makalah tentang perceraian
DESCRIPTION
WhatsTRANSCRIPT
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
TUGAS MANDIRI(WISYE M. S. NANGOY, S.Th., M.Teol)
KELOMPOK 7TENTANG
DARI: PUTRI C.J. ONIBALANIM:15504112
1 D (MATEMATIKA)
KATA PENGANTAR
PERCERAIAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena Berkat PenyertaanNya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk yang sederhana
maupun isinya yang sangat sederhana dengan baik. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
wawasan serta pengalaman bagi para pembaca, juga para yang sudah berumah tangga
maupun yang belum berumah tangga supaya tahu bagaimana definisih dan pengertian dari
Perceraian. Dan juga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masi banyak kekurangan dan kelemahan karena pengalaman
yang saya miliki masih sangat kurang. Oleh kerena itu saya berharap kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan 1.4. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN2.1. Pengertian Penceraian 2.2. Hubungan perceraian dengan ekonomi
Jenis – Jenis Perceraian
Penyebab Perceraian
Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Dampak Perceraian
2.3. Faktor-faktor penyebab perceraian
2.4. Alasan-alasan Perceraian menurut UU
2.5. Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
2.6. Dampak Perceraian pada Anak
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perceraian merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan tersebut sudah
(pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya adalah suatu
"perceraian". Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanya dapat dilakukan di
Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri (khusus untuk
yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung
tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun
demikian, angka perceraian kerap melonjaktinggi di beberapa Pengadilan Agama di
Indonesia.
1.2 Rumusan masalah
Apa sajakah yang menyebabkan perceraian berkaitan dengan ekonomi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata kuliah pengantar ekonomi keluarga
2. Mengetahui apa dampak perceraian
3. Mengetahui faktor faktor apa saja yang menyebabkan perceraian
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini bagi kami adalah, kami dapat mengetahui tentang akibat
perceraian dan pengertian perceraian.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perceraian
Perceraian adalah berakhirnta suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bias meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan kontrak, dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban dan merawat anak-anak mereka. Banyak Negara miliki hukum dan aturan tentang perceraian dan pasangan itu dapat menyelesaiankan pengadilannya. Dalam hal ini pasangan suami istri tersebut hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami istri, tetapi masih terikat dan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakuioleh hukum dan diijinkan oleh tradisi Kristen dalam pernikahan.
Pengertian perceraian yang kedua adalah dengan istilaah a Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan secara hukum resmi. Mereka sudah tidak terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian dalam pengertian seperti ini yang banyak ditentang oleh gereja.Sementara itu, menurut agama katolik perpisahan itu ada dua macam:
1. perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan, suami istrimempunyai kewajiban dan hak untuk memeilhara hidupbersama perkawinan, kecuali jika ada alasan sah yangmembebaskan mereka.
2. Perpisahan dengan diputusnya ikatan perkawinannya. Ikatanperkawinan terputus mana kala salah satu pihak tlah meninggaldunia. Ajaran katolik menitik beratkan bahwa perkawinan tidakdapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan atasalasan apapun selain oleh kematian.
2.2. Hubungan perceraian dengan ekonomi
Begitu Anda resmi bercerai, hidup Anda akan dimulai lagi dari awal.
Apakah akan menjadi semakin baik atau semakin buruk, semua
tergantung pada niat dan usaha Anda. Perceraian memang akan
berpengaruh pada kondisi emosional dan keadaan ekonomi keluarga.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit
terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga.
Ataupun jika Anda bekerja, tetap sajapendapatan keluarga menjadi
berkurang karena kehilangan satu orang pencari nafkah. Bantuan
keuangan atau tunjangan dari mantan suami mungkin akan sedikit
membantu namun seringkali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan
Anda dan anak terutama untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, Anda
harus bisa melakukan sesuatu untuk menambah penghasilan keluarga.
Anda harus bekerja entah bekerja sendiri sebagai wiraswasta, bekerja
membantu saudara, ataupun bekerja kantoran. Dengan demikian,
kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat semakin membaik dan Anda
juga bisa semakin mandiri dan tidak tergantung pada bantuan mantan
pasangan atau keluarga besar.
Perceraian akan mempengaruhi emosi pada pasangan yang
bercerai. Kesedihan, kekecewaan, dan merasa gagal seringkali menjadi
emosi dominan pada pasangan yang bercerai. Segeralah sadari bahwa
keputusan bercerai ini adalah keputusan terbaik yang telah terjadi dalam
hidup Anda. Jangan menganggap perceraian hanya kegagalan semata
namun awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Bagaimanapun,
Anda dan mantan pasti sudah berpikir
masak-masak mempertimbangkan alasan untuk bercerai. Untuk
mengatasi kelabilan emosi pada pasangan yang bercerai, Anda dapat
sering menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan anak tercinta
untuk mengusir rasa sepi, Anda juga bisa melakukan banyak aktifitas di
luar yang bisa membangun sisi positif Anda.
Perceraian menurut Undang - Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1994
(pasal 16), terjadi apabila antara suami-istri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga.
Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan
sidang pengadilan (pasal 18). Gugatan perceraian dapat diajukan oleh
suami atau istri atau kuasanya pada pengadilan dengan alasan–alasan
yang dapat diterima oleh pengasilan yang bersangkutan.
Undang Undang Perkawinan, 1974 Bab VIII, pasal 39 ayat 2 berbunyi
: “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan antara suami istri
untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri”
Menurut Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974, perceraian adalah
keadaan terputusnya suatu ikatan perkawinan. Ada dua macam
perceraian sesuai dengan Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974 pasal
39 – 41, yaitu :
- Cerai gugat
Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini
sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.
- Cerai talak
Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini
sang suami memberikan talak kepada sang istri.
Inversion et. Al mendefinisikan sebagai pemutusan dan
pengingkaran ikrar pernikahan serta keseluruhan kewajiban moral, hukum
dan jasmani yang tercakup didalamnya. Perceraian adalah suatu proses
yang menimbulkan pergolakan secara emosional bagi orang-orang
dewasa maupun anak-anak (Tomlinson & Keasey, 1985).
Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai peristiwa
berpisahnya pasgan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan
karena tercapainya kat sepakat mengenai masalah hidup bersama. Emery
(1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi
karena tidak bisa menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik
yang timbul sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah
yang datang dari dalam atau masalah dari luar keluarga.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah
putusnya hubungan perkawinan karena kehendak kedua belah pihak, baik
itu perceraian berdasarkan secara hukum maupun perceraian dengan
diam-diam. Sehingga mengakibatkan status suami atau istri berakhir.
Perceraian ini diakibatkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan
perkawinan yang bahagia, kekal, dan sejahtera.
Jenis – Jenis Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
- Cerai hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya
suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999)
mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri
atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan
mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan
lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
- Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup
dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani
kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling
menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah
meninggalnya pasangan hidup yang dicintai.
Benaim (dalam Ulfasari, 2006) mengatakan bahwa meninggalnya
pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan
dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal mati
pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau
menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali.
Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan
memiliki masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber
masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.
Penyebab Perceraian
Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan
kontribusi terhadap perceraian, yaitu :
a. Usia saat menikah
b. Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan
yang menikah sebelum usia 20 tahun.
c. Tingkat pendapatan
Angka perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat
pendidikan rendah cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada
dikalangan menengah ke atas.
d. Perbedaan perkembangan sosioemosional diantara pasanganwanita
dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri
dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan
juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas
maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan
status sosialnya.
e. Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga
yang bercerai cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah
tangganya.
Alasan lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan
istrinya adalah keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan
keengganannya bekerja melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan
yang dipandang sah untuk seorang istri agar dapat melepaskan diri dari
ikatan perkawinan dengan suaminya umumnya berupa penelantaran
dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami terhadap dirinya.
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan
kebencian merupakan tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana
struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul
(Turner & Helms, 1983).
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan
pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi (kurang
adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan
suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang
mampu menjalin hubungan baik dengan keluarga pasangan, merasa
kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin
menang sendiri (Gunarsa,1999). Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah
rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan
menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan
putusnya ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a. Metidakharmonisan dalam berumah tangga
b. Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi
pasangan yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa
disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan,
krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.
c. Krisis moral dan akhlak
d. Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan
akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri,
poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan
perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal,
bahkan utang piutang.
e. Perzinahan
Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang
dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di
dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam
salah satu pasalnya yang dapat mengakibatkan berakhirnya percereaian.
f. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.
Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Perceraian menjadi salah satu persoalan yang paling menyakitkan
dan menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan
perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan
pengambilan keputusan yang penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk dan
tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu :Perceraian
Emosional merupakan awal persoalan dari perkawinan yang mulai
memburuk. Bentuk perceraian ini adalah tahapan awal yang sangat
berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi
untuk bercerai mulai muncul. Perilaku-perilaku yang muncul diantanya
adalah konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan
kebencian.
Perceraian Legal memerlukan lembaga pengaduan untuk memutuskan
ikatan perkawinan. Pasangan biasanya mengalami kelegaan, jika
perceraiannya telah diputuskan secara legal dimana berbagai ekspresi
emosional akan muncul pada tahap ini.
Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap dimana pasangan
telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka masing-
masing. Pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang penengah karena
biasanya Kedua pasangan menunjukkan reaksi kebencian, kemarahan,
dan permusuhan berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.
Perceraian antar orang tua merupakan tahapan keempat yang
berkenan dengan persoalan pengasuhan anak. Kekhawatiran dan
perhaatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali muncul
dalam tahap ini.
Perceraian Komunitas menunjukkan bahwa status individu dalam
hubungan sosial menjadi berubah. Banyak individu yang bercerai merasa
bahwa mereka terisolasi dan kesepain.
Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi
individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi individu
yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali peran-peran dan
penyesuaian mental.
Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu saat menghadapi
perceraian umumnya adalah reaksi – reaksi yang bersifat emosional.
Rekasi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan
perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada
akhirnya setuju untuk bercerai, hanya ketika melihat kenyataan bahwa
perceraian merupakan keputusan yang terbaik dari pada
mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.Berdasarkan peraturan dan hukum yang ditetapkan dan berlaku di Indonesia mengenai perceraian, terdapat beberapa tahap cerai (Rofiq, 2000):
1) Tahap Permohonana. Penggugat mendaftarkan dan mengajukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama atau ke Mahakamah Syar’iyah.b. Penggugat dan tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.2) Tahap Persidangan
a. Pada pemeriksaan sidang pertama hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989).
b. Apabila usaha perdamaian pertama belum berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar menempuh proses mediasi terlebih dahulu (Pasal 3 Ayat (1)PERMA No.2 Tahun 2003).
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. dalam tahap jawab-menjawab (sebelum pembuktian) tergugat dapat mengajukan gugatan rekonversi atau gugatan balik (Pasal 132a HIR,158 R. Bg).
3) Tahap Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyaha. Gugatan dikabulkan apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan
banding melalui Penghadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.b. Gugatan ditolak, dan penggugat dapat mengajukan banding melalui
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tersebut.c. Gugatan tidak diterima dan penggugat dapat mengajukan permohonan
baru.Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perceraian baru dapat
dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga pasangan suami isteri tersebut dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian.
Akibat Perceraian bagi Suami Istri
Pasangan yang pernah hidup bersama lalu kemudian berpisah, tentu akan menjadi canggung saat bertemu kembali.
Kebanyakan pasangan yang bercerai umumnya diawali oleh perselisihan atau permusuhan. Bila hubungan rumah tangga
terputus akibat permusuhan, hal ini umumnya akan sangat merenggangkan silaturahmi di kemudian hari.
Tak hanya diawali oleh permusuhan, pasangan yang awalnya ingin berpisah secara baik-baik pun bisa menjadi saling tidak suka akibat perceraian. Contohnya, masalah yang cukup sulit untuk diselesaikan saat bercerai adalah urusan harta atau hak asuh anak. Dalam hal ini, tak jarang pasangan suami istri yang awalnya berniat cerai baik-baik, kemudian menjadi saling bermusuhan.
Perceraian suami istri terkadang menimbulkan trauma bagi pasangan itu sendiri. Kegagalan rumah tangga menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk kembali menikah dengan orang lain.
Masalah perceraian adalah masalah yang sangat rumit. Hal ini bisa membuat pasangan menjadi stres dan depresi. Perasaan yang negatif seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan, khususnya dalam hal pergaulan maupun pekerjaan.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda bekerja, tetap sajapendapatan keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari nafkah
Dampak Perceraian
1. Traumatik
Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang
mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian
diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah
atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan
yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang
mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan
(Tomlinson & Keasey, 1985).
Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih
besar dari pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah
perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta
mengakibatkan cela sosial.
Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-
laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis.
(Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan
yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami
gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme,
dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang
dewasa yang sudah menikah.
Hurlock (1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-
anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat
luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita
kecemasan karena faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi
perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih
serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi
bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir
antara rumah ayah dan ibu.
2. Perubahan Peran dan Status
Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan
status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda
dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas
mereka (Schell & Hall, 1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai
merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama
bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung
pada suami. Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai
kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka
mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi
personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan
mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk
menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam
melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat
menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan
wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak
sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya.
Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang
bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka
dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah,
atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-
orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka
sebagai kegagalan personal.
3. Sulitnya Penyesuaian Diri
Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian
menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan
khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan
mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah
sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena
wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan
yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya.
Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami
kekacauan pola hidup (Hurlock,1996).
Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan
perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan
mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan
dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun,
tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan.
Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan
dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang
kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian.
Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian
yaitu menyangkal bahwa ada perceraian, timbul kemarahan dimana
masing-masing individu tidak ingin saling terlibat, dengan alasan
pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, mereka
mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari
perceraian terhadap kelurga, dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak.
Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak
bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian menyebabkan problem
penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini, khususnya jika anak-
anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat
bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak,
terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama.
Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya
yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada
awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak
bersama lagi. Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung
dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut
memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru
(Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996),
menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap
tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih
besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat
perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar,
terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap
akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam
keluarga.
2.3. Faktor-faktor penyebab perceraian
Lalu apa saja faktor penyebab timbul nya perceraian? dibawah ini
ada faktor yang sering kali terjadi:
1. Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga
bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan
peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan,
hingga timbul sebuah perselingkuhan.
2. Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali
pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya,
sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan
tentunya anda harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan
kepuasan setiap melakukan hubungan seks.
3. Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua
pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap
pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki
pekerjaan.
4. Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutan
orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang
sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga
sering kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
2.4. Alasan-alasan Perceraian menurut UU
Mengenai alasan perceraian, UU perkawinan hanya mengaturnya
secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup ada
alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun 1975
pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-
alasan sebagai berikut :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
` Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian
dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik
talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak
ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa
yang disebutkan UU saja ) dan disamping itu harus ada alasan seperti
yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka jelas kepada kita
bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi prosedur
perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum
hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu
mengadakan perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik
dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi
dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila
mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah
perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita
Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU
perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini
adalah wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan
agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran
tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta
harapan masyarakat pada umumnya.
2.5. Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan ( UU No. 1/1974),yaitu dalam
ayat-ayatnya sebagai berikut.
1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan perundangan tersendiri.
Pengaturan tentang Tata cara Perceraian selanjutnya terdapat dalam
1. Bab V dimulai dari Pasal 14 hingga Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Menurut Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tersebut, seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai alasanalasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan
mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud perceraian tersebut
3. Kemudian mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian
apabila memang terdapat alasan-alasan yang tepat dan Pengadilan
berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin
lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 16).
Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi utuk diadakan
pencatatan perceraian (Pasal 17).
2.6. Dampak Perceraian pada Anak
Perceraian tak hanya berdampak pada pasangan suami istri
(pasutri), perceraian juga berdampak buruk pada si buah hati. Bukan
hanya hak asuh yang menjadi permasalahan, faktor psikologis anak juga
harus dipertimbangkan. Banyak masalah yang akan dihadapi anak
pascaperceraian.
Perceraian dapat menimbulkan dampak serius karena adanya
perubahan kondisi finansial, tempat tinggal, dan hilangnya kontak dengan
orang tua kandung akan berpengaruh pada sumber daya ekonomi dan
sosial.
Menurut beberapa ahli bahwa permasalahan yang paling penting
adalah bahwa anak tidak lagi tinggal dengan kedua orang tua
kandungnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan banyak masalah baru
dalam kelanjutannya.
Biasanya anak paling tidak siap dengan perpisahan orang tua. Malah
banyak anak yang depresi gara-gara perceraian. Ujungnya, anak menjadi
terlalu emosional dan akan melakukan hal-hal untuk menarik perhatian.
Biasanya mereka mulai melakukan hal-hal buruk seperti merokok, salah
gaul, hingga kecanduan narkoba. Itu adalah beberapa bentuk pelarian
yang negatif. Dalam kasus perceraian, anak juga akan mengalami dilema
antara memilih ibu atau ayahnya. Bisa saja saat mereka bersama ayah,
yang terpikir justru kebersamaan tersebut akan menyakiti perasaan
ibunya. Atau mungkin timbul pertanyaan bagaimana jika mereka hanya
menyayangi salah satu orang tuanya. Selain itu ada beberapa hal yang
merupakandampak perceraian pada anak, yakni:
1. Tingkat kepercayaan seorang anak kepada orang tuanya akan bergeser
dan berubah. Ibarat piring yang sudah pecah, maka jiwa seorang anak tak
akan utuh seperti semula.
2. Paradigma si anak terhadap esensi sebuah kebenaran yang hakiki akan
berubah. Dia akan apatis dan apriori terhadap khotbah dan wejangan, dan
menganggapnya sebagai kemunafikan orang dewasa.
3. Tingkat konsentrasi seorang anak dalam segala hal termasuk dalam hal
belajar, akan kabur dan ngambang.
4. Rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya yang sudah dianggap
panutan baginya akan luntur secara perlahan.
5. Rasa percaya diri si anak akan hilang, sedangkan sikap skeptis dan ragu
semakin besar.
Sebenarnya masih banyak efek perceraian pada anak seperti
jiwanya kehilangan kendali, sehingga mudah terpengaruh oleh arus
zaman yang negatif seperti pergaulan bebas, budak narkoba, menjadi
pengikut aliran sesat, dsb. Semua pihak berkewajiban mengantisipasi
dampak perceraian pada anak dengan cara merangkul mereka dengan
siraman rohani yang menyejukkan.
Perceraian dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Lahirnya regulasi perkawinan dalam bentuk undang-undang dan
KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak lain adalah untuk mengatur ketertiban,
manjamin dan menjaga hak-hak kedua belah pihak agar tidak dirampas.
Oleh karena itu perceraian bukanlah persolan Indvidual Affair semata
akan tetapi sudah pula masuk dalam wilayah kewenangan Negara sebagai
pengaturnya. Dalam perspektif undang-undang sebagaimana dijelaskan
dalam UU No. Tahun 1974 pasal 38 dinyatakan :
Perkawinan dapat putus karena 3 sebab, yaitu:
a. kematian
b. perceraian
c. atas keputusan Pengadilan.
Redaksi pasal tersebut sama dengan redaksi pasal yang ada di Kompilasi
Hukum Islam pasal 113. Apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI, maka perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan.
Sebagaimana bunyi pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan
pasal 39 dinyatakan :
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an bahwa suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3. Tata cara perceraian di depan pengadilam diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Kemudian pada pasal 115 KHI dinyatakan :
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Dari dua redaksi pasal tersebut diatas dapat diketahui adanya
perbedaan antara UU No.1 Tahun 1974 dengan KHI. Dalam KHI dinyatakan
bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Kedua istilah
tersebut tidak terdapat dalam UU Perkawinan. Dalam UU No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama, ketentuan mengenai perceraian juga diatur
dalam pasal 66 ayat (1) :
Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding
guna penyaksian ikrar talak.
Selanjutnya menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena
talak dijelaskan didalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 17 sebagai berikut :
Sesaat setelah dilakukan siding pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam pasal 16. Ketua pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk
diadakan pencatatan perceraian.
Pada pasal 18 dinyatakan :
Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
siding Pengadilan. Dalam hal ini KHI nampaknya sama dalam memandang
saat awal perhitungan terjadinya talak seperti terdapat pada pasal 123 :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan.
Kewajiban Setelah Perceraian
Setelah proses perceeraian selesai, tidak otomatis maka hak dan
kewajibanantara masing-massing mantan suami istri tersebut menjadi
hilang. Ada beberapa hak dan kewajiban yang masih harus dilakukan oleh
keduanya walaupun telah bercerai.Hal ini berdasarkan ketentuan yang
tertulis dalam Al-quran dan sunnah yang mana Al-Quran dan sunnah lebih
banyak menyebut keadaan istri (bagaimana para aktifis gender?).Diantara
hak dan kewajiban bagi mantan suami setelah bercerai adalah
memberikan nafkah sandang dan pangan bagi mantan istrinya selama
dalam iddah. Jadi bagi istri yang belum dicampuri tidak punya hak untuk
memperoleh nafkah tersebut karena ia juga tidak punya masa iddah. Hal
ini hanya berlaku bagi istri yang telah dicampuridan hanya menyesuaikan
dengan keadaan istri tersebut. Bila istri sedang hamil maka memberi
nafkah sampai ia melahirkan (sesuai dengan masa iddahnya), jika istri
tersebut sedang suci maka selama tiga kali suci –tiga kali masa
menstruasi- (sesuai dengan masa iddahnya).
Implikasi dan Dampak Bagi Individu Dan Sosial Positif Dan Negatif
Perkawinan adalah keadaan yang menyenangkan dimana dua
insanmembangun mahligai rumah tangga demi melanjutkan
keturunannya. Kehidupanyang baru bagi orang yang baru melakukan
perkawinan tentunya akan menemui berbagai masalah yang harus
dihadapi dan diatasi bersama. Sifat atau karakter masing-masing (suami
atau istri) harus dapat disesuaikan demi kelancaran perjalanan rumah
tangga. Benturan dari berbagai masalah yang tak kunjung habis tentunya
tidak semua dapat diatasi bersama, bahkan tak jarang suami ataupun istri
memaksakan kehendaknya (egois) sehingga timbullah masalah-masalah
baru yang berujung pada penyelesaian akhir yaitu cerai.Islam pada
dasarnya membenci adanya "cerai" karena itu berarti manusia tidak dapat
berdamai dan hidup rukun. Akan tetapi dalam kehidupan manusia
selalusaja menemukan masalah-masalah yang terkadang manusianya
tidak dapat atau tidak mampu memyelesaikan masalah tersebut.
Islam memaknai cerai sebagai jalan terbaik bagi kedua pasangan
suami istri ketika memang tidak ada jalan lain, jika terdapat jalan yang
lebih atau dipandang lebih layak dari cerai maka hendaklah cerai
itudicegah. Hal ini dikemukakan karena mengingat banyaknya
kekhawatiran yangdirasakan oleh si pelaku cerai dan keadan masyarakat
disekitarnya.Kasus perceraian yang sering kita dengar dari TV (dalam hal
ini artis-artis), mendengar berita itu saja kita sudah beranggapan "yang
tidak-tidak", mengingat status janda atau pun duda sangatlah rawan akan
pembicaraan orang-orang. Beban psikologis juga dirasakan pada anak-
anak mereka (apabila si pelaku cerai mempunyai anak) karena tidak
menutup kemungkinan ia akan kehilangan kasih sayang, diejek teman-
temannya dan itu akan lebih mungkin akan menjerumuskan diri si anak
pada hal-hal yang menyesatkan.
BAB IIIPENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perceraian dalam Agama Kristen itu tidak baik,kalau pada Agama
yang lain halal tapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu jangan
menjadikan perceraian sebuah jalan keluar untuk sebuah masalah dalam
keluarga. Karena bukan hanya suami dan istri yang menderita kerugian.
Tetapi juga anak hasil pernikahan tersebut.
3.2. Saran
Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling memahami, saling
terbuka dalam rumah tangga untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
sehingga tidak terjadi disharmonis dalam keluarga. Langkah yang
ditempuh adalah dengan cara mengemukakan permasalahan yang ada,
kemudian permasalahan tersebut dibicarakan bersama dan dicari
jalankeluarnya bersama-sama, salah satunya adalah harus ada yang
mengalah dan saling menyadari satu sama lain, sehingga perselisihan
cepat terselesaikan dengan damai
Bagi masyarakat hendaknya dilakukan penyuluhan yang
menyangakut hukumperceraian dengan segala aspeknya, guna
merangsang kokohnya ikatan perkawinandan mengurangi angka
perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Http//Bang-Sahar.Blogspot.co.id/2013/01/MakalahPerceraianhtml/Pukul
14.40/Jumat,17Oktober 2015
Http//www.scribd.com/doc/76866784/Problematika-Hukum-Kristen-
Katolik/Pukul15.00/Jumat 17 Oktober 2015
Http//id.wikipedia.org/wiki/Perceraian/Pukul 15.30/Jumat, 17 Oktober 2015