maksimal di chat group - journoportfolio.s3-website-eu...

4
44 FEMINA Menyiasati komunikasi macet, perang opini, dan membangun sinergi. DI CHAT GROUP ati komunikasi macet, perang opini, dan membangun sinergi. CHAT GROUP Obrolan MAKSIMAL F22 KHAS-fa-QC.indd 44 5/18/2017 6:29:38 PM

Upload: dangminh

Post on 09-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKSIMAL DI CHAT GROUP - journoportfolio.s3-website-eu ...journoportfolio.s3-website-eu-west-1.amazonaws.com/users/30610/... · Berapa jumlah chat group di ponsel Anda saat ini? Sepuluh?

44 F E M I N A

Menyiasati komunikasi macet, perang opini, dan membangun sinergi.

DI CHAT GROUPMenyiasati komunikasi macet, perang opini, dan membangun sinergi.

DI CHAT GROUPDI CHAT GROUP

ObrolanMAKSIMAL

F22 KHAS-fa-QC.indd 44 5/18/2017 6:29:38 PM

Page 2: MAKSIMAL DI CHAT GROUP - journoportfolio.s3-website-eu ...journoportfolio.s3-website-eu-west-1.amazonaws.com/users/30610/... · Berapa jumlah chat group di ponsel Anda saat ini? Sepuluh?

F E M I N A 45

LIPUTAN KHAS

Eranya Post-TruthBerapa jumlah chat group di ponsel Anda saat ini? Sepuluh? Belasan? Putri Miseri Gulo (27)punya sekitar 35 chat group! Ada grup alumni SD hingga kuliah dan grup komunitas. Sekitar 12 di antaranya adalah grup komunitas sesama suku, daerah asalnya di Nias. Anehnya, grup yang harusnya membuat Putri merasa seperti pulang ke rumah ini, justru menjadi sumber kekesalannya.

“Mereka sering menjadikan grup sebagai alat penggiringan opini. Ada yang ditujukan kepada personal, ada juga kepada organisasi lain. Kerap sekali menjelekkan orang atau organisasi yang berbeda dengan mereka,” ungkap pekerja lepas di media digital ini, kesal.

Keluhan Putri ini jamak ditemui di banyak chat

group. Ruang mengobrol ini sering berubah menjadi arena debat kusir dan perang opini. Bahkan, menjadi pusat tersebarnya kabar-kabar bohong atau hoax. Apalagi belakangan ini, ketika cuaca politik tanah air sedang dilanda isu SARA.

Seperti yang dikeluhkan oleh Putri, tiap perbincangan selalu berujung pada bahasan politik praktis. Bahkan, perbincangan yang tadinya sama sekali tidak mengarah ke politik, bisa dipolitisasi. Hujan polemik yang muncul dari berbagai posting-an opini yang bersifat

Kebanyakan mereka hanya buka mulut karena sadar bahwa mereka belum bersuara. Atau khawatir dianggap tidak signifikan.

karena sadar bahwa mereka belum bersuara. Atau khawatir dianggap tidak signifi kan, jika mereka diam saja. Kualitas pendapat, benar atau salah, bukan jadi ukuran utama. Yang penting ngomong saja dulu!

Kondisi di atas, menurut Firman, makin diperparah oleh sifat chat group. Sebagaibagian dari media sosial, chat group menjadi perpanjangan yang menjawab ketidakpuasan dalam berkomunikasi dan kebutuhan ekspresi diri yang tidak tercapai di dunia nyata. Absennya ekspresi wajah dan bahasa tubuh saat bersosialisasi dalam chat group, menghilangkan kepekaan seseorang, sekaligus menjadi pembenaran untuk bicara apa pun, tanpa mengindahkan perasaan orang lain.

“Orang bisa seenaknya membagikan guyonan atau foto-foto vulgar, meme yang mengandung SARA, atau berbagi ceramah agama. Tanpa mengukur apakah anggota yang lain merasa nyaman atau tidak. Mereka lupa bahwa dalam grup ada anggota yang berbeda pendapat, keyakinan, dan latar belakang,” lanjut Firman, menyayangkan sikap sembrono ini.

Fakta inilah yang banyak membuat orang lain jengah, terganggu, dan akhirnya mengambil jalan konfrontasi, atau left, seperti yang pernah dilakukan Putri. “Karena merasa terganggu, saya sering left,” ujar Putri. Lucunya, setiap ia keluar, admin grup selalu menariknya kembali. Hal seperti ini terjadi berulang kali.

“Akhirnya saya memilih untuk tetap berada dalam grup itu, meski hanya menjadi silent

reader. Saya biarkan mereka bertingkah sesukanya,” katanya. Untungnya, smartphone

miliknya dilengkapi fi tur yang memungkinkan Putri menghapus semua isi chat, tanpa perlu membukanya. “Sangat memudahkan hidup saya!” ujarnya, senang.

Sama, Tapi BerbedaDi era serba terkoneksi seperti sekarang, fitur-fi tur komunikasi berbasis teknologi mobile,

seperti chat group sudah menjadi kebutuhan. Tidak hanya untuk kepentingan personal, tapi juga profesional.

Tentu akan jauh lebih efi sien untuk berkoordinasi melalui chat group, daripada harus saling tunggu karena beberapa anggota tim masih dalam perjalanan atau sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Hemat waktu, energi, dan

partisan mulai menyulut emosi dan menciptakan polarisasi yang mengganggu dinamika komunikasi dalam chat group. Semua orang merasa dirinya benar, menurut versi mereka sendiri. Apa sebenarnya yang terjadi?

Pengajar Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Indonesia, Dr. Firman Kurniawan Sujono, M.Si,melihat bagaimana media sosial maupun instant

messaging mengantar manusia ke era post-truth.

Belakangan, istilah ini memang sedang naik daun di dunia komunikasi. Bahkan, menjadi Word of the Year 2016 versi kamus Oxford.

“Post-truth adalah sebuah era yang tidak lagi mengukur kebenaran sebagai kebenaran hakiki berdasarkan objektivitas fakta. Tetapi, kebenaran yang muncul sebagai hasil interaksi manusia yang terakumulasi di medium digital,” jelasnya.

Dalam hal ini, bukan kebenaran objektif yang berlaku, tapi subjektif yang kemudian menjadi kebenaran yang dianut secara komunal oleh mereka yang merasa seide. Kebenaran diukur dari seberapa banyak informasi atau opini tersebut tersebar di dalam jejaring.

“Efeknya, kita tidak tahu mana yang disebut sebagai benar. Dan mungkin tidak penting lagi. Etika juga bukan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Yang penting, informasi atau opini tersebut diterima oleh jejaring dan memperbesar ukuran jejaring,” papar Firman, tentang fenomena di digital culture tanah air saat ini.

Timur Vermes dalam bukunya, Look Who’s

Back, mengatakan bahwa di era media sosial seperti sekarang, kita tidak bisa menduga, kapan dan mengapa seseorang mulai angkat bicara; kebanyakan mereka hanya buka mulut

Di era teknologi digital dan internet seperti sekarang, ruang untuk rapat, berkomunitas, reuni, serta diskusi,

bisa dilakukan via fasilitas chat group. Apakah itu melalui grup Whatsapp, Line, Telegram, atau Facebook messenger, semua bisa diakses dengan hanya mengandalkan satu layar smartphone. Kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa saja.

Namun, secanggih-canggihnya teknologi, masih ada barrier komunikasi yang tak terjembatani. Apalagi, jika sudah melibatkan sisi rasa dan emosi yang sangat manusiawi. Bukannya sinergi, malah salah komunikasi dan interpretasi yang terjadi. Bukannya menjalin silaturahmi, malah musuh baru yang didapat. Bagaimana agar komunikasi di ruang obrolan digital ini berjalan efektif, bahkan bisa menjadi medium sinergi yang berdampak positif?

ini? Sepuluh? Belasan? (27)chat group! Ada grup alumni

SD hingga kuliah dan grup komunitas. Sekitar 12 di antaranya adalah grup komunitas sesama suku, daerah asalnya di Nias. Anehnya, grup yang harusnya membuat Putri merasa seperti pulang ke rumah ini, justru menjadi sumber

“Mereka sering menjadikan grup sebagai alat penggiringan opini. Ada yang ditujukan kepada personal, ada juga kepada organisasi lain. Kerap sekali menjelekkan orang atau organisasi yang berbeda dengan mereka,” ungkap pekerja lepas di media digital ini, kesal.

Keluhan Putri ini jamak ditemui di banyak chat

. Ruang mengobrol ini sering berubah menjadi arena debat kusir dan perang opini. Bahkan, menjadi pusat tersebarnya kabar-kabar bohong atau hoax. Apalagi belakangan ini, ketika cuaca politik tanah air sedang dilanda isu SARA.

Seperti yang dikeluhkan oleh Putri, tiap perbincangan selalu berujung pada bahasan politik praktis. Bahkan, perbincangan yang tadinya sama sekali tidak mengarah ke politik, bisa dipolitisasi. Hujan polemik yang muncul

jengah, terganggu, dan akhirnya mengambil jalan konfrontasi, atau left, seperti yang pernah dilakukan Putri. “Karena merasa terganggu, saya sering left,” ujar Putri. Lucunya, setiap ia keluar, admin grup selalu menariknya kembali. Hal seperti ini terjadi berulang kali.

“Akhirnya saya memilih untuk tetap berada dalam grup itu, meski hanya menjadi silent

reader. Saya biarkan mereka bertingkah sesukanya,” katanya. Untungnya, smartphone

miliknya dilengkapi fi tur yang memungkinkan Putri menghapus semua isi chat, tanpa perlu membukanya. “Sangat memudahkan hidup saya!” ujarnya, senang.

Sama, Tapi BerbedaDi era serba terkoneksi seperti sekarang, fitur-fi tur komunikasi berbasis teknologi mobile,

seperti chat group sudah menjadi kebutuhan. Tidak hanya untuk kepentingan personal, tapi juga profesional.

Tentu akan jauh lebih efi sien untuk berkoordinasi melalui chat group, daripada harus saling tunggu karena beberapa anggota tim masih dalam perjalanan atau sedang terjebak

Belakangan, istilah ini memang sedang naik daun di dunia komunikasi. Bahkan, menjadi Word of the Year 2016 versi kamus Oxford.

“Post-truth adalah sebuah era yang tidak lagi mengukur kebenaran sebagai kebenaran hakiki berdasarkan objektivitas fakta. Tetapi, kebenaran yang muncul sebagai hasil interaksi manusia yang terakumulasi di medium digital,” jelasnya.

Dalam hal ini, bukan kebenaran objektif yang berlaku, tapi subjektif yang kemudian menjadi kebenaran yang dianut secara komunal oleh mereka yang merasa seide. Kebenaran diukur dari seberapa banyak informasi atau opini tersebut tersebar di dalam jejaring.

“Efeknya, kita tidak tahu mana yang disebut sebagai benar. Dan mungkin tidak penting lagi. Etika juga bukan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Yang penting, informasi atau opini tersebut diterima oleh jejaring dan memperbesar ukuran jejaring,” papar Firman, tentang fenomena di digital culture tanah air saat ini.

Timur Vermes dalam bukunya, Look Who’s

Back, mengatakan bahwa di era media sosial seperti sekarang, kita tidak bisa menduga,

ini? Sepuluh? Belasan? punya sekitar 35 chat group

SD hingga kuliah dan grup12 di antaranya adalah grup komunitas sesama suku, daerah asalnya di Nias. Anehnya, grup yang harusnya membuat Putri merasa seperti pulang ke rumah ini, justru menjadi sumber kekesalannya.

“Mereka sering menjadikan grup sebagai alat penggiringan opini. Ada yang ditujukan kepada personal, ada juga kepada organisasi lain. Kerap sekali menjelekkan orang atau organisasi yang berbeda dengan mereka,” ungkap pekerja lepas di media digital ini, kesal.

Keluhan Putri ini jamak ditemui di banyak group. Ruang mengobrol ini sering berubah menjadi arena debat kusir dan perang opini. Bahkan, menjadi pusat tersebarnya kabar-kabar

brolan

NUKMAN LUTFIE,Pengamat Media Sosial

KONSULTAN

DR. FIRMAN KURNIAWAN SUJONO, M.SI,Dosen Ilmu Komunikasi di FISIPOLUniversitas Indonesia

F22 KHAS-fa-QC.indd 45 5/18/2017 6:29:38 PM

Page 3: MAKSIMAL DI CHAT GROUP - journoportfolio.s3-website-eu ...journoportfolio.s3-website-eu-west-1.amazonaws.com/users/30610/... · Berapa jumlah chat group di ponsel Anda saat ini? Sepuluh?

46 F E M I N A

Novita anggraini, 27, ahli Lingkungan, Bogor

biaya, karena tak perlu keluar ongkos bensin, transportasi, atau konsumsi. Lagipula, orang Indonesia sendiri pada dasarnya lebih menyukai cara komunikasi melalui format chat.

Laporan International Smartphone Mobility (2015) di 12 negara yang dilakukan oleh perusahaan pelacakan mobile data Infomate menemukan bahwa dalam sehari orang Indonesia bisa menghabiskan 45 menit untuk chat, dan hanya 5 menit untuk menelepon serta SMS.

Bentuk komunikasi ini dianggap menarik, karena orang yang tadinya sulit bicara karena ‘demam panggung’, dengan cara tertulis jadi lebih mudah mengungkapkan pemikirannya.

Semua prinsip komunikasi sebenarnya berlaku sama, apakah itu dalam bentuk tatap muka, audio, atau teks. Bagaimanapun, ada beberapa hal yang hilang dalam bahasa komunikasi teks yang rentan menimbulkan salah komunikasi dan salah interpretasi.

Pertama, hilangnya konteks. Tidak berada di ruangan yang sama membuat kita tidak memahami kondisi rekan bicara kita. Apakah di saat yang sama ia sedang diburu pekerjaan, sakit, atau berada di tengah keramaian, seperti di jalan raya atau bandara sehingga sulit berkonsentrasi saat mengetikkan pesan. Kenyataannya, sulit bagi kita untuk berempati saat kita tidak menyaksikannya sendiri.

“Saat berkomunikasi, dalam bentuk apa pun, seseorang harus tetap memiliki mindfulness, atau kehati-hatian. Terlebih lagi di era komunikasi

Tari wirtjes, 28, instruktur Kebugaran, jakarta

digital seperti sekarang. Jika tidak, bukan hanya etika yang dilanggar, tapi juga bisa sebabkan konflik,” pesan Firman. Hal ini juga perlu diingat saat kita berbicara di chat group yang sifatnya personal, seperti grup alumni.

Contohnya, lama tak bertemu sejak lulus SMP, kita masih beranggapan bahwa teman kita itu adalah sosok yang sama. Padahal, belum tentu orang yang dulunya hobi bicara kasar atau bercanda vulgar, sekarang mau melakukan hal yang sama. Atau rahasia yang dulu diceritakan kepada teman saking dekatnya, kemudian diumbar di grup. Meskipun itu masa lalu, ini sangat tidak etis. Sebab, manusia adalah makhluk dinamis yang selalu mengalami perubahan. Aturan main dalam berkomunikasi pun harus mengingat hal ini.

Kedua, hilangnya bahasa tubuh. Kita tidak bisa melihat ekspresi wajah, mendengar nada bicara, atau reaksi spontan bahasa tubuh yang timbul sebagai bagian komunikasi nonverbal. Dalam studinya, Prof. albert Mehrabian dari UCLA mengungkap bahwa sebuah komunikasi ditentukan oleh 7% bahasa verbal dan 93% bahasa nonverbal. Bahasa nonverbal ini terdiri atas 55% bahasa tubuh dan 38% intonasi atau nada bicara. Hilangnya bahasa tubuh inilah yang sering menimbulkan salah interpretasi.

“Kita harus melatih kepekaan dengan cara yang lain. Misalnya, dengan memperhatikan respons berupa komentar bernada positif atau negatif yang masuk. Bahkan, tidak ada respons

Saya tidak terlalu membatasi jumlah grup, namun saya biasanya menyaring. Bila grup itu memberikan manfaat dan nilai positif, saya akan bertahan di dalamnya. Bila ada orang-orang yang men-share hal-hal tidak penting, atau bahkan mengandung nilai tidak baik, saya mendiamkan dan memakluminya. Saya sadar, anggota grup berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Saya sering mendapatkan hal yang ‘garing’. Biasanya yang melakukan ini adalah para orang tua yang usianya 45 tahun ke atas. Mereka kerap mem-posting obrolan ‘nakal’. Bagi mereka mungkin menarik, tapi bagi saya tidak.

Sejauh ini, saya memiliki 12 chat group

di WhatsApp. Empat di antaranya, saya termasuk adminnya. Mengingat saya sebagai instruktur kebugaran, grup yang berkaitan dengan olahraga adalah grup yang paling mendominasi. Ilmu kebugaran sangat dinamis dan selalu ada yang baru. Grup ini menjadi medium kami berbagi info seperti artikel kebugaran atau riset-riset terbaru. Artikel-artikel itu saya gunakan untuk belajar. Terkadang, saya juga meneruskan pertanyaan dari murid saya, contohnya tentang makanan yang baik dikonsumsi oleh mereka yang sedang menjalani masa pascaoperasi.

Saya memiliki 10 chat group khususnya di WhatsApp. Mulai dari grup keluarga, teman zumba, sampai grup orang tua yang anaknya sekelas dengan anak saya. Tak selalu hal remeh-temeh yang kami bicarakan, berbagi informasi penting yang berkaitan dengan kesehatan juga menjadi pembahasan. Kami pernah bicara soal kanker serviks. Ada teman yang punya info, membagikan plus dan minus vaksin kanker serviks. Saling mengingatkan juga tentang bahaya dan harus segera vaksin untuk pencegahan. Bila ada ibu lain yang mengalami kendala dalam mendidik anak, sesama anggota saling memberikan saran. Begitu pula saat mengalami masa-masa sedih seperti anak sedang sakit, kami saling mendukung. Jadi, bisa menjadi tempat curhat, sekaligus cari solusi.

pun sebenarnya merupakan bentuk respons. Artinya, ada yang mungkin tidak setuju, tidak suka, dan sebagainya,” papar Firman.

Kalau Anda termasuk orang yang tidak peka, sebaiknya bertanya langsung untuk mencari tahu penyebabnya. “Selesaikan masalah yang terjadi di online, secara offline,” tekan Firman. Dengan cara ini, kesalahan komunikasi bisa terjembatani.

Hal ini pernah terjadi dalam chat group Beta Gama UI, yaitu grup untuk mahasiswa perantauan asal Jember di Universitas Indonesia. Suatu kali, salah satu anggota pernah menyulut emosi dengan pendapatnya bahwa wanita itu tugasnya di rumah dan melayani suami.

“Wah, tentu saja pendapat ini menyulut semangat feminisme anggota lain yang tidak terima. Perdebatannya lumayan seru, sampai mengeluarkan dalil-dalil agama,” kisah Yesika Billah Barika (23), salah satu pendiri chat

group. Meski ia juga tidak setuju, sebagai admin, ia tetap melakukan upaya mediasi yang tidak menyudutkan atau mempermalukan di depan anggota grup lain.

“Agar lebih enak, saya minta beberapa teman pria yang kenal dengannya, untuk mengajak si mas ini untuk ngopi bersama. Di situlah mereka membagikan aturan main di grup. Tidak apa berbeda pendapat, tapi sebaiknya topik obrolan jangan yang berbau SARA, yang senang-senang saja. Toh, ini adalah grup silaturahmi,” cerita

Media Saling Belajar Santai SajaBerbagi Informasi tentang Parenting dan Kesehatan Wanita

BANYAK POSITIFNYA++Dipdha Yasienta, 37, ibu rumah Tangga, Tangerang

F22 KHAS-fa-QC.indd 46 5/18/2017 6:29:38 PM

Page 4: MAKSIMAL DI CHAT GROUP - journoportfolio.s3-website-eu ...journoportfolio.s3-website-eu-west-1.amazonaws.com/users/30610/... · Berapa jumlah chat group di ponsel Anda saat ini? Sepuluh?

F E M I N A 47

liputan khas

Yesika. Cara ini cukup berhasil meredam konflik, sekaligus menjadi pengingat anggota yang lain.

Pengamat media sosial Nukman Lutfie mengatakan, pada dasarnya, komunikasi yang terjalin melalui chat group tak lain adalah bahasa korespondensi. Dalam menyampaikan pesan, orang harus mengingat hal paling utama, yaitu tujuan. Dalam konteks chat group, ini tidak hanya meliputi pesan dan respons yang ingin didapat dari lawan bicara, tapi pada mulanya mencakup tujuan Anda mengikuti grup tersebut.

Untuk apa buang-buang memori ponsel, jika Anda sebenarnya tidak membutuhkan relasi dan informasi dari sebuah chat group. “Di era digital ini, keluar-masuk chat group bukan hal yang harus disikapi dengan aneh. Keluar dari chat

group juga bukan berarti memutus silaturahmi,” lanjut Nukman.

Menurutnya, memahami dan mengingat tujuan ini juga penting untuk mengembalikan jalur pembicaraan yang melenceng dari tujuan bersama pembentukan sebuah chat group. Kalau Anda sedang berada di grup hobi, seperti traveling, tentu tidak tepat dan akan mengganggu yang lain jika terus-menerus bicara soal politik.

Seperti halnya prinsip korespondensi, Anda perlu membaca secara teliti isi pesan yang hendak Anda bagikan kepada anggota grup. Apakah informasi itu mewakili tujuan Anda, apakah datanya akurat, apakah akan berpotensi konflik, dan apakah gaya bahasanya tepat? Membaca ulang isi pesan sebelum mengirimkan menjadi langkah bijak yang akan menghindarkan Anda dari kesulitan akibat kecerobohan atau kesalahan.

Dalam ilmu korespondensi, kita juga mengenal prolog atau kalimat pembuka. Menurut Nukman, orang kerap melupakan hal yang terlihat sepele, tapi penting, ini. Karena dorongan kuat, orang serta-merta mencurahkan isi kepalanya, tanpa melihat konteks pembicaraan yang telah terjadi sebelumnya. Ini jelas membingungkan dan mengganggu dinamika obrolan dalam grup.

“Memberikan pengantar ini penting untuk menghubungkan dengan konteks yang Anda maksudkan. Sebab, tidak semua orang paham apa yang sedang Anda sampaikan,” ujar

NE

WS

GAT

HE

R: D

ES

MA

N M

EN

DR

OFA

, NA

OM

I JAY

AL

AK

SA

NA

, FO

TO: 1

23R

F. D

OK

UM

EN

PR

IBA

DI

Nukman, mengingatkan. Jangan lupa untuk mempelajari dan memaksimalkan fitur-fitur yang ada dalam aplikasi chat tersebut. Jangan lupa, gunakan fitur ‘reply’ untuk membalas pesan secara spesifik untuk orang tertentu, sehingga tidak membingungkan orang dan salah komunikasi,” ujar Nukman. Apabila perlu, gunakan fitur audio, video, untuk menjembatani hilangnya bahasa nonverbal, seperti bahasa tubuh, ekspresi, dan nada bicara.

Medium Sinergi Nukman mengingatkan bahwa hal pertama dan paling utama yang perlu Anda pertimbangkan saat mengikuti sebuah chat group adalah alasan kuat mengapa Anda merasa perlu berada dalam chat group tersebut. Rata-rata, seseorang bergabung dalam chat group karena dilatari oleh persamaan minat, apakah itu grup yang membahas topik politik, agama, profesi, hobi, atau silaturahmi.

“Pilih grup yang fokus dengan minat utama Anda,” saran Nukman. Selain menjaga fokus pembicaraan, kesamaan minat ini bisa menjadi medium solusi dan sinergi di antara sesama anggotanya. Seperti yang dilakukan Novita (27) saat membentuk grup Analist Lingkungan. Melalui grup ini orang dapat mengikuti informasi terbaru tentang isu lingkungan, mulai dari penelitian hingga peraturan. “Tentu semua itu berguna untuk mendukung pengetahuan saya pada pekerjaan,” ungkap wanita yang berkarier sebagai ahli lingkungan ini.

Kesamaan minat ini juga membantu instruktur kebugaran Tari (28) untuk bisa memaksimalkan chat group sebagai medium untuk saling memotivasi gaya hidup sehat di antara murid-muridnya. “Banyak sekali sisi positifnya. Apalagi di grup sesama instruktur. Di sana kami bisa saling berbagi ilmu, karena para instruktur memiliki background yang berbeda-beda. Ada yang ahli di bidang yoga, ahli nutrisi, crossfit, dan lain-lain,” jelasnya.

Lebih dari sekadar berbagi informasi dan solusi, chat group yang dikelola dengan sangat baik dapat mengorganisasi gerakan yang berdampak. Salah satunya seperti yang pernah dilakukan Yesika bersama chat group

Beta Gama, yang telah terbentuk sejak tahun 2012/2013.

Dengan mengandalkan semangat senasib sepenanggungan sebagai sesama perantau dari Kota Jember di Jakarta, mereka berhasil menggalang dana pengobatan hingga ratusan juta rupiah bagi dua anggotanya yang menjadi korban kecelakaan.

“Tugas saya saat itu adalah membuat konten jarkoma (jaringan komunikasi massal) yang mengisahkan tragedi kecelakaan dan mengapa korban sangat membutuhkan bantuan,” ungkap Yesika. Dengan cara jarkoma, masing-masing dari sekitar seratusan anggota Gama Beta akan menyebarkan konten tersebut ke jejaring mereka masing-masing.

“Dengan cara ini, dalam waktu semalam, kami sanggup mengumpulkan biaya operasi dan pengobatan yang mencapai 77 juta rupiah! Di kejadian kecelakaan yang lain, kami bisa mengumpulkan dana hingga 120 juta rupiah,” ungkap Yesika, masih takjub dengan kekuatan sinergi di chat group ini. “Sampai-sampai Mas anang Hermansyah, artis asal Jember, mendengar dan menghubungi kami untuk memberikan bantuan,” kenangnya.

Sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban, ia dan beberapa admin grup dengan setia mengabarkan perkembangan pengumpulan dana, penggunaan, dan kabar terakhir dari kesehatan dari korban yang dibantu.

“Kami juga memakai chat group ini untuk menyediakan konsultasi dan konseling gratis bagi para siswa di daerah pelosok Jember untuk terus melanjutkan pendidikan hingga perkuliahan,” lanjut Yesika. Tidak hanya itu, mereka juga mau repot bertemu orang tua siswa, untuk melakukan upaya mediasi, jika keinginan anak untuk kuliah terhambat oleh kesenjangan pemahaman dan pengetahuan dari para orang tua.

“Dengan adanya grup ini, siswa-siswa perantauan ini memiliki saudara dan orang tua pengganti, yang juga akan memperhatikan dan mendampingi mereka. Sehingga, orang tua tidak perlu cemas,” lanjut Yesika. Dan memang, grup dengan keanggotaan ‘seumur hidup’ ini berhasil menjawab kebutuhan mereka untuk pulang, tanpa harus beranjak dari tempat mereka berada.

“Di grup, kami bisa saling berkomunikasi dengan bahasa daerah, membahas kabar-kabar terbaru tentang Jember, dan yang paling seru, tradisi titip-menitip makanan khas Jember, tiap kali ada anggota yang pulang kampung,” cerita Yesika, bersemangat. Terkadang, beberapa anggota senior, seperti dosen, yang sudah mereka anggap sebagai orang tua, juga suka mengundang anggota grup untuk acara kebersamaan di rumah beliau sambil menikmati makanan khas Jember. “Bahagia!” katanya, senang. ■ NAOMI JAYALAKSANA

Post-truth adalah sebuah era yang tidak lagi mengukur kebenaran sebagai kebenaran hakiki. Tetapi, kebenaran yang muncul sebagai hasil interaksi manusia yang terakumulasi di medium digital.

F22 KHAS-fa-QC.indd 47 5/18/2017 6:29:38 PM