manajemen dan evaluasi pre.docx

Upload: vanw92

Post on 10-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Manajemen dan Evaluasi Pre Operasi Anestesi

TRANSCRIPT

Manajemen dan Evaluasi Pre-Operatif

Menurut Barash, dkk (2006), tujuan dari manajemen preoperative adalah untuk menurunkan resiko pasien dan morbiditas pembedahan, serta meningkatkan efisiensi. The Joint Commission for the Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) mengharuskan semua pasien mendapatkan evaluasi preoperative anestesi. The American Society of Anesthesiologists (ASA) telah menyetujui standar dasar perawatan preanestesi (Basic Standards for Preanesthetic Care), yang menguraikan persyaratan minimum untuk evaluasi preopreatif.Evaluasi preoperatif memiliki beberapa komponen dan tujuan. Pertama, melakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat penyakit, kemudian melakukan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kondisi pasien dan operasi yang akan dilakukan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, lakukan tes laboratorium yang sesuai dengan konsultasi preoperatif. Melalui hal ini dapat ditentukan apakah kondisi preoperatif pasien dapat ditingkatkan sebelum operasi. Ahli anestesi harus dapat memilih anestesi dan rencana perawatan yang tepat.Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi resiko anestesi : Status fisik pasien, umur, Faktor resiko khusus ( kardiorespirasi dan penyulit lain) Urgensi pembedahan Derajat stress pembedahan ( macam pembedahan dan lama pembedahan) Kondisi teknik/ alat, monitor , penunjang Lingkungan dan kondisi subyektif ( pendidikan dan pengalaman dokter anestesi)Penilaian prabeedah : Riwayat (anamnesis) Pemeriksaan fisik Catatan / riwayat sebelumnya Laboratorium dan tindakan diagnostik khusus Konsultasi dengan kolega spesialis lain Tencana untuk persiapan praanestesi/intervenmsi terapi Perencanaan teknik anastesi dan penanganan pasca bedah Informasi kepada pasien , informed consentPendekatan SistemAirwayEvaluasi jalan nafas meliputi evaluasi jarak mentothyroid, kemampuan untuk fleksi-ekstensi kepala, dan pemeriksaan rongga mulut, termasuk gigi. Klasifikasi Mallampati telah menjadi standar untuk menilai hubungan ukuran lidah relatif terhadap rongga mulut meskipun klasifikasi Mallampati memiliki nilai prediksi positif yang rendah dalam mengidentifikasi pasien yang sulit diintubasi.Sistem Klasifikasi Airway

KelasVisualisasi langsung, pasien dudukPemeriksaan Laringoskopi

IPalatum molle, uvula, arkusSeluruh glotis

IIPalatum molle, uvula tertutup sebagianKomisura posterior

IIIPalatum molle, pangkal uvulaUjung epiglottis

IVPalatum durumTidak tampak struktur glotis

Gambar 1. Mallampati score

Anestesi UmumAnestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi umum adalah tindakan yang menimbulkan keadaan tidak sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat sesuatu yang terjadi.Komponen anestesi yang ideal terdiri dari sedasi, analgesia, dan relaksasi.Keuntungan anestesi umum : Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga Dapat diberikan dengan cepat Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

Kekurangan anestesi umum : Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.(Press, 2013)Persiapan pra anestesi umumPasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.Tujuan kunjungan pra anestesi: Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

Persiapan pasienA. AnamnesisAnamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.Yang harus diperhatikan pada anamnesis: Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

D. Kebugaran untuk anestesiPembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

E. Masukan oralRefleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

F. Klasifikasi status fisikSetelah melakukan evaluasi pra bedah, kita dapat mengklasifikasikan status fisik pasien berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) dan mengetahui resikonya terhadap mortalitas.ASADeskripsi

1Sehat , tidak ada gangguan organik, fisiologis, biokimiawi, mental

2Penyakit sistemik ringan- sedang, dapat tidak berhubungan dengan pembedahan yang dilakukan

3Penyakit sistemik berat

4Penyakit yang mengancam jiwa

5Moribund, tidak ada harapan hidup 24 jam dengan/ tanpa pembedahan

G. PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : -Meredakan kecemasan dan ketakutan-Memperlancar induksi anesthesia-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus-Meminimalkan jumlah obat anestetik-Mengurangi mual muntah pasca bedah-Menciptakan amnesia-Mengurangi isi cairan lambung-Mengurangi refleks yang membahayakanPremedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu obat atau kombinasi. Pemilihan obat tergantung tujuan dari premedikasi itu.

Contoh obat untuk premedikasi IndikasiObatGolongan

Cemas, takutTemazepamLorazepamDiazepamMidazolamBenzodiazepin

NyeriParasetamolDikolfenakMorfin, petidin, fentanylNSAIDOpioid

Mual/ muntahCyclizineMetoclopramide

BradikardiAtropinHyosinGlikopironiumAntikolinergik

AntisialogogAtropinHyosisGlikopironiumAntikolinergik

Resiko aspirasiRanitidinNa sitratMetoclopramidH2 reseptor antagonisAntasida

(Siregar, 2011)Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bias menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam.

H. INDUKSIInduksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum dilakukan induksi, harus dipersiapkan terlebih dahulu DAMMIS.D : Drugs obat-obatan yang diperlukanA : Airway Equipment peralatan airway seperti nasofaring tube, orofaring tube, dan endotracheal tubeM : Machine Mesin anestesiM : MonitorI : IV lineS : Suction

Tahap induksi dapat dicapai dengan injeksi intravena agen induksi (obat yang bekerja cepat, seperti propofol), inhalasi lambat obat anestesi, atau kombinasi keduanya. Selain obat induksi, sebagian besar pasien mendapat suntikan analgesic opioid, seperti fentanyl. Agen induksi dan opioid bekerja secara sinergis untuk menginduksi anestesi. Selain itu, opioid dapat digunakan untuk mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi, seperti pemasangan intubasi dan insisi kulit yang dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung pasien. Langkah berikutnya dari proses induksi adalah mengamankan jalan napas. Tidak semua pembedahan membutuhkan pelumpuh otot (muscle relaxant). Untuk pembedahan di abdomen atau thorax, muscle relaxant intermediate atau long acting dapat digunakan sebagai tambahan agen induksi dan opioid. Pelumpuh otot ini juga mempengaruhi otot-otot pernafasan, sehingga pasien membutuhkan bantuan ventilasi dan intubasi endotrakeal.(Press, 2013)Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal.a. Induksi intravenaInduksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.b. Induksi intramuscularSampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.c. Induksi inhalasiObat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :- tidak berbau menyengat / merangsang- baunya enak- cepat membuat pasien tertidur.Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.d. Induksi per rectalCara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

Teknik anestesi Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup mukaIndikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderitaKedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakeaIndikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka.Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendaliTeknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi. EkstubasiMengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

I. Rumatan anestesi (maintenance)Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.

J. Manajemen Post operatifYang harus dievaluasi selama pos operatif adalah B1-B6 serta komplikasi post operatif yang dapat terjadi. Untuk menilai keadaan selama pasien di recovery room juga dapat menggunakan Aldrete Score untuk general anastesi dan Bromage skor untuk spinal anastesi.Skor AldreteSkor Aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di ruang pemulihan ( recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya dinilai pada saat observasi di ruang pulih sadar adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun bila skor telah diatas 8, pasien boleh dikeluarkan dari ruang pemulihan.

KriteriaSkor

KesadaranSadar penuhTerangsang oleh stimulus verbalTidak terangsang oleh stimulus verbal210

RespirasiDapat bernafas dalam dan batukDispneu atau hanya dapat bernafas dangkalTidak dapat bernafas tanpa bantuan (apneu)210

Tekanan DarahBerbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasiBerbeda 20-50% dari tekanan darah sebelum operasiBerbeda >50% dari tekanan darah sebelum operasi210

OksigenasiSpO2 > 92% pada udara ruanganMemerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 92%SpO2 90% meskipun telah mendapat )2 tambahan210

Fungsi MotorikDapat menggerakan 4 ekstrimitasDapat menggerakan 2 ekstrimitasTidak dapat menggerakan ekstrimitas210

Skor BromageKriteria nilaiKriteriaSkor

Gerakan penuh dari tungkai0

Tak mampu ekstensi tungkai1

Tak mampu fleksi lutut2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki3

Jika bromage score 2, dapat dipindah ke ruanganKomplikasi yang dapt muncul setelah pembedahan adalah obstruksi jalan nafas, bronkospasme, hipo/hiperventilasi, komplikasi kardiovaskuler, menggigil, kenaikan suhu, hipertermi maligna, reaksi hipersensitif, nyeri pasca bedah, mual muntah.

ALERGI MAKANAN

Menurut Soegiarto, dkk (2007), reaksi adversi terhadap makanan adalah setiap reaksi yang tidak dikehendaki yang timbul setelah mukosa saluran makanan terpapar suatu makanan atau bahan tambahan yang terkandung dalam makanan tersebut. Reaksi tersebut dapat dibagi menjadi 2, yaitu alergi makanan dan intoleransi makanan. Alergi makanan adalah reaksi adversi terhadap makanan yang terjadi melalui suatu mekanisme imunologis. Intoleransi makanan adalah reaksi adversi terhadap makanan yang terjadi melalui mekanisme fisiologis/ non-imunologis.Antigen makanan terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Alergi makanan terutama disebabkan oleh glikoprotein yang terkandung di dalamnya. Glikoprotein yang bersifat alergenik biasanya memiliki berat molekul antara 10.000 hingga 67.000 dalton, larut dalam air, stabil terhadap pemanasan, serta mampu bertahan terhadap asam lambung dan enzim-enzim proteolitik.Walaupun setiap makanan berpotensi alergenik, nyatanya hanya sebagian kecil makanan yang menyebabkan sebagian besar reaksi alergi makanan. Alergen makanan utama pada anak-anak dan dewasa:Anak-anakDewasa

SusuKacang tanah

TelurKacang polong

Kacang tanahIkan

Kacang kedelaiUdang

GandumKerang

Ikan

Kacang polong

Reaksi hipersensitifitas terhadap makanan yang dimediasi oleh IgE merupakan akibat dari pelepasan mediator oleh sel mast dan basophil. IgE spesifik terhadap allergen makanan terikat pada sel mast atau basophil melalui reseptor berafinitas tinggi. Bila terjadi ikatan silang antara suatu antigen dengan dua fragmen pengikat antigen dari dua struktur IgE yang berdekatan, maka akan terjadi degranulasi sel mast dan basophil. Dalam prosestersebut dilepaskan mediator-mediator yang telah terbentuk sebelumnya (misalnya histamine), atau yang baru dibentuk (misalnya leukotriene dan prostaglandin). Mediator tersebut selanjutnya menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan sekresi mucus. Selain itu diproduksi pula beberapa jenis sitokin yang diduga mempunyai peran penting pada respons fase lanjut, yaitu pengarahan sel-sel eosinophil, monosit, dan limfosit, serta merangsang pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Manifestasi klinis tergantung pada system organ yang terkena. Reaksi tersebut dapat mengenai satu organ saja, kombinasi >1 organ, hingga reaksi anafilaktik sistemik. Manifestasi klinis alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE meliputi food induced enterocolitis, food induced colitis, sindroma malabsorbsi, dan penyakit celiac. Penyebab alergi yang tersering adalah susu sapid an susu kedelai (Sicherer, 2014). Hipersensitifitas terhadap makanan berkaitan dengan malabsorbsi. Gejala pertama umumnya timbul pada bayi usia beberapa bulan dan tidak dipengaruhi oleh jenis allergen penyebabnya. Manifestasinya bervariasi mulai dari faeces yang mengandung lemak hingga diare, berat badan yang tidak bertambah, dan kegagalan tumbuh kembang.

Gejala dan tanda alergi makanan antara lain: Gatal pada mulut Angioedema Stridor Disfonia Batuk Sesak Dispnea Wheezing Spasme bronkus Edema laring Mual, muntah Diare Urtikaria Gatal pada mata, edema konjunctiva, pembengkakan periokular Hidung buntu, gatal, rhinorrhea, bersin Nyeri perut Gangguan kardiovaskular

Diagnosis alergi makanan membutuhkan anamnesis yang menyeluruh untuk membedakan antara reaksi alergi dengan intoleransi makanan. Data yang diperlukan pada evaluasi alergi makanan : Makanan yang dicurigai Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu timbulnya reaksi Adanya riwayat timbulnya reaksi setiap kali paparan Waktu antara paparan hingga timbulnya alergi Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan Hilangnya gejala setelah makanan yang dicurigai dihindari Lama berlangsungnya gejala Pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi reaksi.

Uji tusuk kulit dapat dilakukan pada penderita yang gejalanya dicurigai sebagai reaksi yang dimediasi oleh IgE. Uji tusuk kulit dianggap positif bila timbul bentol dengan diameter >3mm dari control negative. Uji in vitro meliputi pengukuran IgE spesifik dengan teknik RAST. Pemeriksaan ini hanya dianjurkan bila terdapat dermatitis atopic yang parah atau dermografisme, dimana uji tusuk kulit tidak mungkin dilakukan. Reaksi alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE dapat ditegakkan terutama dengan adanya respon terhadap eliminasi allergen dari diet, walaupun beberapa jenis penyakit juga membutuhkan dukungan biopsy (Soegiarto, 2007).Pengobatan Setelah hipersensitifitas terhadap makanan ditegakkan, allergen spesifik penyebabnya harus dihindari secara ketat. Injeksi epinefrin merupakan pilihan untuk manajemen awal bila terjadi reaksi anafilaktik akibat makanan. Epinefrin dapat disuntikkan secara intramuscular. Dapat juga diberikan antihistamin untuk mengurangi gejala reaksi alergi makanan.

ANESTESIA IN PATIENT WITH MULTIPLE DRUG ALLERGIESMenurut Dewachter dkk (2011), pada evaluasi preoperative, pasien sering menunjukkan alergi obat multiple yang belum divalidasi. Potensi alergi reaksi silang antara obat dan makanan juga sering dipertimbangkan sebagai factor resiko hipersensitivitas perioperatif.Konsep sindroma alergi obat multiple didefinisikan sebagai kecenderungan untuk bereaksi terhadap obat antibiotic atau non antibiotic yang tidak terkait secara kimiawi. Pada kebanyakan kasus, sindroma ini berupa urtikaria akut, angioedema, atau keduanya. NanReaksi silang alergi (allergenic cross reactivity) didefinisikan sebagai antibodi individual terjadap allergen lain dengan struktur yang mirip dan dapat ditemukan pada kelompok obat atau agen yang digunakan selama periode perioperative. ReaksiNeuromuscular blocking agents (NMBAs) dan antibiotic adalah obat yang paling sering memicu anafilaksis perioperative. Alergi reaksi silang adalah komponen yang menonjol dari respons IgE dan reflex filogenetik antar organisme (Aalberse, 2001). Dua allergen dengan epitope umum atau serupa dapat dikenali oleh suatu antibody tunggal dan sensitisasi terhadap satu allergen dapat menyebabkan sensitisasi silang pada pasien tanpa eksposure langsung terhadap allergen. Reaktifitas silang telah dijelaskan dengan NMBAs, antibiotic, kontras iodin, dan beberapa makanan tertentu, dan mengacu pada allergen dengan kesamaan structural pada struktur primer dari sekuens asam amino pada beberapa kasus. Pola glikosilasi protein juga dapat memicu reaksi silang. Antibodi galaktosa alpha 1,3 galactose ditemukan pada pasien dengan reaksi terhadap cetuximab, antibody monoclonal yang disetujui untuk digunakan pada SCC kolorektal dan kepala-leher, serta daging di Amerika Serikat bagian selatan mengindikasikan reaksi silang antara cetuximab dan allergen daging (Chung, 2008).Pengelompokan makanan laut meliputi ikan, crustacean, dan Mollusca. Krustasea dan Mollusca pada umumnya disebut sebagai kerang. Kerang dan ikan termasuk makanan yang paling umum memicu anafilaksis parah. Meskipun allergen utama yang bertanggung jawab untuk krustasea terkait anafilaksis adalah tropmyosin, allergen utama dalam ikan adalah protein otot parvalbumin. Alergen kerang tidak bereaksi silang dengan allergen ikan. Karena allergen determinan untuk ikan dan kerang adalah protein otot dan bukan komponen lain seperti iodin, maka tidak ada alas an untuk memodifikasi protocol anestesi pada pasien alergi kerang atau alergi ikan (Dewachter, 2011).

Barash, Paul G., dkk. 2006. Clinical Anesthesia, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.Press, Christoper D. 2013. General Anesthesia. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview Siregar, Ade Fitriani. 2011. Perbandingan Respon Hemodinamik pada Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Premedikasi Fentanil 2g/kgBB Intravena + Desketoprofen 50 mg Intravena dengan Fentanil 4g/kgBB Intravena. Diunduh dari: http://repositoryusu.ac.id/bitstream/123456789/23760/4/shapterII.pdf Soegiarto, Gatot dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press.Sicherer, Scott. 2014. Food Allergies. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/135959-overview#aw2aab6b2b3aa Dewachter, Pascale dkk. 2011. Anesthesia in the Patient with Multiple Drug Allergies: Are All Allergies the Same?. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21494128 Aalberse RC, Akkerdaas J, van Ree R. 2001. Cross-reactivity of IgE antibodies to allergens. Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11421891Chung CH dkk. 2008. Cetuximab-induced anaphylaxis and IgE specific for galactose-alpha-1,3-galactose. Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18337601