makalah tht
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rhinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa
sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang,
rhinitis atrofi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan
medis. Rhinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rhinitis
atrofi juga dikenal sebagai suatu rhinitis kering, rhinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal
dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.3
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu
penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rhinitis atrofi, foetor
ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang
sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang
perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.3
Menurut Boies, frekuensi penderita rhinitis atrofi pada wanita : laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan
yang buruk dan di negara sedang berkembang.1
Rhinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum
dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan
gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan
operasi. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rhinitis atrofi. 3
1.2. Batasan Masalah
1. Apakah definisi dari rhinitis atrofi (ozaena) ?
2. Bagaimana patofisiologi dan gejala klinis dari rhinitis atrofi (ozaena) ?
3. Bagaimana cara mendiagnosa rhinitis atrofi (ozaena) ?
4. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis atrofi (ozaena) ?
5. Bagaimana prognosis dari rhinitis atrofi (ozaena) ?
1
1.3. Tujuan
1. Pembaca dapat memahami definisi, patofisiologi, gejala klinis, cara mendiagnosa,
penatalaksanaan, dan prognosis dari rhinitis atrofi (ozaena).
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran.
3. Memenuhi tugas makalah pada SMF Ilmu Penyakit THT RSUD dr. Moh. Saleh
Probolinggo.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan.[8]
1. Hidung Luar[9],[13]
Bentuk hidung luar seperti piramid. Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke
atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai
ke belakang ke pangkal hidung dan menyatu ke dahi (lihat gambar 1). Yang disebut
kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan
terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas
dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal
memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan dan kiri kolumela adalah
nares anterior atau nostril kanan dan kiri, sebelah latero superior dibatasi oleh ala nasi dan
di sebelah inferior oleh dasar hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Gambar 1 : Anatomi Hidung Luar[13]
3
Kerangka tulang terdiri dari : (lihat gambar 2)
1. Sepasang os nasalis
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :
1. Sepasang kartilago nasalis lateral superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateral inferior
3. Beberapa pasang kartilago ala minor
4. Kartilago septum
Gambar 2 : Kerangka Tulang dan Kartilago Hidung.
A) Tampak Lateral, B) Tampak Basal[13]
Kerangka tulang dan kartilago dari hidung ditutupi oleh otot-otot yang dapat
menggerakkan ala nasi, otot-otot tersebut antara lain :
1. M. proserus
2. M. dilator nares
3. M. levator labii superior
4. M. nasalis
5. M. depresor septi
4
2. Hidung Dalam[9],[13]
Hidung dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap
kavum nasi tersebut dihubungkan dengan dunia luar melalui nares anterior dan
dihubungkan dengan nasofaring melalui nares posterior (koana). Hidung bagian dalam
terdiri dari :
a. Vestibulum
Terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrissae.
b. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum nasi
menjadi kavum nasi kanan dan kiri (lihat gambar 3).
Bagian tulang terdiri dari :
- Lamina perpendikularis os etmoid
- Os vomer
- Krista nasalis os. Maksila
- Krista nasalis os. Palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari :
- Kartilago septum (lamina kuadraangularis)
- Kolumela
Gambar 3: Anatomi Septum Nasi[13]
5
c. Kavum Nasi
1) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os. Maksila dan prosesus horizontal
os. Palatum.
2) Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus nasalis os.
Maksila, korpus os. Etmoid dan korpus os. Sphenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang didahului oleh filament-filamen n. olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian
teratas septum nasi dan permukaan cranial konka superior.
3) Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os.Maksila, os.
Lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis,
os.Palatum dan lamina pterigodeus medial.
4) Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Dari bawah ke atas yaitu konka
inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os. Maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media dan superior merupakan
bagian dari labirin etmoid.
5) Meatus nasi
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus (lihat gambar 4). Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, dimana pada meatus ini terdapat
muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung, di meatus ini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sphenoid.
6
6) Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Gambar 4 : Struktur Dinding Lateral Hidung[13]
3. Sinus Paranasalis[9]
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi. Sinus-
sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang
sesuai yaitu sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis (lihat gambar 5).
Yang terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan
posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam
rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinus maksilaris rudimenter atau antrum umumnya telah ditemukan pada saat
lahir. Sinus paranasalis lainnya timbl pada anak-anak dalam tulang wajah. Tulang-
tulang ini bertumbuh melebihi kranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya
bagian tengah yang keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam
rongga yang baru terbentuk.
7
Gambar 5 : Anatomi Hidung (atas) dan Sinus Paranasal Bawah[14]
2.2. Vaskularisasi Hidung[13]
1. Sistem karotis interna
a. Arteri etmoidalis anterior
b. Arteri etmoidalis posterior
Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika.
2. Sistem karotis eksterna
a. Arteri spenopalatina (cabang arteri maksilaris).
b. Arteri palatina mayor cabang septum (cabang dari arteri maksilaris).
c. Arteri labialis superior cabang septum (cabang dari arteri fasialis).
Dinding Lateral
1. Sistem karotis interna
a. Arteri etmoidalis anterior
b. Arteri etmoidalis posterior
Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika.
8
2. Sistem karotis eksterna
a. Arteri spenopalatina
b. Arteri palatina mayor dari arteri maksilaris
c. Arteri maksilaris cabang infraorbital
d. Cabang arteri fasialis
Gambar 6 : Perdarahan Septum Nasi[13]
Gambar 7 : Perdarahan Dinding Lateral Hidung[13]
9
Pada bagian bawah depan dari septum terdapat anastomosis dari empat jenis arteri
yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri laibialis superior, arteri sfenopalatina, arteri palatina
mayor, yang membentuk plexus Kiesselbach (Little’s Area). Area ini mudah berdarah
oleh trauma dan merupakan lokasi biasa terjadinya epistaksis pada anak-anak dan dewasa
muda.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
ophtalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
2.3. Sistem Limfatik[8]
Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan
posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh
fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung
—vestibulum dan daerah prekonka.
Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan
ketiga saluran utama di daerah hidung belakang—saluran superior, media dan inferior.
Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung
yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius dan bermuara pada kelenjar limfe
retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka
inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe
jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan
menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.
2.4. Persarafan Hidung[13]
1. Saraf motorik
Untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar mendapat persarafan dari cabang
nervus fasialis.
2. Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
10
nervus ophtalmika (N. V-I). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
4. Nervus olfaktorius (penciuman)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribriformis dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (gambar 8).
Gambar 8: Persarafan Hidung[13]
2.5. Histologi Hidung[13]
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung
dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified
columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir pada permukaannya.
11
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk kedalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
2.6. Fisiologi Hidung[10],[13]
Fungsi hidung ialah :
1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.
2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur
kelembaban udara dan mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan udara yang masuk
dari debu dan bakteri.
4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga atas septum.
5. Resonansi suara, penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
6. Proses bicara, hidung membantu proses pembentukan kata-kata.
7. Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, pernafasan.
2.7. Definisi[6],[10]
Rhinitis atrofi (ozaena) merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
12
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk (lihat gambar 9).
Gambar 9 : Rhinitis Atrofi[12]
2.8. Epidemiologi
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang.
Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas
seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari
kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi
pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama
kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875. Penyakit ini paling sering
menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini
dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal).[3]
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
Perang Dunia II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam dalam
insidens ozaena.[8]
2.9. Etiologi[10]
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis atrofi dikemukakan, antara
lain:
a. Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella,
terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah
Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa
13
b. Defisiensi Fe
c. Defisiensi vitamin A
d. Sinusitis kronik
e. Kelainan hormonal
f. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.
2.10. Klasifikasi[3]
Rhinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson
(1875) sebagai berikut:
1. Rhinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
2. Rhinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rhinitis atrofi berat, misalnya rhinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh
rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan atas:
1. Rhinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rhinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rhinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.
2.11. Patologi dan Patogenesis[5],[7]
Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik
dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam
jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh
karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :
1. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
2. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
14
Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang
menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga
dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang
berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.
Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus
clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan
menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung
dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel,
membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
2.12. Gejala Klinis[4]
Adapun gejala klinis dari rhinitis atrofi ini yang sering dikeluhkan oleh
penderita rhinitis atrofi (ozaena) adalah :
Hidung tersumbat
Sakit kepala atau nyeri pada wajah
Adanya sekret hijau kental serta krusta (kerak) berwarna kuning kehijauan atau
kadang-kadang dapat berwarna hitam dan berbau busuk
Hidung terasa kering dan epistaksis (hidung berdarah)
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi orang di sekitar penderita yang
biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri tidak merasakannya
karena hiposmia atau anosmia.
Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak
tahan udara dingin.
Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang
makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang
mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa
hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambarannya.
Kadang kala penderita mengeluhkan gangguan pada telinga, ini terjadi karena
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel
nasofaring dan laring, Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius,
15
berakibat efusi telinga kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak
diharapkan pada apparatus lakrimalis, termasuk keratitis sikka.
Secara klinis, Sutomo dan Samsudin membagi rinitis atrofi dalam tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkat I : atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
2. Tingkat II : atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
3. Tingkat III : atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.13. Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi (ozaena) dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesa
Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau,
gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat.[11]
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan
media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau.[10]
C. Pemeriksaan Penunjang[1],[2],[4],[11]
Dapat dilakukan transiluminasi
Pemeriksaan darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitifitas sekret hidung, uji
serologis (VDRL) untuk menyingkirkan sifilis, uji mantoux dan foto toraks PA
apabila rhinitis atrofi diduga berhubungan dengan tuberkulosis, foto rontgen dan
CT-scan sinus paranasal dan pemeriksaan biopsi hidung.
Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga hidung
yang lapang.
Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan dari mukosa sinus
paranasal, hilangnya kompleks osteo meatal akibat destruksi bulla etmoid dan
16
prosesus unsinatus, hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dari rongga hidung
dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior dan
konka media (lihat gambar 10).
Gambar 10 : CT Scan Rhinitis Atrofi (Ozaena)[4]
Dari pemeriksaan histopatologi terlihat :[2]
Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.
2.14. Diagnosis Banding[4]
a. Rhinitis tuberkulosis
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang
rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat
sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret
hidung.
b. Rhinitis sifilis
17
Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rhinitis sifilis yang
primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa. Pada rhinitis sifilis
tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang terutama mengenai septum nasi dan
dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret
mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
mikrobiologik dan biopsi.
c. Rhinitis lepra
Penyebab rinitis lepra adalah Microbacterium leprae. Lesi pada hidung sering terlihat
pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh karena pembentukan
krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung terlihat pucat. Apabila infeksi
berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum.
d. Rhinitis sika
Pada rhinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum
dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien biasanya
mengeluh rasa iritasi atau rasa kering yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
Penyakit ini biasa ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas dan kering.
2.15. Komplikasi[4]
Perforasi septum dan hidung pelana
Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi berupa
destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan perforasi septum
dan hidung pelana.
Faringitis atrofi
Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat mukosa faring
yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episoda batuk seperti tercekik.
Miasis nasi
Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan sosio
ekonomi yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari genus Chrysomia
(C. Bezianna vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya yang kemudian menetas
18
menjadi magot. Puluhan sampai ratusan magot dapat memenuhi rongga hidung dimana
mereka makan dari mukosa sampai tulang hidung. Mereka membuat terowongan di
jaringan lunak hidung, sinus paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita,
lakrimal, sampai dasar tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian.
2.16. Penatalaksanaan[3],[6],[10],[11]
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif.
Pengobatan konservatif dapat diberikan secara topikal dan sistemik :
Terapi topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi
nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai
suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah
terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe
dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukkan akan
kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.
Adapun bahan-bahan itu antara lain :
1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan
R/ NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
2. Larutan garam dapur
3. Campuran
R/ Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan 2 kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan
19
minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rhinitis
atrofi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rhinitis atrofi dengan irigasi nasal tidak
berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit
hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidakpatuhan dalam melanjutkan terapi
biasnya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.
Terapi sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang
biasa digunakan ialah :
1. Antibiotik berspektrum luas atau sesuai uji resistensi kuman sampai gejala hilang,
dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir
merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik
aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali
cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun
pemakaian.
2. Vitamin A 3 x 50.000 U dan preparat Fe selama 2 minggu.
3. Pengobatan sinusitis, bila terdapat sinusitis.
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal,
pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang
muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah
pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan
terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain
denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :[7]
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
20
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung (lihat gambar 11).
Gambar 11 : Operasi Lautenschlager[13]
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
teflon, campuran triosite dan lem fibrin (lihat gambar 12).
Gambar 12 : Implantasi Submukosa[4]
21
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain :
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada
penderita rhinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat
dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung
sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.
2.17. Prognosis[3],[4]
Penyakit ini dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh
spontan pada usia pertengahan. Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan
keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus
menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya belum jelas.
Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella ozaena, penjalaran dari infeksi lokal
setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek radiasi, trauma,defisiensi
vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang mengatakan karena pengaruh genetik.
Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada wanita usia pubertas dibanding pada pria.
2. Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah disebutkan diatas.
Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh) maka akan menimbulkan
peradangan kronis yang membuat perubahan pada struktur anatomi dan fungsi dari
hidung. Diantaranya epitel menjadi menipis dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa
mengalami atrofi.
3. Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya foetor ex
nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang sekitar penderita,
tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga didapatkan gejala hidung
tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan cefalgia.
4. Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling pertama kita
lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan anamnesis, kita masuk ke
pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung ditemukan adanya rongga hidung
yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika krusta tersebut diangkat maka akan ada
perdarahan (epistaksis), konkha media dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat
gangguan penghidu. Selain pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan penunjang
lain seperti CT-Scan.
5. Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa dan rhinitis
kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari rhinitis atrofi.
Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum, Faringitis, Sinusitis,
HidungPelana dan Miasis Hidung.
23
6. Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara teratur
dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika agak lama
dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong secara tuntas, barulah
diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga hidung. Dan
untuk prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat terhadap pasien dapat
diberikan secara konservatif dan pembedahan.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin, T. 2009. Rinitis Atrofi (Ozaena). Tersedia di:
http://tht-fkunram.blogspot.com/2009/02/rinitis-atrofi-ozaena.html, diakses pada tanggal
26 Maret 2013, pukul 14.34 WIB.
2. Kartikawati, H. 2007. Ozaena (Rinitis Atrofi). Tersedia di:
http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/ozaena-rinitis-atrofi/, diakses pada
tanggal 26 Maret 2013, pukul 14.35 WIB.
3. Rizsa. 2008. Ozaena (Rhinitis Atrofi). Tersedia di:
http://rizsa82.wordpress.com/2008/07/19/ozaena-rhinitis-atrofi/, diakses pada tanggal 26
Maret 2013, pukul 22.58 WIB.
4. Epi, S. 2012. Rhinitis atrofi : Penyakit pilek dengan sekret kering berbau busuk. Tersedia
di: http://sikkahoder.blogspot.com/2012/07/rhinitis-atrofi-penyakit-pilek-dengan.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2013, pukul 23.01 WIB.
5. http://www.kesimpulan.com/2009/05/rinitis-atrofi.html , diakses pada tanggal 26 Maret
2013 pukul, 23.03 WIB.
6. http://onmedik.wordpress.com/2008/11/06/rinitis-atrofi-ozaena/ , diakses pada tanggal 26
Maret 2013, pukul 23.11 WIB.
7. http://www.blogkesmas.com/2012/02/pengobatan-penyakit-rinitis-atrofi.html , diakses
pada tanggal 26 Maret 2013, pukul 23.12 WIB.
8. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT Ed. ke-6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
9. Ashari, I. 2011. Anatomi Hidung. http://www.dokterirga.com/anatomi-hidung/, diakses
pada tanggal 30 Maret 2013, pukul 11.46 WIB.
10. Soepardi, E.A. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Ed. ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Mansjoer, A. dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Ed. ke-3, Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12. http://www.scoopweb.com/Atrophic_rhinitis , diakses pada tanggal 1 April 2013,
pukul 21.30 WIB.
13. http://id.scribd.com/doc/125386656/rinitis-atrofi-1 , diakses pada tanggal 1 April 2013,
pukul 20.20 WIB.
25
14. http://www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html , diakses pada tanggal 9 April 2013,
pukul 22.50 WIB.
26