manque à être: psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan...

14
Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra (revisi) 1 GHANESYA HARI MURTI Peneliti Matatimoer Institute Alumni Magister Sastra dan Budaya UNAIR Surel: [email protected] Abstrak Sumbangsih Psikoanalisis nyatanya selalu berkontribusi dalam berbagai macam disiplin ilmu, Psikoanalisis juga secara historis sudah mampu menyatakan bahwa dirinya bukanlah cabang ilmu yang tertutup, dan kaku terhadap cabang ilmu lain. Sifat Psikoanalisis yang “sengaja” menyatakan dirinya eclectic akhirnya banyak dimanfaatkan untuk menjelaskan tidak hanya pembentukan subjek, tapi juga kebudayaan, dan sastra, bahkan politik dan pandangan paskakolonial. Freud yang mengawali bidang psikiatri ini bahkan menggunakan mitos Oedipus sebagai analogi yang pas untuk memperjelas pandangannya akan diri yang asali. Tidak berhenti disana, Lacan dengan tradisi struktural bahasa melahirkan gagasan lack (manque à être) yang menyatakan secara implicit bahwa pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra adalah kreasi tanpa final karena adanya kekurangan pada diri ketika tersembelih oleh bahasa. Posisi Psikoanalisis juga menjadi lebih mencuat ketika Zizek begitu rakus pada pandangan Psikoanalisis untuk mempertajam berbagai macam gagasannya. Psikoanalisis dengan begitu dirasa perlu dicari relasinya pada berbagai macam fenomena kekinian serta garis singgung interdisiplinernya karena hanya dengan begitu ilmu sosial selalu terbuka untuk perubahan. Kata Kunci: Lack, Struktural, Mitos Oedipus, Pembentukan Subjek, Budaya, Sastra A. Oedipan, Sebuah Asumsi Dasar yang Menjangkar Psikoanalisis hendak memberikan penjelasan tentang bagaimana subjek dapat kembali ke pengalaman primordial, ataupun mitik yang secara spesifik diandaikan sebagai pengalaman kembali bersatu dengan tubuh ibu. Pembacaan ini pertama kali dilontarkan oleh Sigmund Freud yang baginya pengalaman tersebut dikonseptualiasasi sebagai pengalaman oceanic 2 karena dia merepresentasikan yang utuh atau keutuhan dimana didalam rahim ibu semua kebutuhan dapat terpenuhi (aman, nyaman, kenyang, penuh cinta). 1 Makalah disampaikan dalam Workshop Psikoanalisis Sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UNEJ bekerjasama dengan Matatimoer Institute, Aula FIB, 24 Pebruari 2017. 2 Freud menegaskan pengalaman oceanic sebagai pengalaman yang tak terbatas, it is a feeling which he would like to call a sensation of eternity, a feeling as of something limitless, unbounded, something oceanic. It is, he says, a purely subjective experience, not an article of belief; it implies no assurance of personal immortality, but it is the source of the religious spirit and is taken hold of by the various Churches and religious systems, directed by them into definite channels, and also, no doubt, used up in them. Lihat, Freud, 1961:7.

Upload: others

Post on 19-Nov-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

(revisi)1

GHANESYA HARI MURTI Peneliti Matatimoer Institute

Alumni Magister Sastra dan Budaya UNAIR

Surel: [email protected]

Abstrak

Sumbangsih Psikoanalisis nyatanya selalu berkontribusi dalam berbagai macam

disiplin ilmu, Psikoanalisis juga secara historis sudah mampu menyatakan bahwa

dirinya bukanlah cabang ilmu yang tertutup, dan kaku terhadap cabang ilmu lain. Sifat

Psikoanalisis yang “sengaja” menyatakan dirinya eclectic akhirnya banyak

dimanfaatkan untuk menjelaskan tidak hanya pembentukan subjek, tapi juga

kebudayaan, dan sastra, bahkan politik dan pandangan paskakolonial. Freud yang

mengawali bidang psikiatri ini bahkan menggunakan mitos Oedipus sebagai analogi

yang pas untuk memperjelas pandangannya akan diri yang asali. Tidak berhenti

disana, Lacan dengan tradisi struktural bahasa melahirkan gagasan lack (manque à

être) yang menyatakan secara implicit bahwa pembentukan subjek, kebudayaan dan

sastra adalah kreasi tanpa final karena adanya kekurangan pada diri ketika

tersembelih oleh bahasa. Posisi Psikoanalisis juga menjadi lebih mencuat ketika Zizek

begitu rakus pada pandangan Psikoanalisis untuk mempertajam berbagai macam

gagasannya. Psikoanalisis dengan begitu dirasa perlu dicari relasinya pada berbagai

macam fenomena kekinian serta garis singgung interdisiplinernya karena hanya

dengan begitu ilmu sosial selalu terbuka untuk perubahan.

Kata Kunci: Lack, Struktural, Mitos Oedipus, Pembentukan Subjek, Budaya, Sastra

A. Oedipan, Sebuah Asumsi Dasar yang Menjangkar

Psikoanalisis hendak memberikan penjelasan tentang bagaimana subjek

dapat kembali ke pengalaman primordial, ataupun mitik yang secara spesifik

diandaikan sebagai pengalaman kembali bersatu dengan tubuh ibu. Pembacaan

ini pertama kali dilontarkan oleh Sigmund Freud yang baginya pengalaman

tersebut dikonseptualiasasi sebagai pengalaman oceanic2 karena dia

merepresentasikan yang utuh atau keutuhan dimana didalam rahim ibu semua

kebutuhan dapat terpenuhi (aman, nyaman, kenyang, penuh cinta). 1 Makalah disampaikan dalam Workshop Psikoanalisis Sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas

Ilmu Budaya UNEJ bekerjasama dengan Matatimoer Institute, Aula FIB, 24 Pebruari 2017.

2 Freud menegaskan pengalaman oceanic sebagai pengalaman yang tak terbatas, “it is a feeling

which he would like to call a sensation of eternity, a feeling as of something limitless, unbounded,

something oceanic. It is, he says, a purely subjective experience, not an article of belief; it implies

no assurance of personal immortality, but it is the source of the religious spirit and is taken hold of

by the various Churches and religious systems, directed by them into definite channels, and also, no

doubt, used up in them”. Lihat, Freud, 1961:7.

Page 2: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

Pengalaman ini yang dirindukan pada diri setiap individu sebagai pengalaman

yang tak terbatas. Oceanic menggambarkan bahwa individu bagai setetes air

yang jatuh pada lautan sehingga dia merasa penuh ketika bersatu dengan

struktur asalinya yaitu lautan persis seperti mitos Oedipus.3 Pengalaman

primordial ini kemudian dicari dan menjadi proses yang tak pernah sampai

bahkan berusaha disubstitusikan melalui hal lain seperti agama, agar bisa

menyalurkan keinginan yang terbatas ketika diri dilahirkan. Mitos Oedipus ini

kemudian menjadi asumsi dasar bagi psikoanalisis berikut pemikir setelahnya

seperti Jacques Lacan untuk menjelaskan dengan cara yang lebih pelik dan

ketat fenomena tersebut melalui kacamata struktural.

B. Lacan, proses pembentukan diri dan kebudayaan

Pararel dengan pemahaman di atas, kebutuhan berikut hasrat menjadi tidak

bisa terpenuhi secara absolut karena “celakanya” individu harus dilahirkan dan

keluar dari rahim ibu. Manusia yang lahir dan keluar berarti harus berjibaku

dengan dimensi kebudayaan sekaligus turut mengkreasikannya dengan tujuan

dapat memenuhi perasaan yang hilang ketika berpisah dengan tubuh ibu.

Namun tragisnya produksi kebudayaan tidak serta merta membuat diri

menjadi penuh, namun justru mempertajam perasaan bahwa diri selalu dalam

kekurangan atau lack.4 Peristiwa munculnya kekurangan kemudian dirunut

ulang oleh Lacan dalam tiga fase.

Yang real

Tahapan real dapat dikatakan seabagai tahapan undifferenciated,

tahapan dimana diri tidak terbedakan dengan yang lain. Tahapan ini

dibayangkan pada fase dimana tubuh infant dan tubuh ibu masih

(dibayangkan) sebagai satu kesatuan. Tentunya hal ini tidak bisa dialami ulang

3 Oedipus, mitos karya Sopocholes, berusaha membunuh ayahnya agar dapat menikahi ibunya

untuk menjadi raja. Freud menegaskan bahwa bawah sadar kita bekerja seperti kisah Oedipus

sehingga hasrat ini negatif dan harus ditekan sedangkan bagi Lacan Oedipus Kompleks lebih

bekerja sebagai struktur simbolik yang dibatinkan melalui hukum ayah (phallus yang secara

signifier kemudian menuntut kategorisasi dalam bentuk the imaginer, the real, dan the symbolic)

hal ini terjadi sejak proses pemisahan anak dengan tubuh ibu secara tragis. Lihat, Homer, 2005:

53-54.

4 Lack adalah konsep kunci Lacan yang menunjukkan betapa subjek selalu dalam posisi

kekurangan, memiliki lubang dalam segala model pemaknaan yang tidak pernah selesai, hal ini

disebut lack (manque-à-être) atau dalam proposi neologisme english sebagai “want to be”. Maka

Lacan secara tegas menyatakan “It is around this hole, in which the support of the signifying

chain is lacking in the subject, and which has no need, one notes, of being ineffable in order to be

awe-inspiring, that the whole struggle in which the subject reconstructed itself took place”. Lihat,

Lscan, 2001: 156.

Page 3: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

oleh subjek ketika subjek dilahirkan, karena setelah lahir, kelamin sudah

ditentukan, serta subjek juga dihadapkan pada kode sosial seperti diberi baju

atau nama sesauai dengan jenis kelamin biologisnya. Artinya yang real adalah

subjek pralinguistik yang memungkinkan diri belum terfragmentasi, belum ada

pemilahan subjek-objek, anak-ibu, ataupun subjek dengan kebutuhan biologis

yang dihasratinya. Fase real dengan begitu berbeda dengan real dalam artian

realitas, karena realitas baru bisa ditangkap setelah manusia berbahasa yang

memungkinkan dirinya untuk mengutarakan objek yang dihasratinya. Dengan

kata lain realitas adalah dimensi dimana subjek mengalami lack akibat

tubuhnya yang tidak terpuaskan, sedangkan real adalah wilayah di mana

perasaan utuh atau terpuaskan muncul (Lacan, 2001: 11)

Yang imaginary

Fase imajiner bisa dibayangkan pada saat subjek mulai mengidentifikasi

dirinya sebagai subjek yang berbeda dengan tubuh ibunya. Fase ini sering

sekali ditautkan dengan fase cermin diri, karena pasa saat tersebut subjek

mulai menentukan dirinya atau “making sense of self” sebagai subjek yang

mengetahui kediriaannya dengan cara yang tidak fragmentaris. Fragmentaris

adalah ketika sang anak menemukan pleasure secara parsial seperti halnya

ketika nikmat menikmati puting ibu melalui mulut khas tahapan oral5 yang

terjadi pada usia 0-2 tahun. Pengalaman kenikmatan yang tadinya terpisah,

hanya melalui mulut, kemudian disadarkan bahwa dirinya adalah kesatuan

dan berbeda dengan tubuh ibu melalui fase cermin. Tahapan cermin kemudian

mengimajinasikan diri dengan membedakan diri dengan yang lain, sekaligus

diri yang otonom dengan maksud agar mengenal dirinya lebih baik. Imajinasi

berperan penting karena memungkinkan diri untuk memahami dirinya, self,

dengan objek lain atau the other yang tentunya bukan dirinya. Lacan

menegaskan “in particular, the relation between the subject,…on the other, is

frequently contrasted with the imaginary relation, that between the ego and its

images. In each case, many problems derive from the relations between these two

dimensions” (Lacan, 2001:10-1). Relasi yang nyatanya dan celakanya bukan diri

ini adalah awal mula subjek melekatkan identitas pada diri melalui objek lain.

Seperti bila ada anak punk yang melekatkan dirinya dengan grup band tertentu

lalu menyatakan dirinya “saya adalah anak punk”, padahal usaha tersebut

5 Freud memberikan hemat tentang tahapan di mana tubuh berusaha menggabungkan dirinya

dengan objek lainnya yang bukan tubuhnya demi mencapai kepuasaan, tubuh anak merasa dia

adalah satu dengan ibunya tapi disisi lain dia menikmati dirinya juga parsial karena kenikmatan

itu dihubungkan melalui objek lain yang dirasakan secara fragmentaris (menyusui:mulut, buang

air besar:anus). Lihat, Freud, 2005: 31

Page 4: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

adalah bukti kegagalan diri untuk mengidentifikasi karena tidak ada satupun

bayi yang ketika lahir sudah dibebani bahwa dirinya kelak akan menjadi anak

punk, namun imajinasi merelasikan itu.

Yang simbolik

Semakin dewasa diri maka semakin mapan pula dunia pengalaman

karena diri masuk dalam dimensi simbolik yang dimediasi melalui bahasa. Hal

ini dapat dipahami pada kondisi ketika subjek sudah bisa berbahasa dan tidak

“cooing” maka akses pada dimensi simbolik-kultural menjadi terbuka namun

sekaligus merepresi subjek untuk sudah selalu berkata sesuai dengan domain

simbolik. Perubahan ini terlihat jelas karena ketika masih bayi, subjek tidak

dilarang apapun ketika belum bisa berbicara namun menjadi miliki batasan

ketika sudah berbahasa. Ini yang menyebabkan subjek sudah ada pada kondisi

represi, karena bahasa selain membantu diri menjadi subjek tapi juga

memberikan batasan apa yang boleh diucapkan dan apa yang tidak. Kondisi

merepresi ini adalah teknik menjinakkan hasrat yang selalu tak terpuaskan

“desire (fundamentally in the singular) is a perpetual effect of symbolic

articulation. It is not an appetite: it is essentially excentric and insatiable. That

is why Lacan co-ordinates it not with the object that would seem to satisfy it, but

with the object that causes it (one is reminded of fetishism) … in Lacan‟s sense, is

himself an effect of the symbolic” (Lacan, 2001:10). Dalam kerangka ini subjek

yang berbahasa memerlukan ego6 serta imajinasi ketika hasrat dijinakkan oleh

simbolik “the imaginary transference…which, by an effect of symbolic

subduction, degrades, diverts, or inhibits the cycle of such behaviour, which, by

an accident of repression, has excluded from the control of the ego this or that

function or corporal segment, and which, by an action of identification, has given

its form to this or that agency of the personality” (Lacan, 2001:26). Di sini juga

dapat terlihat sumbangsih Lacan ketika memetakan imajinasi sebagai bentuk

ketidaksadaran dan ego milik freud sebagai kesadaran.

Tahapan – tahapan tadi bukan berarti mutlak sirna,atau selesai disaat

dewasa karena mereka terus terjadi dalam pengalaman hidup manusia yang

juga mempengaruhi kebudayaan dengan tujuan hadirnya kepuasaan pada

subjek.

6 Pendapat tentang ego tidak bisa dilepaskan dengan id maupun super-ego. Ego dianggap

struktur yang dapat mendamaikan id maupun ego dengan menjadi jembatan. Ketika subjek

dianggap irasional karena hasrat libido yang menggebu maka ego sebagai yang rasional harus

bisa menyelaraskan segala keinginan yang meledak-ledak ini agar sesuai dengan norma atau

kode sosial yang dia andaikan sebagai superego. Lihat, Thurschwell, 2000: 82.

Page 5: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

C. Fort-da game, subjek berbahasa dan kebudayaan

Sebagai subjek yang berbahasa dalam dimensi simbolik nyatanya diri makin

mengalami dilema karena bahasa memiliki keterbatasan untuk

mengartikulasikan keinginan subjek serta realitas. Sebagai ilustrasi ketika

subjek ingin makan tapi tidak bisa menentukan harus makan apa, lalu berkata

terserah kepada temannya, tapi nyatanya kata terserah ini tidak bermakna

terserah termannya, tapi terserah dia yang dirinya sendiri tidak tahu itu apa.

Ada peristiwa dimana subjek semakin sadar kekurangan, lack, sehingga dia

terus menerus ingin diisi dan dipenuhi. Kekurangan ini mengintensifikasi

desire sebagai leftover dari kebutuhan. Jika kebutuhan bisa terpenuhi, maka

desire adalah sisa dari kebutuhan yang tidak bisa terpuaskan. Kebudayaan

dalam kerangka itu diciptakan untuk mensubstitusi desire yang tak pernah

final, maka rangkaian ini dibayangkan seperti Fort da game7 di mana peristiwa

pralinguistik, fase real, muncul dan hilang kembali bersama simbolik bahasa.

Subjek yang terbelah (split), pleasure-pain

Konsekuensi yang lain ketika manusia berbahasa dan berbudaya adalah bahasa

bukan milik personal tapi publik. Bahasa sebagai satu-satunya akses menuju

realitas merupakan kesepakatan sosial, sehingga bahasa selalu diatur dan

diproporsikan melalui yang simbolik. Ketika subjek menemukan proporsinya

dengan realitas sosial simbolik maka dia menemukan kebahagian sementara,

Lacan menyebut ini sebagai jouissance. Jika begitu jouissance (kebahagiaan,

enjoyment) bukanlah yang murni karena dia nyatanya hanya demi memenuhi

kebahagian yang lain (the other). Lacan dalam Fink menjelaskan peristiwa ini

sebagai “to hand over a certain jouissance to the Other and let it circulate in the

Other, that is, let it circulate in some sense outside of ourselves” (Lacan dalam

Fink, 1995:103). Artinya, ini adalah peristiwa pleasure-pain, castration-

jouissance, ketika keinginan tadi tersembelih oleh bahasa yaitu terkastrasi tapi

juga menemukan kebahagian yang diserahkan kepada the other.

Secara mudah dapat diilustrasikan pada saat seorang pegawai bank

yang senang bekerja seolah mendapatlkan keuntungan padahal

kegemberiannya sebenarnya ditentukan oleh parameter laba bank. Artinya,

dirinya bahagia mendapat uang namun juga menderita karena hidupnya dan

7 Fort da Game adalah permainan yang dijadikan acuan oleh Freud ketika dia melihat cucunya

Ernts bermain gulungan benang (seperti benang layang-layang) yang dia lemparkan lalu

menghilang, ketika benang ditarik kembali maka benang berikut alat penggulungnya juga

kembali dan membuat dia senang. Tapi kesenangan Ernts hanya bersifat sementara maka

benang itu dia lemparkan lagi kemudian ditarik lagi lalu demi mendapatkan kesenangan

(tertawa) secara berulang – rulang. Lihat, 1990: 8-9.

Page 6: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

ketagori bahagianya didisiplinkan oleh aturan perbankan yang tentunya jauh

lebih bahagia jika dia memenuhi target kerjanya. Siklus ini seperti hutang yang

tak mungkin terbayar karena diri tidak lagi mengetahui dirinya secara penuh

tapi justru menjadi subjek terbelah karena proses tersebut. Lacan menjelaskan

bagaimana proses subjektifikasi (individu ditulisi dan dikreasikan) seperti

dalam skema berikut.

Garis lengkung s → s' adalah garis linguistik sebagai rangkaian penanda

(chain of signifier). Garis lengkung ∆ →$ adalah gerak libido pada subjek.

Kesimpulannya posisi subjek adalah selalu dalam potongan atau irisan bahasa

yang memproduksi subjek terbelah ($) yaitu subjek yang tidak utuh, subjek

yang pada dirinya hasrat direpresi dan dikodifikasi tatanan simbolik.

Celakanya rangkaian signifier selalu mengacu pada signifier lain dan bukan

pada signified s → s' (Lacan, 2001:231). Maka subjek terus terbelah melalui

bahasa tapi disisi lain dia juga harus mempertahankan libidonya.

Kebudayaan dengan begitu selalu bergerak dalam siklus tersebut,

dimensi tanpa ujung dengan harapan adanya desire yang bisa terpenuhi

walaupun secara teoritik dinyatakan tidak pernah logis, karena diri tidak

mungkin menemukan dirinya ketika dikaitkan dengan objek lain (the other)

yang bukan dirinya. Kebudayaan, the other, ada hanya sebagai perpanjangan

hukum ayah,, hukum dimana yang patut dan tidak patut terus berusaha

dikonstruksi dan menemukan bentuknya sesuai dengan skema Oedipan. Subjek

yang lacking kemudian hanya bisa bermain dan merayakan fantasi melalui

permainan bahasa.

Page 7: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

Kebudayaan, empat wacana dalam Oedipanisasi

Permainan bahasa yang dimainkan oleh subjek dalam pembentukan diri

dan kebudayaan bukanlah permainan bebas yang tanpa aturan tapi selalu

menuntut hadirnya wacana tuan. Jadi berbahasa adalah usaha untuk

mengatur desire agar sesuai dengan kode sosial simbolik sebagai tuan. Artinya

subjek sudah selalu dalam posisi bagaimana agar hasratnya disepakati oleh

kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini adalah sang ayah (penanda tuan

atau pun master signifier) yang nantinya segala ujaran tidak boleh

bertentangan dengan hukum ayah.8 Pemikiran ini kemudian dijabarkan dalam

empat tipe wacana Lacan

Keterangan:

$ : subjek yang terbelah

a : pengingat kenikmatan, jouissance

S1 : penanda tuan, master signifier, hukum ayah

s2 : pengetahuan

Secara mudah segala yang tampak (sadar) berada pada posisi diatas

garis, sedangkan yang tidak sadar ada dibawah garis. Empat wacana tersebut

(kiri atas) berfungsi sebagai komando (commanding) demi memenuhi relasi

yang diseberangnya. Wacana tersebut kemudian diberi nama wacana analis,

universitas, master (tuan) dan wacana histeris (Lacan dalam Fink, 1995:31-9).

Agar mudah dipahami maka akan diberikan ilustrasi dari setiap wacana

dengan sebuah cerita, namun perlu dicatat bukan berarti setiap tatanan

wacana tadi berlaku secara sekuen, berurutan ataupun bertahap.

Katakanlah seorang ayah (s1/agent) menyuruh anaknya (other/s2) untuk

melanjutkan kuliah di kedokteran karena dia berharap anaknya ($/truth) juga

bisa bahagia seperti kakaknya yang sukses menjadi dokter . Sang anak yang

setuju dan patuh pada hukum ayah akhirnya “manut” kuliah karena

menganggap hasrat/ jouissance (a/product) akan terpenuhi. Peristiwa ini adalah

wacana tuan di mana penanda tuan memliki acuan relasi untuk memuaskan

8 Lacan mengembangkan pemikiran Hegel untuk menjelaskan relasi hubungan subjek selalu

pada posisi master-slave, atau tuan budak. Subjek ketika mengalami symptom (cara tubuh

mendapatkan kepuasaan sesuai dengan hukum ayah) selalu dalam posisi direpresi melalui relasi

tersebut. Lihat, Lacan, 2001: 20.

Page 8: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

anak. Namun ketika anaknya masuk pada bangku perkuliahan, pengetahuan

akan kedokteran berikut teorinya (s2/agent) yang nyatanya diperintah oleh

ayah sebagai sesuatu yang benar (s1/truth) ternyata tidak bisa memuaskan

hasratnya (a/other) dan dia makin yakin bahwa dia merasa kekurangan, lack

dan menjadi subjek terbelah ($/product). Peristiwa ini menandakan adanya

wacana universitas dimana pengetahuan kedokteran dibalik itu hanya demi

memenui hukum ayah, atau para pakar kedokteran (dokter, dan ahli medis)

sehingga kenikmatan yang didapat bukanlah kenikmatan yang sempurna

bahkan dia tahu dia merasa kekurangan. . Sang anak lalu memunculkan

hasratnya (a/agent) atas saran pengetahuan akan kedokteran tadi (s2/truth)

untuk memuaskan dirinya yang terbelah, split, tadi ($/other). Namun apa yang

terjadi dia makin paham bahwa dia hanya menuruti ego ayahnya (s1/product)

terlebih di masa kuliahnya dia malah sibuk menulis novel. Peristiwa ini

dimaksudkan dalam wacana analis ketika anak berusaha untuk tidak lagi

patuh. Lalu dia ($/agent) bertemu dengan temannya yang kuliah di Sastra dan

mengutarakan dirinya ingin kuliah di fakultas budaya saja dan menyatakan

tidak tahan kuliah di kedokteran kepada ayahnya (tidak kuat ditulisi terus

menerus, merepresi terus menerus) oleh hukum ayah (s1,other). Sang anak

sedang mengabarkan wacana histeris di mana dalam bawah sadar dia

merindukan kenikmatan (a/truth) yang menurut ayahnya menjadi dokter

adalah syarat kebahagian (s2, product). Empat wacana tadi analog dengan

skema Oedipan, hukum dimana master signifier yang hadir dalam realitas

keseharian befungsi seperti ayah yang represif dan tidak bisa ditentang.

Ilustrasi diatas adalah gambaran bagaimana segala tindakan dalam

dimensi kebudayaan baik dalam kesadaran maupun ketidaksadaran selalu

dapat direlasikan sebagai peristiwa bahasa, karena hanya bahasa yang

memiliki akses pada setiap pengalaman wacana, Lacan dengan begitu

menyatakan tidak ada peristiwa diri dan juga kebudayaan yang diluar bahasa,

Lacan dengan begitu menolak metabahasa (Lacan dalam Fink, 1995:44).

Artinya pada hukum ayah yang mengkodifikasi cara tubuh untuk mencapai

kenikmatan (symptom) pun harus melalui bahasa. Celakanya lagi bahasa

memiliki keterbatasannya sehingga gerak diri dalam bahasa selalu memakai

fungsi metonimi.

Lacan lalu menjelaskan, “for the symptom is a metaphor whether one

likes it or not, as desire is a metonymy, however funny people may find the idea”

(Lacan, 2001:133). Artinya bahasa adalah gejala tubuh yang tidak terpuaskan,

sehingga bahasa selalu bersifat metaforik, sedangkan desire adalah metonimi

atau substitusi dari penanda ke penanda yang lain yang tak pernah usai dalam

Page 9: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

sistem kebudayan. Sebagai ilustrasi bahwa metafora tidak sanggup melukiskan

yang diinginkan bisa dilacak pada kalimat “wajahnya masih dingin, seperti

malam selepas hujan, begitu beku begitu kaku”. Kata sperti ini sebenarnya

berusaha membahasakan wajah yang bagaimana? Bisa saja wajah yang sedih,

wajah yang muram tapi apapun itu wajah tersebut tidak bisa direpresentasikan

secara utuh karena batasan bahasa tadi sehingga metafor menjadi jalan keluar,

tapi tentu saja metafor tersebut masih tidak bisa membahasakan keluaasan

makna tadi, maka dia selalu kekurangan. Analogi yang lain adalah ketika

mengendarai sepeda motor dan berusaha mengerem tapi tidak berhasil secara

sempurna seseorang kadang berbicara”remnya gak makan”. Bagaimana

menjelaskan kata makan, kalau artinya menyatakan bahwa rem tidak

berfungsi sebenarnya remnya berfungsi tapi tidak maksimal, tapi didefinisikan

berfungsi pun juga tidak. Sama dengan cara kerja itu, tubuh yang ingin

dipuaskan (symptom) tidak pernah bisa dimediasi oleh bahasa secara penuh

maka dia hanya berupa metafor – metafor. Dalam tahap ini yang tidak

terpuaskan adalah desire sehingga dia menuntut substitusi, atau dalam istilah

bahasa adalah metonymy. Seseorang bisa lebih suka bilang “saya minum

mizone” sebagai substitusi dari “saya minum air” karena dia haus yang merujuk

pada tubuh yang ingin dipuaskan dahaganya.

Ayah dalam empat wacana tadi pun sangat mungkin lebih suka

menyatakan “anak saya masuk kedokteran” ketimbang “saya puas ketika anak

saya masuk kedokteran” padahal dibalik dia sebagai subjek yang terbelah tadi

ada “saya yakin hanya kedokteran yang mampu menjamin masa depan anak

saya”. Tapi tentunya bahasa tadi hanya tampilan – tampilan, yang selalu

menyisakan kekurangan, lacking, karena kelak ada ruang sisa yang membuat

ayah ingin anaknya begini dan begitu, tidak berhenti disitu saja. Empat wacana

yang fundamental ini juga berkaitan dengan produksi psikis pada subjek, yaitu

subjek yang patuh (neurotic),9 subjek yang bernegosiasi (perverse)10 dan subjek

yang menolak (psikosis)11 yang bisa dikenali saat dirinya berinteraksi dengan

yang simbolik (Lacan, 2001:215).

9 Neurotic adalah kategori subjek normal karena selalu melakukan internalisir atas

yang simbolik. Lihat, Lacan, 2001: 61.

10 Perverse adalah subjek yang melakukan tindakan yang melibatkan simbolik (master

signifier) tapi juga melakukan resistensi di tahap yang sama. Sebagai contoh, seorang

percaya bahwa dia beragama tertentu dan agama bisa mendatangkan jouissance tapi

dia tidak melakukan perintah agama secara mutlak. Ibid.hlm. 246.

11 Psikosis adalah peristiwa bahwa subjek tidak bisa merepresi dan menolak yang

simbolik karena tidak bisa merelasikannya (seriate) sehingga dai perlu disembuhkan.

Ibid. hlm.13 &168.

Page 10: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

Konsep perversi akhirnya memberikan ilham pada Bhabha, seorang

pemikir poskolonial, untuk menelurkan konsep ambivalence,12 bahwa subjek

yang terjajah tidak serta merta menerima imperialisme kultural yang

didiskursifkan oleh penjajah seperti yang diujarkan oleh Edward Said dalam

bukunya Orientalisme (1978), tapi subjek terjajah juga aktif memproduksi

makna sehingga menimbulkan tindakan yang lebih negosiatif dalam memahami

wacana yang dibawakan penjajah.

Lacan juga ditemukan pada tataran politik, master signifier digunakan

oleh Laclau-Mouffe, pemikir politik sosial baru, untuk menegaskan gagasannya

dalam buku Hegemony and Socialist Strategy, Towards A Radical and

Democratic Politics (1985) yaitu demokrasi plural radikal.13 Gagasan Laclau-

Mouffe adalah bagaimana menyatukan masyarakat agar tercipta masayakat

politis kultural yang juga melibatkan wacana dari dalam yaitu penanda tuan.

Tujuannya adalah menghimpun wacana hegemonic baru agar tercipta jalan

keluar dari status ketidak beresan sosial karena adanya objek petit a yang

sama.

D. Psikoanalisis, karya sastra sebagai tindakan

Perenungan selanjutnya adalah mencari relasi psikonalisa dengan karya

sastra. Secara sederhana Lacan melihat bahasa sebagai akses menuju realitas

simbolik , tapi perlu juga dicatat bahwa karena simbolik dikreasikan melalui

bahasa yang sifatnya rentan dan arbitrer maka yang simbolik pun tidak pernah

mutlak melekatkan dirinya dengan subjek maka disaat itulah kemungkinan

akan hadirnya yang real menjadi mungkin (Zizek, 2008: 23). Hal ini senada

dengan wacana analis dan wacana histeris Lacan yang nyatanya berusaha

menentang simbolik sebagai master signifier. Jika begitu bahasa dalam sastra

12 Bhabha sangat peka bahwa kolonialisme tidak selalu berjalan secara searah, subjek yang

terjajah sangat mungkin bernegeosiasi, konsep ambivalence bisa menjadi rujukan bagaimana

“kebenaran” wacana colonial selalu dapat ditunda aspek diksursifnya ”. The „true‟ is always

marked and informed by the ambivalence of the process of emergence itself, the productivity of

meanings that construct counter-knowledges in media res, in the very act of agonism [struggle],

within the terms of a negotiation (rather than a negation) of oppositional and antagonis-tic

elements (Bhabha, 1994: 22). Posisi Lacan dalam paradigma poskolonial Bhabha juga dapat

dilihat ketika fase cermin digunakannya untuk melihat posisi penjajah dan yang terjajah, sebuah

posisi di mana kedua subjek selalu mengidentifikasi identitas diri mereka masing- masing dalam

melancarkan wacana (Bhabha, 1994: 77). Walaupun begitu dalam tradisi poskolonial, Bhabha

juga banyak terpengaruh psikiatri seperti Franz Fanon dan bahkan pemikir anti-Oedipus seperti

Deleuze dan Guattari.

13 Laclau-Mouffe memanfaatkan Psikoanalisis Lacan dan juga banyak pemikir lainnya untuk

melihat bagaimana subjek politik dibentuk melalui master signifier baru dan proses sublimasi

sehingga memunculkan cakupan yang yang lebih massif, persis seperti gagasan hegemoni.

Artinya ini mengandaikan bahwa hegemoni bukan sekedar mendaftar kepentingan –kepentingan

tapi juga memunculkan subjek politik. Lihat, 1985: vii.

Page 11: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

pun juga sangat mungkin menyimpan kemungkinan untuk menentang

simbolik, karena sastra juga dimediasikan melalui bahasa. Sastra dalam hemat

itu adalah alat untuk merebut kembali kekuasaan diri subjek atas kesemena-

semenaan simbolik.

Zizek dan sastra sebagai tindakan

Pemikir yang juga sangat terpengaruh oleh pemikiran psikonalisa Lacan

adalah Zizek. Psikoanalisis secara rigid ia gunakan untuk mengkaji karya

sastra dan juga film (karya Lynch) yang dia afirmasikan sebagai tindakan.

Tindakan ini dia tampilkan sebagai upaya pembebasan subjek dari segala objek

yang dia cintai demi meraih tindakan bebas (Zizek, 2000: 150-151). Hal ini

kemudian diberikan suatu pemahaman bahwa tindakan karya sastra (baik bagi

pengarang, maupun tokoh fiktif dalam cerita) ada dan dalam kondisi untuk

melawan simbolik. Sebagai penekanan, yang simbolik bisa merujuk kepada

individu, ataupun institusi yang mewakilinya (Robet, 2010:76-77). Artinya

tindakan dalam sastra adalah konsekuensi symptom, tubuh yang ingin

mendapatkan jouissance, melalui bahasa karena berbahasa juga merupakan

tindakan. Hal ini bisa sangat mudah dipahami ketika dikaitkan pada beberapa

karya sastra seperti Les Miserable (1862) milik Victor Hugo yang menolak

bahwa ex-narapidana seperti Jean Valjean secara sosial tidak bisa berubah

menjadi orang baik, sehingga memberinya hak untuk menjadi manusia baru

dalam rezim yang begitu ketat moralitasnya, seorang penjahat bisa berlaku

baik adalah perilaku yang tidak masuk akal, maka Valjean selama hidupnya

selalu dikejar oleh Javert, polisi yang taat pada hukum serta institusi

kepolisian (simbolik). Ada Juga karya Orwell yaitu 1984 (1949) yang menentang

sistem otoritarian Nazi. Orwell pada saat itu bisa saja setuju pada simbolik tapi

nyatanya dia justru mengintensifikasi pengalaman otoriterian yang buruk dan

kejam melalui big brother dan the party dalam novelnya.

Subjek psikotik, Sri Tanjung dan Beloved

Bagian ini akan merujuk pada bagaimana psikonalisa diterapkan secara

operasional untuk mengkaji karya sastra, baik dari segi cerita maupun

pengarang. Analisa yang pertama dapat ditunjukan pada cerita rakyat Sri

Tanjung sebagai sastra lisan. Sri Tanjung adalah istri dari Patih Sidopekso

yang karena kecantikannya diam–diam Raja menaruh hati padanya. Patih

Sidopekso lalu diutus untuk pergi dari istana demi mengemban tugas kerajaan,

namun dimasa absennya, raja mengutarakan cinta pada Sri Tanjung. Sri

Tanjung yang menolak cinta raja lalu difitnah oleh raja bahwa dirinya tengah

Page 12: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

digoda oleh Sri Tanjung. Patih Sidopekso lalu murka besar pada Sri Tanjung.

Sri Tanjung yang tak berdaya lalu berjanji akan menceburkan dirinya ke

sungai dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Air sontak berubah

menjadi wangi dan membuat Patih Sidopekso menyadari kesalahannya.

Peristiwa ini menjadi penanda bukan saja kezaliman seorang suami

(Patih Sidopekso) tapi juga Raja yang lalim karena ditolak cintanya. Ini

menegaskan adanya kekuasan simbolik, yaitu masyarakat patriarkis (master

signifier) berikut institusinya (kerajaan) yang secara sadis merepresi istri.

Pilihan bagi Sri Tanjung bisa saja mengikuti wacana tuan, ataupun mengikuti

wacana universitas dengan menikah dengan raja, karena siapa yang tak ingin

hidup dengan raja. Namun nyatanya Sri Tanjung menolak hal tersebut.

Penolakan Sri tanjung juga tidak berhenti pada wacana analis dengan melihat

adanya represi pada dirinya. Tapi sebaliknya Sri Tanjung justru sedang

membawakan wacana histeris, dia sedang menolak rezim patriarkis, dan

instutisinya yaitu kerajaan dengan menghadirkan dirinya sebagai objek petit a

(a/agent) karena yakin selama ini dia terbelah karena hukum patriarkis

suaminya, dimana master signifier mensyaratkan dirinya untuk patuh pada

rezim patriarkis sebagai syarat jika ingin dicap sebagai wanita baik baik. Pada

tingkat yang klimaks sebagai wacana histeris, kematian Sri Tanjung ($) yang

melawan suaminya (s1) nyatanya sulit didefinisikan. Subjek Sri Tanjung adalah

subjek dimana dia tidak lagi bisa digolongkan apakah dia patuh mutlak pada

master signifier dan s1 atau dia menolak. Sri Tanjung yang rela mati ke dalam

sungai memiliki makna bahwa dia patuh pada suaminya, tapi disisi lain dia

juga resisten pada kemampuan simbolik untuk mendefinisikan dirinya karena

Sri Tanjung masih bisa bernegosiasi di ujung hayatnya yaitu membuktikan

dirinya tidak bersalah dengan wanginya sungai. Disini juga sulit untuk melihat

dia hanya sebatas perversi karena dia tidak patuh dan juga menolak seperti

yang dilukiskan pada wanginya sungai. Kemungkinan dirinya dalam peristiwa

tersebut bisa disebut sebagai subjek psikotik, subjek dimana dirinya mampu

mengambil jarak pada yang simbolik (Zizek, 2008: 186). Subjek yang menjadi

mediator antara pengalaman real dengan pengalaman simbolik menjadi hilang,

relasi ini hanya bisa disebut sebagai tindakan radikal Sri Tanjung yang justru

menimbulkan ketidakselarasan (discordance) ketika yang Real dengan realitas

simbolik memunculkan objek sublim (Zizek, 2008: 2-3). Peristiwa pada subjek

yang tidak bisa didefinisikan ini menjadi sebuah tanda bahwa simbolik pernah

gagal dan memunculkan akan hadirnya subjek otentik, subjek yang pada

dirinya segala relasi seperti yang real, yang imajiner dan yang simbolik menjadi

tidak memiliki relasi yang tetap.

Page 13: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

Peristiwa yang tidak bisa didefinisikan ini sering muncul pada karya

sastra seperti halnya pada Beloved (1987) karya Tony Morrison, dimana Sethe,

budak yang kabur bersama anaknya, rela membunuh anaknya sendiri karena

dia tidak ingin kelak melihat anaknya menjadi budak seperti dia. Sethe yang

membunuh anaknya dilandasi oleh perasaan cinta tidak bisa dikategorikan

dalam pengalaman secara fix, karena simbolik pasti menganggap keji

perbuatan seorang ibu yang membunuh anak sendiri, tapi karena landasan

perbuatan ini adalah cinta maka hal ini menjadi tindakan radikal. Peristiwa

yang begitu pelik dan tidak terdefinisikan ini menjadi peristiwa dimana the real

memanggil – manggil karena tidak bisa diungkapkan dalam bahasa (yang

simbolik), sama seperti definisi yang real adalah fase dimana dunia belum

terbahasakan (Zizek, 2008: 182). Dari segi pengarang Tony Morrison juga

melakukan banyak tindakan radikal sehingga sulit mendefinisikan dirinya,

pertama sebagai pengarang wanita berkulit hitam dia pernah menulis The

Bluest Eyes (1970) yang melihat bahwa konstruksi kecantikan dan rezim

patriarki mampu membuat gadis kulit hitam bernama Pecola mensulap dirinya

menjadi seperti apa yang diinginkan yang simbolik dan membiarkan tubuhnya

sebagai objek. Tentunya novel ini menggugah betapa Tony Morrison ingin

menyatakan kalau kecantikan dan rezim patriarki tersebut adalah kekejaman.

Tapi kemudian dia menulis novel berjudul Sula (1973) dimana tokoh utamanya

merasa biasa saja ketika bersetubuh dengan pria kulit putih atau bahkan

bersedia bersetubuh dengan pria kulit hitam kekasih teman karibnya. Dalam

cerita ini tindakan Tony Morrison menjadi berubah jauh dari novel yang

pertama sehingga konstruksi patriarki maupun feminis yang dia tolak kembali

dia guncang. Pengarang, dalam hal ini Tony Morrison juga dapat disebut subjek

psikotik dimana dia tidak ingin ditetapkan secara mutlak ataupun definitif

karena ada pengalaman yang real hadir berulang –ulang, walaupun dia berada

pada tatanan simbolik yang ingin melabelinya “it (the real) exercises a certain

structural causality, it can produce a series of effects in the symbolic reality of

subject” (Zizek, 2008: 183)

E. Epilog: subjek, kebudayaan dan sastra yang tanpa final

Sebagai bentuk kebudayaan psikonalisa bisa menjelaskan bagaimana

kebudayaan hadir sebagai alat menuju kepuasaan subjek, serta subtitusi demi

mencapai yang real. Kebudayaan “dianggitkan” berdasarkan imajinasi yang

merelasikan diri sebagai upaya identifikasi dengan kemelekatannya pada yang

lain (the other/bukan diri). Secara posisi, budaya hanya bisa diakses melalui

bahasa yang selalu serba kekurangan untuk mejawab desire. Subjek yang sadar

Page 14: Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra GHANESYA HARI MURTI Matatimoer Institute 2017 Manque à être: Psikoanalisis

Manque à être:

Psikoanalisis dalam dilema

pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra

GHANESYA HARI MURTI

Matatimoer Institute 2017

bahwa dirinya kekurangan, lacking, terus memproduksi budaya walau harus

menelan pil pahit karena desire sebagai yang tersisa (leftover) tidak akan

pernah bisa hingga kepengalaman yang primordial, oceanic dan mitik ketika

seperti saat diri bergabung bersama tubuh ibu yang penuh dan utuh, tanpa

kekurangan. Walaupun begitu Lacan berharap subjek bisa memproduksi yang

baru (kebudayaan) dengan tidak menjadi manusia seri dengan mengkabarkan

wacana analis dan wacana histeris.

Gagasan Lacan ini diuraikan ulang oleh Zizek dalam wilayah sastra

yang merelasikan bahwa jika bahasa adalah tindakan subjek untuk mengatasi

symptomnya (tubuh yang ingin dipuaskan) maka karya sastra pun yang

termediasi oleh bahasa juga merupakan tindakan bagi pengarang sebagai cara

mengatasi symptomnya. Tak heran bila karya sastra dan ceritanya melalui

penokohan sering berusaha untuk menyatakan fase psikis (real, imajiner,

simbolik) ataupun skema odiepus untuk selanjutnya memberitakan wacana

fundamental (tuan, universal, analis, histeris) didalamnya. Sebagai simpulan,

Subjek, Kebudayaan maupun Sastra menjadi dimensi yang tak pernah usai dan

terus menjadi, berkejaran dalam rangkain signifier-signifier demi

mengungkapkan subjek ketidaksadaran.

Daftar bacaan

Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Fink, Bruce. 1995. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. Princeton: Princeton University Press

Freud, Sigmund. 1967. Civilization and its Discontent. New York: W. W. Norton & Company.

Freud, Sigmund. 1990. Beyond The Pleasure Principle. New York: W. W. Norton & Company.

Freud, Sigmund. 2005. Three Contributions to the Theory of Sex. Ebook. Project Guttenberg.

Homer, Sean, 2005. Jacques Lacan. London: Routldge.

Lacan, Jacques. 2001. Ecrits, A Selection. London: Routledge.

Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik. Tangerang: Margin Kiri.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books.

Thurschwell, Pamela. 2000. Sigmund Freud. London: Routledge.

Žižek, Slavoj. 2000. The Fragile Absolute,or Why the Christian Legacy is Worth Fighting For.London:Verso.

Žižek, Slavoj. 2008. The Sublime Object of Ideology. London and New York: Verso.