manfaat terapi bilas lambung pada pasien dengan perdarahan ... filemanfaat terapi bilas lambung pada...

14
Manfaat Terapi Bilas Lambung pada Pasien dengan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Sebuah Laporan Kasus Berbasis Bukti Oleh: Franciscus Ari 1106024413 Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM Jakarta, 2014

Upload: trinhque

Post on 02-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Manfaat Terapi Bilas Lambung pada Pasien

dengan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Sebuah Laporan Kasus Berbasis Bukti

Oleh:

Franciscus Ari

1106024413

Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM

Jakarta, 2014

1

Manfaat Terapi Bilas Lambung pada Pasien dengan Perdarahan Saluran Cerna Bagian

Atas: Sebuah Laporan Kasus Berbasis Bukti

Franciscus Ari

LATAR BELAKANG

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) cukup sering terjadi, dengan angka kejadian

sekitar 50 dari 100.000 populasi per tahun dan angka kematian berkisar 5 – 11%.1 Perdarahan

variseal akut bahkan merupakan suatu keadaan gawat darurat dengan angka kematian 20%

dalam 6 minggu.1,2 Penyebab utama perdarahan SCBA adalah ulkus peptikum, esofagitis,

kerusakan mukosa diinduksi obat, akibat hipertensi portal (varies esophagus, varises fundus

gaster, dan gastropati hipertensi portal), anomali pembuluh darah, trauma, post operasi, dan

keganasan.1 Episode perdarahan akut dihitung dalam interval 48 jam.3

Tatalaksana pada perdarahan SCBA akut non variseal umumnya adalah resusitasi dan

stabilisasi pasien dan penggunaan proton pump inhibitor untuk meminimalisasi perdarahan.4

Sedangkan untuk perdarakan variseal akut, kombinasi obat-obatan vasoaktif (dalam 30 menit

pertama) dan ligasi varises melalui endoskopi (dalam 6 jam pertama) merupakan terapi lini

pertama.2 Dalam guideline untuk perdarahan SCBA, terapi bilas lambung sebelum dilakukan

endoskopi tidak jelas disebutkan. Terapi dengan bilas lambung pada beberapa unit gawat

darurat juga bervariasi. Bilas lambung tidak umumnya tidak rutin dikerjakan kecuali bila

diminta oleh ahli gastroenterology.5 Pedoman tatalaksana perdarahan SCBA di Rumah Sakit

Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo juga tidak mencantumkan dengan jelas perlunya

dilakukan tindakan terapi bilas lambung, walaupun dikatakan dapat dilakukan pada beberapa

kasus.6,7

Walaupun terapi bilas lambung belum dilakukan secara rutin, terdapat laporan bahwa terapi

ini dapat membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif dan kematian.8

Sedangkan keuntungan terapi bilas lambung yang lain seperti mengurangi risiko aspirasi,

meningkatkan kualitas visual saat endoskopi, dan menyingkirkan adanya perdarahan SCBA

pada pasien yang diduga perdarahan saluran cerna bawah masih kontroversi.5,9 Terapi bilas

lambung umumnya digunakan untuk dekontaminasi pada kasus tertelan zat toksin dan pada

pasien overdosis, sedangkan untuk kasus perdarahan SCBA akut belum ada pedoman

standar.9 Beberapa komplikasi terapi bilas lambung juga telah dilaporkan, diantaranya

2

pneumonia aspirasi, spasme laring, aritmia, perforasi gaster atau esophagus, serta gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, walaupun komplikasi-komplikasi tersebut dilaporkan

jarang terjadi.10,11 Oleh karena itu artikel ini disusun untuk mengetahui peran terapi bilas

lambung pada kasus perdarahan SCBA.

KASUS KLINIS

Pasien laki-laki 45 tahun datang dengan muntah darah 3 jam sebelum masuk rumah sakit.

Buang air besar hitam berulang sejak 1 bulan. Terdapat nyeri ulu hati, lemas, mual,

penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Gangguan pola tidur 1 minggu terakhir.

BAK pekat seperti teh. Ibu kandung menderita hepatitis B. Pemeriksaan fisik didapatkan

hemodinamik stabil: tekanan darah 110/70 mmHg; frekuensi nadi 94 kali/menit, reguler, isi

cukup; frekuensi napas 20 kali/menit; suhu 36.1 C. Konjungtiva pucat, sclera ikterik,

hepatomegali (1 jari bawah arkus kosta, 3 jari bawah prosesus xiphoideus, tepi tajam,

permukaan tidak rata, berbenjol benjol, konsistensi keras, nyeri tekan tidak ada), ascites,

palmar eritema. Rectal touché didapatkan melena. Dari selang nasogastric tube (NGT):

cairan kehitaman ± 50 cc. Pasien dilakukan bilas lambung sampai 250 cc didapatkan cairan

lambung jernih. Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan varises esofagus klasifikasi forrest

grade II, dan kemudian dilakukan ligasi varises.

PERTANYAAN KLINIS

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui peran terapi bilas lambung pada kasus

perdarahan SCBA, terutama. Untuk menjawab hal ini kami memformulasikan pertanyaan

klinis berikut, “Bagaimanakah efektivitas [terapi bilas lambung] dalam meningkatkan

[prognosis dan visualisasi endoskopi] pada pasien dengan [perdarahan SCBA]?”

METODOLOGI

Pencarian jurnal dilakukan dengan menggunakan mesin pencari PubMed pada tanggal 26

Agustus 2014 dengan menggunakan kata kunci “gastric lavage” AND “[gastrointestinal OR

GI] bleeding”. Dengan menggunakan kata kunci tersebut, didapatkan 108 artikel. Penapisan

dilakukan dengan membatasi artikel yang menyediakan fulltext dan publikasi dalam 10 tahun

terakhir serta mengeksklusi studi yang dilakukan pada hewan, didapatkan 14 artikel. Dari 14

artikel tersebut kemudian dilakukan seleksi lagi dengan membaca judul dan abstrak. Terdapat

9 artikel yang tidak sesuai dengan pertanyaan klinis, sedangkan 2 artikel merupakan artikel

editorial. Oleh karena itu didapatkan 3 studi yang dimasukkan dalam artikel ini, yaitu artikel

3

oleh Huang et al5, Lee et al9, dan Pateron et al11. Alur pencarian dan seleksi artikel dapat

dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Alur pencarian dan seleksi artikel

TELAAH KRITIS

Ketiga studi ditelaah dengan menggunakan kriteria validitas dan relevansi dari Center of

Evidence Based Medicine (CEBM). Artikel Lee et al dan Pateron et al merupakan uji klinis

acak tersamar, sedangkan artikel Huang et al adalah suatu studi retrospektif. Telaah kritis

pada ketiga studi ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Telaah kritis uji klinis acak tersamar.

Kriteria Lee et al9 Pateron et al11

Vali

dit

as

Pengelompokan kelompok terapi dan kontrol

dilakukan dengan cara randomisasi

+ +

Kedua kelompok (terapi dan kontrol)

memiliki karakteristik yang sama saat di awal

studi

+ +

Kedua kelompok diperlakukan sama + +

Semua subjek diikutkan dalam analisis 1 pasien di

eksklusi

+

108

Pembatasan pencarian

14

Kriteria inklusi:

Ketersediaan

fulltext

Publikasi dalam

10 tahun

Kriteria eksklusi:

Studi pada hewan

Kriteria seleksi:

Melihat efektifitas penggunaan terapi gastric lavage pada pasien perdarahan SCBA

3

Penapisan judul dan abstrak

“gastric lavage” AND “[gastrointestinal OR

GI] bleeding”

Tanggal pencarian:

26 Agustus 2014

4

Subjek dan/atau peneliti dilakukan “blinding” - +

Total nilai validitas 4 5 A

pli

kab

ilit

as

Karakteristik pasien pada studi menyerupai

pasien pada populasi

+ +

Terapi dapat dilakukan pada praktik sehari-

hari

+ +

Keuntungan yang diberikan lebih dari risiko

yang dapat ditimbulkan

+ +

Total nilai aplikabilitas 2 2

Tabel 2. Telaah kritis studi prognosis

Kriteria Huang et al5

Vali

dit

as

Sampel representatif yang jelas dan berada

pada tahap yang sama dalam perjalanan

penyakit mereka

+

Pemantauan yang cukup lengkap dan panjang +

(30 hari)

Kriteria luaran yang objektif +

Penyesuaian untuk faktor-faktor prognostik +

Total nilai validitas 4

Ap

lik

ab

ilit

as

Domain +

Dampak klinis +

Total nilai aplikabilitas 2

HASIL

Kami berhasil menemukan tiga studi yang melihat efektifitas terapi bilas lambung pada

pasien dengan perdarahan SCBA. Dari ketiga studi tersebut, terdapat 2 studi uji klinis acak

(Lee et al dan Pateron et al) dan 1 studi retrospektif (Huang et al). Rangkuman dari ketiga

studi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

5

Tabel 3. Rangkuman studi yang dianalisis

Variabel Lee et al9 Huang et al5 Pateron et al11

Jenis Studi Uji klinis acak Studi retrospektif Uji klinis acak

Jumlah Peserta

Intervensi

Kontrol

20 pasien

(bilas lambung)

18 pasien

(tanpa bilas lambung)

193 pasien

(bilas lambung)

193 pasien

(tanpa bilas lambung)

84 pasien

(Terapi Eritromisin)

85 pasien

(Bilas lambung)

84 pasien

(Bilas lambung +

Eritromisin)

Domain Pasien perdarahan

SCBA akut

Pasien perdarahan

saluran cerna

Pasien perdarahan

SCBA akut

Randomisasi Dikerjakan Tidak dikerjakan (bukan

uji klinis)

Dikerjakan

Keluaran Skor visualisasi saat

endoskopi

Lama rawat; kebutuhan

transfusi darah;

penggunaan endoskopi;

pembedahan emergensi;

mortalitas

Kualitas visual

lambung saat

endoskopi

Pemantauan 30 hari 30 hari

Studi oleh Lee et al yang di publikasi pada tahun 2004 mengikutsertakan 39 pasien dengan

perdarahan SCBA akut. Perdarahan SCBA akut didefinisikan hematemesis atau adanya darah

atau kehitaman pada aspirasi cairan NGT. Dari 39 pasien dilakukan randomisasi, 20 pasien

kelompok yang dilakukan bilas lambung dan 18 pasien tidak. Terdapat 1 pasien yang gagal

dilakukan bilas lambung karena selang untuk bilas lambung tidak dapat di insersi, sehingga di

eksklusi dari analisis. Tidak ada perbedaan karakteristik yang bermakna antara kelompok

intrvensi dan kontrol. Walaupun secara statistik tidak bermakna, terdapat lebih banyak pasien

dengan perdarahan variseal pada kelompok intervensi disbanding kelompok kontrol. Tidak

ada perbedaan bermakna kualitas visual endoskopi esofagus (P=0.99), antrum gaster

(P=0.06), dan duodenum (P=0.10) antara kelompok intervensi dan kontrol. Namun terdapat

kualitas visual endoskopi fundus gaster yang secara signifikan lebih baik pada kelompok

6

dengan terapi bilas lambung dibandingkan kontrol. Pada studi ini juga didapatkan tidak

adanya perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kontrol dalam hal menentukan

skor perdarahan (P=0.24), tercapainya hemostasis (P=0.90), perdarahan berulang (P=0.43),

kebutuhan untuk endoskopi ulang (P=0.59), lama rawat (P=0.65), dan angka kematian

(P=0.15). Pasien yang meninggal pada kelompok kontrol 2 pasien, keduanya meninggal

karena sepsis. Pada kelompok intevensi, 2 pasien meninggal akibat gagal hati, 2 pasien akibat

sepsis, dan 1 pasien karena iskemia usus. Lebih banyak pasien dengan perdarahan variseal

yang masuk ke kelompok intervensi, walaupun secara statistik tidak bermakna, dan lebih

banyak pasien pada kelompok intervensi yang mendapatkan terapi transjugular intrahepatic

portal systemic shunting (TIPS). Waktu rata-rata yang diperlukan untuk melakukan bilas

lambung adalah 15 menit. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada jumlah komplikasi, dan

tidak ditemukan komplikasi yang berhubungan dengan terapi bilas lambung dengan volume

besar, termasuk trauma mukosa dan pneumonia aspirasi. Pada analisis post hoc dilakukan

analisis dengan pembagian kriteria visual menjadi sempurna atau baik dibandingkan dengan

sedang, buruk, dan sangat buruk. Didapatkan perbedaan bermakna pada kualitas visual

antrum gaster (95% vs 67%; P=0.04), fundus gaster (55% vs 22%; P=0.05), dan duodenum

(100% vs 67%; P 0.01).9

Studi oleh Huang et al menggunakan desain retrospektif berdasarkan rekam medik dari

pasien yang datang ke unit gawat darurat di West Los Angeles Veterans Affairs Medical

Center dengan perdarahan saluran cerna. Dari 2382 pasien, didapatkan 632 yang memenuhi

kriteria inklusi, dan 60% mendapat terapi bilas lambung sebelum dilakukan endoskopi. Usia

rata-rata adalah 63.1 tahun, 98% pria, endoskopi dilakukan pada 68.4% pasien (26.3%

dilakukan pada 24 jam pertama). Penyebab perdarahan dari hasil endoskopi adalah

perdarahan variseal (18%), perdarahan SCBA non variseal (60%), perdarahan kolon (18%),

dan yang tidak teridentifikasi sebanyak 3%. Rata-rata lama rawat adalah 4 hari, dengan

angka kematian dalam 30 hari adalah 6.5%. Pasien yang menjalani terapi bilas lambung lebih

banyak yang menggunakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) (19.1% vs 12.6%), gejala

lebih sering muncul malam hari (50% vs 41.6%), memiliki prevalensi diabetes yang lebih

tinggi (31.8% vs 25.1%), dan lebih banyak yang membutuhkan perawatan ICU (61.1% vs

38.8%). Sedangkan lebih sedikit yang datang saat hari kerja (74.3% vs 82.8%), memiliki

penyakit metastasis (2.7% vs 5.5%), menggunakan warfarin (6.4% vs 12.6%), dan takikardia

saat datang (60.6% vs 68.9%). Oleh karena itu pada studi ini kemudian dilakukan matching,

dan didapatkan 193 pasien pada kelompok dengan terapi bilas lambung yang cocok dengan

7

193 pasien pada kelompok tanpa terapi bilas lambung. Dengan membandingkan kedua

kelompok yang telah dilakukan ”matching” didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada

tingkat mortalitas dalam 30 hari (OR 0.84; 95% CI, 0.37-1.92). Walaupun lama rawat lebih

singkat pada kelompok dengan terapi bilas lambung (7.3 vs 8.1 hari), tetapi hasil ini secara

statistik tidak bermakna (P= 0.57). Tidak terdapat perbedaan bermakna juga pada kebutuhan

transfusi (P=0.75). Pasien dengan terapi bilas lambung lebih banyak yang dilakukan

endoskopi (OR 1.71; 95% CI, 1.12-2.62), dan diantara pasien-pasien yang menjalani

pemeriksaan endoskopi, pasien dengan terapi bilas lambung sebelumnya proporsi endoskopi

yang dilakukan dalam 24 jam pertama lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa terapi bilas

lambung (HR 1.49; 95% CI, 1.09-2.04). Aspirat yang mengandung darah saat dilakukan bilas

lambung berhubungan dengan adanya lesi berisiko tinggi pada endoskopi (OR 2.69; 95% CI,

1.08-6.73). Sensitifitas adanya aspirat berdarah dari bilas lambung dalam mendiagnosis

adanya perdarahan aktif atau clot adalah 46.7% (95% CI, 31.7%-62.1%), dengan spesifisitas

78.0% (95% CI, 72.1%-83.1%), positive predictive value 28.8% (95% CI, 18.8%-40.6%),

dan negative predictive value 88.5% (95% CI, 83.3%-92.5%).5

Studi oleh Pateron et al menggunakan desain uji klinis acak yang membandingkan

penggunaan eritromisin injeksi intravena, terapi bilas lambung, atau keduanya terhadap

kualitas visual lambung saat endoskopi. Studi ini menggunakan subjek 253 pasien dengan

perdarahan SCBA akut yang kemudian dikelompokkan kedalam kelompok erythromycin

(ER) (84 pasien), nasogastric (NG) (85 pasien), dan nasogastric erythromycin (NGER) (84

pasien) . Didapatkan 84 pasien (33%) yang telah didiagnosis sirosis sebelumnya. Terdapat 10

pasien yang tidak menjalani endoskopi karena meninggal (2 pasien), stenosis esofagus (1

pasien), dan tidak kooperatif (7 pasien). Karakteristik pasien pada ketiga kelompok tidak

berbeda bermakna. Terdapat 85% pasien dengan kualitas visual lambung yang baik dan tidak

berbeda bermakna pada ketiga kelompok (84%, 82%, dan 88%). Pada kelompok pasien

dengan kualitas visual lambung yang baik, kebutuhan transfusi lebih tinggi pada kelompok

pasien NGER dibandingkan NG (93% vs 77%, P=0.021), namun tidak ada perbedaan antara

kelompok ER dan NG atau ER dan NGER. Tidak ada perbedaan bermakna dalam hal durasi

prosedur endoskopi, kebutuhan terapi hemostasis, kemampuan menilai sumber perdarahan,

dan kebutuhan dilakukannya endoskopi ulang pada ketiga kelompok. Tidak ditemukan

komplikasi yang behubungan dengan endoskopi atau pemasangan NGT pada ketiga

kelompok. Namun terdapat 6 pasien (2 NG, 4 NGER) yang tidak mentolerir pemasangan

NGT. Rata-rata visual analog scale (VAS) setelah pemasangan NGT adalah 42. Jumlah darah

8

yang di transfusi, perdarahan berulang, dan mortalitas tidak berbeda pada ketiga kelompok.

Perdarahan berulang terjadi pada 22 pasien (9%) dalam 24 jam pertama, 27 pasien (10%)

dalam 1 minggu, dan 7 pasien (3%) dalam 1 bulan setelah endoskopi. Angka kematian adalah

7% (9 ER, 7 NG, dan 3 NGER).11

DISKUSI

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) cukup sering terjadi, dengan angka kejadian

sekitar 50 dari 100.000 populasi per tahun dan angka kematian berkisar 5 – 11%.1 Perdarahan

SCBA umumnya dibagi menjadi perdarahan variseal dan non variseal, oleh karena adanya

perbedaan karakteristik pasien, tatalaksana endoskopi dan medis, risiko perdarahan berulang,

dan prognosis pada kedua kelompok tersebut.12 Perdarahan SCBA didefinisikan sebagai

perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz. Gambaran klinis yang sering

adalah hematemesis atau melena.13 Pada beberapa kasus hemoptisis sering disalah artikan

sebagai hematemesis, di tambah lagi hematemesis juga dapat terjadi pada perdarahan

orofaring. Endoskopi adalah modalitas terbaik, efektif, dan aman untuk evaluasi dan

tatalaksana perdarahan SCBA.12 Jika endoskopi tidak dapat dilakukan segera, ada dua cara

sederhana yang dapat dilakukan untuk menentukan perdarahan berasal dari SCBA, yaitu

ditemukannya melena pada rectal touché dan pemasangan selang NGT.1

Selain untuk secara cepat dan sederhana melihat adanya perdarahan dari SCBA pemasangan

NGT juga dapat digunakan untuk bilas lambung. Dalam guideline untuk perdarahan SCBA,

terapi bilas lambung sebelum dilakukan endoskopi tidak jelas disebutkan (algoritma

tatalaksana perdarahan SCBA dapat dilihat pada gambar 2).5,14 Terapi dengan bilas lambung

pada beberapa unit gawat darurat juga bervariasi. Bilas lambung tidak umumnya tidak rutin

dikerjakan kecuali bila diminta oleh ahli gastroenterology.5 Keuntungan terapi bilas lambung

seperti mengurangi risiko aspirasi, meningkatkan kualitas visual saat endoskopi, dan

menyingkirkan adanya perdarahan SCBA pada pasien yang diduga perdarahan saluran cerna

bawah masih kontroversi.5,9

Kami berhasil menemukan tiga artikel yang menganalisis penggunaan bilas lambung pada

perdarahan SCBA. Lee et al dan Petron et al menggunakan pasien dengan perdarahan SCBA

sebagai subjek dan menggunakan desain uji klinis acak, sedangkan Huang et al menggunakan

desain kohort retrospektif pada pasien dengan perdarahan saluran cerna (tidak hanya saluran

cerna atas). Pada studi oleh Lee et al, bilas lambung dilakukan dengan memasukkan selang

9

Ewald 40-Fr ke lambung dan dimasukkan air dengan suhu ruangan sampai bersih dari darah

atau bekuan darah atau sampai maksimal 15 liter. Sedangkan studi oleh Pateron et al

mengggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam sampai jernih. Studi oleh

Huang et al menggunakan catatan pada rekam medik pasien di unit gawat darurat, tidak

dijelaskan kriteria atau teknik melakukan bilas lambung yang digunakan.

Gambar 2. Alur tatalaksana perdarahan SCBA14

Studi oleh Lee et al pada tahun 2004 menunjukkan bahwa bilas lambung aman dan

memberikan kualitas visual yang lebih baik terutama pada fundus gaster. Namun berdasarkan

studi ini, bilas lambung juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada lamanya

prosedur endoskopi, penentuan sumber perdarahan, lama rawat, dan angka kematian.

Kelemahan pada studi ini adalah jumlah sampel yang kecil dan tidak dilakukan “blinding”

10

sehingga dapat menimbulkan bias pada interpretasi oleh dokter yang melakukan endoskopi.

Sistem penilaian kualitas visual yang digunakan pada studi ini juga belum di validasi

sebelumnya. Pada studi ini didapatkan lebih banyak pasien pada kelompok intervensi yang

kemudian dilakukan TIPS saat di rawat. Hal ini mengundang pertanyaan apakah trauma yang

diakibatkan oleh insersi selang dengan ukuran besar (40-Fr) yang menginduksi perdarahan

variseal. Namun peneliti menyatakan bahwa hal ini lebih mungkin terjadi akibat lebih

banyaknya pasien dengan perdarahan variseal yang masuk ke kelompok intervensi saat

dilakukan randomisasi, yaitu 7 pasien pada kelompok intervensi dan hanya 2 pasien pada

kelompok kontrol. Keuntungan dari penggunaan selang yang besar adalah dapat membilas

bekuan darah dengan ukuran besar yang umumnya tidak dapat dilakukan selang ukuran biasa.

Selain itu penggunaan selang dengan ukuran besar ini juga dapat membersihkan seluruh isi

lambung hanya dalam 15 menit.

Studi oleh Huang et al menunjukkan pada kelompok bilas lambung endoskopi dilakukan

lebih cepat dibandingkan pada kelompokk kontrol. Namun bilas lambung sendiri tidak

mempengaruhi angka kematian, kebutuhan transfusi, lama rawat, dan kebutuhan operasi.

Pada analisis subgroup pada kelompok pasien yang dilakukan endoskopi, terdapat lama rawat

yang lebih singkat pada kelompok pasien yang dilakukan bilas lambung sebelumnya.

Prosedur endoskopi yang dilakukan lebih cepat dapat mempengaruhi prognosis klinis pada

pasien, karena dapat mempercepat dilakukannya tindakan atau terapi yang dibutuhkan. Oleh

karena itu mungkin secara tidak langsung bilas lambung juga dapat memperbaiki prognosis,

walaupun untuk membuktikan hal ini diperlukan penelitian dengan sampel yang lebih besar.

Bilas lambung juga dilaporkan berguna untuk stratifikasi risiko. Adanya darah atau bekuan

darah pada aspirat NGT dapat memprediksi adanya perdarahan aktif, lesi dengan risiko

tinggi, dan tingkat perdarahan berulang.

Erythromycin adalah agonis reseptor motilin yang dapat mempercepat pengosongan lambung

melalui induksi kontraksi antrum gaster.15 Beberapa uji klinis telah membuktikan efektifitas

erythromycin dalam membersihkan traktus gastrointestinal dibandingkan dengan placebo.11,16

Pada studi oleh Pateron et al, dilakukan perbandingan antara injeksi erythromycin dan bilas

lambung terhadap kualitas visual endoskopi. Pada studi ini tidak didapatkan perbedaan

bermakna pada kelompok ER, NG, dan NGER. Namun pada kasus yang berat, kombinasi

pemberian erythromycin dan bilas lambung dapat memberi keuntungan (gambaran visual

lambung yang lebih jelas). Angka perdarahan berulang dan kematian pada ketiga kelompok

11

tidak berbeda bermakna, dengan rata-rata angkan mortalitas 7%. Pada studi ini juga tidak

ditemukan komplikasi akibat pemasangan NGT selain nyeri. Didapatkan seperempat pasien

pada studi ini yang mengalami nyeri berat (VAS > 60). Sedangkan pemberian erythromycin

dilaporkan aman, mudah dilakukan, dan tidak menimbulkan nyeri. Pada penelitian lain,

pemberian erythromycin sebelum endoskopi juga memberikan efektifitas biaya.17 Berbeda

dengan studi oleh Huang et al, studi oleh Pateron et al melaporkan adanya darah atau bekuan

darah pada aspirat NGT memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah dalam

memprediksi adanya perdarahan aktif saat dilakukan endoskopi.

Terdapat studi lain yang menggunakan teknik lain yaitu dengan pemberian hydrogen

peroksida untuk meluruhkan bekuan darah. Studi oleh Sridhar et al menggunakan 81 pasien

sebagai subjek penelitian menunjukkan penggunaan air dan hydrogen peroksida 3% dapat

memperbaiki kualitas visual saat endoskopi pada pasien dengan perdarahan SCBA akut non

variseal, dengan rata-rata peningkatan Kalloo’s Visual Scores 2.04 (95% confidence interval

[CI] (1.86, 2.23).18

Dalam hal aplikabilitas bilas lambung dapat dilakukan pada praktik klinis sehari-hari.

Penggunaan modalitas lain, injeksi erythromycin juga tersedia dan dapat dilakukan pada

fasilitas kesehatan di Indonesia.

KESIMPULAN

Saat ini belum ada pedoman yang jelas mengenai pemberian terapi bilas lambung pada pasien

dengan perdarahan SCBA. Tidak ditemukan hubungan antara bilas lambung dengan

perbaikan klinis pasien. Namun, tidak pula ditemukan komplikasi yang bermakna pada terapi

bilas lambung. Bilas lambung sebelum dilakukannya prosedur endoskopi sebaiknya

dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas visual, terutama fundus gaster. Peran bilas

lambung dalam stratifikasi risiko perdarahan aktif atau perdarahan berulang masih

kontroversi. Pemberian erythromycin injeksi intravena nampaknya dapat menjadi alternatif

pada pasien tanpa adanya alergi obat golongan ini, terutama bagi pasien yang tidak

kooperatif. Ditemukannya bekuan darah saat endoskopi juga dapat diatasi dengan pemberian

hydrogen peroksida 3% untuk meluruhkan bekuan darah.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Biecker E, Heller J, Schmitz V, Lammert F, Sauerbruch T. Diagnosis and

Management of Upper Gastrointestinal Bleeding. Dtsch Arztebl Int. 2008; 105(5):

85–94.

2. Sarin SK, Kumar A, Angus PW, Baijal SS, Baik SK, Bayraktar Y, et al. Diagnosis

and management of acute variceal bleeding: Asian Pacific Association for Study of

the Liver recommendations. Hepatol Int. 2011; 5:607–624.

3. De Francis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno IV

Consenus Workshop on Methodology of Diagnosis and Therapy in Portal

Hypertension-Special Report. J Hepatology 2005; 43: 167-176.

4. Barkun A, Bardou M, Marshall JK. Consensus recommendations for managing

patients with nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. Ann Intern Med.

2003;139:843-57.

5. Huang ES, Karsan S, Kanwal F, Singh I, Makhani M, Spiegel B. Impact of

nasogastric lavage on outcomes in acute GI bleeding. Gastrointest Endosc.

2011;74:971-80.

6. Simadibrata M, Syam AF, Abdullah M, Fauzi A, Renaldi K. Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna non Varises di Indonesia. Jakarta: 2012.

7. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Perdarahan

Varises pada Sirosis Hati. Jakarta: 2007.

8. Aljebreen AM, Fallone CA, Barkun AN. Nasogastric aspirate predicts high-risk

endoscopic lesions in patients with acute upper-GI bleeding. Gastrointest Endosc.

2004;59:172-8.

9. Lee SD, Kearney DJ. A randomized controlled trial of gastric lavage prior to

endoscopy for acute upper gastrointestinal bleeding. J Clin Gastroenterol.

2004;38:861-5.

10. Benson BE, Hoppu K, Troutman WG, Bedry R, Erdman A, Ö Jer JH, et al. Position

paper update: gastric lavage for gastrointestinal decontamination. Clinical

Toxicology. 2013; 51, 140–146.

11. Pateron D, Vicaut E, Debuc E, Sahraoui K, Carbonell N, Bobbia X. Erythromycin

Infusion or Gastric Lavage for Upper Gastrointestinal Bleeding: A Multicenter

Randomized Controlled Trial. Ann Emerg Med. 2011;57:582-589.

12. Wee E. Management of nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. J Postgrad Med

2011;57:161-7.

13. Singhal D, Kakodkar R, Nundy S. Management protocol for acute gastrointestinal

bleeding. J Indian Med Assoc 2006;104:226-30.

14. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and Management of Upper

Gastrointestinal Bleeding. Am Fam Physician. 2012;85(5):469-476.

15. Lin H, Sanders S, Gu Y, et al. Erythromycin accelerates solid emptying at the expense

of gastric sieving. Dig Dis Sci. 1994;39:124-128.

16. Carbonell N, Pauwels A, Serfaty L, et al. Erythromycin infusion prior to endoscopy

for acute upper gastrointestinal bleeding: a randomized, controlled, double-blind trial.

Am J Gastroenterol.2006;101:1211-1215.

17. Winstead NS, Wilcox CM. Erythromycin prior to endoscopy for acute upper

gastrointestinal haemorrhage: a cost-effectiveness analysis. Nat Clin Pract

Gastroenterol Hepatol. 2008;5:358-359.

18. Sridhar S, Chamberlain S, Thiruvaiyaru D, Sethuraman S, Patel J, Schubert M, et al.

Hydrogen Peroxide Improves the Visibility of Ulcer Bases in Acute Non-variceal

13

Upper Gastrointestinal Bleeding: A Single-Center Prospective Study. Dig Dis Sci

(2009) 54:2427–2433.