapat digunakan
secara fleksibel sesusai dengan waktu dan keadaan, atau tatanan aturan yang sesuai
dengan waktu dan tempat dalam ijtihad modern. Seperti interpretasi baru tentang
maslahah yang didesakkan untuk memperluas konsep maslahah yang semula tujuan
maslahah bersifat individual menjadi maslahah untuk tujuan sosial. Kebaikan bukan
hanya untuk kepentingan individu masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat.
26 Ibid. 27 Ibid. 178.
Modernis juga memiliki berbagai pendapat tentang implikasi dari maslahah yang
terkait dengan perkembangan keadaan sekarang. 28
Sejumlah kelompok usul revisionists menyarankan agar qiyas, sebagai salah
satu sumber yang lain hukum Islam, juga perlu diinterpretasikan dari model tradisional
yang deduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas satu kasus yang terdapat dalam
ayat al-qur’an) kepada model yang abduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas
luasnya kemungkinan sejumlah kasus yang terkait dengan topik dan deduksi umum).
Usul revisonists menyebutnya dengan metode qiyas baru atau analogi yang luas (al-
qiyas al-wasi’). 29
e) ‘Science Oriented Re-Interpretation
Aliran lain dari kelompok Islam modern mengambil pendekatan untuk
penafsirkan kembali (re-interpretation), yaitu kelompok yang berorientasi pada sains
sebagai basis penafsiran al-Qur’an dan Sunnah. Dalam pendekatan ini, penetapan
didasarkan atas rasionalitas sains dan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadith ditafsirkan sesuai
dengan temuan-temuan sains terbaru. Dalam pandangan Jasser Auda pendekatan ini
mirip dengan apologetic gaya reformis. Pemikiran reformis menunjukkan bahwa
keterbukaan ayat al-Qur’an untuk ditafsirkan dengan model baru memberikan
pengetahuan tentang model kemanusiaan sekarang ini. Cara pemaknaan, juga mirip
dengan yang dilakukan kelompok apologetik ketika membuat ayat-ayat al-Qur’an
memiliki makna yang pasti dengan teori-teori sains, mengingat sains sendiri adalah
sebuah proses evolusi.
Secara umum pendekatan modernis untuk hukum Islam memiliki sejumlah
kelemahan dari pendekatan kelompok klasik dan tradisionalis, serta menyuguhkan
sesuatu yang lebih realistis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sehari-hari. Namun
demikian kelompok modernis juga memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan
pengembangan hukum Islam masa kontemporer ini. Adapun gambar berikut
mengilustrasikan posisi kecenderungan aliran modern Islam dalam level otoritas dan
sumber hukum Islam.
28 Ibid. 178-179. 29 Ibid. 179.
ModernValue/righ
Rasionality
Ruling of Tradisional Madhab
Higher maqasid/interests
Prophetich Traditions
Qur’anic Verses
Radicallycriticised
RadicallyRe-interpreted
Minorly criticised
Supportive evidence
Reinterpreted
Apologetic interpretation
Proof (hujjah) Maslahah
oriented theory
‘Science’ orientated
Interpretation
Apologetic Re-
Interpretation
Reformist Re-Interpretation
Usul revisionism
Modernisme -------
Gambar 5: Kecenderungan Aliran Modern dalam menyusun terma kontriusi
aliran-aliran
3) Pendekatan Post-Modernis
Paham postmodern merupakan paham yang didukung oleh intelektual-
intelektual andal kontemporer, secara proses politik dan kultur bertujuan untuk
memecah dan membangun kembali kesenian, kebudayaan, dan tradisi intelektual yang
bertumpuk-tumpuk. Terma ini memiliki banyak definisi yang kontradiktif, berkisar dari
faham perpaduan (eclecticisms) dan sampai neo-skeptisisme dan anti-rasionalisme.
Meskipun demikian hal itu adalah sama dengan apa yang disetujui oleh seluruh
kelompok postmodernism yang menggunakan cara beragam pada kesalahan
modernitas, khususnya pada paroh pertama abad 20 yang terkait pada hak untuk
memiliki secara deterministik dan nilai-nilai universal. Sejumlah sarjana di lapangan
studi Islam memasukkan berbagai pendekatan postmodernisme dan menerapkannya
pada kajian hukum Islam. 30
Metode utama seluruh pendekatan postmodernisme adalah dekontruksi.
Dekonstruksi adalah sebuah ide, proses dan proyek yang diajukan oleh Jacques Derrida
pada tahun 1960 an sebagai pengembangan dari dekonstruksinya Heidegger yang
dielaborasi dari tradisi metafisika barat. Dekonstruksi merupakan sebuah taktik de-
centering, yaitu menolak penindas dan kesewenang-wenangan penguasa. Derreda
bertujuan membongkar logosentris yang merupakan pengkombinasian term yang
dibawa dari logos (wahyu Tuhan) dan sentris (menjadi pusat). Dari bahasa perancis de
dan construire (kata bendanya decontruction) yang mencita-citakan untuk membongkar
bangunan yang sudah mapan, mepreteli sebuah konstruksi. 31
Derrida percaya bahwa dua term logosentris (seperti baik, laki-laki, putih,
atau Eropa) tidak diharuskan menjadi pusat otoritarian dan penindasan, jika term lain
(seperti syetan, perempuan, hitam, atau Afrika) ditetapkan secara marginal
(dipinggirkan). Dia juga mengatakan bahwa ‘logika lain’, melalui dekonstruksi dari
term logosentris dicapai oleh perubahan term peminggiran sehingga menjadi
memungkinkan sebagai term logosentris yang menempati pada pusat (center). 32
Derrida menolak mendefinisikan dekonstruksi, sebab definisi adalah
pembatasan, sementara dekonstruksi adalah menerobos batas. Dekonstruksi merupakan
dekonstruksi atas teks dan pembacaan atas teks. Dekonstruksi selalu menggunakan
pembacaan dengan double reading, yaitu sebuah pembacaan yang berkelindan paling
tidak dalam dua motif atau dua lapisan. Satu sisi pembacaan bermaksud menampilkan
kembali apa yang disebut dengan “tafsiran dominan” sebuah teks. Sisi lain pembacaan
ini meninggalkan tatanan ‘komentar’ memperlihatkan titik lemah dan konstradiksi
dalam tafsiran dominan tersebut, kemudian menyajikan pembacaan yang lain. 33
Teori atau proyek Derrida mencegah banyak pembicara atau penulis dari
menjadikan ayat atau teks sebagai penyebab dalam kemangkiran dari pusat atau
keaslian, sesuatu bisa menjadi wacana. Teori ini memiliki suatu dampak pada
implikasi makna, sebab sebuah makna dari makna (pada perasaan umum dari makna 30 Ibid. 180. 31 A. Sumarwan, “Membongkar yangLama Menenun yang baru” dalam Basis, No. 11-12 tahun ke 54 (Jogjakarta: Yayasan BP Basisi, Desember 2005). 16. 32 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy......181. 33 A. Sumarwan, “Membongkar yangLama....... 18.
dan tidak perasaan tertentu yang sudah memiliki tanda) adalah memiliki ilmplikasi
yang tidak terbatas. Sebuah keterbatasan menyerah pada satu tanda dari penandaan.
Dengan pembagian ini, bahwa keterbatasan pada penyerahan satu makna tertentu yang
terbatas, maka penafsiran yang demikian ini perlu didekonstruksi. Dengan demikian
terdapat kultur baru yang tidak dibuat dan terjadi dengan sendirinya atas dasar
gambaran Hasan, sebagai penghancuran (decreation), pemecahan (disintegration),
pembongkaran (deconstruction), peminggiran (de-centrement), pengalihan
(displacement), pembedaan (diffenrence), ketidakberlangsungan (discontinuity),
ketidakbertemuan (disjunctioni), kehilangan (disappearancei), pembusukan
(decompotition), tidak ada pengertian (de-definition), tidak ada mistis (demystification),
tidak ada totalitas (de-totalisation), dan tidak ada legitimasi (delegitimation). 34
a) Post-Structuralism
Post-Strukturalisme merupakan sebuah alat analisis dari postmodernisme,
melalui analisis teks, yang bersumber dari pembicara dan pengetahuan seluruh manusia
dipertimbangkan sebagai tekstual. Bebearpa sarja studi Islam mengambil pendekatan
dekonstruksi post-strukturalis atau decentering untuk analisis teks al-Qur’an. Mereka
memandang sebagai penempatan pada pusat kultur Islam. Konsep wahyu sebagai
sebuah tulisan ditafsirkan kembali atau diubah dari posisi tradisional kepada penafsiran
bahwa sebagai sebuah pesan Tuhan yang berarti Nabi menerima al-Qur’an sebagai
sebuah penjelas pesan dan dibawanya untuk manusia sesuai dengan bahasa dan
konteks kebudayaan mereka. Tujuan dari proyek dekonstruksi ini adalah memberikan
kebebasan manusia untuk memiliki kedaulatan memahami teks wahyu, sebagaimana
yang ditulis oleh Muhammad Arkoun, NasrAbu Zaid, Hasan hanafi, al-tahir al-Haddad,
dan Ebarhim Moosa. 35
Lebih dari itu teori semiotik memerlukan bahwa bahasa tidak dapat secara
langsung mengarah kepada realitas, dan konsep metafisika yang dipertimbangkan
orang, menurut postmodernis dari Nietzsche sampai Derrida, adalah semacam proyeksi
pribadi. Dalam buku Turath wa al-Tajdid, Hasan hanafi mengikuti jejak garis pemikiran
ini, sampai ia menyimpulkan bahwa ketika seorang ulama’ fundamentalis
34 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy..... 181 35 Ibid. 182.
membicarakan tentang Tuhan, tentang keberadaan-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya,
sebenarnya mereka membicarakan tentang kesempurnaan manusia yang menafsirkan
tentang kemungkinan eksistensi yang sempurna. Dia menyebutkan untuk menempatkan
kembali kebenaran dan hakekat term tentang ‘Tuhan, surga, neraka dan akhirat dengan
konsep yang tidak ambigu atas konsep demokrasi, alam dan pemikiran.36
Jasser Auda menyebutkan bahwa Dekosntruksi, dalam sebuah rasa semiotik,
mungkin sebuah ide yang baik atau proses akhir penolakan terhadap struktur sosial
yang menindas dan hukum yang diskrimitaif. Bagimanapun, mengambil sebuah teori
untuk melakukan proses tajdid atas hukum Islam, sebagaimana kelompok post-
strukturalis lakukan, merupakan satu kebutuhan untuk membangun kepercayaan dasar
muslim yang mapan. Sebaliknya, teori ini merupakan teori yang tidak Islami dan
kemungkinan secara materi tidak pernah dapat diaplikasikan.
Setiap muslim menghormati perbedaan, kepercayaan kepada Tuhan, Nabi
Muhammad, dan pesan Tuhan dalam al-Qur’an. Agama Islam sepenuhnya dibangun
dari tiga pondasi ini, karena itu, pendekatan post-strukturalis yang menggunakan
dekonstruksi adalah sangat konseptual tentang Tuhan dan wahyu Tuhan. Teori ini tidak
kredibel untuk pengajuan masalah hukum dan penciptaan. Jasser Auda menyebutnya
dengan kevakuman epistemologi.37
b) Historicity of Means and/or ends
Pendekatan historis postmodern mengusulkan bahwa ide kita tentang teks,
kultur dan kejadian-kejadian adalah ditentukan oleh posisi dan fungsi manusia dalam
keaslian konteks sejarah, sebagaimana juga berkembangnya sejarah kemudian.
Beberapa penganut faham dekonstruksi menerapkannya pada konsep sejarah al-
Qur’an, hanya untuk menyimpulkan bahwa tulisan al-Qur’an adalah sebuah produksi
budaya dari budaya-budaya yang diproduksi oleh sejarah. Oleh karena itu, mereka
mengklaim bahwa al-Qur’an merupakan dokumen sejarah. Untuk memahaminya hanya
dapat dilakukan melalui belajar sejarah tentang komunitas khusus yang ada pada masa
kenabian. Moghissi menganggap bahwa shari’ah tidak cocok dengan prinsip-prinsip
kesamaan manusia. Ibn Warraq menganggap bahwa skema HAM Islam tidak cukup
mendukung terhadap prinsip-prinsip kebebasan. Akhirnya, menurut Moosa, peradilan
36 Ibid. 183. 37 Ibid. 184.
Islam tidak dapat dijadikan dalil untuk visi etis pada pemikiran kontemporer.
Pengalaman yang sama, dalam beberapa kasus, juga terjadi pada sejarah Barat yang
terkait dengan peradilan Barat. 38
Postmodernis juga mengkritik beberapa pemikir modernis untuk memperkuat
teks dasar melalui penafsiran ulang atas ayat-ayat yang mendukung terhadap norma-
norma etika, meskipun ayat-ayat itu sendiri, menurut kepercayaan sejarah, penuh
dengan konflik atas norma tersebut. Contoh mudah yang dapat dikemukakan disini
adalah kritik penafsiran kembali atas kesamaan hak (egalitarianisme) dalam model
politk Islam dan status perempuan dalam hukum Islam. Bagi Moghissi, tidak banyak
gulungan dan lipatan yang dapat merekonsiliasi perintah dan larangan tentang hak-hak
wanita dan kewajiban ide kesamaan gender. Arkoun menyebutnya gerakan penafsiran
menyeluruh sebuah gerakan sekuler disamarkan oleh wacana keagamaan.
Jasser Auda mengatakan bahwa pensejarahan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan
membuat skema HAM dan nilai adalah tidak bermoral. Selanjutnya konsep ini
berlawanan dengan kepercayaan pada sumber ketuhanan yaitu al-Qur’an dan sistem
nilai yang luhur yang telah diaplikasikan oleh Nabi Muhammad. Jasser Auda juga
percaya bahwa kejadian sejarah dan aturan hukum secara khusus yang diteail dalam al-
Qur’an harus difahami melalui budaya mereka, keadaan geografi, dan kontek sejarah
dari pesan-pesan Islam. Berdasarkan atas pemahaman al-Qur’an yang khusus, dapat
diterapkan dengan baik secara universal pada setiap ruang dan waktu. Tujuan moral
dalam beragam cerita al-Qur’an dan tujuan aturan serta nilai-nilai yang menjadi arahan
ijtihad kita untuk membuat proyek khusus ini pada perubahan konteks dalam dimensi
ruang dan waktu, atau keadaan geografis dan sejarah. Hukum yang demikian ini
merupakan hasil dari ijtihad yang tidak pernah bertentangan dengan prinsip nilaimoral
dan maqasid dalam Islam.39
Ayatollah Shamsuddin merekomendasikan bagi pada ahli hukum sekarang
untuk mengambil pendekatan dinamis untuk nusus, dan tidak melihat pada seytiap ayat
sebagai perundang-undangan yang absolut dan universal. Membuka pikiran mereka
untuk kemungkinan perundang-undangan yang bersifat relatif bagi kondisi yang
khusus, dan tidak mengadili hadith dengan konteks yang terputus sebagai kebenaran
38 Ibid. 185 39 Ibid.
dimensi waktu, ruang, situasi, dan masyarakat. Dia lebih lanjut mengklarifikasi bahwa
dia lebih condong pada`pemahaman ini, tetapi tidak ingin mendasarkan pada waktu,
meskipun demikian dia menekankan kebutuhan untuk pendekatan ini untuk mengatur
hubungan wanita, materi keuangan, dan jihad.40
Contoh lain, Fathi Osman mempertimbangkan tentang pertimbangan praktis
yang diberikan pada kesaksian perempuan mengurangi hak laki-laki, sebagaimana
disebutkan dalam QS, 2: 282. Jadi Osman menafsirkan kembali ayat ini agar berfungsi
untuk pertimbangan praktis.
Abdul Karim Soroush menyarankan bahwa ayat seharusnya dibagi pada dua
bagian: esensial (essencial) dan asidental (accidental). Ayat yang asidental ditujukan
untuk berfungsi pada kultur sosial dan lingkungan sejarah dari yang mengirim pesan
utama wahyu. Pandangan lain yang menjelaskan tentang tardisi Nabi (sunnah) adalah
Muhammad shahrur. Ia berpendapat bahwa sebagian sunnah tidak menjadi
pertimbanagn hukum Islam, sebab praktek pengorganisasian komunitas oleh Nabi pada
area yang mengizinkan untuk membangun Negara Arab dan masyarakat Arab pada
abad ke 7, jadi tidak pernah akan menjadi abadi, bahkan jika hal itu benar seratus
persen dan seratus persen otentik.
Ekspresi yang sama disampaikan oleh Muhammad al-Ghazali yang
membedakan antara makna dan akhir (means and ends). Dia memperkenankan masa
habisnya (intiha) bentuk aturan dan tidak untuk kemudian. Dia menyebutkan bahwa
sebuah sistem yang rusak karena perang, sebagai contoh dari makna yang berubah.
Akhir-akhir ini Yusuf al-Qardawi dan Faisal Mawlawi, mengelaborasi pentingnya
pembedaan antara makna dan akhir. Selama mereka menjadi dewan pertimbangan
oragniasi Eropa yang berkaitan dengan fatwa dan riset, mereka mengaplikasikan
tentang konsep kutipan visual tentang awal ramadhan (hilal) yang menjadi awal
dimulainya bulan daripada sebuah akhir bulan. Karena itu, mereka menyimpulkan
bahwa kalkulasi yang murni dapat dimaknai untuk memulai bulan. Yusuf al-Qardawi
juga menerakan pada konsep pakaian muslimah (jilbab) yang dia memandang sebagai
makna belaka untuk mencapai tujuan kesopanan.Menurut pandangan Jasser Auda
40 Ibid. 186.
bahwa perbedaan antara makna dan akhir terbuka untuk kemungkinan menyeluruh bagi
ijtihad baru yang radikal dan hukum Islam. 41
c) Neo-Rationalism
Neo-Rasionalis mengambil pendekatan sejarah untuk hukum Islam dan
merujuk pada ulama’ konvensional Mu’tazilah untuk rujukan tradisional pada
pandangan-pandangan mereka. Ulama’ Mu’tazilah memberikan otoritas akal (‘aql)
sebagai sumber yang independen dan sebagai dasar utama untuk pengambilan dalil
hukum. Bagaimanapun perbedaan antara neo-rasionalis dengan rasionalis lama
Mu’tazilah, secara luas telah diterapkan dalam cara pengambilan dalil al-Qur’an,
Hadith, dan sumber kedua yang lain, adalah sama dengan ulama’-ulama’ Mu’tazilah
klasik. Mu’tazilah mengakui bahwa al-Qur’an sebagai sumber utama hukum
berdasarkan atas akal, sebab menurut akal, baik dan buruk dibedakan atas otoritas al-
Qur’an yang dapat dibuktikan sebagaimana otoritas sunnah dan ijma’. Neo-Rasionalis
bagaimanapun juga telah memberikan pengaruh pada kemampuan akal untuk mencabut
ayat (mansuh). Walaupun demikian, menurut Derrida dan Moosa, akal adalah salah
satu konsep modernitas yang mengambil posisi pusat (dominan), yang bisa
didekonstruksi.42
d) Critical Legal Studies
Studi Kritis atas Hukum (CLS) adalah sebuah gerakan yang berasal dari
Amerika Serikat. Mereka bertujuan untuk mendekonstruksi diterimanya doktrin hukum
untuk mendukung reformasi kebijakan secara pragmatis. Dekonstruksi ini diarahkan
untuk membangun ‘kekuatan’ (power) yang terstruktur dalam hukum. Para filosof dan
aktivis politik dari latar belakang yang beragam bergabung dengan gerakan ini. Seperti
kelompok yang berpegang pada teori feminis dan anti-rasisme. Sejumlah sarjana studi
Islam menggunakan metode CLS untuk menganilis dan mendekonstruksi seluruh
‘kekuatan’ (power) yang mempengaruhi sistem hukum Islam, berkisar pada kekuatan
laki-laki yang ada di suku Arab.43
Seperti kelompok feminisme Islam, tertantang oleh akibat elit laki-laki
tradisional yang menentukan pembentukan sistem peradilan Islam klasik dan
41 Ibid. 187. 42 Ibid. 188. 43 Ibid. 189.
pengumpulan hadith-hadith yang diarahkan untuk membahas hubungan laki-laki dan
perempuan. Bagaimanapun, hal ini perlu dicatat bahwa feminis post-modern Islam
mengambil sebuah pendekatan yang berbeda daripada feminis post-modern yang lain.
Sementara feminis post-modern mendekonstruksi sistem ganda gender, sebuah gagasan
kuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan Feminisme Islam lebih
fokus pada sejarah ‘daya perjuangan’ antara Muslim laki-laki dan perempuan.44
Kedua kelompok modernis dan post-modernis feminisme Islam mengkritik
akibat dari ‘daya juang” otoritas hukum tradisional ini, sebagaimana para Imam, Shakh,
dan Ayatollah. Meskipun demikian, berbeda dengan feminis post-modernis, post-
modern feminisme muslim mengkritisi otoritas al-Qur’an dan Nabinya sendiri. Mernisi,
misalnya, menantang setiap aturan dalam sumber-sumber Islam yang membatasi
perempuan dalam menentukan nasibnya sendiri, dari institusi perkawinan, anak-anak
yang diturunkan secara patriaki, cadar, aturan tentang masa iddah, dan bahkan larangan
prostitusi. Sama halnya, secara radikal penafsiran kembali yang berbeda pada nash
tentang perbedaan jenis kelamin pada ayat dan hadith yang menyebutkan perbedaan
manusia dalam warna kulit adalah hasil karya Tuhan. 45
Beberapa sarjana lain yang mengambil pendekatan CLS ini mempertanyakan
tentang motivasi politik atas Suku Arab yang memiliki kekuasaan penuh, seperti suku
Quraysh dan bani Ummayyah dalam hubungannya dengan masalah peradilan dan
aturan dasar. Misalnya Nasr Abu Zaid, terkait dengan potongan sejarah tentang usul
fiqh yang membahas Suku Qurays berkeinginan untuk merubah tradisi dan budaya
dalam sebuah wahyu. Patricia Crone juga mempertanyakan tentang otoritas Khalifah
Ummayyah yang membentuk hukum. Wael Hallaj secara tegas menolak dan Abdul
Majeed al-Shagheer menulis dengan analisis panjang lebar untuk membuktikan
pandangan Crone yang dianggap keliru. Al-Shagheer, menjelaskan bahwa Imam al-
Shafi’i dan ulama’ lain menyusun usul fiqh untuk melindungi hukum Islam itu dari
keinginan orang-orang yang memiliki kekuasaan, khususnya Ummayyah. 46
44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ibid. 190.
e) Post-Colonialism
Kajian post-kolonial telah dibangun untuk mendukung suara yang terpingirkan
oleh penjajahan barat, dan menolak anggapan barat tentang budaya dan ras yang lebih
baik. Edward Said, mengikuti pendapat Foulcault pada hubungan antara ‘bentuk
pengetahuan dan kekuasaan’, yang menjadi kunci kontribusi utama pada bidang ini. 47
Beberapa sarjana membutuhkan pendekatan post-modern untuk kajian Islam
dalam pemikiran post-kolonial. Pendekatan mereka bertujuan untuk mendekonstrtuksi
globalisasi dan homoginisasi kekuatan barat. Proyek mereka yang salah ini disebar ke
seluruh manusia, dengan anggapan bahwa barat akan menjadi pusat peradaban dunia.
Hal ini merupakan kelanjutan westernisasi dengan kontemporerisasi. Realitas politik
Muslim dan kehidupan masyarakat didefinisikan sebagai agama yang tidak rasional,
dan akhir-akhir ini, promosi yang dilakukan untuk mengangap Islam sebagai ancaman
peradaban Barat. 48
Post-modernisme mengatakan bahwa untuk merayakan perbedaan budaya
yang lain. Post-kolonialisme juga membuktikan adanya beberapa sarjana yang
mengkritisi Islam melalui pendekatan orientalis barat tradisional untuk menunjukkan
kesalahan kebudayaan Islam, dan menganggap bahwa ajaran Islam lebih baik dijadikan
sebagai peradilan tradisional, bahkan lebih buruk merupakan tiruan dari tradisi ini.
Contoh klasik pendekatan orientalis tradisional seperti yang direpresentasikan oleh
karya-karya Goldziher, Schacht, dan Gibb. 49
Pendekatan post-modern untuk hukum Islam menghadapi dua pendekatan
tardisionalis dan modernis melalui pertanyaan konsep kekuatan (power) dan otoritas
ulama’, imam, dan pemimpin politik yang diasumsikan. Bagaimanapun, kelompok
post-modern mengakui sedang menghadapi perang dengan dua posisi (tradisional dan
modernis), melalui pendekatan post-modern menghadirkan dua cara, reduksionis dan
uni-dimensional. Jasser Auda akan mengajukan pola baru yang lebih radikal yaitu kritik
sistem melalui pendekatan multi-dimensional dan holistik. Berikut gambar di bawah
menjelaskan bagaimana ilustrasi posisi kelompok post-modernisme yang terkait dengan
sumber hukum Islam dan level otoritas. 50
47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid. 191. 50 Ibid.
ModernValue/righ
Rasionality
Ruling of Tradisional Madhab
Higher maqasid/interests
Prophetic Traditions
Qur’anic Verses
Radicallycriticised
RadicallyRe-interpreted
Minorly criticised
Supportive evidence
Re-interpreted
Apologetic interpretation
Proof (hujjah) Neo-Colonialism
Secularism
Critical LegalStudies
PoststructuralismPostcolonialism
Anti-Rationalism Historicism
Gambar 6 : Kecenderungan postmodernisme dalam term yang menyumbang
terbentuk aliran
Pendekatan Teori Sistem pada Teori Hukum Islam
1. Menuju ke Arah Validasi Semua Pengetahuan
a. Sakralisasi Ijtihad?
Para ulama fiqih pada umumnya medefinisikan fiqih sebagai hasil dari
pemahaman, persepsi dan pengamatan manusia. Fiqih merupakan persepsi dan
interpretasi seseorang yang bersifat subjektif. Metode ijtihad fiqih dan hasilnya sering
dipresentasikan sebagai ‘aturan Tuhan’ yang tidak bisa diganggu gugat. Ayat-ayat al-
Quran adalah wahyu, tetapi interpretasi ulama’ bukanlah wahyu. Namun demikian,
sering kali persepsi dan interprestasi ini diungkapkan sebagai perintah Tuhan untuk
digunakan berbagai kepentingan orang-orang tertentu. 51
Hasil ijtahid seringkali dimasukkan dalam kategori pengetahuan wahyu,
meskipun hasil hukum dan validasi metode ijtahidnya masih diperselisihkan. Contoh 51 Ibid., 193.
utamanya adalah ijma’ (consensus). Meski terdapat perbedaan besar atas berbagai
keputusan ijma’, namun sebagai ulama’ fiqh menyebutnya sebagai dalil qat’i yang
setara dengan nass (Dalilun Qat’iyyun ka al-Nass), dalil dibuat oleh pembuat shari’at
(dalilun nassabah al-Shari’) dan bahkan menolak ijma’ berarti kafir (jahid al-ijma’
kafir). Pembaca yang familier dengan literatur fiqh tradisional akan mengetahui bahwa
ijma’ sering dijadikan ‘klaim’ untuk menghakimi opini/pendapat orang lain yang
berbeda. Ibn Taimiyah sebagai contoh, mengritik buku kumpulan ijma’ (maratib al-
Ijma’) karya Ibn Hazm. Dikatakan, bahwa klaim perkara-perkara yang sudah di-
Ijma’kan dalam kitab tersebut tidak akurat, sebab persoalannya masih khilafiah. Seperti
menolak ijma’ dianggap kafir, persoalan tidak ikutnya perempuan dalam shalat
jama’ahnya laki-laki, dan penyelenggaraan pembayaran empat dinar emas sebagai
jiziyah (pajak).52
Jaser Auda berpandangan bahwa Ijma’ bukan merupakan sebuah sumber
hukum, akan tetapi hanya sebuah mekanisme pertimbangan atau sistem pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak. Oleh kaena itu, Ijma’ sering
disalahgunakan oleh sebagian ulama untuk memonopoli fatwa demi sekolompok
“elite”. Sampai sekarang, prinsip-prinsip itu masih sangat mungkin dipakai sebagai
mekanisme untuk membuat fatwa yang bersifat kolektif, khususnya persoalan yang
terkait dengan teknologi modern dan dengan cara memanfaatkan telekomunikasi yang
sangat cepat. Ijma’ juga dapat dikembangkan dalam bentuk partisipasi masyarakat
dalam memutuskan kebijakan pemerintah. 53
Disisi lain, ulama fiqih juga menganggap bahwa metode penalaran analogi
(Qiyas) adalah didukung dan diperintahkan oleh wahyu. Mereka berpendapat bahwa
menganalogikan kasus sekunder (yang tidak terdapat dalam nass) kepada kasus primer
(yang terdapat dalam nass ) adalah keputusan Tuhan (tashbihu far’in bi ‘aslin tashbih
al-shari’). Oleh karena itu, dalam kasus-kasus ijtihadiyah yang menggunakan metode
penalaran analogis, beberapa ulama fiqh mengaggap diri mereka ” berbicara atas nama
52 Ibid. 53 Ibid. 194.
Tuhan”. Hal ini adalah sebuah bencana, yang dikutip Garaoudi, dimana batas antara
firman Tuhan dan perkataan manusia? 54
b. Memisahkan antara wahyu dengan penafsiran
Posisi kelompok para fuqaha, dalam literature hukum Islam dinamakan al-
Musawwibah (para validator), ketika memutuskan berdasarkan atas ‘asumsi-asumsi’
(zunun) untuk merefleksikan teks. Posisi ini harus jelas, dimana hasil pikiran manusia
dengan teks wahyu. Dengan demikian, seseorang hendaknya memisahkan antara nassh
dengan hasil ijtihad, antara wahyu dengan penafsiran dari perspektif seseorang dalam
memahami wahyu. Sebab, fiqh merupakan refleksi pengamatan manusia berdasarkan
sistem-sistem tertentu. 55
Para validator (al-Musawwibah) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam
kebenaran dari hasil ijtihad pada mujahidun. Dengan demikian terdapat perbedaan opini
hukum terjadi bertentangan dan perbedaan pendapat. Semua itu merupakan ekspresi
yang diperbolehkan dan kesemuanya adalah benar. al-Musawwibah dalam kelompok
ini tergolong ulama fiqih filusuf, semisal Abul Hasan Ay’ari, Abu Bakar ibn al-‘Arabi,
Abu Hamid al-Ghazali, ibn Rusyd dan sejumlah ulama Mu’tazilah. Al- Ghazali
mengungkapkan pandangan mereka, bahwa hukum Tuhan bergantung pada “keputusan
hukum fiqh perpektif ‘ulama fiqh. Apa yang diputuskan ulama fiqh adalah yang paling
mungkin benar”. 56
Sebuah pendekatan sistem hukum Islam membutuhkan arahan suatu sistem
kepada pemikiran ontologis dari sebuah kalimat. Oleh karena itu penerapan keunggulan
sistem cognotive nature akan memastikan pada penyimpulan para validator (al-
musawwibah) ketika memutuskan suatu putusan hukum apakah mungkin berada pada
posisi benar dan fuqaha yang lain memiliki opini lain yang bisa mengkoreksi atas
putusan tersebut.
Berdasarkan atas sistimatika pembagian shari’at yang datangnya dari fiqh atau
pemahaman, (lihat gambar 7: diagram hubungan antara fiqh, shari’ah, ‘urf dan qanun
54 Ibid. 55 Ibid. 56 Ibid.
dan lihat gambar 8: diagram hubungan antara fiqh, shari’ah, ‘urf dan qanun menurut
ulama’ tradisional). Hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata, pemahaman tentang
posisi fiqh. Jadi fiqh digeser dari posisi “pengetahuan wahyu” kepada posisi
“pemahaman manusia yang dihasilkan dari pengetahuan wahyu”, turun keluar dari
lingkaran pengetahuan wahyu. Oleh karena itu, jelas perbedaan antara shari’ah dengan
fiqh. Hal ini berimplikasi pada bahwa tidak ada lagi praktek fiqh yang dikualifikasikan
sebagai materi keyakinan, tanpa memperhatikan pertimbangan otentisitas (thubut),
implikasi bahasa (dilalah), ijma’ dan pemikiran qiyas. 57
Lebih jauh lagi, berdasarkan atas pembedaan antara tipe-tipe tradisi kenabian
(sunnah), menurut maqasid, kedudukan tradisi kenabian (sunnah) digeser keluar dari
lingkaran “pengetahuan wahyu”. dan seksi yang lain diturunkan kepada posisi diagram
bergaris yang membawa kepada term teori sistem. Diagram bergaris ini merupakan
seksi tradisi kenabian yang membuat tujuan tertentu, yang menurut al-Qarafi dan Ibn
Ashur mengusulkan, karena itu diturunkan pada garis tebal antara wahyu dan keputusan
manusia. 58
Tradisi kenabian meliputi tiga kategori; (a) sebagai pembawa risalah kenabian
(al-tasarrufu bi al-tabligh), (b) sebagai seorang hakim dan pemimpin (teks harus
difahami sesuai konteks yang dimaksud), dan (c) sebagai manusia biasa. Tiga kategori
ini secara otomatis membawa konsekwensi tersendiri. Peran Nabi pada item (a) dan (b)
masih dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan hukum.
Misalnya ketika Nabi menyelesaikan sengketa diantara sahabat. Meskipun demikian,
tidak semua perilaku nabi (a) dan (b) dapat dijadikan sebagai rujukan, kecuali yang ada
korelasinya secara kontekstual, dapat dijadikan rujukan. Adapun pada item (c) Nabi
kapasitasnya sebagai manusia biasa, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai bagian
rujukan untuk memutuskan hukum. Sebagi conto, ketika Nabi memakai gamis, maka
hal ini harus difahami sebagai bagian dari budaya arab dan bukan bagian dari misi
kenabian. Hal ini berbeda ketika Nabi melaksanakan shalat. Dalam konteks ini posisi
Nabi harus difahami sebagai pembawa risalah ketuhanan agar dicontoh. 59
57 Ibid. 195. 58 Ibid. 59 Ibid. 196.
‘Urf (tradisi/adapt) atau dalam makna lain “kondisi social” tidak bisa dinafikan
mempunyai peran dalam proses pengambilan keputusan hukum. ‘Urf sebagai bagian
dari hukum. Lebih mudahnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini, yang
menggambarkan hubungan antara fiqih, shari’ah, dan qanun:
Gambar 7:
Tradisi Kenabian
Gambar 8:
2. Menuju ke Arah Holistik (Nahwa al-Dalil al-Kulli)
a. Ketidak-pastian Dalil Tunggal (ahad)
Beberapa ahli hukum memperhatikan pada pembatasan pendekatan
reduksionis dan atomistik yang biasa digunakan untuk usul fiqh. Bagaimanapun kritik
mereka atas atomisme didasarkan pada hubungan tidak pasti sebagai perlawanan atas
dua posisi yang bertentangan yaitu kepastian. Seseorang harus berhati-hati dalam
Wahyu/Shari’ah
Al-Qur’an
(a)
(b)
(c)
Urf Qanun
Shari’ah
Qur’an
Tradisi kenabian
Fiqh
‘Urf
Qanun
Fiqh
menggunakan dalil-dalil ahad, karena seringkali bersifat dugaan (zanni). Fakhruddin al-
Razi, meyimpulkan berbagai sebab, “mengapa suatu dalil dapat bersifat dugaan
(zanni)”?:60
1) Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal dapat dibatasi oleh kepastian keadaan
tertentu, tanpa kita ketahui.
2) Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal bersifat metaforis.
3) Referensi kebahasan kita dari ahli Bahasa Arab yang mungkin salah
4) Grammer Bahasa Arab (nahwu-saraf) disampaikan kepada kita melalui syair-
syair Arab kuno melalui riwayat individual (riwayat ahad). Riwayat ini tidak
memiliki kepastian atas keaslian syair, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan
grammar.
5) Kemungkinan Nass memiliki banyak makna.
6) Adanya kemungkinan satu kata atau lebih pada nasss telah diubah, dalam waktu
yang lama, padahal perubahan makna dalam satu waktu dapat merubah makna
aslinya.
7) Kemungkinan Nass punya makna yang tersembunyi (khafi), yang tidak dapat
dimengerti oleh kita.
8) Kemungkinan Nass sudah dibatalkan tanpa sepengetahuan kita.
9) Keputusan hukum kemungkinan didasarkan kepada Nass difahami oleh akal
terasa ‘aneh’. Antara makna teks dengan realitas rasional tidak bisa diterima. 61
Jasser Auda menambahkan sembilan kesimpulan sebab di atas sebagai
berikut.
a) Terdapat kemungkinan nass tunggal dalam memiliki arti tertentu, kontradiktif
dengan nass tunggal yang lain (Ta’arud al-Nass), yang demikian ini terjadi pada
sejumlah besar nass, terdapat kajian khusus tentang nass yang berlawanan tersebut
(al-muta’arid).
b) Kemungkinan terjadi kesalahan susunan dalam menyampaikan teks Hadits ahad,
yang kebanyakan terdiri dari narasi kenabian.
60 Ibid. 197 61 Ibid.
c) Kemungkinan terjadi perbedaan interpretasi terhadap beberapa nass tunggal yang
mempengaruhi cara kita membayangkan makna dan implikasinya. 62
Latar belakang filsafat al-Razi ini dikontribusikan bagi apresiasianya
bagaimana mendalaminya atas klaim kepastian dalil verbal yang tunggal.
Bagaimanapun, perhatian al-Razi dengan ketidakpastian dalil tunggal tidak
membawanya untuk melihat problem utama dari pendekatan dalil tunggal, yang
didasarkan atas hubungan kausalitas.
b. Prinsip-prinsip Holistik Tradisional dan Modern
Beberapa ahli hukum tradisional telah menekankan pentingnya menggunakan
holistik (al-dalil al-kulli). Al-Juwayni, sebagai contoh, yang menyarankan agar
menggunakan prinsi keunggulan holistik hukum Islam untuk menentukan dalil hukum
agar memenuhi prosedur yang tepat, ia menyebut sebagai ‘analogi holistic’ (qiyas
kulli). Al-shatibi, mempertimbangkan usul fiqh mendasarkan pada penonjolan
universalitas atau holistik untuk mengungkapkan hukum (kulliyat al-shari’ah). Dia juga
memberikan prioritas pada dasar-dasar holistic (al-qawa’id al-kulliyah) pada keputusan
dalil tunggal maupun parsial. Alasannya adalah putusan dalil tunggal ataupun parsial
untuk mendukung dasar-dasar holistik, dimana tujuan (maqasid) harus dipelihara.63
Kelompok Islam modern mempertajam kekurangan umum dari pendekatan
parsial dan individual hukum Islam. Sarjana kontemporer mencoba memperbaiki
kewajiban individual (al-fardiyah) dalam gagasan maqasid. Termasuk Ibn Ashur
memberikan prioritas maqasid untuk masyarakat bukan hanya individu. Demikian pula
teorinya Rashid Rida tentang reformasi dan hak asasi. Juga teorinya Taha al-Alwani
tentang maqasid untuk pengembangan peradaban di bumi. Dan juga teorinya yusuf al-
Qardawi tentang Universal maqasid berbasis al-Qur’an untukmembangun keluarga dan
bangsa. Bagaimanapun, karena aliran modern mengambil langit filsafat abad 19, maka
abad 20 Islam modern tidak dapat keluar dari tradisi ‘sebab akibat’ (kausalitas), sebagai
dasar tatakerja teologi. 64
62 Ibid. 198. 63 Ibid. 199. 64 Ibid.
Modernis Islam akhir-akhir ini mengintrodusir aplikasi yang signifikan tentang
prinsip holisme ini yaitu pola tafsir tematik. Tafsir Hasan Turabi yang berjudul al-
tafsir al-Tawhidi jelas memperlihatkan pendekatan holisme. Turabi menguraikan
bahwa pendekatan kesatuan (tawhidi) atau holistik (kulli) memerlukan sejumlah
metodologi pada level yang beragam. Pada level bahasa membutuhkan hubungan
dengan bahasa al-Qur’an ketika bahasa penerima pesan-pesan al-Qur’an pada waktu
wahyu diturunkan. Pada level pengetahuan manusia membutuhkan sebuah pendekatan
holistik untuk memahami dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat dengan seluruh
jumlah komponen yang banyak dan ketentuan yang memerintah mereka. Pada level
topik membutuhkan hubungan dengan tema-tema tanpa memperhatikan tatanan wahyu,
selain untuk menerapkan pada kehidupan sehari-hari. Dalam batasan ini termasuk
orang-orang yang tanpa memperhatikan ruang dan waktu mereka. Ini juga
membutuhkan kesatuan hukum dengan moralitas dan spiritualitas dalam satu
pendekatan yang holistik. 65
Holisme
(al-maqasid al-kulliyah)
Gambar 9 : Ilustrasi holisme model Hasan Turabi dalam pemahaman al-Qur’an
Pada era kontemporer saat ini, menurut Jaseer Auda, prinsip holistic dengan
menggunakan sistem filosofis dapat diperankan sebagai sarana pembaharuan. Hal itu 65 Ibid. 199-200.
Maqasid
Bahasa
Pengetahuan manusia
Topik
Ruang & waktu
Ruang & waktu Tema-
tema
tidak terbatas pada sisi hukum Islam saja, tetapi juga pad ‘Ilm al-Kalam (Filosofi
agama). Secara singkat, prinsip penciptaan (dalil al-ikhtira’) lebih mengandalkan pada
“ketidakpastian tindakan tanpa sebuah dasar tujuan” dari pada “ketidakpastian tindakan
yang didasari sebab”. Prinsip-prinsip perlindungan (Dalil al-ri’ayah) akan lebih
bergantung kepada “keramahan manusia pada lingkungan ekosistem dan subsistem”
daripada dalil klasik yang dikemukankan tentang “klaim pembenaran”. Demikian juga
tentang prinsip wujud/eksistensi (dalil al-wujud) akan lebih bergantung pada desain
integrative dan sistematis alam semesta, dari pada argumentasi kosmologi klasik
tentang “transisi pertama” . 66
3. Menuju ke Arah Keterbukaan dan Pembaharuan
Suatu sistem harus terbuka dan dapat menerima pembaharuan, supaya bisa
tetap “hidup”. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk merombak pendekatan
sistem hukum Islam. Pertama, merubah ‘pola pandang’ atau ‘tradisi pemikiran’ ulama’
fiqh. Yang dimaksud dengan tradisi pemikiran adalah kerangka mental ulama fiqh dan
kesediaan mereka berinteraksi dengan dunia luar. Kedua, membuka diri pada filsafat
yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran pembaharuan sistem hukum Islam.67
a. Perubahan keputusan dengan tradisi pemikiran
Selama ini, dalam pandangan Jasser Auda, ulama fiqh masing sering berfikir
secara “eksklusif”. Sebagai contoh: pernyataan sebagian ulama’ Ahl al-Sunnah yang
meyakini bangsa Arab sebagai lebih tinggi derajatnya dibanding dengan bangsa non
Arab. Pernyataan ini jelas merupakan diskriminassi etnis yang seharusnya tidak terjadi.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan maqashid pada era sekarang ini, logika berfikir
seperti itu tidak boleh digunakan lagi.68
Diagram di bawah ini (gambar 10) mengilustrasikan posisi, dimana
“pandangan dan wawasan luas ahli hukum” berperan di dalam sistem hukum Islam.
Dalam diagram itu juga terdapat posisi dimana ahli hukum yang berpengetahuan luas
menjadi sentral dalam menstranformasikan fiqh. Termasuk di dalamnya pengetahuan 66 Ibid. 201
67 Ibid. 68 Ibid. 210
pada al-Qur’an dan tradisi kenabian. Dengan demikian segala sisi dapat
dikombinassikan dalam rangka memproduksi fiqh. Namun demikian, wawasan yang
luas harus mempunyai kompetensi, sesuai dengan basis keilmuan yang diperlukan.
Sebab, jika ahli hukum tidak memiliki kompetensi dan wawasan luas, maka ia tidak
akan dapat merumuskan keputusan fiqh secara akurat. 69
Gambar 10: Pandangan ahli hukum menjadi faktor utama dalam membentuk fiqh
b. Pembaharuan dengan Keterbukaan Filsafat
Disisi lain, terjadi penolakan para ulama’ terhadap filsafat Yunani dan metode
berfikir lain. Sebab kesemuanya dinilai ‘tidak bersumber dari Islam’. Sebagai contoh,
al-Ghazali mengkritik keras Filsafat Yunani dan orang-orang Islam yang mengikutinya.
Namun pada kesempatan lain al-Ghazali menerima logika Aristoteles. Dalam pada itu,
al-Ghazali menggunakan akar bahasa Arab yangh secara langsung diperoleh dari al-
Qur’an dan istilah hukum yang sudah dikenal, sebagai ganti dari Istilah Filsafat Barat.
Misalnya, al-Mahmul (sifat predikat), menjadi al-hukm (aturan), al-hadd al-awsat
(istilah menengah) menjadi al-‘illah (sebab), al-muqaddimah (dasar pemikiran)
69 Ibid.
Wahyu/Shari’ah
Al-Qur’an
(a)
(b)
(c)
Fiqh
Ahli hukum
Tradisi Kenabian
Wawasan luas yang kompeten
menjadi al-asl (aturan dasar), al-natijah ( kesimpulan) menjadi al-far’ (aturan rinci),
dan al-mumkin (kemungkinan) menjadi al-mubah (diperbolehkan). 70
Meskipun al-Ghazali populer sebagai penyebab mandegnya perkembangan
teori dan pemikiran metdologi hukum Islam dari luar. Usul Fiqh tetap meneruskan arah
kebahasaan yang bermuara pada penurunan logika. Pemikiran sistem fiqh melanjutkan
pada sistem proposisi yang berhubungan dengan ‘perintah dan larangan’.
Analogi terdekat untuk menjelaskan sistem pemikiran fiqh tradisonal dalam
waktu modern adalah menggunakan logika deontic. Walaupun logika deontic adalah
sebuah term yang diciptakan oleh von Wright pada pertengahan abad ke duapuluh, satu
pemberitahuan bahwa standar sistem von Wright terkait dengan logika modal dan
aksioma utama, sesungguhnya lebih sama dengan pemikiran tardisional fiqh. Seperti
logika: “jika pekerjaan yang kita lakukan mengharuskan dengan sesuatu yang lain,
maka sesuatu yang lain itu harus juga dikerjakan.” (ma la yatimmu al-wajib illa bihi
fahuwa wajib).71
Itu sekedar gambaran bahwa para ulama fiqh masih belum mampu
mengembangkan keterbukaan dalam berfilsafat, dan menganggap bahwa sesuatu yang
datangnya bukan dari Islam adalah sebagai sesuatu yang salah dan harus dihindari.
Logika berfikir yang demikian dalam konteks pengembangan maqhasid saat ini sangat
sulit bisa diterima.
4. Menuju ke Arah Multidimensi
Hal yang sangat penting untuk difahami adalah bagaimana mendudukkan
Nass. Dalam pengetahuan ulama’ tradisional, sesuai dengan pemahaman yang
terdapat pada kitab klasik, konsep dalil Nass dibagi menjadi dua: Qat’i (sudah pasti)
dan zanni (belum pasti). Kemudian Nass Qat’i ini, oleh ulama’ tradisional dibagi
menjadi tiga, sebagaimana pengamatan Jasser Auda, yaitu Qat’iyyat al-Dilalah
(penunjukan pasti), Qat’iyyat al-Thubut (keotentikannya pasti), dan al-Qat’i al-mantiqi
(logikanya pasti).72 70 Ibid. 209. 71 Ibid. 72 Ibid. 214.
Sebenarnya konsep Qat’i ini yang merumuskan adalah ulama’ tradisional
berdasarkan dugaan mereka, yang kemudian dinyatakan sebagai ”kebenaran pasti”.
Menurut Jasser Auda, saat ini, untuk mengukur suatu “kebenaran” hendaknya diukur
dengan; apakah ditemukan bukti pendukung atau tidak?. Semakin banyak bukti
pendukung, maka semakin kuat tingkat “kebenaran pastinya”.
Selain itu juga terdapat permasalahan dalam istilah ta’arud al-adilah
(kontradiksi antara teks). Sebab, sebenarnya yang konstradiksi adalah dari sisi bahasa
saja, bukan pada sisi logika yang selalu dikaitkan dengan waktu saat teks dirumuskan.
Jika sisi logika ini dipakai, yang menjadi acuan adalah : apakah ‘seara substansi”
terdapat pertentangan atau tidak atas teks-teks tesebut. Karena itu, hendaknya aspek
historis sosiologis berperan dan dilibatkan di dalam menyikapi permasalahan ta’arud
al-adillah (Kontradiksi antara teks). Untuk mengatasi problematika ini, maka para
ulama’ fiqh seharusnya menggunakan kerangka maqashid, yakni mengambil skala
prioritas pada teks dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang ada dan tidak
menganggap satu teks bertentangan satu sama lain. Sebab, bagaimana mungkin firman-
firman Allah yang diturunkan oleh Allah sendiri saling bertentangan (kontradiksi)?
Membenarkan permasalahan ta’arud ini, justru akan merendahkan Allah dan menuduh
bahwa firman Allah tidak sempurna. 73
Pendekatan multy-dimensional dikombinasikan dengan pendekatan maqasid,
maka akan dapat memberikan solusi bagi pertentangan dua dalil yang dilematis.
Contoh yang dapat dipertimbangkan adalah seperti satu atribut yang mengandung
dimensi negatif dan positif. Dua dalil mungkin dalam satu pendapat dalam term satu
atribut, seperti dalam masalah perang dan damai, keteraturan dan kekacauan, berdiri
dan duduk, laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Jika kita hanya tertuju pada satu
dimensi, maka kita tidak akan menemukan jalan untuk penyelesaiannya.
Bagaimanapun, jika kita memperluas dari satu ruang dimensi kepada dua dimensi, yang
kedua adalah maqasid, yangmemberikan kontribusi dalil, maka kemudian kita akan
dapat menyelesaikan pertentangan tersebut dan memahami atau menafsirkan dalil
73 Ibid. 216
dalam kontek yang utuh. 74 berikut ilustrasi tentang dua atribut yang bisa menjelaskan
dimensi negatif dan positif.
Gambar 11: Ilustrasi tentang dua atribut yang bisa menjelaskan dimensi
negatif dan positif.
5. Menuju ke Arah pengambilan Maqashid
Subsistem dalil kebahasaan dalam usul fiqh dapat mencapai tingkat maqasid
melalui usulan sebagai berikut:
a) Bahwa implikasi dari maqasid (dilalah al-maqasid) harus ditambahkan ke dalam
implikasi kebahasaan dari nass. Meskipun demikian, secara relatif bisa diarahkan
kepada implikasi yang lain. Tetapi bergantung pada situasi dan kepentingan
maqasid itu sendiri.
b) Kemungkinan dari kekhusunan (takhsis), ta’wil, dan naskh yang memiliki tiga tipe
kriteria yang berbeda, yaitu kejelasan nass, nama, muhkam, nass, zahir, dan
mufassar. Maqasid harus dibangun dari spesifikasi dan penafsiran. Oleh karena itu
74 Ibid. 223
Atribut Negatif Atribut positif
Dalil kedua Dalil Pertama
Capaian maqasid /maslah
konsep naskh harus diterapkan secara betahap untuk difahami dalam rangka
mencapai maqasid sebagai kemurahan hati dari hukum Islam.
c) Maqasid merupakan ekspresi yang juga diputuskan pada validitas implikasi yang
berlawanan. Hal ini diputuskan melalui perdebatan yang logis. Jika ada
pertentangan dalil, maka tujuan tertinggi maqasid yang menjadi pertimbangan
utama.
d) Nass yang menjadi landasan hukum maqasid tertinggi selalu diekspresikan oleh
nass yang umum dan lengkap, sebagai ketentuan umum, bukan didasarkan atas
nass khusus atau tidak sempurna dari ayat yang bersifat individual. Oleh karena
itu, ayat yang bersifat individual tidak dapat mengapus atau menjadi pertimbangan
untuk kerangka kerja umum dari maqasid ini.
e) Hubungan antara term berkualitas dan tidak berkualitas yang menangani kasus
berbeda, yang terdapat pada sebuah materi pandangan yang berbeda, harus
didefinisikan pada capaian maqasid yang tertinggi, daripada sekedar
mempertimbangkan aspek kebahasaan dan aturan logika.75
Contoh pengambilan maqashid dalam metode hukum Islam adalah sebagai
berikut:
a. Istihsan berdasarkan maqashid
Selam ini, Istihsan difahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas.
Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat (sebab),
tetapi pada maqashidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk
mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqashid-nya secara langsung.
Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum) perampok, setelah ia
terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat untuk
menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah
seseorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum?
Contoh ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan
75 Ibid.231-232.
memahami “maqashid” dalam penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau
menggunakan Istihsan, dapat mewujudkan maqashid melalui metode lain yang menjadi
pilihannya.76
b. Fath Dharai’ untuk mencapai Tujuan yang Baik
Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath Dharai’ di samping
Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang
dilarang harus diblokir (sadd Dharai’) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke
tujuan yang baik harus dibuka (Fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas
harus didasarkan pada maqashid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak
membatasi diri pada sisi konsekwensi berfikir negatif saja, tetapi memperluas ke sisi
pemikiran positif. 77
c. ‘Urf (tradisi/adat) berdasarkan Maqashid
Ibn Ashur menulis maqashid Shari’ah dalam pembahasan ‘urf, yang ia sebut
sebagai “universalitas hukum Islam”. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan ‘urf pada
sisi riwayat, melainkan lebih pada maqashid-nya. Ringkasan argumen Ibn Ashur adalah
hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan, hukum Islam dapat
diterapkan kepada semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan pesan
yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadith. Memang Nabi berasal dari
bangsa Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang
kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi,
maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal tidak dibawa ke kancah tradisi
internassional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak dapat digapai dan sesuai dengan
maqashid Shari’ah. Oleh sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap
sebagai peraturan universal. Ibn ‘Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsrkan
teks melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn ‘Ashur membaca
riwayat dari sisi tujuan moral yang lebih tinggi, daripada membacanya sebagai norma
yang mutlak.78
76 Ibid. 239. 77 Ibid. 241. 78 Ibid. 242.
d. Istishab berdasarkan maqashid
Prinsip Istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan
prinsip ini harus sesuai denagn maqashid-nya. Misalnya, penerapan “praduga tak
bersalah sampai terbukti bersalah” (al-aslu Bara’at al-Dhimmah), maqashid-nya adalah
untuk mempertahankan tujuan keadilan. Penerapan “praduga kebolehan sesuatu sampai
terbukti ada dilarang (al-aslu fi al-ashya’i al-Ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-
tahrim) maqashid-nya untuk mempertahankan tujuan kemurahan hati dan kebebasan
memilih.79
Penutup
Mempertimbangkan maqashid menjadi sutau sistem hukum merupakan
keharusan di zaman kontemporer ini. Sebab tantangan hukum Islam bukan saja terkait
dengan internal umat Islam sendiri, tetapi juga sejauhmana ajaran Islam mampu
memberikan kontribusi pada peradaban modern. Dengan pendektan sistem ini akan
mampu memberikan solusi bagi problematika hukum Islam yang berlawanan dengan
peradaban modern selama ini.
Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-
valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga,
keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan
ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas
berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima,
mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam.
Pendekatan maqashid adalah pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik
(kulliyun) dan tidak membatasi pada teks ataupun hukum parsialnya saja. Namun lebih
mengacu pada prinsip-prinsip tujuan universal. Pendekatan dengan mengunakan
pemahaman maqashid bernilai tinggi dan dapat mengatasi berbagai perbedaan, seperti
gap antara Sunni dan Shi’ah, ataupun gap politik umat Islam. Maqashid merupakan
sebuah budaya yang sangay diperlukan untuk konsiliasi umat, sehingga mampu hidup
berdampingan secara damai.
79 Ibid. 243.
Maqashid hendaknya dijadikan sebagai tujuan pokok dari semua dasar
metodologi linguistik dan rasional dalam ijtihad, terlepas dari berbagai varian metode
dan pendekatannya. Karena, merealisasikan maqashid yang dijadikan sebagai sistem,
pendekatannya akan dapat menggapai keterbukaan, pembaharuan, realistis, dan
fleksibel dalam sistem hukum Islam. Dengan demikian proses ijtihad akan menjadi
efektif dan realistis sesuai dengan maqashid Shari’ah, yang intinya meraih
kemaslahatan (jalnul masalih).
Daftar Pustaka
Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of islamic Law: A Systems Approach, London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007.
http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 29 Januari 2011
Masud, Muhammad Khalid . Shatibi’s Philosophy of Islamic Law, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000.
Sumarwan, A. “Membongkar yangLama Menenun yang baru” dalam Basis, No. 11-12 tahun ke 54. Jogjakarta: Yayasan BP Basisi, Desember 2005.