maqasid al-shari’ah sebagai filsafat hukum islam

43
MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM SEBUAH PENDEKATAN SISTEM VERSI JASSER AUDA Oleh Agus Afandi Abstrak: Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer, bukan justru berseberangan sebagaimna akhir-akhir ini wajah Islam ditampilkan dengan terorisme dan kualitas hidup umat Islam dengan tingkat capaian Human Developmen Indexs (HDI) yang rendah. Oleh karena itu, Jasser Auda membagi pemikiran hukum Islam pada tiga kelompok yaitu Tardisionalis, Modernis, dan Post-modernis. Tiga kelompok ini belum menjawab persoalan kontemporer dengan tepat, sehingga hukum Islam masih bersifat serpihan, tertutup, apologetis, dan terpaku pada dalil verbal. Teori yang dihasilkan dari riset Jasser Auda berupa validasi beberapa metodologi ijtihad yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari’ah. Secara praktis riset ini menghasilkan aturan-aturan Islam yang kondusif terhadap nilai-nilai keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al- shari’ah. Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima, mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam. Kata Kunci: maqasid shari’ah, pendekatan sistem Pendahuluan Jasser Auda mempertanyakan tindakan teroris atas nama hukum Islam, ketika aksi teror pada berbagai kota termasuk di kota London tempat ia bekerja. Jasser mengangap bahwa hal itu merupakan sebuah tindakan kriminal yang mengatasnamakan hukum Islam, oleh beberapa orang yang merasa bertanggungjawab atas tindakan tersebut. Jasser menjadi marah dan mempertanyakan. Apa hukum Islam itu? Apakah Hukum Islam secara diskriminatif membolehkan membunuh orang pada kota yang penuh kedamaian ini? Dimanakah Hikmah ( wisdom) dan perlindungan bagi setiap orang (people welfare) yang menjadi landasan dasar hukum Islam? 1 1 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of islamic Law: A Systems Approach, (London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007), xxi.

Upload: fafahay

Post on 31-Dec-2015

454 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hukum Islam

TRANSCRIPT

Page 1: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM SEBUAH PENDEKATAN SISTEM VERSI JASSER AUDA

Oleh Agus Afandi

Abstrak: Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer, bukan justru berseberangan sebagaimna akhir-akhir ini wajah Islam ditampilkan dengan terorisme dan kualitas hidup umat Islam dengan tingkat capaian Human Developmen Indexs (HDI) yang rendah. Oleh karena itu, Jasser Auda membagi pemikiran hukum Islam pada tiga kelompok yaitu Tardisionalis, Modernis, dan Post-modernis. Tiga kelompok ini belum menjawab persoalan kontemporer dengan tepat, sehingga hukum Islam masih bersifat serpihan, tertutup, apologetis, dan terpaku pada dalil verbal. Teori yang dihasilkan dari riset Jasser Auda berupa validasi beberapa metodologi ijtihad yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari’ah. Secara praktis riset ini menghasilkan aturan-aturan Islam yang kondusif terhadap nilai-nilai keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al-shari’ah. Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima, mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam. Kata Kunci: maqasid shari’ah, pendekatan sistem

Pendahuluan

Jasser Auda mempertanyakan tindakan teroris atas nama hukum Islam, ketika

aksi teror pada berbagai kota termasuk di kota London tempat ia bekerja. Jasser

mengangap bahwa hal itu merupakan sebuah tindakan kriminal yang mengatasnamakan

hukum Islam, oleh beberapa orang yang merasa bertanggungjawab atas tindakan

tersebut. Jasser menjadi marah dan mempertanyakan. Apa hukum Islam itu? Apakah

Hukum Islam secara diskriminatif membolehkan membunuh orang pada kota yang

penuh kedamaian ini? Dimanakah Hikmah (wisdom) dan perlindungan bagi setiap

orang (people welfare) yang menjadi landasan dasar hukum Islam? 1

1 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of islamic Law: A Systems Approach, (London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007), xxi.

Page 2: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Ibn al-Qoyyim mengatakan:

Shari’ah is based on wisdom and achieving people welfare in this life and afterlife. Shari’ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does non belong to the shari’ah, even if it is claimed to be so according to same interpretation.2

Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi

setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Shari’ah merupakat keseluruhan dari

keadilan, kedamaian, kebijakan, dan kebaikan. Jadi setiap aturan yang

mengatasnamakan keadilan dengan ketidakadilan, kedamaian dengan pertengkaran,

kebaikan dengan keburukan, kebijakan dengan kebohongan, adalah aturan yang tidak

mengikuti shari’ah, meskipun hal itu diklaim sebagai sebuah interpretasi yang benar.

Dimanakah Hukum Islam diletakkan?

Umat Islam jumlahnya hampir seperempat penduduk dunia, yang terbentang

mulai dari Afika Utara sampai Asia Timur. Demikian juga banyak muslim minoritas

yang tersebar di wilayah Eropa dan Amerika. Akan tetapi jika dilihat dari ukuran

tingkat kemajuan (Human Development Indek, HDI) umat Islam tergolong rendah.

Apalagi faktor-faktor HDI yang menjadi ukuran adalah tingkat melek huruf,

pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, keberdayaan perempuan, yang

menunjukkan masih di bawah standar minimal. Jaseed Auda percaya bahwa Hukum

Islam dapat membawa peningkatan produktifitas, perilaku humanis, spiritualitas,

kebersihan, persatuan, persaudaraan, dan demokrasi masyarakat yang tinggi. Akan

tetapi, dalam perjalanannya ke berbagai negara timbul pertanyaan besar, “Dimana

hukum Islam?, Bagaimana hukum Islam dapat berperan dalam kondisi yang krisis ini?

Dimanakah letak kesalahan dengan hukum Islam? 3

Dia berusaha melalui risetnya untuk menunjukkan bahwa hukum Islam

mampu memberikan jawaban atas krisis tersebut dengan pendekatan multi disiplin yang

terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang relevan dari berbagai bidang, yaitu disiplin

umum tentang hukum Islam, filsafat, dan terori sistem. Disiplin Hukum Islam

dimaksud termasuk Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Hadith, dan Ilmu Tafsir. Sedangkan disiplin 2 Ibid., xxii. 3 Ibid.

Page 3: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

filsafat termasuk lapangan logika, filsafat hukum, dan teori pos-modern. Adapun

disiplin teori sistem merupakan disiplin baru yang independen yang mencakup

sejumlah sub-disiplin, antara teori sistem dan analisis sistemik. Sistem teori merupakan

filsafat lain yang anti-modenisme dan mengkritik teori modernisme. Termasuk teori

sistem di dalamnya adalah konsep tentang kesatuan (wholeness), multidimensional,

terbuka, dan mengarah pada tujuan tertentu (purposefulness). 4

Jasser Auda mempersembahkan penelitian multi disiplin yang bertujuan untuk

mengembangkan teori dasar hukum Islam melalui pendekatan sistem. Terapan sekarang

yang tidak tepat dari hukum Islam adalah reduksi terhadap universalitas, satu dimensi

dari multidimensi, dua nilai dari banyak nilai, dekonstruksi terhadap rekontruksi, dan

kausalitas daripada teleologi. Terdapat kehilangan pertimbangan dan fungsi hukum

Islam dari tujuan dan prinsip-prinsipnya sebagai sebuah universalitas. Dan hilangnya

nilai spiritualitas, tidak adanya toleransi, ideologi kekerasan, pemberangusan

kebebasan, dan regim yang otoriter.

Teori yang dihasilkan dari riset ini adalah validasi beberapa metodologi ijtihad

yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari’ah. Secara

praktis akan menghasilkan aturan-aturan islam yang kondusif terhadap nilai-nilai

keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan

berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al-shari’ah.

Jasser Auda diharapkan mampu mengikuti jejak al-Shatibi, meskipun ia juga

mengkritiknya. Al-Shatibi sebagai ‘ulama klasik, tetapi memiliki pandangan yang

modern memiliki kelebihan dibanding dengan ulama-ulama lain. Ibn Ashur

berpendapat bahwa konsep-konsep tentang masalah ibadahnya al-shatibi lebih

sempurna dibanding dengan ‘ulama-‘ulama lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan

efektifitas fatwa-fatwa as-shatibi ketika dia hidup di zaman perubahan di wilayah

Granada, wilayah yang terdiri dari komunitas yang beragam. Bahkan fatwa-fatwanya

telah memberikan dampak perubahan sosial, dari 40 kasus, 34 diantaranya telah efektif

berimplikasi pada perubahan sosial. Diantara jumlah kasus yang berimplikasi pada

perubahan sosial adalah problem teologi 2, keluarga 3, perpajakan 3, ibadah 11, harta

4 Ibid., xxvi.

Page 4: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

kekayaan 4, kontrak dan perdagangan 11. Hanya ada dua kasus yaitu masalah

penafsiran dan prosedur peradilan yang tidak memiliki dampak perubahan sosial.5

Latar Pendidikan dan Aktivitas Jasser Auda

Dr Jasser Auda adalah Associate Professor di Qatar Fakultas Studi Islam

(QFIS), dengan Fokus kajian Kebijakan Publik dalam Program Studi Islam. Dia adalah

anggota pendiri Persatuan Ulama Muslim Internasional, yang berbasis di Dublin,

anggota Dewan Akademik Institut Internasional Pemikiran Islam di London, Inggris;

anggota dari Institut Internasional Advanced Systems Research (IIAS), Kanada;

anggota Dewan Pengawas Global Pusat Studi Peradaban (GCSC), Inggris; anggota

Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuwan Muslim Sosial (AMSS), Inggris; anggota Forum

perlawanan Islamofobia dan Racism (FAIR), Inggris, dan konsultan untuk

Islamonline.net. 6

Ia memperoleh gelar PhD dari University of Wales, Inggris, pada konsentrasi

Filsafat Hukum Islam tahun 2008. Gelar PhD yang kedua diperoleh dari Universitas

Waterloo, Kanada, dengan kajian analisis sistem tahun 2006. Master Fiqh diperoleh

dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada tujuan hukum Islam (maqasid al-

syariah) tahun 2004. Gelar BA diperoleh dari Jurusan Islamic Studies pada Islamic

American University, USA, tahun 2001 dan gelar BSc diperoleh dari Engineering Cairo

University, Egypt Course Av. Tahun 1988. Ia memperoleh pendidikan al-Quran dan

ilmu-ilmu Islam di Masjid Al-Azhar, Kairo. 7

Ia merupakan direktur sekaligus pendiri Maqasid Research Center di Filsafat

hukum Islam di London, Inggris, dan menjadi dosen tamu untuk Fakultas Hukum

Universitas Alexandria, Mesir, Islamic Institute of Toronto, Kanada, dan Akademi Fiqh

Islam India. Dia menjadi dosen mata kuliah hukum Islam, filsafat, dan materi yang

terkait dengan isu-isu minoritas Muslim dan kebijakan di beberapa negara di seluruh

dunia. Dia adalah seorang kontributor untuk laporan kebijakan yang berkaitan dengan

minoritas Muslim dan pendidikan Islam kepada Kementerian Masyarakat dan Dewan

Pendanaan Pendidikan Tinggi Inggris, dan telah menulis sejumlah buku, yang terakhir 5 Muhammad Khalid Masud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000) 101. 6 http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 29 Januari 2011 7 Ibid.

Page 5: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dalam bahasa Inggris adalah: Maqasid Al-Syariah sebagai Filsafat Hukum Islam:

Sebuah Pendekatan Sistem, London: IIIT, 2008. Tulisan yang berhasil diterbitkan

sebanyak 8 buku dan ratusan tulisan dalam bentuk jurnal, tulisan media, kontribusi

tulisan di buku, DVD, ceramah umum, dan jurnal online yang tersebar di seluruh

dunia.8

Ia memperoleh 9 penghargaan diantaranya: 1) Global Leader in Law

Certificate, Qatar Law Forum, Qatar, June, 2009. 2) Muslim Student Association of the

Cape Medal, South Africa, August, 2008. 3) International Centre for Moderation

Award, Kuwait, April, 2008. 4) Cairo University Medal, Cairo University, Egypt,

February, 2006. 5) Innovation Award, International Institute of Advanced Systems

Research (IIAS), Baden-Baden, Germany, August, 2002. 6) Province of Ontario,

Canada, Fellowship, 1994-1996. 7) Province of Saskatchewan, Canada, Fellowship,

1993-1994. 8) Quran Memorization 1st Award, Al-Jam’iyyah Al-Shar’iyyah, Abidin,

Cairo, 1991. 9) Memperoleh penghargaan Research Grants (sebagai peneliti utama atau

peneliti pendamping) dari: a) American University of Shar’iah, UAE (2003-2004). b)

Centre for Research in Earth & Space Technology (CresTech), Canada (2000-2003). c).

Natural Sciences & Engineering Research Council of Canada (NSERC), (2000-2003).

d) Communications and Information Technology Ontario (CITO), Canada (2000-2002).

e) Ryerson University, Toronto, Canada (1999-2000). f) North Atlantic Treaty

Organization (NATO), Research Grants Section (1998-1999). 9

Teori Hukum Islam Kontemporer

1. Tingkatan Otoritas (hujjiyyah)

Jasser Auda membagi tingkatan otoritas (hujjiyyah) pada dua level tertinggi

dan terendah. Yang tertinggi adalah hujjah (proof) dan yang terendah adalah kritik

secara radikal atau batil (unsound). Diantara dua level ini terdapat lima tingkatan yang

bertingkat sesuai dengan otoritas level hujjah, yaitu hujjah (proor), penafsiran

apologetik (apologetic interpretation), Penafsiran/ta’wil (interpreted/mu’awwal), dalil

isti’nas (supportive evidence), kritis minor (minor criticism/fihi shai’), dan penafsiran

radikal (radical re-interpretation), dan kritik radikal (void/batil). Tingkatan otoritas

8 Ibid. 9 Ibid.

Page 6: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dalil ini, dengan pendekatan multi dimensional terjadi perubahan dengan dua kategori

biasa dari otoritas hujjah kepada level kategori yang beragam. Perubahan tersebut

secara sistematis menurun dari level hujjah tertinggi kepada radikal kritik. Gambar

berikut mengilustrasikan perubahan tersebut.10

Gambar 1: Spektrum tingkatan nilai otoritas hujjiyah dari hujjah ke batil

a. Perbincangan Terakhir tentang Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam ulama’ tradisional selama ini disbutkan al-Qur’an, al-

Hadith, Ijma’, Qiyas, Maslahah, istihsan, ‘Urf, Shar’u man qablana, fatwa sahabat,

fatwa imam, dan al-istishab. Sekarang ini secara mendasar, para ahli hukum islam

merujuk ayat-ayat al-Qur’an, sunnah, dan fatwa-fatwa yang berhasil dikeluarkan oleh

para fuqaha. Meskipun demikian pesepsi tentang penafsiran al-Qur’an, penumpulan

hadith, dan berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh fuqaha telah dibentuk melalui

manuskrip-manuskrip yang diedit. Hasil karya-hasil karya tersebut diantaranya berupa

kitab-kitab yang sudah beredardi kalangan ulama’ islam selama ini, diantaranya:

a) Tafsir: Ibn Kathir, al-tabary, al-Baydawi, al-Zamakhshari, al-razi, al-Baghawi,

alTusi, al-suyuti, al-Qurtubi, al-Alusi, al-samarqandi, al-kasani, al-San’ani, Ibn

Taymiyah, al-sawkani, al-Mawardi, al-khalili, dll.

b) Hadith: al-Bukhari, Muslim, al-hakim, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, al-bayhaqi, ibn

Majah, Abu dawud, al-darqutni, al-Tabari, ibn Syaibah, dll.

c) Fiqh dan usul fiqh tergantung pada madhab-madhab berikut ini:

- Madhab Hanafi: Abu Hanifah, Abu Yusuf, muhammad ibn Hasan, al-

Sarkhasi, al-Bazdawi, Ibn nujaym, dll.

10 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy..156

Proof (hujjah)

Arah penurunan otoritas hujjah

Apologetic Interpretasion

Interpreted (mu’awwal)

Supportive evidence (isti’nas)

Minor Criticism (fihi Shai)

Radical re-Interpretasion

Void (batil)

Page 7: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

- Madhab Maliki, Malik, Ibn wahb, Sahnun, al-Qarafi, al-Mawwaq, al-talabi,

Ibn abdul-Bar, Ibn Rushd, al-Satibi, al-Sanusi dll.

- Madhab Hanbali: Ibn Hanbal, al-Mawarzi, al-Khallal, Ibn Taymiyah, Ibn al-

Qayyim, al-tufi, Ibn Rajb, Ibn battah, al-Zarkashi, dll.

- Madhab Zayyidiyah: Zayd, al-wasti, Ibn Zabarqan, Ahmad Ibn Isa, al-qasim,

al-hadi, Ibn ishaq, dll.

- Madhab Ibadiyah: Jabir bin Zhafi, al-Busaidi, Ibn ja’far al-hawari, al-saqsi,

dll

- Madhab Ja’fariyah: Ja’far, al-Killini, Ibn Babawayh, ibn al-Junaid, al-

taba’tabai, al-Najafi, dll.

- Madhab Al-Shafi’i: al-Shafi’i, al-Qaffi, al-Juwayni, al-ghazali, al-Mawardi,

al-San’ani, al-Nawawi, al-hadrami, al-Haitami, Qulyubi, ‘Umairah, al-

Shirazi, dll.

- Madhab Zahiriyah: Dawud dan ibn Hazm

- Madhab Mu’tazilah: Abdul Jabbar, abu al-Husaini al-basra, Abu Hashim, Ibn

Hudhail, dan Abu Muslim 11

Sumber hukum Islam sekarang menggunakan pendekatan sebagai berikut:

1) Ayat-ayat al-Qur’an, selalu ditafsirkan menurut salah satu penafsiran kitab tafsir di

atas.

2) Sunnah selalu dikutip dalam kumpulan hadith yang disebutkan di atas.

3) Masalih yang diambilkan secara induksi dari nash al-Qur’an dan hadith.

4) Keahlian ulama’ tradisional (fuqaha’) menurut para ahli hukum didasarkan pada

ulama-ulama tersebut di atas.

5) Argumentasi rasional atau rasionalitas, yang bisa berarti beberapa hal,

bagaimanpun kelebihan umum seluruh rasionalitas dalil merupakan kepercayaan

mereka pada akal murni manusia daripada sumber pengetahuan ketuhanan.

6) Nilai-nilai modern dirujukkan kepada deklarasi HAM dan deklarasi nasional dan

internasional yang sama.12

Gambar (2) di bawah mengilustrasikan bagaimana pandangan Jasser Auda

terhadap sumber hukum Islam yang direpresentasikan dalam dimensi pengalaman

11 Ibid. 157-158. 12 Ibid. 159.

Page 8: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

kemanusiaan dan ayat-ayat wahyu. Ayat al-Qur’an berada pada posisi spektrum akhir

kanan. Bahkan pemikiran tentang penafsiran menjadi subyek pengalaman kemanusiaan

yang menjadi penjelas bagi penafsiran sains. Hadith mengambil jarak antara ‘murni

menyampaikan pesan tuhan’ dengan ‘murni aturan manusia. Maslahah

merepresentasikan sebagai pikiran manusia dari tujuan tertinggi pewahyuan. Fatwa-

fatwa ulama tradisional (ruling of tradisonal madhahib) sebagai pendapat hukum

(fatwa) yang didasarkan atas konteks geografis dan sejarah. Jadi dengan demikian

dalam spektrum tersebut nampak mereka lebih dekat pada pengalaman kemanusiaan

daripada pewahyuan. Ada beberapa muslim memandang 'norma yang rasional’

merupakan ekspresi dari pengalaman kemanusiaan. Biarpun hal ini juga membentuk

persepsi Islam yang lebih populer. 13

Gambar 2 : Spektrum ragam nilai dari sumber hukum islam sesuai dengan dimensi

pengalaman manusia dan kewahyuan

b. Kecenderungan Terakhir Hukum Islam

Gambar di bawah ini menunjukkan adanya dua dimensi antara klasifikasi yang

menggambarkan kecenderungan sumber hukum Islam dengan kecenderungan tingkatan

otoritas hujjiyyah. Dengan kata lain ayat-ayat al-Qur’an, sunnah, fatwa para fuqaha,

tujuan tertinggi (maqasid/maslahah) rasinalitas, dan nilai-nilaimodern, memberikan

otoritas yang dibawa dari level hujjah sampai kritik radikal (butlan), termasuk berbagai

tingkatan penafsiran dan kritik. Dalam dua ruang dimensi tersebut, Jasser Auda

mengaktegorikan pada tiga ragam kecenderungan teori hukum Islam kontemporer,

13 Ibid. 160.

Nilai-nilai Modern dan HAM

kewahyuan Pengalaman Kemanusiaan

Rasionalitas Fatwa-fatwa madhahib

Tujuan tertinggi (maqasid)/ Maslahah

Sunnah Ayat Al-Qur’an

Page 9: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

yaitu Tradisionalisme, Modernisme, dan Post-modernisme. Hepotesa kecenderungan

ini tergambar dalam wilayahnya masing-masing dapat dilihat pada bagan berikut ini.14

ModernValue/righ

Rasionality

Ruling of Tradisional Madhab

Higher maqasid/interests

Prophetich Traditions

Qur’anic Verses

Radicallycriticised

RadicallyRe-interpreted

Minorly criticised

Supportive evidence

Reinterpreted

Apologetic interpretation

Proof (hujjah)

Modernisme ---------- Postmodernisme ------- Traditionalisme

Gambar 3: Ilustrasi dua dimensi dari tujuan kecenderungan antara sumber hukum

Islam dengan level otoritas (hujjiyyah).

1) Tradisionalis

Jasser Auda membagi kelompok Tradisionalis ke dalam beberapa kategori,

yaitu Skolastik Tradisonalis, skolastik neo-tradisionalis, Neo-literalis, dan orientasi

teori idilogis.

a) Skolastik Tradisonalis

14 Ibid.

Page 10: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Kelompok yang dikategorikan ini ulama-ulama yang mengikuti pandangan

‘ulama’ klasik, termasuk Shafi’i, Maliki, Hanafi, Hanbali, Shiah, atau Ibadiyah sebagai

pemegang otoritas pemakna teks al-Qur’an maupun hadith. Seluruh penyelesaian

problem selalu dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad madhab ini. Kelompok ini

melakukan ijtihad, jika problem yang terjadi tidak ditemukan dalam pandangan para

imam madhab ini. Dalam hal ini, Ijtihad dilakukan melalui metode qiyas yang

dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad sebelumnya. 15

Salah satu contoh adalah tentang proses penetapan hukum tentang

Kepemimpinan Perempuan dalam Hukum Islam yang disampaikan oleh Imam

Universitas Islam Saud di Riyad. Proses keputusan hukum dimulai dari penafsiran

Madhab Hanbali, khususnya pendapat Ibn Taymiyah, tentang hadith Bukhary yang

menyatakan; “tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin seorang perempuan”.

Proses penetapan dilakukan tanpa banyak memberikan penjelasan tentang penafsiran

Madhab Hanbali, karena apa yang disampaikan lebih dipengaruhi oleh kepentingan

politik. Sehingga penetapan lebih diarahkan pada wilayah yang diperbolehkan bagi

perempuan untuk menjadi pemimpin, yaitu wilayah-wilayah pendidikan tertentu dan

kesehatan perempuan, atau perempuan menjadi imam shalat bagi sesama jenis.

Sedangkan pada wilayah sosial yang lain, seperti hukum, politik, peradilan, media,

ekonomi, militer, dan pendidikan pada umumnya, perempuan tidak diperkenankan

untuk memimpin.16

b) Skolastik neo-tradisionalis

Menurut Jasser Auda kelompok Neo-Tradisonalis lebih terbuka dibanding

dengan kelompok Tradisionalis, hanya saja masih terpaku pada madhab yang

dianutnya. Mereka menerima berbagai madhab, khususnya madhab empat (Maliki,

Shafi’i, Hanafi, dan Hanbali). Akan tetapi pada pilihan pendapat mereka lebih memilih

pada pendapat yang mayoritas (jumhur) disepakati oleh para imam madhab.17

c) Neo-literalis

Neo-literalis merupakan sebagian aliran dari kelompok tradisionlis yang

disebut dengan aliran Zahiriyah. Meskipun demikian fenomena ini tidak saja terjadi

pada kelompok Sunni, pada kelompok Shia juga demikian. Neo literalis kontemporer 15 Ibid. 162 16 Ibid. 163. 17 Ibid. 164.

Page 11: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

lebih menggantungkan pada koleksi-koleksi hadith dari satu ulama, seperti versi

Wahabi dari ulama Hanbali, atau pada Shiah, hadith-hadith koleksi shiah. Ulama’-

ulama literalis lama mendukung metode istishab sebagai kaidah usul yang menjadi

komponen dasar maqasid. Akan tetapi, Neo-letralis menolak maqasid sebagai ligitasi

hukum. Realitas sekarang menunjukkan bahwa neo-literalis radikal mengkritik teori

maqasid yang dianggap sebagai ide sekuler yang menyamar.18

Blocking the means (sadd al-Dhara’i) pada tema yang sering diulang-ulang

pada pendekatan neo-literalis sekarang ini adalah kepentingan otoritas penguasa,

khususnya yang terkait pada hukum tentang perempuan. Seperti perempuan dilarang

mengemudikan mobil, bepergian sendiri, bekerja pada stasion radio dan televisi,

menjadi wakil rakyat, bahkan berjalan di perjalanan. 19

d) Orientasi teori idiologis.

Sebuah aliran tradisionalis yang overlap dengan posmodernis dalam

mengkritisi rasionalitas modern dan nilai-nilai bias Eropa sentris yang kontradiktif.

Fazlur Rahman mengkategorikan aliran ini sebagai ‘Fundamentalis Postmodern’.

Mereka memiliki proyek perlawanan kepada barat dan khususnya demokrasi dan

sistemnya. Argumen utama aliran ini adalah bahwa pemerintah, perundang-undangan,

dan kekuasaan pemerintah adalah hak Tuhan secara mutlak, dan tidak diberikan kepada

manusia sebagai kontrak atau hak.

Gambar (4) berikut memberikan ilustrasi tentang wilayah kelompok

tradisionalis yang berada pada spektrum sumber hukum Islam dan level otoritas.

18 Ibid. 166. 19 Ibid. 167.

Page 12: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

ModernValue/righ

Rasionality

Ruling of Tradisional Madhab

Higher maqasid/interests

Prophetich Traditions

Qur’anic Verses

Radicallycriticised

RadicallyRe-interpreted

Minorly criticised

Supportive evidence

Reinterpreted

Apologetic interpretation

Proof (hujjah)

Ideology-Oriented Theories

Neo-Literalis

m

Neo-Literal

ism

Scholastic Traditionalism

Scholastic Neo-Traditionalism

Tradisionlais ----------

Gambar 4: Kecenderungan Aliran Tradisionalis dalam terma yang memberi

kontribusi pada munculnya aliran-aliran

2) Islam Modernis

Istilah Aliran Islam Modern atau Islam Modernitas, akhir-akhir ini telah

digunakan oleh beberapa sarja. Charles Kurzman menggunakannya untuk

mengidentifikasi gerakan yang mencari rekonsiliasi antara kepercayaan Islam dengan

nilai-nilai kemoderenan. Seperti kelompok kebangkitan kembali budaya, nasionalisme,

penafsiran kebebasan beragama, pengkajian sains, pola pendidikan modern, hak-hak

kaum perempuan, dan seberkas teman-tema lain. Ibrahim Moosa menggunakan terma

ini untuk memberi identitas bagi sekelompok sarjana muslim yang sangat dikesankan

oleh idealitas dan realitas modern. Demikian pula sangat percaya bahwa pemikiran

muslim, sebagaimana hal itu diimpikan sebagai ingkarnasi abad pertengahan, cukup

fleksibel mampu membantu perkembangan inovasi dan daptasi untuk meningkatkan

taraf umat Islam sesuai dengan waktu dan keadaan. Ziauddin Sardar menggunakan

term ini untuk mengkategorikan kelompok reformasi di abad 21 yang melakukan ijtihad

Page 13: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

secara serius untuk memoderenkan Islam dalam termonologi model pemikiran barat

dan organisasi sosialnya, khususnya untuk kepentingan maslahat. 20

Dua kunci utama kontributor Aliran Islam modern adalah Muhammad Abduh

dan Muhammad Iqbal. Dua sarjana ini dari dua wilayah geografi dua Islam yang

diintegrasikan oleh keislaman dan pendidikan barat mereka yang memberikan inspirasi

bagi proposalnya pemikirannya pada reformasi Islam.

Jasser Auda mengaktegorikan aliran modernis pada terma teori, tidak pada

para ulama’nya. Ia lebih fokus pada diskusi tentang pendekatan Islam modernis dari

sejumlah aliran yaitu reformasi penafsiran baru (reformamist re-interpretation),

Penafsiran apologetik (apologetic re-interpretation), orientasi teori pada maslahah

(maslahah-oriented theories), dan perubahan usul fiqh (usul revisionism)

a) Reformamist Re-Interpretation

Jasser Auda memberikan julukan bagi sebuah pendekatan tafsir yang populer

disebut dengan madrasah al-tafsir al-mawdu’i (sekolah tafsir tematik), madrasah al-

tafsi ral-mihwari (sekolah tafsir kontekstual) yang ekspresikan oleh Fazlur Rahman

secara sistematik. Kontributor awal adalah Abduh, Al-Tabtabai, Ibn Ashur, dan al-Sadr.

Metode ini melalui pembacaan alqur’an secara menyeluruh untuk mencari tema-tema

umum pada keseluruhan, bagian-bagian, dan kelompok-kelompok ayat. Penafsiran

model tradisional mengambil seluruh perhatian mereka pada penjelasan dari satu kata

atau satu ayat, tetapi jarang mereka perhatian pada sekelompok ayat dan konteks

tertentu. Abduh dan Ibn Ashur menekankan pada penafsiran tema-tema penting untuk

mengintrodusir tafsir pada beberapa ayat, untuk dihubungkan antara cerita-cerita al-

Qura’an dengan dan bagian-bagian yang terkait.

Di sisi yang lain kemudian Ayatollah al-Sadr memberikan sebuah seri kuliah

di Najjaf Iraq, dengan sebuah metodologi penafsiran tematik dan penerapannya tentang

bagaimana al-Qur’an mempresentasikan sebuah sejarah dan masyarakat ideal.

Kemudian Muhammad al-Ghazali, Hasan al-Turabi, Fazlur Raham, Abdullah Draz,

Sayyit Qutb, Fathi Osman, dan al-Tijani Hamed mendukung penafsiran baru

berdasarkan atas metodologi baru. 21

b) Apologetic re-interpretation

20 Ibid. 168-169 21 Ibid. 172.

Page 14: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Perbedaan antara reformamist re-interpretation dengan apologetic re-

interpretation adalah bahwa reformamist re-interpretation menyuguhkan tafsir untuk

menciptakan perubahan praktek realitas kehidupan melalui hukum Islam, sedangkan

apologetic re-interpretation memberikan jastifikasi pada kepastian status quo tentang

Islam atau non Islam. Sebagai contoh tema tentang Islam dan politik setelah Ali Abdel

Razeq, yang oleh Jasser Auda diklasifikasikan sebagai apologetic adalah Mahmoud

Muhamed Taha yang mendukung ide ‘sosialisme Islam’, melalui tafsir tentang peran

Muhammad yang tidak memiliki kekuasaan (QS, 88:22), selanjutnya ia menafsirkan

konsep shura dan zakah, sebagai langkah awal menuju ‘masyarakat sosialis’. Sadek

Sulaiman menyimpulkan dari ayat shura ini, bahwa shura dan demokrasi adalah

sinonim, memiliki makna yang sama dalam konsep maupun prinsip. Muhammad

Khalaf-Allah menafsirkan ayat shura ini bahwa implementasi propetik adalah sebuah

otoritas dari konsep ‘mayoritas masyarakat’. Abdulaziz Sachedina menjelaskan bahwa

konsep masyarakat Islam, pluralisme dan demokrasi dalam al-Qur’an dan masyarakat

sipil di Madinah pada masa awal Islam merupakan tatanan yang meligitimasikan

konsep “masyarakat sekuler modern yang ideal” dalam kultur politik muslim. 22

Meskipun penafsiran di atas menggunakan kebahasaan semata dan

memberikan kelenturan secara alami bagi bahasa Arab, akan tetapi penafsiran tersebut

tidak memberikan penjelasan secara khusus bahwa al-Qur’an mendukung sistem politik

tertentu. Rachid Ghannouchi lebih berhati-hati dibanding dengan modernis yang lain

ketika ia mendukung konsep demokrasi, bahwa prinsip-prinsip demokrasi tidak

dilandaskan pada penafsiran ayat, tetapi lebih pada “hakekat hukum Tuhan bisa

diterapkan pada tatanan yang mapan”. Senada dengan Rachid Ghannuchi, Muhammad

Khatami presiden kelima Iran, berargumentasi bahwa demokrasi merupakan pilihan

yang lebih baik daripada konsep diktator atau monarkhi, karena memiliki prinsip-

prinsip yang sama dengan Islam.23

Jasser Auda mengkritik bahwa para apologetic modernis ini hanya lebih

mementingkan makna-makna harfiyah yang terkait dengan term demokrasi dan prinsip-

prinsipnya, tidak pernah menyentuh hakekat demokrasi yang lebih spesifik, seperti

realitas demokrasi yang menjujung tinggi “transparansi, toleransi, volunterisme, tim 22 Ibid. 174. 23 Ibid. 175.

Page 15: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

kerja, pertukaran hak, saling bersikap hormat”. Padahal inilah yang harus dikaji

sebagai sebuah tujuan shari’at (maqasid al-shari’ah).

c) Maslahah-oriented theories

Pendekatan maslahah sebagai salah satu model pendekatan yang dilakukan

kaum modernis, merupakan usaha untuk menghindari pola apologetik yang dilakukan

untuk menafsirkan ayat dengan tema maslahah, daripada menyusun kebijakan khusus.

Mohammad Abduh dan al-Tahir Ibn Ashur secara khusus menaruh perhatian terkait

konsep maslahah dan maqasid pada hukum Islam dan mempertimbangkannya untuk

mereformasi konsep usul fiqh. Proposal Ibn Ashur yang diajukan untuk merefilatisasi

hukum Islam berlandaskan pada perhatian yang lebih besar pada disiplin usul fiqh dan

lebih terfokus pada metodologi baru untuk kajian tentang al-maqasid. Dia mengkritik

keras kepada ulama’ tradisional yang menghilangkan unsur maqasid dari konsep

hukum Islam. 24

Kontribusi Al-Sadr pada tingkat metodologi telah meligitimasikan konsep

induksi sebagai sebuah dasar pemapanan untuk sains dan teologi. Dia mempelajari

pemikiran induktif secara luas dalam karyanya al-usus al-mantiqiyyah li al-istiqra’

(logika berbaisis induksi). Al-Sadr menjelaskan bahwa induksi merupakan alat utama

cara berfikir bahwa al-Qur’an telah membuktikan eksistensi Tuhan. Kemudian, dengan

sebuah analisis matematika yang menarik, al-Sadr membuktikan ketidakpastian konsep

induksi, tetapi ia mengemukakan bahwa kekurangan ketidakpastian ini merupakan dalil

empiris yang ditemukan pada teori kemungkinan (probabilitas). Meskipun demikian

menurut Jasser Auda, bahwa kontribusi Ibn Ashur dan al-Sadr pada konsep al-

maqasid, yang menjadi proyek reformasi hukum Islam, merupakan sebuah proyek yang

masih belum lengkap. 25

d) Usul Revisionism

Aliran lain dari Islam modernis mencoba untuk memperbaiki usul fiqh,

meskipun kelompok neo-tardisionalis keberatan untuk mengubah usul fiqh ini dan

secara keras mengatakan dirinya paling Islam. Walaupun demikian, aliran usul

revisionism (perbaikan usul fiqh) mengekpresikan pada fakta tersebut bahwa

24 Ibid. 176. 25 Ibid. 177.

Page 16: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

menurutnya tidak akan ada perkembangan yang signifikan dalam hukum Islam yang

dapat dilakukan jika tidak mengembangkan metodologi usul fiqh-nya. 26

Semisal Mohammad Abduh, ketika ditanya tentang ijma’ diantara dua model:

ijma’ atas fatwa dan ijma’ atas teks hadith. Dia mengatakan bahwa untuk sebuah

‘kajian rasional’ bahwa ijma’ dalam fatwa atau teks hadith tergantung pada warisan

literatur hukum. Rasionalitas Abduh memudahkannya untuk mempertanyakan secara

serius tentang validitas hadith ahad. Abduh mengembalikan pada ayat al-Qur’an untuk

mengkontrol teks hadith dan pemahaman praktik fatwa hukum. Dia menyarankan agar

para sarjana fokus pada pesan-pesan al-Qur’an tentang moral, pendidikan, spiritualitas,

pengetahuan, dan petunjuk-petunjuk tetang kehidupan sosial yang baik. Dia

mengatakan bahwa hukum Islam, menurut usul fiqh, adalah realitas hukum.

Ayatulloh al-Sadr juga mengintrodusir beberapa modifikasi untuk konsep

dasar usul fiqh, sebagaimana ijma’ dan ketetapan kontradiktif (hall al-ta’arud). Al-sadr

lagi-lagi menggunakan teori probabilitas, untuk membuktikan bahwa perkembangan

dalam sejumlah fuqaha artinya perubahan dari kemungkinan menjadi kepastian.

Meperhatikan ‘ketetapan yang kontradiktif’ antara dua dalil, al-Sadr mengusulkan

sebuah metode yang menciptakan keseimbangan antara akibat langsung dari satu dalil

dengan tujuan penetapan hukum (maqasid al-shari’) dari dalil kedua. 27

Beberapa kelompok modernis kontemporer mengikuti ide-ide Abduh dan al-

Sadr dalam konsep revisi ijma’ dan konsp usul fiqh yang lain, seperti konsep naskh

ayat-ayat al-Qur’an dan keotentikan teks hadith yang berlandaskan pada seberapa

banyak memiliki kesamaan prinsip dengan al-Qur’an. Mereka juga mengusulkan

perluasan dan penafsiran kembali atas bangunan kunci usul fiqh yang dapat digunakan

secara fleksibel sesusai dengan waktu dan keadaan, atau tatanan aturan yang sesuai

dengan waktu dan tempat dalam ijtihad modern. Seperti interpretasi baru tentang

maslahah yang didesakkan untuk memperluas konsep maslahah yang semula tujuan

maslahah bersifat individual menjadi maslahah untuk tujuan sosial. Kebaikan bukan

hanya untuk kepentingan individu masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat.

26 Ibid. 27 Ibid. 178.

Page 17: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Modernis juga memiliki berbagai pendapat tentang implikasi dari maslahah yang

terkait dengan perkembangan keadaan sekarang. 28

Sejumlah kelompok usul revisionists menyarankan agar qiyas, sebagai salah

satu sumber yang lain hukum Islam, juga perlu diinterpretasikan dari model tradisional

yang deduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas satu kasus yang terdapat dalam

ayat al-qur’an) kepada model yang abduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas

luasnya kemungkinan sejumlah kasus yang terkait dengan topik dan deduksi umum).

Usul revisonists menyebutnya dengan metode qiyas baru atau analogi yang luas (al-

qiyas al-wasi’). 29

e) ‘Science Oriented Re-Interpretation

Aliran lain dari kelompok Islam modern mengambil pendekatan untuk

penafsirkan kembali (re-interpretation), yaitu kelompok yang berorientasi pada sains

sebagai basis penafsiran al-Qur’an dan Sunnah. Dalam pendekatan ini, penetapan

didasarkan atas rasionalitas sains dan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadith ditafsirkan sesuai

dengan temuan-temuan sains terbaru. Dalam pandangan Jasser Auda pendekatan ini

mirip dengan apologetic gaya reformis. Pemikiran reformis menunjukkan bahwa

keterbukaan ayat al-Qur’an untuk ditafsirkan dengan model baru memberikan

pengetahuan tentang model kemanusiaan sekarang ini. Cara pemaknaan, juga mirip

dengan yang dilakukan kelompok apologetik ketika membuat ayat-ayat al-Qur’an

memiliki makna yang pasti dengan teori-teori sains, mengingat sains sendiri adalah

sebuah proses evolusi.

Secara umum pendekatan modernis untuk hukum Islam memiliki sejumlah

kelemahan dari pendekatan kelompok klasik dan tradisionalis, serta menyuguhkan

sesuatu yang lebih realistis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sehari-hari. Namun

demikian kelompok modernis juga memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan

pengembangan hukum Islam masa kontemporer ini. Adapun gambar berikut

mengilustrasikan posisi kecenderungan aliran modern Islam dalam level otoritas dan

sumber hukum Islam.

28 Ibid. 178-179. 29 Ibid. 179.

Page 18: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

ModernValue/righ

Rasionality

Ruling of Tradisional Madhab

Higher maqasid/interests

Prophetich Traditions

Qur’anic Verses

Radicallycriticised

RadicallyRe-interpreted

Minorly criticised

Supportive evidence

Reinterpreted

Apologetic interpretation

Proof (hujjah) Maslahah

oriented theory

‘Science’ orientated

Interpretation

Apologetic Re-

Interpretation

Reformist Re-Interpretation

Usul revisionism

Modernisme -------

Gambar 5: Kecenderungan Aliran Modern dalam menyusun terma kontriusi

aliran-aliran

3) Pendekatan Post-Modernis

Paham postmodern merupakan paham yang didukung oleh intelektual-

intelektual andal kontemporer, secara proses politik dan kultur bertujuan untuk

memecah dan membangun kembali kesenian, kebudayaan, dan tradisi intelektual yang

bertumpuk-tumpuk. Terma ini memiliki banyak definisi yang kontradiktif, berkisar dari

faham perpaduan (eclecticisms) dan sampai neo-skeptisisme dan anti-rasionalisme.

Meskipun demikian hal itu adalah sama dengan apa yang disetujui oleh seluruh

kelompok postmodernism yang menggunakan cara beragam pada kesalahan

modernitas, khususnya pada paroh pertama abad 20 yang terkait pada hak untuk

memiliki secara deterministik dan nilai-nilai universal. Sejumlah sarjana di lapangan

Page 19: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

studi Islam memasukkan berbagai pendekatan postmodernisme dan menerapkannya

pada kajian hukum Islam. 30

Metode utama seluruh pendekatan postmodernisme adalah dekontruksi.

Dekonstruksi adalah sebuah ide, proses dan proyek yang diajukan oleh Jacques Derrida

pada tahun 1960 an sebagai pengembangan dari dekonstruksinya Heidegger yang

dielaborasi dari tradisi metafisika barat. Dekonstruksi merupakan sebuah taktik de-

centering, yaitu menolak penindas dan kesewenang-wenangan penguasa. Derreda

bertujuan membongkar logosentris yang merupakan pengkombinasian term yang

dibawa dari logos (wahyu Tuhan) dan sentris (menjadi pusat). Dari bahasa perancis de

dan construire (kata bendanya decontruction) yang mencita-citakan untuk membongkar

bangunan yang sudah mapan, mepreteli sebuah konstruksi. 31

Derrida percaya bahwa dua term logosentris (seperti baik, laki-laki, putih,

atau Eropa) tidak diharuskan menjadi pusat otoritarian dan penindasan, jika term lain

(seperti syetan, perempuan, hitam, atau Afrika) ditetapkan secara marginal

(dipinggirkan). Dia juga mengatakan bahwa ‘logika lain’, melalui dekonstruksi dari

term logosentris dicapai oleh perubahan term peminggiran sehingga menjadi

memungkinkan sebagai term logosentris yang menempati pada pusat (center). 32

Derrida menolak mendefinisikan dekonstruksi, sebab definisi adalah

pembatasan, sementara dekonstruksi adalah menerobos batas. Dekonstruksi merupakan

dekonstruksi atas teks dan pembacaan atas teks. Dekonstruksi selalu menggunakan

pembacaan dengan double reading, yaitu sebuah pembacaan yang berkelindan paling

tidak dalam dua motif atau dua lapisan. Satu sisi pembacaan bermaksud menampilkan

kembali apa yang disebut dengan “tafsiran dominan” sebuah teks. Sisi lain pembacaan

ini meninggalkan tatanan ‘komentar’ memperlihatkan titik lemah dan konstradiksi

dalam tafsiran dominan tersebut, kemudian menyajikan pembacaan yang lain. 33

Teori atau proyek Derrida mencegah banyak pembicara atau penulis dari

menjadikan ayat atau teks sebagai penyebab dalam kemangkiran dari pusat atau

keaslian, sesuatu bisa menjadi wacana. Teori ini memiliki suatu dampak pada

implikasi makna, sebab sebuah makna dari makna (pada perasaan umum dari makna 30 Ibid. 180. 31 A. Sumarwan, “Membongkar yangLama Menenun yang baru” dalam Basis, No. 11-12 tahun ke 54 (Jogjakarta: Yayasan BP Basisi, Desember 2005). 16. 32 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy......181. 33 A. Sumarwan, “Membongkar yangLama....... 18.

Page 20: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dan tidak perasaan tertentu yang sudah memiliki tanda) adalah memiliki ilmplikasi

yang tidak terbatas. Sebuah keterbatasan menyerah pada satu tanda dari penandaan.

Dengan pembagian ini, bahwa keterbatasan pada penyerahan satu makna tertentu yang

terbatas, maka penafsiran yang demikian ini perlu didekonstruksi. Dengan demikian

terdapat kultur baru yang tidak dibuat dan terjadi dengan sendirinya atas dasar

gambaran Hasan, sebagai penghancuran (decreation), pemecahan (disintegration),

pembongkaran (deconstruction), peminggiran (de-centrement), pengalihan

(displacement), pembedaan (diffenrence), ketidakberlangsungan (discontinuity),

ketidakbertemuan (disjunctioni), kehilangan (disappearancei), pembusukan

(decompotition), tidak ada pengertian (de-definition), tidak ada mistis (demystification),

tidak ada totalitas (de-totalisation), dan tidak ada legitimasi (delegitimation). 34

a) Post-Structuralism

Post-Strukturalisme merupakan sebuah alat analisis dari postmodernisme,

melalui analisis teks, yang bersumber dari pembicara dan pengetahuan seluruh manusia

dipertimbangkan sebagai tekstual. Bebearpa sarja studi Islam mengambil pendekatan

dekonstruksi post-strukturalis atau decentering untuk analisis teks al-Qur’an. Mereka

memandang sebagai penempatan pada pusat kultur Islam. Konsep wahyu sebagai

sebuah tulisan ditafsirkan kembali atau diubah dari posisi tradisional kepada penafsiran

bahwa sebagai sebuah pesan Tuhan yang berarti Nabi menerima al-Qur’an sebagai

sebuah penjelas pesan dan dibawanya untuk manusia sesuai dengan bahasa dan

konteks kebudayaan mereka. Tujuan dari proyek dekonstruksi ini adalah memberikan

kebebasan manusia untuk memiliki kedaulatan memahami teks wahyu, sebagaimana

yang ditulis oleh Muhammad Arkoun, NasrAbu Zaid, Hasan hanafi, al-tahir al-Haddad,

dan Ebarhim Moosa. 35

Lebih dari itu teori semiotik memerlukan bahwa bahasa tidak dapat secara

langsung mengarah kepada realitas, dan konsep metafisika yang dipertimbangkan

orang, menurut postmodernis dari Nietzsche sampai Derrida, adalah semacam proyeksi

pribadi. Dalam buku Turath wa al-Tajdid, Hasan hanafi mengikuti jejak garis pemikiran

ini, sampai ia menyimpulkan bahwa ketika seorang ulama’ fundamentalis

34 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy..... 181 35 Ibid. 182.

Page 21: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

membicarakan tentang Tuhan, tentang keberadaan-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya,

sebenarnya mereka membicarakan tentang kesempurnaan manusia yang menafsirkan

tentang kemungkinan eksistensi yang sempurna. Dia menyebutkan untuk menempatkan

kembali kebenaran dan hakekat term tentang ‘Tuhan, surga, neraka dan akhirat dengan

konsep yang tidak ambigu atas konsep demokrasi, alam dan pemikiran.36

Jasser Auda menyebutkan bahwa Dekosntruksi, dalam sebuah rasa semiotik,

mungkin sebuah ide yang baik atau proses akhir penolakan terhadap struktur sosial

yang menindas dan hukum yang diskrimitaif. Bagimanapun, mengambil sebuah teori

untuk melakukan proses tajdid atas hukum Islam, sebagaimana kelompok post-

strukturalis lakukan, merupakan satu kebutuhan untuk membangun kepercayaan dasar

muslim yang mapan. Sebaliknya, teori ini merupakan teori yang tidak Islami dan

kemungkinan secara materi tidak pernah dapat diaplikasikan.

Setiap muslim menghormati perbedaan, kepercayaan kepada Tuhan, Nabi

Muhammad, dan pesan Tuhan dalam al-Qur’an. Agama Islam sepenuhnya dibangun

dari tiga pondasi ini, karena itu, pendekatan post-strukturalis yang menggunakan

dekonstruksi adalah sangat konseptual tentang Tuhan dan wahyu Tuhan. Teori ini tidak

kredibel untuk pengajuan masalah hukum dan penciptaan. Jasser Auda menyebutnya

dengan kevakuman epistemologi.37

b) Historicity of Means and/or ends

Pendekatan historis postmodern mengusulkan bahwa ide kita tentang teks,

kultur dan kejadian-kejadian adalah ditentukan oleh posisi dan fungsi manusia dalam

keaslian konteks sejarah, sebagaimana juga berkembangnya sejarah kemudian.

Beberapa penganut faham dekonstruksi menerapkannya pada konsep sejarah al-

Qur’an, hanya untuk menyimpulkan bahwa tulisan al-Qur’an adalah sebuah produksi

budaya dari budaya-budaya yang diproduksi oleh sejarah. Oleh karena itu, mereka

mengklaim bahwa al-Qur’an merupakan dokumen sejarah. Untuk memahaminya hanya

dapat dilakukan melalui belajar sejarah tentang komunitas khusus yang ada pada masa

kenabian. Moghissi menganggap bahwa shari’ah tidak cocok dengan prinsip-prinsip

kesamaan manusia. Ibn Warraq menganggap bahwa skema HAM Islam tidak cukup

mendukung terhadap prinsip-prinsip kebebasan. Akhirnya, menurut Moosa, peradilan

36 Ibid. 183. 37 Ibid. 184.

Page 22: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Islam tidak dapat dijadikan dalil untuk visi etis pada pemikiran kontemporer.

Pengalaman yang sama, dalam beberapa kasus, juga terjadi pada sejarah Barat yang

terkait dengan peradilan Barat. 38

Postmodernis juga mengkritik beberapa pemikir modernis untuk memperkuat

teks dasar melalui penafsiran ulang atas ayat-ayat yang mendukung terhadap norma-

norma etika, meskipun ayat-ayat itu sendiri, menurut kepercayaan sejarah, penuh

dengan konflik atas norma tersebut. Contoh mudah yang dapat dikemukakan disini

adalah kritik penafsiran kembali atas kesamaan hak (egalitarianisme) dalam model

politk Islam dan status perempuan dalam hukum Islam. Bagi Moghissi, tidak banyak

gulungan dan lipatan yang dapat merekonsiliasi perintah dan larangan tentang hak-hak

wanita dan kewajiban ide kesamaan gender. Arkoun menyebutnya gerakan penafsiran

menyeluruh sebuah gerakan sekuler disamarkan oleh wacana keagamaan.

Jasser Auda mengatakan bahwa pensejarahan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan

membuat skema HAM dan nilai adalah tidak bermoral. Selanjutnya konsep ini

berlawanan dengan kepercayaan pada sumber ketuhanan yaitu al-Qur’an dan sistem

nilai yang luhur yang telah diaplikasikan oleh Nabi Muhammad. Jasser Auda juga

percaya bahwa kejadian sejarah dan aturan hukum secara khusus yang diteail dalam al-

Qur’an harus difahami melalui budaya mereka, keadaan geografi, dan kontek sejarah

dari pesan-pesan Islam. Berdasarkan atas pemahaman al-Qur’an yang khusus, dapat

diterapkan dengan baik secara universal pada setiap ruang dan waktu. Tujuan moral

dalam beragam cerita al-Qur’an dan tujuan aturan serta nilai-nilai yang menjadi arahan

ijtihad kita untuk membuat proyek khusus ini pada perubahan konteks dalam dimensi

ruang dan waktu, atau keadaan geografis dan sejarah. Hukum yang demikian ini

merupakan hasil dari ijtihad yang tidak pernah bertentangan dengan prinsip nilaimoral

dan maqasid dalam Islam.39

Ayatollah Shamsuddin merekomendasikan bagi pada ahli hukum sekarang

untuk mengambil pendekatan dinamis untuk nusus, dan tidak melihat pada seytiap ayat

sebagai perundang-undangan yang absolut dan universal. Membuka pikiran mereka

untuk kemungkinan perundang-undangan yang bersifat relatif bagi kondisi yang

khusus, dan tidak mengadili hadith dengan konteks yang terputus sebagai kebenaran

38 Ibid. 185 39 Ibid.

Page 23: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dimensi waktu, ruang, situasi, dan masyarakat. Dia lebih lanjut mengklarifikasi bahwa

dia lebih condong pada`pemahaman ini, tetapi tidak ingin mendasarkan pada waktu,

meskipun demikian dia menekankan kebutuhan untuk pendekatan ini untuk mengatur

hubungan wanita, materi keuangan, dan jihad.40

Contoh lain, Fathi Osman mempertimbangkan tentang pertimbangan praktis

yang diberikan pada kesaksian perempuan mengurangi hak laki-laki, sebagaimana

disebutkan dalam QS, 2: 282. Jadi Osman menafsirkan kembali ayat ini agar berfungsi

untuk pertimbangan praktis.

Abdul Karim Soroush menyarankan bahwa ayat seharusnya dibagi pada dua

bagian: esensial (essencial) dan asidental (accidental). Ayat yang asidental ditujukan

untuk berfungsi pada kultur sosial dan lingkungan sejarah dari yang mengirim pesan

utama wahyu. Pandangan lain yang menjelaskan tentang tardisi Nabi (sunnah) adalah

Muhammad shahrur. Ia berpendapat bahwa sebagian sunnah tidak menjadi

pertimbanagn hukum Islam, sebab praktek pengorganisasian komunitas oleh Nabi pada

area yang mengizinkan untuk membangun Negara Arab dan masyarakat Arab pada

abad ke 7, jadi tidak pernah akan menjadi abadi, bahkan jika hal itu benar seratus

persen dan seratus persen otentik.

Ekspresi yang sama disampaikan oleh Muhammad al-Ghazali yang

membedakan antara makna dan akhir (means and ends). Dia memperkenankan masa

habisnya (intiha) bentuk aturan dan tidak untuk kemudian. Dia menyebutkan bahwa

sebuah sistem yang rusak karena perang, sebagai contoh dari makna yang berubah.

Akhir-akhir ini Yusuf al-Qardawi dan Faisal Mawlawi, mengelaborasi pentingnya

pembedaan antara makna dan akhir. Selama mereka menjadi dewan pertimbangan

oragniasi Eropa yang berkaitan dengan fatwa dan riset, mereka mengaplikasikan

tentang konsep kutipan visual tentang awal ramadhan (hilal) yang menjadi awal

dimulainya bulan daripada sebuah akhir bulan. Karena itu, mereka menyimpulkan

bahwa kalkulasi yang murni dapat dimaknai untuk memulai bulan. Yusuf al-Qardawi

juga menerakan pada konsep pakaian muslimah (jilbab) yang dia memandang sebagai

makna belaka untuk mencapai tujuan kesopanan.Menurut pandangan Jasser Auda

40 Ibid. 186.

Page 24: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

bahwa perbedaan antara makna dan akhir terbuka untuk kemungkinan menyeluruh bagi

ijtihad baru yang radikal dan hukum Islam. 41

c) Neo-Rationalism

Neo-Rasionalis mengambil pendekatan sejarah untuk hukum Islam dan

merujuk pada ulama’ konvensional Mu’tazilah untuk rujukan tradisional pada

pandangan-pandangan mereka. Ulama’ Mu’tazilah memberikan otoritas akal (‘aql)

sebagai sumber yang independen dan sebagai dasar utama untuk pengambilan dalil

hukum. Bagaimanapun perbedaan antara neo-rasionalis dengan rasionalis lama

Mu’tazilah, secara luas telah diterapkan dalam cara pengambilan dalil al-Qur’an,

Hadith, dan sumber kedua yang lain, adalah sama dengan ulama’-ulama’ Mu’tazilah

klasik. Mu’tazilah mengakui bahwa al-Qur’an sebagai sumber utama hukum

berdasarkan atas akal, sebab menurut akal, baik dan buruk dibedakan atas otoritas al-

Qur’an yang dapat dibuktikan sebagaimana otoritas sunnah dan ijma’. Neo-Rasionalis

bagaimanapun juga telah memberikan pengaruh pada kemampuan akal untuk mencabut

ayat (mansuh). Walaupun demikian, menurut Derrida dan Moosa, akal adalah salah

satu konsep modernitas yang mengambil posisi pusat (dominan), yang bisa

didekonstruksi.42

d) Critical Legal Studies

Studi Kritis atas Hukum (CLS) adalah sebuah gerakan yang berasal dari

Amerika Serikat. Mereka bertujuan untuk mendekonstruksi diterimanya doktrin hukum

untuk mendukung reformasi kebijakan secara pragmatis. Dekonstruksi ini diarahkan

untuk membangun ‘kekuatan’ (power) yang terstruktur dalam hukum. Para filosof dan

aktivis politik dari latar belakang yang beragam bergabung dengan gerakan ini. Seperti

kelompok yang berpegang pada teori feminis dan anti-rasisme. Sejumlah sarjana studi

Islam menggunakan metode CLS untuk menganilis dan mendekonstruksi seluruh

‘kekuatan’ (power) yang mempengaruhi sistem hukum Islam, berkisar pada kekuatan

laki-laki yang ada di suku Arab.43

Seperti kelompok feminisme Islam, tertantang oleh akibat elit laki-laki

tradisional yang menentukan pembentukan sistem peradilan Islam klasik dan

41 Ibid. 187. 42 Ibid. 188. 43 Ibid. 189.

Page 25: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

pengumpulan hadith-hadith yang diarahkan untuk membahas hubungan laki-laki dan

perempuan. Bagaimanapun, hal ini perlu dicatat bahwa feminis post-modern Islam

mengambil sebuah pendekatan yang berbeda daripada feminis post-modern yang lain.

Sementara feminis post-modern mendekonstruksi sistem ganda gender, sebuah gagasan

kuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan Feminisme Islam lebih

fokus pada sejarah ‘daya perjuangan’ antara Muslim laki-laki dan perempuan.44

Kedua kelompok modernis dan post-modernis feminisme Islam mengkritik

akibat dari ‘daya juang” otoritas hukum tradisional ini, sebagaimana para Imam, Shakh,

dan Ayatollah. Meskipun demikian, berbeda dengan feminis post-modernis, post-

modern feminisme muslim mengkritisi otoritas al-Qur’an dan Nabinya sendiri. Mernisi,

misalnya, menantang setiap aturan dalam sumber-sumber Islam yang membatasi

perempuan dalam menentukan nasibnya sendiri, dari institusi perkawinan, anak-anak

yang diturunkan secara patriaki, cadar, aturan tentang masa iddah, dan bahkan larangan

prostitusi. Sama halnya, secara radikal penafsiran kembali yang berbeda pada nash

tentang perbedaan jenis kelamin pada ayat dan hadith yang menyebutkan perbedaan

manusia dalam warna kulit adalah hasil karya Tuhan. 45

Beberapa sarjana lain yang mengambil pendekatan CLS ini mempertanyakan

tentang motivasi politik atas Suku Arab yang memiliki kekuasaan penuh, seperti suku

Quraysh dan bani Ummayyah dalam hubungannya dengan masalah peradilan dan

aturan dasar. Misalnya Nasr Abu Zaid, terkait dengan potongan sejarah tentang usul

fiqh yang membahas Suku Qurays berkeinginan untuk merubah tradisi dan budaya

dalam sebuah wahyu. Patricia Crone juga mempertanyakan tentang otoritas Khalifah

Ummayyah yang membentuk hukum. Wael Hallaj secara tegas menolak dan Abdul

Majeed al-Shagheer menulis dengan analisis panjang lebar untuk membuktikan

pandangan Crone yang dianggap keliru. Al-Shagheer, menjelaskan bahwa Imam al-

Shafi’i dan ulama’ lain menyusun usul fiqh untuk melindungi hukum Islam itu dari

keinginan orang-orang yang memiliki kekuasaan, khususnya Ummayyah. 46

44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ibid. 190.

Page 26: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

e) Post-Colonialism

Kajian post-kolonial telah dibangun untuk mendukung suara yang terpingirkan

oleh penjajahan barat, dan menolak anggapan barat tentang budaya dan ras yang lebih

baik. Edward Said, mengikuti pendapat Foulcault pada hubungan antara ‘bentuk

pengetahuan dan kekuasaan’, yang menjadi kunci kontribusi utama pada bidang ini. 47

Beberapa sarjana membutuhkan pendekatan post-modern untuk kajian Islam

dalam pemikiran post-kolonial. Pendekatan mereka bertujuan untuk mendekonstrtuksi

globalisasi dan homoginisasi kekuatan barat. Proyek mereka yang salah ini disebar ke

seluruh manusia, dengan anggapan bahwa barat akan menjadi pusat peradaban dunia.

Hal ini merupakan kelanjutan westernisasi dengan kontemporerisasi. Realitas politik

Muslim dan kehidupan masyarakat didefinisikan sebagai agama yang tidak rasional,

dan akhir-akhir ini, promosi yang dilakukan untuk mengangap Islam sebagai ancaman

peradaban Barat. 48

Post-modernisme mengatakan bahwa untuk merayakan perbedaan budaya

yang lain. Post-kolonialisme juga membuktikan adanya beberapa sarjana yang

mengkritisi Islam melalui pendekatan orientalis barat tradisional untuk menunjukkan

kesalahan kebudayaan Islam, dan menganggap bahwa ajaran Islam lebih baik dijadikan

sebagai peradilan tradisional, bahkan lebih buruk merupakan tiruan dari tradisi ini.

Contoh klasik pendekatan orientalis tradisional seperti yang direpresentasikan oleh

karya-karya Goldziher, Schacht, dan Gibb. 49

Pendekatan post-modern untuk hukum Islam menghadapi dua pendekatan

tardisionalis dan modernis melalui pertanyaan konsep kekuatan (power) dan otoritas

ulama’, imam, dan pemimpin politik yang diasumsikan. Bagaimanapun, kelompok

post-modern mengakui sedang menghadapi perang dengan dua posisi (tradisional dan

modernis), melalui pendekatan post-modern menghadirkan dua cara, reduksionis dan

uni-dimensional. Jasser Auda akan mengajukan pola baru yang lebih radikal yaitu kritik

sistem melalui pendekatan multi-dimensional dan holistik. Berikut gambar di bawah

menjelaskan bagaimana ilustrasi posisi kelompok post-modernisme yang terkait dengan

sumber hukum Islam dan level otoritas. 50

47 Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid. 191. 50 Ibid.

Page 27: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

ModernValue/righ

Rasionality

Ruling of Tradisional Madhab

Higher maqasid/interests

Prophetic Traditions

Qur’anic Verses

Radicallycriticised

RadicallyRe-interpreted

Minorly criticised

Supportive evidence

Re-interpreted

Apologetic interpretation

Proof (hujjah) Neo-Colonialism

Secularism

Critical LegalStudies

PoststructuralismPostcolonialism

Anti-Rationalism Historicism

Gambar 6 : Kecenderungan postmodernisme dalam term yang menyumbang

terbentuk aliran

Pendekatan Teori Sistem pada Teori Hukum Islam

1. Menuju ke Arah Validasi Semua Pengetahuan

a. Sakralisasi Ijtihad?

Para ulama fiqih pada umumnya medefinisikan fiqih sebagai hasil dari

pemahaman, persepsi dan pengamatan manusia. Fiqih merupakan persepsi dan

interpretasi seseorang yang bersifat subjektif. Metode ijtihad fiqih dan hasilnya sering

dipresentasikan sebagai ‘aturan Tuhan’ yang tidak bisa diganggu gugat. Ayat-ayat al-

Quran adalah wahyu, tetapi interpretasi ulama’ bukanlah wahyu. Namun demikian,

sering kali persepsi dan interprestasi ini diungkapkan sebagai perintah Tuhan untuk

digunakan berbagai kepentingan orang-orang tertentu. 51

Hasil ijtahid seringkali dimasukkan dalam kategori pengetahuan wahyu,

meskipun hasil hukum dan validasi metode ijtahidnya masih diperselisihkan. Contoh 51 Ibid., 193.

Page 28: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

utamanya adalah ijma’ (consensus). Meski terdapat perbedaan besar atas berbagai

keputusan ijma’, namun sebagai ulama’ fiqh menyebutnya sebagai dalil qat’i yang

setara dengan nass (Dalilun Qat’iyyun ka al-Nass), dalil dibuat oleh pembuat shari’at

(dalilun nassabah al-Shari’) dan bahkan menolak ijma’ berarti kafir (jahid al-ijma’

kafir). Pembaca yang familier dengan literatur fiqh tradisional akan mengetahui bahwa

ijma’ sering dijadikan ‘klaim’ untuk menghakimi opini/pendapat orang lain yang

berbeda. Ibn Taimiyah sebagai contoh, mengritik buku kumpulan ijma’ (maratib al-

Ijma’) karya Ibn Hazm. Dikatakan, bahwa klaim perkara-perkara yang sudah di-

Ijma’kan dalam kitab tersebut tidak akurat, sebab persoalannya masih khilafiah. Seperti

menolak ijma’ dianggap kafir, persoalan tidak ikutnya perempuan dalam shalat

jama’ahnya laki-laki, dan penyelenggaraan pembayaran empat dinar emas sebagai

jiziyah (pajak).52

Jaser Auda berpandangan bahwa Ijma’ bukan merupakan sebuah sumber

hukum, akan tetapi hanya sebuah mekanisme pertimbangan atau sistem pembuatan

kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak. Oleh kaena itu, Ijma’ sering

disalahgunakan oleh sebagian ulama untuk memonopoli fatwa demi sekolompok

“elite”. Sampai sekarang, prinsip-prinsip itu masih sangat mungkin dipakai sebagai

mekanisme untuk membuat fatwa yang bersifat kolektif, khususnya persoalan yang

terkait dengan teknologi modern dan dengan cara memanfaatkan telekomunikasi yang

sangat cepat. Ijma’ juga dapat dikembangkan dalam bentuk partisipasi masyarakat

dalam memutuskan kebijakan pemerintah. 53

Disisi lain, ulama fiqih juga menganggap bahwa metode penalaran analogi

(Qiyas) adalah didukung dan diperintahkan oleh wahyu. Mereka berpendapat bahwa

menganalogikan kasus sekunder (yang tidak terdapat dalam nass) kepada kasus primer

(yang terdapat dalam nass ) adalah keputusan Tuhan (tashbihu far’in bi ‘aslin tashbih

al-shari’). Oleh karena itu, dalam kasus-kasus ijtihadiyah yang menggunakan metode

penalaran analogis, beberapa ulama fiqh mengaggap diri mereka ” berbicara atas nama

52 Ibid. 53 Ibid. 194.

Page 29: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Tuhan”. Hal ini adalah sebuah bencana, yang dikutip Garaoudi, dimana batas antara

firman Tuhan dan perkataan manusia? 54

b. Memisahkan antara wahyu dengan penafsiran

Posisi kelompok para fuqaha, dalam literature hukum Islam dinamakan al-

Musawwibah (para validator), ketika memutuskan berdasarkan atas ‘asumsi-asumsi’

(zunun) untuk merefleksikan teks. Posisi ini harus jelas, dimana hasil pikiran manusia

dengan teks wahyu. Dengan demikian, seseorang hendaknya memisahkan antara nassh

dengan hasil ijtihad, antara wahyu dengan penafsiran dari perspektif seseorang dalam

memahami wahyu. Sebab, fiqh merupakan refleksi pengamatan manusia berdasarkan

sistem-sistem tertentu. 55

Para validator (al-Musawwibah) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam

kebenaran dari hasil ijtihad pada mujahidun. Dengan demikian terdapat perbedaan opini

hukum terjadi bertentangan dan perbedaan pendapat. Semua itu merupakan ekspresi

yang diperbolehkan dan kesemuanya adalah benar. al-Musawwibah dalam kelompok

ini tergolong ulama fiqih filusuf, semisal Abul Hasan Ay’ari, Abu Bakar ibn al-‘Arabi,

Abu Hamid al-Ghazali, ibn Rusyd dan sejumlah ulama Mu’tazilah. Al- Ghazali

mengungkapkan pandangan mereka, bahwa hukum Tuhan bergantung pada “keputusan

hukum fiqh perpektif ‘ulama fiqh. Apa yang diputuskan ulama fiqh adalah yang paling

mungkin benar”. 56

Sebuah pendekatan sistem hukum Islam membutuhkan arahan suatu sistem

kepada pemikiran ontologis dari sebuah kalimat. Oleh karena itu penerapan keunggulan

sistem cognotive nature akan memastikan pada penyimpulan para validator (al-

musawwibah) ketika memutuskan suatu putusan hukum apakah mungkin berada pada

posisi benar dan fuqaha yang lain memiliki opini lain yang bisa mengkoreksi atas

putusan tersebut.

Berdasarkan atas sistimatika pembagian shari’at yang datangnya dari fiqh atau

pemahaman, (lihat gambar 7: diagram hubungan antara fiqh, shari’ah, ‘urf dan qanun

54 Ibid. 55 Ibid. 56 Ibid.

Page 30: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dan lihat gambar 8: diagram hubungan antara fiqh, shari’ah, ‘urf dan qanun menurut

ulama’ tradisional). Hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata, pemahaman tentang

posisi fiqh. Jadi fiqh digeser dari posisi “pengetahuan wahyu” kepada posisi

“pemahaman manusia yang dihasilkan dari pengetahuan wahyu”, turun keluar dari

lingkaran pengetahuan wahyu. Oleh karena itu, jelas perbedaan antara shari’ah dengan

fiqh. Hal ini berimplikasi pada bahwa tidak ada lagi praktek fiqh yang dikualifikasikan

sebagai materi keyakinan, tanpa memperhatikan pertimbangan otentisitas (thubut),

implikasi bahasa (dilalah), ijma’ dan pemikiran qiyas. 57

Lebih jauh lagi, berdasarkan atas pembedaan antara tipe-tipe tradisi kenabian

(sunnah), menurut maqasid, kedudukan tradisi kenabian (sunnah) digeser keluar dari

lingkaran “pengetahuan wahyu”. dan seksi yang lain diturunkan kepada posisi diagram

bergaris yang membawa kepada term teori sistem. Diagram bergaris ini merupakan

seksi tradisi kenabian yang membuat tujuan tertentu, yang menurut al-Qarafi dan Ibn

Ashur mengusulkan, karena itu diturunkan pada garis tebal antara wahyu dan keputusan

manusia. 58

Tradisi kenabian meliputi tiga kategori; (a) sebagai pembawa risalah kenabian

(al-tasarrufu bi al-tabligh), (b) sebagai seorang hakim dan pemimpin (teks harus

difahami sesuai konteks yang dimaksud), dan (c) sebagai manusia biasa. Tiga kategori

ini secara otomatis membawa konsekwensi tersendiri. Peran Nabi pada item (a) dan (b)

masih dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan hukum.

Misalnya ketika Nabi menyelesaikan sengketa diantara sahabat. Meskipun demikian,

tidak semua perilaku nabi (a) dan (b) dapat dijadikan sebagai rujukan, kecuali yang ada

korelasinya secara kontekstual, dapat dijadikan rujukan. Adapun pada item (c) Nabi

kapasitasnya sebagai manusia biasa, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai bagian

rujukan untuk memutuskan hukum. Sebagi conto, ketika Nabi memakai gamis, maka

hal ini harus difahami sebagai bagian dari budaya arab dan bukan bagian dari misi

kenabian. Hal ini berbeda ketika Nabi melaksanakan shalat. Dalam konteks ini posisi

Nabi harus difahami sebagai pembawa risalah ketuhanan agar dicontoh. 59

57 Ibid. 195. 58 Ibid. 59 Ibid. 196.

Page 31: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

‘Urf (tradisi/adapt) atau dalam makna lain “kondisi social” tidak bisa dinafikan

mempunyai peran dalam proses pengambilan keputusan hukum. ‘Urf sebagai bagian

dari hukum. Lebih mudahnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini, yang

menggambarkan hubungan antara fiqih, shari’ah, dan qanun:

Gambar 7:

Tradisi Kenabian

Gambar 8:

2. Menuju ke Arah Holistik (Nahwa al-Dalil al-Kulli)

a. Ketidak-pastian Dalil Tunggal (ahad)

Beberapa ahli hukum memperhatikan pada pembatasan pendekatan

reduksionis dan atomistik yang biasa digunakan untuk usul fiqh. Bagaimanapun kritik

mereka atas atomisme didasarkan pada hubungan tidak pasti sebagai perlawanan atas

dua posisi yang bertentangan yaitu kepastian. Seseorang harus berhati-hati dalam

Wahyu/Shari’ah

Al-Qur’an

(a)

(b)

(c)

Urf Qanun

Shari’ah

Qur’an

Tradisi kenabian

Fiqh

‘Urf

Qanun

Fiqh

Page 32: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

menggunakan dalil-dalil ahad, karena seringkali bersifat dugaan (zanni). Fakhruddin al-

Razi, meyimpulkan berbagai sebab, “mengapa suatu dalil dapat bersifat dugaan

(zanni)”?:60

1) Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal dapat dibatasi oleh kepastian keadaan

tertentu, tanpa kita ketahui.

2) Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal bersifat metaforis.

3) Referensi kebahasan kita dari ahli Bahasa Arab yang mungkin salah

4) Grammer Bahasa Arab (nahwu-saraf) disampaikan kepada kita melalui syair-

syair Arab kuno melalui riwayat individual (riwayat ahad). Riwayat ini tidak

memiliki kepastian atas keaslian syair, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan

grammar.

5) Kemungkinan Nass memiliki banyak makna.

6) Adanya kemungkinan satu kata atau lebih pada nasss telah diubah, dalam waktu

yang lama, padahal perubahan makna dalam satu waktu dapat merubah makna

aslinya.

7) Kemungkinan Nass punya makna yang tersembunyi (khafi), yang tidak dapat

dimengerti oleh kita.

8) Kemungkinan Nass sudah dibatalkan tanpa sepengetahuan kita.

9) Keputusan hukum kemungkinan didasarkan kepada Nass difahami oleh akal

terasa ‘aneh’. Antara makna teks dengan realitas rasional tidak bisa diterima. 61

Jasser Auda menambahkan sembilan kesimpulan sebab di atas sebagai

berikut.

a) Terdapat kemungkinan nass tunggal dalam memiliki arti tertentu, kontradiktif

dengan nass tunggal yang lain (Ta’arud al-Nass), yang demikian ini terjadi pada

sejumlah besar nass, terdapat kajian khusus tentang nass yang berlawanan tersebut

(al-muta’arid).

b) Kemungkinan terjadi kesalahan susunan dalam menyampaikan teks Hadits ahad,

yang kebanyakan terdiri dari narasi kenabian.

60 Ibid. 197 61 Ibid.

Page 33: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

c) Kemungkinan terjadi perbedaan interpretasi terhadap beberapa nass tunggal yang

mempengaruhi cara kita membayangkan makna dan implikasinya. 62

Latar belakang filsafat al-Razi ini dikontribusikan bagi apresiasianya

bagaimana mendalaminya atas klaim kepastian dalil verbal yang tunggal.

Bagaimanapun, perhatian al-Razi dengan ketidakpastian dalil tunggal tidak

membawanya untuk melihat problem utama dari pendekatan dalil tunggal, yang

didasarkan atas hubungan kausalitas.

b. Prinsip-prinsip Holistik Tradisional dan Modern

Beberapa ahli hukum tradisional telah menekankan pentingnya menggunakan

holistik (al-dalil al-kulli). Al-Juwayni, sebagai contoh, yang menyarankan agar

menggunakan prinsi keunggulan holistik hukum Islam untuk menentukan dalil hukum

agar memenuhi prosedur yang tepat, ia menyebut sebagai ‘analogi holistic’ (qiyas

kulli). Al-shatibi, mempertimbangkan usul fiqh mendasarkan pada penonjolan

universalitas atau holistik untuk mengungkapkan hukum (kulliyat al-shari’ah). Dia juga

memberikan prioritas pada dasar-dasar holistic (al-qawa’id al-kulliyah) pada keputusan

dalil tunggal maupun parsial. Alasannya adalah putusan dalil tunggal ataupun parsial

untuk mendukung dasar-dasar holistik, dimana tujuan (maqasid) harus dipelihara.63

Kelompok Islam modern mempertajam kekurangan umum dari pendekatan

parsial dan individual hukum Islam. Sarjana kontemporer mencoba memperbaiki

kewajiban individual (al-fardiyah) dalam gagasan maqasid. Termasuk Ibn Ashur

memberikan prioritas maqasid untuk masyarakat bukan hanya individu. Demikian pula

teorinya Rashid Rida tentang reformasi dan hak asasi. Juga teorinya Taha al-Alwani

tentang maqasid untuk pengembangan peradaban di bumi. Dan juga teorinya yusuf al-

Qardawi tentang Universal maqasid berbasis al-Qur’an untukmembangun keluarga dan

bangsa. Bagaimanapun, karena aliran modern mengambil langit filsafat abad 19, maka

abad 20 Islam modern tidak dapat keluar dari tradisi ‘sebab akibat’ (kausalitas), sebagai

dasar tatakerja teologi. 64

62 Ibid. 198. 63 Ibid. 199. 64 Ibid.

Page 34: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Modernis Islam akhir-akhir ini mengintrodusir aplikasi yang signifikan tentang

prinsip holisme ini yaitu pola tafsir tematik. Tafsir Hasan Turabi yang berjudul al-

tafsir al-Tawhidi jelas memperlihatkan pendekatan holisme. Turabi menguraikan

bahwa pendekatan kesatuan (tawhidi) atau holistik (kulli) memerlukan sejumlah

metodologi pada level yang beragam. Pada level bahasa membutuhkan hubungan

dengan bahasa al-Qur’an ketika bahasa penerima pesan-pesan al-Qur’an pada waktu

wahyu diturunkan. Pada level pengetahuan manusia membutuhkan sebuah pendekatan

holistik untuk memahami dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat dengan seluruh

jumlah komponen yang banyak dan ketentuan yang memerintah mereka. Pada level

topik membutuhkan hubungan dengan tema-tema tanpa memperhatikan tatanan wahyu,

selain untuk menerapkan pada kehidupan sehari-hari. Dalam batasan ini termasuk

orang-orang yang tanpa memperhatikan ruang dan waktu mereka. Ini juga

membutuhkan kesatuan hukum dengan moralitas dan spiritualitas dalam satu

pendekatan yang holistik. 65

Holisme

(al-maqasid al-kulliyah)

Gambar 9 : Ilustrasi holisme model Hasan Turabi dalam pemahaman al-Qur’an

Pada era kontemporer saat ini, menurut Jaseer Auda, prinsip holistic dengan

menggunakan sistem filosofis dapat diperankan sebagai sarana pembaharuan. Hal itu 65 Ibid. 199-200.

Maqasid

Bahasa

Pengetahuan manusia

Topik

Ruang & waktu

Ruang & waktu Tema-

tema

Page 35: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

tidak terbatas pada sisi hukum Islam saja, tetapi juga pad ‘Ilm al-Kalam (Filosofi

agama). Secara singkat, prinsip penciptaan (dalil al-ikhtira’) lebih mengandalkan pada

“ketidakpastian tindakan tanpa sebuah dasar tujuan” dari pada “ketidakpastian tindakan

yang didasari sebab”. Prinsip-prinsip perlindungan (Dalil al-ri’ayah) akan lebih

bergantung kepada “keramahan manusia pada lingkungan ekosistem dan subsistem”

daripada dalil klasik yang dikemukankan tentang “klaim pembenaran”. Demikian juga

tentang prinsip wujud/eksistensi (dalil al-wujud) akan lebih bergantung pada desain

integrative dan sistematis alam semesta, dari pada argumentasi kosmologi klasik

tentang “transisi pertama” . 66

3. Menuju ke Arah Keterbukaan dan Pembaharuan

Suatu sistem harus terbuka dan dapat menerima pembaharuan, supaya bisa

tetap “hidup”. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk merombak pendekatan

sistem hukum Islam. Pertama, merubah ‘pola pandang’ atau ‘tradisi pemikiran’ ulama’

fiqh. Yang dimaksud dengan tradisi pemikiran adalah kerangka mental ulama fiqh dan

kesediaan mereka berinteraksi dengan dunia luar. Kedua, membuka diri pada filsafat

yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran pembaharuan sistem hukum Islam.67

a. Perubahan keputusan dengan tradisi pemikiran

Selama ini, dalam pandangan Jasser Auda, ulama fiqh masing sering berfikir

secara “eksklusif”. Sebagai contoh: pernyataan sebagian ulama’ Ahl al-Sunnah yang

meyakini bangsa Arab sebagai lebih tinggi derajatnya dibanding dengan bangsa non

Arab. Pernyataan ini jelas merupakan diskriminassi etnis yang seharusnya tidak terjadi.

Oleh karena itu, untuk mengembangkan maqashid pada era sekarang ini, logika berfikir

seperti itu tidak boleh digunakan lagi.68

Diagram di bawah ini (gambar 10) mengilustrasikan posisi, dimana

“pandangan dan wawasan luas ahli hukum” berperan di dalam sistem hukum Islam.

Dalam diagram itu juga terdapat posisi dimana ahli hukum yang berpengetahuan luas

menjadi sentral dalam menstranformasikan fiqh. Termasuk di dalamnya pengetahuan 66 Ibid. 201

67 Ibid. 68 Ibid. 210

Page 36: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

pada al-Qur’an dan tradisi kenabian. Dengan demikian segala sisi dapat

dikombinassikan dalam rangka memproduksi fiqh. Namun demikian, wawasan yang

luas harus mempunyai kompetensi, sesuai dengan basis keilmuan yang diperlukan.

Sebab, jika ahli hukum tidak memiliki kompetensi dan wawasan luas, maka ia tidak

akan dapat merumuskan keputusan fiqh secara akurat. 69

Gambar 10: Pandangan ahli hukum menjadi faktor utama dalam membentuk fiqh

b. Pembaharuan dengan Keterbukaan Filsafat

Disisi lain, terjadi penolakan para ulama’ terhadap filsafat Yunani dan metode

berfikir lain. Sebab kesemuanya dinilai ‘tidak bersumber dari Islam’. Sebagai contoh,

al-Ghazali mengkritik keras Filsafat Yunani dan orang-orang Islam yang mengikutinya.

Namun pada kesempatan lain al-Ghazali menerima logika Aristoteles. Dalam pada itu,

al-Ghazali menggunakan akar bahasa Arab yangh secara langsung diperoleh dari al-

Qur’an dan istilah hukum yang sudah dikenal, sebagai ganti dari Istilah Filsafat Barat.

Misalnya, al-Mahmul (sifat predikat), menjadi al-hukm (aturan), al-hadd al-awsat

(istilah menengah) menjadi al-‘illah (sebab), al-muqaddimah (dasar pemikiran)

69 Ibid.

Wahyu/Shari’ah

Al-Qur’an

(a)

(b)

(c)

Fiqh

Ahli hukum

Tradisi Kenabian

Wawasan luas yang kompeten

Page 37: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

menjadi al-asl (aturan dasar), al-natijah ( kesimpulan) menjadi al-far’ (aturan rinci),

dan al-mumkin (kemungkinan) menjadi al-mubah (diperbolehkan). 70

Meskipun al-Ghazali populer sebagai penyebab mandegnya perkembangan

teori dan pemikiran metdologi hukum Islam dari luar. Usul Fiqh tetap meneruskan arah

kebahasaan yang bermuara pada penurunan logika. Pemikiran sistem fiqh melanjutkan

pada sistem proposisi yang berhubungan dengan ‘perintah dan larangan’.

Analogi terdekat untuk menjelaskan sistem pemikiran fiqh tradisonal dalam

waktu modern adalah menggunakan logika deontic. Walaupun logika deontic adalah

sebuah term yang diciptakan oleh von Wright pada pertengahan abad ke duapuluh, satu

pemberitahuan bahwa standar sistem von Wright terkait dengan logika modal dan

aksioma utama, sesungguhnya lebih sama dengan pemikiran tardisional fiqh. Seperti

logika: “jika pekerjaan yang kita lakukan mengharuskan dengan sesuatu yang lain,

maka sesuatu yang lain itu harus juga dikerjakan.” (ma la yatimmu al-wajib illa bihi

fahuwa wajib).71

Itu sekedar gambaran bahwa para ulama fiqh masih belum mampu

mengembangkan keterbukaan dalam berfilsafat, dan menganggap bahwa sesuatu yang

datangnya bukan dari Islam adalah sebagai sesuatu yang salah dan harus dihindari.

Logika berfikir yang demikian dalam konteks pengembangan maqhasid saat ini sangat

sulit bisa diterima.

4. Menuju ke Arah Multidimensi

Hal yang sangat penting untuk difahami adalah bagaimana mendudukkan

Nass. Dalam pengetahuan ulama’ tradisional, sesuai dengan pemahaman yang

terdapat pada kitab klasik, konsep dalil Nass dibagi menjadi dua: Qat’i (sudah pasti)

dan zanni (belum pasti). Kemudian Nass Qat’i ini, oleh ulama’ tradisional dibagi

menjadi tiga, sebagaimana pengamatan Jasser Auda, yaitu Qat’iyyat al-Dilalah

(penunjukan pasti), Qat’iyyat al-Thubut (keotentikannya pasti), dan al-Qat’i al-mantiqi

(logikanya pasti).72 70 Ibid. 209. 71 Ibid. 72 Ibid. 214.

Page 38: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Sebenarnya konsep Qat’i ini yang merumuskan adalah ulama’ tradisional

berdasarkan dugaan mereka, yang kemudian dinyatakan sebagai ”kebenaran pasti”.

Menurut Jasser Auda, saat ini, untuk mengukur suatu “kebenaran” hendaknya diukur

dengan; apakah ditemukan bukti pendukung atau tidak?. Semakin banyak bukti

pendukung, maka semakin kuat tingkat “kebenaran pastinya”.

Selain itu juga terdapat permasalahan dalam istilah ta’arud al-adilah

(kontradiksi antara teks). Sebab, sebenarnya yang konstradiksi adalah dari sisi bahasa

saja, bukan pada sisi logika yang selalu dikaitkan dengan waktu saat teks dirumuskan.

Jika sisi logika ini dipakai, yang menjadi acuan adalah : apakah ‘seara substansi”

terdapat pertentangan atau tidak atas teks-teks tesebut. Karena itu, hendaknya aspek

historis sosiologis berperan dan dilibatkan di dalam menyikapi permasalahan ta’arud

al-adillah (Kontradiksi antara teks). Untuk mengatasi problematika ini, maka para

ulama’ fiqh seharusnya menggunakan kerangka maqashid, yakni mengambil skala

prioritas pada teks dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang ada dan tidak

menganggap satu teks bertentangan satu sama lain. Sebab, bagaimana mungkin firman-

firman Allah yang diturunkan oleh Allah sendiri saling bertentangan (kontradiksi)?

Membenarkan permasalahan ta’arud ini, justru akan merendahkan Allah dan menuduh

bahwa firman Allah tidak sempurna. 73

Pendekatan multy-dimensional dikombinasikan dengan pendekatan maqasid,

maka akan dapat memberikan solusi bagi pertentangan dua dalil yang dilematis.

Contoh yang dapat dipertimbangkan adalah seperti satu atribut yang mengandung

dimensi negatif dan positif. Dua dalil mungkin dalam satu pendapat dalam term satu

atribut, seperti dalam masalah perang dan damai, keteraturan dan kekacauan, berdiri

dan duduk, laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Jika kita hanya tertuju pada satu

dimensi, maka kita tidak akan menemukan jalan untuk penyelesaiannya.

Bagaimanapun, jika kita memperluas dari satu ruang dimensi kepada dua dimensi, yang

kedua adalah maqasid, yangmemberikan kontribusi dalil, maka kemudian kita akan

dapat menyelesaikan pertentangan tersebut dan memahami atau menafsirkan dalil

73 Ibid. 216

Page 39: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

dalam kontek yang utuh. 74 berikut ilustrasi tentang dua atribut yang bisa menjelaskan

dimensi negatif dan positif.

Gambar 11: Ilustrasi tentang dua atribut yang bisa menjelaskan dimensi

negatif dan positif.

5. Menuju ke Arah pengambilan Maqashid

Subsistem dalil kebahasaan dalam usul fiqh dapat mencapai tingkat maqasid

melalui usulan sebagai berikut:

a) Bahwa implikasi dari maqasid (dilalah al-maqasid) harus ditambahkan ke dalam

implikasi kebahasaan dari nass. Meskipun demikian, secara relatif bisa diarahkan

kepada implikasi yang lain. Tetapi bergantung pada situasi dan kepentingan

maqasid itu sendiri.

b) Kemungkinan dari kekhusunan (takhsis), ta’wil, dan naskh yang memiliki tiga tipe

kriteria yang berbeda, yaitu kejelasan nass, nama, muhkam, nass, zahir, dan

mufassar. Maqasid harus dibangun dari spesifikasi dan penafsiran. Oleh karena itu

74 Ibid. 223

Atribut Negatif Atribut positif

Dalil kedua Dalil Pertama

Capaian maqasid /maslah

Page 40: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

konsep naskh harus diterapkan secara betahap untuk difahami dalam rangka

mencapai maqasid sebagai kemurahan hati dari hukum Islam.

c) Maqasid merupakan ekspresi yang juga diputuskan pada validitas implikasi yang

berlawanan. Hal ini diputuskan melalui perdebatan yang logis. Jika ada

pertentangan dalil, maka tujuan tertinggi maqasid yang menjadi pertimbangan

utama.

d) Nass yang menjadi landasan hukum maqasid tertinggi selalu diekspresikan oleh

nass yang umum dan lengkap, sebagai ketentuan umum, bukan didasarkan atas

nass khusus atau tidak sempurna dari ayat yang bersifat individual. Oleh karena

itu, ayat yang bersifat individual tidak dapat mengapus atau menjadi pertimbangan

untuk kerangka kerja umum dari maqasid ini.

e) Hubungan antara term berkualitas dan tidak berkualitas yang menangani kasus

berbeda, yang terdapat pada sebuah materi pandangan yang berbeda, harus

didefinisikan pada capaian maqasid yang tertinggi, daripada sekedar

mempertimbangkan aspek kebahasaan dan aturan logika.75

Contoh pengambilan maqashid dalam metode hukum Islam adalah sebagai

berikut:

a. Istihsan berdasarkan maqashid

Selam ini, Istihsan difahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas.

Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat (sebab),

tetapi pada maqashidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk

mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqashid-nya secara langsung.

Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum) perampok, setelah ia

terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat untuk

menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah

seseorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum?

Contoh ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan

75 Ibid.231-232.

Page 41: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

memahami “maqashid” dalam penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau

menggunakan Istihsan, dapat mewujudkan maqashid melalui metode lain yang menjadi

pilihannya.76

b. Fath Dharai’ untuk mencapai Tujuan yang Baik

Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath Dharai’ di samping

Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang

dilarang harus diblokir (sadd Dharai’) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke

tujuan yang baik harus dibuka (Fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas

harus didasarkan pada maqashid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak

membatasi diri pada sisi konsekwensi berfikir negatif saja, tetapi memperluas ke sisi

pemikiran positif. 77

c. ‘Urf (tradisi/adat) berdasarkan Maqashid

Ibn Ashur menulis maqashid Shari’ah dalam pembahasan ‘urf, yang ia sebut

sebagai “universalitas hukum Islam”. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan ‘urf pada

sisi riwayat, melainkan lebih pada maqashid-nya. Ringkasan argumen Ibn Ashur adalah

hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan, hukum Islam dapat

diterapkan kepada semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan pesan

yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadith. Memang Nabi berasal dari

bangsa Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang

kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi,

maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal tidak dibawa ke kancah tradisi

internassional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak dapat digapai dan sesuai dengan

maqashid Shari’ah. Oleh sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap

sebagai peraturan universal. Ibn ‘Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsrkan

teks melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn ‘Ashur membaca

riwayat dari sisi tujuan moral yang lebih tinggi, daripada membacanya sebagai norma

yang mutlak.78

76 Ibid. 239. 77 Ibid. 241. 78 Ibid. 242.

Page 42: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

d. Istishab berdasarkan maqashid

Prinsip Istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan

prinsip ini harus sesuai denagn maqashid-nya. Misalnya, penerapan “praduga tak

bersalah sampai terbukti bersalah” (al-aslu Bara’at al-Dhimmah), maqashid-nya adalah

untuk mempertahankan tujuan keadilan. Penerapan “praduga kebolehan sesuatu sampai

terbukti ada dilarang (al-aslu fi al-ashya’i al-Ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-

tahrim) maqashid-nya untuk mempertahankan tujuan kemurahan hati dan kebebasan

memilih.79

Penutup

Mempertimbangkan maqashid menjadi sutau sistem hukum merupakan

keharusan di zaman kontemporer ini. Sebab tantangan hukum Islam bukan saja terkait

dengan internal umat Islam sendiri, tetapi juga sejauhmana ajaran Islam mampu

memberikan kontribusi pada peradaban modern. Dengan pendektan sistem ini akan

mampu memberikan solusi bagi problematika hukum Islam yang berlawanan dengan

peradaban modern selama ini.

Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-

valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga,

keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan

ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas

berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima,

mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam.

Pendekatan maqashid adalah pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik

(kulliyun) dan tidak membatasi pada teks ataupun hukum parsialnya saja. Namun lebih

mengacu pada prinsip-prinsip tujuan universal. Pendekatan dengan mengunakan

pemahaman maqashid bernilai tinggi dan dapat mengatasi berbagai perbedaan, seperti

gap antara Sunni dan Shi’ah, ataupun gap politik umat Islam. Maqashid merupakan

sebuah budaya yang sangay diperlukan untuk konsiliasi umat, sehingga mampu hidup

berdampingan secara damai.

79 Ibid. 243.

Page 43: MAQASID AL-SHARI’AH SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Maqashid hendaknya dijadikan sebagai tujuan pokok dari semua dasar

metodologi linguistik dan rasional dalam ijtihad, terlepas dari berbagai varian metode

dan pendekatannya. Karena, merealisasikan maqashid yang dijadikan sebagai sistem,

pendekatannya akan dapat menggapai keterbukaan, pembaharuan, realistis, dan

fleksibel dalam sistem hukum Islam. Dengan demikian proses ijtihad akan menjadi

efektif dan realistis sesuai dengan maqashid Shari’ah, yang intinya meraih

kemaslahatan (jalnul masalih).

Daftar Pustaka

Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of islamic Law: A Systems Approach, London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007.

http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 29 Januari 2011

Masud, Muhammad Khalid . Shatibi’s Philosophy of Islamic Law, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000.

Sumarwan, A. “Membongkar yangLama Menenun yang baru” dalam Basis, No. 11-12 tahun ke 54. Jogjakarta: Yayasan BP Basisi, Desember 2005.