makalah studi islam

54
MAKALAH STUDI ISLAM V “ QARDH, RAHN DAN HIWALAH“ Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam Program Studi S1 Keperawatan STIKes YARSI SUMBAR Bukittinggi Oleh Kelompok II 1. Elsa Abel Nuine (1306142010012) 2. Sesar Fauza Fatimah (13061420100) Dosen Yulius, M.Ag PRODI S1 KEPERAWATAN STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI TAHUN AKADEMIK 2015/ 2016

Upload: cicaceca

Post on 08-Jul-2016

263 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

qardh rahn

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Studi Islam

MAKALAH STUDI ISLAM V

“ QARDH, RAHN DAN HIWALAH“

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam

Program Studi S1 Keperawatan

STIKes YARSI SUMBAR Bukittinggi

Oleh

Kelompok II

1. Elsa Abel Nuine (1306142010012)2. Sesar Fauza Fatimah (13061420100)

Dosen

Yulius, M.Ag

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI

TAHUN AKADEMIK 2015/ 2016

Page 2: Makalah Studi Islam

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Studi Islam V. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan secara meluas.

Dalam menyelesaikan makalah ini, Kami telah banyak mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Ustadz Yulius selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam V yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah ini semakin bertambah.

2. Kedua orang tua kami, yang senantiasa memberikan do’a serta dukungan baik moril maupun materil.

3. Teman-teman kami yang telah memberikan semangat dan dukungan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

4. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang turut membantu penyusunan makalah ini.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun penyusunan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan dimasa yang akan datang.

Bukittinggi, 21 Februari 2015

Tim Penulis

Page 3: Makalah Studi Islam

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................ii

BAB l Pendahuluan ...................................................................................1

Latar Belakang ...................................................................................1

Rumusan Masalah ...................................................................................1

Tujuan Penulisan ...................................................................................1

BAB ll Pembahasan ...................................................................................3

BAB lll Penutup ..................................................................................29

Kesimpulan ..................................................................................29

Kritik dan Saran ..................................................................................29

Page 4: Makalah Studi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari

yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan

dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah

tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula

yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya

sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman

dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, hutang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi

diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya.

Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk

memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman

sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep

yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka,

menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh

karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam

agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan

oleh Allah swt. Makalah ini akan menguraikan mengenai Qardh, Rahn dan

Hiwalah.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari Qardh, Rahn dan Hiwalah?

2. Apakah dasar hukum Qardh, Rahn dan Hiwalah?

3. Apa saja syarat Qardh, Rahn dan Hiwalah?

4. Bagaimana cara pelaksanaan Qardh, Rahn dan Hiwalah?

Page 5: Makalah Studi Islam

1.3. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari Qardh, Rahn dan Hiwalah

2. Mengetahui dasar hukum Qardh, Rahn dan Hiwalah

3. Mengetahui syarat Qardh, Rahn dan Hiwalah

4. Mengetahui cara pelaksanaan Qardh, Rahn dan Hiwalah

Page 6: Makalah Studi Islam

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. AL-QARDH

2.1.1. Pengertian Al-Qardh

Qardh secara etimologi Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.

Sedangkan secara terminologis makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama.

Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh.Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.

Menurut ulama Hanafiyah:

“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”

Sayyid Sabiq memberikan definisi Qardh sebagai berikut:

“Al-Qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”

Page 7: Makalah Studi Islam

Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:

“ Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”

2.1.2. Dasar Hukum Qardh

Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung

situasi dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya

sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa

menjadi wajib ketika diberikan kepada orang yang membutuhkan seperti

memberi hutang kepada tetangga yang membutuhkan uang untuk berobat

karena keluarganya ada yang sakit. Hukum memberi hutang bisa menjadi

haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran

Islam.

Memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat

membutuhkan adalah hal yang dianjurkan, karena di dalamnya terdapat

unsur tolong-menolong dan akan diberikan pahala yang besar oleh Allah

SWT.

a. Al-Qur’an

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik.

Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan

dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadiid: 11)

Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru

untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta

di jalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga

diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari

kehidupan bermasyarakat (civil society).

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah:

“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang

baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat

Page 8: Makalah Studi Islam

gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan

Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu

dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat dalam Al-

Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah

SWT amat berat siksa-Nya. (Q.S al-Maidah : 2)”

b. Al-Hadits

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata, “Bukan seorang

muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali

yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR Ibnu Majah no. 2421, kitab

al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)

Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada

waktu malam di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas

sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai

Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena

peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak

akan meminjam kecuali karena keperluan’.” (HR Ibnu Majah no.2422,

kitab al-Ahkam, dan Baihaqi)

Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW. Dapat ditemukan antara

lain dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai

berikut:

“Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-

olah telah bersedekah kepadanya satu kali”.

c. Ijma

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.

Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa

pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang

Page 9: Makalah Studi Islam

memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu,  pinjam-

meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Islam

adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

2.1.3. Rukun dan Syarat Qardh

Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2)

‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), Orang yang meminjam

(Muqtaridh) & Orang yang memberikan pinjaman (muqridh) dan (3) harta

yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-

syaratnya adalah sebagai berikut.

1. Shighah

Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan

dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan

semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu

hutang” atau “aku menghutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan

semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau

“aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.

2. ‘Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan

transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai

beberapa syarat berikut.

Syarat-syarat bagi Pemberi Hutang

Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk

ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka,

baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik

dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang

adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah

kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti

shadaqah.

Page 10: Makalah Studi Islam

Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang)

mengandung tabarru’(pemberian derma), bukan merupakan transaksi

irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.

Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian)

memberi derma harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak

sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar.

Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus

berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan

memaksa.

Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan

member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah

atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.

Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan

member derma) bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim

tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan nazhir

(pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.

Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat

bahwa seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang

dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada

hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan

dalam kondisi darurat.

Syarat Bagi Penghutang

a. Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang

mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan

transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma).

Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai

ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan,

yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.

b. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena

hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah

member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga

Page 11: Makalah Studi Islam

diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai

potensi menanggung.

3. Harta yang dihutangkan

Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.

a. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya,

maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak

banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang,

barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.

Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam

satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga,

seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak

ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara

mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan

karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat

kalanganhanafiyah.

Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di

kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta

yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan

dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua

yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya

meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya.

Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah

berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.

Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan

dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan

sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah

mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni

hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.

Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda

yang boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-

ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.

Page 12: Makalah Studi Islam

b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah

menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan

Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah.Berbeda dengan kalangan

syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang

dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan

manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi

mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh

dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa).

Seperti halnya benda padaa umumnya.Pendapat yang dipilih oleh ibnu

taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan

manfaat (jasa).

c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan

oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar

hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).

Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2)

diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika

hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.

2.1.4. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh

Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian

barang pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu

dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak

membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan.

Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi

pinjaman untuk menerimanya.Adapun untuk waktu pengembalian adalah

sebagai berikut:

Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta

pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman,

setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad

yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu

pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang

Page 13: Makalah Studi Islam

sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa

dibatasi dengan waktu.

2.1.4. Skema Qardh

2.1.5. Harta Yang Harus Dikembalikan

Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk

mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan

mengembalikan harta semisal dengan bentuknya (dalam pandangan ulama

selain Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy,seperti

mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang

dipinjam.Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan

mengembalikan harta qimiy sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.

2.1.6. Hikmah Disyariatkan Al-Qardh

Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi

pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka

yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi

hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang

lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang

dialami oleh orang lain.

Page 14: Makalah Studi Islam

Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang)

menurut Syekh Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah

sebagai berikut:[18]

1. Memudahkan kepada manusia ( اس الن على .(التيسير2. Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka ( بهم والرحمة . (الرفق3. Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang

mereka hadapi ( متاعبهم تفريج على .(العمل4. Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang قضاء)

.(مصالحهم

2.1.7. Problematika Terkait Al-Qardh Pada Masa Sekarang

Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai

akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil.

Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk

menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi

pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan

apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk

mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.

Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk

mengembalikan lebih dari pinjaman pokok, bank sah untuk menerima,

selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi

hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan

hadits Rasulullah SAW berikut ini:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah

dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada

seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk

menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak

mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau

bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah

Page 15: Makalah Studi Islam

memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik

diantara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".

“ Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan

kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu

Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam

(berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu.

Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang

telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau

berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan

pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya

mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.

Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial

bank. Dananya bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang

dihimpun oleh bank dari para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian

keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada

nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan

berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah.

Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan

untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara

pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika

pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara

bergulir.

2.1.8. Adab dalam Hutang Piutang

1. Niatan kuat untuk membayar

Seorang yang berhutang hendaknya sejak awal meniatkan untuk

membayar dengan segera dan bukan menunda-nunda, apalagi

meniatkan untuk tidak membayar, hal tersebut tergolong dalam

keburukan yang dicela dalam sabda Rasulullah SAW :

Page 16: Makalah Studi Islam

“Barang siapa mengambil pinjaman harta orang lain dengan

maksud untuk mengembalikannya maka Allah akan menunaikan

untuknya, barang siapa yang meminjam dengan niatan tidak

mengembalikannya, maka Allah akan memusnahkan harta tersebut”

(HR Bukhari)

2.Tidak ada perjanjian kelebihan dalam pengembalian saat akad

terjadi

Dalam kaidah dikatakan, “ setiap pinjaman yang mengandung unsur

kemanfaatan maka hukumnya masuk kategori riba “. Karenanya, kita

perlu berhati-hati saat melakukan aktifitas hutang piutang, jangan

sampai mensyaratkan kelebihan atau tambahan saat pengembalian,

meskipun kelebihan tadi bukan uang tapi barang misalnya.

3.Menuliskan pernyataan bagi yang berhutang

Pada saat ini fungsi akuntansi atau pencatatan transaksi sudah

menjadi kebutuhan, karena begitu padat dan rumitnya jenis aktifitas

ekonomi seseorang.

Syariat Islam kita juga menganjurkan kepada kita untuk menaruh

perhatian dalam masalah pencatatan hutang piutang tersebut, Allah

SWT berfirman : “ Dan hendaklah orang yang berutang itu

mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun “

daripada utangnya.” (QS Al Baqarah 28)

Dengan adanya pencatatan hutang piutang, maka hal ini menjadi

upaya mencegah terjadinya konflik dan pertikaian antara pihak-

pihak yang melakuan transaksi tersebut.

4.Memperbanyak Doa bagi yang berhutang

Berhutang menumbuhkan perasaan beban dalam hati, selain upaya

untuk melunasinya dengan giat bekerja dan berusaha, kita juga

Page 17: Makalah Studi Islam

dianjurkan untuk berdoa kepada Allah SWT agar terbebas dari lilitan

hutang. Doa yang penuh kesungguhan juga akan menjadi semacam

terapi untuk meringankan beban hutang tersebut.

5.Tidak Menunda Pembayaran

Hendaknya kita berusaha untuk menyegerakan pelunasan hutang,

karena itu menjadi bagian dari komitmen seorang muslim yang harus

berusaha menepati janji yang keluar dari lisannya. Apalagi jika

kondisi benar-benar telah lapang dan mempunyai kemampuan, maka

sikap menunda-nunda hanya akan menambah sikap tercela dalam diri

kita. Rasulullah SAW bersabda :Menunda-nunda pembayaran hutang

oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. (HR Abu

Daud)

6.Menunaikan dengan Sempurna

Meskipun kelebihan pengembalian yang disebutkan di awal akad

hutang piutang diharamkan dalam Islam, namun melebihkan

pengembalian pinjaman yang benar-benar atas inisiatif yang

berhutang - tanpa paksaan dan penuh dengan keridhoan- justru

merupakan akhlak mulia yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dari

Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah berhutang hewan,

kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya

daripada hewan yang yang beliau hutang itu”, dan Rasululloh

bersabda, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang

dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad &

Tirmidzi).

7.Bagi yang menghutangi, hendaknya memberi Tenggang Waktu

Khusus bagi yang menghutangi, adab yang harus dijaga adalah cara

penagihan yang ihsan yaitu dengan tetap menjunjung tinggi ukhuwah

sesama muslim. Jika memang kondisi yang berhutang benar-benar

Page 18: Makalah Studi Islam

tidak memungkinkan, maka anjuran Islam bagi kita adalah

memberikan toleransi waktu, Allah SWT berfirman :

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(QS

al Baqarah 280)

2.2. AR-RAHN

2.2.1. Pengertian ar-Rahn (Gadai)

Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.

Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan,

agunan, adan rungguhan. Dalam islamar-rahn merupakan sarana tolong

menolong bagi umat islam, tanpa ada imbalan jasa.

Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan ulama fiqh, ulama

Malikiyah mendefinisikan bahwa harta yang dijadikan pemiliknya sebagai

jaminan hutang yang bersifat mengikat1[1].

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan

saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat

tertentu. Harta yang dijadikan jaminan tidak harus diserahkan secara actual,

tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah

menjadi jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya

(sertifikatnya).2[2]

Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa menjadikan suatu barang

sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai

pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian3[3].

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn

bahwa menjadikan barang sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan

1[1]Ad-Dardir.Asy-Syarh ash-shagir bi Syarh ash-Shawi.(Mesir: Dar al-Ma’arif), Jilid III, hal. 303

2[2]Ibid. hal. 325

3[3]Ibnu’ Abidin.Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar.(Beirut: Dar al-Fikr), Jilid V, hal. 339

Page 19: Makalah Studi Islam

pembayar hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar

hutangnya itu4[4].

Definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hanabilah ini

mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan hutang itu

hanyalah harta yang bersifat materi; tidak masuk manfaat sebagaimana yang

dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun manfaat itu, menurut mereka

(Syafi’iyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.

Ar-rahn ditangan al-murtahin (pemberi hutang) hanya berfungsi

jaminan hutang ar-rahin (orang yang berhutang).Barang jaminan itu baru

boleh dijual apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak.

Sifat Rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat

derma,sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai

(murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada

rahin adalah utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan5[5].

Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah,yaitu dikatakan

sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad,seperti

hibah,pinjam meminjam,titipan,dan qirad. Semua termasuk akad tabarru

(derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu),sesuai

kaidah: "Tidak sempurna tabarru,kecuali setelah pemegangan."

2.2.2. Dasar Hukum ar-Rahn

1. Dalam Al Qur’an

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan

dalam islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-

Baqarah ayat 283 Allah berfirman :

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak

secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka

hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang6[6] (oleh yang

berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian

4[4] Asy-Syarbaini al Khatib. Mugni al-Muhtaj.(Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid II, hal. 121

5[5] Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 160

6[6]Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Page 20: Makalah Studi Islam

yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah

Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan

persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka

sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah

Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 283)

Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam

perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu

bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si

piutang.Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa

dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka

paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa

barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya,

apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang

dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.

2. Hadist

Kemudian dalam sebuah Hadist Rasulullah dikatakan bahwa :

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".

Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-

rahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam

dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan

hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad

Page 21: Makalah Studi Islam

ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung

di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.7[7]

3. IjmaPara ulama telah menyepakati bahwa  ar rahn

boleh dilakukan.Kesepakatan  ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

2.2.3. Rukun dan Syarat ar-Rahn

Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu :8[8]

1. Shigat (lafal ijab dan qabul)

Syarat – syarat Shighat menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa

shighat rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan

sesuatu.Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu,

syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

2. ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)

Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:

a. Tidak gila, mabuk, tidak dalam pengampuan dan anak kecil.

b. Dewasa, baligh

c. Berakal

d. Mumayyis

e. Cakap hukum

7[7] Ibnu Qudamah. Al-Mugni.(Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, hal. 337

8[8]Al-Bahuti.Kasysyaf al-Qina’.Jilid III, hal. 304

Page 22: Makalah Studi Islam

3. al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)

Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan

barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun

sebagai berikut:

a. Dapat diperjualbelikan

b. Bermanfaatdapat diperjualbelikan

c. Bermanfaat, jelas

d. Milik rahin

e. Dipegang (dikuasai) oleh rahin

f. Bisa diserahkan

g. Tidak bersatu dengan harta lain

h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan

4. al-Marhun bih (hutang)

Ulama Hanafiyah memberikan syarat yaitu9[9]:

a.       Marhun bih hendaklah barang yang wajib dikembalikan

b.      Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan

c.       Hak atas marhun bih harus jelas

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat yaitu:

a.       Berupa hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan

b.      Hutang harus lazim pada waktu akad

c.       Hutang harus jelas dan diketahuioleh rahin dan murtahin.

2.2.4. Jenis – Jenis Rahn

Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah rahn, yang diatur

menurut prinsip syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:

1.      Rahn ‘Iqar/Rasmi

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya

dipindahkan kepemilikannya.Namun, barangnya sendiri masih tetap dikuasai

dan dipergunakan oleh pemberi gadai.

Contoh : A memiliki hutang kepada B sebesar Rp. 10 juta. Sebagai

jaminan tersebut, A menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara Rahn

9[9] Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 163-164

Page 23: Makalah Studi Islam

Iqar. Walaupun surat – surat kepemilikan mobil diserahkan kepada B, namun

mobil tersebut tetap berada di tangan A dan dipergunakan olehnya untuk

keperluannya sehari – hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas

mobil tersebut.

2.      Rahn Hiyazi

Konsep ini hampir sama dengan konsep Gadai. Pada Rahn Hiyazi

barangnya pun dikuasai dengan kreditur. Contoh pada point 1 di atas, jika

akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka mobil milik A tersebut

diserahkan kepada B sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Apabila hutang A

kepada B sudah lunas maka, A bisa mengambil kembali mobil tersebut.

Dari pengertian kedua Janis rahn tersebut dapat disimpulkan bahwa

prinsip pokok dari Rahn adalah :

a. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai.

b. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian

dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai

berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang

sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.

c. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang

digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian,

maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan /

penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan

tersebut.

2.2.5. Hukum Memanfaatkan Barang Jaminan (ar-Rahn)

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang

dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung

jawab pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Hal ini sejalan dengan sabda

Rasulullah :

Page 24: Makalah Studi Islam

... FFه غرمFFه. }رواه الشFFافعى FFه غنمFFه وعلي لوالدارقطنى{

… pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan

dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR.

asy-Syafi’I dan ad-Daruquthni)

Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan

barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan tanpa

sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang

Rasulullah saw. (HR. at-Tirmizi).

Jumhur ulama fiqh,10[10] selain ulama Hanbilah, berpendapat bahwa

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,

karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan

terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan

apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, barulah ia

boleh menjual barang itu untuk melunasi hutangnya itu. Alasan jumhur ulama

adalah sabda Rasulullah saw

“Barang jaminan disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang

jaminan dan resiko yang timbul atas barang itu menjadi tanggung

jawabnya.”(HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah)

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang

jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama

Hanafiyah membolehkan,11[11] karena dengan danya izin, maka tidak ada

halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu.

10[10] Ibnu Rushd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqtashid. (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid II, hal.272

11[11]Ibnu ‘Abidin.Op. cit., Jilid V, hal. 478

Page 25: Makalah Studi Islam

Akan tetapi sebagian ulama Hanafiyah,12[12] Malikiyah,13[13] dan

Syafi’iyah14[14] berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannnya,

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.

Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil

pemanfaatan itu merupakan riba’ yang dilarang oleh syara’; sekalipun

diizinkan pemilik barang. Bahkan, menurut mereka ridha dan izin lebih

cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan

uang yang akan dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba’, izin dan

ridha tidak berlaku.Hal ini sesuai dengan hadis Abu hurairah yang

diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban diatas.

2.2.6. Skema Ar-Rahn

2.2.7. Risiko ar-Rahn Adapun risiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila

diterapkan sebagai produk adalah:a. Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)b. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan / rusak.

2.2.8. Manfaat Rahn

12[12]Imam al-Kasni.Al-Bada’i’u ash-Shana’i’u. (Mesir: al-Muniriyah), Jilid II, hal. 145

13[13]Ad-Dardir dan ad-Dasuqi.Asy-Syarh al-Kabir ‘ala Matn Sayyidi Khalil.(Mesir: al-Amiriyah), Jilid III, hal. 248

14[14]Imam asy-Syafi’i.al-Umm. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Jilid III, hal. 147

Page 26: Makalah Studi Islam

Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut:

a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.

c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.

2.2.9. Penyelesaian GadaiUntuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan,

dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, "Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhunmenjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang", sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang hargamarhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga hargamarhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan dan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.

Apabila syarat seperti diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahinsendiri atau yang lain, tetapi dengan harga

Page 27: Makalah Studi Islam

yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar daripada jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhunkurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

2.3. HIWALAH

2.3.1. Pengertian Hiwalah

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri,15 berpenapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :

قل من محل إلى محل الن

“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain” Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,16 para ulam berbeda-beda

dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :

الملتزم ذمة إلى ذمةالمديون من المطالبة نقل“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang

lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”

2. Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

hiwalah ialah :

ذمة إلى ذمة من الدين نقل“Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung

jawab orang lain.”

3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

hiwalah ialah :

ذمة إلى ذمة من دين انتقال يقتضى عفد

15Lihat,al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hal. 210.16Ibid.

Page 28: Makalah Studi Islam

“Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada

yang lain.”17

4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :

عليه المحال ذمة إلى المحيل ذمة من الحق نقل“Pemindahan kewaikban dari beban yang memindahkan menjadi beban

yang menerima pemindahan. ”18

5. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :

ذمة إلى ذمة من الدين انتقال“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”19

2.3.2. Landasan Hukum Hiwalah1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah20tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu

menuliskannya dengan benar”

2. Hadits عليه الله صلى الله رسول ان عنه الله رضي هريرة ابي عن

بع : فليت مليء على أحدكم أتبع فإذا ظلم الغني مطل وسلم"Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar

itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya

dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima”.21

3. Ijma’

17 Lihat,Qulyubi wa Umaira, Dar al-Ihya- al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318.18 Lihat, al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semaran g. Tth. Hal. 376. 19 Lihat, Kifayah al-Akhyar, hal. 274.20 Bermu’amalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain sebagainya.21 HR.Bukhari Muslim.

Page 29: Makalah Studi Islam

Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan

2.3.3. Rukun dan Syarat HiwalahMenurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan

kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang

menerima hiwalah.

Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah :

1. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal,

maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau

masih kecil.

2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang

berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak

berakal.

3. Orang yang dihiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan

disyaratkan juga ia meridhainya.

4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.22

Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :

1. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang

memindahkan utang.

2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai

utang kepada muhil.

3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.

4. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.

5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku

hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul

dari muhtal dengan kata-katanya : “aku terima hiwalah engkau.”23

2.3.4. Jenis-jenis Hiwalah

22Liahat, Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1969 hal. 212-213. 23 Ahmad Idris dalam, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986. Hal. 57-58.

Page 30: Makalah Studi Islam

1. Hiwalah MuthlaqohHiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang

berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.

2. Hiwalah Muqoyyadah Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.

3. Hiwalah Haq Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang

Page 31: Makalah Studi Islam

bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.

4. Hiwalah Dayn Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan. Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

2.3.5. Beban Muhil Setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab

muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau

membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali

lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.

Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal

‘alaih orang kafir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka

muhal boleh kembali lagi kepada muhil.Menurut Imam Malik, orang yang

menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami

kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar kewajiban, maka

muhal tidak boleh kembali kepada muhil.

Page 32: Makalah Studi Islam

Muhal ‘Alaih(Factor/Bank)

Muhal(Penyuplai)

Muhil(Pembeli)

2. invoice

3. Bayar

1. Suplai Barang

4. Tagih

5. Bayar

Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan

muhal’ alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang

mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.24

2.3.6. Hiwalah dalam Perbankan SyariahAl-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab

pembayaran utang dari seseorang yang berutang kepada orang lain.25 Contoh : Tuan A karena transaksi perdagangan berutang kepada Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di Bank, maka atas permintaan tuan A, bank dapat melakukan pemindahbukuan dana pada rekening tuan A untuk keuntungan rekening C. Atas jasa pengalihan utang ini bank memperoleh fee.

Ketentuan umum al-hiwalah ini diatur dalam Fatwa DSN No.

12/DSN-MUI/IV/2000, dengan isi ketentuannya sebagai berikut :

1) Rukun hiwalah adalah muhil yaitu orang yang berutang dan sekaligus

berpiutang kepada muhal, muhal atau muhtal adalah orang yang

berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih yaitu orang yang berutang kepada

muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, dan sighat (ijab kabul).

24 Lihat, Syyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.25 Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media : Jakarta). 2005. Hal. 164.

Page 33: Makalah Studi Islam

2) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan

cara-cara komunikasi modern.

4) Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan

muhal ‘alaih.

5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan kdlam akad secara

tegas.

6) Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat

hanyalahmuhal dan muhal ‘alaih dan hak penagihan muhal berpindah

kepada muhal ‘alaih.

2.3.7. Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah

Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena

adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan

dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada

sesama, mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi

kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

“Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila

seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia

ikuti.”

Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya

menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni

hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya

sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya

kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan

penagihan kepada si pengutang pertama.

Page 34: Makalah Studi Islam

Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian

ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.

2.3.8. Berakhirnya Akad Hiwalah

1. Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil

menjadi gugur.

2. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka

menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali

menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil

“menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang

tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi

menagih hutang kepada muhil.

3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal.

Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua

pihak.

4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah

karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika

akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah

itu menurut madzhab Hanafi.

5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah

kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.

6. Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada

Muhal Alaih.

2.3.9. Fatwa MUI Tentang Hiwalah

Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di

Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk

melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam

diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu,

Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan

fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentangHawalah disebutkan bahwa :

Page 35: Makalah Studi Islam

1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan

sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang

kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil

dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang

muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal,

dan muhal ‘alaih.

5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad

secara tegas.

6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat

hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal

berpindah kepada muhal ‘alaih.

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan

melalui musyawarah.

Page 36: Makalah Studi Islam

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun dalam aplikasi

yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita menjalankannya sesuai syariat Islam.

Dimana, bila kita menjalankannya sesuai syariat agama akan memberikan  nilai

tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala yang

akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya dibanding dengan pahala

sedekah.

Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila

telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk

menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh

tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Dengan adanya barang gadai

tidak menjadikan keraguan pihak pemberi pinjaman untuk memberikan hutang

Page 37: Makalah Studi Islam

karena adanya jaminan yang diberikan penerima hutang kepadanya. Pada hiwalah

dan kafalah, penanggung hutang yang menjamin hutang hukumnya adalah sunah.

Dalam pelaksanaan kaalah harus ada kerelaan dan keikhlasan dari

penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi syarat-syarat yang berlaku

sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat tersebut tidak terpenuhi  maka

penjamin tidaklah berhak menjadi seorang penjamin hutang yang sah.

3.2. Saran

1.      Sebagai umat Islam, sangatlah dianjurkan menolong sesama tanpa

memberatkan dengan meminta imbalan.

2.      Memberikan hutang lebih tinggi pahalanya dibanding dengan memberi

sedekah, dan pemberian hutang dianjukan oleh agama.

3.      Walau memberi hutang sangatlah dianjurkan, namun melakukan atau

menerima hutang lebih baik untuk menghindarinya.

4.      Untuk menjamin hutang yang diberikan alangkah lebih baiknya

menggunakan jaminan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.

http://uin-jkt.blogspot.co.id/2010/12/googlef80e854ba6498f40html.html

http://massukron.blogspot.co.id/2013/04/jasa-wakalah-kafalah-hawalah-rahn-qardh_5209.html