manque à être: psikoanalisis dalam dilema pembentukan ... · pembentukan subjek, kebudayaan dan...
TRANSCRIPT
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
Manque à être: Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
(revisi)1
GHANESYA HARI MURTI Peneliti Matatimoer Institute
Alumni Magister Sastra dan Budaya UNAIR
Surel: [email protected]
Abstrak
Sumbangsih Psikoanalisis nyatanya selalu berkontribusi dalam berbagai macam
disiplin ilmu, Psikoanalisis juga secara historis sudah mampu menyatakan bahwa
dirinya bukanlah cabang ilmu yang tertutup, dan kaku terhadap cabang ilmu lain. Sifat
Psikoanalisis yang “sengaja” menyatakan dirinya eclectic akhirnya banyak
dimanfaatkan untuk menjelaskan tidak hanya pembentukan subjek, tapi juga
kebudayaan, dan sastra, bahkan politik dan pandangan paskakolonial. Freud yang
mengawali bidang psikiatri ini bahkan menggunakan mitos Oedipus sebagai analogi
yang pas untuk memperjelas pandangannya akan diri yang asali. Tidak berhenti
disana, Lacan dengan tradisi struktural bahasa melahirkan gagasan lack (manque à
être) yang menyatakan secara implicit bahwa pembentukan subjek, kebudayaan dan
sastra adalah kreasi tanpa final karena adanya kekurangan pada diri ketika
tersembelih oleh bahasa. Posisi Psikoanalisis juga menjadi lebih mencuat ketika Zizek
begitu rakus pada pandangan Psikoanalisis untuk mempertajam berbagai macam
gagasannya. Psikoanalisis dengan begitu dirasa perlu dicari relasinya pada berbagai
macam fenomena kekinian serta garis singgung interdisiplinernya karena hanya
dengan begitu ilmu sosial selalu terbuka untuk perubahan.
Kata Kunci: Lack, Struktural, Mitos Oedipus, Pembentukan Subjek, Budaya, Sastra
A. Oedipan, Sebuah Asumsi Dasar yang Menjangkar
Psikoanalisis hendak memberikan penjelasan tentang bagaimana subjek
dapat kembali ke pengalaman primordial, ataupun mitik yang secara spesifik
diandaikan sebagai pengalaman kembali bersatu dengan tubuh ibu. Pembacaan
ini pertama kali dilontarkan oleh Sigmund Freud yang baginya pengalaman
tersebut dikonseptualiasasi sebagai pengalaman oceanic2 karena dia
merepresentasikan yang utuh atau keutuhan dimana didalam rahim ibu semua
kebutuhan dapat terpenuhi (aman, nyaman, kenyang, penuh cinta). 1 Makalah disampaikan dalam Workshop Psikoanalisis Sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas
Ilmu Budaya UNEJ bekerjasama dengan Matatimoer Institute, Aula FIB, 24 Pebruari 2017.
2 Freud menegaskan pengalaman oceanic sebagai pengalaman yang tak terbatas, “it is a feeling
which he would like to call a sensation of eternity, a feeling as of something limitless, unbounded,
something oceanic. It is, he says, a purely subjective experience, not an article of belief; it implies
no assurance of personal immortality, but it is the source of the religious spirit and is taken hold of
by the various Churches and religious systems, directed by them into definite channels, and also, no
doubt, used up in them”. Lihat, Freud, 1961:7.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
Pengalaman ini yang dirindukan pada diri setiap individu sebagai pengalaman
yang tak terbatas. Oceanic menggambarkan bahwa individu bagai setetes air
yang jatuh pada lautan sehingga dia merasa penuh ketika bersatu dengan
struktur asalinya yaitu lautan persis seperti mitos Oedipus.3 Pengalaman
primordial ini kemudian dicari dan menjadi proses yang tak pernah sampai
bahkan berusaha disubstitusikan melalui hal lain seperti agama, agar bisa
menyalurkan keinginan yang terbatas ketika diri dilahirkan. Mitos Oedipus ini
kemudian menjadi asumsi dasar bagi psikoanalisis berikut pemikir setelahnya
seperti Jacques Lacan untuk menjelaskan dengan cara yang lebih pelik dan
ketat fenomena tersebut melalui kacamata struktural.
B. Lacan, proses pembentukan diri dan kebudayaan
Pararel dengan pemahaman di atas, kebutuhan berikut hasrat menjadi tidak
bisa terpenuhi secara absolut karena “celakanya” individu harus dilahirkan dan
keluar dari rahim ibu. Manusia yang lahir dan keluar berarti harus berjibaku
dengan dimensi kebudayaan sekaligus turut mengkreasikannya dengan tujuan
dapat memenuhi perasaan yang hilang ketika berpisah dengan tubuh ibu.
Namun tragisnya produksi kebudayaan tidak serta merta membuat diri
menjadi penuh, namun justru mempertajam perasaan bahwa diri selalu dalam
kekurangan atau lack.4 Peristiwa munculnya kekurangan kemudian dirunut
ulang oleh Lacan dalam tiga fase.
Yang real
Tahapan real dapat dikatakan seabagai tahapan undifferenciated,
tahapan dimana diri tidak terbedakan dengan yang lain. Tahapan ini
dibayangkan pada fase dimana tubuh infant dan tubuh ibu masih
(dibayangkan) sebagai satu kesatuan. Tentunya hal ini tidak bisa dialami ulang
3 Oedipus, mitos karya Sopocholes, berusaha membunuh ayahnya agar dapat menikahi ibunya
untuk menjadi raja. Freud menegaskan bahwa bawah sadar kita bekerja seperti kisah Oedipus
sehingga hasrat ini negatif dan harus ditekan sedangkan bagi Lacan Oedipus Kompleks lebih
bekerja sebagai struktur simbolik yang dibatinkan melalui hukum ayah (phallus yang secara
signifier kemudian menuntut kategorisasi dalam bentuk the imaginer, the real, dan the symbolic)
hal ini terjadi sejak proses pemisahan anak dengan tubuh ibu secara tragis. Lihat, Homer, 2005:
53-54.
4 Lack adalah konsep kunci Lacan yang menunjukkan betapa subjek selalu dalam posisi
kekurangan, memiliki lubang dalam segala model pemaknaan yang tidak pernah selesai, hal ini
disebut lack (manque-à-être) atau dalam proposi neologisme english sebagai “want to be”. Maka
Lacan secara tegas menyatakan “It is around this hole, in which the support of the signifying
chain is lacking in the subject, and which has no need, one notes, of being ineffable in order to be
awe-inspiring, that the whole struggle in which the subject reconstructed itself took place”. Lihat,
Lscan, 2001: 156.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
oleh subjek ketika subjek dilahirkan, karena setelah lahir, kelamin sudah
ditentukan, serta subjek juga dihadapkan pada kode sosial seperti diberi baju
atau nama sesauai dengan jenis kelamin biologisnya. Artinya yang real adalah
subjek pralinguistik yang memungkinkan diri belum terfragmentasi, belum ada
pemilahan subjek-objek, anak-ibu, ataupun subjek dengan kebutuhan biologis
yang dihasratinya. Fase real dengan begitu berbeda dengan real dalam artian
realitas, karena realitas baru bisa ditangkap setelah manusia berbahasa yang
memungkinkan dirinya untuk mengutarakan objek yang dihasratinya. Dengan
kata lain realitas adalah dimensi dimana subjek mengalami lack akibat
tubuhnya yang tidak terpuaskan, sedangkan real adalah wilayah di mana
perasaan utuh atau terpuaskan muncul (Lacan, 2001: 11)
Yang imaginary
Fase imajiner bisa dibayangkan pada saat subjek mulai mengidentifikasi
dirinya sebagai subjek yang berbeda dengan tubuh ibunya. Fase ini sering
sekali ditautkan dengan fase cermin diri, karena pasa saat tersebut subjek
mulai menentukan dirinya atau “making sense of self” sebagai subjek yang
mengetahui kediriaannya dengan cara yang tidak fragmentaris. Fragmentaris
adalah ketika sang anak menemukan pleasure secara parsial seperti halnya
ketika nikmat menikmati puting ibu melalui mulut khas tahapan oral5 yang
terjadi pada usia 0-2 tahun. Pengalaman kenikmatan yang tadinya terpisah,
hanya melalui mulut, kemudian disadarkan bahwa dirinya adalah kesatuan
dan berbeda dengan tubuh ibu melalui fase cermin. Tahapan cermin kemudian
mengimajinasikan diri dengan membedakan diri dengan yang lain, sekaligus
diri yang otonom dengan maksud agar mengenal dirinya lebih baik. Imajinasi
berperan penting karena memungkinkan diri untuk memahami dirinya, self,
dengan objek lain atau the other yang tentunya bukan dirinya. Lacan
menegaskan “in particular, the relation between the subject,…on the other, is
frequently contrasted with the imaginary relation, that between the ego and its
images. In each case, many problems derive from the relations between these two
dimensions” (Lacan, 2001:10-1). Relasi yang nyatanya dan celakanya bukan diri
ini adalah awal mula subjek melekatkan identitas pada diri melalui objek lain.
Seperti bila ada anak punk yang melekatkan dirinya dengan grup band tertentu
lalu menyatakan dirinya “saya adalah anak punk”, padahal usaha tersebut
5 Freud memberikan hemat tentang tahapan di mana tubuh berusaha menggabungkan dirinya
dengan objek lainnya yang bukan tubuhnya demi mencapai kepuasaan, tubuh anak merasa dia
adalah satu dengan ibunya tapi disisi lain dia menikmati dirinya juga parsial karena kenikmatan
itu dihubungkan melalui objek lain yang dirasakan secara fragmentaris (menyusui:mulut, buang
air besar:anus). Lihat, Freud, 2005: 31
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
adalah bukti kegagalan diri untuk mengidentifikasi karena tidak ada satupun
bayi yang ketika lahir sudah dibebani bahwa dirinya kelak akan menjadi anak
punk, namun imajinasi merelasikan itu.
Yang simbolik
Semakin dewasa diri maka semakin mapan pula dunia pengalaman
karena diri masuk dalam dimensi simbolik yang dimediasi melalui bahasa. Hal
ini dapat dipahami pada kondisi ketika subjek sudah bisa berbahasa dan tidak
“cooing” maka akses pada dimensi simbolik-kultural menjadi terbuka namun
sekaligus merepresi subjek untuk sudah selalu berkata sesuai dengan domain
simbolik. Perubahan ini terlihat jelas karena ketika masih bayi, subjek tidak
dilarang apapun ketika belum bisa berbicara namun menjadi miliki batasan
ketika sudah berbahasa. Ini yang menyebabkan subjek sudah ada pada kondisi
represi, karena bahasa selain membantu diri menjadi subjek tapi juga
memberikan batasan apa yang boleh diucapkan dan apa yang tidak. Kondisi
merepresi ini adalah teknik menjinakkan hasrat yang selalu tak terpuaskan
“desire (fundamentally in the singular) is a perpetual effect of symbolic
articulation. It is not an appetite: it is essentially excentric and insatiable. That
is why Lacan co-ordinates it not with the object that would seem to satisfy it, but
with the object that causes it (one is reminded of fetishism) … in Lacan‟s sense, is
himself an effect of the symbolic” (Lacan, 2001:10). Dalam kerangka ini subjek
yang berbahasa memerlukan ego6 serta imajinasi ketika hasrat dijinakkan oleh
simbolik “the imaginary transference…which, by an effect of symbolic
subduction, degrades, diverts, or inhibits the cycle of such behaviour, which, by
an accident of repression, has excluded from the control of the ego this or that
function or corporal segment, and which, by an action of identification, has given
its form to this or that agency of the personality” (Lacan, 2001:26). Di sini juga
dapat terlihat sumbangsih Lacan ketika memetakan imajinasi sebagai bentuk
ketidaksadaran dan ego milik freud sebagai kesadaran.
Tahapan – tahapan tadi bukan berarti mutlak sirna,atau selesai disaat
dewasa karena mereka terus terjadi dalam pengalaman hidup manusia yang
juga mempengaruhi kebudayaan dengan tujuan hadirnya kepuasaan pada
subjek.
6 Pendapat tentang ego tidak bisa dilepaskan dengan id maupun super-ego. Ego dianggap
struktur yang dapat mendamaikan id maupun ego dengan menjadi jembatan. Ketika subjek
dianggap irasional karena hasrat libido yang menggebu maka ego sebagai yang rasional harus
bisa menyelaraskan segala keinginan yang meledak-ledak ini agar sesuai dengan norma atau
kode sosial yang dia andaikan sebagai superego. Lihat, Thurschwell, 2000: 82.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
C. Fort-da game, subjek berbahasa dan kebudayaan
Sebagai subjek yang berbahasa dalam dimensi simbolik nyatanya diri makin
mengalami dilema karena bahasa memiliki keterbatasan untuk
mengartikulasikan keinginan subjek serta realitas. Sebagai ilustrasi ketika
subjek ingin makan tapi tidak bisa menentukan harus makan apa, lalu berkata
terserah kepada temannya, tapi nyatanya kata terserah ini tidak bermakna
terserah termannya, tapi terserah dia yang dirinya sendiri tidak tahu itu apa.
Ada peristiwa dimana subjek semakin sadar kekurangan, lack, sehingga dia
terus menerus ingin diisi dan dipenuhi. Kekurangan ini mengintensifikasi
desire sebagai leftover dari kebutuhan. Jika kebutuhan bisa terpenuhi, maka
desire adalah sisa dari kebutuhan yang tidak bisa terpuaskan. Kebudayaan
dalam kerangka itu diciptakan untuk mensubstitusi desire yang tak pernah
final, maka rangkaian ini dibayangkan seperti Fort da game7 di mana peristiwa
pralinguistik, fase real, muncul dan hilang kembali bersama simbolik bahasa.
Subjek yang terbelah (split), pleasure-pain
Konsekuensi yang lain ketika manusia berbahasa dan berbudaya adalah bahasa
bukan milik personal tapi publik. Bahasa sebagai satu-satunya akses menuju
realitas merupakan kesepakatan sosial, sehingga bahasa selalu diatur dan
diproporsikan melalui yang simbolik. Ketika subjek menemukan proporsinya
dengan realitas sosial simbolik maka dia menemukan kebahagian sementara,
Lacan menyebut ini sebagai jouissance. Jika begitu jouissance (kebahagiaan,
enjoyment) bukanlah yang murni karena dia nyatanya hanya demi memenuhi
kebahagian yang lain (the other). Lacan dalam Fink menjelaskan peristiwa ini
sebagai “to hand over a certain jouissance to the Other and let it circulate in the
Other, that is, let it circulate in some sense outside of ourselves” (Lacan dalam
Fink, 1995:103). Artinya, ini adalah peristiwa pleasure-pain, castration-
jouissance, ketika keinginan tadi tersembelih oleh bahasa yaitu terkastrasi tapi
juga menemukan kebahagian yang diserahkan kepada the other.
Secara mudah dapat diilustrasikan pada saat seorang pegawai bank
yang senang bekerja seolah mendapatlkan keuntungan padahal
kegemberiannya sebenarnya ditentukan oleh parameter laba bank. Artinya,
dirinya bahagia mendapat uang namun juga menderita karena hidupnya dan
7 Fort da Game adalah permainan yang dijadikan acuan oleh Freud ketika dia melihat cucunya
Ernts bermain gulungan benang (seperti benang layang-layang) yang dia lemparkan lalu
menghilang, ketika benang ditarik kembali maka benang berikut alat penggulungnya juga
kembali dan membuat dia senang. Tapi kesenangan Ernts hanya bersifat sementara maka
benang itu dia lemparkan lagi kemudian ditarik lagi lalu demi mendapatkan kesenangan
(tertawa) secara berulang – rulang. Lihat, 1990: 8-9.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
ketagori bahagianya didisiplinkan oleh aturan perbankan yang tentunya jauh
lebih bahagia jika dia memenuhi target kerjanya. Siklus ini seperti hutang yang
tak mungkin terbayar karena diri tidak lagi mengetahui dirinya secara penuh
tapi justru menjadi subjek terbelah karena proses tersebut. Lacan menjelaskan
bagaimana proses subjektifikasi (individu ditulisi dan dikreasikan) seperti
dalam skema berikut.
Garis lengkung s → s' adalah garis linguistik sebagai rangkaian penanda
(chain of signifier). Garis lengkung ∆ →$ adalah gerak libido pada subjek.
Kesimpulannya posisi subjek adalah selalu dalam potongan atau irisan bahasa
yang memproduksi subjek terbelah ($) yaitu subjek yang tidak utuh, subjek
yang pada dirinya hasrat direpresi dan dikodifikasi tatanan simbolik.
Celakanya rangkaian signifier selalu mengacu pada signifier lain dan bukan
pada signified s → s' (Lacan, 2001:231). Maka subjek terus terbelah melalui
bahasa tapi disisi lain dia juga harus mempertahankan libidonya.
Kebudayaan dengan begitu selalu bergerak dalam siklus tersebut,
dimensi tanpa ujung dengan harapan adanya desire yang bisa terpenuhi
walaupun secara teoritik dinyatakan tidak pernah logis, karena diri tidak
mungkin menemukan dirinya ketika dikaitkan dengan objek lain (the other)
yang bukan dirinya. Kebudayaan, the other, ada hanya sebagai perpanjangan
hukum ayah,, hukum dimana yang patut dan tidak patut terus berusaha
dikonstruksi dan menemukan bentuknya sesuai dengan skema Oedipan. Subjek
yang lacking kemudian hanya bisa bermain dan merayakan fantasi melalui
permainan bahasa.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
Kebudayaan, empat wacana dalam Oedipanisasi
Permainan bahasa yang dimainkan oleh subjek dalam pembentukan diri
dan kebudayaan bukanlah permainan bebas yang tanpa aturan tapi selalu
menuntut hadirnya wacana tuan. Jadi berbahasa adalah usaha untuk
mengatur desire agar sesuai dengan kode sosial simbolik sebagai tuan. Artinya
subjek sudah selalu dalam posisi bagaimana agar hasratnya disepakati oleh
kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini adalah sang ayah (penanda tuan
atau pun master signifier) yang nantinya segala ujaran tidak boleh
bertentangan dengan hukum ayah.8 Pemikiran ini kemudian dijabarkan dalam
empat tipe wacana Lacan
Keterangan:
$ : subjek yang terbelah
a : pengingat kenikmatan, jouissance
S1 : penanda tuan, master signifier, hukum ayah
s2 : pengetahuan
Secara mudah segala yang tampak (sadar) berada pada posisi diatas
garis, sedangkan yang tidak sadar ada dibawah garis. Empat wacana tersebut
(kiri atas) berfungsi sebagai komando (commanding) demi memenuhi relasi
yang diseberangnya. Wacana tersebut kemudian diberi nama wacana analis,
universitas, master (tuan) dan wacana histeris (Lacan dalam Fink, 1995:31-9).
Agar mudah dipahami maka akan diberikan ilustrasi dari setiap wacana
dengan sebuah cerita, namun perlu dicatat bukan berarti setiap tatanan
wacana tadi berlaku secara sekuen, berurutan ataupun bertahap.
Katakanlah seorang ayah (s1/agent) menyuruh anaknya (other/s2) untuk
melanjutkan kuliah di kedokteran karena dia berharap anaknya ($/truth) juga
bisa bahagia seperti kakaknya yang sukses menjadi dokter . Sang anak yang
setuju dan patuh pada hukum ayah akhirnya “manut” kuliah karena
menganggap hasrat/ jouissance (a/product) akan terpenuhi. Peristiwa ini adalah
wacana tuan di mana penanda tuan memliki acuan relasi untuk memuaskan
8 Lacan mengembangkan pemikiran Hegel untuk menjelaskan relasi hubungan subjek selalu
pada posisi master-slave, atau tuan budak. Subjek ketika mengalami symptom (cara tubuh
mendapatkan kepuasaan sesuai dengan hukum ayah) selalu dalam posisi direpresi melalui relasi
tersebut. Lihat, Lacan, 2001: 20.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
anak. Namun ketika anaknya masuk pada bangku perkuliahan, pengetahuan
akan kedokteran berikut teorinya (s2/agent) yang nyatanya diperintah oleh
ayah sebagai sesuatu yang benar (s1/truth) ternyata tidak bisa memuaskan
hasratnya (a/other) dan dia makin yakin bahwa dia merasa kekurangan, lack
dan menjadi subjek terbelah ($/product). Peristiwa ini menandakan adanya
wacana universitas dimana pengetahuan kedokteran dibalik itu hanya demi
memenui hukum ayah, atau para pakar kedokteran (dokter, dan ahli medis)
sehingga kenikmatan yang didapat bukanlah kenikmatan yang sempurna
bahkan dia tahu dia merasa kekurangan. . Sang anak lalu memunculkan
hasratnya (a/agent) atas saran pengetahuan akan kedokteran tadi (s2/truth)
untuk memuaskan dirinya yang terbelah, split, tadi ($/other). Namun apa yang
terjadi dia makin paham bahwa dia hanya menuruti ego ayahnya (s1/product)
terlebih di masa kuliahnya dia malah sibuk menulis novel. Peristiwa ini
dimaksudkan dalam wacana analis ketika anak berusaha untuk tidak lagi
patuh. Lalu dia ($/agent) bertemu dengan temannya yang kuliah di Sastra dan
mengutarakan dirinya ingin kuliah di fakultas budaya saja dan menyatakan
tidak tahan kuliah di kedokteran kepada ayahnya (tidak kuat ditulisi terus
menerus, merepresi terus menerus) oleh hukum ayah (s1,other). Sang anak
sedang mengabarkan wacana histeris di mana dalam bawah sadar dia
merindukan kenikmatan (a/truth) yang menurut ayahnya menjadi dokter
adalah syarat kebahagian (s2, product). Empat wacana tadi analog dengan
skema Oedipan, hukum dimana master signifier yang hadir dalam realitas
keseharian befungsi seperti ayah yang represif dan tidak bisa ditentang.
Ilustrasi diatas adalah gambaran bagaimana segala tindakan dalam
dimensi kebudayaan baik dalam kesadaran maupun ketidaksadaran selalu
dapat direlasikan sebagai peristiwa bahasa, karena hanya bahasa yang
memiliki akses pada setiap pengalaman wacana, Lacan dengan begitu
menyatakan tidak ada peristiwa diri dan juga kebudayaan yang diluar bahasa,
Lacan dengan begitu menolak metabahasa (Lacan dalam Fink, 1995:44).
Artinya pada hukum ayah yang mengkodifikasi cara tubuh untuk mencapai
kenikmatan (symptom) pun harus melalui bahasa. Celakanya lagi bahasa
memiliki keterbatasannya sehingga gerak diri dalam bahasa selalu memakai
fungsi metonimi.
Lacan lalu menjelaskan, “for the symptom is a metaphor whether one
likes it or not, as desire is a metonymy, however funny people may find the idea”
(Lacan, 2001:133). Artinya bahasa adalah gejala tubuh yang tidak terpuaskan,
sehingga bahasa selalu bersifat metaforik, sedangkan desire adalah metonimi
atau substitusi dari penanda ke penanda yang lain yang tak pernah usai dalam
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
sistem kebudayan. Sebagai ilustrasi bahwa metafora tidak sanggup melukiskan
yang diinginkan bisa dilacak pada kalimat “wajahnya masih dingin, seperti
malam selepas hujan, begitu beku begitu kaku”. Kata sperti ini sebenarnya
berusaha membahasakan wajah yang bagaimana? Bisa saja wajah yang sedih,
wajah yang muram tapi apapun itu wajah tersebut tidak bisa direpresentasikan
secara utuh karena batasan bahasa tadi sehingga metafor menjadi jalan keluar,
tapi tentu saja metafor tersebut masih tidak bisa membahasakan keluaasan
makna tadi, maka dia selalu kekurangan. Analogi yang lain adalah ketika
mengendarai sepeda motor dan berusaha mengerem tapi tidak berhasil secara
sempurna seseorang kadang berbicara”remnya gak makan”. Bagaimana
menjelaskan kata makan, kalau artinya menyatakan bahwa rem tidak
berfungsi sebenarnya remnya berfungsi tapi tidak maksimal, tapi didefinisikan
berfungsi pun juga tidak. Sama dengan cara kerja itu, tubuh yang ingin
dipuaskan (symptom) tidak pernah bisa dimediasi oleh bahasa secara penuh
maka dia hanya berupa metafor – metafor. Dalam tahap ini yang tidak
terpuaskan adalah desire sehingga dia menuntut substitusi, atau dalam istilah
bahasa adalah metonymy. Seseorang bisa lebih suka bilang “saya minum
mizone” sebagai substitusi dari “saya minum air” karena dia haus yang merujuk
pada tubuh yang ingin dipuaskan dahaganya.
Ayah dalam empat wacana tadi pun sangat mungkin lebih suka
menyatakan “anak saya masuk kedokteran” ketimbang “saya puas ketika anak
saya masuk kedokteran” padahal dibalik dia sebagai subjek yang terbelah tadi
ada “saya yakin hanya kedokteran yang mampu menjamin masa depan anak
saya”. Tapi tentunya bahasa tadi hanya tampilan – tampilan, yang selalu
menyisakan kekurangan, lacking, karena kelak ada ruang sisa yang membuat
ayah ingin anaknya begini dan begitu, tidak berhenti disitu saja. Empat wacana
yang fundamental ini juga berkaitan dengan produksi psikis pada subjek, yaitu
subjek yang patuh (neurotic),9 subjek yang bernegosiasi (perverse)10 dan subjek
yang menolak (psikosis)11 yang bisa dikenali saat dirinya berinteraksi dengan
yang simbolik (Lacan, 2001:215).
9 Neurotic adalah kategori subjek normal karena selalu melakukan internalisir atas
yang simbolik. Lihat, Lacan, 2001: 61.
10 Perverse adalah subjek yang melakukan tindakan yang melibatkan simbolik (master
signifier) tapi juga melakukan resistensi di tahap yang sama. Sebagai contoh, seorang
percaya bahwa dia beragama tertentu dan agama bisa mendatangkan jouissance tapi
dia tidak melakukan perintah agama secara mutlak. Ibid.hlm. 246.
11 Psikosis adalah peristiwa bahwa subjek tidak bisa merepresi dan menolak yang
simbolik karena tidak bisa merelasikannya (seriate) sehingga dai perlu disembuhkan.
Ibid. hlm.13 &168.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
Konsep perversi akhirnya memberikan ilham pada Bhabha, seorang
pemikir poskolonial, untuk menelurkan konsep ambivalence,12 bahwa subjek
yang terjajah tidak serta merta menerima imperialisme kultural yang
didiskursifkan oleh penjajah seperti yang diujarkan oleh Edward Said dalam
bukunya Orientalisme (1978), tapi subjek terjajah juga aktif memproduksi
makna sehingga menimbulkan tindakan yang lebih negosiatif dalam memahami
wacana yang dibawakan penjajah.
Lacan juga ditemukan pada tataran politik, master signifier digunakan
oleh Laclau-Mouffe, pemikir politik sosial baru, untuk menegaskan gagasannya
dalam buku Hegemony and Socialist Strategy, Towards A Radical and
Democratic Politics (1985) yaitu demokrasi plural radikal.13 Gagasan Laclau-
Mouffe adalah bagaimana menyatukan masyarakat agar tercipta masayakat
politis kultural yang juga melibatkan wacana dari dalam yaitu penanda tuan.
Tujuannya adalah menghimpun wacana hegemonic baru agar tercipta jalan
keluar dari status ketidak beresan sosial karena adanya objek petit a yang
sama.
D. Psikoanalisis, karya sastra sebagai tindakan
Perenungan selanjutnya adalah mencari relasi psikonalisa dengan karya
sastra. Secara sederhana Lacan melihat bahasa sebagai akses menuju realitas
simbolik , tapi perlu juga dicatat bahwa karena simbolik dikreasikan melalui
bahasa yang sifatnya rentan dan arbitrer maka yang simbolik pun tidak pernah
mutlak melekatkan dirinya dengan subjek maka disaat itulah kemungkinan
akan hadirnya yang real menjadi mungkin (Zizek, 2008: 23). Hal ini senada
dengan wacana analis dan wacana histeris Lacan yang nyatanya berusaha
menentang simbolik sebagai master signifier. Jika begitu bahasa dalam sastra
12 Bhabha sangat peka bahwa kolonialisme tidak selalu berjalan secara searah, subjek yang
terjajah sangat mungkin bernegeosiasi, konsep ambivalence bisa menjadi rujukan bagaimana
“kebenaran” wacana colonial selalu dapat ditunda aspek diksursifnya ”. The „true‟ is always
marked and informed by the ambivalence of the process of emergence itself, the productivity of
meanings that construct counter-knowledges in media res, in the very act of agonism [struggle],
within the terms of a negotiation (rather than a negation) of oppositional and antagonis-tic
elements (Bhabha, 1994: 22). Posisi Lacan dalam paradigma poskolonial Bhabha juga dapat
dilihat ketika fase cermin digunakannya untuk melihat posisi penjajah dan yang terjajah, sebuah
posisi di mana kedua subjek selalu mengidentifikasi identitas diri mereka masing- masing dalam
melancarkan wacana (Bhabha, 1994: 77). Walaupun begitu dalam tradisi poskolonial, Bhabha
juga banyak terpengaruh psikiatri seperti Franz Fanon dan bahkan pemikir anti-Oedipus seperti
Deleuze dan Guattari.
13 Laclau-Mouffe memanfaatkan Psikoanalisis Lacan dan juga banyak pemikir lainnya untuk
melihat bagaimana subjek politik dibentuk melalui master signifier baru dan proses sublimasi
sehingga memunculkan cakupan yang yang lebih massif, persis seperti gagasan hegemoni.
Artinya ini mengandaikan bahwa hegemoni bukan sekedar mendaftar kepentingan –kepentingan
tapi juga memunculkan subjek politik. Lihat, 1985: vii.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
pun juga sangat mungkin menyimpan kemungkinan untuk menentang
simbolik, karena sastra juga dimediasikan melalui bahasa. Sastra dalam hemat
itu adalah alat untuk merebut kembali kekuasaan diri subjek atas kesemena-
semenaan simbolik.
Zizek dan sastra sebagai tindakan
Pemikir yang juga sangat terpengaruh oleh pemikiran psikonalisa Lacan
adalah Zizek. Psikoanalisis secara rigid ia gunakan untuk mengkaji karya
sastra dan juga film (karya Lynch) yang dia afirmasikan sebagai tindakan.
Tindakan ini dia tampilkan sebagai upaya pembebasan subjek dari segala objek
yang dia cintai demi meraih tindakan bebas (Zizek, 2000: 150-151). Hal ini
kemudian diberikan suatu pemahaman bahwa tindakan karya sastra (baik bagi
pengarang, maupun tokoh fiktif dalam cerita) ada dan dalam kondisi untuk
melawan simbolik. Sebagai penekanan, yang simbolik bisa merujuk kepada
individu, ataupun institusi yang mewakilinya (Robet, 2010:76-77). Artinya
tindakan dalam sastra adalah konsekuensi symptom, tubuh yang ingin
mendapatkan jouissance, melalui bahasa karena berbahasa juga merupakan
tindakan. Hal ini bisa sangat mudah dipahami ketika dikaitkan pada beberapa
karya sastra seperti Les Miserable (1862) milik Victor Hugo yang menolak
bahwa ex-narapidana seperti Jean Valjean secara sosial tidak bisa berubah
menjadi orang baik, sehingga memberinya hak untuk menjadi manusia baru
dalam rezim yang begitu ketat moralitasnya, seorang penjahat bisa berlaku
baik adalah perilaku yang tidak masuk akal, maka Valjean selama hidupnya
selalu dikejar oleh Javert, polisi yang taat pada hukum serta institusi
kepolisian (simbolik). Ada Juga karya Orwell yaitu 1984 (1949) yang menentang
sistem otoritarian Nazi. Orwell pada saat itu bisa saja setuju pada simbolik tapi
nyatanya dia justru mengintensifikasi pengalaman otoriterian yang buruk dan
kejam melalui big brother dan the party dalam novelnya.
Subjek psikotik, Sri Tanjung dan Beloved
Bagian ini akan merujuk pada bagaimana psikonalisa diterapkan secara
operasional untuk mengkaji karya sastra, baik dari segi cerita maupun
pengarang. Analisa yang pertama dapat ditunjukan pada cerita rakyat Sri
Tanjung sebagai sastra lisan. Sri Tanjung adalah istri dari Patih Sidopekso
yang karena kecantikannya diam–diam Raja menaruh hati padanya. Patih
Sidopekso lalu diutus untuk pergi dari istana demi mengemban tugas kerajaan,
namun dimasa absennya, raja mengutarakan cinta pada Sri Tanjung. Sri
Tanjung yang menolak cinta raja lalu difitnah oleh raja bahwa dirinya tengah
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
digoda oleh Sri Tanjung. Patih Sidopekso lalu murka besar pada Sri Tanjung.
Sri Tanjung yang tak berdaya lalu berjanji akan menceburkan dirinya ke
sungai dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Air sontak berubah
menjadi wangi dan membuat Patih Sidopekso menyadari kesalahannya.
Peristiwa ini menjadi penanda bukan saja kezaliman seorang suami
(Patih Sidopekso) tapi juga Raja yang lalim karena ditolak cintanya. Ini
menegaskan adanya kekuasan simbolik, yaitu masyarakat patriarkis (master
signifier) berikut institusinya (kerajaan) yang secara sadis merepresi istri.
Pilihan bagi Sri Tanjung bisa saja mengikuti wacana tuan, ataupun mengikuti
wacana universitas dengan menikah dengan raja, karena siapa yang tak ingin
hidup dengan raja. Namun nyatanya Sri Tanjung menolak hal tersebut.
Penolakan Sri tanjung juga tidak berhenti pada wacana analis dengan melihat
adanya represi pada dirinya. Tapi sebaliknya Sri Tanjung justru sedang
membawakan wacana histeris, dia sedang menolak rezim patriarkis, dan
instutisinya yaitu kerajaan dengan menghadirkan dirinya sebagai objek petit a
(a/agent) karena yakin selama ini dia terbelah karena hukum patriarkis
suaminya, dimana master signifier mensyaratkan dirinya untuk patuh pada
rezim patriarkis sebagai syarat jika ingin dicap sebagai wanita baik baik. Pada
tingkat yang klimaks sebagai wacana histeris, kematian Sri Tanjung ($) yang
melawan suaminya (s1) nyatanya sulit didefinisikan. Subjek Sri Tanjung adalah
subjek dimana dia tidak lagi bisa digolongkan apakah dia patuh mutlak pada
master signifier dan s1 atau dia menolak. Sri Tanjung yang rela mati ke dalam
sungai memiliki makna bahwa dia patuh pada suaminya, tapi disisi lain dia
juga resisten pada kemampuan simbolik untuk mendefinisikan dirinya karena
Sri Tanjung masih bisa bernegosiasi di ujung hayatnya yaitu membuktikan
dirinya tidak bersalah dengan wanginya sungai. Disini juga sulit untuk melihat
dia hanya sebatas perversi karena dia tidak patuh dan juga menolak seperti
yang dilukiskan pada wanginya sungai. Kemungkinan dirinya dalam peristiwa
tersebut bisa disebut sebagai subjek psikotik, subjek dimana dirinya mampu
mengambil jarak pada yang simbolik (Zizek, 2008: 186). Subjek yang menjadi
mediator antara pengalaman real dengan pengalaman simbolik menjadi hilang,
relasi ini hanya bisa disebut sebagai tindakan radikal Sri Tanjung yang justru
menimbulkan ketidakselarasan (discordance) ketika yang Real dengan realitas
simbolik memunculkan objek sublim (Zizek, 2008: 2-3). Peristiwa pada subjek
yang tidak bisa didefinisikan ini menjadi sebuah tanda bahwa simbolik pernah
gagal dan memunculkan akan hadirnya subjek otentik, subjek yang pada
dirinya segala relasi seperti yang real, yang imajiner dan yang simbolik menjadi
tidak memiliki relasi yang tetap.
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
Peristiwa yang tidak bisa didefinisikan ini sering muncul pada karya
sastra seperti halnya pada Beloved (1987) karya Tony Morrison, dimana Sethe,
budak yang kabur bersama anaknya, rela membunuh anaknya sendiri karena
dia tidak ingin kelak melihat anaknya menjadi budak seperti dia. Sethe yang
membunuh anaknya dilandasi oleh perasaan cinta tidak bisa dikategorikan
dalam pengalaman secara fix, karena simbolik pasti menganggap keji
perbuatan seorang ibu yang membunuh anak sendiri, tapi karena landasan
perbuatan ini adalah cinta maka hal ini menjadi tindakan radikal. Peristiwa
yang begitu pelik dan tidak terdefinisikan ini menjadi peristiwa dimana the real
memanggil – manggil karena tidak bisa diungkapkan dalam bahasa (yang
simbolik), sama seperti definisi yang real adalah fase dimana dunia belum
terbahasakan (Zizek, 2008: 182). Dari segi pengarang Tony Morrison juga
melakukan banyak tindakan radikal sehingga sulit mendefinisikan dirinya,
pertama sebagai pengarang wanita berkulit hitam dia pernah menulis The
Bluest Eyes (1970) yang melihat bahwa konstruksi kecantikan dan rezim
patriarki mampu membuat gadis kulit hitam bernama Pecola mensulap dirinya
menjadi seperti apa yang diinginkan yang simbolik dan membiarkan tubuhnya
sebagai objek. Tentunya novel ini menggugah betapa Tony Morrison ingin
menyatakan kalau kecantikan dan rezim patriarki tersebut adalah kekejaman.
Tapi kemudian dia menulis novel berjudul Sula (1973) dimana tokoh utamanya
merasa biasa saja ketika bersetubuh dengan pria kulit putih atau bahkan
bersedia bersetubuh dengan pria kulit hitam kekasih teman karibnya. Dalam
cerita ini tindakan Tony Morrison menjadi berubah jauh dari novel yang
pertama sehingga konstruksi patriarki maupun feminis yang dia tolak kembali
dia guncang. Pengarang, dalam hal ini Tony Morrison juga dapat disebut subjek
psikotik dimana dia tidak ingin ditetapkan secara mutlak ataupun definitif
karena ada pengalaman yang real hadir berulang –ulang, walaupun dia berada
pada tatanan simbolik yang ingin melabelinya “it (the real) exercises a certain
structural causality, it can produce a series of effects in the symbolic reality of
subject” (Zizek, 2008: 183)
E. Epilog: subjek, kebudayaan dan sastra yang tanpa final
Sebagai bentuk kebudayaan psikonalisa bisa menjelaskan bagaimana
kebudayaan hadir sebagai alat menuju kepuasaan subjek, serta subtitusi demi
mencapai yang real. Kebudayaan “dianggitkan” berdasarkan imajinasi yang
merelasikan diri sebagai upaya identifikasi dengan kemelekatannya pada yang
lain (the other/bukan diri). Secara posisi, budaya hanya bisa diakses melalui
bahasa yang selalu serba kekurangan untuk mejawab desire. Subjek yang sadar
Manque à être:
Psikoanalisis dalam dilema
pembentukan subjek, kebudayaan dan sastra
GHANESYA HARI MURTI
Matatimoer Institute 2017
bahwa dirinya kekurangan, lacking, terus memproduksi budaya walau harus
menelan pil pahit karena desire sebagai yang tersisa (leftover) tidak akan
pernah bisa hingga kepengalaman yang primordial, oceanic dan mitik ketika
seperti saat diri bergabung bersama tubuh ibu yang penuh dan utuh, tanpa
kekurangan. Walaupun begitu Lacan berharap subjek bisa memproduksi yang
baru (kebudayaan) dengan tidak menjadi manusia seri dengan mengkabarkan
wacana analis dan wacana histeris.
Gagasan Lacan ini diuraikan ulang oleh Zizek dalam wilayah sastra
yang merelasikan bahwa jika bahasa adalah tindakan subjek untuk mengatasi
symptomnya (tubuh yang ingin dipuaskan) maka karya sastra pun yang
termediasi oleh bahasa juga merupakan tindakan bagi pengarang sebagai cara
mengatasi symptomnya. Tak heran bila karya sastra dan ceritanya melalui
penokohan sering berusaha untuk menyatakan fase psikis (real, imajiner,
simbolik) ataupun skema odiepus untuk selanjutnya memberitakan wacana
fundamental (tuan, universal, analis, histeris) didalamnya. Sebagai simpulan,
Subjek, Kebudayaan maupun Sastra menjadi dimensi yang tak pernah usai dan
terus menjadi, berkejaran dalam rangkain signifier-signifier demi
mengungkapkan subjek ketidaksadaran.
Daftar bacaan
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Fink, Bruce. 1995. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. Princeton: Princeton University Press
Freud, Sigmund. 1967. Civilization and its Discontent. New York: W. W. Norton & Company.
Freud, Sigmund. 1990. Beyond The Pleasure Principle. New York: W. W. Norton & Company.
Freud, Sigmund. 2005. Three Contributions to the Theory of Sex. Ebook. Project Guttenberg.
Homer, Sean, 2005. Jacques Lacan. London: Routldge.
Lacan, Jacques. 2001. Ecrits, A Selection. London: Routledge.
Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik. Tangerang: Margin Kiri.
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books.
Thurschwell, Pamela. 2000. Sigmund Freud. London: Routledge.
Žižek, Slavoj. 2000. The Fragile Absolute,or Why the Christian Legacy is Worth Fighting For.London:Verso.
Žižek, Slavoj. 2008. The Sublime Object of Ideology. London and New York: Verso.