makalah sosiologi tentang partai politik dan konflik politik.doc
DESCRIPTION
terimakasihTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul Partai Politik dan Konflik Politik.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
sosiologi politik dan sebagai bahan diskusi kelas. Selain itu untuk menambah
wawasan dan pengetahuan tentang partai politik dan konflik politik.
Dalam penulisan makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
baik moral material, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dosen mata kuliah sosiologi politik yang telah memberikan ilmu dan tugas makalah
ini untuk mengukur dan mengasah kemampuan mahasiswa dalam mengajarkan
makalah
2. kedua orang tua yang telah memberikan dorongan material dan spiritual dalam
pembuatan makalah ini.
3. Rekan – rekan FISIP UNMA yang telah memberikan motivasi dan membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
baik dilihat dari isi atau cara penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca.
Bayah, Nopember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A. Partai-Partai Politik................................................................................... 3
B. Bentuk-Bentuk Konflik Politik.............................................................. 14
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 29
A. Kesimpulan............................................................................................. 29
B. Saran....................................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering terjadi perdebatan-perdebatan antara partai politik,
mereka saling berkompetisi di bidang politik, ada yang saling membangun namun,
adapula yang saling menjatuhkan tetapi tidak terlepas dari nilai kesatuan dan
persatuan bangsa. Walaupun begitu tetapi mereka terus berkompetisi di bidang politik
terutama di dalam kegiatan pemilu. Di dalam kegiatan tersebut mereka saling ada visi
dan misi baik antar partai politik maupun terhadap masyarakat.
Faktor-faktor terjadinya konflik antara partai politik diantaranya disebabkan
karena keinginan menjadi seorang penguasa, satu-satunya di dunia politik, dan adanya
permasalahan politik internal maupun eksternal.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis perli mengadkan penelitian dengan
judul “Partai Politik dan Konflik Politik”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apakah partai politik itu ?
2. Apakah konflik politik itu ?
3. Apakah ada hubungan antara partai politik dan knflik politik ?
4. Bagaimana cara mengetahui hubungan antara partai politik dan konflik politik
berikut dengan penyelesaiannya ?
C. Tujuan Masalah
Bertolak rumusan permasalahan di atas pembuatan makalah ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengertian dari partai politik.
2. Untuk mengetahui pengertian dari konflik politik
3. Untuk mengetahui hubungan antara partai politik dan konfli politik.
4. Untuk mengetahui cara bagaimana hubungan partai politik dan konflik politik berikut
dengan penyesaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PARTAI – PARTAI POLITIK
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta
diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan
berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu fihak dan pemerintah di fihak
lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistim politik
yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari
itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang
biasa dijumpai.
Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai
partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan
siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan
umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat
didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk
mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik
merupakan alat yang baik.
Pada permulaan perkembangannya di negara-negara Barat seperti Inggris dan
Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik
dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitist dan aristokratis,
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja.
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen
dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara
para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh karena dirasa perlu
memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok
politik dalam parlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa,
dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok
politik dalam parlemen dengan panitiapanitia pemilihan yang sefaham dan
sekepentingan, dan lahirlah partai politik. Partai semacam ini menekankan
kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam masa antara dua pemilihan umum
biasanya kurang aktif. Ia bersifat patronage party (partai lindungan) yang biasanya
tidak memiliki disiplin partai yang ketat.
1. Definisi Partai Politik
Di bawah in disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik :
Carl J. Friedrich: Partai politik adalah "sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabi dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuuasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil" (A
political party is a group of human beings, stably organized with the oh jective of
securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further
objective of giving to members of the party, through such control ideal and material
benefits and advan tages).
R.H. Soltau: "Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu ke- dengan memanfaatkan
kekuasaannya un satuan politik dan yang bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka" (A group of citizens more or Les, who
act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the
government and carry out t general policies).
Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties
mengemukakan definisi sebagai berikut: "Partai politik adalah organisasi dari aktivis-
aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan Berta
merebut dukungan rakyat atas dear persaingan dengan suatu golongan atau golongan
golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda" (A political par ty is the
articulate organization of society's active political agent. those who are concerned
with the control of governmental power and who compete for popular support with
another group or groups holding divergent views).
2. Fungsi Partai Politik
Dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi:
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik.
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat
dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran
pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas.
pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti
suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan
aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan"
(interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan
dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan "perumusan
kepentingan" (interest articulation).
Semua kegiatan di atas dilakukan oleh partai. Partai politik selanjutnya
merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan
dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar
dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan
kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Di lain fihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan
menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.
Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas, di mana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara
yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai broker (perantara)
dalam suatu bursa idee-idee ("clearing house of ideas"). Kadang-kadang juga
dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar,
sedangkan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara.
2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik.
Partai politik juga main peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of
political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai
proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena
politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana is berada. Biasanya proses
sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanakkanak sampai dewasa.
Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi
politik. Dalam usaha menguasai pemerintahan me. lalui kemenangan dalam pemilihan
umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha
menciptakan "image" bahwa is memperjuangkan kepentingan umum. Di samping
menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-
anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga
negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Di
negara-negara baru partai-partai politik juga berperan untuk memupuk indentitas
nasional dan integrasi nasional.
3) Partai politik sebagai sarana recruitment politik.
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat
untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment).
Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui
kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda
untuk dididik menjadi kader yang di massa mendatang akan .mengganti pimpinan
lama (selection of leadership).
4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).
Dalam suasana dcmokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam
masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai tcrjadi konflik, partai politik
berusaha untuk mengatasinya. Dalam praktek politik sering dilihat bahwa fungsi-
fungsi tersebut di atas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya infor.
masi yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam
masyarakat; yang dikejar bukan kepentingan nasionale akan tetapi kepentingan partai
yang sempit dengan akibat pcngkotakan politik; atau konflik tidak diselesaikan, akan
tempi malaban dipertajam.
3. Klasifikasi Partai
Klasifikasi ptirtai dapat dilakukan dengan pelbagal Cara. Bila dilihat dari segi
kumposisi clan fungsi keanggotaannya. secara umum dapat dibagi dalam dua jenis
yaitu partai massa dan partai leader. Partai massa mengutamakan kekuatan
herdasarkan keunggulan anggota; oleh karena itu is biasanva terdiri dari pendukung-
pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk
hernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan
agak kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing aliran atau
kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk memaksakan
kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis. sehingga persatuan dalam
partai dapat menjadi lemah atau hilang same sekali sehingga salah satu golongan
mernisahkan diri dan mendirikan partai bat Partai kader mementingkan keketatan
organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya
menjagi kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mcngadakan saringan
terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai
yang telah ditetapkan.
1) Sistim partai tunggal
Ada sementara sarjana yang berpendapat bahwa istilah sistim partai-tunggal
merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in terminis) sebab
menurut pandangan ini suatu sistim selalu mengandung lebih dari satu unsur. Namun
demikian istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan pars sarjana. Istilah
ini dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu
negara, maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
partai lainnya. Dalam kategori tcrakhir terdapat banyak variasi.
Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara Afrika (Ghana di masa
Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Galling), Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian
dinamakan non-kompetitif oleh karma partai-partai yang ada harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka
melawan partai itu. Kecenderungan untuk mengambil pole sistim partai tunggal
disebabkan karena di negara-negara baru pimpinan sexing dihadapkan dengan
masalah bagaimana mengintegrasikan pelbagai golongan, daerah serta suku bangsa
yang berbeda corak social dan pandangan hidupnya. Dikuatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi
gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan.
2) Sistim dwi-partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistim dwi-panai biasanya diartikan
adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari
dua partai. Sedikit negara yang pads dewasa ini memiliki ciri-ciri sistim dwi-partai,
kecuali Inggris, Amerika Serikat dan Filipina, dan oleh Maurice Duverger malahan
dikatakan bahwa sistim ini adalah khas Anglo Saxon. Dalam sistim ini partai-partai
dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan
umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Dengan demikian
jelaslah di mana letaknya tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam
sistim ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal
opposition) terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan
pengertian bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut
dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan -gang sering dinamakan
pemilih terapung (floating vote).
3) Sistim multi-partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman dalam komposisi masyarakat
menjurus ke berkembangnya sistim multi-partai. Di mana perbedaan ras, agama, atau
suku bangsa adalah kuat, golongan-golongan masyarakat lebih cenderung untuk
menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primordial) tadi dalam satu wadah saja. Dianggap
bahwa pola multi-partai lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik
daripada pola dwi-partai. Sistim multi-partai diketemukan di Indonesia, Malaysia,
Negeri Belanda, Perancis, Swedia dan sebagainya.
Sistim multi-partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistim pemerintahan
parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitik-beratkan kekuasaan pada
badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini
disebabkan Met karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentul suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalis dengan partai-partai lain.
Dalam keadaan semacam ini partai yanj berkoalisi harus selalu mengadakan
musyawarah dan kompromi de ngan partai-partai lainnya dan menghadapi
kemungkinan bahwa se waktu-waktu dukungan dari partai koalisi lainnya dapat ditani
kembali.
4. Partai Politik di Indonesia
Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi
bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu se. mua organisasi, apakah dia
bertujuan social (seperti Budi Utomo dan Muhammadiah) ataukah terang-terangan
menganut azas politik/agama (seperti Sarikat Islam dan Partai Katolik) atau azas
politik/sekuler (seperti PNI dan PKI), memainkan peranan penting dalam
berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa ini menunjukkan
keanekaragaman, pola mana diteruskan dalam masa merdeka dalam bentuk sistim
multi-partai.
Dengan didirikannya Volksraad maka beberapa partai don organisasi bergerak
melalui badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi dalam Volksraad, yakni
Fraksi Nasional di bawah pimpinan Husni Thamrin, PPBB (Perhimpunan Pegawai
Bestuur Bumi-putra) di bawah pimpinan Prawoto dan "Indonesische Nationale
Groep" di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar Volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari nasional. Pada
tahun partai-partai politik dan menjadikannya semacam dewar 1939 dibentuk K.R.I.
(Kor.ste Rakyat wakil Indonesia) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik
Indonesia, tang merupakan gabungan dari partai-partai beraliran nasional), MIA
(Majelisul Islamil a'laa Indonesia, yang merupakan gabungan partai-partai beraliran
Islam yang terbentuk pads tahun 193 7) dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia, yang
merupakan gabungan organ,salt buruh).
Dengan demikian kepartaian kembali ke pola multi-partai yang telah dimulai
dalam zaman kolonial. Banyaknya partai tidak meng untungkan berkembangnya
pemerintahan yang stabil. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955
membawa penyederhanaan dalam jumlah partai dalam arti bahwa dengan jelas telah
muncul empat partai besar, yakni Masyumi, PNI, NU den PKI. Akan tetapi partai-
partai tetap tidak menyelenggarakan fungsinya sebagaimana yang diharapkan.
Akhirnya, pada mesa Demokrasi Terpimpin partai-partai dipersempit ruang-geraknya.
B. BENTUK-BENTUK KONFLIK POLITIK
Sosiologi merupakan ilmu social yang sasaranya masyarakat. Masyarakat yang
menjadi sasaran ilmu social dapat dilihat sebagai sesuatu yag terdiri dari berbagai
aspek, seperti halnya dengan sosiologi yang memusatkan perhatiannya kepada aspek
masyarakat yang bersifat umum dan berusaha mendapatkan pola-pola umum darinya.
Singkatnya, sosiologi mempelajari masyarakat dan hubungan antara pribadi-pribadi
dalam masyarakat tersebut.
Sedangkan ilmu politik memusatkan aspek masyarakat yang berhubungan
dengan kekuasaan. Dalam proses tersebut kemudian muncul sebuah fenomena yang
disebut dengan konflik. Untuk memahami fenomena ini secara sosiologis dan politis,
maka diperlukan suatu alat analisa interpreitasi terhadap masalah tersebut, yakni
sosiologi politik.
Konflik diyakini sebagai suatu fakta utama dalam masyarakat, baik itu
masyarakat agraris maupun masyarakat modern. Konflik lebih banyak difahami
sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana
mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak
sempurna. Tetapi, secara empiris, tidak diakui karena, orang lebih memilih stabilitas
sebagai hakikat masyarakat.
Sebaliknya konfik mempunyai fungsi-fungsi positif, salah satunya ialah
mengurangi ketegangan tersebut tidak bertambah dan menimbulkan kekerasan yang
memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan.
Salah satu fungsi tersebut ialah berdampak kepada penyegaran pada sistem
sosial. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun konflik
menciptakan perubahan-perubahan dalam sistem. Sehingga dengan keberadaan
konflik tersebut berimplikasi terhadap sistem tersebut, yakni sistem akan lebih sedikit
efektif dari sebelumnya.
1. Pengertian konflik
Konflik bukan merupakan suatu hal yang asing didalam hidup manusia. Sejarah
mencatat bahwasanya konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, sepanjang
seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik dimuka bumi
ini baik itu konflik antar individu maupun antar kelompok. Jika konflik antara
perorangan tidak bisa diatasi secara adil dan proposional, maka hal itu dapat berakhir
dengan konflik antar kelompok.
Untuk itu, konflik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam
masyarakat. Fenomena konflik tsb mendapat perhatian bagi manusia, sehingga
muncul penelitian-penelitan yang menciptakan dan mengembangkan berbagai
pandangan tentang konflik.
Diantaranya ialah Charles Watkins yang memberikan suatu analisis tajam
tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi
bila terdapat dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat
dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat.
Secara potensial artinya, mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Secara
praktis/ operasional maksudnya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada didalam
keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya, bila kedua
belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan,
maka konflik tidak akan terjadi.
Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh
kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya.
Kemudian, Joyce Hocker dan William Wilmt di dalam bukunya yang berjudul
interpersonal conflict, berupaya untuk memahami pandangan tentang konflik. Pada
umumnya pandangan tentang konflik dapat digambarkan sebagai berikut ;
Pertama, konflik adalah hal yang abnormal karena hal normal adalah
keselarasan. Bagi mereka yang menganut pandangan ini pada dasarnya bermaskud
menyampaikan bahwa, suatu konflik hanya merupakan gangguan stabilitas.
Kedua, konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham.
Mereka yang perpendapat seperti ini menganggap bahwasanya konflik hanyalah
kegagalan berkomunikasi dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami
maksud kita yang sesungguhnya.
Ketiga, konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang
yang tidak beres. Menurut penganut pendapat ini, penyebab suatu konflik adalah anti
sosial.
2. Konflik dan integrasi
Pengertian konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak,
ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya
hambatan dari kedua pihak, baik secara potensial dan praktis. Sedangkan integrasi
adalah proses mempersatukan masyarakat, yang cendrung membuat masyarakat
menjadi lebih baik atau harmonis. Disamping itu integrasi juga dipahami sebagai
suatu pernyataan yang sudah dicapai, atau sudah dekat untuk dicapai.
Dalam politik, konflik dan integrasi merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Konflik mempunyai hubungan yang erat dengan proses integrasi.
Hubungan ini disebabkan karena dalam proses integrasi terdapat sebuah proses
disoraganisasi dan disintegrasi.
Dalam proses disorganisasi terjadi perbedaan faham tentang tujuan kelompok
sosialnya, tentang norma-norma sosial yang hendak diubah, serta tentang tindakan
didalam masyarakat. Apabila tidak terdapat tindakan dalam menghadapi perbedaan
ini, maka dengan sendirinya langkah pertama menuju disintegrasi terjadi. Jadi,
disorganisasi terjadi apabila perbedaan atau jarak antara tujuan sosial dan pelaksanaan
terlalu besar.
Suatu kelompok sosial selalu dipengaruhi oleh beberpa faktor, maka
pertentangan atau konflik akan berkisar pada penyesuaian diri ataupun penolakan dari
faktor-faktor sosial tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yang menuju integrasi
tersebut ialah tujuan dari kelompok, sistem sosialnya, tindakan sosialnya.
Pertentangan yang terjadi dalam kelompok maupun diluar kelompok memiliki
hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi. Untuk itu, Makin tinggi konflik
dalam kelompok, makin kecil darejat integarasi kelompok. Sedangkan makin besar
permusuhan terhadap kelompok luar, makin besar integrasi.
3. Bentuk-bentuk konflik politik
Hubuangan antara konflik dan integarasi tidak dapat dipisahkan, hubungan ini
dapat diibaratkan dari dua sisi mata uang yang sama. Dalam kenyataanya, kita
menemukan bahwa beberapa jenis konflik sudah mencakup tingkat integrasi tertentu.
Tahap pertama dari integrasi tersebut terdiri dari menahan penggunaan kekerasan,
yang berarti menggantikan bentuk- bentuk konflik dengan bentuk yang lainnya.
Buktinya dapat kita anlisa dari permasalah yang terjadi di Aceh.
Pada mulanya Konflik yang terjadi di aceh disikapi dengan kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika adanya kompromi diantara dua kelompok,
maka keduanya mulai berupaya untuk menghindari kekerasan. Dengan adanya
kesepakatan ini, berarti konflik yang terjadi sudah menuju tahap pertama dari
integrasi. Kemudian kedua pihak memulai mengganti bentuk-bentuk konflik dengan
bentuk yang lain.
Bentuk-bentuk konflik politik itu dapat diidentifikasi dari penelitian yang
dilakukan oleh Maurice Devurege. Ia mengidentifikasi bentuk-bentuk konflik politik
menjadi dua kategori yakni; senjata-senjata pertempuran dan strategi politik
1) Senjata-senjata pertempuran
Manusia dan organisasi dalam konflik satu sama lain mempergunakan berbagai
jenis senjata di dalam perjuangan politik. Senjata yang digunakan tergantung dari
masyarakat setempat dan kelompok-kelompok sosialnya, diantaranya ialah senjata
dalam bentuk kekerasan fisik, senjata dalam bentuk yang lain seperti uang, media dan
organisasi. Namun, belakangan ini kekerasan fisik merupakan senjata yang sering
digunakan.
Padahal tujuan pertama-tama dari politik adalah untuk menghapus kekerasan,
untuk menggantikan konflik berdarah dengan bentuk-bentuk perjuangan sipil yang
lebih dingin, dan untuk menghapus peperangan, baik sipil atau internasional. Politik
cenderung menghapus kekerasan, akan tetapi dia tidak pernah berhasil seluruhnya.
Senjata-senjata dalam arti sempitnya —senjata militer— tidak seluruhnya dikeluarkan
dari konflik politik. Memang politik adalah konflik, akan tetapi juga pembatasan
konflik, dan konsekuensinya suatu permulaan dari proses integrasi. Namun, tidaklah
mutlak.
a) Kekerasan fisik
Berbicara secara luas, ada dua jenis kekerasan yang dipergunakan sebagai
senjata di dalam pertempuran politik: kekerasan oleh negara melawan para warganya,
dan kekerasan antara kelompok warga negara atau melawan negara.
Alat kekerasan yang digunakan negara untuk melawan negara adalah militer
yang mempergunakan senjata. untuk mempertahankan otoritasnya terhadap rakyat
yang diperintahkannya, senjata militer juga dipergunakan dalam perjuangan politik
Pertama, senjata dipergunakan selama tahap awal dari perkembangan sosial, ketika
negara masih terlalu lemah untuk memperoleh monopoli lengkap dari senjata-senjata
militer bagi keuntungannya sendiri.
Lantas, perjuangan merebut kekuasaan terdiri dari munculnya fraksi bersenjata
yang saling berhadapan baik itu organisasi politik yang mempergunakan senjata
maupun pemberontakan terhadap negara.
Kemudian, ketika militer tidak lagi untuk melayani negara, tidak lagi berada
dalam kuasa mereka yang memerintah, dan ketika mereka sendiri bergabung di dalam
perjuangan untuk merebut kekuasaan. Maka militer berubah menjadi kelompok
kepentingan, yang berupaya untuk merebut kekuasaan.
Bilamana angkatan bersenjata menetapkan dirinya menjadi suatu organisasi
politik yang independen dan tidak lagi menaati pemerintah, jelas ada disorganisasi
yang mendalam dalam organisasi politik.
Justru dari hakikatnya militer selalu merupakan bahaya politik bagi negara.
Mereka yang memegang senjata selalu digoda untuk menyalahgunakannya, sama
seperti mereka yang memegang posisi otoritas mendapat godaan untuk melampaui
hak-haknya.
b) Kekayaan
Dalam realitas politik; uang tidak pernah menjadi satu-satunya "penguasa".
Namun dalam banyak masyarakat, seperti dalam masyarakat kapitalis, uang adalah
senjata yang hakiki. Untuk itu, uang yang merupakan simbol dari kekayaan telah
menjadi sebuah senjata politik. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa kekayaan
merupakan bagian dari hal yang mewarnai bentuk-bentuk konflik politik.
Seperti dalam masyarakat agraris yang menggunakan kekayaannya seperti tanah
sebagai sumber dari kekuatan politik, hal ini dilakukan oleh kelas pemilik tanah atau
aristokrat. Kemudian, pada abad kesembilan belas muncul kalangan borjuis yang
menggantikan sumbernya dari pemilikan tenah kepada kekuatan uang. Jadi, pada
pekembangannya uang mulai terkesan sebagai senjata politik.
c) Organisasi
Di dalam komunitas manusia yang besar, terutama di dalam negara modern,
pertikaian politik dilancarkan antara organisasi-organisasi. Organisasi-organisasi ini
kelompok-kelompok yang berstruktur, dengan kemampuan artikulasi, dan hirarkis,
terutama terlatih bagi perjuangan merebut kekuasaan.
Hakikat organisatoris dari kekuatan- kekuatan sosial ini adalah fakta yang
fundamental dari kehidupan politik masa kini. Tentu saja, ada selalu sejumlah
organisasi kekuatan-kekuatan sosial yang bersungguh-sungguh pada aksi politik, akan
tetapi selama seratus tahun terakhir, teknik organisasi kolektif dan metode
memasukkan orang ke dalam kelompok aksi kolektif telah sangat disempurnakan.
Wajah yang sungguh asli dari perjuangan politik sekarang bukanlah bahwa dia terjadi
antar organisasi, akan tetapi karena organisasi ini begitu rapi dikembangkan.
Kita dapat mengklasifikasikan organisasi politik menjadi dua kategori utama
partai-partai politik dan kelompok kepentingan. Tujuan utama dari partai adalah
memperoleh kekuasaan atau mengambil bagian dalam kekuasaan; mereka berusaha
memperoleh kursi dalam pemilihan umum, mengangkat wakil dan menteri, dan
mengontrol pemerintah. Sedangkan kelompok kepentingan tidak berusaha untuk me-
rebut kekuasaan atau berpartisipasi di dalam pelaksanaan kekuasaan, namun
tujuannya adalah mempengaruhi dan menekan mereka yang memegang kekuasaan.
d) Media informasi
Media yang merupakan alat untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi ini
juga dapat dikatakan sebagai senjata politik, yang mampu dipakai oleh negara, oleh
organisasi, partai dan gerakan rakyat.
Dalam rezim-rezim otoritarian, media informasi biasanya berada dalam kontrol
negara, yang berfungsi untuk menyebarkan propaganda negara. Propaganda ini
cenderung untuk mengamankan dukungan penuh dan pemerintah. Dia tidak
berorientasi kepada perjuangan kelas atau kategori sosial yang meliputi bangsa, akan
tetapi kepada penyatuan negara. Dia merupakan alat integrasi sosial atau
pseudointegrasi
Sedangkan dalam rezim demokratis, tidak semua media informasi dikontrol
oleh negara; banyak yang memiliki sifat seperti kelompok kepentingan. Pluralisme
media adalah unsur di dalam pluralisme rezim, bersama dengan pluralisms partai
politik.
Namun, jarang kita mendapatkan negara demokratis di mana negara tidak
menguasai satu pun media informasi, sebagaimana di Amerika Serikat. Hampir di
mana-mana, penyiaran radio diorganisir oleh dinas negara, sekurang-kurangnya
sebagian.
2) Strategi politik
a) Konsentrasi atau penyebaran-penyebaran senjata politik
Dari segi distribusi senjata-senjata politik, masyarakat dapat dibagi menjadi dua
jenis masyarakat politik, yakni masyarakat dengan konsentrasi senjata dan masyarakat
dengan penyebaran senjata.
Di dalam masyarakat dengan konsentrasi senjata, semua senjata-senjata politik,
atau sekurang-kurangnya yang utama, dipegang oleh satu kelas atau kelompok sosial.
Seperti yang terdapat di dalam masyarakat feodal dan monarki, misalnya, senjata
utama pada masa itu — senjata-senjata militerdan kekayaan pemilikan tanah—
dikonsentrasikan di dalam tangan kaum aristokrat.
Sedangkan di dalam masyarakat dengan penyebaran senjata, senjata-senjata
utama dibagi pada beberapa kelas atau kategori kelas. Saat ini, di satu pihak, kaum
kapitalis memiliki kekayaan, yang dipakainya untuk kepentingan propaganda, dengan
demikian memegang unsur-unsur kekuasaan politik yang paling penting dalam
tangannya. Namun dipihak lain, kaum pekerja/buruh juga mempenyai kekuatan
dengan bentuk organisasi masa (partai-partai rakyat dan serikat buruh)
b) Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam
Perjuangan terbuka dalam konflik politik dapat ditemukan pada negara yang
menganut faham demokrasi. Dimana dalam demokrasi konflik politik bersifat resmi
atau diakui, seperti dalam kampanye, pemilu, demonstrasi dan di parlemen. Biasanya
kelompok-kelompok yang bertarung dalam konflik politik ini adalah organisasi
politik yang legal seperti partai.
Bagi organisasi yang tidak berorientasi kepada politis, mereka memiliki potensi
untuk berupaya mengejar tujuan-tujuan politiknya dengan cara yang ilegal. Karena
sifanya ilegal, maka perjuangannya dilakukan secara diam-diam. Fakta ini dapat
dilihat dari munculnya gerakan-gerakan bawah tanah yang berupaya untuk merebut
kekuasaan.
c) Pergolakan didalam rejim dan perjuangan untuk mengontrol rejim
Dalam negara-negara demokrasi, pergolakan politik terbuka tetap terbatas.
Perbedaan dasar dalam hubungan ini harus dibuat antara pergolakan di dalam dan
perjuangan untuk merebut rezim.
Perbedaan antara perjuangan merebut rezim dan perjuangan di dalam rezim
berhubungan dengan konsep legitimasi. Konflik-konflik berada dalam kerangka
pemerintah, bilamana mayoritas para warga menganggap pemerintah tersebut
legitimete, bilamana ada konsensus tentang hal ini. Konflik tidak dapat ditampung di
dalam kerangka pemerintah kecuali ada konsensus tentang legitimasinya.
Apabila konsensus itu berantakan, ketika hanya sebagain kelompok yang
mengakui legitimasi pemerintah , maka akan muncul perjuangan melawan rezim.
Akibatnya, perjuangan di dalam rezim dan perjuangan melawan rezim bukanlah
strategi alternatif yang bisa dipilih seseorang dalam suatu suasana yang normal, tetapi
dalam situasi tertentu. Bilamana konsensus politik secara mendalam terbagi, maka
situasi revolusioner menghasilkan perjuangan melawan rezim.
Perjuangan melawan suatu rezim bisa mengambil dua bentuk yang berbeda-
beda, tergantung dari apakah dia hanya memperhatikan tujuan-tujuan yang harus
dicapai atau juga cara-cara yang harus dipergunakan dalam mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Perjuangan melawan suatu rezim selalu berarti bahwa sebagian warga negara
tidak menerima lembaga-lembaga yang ada dan berjuang untuk menggantikannya
dengan lembaga-lembaga lain.
d) Strategi dua blok atau strategi sentris
Perjuangan politik di dalam suatu sistem dwi-partai berbeda dari perjuangan di
dalam sistem multi-partai. Dalam perjuangan sistem dwi partia mengambil bentuk
duel, sedangkan dalam sistem multi partai, sejumlah musuh saling berhadapan dan
membentuk berbagai koalisi. Perbedaan politik antara kiri dan kanan memungkinkan
kita memperbandingkan kedua situasi tersebut.
Golongan politik “kanan” memilih sikap untuk menerima tatanan sosial yang
ada dan mereka secara relatif puas terhadap tatanan tersebut, yang akhinya mereka
putuskan untuk melanjutkannyas. Sedangkan golongan “kiri” tidak menyukai tatanan
sosial yang ada dan mau mengubahnya.
Namun, pada kenyataannya, strategi dua blok adalah bentuk sentrisme, karena
setiap blok dipaksa untuk mengorientasikan politiknya ke arah tengah.
e) kamuflase
Salah satu alat strategi yang digunakan dalam setiap jenis rezim ialah
kamuflase. Kamuflase merupakan upaya untuk menyembunyikan tujuan-tujuan yang
sebenarnya dan motif-motif aksi politik yang sebenarnya di balik tujuan dan motif
yang semu yang lebih populer, dan karena itu, mengambil keuntungan dari dukungan
rakyat yang lebih besar.
Alat ini dipakai oleh individu-individu, partai-partai, dan kelompok-kelompok
kepentingan di dalam perjuangannya untuk memenangkan atau mempengaruhi
kekuasaan. Dia juga dipakai oleh pemerintah untuk memperoleh kepatuhan dari para
warga dan untuk mengembangkan integrasi sosial dan politik yang nyata.
Kamuflase mempunyai beberapa bentuk diantranya ialah Teknik kamuflase
yang paling biasa adalah menutupi suatu tujuan yang kurang terhormat di balik
sesuatu yang lebih terhormat dalam hu-bungan dengan sistem nilai dari suatu
masyarakat tertentu. Teknik lain dalam kamuflase adalah membuat kasak-kusuk
terhadap sebagian besar penduduk bahwa kepentingannya berada dalam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan citra-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk meperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) denganc ara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-
kebidajksanaan mereka.
Konflik politik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam
masyarakat. Fenomena konflik tersebut mendapat perhatian bagi manusia, sehingga
muncul penelitian-penelitian yang menciptakan dan mengembangkan berbagai
pandangan tentang konflik. Menurut Charles Wartkins yang memberikan analisis
tajam tentang konfisi dan prasarat terjadinya suatu konflik. Konflik terjadi bila
terdapat 2 hal, yaitu 1) konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya dua pihak yang
secara potensial dan praktis dapat saling menghambat dan konflik dapat sama-sama
dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan
mencapainya.
B. Saran
Pada penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak kekurangan-
kekurangan nya baik, cara penyusunan maupun pemaparan nya. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan sran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan
makalah ini.