manajemen mutu terpadu_pendidikan

59
1 MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKAN Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, S.Pd.I., M.A. A. Pendahuluan Permasalahan utama pendidikan Indonesia dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang, jenis, dan satuan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Ibrahim menyatakan bahwa pada era reformasi pendidikan Islam menghadapi dua masalah, yaitu: 1) tuntutan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kualitas pendidikan Islam, dan 2) tidak relevannya pendidikan Islam dengan tuntutan kebutuhan pembangunan masyarakat. 1 Berbagai data menunjukkan bahwa pendidikan pada beberapa tahun terakhir masih belum menunjukkan perubahan yang menggembirakan meskipun tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa sekolah/madrasah menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan. Beberapa siswa dari kota-kota besar di Indonesia berhasil meraih medali Olimpiade Sains Internasional. 2 Salah satu catatan untuk lembaga pendidikan Islam menunjukkan bahwa Sekolah Islam Terpadu Darul Mursyid Padang Sidimpuan berhasil menjadi 1 Sulaiman Ibrahim, “Menata Pendidikan Islam di Indonesia: Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan,” dalam Studia Islamica, vol. VIII, h. 81. 2 Fachruddin, “Manajemen Pemberdayaan Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 35.

Upload: jalaludin-zulkifli

Post on 21-Jan-2017

177 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

1

MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKANOleh: Ahmad Abrar Rangkuti, S.Pd.I., M.A.

A. Pendahuluan

Permasalahan utama pendidikan Indonesia dewasa ini adalah rendahnya

mutu pendidikan pada setiap jenjang, jenis, dan satuan pendidikan termasuk di

dalamnya pendidikan Islam. Ibrahim menyatakan bahwa pada era reformasi

pendidikan Islam menghadapi dua masalah, yaitu: 1) tuntutan kebutuhan

masyarakat Indonesia terhadap kualitas pendidikan Islam, dan 2) tidak relevannya

pendidikan Islam dengan tuntutan kebutuhan pembangunan masyarakat.1

Berbagai data menunjukkan bahwa pendidikan pada beberapa tahun

terakhir masih belum menunjukkan perubahan yang menggembirakan meskipun

tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa sekolah/madrasah menunjukkan

peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan. Beberapa siswa dari

kota-kota besar di Indonesia berhasil meraih medali Olimpiade Sains

Internasional.2 Salah satu catatan untuk lembaga pendidikan Islam menunjukkan

bahwa Sekolah Islam Terpadu Darul Mursyid Padang Sidimpuan berhasil menjadi

juara II dalam Olimpiade Sains tingkat Provinsi pada bulan Desember 2013.

Prestasi ini mengungguli sekolah-sekolah umum.

Lahmuddin Lubis mengklasifikasikan penyebab utama rendahnya mutu

pendidikan di Indonesia ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendekatan yang

digunakan lebih terfokus kepada input-output dan sangat kurang perhatian pada

proses. Kedua, pendidikan dilakukan secara birokratik sentralistik; dalam hal

tertentu sentralistik masih perlu tetapi pada era otonomi daerah, pendekatan

desentralistik lebih dominan. Ketiga, peran warga sekolah, khususnya guru,

masyarakat dan orangtua siswa/mahasiswa sangat kurang.3

Mutu menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan. Kita semua

mengakui, saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan 1Sulaiman Ibrahim, “Menata Pendidikan Islam di Indonesia: Sebuah Upaya Menuju

Pendidikan yang Memberdayakan,” dalam Studia Islamica, vol. VIII, h. 81. 2Fachruddin, “Manajemen Pemberdayaan Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di

Indonesia,” dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 35.

3Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

2

sekolah menengah atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan

masyarakat. Masalah ini berakibat bagi masyarakat. Para peserta didik yang tidak

siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya

jadi beban masyarakat. Para peserta didik yang seperti itu adalah produk sistem

pendidikan yang tidak terfokus pada mutu. Rozikun dan Namaduddin menyatakan

bahwa dalam konteks sistem pendidikan nasional, madrasah menjadi sorotan

terkait dengan buruknya mutu pendidikan nasional.4

Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa pendidikan merupakan industri jasa

(pelayanan) yang memiliki pelanggan. Pelanggan pendidikan memiliki kebutuhan

dan harapan. Oleh karena itu, peranan pendidikan direncanakan untuk memenuhi

kebutuhan dan harapan pelanggan. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu

adalah pendidikan yang dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan

pelanggannya.5

Permasalahan mutu pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan

suatu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran dipengaruhi oleh mutu

masukan dan mutu proses. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan

murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak

murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan gizi, kecacingan,

ataupun kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Keadaan

ini terkait dengan kesiapan input pendidikan. Arcaro menyatakan bahwa mutu

pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf, dan anggota dewan

sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim,

kooperasi, akuntabilitas, dan pengakuan.6

Terkait dengan uraian di atas, perlu diberikan batasan definisi terhadap

pendidikan. Pendidikan sendiri dapat dilihat sebagai suatu proses dan sebagai suatu

lembaga yang menawarkan program pembelajaran. Sebagai suatu proses,

pendidikan merupakan usaha memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap

4Ahmad Rozikun dan Namaduddin, Strategi Perencanaan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) di Tingkat Menengah, cet. 2 (Jakarta: Listafariska Putra, 2008), h. 4.

5Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

6Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, terj. Yosal Iriantara, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.

3

potensi setiap individu anak yang sedang mengalami perkembangan untuk

mencapai kedewasaan yang optimal. Dalam konteks ini pendidikan dapat

berlangsung seumur hidup dalam berbagai situasi, baik dengan keteladanan,

pembiasaan, bimbingan, pengarahan, pembelajaran, pelatihan, hukuman, pujian,

dan lain-lain. Sedangkan sebagai lembaga, pendidikan dapat berlangsung di rumah

tangga dan lembaga masyarakat (pendidikan luar sekolah) dan pendidikan yang

berlangsung di sekolah sebagai organisasi pendidikan formal.7

Salah satu lembaga pendidikan yang telah menerapkan sistem manajemen

terbuka dan memanfaatkan lingkungannya8 menghadapi tuntutan zaman yang

kompleks adalah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan. Dalam hal ini

dibuktikan dengan prestasi MAN 1 Medan meraih Certificate of Registration ISO

9001-2008.9 Untuk perkembangan terkini, MAN 1 Medan merupakan satu-satunya

madrasah di Sumatera Utara yang mendapat standar manajemen pendidikan yang

diakui organisasi internasional tentang mutu.10 Untuk kajian selanjutnya, hemat

penulis keberadaan MAN 1 Medan menjadi hal yang menarik untuk diteliti secara

lebih mendalam.

Makalah ini membahas tentang manajemen mutu terpadu dalam pendidikan.

Adapun sub-sub bahasan dalam makalah ini, yaitu: konsep mutu, pelanggan dan

standar mutu, manajemen mutu terpadu dalam pendidikan (total quality

management [TQM]), prinsip dan komponen manajemen mutu terpadu

pendidikan, langkah-langkah manajemen mutu terpadu pendidikan, dan hambatan

penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Konteks lembaga pendidikan

7Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan: Mengembangkan Keterampilan Manajemen Pendidikan Menuju Sekolah Efektif (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 68.

8Lingkungan eksternal organisasi meliputi inovasi teknologi, aktivitas ekonomi, sikap sosial, kebijakan pemerintah, persatuan perdagangan, pelanggan, budaya, organisasi lain, hubungan internasional, persatuan pekerja, pesaing, iklim, pemodal, dan lain-lain. Lihat Ibid., h. 126.

9ISO 9001 merupakan pengakuan yang diberikan dalam bidang standar mutu produksi dan layanan. Lihat Samsul Hady, Manajemen Madrasah (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2001), h. 14.

10Machfirah Rafiah, “Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Kinerja Guru di MAN 1 Medan,” dalam Raudhah, vol. I, h. 70. Lihat pula Ahmad Abrar Rangkuti, “Penerapan Manajemen Kurikulum Kelas Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan” (Tesis: IAIN Sumatera Utara, 2012), h. 40.

4

yang terkait dalam bahasan makalah ini adalah lembaga pendidikan Islam,

meliputi madrasah, sekolah Islam terpadu, dan perguruan tinggi Islam.

B. Pembahasan

Manajemen pendidikan memiliki keterkaitan dengan perubahan budaya

organisasi. Mutu organisasi dapat dicapai, disempurnakan, dan dikembangkan

dengan implementasi sistem manajemen. Bidang pendidikan berkaitan dengan

kurikulum, kompetensi guru, penataan fasilitas dan sarana pembelajaran, sehingga

sistem manajemen berfokus pada aspek-aspek tersebut. Perubahan signifikan akan

terjadi jika disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang

mendukung perubahan-perubahan tersebut.

Sidi mengidentifikasi beberapa masalah terkait dengan peningkatan mutu

pendidikan. Menurut Sidi, ada empat faktor yang terkait dengan peningkatan mutu

pendidikan. Pertama, salah satu indikator mutu pendidikan yaitu Nilai Ebtanas

Murni/Nilai Ujian Nasional masih jauh di bawah standar yang diinginkan. Kedua,

dilihat dari aspek non-akademik, banyak kritik terhadap masalah kedisiplinan,

moral dan etika, kreativitas, kemandirian, dan sikap demokratis yang tidak

mencerminkan tingkat kualitas yang diharapkan oleh masyarakat luas. Ketiga,

kemampuan guru sangat bervariasi. Dan keempat, kondisi lingkungan sekolah

untuk menerapkan pendidikan yang bersifat non-akademik (kreativitas,

kemandirian, dan demokrasi) juga relatif rendah.11

1. Konsep Mutu, Pelanggan, dan Standar Mutu

a) Konsep Mutu

Mutu sistem pendidikan suatu negara merupakan penentu utama bagi mutu

tenaga kerja. Semakin tinggi mutu tenaga kerja (labor pool), semakin tinggi pula

mutu penerimaan tenaga kerja (entry-level employees). Semakin tinggi mutu

penerimaan tenaga kerja, semakin cepat mereka menjadi tenaga kerja yang

produktif dan berkontribusi terhadap persaingan dalam pekerjaan. Sebagai

konsekuensinya, sistem pendidikan yang bermutu tinggi merupakan komponen 11Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),

h. 71-72.

5

penting bagi kompetisi yang seimbang (competitiveness equation).12 Dengan

demikian, indikator majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumberdaya

manusia negeri tersebut.13 Hal di atas mengimplikasikan bahwa salah satu kriteria

lulusan lembaga pendidikan yang bermutu adalah cepat terserapnya mereka di

lapangan kerja dan diterimanya mereka di lembaga pendidikan lanjutan.

Mutu terletak pada penilaian orang yang mengamatinya (beholder). Dalam

pendekatan mutu terpadu (total quality) pelanggan (customer) adalah penentu

mutlak mutu. Sebagai ilustrasi misalnya, pelanggan menilai mutu sebuah restoran

dari aspek pelayanan, penyajian makanan, suasana lingkungan, harga, menu

pilihan, dan cepat dalam penyajian.14

Meskipun tidak ada definisi mutu yang umum yang bisa diterima semua

pihak, setidaknya di dalam mutu terdapat komponen umum yaitu: 1) terpenuhinya

harapan pelanggan; 2) berfokus pada produk, layanan, orang, proses, dan

lingkungan, dan 3) terjadinya perubahan keadaan (ever-changing state). Dari

ketiga komponen ini Goetsch dan Davis mendefinisikan mutu sebagai suatu

kondisi dinamis yang melibatkan produk, layanan, orang, proses, dan lingkungan

dalam rangka pemenuhan harapan.15

Secara absolut mutu dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi ditawar

atau bersifat mutlak. Absolut dalam konteks mutu juga dapat dikatakan sebagai

suatu kondisi yang ditentukan secara sepihak, yakni oleh produsen. Dalam

pandangan absolut, mutu diartikan sebagai ukuran yang terbaik menurut

pertimbangan produsen dalam memproduksi suatu barang maupun jasa.

Mutu dapat juga digunakan sebagai suatu konsep yang relatif. Pengertian

ini digunakan dalam TQM. Definisi relatif tersebut memandang mutu bukan

sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal

dari produk atau layanan tersebut. Mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah

12David L.Goetsch dan Stanley B.Davis, Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services (New Jersey: Prentice-Hall, 2000), Edisi III, h. 8.

13 Isjoni, Menuju Masyarakat Belajar: Pendidikan dalam Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 25.

14Goetsch dan Davis, Quality Management, h. 49.15Ibid., h. 50.

6

layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Mutu merupakan sebuah cara yang

menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar atau belum.

Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek. Pertama, adalah

menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua, adalah memenuhi kebutuhan

pelanggan. Cara pertama, penyesuaian diri terhadap spesifikasi, sering

disimpulkan sebagai ‘sesuai dengan tujuan dan manfaat’. Kadangkala definisi ini

sering disebut definisi produsen tentang mutu. Selama sebuah produk sesuai

dengan spesifikasi dan standar pabriknya, maka produk tersebut adalah produk

yang memiliki mutu. Pendapat tentang mutu yang sedemikian seringkali disebut

dengan istilah mutu sesungguhnya (quality in fact). Mutu sesungguhnya

merupakan dasar sistem jaminan mutu yang dianggap sesuai dengan British

Standard Institution dalam standar BS 5750 atau standar internasional identik

dengan ISO 9000.16

Selanjutnya, konsep mutu yang relatif dimaknai sebagai mutu sesuai

persepsi (quality in perception). Sesuatu disebut bermutu apabila memuaskan dan

melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Mutu ini bisa disebut sebagai

mutu yang hanya ada di mata orang yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang

sangat penting. Sebab, ada satu resiko yang seringkali diabaikan dari definisi ini,

yaitu kenyataan bahwa para pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan

terhadap mutu. Pelanggan melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada

produk terbaik yang bisa bertahan dalam persaingan.17

Mutu tidak bisa diimplementasikan dalam setiap proses kerja. Kerja dapat

dibagi ke dalam empat kuadran: 1) harus dilakukan, 2) prioritas, 3) sebaiknya dan

penting dilakukan, 4) sebaiknya dilakukan dan tidak penting. Sistem ini

menempatkan kerja dalam empat kuadran dan menetapkan jumlah sumberdaya

yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap tugas. Mutu hanya akan bekerja

dalam kuadran prioritas. Mutu tidak dapat digunakan di kuadran yang lain. Setiap

usaha untuk menempatkan prinsip-prinsip mutu ke dalam tugas dalam kuadran di

16Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan: Peran Strategis Pendidikan di Era Globalisasi Modern, terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2010), h. 54-55.

17Ibid., h. 56.

7

luar kuadran prioritas akan gagal. Mutu tidak akan berjalan dalam kuadran harus

dilakukan karena tidak tersedia waktu untuk perencanaan atau implementasi

mutu.18 Dengan demikian mutu tidak dapat dihasilkan dari tindakan yang

dilakukan secara sporadis.

Pemaknaan mutu dalam konteks pendidikan yang dimaknai sebagai suatu

sistem (input, proses, dan output) ditampilkan korelasinya melalui tabel berikut.19

No Keadaan input Keadaan proses

Keadaan output

1. Baik Baik Pasti baik2. Baik Sedang Menurun menjadi agak baik3. Baik Jelek Sedang4. Sedang Baik Meningkat5. Sedang Sedang Tetap6. Sedang Jelek Semakin jelek7. Rendah Baik Sedang8. Rendah Sedang Cenderung sedikit meningkat9. Rendah Jelek Pasti rendah

Tabel. 1 Korelasi antara input, proses, dan output dalam pendidikan

Selanjutnya, terkait dengan usaha memproses peserta didik menjadi lebih

baik ditampilkan pada tabel di bawah ini.20

No Keadaan input Keadaan proses Keadaan output1. Baik Sangat baik Unggul/istimewa2. Sedang Istimewa Baik sekali3. Rendah Sangat istimewa Baik

Tabel 2.Usaha Memproses Peserta Didik Menjadi Lebih Baik

Dari tabel 2 dipahami bahwa bila input lembaga pendidikan keadaannya

baik dan diproses dengan sangat baik, output yang dihasilkan memiliki kualitas

unggul atau istimewa. Bila input pendidikan keadaannya sedang dan selanjutnya

diproses secara istimewa akan menghasilkan output baik sekali. Selanjutnya, bila

18Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, h. 191. 19Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 207. 20Ibid., h. 209.

8

input yang diterima lembaga pendidikan kualitasnya rendah yang selanjutnya

diproses secara sangat istimewa, output yang dihasilkan berkualitas baik.

b) Konsep Pelanggan

Secara alamiah proses hidup atau matinya suatu organisasi atau lembaga

pendidikan selalu tergantung kepada kemampuan organisasi atau lembaga

memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggannya (stakeholder). Sebelum

sekolah/madrasah mengidentifikasi harapan dan kebutuhan pelanggan,

sekolah/madrasah harus mampu menentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang

menjadi stakeholder-nya. Bahkan lebih jauh dari itu, sekolah/madrasah harus

mampu mengidentifikasi siapa yang menjadi stakeholder potensialnya. Kondisi

ini diperlukan karena tidak setiap organisasi memiliki produk/layanan yang dapat

atau cocok diperuntukkan bagi semua orang.

Stakeholder potensial dapat dilihat dari status ekonomi, kondisi demografi

penduduk suatu wilayah, jenis aliran yang dianut oleh masyarakat Islam, dan lain-

lain. Setelah ditemukan dan ditetapkannya stakeholder potensial oleh sekolah atau

madrasah, langkah selanjutnya adalah menganalisis harapan dan kebutuhan

stakeholder. Hasil analisis inilah yang kemudian dijadikan titik tolak dalam proses

inventarisasi dan penataan harapan dan kebutuhan stakeholder. Masing-masing

harapan dari kelompok stakeholder dimungkinkan memiliki perbedaan yang

kontras antara satu kelompok stakeholder dengan kelompok stakeholder yang

lain. Oleh karenanya tidak mungkin semua harapan dan kebutuhan kelompok

stakeholder tersebut dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga

pendidikan harus memilih kelompok stakeholder yang akan dipenuhi harapan dan

kebutuhannya.21

Pelanggan pendidikan (stakeholder) antara lain meliputi pihak-pihak

internal dan pihak-pihak eskternal. Pihak internal terdiri atas orangtua siswa,

siswa, guru, pegawai sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah, kepala

sekolah/madrasah, kepala desa/kelurahan, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan

21Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Kencana, 2011), cet. III, h. 24 dan 143.

9

unsur masyarakat berdasarkan profesi. Pihak eksternal meliputi pemerintah, dunia

usaha, dunia industri, standar akreditasi BAN S/M, standar kriteria

sekolah/madrasah mandiri/standar internasional, standar kriteria sekolah/madrasah

nasional, standar kriteria sekolah/madrasah dan perguruan tinggi pada tingkat

lanjutannya.22

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang mungkin saja dapat beralih

ke produk lain dengan mutu dan harga yang sama. Tetapi pelanggan yang loyal

adalah pelanggan yang tetap memilih satu produk tertentu dan bahkan

menganjurkan kawan-kawannya tetap memilih suatu produk tertentu untuk

mempergunakan produk tersebut karena mempunyai nilai yang lebih tinggi dari

pelanggan. Dalam konteks pendidikan didapati juga para pemakai jasa pendidikan

yang merasa puas dan ada juga yang loyal terhadap lembaga pendidikan tersebut.

Kepuasan dan loyalitas ini tentu didasarkan atas mutu yang ditampilkan lembaga

pendidikan.23

c) Konsep Standar Mutu

Konsep mutu memerlukan standar sebagai ukuran pasti yang akan dicapai

dalam proses kegiatan manajemen. Sebagian pendapat mengatakan bahwa standar

mutu ditentukan oleh pihak eksternal. Pendapat lain mengatakan bahwa standar

mutu ditentukan oleh pihak internal. Dari keragaman teori tersebut melahirkan

banyak standar mutu yang ditawarkan, misalnya Total Quality Management

(TQM), Balanced Scorecard, Malcolm Baldridge Award, ISO 9000 series dan

sebagainya. Khusus di Indonesia, untuk satuan pendidikan tingkat dasar dan

menengah menggunakan standar Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.

Untuk perguruan tinggi menggunakan standar BAN-PT selain standar

internasional yang disebutkan tersebut.

Salah satu standar internasional mutu adalah sistem ISO yang

dikembangkan pertama kali pada tahun 1987. Ada beberapa produk ISO yang

dikeluarkan dan masing-masing memiliki spesifikasi terhadap mutu yang dinilai.

22Ibid., h. 216. 23Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan

Persaingan Mutu (Jakarta: Nimas Multima, 2006), h. 36.

10

Misalnya, sistem ISO 9001:2000 yang menitikberatkan pada proses manajemen,

keterlibatan anggota organisasi, dan efektivitas perbaikan organisasi. Ada pula

sistem ISO 9001:2008 yang merupakan pengembangan dari sistem ISO

9001:2000. Sistem ISO 9001:2008 lebih memfokuskan pada kualitas kebijakan

yang terencana dari berbagai level manajemen, kualitas kebijakan yang

dilaksanakan di setiap level manajemen, tujuan kerja personel yang dapat diukur,

adanya sistem komunikasi yang dimiliki organisasi dengan pelanggan, dan kinerja

organisasi yang secara teratur direview.24

Konsep mutu dalam bidang pendidikan berbeda dengan industri.

Perbedaannya terletak pada unsur manusiawi yang diproses sebagai hasil. Oleh

karena itu, akhir penilaian mutu yaitu pada mutu lulusan. Mutu lulusan sangat

beragam dan kompleks antara satu dengan lainnya dalam kelompok lulusan yang

sama. Penilaian sederhana yaitu jika lulusan dapat diterima bekerja sesuai bidang

keilmuannya dan/atau diterima di perguruan tinggi terkemuka bagi yang

melanjutkan studi, maka lembaga pendidikan tersebut dinilai bermutu.25

Pandangan mengenai mutu di atas mengimplikasikan bahwa barang atau

jasa yang diproduksi harus selalu mengutamakan kesesuaian antara mutu dalam

perspektif absolut dan relatif Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

mutu sebagai suatu konsep memiliki kriteria, yaitu: 1) adanya kepuasan

pelanggan, 2) adanya sistem, dan 3) adanya spesifikasi produk.

2. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan

Manajemen mutu mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh pakar

mutu. Para pakar yang berpengaruh terhadap perkembangan manajemen mutu

24David L. Goetsch dan Stanley Davis, Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality (New Jersey: Pearson, 2013 ), Edisi VII, h. 240.

25Deden Makbuloh, Manajemen Mutu Pendidikan Islam: Model Pengembangan Teori dan Aplikasi Sistem Penjaminan Mutu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 36.

11

adalah William Edwards Deming (14 Oktober 1900 – 20 Desember 1993), Joseph

Moses Juran (24 Desember 1904 – 28 Februari 2008), Philip Bayard Corsby (18

Juni 1926 – 18 Agustus 2001), Armand Vallin Feighenbaum (lahir 6 April 1920),

Kaoru Ishikawa (13 Juli 1915 – 16 April 1989), dan Genichi Taguchi (1 Januari

1924 – 2 Juni 2012).

Deming merupakan pakar kualitas yang mengajarkan kepada bangsa

Jepang tentang konsep pengendalian kualitas. Di sisi lain, Juran merupakan

seorang guru manajemen kualitas yang memperkenalkan konsep trilogi kualitas,

yaitu: perencanaan kualitas, pengendalian kualitas, dan perbaikan atau

peningkatan kualitas. Sementara itu, Crosby merupakan ahli manajemen kualitas

yang memfokuskan kajiannya atas pengembangan budaya kualitas dengan bentuk

pelibatan semua individu dalam melakukan proses di dalam organisasi.

Feigenbaum merupakan ahli manajemen kualitas yang memperkenalkan

konsep total quality control. Sementara itu, Ishikawa merupakan ahli manajemen

kualitas dari Jepang yang mengemukakan konsep tentang quality control circle,

company wide quality control, dan Ishikawa cause-effect diagram. Adapun

Taguchi merupakan ahli manajemen dari Jepang yang mengembangkan konsep

efisiensi atau penurunan biaya produksi dengan cara meningkatkan kualitas.26

Secara garis besar, perubahan pergerakan kualitas (quality movement)

mengikuti empat pemahaman utama, yaitu: 1) inspection and quality control, 2)

quality assurance, 3) total quality management, dan 4) global quality

management.27 Total Quality Management (TQM) dibuat pertama sekali di Jepang

yang terinspirasi oleh warga Amerika, Deming, Juran, dan Crosby. TQM dimulai

dengan pendekatan statistik murni yang kemudian diperluas dan dikembangkan

oleh ahli TQM dan pelaku industri di Jepang dan Amerika Serikat. Terdapat

daftar terkenal berkenaan dengan langkah menuju mutu terpadu. Deming

merumuskan sejumlah 14 poin, dan Juran merumuskan trilogi Juran.28

26Darwin dan Irsan, Penjamin Mutu Pendidikan dan Pengawasan (Medan: Unimed Press, 2012), h. 18.

27Ibid., h. 19. 28Tony Bush dan Marine Coleman, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan:

Panduan Lengkap Kurikulum Dunia Pendidikan Modern, terj.Fahrurrozi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 191.

12

Empat belas poin yang dirumuskan oleh Deming yaitu: 1) ciptakan usaha

peningkatan produk dan jasa; 2) adopsi falsafah baru; 3) hindari ketergantungan

pada inspeksi massa untuk mencapai mutu; 4) akhiri praktik menghargai bisnis

dengan harga; 5) tingkatkan secara konstan sistem produksi dan jasa; 6)

lembagakan pelatihan kerja; 7) lembagakan kepemimpinan; 8) hilangkan rasa

takut; 9) uraikan kendala-kendala antar departemen; 10) hapuskan slogan,

desakan, dan target, serta tingkatkan produktivitas; 11) hapuskan kuota kerja yang

menggunakan kuota numerik; 12) hilangkan kendala-kendala yang merampas

kebanggaan karyawan atas keahliannya, 13) lembagakan aneka program

pendidikan yang meningkatkan semangat dan peningkatan kualitas kerja, dan 14)

tempatkan setiap orang dalam tim kerja agar dapat melakukan transformasi.29

Juran menyusun trilogi mutu yaitu: 1) perencanaan mutu (quality

planning), 2) kendali mutu (quality control), dan 3) perbaikan mutu (quality

improvement). Pertama, perencanaan mutu meliputi langkah-langkah yaitu: 1)

menentukan siapa yang dimaksud dengan pelanggan, 2) mengidentifikasi

kebutuhan pelanggan, 3) mengembangkan produk dengan tampilan yang sesuai

dengan kebutuhan pelanggan, 4) mengembangkan sistem dan proses yang

memungkinkan organisasi menghasilkan tampilan-tampilan pada diktum ketiga,

dan 5) menyusun rencana tingkat operasional.

Kedua, kendali mutu meliputi langkah-langkah yaitu: 1) menilai kualitas

yang sesungguhnya dari produk, 2) membandingkan produk dengan tujuan, dan 3)

melakukan diferensiasi antara produk dan tujuan. Ketiga, perbaikan mutu meliputi

langkah-langkah, yaitu: 1) mengembangkan infrastruktur perbaikan mutu, 2)

mengidentifikasi area tertentu yang membutuhkan perbaikan, 3) merancang kerja

sama tim untuk perbaikan mutu, 4) memfasilitasi tim dalam perbaikan mutu.30

Sejauh penelusuran penulis di beberapa sumber referensi dapat

disimpulkan bahwa penggunaan nomenklatur pengendalian mutu (quality control)

mulai mengemuka di Indonesia sejak awal tahun 1980. Nomenklatur tersebut

masih digunakan hingga tahun 2001. Pada masa itu pemerintah melalui

29David L. Goetsch dan Stanley Davis, Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality (New Jersey: Pearson, 2013 ), Edisi VII, h. 12.

30Ibid., h. 14.

13

Departemen Pendidikan dan Departemen Agama mempublikasikan secara massal

buku pedoman pengendalian mutu untuk dunia pendidikan; baik pengendalian

mutu lembaga pendidikan maupun pengendalian mutu mata pelajaran. Selain itu,

peran dan fungsi kepengawasan pendidikan semakin ditingkatkan terkait dengan

penerapan kebijakan pengendalian mutu pendidikan.

Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa secara filosofis, manajemen mutu

memiliki makna filosofis sebagai berikut:

a) Setiap pekerjaan menghasilkan produk atau jasa;

b) Produk atau jasa tersebut diproduksi karena ada yang membutuhkan;

c) Orang-orang yang membutuhkan produk/jasa disebut pelanggan;

d) Produk/jasa tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh

pelanggannya;

e) Produk/jasa tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi

kebutuhan dan harapan pelanggan; dan

f) Produk/jasa tersebut bermutu bila dapat memenuhi atau melebihi

kebutuhan dan harapan pelanggan.31

Manajemen mutu terpadu merupakan sebuah konsep yang

mengaplikasikan berbagai prinsip mutu untuk menjamin suatu produk barang/jasa

memiliki spesifikasi mutu sebagaimana ditetapkan secara menyeluruh dan

berkelanjutan. Pendekatan manajemen mutu dilakukan secara menyeluruh, yaitu

mulai dari input, proses, output, dan outcome. Dilakukan secara berkelanjutan

menunjukkan bahwa upaya mewujudkan mutut merupakan bagian kerja

keseharian, bukan sesuatu yang bersifat temporal (sewaktu-waktu). Dalam

konteks outcome dikenal dengan istilah layanan purna jual. Dalam dunia

pendidikan, layanan purna jual ini terkait dengan keterlibatan alumni dalam

pengelolaan dan pengembangan sekolah. Semua komponen sistem organisasi

diposisikan sebagai bagian untuk menjamin mutu dan disinergikan melalui

kepemimpinan mutu.32

31Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

32Deni Koswara dan Cepi Triatna, “Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan,” dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 295

14

Salusu mendefinisikan manajemen mutu terpadu sebagai manajemen yang

menciptakan dan mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan yang akan

membuat setiap orang mengetahui bahwa kualitas untuk konsumen adalah

tuntutan yang paling utama. Kata kuncinya adalah layanan dan berorientasi mutu.

Manajemen mutu terpadu bekerja berdasarkan data dan fakta. Oleh karena itu,

manajemen mutu terpadu sering disebut juga manajemen berdasar fakta dan data.

Manajemen mutu terpadu akan gagal apabila didasarkan pada fakta dan data yang

salah. Konsep manajemen mutu terpadu semula digunakan di kalangan industry

dan karena itu selalu berkaitan dengan produksi. Dalam lingkungan organisasi

publik dan nonprofit, istilah produksi dapat disejajarkan dengan pelayanan

(service).33

Dalam konteks pendidikan, manajemen mutu terpadu memerlukan

adaptasi dengan konteksnya. Hal ini berarti bahwa ada beberapa atribut dalam

manajemen mutu terpadu yang harus disesuaikan dengan konteks pendidikan

yang diintegrasikan masuk ke dalam tiga konsep, yaitu: 1) manajemen stratejik,

2) perencanaan stratejik, dan 3) keputusan stratejik.34 Dengan demikian untuk

mengetahui suatu organisasi atau lembaga pendidikan yang menerapkan

manajemen mutu terpadu secara efektif dapat diketahui dari tiga hal di atas.

Menurut Syafaruddin, manajemen mutu terpadu memfokuskan proses atau

sistem pencapaian tujuan organisasi. Dengan dimulai dari proses perbaikan mutu,

manajemen mutu terpadu diharapkan dapat mengurangi peluang membuat

kesalahan dalam menghasilkan produk, karena produk yang baik adalah harapan

pelanggan. Jadi, rancangan produk diproses sesuai dengan prosedur dan teknik

untuk mencapai harapan pelanggan. Penggunaan metode ilmiah dalam

menganalisis data diperlukan sekali untuk menyelesaikan masalah dalam

peningkatan mutu.

Selanjutnya, sebagai falsafah dan alat atau teknik bagi perbaikan mutu,

esensi dari manajemen mutu terpadu adalah perubahan kultur. Manajemen mutu

terpadu merupakan suatu teori ilmu manajemen yang mengarahkan pimpinan

33J.Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, cet. 4 (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 456-458.

34Ibid., h. 461.

15

organisasi dan personelnya untuk melakukan program perbaikan mutu secara

berkelanjutan yang terfokus pada pencapaian kepuasan para pelanggan.35

Kepemimpinan merupakan kunci bagi penerapan manajemen mutu terpadu

pendidikan yang perlu dibangun dalam basis yang kuat. Dalam manajemen mutu

terpadu, semua manajer organisasi harus menjadi pemimpin dan teladan dalam

proses mutu. Mereka perlu mengkomunikasikan misi dan sumbernya kepada

seluruh unsur SDM dalam organisasi. Untuk mewujudkan perbaikan mutu

berkelanjutan, maka yang diperlukan adalah pimpinan yang tidak hanya berhasil

(success) tetapi juga efektif (effective). Pimpinan yang efektif dalam organisasi

pendidikan adalah mereka yang memberikan pengaruhnya dan orang lain bergerak

ke arah tujuan secara sukarela dan senang tanpa merasa terpaksa. Pengaruh ini

berkelanjutan untuk mewujudkan mutu pendidikan sehingga kinerja sekolah dapat

dirasakan para pelanggan pendidikan dari lulusan yang bermutu. Kepemimpinan

mutu merupakan kepemimpinan efektif yang berimplikasi terhadap produktivitas

sekolah. Kinerja guru dan pegawai menjadi indikator dari kepemimpinan efektif

tersebut. 36

Muhaimin memberikan tiga syarat pokok yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin pendidikan. Pertama, memiliki kompetensi, sebab tanpa kompetensi

tidak mungkin seorang pemimpin dapat membuat prestasi-prestasi dalam

mengemban tugas yang dibebankan kepadanya. Kedua, memiliki integritas dan

ketiga memiliki visi. Tanpa integritas dan visi ke depan, pemimpin akan jatuh

pada pragmatisme sesaat dan menjadikan organisasi termarginalisasikan dalam

persaingan.37

Pemimpin pendidikan harus mampu membuat keputusan yang bermutu.

Keputusan yang bermutu diraih dari keterlibatan semua pihak (keputusan

partisipatori). Hal ini dikarenakan adanya sejumlah pemikiran orang yang dibawa

dalam menyelesaikan masalah. Bagaimanapun, bila orang dilibatkan dalam

35Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 29-31.

36Ibid., h. 62. 37Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 18.

16

membuat keputusan, mereka lebih suka untuk melaksanakan keputusan itu secara

efektif.38

Lebih lanjut Syafaruddin menegaskan bahwa manajemen mutu pendidikan

merupakan aplikasi konsep manajemen mutu pendidikan dengan sifat dasar

sekolah sebagai organisasi jasa kemanusiaan (pembinaan potensi pelajar) melalui

pengembangan pembelajaran berkualitas, agar melahirkan lulusan yang sesuai

dengan harapan orangtua, masyarakat, dan pelanggan pendidikan lainnya.39

Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan

sesuatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang

bermutu jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan

sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak

didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula.

Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti

administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan profesional. Hal

tersebut didukung pula oleh sarana prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta

sumber belajar yang memadai.40

Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen,

pelaksana, dan kegiatan pendidikan atau disebut mutu total atau “total quality”.

Adalah suatu hal yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat

dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu. Kegiatan

pendidikan cukup kompleks, satu kegiatan, komponen, pelaku, serta waktu

lainnya. Faktor-faktor yang terlibat dalam pengembangan mutu pendidikan secara

sistemik dapat dilihat pada gambar berikut.41

38Syafaruddin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 128. Lihat pula Syafaruddin dan Asrul, Kepemimpinan Pendidikan Kontemporer (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 69.

39Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 36-60.40Nana Syaodih Sukmadinata, Ayi Novi Jami’at, Ahman, Pengendalian Mutu Sekolah

Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 6.41Ibid., h. 7.

Instrumental input:- Kebijakan pendidikan- Program pendidikan-

kurikulum- Personil: Kepsek, guru,

staf, TU- Sarana, fasilitas, media,

biaya

17

Skema 1. Peta Komponen Pendidikan Sebagai Sistem

Dari gambar di atas diperoleh pemahaman bahwa pendidikan bermutu

dapat dicapai dengan pendekatan sistem baik dalam pendidikan maupun mutu itu

sendiri.

Menurut Field sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin, ada delapan

keuntungan yang dicapai dengan penerapan manajemen mutu terpadu dalam

pendidikan, yaitu:

a) Memperkuat organisasi pendidikan dan memberikan peta jalan atau

arah bagi perubahan;

b) Menolong pengelola untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok

kerja;

c) Penanganan program pendidikan dengan pendekatan holitstik sehingga

segala unsur pendidikan mengalami perubahan cara pengaturan;

Proses pendidikan:- Pengajaran- Pelatihan- Pembimbingan- Evaluasi- Ekstrakurikuler- Pengelolaan

Output (lulusan):PengetahuanKepribadianPerformansi

Raw Input(Peserta didik):IntelekFisik-kesehatanSosial-afektifPeer group

Environmental input:- Lingkungan sekolah- Lingkungan keluarga- Masyarakat- Lembaga sosial, unit kerja

18

d) Meningkatkan partisipasi setiap orang yang terlibat dalam

penyelenggaraan pendidikan (pelajar, fakultas, staf, alumni) dan usaha-

usaha masyarakat perguruan;

e) Mengarahkan para orangtua dan pelajar untuk membuat saran-saran

untuk memajukan pendidikan;

f) Mengarahkan pembuatan standar mutu pendidikan;

g) Mengembangkan sikap proaktif terhadap sesuatu yang mempengaruhi

pendidikan; dan

h) Mengendalikan pengaruh segala sesuatu yang dilaksanakan dan cara

mengendalikannya.42

3. Prinsip dan Komponen Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

Lahmuddin Lubis menguraikan prinsip-prinsip total quality management

(TQM) sebagai berikut:

a) Mengubah pola pikir dari lembaga pendidikan sebagai industri manufaktur

menjadi industri layanan (jasa) dan fokus perhatian pada pelanggan;

b) Perbaikan pada proses secara sistematik;

c) Pemikiran jangka panjang (strategic planning);

d) Mementingkan pengembangan sumber daya manusia; dan

e) Komitmen pada mutu (peningkatan mutu berkelanjutan).43

Terkait dengan kendali mutu (quality control), pendidikan Agama Islam

dalam suatu lembaga pendidikan diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip Total

Quality Management. Secara umum, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai

berikut.

a) Fokus Kepada Peserta Didik

Dalam konteks pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan

berarti bahwa kendali mutu diarahkan pada usaha perbaikan terhadap

kebutuhan belajar peserta didik. Dengan kata lain fokus pada peserta didik

42Syafaruddin, et.al. Pendidikan & Pemberdayaan Masyarakat (Medan: Perdana Publishing, 2012), h.40.

43Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

19

ini penting dalam rangka memberikan pelayanan terhadap peserta didik

agar mereka dapat mengikuti proses pendidikan di lembaga pendidikan

dengan sebaik-baiknya.

b) Obsesi Terhadap Kualitas

Penentu akhir kualitas dari hasil pembelajaran adalah peserta didik.

Dengan kualitas yang ditetapkan, proses pembelajaran harus terobsesi

untuk memenuhi atau melampaui standar mutu atau kualitas yang

diharapkan. Dengan demikian semua lembaga pendidikan berkompetisi

untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan tersebut.44

c) Pendekatan Ilmiah

Pendekatan ilmiah diperlukan dalam penerapan kendali mutu

pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan. Usaha-usaha yang harus

dilakukan terutama dalam mendesain proses pembelajaran antara lain

meliputi: menyusun benchmark45, memantau prestasi dan melaksanakan

perbaikan-perbaikan.

d) Komitmen Jangka Panjang

Kendali mutu merupakan paradigma baru dalam pelaksanaan

pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan. Oleh sebab itu

dibutuhkan kultur lembaga pendidikan yang kondusif untuk

merealisasikannya. Dengan demikian komitmen jangka panjang penting

guna mengadakan perubahan kultur agar implementasi kendali mutu dapat

berjalan dengan baik.

e) Team Work

Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga

pendidikan harus didukung oleh tim yang dapat bekerjasama agar tujuan 44Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama

Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 4. Lihat David L.Goetsch dan Stanley B.Davis, Quality Management, h. 49-51.

45Benchmark merupakan satu teknik analisis yang secara luas digunakan untuk mencari suatu proses terbaik dalam menghasilkan suatu layanan atau produk sesuai dengan harapan stakeholder dengan cara melihat produk atau layanan lain. Misalnya, sebuah sekolah/madrasah ingin meningkatkan pelaksanaan pendidikan yang ada di sekolahnya. Sekolah/madrasah tersebut kemudian mengidentifikasi sekolah/madrasah lain yang melaksanakan pendidikan yang dianggap baik. Lihat Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan, h. 122.

20

pembelajaran pendidikan agama dapat berhasil. Elemen-elemen almamater

yang meliputi: kepala madrasah/sekolah, dewan guru, para peserta didik,

satpam, staf administrasi (TU), dan lain-lain harus terlibat secara aktif

dalam mensukseskan pembinaan pendidikan agama Islam ini. Sebab

dalam tataran implementasi dan ekspresi keagamaan dibutuhkan dukungan

semua pihak.

Sagala menjelaskan bahwa bekerja secara tim adalah bagian dari

perubahan kultural dalam transformasi menuju kualitas total. Dengan

perubahan kultural itu, manajemen mutu terpadu akan merubah fokus yang

berpusat pada pemecahan persoalan menjadi fokus manajemen yang

berpusat pada perbaikan proses.46

f) Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan

Upaya untuk melakukan perbaikan harus dilakukan secara terus

menerus. Dengan cara seperti ini akan diperoleh hasil yang secara bertahap

akan mengalami peningkatan kualitas dan selanjutnya dievaluasi sehingga

menimbulkan kualitas-kualitas baru yang lebih baik.

g) Pendidikan dan Pelatihan

Guru agama Islam sebagai aktor penting dalam pelaksanaan

pendidikan agama Islam harus memenuhi standar mutu sebagai guru

agama Islam yang profesional. Guru agama Islam yang masih di bawah

standar mutu yang sudah ditetapkan harus diberikan Pendidikan dan

Pelatihan (Diklat) secara khusus sehingga mencapai kompetensi yang

harus dimiliki.

h) Kebebasan yang Terkendali

Dalam standar mutu, peserta didik sebagai subjek pendidikan harus

dilibatkan secara aktif dan diikutsertakan dalam menentukan arah

pembelajaran. Dengan cara seperti ini maka peserta didik akan mempunyai rasa

memiliki dan tanggung jawab yang sama untuk mencapai tujuan yang

diingiinkan. Hanya saja keran kebebasan yang dibuka masih dalam bingkai

kendali tenaga pendidik.

46Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, h. 36.

21

i) Kesatuan Tujuan

Agar kendali mutu dapat diterapkan dengan baik, lembaga pendidikan

harus mempunyai kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat

diarahkan untuk mencapai tujuan yang sama.47

Komponen-komponen utama pendekatan untuk menerapkan mutu adalah

mengembangkan sistem penilaian yang memungkinkan setiap profesional pendidikan

untuk mendokumentasikan dan mengukur nilai tambah dari prakarsa mutunya. Selain

itu, hal yang didasari dari mutu terpadu adalah adanya kenyataan bahwa setiap orang

yang terlibat dalam proses pendidikan memiliki kemiripan keyakinan dan nilai-nilai.48

Selanjutnya, Arcaro menyatakan bahwa sekolah bermutu didasari atas

keyakinan dan nilai-nilai. Arcaro menggambarkan sekolah bermutu sebagai sebuah

rumah yang memiliki beberapa pilar, sebagaimana pada gambar di bawah ini.49

47Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, h. 5.

48Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, h. 36. 49Ibid.

Sekolah Bermutu Total

Perb

aika

n B

erke

lanj

utan

Kom

itmen

Peng

ukur

an

Ket

erlib

atan

Tot

al

Foku

s Pa

da P

elan

ggan

22

Skema 2. Model Sekolah Bermutu Terpadu

4. Langkah-langkah Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa terkait dengan usaha pembangunan

dan peningkatan mutu pendidikan, terdapat empat perspektif dalam pembangunan

sektor pendidikan. Pertama, perspektif pemerataan pendidikan (equality of

educational opportunity). Perspektif ini muncul pada awal tahun 1960-an dengan

memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pemerataan

kesejahteraan masyarakat; dengan catatan bahwa kesempatan pendidikan yang

semakin merata merupakan faktor yang dapat mewujudkan kesejahteraan yang

semakin merata pula. Kedua, perspektif pendidikan dan pencapaian kedudukan

seseorang (education and status attainment). Perspektif ini mulai muncul pada

akhir tahun 1960-an dan telah melakukan kajian pendidikan dalam kaitannya

dengan peningkatan status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat.

Pendekatan yang digunakan dalam perspektif ini adalah pendidikan dan

ketenagakerjaan (manpower requirement approach) yang mengarahkan

analisisnya pada keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja

terdidik dalam berbagai sektor ekonomi.50

Ketiga, perspektif human capital. Perspektif ini lebih menekankan pada

fungsi pendidikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional melalui

peningkatan penguasaan keterampilan, keahlian, profesi, dan penguasaan

keilmuan yang dapat menjadikan para pekerja menjadi lebih produktif. Salah satu

model kajian dalam perspektif ini di antaranya adalah analisis tingkat balikan

terhadap pendidikan (rate of return to education) yang mengarahkan perhatian

pada produktivitas tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi.

50Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Keyakinan

dan N

ilai-nilai

23

Keempat, perspektif pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia

(education and human resources development). Perspektif ini muncul sejak

mencuatnya isu pertumbuhan ekonomi yang cepat (economic miracle) di sejumlah

negara wilayah Asia Timur sebagai akibat dari tumbuhnya ekonomi industri dan

profesionalisasi. Dalam kaitan ini, pemikiran mengenai kualitas sumberdaya

manusia dalam kaitannya dengan produktivitas industri dalam konteks persaingan

dunia telah berkembang sejak disepakatinya WTO (world trade organization) dan

mencuatnya isu persaingan global dan pasar bebas baik dalam lingkup regional

maupun internasional.

Perspektif ini tidak hanya memandang pendidikan berpengaruh terhadap

pemerataan kesempatan belajar, status pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi,

melainkan juga telah mencoba membalikkan logika. Menurut perspektif ini

pendidikan berperan dalam menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas,

yaitu manusia yang kreatif, mandiri, mampu belajar terus menerus, serta inovatif,

sehingga dapat menjadi pelaku utama pembangunan serta dapat menciptakan

kesempatan kerja di berbagai sektor pembangunan, dalam rangka memacu

pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth).51

Usaha untuk mengoptimalkan peran lembaga pendidikan dilakukan

dengan reorientasi penyelenggaraan pendidikan melalui manajemen berbasis

sekolah/madrasah (MBS/MBM). Manajemen ini merupakan suatu sistem

pengelolaan sumberdaya sekolah/madrasah secara serasi, mandiri, dan melibatkan

stakeholder yang terkait dengan sekolah/madrasah secara langsung dalam proses

pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah/madrasah atau

mencapai tujuan mutu sekolah/madrasah dalam pendidikan nasional.52

Dari empat perspektif di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa filosofis

dan konsep manajemen mutu terpadu (total quality management) merupakan

implikasi dari perspektif pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia.

Oleh karena itu, relasi mutu, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia

di era saat ini menjadi suatu keniscayaan.

51Ibid. 52Fachruddin, “Manajemen Pemberdayaan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam,”

dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan, h. 40.

24

Lebih lanjut, manajemen mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah

menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (UUSPN) pasal 51 ayat (1) menyatakan pengelolaan satuan pendidikan

anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan

berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip Manajemen Berbasis

Sekolah/Madrasah. Penegasan UUSPN ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 19 Tahun 2005 pasal 49 ayat (1) menyatakan pengelolaan satuan

pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen

berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi,

keterbukaan, dan akuntabilitas.53

Wujud dari amanat undang-undang dan peraturan pemerintah di atas

adalah dengan ditetapkannya rencana strategis pendidikan Indonesia dengan

mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN

[2010-2014])) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN

[2005-2025]). Dalam rentang tahun 2005-2009 dikenal nomenklatur tiga pilar

pendidikan, yaitu: 1) pemertaan dan perluasan akses pendidikan, 2) peningkatan

mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, dan 3) penguatan tata kelola,

akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Selanjutnya, dalam tahun 2010-2014

dikenal nomenklatur empat pilar pendidikan, yaitu: 1) ketersediaan (availability),

2) keterjangkauan (affordability), 3) kualitas pendidikan (quality), dan 4)

penjaminan mutu pendidikan (assurance).

Rencana strategis Kementerian Pendidikan Nasional diatur dalam

Permendiknas Nomor 2 Tahun 2010. Mengacu kapada Rencana Pembangunan

Pendidikan Jangka Panjang 2005-2025, Kementerian Pendidikan Nasional

membagi ke dalam empat periode Rencana Pembangunan Pendidikan Jangka

Menengah. Pada tahun 2005-2009 fokus utamanya adalah peningkatan kapasitas

dan modernisasi. Selanjutnya pada tahun 2010-2015 fokus utamanya adalah

penguatan pelayanan. Kemudian pada tahun 2015-2020 fokus utamanya adalah

penguatan daya saing regional. Pada tahun 2020-2025 fokus utamanya adalah

penguatan daya saing internasional.

53Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

25

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)

merupakan model desentralisasi dalam bidang pendidikan, khususnya untuk

pendidikan dasar dan menengah yang diyakini sebagai model yang akan

mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks

penyelenggaraan persekolahan saat ini, konsep MPMBS dijadikan sebagai

suatu kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Secara skematis

MPMBS dapat digambarkan sebagai berikut.

Jika MPMBS

berhasil

Skema 3.Skema Berpikir Kebijakan MPMBS di Indonesia54

Apabila ditelusuri secara historis, MPMBS ini berasal dari pengembangan

konsep sekolah efektif (effective school) yang intinya adalah melakukan perbaikan

proses pendidikan. Orientasi manajemen dalam MPMBS dapat ditelusuri dari

indikator: 1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, 2) sekolah memiliki misi

dan target mutu yang ingin dicapai, 3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,

4) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah untuk berprestasi, 5) adanya

pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, 6) adanya

pelaksanaan administrasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik

dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk perbaikan mutu, dan 7) adanya

komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua peserta didik/masyarakat.55

54Ridwan Idris, “Pendekatan Pendidikan Berbasis Mutu,” dalam Lentera Pendidikan, vol. XII, h. 107.

55Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 11-24.

Otonomi Pengelolaan Pendidikan

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah

26

Sekolah dapat menjadi efektif dan sekaligus menjadi efisien. Sekolah

efektif karena pencapaian hasil yang baik, sedangkan sekolah yang efisien adalah

karena penggunaan sumberdaya yang hemat. Sekolah yang unggul adalah sekolah

yang efektif dan efisien dengan menjanjikan lulusan yang terbaik, keunggulannya

secara kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif dimiliki oleh lulusan

sejenis dalam jurusan yang sama. Sedangkan keunggulan komparatif merupakan

keunggulan lulusan berbeda dari satu sekolah dengan sekolah lain.56

Kerangka kerja MPMBS meliputi: 1) sumber daya, 2) pertanggungjawaban,

3) kurikulum, dan 4) personel sekolah. Pertama, terkait dengan sumber daya, sekolah

harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan

kebutuhan setempat. Kedua, sekolah dituntut memiliki akuntabilitas yang baik

kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara

komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orangtua/masyarakat.

Selanjutnya ketiga, berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan

secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum

baik dari standar materi dan proses penyampaiannya. Keempat, sekolah

bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen dan pembinaan struktural

staf sekolah. Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan

kapasitas kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru termasuk staf

kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah.57

Dalam konteks aplikasi manajemen peningkatan mutu pada lembaga

pendidikan, ada beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, membentuk tim

pengembang institusi. Kedua, menyiapkan rencana strategis atau rencana

pengembangan peningkatan mutu jangka panjang. Ketiga, melaksanakan

manajemen pelatihan peningkatan mutu untuk mengubah cara pandang dan

budaya mutu. Keempat, menyiapkan instrument/perangkat/teknik pencapaian

mutu.58

Paling tidak ada dua pendekatan tradisional terhadap jaminan mutu

lembaga pendidikan, yaitu: akreditasi, dan jaminan kualitas keluaran. Akreditasi

56Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 95. 57Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, h. 24.58Goetsch dan Davis, Quality Management, h. 61.

27

fokus terhadap input lembaga seperti prestasi peserta didik, fasilitas, dan

sumberdaya fisik (seperti perpustakaan). Asumsi dasar pendekatan ini adalah jika

kualitas masukan tinggi, hasil kualitas keluaran juga akan tinggi. Pendekatan ini

menuntu penyediaan data terhadap sistem kelembagaan, jika sedikit maka sukar

meramalkan apa yang terjadi. Ketidakpuasan atas fokus masukan mengarah

kepada munculnya gerakan penilaian hasil yang menekankan pentingnya evaluasi,

hasil pendidikan, seperti prestasi peserta didik, pendidikan lanjutan, dan peluang

pekerjaan. Hal tersebut digambarkan dalam skema di bawah ini.59

Skema 4.Peningkatan Mutu Berkelanjutan

Dalam operasionalnya, manajemen mutu terpadu melaksanakan langkah-

langkah berikut.

a) Improvisasi Berkelanjutan (continuous improvement)

Improvisasi berkelanjutan mengandung arti bahwa pihak manajemen

senantiasa melakukan berbagai improvisasi – perbaikan dan peningkatan – secara

terus menerus untuk menjamin semua komponen produksi atau komponen

penyelenggaraan pendidikan telah mendukung standar kualitas yang ditetapkan.

Improvisasi ini juga berarti bahwa sekolah/madrasah senantiasa memperbarui

proses berdasarkan perubahan kebutuhan dan tuntutan dari pelanggan – atau

dalam hal ini adalah pengguna lulusan sekolah/madrasah.

Jika tuntutan dan kebutuhan pelangga berubah, pihak manajemen

madrasah akan dengan sendirinya merubah tujuan atau standar kualitas lulusan,

59Syafaruddin et.al, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 45.

Peningkatan Mutu Berkelanjutan

Keluaran:

- Prestasi akademik- Peserta didik- Kelulusan/kegagalan- Kinerja pegawai- Pendidikan lanjutan

Proses Transformasi:

- Rancangan input- Program- Metode- Pangkalan data- Analisis umpan balik

Masukan:

- Karakteristik peserta didik

- Karakteristik lembaga- Sumberdaya finansial- Lembaga pendidikan- Program- Dukungan pelayanan

28

termasuk juga memperbarui seluruh komponen produksi atau komponen

transformasi pendidikan madrasah. Di sini pihak manajemen menetapkan strategi

umum dan fundamental, sementara staf dan guru diberi keleluasaan untuk

merancang cara-cara mencapai standar kualitas yang telah digariskan.

Pendelegasian tugas, tanggung jawab, dan wewenang oleh pimpinan puncak

sangat diperlukan; demikian pula unsur trust dari pimpinan kepada bawahan akan

sangat membantu.60

Para manajer yang berhasil membawa organisasinya mencapai efektivitas

kebanyakan telah menerapkan konsep perbaikan mutu ke dalam konsep produk

dan kepuasan pelanggan, serta lebih melibatkan semua kekuatan kerja, rancangan

produk terbaik, pendekatan lebih kreatif dalam memecahkan masalah organisasi.

Pada banyak organisasi atau lembaga pendidikan saat ini, masalah mutu adalah

puncak dari segalanya dalam pencapaian kinerja jangka pendek, menengah, dan

jangka panjang karena berkenaan dengan kelangsungan hidup dan keunggulan

organisasi atau lembaga pendidikan.61

b) Menentukan Standar-standar Kualitas

Pihak manajemen madrasah yang menerapkan strategi pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah dan mengembangkan manajemen mutu

terpadu haruslah dapat menetapkan standar-standar kualitas dari semua komponen

yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan madrasah. Standar

kualitas pendidikan atau pembelajaran madrasah misalnya berupa pemilikan atau

akuisisi kemampuan dasar (basic competencies) pada masing-masing bidang

pembelajaran, dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Selain itu

pihak manajemen juga harus menentukan standar kualitas materi kurikulum yang

akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan dasar. Dalam

konteks sekolah/madrasah, materi esensial haruslah mengandung sekurang-

60Hady, Manajemen Madrasah, h. 15. 61Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan, h. 47.

29

kurangnya tiga prinsip utama, yaitu: 1) berintikan sistem nilai Islam, 2) berbasis

luas, dan 3) berbasis kompetensi dasar.62

c) Perubahan Kultur

Manajemen mutu terpadu bertujuan pula membentuk kultur organisasi

yang menghargai kualitas dan menjadikan kualitas sebagai orientasi semua

komponen organisasional. Jika manajemen ini diterapkan di sekolah/madrasah,

pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggota

sekolah/madrasah mulai dari pimpinan sendiri, staf, guru, peserta didik, dan

berbagai unsur terkait, seperti yayasan, orangtua, dan para pengguna lulusan

sekolah/madrasah akan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan kualitas

pembelajaran. Perubahan kultur ke arah kultur kualitas dilakukan dengan

menempuh cara-cara: perumusan keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai

keagamaan, yang dilanjutkan dengan perumusan visi dan misi organisasi

sekolah/madrasah.63

Sebagian kepala sekolah/madrasah secara aktif menangani perubahan,

sebagai inisiator dan fasilitator peningkatan mutu berkelanjutan di

sekolah/madrasah mereka. Kepala sekolah/madrasah berada dalam posisi tengah

antara guru dan gagasan orang-orang dari luar. Dengan demikian, peran kepala

sekolah/madrasah sebagai penentu arah, agen perubahan, dan pelatih sumberdaya

guru dan pegawai perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.64

Budaya sekolah harus diubah oleh kepala sekolah/madrasah bersama

dengan guru, orangtua, dan dewan sekolah. Perubahan adalah aksioma dalam

kehidupan suatu organisasi. Suatu organisasi dituntut untuk mampu merespon

perubahan secara kreatif dan proaktif. Dengan begitu, organisasi tersebut akan

memiliki keseimbangan secara baik antara kemungkinan stabilitas dan stagnansi

atau kemajuan (progress). Sikap antisipatif, kreatif, inovatif, dan proaktif perlu

dimiliki oleh manajer dan personel organisasi pendidikan. Sikap itu pada

62Hady Manajemen Madrasah, h. 16. 63Ibid., h. 18. 64Syafaruddin, “Kebijakan Peningkatan Mutu Sekolah,” dalam Mardianto (ed.), Administrasi

Pendidikan, h. 154.

30

hakikatnya merupakan tindakan merencanakan dan mengarahkan perubahan

sesuai visi untuk masa depan yang lebih baik.65

d) Perubahan Organisasi

Jika visi dan misi serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami

perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi.

Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan

sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja

dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan itu menyangkut perubahan

kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab.66

e) Mempertahankan Hubungan dengan Pelanggan

Karena organisasi madrasah menghendaki kepuasan pelanggan, maka

perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat

penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit public relation. Berbagai

informasi antara organisasi madrasah dan pelanggan harus terus menerus

dipertukarkan, agar sekolah/madrasah senantiasa dapat melakukan perubahan atau

improvisasi yang diperlukan, terutama berdasarkan perubahan sifat dan pola

tuntutan serta kebutuhan pelanggan. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa

dalam manajemen berbasis sekolah/madrasah, guru dan staf justru dipandang

sebagai pelanggan dalam (internal costumers), sedangkan peserta didik –

termasuk orangtua peserta didik dan masyarakat umum termasuk pelanggan

eksternal. Maka, baik pelanggan internal dan pelanggan eksternal harus dapat

terpuaskan melalui intervensi kreatif pimpinan sekolah/madrasah.67 Sedangkan

kepuasan mengindikasikan dukungan, keterlibatan, partisipasi, respons, dan

pelaksanaan pokok-pokok dan fungsi secara formal dan maksimal.68

Karakteristik lembaga pendidikan yang memiliki kesungguhan dalam

komitmen mutu dicirikan sebagai berikut. Pertama, adanya komitmen kepada

kebutuhan peningkatan mutu berkelanjutan. Kedua, mengidentifikasi siapa saja

yang mereka layani dan apakah potensi serta kebutuhan yang dilayani terhadap

65Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan , h. 23. 66Hady Manajemen Madrasah, h. 19. 67Ibid., h. 20. 68Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan, h. 48.

31

peserta didik. Ketiga, memasukkan kebutuhan pelanggan terhadap pernyataan

misi universitas. Keempat, mengidentifikasi nilai fundamental yang akan

mengarahkan tindakan. Kelima, mengembangkan visi berkaitan apa yang

diinginkan lembaga pendidikan pada masa depan. Keenam, memiliki

kepemimpinan yang kuat yang mengkomunikasikan visi, tujuan, nilai, dan misi

lembaga berkelanjutan kepada manajemen lembaga pendidikan dan

stakeholder.69

Ketujuh, mengidentifikasi proses penting dalam bidang pengajaran,

penelitian, dan pelayanan. Kedelapan, mengutamakan pelaksanaan aktivitas

dengan misi dan nilai. Kesembilan, memberikan peluang pendidikan lanjutan

bagi semua pegawai, baik kelompok yang mengerjakan proses harian maupun

dalam pekerjaan yang berkaitan dengan keterampilan. Kesepuluh,

menggunakan tim fungsional untuk meningkatkan proses dan ketergantungan

atas pemeriksaan pencapaian kualitas. Kesebelas, mendorong pembuatan

keputusan pada level rendah yang sesuai, menciptakan suatu sikap saling

ketergantungan dan kerpercayaan keseluruhan institusi. Kedua belas, membuat

keputusan atas dasar alokasi sumberdaya sesuai data. Ketiga belas,

memandang masalah sebagai pembelajaran organisasi.70 Dan keempat belas,

mengakui dan menghargai semua orang yang menekuni dan merasakan bekerja

untuk meningkatkan kualitas.71 Keempat belas proses tersebut merupakan

langkah, proses, pemikiran, dan cara menyikapi pentingnya komitmen kualitas

pada setiap lembaga pendidikan.

5. Hambatan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

69Syafaruddin et.al, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 50. 70Pembelajaran Organisasi (learning organization) merupakan sebuah organisasi yang

memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus untuk mentransformasikan diri. Ciri-ciri pembelajaran organisasi adalah: 1) mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar sampai pada stakeholder, 3) menjadikan strategi pengembangan sumberdaya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus. Lihat Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan, h. 88.

71Syafaruddin et.al., Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 51

32

Saleh mengidentifikasi tiga faktor penyebab mutu pendidikan Indonesia

tidak mengalami peningkatan mutu secara merata. Pertama, kebijakan dan

penyelenggaraan pendidikan tidak menggunakan pendekatan education

production function atau analisis input-output tidak dilaksanakan secara

konsekuen. Kedua, penyelenggaran pendidikan dilaksanakan secara birokratis-

sentralistik. Ketiga, peran serta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam

penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat dukungan dana, bukan pada proses

pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan

akuntabilitasnya).72

Tjiptono dan Diana sebagaimana dikutip oleh Usman menguraikan

masalah-masalah yang menjadi hambatan penerapan manajemen mutu terpadu

pendidikan. Masalah-masalah tersebut yaitu: 1) usaha yang dilakukan setengah

hati, 2) delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari manajemen senior, 3) tim

mania, 4) pendekatan yang terbatas (sempit) dan dogmatis, 5) harapan yang terlalu

berlebihan (tidak realistis), dan 6) pemberdayaan karyawan yang bersifat

prematur. Masalah lain yang dikemukakan adalah pihak manajemen ingin

seketika sukses dengan manajemen mutu terpadu pendidikan; dan hanya dengan

belajar dan berlatih singkat dianggap pasti akan berhasil menerapkan manajemen

mutu terpadu pendidikan. Selain itu, adanya rasa cemas dengan ketidakpastian

menerapkan sesuatu yang baru merupakan hambatan lain penerapan manajemen

mutu terpadu pendidikan.73

Hambatan lain yang dihadapi oleh organisasi atau lembaga pendidikan

dalam penerapan manajemen mutu terpadu antara lain adalah penciptaan

lingkungan yang mendukung usaha perbaikan dan berorientasi pada mutu masih

kurang, pemahaman terhadap rencana strategis dan dialogis masih kurang,

pemberdayaan sumberdaya manusia masih kurang, komitmen dan partisipasi

72Abd. Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 243-244.

73Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h.589.

33

karyawan program pebaikan mutu masih kurang, dan sistem informasi manajemen

pendukung pelaksanaan program peningkatan mutu kurang mendapat perhatian.74

Makbuloh mengidentifikasi beberapa hambatan penerapan manajemen

mutu terpadu pendidikan. Menurut Makbuloh hambatan-hambatan yang dimaksud

adalah pertama, tujuan pendidikan termasuk sesuatu yang sukar diukur tingkat

ketercapaiannya pada saat siswa selesai proses belajar mengajarnya di

sekolah/madrasah. Tujuan pendidikan bersifat jangka panjang yaitu menyiapkan

manusia yang baik. Manusia yang baik kadangkala tidak langsung dirasakan

sebagai bukti tercapainya tujuan pendidikan tersebut, melainkan setalah

mengalami proses panjang dalam rentang kehidupan manusia tersebut.75

Kedua, kepala sekolah/madrasah dan guru memiliki profesi yang sama

yaitu latar belakang guru. Sistem koordinasi antara kepala sekolah dan guru.

Sistem koordinasi antara kepala sekolah dan guru terkadang menjadi saling

bergesekan tidak sebagai atasan dan bawahan sebagaimana dalam perusahaan.

Ketiga, manajemen sekolah/madrasah menghadapi masalah fragmentatif,

sehingga pengambilan keputusan sekolah/madrasah banyak dipengaruhi oleh

faktor tuntutan dari pihak luar, seperti wali siswa, pemerintah, dan lapangan kerja.

Unsur-unsur tersebut berada di luar dan sangat beragam kepentingan, tidak dalam

jajaran manajemen sekolah/madrasah, sehingga tarik menarik kepentingan sukar

dihindarkan.

Keempat, kepala sekolah/madrasah memiliki tugas mengajar yang sering

menjadi sibuk, sehingga kurang memiliki waktu untuk melaksanakan manajemen

mutu sekolah. Tugas rangkap sering kali menyebabkan tidak optimalnya tugas

tersebut, karena tugas satu dengan yang lainnya tidak dapat dibatasi secara jelas.

Menjadi guru harus profesional, demikian juga menjadi kepada sekolah/madrasah

harus profesional. Profesional dalam dua bidang secara bersamaan sering kali

menjadi kendala. Kelima, peserta didik di satu pihak sebagai pelanggan yang

harus diberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran yang terbaik, namun di

74Achmad Supriyanto, “Implementasi Total Quality Management Dalam Sistem Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan” dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, h.18-23.

75Makbuloh, Manajemen Mutu Pendidikan Islam, h. 43.

34

sisi lainnya sebagai manusia dapat menentukan sendiri pilihan terbaiknya.

Pembentukan manusia tidak sama dengan pembentukan barang yang mudah

direkayasa menjadi bentuk-bentuk baru.76

Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang pendidikan di atas

menjadi fenomena yang melekat dengan lembaga pendidikan. Kesulitan

mewujudkan manajemen mutu dalam lembaga pendidikan yaitu pelanggan

pendidikan ikut memerankan peran penting dalam mutu belajarnya. Pelanggan

pendidikan memiliki fungsi yang unik dalam menentukan mutu dari apa yang

mereka terima dari dunia pendidikan.

Diperlukan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan penerapan

manajemen mutu terpadu pendidikan. Strategi-strategi yang dimaksud meliputi

pendidikan dan komunikasi, partisipasi, fasilitas dan dukungan, negosiasi,

manipulasi dan kooptasi, dan pemaksaan. Pelibatan anggota merupakan strategi

yang selalu digunakan untuk mengatasi hambatan dalam kegiatan penjaminan

mutu.77 Untuk mewujudkan perubahan organisasi dalam manajemen mutu terpadu

pendidikan sangat tergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berorientasi

pada pencapaian mutu lulusan dan pelayanan pelanggan yang baik. Karakter

kepemimpinan untuk mewujudkan mutu tersebut disebut dengan kepemimpinan

efektif-partisipatif.78

C. Simpulan

Total Quality Management atau Manajemen mutu terpadu merupakan

sebuah model yang pragmatis yang berfokus pada layanan pelanggan.

Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan dikembangkan guna mencapai

keluaran (output) bahkan outcome yang memuaskan pelanggan pendidikan.

Prinsip-prinsip kunci dalam manajemen mutu terpadu pendidikan adalah

kepemimpinan, metode dan perangkat ilmiah, pemecahan masalah melalui

kerjasama tim, iklim organisasi, dan pendidikan serta latihan.

76Ibid., h. 44. 77Achmad Supriyanto, “Implementasi Total Quality Management Dalam Sistem

Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan” dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, h.18-23.

78Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 50.

35

Pendekatan yang digunakan dalam mutu terpadu pendidikan adalah

pendekatan sistem. Hal ini bermakna bahwa pada input, proses, output hingga

outcome pendidikan di dalamnya terdapat sistem mutu terpadu. Secara filosofis

hal ini tertuang dalam triologi Juran tentang mutu.

Sebagai sebuah model yang diadaptasi dari sistem industri, penerapan

manajemen mutu terpadu memerlukan penyesuaian dengan konteks pendidikan.

Penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan diwujudkan dalam manajemen

strategis, perencanaan strategis, dan pengambilan keputusan strategis di suatu

lembaga pendidikan.

DAFTAR BACAAN

Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Terj. Yosal Iriantara. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Assauri, Sofjan. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi. IV. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993

Arifin, Zainal. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Yogyakarta: Diva Press, 2012.

Bafadhal, Ibrahim. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar: Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Bush, Tony dan Coleman, Marine. Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan: Panduan Lengkap Kurikulum Dunia Pendidikan Modern. terj.Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.

36

Fachruddin. “Manajemen Pemberdayaan Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.

Goetsch, David L. dan Davis, Stanley B. Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services. New Jersey: Prentice-Hall, 2000.

Goetsch, David L. dan Davis, Stanley B. Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality. New Jersey: Pearson, 2013.

Hadijaya, Yusuf. Menyusun Strategi Berbuah Kinerja Pendidik Efektif. Medan: Perdana Publishing, 2013.

Hady, Samsul. Manajemen Madrasah. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2001.

Hasibuan, Malayu SP. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cet. 7. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Hesselbein, Frances, Goldsmith, Marshall, dan Beckhard, Richard (eds.) The Organization of The Future. terj. Achmad Kemal. Cet. 2. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001.

Ibrahim, Sulaiman. “Menata Pendidikan Islam di Indonesia: Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan,” dalam Studia Islamica, vol. VIII, 2011.

Idrus, Ali. Manajemen Pendidikan Global: Visi, Aksi, dan Adaptasi. Jakarta: Gaung Persada, 2009.

Ilyasin, Mukhammad dan Nurhayati, Nanik. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012.

Isjoni. Menuju Masyarakat Belajar: Pendidikan dalam Arus Perubahan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Koswara, Deni dan Cepi Triatna, “Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan,” dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.

Makbuloh, Deden. Manajemen Mutu Pendidikan Islam: Model Pengembangan Teori dan Aplikasi Sistem Penjaminan Mutu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Moh. Yamin. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Lengkap Tata Kelola Kurikulum Efektif. Yogyakarta: Diva Press, 2012.

37

Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Nasution, Muhammad Nur. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2007.

Rafiah, Machfirah. “Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Kinerja Guru di MAN 1 Medan,” dalam Raudhah, vol. I, 2013.

Rangkuti, Ahmad Abrar. “Penerapan Manajemen Kurikulum Kelas Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan”. Tesis: IAIN Sumatera Utara, 2012.

Rozikun, Ahmad dan Namaduddin. Strategi Perencanaan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) di Tingkat Menengah . cet. 2. Jakarta: Listafariska Putra, 2008.

Sagala, Syaiful. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima, 2006.

Saleh, Abd. Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa . Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Sallis, Edward. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan: Peran Strategis Pendidikan di Era Globalisasi Modern. terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.

Salusu, J. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. cet. 4. Jakarta: Grasindo, 2002.

Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Ayi Novi Jami’at, dan Ahman, Pengendalian Mutu Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Supriyanto, Achmad. “Implementasi Total Quality Management dalam Sistem Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan,” dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, 2011.

Syafaruddin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004.

38

Syafaruddin dan Asrul. Kepemimpinan Pendidikan Kontemporer. Bandung: Citapustaka Media, 2007.

Syafaruddin dan Nurmawati. Pengelolaan Pendidikan: Mengembangkan Keterampilan Manajemen Pendidikan Menuju Sekolah Efektif. Medan: Perdana Publishing, 2011.

Syafaruddin, “Kebijakan Peningkatan Mutu Sekolah,” dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.

Syafaruddin. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo, 2002.

Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.

Usman, Husaini. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.